SlideShare a Scribd company logo
MAKALAH
MATA KULIAH
PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT DAN PASANG SURUT (1)
“Pengelolaan Lahan Gambut Secara Berkelanjutan”
DOSEN PENGAMPU:
Prof. Dr. Ir. SALAMPAK DOHONG, MS
OLEH:
ETHELBERT DAVITSON PHANIAS
CFA 217 040
PROGRAM STUDI
PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PALANGKARAYA
2017
ii
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan Puji Syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua, sehingga saya mendapat
kemampuan untuk menyelesaikan makalah ini dengan judul “Lahan Gambut
Secara Berkelanjutan” disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengelolaan
Lahan Gambut dan Pasang Surut (1).
Ucapan terima kasih yang dalam tak terhingga saya sampaikan kepada
seluruh komponen yang memberikan bantuan kepada saya sehingga makalah ini
tersusun dengan baik. Ucapan terima kasih kami terutama disampaikan kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. SALAMPAK DOHONG, MS sebagai dosen
pengampu mata kuliah Pengelolaan Lahan Gambut dan Pasang Surut
yang telah memberikan tugas beserta pengasuhan dalam pembuatan
makalah ini.
2. Teman-teman PSAL angkatan 2017 yang telah memberikan dukungan
baik itu berupa moril maupun materil.
Banyak komponen yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah
membantu saya dalam mendapatkan ide dalam penyusunan makalah ini, mudah-
mudahan Tuhan Yang Maha Esa membalasnya dengan yang lebih baik.
Dalam penulisan makalah ini, saya sebagai penyusun tidak menutup
kemungkinan adanya membuat kesalahan dan kekeliruan. Oleh sebab itu saya
berharap untuk diberi kritikan dan saran yang membangun agar makalah ini dapat
lebih bagus lagi kedepannya.
Atas perhatian dan partisipasinya saya selaku penyusun makalah ini
mengucapkan banyak-banyak terima kasih. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
dan berguna sehingga dapat menambah pengetahuan bagi kita semua.
Palangka Raya, Januari 2018
Penulis,
iii
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul..................................................................................................... i
Kata Pengantar ................................................................................................... ii
Daftar Isi ............................................................................................................. iii
Daftar Gambar..................................................................................................... iv
Daftar Tabel ........................................................................................................ v
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................... 4
1.3 Tujuan Penulisan............................................................................ 4
1.4 Manfaat Penulisan.......................................................................... 4
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Tanah Gambut............................................................................... 5
2.2 Sifat Fisika Tanah Gambut ........................................................... 8
2.2.1 Ketebalan Gambut ............................................................. 8
2.2.2 Kedalaman Muka Air Tanah ............................................. 9
2.2.3 Warna Tanah...................................................................... 9
2.2.4 Kematangan Gambut (Kadar Serat %) .............................. 10
2.2.5 Bobot Isi (BD) ................................................................... 10
2.2.6 Kadar Air ........................................................................... 11
2.3 Sifat Kimia Tanah Gambut........................................................... 11
2.4 Pengelolaan Lahan Gambut .......................................................... 14
2.4.1 Gambut Untuk Pertanian ................................................... 14
2.4.2 Gambut Untuk Tanaman Hutan......................................... 19
2.4.3 Pengurangan Emisi GRK................................................... 20
2.4.4 Pengendalian Muka Air Tanah .......................................... 21
2.4.5 Persiapan Lahan Tanpa Bakar ........................................... 23
2.4.6 Tanaman Penutup Tanah ................................................... 25
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan................................................................................... 27
3.2 Saran ............................................................................................. 27
Daftar Pustaka .................................................................................................... 28
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Sketsa Desain Pembuatan Sekat Kanal ............................................ 17
Gambar 2. Aktivita Pembuatan Sekat Kanal Di desa Tanjung Taruna............. 17
Gambar 3. Tanaman penutup tanah kelakai (Stenochiaena palustris) untuk
mempertahankan kelembapan tanah gambut ................................... 26
v
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Perbedaan sifat kimia dari gambut eutropik, mesotropik,
dan oligotropik...................................................................................... 12
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu
sekitar 21 juta ha atau 10.8% dari luas daratan Indonesia. Lahan rawa gambut
sebagian besar terdapat di empat pulau besar yaitu di Sumatera 35%, Kalimantan
32% Papua 30% dan sebagian kecil ada di Sulawesi, Halmaera dan Seram 3%(
Radjagukguk, 1992; 1995 ).
Hutan gambut adalah jenis hutan yang tumbuh pada suatu lapisan tebal dari
bahan organik dengan tebal ± 50 cm. Lapisan bahan organik ini terdiri atas
tumbukan tumbuhan yang telah mati seperti dedaunan, akar-akar, ranting, bahkan
batang pohon lengkap, yang terakumulasi selama ribuan tahun. Lapisan gambut
terbentuk karena tumbuhan yang mati dalam keadaan normal dengan cepat
mengalami penguraian oleh bakteri dan organisme lainnya. Namun karena sifat
tanah gambut yang anaerob dan memiliki keasaman tinggi, serta kurangnya unsur
hara, maka proses dekomposisi berlangsung lambat (Utomo, 2008). Menurut Agus
et al. (2011), hutan gambut yang masih alami berperan sebagai penyerap gas CO2
dan menyimpan cadangan air. Tanah gambut memiliki cadangan karbon dalam
tanah sebesar 300-700 t/ha.
Gambut merupakan tanah hasil akumulasi timbunan bahan organik dengan
komposisi lebih dari 65% yang terbentuk secara alami dalam jangka waktu ratusan
tahun dari lapukan vegetasi yang tumbuh di atasnya yang terhambat proses
dekomposisinya karena suasana anaerob dan basah. Setiap lahan gambut
2
mempunyai karakteristik yang berbeda tergantung dari sifat-sifat dari badan alami
yang terdiri dari sifat fisika, kimia, dan biologi serta macam sedimen di bawahnya,
yang akan menentukan daya dukung wilayah gambut, menyangkut kapasitasnya
sebagai media tumbuh, habitat biota, keanekaragaman hayati, dan hidrotopografi
(Menteri Pertanian, Peraturan Nomor: 14/Permentan/PL.110/2/ 2009).
Lahan gambut memiliki beberapa fungsi strategis, seperti fungsi hidrologis,
sebagai penambat (sequester) karbon dan biodiversitas yang penting untuk
kenyamanan lingkungan dan kehidupan satwa (Bellamy, 1995).Lahan gambut
tergolong lahan marginal dan ”fragile” dengan produktivitas biasanya rendah dan
sangat mudah mengalami kerusakan. Pengembangan pertanian pada lahan rawa
gambut untuk menunjang pembangunan berkelanjutan memerlukan perencanaan
yang cermat dan teliti, penerapan teknologi yang sesuai, dan pengelolaan yang
tepat. Konservasi dan optimalisasi pemanfaatan lahan rawa gambut sesuai dengan
karakteristiknya memerlukan informasi mengenai tipe, karakteristik, dan
penyebarannya (Widjaja Adhi, 1992).
Kerusakan ekosistem gambut berdampak besar terhadap lingkungan
setempat (in situ) maupun lingkungan sekelilingnya (ex situ). Kejadian banjir di
hilir DAS merupakan salah satu dampak dari rusaknya ekosistem gambut.
Deforestasi hutan dan penggunaan lahan gambut untuk sistem pertanian yang
memerlukan drainase dalam (> 30 cm) serta pembakaran atau kebakaran
menyebabkan emisi CO2 menjadi sangat tinggi (Ratmini, 2012).
Lahan gambut sebenarnya cukup potenslal untuk di jadikan lahan pertanian;
dengan syarat adanya perbaikan yang cukup intensif untuk mengubah kondisi
3
alamiahnya menjadi bentuk lahan pertanian yang menguntungkan. Penguasaan
serta pengelolaan air merupakan kunci keberhasilan program pengembangan
daerah rawa, khususnya rawa gambut. Dalam proyek-proyek pengembangan lahan
gambut perencanaan, pengelolaan dan pengembangan sumberdaya air selama ini
belum banyak mendapat perhatian. Hal yang mendasar dalam pengelolaan lahan
rawa gambut adalah sistem drainase. Drainase diperlukan dengan tetap menjaga
muka air tanah pada batas yang optimum, untuk mendukung pertumbuhan tanaman
(Andriesse, 1988), serta harus dilakukan secara sangat berhati-hati. Saluran
drainase (pembuang) harus terpisah dari saluran pemberi dan merupakan suatu
pasangan yang harus selalu berdampingan.
Drainase yang berlebihan dapat menyebabkan gambut menjadi kering dan
tldak mampu menyerap air kembali, karena adanya sifat kering tidak balik
(irreversible drying) pada bahan gambut. Andriesse (1988) menyatakan bahwa
proses kering tidak balik dapat di hubungkan dengan kerapatan lindak tanah (bulk
density). Kering tidak balik dapat terjadi pada gambut dengan kerapatan lindak
yang rendah, sedangkan gambut dengan kerapatan lindak yang tinggi relative
mudah menyerap air kembali.
Pengelolaan lahan gambut mendapat perhatian besar, terutama untuk
budidaya tanaman perkebunan. Selain itu lahan gambut juga berpotensi besar untuk
budidaya tanaman pangan (Utama&Haryoko, 2009). Sedangkan menurut Sagiman
(2007) pengembangan lahan gambut untuk pertanian tidak hanya ditentukan oleh
sifat-sifat fisika maupun kimia gambut, namun dipengaruhi pula oleh manajemen
yang akan diterapkan.
4
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini, berdasarkan latar belakang di atas
adalah sebagai berikut:
1. Apa saja sifat fisika dan kimia pada tanah gambut?
2. Apa saja cara pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini berdasarkan rumusan masalah di atas adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui sifat fisika dan kimia pada tanah gambut.
2. Untuk mengetahui cara pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan.
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan ini adalah memberikan informasi kepada pembaca
mengenai sifat fisika dan kimia tanah gambut, serta tentang bagaimana cara
pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan sehingga ekosistem gambut dapat
terjaga kelestariannya.
5
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Tanah Gambut
Tanah gambut adalah tanah yang secara dominan tersusun dari sisa-sisa
jaringan tumbuhan (Subagyo et al., 1996). Tanah gambut terbentuk karena laju
penumpukan bahan organik jauh lebih besar dar~pada proses dekomposisinya,
sehingga bahan organik berakumulasi makin tebal sampai suatu saat mengalami
keseimbangan dengan lingkungan sekitarnya (Bell, 1992).
Secara umum, gambut terbentuk di dataran rawa, berupa aluvium yang
diendapkan pada suatu kawasan yang lingkungannya bersifat salin. atau payau,
yang biasanya berada dl laut dangkal. Bahan induk ini kaya akan sulfur karena
bercampur pada 'keadaan salin atau payau, baik yang berasal dari bahan mineralnya
maupun dari bahan organiknya. Adanya proses kimia, fisika, serta biologis
menyebabkan tanah-tanah yang terbentuk mengandung pirit. Kandungan pirit ini
berbahaya, bagi tanaman apabila teroksidasi, tetapi tidak berbahaya dalam keadaan
reduksi, yaitu berada di bawah muka air (Pandjaitan dan Hardjoamidjojo, 1999).
Tanah gambut dapat terbentuk di daerah rawa pasang surut maupun di
daerah pedalaman yang tidak dipengaruhi oleh air pasang surut. Di daerah rawa
yang selalu tergenang air proses penimbunan bahan organik lebih cepat
daripadaproses dekomposisinya, karena itu terjadi akumulasi bahan organik.,
Rawa-rawa di Indonesia terbentuk sekitar 5000 tahun yang lalu. Saat itu terjadi
transgresi air laut (muka air laut naik) akibat mencaimya es di kutub, sehingga pada
6
saat regresi (muka air taut turun) banyak daerah-daerah sekitar pantai Sumatera,
Kalimantan, serta Irian Jaya tergenang menjadi rawa (Hardjowigeno, 1996).
Pembentukan tanah gam but di beberapa daerah di Sumatera dan Kalimantan terjadi
antara 2000-6830 tahun yang lalu.
Klasifikasi lahan rawa sehubungan dengan kondisi hidro-topografinya
dilakukan sebagai berikut (sesuai Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan, (Puslittanak,
1993):
- kategori A: lahan dapat diairi melalui air pasang, baik pada waktu pasang besar
(spring tid e) maupun pasang rendah (neap tide), pada Musim Hujan (MH)
maupun Musim Kering (MK);
- kategori B: lahan dapat diairi selama pasang besar saja dan berlangsung antara
6-8 kali dalam satu tahun;
- kategori C: lahan tidak dapat diairi seeara reguler melalui air pasang, namum
air tanah dapat dikendalikan pada kondisi muka air tanah atau pada zona
perakaran;
- kategori D: lahan tidak dapat diairi melalui air pasang, dan air tanah sering
berada jauh dibawah zona perakaran (> 70 cm dibawah permukaan tanah.
Tanah gambut menurut definisi dari Sistem Klasifikasi Tanah dalam Taksonomi
Tanah, di klasifikasikan kedalam Ordo Histosol (histos, tissue = jaringan) yang
mempunyai sifat-sifat sebagai berikut (Soil Survey Staff, 1994):
a. mengandung 18% atau lebih Corganik jika fraksi mineralnya mengandung
60% atau lebih liat;
7
b. mengandung 12% atau lebih C-organik jika fraksi mineralnya tidak
mengandung liat;
c. jika kandungan liatnya antara 060%, maka kandungan C-organik terdapat
antara 12-18%.
Andriesse (1988) memberikan sistem klasifikasi tanah gambut yang di dasarkan
pada enam karakterisitik dasar, yaitu:
a. topografi dan geomorfologi: berhubungan dengan aspek landscape,
sehingga dikenal adanya gambut low moor (dataran rendah), transitional
moor (daerah transisi), dan high moor ( dataran tinggi);
b. vegetasi permukaan: sering dihubungkan pad a keperluan manajemen,
terutama pada saat "reklamasi lahan yang menyangkut biaya pembukaan
lahan gambut;
c. vegetasi asli yang membentUk gam but: dihubungkan dengan bahan gam
but yang berasal. dari JeOls vegetasi tertentu yang membentuknya, sehingga
dikenal adanya gam but yang berasal dari lumut (moss peat),
rumputrumputan (saw-grass peat), tanaman dari famili Cyperaeeae
(Cyperaceae peat), dan tanaman hutan (forest atau woody peat);
d. sifat kimia gambut: dihubungkan dengan pengaruhnya pada karakteristik
kimia lingkungannya, terutama menyangkut tingkat kesuburan gambut,
sehingga dikenal istilah eutrophic (kesuburan tinggi), mesotrophic
(kesuburan sedang), dan oligotrophic (kesuburan rendah);
8
e. sifat fisik gambut: dihubungkan dengan tingkat dekomposisi bahan gambut,
seperti tingkat fibrik (kandungan bahan organik>2/3), hemik (kandungan
bahan organik 113 - 2/3), dan saprik (kandungan bahan organik < 113);
f. proses genesis gambut: dihubungkan dengan iklim yang mempengaruhi
pembentukan dan perkembangan gam but, sehingga dikenal istilah gam but
daerah tropika (tropical peat), dan gambut daerah sedang (temperate peat).
2.2 Sifat Fisika Tanah Gambut
Sifat fisik gambut sangat penting didalam usaha reklamasi dan pengelo1aan
air pada tanah gambut. Kajian sifat fisik gambut sangat berhubungan dengan aspek
mekanika tanah (soil mechanic), keteknikan tanah (soil engineering), serta
konservasi gambut (peat conservation).
2.2.1 Ketebalan Gambut
Gambut dengan ketebalan > 3 m diperuntukan sebagai kawasan konservasi
sesuai dengan keputusan presiden No. 32/1990. Hal ini disebabkan oleh semakin
tebal gambut, semakin penting pula fungsinya dalam memberikan perlindungan
terhadap lingkungan dan sebaliknya kondisi lingkungan lahan gambut tebal
semakin rapuh apabila dikonversi menjadi lahan pertanian. Pertanian di lahan
gambut tebal lebih sulit pengelolaannya dan mahal biayanya karena kesuburannya
rendah dan daya dukung tanahnya rendah sehingga sulit dilalui kendaraan
pengangkutan sarana pertanian dan hasil panen (Agus & Subiksa, 2008). Semakin
tebal lapisan gambut maka kesuburan tanahnya semakin menurun sehingga
tanaman sulit mencapai lapisan mineral yang berada di lapisan bawahnya. Hal ini
mengakibatkan pertumbuhan tanaman terganggu, serta mengakibatkan tanaman
9
mudah condong dan roboh khususnya pada tanaman tahunan atau tanaman
perkebunan (Suswati et al., 2011)
2.2.2 Kedalaman Muka Air Tanah
Kondisi muka air tanah gambut selain dipengaruhi oleh pembukaan saluran
drainase juga dipengaruhi oleh factor iklim, terutama curah hujan. Ketinggian muka
air tanah akan mempengaruhi kematangan dan dekomposisi tanah gambut.
Sebagaimana disebutkan oleh Las et al. (2008) bahwa pengaturan tata air makro
maupun tata air mikro sangat mempengaruhi karakteristik lahan gambut. Tinggi
muka air tanah akan mempengaruhi dekomposisi gambut (subsiden) dan kering tak
balik (irreversibel drying).
Informasi tentang jumlah air yang di retensi oleh tanah sangat penting bagi
pengelolaan. usaha pertanian. Secara umum, air yang diretensi tanah yang dapat
dlpergunakan untuk tanaman (air tersedia bagi tanaman) adalah antara kapasitas
lapang (field capacity) pada pF 2,2 (0,33 bar) dengan titik layu permanen
(permanent wilting point) pada pF 4,2 (15 bar).
2.2.3 Warna Tanah
Menurut Suswati et al. (2011), bahwa perbedaan warna tanah pada
umumnya disebabkan oleh perbedaan kandungan bahan organik, semakin tinggi
bahan organik maka warna tanah akan semakin gelap. Darmawijaya (1997) pada
umumnya bahan organik memberi warna kelam pada tanah, artinya jika tanah
asalnya berwarna kuning atau coklat muda, kandungan bahan organik
menyebabkan warna lebih cenderung kearah coklat kelam. Makin stabil bahan
organik makin tua warnanya, sedangkan makin segar maka makin cerah warnanya.
10
2.2.4 Kematangan Gambut (Kadar Serat %)
Gambut memiliki kematangan fibrik apabila V2/V1> 66%, hermik apabila
V2/V1 antara 33%-66%, dan saprik apabila V2/V1<33%. Pada masing-masing
kedalaman memiliki kadar serat yang berbeda pada setiap titiknya, tetapi pada
kedalaman yang sama pada setiap titik yang berbeda memiliki kadar serat yang
hampir sama dan memiliki kematangan gambut yang sama. Secara umum tingkat
dekomposisi pada lapisan gambut pada lapisan atas dan di atas muka air tanah lebih
tinggi atau lebih lanjut daripada lapisan gambut di bawah muka air tanah.
Berdasarkan penilaian terhadap perubahan kematangan gambut, maka secara
ekologis yang menjadi faktor utama yang mempengaruhi adalah tinggi muka air
tanah (water level) (Suwondo et al., 2010).
2.2.5 Bobot Isi (BD)
Menurut Hardjowigeno (1989) nilai bobot isi menunjukan tingkat
kepadatan tanah, semakin tinggi nilai bobot isi maka semakin padat suatu tanah dan
sebaliknya. Sedangkan menurut Subagyono et al. (1997) tanah gambut memiliki
bobot isi yang rendah antara 0,05-0,25 gr/cm3
, semakin rendah nilai bobot isi maka
tingkat dekomposisinya semakin lemah, atau kematangan gambutnya semakin
rendah, karena masih banyak mengandung bahan organik. Sehingga daya topang
terhadap beban diatasnya seperti tanaman, bangunan irigasi, jalan, dan mesin-mesin
pertanian adalah rendah. Sedangkan gambut yang sudah direklamasi akan lebih
padat dengan bobot isi antara 0,1-0,4 gr/cm3
. Selanjutnya Noor (2001), menyatakan
bahwa bobot isi gambut yang rendah mengakibatkan daya dukung tanah rendah
11
sehingga tanaman mengalami kendala dalam menjangkarkan akarnya, akibatnya
banyak tanaman tahunan yang tumbuh condong dan tumbang.
2.2.6 Kadar Air
Tanah gambut mempunyai kapasitas mengikat atau memegang air yang
relatif sangat tinggi atas dasar berat kering. Kapasitas mengikat air maksimum
untuk gambut fibrik adalah 580-300 %, untuk gambut hemik 450-850 % dan untuk
gambut saprik < 450 % . Gambut akan berubah menjadi hidrofob (menolak air)
kalau terlalu kering.
Noor (2001) menyebutkan bahwa kemampuan menjerap (absorbing) dan
memegang (retaining) air dari gambut tergantung pada tingkat kematangannya.
Kemampuan tanah gambut untuk menyerap dan mengikat air pada gambut fibrik
lebih besar dari gambut hemik dan saprik, sedangkan gambut hemik lebih besar dari
saprik (Suwondo et al., 2010). Sedangkan menurut Saribun (2007), ketersediaan
air tanah bukan hanya berdasarkan kematangannya saja, tetapi dipengaruhi juga
oleh curah hujan atau air irigasi, kemampuan tanah menahan air, evapotranspirasi,
dan tinggi muka air tanah. Kadar air selain dipengaruhi oleh disebabkan oleh
kepadatan tanah, karena tanah akan lebih sedikit memegang air (Mardina, 2006).
2.3 Sifat Kimia Tanah Gambut
Karakteristik kimia lahan gambut sangat ditentukan oleh kandungan,
ketebalan, dan jenis mineral pada substratum (di dasar gambut), serta tingkat
dekomposisi gambut.
12
Kandungan mineral gambut di Indonesia umumnya kurang dari 5% dan
sisanya adalah bahan organik. Fraksi organik terdiri dari senyawa-senyawa humat
sekitar 10 hingga 20% dan sebagian besar lainnya adalah senyawa lignin, selulosa,
hemiselulosa, lilin, tannin, resin, suberin, protein, dan senyawa lainnya. Komposisi
kimia gambut sangat dipengaruhi oleh bahan induk tanamannya, tingkat
dekomposisi dan sifat kimia lingkungan aslinya (Ratmini, 2012).
Tabel 1. Perbedaan sifat kimia dari gambut eutropik, mesotropik, dan oligotropik.
Tingkat
Kesuburan
Kadar (% bobot kering)
N K2O P2O5 CaO Abu
Eutropik 2,50 0,10 0,25 4,00 10,0
Mesoprik 2,00 0,10 0,20 1,00 5,00
Oligotropik 0,80 0,03 0,05 0,25 2,00
Sumber: Driessen and Supraptohardjo (1974)
Berbeda dengan tanah mineral, bagian yang aktif dari tanah gambut adalah
fase cairnya, bukan padatan yang terdiri dari sisa tanaman. Fase cair dari gambut
terdiri dari asam-asam organik alifatik maupun aromatik yang memiliki gugus
fungsional yang aktif seperti karboksil, hidroksil dan amine. Karakteristik dari
asam-asam organik ini akan menentukan sifat kimia dari gambut. Sebagai akibat
dari tingginya asam organik, maka reaksi tanah pada umumnya masam. Namun
karena karena asam organik adalah asam lemah, maka pH tanah biasanya berkisar
antara 4 - 5. pH tanah bisa lebih rendah bila ada lapisan sulfidik yang teroksidasi
atau gambut yang terbentuk di atas lapisan tanah yang sangat miskin seperti pasir
kuarsa (Ratmini: 2012).
Sebagian dari asam organik bersifat racun bagi tanaman yaitu dari golongan
senyawa fenolat. Asam-asam fenolat serta turunannya dan juga senyawa benzen
karboksilat merupakan "building block" utama dari susunan asam humat dan fulvat.
Building block tersebut bergabung melalui berbagai ikatan seperti ikatan H, gaya
13
vander Wall, ikatan C-O dan ikatan C-C (Schnitzer, 1977 dalam Sabiham, 1999).
Beberapa turunan asam fenolat yang bayak dijumpai pada bahan organik adalah
asam-asam : p-kumarat, p-hidroksi benzoat, klorogenat, vanilat, ferulat, sinapat,
gentisat, galat, kafeat, protokatekuat dan syringat (Hartley and Whitehead, 1984
dalam Sabiham, 1999). Salah satu karakteristik senyawa adalah kemampuannya
untuk melakukan ikatan dengan kation-kation polivalen membentuk senyawa
komplek/khelat (Schnitzer, 1969; Kerndorff and Schnitzer, 1980). Kation Fe, Al,
Cu dan Zn adalah kation-kation hara yang mampu untuk membentuk ikatan
koordinasi dengan ligan organik.
Kadar asam fenolat pada gambut di Indonesia sangat tinggi. Sabiham (1995)
mengemukakan kadar asam p-hydroxy benzoat, asam kumarat dan asam ferulat
masing-masing sebesar 32,4 ppm, 34,6 ppm dan 35,2 ppm pada gambut Air
Sugihan Sumsel, sedangkan di Bereng bengkel Kalimantan Tengah masing-masing
dari ketiga asam fenolat tersebut adalah 467,5 ppm, 140,73 ppm dan 15,18 ppm.
Dengan demikian kadar asam-asam fenolat pada gambut Indonesia jauh di atas
ambang batas, terutama gambut Kalimantan. Tanah gambut mengandung hara yang
sangat rendah khususnya P dan K, dan basa-basa. Saragih (1996) melaporkan
bahwa K-dd pada gambut Jambi umumnya rendah sampai sedang (0,13-0,70
cmol.kg1
), (Salampak, 1999 dalam Rutmini, 2012) melaporkan K-dd pada gambut
Kalimantan tergolong rendah sampai tinggi (0,29-1,13 cmol.kg-1
).
Penelitian ke arah pengurangan aktivitas asam fenolat dan peningkatan
ketersediaan hara sudah banyak dilakukan. Pembentukan asam-asam fenolat dan
gas metan dapat ditekan dengan penambahan lumpur laut, payau maupun sungai
14
(Sabiham, 1993). Penggunaan kation polivalen seperti Al, Fe dan Cu dapat
menurunkan reaktivitas asam-asam fenolat, pH tanah, KTK dan mobilitas hara P
serta meningkatkan ketersediaan K, Ca dan Mg (Rachim, 1995; Sulaeman et
al.1998). Meningkatnya ikatan-ikatan P pada tanah gambut juga diperoleh dengan
pemberian bahan amelioran tanah mineral berkadar besi tinggi (Salampak, 1999
dalam Rutmini, 2012) sehingga kehilangan P melalui pencucian dapat dikurangi.
2.4 Pengelolaan Lahan Gambut
2.4.1 Gambut Untuk Pertanian
Menurut (Limin, 2006) pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian
termasuk perkebunan dan tanaman industri tergolong sangat rawan, terutama jika
dilaksanakan pada gambut tebal di daerah pedalaman (disebut gambut pedalaman).
Jika lahan gambut pedalaman dimanfaatkan, maka mengharuskan adanya upaya
menyesuaikan kondisi air lahan atau mengeringkan lahan dengan cara membuat
saluran drainase atau kanal. Sedangkan untuk jenis gambut pantai di daerah pasang
surut, pembuatan drainase atau kanal ditujukan untuk menyalurkan air ke bagian
dalam (beberapa kilometer dari tepi sungai atau laut). Tanpa membuat saluran
drainase atau kanal pada gambut pedalaman, dipastikan hanya jenis pohon asli
setempat (ramin, meranti rawa, jelutung, gemor, dll) yang bisa tumbuh dalam
kondisi jenuh air atau daerah yang dominan basah. Dibalik pembuatan drainase
yang menyebabkan penurunan air tanah, maka terjadi perubahan suhu dan
kelembaban di lapisan gambut dekat permukaan, sehingga mempercepat proses
pelapukan dan permukaan gambut semakin menurun. Limin et al. (2000)
15
melaporkan bahwa penurunan permukaan lahan gambut di daerah Kalampangan
(eks UPT Bereng Bengkel) paling sedikit 1-3 cm tiap tahun. Limin (1998)
menyatakan walaupun pelapukan bahan organik tersebut menghasilkan hara bagi
tanaman, pelapukan juga menghasilkan asam organik yang berpengaruh lebih kuat
dan dapat menyebabkan keracunan bagi tanaman.
2.4.1.1 Pengelolaan Air
Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian berkelanjutan harus dimulai dari
perencanaan penataan lahan yang disesuaikan dengan karakteristik lahan gambut
setempat, dan komoditas yang akan dikembangkan. Penataan lahan meliputi
aktivitas mengatur jaringan saluran drainase, perataan tanah (leveling),
pembersihan tunggul, pembuatan surjan, guludan, dan pembuatan drainase dangkal
intensif. Dimensi dan kerapatan jaringan drainase disesuaikan dengan komoditas
yang dikembangkan apakah untuk tanaman pangan, sayuran, perkebunan atau hutan
tanaman industri (HTI). Perataan tanah penting jika akan dikembangkan tanaman
pangan dan sayuran. Pembersihan tunggul juga sangat membantu meningkatkan
produktivitas, karena keberadaan tunggul akan membatasi area yang bisa ditanami
dan menjadi sarang hama. Pembuatan surjan hanya mungkin dilakukan pada
gambut dangkal dan lahan bergambut. Guludan dan drainase dangkal intensif
diperlukan jika dikembangkan tanaman sayuran dan buah-buahan (Agus dan
Subiksa, 2008).
Dalam kondisi alami, lahan gambut selalu dalam keadaan jenuh air
(anaerob), sementara itu sebagian besar tanaman memerlukan kondisi yang aerob.
Oleh karenanya, langkah pertama dalam reklamasi lahan gambut untuk pertanian
16
adalah pembuatan saluran drainase untuk menurunkan permukaan air tanah,
menciptakan kondisi aerob di zona perakaran tanaman, dan mengurangi konsentrasi
asam-asam organik. Namun demikian, gambut tidak boleh terlalu kering karena
gambut akan mengalami kerusakan dan menimbulkan emisi GRK yang tinggi.
Berbeda dengan tanah mineral, bagian aktif dari gambut adalah fase cairnya,
sehingga apabila gambut kering akan kehilangan fungsinya sebagai tanah dan
menjadi bersifat hidrofobik (Agus dan Subiksa, 2008)..
Pengembangan kawasan lahan gambut dalam skala luas memerlukan
jaringan saluran drainase yang dilengkapi dengan pintu air untuk mengendalikan
muka air tanah di seluruh kawasan. Dimensi saluran primer, sekunder, dan tersier
disesuaikan dengan luas kawasan dan jenis komoditas yang dikembangkan.
Tanaman pangan dan sayuran pada umumnya memerlukan drainase yang dangkal
(sekitar 20 – 30 cm). Tanaman tahunan memerlukan saluran drainase dengan
kedalaman berbeda-beda. Tanaman sagu dan nipah tidak memerlukan drainase,
tetapi tetap memerlukan sirkulasi air seperti halnya tanaman padi. Tanaman karet
memerlukan saluran drainase mikro sedalam 20-40 cm, tanaman kelapa dan kelapa
sawit memerlukan saluran drainase sedalam 50-70 cm (Agus dan Subiksa, 2008).
Pembuatan saluran drainase di lahan gambut akan diikuti oleh peristiwa
penurunan permukaan lahan (subsiden). Proses ini terjadi karena pemadatan,
dekomposisi, dan erosi gambut dipermukaan yang kering. Semakin dalam saluran
drainase, maka subsiden semakin besar dan semakin cepat. Penurunan permukaan
gambut dengan mudah dapat diamati dengan munculnya akar tanaman tahunan di
permukaan tanah. Untuk mengurangi dampak penurunan tanah terhadap
17
perkembangan tanaman, sebaiknya penanaman tanaman tahunan ditunda sampai
sampai satu tahun setelah pembukaan saluran. Hal ini dilakukan untuk menghindari
tanaman roboh karena daya sangga gambut yang rendah.
Sekat kanal berfungsi untuk menjaga air tanah gambut agar tidak kering,
karena kanal-kanal yang sudah ada selama ini fungsinya adalah untuk
mengeringkan tanah pada hutan gambut sehinggi perlu dibuat sekat pada kanal agar
air pada tanah gambut dapat terjaga.
Gambar 1. Sketsa Desain Pembuatan Sekat Kanal
Gambar 2. Aktivitas Kegiatan Pembuatan Sekat Kanal Di Desa Tanjung Taruna,
Pulang Pisau
18
2.4.2.2 Pemilihan Komoditas Yang Sesuai
Pemilihan komoditas yang mampu beradaptasi baik dilahan gambut sangat
penting untuk mendapatkan produktivitas tanaman yang tinggi. Pemilihan
komoditas disesuaikan dengan daya adaptasi tanaman, nilai ekonomi, kemampuan
modal, keterampilan, dan skala usaha. Jenis tanaman sayuran (selada, kucai,
kangkung, bayam, cabai, tomat, terong, dan paria) dan buah-buahan (pepaya, nanas,
semangka, melon) adalah tanaman yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan
beradaptasi sangat baik di lahan gambut.
2.4.2.3 Pemupukan
Pemupukan diperlukan karena secara inheren tanah gambut sangat miskin
mineral dan hara yang diperlukan tanaman. Jenis pupuk yang diperlukan adalah
pupuk lengkap terutama yang mengandung N, P, K, Ca, Mg dan unsur mikro Cu,
Zn dan B. Pemupukan harus dilakukan secara bertahap dan dengantakaran rendah
karena daya pegang (sorption power) hara tanah gambut rendah sehingga pupuk
mudah tercuci. Penggunaan pupuk lepas lambat (slow release) seperti fosfat alam
dan Pugam lebih baik dibandingkan dengan SP-36, karena akan lebih efisien,
harganya murah dan dapat meningkatkan pH tanah (Subiksa et al., 1991). Pugam
dengan kandungan hara utama P, juga tergolong pupuk lepas lambat yang mampu
meningkatkan serapan hara, mengurangi pencucian hara P, dan meningkatkan
pertumbuhan tanaman sangat signifikan dibandingkan SP-36.
Tanah gambut juga diketahui kahat unsur mikro karena dikhelat (diikat)
oleh bahan organik (Rachim, 1995). Oleh karenanya diperlukan pemupukan unsur
mikro seperti terusi, dan seng sulfat masing-masing 15 kg.ha-1
tahun-1
, mangan
19
sulfat 7 kg.ha-1
, sodium molibdat dan borax masing-masing 0,5 kgha1
tahun-1
.
Kekurangan unsur mikro dapat menyebabkan bunga jantan steril sehingga terjadi
kehampaan pada tanaman padi, tongkol kosong pada jagung atau polong hampa
pada kacang tanah. Pugam sebagai amelioran dan pupuk, juga mengandung unsur
mikro yang diperlukan tanaman, sehingga pemupukan unsur mikro tambahan tidak
diperlukan lagi.
2.4.2.4 Pengaturan Pola Tanam
Pengurangan emisi CO2
dapat dilakukan dengan mengatur pola tanam,
khususnya tanaman pangan dan sayuran. Pada prinsipnya pengaturan pola tanam di
lahan gambut bertujuan mengurangi lamanya waktu tanah dalam keadaan terbuka
yang memicu terjadinya emisi. Relay planting adalah salah satu contoh penerapan
pola tanam yang memungkinkan tanah gambut tidak terbuka saat penggantian
tanaman berikutnya. Menanam tanaman sela diantara tanaman pokok (tahunan)
dapat mengurangi emisi sekaligus meningkatkan sekuestrasi karbon.
2.4.2 Gambut Untuk Tanaman Hutan
Pemanfaatan lahan gambut untuk tetap dipertahankan sebagai habitat
ratusan species tanaman hutan, merupakan suatu kebijakan yang sangat tepat.
Disamping kawasan gambut tetap mampu menyumbangkan fungsi ekonomi bagi
manusia di sekitarnya (produk kayu dan non kayu) secara berkelanjutan, fungsi
ekologi hutan rawa gambut sebagai pengendali suhu, kelembaban udara dan
hidrologi kawasan akan tetap berlangsung sebagai konsekuensi dari ekosistemnya
tidak berubah (Limin, 2006).
20
Mempertahankan lahan gambut untuk tetap menjadi habitat jenis pohon
adalah beralasan. Hutan rawa gambut memiliki jenis pohon bernilai ekonomis
tinggi, demikian pula satwa. Berdasarkan data pada salah satu HPH yang berlokasi
di lahan gambut, diketahui bahwa populasi 10 jenis pohon bernilai ekonomis tinggi
dan jenis yang dilindungi dengan diameter ≥ 20 cm rata-rata 21 pohon/ha dengan
volume rata-rata 30,94 m3
/ha. Diantara ke-10 jenis pohon tersebut terdapat 67,83%
adalah ramin (Gonystylus bancanus Kurz). Berdasarkan pertumbuhan dan
perkembangan alami pohon-pohon bernilai ekonomis tersebut, maka “Wise Use of
Tropical Peatland” hendaknya tidak lagi harus dipaksa untuk melakukan perubahan
yang justru mengakibatkan munculnya permasalahan baru yang berdampak negatif
bagi manusia dan lingkungan (Limin, 2006).
2.4.3 Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK)
Lahan gambut dikenal merupakan sumber emisi gas rumah kaca (GRK)
terbesar dari sektor pertanian dan kehutanan karena menyimpan cadangan karbon
sangat besar yaitu 550 Gt CO2
e, setara dengan 75% karbon di atmosfer atau setara
dengan dua kali simpanan karbon semua hutan di seluruh dunia (Joosten, 2007).
Lahan gambut terbentuk dari akumulasi bahan organik yang mudah mengalami
dekomposisi apabila ada perubahan kondisi lingkungan menjadi aerob. Proses
dekomposisi bahan organik akan menghasilkan asamasam organik, gas CO2
dan
gas methan (gas rumah kaca).
Faktor pendorong terjadinya emisi GRK yang berlebihan di lahan gambut
antara lain adalah kebakaran lahan, pembuatan saluran drainase dan pengelolaan
lahan. Kebakaran lahan bisa terjadi saat pembukaan hutan gambut, persiapan lahan
21
sebelum musim tanam atau musim kemarau ekstrim. Kebakaran yang terjadi pada
waktu pembukaan hutan dan persiapan lahan seringkali terjadi karena kesengajaan,
sedangkan kebakaran di saat tanaman sudah ditanam bisa terjadi karena keadaan
kemarau panjang atau karena kecelakaan. Kasus di Kalimantan Barat, berdasarkan
wawancara dengan petani, pembakaran lahan sebelum musim tanam bisa
menghabiskan 3 – 5 cm lapisan gambut (Subiksa et al, 2009). Hal ini dilakukan
petani untuk mendapatkan abu yang memperbaiki pH dan kejenuhan basa tanah.
Untuk Indonesia, hasil perhitungan Wahyunto et al. (2004), total stock
karbon dari seluruh lahan gambut di Indonesia sekitar 37 Gt. Tergantung ketebalan
gambut, simpanan karbon gambut bisa 10 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
simpanan karbon tanah mineral. Mempertahankan karbon dalam tanah dan tanaman
menjadi isu lingkungan sangat penting karena konsentrasi karbon di udara
berpengaruh terhadap pemanasan global.
2.4.4 Pengendalian Muka Air Tanah
Lahan gambut memiliki daya hantar hidrolik yang tinggi, baik secara
vertikal maupun horizontal. Oleh karena itu, saluran drainase sangat menentukan
kondisi muka air tanah. Kunci pengendalian muka air tanah adalah mengatur
dimensi saluran drainase, terutama kedalamannya, dan mengatur pintu air.
Menurunkan muka air tanah sangat diperlukan untuk menjaga kondisi media
perakaran tetap dalam kondisi aerob. Namun penurunan yang terlalu besar
menyebabkan gambut mengalami kerusakan. Oleh karena muka air tanah harus
dikendalikan agar akar tanaman cukup mendapatkan oksigen, tetapi gambut tetap
lembap untuk menghindari emisi yang besar dan gambut mengering. Pengendalian
22
air dengan mengatur tinggi air di saluran drainase dengan mengatur pintu air adalah
salah satu tindakan mitigasi emisi CO2
yang terjadi.
Hasil penelitian Wosten dalam Hooijer et al., (2006) menunjukkan bahwa
laju emisi berbanding lurus dengan kedalaman saluran drainase. Rieley dan Page
(2005) menunjukkan hubungan linier antara kedalaman muka air tanah dengan
emisi karbon bersifat spesifik lokasi. Agus et al. (2008) menunjukkan bahwa laju
emisi meningkat dengan pola logaritmik dengan makin meningkatnya kedalaman
muka air tanah. Oleh karena mengatur muka air tanah pada tingkat yang aman untuk
tanaman dan minimal emisinya merupakan tindakan mitigasi kerusakan lahan yang
sangat efektif.
Rumbang dalam Noor (2010) mengemukakan hubungan antara penggunaan
jenis tanaman dengan emisi. Hal ini tentu berkaitan dengan kedalaman air tanah
yang dibutuhkan oleh masing-masing jenis tanaman. Salah satu komponen penting
dalam pengaturan tata air lahan gambut adalah bangunan pengendali berupa pintu
air atau canal blocking di setiap saluran. Pintu air berfungsi untuk mengatur muka
air tanah, disesuaikan dengan kebutuhan tanaman. Mengingat gambut memiliki
daya hantar hidrolik yang tinggi, maka dalam satu saluran diperlukan beberapa
pintu canal blocking membentuk cascade.
Kasus lahan gambut yang sudah dibuka untuk transmigrasi di berbagai
daerah, menunjukkan bahwa jaringan saluran drainase tidak terawat dengan baik
sehingga saluran menjadi sangat dangkal dan tertutup rumput. Pintu air dengan
cepat mengalami kerusakan karena sistem pemasangan kurang baik, sehingga air
mengalir melalui pinggir pintu air. Oleh karena itu, perlu digalakkan program
23
rehabilitasi lahan, pembuatan saluran, pintu air, dan canal blocking di lahan gambut
untuk menghindari perubahan kondisi lahan yang drastis, seperti pengeringan. Pintu
air harus berfungsi secara optimal agar permukaan air tanah stabil.
2.4.5 Persiapan Lahan Tanpa Bakar
Emisi karbon paling masif terjadi saat kebakaran gambut, baik karena
kesengajaan maupun tidak sengaja. Penyiapan lahan dengan sistem membakar
menyebabkan hilangnya cadangan karbon, terjadi subsiden, dan pada akhirnya
mengarah pada habisnya lapisan gambut. Penelitian Subiksa et al. (2009)
menunjukkan bahwa petani di Kalimantan Barat selalu melakukan pembakaran
lahan sebelum menanam tanaman pangan, khususnya jagung. Setiap musim,
lapisan gambut terbakar sekitar 3-5 cm.Dari gambut yang terbakar selama 2 kali
tanam per tahun dapat diperkirakan besarnya emisi karbon yaitu sekitar 110,1 t
CO2
ha-1
tahun-1
(dengan asumsi karbon density gambut sekitar 50 kgm-3
atau 0.05
tm-3
).
Adanya pembakaran lahan dan hutan di suatu daerah dapat dipantau dari
data hot spot (titik api)yang dihasilkan dari interpretasi citra satelit. Jumlah titik api
yang dipantau di beberapa daerah rawan kebakaran lahan, menunjukkan bahwa
antara bulan Januari – Mei 2010, Provinsi Riau dan Kalimantan Timur memiliki
titik api paling banyak, dan puncaknya terjadi pada bulan Februari - Maret. Hal ini
menunjukkan aktivitas pembakaran untuk pembukaan lahan masih menjadi pilihan
masyarakat. Kebiasaan masyarakat ini harus diubah dengan terus-menerus
melakukan sosialisasi pembukaan lahan tanpa bakar (PLTB), serta penerapan
peraturan perundang-undangan. Pelatihan dan sosialisasi harus disertai dengan
24
pengenalan alternatif lain dalam pembukaan lahan. Selain itu fasilitas pemantauan
dan pengendalian kebakaran lahan harus disediakan di daerah rawan kebakaran.
Pembakaran lahan, baik yang disengaja maupun tidak, menyebabkan
hilangnya cadangan karbon sehingga lapisan gambut semakin tipis bahkan habis.
Bila lapisan substratum merupakan lapisan mineral berpirit atau pasir kuarsa maka
akan terjadi kemerosotan kesuburan tanah. Membakar gambut terkadang sengaja
dilakukan petani untuk memperoleh abu yang untuk sementara bisa memperbaiki
kesuburan tanah. Abu sisa pembakaran memberikan efek ameliorasi dengan
meningkatnya pH dan kandungan basabasa tanah, sehingga tanaman tumbuh lebih
baik (Subiksa et al., 1998). Proses ini harus dihindari dengan mempertahankan
kelembapan gambut agar tidak mudah terbakar dan menerapkan sistem pengelolaan
zero burning. Pembakaran serasah tanaman secara terkendali di rumah abu (tempat
pembakaran serasah) adalah salah satu usaha mencegah kebakaran gambut meluas.
Tempat khusus ini berupa lubang yang dilapisi dengan tanah mineral sehingga api
tidak sampai membakar gambut. Cara ini diterapkan dengan sangat baik oleh petani
sayur di lahan gambut Pontianak, Kalimantan Barat. Bila pembakaran serasah harus
dilakukan langsung di lapangan, maka harus dipastikan bahwa gambut dibawahnya
jenuh air supaya gambutnya tidak ikut terbakar.
Pengalihan dari cara tradisional dengan cara membakar kepada metode
tanpa membakar, diperlukan cara alternatif lain yang bisa diterima masyarakat.
Pembukaan lahan menggunakan mulcheratau bio-harvesteradalah salah satu
alternatif yang baik, namun alatnya masih tergolong mahal. Sementara untuk lahan
pertanian yang sudah eksis, diperlukan upaya ameliorasi dan pemupukan agar
25
pertumbuhan tanaman bisa optimum. Oleh karena itu, kebijakan subsidi pupuk dan
amelioran untuk petani di lahan gambut penting untuk dikeluarkan agar kebiasaan
membakar yang menghasilkan emisi CO2
tinggi bisa dihindari. Ditjen Perkebunan
(2010) memprediksibahwa upaya mencegah pembakaran lahan dapat mengurangi
emisi CO2
sampai 0,284 Gt CO2
atau 25% dari proyeksi BAU 2025.
2.4.6 Tanaman Penutup Tanah
Emisi GRK berkorelasi positif dengan suhu, dimana makin tinggi suhu
udara dan tanah maka emisi GRK semakin tinggi. Warna gambut yang gelap
cenderung menyerap suhu, sehingga gambut yang terekspos akan terasa sangat
panas. Suhu yang panas menyebabkan gambut cepat kering dan rawan kebakaran.
Oleh karena, untuk mengurangi emisi GRK dari lahan pertanian, maka tanah
gambut harus diusahakan tertutup vegetasi. Menanam tanaman penutup tanah,
selain mengurangi emisi, juga meningkatkan sekuestrasi karbon, sehingga emisi
bersih menjadi lebih kecil lagi.
Tanaman penutup tanah sebagai tanaman sela di perkebunan akan sangat
membantu mempertahankan kelembapan tanah dan mitigasi kebakaran lahan.
Tanaman penutup tanah penghasil biomassa tinggi seperti mucuna atau
calopogonium sangat dianjurkan karena bisa meningkatkan sekuestrasi karbon dan
fiksasi N dari udara, sehingga menambah kesuburan tanaman pokok. Namun
demikian tanaman insitu seperti kalakai atau pakis (Stenochiaena palustris) juga
bisa dimanfaatkan dengan biaya murah.
26
Gambar 3. Tanaman penutup tanah kelakai (Stenochiaena palustris) untuk
mempertahankan kelembapan tanah gambut
27
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan, maka kesimpulan yang didapat adalah
sebagai berikut:
1. Sifat fisika dan kimia pada tanah gambut adalah beberapanya seperti
ketebalan gambut, kedalaman muka air tanah, warna tanah, kematangan
gambut (kadar serat %), bobot isi, dan kadar air.
2. Untuk melakukan pengelolaan lahan gambut banyak sekali hal yang dapat
dilakukan seperti menjadikan gambut sebagai lahan pertanian, sebagai
tanaman hutan, pengendalian muka air tanah kemudian dengan pengelolaan
gambut juga dapat mengurangi emisi gas rumah kaca, melakukan persiapan
lahan tanpa bakar, dan menggunakan tanaman penutup tanah agar
kelembaban tanah tetap terjaga.
3.2 Saran
Saran yang dapat disampaikan dalam penulisan makalah ini adalah:
1. Lahan gambut harus selalu dijaga dengan memperhatikan sifat fisika dan
kimia yang tepat agar ekosistem gambut dapat selalu terjaga kelestariannya.
2. Lahan gambut adalah ekosistem marginal dan fragile, sehingga dalam
pemanfaatannya harus didasarkan atas penelitian dan perencanaan yang
matang, baik dari segi teknis, sosial ekonomis maupun analisis dampak
lingkungannya.
28
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F. dan Subiksa I.G.M. 2008. Lahan Gambut: Potensi Untuk Pertanian dan
Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah. Bogor. 36 hal.
Agus, F., K. Hiriah, dan A. Mulyani. 2011. Pengukuran Cadangan Karbon. Balai
Penelitian Tanah. Bogor. 57 hal.
Andriesse, J.P. 1988. Nature and Management of Tropical Peat Soil. Soil
Researches Management and Conservation Service. FAO Land and Water
Development Division. Rome.
Bell, F.G. 1992. Engineering Properties of Soils and Rocks. 3rd Ed. Butterworth,
Heinemann.
Bellamy DJ. 1995. The peatlands of Indonesia: They key role in global
conservatio-can they be used sustainably. Dalam: Biodiversity and
Biodiversity, Environmental Imprortance of Trop. Peat and Peatlenads.
Darmawijaya, M.I. 1997. Klasifikasi Tanah, Dasar Teori Bagi Peneliti Tanah dan
Pelaksanaan Pertanian Indonesia. Universitas Gadjah Mada Press,
Yogyakarta. 19 hal.
Driessen PM, Soepraptohardjo, 1974. Soils for agricultural expansion in
Indonesia. Soil Research Bull. No 1. Soil Research Institute, Bogor.
Hardjowigeno, S. 1986. Sumber Daya Fisik Wilayah dan Tata Guna Lahan
Histosol. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Hardjowigeno, S. 1996. Pengembangan Lahan Gambut untuk Pertanian: Suatu
Peluang dan Tantangan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap, Faperta IPB.
Hooijer, A., Silvius, M., Wösten, H. and Page, S. 2006. PEAT-CO2
, Assessment of
CO2
emissions from drained peatlands in SE Asia. Delft Hydraulics report
Q3943 (2006).
Indonesia Climate Change Trust Fund (2017). Program Tata Kelola Hutan dan
Lahan Gambut Untuk Mengurangi Emisi di Indonesia Melalui Kegiatan
Lokal. Jakarta: Kementerian PPN
Joosten, H. 2007. Peatland and carbon. pp. 99-117 In Parish, F., Siri, A., Chapman,
D., Joosten H., Minayeva, T., and Silvius M. (Eds.) Assessment on Peatland,
Biodiversity and Climate Change.Global Environmental Centre, Kuala
Lumpur and Wetand International, Wageningen.
29
Las, I., K. Nugroho, dan A. Hidayat.2008. Strategi Pemanfaatan Lahan Gambut
untuk Pengembangan Pertanian Berkelanjutan. Jurnal Pengembangan
Inovasi Pertanian, 2(4): 295-298.
Limin, S. H. 1998. Residual Effect of Lime, Phospahate and Manure on Crops
Commodities in Inland Peat. The University of Palangka Raya.
Limin, S. H. 2006. Pemanfaatan Lahan Gambut Dan Permasalahannya.
Disampaikan pada “Workshop Gambut Dengan Tema : Pemanfaatan Lahan
Gambut Untuk Pertanian, Tepatkah?. Kerjasama antara Badan Pengkajian
dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Kementerian Koordinator
Kesejahteraan Rakyat di Jakarta, 22 November 2006
Limin, S. H., Tampung N. Saman., Patricia E. Putir., Untung Darung, dan
Layuniyati. 2000. Konsep Pemanfaatan Hutan Rawa Gambut di Kalimantan
Tengah. Disampaikan pada “Seminar Nasional Pengelolaan Hutan Rawa
Gambut dan ekspose hasil Penelitian di Lahan Basah”, diselenggarakan oleh
Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru, Istana Barito Banjarmasin,
Kalimantan Selatan, 9 Maret 2000.
Mardiana, S. 2006. Perubahan Sifat-Sifat Tanah pada Kegiatan Konversi Hutan
Alam Rawa Gambut Menjadi Perkebunan Kelapa Sawit. Skripsi. Fakultas
Kehutanan IPB. Bogor. 41 hal.
Noor, M. 2001. Pertanian Lahan Gambut (Potensi dan Kendala). Kanisus.
Yogyakarta.
Noor, M., 2010. Hubungan nilai emisi gas rumah kaca dengan teknologi
pengelolaan lahan gambut. Makalah Seminar Workshop Pelaksanaan
Perhitungan dan Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca pada Lahan Gambut, 4
Mei 2010 di Kementerian Lingkungan Hidup R.I., Jakarta.
Pandjaitan, Nora H. dan Hardjoamidjojo, Soedodo. 1999. Kajian Sifat Fisik Lahan
Gambut Dalam Hubungan Dengan Drainase Untuk Lahan Pertanian.
Buletin Keteknikan Pertanian, Volume 13. No 3 Tahun 1999
Puslittanak, 1993. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan. Pusat Penelitian tanah dan
Agroklimat Kerjasama dengan Proyek Pembangunan Penelitian Pertanian
Nasional badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen
Pertanian
Rachim, A. 1995. Penggunaan Kation-kation Polivalen dalam Kaitannya dengan
Ketersediaan Fosfat untuk Meningkatkan Produksi Jagung pada Tanah
Gambut. Disertasi Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Rajaguguk B. 1992. Utilization and management of peatland in Indonesia for
agriculturre and forestry. Dalam: Proc. Int. Symp. On Trop. Peatland,
Kuching Malaysia.
30
Ratmini, Sri. 2012. Characteristics and Management of Peatland for Agricultural
Development. Jurnal Lahan Suboptimal. ISSN: 2252-6188 Vol. 1, No.2: 197-
206
Rieley, J.O dan S.E. Page. 2005. Wise Use of Tropical Peatlands: Focus on
Southeast Asia. Nottingham, UK. 168 p.
Sabiham S, Prasetyo TB, Dohong S, 1995. Phenolic acids in Indonesian peat in
Rieley and Page (Eds) Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatland.
Proceedings of the International Symposium on Biodiversity, Environmental
Importance and Sustainability of Tropical Peats and Peatlands. Palangka
Raya, 4 - 8 September 1995. p 289-292
Sabiham S. 1993. Pemanfaatan lumpur daerah rawa pasang surut sebagai salah
satu alternatif di dalam menurunkan gas metana dan asam fenol pada gambut
tebal. p. 267-277 dalam Tri Utomo et al (Eds) Prosiding Seminar Nasional
Gambut II. Jakarta, 14-15 Januari 1993. p 267-277
Sabiham S. 1999. Peningkatan produktivitas tanah gambut melalui pengendalian
reaktivitas asam-asam organik meracun : persyaratan dasar pengembangan
lahan gambut. Laporan Penelitian Hibah Bersaing V/3 Perguruan Tinggi
T.A. 1998/1999. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Saragih EP. 1996. Pengendalian asamasam fenolat meracun dengan penamabahan
Fe-II pada tanah gambut dari Jambi, Sumatera. [Tesis], Bogor. Institut
Pertanian Bogor.
Saribun. 2007. Pengaruh Jenis Penggunaan Lahan dan Kelas Kemiringan Lereng
Terhadap Bobot Isi, Porositas Total, dan Kadar Air Tanah pada Sub-DAS
Cikapundung Hulu. Skripsi. Jurusan Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian.
Universitas Padjajaran. 61 hal.
Soil Survey Staff. 1994. Keys to Soil Taxonomy. Pocahontas, Inc. Blacksburg.
Virginia.
Subagyo, H., D.S. Marsoedi dan A.S. Karama. 1996. Prospek Pengembangan
Lahan Gambut untuk Pertanian. Seminar Pengembangan Teknologi
Berwawasan Lingkungan untuk Pertanian Lahan Gambut. Bogor, 26
September 1996.
Subagyono, K., T. Vadari., dan I.P.G. Widjaja Adhi. 1997. Strategi Pengelolaan
Air dan Tanah pada Lahan Rawa pasang Surut : Prospek dan Kendala.
Makalah disampaikan pada Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil
Penelitian Tanah dan Agroklimat Tanggal 4 s/d 6 Maret.
Subiksa, IGM., Ai Dariah dan F. Agus. 2009. Sistem Pengelolaan Lahan Eksisting
di Kalimantan Barat serta Implikasinya terhadap Siak Kimia Tanah Gambut
dan Emisi GRK. Laporan Penelitian Kerjasama Balai Penelitian tanah dengan
Kementrian Ristek.
31
Subiksa, IGM., Didi Ardi dan IPG. Widjaja Adhi, 1991. Pembandingan pengaruh
P-alam dan TSP pada tanah sulfat masam (Typic Sulfaquent) Karang Agung
Ulu Sumatera Selatan. DalamProsiding Pertemuan Pembahasan Hasil
Penelitian Tanah, Cipayung 3-5 Juni 1991.
Subiksa, IGM., Sulaeman, dan IPG. Widjaja-Adhi. 1998. Pembandingan pengaruh
bahan amelioran untuk meningkatkan produktivitas lahan gambut. Dalam
Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah
dan Agroklimat.Bogor, 10-12 Februari 1998.
Suswati, D., B. Hendro, D. Shiddieq, dan D. Indradewa.2011. Identifikasi Sifat
Fisik Lahan Gambut Rasau Jaya III Kabupaten Kubu Raya Untuk
Pengembangan Jagung. Jurnal Perkebunan dan Lahan Tropika, 1: 3140.
Suwondo, S., Sabiham., Sumardjo., dan B. Paramudya. 2011. Efek Pembukaan
Lahan terhadap karakteristik Biofisik Gambut pada Perkebunan Kelapa
Sawit di Kabupaten Bengkalis. Jurnal Natur Indonesia, 14 (2): 143-149.
Utama, M.Z.H. dan W. Haryoko. 2009. Pengujian Empat Varietas Padi Unggul
pada Sawah Gambut Bukaan Baru di Kabupaten Padang Pariaman. Jurnal
Akta Agrosia, 12 (1): 56 – 61.
Wahyunto, Sofyan R., Suparto, dan H. Subagyo. 2004. Sebaran dan kandungan
karbon lahan gambut di Sumatera dan Kalimantan. Wetland International
Indonesia Programme.
Widjaja Adi IPG. 1995. Developing tropical peatlands for agriculture. in Rieley
and Page (Eds) Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatland.
Proceedings of the International Symposium on Biodiversity, Environmental
Importance and Sustainability of Tropical Peats and Peatlands. Palangka
Raya, 4 - 8 September 1995. p 293-300.

More Related Content

What's hot

Contoh proposal pkm penelitian
Contoh proposal pkm penelitianContoh proposal pkm penelitian
Contoh proposal pkm penelitianZakiyul Mu'min
 
perubahan fisik dan kimia pada pematangan buah
perubahan fisik dan kimia pada pematangan buahperubahan fisik dan kimia pada pematangan buah
perubahan fisik dan kimia pada pematangan buah
agronomy
 
Laporan Mikrobiologi - Teknik Pembuatan Medium
Laporan Mikrobiologi -  Teknik Pembuatan MediumLaporan Mikrobiologi -  Teknik Pembuatan Medium
Laporan Mikrobiologi - Teknik Pembuatan Medium
Rukmana Suharta
 
Sistem Pengolahan Air Limbah secara Biologis
Sistem Pengolahan Air Limbah secara BiologisSistem Pengolahan Air Limbah secara Biologis
Sistem Pengolahan Air Limbah secara Biologis
Joy Irman
 
Pengukuran diameter pohon
Pengukuran diameter pohonPengukuran diameter pohon
Pengukuran diameter pohon
ida lestari
 
EKONOMI SUMBER DAYA HUTAN
EKONOMI SUMBER DAYA HUTANEKONOMI SUMBER DAYA HUTAN
EKONOMI SUMBER DAYA HUTAN
EDIS BLOG
 
Laporan praktikum media
Laporan praktikum mediaLaporan praktikum media
Laporan praktikum media
Tidar University
 
04. Rancangan Acak Lengkap
04. Rancangan Acak Lengkap04. Rancangan Acak Lengkap
04. Rancangan Acak LengkapIr. Zakaria, M.M
 
Acara i
Acara iAcara i
Materi konservasi alam dan lingkungan
Materi konservasi alam dan lingkunganMateri konservasi alam dan lingkungan
Materi konservasi alam dan lingkungan
Janiarto Paradise
 
laporan perencanaan kehutanan
laporan perencanaan kehutananlaporan perencanaan kehutanan
laporan perencanaan kehutanan
abdul gonde
 
Pengenalan pestisida nabati dan kimia
Pengenalan pestisida nabati dan kimiaPengenalan pestisida nabati dan kimia
Pengenalan pestisida nabati dan kimia
Tidar University
 
Laporan pengenalan alat
Laporan pengenalan alatLaporan pengenalan alat
Laporan pengenalan alat
Laode Syawal Fapet
 
CONTOH PROPOSAL PKM-KARSA CIPTA (DIDANAI DIKTI 2018)
CONTOH PROPOSAL PKM-KARSA CIPTA (DIDANAI DIKTI 2018)CONTOH PROPOSAL PKM-KARSA CIPTA (DIDANAI DIKTI 2018)
CONTOH PROPOSAL PKM-KARSA CIPTA (DIDANAI DIKTI 2018)
Meda Aji Saputro
 
Laporan Mikrobiologi - Teknik Sterilisasi
Laporan Mikrobiologi -  Teknik SterilisasiLaporan Mikrobiologi -  Teknik Sterilisasi
Laporan Mikrobiologi - Teknik Sterilisasi
Rukmana Suharta
 
Review Jurnal
Review JurnalReview Jurnal
Review Jurnal
ilmanafia13
 
MAKALAH Tugas kelompok 1 PASCASARJANA SABURAI ANGKATAN 15-ED
MAKALAH Tugas kelompok 1 PASCASARJANA SABURAI ANGKATAN 15-EDMAKALAH Tugas kelompok 1 PASCASARJANA SABURAI ANGKATAN 15-ED
MAKALAH Tugas kelompok 1 PASCASARJANA SABURAI ANGKATAN 15-ED
ACHMAD AVANDI,SE,MM Alfaqzamta
 
MAKALAH EKOLOGI DAN EKOLOGI LINGKUNGAN
MAKALAH EKOLOGI DAN EKOLOGI LINGKUNGANMAKALAH EKOLOGI DAN EKOLOGI LINGKUNGAN
MAKALAH EKOLOGI DAN EKOLOGI LINGKUNGAN
Adrian Hartanto Lokaria
 

What's hot (20)

Contoh proposal pkm penelitian
Contoh proposal pkm penelitianContoh proposal pkm penelitian
Contoh proposal pkm penelitian
 
perubahan fisik dan kimia pada pematangan buah
perubahan fisik dan kimia pada pematangan buahperubahan fisik dan kimia pada pematangan buah
perubahan fisik dan kimia pada pematangan buah
 
Laporan Mikrobiologi - Teknik Pembuatan Medium
Laporan Mikrobiologi -  Teknik Pembuatan MediumLaporan Mikrobiologi -  Teknik Pembuatan Medium
Laporan Mikrobiologi - Teknik Pembuatan Medium
 
faktor pembatas ekosistem
faktor pembatas ekosistemfaktor pembatas ekosistem
faktor pembatas ekosistem
 
Sistem Pengolahan Air Limbah secara Biologis
Sistem Pengolahan Air Limbah secara BiologisSistem Pengolahan Air Limbah secara Biologis
Sistem Pengolahan Air Limbah secara Biologis
 
Pengukuran diameter pohon
Pengukuran diameter pohonPengukuran diameter pohon
Pengukuran diameter pohon
 
EKONOMI SUMBER DAYA HUTAN
EKONOMI SUMBER DAYA HUTANEKONOMI SUMBER DAYA HUTAN
EKONOMI SUMBER DAYA HUTAN
 
Laporan praktikum media
Laporan praktikum mediaLaporan praktikum media
Laporan praktikum media
 
04. Rancangan Acak Lengkap
04. Rancangan Acak Lengkap04. Rancangan Acak Lengkap
04. Rancangan Acak Lengkap
 
Acara i
Acara iAcara i
Acara i
 
Materi konservasi alam dan lingkungan
Materi konservasi alam dan lingkunganMateri konservasi alam dan lingkungan
Materi konservasi alam dan lingkungan
 
laporan perencanaan kehutanan
laporan perencanaan kehutananlaporan perencanaan kehutanan
laporan perencanaan kehutanan
 
Pengenalan pestisida nabati dan kimia
Pengenalan pestisida nabati dan kimiaPengenalan pestisida nabati dan kimia
Pengenalan pestisida nabati dan kimia
 
Laporan pengenalan alat
Laporan pengenalan alatLaporan pengenalan alat
Laporan pengenalan alat
 
CONTOH PROPOSAL PKM-KARSA CIPTA (DIDANAI DIKTI 2018)
CONTOH PROPOSAL PKM-KARSA CIPTA (DIDANAI DIKTI 2018)CONTOH PROPOSAL PKM-KARSA CIPTA (DIDANAI DIKTI 2018)
CONTOH PROPOSAL PKM-KARSA CIPTA (DIDANAI DIKTI 2018)
 
Laporan Mikrobiologi - Teknik Sterilisasi
Laporan Mikrobiologi -  Teknik SterilisasiLaporan Mikrobiologi -  Teknik Sterilisasi
Laporan Mikrobiologi - Teknik Sterilisasi
 
Berat volume
Berat volumeBerat volume
Berat volume
 
Review Jurnal
Review JurnalReview Jurnal
Review Jurnal
 
MAKALAH Tugas kelompok 1 PASCASARJANA SABURAI ANGKATAN 15-ED
MAKALAH Tugas kelompok 1 PASCASARJANA SABURAI ANGKATAN 15-EDMAKALAH Tugas kelompok 1 PASCASARJANA SABURAI ANGKATAN 15-ED
MAKALAH Tugas kelompok 1 PASCASARJANA SABURAI ANGKATAN 15-ED
 
MAKALAH EKOLOGI DAN EKOLOGI LINGKUNGAN
MAKALAH EKOLOGI DAN EKOLOGI LINGKUNGANMAKALAH EKOLOGI DAN EKOLOGI LINGKUNGAN
MAKALAH EKOLOGI DAN EKOLOGI LINGKUNGAN
 

Similar to Pengelolaan Gambut Secara Berkelanjutan

Buku plh 8 gasal warna
Buku plh 8 gasal warnaBuku plh 8 gasal warna
Buku plh 8 gasal warna
Smpn Lima Muara Enim
 
Tugas presentasi wayan
Tugas presentasi wayanTugas presentasi wayan
Tugas presentasi wayanWayan Susanto
 
strategi pengelolaan
strategi pengelolaanstrategi pengelolaan
strategi pengelolaan
Muhammad Indra
 
Rpi 5 pengelolaan_hutan_rawa_gambut
Rpi 5 pengelolaan_hutan_rawa_gambutRpi 5 pengelolaan_hutan_rawa_gambut
Rpi 5 pengelolaan_hutan_rawa_gambutwalhiaceh
 
Makalah pertanian pupuk kompos skala rumah tangga
Makalah pertanian pupuk kompos skala rumah tanggaMakalah pertanian pupuk kompos skala rumah tangga
Makalah pertanian pupuk kompos skala rumah tangga
Hafshah Zuhairoh
 
Studi landskap hutan desa pattaneteang kabupaten bantaeng
Studi landskap hutan desa pattaneteang kabupaten bantaengStudi landskap hutan desa pattaneteang kabupaten bantaeng
Studi landskap hutan desa pattaneteang kabupaten bantaeng
Naufal Achmad
 
Proses Alami RTH & RTB - Ning Purnomohadi @ jongForum!
Proses Alami RTH & RTB - Ning Purnomohadi @ jongForum!Proses Alami RTH & RTB - Ning Purnomohadi @ jongForum!
Proses Alami RTH & RTB - Ning Purnomohadi @ jongForum!
jong arsitek
 
Artikel aplikasi komputer
Artikel aplikasi komputerArtikel aplikasi komputer
Artikel aplikasi komputer
Rody Gusnantoro
 
TUGAS AKHIR MAKALAH HIDROLOGI JUMINTEN SARI.docx
TUGAS AKHIR MAKALAH HIDROLOGI JUMINTEN SARI.docxTUGAS AKHIR MAKALAH HIDROLOGI JUMINTEN SARI.docx
TUGAS AKHIR MAKALAH HIDROLOGI JUMINTEN SARI.docx
JUMINTENSARI1
 
Pengendalian gulma karet nurul fadli 1620242016 1
Pengendalian gulma karet nurul fadli 1620242016 1Pengendalian gulma karet nurul fadli 1620242016 1
Pengendalian gulma karet nurul fadli 1620242016 1
NURUL FADLI
 
P.16 2017 pedoman teknis pemulihan fungsi ekosistem gambut
P.16 2017 pedoman teknis pemulihan fungsi ekosistem gambutP.16 2017 pedoman teknis pemulihan fungsi ekosistem gambut
P.16 2017 pedoman teknis pemulihan fungsi ekosistem gambut
Sani Saragih
 
penerapan integral tentu pada pengairan pembibitan perkebunana kelapa sawit
penerapan integral tentu pada pengairan pembibitan perkebunana kelapa sawitpenerapan integral tentu pada pengairan pembibitan perkebunana kelapa sawit
penerapan integral tentu pada pengairan pembibitan perkebunana kelapa sawit
ArifaHaryani
 
Makalah Desalinasi - Perkembangan Teknologi Desalinasi Air Laut (By. Maratus ...
Makalah Desalinasi - Perkembangan Teknologi Desalinasi Air Laut (By. Maratus ...Makalah Desalinasi - Perkembangan Teknologi Desalinasi Air Laut (By. Maratus ...
Makalah Desalinasi - Perkembangan Teknologi Desalinasi Air Laut (By. Maratus ...
Luhur Moekti Prayogo
 
Konservasi
KonservasiKonservasi
Konservasi
Hasdir Gates
 
Makalah pelestarian lingkungan yang telah rusak
Makalah pelestarian lingkungan yang telah rusakMakalah pelestarian lingkungan yang telah rusak
Makalah pelestarian lingkungan yang telah rusakOperator Warnet Vast Raha
 
Pengolahan air-limbah-domestik-dengan-metode-biology-irigation-memanfaatkan-e...
Pengolahan air-limbah-domestik-dengan-metode-biology-irigation-memanfaatkan-e...Pengolahan air-limbah-domestik-dengan-metode-biology-irigation-memanfaatkan-e...
Pengolahan air-limbah-domestik-dengan-metode-biology-irigation-memanfaatkan-e...
Andien Ingin Sukses
 

Similar to Pengelolaan Gambut Secara Berkelanjutan (20)

Makalah iis
Makalah iisMakalah iis
Makalah iis
 
Buku plh 8 gasal warna
Buku plh 8 gasal warnaBuku plh 8 gasal warna
Buku plh 8 gasal warna
 
Makalah vigita
Makalah vigitaMakalah vigita
Makalah vigita
 
Tugas presentasi wayan
Tugas presentasi wayanTugas presentasi wayan
Tugas presentasi wayan
 
strategi pengelolaan
strategi pengelolaanstrategi pengelolaan
strategi pengelolaan
 
Rpi 5 pengelolaan_hutan_rawa_gambut
Rpi 5 pengelolaan_hutan_rawa_gambutRpi 5 pengelolaan_hutan_rawa_gambut
Rpi 5 pengelolaan_hutan_rawa_gambut
 
Makalah pertanian pupuk kompos skala rumah tangga
Makalah pertanian pupuk kompos skala rumah tanggaMakalah pertanian pupuk kompos skala rumah tangga
Makalah pertanian pupuk kompos skala rumah tangga
 
Studi landskap hutan desa pattaneteang kabupaten bantaeng
Studi landskap hutan desa pattaneteang kabupaten bantaengStudi landskap hutan desa pattaneteang kabupaten bantaeng
Studi landskap hutan desa pattaneteang kabupaten bantaeng
 
Proses Alami RTH & RTB - Ning Purnomohadi @ jongForum!
Proses Alami RTH & RTB - Ning Purnomohadi @ jongForum!Proses Alami RTH & RTB - Ning Purnomohadi @ jongForum!
Proses Alami RTH & RTB - Ning Purnomohadi @ jongForum!
 
Artikel aplikasi komputer
Artikel aplikasi komputerArtikel aplikasi komputer
Artikel aplikasi komputer
 
TUGAS AKHIR MAKALAH HIDROLOGI JUMINTEN SARI.docx
TUGAS AKHIR MAKALAH HIDROLOGI JUMINTEN SARI.docxTUGAS AKHIR MAKALAH HIDROLOGI JUMINTEN SARI.docx
TUGAS AKHIR MAKALAH HIDROLOGI JUMINTEN SARI.docx
 
Pengendalian gulma karet nurul fadli 1620242016 1
Pengendalian gulma karet nurul fadli 1620242016 1Pengendalian gulma karet nurul fadli 1620242016 1
Pengendalian gulma karet nurul fadli 1620242016 1
 
P.16 2017 pedoman teknis pemulihan fungsi ekosistem gambut
P.16 2017 pedoman teknis pemulihan fungsi ekosistem gambutP.16 2017 pedoman teknis pemulihan fungsi ekosistem gambut
P.16 2017 pedoman teknis pemulihan fungsi ekosistem gambut
 
penerapan integral tentu pada pengairan pembibitan perkebunana kelapa sawit
penerapan integral tentu pada pengairan pembibitan perkebunana kelapa sawitpenerapan integral tentu pada pengairan pembibitan perkebunana kelapa sawit
penerapan integral tentu pada pengairan pembibitan perkebunana kelapa sawit
 
Makalah Desalinasi - Perkembangan Teknologi Desalinasi Air Laut (By. Maratus ...
Makalah Desalinasi - Perkembangan Teknologi Desalinasi Air Laut (By. Maratus ...Makalah Desalinasi - Perkembangan Teknologi Desalinasi Air Laut (By. Maratus ...
Makalah Desalinasi - Perkembangan Teknologi Desalinasi Air Laut (By. Maratus ...
 
Konservasi
KonservasiKonservasi
Konservasi
 
Makalah masalah lingkungan hidup
Makalah masalah lingkungan hidupMakalah masalah lingkungan hidup
Makalah masalah lingkungan hidup
 
Makalah pelestarian lingkungan yang telah rusak
Makalah pelestarian lingkungan yang telah rusakMakalah pelestarian lingkungan yang telah rusak
Makalah pelestarian lingkungan yang telah rusak
 
Pengolahan air-limbah-domestik-dengan-metode-biology-irigation-memanfaatkan-e...
Pengolahan air-limbah-domestik-dengan-metode-biology-irigation-memanfaatkan-e...Pengolahan air-limbah-domestik-dengan-metode-biology-irigation-memanfaatkan-e...
Pengolahan air-limbah-domestik-dengan-metode-biology-irigation-memanfaatkan-e...
 
Presentasi lingkungan hidup
Presentasi lingkungan hidupPresentasi lingkungan hidup
Presentasi lingkungan hidup
 

More from Ethelbert Phanias

Dampak Perubahan Iklim Global Pada Masalah Pembangunan Dan Lingkungan
Dampak Perubahan Iklim Global Pada Masalah Pembangunan Dan LingkunganDampak Perubahan Iklim Global Pada Masalah Pembangunan Dan Lingkungan
Dampak Perubahan Iklim Global Pada Masalah Pembangunan Dan Lingkungan
Ethelbert Phanias
 
Mengurangi Daya Dukung Sampah Penghasil Gas Metana Terhadap Pemanasan Global
Mengurangi Daya Dukung Sampah Penghasil Gas Metana Terhadap Pemanasan GlobalMengurangi Daya Dukung Sampah Penghasil Gas Metana Terhadap Pemanasan Global
Mengurangi Daya Dukung Sampah Penghasil Gas Metana Terhadap Pemanasan Global
Ethelbert Phanias
 
Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) Berbasis Ramah Lingkungan Pad...
Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) Berbasis Ramah Lingkungan Pad...Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) Berbasis Ramah Lingkungan Pad...
Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) Berbasis Ramah Lingkungan Pad...
Ethelbert Phanias
 
PENGGUNAAN SENSOR LIGHT DEPENDENT RESISTOR (LDR) PADA SISTEM PENGGERAK PANEL...
PENGGUNAAN SENSOR LIGHT DEPENDENT RESISTOR (LDR)  PADA SISTEM PENGGERAK PANEL...PENGGUNAAN SENSOR LIGHT DEPENDENT RESISTOR (LDR)  PADA SISTEM PENGGERAK PANEL...
PENGGUNAAN SENSOR LIGHT DEPENDENT RESISTOR (LDR) PADA SISTEM PENGGERAK PANEL...
Ethelbert Phanias
 
Pemanfaatan Teknologi Hybrid Berbasis Energi Surya dan Angin
Pemanfaatan Teknologi Hybrid Berbasis Energi Surya dan AnginPemanfaatan Teknologi Hybrid Berbasis Energi Surya dan Angin
Pemanfaatan Teknologi Hybrid Berbasis Energi Surya dan Angin
Ethelbert Phanias
 
ANGIN SEBAGAI SUMBER ENERGI ALTERNATIF
ANGIN SEBAGAI SUMBER ENERGI ALTERNATIFANGIN SEBAGAI SUMBER ENERGI ALTERNATIF
ANGIN SEBAGAI SUMBER ENERGI ALTERNATIFEthelbert Phanias
 
SEJARAH FISIKA WRIGHT BERSAUDARA
SEJARAH FISIKA WRIGHT BERSAUDARASEJARAH FISIKA WRIGHT BERSAUDARA
SEJARAH FISIKA WRIGHT BERSAUDARA
Ethelbert Phanias
 
Medan vektor
Medan vektorMedan vektor
Medan vektor
Ethelbert Phanias
 
Makalah OSN PERTAMINA 2011 ( Transmisi Cahaya Melalui Serat Optis)
Makalah OSN PERTAMINA 2011 ( Transmisi Cahaya Melalui Serat Optis)Makalah OSN PERTAMINA 2011 ( Transmisi Cahaya Melalui Serat Optis)
Makalah OSN PERTAMINA 2011 ( Transmisi Cahaya Melalui Serat Optis)
Ethelbert Phanias
 
MAKALAH OSN PERTAMINA 2012 (Pemanfaatan Energi Surya Melalui Teknologi Non-Ph...
MAKALAH OSN PERTAMINA 2012 (Pemanfaatan Energi Surya Melalui Teknologi Non-Ph...MAKALAH OSN PERTAMINA 2012 (Pemanfaatan Energi Surya Melalui Teknologi Non-Ph...
MAKALAH OSN PERTAMINA 2012 (Pemanfaatan Energi Surya Melalui Teknologi Non-Ph...
Ethelbert Phanias
 

More from Ethelbert Phanias (10)

Dampak Perubahan Iklim Global Pada Masalah Pembangunan Dan Lingkungan
Dampak Perubahan Iklim Global Pada Masalah Pembangunan Dan LingkunganDampak Perubahan Iklim Global Pada Masalah Pembangunan Dan Lingkungan
Dampak Perubahan Iklim Global Pada Masalah Pembangunan Dan Lingkungan
 
Mengurangi Daya Dukung Sampah Penghasil Gas Metana Terhadap Pemanasan Global
Mengurangi Daya Dukung Sampah Penghasil Gas Metana Terhadap Pemanasan GlobalMengurangi Daya Dukung Sampah Penghasil Gas Metana Terhadap Pemanasan Global
Mengurangi Daya Dukung Sampah Penghasil Gas Metana Terhadap Pemanasan Global
 
Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) Berbasis Ramah Lingkungan Pad...
Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) Berbasis Ramah Lingkungan Pad...Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) Berbasis Ramah Lingkungan Pad...
Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) Berbasis Ramah Lingkungan Pad...
 
PENGGUNAAN SENSOR LIGHT DEPENDENT RESISTOR (LDR) PADA SISTEM PENGGERAK PANEL...
PENGGUNAAN SENSOR LIGHT DEPENDENT RESISTOR (LDR)  PADA SISTEM PENGGERAK PANEL...PENGGUNAAN SENSOR LIGHT DEPENDENT RESISTOR (LDR)  PADA SISTEM PENGGERAK PANEL...
PENGGUNAAN SENSOR LIGHT DEPENDENT RESISTOR (LDR) PADA SISTEM PENGGERAK PANEL...
 
Pemanfaatan Teknologi Hybrid Berbasis Energi Surya dan Angin
Pemanfaatan Teknologi Hybrid Berbasis Energi Surya dan AnginPemanfaatan Teknologi Hybrid Berbasis Energi Surya dan Angin
Pemanfaatan Teknologi Hybrid Berbasis Energi Surya dan Angin
 
ANGIN SEBAGAI SUMBER ENERGI ALTERNATIF
ANGIN SEBAGAI SUMBER ENERGI ALTERNATIFANGIN SEBAGAI SUMBER ENERGI ALTERNATIF
ANGIN SEBAGAI SUMBER ENERGI ALTERNATIF
 
SEJARAH FISIKA WRIGHT BERSAUDARA
SEJARAH FISIKA WRIGHT BERSAUDARASEJARAH FISIKA WRIGHT BERSAUDARA
SEJARAH FISIKA WRIGHT BERSAUDARA
 
Medan vektor
Medan vektorMedan vektor
Medan vektor
 
Makalah OSN PERTAMINA 2011 ( Transmisi Cahaya Melalui Serat Optis)
Makalah OSN PERTAMINA 2011 ( Transmisi Cahaya Melalui Serat Optis)Makalah OSN PERTAMINA 2011 ( Transmisi Cahaya Melalui Serat Optis)
Makalah OSN PERTAMINA 2011 ( Transmisi Cahaya Melalui Serat Optis)
 
MAKALAH OSN PERTAMINA 2012 (Pemanfaatan Energi Surya Melalui Teknologi Non-Ph...
MAKALAH OSN PERTAMINA 2012 (Pemanfaatan Energi Surya Melalui Teknologi Non-Ph...MAKALAH OSN PERTAMINA 2012 (Pemanfaatan Energi Surya Melalui Teknologi Non-Ph...
MAKALAH OSN PERTAMINA 2012 (Pemanfaatan Energi Surya Melalui Teknologi Non-Ph...
 

Recently uploaded

Studi Kasus : Oksidasi Pirit dan Pengaruhnya Terhadap Ekosistem
Studi Kasus : Oksidasi Pirit dan Pengaruhnya Terhadap EkosistemStudi Kasus : Oksidasi Pirit dan Pengaruhnya Terhadap Ekosistem
Studi Kasus : Oksidasi Pirit dan Pengaruhnya Terhadap Ekosistem
d1051231041
 
001-PPE Suma-Tata Laksana Perizinan Lingkungan.pptx
001-PPE Suma-Tata Laksana Perizinan Lingkungan.pptx001-PPE Suma-Tata Laksana Perizinan Lingkungan.pptx
001-PPE Suma-Tata Laksana Perizinan Lingkungan.pptx
LukmanulHakim572233
 
Plastik dan Sampah Pantauan Mei 2024.pdf
Plastik dan Sampah Pantauan Mei 2024.pdfPlastik dan Sampah Pantauan Mei 2024.pdf
Plastik dan Sampah Pantauan Mei 2024.pdf
Biotani & Bahari Indonesia
 
induksi K3LH karyawan baru pt kpp site IC.pptx
induksi K3LH karyawan baru pt kpp site IC.pptxinduksi K3LH karyawan baru pt kpp site IC.pptx
induksi K3LH karyawan baru pt kpp site IC.pptx
AzisRois1
 
PAPER KIMIA LINGKUNGAN MENINGKATNYA GAS RUMAH KACA IMPLIKASI DAN SOLUSI BAGI ...
PAPER KIMIA LINGKUNGAN MENINGKATNYA GAS RUMAH KACA IMPLIKASI DAN SOLUSI BAGI ...PAPER KIMIA LINGKUNGAN MENINGKATNYA GAS RUMAH KACA IMPLIKASI DAN SOLUSI BAGI ...
PAPER KIMIA LINGKUNGAN MENINGKATNYA GAS RUMAH KACA IMPLIKASI DAN SOLUSI BAGI ...
muhammadnoorhasby04
 
Analisis Konten Pendekatan Fear Appeal dalam Kampanye #TogetherPossible WWF.pdf
Analisis Konten Pendekatan Fear Appeal dalam Kampanye #TogetherPossible WWF.pdfAnalisis Konten Pendekatan Fear Appeal dalam Kampanye #TogetherPossible WWF.pdf
Analisis Konten Pendekatan Fear Appeal dalam Kampanye #TogetherPossible WWF.pdf
BrigittaBelva
 
KERUSAKAN LAHAN GAMBUT ANALISIS EMISI KARBON DARI DEGRADASI LAHAN GAMBUT DI A...
KERUSAKAN LAHAN GAMBUT ANALISIS EMISI KARBON DARI DEGRADASI LAHAN GAMBUT DI A...KERUSAKAN LAHAN GAMBUT ANALISIS EMISI KARBON DARI DEGRADASI LAHAN GAMBUT DI A...
KERUSAKAN LAHAN GAMBUT ANALISIS EMISI KARBON DARI DEGRADASI LAHAN GAMBUT DI A...
d1051231072
 
Sejarah Gunung Merapi dan Catatan Erupsi
Sejarah Gunung Merapi dan Catatan ErupsiSejarah Gunung Merapi dan Catatan Erupsi
Sejarah Gunung Merapi dan Catatan Erupsi
ssuserb357a32
 
Modul Projek - Tanpa Rokok itu Keren - Fase D.pdf
Modul Projek  - Tanpa Rokok itu Keren - Fase D.pdfModul Projek  - Tanpa Rokok itu Keren - Fase D.pdf
Modul Projek - Tanpa Rokok itu Keren - Fase D.pdf
MUhammadIlham484521
 
Contoh surat Pengunduran diri karang taruna daerah.docx
Contoh surat Pengunduran diri karang taruna daerah.docxContoh surat Pengunduran diri karang taruna daerah.docx
Contoh surat Pengunduran diri karang taruna daerah.docx
miftahzannah
 
BAB III. Undang-Undang PP Lingkungan Hidup.ppt
BAB III.  Undang-Undang PP Lingkungan Hidup.pptBAB III.  Undang-Undang PP Lingkungan Hidup.ppt
BAB III. Undang-Undang PP Lingkungan Hidup.ppt
YUZANAPRATIWI
 

Recently uploaded (11)

Studi Kasus : Oksidasi Pirit dan Pengaruhnya Terhadap Ekosistem
Studi Kasus : Oksidasi Pirit dan Pengaruhnya Terhadap EkosistemStudi Kasus : Oksidasi Pirit dan Pengaruhnya Terhadap Ekosistem
Studi Kasus : Oksidasi Pirit dan Pengaruhnya Terhadap Ekosistem
 
001-PPE Suma-Tata Laksana Perizinan Lingkungan.pptx
001-PPE Suma-Tata Laksana Perizinan Lingkungan.pptx001-PPE Suma-Tata Laksana Perizinan Lingkungan.pptx
001-PPE Suma-Tata Laksana Perizinan Lingkungan.pptx
 
Plastik dan Sampah Pantauan Mei 2024.pdf
Plastik dan Sampah Pantauan Mei 2024.pdfPlastik dan Sampah Pantauan Mei 2024.pdf
Plastik dan Sampah Pantauan Mei 2024.pdf
 
induksi K3LH karyawan baru pt kpp site IC.pptx
induksi K3LH karyawan baru pt kpp site IC.pptxinduksi K3LH karyawan baru pt kpp site IC.pptx
induksi K3LH karyawan baru pt kpp site IC.pptx
 
PAPER KIMIA LINGKUNGAN MENINGKATNYA GAS RUMAH KACA IMPLIKASI DAN SOLUSI BAGI ...
PAPER KIMIA LINGKUNGAN MENINGKATNYA GAS RUMAH KACA IMPLIKASI DAN SOLUSI BAGI ...PAPER KIMIA LINGKUNGAN MENINGKATNYA GAS RUMAH KACA IMPLIKASI DAN SOLUSI BAGI ...
PAPER KIMIA LINGKUNGAN MENINGKATNYA GAS RUMAH KACA IMPLIKASI DAN SOLUSI BAGI ...
 
Analisis Konten Pendekatan Fear Appeal dalam Kampanye #TogetherPossible WWF.pdf
Analisis Konten Pendekatan Fear Appeal dalam Kampanye #TogetherPossible WWF.pdfAnalisis Konten Pendekatan Fear Appeal dalam Kampanye #TogetherPossible WWF.pdf
Analisis Konten Pendekatan Fear Appeal dalam Kampanye #TogetherPossible WWF.pdf
 
KERUSAKAN LAHAN GAMBUT ANALISIS EMISI KARBON DARI DEGRADASI LAHAN GAMBUT DI A...
KERUSAKAN LAHAN GAMBUT ANALISIS EMISI KARBON DARI DEGRADASI LAHAN GAMBUT DI A...KERUSAKAN LAHAN GAMBUT ANALISIS EMISI KARBON DARI DEGRADASI LAHAN GAMBUT DI A...
KERUSAKAN LAHAN GAMBUT ANALISIS EMISI KARBON DARI DEGRADASI LAHAN GAMBUT DI A...
 
Sejarah Gunung Merapi dan Catatan Erupsi
Sejarah Gunung Merapi dan Catatan ErupsiSejarah Gunung Merapi dan Catatan Erupsi
Sejarah Gunung Merapi dan Catatan Erupsi
 
Modul Projek - Tanpa Rokok itu Keren - Fase D.pdf
Modul Projek  - Tanpa Rokok itu Keren - Fase D.pdfModul Projek  - Tanpa Rokok itu Keren - Fase D.pdf
Modul Projek - Tanpa Rokok itu Keren - Fase D.pdf
 
Contoh surat Pengunduran diri karang taruna daerah.docx
Contoh surat Pengunduran diri karang taruna daerah.docxContoh surat Pengunduran diri karang taruna daerah.docx
Contoh surat Pengunduran diri karang taruna daerah.docx
 
BAB III. Undang-Undang PP Lingkungan Hidup.ppt
BAB III.  Undang-Undang PP Lingkungan Hidup.pptBAB III.  Undang-Undang PP Lingkungan Hidup.ppt
BAB III. Undang-Undang PP Lingkungan Hidup.ppt
 

Pengelolaan Gambut Secara Berkelanjutan

  • 1. MAKALAH MATA KULIAH PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT DAN PASANG SURUT (1) “Pengelolaan Lahan Gambut Secara Berkelanjutan” DOSEN PENGAMPU: Prof. Dr. Ir. SALAMPAK DOHONG, MS OLEH: ETHELBERT DAVITSON PHANIAS CFA 217 040 PROGRAM STUDI PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS PALANGKARAYA 2017
  • 2. ii KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan Puji Syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua, sehingga saya mendapat kemampuan untuk menyelesaikan makalah ini dengan judul “Lahan Gambut Secara Berkelanjutan” disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengelolaan Lahan Gambut dan Pasang Surut (1). Ucapan terima kasih yang dalam tak terhingga saya sampaikan kepada seluruh komponen yang memberikan bantuan kepada saya sehingga makalah ini tersusun dengan baik. Ucapan terima kasih kami terutama disampaikan kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Ir. SALAMPAK DOHONG, MS sebagai dosen pengampu mata kuliah Pengelolaan Lahan Gambut dan Pasang Surut yang telah memberikan tugas beserta pengasuhan dalam pembuatan makalah ini. 2. Teman-teman PSAL angkatan 2017 yang telah memberikan dukungan baik itu berupa moril maupun materil. Banyak komponen yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah membantu saya dalam mendapatkan ide dalam penyusunan makalah ini, mudah- mudahan Tuhan Yang Maha Esa membalasnya dengan yang lebih baik. Dalam penulisan makalah ini, saya sebagai penyusun tidak menutup kemungkinan adanya membuat kesalahan dan kekeliruan. Oleh sebab itu saya berharap untuk diberi kritikan dan saran yang membangun agar makalah ini dapat lebih bagus lagi kedepannya. Atas perhatian dan partisipasinya saya selaku penyusun makalah ini mengucapkan banyak-banyak terima kasih. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan berguna sehingga dapat menambah pengetahuan bagi kita semua. Palangka Raya, Januari 2018 Penulis,
  • 3. iii DAFTAR ISI Halaman Halaman Judul..................................................................................................... i Kata Pengantar ................................................................................................... ii Daftar Isi ............................................................................................................. iii Daftar Gambar..................................................................................................... iv Daftar Tabel ........................................................................................................ v BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah.......................................................................... 4 1.3 Tujuan Penulisan............................................................................ 4 1.4 Manfaat Penulisan.......................................................................... 4 BAB 2 PEMBAHASAN 2.1 Tanah Gambut............................................................................... 5 2.2 Sifat Fisika Tanah Gambut ........................................................... 8 2.2.1 Ketebalan Gambut ............................................................. 8 2.2.2 Kedalaman Muka Air Tanah ............................................. 9 2.2.3 Warna Tanah...................................................................... 9 2.2.4 Kematangan Gambut (Kadar Serat %) .............................. 10 2.2.5 Bobot Isi (BD) ................................................................... 10 2.2.6 Kadar Air ........................................................................... 11 2.3 Sifat Kimia Tanah Gambut........................................................... 11 2.4 Pengelolaan Lahan Gambut .......................................................... 14 2.4.1 Gambut Untuk Pertanian ................................................... 14 2.4.2 Gambut Untuk Tanaman Hutan......................................... 19 2.4.3 Pengurangan Emisi GRK................................................... 20 2.4.4 Pengendalian Muka Air Tanah .......................................... 21 2.4.5 Persiapan Lahan Tanpa Bakar ........................................... 23 2.4.6 Tanaman Penutup Tanah ................................................... 25 BAB 3 PENUTUP 3.1 Kesimpulan................................................................................... 27 3.2 Saran ............................................................................................. 27 Daftar Pustaka .................................................................................................... 28
  • 4. iv DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Sketsa Desain Pembuatan Sekat Kanal ............................................ 17 Gambar 2. Aktivita Pembuatan Sekat Kanal Di desa Tanjung Taruna............. 17 Gambar 3. Tanaman penutup tanah kelakai (Stenochiaena palustris) untuk mempertahankan kelembapan tanah gambut ................................... 26
  • 5. v DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Perbedaan sifat kimia dari gambut eutropik, mesotropik, dan oligotropik...................................................................................... 12
  • 6. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta ha atau 10.8% dari luas daratan Indonesia. Lahan rawa gambut sebagian besar terdapat di empat pulau besar yaitu di Sumatera 35%, Kalimantan 32% Papua 30% dan sebagian kecil ada di Sulawesi, Halmaera dan Seram 3%( Radjagukguk, 1992; 1995 ). Hutan gambut adalah jenis hutan yang tumbuh pada suatu lapisan tebal dari bahan organik dengan tebal ± 50 cm. Lapisan bahan organik ini terdiri atas tumbukan tumbuhan yang telah mati seperti dedaunan, akar-akar, ranting, bahkan batang pohon lengkap, yang terakumulasi selama ribuan tahun. Lapisan gambut terbentuk karena tumbuhan yang mati dalam keadaan normal dengan cepat mengalami penguraian oleh bakteri dan organisme lainnya. Namun karena sifat tanah gambut yang anaerob dan memiliki keasaman tinggi, serta kurangnya unsur hara, maka proses dekomposisi berlangsung lambat (Utomo, 2008). Menurut Agus et al. (2011), hutan gambut yang masih alami berperan sebagai penyerap gas CO2 dan menyimpan cadangan air. Tanah gambut memiliki cadangan karbon dalam tanah sebesar 300-700 t/ha. Gambut merupakan tanah hasil akumulasi timbunan bahan organik dengan komposisi lebih dari 65% yang terbentuk secara alami dalam jangka waktu ratusan tahun dari lapukan vegetasi yang tumbuh di atasnya yang terhambat proses dekomposisinya karena suasana anaerob dan basah. Setiap lahan gambut
  • 7. 2 mempunyai karakteristik yang berbeda tergantung dari sifat-sifat dari badan alami yang terdiri dari sifat fisika, kimia, dan biologi serta macam sedimen di bawahnya, yang akan menentukan daya dukung wilayah gambut, menyangkut kapasitasnya sebagai media tumbuh, habitat biota, keanekaragaman hayati, dan hidrotopografi (Menteri Pertanian, Peraturan Nomor: 14/Permentan/PL.110/2/ 2009). Lahan gambut memiliki beberapa fungsi strategis, seperti fungsi hidrologis, sebagai penambat (sequester) karbon dan biodiversitas yang penting untuk kenyamanan lingkungan dan kehidupan satwa (Bellamy, 1995).Lahan gambut tergolong lahan marginal dan ”fragile” dengan produktivitas biasanya rendah dan sangat mudah mengalami kerusakan. Pengembangan pertanian pada lahan rawa gambut untuk menunjang pembangunan berkelanjutan memerlukan perencanaan yang cermat dan teliti, penerapan teknologi yang sesuai, dan pengelolaan yang tepat. Konservasi dan optimalisasi pemanfaatan lahan rawa gambut sesuai dengan karakteristiknya memerlukan informasi mengenai tipe, karakteristik, dan penyebarannya (Widjaja Adhi, 1992). Kerusakan ekosistem gambut berdampak besar terhadap lingkungan setempat (in situ) maupun lingkungan sekelilingnya (ex situ). Kejadian banjir di hilir DAS merupakan salah satu dampak dari rusaknya ekosistem gambut. Deforestasi hutan dan penggunaan lahan gambut untuk sistem pertanian yang memerlukan drainase dalam (> 30 cm) serta pembakaran atau kebakaran menyebabkan emisi CO2 menjadi sangat tinggi (Ratmini, 2012). Lahan gambut sebenarnya cukup potenslal untuk di jadikan lahan pertanian; dengan syarat adanya perbaikan yang cukup intensif untuk mengubah kondisi
  • 8. 3 alamiahnya menjadi bentuk lahan pertanian yang menguntungkan. Penguasaan serta pengelolaan air merupakan kunci keberhasilan program pengembangan daerah rawa, khususnya rawa gambut. Dalam proyek-proyek pengembangan lahan gambut perencanaan, pengelolaan dan pengembangan sumberdaya air selama ini belum banyak mendapat perhatian. Hal yang mendasar dalam pengelolaan lahan rawa gambut adalah sistem drainase. Drainase diperlukan dengan tetap menjaga muka air tanah pada batas yang optimum, untuk mendukung pertumbuhan tanaman (Andriesse, 1988), serta harus dilakukan secara sangat berhati-hati. Saluran drainase (pembuang) harus terpisah dari saluran pemberi dan merupakan suatu pasangan yang harus selalu berdampingan. Drainase yang berlebihan dapat menyebabkan gambut menjadi kering dan tldak mampu menyerap air kembali, karena adanya sifat kering tidak balik (irreversible drying) pada bahan gambut. Andriesse (1988) menyatakan bahwa proses kering tidak balik dapat di hubungkan dengan kerapatan lindak tanah (bulk density). Kering tidak balik dapat terjadi pada gambut dengan kerapatan lindak yang rendah, sedangkan gambut dengan kerapatan lindak yang tinggi relative mudah menyerap air kembali. Pengelolaan lahan gambut mendapat perhatian besar, terutama untuk budidaya tanaman perkebunan. Selain itu lahan gambut juga berpotensi besar untuk budidaya tanaman pangan (Utama&Haryoko, 2009). Sedangkan menurut Sagiman (2007) pengembangan lahan gambut untuk pertanian tidak hanya ditentukan oleh sifat-sifat fisika maupun kimia gambut, namun dipengaruhi pula oleh manajemen yang akan diterapkan.
  • 9. 4 1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam makalah ini, berdasarkan latar belakang di atas adalah sebagai berikut: 1. Apa saja sifat fisika dan kimia pada tanah gambut? 2. Apa saja cara pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan? 1.3 Tujuan Penulisan Tujuan penulisan makalah ini berdasarkan rumusan masalah di atas adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui sifat fisika dan kimia pada tanah gambut. 2. Untuk mengetahui cara pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan. 1.4 Manfaat Penulisan Manfaat penulisan ini adalah memberikan informasi kepada pembaca mengenai sifat fisika dan kimia tanah gambut, serta tentang bagaimana cara pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan sehingga ekosistem gambut dapat terjaga kelestariannya.
  • 10. 5 BAB 2 PEMBAHASAN 2.1 Tanah Gambut Tanah gambut adalah tanah yang secara dominan tersusun dari sisa-sisa jaringan tumbuhan (Subagyo et al., 1996). Tanah gambut terbentuk karena laju penumpukan bahan organik jauh lebih besar dar~pada proses dekomposisinya, sehingga bahan organik berakumulasi makin tebal sampai suatu saat mengalami keseimbangan dengan lingkungan sekitarnya (Bell, 1992). Secara umum, gambut terbentuk di dataran rawa, berupa aluvium yang diendapkan pada suatu kawasan yang lingkungannya bersifat salin. atau payau, yang biasanya berada dl laut dangkal. Bahan induk ini kaya akan sulfur karena bercampur pada 'keadaan salin atau payau, baik yang berasal dari bahan mineralnya maupun dari bahan organiknya. Adanya proses kimia, fisika, serta biologis menyebabkan tanah-tanah yang terbentuk mengandung pirit. Kandungan pirit ini berbahaya, bagi tanaman apabila teroksidasi, tetapi tidak berbahaya dalam keadaan reduksi, yaitu berada di bawah muka air (Pandjaitan dan Hardjoamidjojo, 1999). Tanah gambut dapat terbentuk di daerah rawa pasang surut maupun di daerah pedalaman yang tidak dipengaruhi oleh air pasang surut. Di daerah rawa yang selalu tergenang air proses penimbunan bahan organik lebih cepat daripadaproses dekomposisinya, karena itu terjadi akumulasi bahan organik., Rawa-rawa di Indonesia terbentuk sekitar 5000 tahun yang lalu. Saat itu terjadi transgresi air laut (muka air laut naik) akibat mencaimya es di kutub, sehingga pada
  • 11. 6 saat regresi (muka air taut turun) banyak daerah-daerah sekitar pantai Sumatera, Kalimantan, serta Irian Jaya tergenang menjadi rawa (Hardjowigeno, 1996). Pembentukan tanah gam but di beberapa daerah di Sumatera dan Kalimantan terjadi antara 2000-6830 tahun yang lalu. Klasifikasi lahan rawa sehubungan dengan kondisi hidro-topografinya dilakukan sebagai berikut (sesuai Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan, (Puslittanak, 1993): - kategori A: lahan dapat diairi melalui air pasang, baik pada waktu pasang besar (spring tid e) maupun pasang rendah (neap tide), pada Musim Hujan (MH) maupun Musim Kering (MK); - kategori B: lahan dapat diairi selama pasang besar saja dan berlangsung antara 6-8 kali dalam satu tahun; - kategori C: lahan tidak dapat diairi seeara reguler melalui air pasang, namum air tanah dapat dikendalikan pada kondisi muka air tanah atau pada zona perakaran; - kategori D: lahan tidak dapat diairi melalui air pasang, dan air tanah sering berada jauh dibawah zona perakaran (> 70 cm dibawah permukaan tanah. Tanah gambut menurut definisi dari Sistem Klasifikasi Tanah dalam Taksonomi Tanah, di klasifikasikan kedalam Ordo Histosol (histos, tissue = jaringan) yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut (Soil Survey Staff, 1994): a. mengandung 18% atau lebih Corganik jika fraksi mineralnya mengandung 60% atau lebih liat;
  • 12. 7 b. mengandung 12% atau lebih C-organik jika fraksi mineralnya tidak mengandung liat; c. jika kandungan liatnya antara 060%, maka kandungan C-organik terdapat antara 12-18%. Andriesse (1988) memberikan sistem klasifikasi tanah gambut yang di dasarkan pada enam karakterisitik dasar, yaitu: a. topografi dan geomorfologi: berhubungan dengan aspek landscape, sehingga dikenal adanya gambut low moor (dataran rendah), transitional moor (daerah transisi), dan high moor ( dataran tinggi); b. vegetasi permukaan: sering dihubungkan pad a keperluan manajemen, terutama pada saat "reklamasi lahan yang menyangkut biaya pembukaan lahan gambut; c. vegetasi asli yang membentUk gam but: dihubungkan dengan bahan gam but yang berasal. dari JeOls vegetasi tertentu yang membentuknya, sehingga dikenal adanya gam but yang berasal dari lumut (moss peat), rumputrumputan (saw-grass peat), tanaman dari famili Cyperaeeae (Cyperaceae peat), dan tanaman hutan (forest atau woody peat); d. sifat kimia gambut: dihubungkan dengan pengaruhnya pada karakteristik kimia lingkungannya, terutama menyangkut tingkat kesuburan gambut, sehingga dikenal istilah eutrophic (kesuburan tinggi), mesotrophic (kesuburan sedang), dan oligotrophic (kesuburan rendah);
  • 13. 8 e. sifat fisik gambut: dihubungkan dengan tingkat dekomposisi bahan gambut, seperti tingkat fibrik (kandungan bahan organik>2/3), hemik (kandungan bahan organik 113 - 2/3), dan saprik (kandungan bahan organik < 113); f. proses genesis gambut: dihubungkan dengan iklim yang mempengaruhi pembentukan dan perkembangan gam but, sehingga dikenal istilah gam but daerah tropika (tropical peat), dan gambut daerah sedang (temperate peat). 2.2 Sifat Fisika Tanah Gambut Sifat fisik gambut sangat penting didalam usaha reklamasi dan pengelo1aan air pada tanah gambut. Kajian sifat fisik gambut sangat berhubungan dengan aspek mekanika tanah (soil mechanic), keteknikan tanah (soil engineering), serta konservasi gambut (peat conservation). 2.2.1 Ketebalan Gambut Gambut dengan ketebalan > 3 m diperuntukan sebagai kawasan konservasi sesuai dengan keputusan presiden No. 32/1990. Hal ini disebabkan oleh semakin tebal gambut, semakin penting pula fungsinya dalam memberikan perlindungan terhadap lingkungan dan sebaliknya kondisi lingkungan lahan gambut tebal semakin rapuh apabila dikonversi menjadi lahan pertanian. Pertanian di lahan gambut tebal lebih sulit pengelolaannya dan mahal biayanya karena kesuburannya rendah dan daya dukung tanahnya rendah sehingga sulit dilalui kendaraan pengangkutan sarana pertanian dan hasil panen (Agus & Subiksa, 2008). Semakin tebal lapisan gambut maka kesuburan tanahnya semakin menurun sehingga tanaman sulit mencapai lapisan mineral yang berada di lapisan bawahnya. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan tanaman terganggu, serta mengakibatkan tanaman
  • 14. 9 mudah condong dan roboh khususnya pada tanaman tahunan atau tanaman perkebunan (Suswati et al., 2011) 2.2.2 Kedalaman Muka Air Tanah Kondisi muka air tanah gambut selain dipengaruhi oleh pembukaan saluran drainase juga dipengaruhi oleh factor iklim, terutama curah hujan. Ketinggian muka air tanah akan mempengaruhi kematangan dan dekomposisi tanah gambut. Sebagaimana disebutkan oleh Las et al. (2008) bahwa pengaturan tata air makro maupun tata air mikro sangat mempengaruhi karakteristik lahan gambut. Tinggi muka air tanah akan mempengaruhi dekomposisi gambut (subsiden) dan kering tak balik (irreversibel drying). Informasi tentang jumlah air yang di retensi oleh tanah sangat penting bagi pengelolaan. usaha pertanian. Secara umum, air yang diretensi tanah yang dapat dlpergunakan untuk tanaman (air tersedia bagi tanaman) adalah antara kapasitas lapang (field capacity) pada pF 2,2 (0,33 bar) dengan titik layu permanen (permanent wilting point) pada pF 4,2 (15 bar). 2.2.3 Warna Tanah Menurut Suswati et al. (2011), bahwa perbedaan warna tanah pada umumnya disebabkan oleh perbedaan kandungan bahan organik, semakin tinggi bahan organik maka warna tanah akan semakin gelap. Darmawijaya (1997) pada umumnya bahan organik memberi warna kelam pada tanah, artinya jika tanah asalnya berwarna kuning atau coklat muda, kandungan bahan organik menyebabkan warna lebih cenderung kearah coklat kelam. Makin stabil bahan organik makin tua warnanya, sedangkan makin segar maka makin cerah warnanya.
  • 15. 10 2.2.4 Kematangan Gambut (Kadar Serat %) Gambut memiliki kematangan fibrik apabila V2/V1> 66%, hermik apabila V2/V1 antara 33%-66%, dan saprik apabila V2/V1<33%. Pada masing-masing kedalaman memiliki kadar serat yang berbeda pada setiap titiknya, tetapi pada kedalaman yang sama pada setiap titik yang berbeda memiliki kadar serat yang hampir sama dan memiliki kematangan gambut yang sama. Secara umum tingkat dekomposisi pada lapisan gambut pada lapisan atas dan di atas muka air tanah lebih tinggi atau lebih lanjut daripada lapisan gambut di bawah muka air tanah. Berdasarkan penilaian terhadap perubahan kematangan gambut, maka secara ekologis yang menjadi faktor utama yang mempengaruhi adalah tinggi muka air tanah (water level) (Suwondo et al., 2010). 2.2.5 Bobot Isi (BD) Menurut Hardjowigeno (1989) nilai bobot isi menunjukan tingkat kepadatan tanah, semakin tinggi nilai bobot isi maka semakin padat suatu tanah dan sebaliknya. Sedangkan menurut Subagyono et al. (1997) tanah gambut memiliki bobot isi yang rendah antara 0,05-0,25 gr/cm3 , semakin rendah nilai bobot isi maka tingkat dekomposisinya semakin lemah, atau kematangan gambutnya semakin rendah, karena masih banyak mengandung bahan organik. Sehingga daya topang terhadap beban diatasnya seperti tanaman, bangunan irigasi, jalan, dan mesin-mesin pertanian adalah rendah. Sedangkan gambut yang sudah direklamasi akan lebih padat dengan bobot isi antara 0,1-0,4 gr/cm3 . Selanjutnya Noor (2001), menyatakan bahwa bobot isi gambut yang rendah mengakibatkan daya dukung tanah rendah
  • 16. 11 sehingga tanaman mengalami kendala dalam menjangkarkan akarnya, akibatnya banyak tanaman tahunan yang tumbuh condong dan tumbang. 2.2.6 Kadar Air Tanah gambut mempunyai kapasitas mengikat atau memegang air yang relatif sangat tinggi atas dasar berat kering. Kapasitas mengikat air maksimum untuk gambut fibrik adalah 580-300 %, untuk gambut hemik 450-850 % dan untuk gambut saprik < 450 % . Gambut akan berubah menjadi hidrofob (menolak air) kalau terlalu kering. Noor (2001) menyebutkan bahwa kemampuan menjerap (absorbing) dan memegang (retaining) air dari gambut tergantung pada tingkat kematangannya. Kemampuan tanah gambut untuk menyerap dan mengikat air pada gambut fibrik lebih besar dari gambut hemik dan saprik, sedangkan gambut hemik lebih besar dari saprik (Suwondo et al., 2010). Sedangkan menurut Saribun (2007), ketersediaan air tanah bukan hanya berdasarkan kematangannya saja, tetapi dipengaruhi juga oleh curah hujan atau air irigasi, kemampuan tanah menahan air, evapotranspirasi, dan tinggi muka air tanah. Kadar air selain dipengaruhi oleh disebabkan oleh kepadatan tanah, karena tanah akan lebih sedikit memegang air (Mardina, 2006). 2.3 Sifat Kimia Tanah Gambut Karakteristik kimia lahan gambut sangat ditentukan oleh kandungan, ketebalan, dan jenis mineral pada substratum (di dasar gambut), serta tingkat dekomposisi gambut.
  • 17. 12 Kandungan mineral gambut di Indonesia umumnya kurang dari 5% dan sisanya adalah bahan organik. Fraksi organik terdiri dari senyawa-senyawa humat sekitar 10 hingga 20% dan sebagian besar lainnya adalah senyawa lignin, selulosa, hemiselulosa, lilin, tannin, resin, suberin, protein, dan senyawa lainnya. Komposisi kimia gambut sangat dipengaruhi oleh bahan induk tanamannya, tingkat dekomposisi dan sifat kimia lingkungan aslinya (Ratmini, 2012). Tabel 1. Perbedaan sifat kimia dari gambut eutropik, mesotropik, dan oligotropik. Tingkat Kesuburan Kadar (% bobot kering) N K2O P2O5 CaO Abu Eutropik 2,50 0,10 0,25 4,00 10,0 Mesoprik 2,00 0,10 0,20 1,00 5,00 Oligotropik 0,80 0,03 0,05 0,25 2,00 Sumber: Driessen and Supraptohardjo (1974) Berbeda dengan tanah mineral, bagian yang aktif dari tanah gambut adalah fase cairnya, bukan padatan yang terdiri dari sisa tanaman. Fase cair dari gambut terdiri dari asam-asam organik alifatik maupun aromatik yang memiliki gugus fungsional yang aktif seperti karboksil, hidroksil dan amine. Karakteristik dari asam-asam organik ini akan menentukan sifat kimia dari gambut. Sebagai akibat dari tingginya asam organik, maka reaksi tanah pada umumnya masam. Namun karena karena asam organik adalah asam lemah, maka pH tanah biasanya berkisar antara 4 - 5. pH tanah bisa lebih rendah bila ada lapisan sulfidik yang teroksidasi atau gambut yang terbentuk di atas lapisan tanah yang sangat miskin seperti pasir kuarsa (Ratmini: 2012). Sebagian dari asam organik bersifat racun bagi tanaman yaitu dari golongan senyawa fenolat. Asam-asam fenolat serta turunannya dan juga senyawa benzen karboksilat merupakan "building block" utama dari susunan asam humat dan fulvat. Building block tersebut bergabung melalui berbagai ikatan seperti ikatan H, gaya
  • 18. 13 vander Wall, ikatan C-O dan ikatan C-C (Schnitzer, 1977 dalam Sabiham, 1999). Beberapa turunan asam fenolat yang bayak dijumpai pada bahan organik adalah asam-asam : p-kumarat, p-hidroksi benzoat, klorogenat, vanilat, ferulat, sinapat, gentisat, galat, kafeat, protokatekuat dan syringat (Hartley and Whitehead, 1984 dalam Sabiham, 1999). Salah satu karakteristik senyawa adalah kemampuannya untuk melakukan ikatan dengan kation-kation polivalen membentuk senyawa komplek/khelat (Schnitzer, 1969; Kerndorff and Schnitzer, 1980). Kation Fe, Al, Cu dan Zn adalah kation-kation hara yang mampu untuk membentuk ikatan koordinasi dengan ligan organik. Kadar asam fenolat pada gambut di Indonesia sangat tinggi. Sabiham (1995) mengemukakan kadar asam p-hydroxy benzoat, asam kumarat dan asam ferulat masing-masing sebesar 32,4 ppm, 34,6 ppm dan 35,2 ppm pada gambut Air Sugihan Sumsel, sedangkan di Bereng bengkel Kalimantan Tengah masing-masing dari ketiga asam fenolat tersebut adalah 467,5 ppm, 140,73 ppm dan 15,18 ppm. Dengan demikian kadar asam-asam fenolat pada gambut Indonesia jauh di atas ambang batas, terutama gambut Kalimantan. Tanah gambut mengandung hara yang sangat rendah khususnya P dan K, dan basa-basa. Saragih (1996) melaporkan bahwa K-dd pada gambut Jambi umumnya rendah sampai sedang (0,13-0,70 cmol.kg1 ), (Salampak, 1999 dalam Rutmini, 2012) melaporkan K-dd pada gambut Kalimantan tergolong rendah sampai tinggi (0,29-1,13 cmol.kg-1 ). Penelitian ke arah pengurangan aktivitas asam fenolat dan peningkatan ketersediaan hara sudah banyak dilakukan. Pembentukan asam-asam fenolat dan gas metan dapat ditekan dengan penambahan lumpur laut, payau maupun sungai
  • 19. 14 (Sabiham, 1993). Penggunaan kation polivalen seperti Al, Fe dan Cu dapat menurunkan reaktivitas asam-asam fenolat, pH tanah, KTK dan mobilitas hara P serta meningkatkan ketersediaan K, Ca dan Mg (Rachim, 1995; Sulaeman et al.1998). Meningkatnya ikatan-ikatan P pada tanah gambut juga diperoleh dengan pemberian bahan amelioran tanah mineral berkadar besi tinggi (Salampak, 1999 dalam Rutmini, 2012) sehingga kehilangan P melalui pencucian dapat dikurangi. 2.4 Pengelolaan Lahan Gambut 2.4.1 Gambut Untuk Pertanian Menurut (Limin, 2006) pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian termasuk perkebunan dan tanaman industri tergolong sangat rawan, terutama jika dilaksanakan pada gambut tebal di daerah pedalaman (disebut gambut pedalaman). Jika lahan gambut pedalaman dimanfaatkan, maka mengharuskan adanya upaya menyesuaikan kondisi air lahan atau mengeringkan lahan dengan cara membuat saluran drainase atau kanal. Sedangkan untuk jenis gambut pantai di daerah pasang surut, pembuatan drainase atau kanal ditujukan untuk menyalurkan air ke bagian dalam (beberapa kilometer dari tepi sungai atau laut). Tanpa membuat saluran drainase atau kanal pada gambut pedalaman, dipastikan hanya jenis pohon asli setempat (ramin, meranti rawa, jelutung, gemor, dll) yang bisa tumbuh dalam kondisi jenuh air atau daerah yang dominan basah. Dibalik pembuatan drainase yang menyebabkan penurunan air tanah, maka terjadi perubahan suhu dan kelembaban di lapisan gambut dekat permukaan, sehingga mempercepat proses pelapukan dan permukaan gambut semakin menurun. Limin et al. (2000)
  • 20. 15 melaporkan bahwa penurunan permukaan lahan gambut di daerah Kalampangan (eks UPT Bereng Bengkel) paling sedikit 1-3 cm tiap tahun. Limin (1998) menyatakan walaupun pelapukan bahan organik tersebut menghasilkan hara bagi tanaman, pelapukan juga menghasilkan asam organik yang berpengaruh lebih kuat dan dapat menyebabkan keracunan bagi tanaman. 2.4.1.1 Pengelolaan Air Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian berkelanjutan harus dimulai dari perencanaan penataan lahan yang disesuaikan dengan karakteristik lahan gambut setempat, dan komoditas yang akan dikembangkan. Penataan lahan meliputi aktivitas mengatur jaringan saluran drainase, perataan tanah (leveling), pembersihan tunggul, pembuatan surjan, guludan, dan pembuatan drainase dangkal intensif. Dimensi dan kerapatan jaringan drainase disesuaikan dengan komoditas yang dikembangkan apakah untuk tanaman pangan, sayuran, perkebunan atau hutan tanaman industri (HTI). Perataan tanah penting jika akan dikembangkan tanaman pangan dan sayuran. Pembersihan tunggul juga sangat membantu meningkatkan produktivitas, karena keberadaan tunggul akan membatasi area yang bisa ditanami dan menjadi sarang hama. Pembuatan surjan hanya mungkin dilakukan pada gambut dangkal dan lahan bergambut. Guludan dan drainase dangkal intensif diperlukan jika dikembangkan tanaman sayuran dan buah-buahan (Agus dan Subiksa, 2008). Dalam kondisi alami, lahan gambut selalu dalam keadaan jenuh air (anaerob), sementara itu sebagian besar tanaman memerlukan kondisi yang aerob. Oleh karenanya, langkah pertama dalam reklamasi lahan gambut untuk pertanian
  • 21. 16 adalah pembuatan saluran drainase untuk menurunkan permukaan air tanah, menciptakan kondisi aerob di zona perakaran tanaman, dan mengurangi konsentrasi asam-asam organik. Namun demikian, gambut tidak boleh terlalu kering karena gambut akan mengalami kerusakan dan menimbulkan emisi GRK yang tinggi. Berbeda dengan tanah mineral, bagian aktif dari gambut adalah fase cairnya, sehingga apabila gambut kering akan kehilangan fungsinya sebagai tanah dan menjadi bersifat hidrofobik (Agus dan Subiksa, 2008).. Pengembangan kawasan lahan gambut dalam skala luas memerlukan jaringan saluran drainase yang dilengkapi dengan pintu air untuk mengendalikan muka air tanah di seluruh kawasan. Dimensi saluran primer, sekunder, dan tersier disesuaikan dengan luas kawasan dan jenis komoditas yang dikembangkan. Tanaman pangan dan sayuran pada umumnya memerlukan drainase yang dangkal (sekitar 20 – 30 cm). Tanaman tahunan memerlukan saluran drainase dengan kedalaman berbeda-beda. Tanaman sagu dan nipah tidak memerlukan drainase, tetapi tetap memerlukan sirkulasi air seperti halnya tanaman padi. Tanaman karet memerlukan saluran drainase mikro sedalam 20-40 cm, tanaman kelapa dan kelapa sawit memerlukan saluran drainase sedalam 50-70 cm (Agus dan Subiksa, 2008). Pembuatan saluran drainase di lahan gambut akan diikuti oleh peristiwa penurunan permukaan lahan (subsiden). Proses ini terjadi karena pemadatan, dekomposisi, dan erosi gambut dipermukaan yang kering. Semakin dalam saluran drainase, maka subsiden semakin besar dan semakin cepat. Penurunan permukaan gambut dengan mudah dapat diamati dengan munculnya akar tanaman tahunan di permukaan tanah. Untuk mengurangi dampak penurunan tanah terhadap
  • 22. 17 perkembangan tanaman, sebaiknya penanaman tanaman tahunan ditunda sampai sampai satu tahun setelah pembukaan saluran. Hal ini dilakukan untuk menghindari tanaman roboh karena daya sangga gambut yang rendah. Sekat kanal berfungsi untuk menjaga air tanah gambut agar tidak kering, karena kanal-kanal yang sudah ada selama ini fungsinya adalah untuk mengeringkan tanah pada hutan gambut sehinggi perlu dibuat sekat pada kanal agar air pada tanah gambut dapat terjaga. Gambar 1. Sketsa Desain Pembuatan Sekat Kanal Gambar 2. Aktivitas Kegiatan Pembuatan Sekat Kanal Di Desa Tanjung Taruna, Pulang Pisau
  • 23. 18 2.4.2.2 Pemilihan Komoditas Yang Sesuai Pemilihan komoditas yang mampu beradaptasi baik dilahan gambut sangat penting untuk mendapatkan produktivitas tanaman yang tinggi. Pemilihan komoditas disesuaikan dengan daya adaptasi tanaman, nilai ekonomi, kemampuan modal, keterampilan, dan skala usaha. Jenis tanaman sayuran (selada, kucai, kangkung, bayam, cabai, tomat, terong, dan paria) dan buah-buahan (pepaya, nanas, semangka, melon) adalah tanaman yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan beradaptasi sangat baik di lahan gambut. 2.4.2.3 Pemupukan Pemupukan diperlukan karena secara inheren tanah gambut sangat miskin mineral dan hara yang diperlukan tanaman. Jenis pupuk yang diperlukan adalah pupuk lengkap terutama yang mengandung N, P, K, Ca, Mg dan unsur mikro Cu, Zn dan B. Pemupukan harus dilakukan secara bertahap dan dengantakaran rendah karena daya pegang (sorption power) hara tanah gambut rendah sehingga pupuk mudah tercuci. Penggunaan pupuk lepas lambat (slow release) seperti fosfat alam dan Pugam lebih baik dibandingkan dengan SP-36, karena akan lebih efisien, harganya murah dan dapat meningkatkan pH tanah (Subiksa et al., 1991). Pugam dengan kandungan hara utama P, juga tergolong pupuk lepas lambat yang mampu meningkatkan serapan hara, mengurangi pencucian hara P, dan meningkatkan pertumbuhan tanaman sangat signifikan dibandingkan SP-36. Tanah gambut juga diketahui kahat unsur mikro karena dikhelat (diikat) oleh bahan organik (Rachim, 1995). Oleh karenanya diperlukan pemupukan unsur mikro seperti terusi, dan seng sulfat masing-masing 15 kg.ha-1 tahun-1 , mangan
  • 24. 19 sulfat 7 kg.ha-1 , sodium molibdat dan borax masing-masing 0,5 kgha1 tahun-1 . Kekurangan unsur mikro dapat menyebabkan bunga jantan steril sehingga terjadi kehampaan pada tanaman padi, tongkol kosong pada jagung atau polong hampa pada kacang tanah. Pugam sebagai amelioran dan pupuk, juga mengandung unsur mikro yang diperlukan tanaman, sehingga pemupukan unsur mikro tambahan tidak diperlukan lagi. 2.4.2.4 Pengaturan Pola Tanam Pengurangan emisi CO2 dapat dilakukan dengan mengatur pola tanam, khususnya tanaman pangan dan sayuran. Pada prinsipnya pengaturan pola tanam di lahan gambut bertujuan mengurangi lamanya waktu tanah dalam keadaan terbuka yang memicu terjadinya emisi. Relay planting adalah salah satu contoh penerapan pola tanam yang memungkinkan tanah gambut tidak terbuka saat penggantian tanaman berikutnya. Menanam tanaman sela diantara tanaman pokok (tahunan) dapat mengurangi emisi sekaligus meningkatkan sekuestrasi karbon. 2.4.2 Gambut Untuk Tanaman Hutan Pemanfaatan lahan gambut untuk tetap dipertahankan sebagai habitat ratusan species tanaman hutan, merupakan suatu kebijakan yang sangat tepat. Disamping kawasan gambut tetap mampu menyumbangkan fungsi ekonomi bagi manusia di sekitarnya (produk kayu dan non kayu) secara berkelanjutan, fungsi ekologi hutan rawa gambut sebagai pengendali suhu, kelembaban udara dan hidrologi kawasan akan tetap berlangsung sebagai konsekuensi dari ekosistemnya tidak berubah (Limin, 2006).
  • 25. 20 Mempertahankan lahan gambut untuk tetap menjadi habitat jenis pohon adalah beralasan. Hutan rawa gambut memiliki jenis pohon bernilai ekonomis tinggi, demikian pula satwa. Berdasarkan data pada salah satu HPH yang berlokasi di lahan gambut, diketahui bahwa populasi 10 jenis pohon bernilai ekonomis tinggi dan jenis yang dilindungi dengan diameter ≥ 20 cm rata-rata 21 pohon/ha dengan volume rata-rata 30,94 m3 /ha. Diantara ke-10 jenis pohon tersebut terdapat 67,83% adalah ramin (Gonystylus bancanus Kurz). Berdasarkan pertumbuhan dan perkembangan alami pohon-pohon bernilai ekonomis tersebut, maka “Wise Use of Tropical Peatland” hendaknya tidak lagi harus dipaksa untuk melakukan perubahan yang justru mengakibatkan munculnya permasalahan baru yang berdampak negatif bagi manusia dan lingkungan (Limin, 2006). 2.4.3 Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Lahan gambut dikenal merupakan sumber emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar dari sektor pertanian dan kehutanan karena menyimpan cadangan karbon sangat besar yaitu 550 Gt CO2 e, setara dengan 75% karbon di atmosfer atau setara dengan dua kali simpanan karbon semua hutan di seluruh dunia (Joosten, 2007). Lahan gambut terbentuk dari akumulasi bahan organik yang mudah mengalami dekomposisi apabila ada perubahan kondisi lingkungan menjadi aerob. Proses dekomposisi bahan organik akan menghasilkan asamasam organik, gas CO2 dan gas methan (gas rumah kaca). Faktor pendorong terjadinya emisi GRK yang berlebihan di lahan gambut antara lain adalah kebakaran lahan, pembuatan saluran drainase dan pengelolaan lahan. Kebakaran lahan bisa terjadi saat pembukaan hutan gambut, persiapan lahan
  • 26. 21 sebelum musim tanam atau musim kemarau ekstrim. Kebakaran yang terjadi pada waktu pembukaan hutan dan persiapan lahan seringkali terjadi karena kesengajaan, sedangkan kebakaran di saat tanaman sudah ditanam bisa terjadi karena keadaan kemarau panjang atau karena kecelakaan. Kasus di Kalimantan Barat, berdasarkan wawancara dengan petani, pembakaran lahan sebelum musim tanam bisa menghabiskan 3 – 5 cm lapisan gambut (Subiksa et al, 2009). Hal ini dilakukan petani untuk mendapatkan abu yang memperbaiki pH dan kejenuhan basa tanah. Untuk Indonesia, hasil perhitungan Wahyunto et al. (2004), total stock karbon dari seluruh lahan gambut di Indonesia sekitar 37 Gt. Tergantung ketebalan gambut, simpanan karbon gambut bisa 10 kali lebih tinggi dibandingkan dengan simpanan karbon tanah mineral. Mempertahankan karbon dalam tanah dan tanaman menjadi isu lingkungan sangat penting karena konsentrasi karbon di udara berpengaruh terhadap pemanasan global. 2.4.4 Pengendalian Muka Air Tanah Lahan gambut memiliki daya hantar hidrolik yang tinggi, baik secara vertikal maupun horizontal. Oleh karena itu, saluran drainase sangat menentukan kondisi muka air tanah. Kunci pengendalian muka air tanah adalah mengatur dimensi saluran drainase, terutama kedalamannya, dan mengatur pintu air. Menurunkan muka air tanah sangat diperlukan untuk menjaga kondisi media perakaran tetap dalam kondisi aerob. Namun penurunan yang terlalu besar menyebabkan gambut mengalami kerusakan. Oleh karena muka air tanah harus dikendalikan agar akar tanaman cukup mendapatkan oksigen, tetapi gambut tetap lembap untuk menghindari emisi yang besar dan gambut mengering. Pengendalian
  • 27. 22 air dengan mengatur tinggi air di saluran drainase dengan mengatur pintu air adalah salah satu tindakan mitigasi emisi CO2 yang terjadi. Hasil penelitian Wosten dalam Hooijer et al., (2006) menunjukkan bahwa laju emisi berbanding lurus dengan kedalaman saluran drainase. Rieley dan Page (2005) menunjukkan hubungan linier antara kedalaman muka air tanah dengan emisi karbon bersifat spesifik lokasi. Agus et al. (2008) menunjukkan bahwa laju emisi meningkat dengan pola logaritmik dengan makin meningkatnya kedalaman muka air tanah. Oleh karena mengatur muka air tanah pada tingkat yang aman untuk tanaman dan minimal emisinya merupakan tindakan mitigasi kerusakan lahan yang sangat efektif. Rumbang dalam Noor (2010) mengemukakan hubungan antara penggunaan jenis tanaman dengan emisi. Hal ini tentu berkaitan dengan kedalaman air tanah yang dibutuhkan oleh masing-masing jenis tanaman. Salah satu komponen penting dalam pengaturan tata air lahan gambut adalah bangunan pengendali berupa pintu air atau canal blocking di setiap saluran. Pintu air berfungsi untuk mengatur muka air tanah, disesuaikan dengan kebutuhan tanaman. Mengingat gambut memiliki daya hantar hidrolik yang tinggi, maka dalam satu saluran diperlukan beberapa pintu canal blocking membentuk cascade. Kasus lahan gambut yang sudah dibuka untuk transmigrasi di berbagai daerah, menunjukkan bahwa jaringan saluran drainase tidak terawat dengan baik sehingga saluran menjadi sangat dangkal dan tertutup rumput. Pintu air dengan cepat mengalami kerusakan karena sistem pemasangan kurang baik, sehingga air mengalir melalui pinggir pintu air. Oleh karena itu, perlu digalakkan program
  • 28. 23 rehabilitasi lahan, pembuatan saluran, pintu air, dan canal blocking di lahan gambut untuk menghindari perubahan kondisi lahan yang drastis, seperti pengeringan. Pintu air harus berfungsi secara optimal agar permukaan air tanah stabil. 2.4.5 Persiapan Lahan Tanpa Bakar Emisi karbon paling masif terjadi saat kebakaran gambut, baik karena kesengajaan maupun tidak sengaja. Penyiapan lahan dengan sistem membakar menyebabkan hilangnya cadangan karbon, terjadi subsiden, dan pada akhirnya mengarah pada habisnya lapisan gambut. Penelitian Subiksa et al. (2009) menunjukkan bahwa petani di Kalimantan Barat selalu melakukan pembakaran lahan sebelum menanam tanaman pangan, khususnya jagung. Setiap musim, lapisan gambut terbakar sekitar 3-5 cm.Dari gambut yang terbakar selama 2 kali tanam per tahun dapat diperkirakan besarnya emisi karbon yaitu sekitar 110,1 t CO2 ha-1 tahun-1 (dengan asumsi karbon density gambut sekitar 50 kgm-3 atau 0.05 tm-3 ). Adanya pembakaran lahan dan hutan di suatu daerah dapat dipantau dari data hot spot (titik api)yang dihasilkan dari interpretasi citra satelit. Jumlah titik api yang dipantau di beberapa daerah rawan kebakaran lahan, menunjukkan bahwa antara bulan Januari – Mei 2010, Provinsi Riau dan Kalimantan Timur memiliki titik api paling banyak, dan puncaknya terjadi pada bulan Februari - Maret. Hal ini menunjukkan aktivitas pembakaran untuk pembukaan lahan masih menjadi pilihan masyarakat. Kebiasaan masyarakat ini harus diubah dengan terus-menerus melakukan sosialisasi pembukaan lahan tanpa bakar (PLTB), serta penerapan peraturan perundang-undangan. Pelatihan dan sosialisasi harus disertai dengan
  • 29. 24 pengenalan alternatif lain dalam pembukaan lahan. Selain itu fasilitas pemantauan dan pengendalian kebakaran lahan harus disediakan di daerah rawan kebakaran. Pembakaran lahan, baik yang disengaja maupun tidak, menyebabkan hilangnya cadangan karbon sehingga lapisan gambut semakin tipis bahkan habis. Bila lapisan substratum merupakan lapisan mineral berpirit atau pasir kuarsa maka akan terjadi kemerosotan kesuburan tanah. Membakar gambut terkadang sengaja dilakukan petani untuk memperoleh abu yang untuk sementara bisa memperbaiki kesuburan tanah. Abu sisa pembakaran memberikan efek ameliorasi dengan meningkatnya pH dan kandungan basabasa tanah, sehingga tanaman tumbuh lebih baik (Subiksa et al., 1998). Proses ini harus dihindari dengan mempertahankan kelembapan gambut agar tidak mudah terbakar dan menerapkan sistem pengelolaan zero burning. Pembakaran serasah tanaman secara terkendali di rumah abu (tempat pembakaran serasah) adalah salah satu usaha mencegah kebakaran gambut meluas. Tempat khusus ini berupa lubang yang dilapisi dengan tanah mineral sehingga api tidak sampai membakar gambut. Cara ini diterapkan dengan sangat baik oleh petani sayur di lahan gambut Pontianak, Kalimantan Barat. Bila pembakaran serasah harus dilakukan langsung di lapangan, maka harus dipastikan bahwa gambut dibawahnya jenuh air supaya gambutnya tidak ikut terbakar. Pengalihan dari cara tradisional dengan cara membakar kepada metode tanpa membakar, diperlukan cara alternatif lain yang bisa diterima masyarakat. Pembukaan lahan menggunakan mulcheratau bio-harvesteradalah salah satu alternatif yang baik, namun alatnya masih tergolong mahal. Sementara untuk lahan pertanian yang sudah eksis, diperlukan upaya ameliorasi dan pemupukan agar
  • 30. 25 pertumbuhan tanaman bisa optimum. Oleh karena itu, kebijakan subsidi pupuk dan amelioran untuk petani di lahan gambut penting untuk dikeluarkan agar kebiasaan membakar yang menghasilkan emisi CO2 tinggi bisa dihindari. Ditjen Perkebunan (2010) memprediksibahwa upaya mencegah pembakaran lahan dapat mengurangi emisi CO2 sampai 0,284 Gt CO2 atau 25% dari proyeksi BAU 2025. 2.4.6 Tanaman Penutup Tanah Emisi GRK berkorelasi positif dengan suhu, dimana makin tinggi suhu udara dan tanah maka emisi GRK semakin tinggi. Warna gambut yang gelap cenderung menyerap suhu, sehingga gambut yang terekspos akan terasa sangat panas. Suhu yang panas menyebabkan gambut cepat kering dan rawan kebakaran. Oleh karena, untuk mengurangi emisi GRK dari lahan pertanian, maka tanah gambut harus diusahakan tertutup vegetasi. Menanam tanaman penutup tanah, selain mengurangi emisi, juga meningkatkan sekuestrasi karbon, sehingga emisi bersih menjadi lebih kecil lagi. Tanaman penutup tanah sebagai tanaman sela di perkebunan akan sangat membantu mempertahankan kelembapan tanah dan mitigasi kebakaran lahan. Tanaman penutup tanah penghasil biomassa tinggi seperti mucuna atau calopogonium sangat dianjurkan karena bisa meningkatkan sekuestrasi karbon dan fiksasi N dari udara, sehingga menambah kesuburan tanaman pokok. Namun demikian tanaman insitu seperti kalakai atau pakis (Stenochiaena palustris) juga bisa dimanfaatkan dengan biaya murah.
  • 31. 26 Gambar 3. Tanaman penutup tanah kelakai (Stenochiaena palustris) untuk mempertahankan kelembapan tanah gambut
  • 32. 27 BAB 3 PENUTUP 3.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan, maka kesimpulan yang didapat adalah sebagai berikut: 1. Sifat fisika dan kimia pada tanah gambut adalah beberapanya seperti ketebalan gambut, kedalaman muka air tanah, warna tanah, kematangan gambut (kadar serat %), bobot isi, dan kadar air. 2. Untuk melakukan pengelolaan lahan gambut banyak sekali hal yang dapat dilakukan seperti menjadikan gambut sebagai lahan pertanian, sebagai tanaman hutan, pengendalian muka air tanah kemudian dengan pengelolaan gambut juga dapat mengurangi emisi gas rumah kaca, melakukan persiapan lahan tanpa bakar, dan menggunakan tanaman penutup tanah agar kelembaban tanah tetap terjaga. 3.2 Saran Saran yang dapat disampaikan dalam penulisan makalah ini adalah: 1. Lahan gambut harus selalu dijaga dengan memperhatikan sifat fisika dan kimia yang tepat agar ekosistem gambut dapat selalu terjaga kelestariannya. 2. Lahan gambut adalah ekosistem marginal dan fragile, sehingga dalam pemanfaatannya harus didasarkan atas penelitian dan perencanaan yang matang, baik dari segi teknis, sosial ekonomis maupun analisis dampak lingkungannya.
  • 33. 28 DAFTAR PUSTAKA Agus, F. dan Subiksa I.G.M. 2008. Lahan Gambut: Potensi Untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah. Bogor. 36 hal. Agus, F., K. Hiriah, dan A. Mulyani. 2011. Pengukuran Cadangan Karbon. Balai Penelitian Tanah. Bogor. 57 hal. Andriesse, J.P. 1988. Nature and Management of Tropical Peat Soil. Soil Researches Management and Conservation Service. FAO Land and Water Development Division. Rome. Bell, F.G. 1992. Engineering Properties of Soils and Rocks. 3rd Ed. Butterworth, Heinemann. Bellamy DJ. 1995. The peatlands of Indonesia: They key role in global conservatio-can they be used sustainably. Dalam: Biodiversity and Biodiversity, Environmental Imprortance of Trop. Peat and Peatlenads. Darmawijaya, M.I. 1997. Klasifikasi Tanah, Dasar Teori Bagi Peneliti Tanah dan Pelaksanaan Pertanian Indonesia. Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta. 19 hal. Driessen PM, Soepraptohardjo, 1974. Soils for agricultural expansion in Indonesia. Soil Research Bull. No 1. Soil Research Institute, Bogor. Hardjowigeno, S. 1986. Sumber Daya Fisik Wilayah dan Tata Guna Lahan Histosol. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Hardjowigeno, S. 1996. Pengembangan Lahan Gambut untuk Pertanian: Suatu Peluang dan Tantangan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap, Faperta IPB. Hooijer, A., Silvius, M., Wösten, H. and Page, S. 2006. PEAT-CO2 , Assessment of CO2 emissions from drained peatlands in SE Asia. Delft Hydraulics report Q3943 (2006). Indonesia Climate Change Trust Fund (2017). Program Tata Kelola Hutan dan Lahan Gambut Untuk Mengurangi Emisi di Indonesia Melalui Kegiatan Lokal. Jakarta: Kementerian PPN Joosten, H. 2007. Peatland and carbon. pp. 99-117 In Parish, F., Siri, A., Chapman, D., Joosten H., Minayeva, T., and Silvius M. (Eds.) Assessment on Peatland, Biodiversity and Climate Change.Global Environmental Centre, Kuala Lumpur and Wetand International, Wageningen.
  • 34. 29 Las, I., K. Nugroho, dan A. Hidayat.2008. Strategi Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Pengembangan Pertanian Berkelanjutan. Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian, 2(4): 295-298. Limin, S. H. 1998. Residual Effect of Lime, Phospahate and Manure on Crops Commodities in Inland Peat. The University of Palangka Raya. Limin, S. H. 2006. Pemanfaatan Lahan Gambut Dan Permasalahannya. Disampaikan pada “Workshop Gambut Dengan Tema : Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Pertanian, Tepatkah?. Kerjasama antara Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat di Jakarta, 22 November 2006 Limin, S. H., Tampung N. Saman., Patricia E. Putir., Untung Darung, dan Layuniyati. 2000. Konsep Pemanfaatan Hutan Rawa Gambut di Kalimantan Tengah. Disampaikan pada “Seminar Nasional Pengelolaan Hutan Rawa Gambut dan ekspose hasil Penelitian di Lahan Basah”, diselenggarakan oleh Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru, Istana Barito Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 9 Maret 2000. Mardiana, S. 2006. Perubahan Sifat-Sifat Tanah pada Kegiatan Konversi Hutan Alam Rawa Gambut Menjadi Perkebunan Kelapa Sawit. Skripsi. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. 41 hal. Noor, M. 2001. Pertanian Lahan Gambut (Potensi dan Kendala). Kanisus. Yogyakarta. Noor, M., 2010. Hubungan nilai emisi gas rumah kaca dengan teknologi pengelolaan lahan gambut. Makalah Seminar Workshop Pelaksanaan Perhitungan dan Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca pada Lahan Gambut, 4 Mei 2010 di Kementerian Lingkungan Hidup R.I., Jakarta. Pandjaitan, Nora H. dan Hardjoamidjojo, Soedodo. 1999. Kajian Sifat Fisik Lahan Gambut Dalam Hubungan Dengan Drainase Untuk Lahan Pertanian. Buletin Keteknikan Pertanian, Volume 13. No 3 Tahun 1999 Puslittanak, 1993. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan. Pusat Penelitian tanah dan Agroklimat Kerjasama dengan Proyek Pembangunan Penelitian Pertanian Nasional badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian Rachim, A. 1995. Penggunaan Kation-kation Polivalen dalam Kaitannya dengan Ketersediaan Fosfat untuk Meningkatkan Produksi Jagung pada Tanah Gambut. Disertasi Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rajaguguk B. 1992. Utilization and management of peatland in Indonesia for agriculturre and forestry. Dalam: Proc. Int. Symp. On Trop. Peatland, Kuching Malaysia.
  • 35. 30 Ratmini, Sri. 2012. Characteristics and Management of Peatland for Agricultural Development. Jurnal Lahan Suboptimal. ISSN: 2252-6188 Vol. 1, No.2: 197- 206 Rieley, J.O dan S.E. Page. 2005. Wise Use of Tropical Peatlands: Focus on Southeast Asia. Nottingham, UK. 168 p. Sabiham S, Prasetyo TB, Dohong S, 1995. Phenolic acids in Indonesian peat in Rieley and Page (Eds) Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatland. Proceedings of the International Symposium on Biodiversity, Environmental Importance and Sustainability of Tropical Peats and Peatlands. Palangka Raya, 4 - 8 September 1995. p 289-292 Sabiham S. 1993. Pemanfaatan lumpur daerah rawa pasang surut sebagai salah satu alternatif di dalam menurunkan gas metana dan asam fenol pada gambut tebal. p. 267-277 dalam Tri Utomo et al (Eds) Prosiding Seminar Nasional Gambut II. Jakarta, 14-15 Januari 1993. p 267-277 Sabiham S. 1999. Peningkatan produktivitas tanah gambut melalui pengendalian reaktivitas asam-asam organik meracun : persyaratan dasar pengembangan lahan gambut. Laporan Penelitian Hibah Bersaing V/3 Perguruan Tinggi T.A. 1998/1999. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Saragih EP. 1996. Pengendalian asamasam fenolat meracun dengan penamabahan Fe-II pada tanah gambut dari Jambi, Sumatera. [Tesis], Bogor. Institut Pertanian Bogor. Saribun. 2007. Pengaruh Jenis Penggunaan Lahan dan Kelas Kemiringan Lereng Terhadap Bobot Isi, Porositas Total, dan Kadar Air Tanah pada Sub-DAS Cikapundung Hulu. Skripsi. Jurusan Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian. Universitas Padjajaran. 61 hal. Soil Survey Staff. 1994. Keys to Soil Taxonomy. Pocahontas, Inc. Blacksburg. Virginia. Subagyo, H., D.S. Marsoedi dan A.S. Karama. 1996. Prospek Pengembangan Lahan Gambut untuk Pertanian. Seminar Pengembangan Teknologi Berwawasan Lingkungan untuk Pertanian Lahan Gambut. Bogor, 26 September 1996. Subagyono, K., T. Vadari., dan I.P.G. Widjaja Adhi. 1997. Strategi Pengelolaan Air dan Tanah pada Lahan Rawa pasang Surut : Prospek dan Kendala. Makalah disampaikan pada Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat Tanggal 4 s/d 6 Maret. Subiksa, IGM., Ai Dariah dan F. Agus. 2009. Sistem Pengelolaan Lahan Eksisting di Kalimantan Barat serta Implikasinya terhadap Siak Kimia Tanah Gambut dan Emisi GRK. Laporan Penelitian Kerjasama Balai Penelitian tanah dengan Kementrian Ristek.
  • 36. 31 Subiksa, IGM., Didi Ardi dan IPG. Widjaja Adhi, 1991. Pembandingan pengaruh P-alam dan TSP pada tanah sulfat masam (Typic Sulfaquent) Karang Agung Ulu Sumatera Selatan. DalamProsiding Pertemuan Pembahasan Hasil Penelitian Tanah, Cipayung 3-5 Juni 1991. Subiksa, IGM., Sulaeman, dan IPG. Widjaja-Adhi. 1998. Pembandingan pengaruh bahan amelioran untuk meningkatkan produktivitas lahan gambut. Dalam Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat.Bogor, 10-12 Februari 1998. Suswati, D., B. Hendro, D. Shiddieq, dan D. Indradewa.2011. Identifikasi Sifat Fisik Lahan Gambut Rasau Jaya III Kabupaten Kubu Raya Untuk Pengembangan Jagung. Jurnal Perkebunan dan Lahan Tropika, 1: 3140. Suwondo, S., Sabiham., Sumardjo., dan B. Paramudya. 2011. Efek Pembukaan Lahan terhadap karakteristik Biofisik Gambut pada Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Bengkalis. Jurnal Natur Indonesia, 14 (2): 143-149. Utama, M.Z.H. dan W. Haryoko. 2009. Pengujian Empat Varietas Padi Unggul pada Sawah Gambut Bukaan Baru di Kabupaten Padang Pariaman. Jurnal Akta Agrosia, 12 (1): 56 – 61. Wahyunto, Sofyan R., Suparto, dan H. Subagyo. 2004. Sebaran dan kandungan karbon lahan gambut di Sumatera dan Kalimantan. Wetland International Indonesia Programme. Widjaja Adi IPG. 1995. Developing tropical peatlands for agriculture. in Rieley and Page (Eds) Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatland. Proceedings of the International Symposium on Biodiversity, Environmental Importance and Sustainability of Tropical Peats and Peatlands. Palangka Raya, 4 - 8 September 1995. p 293-300.