Mohammed Arkoun dan Nasr Hamid Abu Zayd menekankan pendekatan historis dan manusiawi terhadap pemahaman al-Quran. Mereka berargumen bahwa al-Quran merupakan hasil karya manusia yang dipengaruhi oleh konteks sejarah dan budaya, bukan teks ilahi murni. Arkoun melihat al-Quran sebagai korpus terbuka yang maknanya dipengaruhi oleh bahasa Arab dan tradisi penafsiran. Abu Zayd menyatakan bahwa
ISLAM DI ANTARA KONSERVATISME DAN LIBERALISME : PENGALAMAN KAJIAN DAN PERTEMUAN DENGAN TOKOH LIBERAL DI MESIR DAN PENILAIAN PEMIKIR ISLAM
OLEH:
PROF MADYA MOHAMAD KAMIL BIN HJ AB MAJID
AKADEMI PENGAJIAN ISLAM, UNIVERSITI MALAYA
Bagi umat Islam, al-Qur'an merupakan pedoman dalam menjalani kehidupan atau way of life. Ia adalah sumber petunjuk,
pemberi solusi dan pembangkit inspirasi. Sejalan dengan hal ini, tentunya upaya untuk lebih memahami pesan dan kandungan makna al-Qur'an yang sangat dalam, akan terus berlangsung seiring dengan perkembangan era dan peradaban.
Upaya untuk menyelami dan mendalami makna di dalam alQuran dilakukan melalui penafsiran. Satu sisi unik dan menarik
terkait dengan al-Qur'an sebagai sebuah naskah yang berisi kalam ilahi, adalah karakternya yang memungkinkan dilakukannya pendekatan penafsiran dari berbagai sisi. Kata-kata mutiara yang
sering terdengar untuk menggambarkan karakter al-Qur'an dalam konteks ini adalah bahwa Ia bagaikan permata yang memancarkan cahaya yang berbeda-beda namun sama indahnya ketika dilihat dari berbagai perspektif.
Buku yang ditulis oleh Dr. Hasani Ahmad Said, M.A. yang berjudul CORAK SASTRA TAFSIR AL-QURAN: STUDI ATAS TAFSIR
AL-AZHAR KARYA HAMKA ini adalah sebuah referensi yang sangat baik untuk mendapatkan gambaran yang utuh tentang
alam fikir Hamka dalam melakukan penafsiran atas al-Quran.
Beli bukunya di MANGGUSTORE.COM
Link Pembelian: https://manggustore.com/corak-sastra-tafsir-al-quran-studi-atas-tafsir-al-azhar-karya-hamka/
Sebuah buku foto yang berjudul Lensa Kampung Ondel-Ondelferrydmn1999
Indonesia, negara kepulauan yang kaya akan keragaman budaya, suku, dan tradisi, memiliki Jakarta sebagai pusat kebudayaan yang dinamis dan unik. Salah satu kesenian tradisional yang ikonik dan identik dengan Jakarta adalah ondel-ondel, boneka raksasa yang biasanya tampil berpasangan, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Ondel-ondel awalnya dianggap sebagai simbol budaya sakral dan memainkan peran penting dalam ritual budaya masyarakat Betawi untuk menolak bala atau nasib buruk. Namun, seiring dengan bergulirnya waktu dan perubahan zaman, makna sakral ondel-ondel perlahan memudar dan berubah menjadi sesuatu yang kurang bernilai. Kini, ondel-ondel lebih sering digunakan sebagai hiasan atau sebagai sarana untuk mencari penghasilan. Buku foto Lensa Kampung Ondel-Ondel berfokus pada Keluarga Mulyadi, yang menghadapi tantangan untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel warisan leluhur di tengah keterbatasan ekonomi yang ada. Melalui foto cerita, foto feature dan foto jurnalistik buku ini menggambarkan usaha Keluarga Mulyadi untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel sambil menghadapi dilema dalam mempertahankan makna budaya di tengah perubahan makna dan keterbatasan ekonomi keluarganya. Buku foto ini dapat menggambarkan tentang bagaimana keluarga tersebut berjuang untuk menjaga warisan budaya mereka di tengah arus modernisasi.
2. Mohammed Arkoun
Mohammed Arkoun: Pendekatan historisitas,
sekalipun berasal dari Barat, namun pendekatan
tersebut bukan hanya sesuai untuk warisan budaya
Barat saja. Pendekatan tersebut dapat diterapkan
dalam semua sejarah umat manusia. Tidak ada
jalan lain dalam menafsirkan wahyu kecuali
menghubungkannya dengan konteks historis.
3. : Mohammed Arkoun
Pendekatan historisitas akan
menantang segala bentuk
pensakralan dan penafsiran
transenden yang dibuat teolog
tradisional.
4. : Mohammed Arkoun
Pendekatan historisitas adalah baik
karena membongkar lapisan-lapisan
konsep al-Qur’an yang sudah mengendap
lama dalam pandangan geologis kaum
Muslim ortodoks yang membeku.
5. : Mohammed Arkoun
Konsep al-Qur’an merupakan
hasil rumusan tokoh-tokoh
historis, yang mengangkat
statusnya menjadi kitab suci.
6. : Mohammed Arkoun
Masalah-masalah yang selama
ini telah ditekan, ditabukan,
dibatasi, dilarang, dan semua
itu diklaim sebagai sebuah
kebenaran, jika didekonstruksi,
maka semua diskursus tadi
akan menjadi diskursus
. terbuka
7. : Mohammed Arkoun
Mushaf Utsmani tidak lain
hanyalah hasil sosial dan
budaya masyarakat yang
dijadikan “tak terfikirkan”
disebabkan semata-mata
kekuatan dan pemaksaan
. penguasa resmi
9. Mohammed Arkoun
Mohammed Arkoun:
Al-Qur’an adalah “sebuah korpus yang selesai dan
terbuka yang diungkapkan dalam bahasa Arab,
dimana kita tidak dapat mengakses kecuali melalui
teks yang ditetapkan setelah abad ke 4H/10 M.”
10. (:Nasr Hamid Abu Zayd (l. 1943
Al-Qur’an adalah ‘produk budaya’ (muntaj “
thaqafi). Disebabkan realitas dan budaya tidak
bisa dipisahkan dari bahasa manusia, maka
al-Qur’an adalah teks bahasa (nass lughawi).
Realitas, budaya, dan bahasa, merupakan
fenomena historis dan mempunyai konteks
spesifikasinya sendiri. Oleh sebab itu, alQuran adalah teks historis (nas tarikhi).
Historisitas teks, realitas dan budaya
sekaligus bahasa, menunjukkan bahwa al.”(Qur’an adalah teks manusiawi (nas insani
11. Nasr Hamid Abu Zayd (l. 1943):
Kalam Ilahi wujud dalam bahasa“
manusia, jika tidak, maka Kalam Ilahi
tidak akan dimengerti. Pemikiran Islam
menjadi stagnan karena penekanan yang
terlalu berlebihan kepada dimensi ilahi
(divine dimension). Padahal al-Qur’an
adalah kata Muhammad yang
meriwayatkan apa yang beliau katakan
.”adalah Kalam Ilahi
12. (:Nasr Hamid Abu Zayd (l. 1943
Teks-teks agama adalah “
teks-teks bahasa yang
bentuknya sama dengan teksteks yang lain di dalam
.”budaya
13. (:Nasr Hamid Abu Zayd (l. 1943
Saya mengkaji al-Qur’an“
sebagai sebuah teks
berbahasa Arab agar dapat
dikaji baik oleh kaum
Muslim, Kristen maupun
.”Ateis
14. (:Nasr Hamid Abu Zayd (l. 1943
Sesungguhnya, kepercayaan"
atas wujud metafisik teks (alQur'an) akan menghapuskan
upaya pemahaman yang ilmiah
.”bagi fenomena teks
15. (:Nasr Hamid Abu Zayd (l. 1943
“Bagaimanapun, Kalam Ilahi perlu
mengadaptasi diri-dan menjadi
manusiawi- karena Tuhan ingin
berkomunikasi kepada manusia. Jika
Tuhan berbicara dengan bahasa Tuhan,
manusia sama sekali tidak akan
mengerti.”
16. Nasr Hamid Abu Zayd (l. 1943):
“Teks sejak awal diturunkan -ketika teks
diwahyukan dan dibaca oleh Nabi-, ia
berubah dari sebuah teks Ilahi menjadi
sebuah konsep atau teks manusiawi, karena
ia berubah dari tanzil menjadi takwil.
Pemahaman Muhammad atas teks
mempresentasikan tahap paling awal dalam
interaksi teks dengan akal manusia.”