SlideShare a Scribd company logo
STUDI LANDSKAP HUTAN DESA DALAM 
MENDUKUNG FUNGSI LINDUNG 
(STUDI KASUS HUTAN DESA PATTANETEANG 
KAB.BANTAENG) 
N A U F AL 
M 111 06 016 
PROGRAM STUDI MANAJEMEN HUTAN 
FAKULTAS KEHUTANAN 
UNIVERSITAS HASANUDDIN 
MAKASSAR 
2011
ii 
HALAMAN PENGESAHAN 
Judul : STUDI LANDSKAP HUTAN DESA DALAM 
MENDUKUNG FUNGSI LINDUNG (STUDI KASUS 
HUTAN DESA PATTANETEANG KAB.BANTAENG) 
Nama : Naufal 
Nim : M 111 06 016 
Program Studi : Manajemen Hutan 
Skripsi ini Dibuat sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh 
Gelar Sarjana Kehutanan 
Pada 
Program Studi Manajemen Hutan 
Fakultas Kehutanan 
Universitas Hasanuddin 
Menyetujui, 
Komisi Pembimbing 
Pembimbing I Pembimbing II 
Prof. Dr. Ir. H. Supratman, MP Dr. Ir. H. Anwar Umar, M.S 
NIP. 19700918199702 1001 Nip. 19500724198003 1002 
Mengetahui, 
Ketua Program Studi Manajemen Hutan 
Fakultas Kehutanan 
Universitas Hasanuddin 
Ir. Budirman Bachtiar, MS 
NIP. 19580626 198601 1 001 
Tanggal Lulus : 2011
iii 
ABSTRAK 
Naufal (M 111 06 016) Studi Landskap Hutan Desa Dalam Mendukung 
Fungsi Lindung (Studi Kasus Hutan Desa Pattaneteang Kab.Bantaeng), 
dibawah bimbingan Supratman dan Anwar Umar 
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang 
mempengaruhi landskap hutan desa di Desa Pattaneteang dari faktor sosial serta 
melakukan penataan Landskap Hutan Desa yang sesuai dengan tujuan 
pengelolaan Hutan Lindung. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi model 
Landskap untuk pemanfaatan areal hutan desa dengan mempertimbangkan aspek 
hutan dalam mendukung fungsi lindung. Agar tercipta pengelolaan Hutan Desa 
secara berkelanjutan dan lestari 
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli - Agustus 2010 pada Hutan 
Desa Pattaneteang di Desa Pattaneteang Kecamatan Birengere Kabupaten 
Bantaeng. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis 
spasial dilakukan dengan menumpangsusunkan (overlay) beberapa data spasial 
untuk menghasilkan unit pemetaan baru yang akan digunakan sebagai unit 
analisis. Untuk mengetahui faktor-faktor pembentuk landskap Hutan Desa 
digunakan analisis deskriptif. 
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1)Faktor-faktor yang 
mempengaruhi penutupan Landskap saat ini adalah : Keterbatasan lahan, system 
pengelolaan, status lahan, ekonomi, dan penutupan awal sebelum warga masuk 
kedalam Hutan Desa. (2)Mental Model Pengelolaan lahan : a.Masyrakat yang 
berkebun dibawah tegakan, b. Masyarakat yang berkebun diareal kritis. 
(3)Penutupan Areal Hutan Desa : a.Hutan Alam yang dimaksdukan pada penelitan 
ini adalah areal yang vegetasinya masih alami dan pada areal ini umur pohon rata-rata 
diatas 40 tahunan. Jenis vegetasi yang biasa dijumpai pada areal ini adalah 
Albisia, galatiri, Damar laki, Damar Gana, Lutuh, Lossongg dan Balanteh. b. 
Hutan Campuran yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah Hutan Alam yang 
disebutkan di atas dan dimanfaatkan oleh warga. Pemanfaatan itu berupa 
menanam kopi dibawah tegakan, tanpa menebang pohon – pohon yang telah ada 
dalam hutan tersebut. Pada areal ini tumbuhan kopi rata-rata sudah berumur 10 
tahunan. c. Monokultur Kopi yang dimaksukan dalam penelitian ini adalah areal 
yang tanamannya didominasi kopi dan tumbuhan kayu atau pohon yang 
digunakan sebagai pohon penaung. Kopi tersebut masih berumur >10 tahunan. 
Tumbuhan penaungnya seperti Nangka, Jambu batu, Alpokat, Albisia, Kaleandra, 
Cembang, Mangga, dan Galitiri. Pada areal ini tumbuhan kopi rata sudah berumur 
6 tahunan. 
(4)Sistem Agroforestri, Tanaman Penutup tanah, dan Rorak perlu diterapkan pada 
monokultur kopi. Sehingga lapisan strata lebih banyak dan system perakaran 
hutan yang dalam, serta adanya serasah tanaman yang menutupi permukaan tanah 
akan lebih baik untuk menjaga fungsi Hidrologi dan Erosi sesuai tujuan Fungsi 
Lindung
iv 
KATA PENGANTAR 
Salam Sejahtera… 
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas 
limpahan Berkat dan Kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi 
yang berjudul “Studi Landskap Hutan Desa Dalam Mendukung Fungsi 
Lindung (Studi Kasus Hutan Desa Pattaneteang Kabupaten Bantaeng)”. 
Begitu banyak doa, dukungan, dan perhatian yang penulis dapatkan selama 
penyusunan skripsi ini berlangsung, sehingga segala hambatan yang ada dapat 
terlewati dan dapat dihadapi dengan penuh sukacita. Oleh karena itu, dengan 
penuh kerendahan hati, penulis menghaturkan ucapan terima kasih dan 
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : 
1. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Supratman, MP dan Bapak Dr. H. Anwar Umar, 
M.S sebagai dosen pembimbing yang telah banyak mencurahkan tenaga dan 
pikirannya, meluangkan waktunya yang begitu berharga untuk memberi 
bimbingan dan pengarahan dengan baik, dan memberikan dukungan serta 
motivasi dalam penyelesaian skripsi ini. 
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Amran Achmad, M. Sc, Dr.Ir. H. Usman Arsyad, 
M.S, dan Gusmiaty, S.P, MP sebagai dosen penguji yang telah meluangkan 
waktunya dan banyak memberi masukan, koreksi serta arahan sehingga 
skripsi ini dapat terselesaikan dengan lebih baik. 
3. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Muh. Restu, M.Si selaku dekan Fakultas Kehutanan 
Universitas Hasanuddin. Bapak Ir. Budirman Bachtiar, MS selaku Ketua 
Jurusan Manajemen Hutan. 
4. Bapak Ir. Abd. Rasyid Kalu, MS selaku Penasehat Akademik (PA) yang 
telah banyak memberi bimbingan, arahan dan kemudahan kepada penulis 
dalam menyelesaikan studi. 
5. Secara khusus penghargaan, rasa hormat dan rasa terima kasih yang tak 
terhingga ku persembahkan kepada kedua orang tua ku tercinta: Asmin 
Dunggio dan Adam Achmad yang telah membesarkan, mendidik dan
mendoakan dengan segala kasih sayang dan perhatian beliau selama ini, serta 
kerja keras sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di Fakultas 
Kehutanan. 
6. Sahabat-sahabat terbaikku: Muh.Azhrul Hidayat, Taufik, Muh.Warkah, 
A.Didit Haryadi, Muh.Anshari, Haeruddin, dan Muh. Ramadhan Tefu. 
Terima kasih atas segala bantuan, semangat, dan motivasinya selama ini. 
Kalian selamanya akan menjadi sahabat yang terbaik. Kenangan akan 
kebersamaan selama menempuh pendidikan dibangku kuliah tak akan lekang 
oleh waktu, saat ini sampai selamanya. 
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki kekurangan. Untuk 
itu, kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya membangun sangat penulis 
harapkan. Kiranya skripsi ini dapat bermanfaat serta dapat menjadi salah satu 
bahan informasi pengetahuan bagi pembaca sekalian. 
Makassar, Desember 2010 
v 
Penulis
vi 
DAFTAR ISI 
Halaman 
HALAMAN JUDUL ................................................................................................... i 
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................... ii 
ABSTRAK .................................................................................................................. iii 
KATA PENGANTAR ................................................................................................ iv 
DAFTAR ISI .............................................................................................................. vii 
DAFTAR TABEL ....................................................................................................... x 
DAFTAR GAMBAR .............................................................................. xi 
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................... xii 
I. PENDAHULUAN 
A. Latar Belakang .......................................................................... 1 
B. Tujuan dan Kegunaan .............................................................. 4 
II. TINJAUAN PUSTAKA 
A. Landskap ................................................................................... 5 
B. Mental Model ......................................................................... 5 
C. Hutan Lindung ....................................................................... 6 
D. Pengelolaan Hutan Lindung .................................................... 7 
E. Hutan Desa ............................................................................. 7 
F. Hak Pengelolaan Hutan Desa .................................................. 8 
G. Pemanfaatan Areal.................................................................. 11 
H. Pengorganisasian & Kelembagaan .......................................... 11 
I. Bumdes .................................................................................. 12 
III. METODE PENELITIAN 
A. Waktu dan Tempat ................................................................ 13 
B. Alat dan Bahan ...................................................................... 13
vii 
C. Teknik Pengambilan Sampel .................................................. 14 
1. Populasi & Sampel ............................................................. 14 
2. Teknik Pengumpulan Data .................................................. 14 
3. Jenis Data ........................................................................... 15 
4. Analisis Data ...................................................................... 15 
5. Konsep Oprasional ............................................................. 16 
IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 
A. Letak Dan Luas ...................................................................... 18 
B. Topografi Wilayah ................................................................. 19 
C. Penggunaan Lahan Dan Jenis Tanah ...................................... 20 
D. Kependudukan ........................................................................ 22 
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 
A. Deskripsi Umum Landskap Hutan Desa Pattaneteang ............ 23 
1. Luas Areal ...................................................................... 23 
2. Topografi ........................................................................ 23 
3. Jenis Tanah…………… …………………………………. 25 
4. Curah Hujan .................................................................... 26 
5. Penutupan Lahan ............................................................. 28 
6. Pemanfaatan Areal Kerja...………………………………. 32 
7. Daerah Aliran Sungai ...................................................... 34 
B. Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Landskap ........................ 36 
1. Faktor Sosial ..................................................................... 36 
2. Faktor Ekonomi ............................................................... 38 
Penataan Landskap Hutan Desa Untuk Fungsi Lindung ........... 40 
1. Fungsi Tata Air ................................................................... 40 
2. Tehnik Pengendalian Erosi ................................................. 42 
a. Lahan Hutan Campuran Kopi …………..………………. 42 
b. Lahan Monokultur Kopi ………………………………... 44
viii 
VI. PENUTUP 
A. Kesimpulan ............................................................................... 50 
B. Saran ........................................................................................ 51 
DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 52 
LAMPIRAN.............................................................................................. 54
ix 
DAFTAR GAMBAR 
No Teks 
Halaman 
1. Peta Administrasi Desa Pattanenteang………………….………. 19 
2. Peta Klas Lereng Desa Pattaneteang…………………………….. 24 
3. Peta Curah Hujan Desa Pattaneteang.............................................. 27 
4. Peta Lokasi Pengambilan Sampel................................................... 30 
5. Profil Desa Pattaneteang................................................................. 30 
6. Profil Desa Pattanetang................................................................... 31 
7. Batas Sub Das Salo Maesa.............................................................. 35 
8. Skema Rorak................................................................................... 44 
9. Tanaman Penutup Tanah................................................................. 46 
10. Penerapan Skema Rorak & Tanaman Penutup Tanah..................... 47
x 
DAFTAR TABEL 
No Teks 
Halaman 
1. Tabel Luas Klas Lereng Desa Pattanetang………………………...... 
29 
2. Tabel Jenis Tanah Dalam Luasan………………………………….... 
21 
3. Jumlah Penduduk dan Jumlah Kepala Keluarga Desa Pattanetang 
…………………………….…….………………………………….. 
22 
4. Tabel Luas Klas Lereng Desa Pattaneteang.......................................... 23 
5. Tabel Curah Hujan Desa Pattanetang .................................................. 26 
6. Tabel Luas Penutupan Hutan Desa……….………………................ 28
xi 
DAFTAR LAMPIRAN 
No Teks 
Halaman 
1. Daftar nama pemilik lahan yang berada pada areal Hutan Desa 
Pattaneteang ...................................................................................... 
54 
2. Data Responden Penelitian……………………………………..…… 56 
3. si Tally Sheet.......................................................................................... 57 
4. Kuisioner.........…………………………………………….…….….. 
58
1 
I. PENDAHULUAN 
A. Latar Belakang 
Hutan Desa adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan 
untuk kesejahteraan desa. Hutan desa dibentuk atas pertimbangan pemberdayaan 
masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan, serta untuk mewujudkan 
pengelolaan hutan yang adil dan lestari. Pembentukan Hutan Desa diawali dari 
usulan penetapan areal kerja hutan desa oleh Bupati/walikota kepada Menteri 
Kehutanan berdasarkan permohonan kepala desa. Permohonan kepala desa 
tersebut dilampiri peta dengan skala minimal 1:50.000 dan deskripsi kondisi 
kawasan hutan antara lain fungsi hutan, topografi, dan potensi. Apabila areal kerja 
hutan telah memperoleh penetapan dari Menteri Kehutanan, selanjutnya kepala 
desa mensosialisasikan kepada masyarakat dan kemudian membentuk Lembaga 
Desa yang akan mengelola areal kerja hutan desa yang telah ditetapkan tersebut. 
Kriteria kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai areal kerja hutan 
desa adalah hutan lindung dan hutan produksi yang belum dibebani hak 
pengelolaan atau ijin pemanfaatan dan berada dalam wilayah administrasi desa 
yang bersangkutan. Kriteria tersebut berdasarkan rekomendasi dari Kepala KPH 
atau kepala dinas kabupaten/kota yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di 
bidang kehutanan. Hak pengelolaan hutan desa ini diberikan untuk jangka waktu 
paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang. Evaluasi akan dilakukan paling 
lama setiap 5 tahun sekali oleh pemberi hak. 
Para pemegang Hak Pengelolaan Hutan Desa pada kawasan hutan lindung 
dan hutan produksi berhak memanfaatkan kawasan antara lain melalui kegiatan
usaha budidaya tanaman obat, budidaya tanaman hias, budidaya jamur, budidaya 
lebah, penangkaran satwa liar, atau budidaya hijauan makanan ternak. Masyarakat 
juga dapat melakukan kegiatan di bidang jasa lingkungan meliputi pemanfaatan 
jasa aliran air, pemanfaatan air, wisata alam, perlindungan keanekaragaman 
hayati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan, atau penyerapan dan atau 
penyimpanan karbon. 
Hasil hutan bukan kayu yang dapat dimanfaatkan oleh pemegang Hak 
Pengelolaan Hutan Desa antara lain rotan, madu, getah, buah, jamur, atau sarang 
walet, meliputi penanaman, pemanenan, pengayaan, pemeliharaan, pengamanan, 
dan pemasaran hasil. Untuk mengatur pengelolaan hutan desa, pemerintah dalam 
hal ini Departemen Kehutanan telah menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan 
Nomor P.49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa. 
Kabupaten Bantaeng memiliki kekayaan sumberdaya hutan yang relatif 
kecil dibanding kabupaten lain di Sulawesi Selatan, yakni hanya 0,3% dari total 
kawasan hutan Sulawesi Selatan. Namun demikian, kawasan hutan tersebut sangat 
strategis karena dari sekitar 6.222 ha luas kawasan hutan Kabupaten Bantaeng, 
terdapat kawasan hutan lindung seluas 2.773 ha atau sekitar 44,6%, yang 
mempunyai fungsi hidroorologis penting bagi masyarakat Kabupaten Bantaeng 
dan kabupaten lain di sekitarnya. Sebagian besar (54,4%) kawasan hutan 
mengalami degradasi yang sangat berat. Konversi kawasan hutan menjadi lahan 
budidaya pertanian dan perkebunan rakyat merupakan pemicu utama terjadinya 
degradasi. Pada saat ini terdapat 1.518 KK penduduk miskin yang melakukan 
aktivitas perladangan di dalam kawasan hutan dengan luas lahan garapan 2.138 ha 
2
atau rata-rata seluas 1,4 ha/KK. Hal ini menunjukkan tingginya tingkat 
ketergantungan msyarakat atas lahan kawasan hutan. 
Pada tahun 2008, Pemerintah Kabupaten Bantaeng melaksanakan Program 
Pembangunan Hutan Desa sebagai salah satu alternatif solusi untuk mengatasi 
permasalahan pembangunan kehutanan. Pada tahap awal, program ini 
dilaksanakan pada dua desa dan satu kelurahan di Kelompok Hutan Tompobulu 
yaitu, Desa Labbo, Desa Pattaneteang, dan Kelurahan Campaga. Luas kawasan 
hutan yang kritis di ketiga desa tersebut sebesar 398 ha atau sebesar 56,6% dari 
704 ha total kawasan hutan, terdapat 320 KK (30%) yang melakukan aktivitas 
usahatani kebun kopi di dalam kawasan hutan, dengan luas kebun kopi sebesar 
165 ha. Produktivitas kebun kopi tersebut relatif rendah yaitu sebesar 0,518 
ton/ha/tahun untuk jenis robusta dan sebesar 0,489 ton/ha/tahun untuk jenis 
Arabica. Masyarakat juga telah mengembangkan budidaya tanaman markisa pada 
lahan-lahan di luar kawasan hutan, dan tanaman tersebut berpotensi untuk 
dikembangkan di dalam kawasan hutan melalui pengembangan pola-pola 
agroforestry. 
Permasalahan saat ini adalah untuk melakukan model pengelolaan yang baik 
dengan mempertimbangkan fungsi hutan lindung, tata air, pengelolaan yang 
berkelanjutan yang diperbenturkan akan kebutahan hidup masyarakat yang 
bergantung pada Hutan Desa. Untuk itu diperlukan studi pembuatan landskap 
hutan desa agar model pengelolaan nantinya akan mempertimbangkan aspek 
fungsi lindung tanpa mengabaikan sosial ekonomi untuk meningkatkan 
kesejahteraannya masyarakat. 
3
Lanskap Kehutanan sendiri adalah seni mengatur hutan untuk mendapatkan 
sebanyak mungkin manfaat yang membutuhkan dua atau lebih jenis produksi 
barang yang diinginkan, dengan mempertimbangkan aspek kelestarian hutan 
secara berkelanjutan (Boyce 1995). Dengan demikian hadirnya studi landskap 
kehutanan dinilai dapat menjawab permasalahan diatas. Ketika kawasan hutan 
yang telah kritis ditanami kopi yang dinilai tidak produktif, selain itu masyarakat 
telah mendapatkan hak pemanfaatan sedangkan fungsi lindung hutan semakin 
terancam maka dibutuhkan suatu model pengelolan yang baru untuk mengatur 
semua itu. 
4 
B. Tujuan dan Kegunaan 
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : 
1. Mengetahui faktor-faktor sosial yang mempengaruhi landskap hutan desa di 
Desa Pattaneteang Kabupaten Bantaeng. 
2. Melakukan penataan Landskap Hutan Desa yang sesuai dengan tujuan 
pengelolaan hutan lindung. 
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi model landskap untuk 
pemanfaatan areal hutan desa, dengan mempertimbangkan aspek hutan dalam 
mendukung fungi lindung. Agar tercipta pengelolaan hutan desa secara 
berkelanjutan dan lestari.
5 
II. TINJAUAN PUSTAKA 
A. Landskap 
Lanskap Kehutanan adalah seni mengatur hutan untuk mendapatkan 
sebanyak mungkin manfaat yang membutuhkan dua atau lebih jenis produksi 
barang yang diinginkan, dengan mempertimbangkan aspek kelestarian hutan 
secara berkebelanjutan (Boyce 1995). 
Landskap Ekologi adalah ilmu meningkatkan hubungan antara pola spasial 
dan proses ekologis pada skala besar dan tingkat organisasi. (Wu & Hobbs 2002). 
Forman dan Godron (1986) mendefinisikan lanskap sebagai "lahan heterogen 
terdiri dari ekosistem yang saling berinteraksi antara satu dengan yang lain dalam 
suatu areal." 
Landskap meliputi gambaran-gambaran yang nampak dari suatu lahan, 
termasuk element-element biofisik (bentuk lahan), air, element-element hidup 
(penutupan lahan), elemant-element manusia (penggunaan lahan bagunan & 
struktur) dan element yang dapat berubah seperti iklim dan cuaca (Calder 1981) 
B. Mental Model 
Mental model adalah gambaran pola realitas kehidupan yang ada dalam 
pikiran seseorang. Penjelasan mengenai proses berpikir seseorang tentang 
bagaimana sesuatu bekerja didunia nyata. Cara untuk menggambarkan proses 
aktifitas manusia untuk memecahkan masalah penalaran deduktif (Boyce 1995). 
Mental Model Suatu proses menilai diri sendiri untuk memahami, asumsi, 
keyakinan, dan prasangka atas rangsangan yang muncul. Mental model 
memungkinkan manusia bekerja dengan lebih cepat. Namun, dalam organisasi
yang terus berubah, mental model ini kadang-kadang tidak berfungsi dengan baik 
dan menghambat adaptasi yang dibutuhkan. Dalam organisasi pembelajar, mental 
model ini didiskusikan, dicermati, dan direvisi pada level individual, kelompok, 
dan organisasi (Senge.P dkk ,1999) 
6 
C. Hutan Lindung 
Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai 
perlindungan sistem penyangga kehidupan (Departemen Kehutanan,1999). Hutan 
lindung (protection forest) adalah suatu kawasan hutan yang telah ditetapkan oleh 
pemerintah atau kelompok masyarakat tertentu untuk dilindungi, agar fungsi-fungsi 
ekologisnya --terutama menyangkut tata air dan kesuburan tanah-- tetap 
dapat berjalan dan dinikmati manfaatnya oleh masyarakat di sekitarnya. Undang-undang 
RI no 41/1999 tentang Kehutanan menyebutkan. 
“Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai 
perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah 
banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara 
kesuburan tanah.“ 
Dari pengertian di atas tersirat bahwa hutan lindung dapat ditetapkan di wilayah 
hulu sungai (termasuk pegunungan di sekitarnya) sebagai wilayah tangkapan 
hujan (catchment area), di sepanjang aliran sungai bilamana dianggap perlu, di 
tepi-tepi pantai (misalnya pada hutan bakau), dan tempat-tempat lain sesuai fungsi 
yang diharapkan. (http://id.wikipedia.org/wiki/Hutan_lindung)
7 
D. Penglolaan Hutan Lindung 
Pengelolaan hutan lindung dimaksud meliputi kegiatan : tata hutan dan 
penyusunan rencana pengelolaan hutan lindung, pemanfaatan dan penggunaan 
kawasan hutan lindung, rehabilitasi dan reklamasi hutan lindung, dan 
perlindungan hutan dan konservasi alam di hutan lindung (Departemen 
Kehutanan,1999). 
E. Hutan Desa 
Menurut San Afri Awang, Pengertian hutan desa dapat dilihat dan beberapa 
sisi pandang antara lain: 
1. Di lihat dari aspek teritorial, hutan desa adalah hutan yang masuk dalam 
wilayah adininistrasi sebuah desa definitif, dan ditetapkan oleh 
kesepakatan masyarakat. 
2. Di lihat dari aspek status, hutan desa adalah kawasan hutan negara yang 
terletak pada wilayah adininistrasi desa tertentu, dan ditetapkan oleh 
pemerintah sebagai hutan desa. 
3. Di lihat dari aspek pengelolaan, hutan desa adalah kawasan hutan inilik 
rakyat dan inilik pemerintah yang terdapat dalam satu wilayah adininstrasi 
desa tertentu, dan ditetapkan secara bersama-sama antara pemerintah 
daerah dan pemerintah sebagai hutan desa yang dikelola oleh organisasi 
masyarakat desa. 
Hutan Desa merupakan salah satu skim kebijakan pemberdayaan masyarakat 
di dalam pengelolaan hutan. Hutan desa sebagaimana disebutkan di dalam 
Permenhut No. P.49/Menhut-II/2008 adalah hutan negara yang dikelola oleh desa
dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa. Penyelenggaraan hutan desa 
dimaksudkan untuk memberikan akses kepada masyarakat setempat melalui 
lembaga desa dalam memanfaatkan sumberdaya hutan secara lestari dengan 
tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat secara berkelanjutan 
(P.49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa). 
8 
2. Hak Pengelolaan Hutan Desa 
Mengacu pada penjelasan UU 41/1999 tentang Kehutanan, khususnya pada 
penjelasan pasal 5, hutan desa adalah hutan negara yang dimanfaatkan oleh desa 
untuk kesejahteraan masyarakat desa. Selanjutnya di dalam PP 6/2007 tentang 
Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, hutan desa didefinisikan 
sebagai hutan negara yang belum dibebani izin atau hak yang dikelola oleh desa 
dan untuk kesejahteraan desa (Departemen Kehutanan,1999). 
Pemberian akses pengelolaan hutan desa lebih lanjut dituangkan dalam 
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.49/Menhut-II/2008, tentang Hutan Desa, 
yang ditetapkan pada 28 Agustus 2008. Kawasan hutan yang dapat ditetapkan 
sebagai areal kerja hutan desa adalah hutan lindung dan hutan produksi yang 
belum dibebani hak pengelolaan atau ijin pemanfaatan dan berada dalam wilayah 
administrasi desa yang bersangkutan (P.49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa.) 
Para pemegang Hak Pengelolaan Hutan Desa pada kawasan hutan lindung dan 
hutan produksi berhak memanfaatkan kawasan antara lain melalui kegiatan usaha 
budidaya tanaman obat, budidaya tanaman hias, budidaya jamur, budidaya lebah, 
penangkaran satwa liar, atau budidaya hijauan makanan ternak (P.49/Menhut- 
II/2008 tentang Hutan Desa.)
Masyarakat juga dapat melakukan kegiatan di bidang jasa lingkungan meliputi 
pemanfaatan jasa aliran air, pemanfaatan air, wisata alam, perlindungan 
keanekaragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan, atau 
penyerapan dan atau penyimpanan karbon. Hasil hutan bukan kayu yang dapat 
dimanfaatkan oleh pemegang Hak Pengelolaan Hutan Desa antara lain rotan, 
madu, getah, buah, jamur, atau sarang walet, meliputi penanaman, pemanenan, 
pengayaan, pemeliharaan, pengamanan, dan pemasaran hasil (P.49/Menhut- 
II/2008 tentang Hutan Desa.). 
9 
3. Pengelolaan Hutan Desa 
Dari hutan desa ini, masyarakat dapat memanfaatkan hasil hutan kayu dan 
bukan kayu yang ada dalam kawasan selain memanfaatkan jasa lingkungan. 
Namun untuk hutan yang berstatus lindung, masyarakat tidak dapat 
memanfaatkan kayunya. Untuk pemanfaatan hasil hutan kayu juga tetap mengacu 
pada aturan yang ada. Masyarakat juga dapat melakukan aktivitas budidaya 
tanaman atau penangkaran satwa (Heri Mustari, 2009) 
Hutan desa ini merupakan sebuah bentuk perubahan tata kelola hutan yang 
dilaksanakan untuk kelestarian hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat 
di sekitar hutan. Perlu juga dipahami bahwa hak pengelolaan yang diberikan ini 
bukan merupakan kepemilikan atas kawasan hutan dan pengelolaannya juga harus 
memerhatikan kaidah-kaidah pengelolaan hutan lestari. Hutan desa tentunya akan 
lebih melihat hutan dan masyarakat yang hidup di sekitarnya selama ratusan tahun 
sebagai satu kesatuan yang mampu mewujudkan hutan lestari sebagaimana yang 
diharapkan (Heri Mustari, 2009)
Menururut Mustari ada Tiga paradigma atau cara pandang pengelolaan hutan 
10 
tersebut bisa dijelaskan sebagai berikut: 
1. Paradigma pengelolaan hutan dan sumber daya alam untuk kepentingan 
kelestarian (Ecofasis). 
Dengan cara pandang seperti ini, pengelolaan hutan lestari masih 
terjebak pada pemahaman yang sempit tentang pengelolaan hutan dimana 
masyarakat adalah bagian terpisah dari hutan. Hutan dianggap sebagai 
kawasan suci yang tidak boleh dijamah masyarakat, walaupun masyarakat 
tersebut telah ratusan tahun tinggal dikawasan hutan yang dianggap suci. 
Masyarakat tidak punya hak untuk mengelola sumber daya alam yang 
sebenarnya sangat dekat dengan mereka dan bahkan dapat 
menyejahterakan. 
2. Paradigma yang lebih berorientasi pada pengelolaan hutan dan sumber 
daya alam untuk kepentingan ekonomi (Ecodevelopmentalis). 
Dengan cara pandang seperti inilah sejak puluhan tahun lalu, 
pemerintah memberikan hak kelola hutan pada pemodal sehingga yang 
muncul kemudian adalah praktek eksploitasi yang berdampak pada 
deforestasi massal terhadap sumber daya hutan yang ada di Indonesia. 
Cara pandang ini juga tidak memberikan dampak pembangunan yang 
berkelanjutan, masyarakat hanya menjadi penonton di wilayahnya sendiri, 
bencana alam pun tak terelakkan lagi. Hal ini sangat terlihat pada 
runtuhnya industri perkayuan yang dahulu dianggap sebagai salah satu 
penopang pembangunan di Indonesia.
3. Paradigma yang lebih berorientasi pada bagaimana hutan dan sumberdaya 
alam yang ada di dalamnya bisa diakses masyarakat dengan tujuan untuk 
mensejahterakan masyarakat di sekitar hutan (ecopopulis). 
Pemerintah kemudian mencoba mengambil jalan baru dengan 
kebijakan hutan desa. Ini merupakan bentuk pengejawantahan dari cara 
pandang yang ketiga karena memperhatikan deforestasi dan bencana 
ekologis yang terjadi sementara masyarakat hanya bisa merasakan dampak 
tanpa bisa mengakses pemanfaatan hutan tersebut. 
11 
4. Pemanfatan Areal 
Hutan desa merupakan pengelolaan hutan negara dengan melibatkan 
masyarakat lokal sebagai aktor utama. Pada prakteknya, lahan di hutan negara 
tersebut diserahkan kepada rakyat yang akan mengelola hutan tersebut dengan 
perjanjian diantara dua belah pihak. Dalam pembagian areal garapan ini mesti 
dilakukan secara adil sehingga tidak akan menimbulkan gejolak diantara para 
petani hutan yang menggarap lahan tersebut. Keadilan serupa ini juga mesti 
ditegakkan ketika menentukan pembagian hasil keuntungan pengolahan hutan 
antara negara dengan rakyat melalui suatu perundingan terbuka dan partisipatif 
diantara negara sebagai pemilik lahan dengan masyarakat lokal sebagai penggarap 
lahan tersebut (Yuwono, 2010). 
5. Pengorganisasian dan Kelembagaan 
a. Masyarakat Desa Hutan 
Masyarakat (community) adalah sekumpulan orang yang mendiami suatu 
tempat tertentu, yang terikat dalam suatu norma, nilai dan kebiasaan yang
disepakati bersama oleh kelompok yang bersangkutan. Berdasarkan pada 
tipologinya, masyarakat desa hutan adalah masyarakat yang mendiami wilayah 
yang berada di sekitar atau di dalam hutan dan mata pencaharian/pekerjaan 
masyarakatnya tergantung pada interaksi terhadap hutan (Awang dkk, 2008). 
12 
6. Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) 
Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), Badan usaha ini sesungguhnya telah 
diamanatkan di dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 
(bahkan oleh undang-undang sebelumnya, UU 22/1999) dan Peraturan Pemerintah 
(PP) no. 71 Tahun 2005 Tentang Desa. Pendirian badan usaha tersebut harus 
disertai dengan upaya penguatan kapasitas dan didukung oleh kebijakan daerah 
(Kabupaten/Kota) yang memfasilitasi dan melindungi usaha ini dari ancaman 
persaingan para pemodal besar. Mengingat badan usaha ini merupakan lembaga 
ekonomi baru yang beroperasi di pedesaan dan masih membutuhkan landasan 
yang kuat untuk tumbuh dan berkembang. Pembangun landasan bagi pendirian 
BUMDes adalah Pemerintah (PKDSP, 2007).
13 
III. METODE PENELITIAN 
A. Waktu dan Tempat 
Penelitian ini dilaksanakan selama 1 bulan yaitu bulan Juli sampai Agustus 
tahun 2010 pada hutan desa ,di Desa Pattaneteang, Kecamatan Birengere 
Kabupaten Bantaeng. 
B. Alat dan Bahan 
1. Kamera untuk mendokumentasikan objek penting yang terkait dengan 
penelitian 
2. Alat tulis menulis untuk mencatat data-data yang diperoleh di Lapangan 
3. Kompas. 
4. Meteran Roll. 
5. GPS 
6. Peta Hutan Desa Pattaneteang Kabupaten Bantaeng 
7. Penutupan Lahan. 
8. Peta Kelerengan 
9. Peta Intensitas Curah Hujan 
10. Peta Jenis Tanah
14 
C. Teknik Pengambilan Sampel 
Teknik pengumpulan dilakukan dengan metode propusive sampling, yaitu 
pengambilan sampel dilakukan dengan berdasarkan keriteria-kriteria tertentu 
seperti status lahan, dan perbedaan vegetasi pada tiap lahan. 
1. Populasi dan Sampel 
a. Populasi 
Populasi penelitan adalah seluruh areal hutan desa di desa Pattaneteang. 
Populasi sasaran adalah rumah tangga dan areal hutan desa yang dikelola oleh 
setiap rumah tangga. 
b. Sampel 
Sampel penelitian adalah setiap rumah tangga pengelola areal hutan desa yang 
memiliki lahan pada areal tersebut. 
2. Teknik Pengumpulan Data 
Pengumpulan data dilakukan melalui pengukuran, pengamatan, wawancara 
dan telaah dokumentasi berbagai sumber, seperti laporan hasil penelitian, laporan 
dari instansi-instansi terkait atau yang terkait dengan tujuan penelitian. 
Pengukuran dilakukan untuk mengumpulkan datakondisi biofisik setiap unit 
landskap. Pengamatan dilakukan untuk mengetahui kondisi umum landskap. 
Wawancara dilakukan untuk mengumpulkan data sosial ekonomi masyarakat 
yang mempunyai lahan didalam Hutan Desa Pattaneteang.
15 
3. Jenis Data 
a. Data Primer 
Data primer terdiri atas : 
1) Kodisi biofisik Landskap Hutan Desa meliputi luas, kelerengan, 
penutupan vegetasi, ketinggian muka laut, jenis tanah, daerah aliran 
sungai, curah hujan dan jarak dari pusat desa. 
2) Kondisi umum landskap yang meliputi, jenis tanaman, struktur, 
tindakan-tindakan konservasi, dan preskripif pengelolaan. 
b. Data Sekunder 
Data sekunder adalah data yang didapatkan dari faktor yang mempengaruhi 
Landskap Hutan Desa, yaitu sejarah dan system pengelolaan, status lahan, 
produktifitas komoditas yang ditanam, . 
4. Analisis Data 
Data yang dikumpulkan kemudian dianalisis secara kuantitatif dan 
deskriftif sebagi berikut : 
1. Analisis Kuantatif 
Analisis spasial dilakukan dengan menumpangsusunkan (overlay) beberapa 
data spasial untuk menghasilkan unit pemetaan baru yang akan digunakan 
sebagai unit analisis. Pada setiap unit analisis tersebut dilakukan analisis terhadap 
data atributnya yang tak lain adalah data tabular, sehingga analisisnya disebut juga 
analisis tabular/attribut. Hasil analisis tabular selanjutnya dikaitkan dengan data 
spasialnya untuk menghasilkan data spasial yang mengambarkan pembentuk unit 
landskap.
16 
2. Analisis Deskriptif 
Metode analisis deskriptif yang digunakan adalah “Analisis Mental Model” 
untuk mengetahui sejarah dan faktor-faktor pembentuk unit ladskap Hutan Desa 
Pattaneteang 
5 . Konsep Operasional 
a. Lanskap Kehutanan adalah seni mengatur hutan untuk mendapatkan 
sebanyak mungkin manfaat yang membutuhkan dua atau lebih jenis 
produksi barang yang diinginkan, dengan mempertimbangkan aspek 
kelestarian hutan secara berkelanjutan. 
b. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok 
sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan. 
c. Hutan Desa adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan 
untuk kesejahteraan desa. Hutan desa dibentuk atas pertimbangan 
pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan, serta untuk 
mewujudkan pengelolaan hutan yang adil dan lestari. 
d. Mental Model adalah gambaran pola realitas kehidupan yang ada dalam 
pikiran seseorang. Penjelesan mengenai proses berpikir seseorang tentang 
bagaimana sesuatu bekerja di dunia nyata. Cara untuk menggambarkan 
proses manusia melalui untuk memecahkan masalah penalaran deduktif. 
e. Analisis spasial dilakukan dengan menumpangsusunkan (overlay) 
beberapa data spasial untuk menghasilkan unit pemetaan baru yang akan 
digunakan sebagai unit analisis.
f. Analisis spasial adalah analisis yang dilakukan dengan 
menumpangsusunkan (overlay) beberapa data spasial untuk menghasilkan 
unit pemetaan baru yang akan digunakan sebagai unit analisis. 
g. Analisis deskriptif adalah metode-metode yang berkaitan dengan 
pengumpulan dan penyajian suatu informasi berupa keterangan dan yang 
menggambarkan suatu data sehingga memberikan informasi yang berguna. 
h. Analisis vegetasi adalah metode yang bertujuan untuk mengetahui struktur 
dan komposisi vegetasi komunitas hutan dan hubungannya dengan 
lingkungan tempat tumbuh. 
17
18 
BAB IV. KEADAAN UMUM WILAYAH DESA PATTANETEANG 
A. Letak Dan Luas 
Desa Pattaneteang secara administratif termasuk dalam wilayah 
Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan. Letak 
wilayah Desa ini berjarak 28 km dari ibu kota Kabupaten dan 146 km dari ibu 
kota Provinsi Sulawesi Selatan. 
Luas wilayah Desa Pattaneteang 1.161.5 ha. Desa ini terbagi atas tiga 
Dusun yaitu, Bungeng, Katabung, dan Biring’Ere (Gambar 1). Desa Pattaneteang 
mempunyai batas wilayah sebagai berikut : 
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Ulu Ere’,Kabupaten Bantaeng. 
b. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bulukumba, Kecamatan 
Gantarangkidang. 
c. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Labbo, Kecamatan Tompobulu, 
Kabupaten Bantaeng. 
d. Sebelah Selatan Berbatasan dengan Kabupaten Bulukumba, Kecamatan 
Gangking. 
Letak Geografi Desa Pattaneneang adalah 119o58’00” - 119 o 59’20”. 
Bujur Timur dan 05 o 22’40” - 05 o 24’20” Lintang Selatan, dengan ketinggian 
antara 650 – 1700 meter dari permukaan laut.
19 
Gambar 1. Peta Administrasi Desa Pattaneteang 
B. Topografi Wilayah 
Dari hasil overlay peta klas lereng Banteang dengan peta batas Desa maka 
didapatkan sebaran kelas lereng yaitu klas lereng sangat curam dan agak curam. 
Hasil analisis peta diketahui sebagian besar (82,95%) areal Desa Pattaneteang 
termasuk klas lereng sangat curam (kelerengan > 45%). Areal tersebut berada 
pada bagian Barat Desa Pattaneteang sedangkan areal dengan kelerengan agak 
curam berada pada bagian Timur Desa Pattaneteang. Informasi luasan masing-masing 
klas lereng dapat dilihat pada Table 3.
20 
Tabel 3. Luas Kelas Lereng Desa Pattaneteang 
No Klas Lereng 
Sebaran Klas Lereng 
Total Wilayah Desa Areal Kerja Hutan Desa 
Luas (ha) % Luas(ha) % 
1 Sangat Curam 963.5 82.95 339.2 100 
2 Agak Curam 198 17.05 - - 
TOTAL 1161.5 100 339.2 100 
Sedangkan pada Areal kerja Hutan Desa Pattaneteang keseluruhannya 
berada di kelas lereng sangat curam atau sebesar 35.2% dari kelas lereng sangat 
curam dari Desa Pattaneteang. 
C. Penggunaan Lahan Dan Jenis Tanah 
1. Pengguanaan Lahan 
Penggunaan lahan di Desa Pattaneteang terdiri dari Areal perkebunan yang 
didominiasi kebun kopi dan cengkeh. Hutan Lindung seluas 339,2 ha atau sama 
dengan 29,20% dari totol keseluruhan Desa Pataneteang, Adapun penggunaan 
lain seperti areal pemukiman, dan semak belukar. 
2. Tanah 
Dari hasil overlay peta jenis tanah Kab.Bantaeng dan batas administrasi 
Desa Pattanetang, dapat dijelaskan secara makro bahwa jenis tanah pada Desa 
Pattanetang terdiri dari dua yaitu Andosol dan Latosol. Masing-masing luasan 
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Jenis Tanah dalam Luasan 
No. Jenis Tanah Luas (Ha) Persentase 
1 Andosol 1021 87.90% 
2 Latosol 140.5 12.09% 
Tabel 1 jenis menunjukan tanah Latosol yang paling sedikit dijumpai di 
Desa Pattaneteang, jenis tanah ini tersebar merata pada bagian paling Selatan 
Desa ini dan menutupi 12.10 % dari total luas wilayah Desa Pattaneteang. 
Sedangkan jenis tanah Andosol sebesar 87.90% atau seluas 1021 ha yang tersebar 
merata di daerah bagian Barat Desa ini. Hal ini menandakan jenis tanah pada 
seluruh Areal Hutan Desa Pattaneteang adalah jenis tanah Andosol. 
3. Keadaan Iklim 
Untuk melihat keadaan iklm Desa Pattanetang secara umum maka harusla 
dilihat dari letak geografi Kabupaten Bantaeng yang strategis memiliki alam tiga 
dimensi, yakni bukit pegunungan, lembah dataran dan pesisir pantai. Dengan dua 
musim dan perubahan iklim setiap tahunnya yang dikenal di daerah ini dengan 
nama musim barat antara bulan Oktober sampai dengan bulan Maret dan musim 
timur antara bulan April sampai bulan September. 
Iklim di daerah ini tergolong iklim tropis basah dengan curah hujan rata-rata 
setiap bulan 140,5 mm dengan jumlah hari hujan berkisar 153 hari pada tahun 
2008. Musim hujan dengan angin barat jatuh pada bulan Oktober sampai 
September. 
21
22 
D. Kependudukan 
Jumlah keseluruhan penduduk Desa Pattaneteang adalah sebanyak 1846 
jiwa dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 514 kepala keluarga. Untuk lebih 
jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2. 
Tabel 2. Jumlah Penduduk dan Jumlah Kepala Keluarga, Desa Pattaneteang 
No. Lingkungan 
Jumlah 
Penduduk (jiwa) 
Jumlah Kepala 
Keluarga (KK) 
1 Bungeng 586 184 
2 Panrangngaji 644 171 
3 Bioring’ ere 616 159 
Jumlah 1846 514 
Sumber : Kantor Desa Pattaneteang, 2009. 
Pada Dusun Bungeng terdapat 586 jumlah penduduk dari 184 Kepala 
Keluarga yang ada pada Desa Pattaneteang, di dusun inilah penduduk yang paling 
sedikit dibanding dua dusun lainnya. Jumlah penduduk pada dusun ini, terdiri dari 
298 laki-laki dan 288 perempuan . Pekerjaan penduduknya dominan berkebun dan 
bertani. 
Dusun Panrangngaji terdapat 644 jumlah penduduk dari 171 Kepala 
Keluarga yang ada pada Desa Pattaneteang. Penduduk dusun ini terdiri 337 laki-laki 
dan 307 perempuan dari total keseluruhan. Sedangkan di Dusun BiringEre 
terdapat 616 jumlah penduduk dari 159 Kepala Keluarga dan terdiri dari 316 laki-laki 
dan 159 perempuan. Pekerjaan penduduknya dominan berkebun dan bertani.
23 
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 
A. Deskripsi Umum Landskap Hutan Desa Pattaneteang 
1. Luas Areal 
Luas areal keseluruhan Desa Pattaneteang adalah 1161.5 ha dan luas Hutan 
Desa Pattaneteang adalah 339,2 ha. Ini berarti luas Hutan Desa Pattaneteang 
sebesar 29,20% dari luas total Desa Pattaneteang. 
2. Topografi 
a. Kelerengan 
Dari hasil overlay peta klas lereng Kabupaten Banteang dengan peta batas 
Desa Pattaneteang maka didapatkan sebaran kelas lereng Hutan Desa tersebut 
pada Gambar 2. Hasil analisis peta diketahui sebagian besar (82,95%) areal 
Desa Pattaneteang termasuk klas lereng sangat curam (kelerengan >40%). 
Areal tersebut berada pada bagian Barat Desa Pattaneteang sedangkan areal 
dengan kelerengan agak curam berada pada bagian Timur Desa Pattaneteang. 
Informasi luasan masing-masing kelas lereng dapat dilihat pada Tabel 4. 
Tabel 4. Luas Kelas Lereng Desa Pattaneteang 
No Klas Lereng 
Sebaran Klas Lereng 
Total Wilayah Desa Areal Kerja Hutan Desa 
Luas (ha) % Luas(ha) % 
1 Sangat Curam 963.5 82.95 339.2 100 
2 Agak Curam 198 17.05 - - 
TOTAL 1161.5 100 339.2 100
Sedangkan pada areal kerja Hutan Desa Pattaneteang keseluruhannya 
berada di kelas lereng sangat curam (Gambar 2) atau sebesar 35.2% dari kelas 
lereng sangat curam yang ada di Desa Pattaneteang. 
24 
Gambar 2. Peta Kelas Lereng Desa Pattaneteang 
b. Ketinggian Muka Laut 
Ketinggian dari muka laut Desa Pattaneteang yang paling rendah adalah 
ketinggian 725 mdpl (berada di areal pemukiman) dan daerah yang paling 
tinggi sampai pada ketiggian 1750 mdpl (berada dalam Hutan Desa 
Pattaneteang). Sedangkan Areal Hutan Desa Pattaneteang sendiri paling 
rendah berada pada ketiggian 1150 mdpl sampai 1750 mdpl. 
Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa kelas lereng yang sangat curam akan 
mempengatuhi Sungai Salo Maesa dan Sungai Salo Kalambung karena 
keduanya mempunyai Hulu Sungai didaerah yang lebih tinggi dan Klas 
lereng sangat curam, Sedangkan Sungai Balang Bialo yang membagi dua
Hutan Desa Pattanetang mempunyai hulu sungai di kecamatan Elu Ere’ 
dengan puncak ketinggian mencapai 2500 mdpl. Sedangkan Sungai Salo 
Maesa mempunyai puncak ketinggian mencapai 1600 mdpl dan dihilir 450 
mdpl. Dan Sungai Salo Kalambung mempunyai puncak tertinggi di hulu 
mencapai 1067 mdpl dan di hilil 700 mdpl panjang aliran sungai ini dari hulu 
ke hilir kurang lebih 4 km. 
3. Jenis Tanah 
Dari hasil overlay peta jenis tanah Kab.Bantaeng dan areal desa dan 
hutan Desa Pattanetang, dapat dijelaskan secara makro bahwa jenis tanah 
pada hutan desa dan Desa Pattanetang umumnya sama yang tergolong dalam 
jenis tanah andosol. 
Tanah jenis ini biasanya subur dan bertekstur gembur hingga seperti 
lempung, bahkan di beberapa tempat bertekstur debu. Sehingga petani 
menyukainya karena mudah dalam pengolahan. Sangat ringan dicangkul dan 
pori-pori tanahnya memudahkan sirkulasi udara masuk ke akar tanaman. 
Karena mengandung unsur hara sedang hingga rendah (N,P dan K) maka, 
kebanyakan petani memanfaatkan jenis tanah andosol untuk fungsi 
perkebunan seperti teh, kopi, pinus dll. 
Walaupun memiliki banyak kelebihan, namun tanah andosol juga 
memiliki banyak kelemahan. Kelemahan tanah Andosol adalah, karena 
strukturnya yang gembur dan rapuh, sehingga tanah jenis ini sangat mudah 
terseret air hujan, angin dan erosi. Karena itu, petani banyak menyiasatinya 
dengan menggunakan sistem tanam berteras. Di antara sela-sela teras 
25
bertingkat itu biasanya ditanami rumput atau juga tanaman keras penguat 
teras. Dengan berbagai cara tersebut, tingkat erosi dapat dikurangi secara 
signifikan, dan petani dapat tetap memanfaatkannya secara maksimal. 
Dari penjelasan diatas dapat dilihat bahwa tanah andosol memiliki 
kelemahan karena strukturnya yang gembur dan rapuh, maka dilakukan 
tindakan-tindakan untuk mencegah terjadinya erosi. 
4. Curah Hujan 
Data yang didapatkan dari Subdin Pengairan Kabupaten Bantaeng Tahun 
2007. Jika dilihat curah hujan Desa Pattaneteang relatif tinggi pada bulan 
Oktober – Maret, sedangkan pada bulan April – September curah hujan relatif 
rendah (Tabel 5) 
Tabel 5. Tabel Curah Hujan Desa Pattanetang 
26
Umumnya Hujan di sebagian besar wilayah Indonesia dipengaruhi oleh 
angin muson. Angin muson dari barat membawa banyak uap air sehingga 
terjadi musim hujan (oktober-maret). Angin muson dari timur mengandung 
sedikit uap air sehingga terjadi musim kering pada bulan april-september. 
(http://id.answers.yahoo.com/question/index?id=20100318055456AA2Ba6g) 
Hal inilah yang kemungkinan menyebabkan pada Tabel 5 dapat dilihat 
bahwa bulan Oktober – Maret dominan curah hujan tinggi, yang berbeda 
dengan bulan April – September curah hujan dominan rendah. 
Sebaran dari curah hujan tersebut dapat dilihat dari hasil overlay peta 
curah hujan secara makro Kab.Bantaeng dengan peta administrasi Desa 
Pattanetang maka didapatkan dua intensitas curah hujan secara makro pada 
Desa Pattaneteang dapat dilihat pada Gambar 3. Hal ini menggabarkan bahwa 
hampir semua kondisi Desa Pattaneteang mempunyai curah hujan 1100- 
2100mm/thn (curah hujan tinngi) dan sebagian kecil yang berada pada daerah 
agak curam < 1100mm/thn (curah hujan menegah) 
27 
(Gambar 3. Peta Curah Hujan Desa Pattaneteang)
28 
5. Penutupan Lahan 
Hasil observasi dilapangan dapat diketahui penutupan lahan pada areal 
kerja Hutan Desa Pattaneteang terdiri dari Hutan Alam, Hutan Campuran 
dan Monokultur Kopi, luas penutupan lahan tersebut dapat dilihat pada 
Tabel 6, sedangkan penyebarannya dapat dilihat pada Gambar 4. 
Tabel 6. Luas Penutupan Hutan Desa 
No. Penutupan Luas (Ha) Persen Penutupan 
1 Hutan Alam 174.5 51.44% 
2 Hutan Campuran 135 39.7% 
3 Monokultur Kopi 29.7 8.75% 
TOTAL 339.2 100% 
Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa penutupan lahan pada Hutan Desa 
Pattaneteang didominasi oleh Hutan Alam melebih setengah dari areal 
kawasan tersebut atau sebesar 51,44%, sedangkan hutan campuran seluas 
135 ha, penutupan lahan sebesar 39,7% dari luas total keseluruhan Hutan 
Desa Pattanetang. Penutupan lahan yang paling sedikit sebesar 29,7 ha atau 
8,75% adalah monokultur kopi. Deskirpsi pada masing-masing areal 
penutupan Hutan Desa tersebut sebagai berikut 
a. Hutan Alam 
Hutan Alam yang dimaksdukan pada penelitan ini adalah areal yang 
vegetasinya masih alami dan pada areal ini umur pohon > 40 tahun. 
Vegetasi yang biasa dijumpai pada areal ini adalah Albisia, galatiri, 
Damar laki, Damar Gana, Lutuh, Lossongg dan Balanteh.
b. Hutan Campuran 
Hutan Campuran yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah Hutan 
Alam yang disebutkan di atas dan dimanfaatkan oleh warga. 
Pemanfaatan itu berupa menanam kopi dibawah tegakan, tanpa 
menebang pohon – pohon yang telah ada dalam hutan tersebut. Pada 
areal ini tumbuhan kopi rata-rata sudah berumur 10 tahunan. Data 
tersebut dari hasil pengambilan sampel di lapangan (Gambar 4) 
c. Monokultur Kopi 
Monokultur Kopi yang dimaksukan dalam penelitian ini adalah areal 
yang tanamannya dominan kopi dan tumbuhan kayu atau pohon yang 
digunakan sebagai penaung masih berumur rata masih berumur 10 
tahunan. Tumbuhan penaungnya seperti Nangka, Jambu batu, Alpokat, 
Albisia, Kaleandra, Cembang, Mangga, dan Galitiri. Pada areal ini 
tumbuhan kopi rata sudah berumur 6 tahunan. Data tersebut dari hasil 
pengambilan sampel dilapangan (Gambar 4) 
29
30 
Gambar 4. Peta Lokasi Pengambilan Sampel 
Dari hasil analisis yang dilakukan dapat diketahui bahwa penutupan lahan 
Hutan Alam (174.5 ha) pada areal Hutan Desa Pattanetang berjarak kurang lebih 
3,7 sampai 4,1 km dari pemukiman terdekat. Pada Hutan Campuran (135 ha) 
pada areal Hutan Desa Pattaneteang berjarak kurang lebih 3,1 sampai 3,7 km dari 
lokasi pemukiman terdekat. Sedangkan pada Monokultur kopi berjarak pada 2 
sampai 3,1 km dari lokasi pemukiman terdekat. Lebih jelasnya dapat dilihat pada 
Gambar 5 & 6. 
Gambar 5. Profil Desa Pattaneteang
31 
Gambar 6. Profil Desa Pattaneteang 
Dari Gambar 5 & 6, dapat dijelaskan bahwa areal penutupan lahan Hutan 
Alam berada diketinggian 1650 – 1775 dengan jarak ± 3.7km lebih, dari 
pemukiman terdekat, Hutan Campuran berada pada ketinggian 1600 – 1650zmdpl 
dan berjarak ± 3,1km dari pemukiman terdekat. Sedangkan Monokultur Kopi 
berjarak ± 2km dari pemukiman terdekat dengan ketinggian 1450 – 1600mdl. Hal 
ini mengidentifikasikan bahwa sungai-sungai yang melalui warga atau yang 
dimanfaaatkan oleh warga dan hulu sungai tersebut berada dalam Areal Hutan 
Desa maka akan ini akan berdampak pada kuantitas dan kontinyuitas air yang 
megalir di aliran sungai tersebut terhadap kondisi yang berada di Hulu Sungai, 
baik itu kondisi penutupan lahan, kelerengan, dan faktor curah hujan.
32 
6. Pemanfaatan Areal Kerja Hutan Desa 
Dari hasil wawancara kepada 9 responden yang memiliki lahan pada 
Areal Hutan Desa Pattaneteang diketahui bentuk pemanfaatan areal kerja 
Hutan Desa sebagai berikut : 
a. Pemanfaatan ruang tumbuh di bawah tegakan 
Pemanfaatan ruang tumbuh dibawah tegakan, dimulai pada tahun 1999 
karena keterbatasan lahan. Masyarakat setempat beberapa kali melakukan 
pertemuan dengan Dinas Kehutanan Kab.Bantaeng untuk memanfaatkan 
ruang tumbuh dibawah tegakan Hutan Lindung (pada saat ini termasuk areal 
kerja Hutan Desa). 
Dari hasil pertemuan tersebut disepakati bahwa masyarakat boleh 
memanfaatkan areal Hutan Lindung tetapi tidak boleh menebang. Melalu 
kesepakatan tersebut masyarakat masuk berkebun dalam Hutan Lindung 
dengan menanam kopi dibawah tegakan. Pada saat ini masyarakat juga 
menanam markisa didalam Hutan Lindung. 
Karena masyarakat tidak diperbolehkan menebang, maka mereka hanya 
memanfaatkan ruang tumbuh dibawah tegakan untuk menanam kopi 
diselah-selah pohon Albisia, Galitiri, Damar, Lutuh, Lossong dan Balanteh. 
Aktifitas masyarakat memanfaatkan ruang tumbuh tersebut telah 
membentuk penutupan Hutan Campuran pada saat ini. 
b. Pemanfaatan Areal Kritis di dalam Kawasan Hutan. 
Hal yang berbeda dilihat pada lahan kritis yang berada pada Hutan Desa 
Pattaneteang. Pada tahun 2000 – 2001 awal masyarakat memanfaatkan
lahan tersebut ditumbuhi alang-alang dan beberapa kayu cembang yaitu 
salah satu jenis kayu yang pertumbuhannya kerdil dengan ukuran diameter 
batang rata-rata 10 cm. 
Masyarakat memanfaatkan areal kritis tersebut dimulai dengan 
melakukan pembersihan lahan, kemudian ditanami tanaman jagung sambil 
menanam pohon penanung kopi. Jenis-jenisnya seperti Nangka, Jambu batu, 
Alpokat, Albisia, Kaleandra, Cembang, Mangga, dan Galitiri. Setelah 
tanaman penaung tersebut berumur diatas 2 atau 3 tahun, masyarakat 
kemudian mengganti tanaman jagung tersebut dengan tanaman kopi. Hal ini 
kemudian merubah tutupan vegetasi yang dahulunya dominan alang-alang 
menjadi monokultur kopi. Lokasi pengambilan sampel dapat dilihat pada 
Gambar 4. 
33 
7. Daerah Aliran Sungai 
a. Sub DAS Biang Bialo 
Sub Das Balang Bialo mempunyai hulu di Kecamatan Ulu Ere Kabupaten 
Bantaeng dengan puncak ketinggian mencapai 2500 mdpl. Daerah aliran 
sungai ini membelah Hutan Desa Pattaneteang menjadi dua dan sekaligus 
menjadi batas administrasi antara Kabupaten Bantaeng dan Kabupaten 
Bulukumba. Dapat dilihat pada Gambar 7 Sub Das yang berada pada Desa 
Pattaneteang. 
b. Sub DAS Salo Kalambung 
Sub Das Salo Kalambung mempunyai puncak tertinggi di hulu mencapai 
1067 mpdl dan di hilir 700mdl panjang aliran sungai ini dari hulu ke hilir
kurang lebih 4 km. Hulu sungai terdapat di Areal Desa Pattaneteang yang dekat 
dengan pemukiman dan hilir sungai berada pada sungai Salo Bialo yang 
menjadi batas administrasi antara Kabupaten Bantaeng dan Kabupaten 
Bulukumba. 
c. Sub DAS Salo Maesa 
Sub DAS Salo Maesa adalah Sub DAS yang hulu sungainya berada 
pada areal lokasi penelitian, hulu sungainya terdapat pada Hutan Desa 
Pattanetang. Dari hasil analisis yang dilakukan maka didapatkan luas total 
batas Sub DAS Salo Mesa adalah 756 ha yang berada dalam dua kawasan 
administrasi yaitu Desa Pattaneteang dan Desa Labbo. 
Luas total batas Sub DAS Salo Mesa yang berada dalam kawasan 
Hutan Desa Pattaneteang 47.2 ha yang menutupi 2 jenis penutupan vegetasi 
masing-masing hutan campuran 20.1 ha dan hutan monokultur kopi 27.1 
ha. (Gambar 7) Luas Batas Das Salo Mesa yang berada dalam Hutan Desa 
Pattaneteang 3.56% dari jumlah keseluruhan. Hal ini dapat diartikan bahwa 
Sub Das Salo Mesa akan mempengaruhi debit air, baik itu ketersediaan air 
dan kontinyunitas air, setidaknya lebih dari 3.56% ketersediaan air disungai 
tersebut. 
Sub DAS Salo Maesa mempunyai hulu di Hutan Desa Pattaneteang, 
panjang sungai ini sampai ke pemukiman terdekat ± 3.6km , dengan panjang 
sungai dari Hulu ke Hilir ± 8km lebih. Penutupan lahan pada Hutan Desa di 
areal hulu sungai adalah Monokultur Kopi dan Hutan Campuran. Areal 
yang dilalui sungai sampai di pemukiman penduduk setelah Hutan Desa 
34
penutupannya dominan perkebunan kopi dan sisanya adalah perkebunan 
cengkeh. Dihulu puncak ketinggian mencapai 1600mdpl dan dihilir 
450mdpl. 
35 
Gambar 7. Gambar Batas Sub DAS Salo Maesa 
B. Faktor – Faktor yang mempengaruhi Landskap 
Berdasarkan hasil observasi di lapangan dapat diketahui bahwa ada beberapa 
faktor yang mempengaruhi terbentuk landskap Hutan Desa Pattaneteang ialah : 
1. Faktor Sosial 
a. Mental Model Pengelolaan Lahan 
Dari hasil wawancara terhadap 9 responden dapat diketahui bahwa Mental 
model masyarakat yang terbangun dalam dua kondisi vegetasi yang berbeda 
pada saat masyarakat mulai masuk dalam kawasan Hutan Desa. Yaitu dimana 
satu kodisi lahan yang masih banyak ditemukan pohon – pohon yang berumur 
40-60 tahun dan kondisi penutupan masih bagus, dan di kondisi lahan lain
tidak banyak ditemukan pohon-pohon melainkan alang-alng. Hal inilah yang 
kemudian membentuk secara sendirinya membentuk mental model 
masyarakat bagaimana sistem pengelolaan lahan pada dua kondisi berbeda 
tersebut dapat dilaksanakan, berdasarkan pengetahuan yang masyarakat dapat 
dari orang terdahulunya ataupun dari pengalamnnanya langsung dilapangan. 
Hal inilah yang menyebabkan kondisi vegetasi sekarang berbeda. Kondisi 
pada saat sekarang berbeda dapat dilihat dari bagaiman masyarakat tersebut 
melakukan system pengelolaan. 
 Masyarakat yang berkebun di bawah tegakan 
Awal mula masuknya warga pada area hutan desa untuk berkebun pada 
lahan yang bervegetasi lebat masyarakat tidak diperbolehkan menebang 
pohon –pohon yang telah ada, ini dikarenakan salah satu kesepakatan yang 
terjadi pada tahun 2000 yang menyebabakan masyarakat diperbolehkan 
mengelolah kawasan tersebut adalah larangan menebang pohon. Jadi pada 
awal aktifitas masyarakat masuk berkebun dalam hutan desa dimulai 
dengan pembersihan lahan yang berada dilantai hutan, dan kemudian 
ditanami dengan kopi, kebanyakan masyrakat juga menanam markisa 
pada saat itu. Karena masyarakat tidak diperbolehkan menebang maka 
masyarakat hanya memanfaatkan kopi diselah-selah pohon yang telah ada. 
Hal ini lah yang membuat tutupan vegetasi tersebut menjadi hutan 
campuran pada saat ini. Untuk melihat model hutan campuran yang 
memanfaatkan lahan dibawah tegakan untuk menanam kopi ada pada 
Gambar 5 & 6. 
36
 Masyarakat yang berkebun di areal kritis 
Hal yang berbeda dilihat pada lahan yang tidak bervegetasi pada awal 
mula masyarakat masuk untuk berkebun diareal hutan desa. Di daerah ini 
yang ada hanya ditumbuhi alang-alang dan beberapa kayu cembang yang 
batangnya hanya sampai seukuran betis dan kemudian mati. Aktifitas 
masyrakat pertamakali melakukan pembersihan lahan, dan kemudian 
menanami jagung sambil menanam pohon penanung untuk persiapan 
penaung kopi. Barulah sekitar 2 atau 3 tahun pada saat pohon penaung 
tersebut besar, masyarakat kemudian mengganti tanaman jagung tersebut 
dengan tanaman kopi. Hal ini kemudian merubah tutupan vegetasi yang 
dahulunya alang-alang menjadi monokultur kopi. 
b. Status Lahan 
Faktor status lahan juga sangat besar berpengaruh terhadap aktifitas 
masyarakat di kawasan hutan lindung tersebut. Dimulai pada zaman 
penjajahan pada tahun 1940an warga mengangap kawasan hutan lindung 
tersebut dimiliki oleh Belanda, yang pada saat itu menjajah Indonesia. Hal 
tersebut ditandai dengan pemasangan batas – batas yang di buat oleh 
Belanda pada saat itu. Sehingga warga tidak ada yang memasuki kawasan 
tersebut 
Setelah kemerdekaan dan pada tahun 1960an tidak ada yang 
melakukan aktifitas pada kawasan tersebut karena masyarakat juga masih 
trauma dan belum ada kepastian status lahan tersebut, barulah pada tahun 
1989 yang pada saat itu Kepala Dinas Kehutanan melakukan pemasangan 
37
tapal batas kawasan lindung, yang artinya masyarakat, jelas tidak boleh 
melakukan aktifitas didalamnya. Pada tahun 2000 lah baru ada 
kesepakatan – kesepakatan yang terjadi sehingga masyarakat 
diperbolehkan mengelola kawasan lindung tersebut dan bahakan sampai 
setatus kepemilikan lahan wajib pajak (SPPT). 
Disinilah kegiatan yang paling aktif dilakukan didalam hutan lindung 
oleh masyarakat pada tahun 2000-2001 karena status lahan yang telah 
miliki sebagai wajib pajak. 
38 
2. Faktor Ekonomi 
a. Keterbatasan lahan 
Berdasarkan hasil wawancara dari 9 responden dapat dilihat bahwa salah 
satu alasan mengapa warga masuk dan berkeinginan mengelolah kawasan 
lindung pada saat itu adalah masalah keterbatasan lahan di sekitar areal 
pemukiman warga. Karena pada sekitar tahun 1990an areal disekitar 
pemukiman warga sudah padat akan kebun – kebun yang kebanyakan 
ditanami kopi dan cengkeh. Belum lagi ditambah dengan jumlah penduduk 
semakin tahun semakin banyak, hal ini lah yang mengakibatkan perambahan 
sampai hutan desa pattaneteang, disinilah pertama kali warga masuk dalam 
dan mengelolah lahan (pada tahun 2000) yang mana areal tersebut adalah 
Kawasan Hutan Lindung. 
b. Rasio lahan & jumlah kependudukan 
Faktor ekonomi juga yang menyebabkan masuknya perambahan kedalam 
hutan desa pattaneteang. Di desa pattaneteang yang mayoritas penduduknya
bekerja sebagai petani dan berkebun, ditambah lagi dengan pendidikan yang 
tidak memadahi. Maka akan melihat lahan dan hutan adalah salah satunya 
sumber pengahasilan mereka untuk mencukupi kebutuhan hidup. 
Jarak tanam 2 x 2 meter dan setiap pohon rata-rata menghasilkan 3 liter 
39 
Luas Lahan Per KK = 

 
ℎ  ℎ 
ℎ  
= 
19.66 ℎ 
79  
= 0.25ℎ/ 
Jarak tanam kopi 2 x 2 meter = 2500 pohon/ha 
= 625 pohon/kk 
Rata – rata jumlah orang dalam 1 kk adalah 5 orang maka perorang 
akan dihidupi dari lahan tersebut 125 pohon/orang x 3 liter 
(produksi/pohon) = 375 liter/orang. 
Harga jual kopi tersebut 1 liter = Rp. 5.000 jadi 375liter/orang x 
Rp.5000 akan menghasilkan Rp.1.875.000/orang/tahun. 
C. Penataan Landskap Hutan Desa Untuk Fungsi Lindung 
Penataan Landskap untuk tujuan fungsi lindung dapat dilihat dari sejauh 
mana fungsi hidrologi dan fungsi erosi dapat berperan dalam kehidupan dan 
keberlangsung hutan dan sekitar Hutan Desa Pattaneteang. 
Untuk mendukung fungsi hidrologi tersebut dapat dilihat pada uraian 
deskripsi umum Landskap Hutan Desa Pattaneteang, bahwa terdapat tiga daerah 
aliran sungai yaitu DAS yaitu Biang Bialo, Salo Kalambung dan Salo Maesa. 
DAS Salo Maesa adalah daerah aliran sungai yang hulu sungainya terdapat 
pada lokasi penelitian dan daerah aliran sungai ini berdampak sampai ke
pemukiman warga. Hal inilah yang menjadi beberapa alasan daerah aliran sungai 
Salo Maesa menjadi fokus penelitian dari ketiga daerah aliran sungai lainnya. 
1) Fungsi Pengaturan Tata Air (Sub DAS Salo Maesa) 
Luas total batas Sub DAS Salo Mesa adalah 756 ha yang berada dalam 
dua kawasan administrasi yaitu Desa Pattaneteang dan Desa Labbo. Luas total 
batas Sub DAS Salo Mesa yang berada dalam kawasan Hutan Desa 
Pattaneteang 47,2 ha yang menutupi 2 jenis penutupan vegetasi masing-masing 
hutan campuran 20,1 ha dan hutan monokultur kopi 27,1 ha. (Gambar 6) Luas 
Batas Sub Das Salo Mesa yang berada dalam Hutan Desa Pattaneteang 3,56% 
dari jumlah keseluruhan. Hal ini dapat diartikan bahwa Das Salo Mesa akan 
mempengaruhi debit air, baik itu ketersediaan air dan kontinyunitas air, 
setidaknya lebih dari 3,56% ketersediaan air disungai tersebut. 
Sub DAS Salo Maesa mempunyai hulu di Hutan Desa Pattaneteang, 
panjang sungai ini sampai ke pemukiman terdekat ± 3,6km , dengan panjang 
sungai dari Hulu ke Hilir ± 8 km lebih. Penutupan lahan pada Hutan Desa di 
areal hulu sungai adalah Monokultur Kopi dan Hutan Campuran. Areal yang 
dilalui sungai sampai di pemukiman penduduk setelah Hutan Desa 
penutupannya dominan perkebunan kopi dan sisanya adalah perkebunan 
cengkeh. Dihulu puncak ketinggian mencapai 1600 mdpl dan dihilir 450 mdpl. 
Menurut Sihite (2005), Perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi 
kebun kopi menunjukan adanya pertambahan nilai koefisien aliran permukaan 
Ini berarti perubahan penggunaan lahan akan menyebabkan jumlah air yang 
menjadi aliran langsung ke sungai akan bertambah, khususnya pada musim 
40
hujan. Faktor kekerasan permukaan, serasah yang lebih banyak dan system 
perakaran yang lebih dalam menyebabkan kecepakatan aliran permukaan akan 
lebih rendah dan akan memperbesar peluang terjadi infiltrasi ke dalam tanah. 
Faktor ini juga menjadi salah satu penyebab besar atau kecilnya jumlah air 
hujan yang akan langsung memasuki sungai. 
Hal ini menunjukan bahwa Fungsi hidrologi dapat lebih baik di Hutan 
campuran lebih baik daripada monokultur kopi karena di hutan campuran 
lapisan strata lebih banyak, serasah dan system perakarannya juga lebih baik 
sehingga akan lebih rendah dan akan memperbesar peluang infiltrasi kedalam 
tanah. 
Perubahan kondisi tanah sesudah alih fungsi hutan adalah penyebab 
utama terjadinya perubahan fungsi DAS. Sistem Agroforestri berbasis kopi 
dapat mengembalikan kelestarian fungsi hidrologi (Farida, 2004). 
2) Tehnik Pengendalian Erosi 
Secara garis besar, teknik pengendalian erosi dibedakan menjadi dua, yaitu 
teknik konservasi mekanik dan vegetatif. Konservasi tanah secara mekanik adalah 
semua perlakuan fisik mekanis dan pembuatan bangunan yang ditujukan untuk 
mengurangi aliran permukaan guna menekan erosi dan meningkatkan kemampuan 
tanah secara berkelanjutan. 
Pada prinsipnya konservasi mekanik dalam pengendalian erosi harus selalu 
diikuti oleh cara vegetatif, yaitu penggunaan tumbuhan/tanaman dan sisa-sisa 
tanaman/tumbuhan (misalnya mulsa dan pupuk hijau), serta penerapan pola tanam 
41
yang dapat menutup permukaan tanah sepanjang tahun. Adapun Upaya yang 
dilakukan pada dua kondisi penutupan lahan : 
a. Pada Lahan Hutan campuran kopi, dimana umur kopi berumur 10 
tahun. 
 Menggunakan Tanaman penutup tanah. Tanaman penutup tanah adalah 
tumbuhan atau tanaman yang khusus ditanam untuk melindungi tanah dari 
ancaman kerusakan oleh erosi dan / atau untuk memperbaiki sifat kimia 
dan sifat fisik tanah. 
Tanaman penutup tanah berperan: (1) menahan atau mengurangi daya 
perusak butir-butir hujan yang jatuh dan aliran air di atas permukaan 
tanah, (2) menambah bahan organik tanah melalui batang, ranting dan 
daun mati yang jatuh, dan (3) melakukan transpirasi, yang mengurangi 
kandungan air tanah. Peranan tanaman penutup tanah tersebut 
menyebabkan berkurangnya kekuatan dispersi air hujan, mengurangi 
jumlah serta kecepatan aliran permukaan dan memperbesar infiltrasi air ke 
dalam tanah, sehingga mengurangi erosi. 
Tumbuhan atau tanaman yang sesuai untuk digunakan sebagai penutup 
tanah dan digunakan dalam sistem pergiliran tanaman harus memenuhi 
syarat-syarat (Osche et al, 1961): (a) mudah diperbanyak, sebaiknya 
dengan biji, (b) mempunyai sistem perakaran yang tidak menimbulkan 
kompetisi berat bagi tanaman pokok, tetapi mempunyai sifat pengikat 
tanah yang baik dan tidak mensyaratkan tingkat kesuburan tanah yang 
tinggi, (c) tumbuh cepat dan banyak menghasilkan daun, (d) toleransi 
42
terhadap pemangkasan, (e) resisten terhadap gulma, penyakit dan 
kekeringan, (f) mampu menekan pertumbuhan gulma, (g) mudah 
diberantas jika tanah akan digunakan untuk penanaman tanaman semusim 
atau tanaman pokok lainnya, (h) sesuai dengan kegunaan untuk reklamasi 
tanah, dan (i) tidak mempunyai sifat-sifat yang tidak menyenangkan 
seperti duri dan sulur-sulur yang membelit. 
b. Pada Penutupan Lahan Monokultur kopi, dimana umur kopi tersebut 5 
tahunan 
 Pembuatan Rorak. Rorak merupakan lubang penampungan atau peresapan 
air, dibuat di bidang olah atau saluran resapan. Pembuatan rorak bertujuan 
untuk memperbesar peresapan air ke dalam tanah dan menampung tanah 
yang tererosi. Pada lahan kering beriklim kering, rorak berfungsi sebagai 
tempat pemanen air hujan dan aliran permukaan. 
Dimensi rorak yang disarankan sangat bervariasi, misalnya kedalaman 
60 cm, lebar 50 cm, dan panjang berkisar antara 50-200 cm. Panjang rorak 
dibuat sejajar kontur atau memotong lereng. Jarak ke samping antara satu 
rorak dengan rorak lainnya berkisar 100-150 cm, sedangkan jarak 
horizontal 20 m pada lereng yang landai dan agak miring sampai 10 m 
pada lereng yang lebih curam. Dimensi rorak yang akan dipilih 
disesuaikan dengan kapasitas air atau sedimen dan bahan-bahan terangkut 
lainnya yang akan ditampung. 
Sesudah periode waktu tertentu, rorak akan terisi oleh tanah atau 
serasah tanaman. Agar rorak dapat berfungsi secara terus-menerus, bahan- 
43
bahan yang masuk ke rorak perlu diangkat ke luar atau dibuat rorak yang 
baru. 
Pedoman Konservasi Tanah dan Air yang diterbitkan oleh Tim 
Peneliti BP2TPDAS IBB Departemen Kehutanan (2002) 
merekomendasikan pembuatan rorak dengan persyaratan teknis: 
a) Ukuran panjang 1 – 2 meter, lebar 25-50cm dan dalam 20 – 30 cm. 
b) Rorak dapat diisi dengan mulsa untuk mengurangi sedimentasi dan 
44 
meningkatkan kesuburan tanah. 
c) Pembuatan rorak mengakibatkan pengurangan luas lahan olah sebesar 
3 – 10% 
d) Rorak buntu dapat dibuat pada bagian lereng atas dari tanaman 
e) Sedimen yang tertampung dalam rorak buntu 
Gambar 7. Skema rorak 
 Penerapan Sistem Agroforestry perlu diterapkan pada areal ini sehingga 
lapisan strata lebih banyak dan system perakaran hutan yang dalam, serta 
adanya serasah tanaman yang menutupi permukaan tanah akan lebih baik 
untuk menjaga fungsi Hidrologi dan Erosi sesuai tujuan Fungsi Lindung 
tanpa menyepelekan kebutuhan ekonomi masyarakat. System Agrogorestri
ini dapat dilakukan dengan menanam tanaman-tanaman buah-buahan 
(MPTS) dan kopi sebagai tanaman bawahnya. Jauh lebih baik dibanding 
tanaman kayu-kayuan yang mungkin akan menyebabkan keinginan untuk 
menebang nantinya. Hal ini dilakukan untuk menambah lapisan strata. 
 Menggunakan Tanaman penutup tanah. Tanaman penutup tanah pada 
gambar 8 adalah tumbuhan atau tanaman yang khusus ditanam untuk 
melindungi tanah dari ancaman kerusakan oleh erosi dan / atau untuk 
memperbaiki sifat kimia dan sifat fisik tanah. 
Tanaman penutup tanah berperan: (1) menahan atau mengurangi daya 
perusak butir-butir hujan yang jatuh dan aliran air di atas permukaan tanah, 
(2) menambah bahan organik tanah melalui batang, ranting dan daun mati 
yang jatuh, dan (3) melakukan transpirasi, yang mengurangi kandungan air 
tanah. Peranan tanaman penutup tanah tersebut menyebabkan 
berkurangnya kekuatan dispersi air hujan, mengurangi jumlah serta 
kecepatan aliran permukaan dan memperbesar infiltrasi air ke dalam tanah, 
sehingga mengurangi erosi. 
Tumbuhan atau tanaman yang sesuai untuk digunakan sebagai penutup 
tanah dan digunakan dalam sistem pergiliran tanaman harus memenuhi 
syarat-syarat (Osche et al, 1961): (a) mudah diperbanyak, sebaiknya 
dengan biji, (b) mempunyai sistem perakaran yang tidak menimbulkan 
kompetisi berat bagi tanaman pokok, tetapi mempunyai sifat pengikat 
tanah yang baik dan tidak mensyaratkan tingkat kesuburan tanah yang 
tinggi, (c) tumbuh cepat dan banyak menghasilkan daun, (d) toleransi 
45
terhadap pemangkasan, (e) resisten terhadap gulma, penyakit dan 
kekeringan, (f) mampu menekan pertumbuhan gulma, (g) mudah 
diberantas jika tanah akan digunakan untuk penanaman tanaman semusim 
atau tanaman pokok lainnya, (h) sesuai dengan kegunaan untuk reklamasi 
tanah, dan (i) tidak mempunyai sifat-sifat yang tidak menyenangkan 
seperti duri dan sulur-sulur yang membelit. 
46 
Gambar 8. Tanaman Penutup Tanah 
1. Penataan Landskap Hutan Desa Pattaneteang 
Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahawa kodisi Hutan campuran 
yang berada dalam Hutan Desa Pattaneteang jauh lebih baik dalam berperan 
menjaga fungsi hidrologi dan erosi dari pada monokultur kopi. Tetapi kebutuhan 
masyarakat akan lahan yang digunakan menanam kopi juga patut dipikirkan 
karena menyangkut masalah hidup menghidupi. 
Perubahan kondisi tanah sesudah alih fungsi hutan adalah penyebab utama 
terjadinya perubahan fungsi DAS. Sistem Agroforestri berbasis kopi dapat 
mengembalikan kelestarian fungsi hidrologi (Farida, 2004). 
Sistem Agroforestri atau sama dengan skema pada Hutan Campuran perlu 
diterapkan pada monokultur kopi. Sehingga lapisan strata lebih banyak dan 
system perakaran hutan yang dalam, serta adanya serasah tanaman yang menutupi
permukaan tanah akan lebih baik untuk menjaga fungsi Hidrologi dan Erosi sesuai 
tujuan Fungsi Lindung tanpa menyepelekan kebutuhan ekonomi masyarakat. 
47 
Gambar 9. Penerapan Skema Rorak  Tanaman Penutup Tanah 
2. Pencapaian Solusi Alternatif Penataan 
Landskap Fungsi Lindung 
Setelah ada solusi penataan landskap dalam mendukung fungsi lindung 
seperti yang telah dijelaskan pada bagian II.Alternatif Solusi Penataan Landskap 
Fungsi Lindung, maka perlulah dipikirkan bagaimana hal tersebut dapat berjalan 
sesuai dengan apa yang diharapkan. Dari sembilan sampel yang telah dijadikan 
sebagai responden (quisener terlampir) dapat diambil beberapa poin penting yang 
mempengaruhi pola pikir yang terbangun (Mental Model) dalam masyarakat
tersebut sehingga membentuk tutupan vegetasi sekarang ini baik didalam hutan 
desa adalah sebagai berikut : 
 Sebagian warga tidak mempunyai pengetahuan lain tentang tanaman yang 
akan ditanam selain kopi untuk mendapatkan nilai ekonominya. 
 Pengaruh tradisi yang melekat untuk menanam kopi yang dilakukan secara 
turun-temurun. Hal ini dapat ditunjukan karena sebagian warga tidak tahu 
apa dan mengapa alasan mereka pertama kali menanam kopi, mereka 
kebanyakan hanya ikut pada orang tua yang pada saat itu juga menanam 
kopi. 
 Masuknya warga ke dalam Hutan Desa untuk berkebun bukan saja karena 
keterbatasan lahan garapan, tetapi status kepemilikan. Karena pada tahun 
2000-2001 tepatnya warga mulai berani menggarap setelah memiliki status 
yang mereka anggap status kepemilikan yaitu adanya SPPT (Surat 
Pemberitauan Pajak Terutang). 
 Sebagian warga juga ingin menanam tanam tumbuhan bawah lainnya seperti 
jahe dan talas tetapi pengetahuan dan keterampilan untuk membudidayakan 
tanaman tersebut tidak ada, begitu pula dengan pasar juga bibit yang tidak 
ada. 
 Warga tersebut juga ingin menanam tanaman buah-buahan, tapi terkendala 
pada bibit, pengetahuan dan keterampilan tentang apa yang baik ditanam 
didaerah tersebut. 
Dari beberapa poin diatas maka dapat dikerucutkan bahwa perlu adanya 
sosialiasi dan kerjasama dari beberapa stakeholder untuk merubah pola pikir baik 
48
itu tetang menanam tanaman lain selain kopi, ataupun pola agroforesty dengan 
tanaman buah-bahan untuk mendukung fungsi lindung. Hal tersbut pastinya tidak 
hanya sampai sosialiasi ataupun penyuluhan tapi perlu juga kegiatan action lain 
seperti bantuan bibit MPTS, distribusi ke pasar, pengetahuan nilai ekonomi yang 
lebih baik sampai bantuan pendampingan dilapangan oleh Tim Ahli tentang hal 
tersebut. 
49
50 
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 
A. Kesimpulan 
Berdasarkan hasil pembahasan dan analisis yang telah dilakukan pada studi 
penelitain Landskap Hutan Desa Pattaneteang dalam mendukung fungsi lindung, 
dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 
1. Sistem Agroforestri, Tanaman Penutup tanah, dan Rorak perlu diterapkan 
pada monokultur kopi. Sehingga lapisan strata lebih banyak dan system 
perakaran hutan yang dalam, serta adanya serasah tanaman yang menutupi 
permukaan tanah akan lebih baik untuk menjaga fungsi Hidrologi dan Erosi 
sesuai tujuan Fungsi Lindung 
2. Perlu adanya sosialiasi dan kerjasama dari beberapa stakeholder untuk 
merubah pola pikir baik itu tetang menanam tanaman lain selain kopi, 
ataupun pola agroforesty dengan tanaman buah-bahan untuk mendukung 
fungsi lindung. Hal tersbut pastinya tidak hanya sampai sosialiasi ataupun 
penyuluhan tapi perlu juga kegiatan action lain seperti bantuan bibit MPTS 
(Multile Purpose Trees Seeds) , distribusi ke pasar, pengetahuan nilai 
ekonomi yang lebih baik sampai bantuan pendampingan dilapangan oleh 
Tim Ahli tentang hal tersebut. 
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi penutupan Landskap saat ini adalah : 
Keterbatasan lahan, system pengelolaan, status lahan, ekonomi, dan 
penutupan awal sebelum warga masuk kedalam Hutan Desa.
51 
B. Saran 
Penelitian ini merupakan gambaran secara umum, diperlukan lagi peneltian-penelitiah 
secara khusus, baik itu dari aspek ekologi, vegetasi, tanah, DAS, dan 
Aspek sosial yang dikaji lebih mendalam.
52 
DAFTAR PUSTAKA 
Awang, S.A., Widayanti, W, T., Himmah, B., Astuti, A., Septiana, R, M., 
Solehudin., Novenanto, A., 2008, Panduan Pemberdayaan Lembaga 
Masyarakat Desa Hutan (LMDH), Prima, Jakarta. 
Boyce, S. G., 1995, Landskap Forestry, John Wiley  Sons INC, USA . 
Calder, W.,1981, Beyond the View - our changing landscapes. Inkata Press, 
Melbourne. Jackson, J.B., 1986, The vernacular landscape, in Penning- 
Rowsell, E.C.  D. Lowenthal, Landscape Meanings and Values, Allen  
Unwin, London, p 65 - 79. James, P.E., 1934 
Departemen Kehutann Repulik Indonesia, UU 41/1999 tentang Kehutanan. 
Farida., 2004, Role of agroforestry in maintenance of hydrological functions in 
water catchement areas, World Agroforestry Centre - ICRAF, SEA 
Regional Office. 
Mustari , H., 2008, Hutan Desa, Pengakuan Hak Kelola Rakyat, Lembaga 
Genawan., Jakarta. 
Pusat Kajian Dinamika Sistem Pembangunan (PKDSP)., 2007, Panduan Pendirian 
Dan Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa, Universitas Brawijaya. 
PP 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan 
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.49/Menhut-II/2008, tentang Hutan Desa, 
2008. 
Senge, P., Kleiner, A., Roberts, C., Ross, R., Roth, G. and Smith, B. (1999) The 
Dance of Change: The Challenges of Sustaining Momentum in Learning 
Organizations, New York: Doubleday/Currency). 
Sihite, J., Penilaian Ekonomi Perubahan Penggunaan Lahan:Studi Kasis Di Sub- 
DAS Besai - Das Tulang Bawang, Lampung, Prosiding Multifungsi 
Pertanian 2005, Universitas Trisakti Jakarta 
Wu, J. dan R. Hobbs (Dunia Ketiga). 2007. 2007. Key Topics in Landskap 
Ecology. Cambridge University Press, Cambridge. Cambridge University 
Press, Cambridge. 
Yuwono, G, D.,. Masyarakat Lokal, Negara, dan Hutan Desa. Diakses tanggal 13 
Nopember 2010. (http://www.kabarindonesia.com /berita.php 
?pil=4jd=Lomba+Tulis+YP HL%3A+Partisipasi+Masyarakat+Desa+ 
Secara+Optimal+Dalam+Pelestarian+Hutan+Dengan+Mengelola+Hutan+ 
Desadn=20081030071458)
http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20100318055456AA2Ba6g 
http://id.answers.yahoo.com/question/index?id=20100318055456AA2Ba6g 
http://www.worldagroforestrycentre.org/sea/Publications/files/workingpaper/WP0 
53 
029-04.PDF 
http://www.infed.org/thinkers/senge.htm 
http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20100318055456AA2Ba6g

More Related Content

Similar to Studi landskap hutan desa pattaneteang kabupaten bantaeng

100 Spesies Pohon Nusantara Target Konservasi Kehati.pdf
100 Spesies Pohon Nusantara Target Konservasi Kehati.pdf100 Spesies Pohon Nusantara Target Konservasi Kehati.pdf
100 Spesies Pohon Nusantara Target Konservasi Kehati.pdf
Amin638839
 
Pengelolaan Gambut Secara Berkelanjutan
Pengelolaan Gambut Secara BerkelanjutanPengelolaan Gambut Secara Berkelanjutan
Pengelolaan Gambut Secara Berkelanjutan
Ethelbert Phanias
 
Proyek penguatan pengelolaan hutan dan daerah aliran sungai berbasiskan masya...
Proyek penguatan pengelolaan hutan dan daerah aliran sungai berbasiskan masya...Proyek penguatan pengelolaan hutan dan daerah aliran sungai berbasiskan masya...
Proyek penguatan pengelolaan hutan dan daerah aliran sungai berbasiskan masya...
Konsultan Pendidikan
 
best practices scbfwm 2014 regional lampung
best practices scbfwm 2014 regional lampungbest practices scbfwm 2014 regional lampung
best practices scbfwm 2014 regional lampung
Mohd. Yunus
 
kerajinan bambu.pdf
kerajinan bambu.pdfkerajinan bambu.pdf
kerajinan bambu.pdf
arif590617
 
5-kata pengantar ekonomi pencemaran udara
  5-kata pengantar ekonomi pencemaran udara  5-kata pengantar ekonomi pencemaran udara
5-kata pengantar ekonomi pencemaran udaraFurqaan Hamsyani
 
06-2013 SEBARAN REKREKAN DI GUNUNG SLAMET 2013.pdf
06-2013 SEBARAN REKREKAN DI GUNUNG SLAMET 2013.pdf06-2013 SEBARAN REKREKAN DI GUNUNG SLAMET 2013.pdf
06-2013 SEBARAN REKREKAN DI GUNUNG SLAMET 2013.pdf
AbdiFithria
 
EKONOMI SUMBER DAYA HUTAN
EKONOMI SUMBER DAYA HUTANEKONOMI SUMBER DAYA HUTAN
EKONOMI SUMBER DAYA HUTAN
EDIS BLOG
 
TUGAS AKHIR MAKALAH HIDROLOGI JUMINTEN SARI.docx
TUGAS AKHIR MAKALAH HIDROLOGI JUMINTEN SARI.docxTUGAS AKHIR MAKALAH HIDROLOGI JUMINTEN SARI.docx
TUGAS AKHIR MAKALAH HIDROLOGI JUMINTEN SARI.docx
JUMINTENSARI1
 
Tumbuhan obat tradisional di sulut jilid ii
Tumbuhan obat tradisional di sulut jilid iiTumbuhan obat tradisional di sulut jilid ii
Tumbuhan obat tradisional di sulut jilid ii
H4llud4l
 
SP19030.pdf
SP19030.pdfSP19030.pdf
SP19030.pdf
sonyapanjaitan1
 
PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASION...
PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASION...PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASION...
PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASION...
Novita Rini Wardani
 
1. laporan barles kel 14 kkl ekologi alas purwo (fix)
1. laporan barles kel 14 kkl ekologi alas purwo (fix)1. laporan barles kel 14 kkl ekologi alas purwo (fix)
1. laporan barles kel 14 kkl ekologi alas purwo (fix)
ELsagha Bintang
 
Ekosistem dan-sumberdaya-alam-pesisir-penerapan-pendidikan-karakter-konservasi
Ekosistem dan-sumberdaya-alam-pesisir-penerapan-pendidikan-karakter-konservasiEkosistem dan-sumberdaya-alam-pesisir-penerapan-pendidikan-karakter-konservasi
Ekosistem dan-sumberdaya-alam-pesisir-penerapan-pendidikan-karakter-konservasi
Willy Filcco
 
Buku ajar-klasifikasi-tanah-dan-kesesuaian-lahan
Buku ajar-klasifikasi-tanah-dan-kesesuaian-lahanBuku ajar-klasifikasi-tanah-dan-kesesuaian-lahan
Buku ajar-klasifikasi-tanah-dan-kesesuaian-lahanDanur Qahari
 
7. laporan praktikum biologi analisis vegetasi di hutan wanagama
7. laporan praktikum biologi analisis vegetasi di hutan wanagama7. laporan praktikum biologi analisis vegetasi di hutan wanagama
7. laporan praktikum biologi analisis vegetasi di hutan wanagama
Sofyan Dwi Nugroho
 
Skripsi_ZUNAIDI SIREGAR.pdf
Skripsi_ZUNAIDI SIREGAR.pdfSkripsi_ZUNAIDI SIREGAR.pdf
Skripsi_ZUNAIDI SIREGAR.pdf
Zunaidi Siregar
 
Analisis Sistem Pengelolaan Arsip Statis Pada Bagian Legal Pusat Penelitian K...
Analisis Sistem Pengelolaan Arsip Statis Pada Bagian Legal Pusat Penelitian K...Analisis Sistem Pengelolaan Arsip Statis Pada Bagian Legal Pusat Penelitian K...
Analisis Sistem Pengelolaan Arsip Statis Pada Bagian Legal Pusat Penelitian K...
zunaidi siregar
 

Similar to Studi landskap hutan desa pattaneteang kabupaten bantaeng (20)

100 Spesies Pohon Nusantara Target Konservasi Kehati.pdf
100 Spesies Pohon Nusantara Target Konservasi Kehati.pdf100 Spesies Pohon Nusantara Target Konservasi Kehati.pdf
100 Spesies Pohon Nusantara Target Konservasi Kehati.pdf
 
Pengelolaan Gambut Secara Berkelanjutan
Pengelolaan Gambut Secara BerkelanjutanPengelolaan Gambut Secara Berkelanjutan
Pengelolaan Gambut Secara Berkelanjutan
 
Proyek penguatan pengelolaan hutan dan daerah aliran sungai berbasiskan masya...
Proyek penguatan pengelolaan hutan dan daerah aliran sungai berbasiskan masya...Proyek penguatan pengelolaan hutan dan daerah aliran sungai berbasiskan masya...
Proyek penguatan pengelolaan hutan dan daerah aliran sungai berbasiskan masya...
 
best practices scbfwm 2014 regional lampung
best practices scbfwm 2014 regional lampungbest practices scbfwm 2014 regional lampung
best practices scbfwm 2014 regional lampung
 
kerajinan bambu.pdf
kerajinan bambu.pdfkerajinan bambu.pdf
kerajinan bambu.pdf
 
5-kata pengantar ekonomi pencemaran udara
  5-kata pengantar ekonomi pencemaran udara  5-kata pengantar ekonomi pencemaran udara
5-kata pengantar ekonomi pencemaran udara
 
Sampah
SampahSampah
Sampah
 
06-2013 SEBARAN REKREKAN DI GUNUNG SLAMET 2013.pdf
06-2013 SEBARAN REKREKAN DI GUNUNG SLAMET 2013.pdf06-2013 SEBARAN REKREKAN DI GUNUNG SLAMET 2013.pdf
06-2013 SEBARAN REKREKAN DI GUNUNG SLAMET 2013.pdf
 
Marissa (1).pdf
Marissa (1).pdfMarissa (1).pdf
Marissa (1).pdf
 
EKONOMI SUMBER DAYA HUTAN
EKONOMI SUMBER DAYA HUTANEKONOMI SUMBER DAYA HUTAN
EKONOMI SUMBER DAYA HUTAN
 
TUGAS AKHIR MAKALAH HIDROLOGI JUMINTEN SARI.docx
TUGAS AKHIR MAKALAH HIDROLOGI JUMINTEN SARI.docxTUGAS AKHIR MAKALAH HIDROLOGI JUMINTEN SARI.docx
TUGAS AKHIR MAKALAH HIDROLOGI JUMINTEN SARI.docx
 
Tumbuhan obat tradisional di sulut jilid ii
Tumbuhan obat tradisional di sulut jilid iiTumbuhan obat tradisional di sulut jilid ii
Tumbuhan obat tradisional di sulut jilid ii
 
SP19030.pdf
SP19030.pdfSP19030.pdf
SP19030.pdf
 
PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASION...
PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASION...PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASION...
PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASION...
 
1. laporan barles kel 14 kkl ekologi alas purwo (fix)
1. laporan barles kel 14 kkl ekologi alas purwo (fix)1. laporan barles kel 14 kkl ekologi alas purwo (fix)
1. laporan barles kel 14 kkl ekologi alas purwo (fix)
 
Ekosistem dan-sumberdaya-alam-pesisir-penerapan-pendidikan-karakter-konservasi
Ekosistem dan-sumberdaya-alam-pesisir-penerapan-pendidikan-karakter-konservasiEkosistem dan-sumberdaya-alam-pesisir-penerapan-pendidikan-karakter-konservasi
Ekosistem dan-sumberdaya-alam-pesisir-penerapan-pendidikan-karakter-konservasi
 
Buku ajar-klasifikasi-tanah-dan-kesesuaian-lahan
Buku ajar-klasifikasi-tanah-dan-kesesuaian-lahanBuku ajar-klasifikasi-tanah-dan-kesesuaian-lahan
Buku ajar-klasifikasi-tanah-dan-kesesuaian-lahan
 
7. laporan praktikum biologi analisis vegetasi di hutan wanagama
7. laporan praktikum biologi analisis vegetasi di hutan wanagama7. laporan praktikum biologi analisis vegetasi di hutan wanagama
7. laporan praktikum biologi analisis vegetasi di hutan wanagama
 
Skripsi_ZUNAIDI SIREGAR.pdf
Skripsi_ZUNAIDI SIREGAR.pdfSkripsi_ZUNAIDI SIREGAR.pdf
Skripsi_ZUNAIDI SIREGAR.pdf
 
Analisis Sistem Pengelolaan Arsip Statis Pada Bagian Legal Pusat Penelitian K...
Analisis Sistem Pengelolaan Arsip Statis Pada Bagian Legal Pusat Penelitian K...Analisis Sistem Pengelolaan Arsip Statis Pada Bagian Legal Pusat Penelitian K...
Analisis Sistem Pengelolaan Arsip Statis Pada Bagian Legal Pusat Penelitian K...
 

Recently uploaded

induksi K3LH karyawan baru pt kpp site IC.pptx
induksi K3LH karyawan baru pt kpp site IC.pptxinduksi K3LH karyawan baru pt kpp site IC.pptx
induksi K3LH karyawan baru pt kpp site IC.pptx
AzisRois1
 
PAPER KIMIA LINGKUNGAN MENINGKATNYA GAS RUMAH KACA IMPLIKASI DAN SOLUSI BAGI ...
PAPER KIMIA LINGKUNGAN MENINGKATNYA GAS RUMAH KACA IMPLIKASI DAN SOLUSI BAGI ...PAPER KIMIA LINGKUNGAN MENINGKATNYA GAS RUMAH KACA IMPLIKASI DAN SOLUSI BAGI ...
PAPER KIMIA LINGKUNGAN MENINGKATNYA GAS RUMAH KACA IMPLIKASI DAN SOLUSI BAGI ...
muhammadnoorhasby04
 
Modul Projek - Tanpa Rokok itu Keren - Fase D.pdf
Modul Projek  - Tanpa Rokok itu Keren - Fase D.pdfModul Projek  - Tanpa Rokok itu Keren - Fase D.pdf
Modul Projek - Tanpa Rokok itu Keren - Fase D.pdf
MUhammadIlham484521
 
001-PPE Suma-Tata Laksana Perizinan Lingkungan.pptx
001-PPE Suma-Tata Laksana Perizinan Lingkungan.pptx001-PPE Suma-Tata Laksana Perizinan Lingkungan.pptx
001-PPE Suma-Tata Laksana Perizinan Lingkungan.pptx
LukmanulHakim572233
 
Studi Kasus : Oksidasi Pirit dan Pengaruhnya Terhadap Ekosistem
Studi Kasus : Oksidasi Pirit dan Pengaruhnya Terhadap EkosistemStudi Kasus : Oksidasi Pirit dan Pengaruhnya Terhadap Ekosistem
Studi Kasus : Oksidasi Pirit dan Pengaruhnya Terhadap Ekosistem
d1051231041
 
KERUSAKAN LAHAN GAMBUT ANALISIS EMISI KARBON DARI DEGRADASI LAHAN GAMBUT DI A...
KERUSAKAN LAHAN GAMBUT ANALISIS EMISI KARBON DARI DEGRADASI LAHAN GAMBUT DI A...KERUSAKAN LAHAN GAMBUT ANALISIS EMISI KARBON DARI DEGRADASI LAHAN GAMBUT DI A...
KERUSAKAN LAHAN GAMBUT ANALISIS EMISI KARBON DARI DEGRADASI LAHAN GAMBUT DI A...
d1051231072
 
Plastik dan Sampah Pantauan Mei 2024.pdf
Plastik dan Sampah Pantauan Mei 2024.pdfPlastik dan Sampah Pantauan Mei 2024.pdf
Plastik dan Sampah Pantauan Mei 2024.pdf
Biotani & Bahari Indonesia
 
Sejarah Gunung Merapi dan Catatan Erupsi
Sejarah Gunung Merapi dan Catatan ErupsiSejarah Gunung Merapi dan Catatan Erupsi
Sejarah Gunung Merapi dan Catatan Erupsi
ssuserb357a32
 
Contoh surat Pengunduran diri karang taruna daerah.docx
Contoh surat Pengunduran diri karang taruna daerah.docxContoh surat Pengunduran diri karang taruna daerah.docx
Contoh surat Pengunduran diri karang taruna daerah.docx
miftahzannah
 
Analisis Konten Pendekatan Fear Appeal dalam Kampanye #TogetherPossible WWF.pdf
Analisis Konten Pendekatan Fear Appeal dalam Kampanye #TogetherPossible WWF.pdfAnalisis Konten Pendekatan Fear Appeal dalam Kampanye #TogetherPossible WWF.pdf
Analisis Konten Pendekatan Fear Appeal dalam Kampanye #TogetherPossible WWF.pdf
BrigittaBelva
 
BAB III. Undang-Undang PP Lingkungan Hidup.ppt
BAB III.  Undang-Undang PP Lingkungan Hidup.pptBAB III.  Undang-Undang PP Lingkungan Hidup.ppt
BAB III. Undang-Undang PP Lingkungan Hidup.ppt
YUZANAPRATIWI
 

Recently uploaded (11)

induksi K3LH karyawan baru pt kpp site IC.pptx
induksi K3LH karyawan baru pt kpp site IC.pptxinduksi K3LH karyawan baru pt kpp site IC.pptx
induksi K3LH karyawan baru pt kpp site IC.pptx
 
PAPER KIMIA LINGKUNGAN MENINGKATNYA GAS RUMAH KACA IMPLIKASI DAN SOLUSI BAGI ...
PAPER KIMIA LINGKUNGAN MENINGKATNYA GAS RUMAH KACA IMPLIKASI DAN SOLUSI BAGI ...PAPER KIMIA LINGKUNGAN MENINGKATNYA GAS RUMAH KACA IMPLIKASI DAN SOLUSI BAGI ...
PAPER KIMIA LINGKUNGAN MENINGKATNYA GAS RUMAH KACA IMPLIKASI DAN SOLUSI BAGI ...
 
Modul Projek - Tanpa Rokok itu Keren - Fase D.pdf
Modul Projek  - Tanpa Rokok itu Keren - Fase D.pdfModul Projek  - Tanpa Rokok itu Keren - Fase D.pdf
Modul Projek - Tanpa Rokok itu Keren - Fase D.pdf
 
001-PPE Suma-Tata Laksana Perizinan Lingkungan.pptx
001-PPE Suma-Tata Laksana Perizinan Lingkungan.pptx001-PPE Suma-Tata Laksana Perizinan Lingkungan.pptx
001-PPE Suma-Tata Laksana Perizinan Lingkungan.pptx
 
Studi Kasus : Oksidasi Pirit dan Pengaruhnya Terhadap Ekosistem
Studi Kasus : Oksidasi Pirit dan Pengaruhnya Terhadap EkosistemStudi Kasus : Oksidasi Pirit dan Pengaruhnya Terhadap Ekosistem
Studi Kasus : Oksidasi Pirit dan Pengaruhnya Terhadap Ekosistem
 
KERUSAKAN LAHAN GAMBUT ANALISIS EMISI KARBON DARI DEGRADASI LAHAN GAMBUT DI A...
KERUSAKAN LAHAN GAMBUT ANALISIS EMISI KARBON DARI DEGRADASI LAHAN GAMBUT DI A...KERUSAKAN LAHAN GAMBUT ANALISIS EMISI KARBON DARI DEGRADASI LAHAN GAMBUT DI A...
KERUSAKAN LAHAN GAMBUT ANALISIS EMISI KARBON DARI DEGRADASI LAHAN GAMBUT DI A...
 
Plastik dan Sampah Pantauan Mei 2024.pdf
Plastik dan Sampah Pantauan Mei 2024.pdfPlastik dan Sampah Pantauan Mei 2024.pdf
Plastik dan Sampah Pantauan Mei 2024.pdf
 
Sejarah Gunung Merapi dan Catatan Erupsi
Sejarah Gunung Merapi dan Catatan ErupsiSejarah Gunung Merapi dan Catatan Erupsi
Sejarah Gunung Merapi dan Catatan Erupsi
 
Contoh surat Pengunduran diri karang taruna daerah.docx
Contoh surat Pengunduran diri karang taruna daerah.docxContoh surat Pengunduran diri karang taruna daerah.docx
Contoh surat Pengunduran diri karang taruna daerah.docx
 
Analisis Konten Pendekatan Fear Appeal dalam Kampanye #TogetherPossible WWF.pdf
Analisis Konten Pendekatan Fear Appeal dalam Kampanye #TogetherPossible WWF.pdfAnalisis Konten Pendekatan Fear Appeal dalam Kampanye #TogetherPossible WWF.pdf
Analisis Konten Pendekatan Fear Appeal dalam Kampanye #TogetherPossible WWF.pdf
 
BAB III. Undang-Undang PP Lingkungan Hidup.ppt
BAB III.  Undang-Undang PP Lingkungan Hidup.pptBAB III.  Undang-Undang PP Lingkungan Hidup.ppt
BAB III. Undang-Undang PP Lingkungan Hidup.ppt
 

Studi landskap hutan desa pattaneteang kabupaten bantaeng

  • 1. STUDI LANDSKAP HUTAN DESA DALAM MENDUKUNG FUNGSI LINDUNG (STUDI KASUS HUTAN DESA PATTANETEANG KAB.BANTAENG) N A U F AL M 111 06 016 PROGRAM STUDI MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2011
  • 2. ii HALAMAN PENGESAHAN Judul : STUDI LANDSKAP HUTAN DESA DALAM MENDUKUNG FUNGSI LINDUNG (STUDI KASUS HUTAN DESA PATTANETEANG KAB.BANTAENG) Nama : Naufal Nim : M 111 06 016 Program Studi : Manajemen Hutan Skripsi ini Dibuat sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan Pada Program Studi Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin Menyetujui, Komisi Pembimbing Pembimbing I Pembimbing II Prof. Dr. Ir. H. Supratman, MP Dr. Ir. H. Anwar Umar, M.S NIP. 19700918199702 1001 Nip. 19500724198003 1002 Mengetahui, Ketua Program Studi Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin Ir. Budirman Bachtiar, MS NIP. 19580626 198601 1 001 Tanggal Lulus : 2011
  • 3. iii ABSTRAK Naufal (M 111 06 016) Studi Landskap Hutan Desa Dalam Mendukung Fungsi Lindung (Studi Kasus Hutan Desa Pattaneteang Kab.Bantaeng), dibawah bimbingan Supratman dan Anwar Umar Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi landskap hutan desa di Desa Pattaneteang dari faktor sosial serta melakukan penataan Landskap Hutan Desa yang sesuai dengan tujuan pengelolaan Hutan Lindung. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi model Landskap untuk pemanfaatan areal hutan desa dengan mempertimbangkan aspek hutan dalam mendukung fungsi lindung. Agar tercipta pengelolaan Hutan Desa secara berkelanjutan dan lestari Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli - Agustus 2010 pada Hutan Desa Pattaneteang di Desa Pattaneteang Kecamatan Birengere Kabupaten Bantaeng. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis spasial dilakukan dengan menumpangsusunkan (overlay) beberapa data spasial untuk menghasilkan unit pemetaan baru yang akan digunakan sebagai unit analisis. Untuk mengetahui faktor-faktor pembentuk landskap Hutan Desa digunakan analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1)Faktor-faktor yang mempengaruhi penutupan Landskap saat ini adalah : Keterbatasan lahan, system pengelolaan, status lahan, ekonomi, dan penutupan awal sebelum warga masuk kedalam Hutan Desa. (2)Mental Model Pengelolaan lahan : a.Masyrakat yang berkebun dibawah tegakan, b. Masyarakat yang berkebun diareal kritis. (3)Penutupan Areal Hutan Desa : a.Hutan Alam yang dimaksdukan pada penelitan ini adalah areal yang vegetasinya masih alami dan pada areal ini umur pohon rata-rata diatas 40 tahunan. Jenis vegetasi yang biasa dijumpai pada areal ini adalah Albisia, galatiri, Damar laki, Damar Gana, Lutuh, Lossongg dan Balanteh. b. Hutan Campuran yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah Hutan Alam yang disebutkan di atas dan dimanfaatkan oleh warga. Pemanfaatan itu berupa menanam kopi dibawah tegakan, tanpa menebang pohon – pohon yang telah ada dalam hutan tersebut. Pada areal ini tumbuhan kopi rata-rata sudah berumur 10 tahunan. c. Monokultur Kopi yang dimaksukan dalam penelitian ini adalah areal yang tanamannya didominasi kopi dan tumbuhan kayu atau pohon yang digunakan sebagai pohon penaung. Kopi tersebut masih berumur >10 tahunan. Tumbuhan penaungnya seperti Nangka, Jambu batu, Alpokat, Albisia, Kaleandra, Cembang, Mangga, dan Galitiri. Pada areal ini tumbuhan kopi rata sudah berumur 6 tahunan. (4)Sistem Agroforestri, Tanaman Penutup tanah, dan Rorak perlu diterapkan pada monokultur kopi. Sehingga lapisan strata lebih banyak dan system perakaran hutan yang dalam, serta adanya serasah tanaman yang menutupi permukaan tanah akan lebih baik untuk menjaga fungsi Hidrologi dan Erosi sesuai tujuan Fungsi Lindung
  • 4. iv KATA PENGANTAR Salam Sejahtera… Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan Berkat dan Kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Studi Landskap Hutan Desa Dalam Mendukung Fungsi Lindung (Studi Kasus Hutan Desa Pattaneteang Kabupaten Bantaeng)”. Begitu banyak doa, dukungan, dan perhatian yang penulis dapatkan selama penyusunan skripsi ini berlangsung, sehingga segala hambatan yang ada dapat terlewati dan dapat dihadapi dengan penuh sukacita. Oleh karena itu, dengan penuh kerendahan hati, penulis menghaturkan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Supratman, MP dan Bapak Dr. H. Anwar Umar, M.S sebagai dosen pembimbing yang telah banyak mencurahkan tenaga dan pikirannya, meluangkan waktunya yang begitu berharga untuk memberi bimbingan dan pengarahan dengan baik, dan memberikan dukungan serta motivasi dalam penyelesaian skripsi ini. 2. Bapak Prof. Dr. Ir. Amran Achmad, M. Sc, Dr.Ir. H. Usman Arsyad, M.S, dan Gusmiaty, S.P, MP sebagai dosen penguji yang telah meluangkan waktunya dan banyak memberi masukan, koreksi serta arahan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan lebih baik. 3. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Muh. Restu, M.Si selaku dekan Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin. Bapak Ir. Budirman Bachtiar, MS selaku Ketua Jurusan Manajemen Hutan. 4. Bapak Ir. Abd. Rasyid Kalu, MS selaku Penasehat Akademik (PA) yang telah banyak memberi bimbingan, arahan dan kemudahan kepada penulis dalam menyelesaikan studi. 5. Secara khusus penghargaan, rasa hormat dan rasa terima kasih yang tak terhingga ku persembahkan kepada kedua orang tua ku tercinta: Asmin Dunggio dan Adam Achmad yang telah membesarkan, mendidik dan
  • 5. mendoakan dengan segala kasih sayang dan perhatian beliau selama ini, serta kerja keras sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di Fakultas Kehutanan. 6. Sahabat-sahabat terbaikku: Muh.Azhrul Hidayat, Taufik, Muh.Warkah, A.Didit Haryadi, Muh.Anshari, Haeruddin, dan Muh. Ramadhan Tefu. Terima kasih atas segala bantuan, semangat, dan motivasinya selama ini. Kalian selamanya akan menjadi sahabat yang terbaik. Kenangan akan kebersamaan selama menempuh pendidikan dibangku kuliah tak akan lekang oleh waktu, saat ini sampai selamanya. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki kekurangan. Untuk itu, kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan. Kiranya skripsi ini dapat bermanfaat serta dapat menjadi salah satu bahan informasi pengetahuan bagi pembaca sekalian. Makassar, Desember 2010 v Penulis
  • 6. vi DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ................................................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................... ii ABSTRAK .................................................................................................................. iii KATA PENGANTAR ................................................................................................ iv DAFTAR ISI .............................................................................................................. vii DAFTAR TABEL ....................................................................................................... x DAFTAR GAMBAR .............................................................................. xi DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................... xii I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang .......................................................................... 1 B. Tujuan dan Kegunaan .............................................................. 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Landskap ................................................................................... 5 B. Mental Model ......................................................................... 5 C. Hutan Lindung ....................................................................... 6 D. Pengelolaan Hutan Lindung .................................................... 7 E. Hutan Desa ............................................................................. 7 F. Hak Pengelolaan Hutan Desa .................................................. 8 G. Pemanfaatan Areal.................................................................. 11 H. Pengorganisasian & Kelembagaan .......................................... 11 I. Bumdes .................................................................................. 12 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat ................................................................ 13 B. Alat dan Bahan ...................................................................... 13
  • 7. vii C. Teknik Pengambilan Sampel .................................................. 14 1. Populasi & Sampel ............................................................. 14 2. Teknik Pengumpulan Data .................................................. 14 3. Jenis Data ........................................................................... 15 4. Analisis Data ...................................................................... 15 5. Konsep Oprasional ............................................................. 16 IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak Dan Luas ...................................................................... 18 B. Topografi Wilayah ................................................................. 19 C. Penggunaan Lahan Dan Jenis Tanah ...................................... 20 D. Kependudukan ........................................................................ 22 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Umum Landskap Hutan Desa Pattaneteang ............ 23 1. Luas Areal ...................................................................... 23 2. Topografi ........................................................................ 23 3. Jenis Tanah…………… …………………………………. 25 4. Curah Hujan .................................................................... 26 5. Penutupan Lahan ............................................................. 28 6. Pemanfaatan Areal Kerja...………………………………. 32 7. Daerah Aliran Sungai ...................................................... 34 B. Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Landskap ........................ 36 1. Faktor Sosial ..................................................................... 36 2. Faktor Ekonomi ............................................................... 38 Penataan Landskap Hutan Desa Untuk Fungsi Lindung ........... 40 1. Fungsi Tata Air ................................................................... 40 2. Tehnik Pengendalian Erosi ................................................. 42 a. Lahan Hutan Campuran Kopi …………..………………. 42 b. Lahan Monokultur Kopi ………………………………... 44
  • 8. viii VI. PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................... 50 B. Saran ........................................................................................ 51 DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 52 LAMPIRAN.............................................................................................. 54
  • 9. ix DAFTAR GAMBAR No Teks Halaman 1. Peta Administrasi Desa Pattanenteang………………….………. 19 2. Peta Klas Lereng Desa Pattaneteang…………………………….. 24 3. Peta Curah Hujan Desa Pattaneteang.............................................. 27 4. Peta Lokasi Pengambilan Sampel................................................... 30 5. Profil Desa Pattaneteang................................................................. 30 6. Profil Desa Pattanetang................................................................... 31 7. Batas Sub Das Salo Maesa.............................................................. 35 8. Skema Rorak................................................................................... 44 9. Tanaman Penutup Tanah................................................................. 46 10. Penerapan Skema Rorak & Tanaman Penutup Tanah..................... 47
  • 10. x DAFTAR TABEL No Teks Halaman 1. Tabel Luas Klas Lereng Desa Pattanetang………………………...... 29 2. Tabel Jenis Tanah Dalam Luasan………………………………….... 21 3. Jumlah Penduduk dan Jumlah Kepala Keluarga Desa Pattanetang …………………………….…….………………………………….. 22 4. Tabel Luas Klas Lereng Desa Pattaneteang.......................................... 23 5. Tabel Curah Hujan Desa Pattanetang .................................................. 26 6. Tabel Luas Penutupan Hutan Desa……….………………................ 28
  • 11. xi DAFTAR LAMPIRAN No Teks Halaman 1. Daftar nama pemilik lahan yang berada pada areal Hutan Desa Pattaneteang ...................................................................................... 54 2. Data Responden Penelitian……………………………………..…… 56 3. si Tally Sheet.......................................................................................... 57 4. Kuisioner.........…………………………………………….…….….. 58
  • 12. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Desa adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa. Hutan desa dibentuk atas pertimbangan pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan, serta untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang adil dan lestari. Pembentukan Hutan Desa diawali dari usulan penetapan areal kerja hutan desa oleh Bupati/walikota kepada Menteri Kehutanan berdasarkan permohonan kepala desa. Permohonan kepala desa tersebut dilampiri peta dengan skala minimal 1:50.000 dan deskripsi kondisi kawasan hutan antara lain fungsi hutan, topografi, dan potensi. Apabila areal kerja hutan telah memperoleh penetapan dari Menteri Kehutanan, selanjutnya kepala desa mensosialisasikan kepada masyarakat dan kemudian membentuk Lembaga Desa yang akan mengelola areal kerja hutan desa yang telah ditetapkan tersebut. Kriteria kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai areal kerja hutan desa adalah hutan lindung dan hutan produksi yang belum dibebani hak pengelolaan atau ijin pemanfaatan dan berada dalam wilayah administrasi desa yang bersangkutan. Kriteria tersebut berdasarkan rekomendasi dari Kepala KPH atau kepala dinas kabupaten/kota yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang kehutanan. Hak pengelolaan hutan desa ini diberikan untuk jangka waktu paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang. Evaluasi akan dilakukan paling lama setiap 5 tahun sekali oleh pemberi hak. Para pemegang Hak Pengelolaan Hutan Desa pada kawasan hutan lindung dan hutan produksi berhak memanfaatkan kawasan antara lain melalui kegiatan
  • 13. usaha budidaya tanaman obat, budidaya tanaman hias, budidaya jamur, budidaya lebah, penangkaran satwa liar, atau budidaya hijauan makanan ternak. Masyarakat juga dapat melakukan kegiatan di bidang jasa lingkungan meliputi pemanfaatan jasa aliran air, pemanfaatan air, wisata alam, perlindungan keanekaragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan, atau penyerapan dan atau penyimpanan karbon. Hasil hutan bukan kayu yang dapat dimanfaatkan oleh pemegang Hak Pengelolaan Hutan Desa antara lain rotan, madu, getah, buah, jamur, atau sarang walet, meliputi penanaman, pemanenan, pengayaan, pemeliharaan, pengamanan, dan pemasaran hasil. Untuk mengatur pengelolaan hutan desa, pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan telah menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa. Kabupaten Bantaeng memiliki kekayaan sumberdaya hutan yang relatif kecil dibanding kabupaten lain di Sulawesi Selatan, yakni hanya 0,3% dari total kawasan hutan Sulawesi Selatan. Namun demikian, kawasan hutan tersebut sangat strategis karena dari sekitar 6.222 ha luas kawasan hutan Kabupaten Bantaeng, terdapat kawasan hutan lindung seluas 2.773 ha atau sekitar 44,6%, yang mempunyai fungsi hidroorologis penting bagi masyarakat Kabupaten Bantaeng dan kabupaten lain di sekitarnya. Sebagian besar (54,4%) kawasan hutan mengalami degradasi yang sangat berat. Konversi kawasan hutan menjadi lahan budidaya pertanian dan perkebunan rakyat merupakan pemicu utama terjadinya degradasi. Pada saat ini terdapat 1.518 KK penduduk miskin yang melakukan aktivitas perladangan di dalam kawasan hutan dengan luas lahan garapan 2.138 ha 2
  • 14. atau rata-rata seluas 1,4 ha/KK. Hal ini menunjukkan tingginya tingkat ketergantungan msyarakat atas lahan kawasan hutan. Pada tahun 2008, Pemerintah Kabupaten Bantaeng melaksanakan Program Pembangunan Hutan Desa sebagai salah satu alternatif solusi untuk mengatasi permasalahan pembangunan kehutanan. Pada tahap awal, program ini dilaksanakan pada dua desa dan satu kelurahan di Kelompok Hutan Tompobulu yaitu, Desa Labbo, Desa Pattaneteang, dan Kelurahan Campaga. Luas kawasan hutan yang kritis di ketiga desa tersebut sebesar 398 ha atau sebesar 56,6% dari 704 ha total kawasan hutan, terdapat 320 KK (30%) yang melakukan aktivitas usahatani kebun kopi di dalam kawasan hutan, dengan luas kebun kopi sebesar 165 ha. Produktivitas kebun kopi tersebut relatif rendah yaitu sebesar 0,518 ton/ha/tahun untuk jenis robusta dan sebesar 0,489 ton/ha/tahun untuk jenis Arabica. Masyarakat juga telah mengembangkan budidaya tanaman markisa pada lahan-lahan di luar kawasan hutan, dan tanaman tersebut berpotensi untuk dikembangkan di dalam kawasan hutan melalui pengembangan pola-pola agroforestry. Permasalahan saat ini adalah untuk melakukan model pengelolaan yang baik dengan mempertimbangkan fungsi hutan lindung, tata air, pengelolaan yang berkelanjutan yang diperbenturkan akan kebutahan hidup masyarakat yang bergantung pada Hutan Desa. Untuk itu diperlukan studi pembuatan landskap hutan desa agar model pengelolaan nantinya akan mempertimbangkan aspek fungsi lindung tanpa mengabaikan sosial ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraannya masyarakat. 3
  • 15. Lanskap Kehutanan sendiri adalah seni mengatur hutan untuk mendapatkan sebanyak mungkin manfaat yang membutuhkan dua atau lebih jenis produksi barang yang diinginkan, dengan mempertimbangkan aspek kelestarian hutan secara berkelanjutan (Boyce 1995). Dengan demikian hadirnya studi landskap kehutanan dinilai dapat menjawab permasalahan diatas. Ketika kawasan hutan yang telah kritis ditanami kopi yang dinilai tidak produktif, selain itu masyarakat telah mendapatkan hak pemanfaatan sedangkan fungsi lindung hutan semakin terancam maka dibutuhkan suatu model pengelolan yang baru untuk mengatur semua itu. 4 B. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : 1. Mengetahui faktor-faktor sosial yang mempengaruhi landskap hutan desa di Desa Pattaneteang Kabupaten Bantaeng. 2. Melakukan penataan Landskap Hutan Desa yang sesuai dengan tujuan pengelolaan hutan lindung. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi model landskap untuk pemanfaatan areal hutan desa, dengan mempertimbangkan aspek hutan dalam mendukung fungi lindung. Agar tercipta pengelolaan hutan desa secara berkelanjutan dan lestari.
  • 16. 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Landskap Lanskap Kehutanan adalah seni mengatur hutan untuk mendapatkan sebanyak mungkin manfaat yang membutuhkan dua atau lebih jenis produksi barang yang diinginkan, dengan mempertimbangkan aspek kelestarian hutan secara berkebelanjutan (Boyce 1995). Landskap Ekologi adalah ilmu meningkatkan hubungan antara pola spasial dan proses ekologis pada skala besar dan tingkat organisasi. (Wu & Hobbs 2002). Forman dan Godron (1986) mendefinisikan lanskap sebagai "lahan heterogen terdiri dari ekosistem yang saling berinteraksi antara satu dengan yang lain dalam suatu areal." Landskap meliputi gambaran-gambaran yang nampak dari suatu lahan, termasuk element-element biofisik (bentuk lahan), air, element-element hidup (penutupan lahan), elemant-element manusia (penggunaan lahan bagunan & struktur) dan element yang dapat berubah seperti iklim dan cuaca (Calder 1981) B. Mental Model Mental model adalah gambaran pola realitas kehidupan yang ada dalam pikiran seseorang. Penjelasan mengenai proses berpikir seseorang tentang bagaimana sesuatu bekerja didunia nyata. Cara untuk menggambarkan proses aktifitas manusia untuk memecahkan masalah penalaran deduktif (Boyce 1995). Mental Model Suatu proses menilai diri sendiri untuk memahami, asumsi, keyakinan, dan prasangka atas rangsangan yang muncul. Mental model memungkinkan manusia bekerja dengan lebih cepat. Namun, dalam organisasi
  • 17. yang terus berubah, mental model ini kadang-kadang tidak berfungsi dengan baik dan menghambat adaptasi yang dibutuhkan. Dalam organisasi pembelajar, mental model ini didiskusikan, dicermati, dan direvisi pada level individual, kelompok, dan organisasi (Senge.P dkk ,1999) 6 C. Hutan Lindung Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan (Departemen Kehutanan,1999). Hutan lindung (protection forest) adalah suatu kawasan hutan yang telah ditetapkan oleh pemerintah atau kelompok masyarakat tertentu untuk dilindungi, agar fungsi-fungsi ekologisnya --terutama menyangkut tata air dan kesuburan tanah-- tetap dapat berjalan dan dinikmati manfaatnya oleh masyarakat di sekitarnya. Undang-undang RI no 41/1999 tentang Kehutanan menyebutkan. “Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.“ Dari pengertian di atas tersirat bahwa hutan lindung dapat ditetapkan di wilayah hulu sungai (termasuk pegunungan di sekitarnya) sebagai wilayah tangkapan hujan (catchment area), di sepanjang aliran sungai bilamana dianggap perlu, di tepi-tepi pantai (misalnya pada hutan bakau), dan tempat-tempat lain sesuai fungsi yang diharapkan. (http://id.wikipedia.org/wiki/Hutan_lindung)
  • 18. 7 D. Penglolaan Hutan Lindung Pengelolaan hutan lindung dimaksud meliputi kegiatan : tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan lindung, pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan lindung, rehabilitasi dan reklamasi hutan lindung, dan perlindungan hutan dan konservasi alam di hutan lindung (Departemen Kehutanan,1999). E. Hutan Desa Menurut San Afri Awang, Pengertian hutan desa dapat dilihat dan beberapa sisi pandang antara lain: 1. Di lihat dari aspek teritorial, hutan desa adalah hutan yang masuk dalam wilayah adininistrasi sebuah desa definitif, dan ditetapkan oleh kesepakatan masyarakat. 2. Di lihat dari aspek status, hutan desa adalah kawasan hutan negara yang terletak pada wilayah adininistrasi desa tertentu, dan ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan desa. 3. Di lihat dari aspek pengelolaan, hutan desa adalah kawasan hutan inilik rakyat dan inilik pemerintah yang terdapat dalam satu wilayah adininstrasi desa tertentu, dan ditetapkan secara bersama-sama antara pemerintah daerah dan pemerintah sebagai hutan desa yang dikelola oleh organisasi masyarakat desa. Hutan Desa merupakan salah satu skim kebijakan pemberdayaan masyarakat di dalam pengelolaan hutan. Hutan desa sebagaimana disebutkan di dalam Permenhut No. P.49/Menhut-II/2008 adalah hutan negara yang dikelola oleh desa
  • 19. dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa. Penyelenggaraan hutan desa dimaksudkan untuk memberikan akses kepada masyarakat setempat melalui lembaga desa dalam memanfaatkan sumberdaya hutan secara lestari dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat secara berkelanjutan (P.49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa). 8 2. Hak Pengelolaan Hutan Desa Mengacu pada penjelasan UU 41/1999 tentang Kehutanan, khususnya pada penjelasan pasal 5, hutan desa adalah hutan negara yang dimanfaatkan oleh desa untuk kesejahteraan masyarakat desa. Selanjutnya di dalam PP 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, hutan desa didefinisikan sebagai hutan negara yang belum dibebani izin atau hak yang dikelola oleh desa dan untuk kesejahteraan desa (Departemen Kehutanan,1999). Pemberian akses pengelolaan hutan desa lebih lanjut dituangkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.49/Menhut-II/2008, tentang Hutan Desa, yang ditetapkan pada 28 Agustus 2008. Kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai areal kerja hutan desa adalah hutan lindung dan hutan produksi yang belum dibebani hak pengelolaan atau ijin pemanfaatan dan berada dalam wilayah administrasi desa yang bersangkutan (P.49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa.) Para pemegang Hak Pengelolaan Hutan Desa pada kawasan hutan lindung dan hutan produksi berhak memanfaatkan kawasan antara lain melalui kegiatan usaha budidaya tanaman obat, budidaya tanaman hias, budidaya jamur, budidaya lebah, penangkaran satwa liar, atau budidaya hijauan makanan ternak (P.49/Menhut- II/2008 tentang Hutan Desa.)
  • 20. Masyarakat juga dapat melakukan kegiatan di bidang jasa lingkungan meliputi pemanfaatan jasa aliran air, pemanfaatan air, wisata alam, perlindungan keanekaragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan, atau penyerapan dan atau penyimpanan karbon. Hasil hutan bukan kayu yang dapat dimanfaatkan oleh pemegang Hak Pengelolaan Hutan Desa antara lain rotan, madu, getah, buah, jamur, atau sarang walet, meliputi penanaman, pemanenan, pengayaan, pemeliharaan, pengamanan, dan pemasaran hasil (P.49/Menhut- II/2008 tentang Hutan Desa.). 9 3. Pengelolaan Hutan Desa Dari hutan desa ini, masyarakat dapat memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayu yang ada dalam kawasan selain memanfaatkan jasa lingkungan. Namun untuk hutan yang berstatus lindung, masyarakat tidak dapat memanfaatkan kayunya. Untuk pemanfaatan hasil hutan kayu juga tetap mengacu pada aturan yang ada. Masyarakat juga dapat melakukan aktivitas budidaya tanaman atau penangkaran satwa (Heri Mustari, 2009) Hutan desa ini merupakan sebuah bentuk perubahan tata kelola hutan yang dilaksanakan untuk kelestarian hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Perlu juga dipahami bahwa hak pengelolaan yang diberikan ini bukan merupakan kepemilikan atas kawasan hutan dan pengelolaannya juga harus memerhatikan kaidah-kaidah pengelolaan hutan lestari. Hutan desa tentunya akan lebih melihat hutan dan masyarakat yang hidup di sekitarnya selama ratusan tahun sebagai satu kesatuan yang mampu mewujudkan hutan lestari sebagaimana yang diharapkan (Heri Mustari, 2009)
  • 21. Menururut Mustari ada Tiga paradigma atau cara pandang pengelolaan hutan 10 tersebut bisa dijelaskan sebagai berikut: 1. Paradigma pengelolaan hutan dan sumber daya alam untuk kepentingan kelestarian (Ecofasis). Dengan cara pandang seperti ini, pengelolaan hutan lestari masih terjebak pada pemahaman yang sempit tentang pengelolaan hutan dimana masyarakat adalah bagian terpisah dari hutan. Hutan dianggap sebagai kawasan suci yang tidak boleh dijamah masyarakat, walaupun masyarakat tersebut telah ratusan tahun tinggal dikawasan hutan yang dianggap suci. Masyarakat tidak punya hak untuk mengelola sumber daya alam yang sebenarnya sangat dekat dengan mereka dan bahkan dapat menyejahterakan. 2. Paradigma yang lebih berorientasi pada pengelolaan hutan dan sumber daya alam untuk kepentingan ekonomi (Ecodevelopmentalis). Dengan cara pandang seperti inilah sejak puluhan tahun lalu, pemerintah memberikan hak kelola hutan pada pemodal sehingga yang muncul kemudian adalah praktek eksploitasi yang berdampak pada deforestasi massal terhadap sumber daya hutan yang ada di Indonesia. Cara pandang ini juga tidak memberikan dampak pembangunan yang berkelanjutan, masyarakat hanya menjadi penonton di wilayahnya sendiri, bencana alam pun tak terelakkan lagi. Hal ini sangat terlihat pada runtuhnya industri perkayuan yang dahulu dianggap sebagai salah satu penopang pembangunan di Indonesia.
  • 22. 3. Paradigma yang lebih berorientasi pada bagaimana hutan dan sumberdaya alam yang ada di dalamnya bisa diakses masyarakat dengan tujuan untuk mensejahterakan masyarakat di sekitar hutan (ecopopulis). Pemerintah kemudian mencoba mengambil jalan baru dengan kebijakan hutan desa. Ini merupakan bentuk pengejawantahan dari cara pandang yang ketiga karena memperhatikan deforestasi dan bencana ekologis yang terjadi sementara masyarakat hanya bisa merasakan dampak tanpa bisa mengakses pemanfaatan hutan tersebut. 11 4. Pemanfatan Areal Hutan desa merupakan pengelolaan hutan negara dengan melibatkan masyarakat lokal sebagai aktor utama. Pada prakteknya, lahan di hutan negara tersebut diserahkan kepada rakyat yang akan mengelola hutan tersebut dengan perjanjian diantara dua belah pihak. Dalam pembagian areal garapan ini mesti dilakukan secara adil sehingga tidak akan menimbulkan gejolak diantara para petani hutan yang menggarap lahan tersebut. Keadilan serupa ini juga mesti ditegakkan ketika menentukan pembagian hasil keuntungan pengolahan hutan antara negara dengan rakyat melalui suatu perundingan terbuka dan partisipatif diantara negara sebagai pemilik lahan dengan masyarakat lokal sebagai penggarap lahan tersebut (Yuwono, 2010). 5. Pengorganisasian dan Kelembagaan a. Masyarakat Desa Hutan Masyarakat (community) adalah sekumpulan orang yang mendiami suatu tempat tertentu, yang terikat dalam suatu norma, nilai dan kebiasaan yang
  • 23. disepakati bersama oleh kelompok yang bersangkutan. Berdasarkan pada tipologinya, masyarakat desa hutan adalah masyarakat yang mendiami wilayah yang berada di sekitar atau di dalam hutan dan mata pencaharian/pekerjaan masyarakatnya tergantung pada interaksi terhadap hutan (Awang dkk, 2008). 12 6. Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), Badan usaha ini sesungguhnya telah diamanatkan di dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (bahkan oleh undang-undang sebelumnya, UU 22/1999) dan Peraturan Pemerintah (PP) no. 71 Tahun 2005 Tentang Desa. Pendirian badan usaha tersebut harus disertai dengan upaya penguatan kapasitas dan didukung oleh kebijakan daerah (Kabupaten/Kota) yang memfasilitasi dan melindungi usaha ini dari ancaman persaingan para pemodal besar. Mengingat badan usaha ini merupakan lembaga ekonomi baru yang beroperasi di pedesaan dan masih membutuhkan landasan yang kuat untuk tumbuh dan berkembang. Pembangun landasan bagi pendirian BUMDes adalah Pemerintah (PKDSP, 2007).
  • 24. 13 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama 1 bulan yaitu bulan Juli sampai Agustus tahun 2010 pada hutan desa ,di Desa Pattaneteang, Kecamatan Birengere Kabupaten Bantaeng. B. Alat dan Bahan 1. Kamera untuk mendokumentasikan objek penting yang terkait dengan penelitian 2. Alat tulis menulis untuk mencatat data-data yang diperoleh di Lapangan 3. Kompas. 4. Meteran Roll. 5. GPS 6. Peta Hutan Desa Pattaneteang Kabupaten Bantaeng 7. Penutupan Lahan. 8. Peta Kelerengan 9. Peta Intensitas Curah Hujan 10. Peta Jenis Tanah
  • 25. 14 C. Teknik Pengambilan Sampel Teknik pengumpulan dilakukan dengan metode propusive sampling, yaitu pengambilan sampel dilakukan dengan berdasarkan keriteria-kriteria tertentu seperti status lahan, dan perbedaan vegetasi pada tiap lahan. 1. Populasi dan Sampel a. Populasi Populasi penelitan adalah seluruh areal hutan desa di desa Pattaneteang. Populasi sasaran adalah rumah tangga dan areal hutan desa yang dikelola oleh setiap rumah tangga. b. Sampel Sampel penelitian adalah setiap rumah tangga pengelola areal hutan desa yang memiliki lahan pada areal tersebut. 2. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan melalui pengukuran, pengamatan, wawancara dan telaah dokumentasi berbagai sumber, seperti laporan hasil penelitian, laporan dari instansi-instansi terkait atau yang terkait dengan tujuan penelitian. Pengukuran dilakukan untuk mengumpulkan datakondisi biofisik setiap unit landskap. Pengamatan dilakukan untuk mengetahui kondisi umum landskap. Wawancara dilakukan untuk mengumpulkan data sosial ekonomi masyarakat yang mempunyai lahan didalam Hutan Desa Pattaneteang.
  • 26. 15 3. Jenis Data a. Data Primer Data primer terdiri atas : 1) Kodisi biofisik Landskap Hutan Desa meliputi luas, kelerengan, penutupan vegetasi, ketinggian muka laut, jenis tanah, daerah aliran sungai, curah hujan dan jarak dari pusat desa. 2) Kondisi umum landskap yang meliputi, jenis tanaman, struktur, tindakan-tindakan konservasi, dan preskripif pengelolaan. b. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang didapatkan dari faktor yang mempengaruhi Landskap Hutan Desa, yaitu sejarah dan system pengelolaan, status lahan, produktifitas komoditas yang ditanam, . 4. Analisis Data Data yang dikumpulkan kemudian dianalisis secara kuantitatif dan deskriftif sebagi berikut : 1. Analisis Kuantatif Analisis spasial dilakukan dengan menumpangsusunkan (overlay) beberapa data spasial untuk menghasilkan unit pemetaan baru yang akan digunakan sebagai unit analisis. Pada setiap unit analisis tersebut dilakukan analisis terhadap data atributnya yang tak lain adalah data tabular, sehingga analisisnya disebut juga analisis tabular/attribut. Hasil analisis tabular selanjutnya dikaitkan dengan data spasialnya untuk menghasilkan data spasial yang mengambarkan pembentuk unit landskap.
  • 27. 16 2. Analisis Deskriptif Metode analisis deskriptif yang digunakan adalah “Analisis Mental Model” untuk mengetahui sejarah dan faktor-faktor pembentuk unit ladskap Hutan Desa Pattaneteang 5 . Konsep Operasional a. Lanskap Kehutanan adalah seni mengatur hutan untuk mendapatkan sebanyak mungkin manfaat yang membutuhkan dua atau lebih jenis produksi barang yang diinginkan, dengan mempertimbangkan aspek kelestarian hutan secara berkelanjutan. b. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan. c. Hutan Desa adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa. Hutan desa dibentuk atas pertimbangan pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan, serta untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang adil dan lestari. d. Mental Model adalah gambaran pola realitas kehidupan yang ada dalam pikiran seseorang. Penjelesan mengenai proses berpikir seseorang tentang bagaimana sesuatu bekerja di dunia nyata. Cara untuk menggambarkan proses manusia melalui untuk memecahkan masalah penalaran deduktif. e. Analisis spasial dilakukan dengan menumpangsusunkan (overlay) beberapa data spasial untuk menghasilkan unit pemetaan baru yang akan digunakan sebagai unit analisis.
  • 28. f. Analisis spasial adalah analisis yang dilakukan dengan menumpangsusunkan (overlay) beberapa data spasial untuk menghasilkan unit pemetaan baru yang akan digunakan sebagai unit analisis. g. Analisis deskriptif adalah metode-metode yang berkaitan dengan pengumpulan dan penyajian suatu informasi berupa keterangan dan yang menggambarkan suatu data sehingga memberikan informasi yang berguna. h. Analisis vegetasi adalah metode yang bertujuan untuk mengetahui struktur dan komposisi vegetasi komunitas hutan dan hubungannya dengan lingkungan tempat tumbuh. 17
  • 29. 18 BAB IV. KEADAAN UMUM WILAYAH DESA PATTANETEANG A. Letak Dan Luas Desa Pattaneteang secara administratif termasuk dalam wilayah Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan. Letak wilayah Desa ini berjarak 28 km dari ibu kota Kabupaten dan 146 km dari ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan. Luas wilayah Desa Pattaneteang 1.161.5 ha. Desa ini terbagi atas tiga Dusun yaitu, Bungeng, Katabung, dan Biring’Ere (Gambar 1). Desa Pattaneteang mempunyai batas wilayah sebagai berikut : a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Ulu Ere’,Kabupaten Bantaeng. b. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bulukumba, Kecamatan Gantarangkidang. c. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Labbo, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Bantaeng. d. Sebelah Selatan Berbatasan dengan Kabupaten Bulukumba, Kecamatan Gangking. Letak Geografi Desa Pattaneneang adalah 119o58’00” - 119 o 59’20”. Bujur Timur dan 05 o 22’40” - 05 o 24’20” Lintang Selatan, dengan ketinggian antara 650 – 1700 meter dari permukaan laut.
  • 30. 19 Gambar 1. Peta Administrasi Desa Pattaneteang B. Topografi Wilayah Dari hasil overlay peta klas lereng Banteang dengan peta batas Desa maka didapatkan sebaran kelas lereng yaitu klas lereng sangat curam dan agak curam. Hasil analisis peta diketahui sebagian besar (82,95%) areal Desa Pattaneteang termasuk klas lereng sangat curam (kelerengan > 45%). Areal tersebut berada pada bagian Barat Desa Pattaneteang sedangkan areal dengan kelerengan agak curam berada pada bagian Timur Desa Pattaneteang. Informasi luasan masing-masing klas lereng dapat dilihat pada Table 3.
  • 31. 20 Tabel 3. Luas Kelas Lereng Desa Pattaneteang No Klas Lereng Sebaran Klas Lereng Total Wilayah Desa Areal Kerja Hutan Desa Luas (ha) % Luas(ha) % 1 Sangat Curam 963.5 82.95 339.2 100 2 Agak Curam 198 17.05 - - TOTAL 1161.5 100 339.2 100 Sedangkan pada Areal kerja Hutan Desa Pattaneteang keseluruhannya berada di kelas lereng sangat curam atau sebesar 35.2% dari kelas lereng sangat curam dari Desa Pattaneteang. C. Penggunaan Lahan Dan Jenis Tanah 1. Pengguanaan Lahan Penggunaan lahan di Desa Pattaneteang terdiri dari Areal perkebunan yang didominiasi kebun kopi dan cengkeh. Hutan Lindung seluas 339,2 ha atau sama dengan 29,20% dari totol keseluruhan Desa Pataneteang, Adapun penggunaan lain seperti areal pemukiman, dan semak belukar. 2. Tanah Dari hasil overlay peta jenis tanah Kab.Bantaeng dan batas administrasi Desa Pattanetang, dapat dijelaskan secara makro bahwa jenis tanah pada Desa Pattanetang terdiri dari dua yaitu Andosol dan Latosol. Masing-masing luasan dapat dilihat pada Tabel 1.
  • 32. Tabel 1. Jenis Tanah dalam Luasan No. Jenis Tanah Luas (Ha) Persentase 1 Andosol 1021 87.90% 2 Latosol 140.5 12.09% Tabel 1 jenis menunjukan tanah Latosol yang paling sedikit dijumpai di Desa Pattaneteang, jenis tanah ini tersebar merata pada bagian paling Selatan Desa ini dan menutupi 12.10 % dari total luas wilayah Desa Pattaneteang. Sedangkan jenis tanah Andosol sebesar 87.90% atau seluas 1021 ha yang tersebar merata di daerah bagian Barat Desa ini. Hal ini menandakan jenis tanah pada seluruh Areal Hutan Desa Pattaneteang adalah jenis tanah Andosol. 3. Keadaan Iklim Untuk melihat keadaan iklm Desa Pattanetang secara umum maka harusla dilihat dari letak geografi Kabupaten Bantaeng yang strategis memiliki alam tiga dimensi, yakni bukit pegunungan, lembah dataran dan pesisir pantai. Dengan dua musim dan perubahan iklim setiap tahunnya yang dikenal di daerah ini dengan nama musim barat antara bulan Oktober sampai dengan bulan Maret dan musim timur antara bulan April sampai bulan September. Iklim di daerah ini tergolong iklim tropis basah dengan curah hujan rata-rata setiap bulan 140,5 mm dengan jumlah hari hujan berkisar 153 hari pada tahun 2008. Musim hujan dengan angin barat jatuh pada bulan Oktober sampai September. 21
  • 33. 22 D. Kependudukan Jumlah keseluruhan penduduk Desa Pattaneteang adalah sebanyak 1846 jiwa dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 514 kepala keluarga. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Jumlah Penduduk dan Jumlah Kepala Keluarga, Desa Pattaneteang No. Lingkungan Jumlah Penduduk (jiwa) Jumlah Kepala Keluarga (KK) 1 Bungeng 586 184 2 Panrangngaji 644 171 3 Bioring’ ere 616 159 Jumlah 1846 514 Sumber : Kantor Desa Pattaneteang, 2009. Pada Dusun Bungeng terdapat 586 jumlah penduduk dari 184 Kepala Keluarga yang ada pada Desa Pattaneteang, di dusun inilah penduduk yang paling sedikit dibanding dua dusun lainnya. Jumlah penduduk pada dusun ini, terdiri dari 298 laki-laki dan 288 perempuan . Pekerjaan penduduknya dominan berkebun dan bertani. Dusun Panrangngaji terdapat 644 jumlah penduduk dari 171 Kepala Keluarga yang ada pada Desa Pattaneteang. Penduduk dusun ini terdiri 337 laki-laki dan 307 perempuan dari total keseluruhan. Sedangkan di Dusun BiringEre terdapat 616 jumlah penduduk dari 159 Kepala Keluarga dan terdiri dari 316 laki-laki dan 159 perempuan. Pekerjaan penduduknya dominan berkebun dan bertani.
  • 34. 23 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Umum Landskap Hutan Desa Pattaneteang 1. Luas Areal Luas areal keseluruhan Desa Pattaneteang adalah 1161.5 ha dan luas Hutan Desa Pattaneteang adalah 339,2 ha. Ini berarti luas Hutan Desa Pattaneteang sebesar 29,20% dari luas total Desa Pattaneteang. 2. Topografi a. Kelerengan Dari hasil overlay peta klas lereng Kabupaten Banteang dengan peta batas Desa Pattaneteang maka didapatkan sebaran kelas lereng Hutan Desa tersebut pada Gambar 2. Hasil analisis peta diketahui sebagian besar (82,95%) areal Desa Pattaneteang termasuk klas lereng sangat curam (kelerengan >40%). Areal tersebut berada pada bagian Barat Desa Pattaneteang sedangkan areal dengan kelerengan agak curam berada pada bagian Timur Desa Pattaneteang. Informasi luasan masing-masing kelas lereng dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Luas Kelas Lereng Desa Pattaneteang No Klas Lereng Sebaran Klas Lereng Total Wilayah Desa Areal Kerja Hutan Desa Luas (ha) % Luas(ha) % 1 Sangat Curam 963.5 82.95 339.2 100 2 Agak Curam 198 17.05 - - TOTAL 1161.5 100 339.2 100
  • 35. Sedangkan pada areal kerja Hutan Desa Pattaneteang keseluruhannya berada di kelas lereng sangat curam (Gambar 2) atau sebesar 35.2% dari kelas lereng sangat curam yang ada di Desa Pattaneteang. 24 Gambar 2. Peta Kelas Lereng Desa Pattaneteang b. Ketinggian Muka Laut Ketinggian dari muka laut Desa Pattaneteang yang paling rendah adalah ketinggian 725 mdpl (berada di areal pemukiman) dan daerah yang paling tinggi sampai pada ketiggian 1750 mdpl (berada dalam Hutan Desa Pattaneteang). Sedangkan Areal Hutan Desa Pattaneteang sendiri paling rendah berada pada ketiggian 1150 mdpl sampai 1750 mdpl. Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa kelas lereng yang sangat curam akan mempengatuhi Sungai Salo Maesa dan Sungai Salo Kalambung karena keduanya mempunyai Hulu Sungai didaerah yang lebih tinggi dan Klas lereng sangat curam, Sedangkan Sungai Balang Bialo yang membagi dua
  • 36. Hutan Desa Pattanetang mempunyai hulu sungai di kecamatan Elu Ere’ dengan puncak ketinggian mencapai 2500 mdpl. Sedangkan Sungai Salo Maesa mempunyai puncak ketinggian mencapai 1600 mdpl dan dihilir 450 mdpl. Dan Sungai Salo Kalambung mempunyai puncak tertinggi di hulu mencapai 1067 mdpl dan di hilil 700 mdpl panjang aliran sungai ini dari hulu ke hilir kurang lebih 4 km. 3. Jenis Tanah Dari hasil overlay peta jenis tanah Kab.Bantaeng dan areal desa dan hutan Desa Pattanetang, dapat dijelaskan secara makro bahwa jenis tanah pada hutan desa dan Desa Pattanetang umumnya sama yang tergolong dalam jenis tanah andosol. Tanah jenis ini biasanya subur dan bertekstur gembur hingga seperti lempung, bahkan di beberapa tempat bertekstur debu. Sehingga petani menyukainya karena mudah dalam pengolahan. Sangat ringan dicangkul dan pori-pori tanahnya memudahkan sirkulasi udara masuk ke akar tanaman. Karena mengandung unsur hara sedang hingga rendah (N,P dan K) maka, kebanyakan petani memanfaatkan jenis tanah andosol untuk fungsi perkebunan seperti teh, kopi, pinus dll. Walaupun memiliki banyak kelebihan, namun tanah andosol juga memiliki banyak kelemahan. Kelemahan tanah Andosol adalah, karena strukturnya yang gembur dan rapuh, sehingga tanah jenis ini sangat mudah terseret air hujan, angin dan erosi. Karena itu, petani banyak menyiasatinya dengan menggunakan sistem tanam berteras. Di antara sela-sela teras 25
  • 37. bertingkat itu biasanya ditanami rumput atau juga tanaman keras penguat teras. Dengan berbagai cara tersebut, tingkat erosi dapat dikurangi secara signifikan, dan petani dapat tetap memanfaatkannya secara maksimal. Dari penjelasan diatas dapat dilihat bahwa tanah andosol memiliki kelemahan karena strukturnya yang gembur dan rapuh, maka dilakukan tindakan-tindakan untuk mencegah terjadinya erosi. 4. Curah Hujan Data yang didapatkan dari Subdin Pengairan Kabupaten Bantaeng Tahun 2007. Jika dilihat curah hujan Desa Pattaneteang relatif tinggi pada bulan Oktober – Maret, sedangkan pada bulan April – September curah hujan relatif rendah (Tabel 5) Tabel 5. Tabel Curah Hujan Desa Pattanetang 26
  • 38. Umumnya Hujan di sebagian besar wilayah Indonesia dipengaruhi oleh angin muson. Angin muson dari barat membawa banyak uap air sehingga terjadi musim hujan (oktober-maret). Angin muson dari timur mengandung sedikit uap air sehingga terjadi musim kering pada bulan april-september. (http://id.answers.yahoo.com/question/index?id=20100318055456AA2Ba6g) Hal inilah yang kemungkinan menyebabkan pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa bulan Oktober – Maret dominan curah hujan tinggi, yang berbeda dengan bulan April – September curah hujan dominan rendah. Sebaran dari curah hujan tersebut dapat dilihat dari hasil overlay peta curah hujan secara makro Kab.Bantaeng dengan peta administrasi Desa Pattanetang maka didapatkan dua intensitas curah hujan secara makro pada Desa Pattaneteang dapat dilihat pada Gambar 3. Hal ini menggabarkan bahwa hampir semua kondisi Desa Pattaneteang mempunyai curah hujan 1100- 2100mm/thn (curah hujan tinngi) dan sebagian kecil yang berada pada daerah agak curam < 1100mm/thn (curah hujan menegah) 27 (Gambar 3. Peta Curah Hujan Desa Pattaneteang)
  • 39. 28 5. Penutupan Lahan Hasil observasi dilapangan dapat diketahui penutupan lahan pada areal kerja Hutan Desa Pattaneteang terdiri dari Hutan Alam, Hutan Campuran dan Monokultur Kopi, luas penutupan lahan tersebut dapat dilihat pada Tabel 6, sedangkan penyebarannya dapat dilihat pada Gambar 4. Tabel 6. Luas Penutupan Hutan Desa No. Penutupan Luas (Ha) Persen Penutupan 1 Hutan Alam 174.5 51.44% 2 Hutan Campuran 135 39.7% 3 Monokultur Kopi 29.7 8.75% TOTAL 339.2 100% Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa penutupan lahan pada Hutan Desa Pattaneteang didominasi oleh Hutan Alam melebih setengah dari areal kawasan tersebut atau sebesar 51,44%, sedangkan hutan campuran seluas 135 ha, penutupan lahan sebesar 39,7% dari luas total keseluruhan Hutan Desa Pattanetang. Penutupan lahan yang paling sedikit sebesar 29,7 ha atau 8,75% adalah monokultur kopi. Deskirpsi pada masing-masing areal penutupan Hutan Desa tersebut sebagai berikut a. Hutan Alam Hutan Alam yang dimaksdukan pada penelitan ini adalah areal yang vegetasinya masih alami dan pada areal ini umur pohon > 40 tahun. Vegetasi yang biasa dijumpai pada areal ini adalah Albisia, galatiri, Damar laki, Damar Gana, Lutuh, Lossongg dan Balanteh.
  • 40. b. Hutan Campuran Hutan Campuran yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah Hutan Alam yang disebutkan di atas dan dimanfaatkan oleh warga. Pemanfaatan itu berupa menanam kopi dibawah tegakan, tanpa menebang pohon – pohon yang telah ada dalam hutan tersebut. Pada areal ini tumbuhan kopi rata-rata sudah berumur 10 tahunan. Data tersebut dari hasil pengambilan sampel di lapangan (Gambar 4) c. Monokultur Kopi Monokultur Kopi yang dimaksukan dalam penelitian ini adalah areal yang tanamannya dominan kopi dan tumbuhan kayu atau pohon yang digunakan sebagai penaung masih berumur rata masih berumur 10 tahunan. Tumbuhan penaungnya seperti Nangka, Jambu batu, Alpokat, Albisia, Kaleandra, Cembang, Mangga, dan Galitiri. Pada areal ini tumbuhan kopi rata sudah berumur 6 tahunan. Data tersebut dari hasil pengambilan sampel dilapangan (Gambar 4) 29
  • 41. 30 Gambar 4. Peta Lokasi Pengambilan Sampel Dari hasil analisis yang dilakukan dapat diketahui bahwa penutupan lahan Hutan Alam (174.5 ha) pada areal Hutan Desa Pattanetang berjarak kurang lebih 3,7 sampai 4,1 km dari pemukiman terdekat. Pada Hutan Campuran (135 ha) pada areal Hutan Desa Pattaneteang berjarak kurang lebih 3,1 sampai 3,7 km dari lokasi pemukiman terdekat. Sedangkan pada Monokultur kopi berjarak pada 2 sampai 3,1 km dari lokasi pemukiman terdekat. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 5 & 6. Gambar 5. Profil Desa Pattaneteang
  • 42. 31 Gambar 6. Profil Desa Pattaneteang Dari Gambar 5 & 6, dapat dijelaskan bahwa areal penutupan lahan Hutan Alam berada diketinggian 1650 – 1775 dengan jarak ± 3.7km lebih, dari pemukiman terdekat, Hutan Campuran berada pada ketinggian 1600 – 1650zmdpl dan berjarak ± 3,1km dari pemukiman terdekat. Sedangkan Monokultur Kopi berjarak ± 2km dari pemukiman terdekat dengan ketinggian 1450 – 1600mdl. Hal ini mengidentifikasikan bahwa sungai-sungai yang melalui warga atau yang dimanfaaatkan oleh warga dan hulu sungai tersebut berada dalam Areal Hutan Desa maka akan ini akan berdampak pada kuantitas dan kontinyuitas air yang megalir di aliran sungai tersebut terhadap kondisi yang berada di Hulu Sungai, baik itu kondisi penutupan lahan, kelerengan, dan faktor curah hujan.
  • 43. 32 6. Pemanfaatan Areal Kerja Hutan Desa Dari hasil wawancara kepada 9 responden yang memiliki lahan pada Areal Hutan Desa Pattaneteang diketahui bentuk pemanfaatan areal kerja Hutan Desa sebagai berikut : a. Pemanfaatan ruang tumbuh di bawah tegakan Pemanfaatan ruang tumbuh dibawah tegakan, dimulai pada tahun 1999 karena keterbatasan lahan. Masyarakat setempat beberapa kali melakukan pertemuan dengan Dinas Kehutanan Kab.Bantaeng untuk memanfaatkan ruang tumbuh dibawah tegakan Hutan Lindung (pada saat ini termasuk areal kerja Hutan Desa). Dari hasil pertemuan tersebut disepakati bahwa masyarakat boleh memanfaatkan areal Hutan Lindung tetapi tidak boleh menebang. Melalu kesepakatan tersebut masyarakat masuk berkebun dalam Hutan Lindung dengan menanam kopi dibawah tegakan. Pada saat ini masyarakat juga menanam markisa didalam Hutan Lindung. Karena masyarakat tidak diperbolehkan menebang, maka mereka hanya memanfaatkan ruang tumbuh dibawah tegakan untuk menanam kopi diselah-selah pohon Albisia, Galitiri, Damar, Lutuh, Lossong dan Balanteh. Aktifitas masyarakat memanfaatkan ruang tumbuh tersebut telah membentuk penutupan Hutan Campuran pada saat ini. b. Pemanfaatan Areal Kritis di dalam Kawasan Hutan. Hal yang berbeda dilihat pada lahan kritis yang berada pada Hutan Desa Pattaneteang. Pada tahun 2000 – 2001 awal masyarakat memanfaatkan
  • 44. lahan tersebut ditumbuhi alang-alang dan beberapa kayu cembang yaitu salah satu jenis kayu yang pertumbuhannya kerdil dengan ukuran diameter batang rata-rata 10 cm. Masyarakat memanfaatkan areal kritis tersebut dimulai dengan melakukan pembersihan lahan, kemudian ditanami tanaman jagung sambil menanam pohon penanung kopi. Jenis-jenisnya seperti Nangka, Jambu batu, Alpokat, Albisia, Kaleandra, Cembang, Mangga, dan Galitiri. Setelah tanaman penaung tersebut berumur diatas 2 atau 3 tahun, masyarakat kemudian mengganti tanaman jagung tersebut dengan tanaman kopi. Hal ini kemudian merubah tutupan vegetasi yang dahulunya dominan alang-alang menjadi monokultur kopi. Lokasi pengambilan sampel dapat dilihat pada Gambar 4. 33 7. Daerah Aliran Sungai a. Sub DAS Biang Bialo Sub Das Balang Bialo mempunyai hulu di Kecamatan Ulu Ere Kabupaten Bantaeng dengan puncak ketinggian mencapai 2500 mdpl. Daerah aliran sungai ini membelah Hutan Desa Pattaneteang menjadi dua dan sekaligus menjadi batas administrasi antara Kabupaten Bantaeng dan Kabupaten Bulukumba. Dapat dilihat pada Gambar 7 Sub Das yang berada pada Desa Pattaneteang. b. Sub DAS Salo Kalambung Sub Das Salo Kalambung mempunyai puncak tertinggi di hulu mencapai 1067 mpdl dan di hilir 700mdl panjang aliran sungai ini dari hulu ke hilir
  • 45. kurang lebih 4 km. Hulu sungai terdapat di Areal Desa Pattaneteang yang dekat dengan pemukiman dan hilir sungai berada pada sungai Salo Bialo yang menjadi batas administrasi antara Kabupaten Bantaeng dan Kabupaten Bulukumba. c. Sub DAS Salo Maesa Sub DAS Salo Maesa adalah Sub DAS yang hulu sungainya berada pada areal lokasi penelitian, hulu sungainya terdapat pada Hutan Desa Pattanetang. Dari hasil analisis yang dilakukan maka didapatkan luas total batas Sub DAS Salo Mesa adalah 756 ha yang berada dalam dua kawasan administrasi yaitu Desa Pattaneteang dan Desa Labbo. Luas total batas Sub DAS Salo Mesa yang berada dalam kawasan Hutan Desa Pattaneteang 47.2 ha yang menutupi 2 jenis penutupan vegetasi masing-masing hutan campuran 20.1 ha dan hutan monokultur kopi 27.1 ha. (Gambar 7) Luas Batas Das Salo Mesa yang berada dalam Hutan Desa Pattaneteang 3.56% dari jumlah keseluruhan. Hal ini dapat diartikan bahwa Sub Das Salo Mesa akan mempengaruhi debit air, baik itu ketersediaan air dan kontinyunitas air, setidaknya lebih dari 3.56% ketersediaan air disungai tersebut. Sub DAS Salo Maesa mempunyai hulu di Hutan Desa Pattaneteang, panjang sungai ini sampai ke pemukiman terdekat ± 3.6km , dengan panjang sungai dari Hulu ke Hilir ± 8km lebih. Penutupan lahan pada Hutan Desa di areal hulu sungai adalah Monokultur Kopi dan Hutan Campuran. Areal yang dilalui sungai sampai di pemukiman penduduk setelah Hutan Desa 34
  • 46. penutupannya dominan perkebunan kopi dan sisanya adalah perkebunan cengkeh. Dihulu puncak ketinggian mencapai 1600mdpl dan dihilir 450mdpl. 35 Gambar 7. Gambar Batas Sub DAS Salo Maesa B. Faktor – Faktor yang mempengaruhi Landskap Berdasarkan hasil observasi di lapangan dapat diketahui bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi terbentuk landskap Hutan Desa Pattaneteang ialah : 1. Faktor Sosial a. Mental Model Pengelolaan Lahan Dari hasil wawancara terhadap 9 responden dapat diketahui bahwa Mental model masyarakat yang terbangun dalam dua kondisi vegetasi yang berbeda pada saat masyarakat mulai masuk dalam kawasan Hutan Desa. Yaitu dimana satu kodisi lahan yang masih banyak ditemukan pohon – pohon yang berumur 40-60 tahun dan kondisi penutupan masih bagus, dan di kondisi lahan lain
  • 47. tidak banyak ditemukan pohon-pohon melainkan alang-alng. Hal inilah yang kemudian membentuk secara sendirinya membentuk mental model masyarakat bagaimana sistem pengelolaan lahan pada dua kondisi berbeda tersebut dapat dilaksanakan, berdasarkan pengetahuan yang masyarakat dapat dari orang terdahulunya ataupun dari pengalamnnanya langsung dilapangan. Hal inilah yang menyebabkan kondisi vegetasi sekarang berbeda. Kondisi pada saat sekarang berbeda dapat dilihat dari bagaiman masyarakat tersebut melakukan system pengelolaan.  Masyarakat yang berkebun di bawah tegakan Awal mula masuknya warga pada area hutan desa untuk berkebun pada lahan yang bervegetasi lebat masyarakat tidak diperbolehkan menebang pohon –pohon yang telah ada, ini dikarenakan salah satu kesepakatan yang terjadi pada tahun 2000 yang menyebabakan masyarakat diperbolehkan mengelolah kawasan tersebut adalah larangan menebang pohon. Jadi pada awal aktifitas masyarakat masuk berkebun dalam hutan desa dimulai dengan pembersihan lahan yang berada dilantai hutan, dan kemudian ditanami dengan kopi, kebanyakan masyrakat juga menanam markisa pada saat itu. Karena masyarakat tidak diperbolehkan menebang maka masyarakat hanya memanfaatkan kopi diselah-selah pohon yang telah ada. Hal ini lah yang membuat tutupan vegetasi tersebut menjadi hutan campuran pada saat ini. Untuk melihat model hutan campuran yang memanfaatkan lahan dibawah tegakan untuk menanam kopi ada pada Gambar 5 & 6. 36
  • 48.  Masyarakat yang berkebun di areal kritis Hal yang berbeda dilihat pada lahan yang tidak bervegetasi pada awal mula masyarakat masuk untuk berkebun diareal hutan desa. Di daerah ini yang ada hanya ditumbuhi alang-alang dan beberapa kayu cembang yang batangnya hanya sampai seukuran betis dan kemudian mati. Aktifitas masyrakat pertamakali melakukan pembersihan lahan, dan kemudian menanami jagung sambil menanam pohon penanung untuk persiapan penaung kopi. Barulah sekitar 2 atau 3 tahun pada saat pohon penaung tersebut besar, masyarakat kemudian mengganti tanaman jagung tersebut dengan tanaman kopi. Hal ini kemudian merubah tutupan vegetasi yang dahulunya alang-alang menjadi monokultur kopi. b. Status Lahan Faktor status lahan juga sangat besar berpengaruh terhadap aktifitas masyarakat di kawasan hutan lindung tersebut. Dimulai pada zaman penjajahan pada tahun 1940an warga mengangap kawasan hutan lindung tersebut dimiliki oleh Belanda, yang pada saat itu menjajah Indonesia. Hal tersebut ditandai dengan pemasangan batas – batas yang di buat oleh Belanda pada saat itu. Sehingga warga tidak ada yang memasuki kawasan tersebut Setelah kemerdekaan dan pada tahun 1960an tidak ada yang melakukan aktifitas pada kawasan tersebut karena masyarakat juga masih trauma dan belum ada kepastian status lahan tersebut, barulah pada tahun 1989 yang pada saat itu Kepala Dinas Kehutanan melakukan pemasangan 37
  • 49. tapal batas kawasan lindung, yang artinya masyarakat, jelas tidak boleh melakukan aktifitas didalamnya. Pada tahun 2000 lah baru ada kesepakatan – kesepakatan yang terjadi sehingga masyarakat diperbolehkan mengelola kawasan lindung tersebut dan bahakan sampai setatus kepemilikan lahan wajib pajak (SPPT). Disinilah kegiatan yang paling aktif dilakukan didalam hutan lindung oleh masyarakat pada tahun 2000-2001 karena status lahan yang telah miliki sebagai wajib pajak. 38 2. Faktor Ekonomi a. Keterbatasan lahan Berdasarkan hasil wawancara dari 9 responden dapat dilihat bahwa salah satu alasan mengapa warga masuk dan berkeinginan mengelolah kawasan lindung pada saat itu adalah masalah keterbatasan lahan di sekitar areal pemukiman warga. Karena pada sekitar tahun 1990an areal disekitar pemukiman warga sudah padat akan kebun – kebun yang kebanyakan ditanami kopi dan cengkeh. Belum lagi ditambah dengan jumlah penduduk semakin tahun semakin banyak, hal ini lah yang mengakibatkan perambahan sampai hutan desa pattaneteang, disinilah pertama kali warga masuk dalam dan mengelolah lahan (pada tahun 2000) yang mana areal tersebut adalah Kawasan Hutan Lindung. b. Rasio lahan & jumlah kependudukan Faktor ekonomi juga yang menyebabkan masuknya perambahan kedalam hutan desa pattaneteang. Di desa pattaneteang yang mayoritas penduduknya
  • 50. bekerja sebagai petani dan berkebun, ditambah lagi dengan pendidikan yang tidak memadahi. Maka akan melihat lahan dan hutan adalah salah satunya sumber pengahasilan mereka untuk mencukupi kebutuhan hidup. Jarak tanam 2 x 2 meter dan setiap pohon rata-rata menghasilkan 3 liter 39 Luas Lahan Per KK = ℎ ℎ ℎ = 19.66 ℎ 79 = 0.25ℎ/ Jarak tanam kopi 2 x 2 meter = 2500 pohon/ha = 625 pohon/kk Rata – rata jumlah orang dalam 1 kk adalah 5 orang maka perorang akan dihidupi dari lahan tersebut 125 pohon/orang x 3 liter (produksi/pohon) = 375 liter/orang. Harga jual kopi tersebut 1 liter = Rp. 5.000 jadi 375liter/orang x Rp.5000 akan menghasilkan Rp.1.875.000/orang/tahun. C. Penataan Landskap Hutan Desa Untuk Fungsi Lindung Penataan Landskap untuk tujuan fungsi lindung dapat dilihat dari sejauh mana fungsi hidrologi dan fungsi erosi dapat berperan dalam kehidupan dan keberlangsung hutan dan sekitar Hutan Desa Pattaneteang. Untuk mendukung fungsi hidrologi tersebut dapat dilihat pada uraian deskripsi umum Landskap Hutan Desa Pattaneteang, bahwa terdapat tiga daerah aliran sungai yaitu DAS yaitu Biang Bialo, Salo Kalambung dan Salo Maesa. DAS Salo Maesa adalah daerah aliran sungai yang hulu sungainya terdapat pada lokasi penelitian dan daerah aliran sungai ini berdampak sampai ke
  • 51. pemukiman warga. Hal inilah yang menjadi beberapa alasan daerah aliran sungai Salo Maesa menjadi fokus penelitian dari ketiga daerah aliran sungai lainnya. 1) Fungsi Pengaturan Tata Air (Sub DAS Salo Maesa) Luas total batas Sub DAS Salo Mesa adalah 756 ha yang berada dalam dua kawasan administrasi yaitu Desa Pattaneteang dan Desa Labbo. Luas total batas Sub DAS Salo Mesa yang berada dalam kawasan Hutan Desa Pattaneteang 47,2 ha yang menutupi 2 jenis penutupan vegetasi masing-masing hutan campuran 20,1 ha dan hutan monokultur kopi 27,1 ha. (Gambar 6) Luas Batas Sub Das Salo Mesa yang berada dalam Hutan Desa Pattaneteang 3,56% dari jumlah keseluruhan. Hal ini dapat diartikan bahwa Das Salo Mesa akan mempengaruhi debit air, baik itu ketersediaan air dan kontinyunitas air, setidaknya lebih dari 3,56% ketersediaan air disungai tersebut. Sub DAS Salo Maesa mempunyai hulu di Hutan Desa Pattaneteang, panjang sungai ini sampai ke pemukiman terdekat ± 3,6km , dengan panjang sungai dari Hulu ke Hilir ± 8 km lebih. Penutupan lahan pada Hutan Desa di areal hulu sungai adalah Monokultur Kopi dan Hutan Campuran. Areal yang dilalui sungai sampai di pemukiman penduduk setelah Hutan Desa penutupannya dominan perkebunan kopi dan sisanya adalah perkebunan cengkeh. Dihulu puncak ketinggian mencapai 1600 mdpl dan dihilir 450 mdpl. Menurut Sihite (2005), Perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi kebun kopi menunjukan adanya pertambahan nilai koefisien aliran permukaan Ini berarti perubahan penggunaan lahan akan menyebabkan jumlah air yang menjadi aliran langsung ke sungai akan bertambah, khususnya pada musim 40
  • 52. hujan. Faktor kekerasan permukaan, serasah yang lebih banyak dan system perakaran yang lebih dalam menyebabkan kecepakatan aliran permukaan akan lebih rendah dan akan memperbesar peluang terjadi infiltrasi ke dalam tanah. Faktor ini juga menjadi salah satu penyebab besar atau kecilnya jumlah air hujan yang akan langsung memasuki sungai. Hal ini menunjukan bahwa Fungsi hidrologi dapat lebih baik di Hutan campuran lebih baik daripada monokultur kopi karena di hutan campuran lapisan strata lebih banyak, serasah dan system perakarannya juga lebih baik sehingga akan lebih rendah dan akan memperbesar peluang infiltrasi kedalam tanah. Perubahan kondisi tanah sesudah alih fungsi hutan adalah penyebab utama terjadinya perubahan fungsi DAS. Sistem Agroforestri berbasis kopi dapat mengembalikan kelestarian fungsi hidrologi (Farida, 2004). 2) Tehnik Pengendalian Erosi Secara garis besar, teknik pengendalian erosi dibedakan menjadi dua, yaitu teknik konservasi mekanik dan vegetatif. Konservasi tanah secara mekanik adalah semua perlakuan fisik mekanis dan pembuatan bangunan yang ditujukan untuk mengurangi aliran permukaan guna menekan erosi dan meningkatkan kemampuan tanah secara berkelanjutan. Pada prinsipnya konservasi mekanik dalam pengendalian erosi harus selalu diikuti oleh cara vegetatif, yaitu penggunaan tumbuhan/tanaman dan sisa-sisa tanaman/tumbuhan (misalnya mulsa dan pupuk hijau), serta penerapan pola tanam 41
  • 53. yang dapat menutup permukaan tanah sepanjang tahun. Adapun Upaya yang dilakukan pada dua kondisi penutupan lahan : a. Pada Lahan Hutan campuran kopi, dimana umur kopi berumur 10 tahun.  Menggunakan Tanaman penutup tanah. Tanaman penutup tanah adalah tumbuhan atau tanaman yang khusus ditanam untuk melindungi tanah dari ancaman kerusakan oleh erosi dan / atau untuk memperbaiki sifat kimia dan sifat fisik tanah. Tanaman penutup tanah berperan: (1) menahan atau mengurangi daya perusak butir-butir hujan yang jatuh dan aliran air di atas permukaan tanah, (2) menambah bahan organik tanah melalui batang, ranting dan daun mati yang jatuh, dan (3) melakukan transpirasi, yang mengurangi kandungan air tanah. Peranan tanaman penutup tanah tersebut menyebabkan berkurangnya kekuatan dispersi air hujan, mengurangi jumlah serta kecepatan aliran permukaan dan memperbesar infiltrasi air ke dalam tanah, sehingga mengurangi erosi. Tumbuhan atau tanaman yang sesuai untuk digunakan sebagai penutup tanah dan digunakan dalam sistem pergiliran tanaman harus memenuhi syarat-syarat (Osche et al, 1961): (a) mudah diperbanyak, sebaiknya dengan biji, (b) mempunyai sistem perakaran yang tidak menimbulkan kompetisi berat bagi tanaman pokok, tetapi mempunyai sifat pengikat tanah yang baik dan tidak mensyaratkan tingkat kesuburan tanah yang tinggi, (c) tumbuh cepat dan banyak menghasilkan daun, (d) toleransi 42
  • 54. terhadap pemangkasan, (e) resisten terhadap gulma, penyakit dan kekeringan, (f) mampu menekan pertumbuhan gulma, (g) mudah diberantas jika tanah akan digunakan untuk penanaman tanaman semusim atau tanaman pokok lainnya, (h) sesuai dengan kegunaan untuk reklamasi tanah, dan (i) tidak mempunyai sifat-sifat yang tidak menyenangkan seperti duri dan sulur-sulur yang membelit. b. Pada Penutupan Lahan Monokultur kopi, dimana umur kopi tersebut 5 tahunan  Pembuatan Rorak. Rorak merupakan lubang penampungan atau peresapan air, dibuat di bidang olah atau saluran resapan. Pembuatan rorak bertujuan untuk memperbesar peresapan air ke dalam tanah dan menampung tanah yang tererosi. Pada lahan kering beriklim kering, rorak berfungsi sebagai tempat pemanen air hujan dan aliran permukaan. Dimensi rorak yang disarankan sangat bervariasi, misalnya kedalaman 60 cm, lebar 50 cm, dan panjang berkisar antara 50-200 cm. Panjang rorak dibuat sejajar kontur atau memotong lereng. Jarak ke samping antara satu rorak dengan rorak lainnya berkisar 100-150 cm, sedangkan jarak horizontal 20 m pada lereng yang landai dan agak miring sampai 10 m pada lereng yang lebih curam. Dimensi rorak yang akan dipilih disesuaikan dengan kapasitas air atau sedimen dan bahan-bahan terangkut lainnya yang akan ditampung. Sesudah periode waktu tertentu, rorak akan terisi oleh tanah atau serasah tanaman. Agar rorak dapat berfungsi secara terus-menerus, bahan- 43
  • 55. bahan yang masuk ke rorak perlu diangkat ke luar atau dibuat rorak yang baru. Pedoman Konservasi Tanah dan Air yang diterbitkan oleh Tim Peneliti BP2TPDAS IBB Departemen Kehutanan (2002) merekomendasikan pembuatan rorak dengan persyaratan teknis: a) Ukuran panjang 1 – 2 meter, lebar 25-50cm dan dalam 20 – 30 cm. b) Rorak dapat diisi dengan mulsa untuk mengurangi sedimentasi dan 44 meningkatkan kesuburan tanah. c) Pembuatan rorak mengakibatkan pengurangan luas lahan olah sebesar 3 – 10% d) Rorak buntu dapat dibuat pada bagian lereng atas dari tanaman e) Sedimen yang tertampung dalam rorak buntu Gambar 7. Skema rorak  Penerapan Sistem Agroforestry perlu diterapkan pada areal ini sehingga lapisan strata lebih banyak dan system perakaran hutan yang dalam, serta adanya serasah tanaman yang menutupi permukaan tanah akan lebih baik untuk menjaga fungsi Hidrologi dan Erosi sesuai tujuan Fungsi Lindung tanpa menyepelekan kebutuhan ekonomi masyarakat. System Agrogorestri
  • 56. ini dapat dilakukan dengan menanam tanaman-tanaman buah-buahan (MPTS) dan kopi sebagai tanaman bawahnya. Jauh lebih baik dibanding tanaman kayu-kayuan yang mungkin akan menyebabkan keinginan untuk menebang nantinya. Hal ini dilakukan untuk menambah lapisan strata.  Menggunakan Tanaman penutup tanah. Tanaman penutup tanah pada gambar 8 adalah tumbuhan atau tanaman yang khusus ditanam untuk melindungi tanah dari ancaman kerusakan oleh erosi dan / atau untuk memperbaiki sifat kimia dan sifat fisik tanah. Tanaman penutup tanah berperan: (1) menahan atau mengurangi daya perusak butir-butir hujan yang jatuh dan aliran air di atas permukaan tanah, (2) menambah bahan organik tanah melalui batang, ranting dan daun mati yang jatuh, dan (3) melakukan transpirasi, yang mengurangi kandungan air tanah. Peranan tanaman penutup tanah tersebut menyebabkan berkurangnya kekuatan dispersi air hujan, mengurangi jumlah serta kecepatan aliran permukaan dan memperbesar infiltrasi air ke dalam tanah, sehingga mengurangi erosi. Tumbuhan atau tanaman yang sesuai untuk digunakan sebagai penutup tanah dan digunakan dalam sistem pergiliran tanaman harus memenuhi syarat-syarat (Osche et al, 1961): (a) mudah diperbanyak, sebaiknya dengan biji, (b) mempunyai sistem perakaran yang tidak menimbulkan kompetisi berat bagi tanaman pokok, tetapi mempunyai sifat pengikat tanah yang baik dan tidak mensyaratkan tingkat kesuburan tanah yang tinggi, (c) tumbuh cepat dan banyak menghasilkan daun, (d) toleransi 45
  • 57. terhadap pemangkasan, (e) resisten terhadap gulma, penyakit dan kekeringan, (f) mampu menekan pertumbuhan gulma, (g) mudah diberantas jika tanah akan digunakan untuk penanaman tanaman semusim atau tanaman pokok lainnya, (h) sesuai dengan kegunaan untuk reklamasi tanah, dan (i) tidak mempunyai sifat-sifat yang tidak menyenangkan seperti duri dan sulur-sulur yang membelit. 46 Gambar 8. Tanaman Penutup Tanah 1. Penataan Landskap Hutan Desa Pattaneteang Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahawa kodisi Hutan campuran yang berada dalam Hutan Desa Pattaneteang jauh lebih baik dalam berperan menjaga fungsi hidrologi dan erosi dari pada monokultur kopi. Tetapi kebutuhan masyarakat akan lahan yang digunakan menanam kopi juga patut dipikirkan karena menyangkut masalah hidup menghidupi. Perubahan kondisi tanah sesudah alih fungsi hutan adalah penyebab utama terjadinya perubahan fungsi DAS. Sistem Agroforestri berbasis kopi dapat mengembalikan kelestarian fungsi hidrologi (Farida, 2004). Sistem Agroforestri atau sama dengan skema pada Hutan Campuran perlu diterapkan pada monokultur kopi. Sehingga lapisan strata lebih banyak dan system perakaran hutan yang dalam, serta adanya serasah tanaman yang menutupi
  • 58. permukaan tanah akan lebih baik untuk menjaga fungsi Hidrologi dan Erosi sesuai tujuan Fungsi Lindung tanpa menyepelekan kebutuhan ekonomi masyarakat. 47 Gambar 9. Penerapan Skema Rorak Tanaman Penutup Tanah 2. Pencapaian Solusi Alternatif Penataan Landskap Fungsi Lindung Setelah ada solusi penataan landskap dalam mendukung fungsi lindung seperti yang telah dijelaskan pada bagian II.Alternatif Solusi Penataan Landskap Fungsi Lindung, maka perlulah dipikirkan bagaimana hal tersebut dapat berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Dari sembilan sampel yang telah dijadikan sebagai responden (quisener terlampir) dapat diambil beberapa poin penting yang mempengaruhi pola pikir yang terbangun (Mental Model) dalam masyarakat
  • 59. tersebut sehingga membentuk tutupan vegetasi sekarang ini baik didalam hutan desa adalah sebagai berikut :  Sebagian warga tidak mempunyai pengetahuan lain tentang tanaman yang akan ditanam selain kopi untuk mendapatkan nilai ekonominya.  Pengaruh tradisi yang melekat untuk menanam kopi yang dilakukan secara turun-temurun. Hal ini dapat ditunjukan karena sebagian warga tidak tahu apa dan mengapa alasan mereka pertama kali menanam kopi, mereka kebanyakan hanya ikut pada orang tua yang pada saat itu juga menanam kopi.  Masuknya warga ke dalam Hutan Desa untuk berkebun bukan saja karena keterbatasan lahan garapan, tetapi status kepemilikan. Karena pada tahun 2000-2001 tepatnya warga mulai berani menggarap setelah memiliki status yang mereka anggap status kepemilikan yaitu adanya SPPT (Surat Pemberitauan Pajak Terutang).  Sebagian warga juga ingin menanam tanam tumbuhan bawah lainnya seperti jahe dan talas tetapi pengetahuan dan keterampilan untuk membudidayakan tanaman tersebut tidak ada, begitu pula dengan pasar juga bibit yang tidak ada.  Warga tersebut juga ingin menanam tanaman buah-buahan, tapi terkendala pada bibit, pengetahuan dan keterampilan tentang apa yang baik ditanam didaerah tersebut. Dari beberapa poin diatas maka dapat dikerucutkan bahwa perlu adanya sosialiasi dan kerjasama dari beberapa stakeholder untuk merubah pola pikir baik 48
  • 60. itu tetang menanam tanaman lain selain kopi, ataupun pola agroforesty dengan tanaman buah-bahan untuk mendukung fungsi lindung. Hal tersbut pastinya tidak hanya sampai sosialiasi ataupun penyuluhan tapi perlu juga kegiatan action lain seperti bantuan bibit MPTS, distribusi ke pasar, pengetahuan nilai ekonomi yang lebih baik sampai bantuan pendampingan dilapangan oleh Tim Ahli tentang hal tersebut. 49
  • 61. 50 VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan dan analisis yang telah dilakukan pada studi penelitain Landskap Hutan Desa Pattaneteang dalam mendukung fungsi lindung, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Sistem Agroforestri, Tanaman Penutup tanah, dan Rorak perlu diterapkan pada monokultur kopi. Sehingga lapisan strata lebih banyak dan system perakaran hutan yang dalam, serta adanya serasah tanaman yang menutupi permukaan tanah akan lebih baik untuk menjaga fungsi Hidrologi dan Erosi sesuai tujuan Fungsi Lindung 2. Perlu adanya sosialiasi dan kerjasama dari beberapa stakeholder untuk merubah pola pikir baik itu tetang menanam tanaman lain selain kopi, ataupun pola agroforesty dengan tanaman buah-bahan untuk mendukung fungsi lindung. Hal tersbut pastinya tidak hanya sampai sosialiasi ataupun penyuluhan tapi perlu juga kegiatan action lain seperti bantuan bibit MPTS (Multile Purpose Trees Seeds) , distribusi ke pasar, pengetahuan nilai ekonomi yang lebih baik sampai bantuan pendampingan dilapangan oleh Tim Ahli tentang hal tersebut. 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi penutupan Landskap saat ini adalah : Keterbatasan lahan, system pengelolaan, status lahan, ekonomi, dan penutupan awal sebelum warga masuk kedalam Hutan Desa.
  • 62. 51 B. Saran Penelitian ini merupakan gambaran secara umum, diperlukan lagi peneltian-penelitiah secara khusus, baik itu dari aspek ekologi, vegetasi, tanah, DAS, dan Aspek sosial yang dikaji lebih mendalam.
  • 63. 52 DAFTAR PUSTAKA Awang, S.A., Widayanti, W, T., Himmah, B., Astuti, A., Septiana, R, M., Solehudin., Novenanto, A., 2008, Panduan Pemberdayaan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), Prima, Jakarta. Boyce, S. G., 1995, Landskap Forestry, John Wiley Sons INC, USA . Calder, W.,1981, Beyond the View - our changing landscapes. Inkata Press, Melbourne. Jackson, J.B., 1986, The vernacular landscape, in Penning- Rowsell, E.C. D. Lowenthal, Landscape Meanings and Values, Allen Unwin, London, p 65 - 79. James, P.E., 1934 Departemen Kehutann Repulik Indonesia, UU 41/1999 tentang Kehutanan. Farida., 2004, Role of agroforestry in maintenance of hydrological functions in water catchement areas, World Agroforestry Centre - ICRAF, SEA Regional Office. Mustari , H., 2008, Hutan Desa, Pengakuan Hak Kelola Rakyat, Lembaga Genawan., Jakarta. Pusat Kajian Dinamika Sistem Pembangunan (PKDSP)., 2007, Panduan Pendirian Dan Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa, Universitas Brawijaya. PP 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.49/Menhut-II/2008, tentang Hutan Desa, 2008. Senge, P., Kleiner, A., Roberts, C., Ross, R., Roth, G. and Smith, B. (1999) The Dance of Change: The Challenges of Sustaining Momentum in Learning Organizations, New York: Doubleday/Currency). Sihite, J., Penilaian Ekonomi Perubahan Penggunaan Lahan:Studi Kasis Di Sub- DAS Besai - Das Tulang Bawang, Lampung, Prosiding Multifungsi Pertanian 2005, Universitas Trisakti Jakarta Wu, J. dan R. Hobbs (Dunia Ketiga). 2007. 2007. Key Topics in Landskap Ecology. Cambridge University Press, Cambridge. Cambridge University Press, Cambridge. Yuwono, G, D.,. Masyarakat Lokal, Negara, dan Hutan Desa. Diakses tanggal 13 Nopember 2010. (http://www.kabarindonesia.com /berita.php ?pil=4jd=Lomba+Tulis+YP HL%3A+Partisipasi+Masyarakat+Desa+ Secara+Optimal+Dalam+Pelestarian+Hutan+Dengan+Mengelola+Hutan+ Desadn=20081030071458)