Potensi strategis Indonesia sebagai “Basis Ketahanan Pangan Dunia, Pusat Pengolahan Produk Pertanian, Perkebunan, dan Sumber Daya Mineral Serta Pusat Mobilitas Logistik Global” untuk masa yang akan datang telah disingkapi dengan serius oleh Pemerintah melalui penetapan berbagai dasar hukum bagi pengembangan ekonomi nasional, diantaranya adalah UU No. 39 Tahun 2009 Tentang Kawasan Ekonomi Khusus.
Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disebut KEK adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu. KEK dikembangkan melalui penyiapan kawasan yang memiliki keunggulan geoekonomi dan geostrategi dan berfungsi untuk menampung kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan daya saing internasional. KEK yang dikembangkan harus merupakan kawasan yang bersifat strategis secara nasional dari sudut kepentingan ekonomi.
Dalam pengembangan dan penetapannya, KEK tidak dapat dipisahkan dari arahan rencana umum tata ruang dalam PP 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) dengan penetapan Kawasan Andalan. Sebagai kawasan budidaya yang memiliki nilai strategis nasional, kawasan andalan merupakan kawasan yang memiliki kemampuan untuk memacu pertumbuhan ekonomi kawasan dan wilayah di sekitarnya serta mendorong pemerataan perkembanagan wilayah. RTRWN yang selanjutnya dijabarkan dalam Rencana Tata Ruang (RTR) Pulau Sulawesi memberikan arahan bagi Kawasan Bitung dan sekitarnya untuk pengembangan sektor yang bersifat unggulan dan pembangunan infrastruktur di dalam kawasan.
KEK Bitung memiliki keunggulan lokasi dalam pengembangan kawasan ekonomi karena terletak pada alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) 3 (jalur laut internasional yang melewati laut Banda). Ditunjang pula dengan penetapan Bitung sebagai Pusat Logistik Indonesia Timur dalam Sistem Logistik Nasional karena keberadaan pelabuhan kontainer dan pelabuhan perikanan, serta dukungan komoditas unggulan perkebunan khususnya kelapa dan perikanan tangkap.
Salah satu dari tujuan dikembangkannya KEK adalah untuk meningkatkan keunggulan kompetitif produk ekspor dan meningkatkan pemanfaatan sumber daya lokal, pelayan dan kapital bagi peningkatan ekspor. Dengan demikian, pengembangan KEK seharusnya dapat menarik pertumbuhan ekonomi di wilayahnya dan mendorong ekonomi secara merata diseluruh wilayah. Oleh karenanya dibutuhkan hubungan yang sinergis dan terpadu antara berbagai sektor dan wilayah sekitarnya.
Potensi strategis Indonesia sebagai “Basis Ketahanan Pangan Dunia, Pusat Pengolahan Produk Pertanian, Perkebunan, dan Sumber Daya Mineral Serta Pusat Mobilitas Logistik Global” untuk masa yang akan datang telah disingkapi dengan serius oleh Pemerintah melalui penetapan berbagai dasar hukum bagi pengembangan ekonomi nasional, diantaranya adalah UU No. 39 Tahun 2009 Tentang Kawasan Ekonomi Khusus.
Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disebut KEK adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu. KEK dikembangkan melalui penyiapan kawasan yang memiliki keunggulan geoekonomi dan geostrategi dan berfungsi untuk menampung kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan daya saing internasional. KEK yang dikembangkan harus merupakan kawasan yang bersifat strategis secara nasional dari sudut kepentingan ekonomi.
Dalam pengembangan dan penetapannya, KEK tidak dapat dipisahkan dari arahan rencana umum tata ruang dalam PP 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) dengan penetapan Kawasan Andalan. Sebagai kawasan budidaya yang memiliki nilai strategis nasional, kawasan andalan merupakan kawasan yang memiliki kemampuan untuk memacu pertumbuhan ekonomi kawasan dan wilayah di sekitarnya serta mendorong pemerataan perkembanagan wilayah. RTRWN yang selanjutnya dijabarkan dalam Rencana Tata Ruang (RTR) Pulau Sulawesi memberikan arahan bagi Kawasan Bitung dan sekitarnya untuk pengembangan sektor yang bersifat unggulan dan pembangunan infrastruktur di dalam kawasan.
KEK Bitung memiliki keunggulan lokasi dalam pengembangan kawasan ekonomi karena terletak pada alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) 3 (jalur laut internasional yang melewati laut Banda). Ditunjang pula dengan penetapan Bitung sebagai Pusat Logistik Indonesia Timur dalam Sistem Logistik Nasional karena keberadaan pelabuhan kontainer dan pelabuhan perikanan, serta dukungan komoditas unggulan perkebunan khususnya kelapa dan perikanan tangkap.
Salah satu dari tujuan dikembangkannya KEK adalah untuk meningkatkan keunggulan kompetitif produk ekspor dan meningkatkan pemanfaatan sumber daya lokal, pelayan dan kapital bagi peningkatan ekspor. Dengan demikian, pengembangan KEK seharusnya dapat menarik pertumbuhan ekonomi di wilayahnya dan mendorong ekonomi secara merata diseluruh wilayah. Oleh karenanya dibutuhkan hubungan yang sinergis dan terpadu antara berbagai sektor dan wilayah sekitarnya.
Menggambarkan tentang potensi pariwisata Jawa Barat yang dapat diangkat di tingkat nasional dan internasional, serta fokus pengembangan pariwisata Jawa Barat berdasarkan Perda No. 15 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Provinsi Jawa Barat Tahun 2015 - 2025.
Pembangunan dan ketimpangan wilayah pantai barat dan pantai timur sumatera utaraDahlan Tampubolon
Hasil penelitian menunjukkan kabupaten Mandailing Natal, Nias, Tapanuli Tengah dan secara umum wilayah Pantai Barat digolongkan tipe daerah kurang berkembang (terkebelakang) demikian p ula dengan Langkat.
Kabupaten Tapanuli Selatan dan Deli Serdang digolon gkan tipe daerah yang sedang berkembang. Kota Sibolga, kabupaten Asahan, Labuhan Batu dan secara umum wilayah Pantai Timur digolongkan tipe daerah yang maju. Kota Medan dan Tanjung Balai digolongkan tipe daerah yang stagnan.
Di wilayah Pantai Barat dan Pantai Timur Sumatera Utara terjadi pertumbuhan dengan pola yang tidak seimbang. Gambaran tersebut menunjukkan suatu fenomena yang sesuai mengenai bag aimana proses pembangunan. Yaitu embangunan yang terjadi merupak an suatu rangkaian ketidakseimbangan-ketidakseimbangan (a chain of disequilibrium) pertumbuhan.
Struktur ekonomi wilayah Pantai Barat mengalami per ubahan dari pertanian ke industri dan diikuti sedikit sektor jasa seiring dengan pertumbuhan pendapatan perkapita. Wilayah Pantai Timur menunjukkan perubahan yang lebih tegas dari sektor pertanian ke sektor industri dan jasa.
Perubahan yang sama terjadi juga dengan penyerapan tenaga kerja. Perubahan di wilayah Pantai Barat banyak disebabkan faktor lokasional dan di wilayah Pantai Timur disebabkan faktor eksternal.
Peningkatan produktivitas pekerja akan menurunkan ketimpangan wilayah pantai Barat Sumatera Utara. Suatu fenomena yang bersifat paradoks muncul dari hasil model regresi ketimpanga n wilayah yaitu di wilayah pantai Barat Sumatera Utara peningkatan jum lah penduduk usia kerja yang berpendidikan baik malah memperbesar ketimpangan wilayah. Penurunan proporsi sektor pertanian cenderung memperkecil indeks ketimpangan wilayah wilayah Pantai Timur sedangkan kepadatan penduduk memperbesar ketimpangan wilayah.
Sektor pertanian memiliki keuntungan untuk dikemban gkan di wilayah pantai Barat kecuali di Sibolga. Di Kota Sibolga sektor yang menguntungkan adalah utiliti, perhubungan dan komunikasi, jasa ke uangan dan sosial.
Keuntungan lokasi sektor pertanian relatif tinggi di Labuhan Batu, Asahan dan Langkat. Konstruksi, perhubungan dan telekomun ikasi, jasa-jasa menguntungkan dikembangkan di Tanjung Balai dan Medan yang juga menguntungkan di sektor utiliti. Sektor industri menguntungkan dikembangkan di Deli Serdang dan pertambangan serta penggalian di Langkat.
Pemilihan Lokasi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)Joy Irman
Pelatihan Penyusunan Rencana Teknis Sistem Pengelolaan Air Limbah Terpusat (SPAL-T) terdiri dari beberapa modul, yaitu: Dasar-dasar Perencanaan Teknis SPAL-T, Perencanaan Teknis Unit Pelayanan, Perencanaan Teknis Unit Pengumpulan / Jaringan Perpipaan, Perencanaan Teknis Unit Pengolahan Air Limbah, Teknologi Pengolahan Lumpur, Konstruksi Bangunan, dan Rencana Anggaran Biaya. Masing-masing Modul terdiri atas beberapa sub-modul . Peserta pelatihan dapat memilih Modul/Sub-Modul sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.
Jika Anda MENCARI Orang Yang TEPAT ...
Pemateri Training : Kanaidi, SE., M.Si., cSAP
HP. 0812 2353 284, WA.: 0877 5871 1905
e-mail : kanaidi63@gmail.com
---------------------------------------
Disampaikan pada Webinar Expose Kajian Puslatbang KDOD LAN
Samarinda, 8 Desember 2020
Dr. Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA
Deputi Kajian Kebijakan dan Inovasi Administrasi Negara, LAN-RI
Menggambarkan tentang potensi pariwisata Jawa Barat yang dapat diangkat di tingkat nasional dan internasional, serta fokus pengembangan pariwisata Jawa Barat berdasarkan Perda No. 15 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Provinsi Jawa Barat Tahun 2015 - 2025.
Pembangunan dan ketimpangan wilayah pantai barat dan pantai timur sumatera utaraDahlan Tampubolon
Hasil penelitian menunjukkan kabupaten Mandailing Natal, Nias, Tapanuli Tengah dan secara umum wilayah Pantai Barat digolongkan tipe daerah kurang berkembang (terkebelakang) demikian p ula dengan Langkat.
Kabupaten Tapanuli Selatan dan Deli Serdang digolon gkan tipe daerah yang sedang berkembang. Kota Sibolga, kabupaten Asahan, Labuhan Batu dan secara umum wilayah Pantai Timur digolongkan tipe daerah yang maju. Kota Medan dan Tanjung Balai digolongkan tipe daerah yang stagnan.
Di wilayah Pantai Barat dan Pantai Timur Sumatera Utara terjadi pertumbuhan dengan pola yang tidak seimbang. Gambaran tersebut menunjukkan suatu fenomena yang sesuai mengenai bag aimana proses pembangunan. Yaitu embangunan yang terjadi merupak an suatu rangkaian ketidakseimbangan-ketidakseimbangan (a chain of disequilibrium) pertumbuhan.
Struktur ekonomi wilayah Pantai Barat mengalami per ubahan dari pertanian ke industri dan diikuti sedikit sektor jasa seiring dengan pertumbuhan pendapatan perkapita. Wilayah Pantai Timur menunjukkan perubahan yang lebih tegas dari sektor pertanian ke sektor industri dan jasa.
Perubahan yang sama terjadi juga dengan penyerapan tenaga kerja. Perubahan di wilayah Pantai Barat banyak disebabkan faktor lokasional dan di wilayah Pantai Timur disebabkan faktor eksternal.
Peningkatan produktivitas pekerja akan menurunkan ketimpangan wilayah pantai Barat Sumatera Utara. Suatu fenomena yang bersifat paradoks muncul dari hasil model regresi ketimpanga n wilayah yaitu di wilayah pantai Barat Sumatera Utara peningkatan jum lah penduduk usia kerja yang berpendidikan baik malah memperbesar ketimpangan wilayah. Penurunan proporsi sektor pertanian cenderung memperkecil indeks ketimpangan wilayah wilayah Pantai Timur sedangkan kepadatan penduduk memperbesar ketimpangan wilayah.
Sektor pertanian memiliki keuntungan untuk dikemban gkan di wilayah pantai Barat kecuali di Sibolga. Di Kota Sibolga sektor yang menguntungkan adalah utiliti, perhubungan dan komunikasi, jasa ke uangan dan sosial.
Keuntungan lokasi sektor pertanian relatif tinggi di Labuhan Batu, Asahan dan Langkat. Konstruksi, perhubungan dan telekomun ikasi, jasa-jasa menguntungkan dikembangkan di Tanjung Balai dan Medan yang juga menguntungkan di sektor utiliti. Sektor industri menguntungkan dikembangkan di Deli Serdang dan pertambangan serta penggalian di Langkat.
Pemilihan Lokasi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)Joy Irman
Pelatihan Penyusunan Rencana Teknis Sistem Pengelolaan Air Limbah Terpusat (SPAL-T) terdiri dari beberapa modul, yaitu: Dasar-dasar Perencanaan Teknis SPAL-T, Perencanaan Teknis Unit Pelayanan, Perencanaan Teknis Unit Pengumpulan / Jaringan Perpipaan, Perencanaan Teknis Unit Pengolahan Air Limbah, Teknologi Pengolahan Lumpur, Konstruksi Bangunan, dan Rencana Anggaran Biaya. Masing-masing Modul terdiri atas beberapa sub-modul . Peserta pelatihan dapat memilih Modul/Sub-Modul sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.
Jika Anda MENCARI Orang Yang TEPAT ...
Pemateri Training : Kanaidi, SE., M.Si., cSAP
HP. 0812 2353 284, WA.: 0877 5871 1905
e-mail : kanaidi63@gmail.com
---------------------------------------
Disampaikan pada Webinar Expose Kajian Puslatbang KDOD LAN
Samarinda, 8 Desember 2020
Dr. Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA
Deputi Kajian Kebijakan dan Inovasi Administrasi Negara, LAN-RI
Paparan menteri ppn/kepala bappenas - sosialisasi visi indonesia 2045Ridho Fitrah Hyzkia
Sosialisasi Pemaparan Visi Indonesia 2045
oleh Menteri PPN/ Kepala Bappenas Prof. Bambang P.S. Brodjonegoro. Selasa, 8 Januari 2019
Ballroom - Hotel Fairmont Jakarta
Hakikatnya tujuan pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur yang merata, material, dan spiritual Berdasarkan Pancasila. Namun demikian, salah satu aspek yang sering menjadi sorotan adalah aspek pemerataan. Hal ini dikarenakan dalam proses dan hasil pembangunan acap kali disinyalir masih menimbulkan kesenjangan (disparitas) pembangunan satu sama lain.
Background Study untuk Penyusunan RPJMN III 2015-2019 Sektor Transportasi Background Paper
1. Lokakarya I
Background Study
untuk Penyusunan RPJMN III 2015-2019
Sektor Transportasi
Background Paper
Ir. Bambang Prihartono, MSCE
Direktur Transportasi Bappenas
Jakarta, 11 September 2013
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
BAPPENAS
Republik Indonesia
2. Page 2
Pemerintah Indonesia saat ini mulai menyiapkan penyusunan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ke-III
(RPJMN III). Untuk itu sampai dengan akhir tahun 2013 ini
dilakukan kajian latar belakang (Background Study) untuk
memberikan masukan yang substansial terhadap substansi
RPJM III tersebut. RPJM III ini disusun ditengah-tengah
pertumbuhan perekonomian yang sangat dinamis bukan saja
oleh karena kondisi perekonomian global yang fluktuatif akibat
berbagai krisis akan tetapi juga karena perekonomian nasional
yang relatif stabil namun tetap masih rentan terhadap
pengaruh global. Selain itu beberapa proyeksi jangka panjang
juga menjelaskan prospek Indonesia sebagai negara dengan
perekonomian maju di dunia. Dalam waktu sekurang-
kurangnya delapan tahun belakangan ini perekonomian
Indonesia memperlihatkan kinerja yang amat nyata, tumbuh
dengan kisaran 6,3% setahun sementara indikator makro
lainnya memperlihatkan stabilitas dan kemajuan yang sangat
berarti.
Mewujudkan Indonesia yang maju dan sejahtera melalui
peningkatan pertumbuhan ekonomi tidak terlepas dari
ketersediaan jaringan dan sistem infrastruktur transportasi
yang memadai. Oleh karena itu, pembangunan infrastruktur
transportasi menjadi salah satu bagian terpenting dalam
pembangunan nasional. Selain mendorong pertumbuhan
ekonomi, pembangunan transportasi dapat meningkatkan
produktivitas, meningkatkan daya saing global, menyerap
tenaga kerja, membangkitkan sektor riil, serta membantu
mengurangi angka kemiskinan.
Pengantar
Namun kemajuan perekonomian makro tersebut ternyata
tidak dibarengi dengan kemajuan pembangunan
infrastruktur transportasi yang saat ini sedang mengalami
defisit yang sangat serius di hampir semua lini: jalan arteri,
jalan tol, jalan kereta api, pelabuhan, bandar udara,
angkutan penyeberangan. Bottlenecking dan gridlock juga
terjadi di jalan arteri antar wilayah dan di perkotaan. Defisit
ini menyebabkan daya dukung infrastruktur Indonesia dalam
menopang pertumbuhan dan pemerataan ekonomi
berkurang dan biaya transportasi membengkak secara tidak
proporsional.
Upaya pemerintah untuk mempercepat pembangunan
infrastruktur, khususnya dengan kemitraan dengan sektor
swasta, sudah dimulai sejak lama. Pelaksanaan
Infrastructure Summit pada tahun 2005 dan 2006
membuktikan determinasi politik yang kuat untuk mengajak
sektor swasta membangun infrastruktur. Kerangka hukum
dan regulasi serta kelembagaan untuk percepatan
pembangunan infrastruktur pun sudah digariskan oleh
pemerintah pada jalur yang benar. Dalam beberapa tahun
belakangan ini pun pemerintah telah meningkatkan
pembelanjaannya untuk pembangunan infrastruktur.
Loka Karya ini dimaksudkan untuk membangun konvergensi
pandangan dan pemikiran diantara pemerintah, sektor
swasta, dan akademi dalam penyusunan RPJM III 2015-
2019, khususnya dalam pembangunan sektor transportasi
dalam kurun waktu 5 sampai 10 tahun kedepan.
Direktur Transportasi Bappenas
Hal. 2
5. Page 5
Tantangan Transportasi Indonesia
Ekonomi Kependudukan Urbanisasi Privatisasi
Defisit Infrastruktur
Beberapa isu-isu strategis dan agenda ekonomi besar menghadang pembangunan transportasi Indonesia kedepan.
Sebagian merupakan warisan masa lalu yang tidak pernah terselesaikan dengan tuntas dan menjadi agenda
tertunda (Pending Matters) dan sebagian lagi merupakan inisiatif baru pemerintah yang belum sempat
terlaksanakan. Ritme birokrasi yang rutin dan datar tidak dapat menghadapi tantangan besar ini. Diperlukan
perubahan eksponensial, pendekatan inkonvensional, out-of-the-box, dan profesional. Kondisi infrastruktur
Indonesia saat ini masih jauh dari ideal yang dapat mendukung perubahan besar tersebut. Ini adalah isu-isu
strategis nasional yang harus dipertimbangkan sebaik-baiknya dan sesungguh-sunguhnya dalam pembuatan RPJM
III. Dokumen perencanaan ini harus lebih inovatif dibandingkan pendahulunya. Periode 2015-2019 adalah masa
dimana transportasi harus dibangun dengan cepat, masif, dan radikal untuk mengatasi defisit, gap, bottlenecking,
dan total gridlock. Trayektori-nya harus non-linier, dan kalau perlu eksponensial. Doing business as usual is simply
obsolete. Investasi pemerintah harus ditingkatkan dan investasi swasta harus difasilitasi sebaik-baiknya sebagai
mitra kerja pembangunan yang sangat potensial mempercepat terbangunnya proyek-proyek infrastruktur.
Kesenjangan Wilayah
Energi &
Lingkungan
Koridor Ekonomi KEK
Pengangguran &
Kemiskinan
Hal. 5
6. 6
Page 6
Page 6
Hal. 6
Setelah proses pemulihan 1999-2003 pasca krisis ekonomi parah di
tahun 1997-1998, sejak 2004, ekonomi Indonesia tumbuh secara
konsisten. Ekonomi menurun di tahun 2008-2009 akibat krisis
global, namun meningkat kembali ke kisaran 6,3% sejak 2010
sampai semester pertama 2013. Ekonomi diproyeksikan akan terus
tumbuh disekitar 6-7% di tahun-tahun mendatang walaupun
perekonomian dunia masih mengalami penurunan akibat krisis
Eropah dan Amerika. Sementara itu Indonesia diproyeksikan akan
menjadi 10 besar ekonomi maju di dunia pada tahun 2030 dan
menjadi 6 besar dunia di tahun 2050. Iklim investasi pun makin
membaik dengan ditetapkannya rating Indonesia sebagai
“Investment Grade”. Sementara itu migrasi undang-undang
transportasi memberi jalan lapang bagi reformasi sektor-sektor
infrastruktur dalam konteks kelembagaan, operator, infrastruktur
fisik, investasi, dan pembiayaan. Pembukaan pasar, industri, dan
jasa transportasi bagi sektor swasta dapat mempercepat
modernisasi dan kemajuan pembangunan dan penyediaan
infrastruktur nasional. Pembangunan infrastruktur transportasi
akan menjadi portofolio ekonomi yang besar dalam trayektori
perekonomian besar tersebut.
GDP nominal:
$4,977B
GDP/capita:
$17,240
Ten biggest of
world economy
GDP nominal:
$4,977B
GDP/capita:
$17,240
Ten biggest of
world economy
GDP : $1,406B
GDP/capita:
$5,551
Position is 14th.
Biggest
economy in the
world
GDP : $1,406B
GDP/capita:
$5,551
Position is 14th.
Biggest
economy in the
world
GDP:
$26,679B
GDP/capita:
$78,478
Six biggest
economy
in the
world
GDP:
$26,679B
GDP/capita:
$78,478
Six biggest
economy
in the
world
Transportasi dan Ekonomi
Pra Krisis:
Rata-rata
7% p.a.
RPJM I
2004-2009
Sepuluh besar ekonomi dunia dengan PDB per kapita $ 17.240
diproyeksikan akan dicapai pada 2030, satu setengah dekade lebih
dari sekarang. Pondasi yang kokoh dari kondisi tersebut adalah
infrastruktur transportasi yang efisien, handal, dan berkualitas.
Oleh karenanya pembangunan infrastruktur transportasi adalah
keharusan, dari sekarang.
7. Page 7
Transportasi dan Kependudukan
Hal. 7
Penduduk Indonesia tumbuh dengan 1,36% per tahun antara tahun
2000-2005, dan menghasilkan jumlah penduduk sebesar 220 juta di
tahun 2005. Walaupun angka kelahiran diproyeksikan turun ke angka
1,25% diantara tahun 2005-2015 dan 1,05% di tahun 2015-2025,
jumlah penduduk akan tetap mencapai lebih dari 234 juta di tahun
2010, 248 juta di tahun 2015, 262 juta di tahun 2020, dan 274 juta di
tahun 2025.
Data dan proyeksi yang dibuat oleh Bappenas, BPS, dan UNFPA pada
2005 memperlihatkan kecenderungan dan fenomena laten bahwa
Pulau Jawa akan tetap menjadi pulau yang terbanyak dihuni.
Ketimpangan jumlah penduduk ini akan terus berlanjut sampai waktu
yang belum dapat ditentukan selama infrastruktur dan transportasi
tidak terbangun di wilayah luar Jawa.
Jumlah penduduk mencapai 300 atau bahkan 350 juta orang di tahun
2030 barangkali bukan merupakan masalah besar bagi Indonesia
karena luas wilayahnya yang masih sangat besar. Yang menjadi
masalah adalah kegagalan kita selama ini untuk meratakan penduduk
ke wilayah lain di luar Jawa. Sampai saat ini belum terlihat strategi
besar Indonesia untuk meratakan penduduk dan meratakan
kemakmuran ke luar Jawa. Transportasi seharusnya diberi peran lebih
strategis untuk upaya besar ini karena sifatnya yang dapat memicu
perekonomian lokal dan membuka akses dan pasar ekonomi lokal.
Implikasi jumlah penduduk yang sangat besar ini terhadap transportasi
sangat besar dan kompleks. Pergerakan antar pulau, antar propinsi,
antar kabupaten, bahkan antar desa serta pergerakan intra wilayah
menjadi beban besar bagi sistem dan jaringan transportasi kita yang
saat ini sudah sangat jenuh dan rapuh menahan beban ekonomi yang
ada.
8. Page 8
Transportasi, Urbanisasi, dan Paradoks Jawa
Hal. 8
Urbanisasi
Tahun 2025 (%)
Urbanisasi di Jawa berjalan sangat masif dan
persisten. Belum ada strategi jitu pemerintah
untuk mengatasinya. Marjinalisasi ekonomi
perdesaan dan konsentrasi ekonomi di
perkotaan menjadi sebab utamanya.
Jawa hanya seluas 6% dari luas Indonesia tetapi
menanggung beban 55% jumlah penduduk
Indonesia (152 juta dari 274 juta di tahun 2025).
Daya dukungnya terhadap kehidupan yang
berkualitas sudah makin berkurang.
Paradoks besar terjadi: Ekonomi Jawa akan
tetap menyumbang sekitar 55-65% dari ekonomi
nasional. Ekspor, investasi, modal, tenaga ahli,
teknologi, dan manajemen yang berkualitas ada
di Jawa. Akan tetapi Jawa sangat rentan
terhadap kelangkaan sumberdaya alam, mineral,
dan air baku. Ketahanan pangan juga berpotensi
masalah.
Penduduk yang besar di Jawa akan membutuh-
kan sistem dan jaringan transportasi yang jauh
lebih canggih dari sistem yang ada saat ini.
Pantura sudah sangat jenuh dan overburden.
Dibutuhkan alternatif Pansela Jawa. Selain itu
Jalan Tol Jawa harus diselesaikan segera. Kereta
Api Cepat Jakarta-Surabaya adalah alternatif
yang sangat sahih.
Selain itu jaringan jalan lokal dan jaringan kereta
api harus dimantapkan. Bandara, pelabuhan,
Jembatan, ASDP, dan semua moda yang terkait
dengan pergerakan ekonomi Jawa yang sangat
besar kedepan perlu harus dibangun.
Penduduk Jawa
Tahun 2025
(Juta)
Urbanisasi Jawa
2025 (%)
9. Page 9
Transportasi dan Kesenjangan Wilayah
Hal. 9
Didalam sejarah Indonesia modern dalam beberapa
dekade kebelakang, Kawasan Barat Indonesia - Jawa,
Sumatera, and Bali- telah menyumbang sekitar 80% dari
PDB nasional dan Kawasan Timur Indonesia yang sangat
kaya akan sumber daya alam, laut, mineral, hanya
menyumbang sekitar 20%.
Pulau Jawa saja menyumbang sekitar 58% dari PDB
nasional. Bagaimana mungkin KTI yang begitu kaya akan
sumberdaya alam, kelautan, mineral, dan hutan hanya
menyumbang 20% dari perekonomian nasional?
Kesenjangan regional di Indonesia nampaknya akan
terus berlanjut untuk jangka waktu yang lama kedepan
karena belum nampak strategi yang sangat mendasar
dan jitu untuk menguranginya. Mungkin MP3EI dengan
koridor ekonominya dapat menjadi bagian dari solusi.
Akan tetapi sebenarnya justru transportasi sangat
berperan dalam upaya besar mengatasi kesenjangan ini.
Konektivitas Nasional adalah konsep yang valid untuk
membantu mengatasi kesenjangan wilayah. Demikian
pula halnya dengan Koridor Ekonomi. Namun kembali
konsep tersebut tidak punya arti kalau transportasi tidak
dibangun. Pembangunan jaringan jalan Kereta Api di
Kalimantan, Sumatera, Sulawesi akan dapat membantu
realisasi koridor ekonomi, meningkatkan konektivitas,
dan mempersempit kesenjangan wilayah. Jalan Tol
Sumatera dan Expressway Network sangat membantu
konektivitas dan mengurangi kesenjangan wilayah.
Rata-rata distribusi PDRB dalam kurun waktu
beberapa dekade (%)
Sampai sekarang belum nampak program dan strategi besar
untuk mengatasi kesenjangan wilayah ini. Belum ada
pemimpin politik dan pemimpin teknokrat yang mengusung
visi dan misi besar kedepan.
Program MP3EI dengan koridor ekonomi dan KEK serta
pembangunan fasilitas infrastruktur transportasi disepanjang
koridor dapat menjadi program pengurangan kesenjangan
wilayah. Kalau pemerintah dapat mempercepat
pembangunannya dan tidak hanya “ground breakings”.
10. Page 10
Transportasi, Energi, dan Lingkungan
Hal. 10
Transportasi Indonesia sangat tidak efisien dan boros dalam penggunaan energi
berbasis fosil. Transportasi adalah penyumbang terbesar emisi gas buang CO2 dan
perubahan iklim global oleh karena ketergantungan yang sangat tinggi terhadap
bahan bakar minyak, belum berjalannya diversifikasi dan konservasi energi, dan
absennya sistem multimoda. Kemacetan di kota-kota besar dan menengah serta
rusaknya banyak jaringan jalan di daerah menambah parah dan buruknya emisi
gas buang padahal harga minyak dunia makin meningkat dan import minyak juga
meningkat ditengah-tengah tidak bertambahnya produksi minyak nasional. Belum
ada upaya ekstra dari pemerintah untuk menerapkan Travel Demand
Management di kota-kota besar untuk menurunkan pemakaian kendaraan
pribadi, menekan kemacetan, emisi gas buang, dan mahalnya perjalanan.
Di seluruh dunia, transportasi bertanggungjawab atas 60% kenaikan emisi gas
rumah kaca pada periode 2002-2025. Akankah kita terus tergantung kepada
angkutan jalan raya? Pembangunan kereta api dan menempatkannya dalam arus
utama sistem transportasi nasional dapat membantu mengurangi kemacetan,
menekan emisi gas buang, dan menghemat biaya perjalanan.
Transport CO2 Emission 1980-2030
Energy-efficient transport dengan KA sebagai intinya belum
menjadi prioritas utama di negeri ini.
11. Page 11
Transportasi , MP3EI, dan Investasi
Dalam National Summit yang dilaksanakan di Jakarta, 29-30
Oktober 2009, Indonesia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi
hingga 7% pada periode 2010-2014. Total investasi pembangunan
yang diperlukan mencapai Rp 10.000 trilyun (sekitar US$ 1 trillion
pada nilai tukar Rp.10.000/US$), yakni Rp. 200 trilyun per tahun.
Disadari bahwa pemerintah hanya mampu menyediakan sekitar
20% dari jumlah tersebut. Sekitar 80% harus datang dari investasi
sektor swasta. Sementara itu total investasi untuk pembangunan
infrastruktur di enam koridor ekonomi mencapai Rp. 1.565 trilyun.
Sebagian kecil dibiayai oleh pemerintah, sebagian lagi oleh BUMN,
dan sebagian besar datang dari investasi sektor swasta. Periode
RPJMN III 2015-2019 adalah periode kritis sebagai momentum
pembangunan infrastruktur secara lebih cepat, lebih masif, dan
lebih radikal. Lima tahun berikutnya menjadi lebih mudah kalau
periode kritis ini dapat dipergunakan sebaik-baiknya oleh semua
pemangku kepentingan pembangunan infrastruktur, termasuk
arus utama finansial dan perbankan nasional.
Saat ini investasi pemerintah masih dalam kisaran 3% PDB.
Untuk mencapai skala 5% PDB, diperkirakan total investasi
yang dibutuhkan sebesar Rp 1.924 trilyun, dimana
kemampuan pembiayaan pemerintah termasuk DAK
(Kementerian ESDM, Kementerian Perhubungan,
Kementerian PU, Kementerian Kominfo, Kementerian
Perumahan Rakyat serta Badan SAR Nasional) diperkirakan
hanya mencakup Rp.560 trilyun. Sementara itu, perkiraan
kemampuan pembiayaan badan usaha milik pemerintah
melalui BUMN sebesar Rp 341 trilyun, kemampuan
pembiayaan pemerintah daerah melalui APBD sebesar Rp
355 trilyun, serta perkiraan investasi sektor swasta
sebesar Rp 345 trilyun. Untuk mencapai target
pertumbuhan ekonomi minimal 7% pada akhir tahun
2014, masih terdapat kesenjangan (gap) pembiayaan
sebesar Rp 324 trilyun. Gap pembiayaan ini harus dicari
dari investasi sektor swasta. Oleh karena itu harus ada 2
mainstream, yakni mainstream APBN/APBD/BUMN dan
mainstream pembiayaan swasta.
Koridor Jumlah Proyek Investasi (Rp. M)
Sumatera 100 414.348
Jawa 94 768.826
Kalimantan 58 127.358
Sulawesi 56 67.951
Bali Nusa Tenggara 19 23.977
Papua Maluku 58 162.181
Total 385 1.564.641
Sumber: MP3EI, 2011
Hal. 11
12. Page 12
Migrasi Transportasi dan Kemitraan Dengan Swasta
Transportasi Indonesia sedang menjalani tahap awal migrasi
dari monopoli oleh negara menjadi keterbukaan pasar. Ini
ditandai oleh terbitnya undang-undang baru yang meninggalkan
monopoli dan membuka pasar, industri, dan jasa infrastruktur
transportasi bagi investasi sektor swasta. Dalam Undang
Undang yang baru sektor swasta diberikan peluang yang besar
untuk melakukan investasi pada proyek-proyek yang bersifat
komersial dan “cost recovery”. Dengan variasi skema
pembiayaan seperti BOT, BOO, dan BLT, sektor swasta dapat
memiliki, mengelola, dan mengoperasikan fasilitas infrastruktur
transportasi dan jasa pelayanannya yang selama ini menjadi
domain sektor publik.
Undang-undang yang baru juga memberi ruang bagi kerjasama
antara pemerintah dan swasta dalam situasi dimana proyek-
proyek tersebut kurang layak secara finansial namun sangat
layak secara ekonomi. Pembangunan transportasi kedepan
harus didukung oleh investasi swasta. Oleh karena itu sektor
transportasi harus mempersiapkan diri dalam kelembagan dan
sumberdaya manusia yang mampu memikul tugas ini.
Sektor Undang Undang
Monopoli Negara
Undang Undang
Keterbukaan Pasar
Jalan & JalanTol No. 13/1980 No. 38/2004
Perkeretaapian No. 13/1992 No. 23/2007
Pelayaran No. 21/1992 No. 17/2008
Penerbangan No. 15/1992 No. 1/2009
Lalu Lintas &
Angkutan Jalan
No. 14/1992 No. 22/2009
Lokakarya Transportasi 2013 Hal. 12
Dalam konteks kelembagaan KPS, telah dibentuk Komite
Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI)
pada Juni 2001 dengan Keppres 81/2001 dengan tugas
menyusun kebijakan dan strategi mempercepat
pembangunan infrastruktur, khususnya terkait dengan
partisipasi sektor swasta, melakukan koordinasi
perencanaan dan program, dan menetapkan solusi
permasalahan yang muncul dari percepatan
pembangunan infrastruktur. Keppres No.81/2001
diperbarui dengan Perpres No.42/2005, dan kemudian
dengan Perpres No.12/2011.
KKPPI sejauh ini belum terasa efektif dalam
mempercepat skema KPS atau PPP dalam penyediaan
infrastruktur Indonesia. Ada beberapa hal yang menjadi
penyebabnya antara lain adalah langkanya proyek
proyek yang secara komersial siap dan bankable,
kurangnya pemahaman dan pengalaman birokrasi dalam
proses KPS, kurang jelasnya skema dukungan
pemerintah, dan tidak adanya insentif dan anggaran “on-
top” untuk memajukan KPS. Sementra itu lembaga PPP-
Central Unit yang ada pun belum memperlihatkan kinerja
yang bagus dalam mempromosikan proyek-proyek PPP
infrastruktur dan menghantarkannya kepada tahapan
transaksi. Selama beberapa tahun belakangan ini belum
muncul “champion” dalam PPP.
Sementara itu Otoritas Pelabuhan sudah dibentuk.
Namun masih ada kelembagaan baru yang diamanatkan
dalam Undang Undang belum terbentuk, seperti
misalnya Badan Usaha Sarana, dan Badan Usaha
Prasarana Perkeretaapian.
13. Page 13Hal. 13
Pembangunan infrastruktur transportasi membutuhkan
pembiayaan dalam skala yang masif dan dalam periode yang
panjang. Pemerintah diharapkan akan terus meningkatkan
investasi dan pembelanjaan sektor publik-nya dalam tahun-
tahun mendatang sehingga dapat mencapai 5% PDB atau
bahkan 7% PDB. Pemerintah mempunyai kewajiban (Public
Sector Obligation) untuk membangun infrastruktur dasar yang
layak dan diinginkan secara ekonomi tetapi tidak layak secara
komersial. Kemitraan pemerintah dan swasta (Public Private
Partnership) sangat diperlukan untuk membangun proyek-
proyek yang layak secara ekonomi namun kurang layak secara
finansial. Ada 2 opsi yang dapat diambil: (1) PPP Konvensional
dan (2) Aliansi Strategis. Sementara itu proyek-proyek yang
layak secara ekonomi dan finansial dapat diserahkan
sepenuhnya kepada pembiayaan sektor swasta (Private
Financing Initiatives, PFI). Ini termasuk proyek-proyek khusus
yang dapat bersifat unsolicited dan sebenarnya tidak
memerlukan lelang kompetititf.
Keterbatasan sumber daya pembiayaan yang bisa dialokasikan
Pemerintah Indonesia dalam pembangunan infrastruktur
transportasi telah memberikan peluang besar bagi swasta
untuk berpartisipasi melalui skema kerjasama pemerintah
dengan swasta. Dengan demikian Pemerintah dapat
memfokuskan diri untuk membangun infrastruktur yang tidak
bersifat komersial namun sangat diperlukan oleh masyarakat,
seperti pembangunan jalan non-tol, infrastruktur perdesaan,
irigasi, air minum dan sanitasi pedesaan, dan drainase. Namun
nampaknya pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan
sumberdaya manusia kita masih langka dalam mempersiapkan,
mengelola, dan mengawasi pelaksanaan proses dan prosedur
PPP yang sesuai dengan prinsip-prinsip internasional.
Pembangunan proyek-proyek PPP hampir selalu berkaitan
dengan pembiayaan proyek modern (Modern Project
Financing). Proyek berskala besar membutuhkan Equity
Financing dan Debt Financing yang canggih dan membutuhkan
aliansi pendanaan global (konsorsium perbankan, investment
fund, bond, dan rekayasa finansial lainnya).
Pembiayaan Transportasi
14. 14
Transportasi & Privatisasi
Page 14
Page 14
Hal. 14
Masa depan sistem transportasi Indonesia akan dipengaruhi oleh empat faktor (4
building blocks): demokrasi, desentralisasi, globalisasi, dan privatisasi. Demokrasi
ekonomi dan pembangunan infrastruktur khususnya dengan skema PPP menuntut
adanya transparansi dan akuntabilitas publik. Olehkarena itu diperlukan “good
public and corporate governance”. Desentralisasi memberi pemerintah daerah
khususnya kabupaten dana-dana aloasi daerah dan kewenangan penuh dan peran
strategis dalm pembangunan wilayah dan infrastruktur, termasuk pembangunan
transportasi. Desentralisasi membutuhkan kapaistas fiskal, kemampuan
kelembagaan di daerah, dan pengetahuan yang cukup dari penyelenggara negara di
tingkat lokal untu membangun daerah dan menyejahterakan rakyatnya. Globalisasi
ekonomi, arus finansial global, kompatibilitas global, dan daya saing global akan
menjadi ikon pembangunan ekonomi dan produktivitas nasional. Privatisasi akan
mengedepankan sektor swasta dengan segala kemampuan manajemen, teknologi,
dan sumberdaya manusia nya dalam pembangunan ekonomi dan infrastruktur
yang dalam tahap awal dimulai dengan Kemitraan Pemerintah dan Swasta (KPS).
Perubahan undang-undang transportasi menandakan adanya perubahan ekonomi
politik dari pemerintah dalam memandang pembangunan dan penyediaan fasilitas,
infrastruktur, dan jasa transportasi nasional. Kereta api, jalan, pelabuhan, dan
bandar udara bukan lagi monopoli negara. Sektor swasta mempunyai akses dan
kesempatan seluas-luasnya untuk berperan dan berinvestasi dalam pembangunan
fasilitas, industri, infrastruktur, dan jasa transportasi. Monopoli oleh negara telah
dibuka dan dalam bentuk ekstrim dapat bergerak menuju ke privatisasi terbuka dan
monopoli oleh swasta, apalagi kalau Indonesia masih tetap menganut pasar bebas
dan liberalisme ekonomi pasar. Indonesia masih belum memiliki “political
economy” yang sangat jelas mengenai privatisasi infrastruktur transportasi dalam
spektrum bisnis dari hulu ke hilir. Kepemilikan penuh swasta terutama swasta
asing dalam infrastruktur, pelayanan, pengelolaan, dan manajemen diperbolehkan,
khususnya dalam hal fasilitas khusus seperti Jalan Tol, Pelabuhan Khusus, dan KA
Khusus. Apakah KA Cepat Jawa nanti boleh sepenuhnya dimiliki asing? Apakah
bandar udara dan pelabuhan boleh sepenuhnya dimiliki investor asing?
16. Page 16Hal. 16
Mengenali keterbatasan sektor transportasi
Sesungguhnyalah tantangan yang dihadapi sektor transportasi sangat
besar dan komprehensif. Ini utamanya disebabkan oleh terjadinya
defisit infrastruktur dan jasa pelayanan di semua lini: jaringan jalan,
kereta api, pelabuhan, bandar udara, dan angkutan penyeberangan.
Semua fasilitas transportasi berada dalam tekanan besar yang muncul
akibat kenaikan permintaan perjalanan yang sangat tinggi sebagai
akibat dari pertumbuhan ekonomi, kependudukan, urbanisasi,
kelangkaan energi, lingkungan, keterbatasan lahan, dan keterbatasan
pembiayaan. Semua tekanan ini seakan-akan menafikan kemajuan
yang sudah dicapai selama ini.
Tantangan besar lainnya adalah terjadinya kesenjangan (gap) yang
besar antar wilayah dalam sistem pasokan transportasi dan
pelayanannya. Gap transportasi merupakan salah satu faktor utama
terjadinya kesenjangan ekonomi antar wilayah.
Sementara ukuran birokrasi terus tumbuh, kualitas dan kapasitas
kelembagaan dan birokrasi yang masih lemah telah berdampak
kepada kapasitas pemerintah membuat kemajuan dalam projects
delivery. Sejauh ini belum ada upaya untuk meninjau bagaimana
keterpautan antara kualitas kelembagaan dengan kinerja
peraturan/perundang-undangan dan dengan kapasitas untuk delivery.
Sisi positifnya, kerangka hukum dan peraturan sudah diperbarui. Jiwa
dari perubahan kerangka hukum dan peraturan ini sebenarnya bukan
hanya menghilangkan monopoli negara, akan tetapi juga
meningkatkan daya saing dan efisiensi BUMN, meningkatkan efisiensi
sistem transportasi, meningkatkan kompetisi yang sehat untuk daya
saing yang lebih tinggi, dan meningkatkan investasi oleh sektor swasta.
RPJMN III harus mampu mengidentifikasi permasalahan
dasar yang menyebabkan tidak berfungsinya secara efektif
mandat UU yang baru dan mencari jalan keluarnya. Ada
beberapa perubahan kebijakan dan atau tindakan
strategis yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
kinerja sektor transportasi kedepan dan disarankan agar
prinisp-prinsip perubahan ini sedapat mungkin dijadikan
bagian atau acuan dari arah kebijakan RPJMN III.
Peninjauan kembali kerangka hukum dan peraturan
yang ada saat ini untuk melihat dan mengurangi
hambatan dalam pencapaian target pembangunan
sektor transportasi.
Meningkatkan keseimbangan pembangunan
transportasi dengan fokus kepada wilayah Indonesia
Timur, daerah tertinggal, dan pulau-pulau kecil lainnya.
Membangun keterpautan antara transportasi dengan
investasi sektor-sektor ekonomi khususnya dengan
investasi sektor swasta.
Membangun transportasi yang lebih kompetitif dengan
melibatkan sektor swasta dan mengurangi praktek
monopoli.
Membangun sistem transportasi multimoda.
Menciptakan sistem jaringan jalan raya dengan
kapasitas tinggi.
Membangun keseimbangan antara infrastruktur dan
jasa pelayanan di pusat dan di daerah.
Menciptakan sistem pembiayaan dan tariff
transportasi yang lebih efektif.
17. Page 17Hal. 17
Meninjau kembali kerangka hukum dan peraturan
Meninjau kembali kerangka hukum yang ada merupakan
proses berjenjang dan tidak harus melakukan revisi undang-
undang. Tujuannya adalah untuk mengenali hambatan dan
kendala legal dalam pembangunan sistem infrastruktur dan
jasa pelayanan transportasi. Hambatan dan kendala legal
kemungkinan ada baik di UU, Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden, atau di Peraturan Menteri. Ini dilakukan
dalam situasi “extra-ordinary” untuk menanggulangi defisit
dan kesenjangan transportasi yang sangat lebar saat ini.
Kerangka Hukum dan Peraturan diharapkan dapat membuka
iklim investasi swasta yang lebih luas untuk mengoperasikan
sistem dan pelayanan transportasi (pelabuhan, KA, pelayaran,
intermoda, terminals, dsb.nya) oleh operator non-BUMN.
Perlu dipertimbangkan secara sungguh-sungguh Kontrak
Tahun Jamak yang disepakati oleh Kementerian Keuangan
untuk kegiatan-kegiatan dan investasi sektor swasta seperti
antara lain PSO dan Keperintisan di wilayah timur Indonesia,
kontrak berbasis kinerja, investasi berbasis annuity (PBAS)
dalam peningkatan kapasitas jalan, shadow toll untuk jalan
berkapasitas tinggi.
Memperluas skema investasi jalan tol untuk melingkupi juga
Design-Build-Operate, Lease-Operate, Annuity-based Design-
Finance-Build-Operate, Performance Based Contracts, dll.
Peningkatan dan retsrukturisasi peran BPJT untuk juga
mengelola rencana pembangunan Jalan Expressway
Berkapasitas Tinggi (High Grade Highway System Networks).
Untuk kota-kota besar dan metropolitan seperti Jabodetabek,
perlu dibentuk Badan Otoritas Transportasi yang berfungsi
sebgai integrator dari perencanaan, pengoperasian, investasi,
dan pembiayaan dari sistem transportasi perkotaan,
khususnya untuk sistem yang besar seperti MRT, Monorel,
dan BRT. Hal ini perlu payung hukum yang kuat.
Menciptakan inovasi modus pembiayaan yang baru dari jalan
propinsi atau jalan kabupaten dengan kombinasi antara
hibah dan dana bergulir (Contoh: Proyek PRIM).
Kerangka Legal dan Kelembagaan dari restrukturisasi jangka
panjang Direktorat Jenderal Bina Marga. Ini termasuk
pemisahan fungsi kepemerintahan/regulasi dengan fungsi
pelaksanaan.
Kerangka Legal dan Kelembagaan dari restrukturisasi jangka
panjang Direktorat Jenderal Perkeretaapian dan sektor
Perkeretaapian. Ini termasuk memberi payung hukum yang
kuat (misalnya PP) bagi pembentukan Badan Usaha Sarana
dan Prasarana Perkeretaapian, pemisahan yang tegas antara
fungsi kepemerintahan/regulasi dengan fungsi
pelaksanaan/operator.
Mulai menyusun Naskah Akademik bagi adanya kerangka
legal dari faktor-faktor lintas sektoral dan keterpautan antara
transportasi dengan perekonomian. Ini termasuk investasi
dan pembiayaan oleh sektor swasta, KPS, dan PFI untuk
proyek-proyek infrastruktur transportasi, serta skema
rekayasa finansial lainnya seperti Domestic Capital Market,
Obligasi Infrastruktur, dll.
18. Page 18Hal. 18
Mengurangi kesenjangan wilayah
Pengembangan wilayah dan pertumbuhan ekonomi, produktivitas
ekonomi, dan daya saing daerah tergantung kepada akses ke pasar
yang dimungkinkan dengan adanya sistem transportasi lokal yang
efisien dan efektif. Oleh karena itu perlu membangun transportasi
di wilayah-wilayah timur Indonesia dan wilayah yang tertinggal
untuk meningkatkan akses ke pasar dan kegiatan ekonomi lainnya
serta untuk meningkatkan perekonomian wilayah tersebut .
Lelang terbuka dan kompetitif untuk rute dan pelayanan transport
agar mendapatkan harga terendah namun layak agar terjangkau
oleh kemampuan finansial wilayah. Penggunaan kontrak tahun
jamak dapat menjaga kesinambungan pembangunan dan
memungkinkan investor melakukan investasi peralatan berat dan
armadanya.
Meninjau kembali kerangka hukum dan peraturan yang relevan
untuk meyakinkan bahwa inisiatif ini sejalan dengan tujuan
pembangunan transportasi nasional.
Menjangkau sejauh mungkin partisipasi sektor swasta dalam
transportasi keperintisan dengan “output based” dan upayakan
sedapat mungkin agar subsidi keperintisan dan PSO dialokasikan
kepada rute dan operator dengan transparansi dan akuntabilitas
yang tinggi.
Membangun kompetisi antara BUMN dan operator swasta lainnya
dengan memberi jalan bagi investasi swasta menggunakan kontrak
tahun jamak. Lelang harus didasarkan kepada harga dimana subsidi
minimal dan rute atau pelayanan yang terbukti selalu mendapat
keuntungan secara berangsur dikurangi subsidinya.
Penetapan tarif dalam transportasi keperintisan harus
mempertimbangkan besarnya subsidi yang diperlukan.
Besarnya subsidi pun harus mempertimbangkan dampak
positifnya terhadap pengembangan perekonomian
wilayah. Perlu untuk meningkatkan kualitas perhitungan
dan pembukuan keuangan (cost accounting) dalam
perhitungan PSO dan pendapatan dari pelayanan
transportasi keperintisan.
Indikator dan kualitas pelayanan transportasi keperintisan
harus didasarkan kepada prinsip-prinsip bisnis dengan
indikator kinerja yang jelas. Kualitas pelayanan diukur dari
indikator kinerja berdasarkan kontrak jangka panjang
berbasis kinerja.
CATATAN
Keperintisan dalam jangka panjang harus secara bertahap
berubah menjadi angkutan komersial sejalan dengan
pertumbuhan perekonomian dan daya beli masyarakat
lokal tersebut. Transportasi keperintisan di wilayah timur
Indonesia dan daerah tertinggal lainnya merupakan
portofolio dan tanggungjawab Ditjen Perhubungan Laut.
Akan tetapi kinerja dan suksesnya pelayanan transportasi
ini sangat tergantung kepada Kemenkeu dalam hal kontrak
tahun jamak dan kepada Ditjen Hubla dalam hal penilaian
kinerja keperintisan dan berapa tingkat subsidi yang akan
diberikan kepada operator swasta.
19. Page 19Hal. 19
Transportasi mendukung investasi
sektor ekonomi dan sektor swasta
Tujuannya adalah membangun transportasi di wilayah-wilayah
Indonesia dimana investasi baik oleh pemerintah, khususnya
investasi swasta di lakukan di setiap sektor ekonomi dan sektor
produktif lainnya. Ini termasuk pembangunan transportasi untuk
mendukung sektor-sektor industri, pertanian, perkebunan,
pariwisata, pertambangan, kehutanan, dan industri jasa. Untuk
itu perlu diketahui betul agar investasi pemerintah dalam sektor
transportasi betul-betul memenuhi permintaan pasar ekonomi
dan investasi strategis sektor swasta.
Untuk wilayah yang terbukti mempunyai pertumbuhan ekonomi
tinggi diatas pertumbuhan ekonomi rata-rata nasional yang 6,3%,
atau wilayah yang sebenarnya mempunyai potensi pertumbuhan
ekonomi tinggi asalkan difasilitasi dengan transportasi yang baik,
maka pertumbuhan transportasi seharusnya berada diatas angka
pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut.
Perlu ada konsensus untuk menetapkan berapa rasio nilai aset
jalan terhadap PDRB provinsi. Kecenderungan di Indonesia adalah
wilayah yang PDRB nya tinggi mempunyai rasio nilai aset
terhadap PDRB yang rendah sementara wilayah yang PDRB nya
rendah justru mempunyai rasio yang tinggi. Angka yang rasional
barangkali dapat diambil agar wilayah-wilayah di Indonesia
mempunyai rasio sekurang-kurangnya 20%. Wilayah yang
mempunyai rasio tinggi diatas 40% dapat berkonsentrasi kepada
pemeliharaan rutin dan berkala sampai ekonomi lebih bertumbuh
dan berkembang sebelum melakukan investasi yang baru.
Metode yang serupa barangkali dapat diterapkan untuk rasio
aggregate transportasi laut, udara, dan ASDP terhadap PDRB.
!
R o a d A s s e t V a lu e to G D P
F ig u r e 1 : R a tio o f A s s e t V a lu e to G D P b y P ro v in c e
N a n g g ro e A c e h D a ru s s a la m
S u m a te ra U ta ra
S u m a te ra B a ra t
R ia u
J a m b i
S u m a te ra S e la ta n
B e n g k u lu
L a m p u n g
K e p . B a n g k a B e litu n g
D K I. J a k a rta
J a w a B a ra t
J a w a T e n g a h
D I. Y o g y a k a r a ta
J a w a T im u r
B a n te n
B a li
N u s a T e n g g a r a B a r a t
N u s a T e n g g a ra T im u r
K a lim a n ta n B a ra t
K a lim a n ta n T e n g a h
K a lim a n ta n S e la ta n
K a lim a n ta n T im u r
S u la w e s i U ta ra
S u la w e s i T e n g a hS u la w e s i S e la ta n
S u la w e s i T e n g g a ra
G o ro n ta lo
M a lu k u
M a lu k u U ta ra
P a p u a
0
5 ,0 0 0
1 0 ,0 0 0
1 5 ,0 0 0
2 0 ,0 0 0
2 5 ,0 0 0
3 0 ,0 0 0
3 5 ,0 0 0
4 0 ,0 0 0
4 5 ,0 0 0
0 .0 0 0 .2 0 0 .4 0 0 .6 0 0 .8 0 1 .0 0 1 .2 0
GDP($million)
G D P to o s m a ll to s u p p o r t c o s t o f r o a d m a in te n a n c e
R o a d c a p a c ity to o s m a ll
to s u p p o r t g r o w th in th e
e c o n o m y
R o a d c a p a c ity a n d
e c o n o m y in ro u g h
b a la n c e
Nilai Aset Infrastruktur Jalan Terhadap PDRB Provinsi (2008)
Meningkatkan peran Sistem Angkutan Umum di perkotaan
dalam mendukung mobilitas perekonomian kota (Urban
Economic Mobility). RPJMN III dapat menjadi sponsor bagi opsi
transportasi kota ini baik dalam kebijakan, strategi, program,
dan anggaran untuk membangun sistem transportasi kota yang
lebih efisien, nyaman, bersih lingkungan, dan handal. Sistem
angkutan umum seyogyanya dapat mengangkut sekurang-
kurangnya 30% dari pergerakan orang. Kota adalah entitas
ekonomi yang besar dengan PDRB yang besar dan patut
didukung secara nasional dalam hal mobilitas ekonominya.
Implementasi Electronic Road Pricing, Road Preservation
Funds, Fuel surcharges, dll. untuk ikut mengatasi kemacetan
masif di perkotaan.
20. Page 20Hal. 20
Transportasi yang lebih kompetitif
Indonesia perlu menciptakan penyediaan jasa infrastruktur dan
pelayanan transportasi yang lebih kompetitif dan lebih berimbang
antara sektor publik/BUMN dengan sektor swasta. Karakter monopoli
yang masih melekat harus diminimalkan atau dihilangkan. Untuk itu
harus ada insentif pemerintah untuk membangun kompetisi yang
sehat dan menguntungkan pengguna di satu sisi dan industri
transportasi nasional di sisi lain. Ini sebenarnya merupakan jiwa dan
semangat undang-undang transportasi. Pembukaan pasar
penerbangan dan sekuritisasi dan restrukturisasi PT Jasa Marga untuk
jalan tol memberi contoh yang baik dari good corporate governance
dan fokus kepada operasi dan manajemen yang lebih profesional.
Model korporatisasi dan sekuritisasi dapat juga dilaksanakan di sektor
lain seperti perkeretaapian, pelabuhan, penerbangan, dan pelayaran.
Dalam hal ini, pemisahan vertikal, spasial, dan horizontal dari bisnis
BUMN yang terintegrasi secara vertikal dari hulu ke hilir patut untuk
dipertimbangkan kembali untuk membuka ruang bagi kompetisi yang
lebih sehat dan efisiensi ekonomi yang lebih besar.
Kerangka legal dan peraturan yang ada tidak memberi definisi dan
ruang bermain yang jelas bagi partisipasi sektor swasta yang lebih
efisien dan kompetitif dalam penyelenggaraan industri infrastruktur
dan jasa pelayanan transportasi Indonesia. Berbagai modus dan
varian dari KPS, misalnya, tidak terinci dalam Peraturan Presiden
tentang KPS dan tidak dikenali dalam Peraturan Menteri terkait
dengan KPS.
Pemerintah perlu untuk melihat kembali kondisi kerangka hukum dan
peraturan tentang pembebasan tanah. Apabila kerangka tersebut
sudah benar, maka barangkali modus pelaksanaan pembebasan tanah
dan kelembagaannya perlu ditinjau ulang untuk mempercepat proses
pembebasan tanah.
Dalam jangka agak panjang perlu dipertimbangkan
agar ada kepemilikan tanah oleh pemerintah untuk
proyek-proyek infrastruktur transportasi dimana
pemerintah dapat menyewakan tanah tersebut
kepada operator swasta atau menggunakannya
sebagai government equity dalam proyek-proyek
berbasis KPS atau Aliansi Strategis KPS.
Dalam komteks kompetisi dan efisiensi barangkali
perlu di percepat program korporatisasi-profitisasi-
sekuritisasi BUMN transportasi dengan intervensi
pemerintah yang lebih dalam, termasuk pemberian
insentif dan disinsentif. Beberapa pelajaran
internasional seperti BUMN di China dan Vietnam
dapat diacu secara cermat dan hati-hati disesuaikan
dengan kondisi politik di Indonesia.
Indonesia perlu menciptakan kesetaraan antara
BUMN dan operator swasta dalam mekanisme pasar,
industri, dan jasa transportasi nasional, termasuk
dalam hal kontrak, perhitungan depresisi, subsidi,
serta skema KPS lainnya untuk membangun iklim
investasi yang sehat dan dalam penetapan tarif yang
bersaing secara sehat.
Kompetisi yang sehat memerlukan keterbukaan,
transparansi, dan akuntabilitas publik yang tinggi dari
setiap pelaku bisnis dan industri transportasi,
termasuk BUMN. Dalam hal ini pengenalan dari
sistem cost accounting dan manajemen yang
berstandar internasional (international best practice)
perlu diacu.
21. Page 21Hal. 21
Transportasi Multimoda
Transportasi Multimoda terkait erat dengan Sistem Logistik
Nasional dan program koridor ekonomi MP3EI. Peraturan
Presiden No. 26/2012 tentang Sislognas dan Peraturan Menteri
Perhubungan yang terkait dengan sistem logistik nasional perlu
ditindaklanjuti dan dilaksanakan secara konsisten dalam kurun
waktu 5 tahun kedepan.
Peraturan Menteri Perhubungan No. 15/2010 tentang
transportasi multimoda/intermoda mengacu kepada 25
pelabuhan utama, 7 pelabuhan khusus untuk batubara dan CPO,
9 kota-kota besar, dan 183 wilayah belakang (hinterland) yang
terkait dengan logistik. Peraturan Menteri Perhubungan No.
8/2012 mengatur sisi bisnis dari transportasi multimoda sebagai
penjelasan operasional dari Peraturan Pemerintah No. 8/2011
tentang Transportasi Multimoda. Mungkin perlu dikaji kembali
efektivitas dan daya tarik peraturan tersebut melihat kenyataan
bahwa tidak banyak investor swasta yang tertarik masuk ke bisnis
multimoda.
Kebijakan yang digariskan dalam Rencana Induk Pelabuhan
Nasional mensyaratkan perlunya integrasi pelabuhan dengan
akses jalan atau kereta api. Untuk itu kapasitas jalan atau kereta
api Jawa harus ditingkatkan untuk angkutan barang. Kapasitas
pelabuhan utama juga harus ditingkatkan.
Perlu ditinjau kembali regulasi tentang KPS untuk memicu
investasi swasta dalam transportasi multimoda., khususnya dalam
kaitannya dengan Special Transport. Selain itu perlu dibentuk
badan atau regulator yang netral dan independent untuk regulasi,
investigasi, keselamatan, dan keamanan angkutan multimoda.
Transportasi multimoda dan logistik bersifat lintas
sektoral dan kelembagaan yang mengelolanya
nampaknya juga harus lintas sektoral dan tidak dapat
dikelola secara biasa, linier, dan birokratis. Karena
sifatnya tersebut Transportasi Multimoda membutuhkan
dokumen perencanaan operasional yang menjelaskan
hal-hal makro dan cross-cutting dari multimoda, seperti
kelembagaan, investasi, pembiayaan, peran pemerintah,
peran BUMN, peran sektor swasta, dan hal-hal yang
terkait dengan kerjasama internasional dalam
transportasi antar negara dan dalam skema modern
financing.
Peran pelabuhan sangat penting dalam Transportasi
Multjmoda. Oleh karena itu perlu dipertegas dan
diperkuat peran Otoritas Pelabuhan sebagai regulator.
Konsep Pendulum Nusantara supaya lebih diperjelas
dengan suatu Naskah Akademik yang legitimate.
Dalam hal kereta api, undang-undang mengindikasikan
terbentuknya Multi Operators yang menuju kepada
kompetisi yang lebih berimbang antara berbagai moda
transportasi. Akses kereta api perlu dibangun menuju ke
pelabuhan dan bandar udara internasional dengan
kompetisi yang sehat, berimbang, dan dibangun oleh
pemerintah, misalnya dengan insentif dan disinsentif.
Dalam hal jalan, konsep pembangunan Expressways perlu
dikonkritkan yang bersama-sama dengan jaringan Jalan
Tol berfungsi sebagai tulang punggung transportasi
multimoda.
22. Page 22Hal. 22
High Grade Highway System
Indonesia sedang mengalami krisis kapasitas jalan raya dalam
mendukung pergerakan ekonomi yang bertumbuh secara sangat
cepat, khususnya di jalur-jalur ekonomi strategis di Pantura
Jawa, Jalintim Sumatera, dan Trans Kalimantan. Tekanan ini akan
terus bertambah sejalan dengan bertumbuhnya perekonomian
dan meningkatnya jumlah lalu lintas kendaraan berat di jalur-jalur
ekonomi tersebut.
Akses transportasi ke pusat-pusat pertumbuhan, pelabuhan, dan
bandara merupakan pondasi dari kemajuan ekonomi. Akses jalan
yang efektif dan efisien berupa HGHS masih langka di Indonesia
dan masih kalah jauh kepadatannya per luas wilayah dibanding
dengan Malaysia dan China. Ada kebutuhan mendesak untuk
meningkatkan kapasitas jaringan jalan strategis dan membangun
jaringan jalan baru berupa Expressway dengan kapasitas dan
kualitas struktur perkerasan yang lebih tinggi yang mampu
menahan tekanan gandar jauh lebih tinggi dari 10 ton saat ini.
Inilah saatnya Indonesia meletakkan prioritas nasional kepada
pembangunan jaringan jalan arteri nasional berkapasitas dan
berkualitas tinggi yang dapat menjadi program utama dalam
Rencana Induk Jaringan Jalan Nasional sampai dengan tahun 2030
atau 2045. Konsep HGHS ini dalam jangka panjang mempunyai
keuntungan ekonomi yang besar.
Dalam RPJMN, III 2015-2019, Rencana Induk Jaringan Jalan
Nasional (RIJJN) tersebut harus sudah selesai disusun, koridor
HGHS sudah teridentifikasi, dan apabila perlu tanah untuk
pembangunan sudah di “reserve” oleh pemerintah dan
pembangunan sudah mulai bisa dimulai secara bertahap sejalan
dengan kelayakan ekonomi dari tiap-tiap ruas jalan.
Pekerjaan penyusunan RIJJN, termasuk Expressways
(HGHS) didalamnya sudah dapat dimulai dengan
pekerjan persiapan.
Siapkan “Practical Guidelines” untuk pembiayaan
termasuk rencana penggunaan external loans dan APBN,
dan investasi sektor swasta.
Pembangunan jaringan secara bertahap sesuai dengan
kondisi kelayakan ekonomi dan kebutuhan pergerakan
ekonomi. Pemerintah kalau perlu membangun “missing
link” untuk mencapai benefit ekonominya.
Mobilisasi pendanaa dari berbagai sumber sudah dapat
diidentifikasikan. Paduserasikan modus investasi dengan
kebutuhan pembangunan dan kaji berbagai-bagai skema
pendanaan yang dapat digali dari domestic capital
market dan pasar global.
Tinjau kembali dan kalau perlu dilakukan revisi terhadap
peraturan yang memungkinkan skema pendanaan
tersebut diimplementasikan. Ini termasuk BOT berbasis
annuity, lease/operate, atau creative Joint Venture.
Perkuat BPJT dengan fungsi tambahan untuk juga
menjadi badan pengatur jalan expressway (HGHS) non-
tol.
Untuk pembangunan HGHS perlu dipikirkan terbentuk-
nya semacam “Indonesian Expressway Authority”
dengan kewenangan dan tanggungjawab penuh atas
perencanaan, pembangunan, dan pengelolaan HGHS.
Badan ini dapat merupakan penguatan terhadap BPJT.
23. Page 23Hal. 23
Transportasi nasional dan sub-
nasional dan Financing & Pricing
Pembangunan dan penyediaan infrastruktur dan jasa pelayanan
transportasi masih berorientasi pusat. Oleh karena itu ada keperluan
yang mendesak untuk lebih menyeimbangkan transportasi pusat
dengan transportasi daerah. Sebenarnya desentralisasi dan otonomi
daerah memberi hak dan kewenangan daerah dalam perencanaan,
pembiayaan, dan pembangunan transportasi di daerah. Akan tetapi
sampai kini desentralisasi belum memberikan dampak yang positif dan
berarti bagi penyediaan transportasi skala sub-nasional.
Saat ini opsi pembiayaan pembangunan dan penyediaan infrastruktur
dan jasa pelayanan transportasi masih sangat terbatas dan terpusat
pada APBN. Sementara itu peran BUMN masih terbatas dalam
pembangunan infrastruktur transportasi. Dan skema KPS masih sangat
langka. Dalam waktu 5 tahun kedepan ketika pembangunan harus
dipercepat dan diperbanyak, ketergantungan kepada APBN dan
pinjaman luar negeri tidak dapat dipertahankan lagi dan berbagai-
bagai opsi pembiayaan modern harus diaplikasikan.
Sementara pembiayaan APBN harus ditingkatkan, perlu dicari sumber
pendanaan lain seperti Obligasi Infrastruktur dan KPS. Sementara itu
prinsip “user pay principle’ seperti road charges, road funds, dan road
pricing sudah dapat dicoba untuk diterapkan.
Perlu memperluas spektrum KPS dengan mempergunakan berbagai-
bagai skema pembiayaan modern (Modern Project Financing).
Termasuk disini adalah PBAS, Lease and Operate, atau sekuritisasi.
Pemerintah perlu menetapkan Transport Pricing,
user charges, dan subsidi untuk mendukung
pemeliharaan, operasi, dan pembangunan
transportasi kedepan.
Dana Preservasi Jalan atau Road Funds yang sudah
mempunyai payung UU perlu disegerakan
implementasinya. Naskah Akademik nya perlu
dibuat untuk membangun dukungan politik dan
kesediaan rezim keuangan untuk mendukungnya.
Di beberapa negara dilakukan subsidi silang dalam
transportasi perkotaan. Ada beberapa alasan yang
rasional, antara lain adalah redistribusi pendapatan
dari The Urban Affluent yang captive terhadap
kendaraan pribadi kepada masyarakat berpendapat-
an rendah yang captive terhadap angkutan umum.
Alasan lain adalah internalisasi eksternalitas dari
pemakaian kendaraan pribadi yang berlebihan.
Dalam konteks ini menjadi penting untuk
merealisasikan konsep Jabodetabek Transport
Authority yang studinya sudah diselesaikan oleh
kantor Menko Perekonomian.
25. Page 25Hal. 25
Kebijakan Subsektor Jalan :
Kondisi Jaringan Jalan Nasional
dan Jalan Lokal
Pada tahun 2010 jalan nasional dengan panjang
38.570 km telah mencapai kondisi mantap sebesar
86%, sementara jalan daerah dengan panjang
433.501 km baru mencapai kondisi mantap sebesar
63% untuk jalan Provinsi dan 43% untuk jalan
Kabupaten/Kota.
Saat ini jalan nasional telah mencapai kondisi mantap
92%, sementara kondisi jalan daerah belum
meningkat secara signifikan.
Hal ini menyebabkan rendahnya kualitas jalan secara
keseluruhan, yaitu kondisi mantap hanya sebesar
54%. Sementara, negara-negara berkembang lain
rata-rata telah mencapai kondisi mantap sebesar
70%. Ini menjelaskan masih rendahnya peringkat
daya infrastruktur jalan Indonesia secara global.
Ketimpangan antara kondisi jalan nasional dan jalan
daerah berkontribusi pada tingginya waktu perjalanan
dan biaya logistik
Kapasitas fiskal daerah yang relatif rendah dan
lemahnya dukungan Pemerintah Daerah dalam
pemeliharaan jalan.
Belum optimalnya peran DAK dalam menunjang
pembiayaan jalan daerah serta belum ada alternatif
pendanaan lain yang signifikan dalam meningkatkan
kualitas jalan Daerah.
Status Jalan
2010
Panjang
(Km)
% Kondisi
Mantap
% Kondisi Tdk
Mantap
Nasional 38.570 86,0 14,0
Provinsi 48.691 63,0 27,0
Kab/Kota 384.810 43,0 57,0
DKI Jakarta 6.266 64,0 36,0
Jalan Tol 742 96,0 4,0
TOTAL 479.079 54,0 46,0
Target 2015-2019:
•Rata-rata kondisi mantap jalan Provinsi sebesar 80% dan jalan
Kabupaten/Kota sebesar60% pada akhir tahun 2019.
Arah Kebijakan:
•Pengembangan dan pelaksanaan skema pembiayaan cost sharing
dalam pemeliharaan jalan daerah yang melibatkan kontribusi APBN dan
hibah yang lebih besar pada jalan-jalan Daerah yang strategis
•Penerapan road fund untuk pemeliharaan jalan
•Peningkatan pembinaan penyelenggaraan jalan Daerah dengan pola
insentif
Kebutuhan Pendanaan:
•Penanganan terhadap 51.408,50 Km jalan daerah sebesar Rp.200,0
Triliun selama kurun waktu 2015-2019.
Sumber: Ditjen Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum, 2010
26. Page 26Hal. 26
Kebijakan Subsektor Jalan :
Kapasitas Jalan
Sumber: Ditjen Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum, 2010
Rendahnya kapasitas jalan dibanding permintaan ditunjukkan
dari kemacetan lalu-lintas dan waktu perjalanan yang masih
tinggi untuk melalui jalan pada koridor-koridor utama MP3EI,
yaitu mencapai 26 jam pada koridor Jawa, lebih dari 2 hari
pada koridor Sumatera, Sulawesi, dan Bali-Nusa Tenggara,
dan lebih dari 3 hari pada koridor Kalimantan dan Kep.
Maluku-Papua.
Rasio panjang jalan terhadap jumlah penduduk masih rendah
dan relatif tertinggal dibandingkan dengan negara-negara
tetangga (contoh untuk kepadatan jalan tol Indonesia kurang
dari 1/10 Malaysia, China dan Filipina).
Pengembangan jalan nasional selama ini kurang
diprioritaskan pada pembangunan jalan-jalan baru.
Permasalahan pengadaan lahan yang menghambat
pembangunan jalan tol baik oleh Pemerintah maupun melalui
pola KPS
Kurang optimalnya pengembangan moda transportasi
alternatif (transportasi multimoda) sehingga pergerakan
orang dan barang masih terlalu tergantung pada moda jalan
raya.
Target 2015-2019:
•Terbangunnya jalan baru yang meliputi jalan nasional, jalan tol
dan jalan daerah sepanjang 6.000 km pada akhir tahun 2019.
Arah Kebijakan:
•Pengembangan sistem jaringan backbone nasional dan
pembangunan jalan-jalan baru berupa jalan nasional, jalan tol
dan jalan daerah pada sistem jaringan backbone tersebut.
•Pemenuhan penyediaan dana untuk pengadaan lahan sesuai
UU.
•Meningkatkan efektivitas pola KPS dan penugasan pada
BUMN dalam pembangunan jalan tol
•Kebijakan pengembangan transportasi multimoda dan
mendorong peningkatan peran moda kereta api dan ferry.
Kebutuhan Pendanaan:
•Kebutuhan pendanaan sebesar Rp. 300,0 Triliun selama kurun
waktu 2015-2019 untuk pembangunan jalan-jalan baru
sepanjang 6.000 km.
27. Page 27Hal. 27
Kebijakan Subsektor Jalan :
Overloading
Sumber: Ditjen Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum, 2010
0
10
20
30
40
50
Single Axle Tandem Triple
MuatanSumbu(ton)
PERBANDI NGAN MST I JI N DAN MST AKTUAL
DI SEGMEN JAKARTA - SEMARANG, PANTURA JAWA
UNTUK (MST 10 TON)
1.2 H 1.2.2
MST I JI N MST AKTUAL
0
10
20
30
40
50
Single Axle Tandem Triple
MuatanSumbu(ton)
PERBANDI NGAN MST I JI N DAN MST AKTUAL
DI SEGMEN SEMARANG - SURABAYA, PANTURA JAWA
UNTUK (MST 10 TON)
1.2 H 1.2.2
MST I JI N MST AKTUAL
1.2+2.2.21.2+2.2.2
1.2+2.2.2 1.2+2.2.2
20.58
45.55
10.00
38.10
18.00
21.00 20.14
48.88
10.00
37.56
18.00
21.00
12.86
29.01
10.00
23.05
18.00
21.00
12.04
31.77
10.00
21.73
18.00
21.00
Muatan Sumbu Terberat (MST) aktual yang jauh
melampaui MST yang diizinkan sebesar 8 Ton atau 10
Ton (tergantung kelas jalan). Pada jalur Pantura, MST
aktual mencapai dua kali lipat MST yang diizinkan,
sehingga mengakibatkan kerusakan jalan.
Masalah pembebanan lebih di jalan adalah masalah
multi-sektor dan lintas sektor antara lain melibatkan
aspek desain kendaraan, aspek pengawasan dan
tindakan, dan aspek infrastruktur.
Perbaikan kerusakan jalan akibat pembebanan
berlebih telah meningkatkan life-cycle cost secara
dramatis. Sedangkan kendaraan dengan beban lebih
dan kerusakan jalan yang terjadi mengakibatkan
kemacetan, peningkatan biaya logistik dan
peningkatan risiko kecelakaan lalu-lintas.
Target 2015-2019:
•Berkurangnya tingkat kerusakan jalan akibat pembebanan berlebih sebesar 50% pada akhir 2019 dibandingkan posisi pada akhir 2014.
Arah Kebijakan:
•Pendekatan koordinasi lintas sektor untuk mencegah prakter pembebanan berlebih di jalan.
•Mendorong transportasi multimoda berupa moda kereta-api dan Ro-Ro untuk angkutan barang pada jalur-jalur yang potensial.
•Pengembangan dan pelaksanaan pola PBC (Performance-based Contract) pada pemeliharaan jalan yang terintegrasi dengan pengawasan
dan tindakan terhadap pembebanan berlebih.
•Peningkatan spek (axle load) pada jalan-jalan yang merupakan jalur utama angkutan berat, seperti pada sepanjang jalur Pantura dan jalan-
jalan untuk angkutan barang tambang.
Kebutuhan Pendanaan:
•Kebutuhan dana sebesar Rp. 100 Triliun untuk peningkatan MST izin (axle load) jalan Pantura dan jalur-jalur utama lain sepanjang 2000 km
selama kurun waktu 2015-2019.
28. Page 28Hal. 28
Kebijakan Subsektor Perkeretaapian:
Pengembangan Kedepan
KONDISI SARANA
TAHUN 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Lokomotif 354 362 339 333 350 366 369
KRD/KRL 305 321 342 408 429 432 492
Kereta 1.212 1.226 1.297 1.190 1.448 1.495 1.506
Gerbong 4.396 3.498 3.318 3.289 3.618 3.278 3.278
KONDISI PRASARANA
Jaringan Jalan
Rel di Jawa,
Madura dan
Sumatera
Beroperasi
4.816 Km
Sumatera 1.352 Km
Lintas Utama 1.122 Km
Lintas Cabang 230 Km
Jawa 3.464 Km
Lintas Utama 3.356 Km
Lintas Cabang 108 Km
Tidak
Beroperasi
3.343 Km
Sumatera 483 Km Sumut 399 Km
Jawa dan Madura
2.860 Km
Sumbar 80 Km
Sumsel 4 Km
Kondisi Perkeretaapian Saat Ini
29. Page 29Hal. 29
Kebijakan Subsektor Pelabuhan:
Penyediaan Armada
Sekitar 50 % dari angkutan kargo
domestik sudah berusia lebih dari 25
tahun
Belum optimalnya konektivitas angkutan
laut terutama di Kawasan Timur
Indonesia
Belum tersedianya sumber pendanaan
yang murah untuk pengadaan armada
pelayaran domestik
Target 2015-2019:
Peremajaan kapal kargo domestik yang
sudah berusia diatas 25 tahun.
Terlayaninya angkutan short sea shipping
di utara pulau Jawa
Arah Kebijakan:
Penyediaan skema pendanaan untuk
pengadaan armada pelayaran domestik
Kebutuhan Pendanaan 2015-2019 sekitar
Rp 105 Triliun
Pengembangan short sea shipping untuk
mengurangi beban angkutan jalan
Mengurangi subsidi BBM pada angkutan
darat
Kebutuhan Pendanaan 2015-2019 sekitar
Rp 4 Triliun
2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 Total
Container 5,9 3,3 2,8 6,5 6,5 6,3 6,2 6,1 6,0 6,0 6,0 6,0 6,0 73,5
Conventional 13,3 6,5 5,2 8,3 7,8 7,6 7,2 7,0 7,0 7,2 6,6 6,4 6,3 96,3
Bulker 4,3 3,5 3,4 3,5 3,5 2,8 2,5 2,3 2,2 2,2 2,2 2,2 2,2 36,7
Tug and
barge
0,4 0,3 0,2 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3 0,4 0,4 3,9
Tanker 9,9 6,1 5,2 4,7 4,5 3,9 3,6 3,5 3,4 3,4 3,3 3,2 3,1 58,0
Total 33,8 19,8 16,7 23,3 22,5 20,8 19,8 19,2 19,0 19,1 18,4 18,1 17,9 268,3
Kebutuhan Investasi Armada pelayaran Domestik
Rata-rata Rp 20 triliun per tahun dari 2012 - 2024
30. Page 30Hal. 30
Kebijakan Subsektor ASDP
Kondisi Saat Ini :
Terdapat 3 Lintas yang belum t erhubungkan :
Sabuk Selatan (Dobo (Maluku) – Pomako (Papua))
Sabuk Utara (Wahai – Fak Fak
Sabuk Utara (Tanjung Pinang –Matak – Selat
Lampah – Sintete) dan Tanjung Pinang – Tambelan –
Sintete
Permasalahan:
Rendahnya Tarif Peyeberangan
Usia dan Terbatasnya jumlah kapal yang melayani
lintas yang ada
Belum tersedianya Pelabuhan Penyeberangan
pada lintas-lintas tertentu
Masih belum tersedianya Akses Jalan dari dan ke
pelb. Penyeberangan
Sasaran/Target 2015-2019:
Terhubungkannya Sabuk Selatan, Tengah, dan
Utara
Pengembangan Lintas baru sebanyak 48 lintas
Pembangunan Dermaga ASDP Rp. 30 T
Kapal ferry Perintis 50 Rp. 10 T
Subsidi operasi Perintis 230
Arah Kebijakan:
Percepatan penyelesaian pembangunan kapal
Optimasi penggunaan pelabuhan laut sebelum pelabuhan penyeberangan
selesai dibangun
Sinkronisasi dan kerkoordinasi dengan Kementerian PU dan Pemda untuk
pembangunan jalan
Penyediaan biaya subsidi operasional kapal untuk lintas-lintas perintis
Kebutuhan Pendanaan:
Pembangunan Dermaga ASDP Rp. 30 T
Kapal ferry Perintis 50 Rp. 10 T
Subsidi operasi Perintis 230 lintas Rp. 2,5 T
Jumlah Kapal = 267
Komersil = 205
Perintis = 62
Jenis Lintasan Jumlah Lintasan
Komersil 42
Perintis 137
Jumlah Total 179
31. Page 31Hal. 31
Kebijakan Subsektor Transportasi
Udara: Keperintisan
Perkembangan Angkutan Udara Perintis
2007 2008 2009 2010
Jumlah Rute 91 93 94 118
Jumlah Kota Terpencil
terhubungi
83 84 85 89
Propinsi 13 14 14 14
Frek Penerbangan 7.592 7.124 10.599 11.776
Arah Kebijakan
-Pemenuhan kebutuhan angkutan udara perintis di daerah
terpencil dan perbatasan.
-Peningkatan kualitas pesawat udara untuk melayani
penerbangan perintis.
-Pemberian Public Service Obligation (PSO) untuk
penerbangan perintis.
Target Pembangunan 2015-2015
Pengadaan pesawat perintis sebanyak 50 unit
Kebutuhan Pendanaan
Pengadaan pesawat perintis Rp 3 Trilliun.
PSO Penerbangan Perintis Rp 10 Trilliun.
PERMASALAHAN:
-Kondisi geografis Indonesia menyulitkan
daerah terpencil dijangkau moda
transportasi darat dan laut.
-Masih terbatasnya kapasitas angkut
angkutan perintis untuk melayani
masyarakat.
-Keterbatasan kondisi bandara perintis di
Indonesia.
-Keterbatasan ekonomi masyarakat.
32. Page 32Hal. 32
Kebijakan Subsektor Transportasi
Udara: Bandara Keperintisan
PERMASALAHAN:
•Fasilitas bandara di daerah terpencil dan
perbatasan masih sangat minim.
- Sebagian landasan masih berupa air
strip.
- Fasilitas sarana dan prasarana
keamanan bandara serta navigasi
tidak memadainya.
• Beberapa daerah terilisosir dan
perbatasan masih belum memiliki
bandar udara.
Bandar Udara Angkutan Perintis
PROPINSI JML PROPINSI JML
o Aceh 9 o Sulawesi Barat 4
o Sumatera Utara 4 o Sulawesi Tengah 9
o Sumatera Barat 4 o Sulawesi Selatan 10
o Bengkulu 3 o Maluku Utara 7
o Kalimantan Timur 9 o Maluku 12
o Kalimantan Barat 4 o Nusa Tenggara timur 5
o Kalimantan Tengah 6 o Papua Barat 9
o Jawa 2 o Papua 43
TOTAL 140
Arah Kebijakan
-Peningkatan bandar udara di daerah terpencil dan dan
perbatasan.
-Pembangunan bandar udara baru di daerah terisolir dan
perbatasan.
Target Pembangunan 2015-2015
Peningkatan bandar udara perintis di 45 lokasi.
Pembangunan bandar udara perintis baru 18 lokasi.
Kebutuhan Pendanaan
Peningkatan bandar udara perintis Rp 2,7 Trilliun.
PSO Penerbangan Perintis Rp 1,8 Trilliun.
33. Page 33Hal. 33
Kebijakan Subsektor Transportasi
Udara: Asean Open Sky Policy
PERKIRAAN PERKEMBANGAN PENUMPANG UDARA DI
INDONESIA
Domestikk Internasional
PenumpangPerTahun
Arah Kebijakan
Peningkatan Kualitas Pelayanan Transportasi Udara Mendukung Kebijakan
Asean Open Sky.
Target Pembangunan 2015-2015
Pengembangan Bandara dan fasilitas Penunjang di 20 Lokasi.
Pengembangan sarana navigasi penerbangan.
Kebutuhan Pendanaan
Peningkatan dan rehabilitasi bandara Rp 35 Trilliun.
Pengembangan sarana navigasi penerbangan Rp 5 Trilliun.
PERMASALAHAN:
-Terbatasnya daya tampung
bandara di Indonesia.
-Rendahnya kualitas layanan
penerbangan di bandara.
-Minimnya sarana navigasi
penerbangan.
Proyeksi Angkutan Udara Indonesia
34. Page 34Hal. 34
Kebijakan Subsektor Transportasi
Perkotaan: Kesenjangan
Rata-rata kota maju, peran Angkutan Umum 60%
(Singapura) – 90% (HK)
201020022000
0 % -3 %
-24 %
28%
52%
55%
Permasalahan:
‣Tingkat kemacetan perkotaan semakin tinggi,
sepeda motor makin dominan, angkutan umum
makin menurun.
‣Peran angkutan umum rendah, kota dengan BRT
baru mencapai 16 kota, kebanyakan mixed traffic.
‣Dukungan pemerintah kota dalam pengembangan
BRT masih rendah.
‣Belum optimalnya peran DAK dalam menunjang
pembiayaan pemeliharaan angkutan BRT serta
belum trealisasinya alternatif pendaaan lain.111
Jenis Kota Jumlah
Kota
% Mobil % Bus
% Spd
Motor
Metropolitan 11 19,8 27,2 53,0
Besar 15 20,0 7,0 73,0
Sedang 60 15,3 4,7 79,6
Kecil 214 tad tad Tad
Target 2015-2019:
•Peran angkutan umum meningkat dari 23% menjadi 45%.
Arah Kebijakan:
•Bantuan pusat sebagai stimulus dikembangkan oleh kota sebaagi
backbone dengan skema pembiayaan matching fund dalam
pengembangan BRT.
•Pembinaan Penyelenggaraan BRT (Kota Sedang, Kota Besar) dan
MRT (Kota Metropolitan)
Kebutuhan Pendanaan:
•Pembangunan BRT di 20 kota termasuk 6 kota metropolitan,
dengan total 825 bus/tahun dengan anggaran sebesar Rp.2,87
Triliun.
35. Page 35Hal. 35
Kebijakan Subsektor Transportasi
Perkotaan: Mass Rapid Transit
Target Penumpang KRL Jabodetabek 1,2 jt/hari
Permasalahan:
‣Belum optimalnya moda angkutan massal
untuk menampung penumpang dari Bodetabek
ke Jakarta.
‣Kurangnya kualitas pelayanan dan keamanan
dari angkutan massal perkotaan terutama
wilayah ibukota.
‣Pengadaan sarana angkutan massal
perkeretaapian belum diimbangi dengan
prasarana yang memadai.
Target 2015-2019:
•Peningkatan kualitas dan kuantitas KRL Jabodetabek dalam
menampung lebih dari 1,2 juta per hari penumpang, monorail,
terbangunnya MRT lintas utara – selatan dan lintas barat - timur
Arah Kebijakan:
•Dukungan Pemerintah untuk meningkatkan pembiayaan
pembangunan prasarana transportasi massal Ibukota.
•Pembinaan Penyelenggaraan angkutan massal perkotaan.
Kebutuhan Pendanaan:
•Pembangunan 100% elevated loopline Jakarta membutuhkan
anggaran pendanaan sebesar 3 Trilliun.
•Pembangunan MRT lintas utara - selatan dan barat – timur sebesar
30 Trilliun
36. Page 36Hal. 36
Kebijakan Subsektor Transportasi
Perkotaan: Kereta Api
Kondisi Jaringan KA Jabodetabek
Sasaran/Target 2015-2019:
•Target Angkutan Penumpang KA
Jabodetabek 1,2 juta perhari, 432
juta pnp pertahun, headway KA 4-
5 menit
•Jumlah Penumpang Jabodetabek
432 juta penumpang
Arah Kebijakan:
•Penyelesaian masalah persilangan sebidang melalui MRT, jalur layang,
Double Track , serta pemisahan jalur KA Perkotaan
•Meningkatkan peran kereta api sebagai Transportasi angkutan massal
•Restruktirisasi kelembagaan Operator Perkeretaapian
•Melibatkan peran swasta dan Pemda dalam penyelenggaraan KA
Kebutuhan Pendanaan:
•Pengadaan Sarana KRL dan KRDI Rp. 7,5 Triliun
•Pembangunan Prasarana Jabodetabek Rp. 68 Triliun
•Pembangunan Prasarana Perkotaan lainnya Rp. 16 Triliun
Permasalahan:
‣Angka Kepemilikan keandaraan pribadi yg
masih tinggi
‣Masih rendahnya modal share angkutan
KA di Perkotaan
‣Banyaknya persilangan sebidang antara
jalur rel dan jalan raya,
‣Bertumpuknya pelayanan Kereta
Komuter, antar Kota, dan Angkutan
Barang
Jabodetabek , Bandung, Yogya,
Semarang, Surabaya, Medan,
Makasar.
37. Page 37Hal. 37
Kebijakan Transportasi Multimoda
KAPAL
(1)
KERETA API
(2)
TRUK
(3)
PESAWAT UDARA
(4)
• Kapal Kontainer
• Kapal Feri
• Tongkang
• Dll
• Kargo Kontainer
• Standard Freight
• Double Stacking
• Truk Trailer
• Truk Tronton
• Pesawat Kargo
• Pesawat Kombinasi
Biaya Terendah Biaya Tertinggi
•Paradigma Lama: Terpisah satu dengan lainnya, dan diatur oleh regulasi masing-masing
• Paradigma Baru :Secara ideal berupa “point to point” terpadu melalui sistem intermoda
TRANSPORTASI
MULTIMODA
HUBS DAN SPOKES
(1+2+3+4)
• Daya Saing
• Kualitas Layanan
• Kinerja
• Daya Tarik Pasar
• Jaringan
PERMASALAHAN:
-Belum terintergrasinya outlet bandara dan
pelabuhan dengan jalan akses atau jalur
kereta yang memadai
-Inefisiensi biaya dan waktu transportasi
-Belum adanya sistem logistik yang efisien
dan terpadu pada masing-masing kawasan
perhatian investasi
Arah Kebijakan
•Perbaikan Sistem Logistik Nasional untuk mendukung percepatan
pergerakan barang.
•Penyediaan alternatif pelayanan perpindahan moda untuk
menciptakan efesiensi dan efektivitas
Target Pembangunan 2015-2019
Penyediaan Fasilitas Pelayanan Intermoda di 5 Lokasi Pelabuhan dan
Bandara.
Kebutuhan Pendanaan
Pelayanan Fasilitas Intermoda Kereta dan Bus di 5 lokasi Bandara dan
Pelabuhan sebesar Rp 80 Triliun.
Sumber: Indii 2011