SlideShare a Scribd company logo
Teori dan Gagasan Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid 
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Bahasa 
Pengampu: Zamzam Afandi, Ph.D 
Disusun Oleh: 
Indah Kumalasari 
NIM: 1320411220 
KONSENTRASI PENDIDIKAN BAHASA ARAB 
PRODI PENDIDIKAN ISLAM 
PROGRAM PASCASARJANA 
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA 
YOGYAKARTA 
2014
1 
A. Pendahuluan 
Dalam konteks Islam, hermeneutika sebagai sekumpulan metode, teori dan 
kefilsafatan yang terfokus pada problem pemahaman teks, sebenarnya telah muncul pada 
masa-masa awal ketika teks al-Qur’an dirasakan sulit dipahami dan problematik, yang 
dengan demikian harus dijelaskan, diterjemah, dan diinterpretasikan agar dapat dipahami. 
Problem hermeneutika menjadi semakin rumit setelah Nabi Muhammad SAW wafat karena 
tidak ada lagi otoritas tunggal untuk menjelaskan al-Qur’an, dan kaum muslimin telah 
berkenalan dengan berbagai bangsa, kebudayaan, dan peradaban lain. 
Dalam perjalanan sejarah, para ilmuan muslim menerapkan hermeneutika dalam 
pengertian yang sejalan dengan perkembangan disiplin ini pada masa mereka masing-masing 
untuk memahami sebuah teks suci yang mereka imani, al-Qur’an. Dalam perjalanan sejarah 
pula, perkembangan hermeneutika al-Q ur’an tidak dapat dipisahkan dari perkembangan 
ilmu- ilmu Islam (utamanya teori hukum Islam (Uṣūl Al-fiqh), filsafat dan sufisme) dan ilmu-ilmu 
sosial dan humanitas. Oleh karena itu, hermeneutika al-Qur’an tidak hanya termasuk 
dalam apa yang disebut secara tradisional sebagai ilmu al-Qur’an dan Tafsir. Ia telah 
menjelma menjadi bidang multi dan interdisipliner. Hakikat interdisipliner dari disiplin ini 
nampak sangat jelas dalam hermeneutika al-Qur’an kontemporer, di mana penerapan ilmu-ilmu 
sosial dan humanitas tidak bisa diabaikan. Teori hermeneutika al-Qur’an Nasr Hamid 
Abu Zaid adalah salah satu contoh yang trend di masa ini. Berdasarkan latar belakang 
tersebut penulis akan menguraikan sedikit penjelasan tentang biografi Nasr Hamid Abu Zaid, 
teori, gagasan dan aplikasi penafsirannya. 
B. Biografi Nasr Hamid Abu Zaid 
Nasr Hamid Abu Zaid adalah tokoh kontroversial akibat kritik keagamaan yang 
dilontarkannya di Mesir dan kepada kalangan muslim Sunni. 1 Nasr Hamid di lahirkan di 
desa Qahafah dekat kota Thantha Mesir pada 10 Juli 1943 dan hidup dalam sebuah keluarga 
yang religious. Bapaknya adalah seorang aktivis Al-Ikhwān Al-Muslimīn dan pernah 
dipenjara menyusul dieksekuensinya Sayyid Quthb. Sebagaimana anak-anak Mesir, dia 
mulai belajar dan menulis, serta kemudian menghafal al-Qur’an di kuttāb ketika dia berusia 
1 Kurdi, dkk, Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis , (Yogyakarta: Elsaq Press, 2010), hlm 116.
empat tahun. Dan karena kecerdasannya, dia telah menghafal keseluruhan al-Qur’an pada 
usia delapan tahun, sehingga dia dipanggil “Syaikh Nashr” oleh anak-anak di desanya.2 
Ketika Al-Ikhwān Al-Muslimīn menjadi sebuah gerakan yang kuat dan memiliki 
cabang hampir di setiap desa, dia ikut bergabung dengan gerakan ini pada 1954, pada usia 
sebelas tahun. Dalam usia yang masih belia seperti ini, sebenarnya dia belum diperkenankan 
mengikutinya. Tetapi, dia merajuk kepada ketua cabang di desanya untuk memasukkannya 
dalam gerakan yang dipimpin oleh Sayyid Quthb ini, dan diperkenankan untuk 
menyenangkan hatinya. Karena namanya tercantum di dalam daftar anggota itulah maka Abu 
Zaid pun pernah dijebloskan dipenjara selama satu hari dan dilepaskan karena dia masih 
dibawah umur. Pada saat itu, dia tertarik pada pemikiran Syayyid Quthb dalam bukunya Al- 
Islām wa Al-‘Adālah Al-Ijtimā’iyyyah (Islam dan Keadilan Sosial), khususnya penekanannya 
pada keadilan manusiawi dalam menafsirkan Islam. Pada masa remajanya, dia biasa 
mengumandangkan adzan di masjid dan tak jarang sebagai imam shalat, 3 hal yang biasanya 
di Mesir dilakukan oleh orang dewasa.4 
Abu Zaid menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya di Thantha. Setelah 
kematian ayahnya, saat berusia empat belas tahun, dia harus bekerja untuk membantu 
perekonomian keluarganya. Setelah lulus dari Sekolah Teknik Thantha pada 1960, dia 
bekerja sebagai seorang teknisi elektronik pada Organisasi Komunikasi Nasional di Kairo 
sampai pada tahun 1972. Minatnya pada kritik sastra tampak dalam tulisan-tulisan awalnya 
ketika dia berusia 21 yang dipublikasikan pada 1964, di dalam jurnal Al-Adab, jurnal 
pemimpin Amīn Al-Khūlī. Dua artikel pentingnya saat itu adalah “Hawl Adab Al-‘Ummal 
wa Al-Fallahin” (tentang Sastra Buruh dan Petani) 5 dan “Azmah Al-Aghniyyah Al- 
Mishriyyah” (Krisis Lagu Mesir). 6 Dia sangat tertarik kepada sosialisme dan revolusi ketika 
keduanya menjadi trend dominan di Mesir pada tahun 1960-an. Dan dia mulai mengkritik 
2 Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an: Teori Hermeneutika Nasr Abu Zayd , 
2 
(Jakarta: Teraju, 2003), cet. 1, hlm 15-16. 
3 Tampaknya sederhana. Tetapi, berbeda dengan di Indonesia, imam shalat di masjid -masjid Mesir 
dipersyaratkan untuk hafal al-Qur’an. 
4 Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan …, hlm 16. 
5 Al-Adab, no. 5, thn. 9, (Oktober 1964), h. 310-11; artikel ini pada awalnya tidak mencantumkan nama 
penulisnya, namun pada Al-Adab, no. 8, thn. 9 (Januari 1965), editor mengoreksi bahwa penulis artikel itu adalah 
Nasr Hamid Abu Zayd. Keterangan ini penulis ambil dari Moch. Nur Ichwan, Meretas…, hlm. 16-17. 
6 Al-Adab, no. 7 (1964), h. 406-8 dalam Moch. Nur Ichwan, Meretas…, hlm. 17.
Al-Ikhwān Al-Muslimīn, kendatipun dia tidak mengekspresikan kritiknya itu dalam tulisan-tulisan 
awalnya.7 
Pada 1968, Abu Zaid mulai studinya di Jurusan Bahasa dan Sastra Arab di 
Universitas Kairo. Dia masuk siang hari dan siangnya dia tetap bekerja. Dia menyelesaikan 
studinya pada 1972 dengan predikat cum laude. Setelah itu, dia diangkat sebagai asisten 
dosen. Karena kebijakan pimpinan pada jurusannya mewajibkan para asisten dosen baru 
untuk mengambil studi Islam sebagai bidang utama dalam riset Master dan Doktor, dia 
merubah bidangnya dari murni linguistic dan kritik sastra menjadi studi Islam, khususnya 
studi al-Qur’an. Abu Zaid sebenarnya enggan untuk mengambil subjek ini, mengingat 
pengalaman Muhammad Ahmad Khalafallah yang mengalami problem serius karena dia 
menggunakan studi kritik sastra (literer) atas narasi-narasi al-Qur’an dalam disertasinya. 
Namun, akhirnya dia menerima keputusan itu. Sejak saat itulah dia melakukan studi tentang 
al-Qur’an dan problem interpretasi dan hermeneutika.8 
Pada 1975, Abu Zaid mendapatkan beasiswa Ford Foundation untuk melakukan studi 
selama dua tahun di American University di Kairo. Dua tahun kemudian dia meraih gelar 
MA dengan predikat cum laude dari Jurusan Bahasa dan Sastra Arab Universitas Kairo 
dengan tesis yang berjudul Al-Ittijāh Al-Aqlī fi Al-Tafsīr: Dirāsah fi Qadhiyyat Al-Majāz fi 
Al-Qur’an ‘inda Al-Mu’tazillah (Rasionalisme dalam Tafsir: Sebuah Studi tentang Problem 
Metafor menurut Mu’tazillah), dan dipublikasikan pada 1982. Setelah itu, dia diangkat 
menjadi dosen.9 
Selama periode 1976-1978, Abu Zaid mengajar bahasa Arab untuk orang-orang 
Asing di Centre for Diplomats dan Kementrian Pendidikan di samping tetap mengajar di 
Universitas Kairo. Pada 1978 dia menjadi fellow pada Centre for Middle East Studies di 
Universitas Pensylvania, Philadelphia, Amerika Serikat, di mana dia mempelajari ilmu- ilmu 
sosial dan humanitas, khususnya teori-teori tentang cerita rakyat (folklore). Pada periode 
inilah, Abu Zaid menjadi akrab dengan hermeneutika Barat. Dia menulis sebuah artikel “Al- 
Hirminiyūṭīqā wa mu’dhilat Tafsīr Al-Naṣṣ” (Hermeneutika dan Problem Penafsiran Teks), 
3 
7 Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan …, hlm 16-17. 
8 Ibid.,, hlm 17. 
9 Ibid.,, hlm 17-18.
yang menurut pengakuannya merupakan artikel pertama tentang hermeneutika yang ditulis 
dalam bahasa Arab.10 
Pada 1981, Abu Zaid meraih gelar PhD-nya dalam bidang studi Islam dan Bahasa 
Arab dari jurusan yang sama dengan predikat cum laude. Dia menulis disertasi berjudul 
Falsafah Al-Ta’wīl: Dirāsah fī Ta’wīl Al-Qur’an ‘inda Muhy Al Dīn ibnu ‘Arabī (Filsafat 
Takwil: Studi Hermeneutika Al-Q ur’an Muhy Al-Din ibnu ‘Arabi) yang dipublikasikan pada 
1983. Abu Zaid dipromosikan sebagai asisten professor pada 1982, tahun di mana dia 
mendapatkan penghargaan ‘Abd Al-‘Azīz Al-Ahwānī untuk Humanitas karena konsernya 
pada humanitas dan budaya Arab. 
Selama 1985-1989, dia menjadi seorang professor tamu pada Osaka University of 
Foreign Studies, Jepang. Pada 1987, ketika dia masih berada di Jepang, dia dipromosikan 
sebagai Associate Profesor. Periode Jepang tampaknya merupakan fase sangat produktif 
baginya. Dalam pepriode inilah, Abu Zaid menyelesaikan bukunya Mafhūm Al-Naṣṣ: 
Dirāsah fī Al-Ulūm Al-Qur’ān (Konsep Teks: Studi tentang Ilmu- ilmu Al-Qur’an) dan 
menulis artikel-artikel lainnya, yang sebagiannya nanti dipublikasikan dalam Naqd Al- 
Khithāb Al-Dīnī (Kritik atas Wacana Keagamaan). Sebagian besar artikel yang dimuat dalam 
buku terakhir ini dipublikkasikan pada akhir 1980-an dan awal 1990-an.11 
Pada tahun 1992, dia menikah dengan Dr. Ibtuhal Yunis pada saat usianya menginjak 
49 tahun. Di tahun yang sama pula, ia mengajukan karya-karyanya untuk dipromosikan 
mendapat gelar professor penuh di Fakultas Sastra Universitas Kairo. Diantaranya sejumlah 
karyanya yang diajukan adalah Naqd al-Kitāb al-Dīnī yang diterbitkan pertama kalinya pada 
tahun 1992 dan langsung membuat namanya melejit di dunia Islam. Namun di tahun ini 
dimulailah “kasus Abu Zayd” di persidangan yang berakhir dengan vonis murtad atas dirinya 
dan dituntut menceraikan istrinya pada tahun 1995. Karena karyanya dinilai tidak bermutu, 
dan promosinya ditolak bahkan dinyatakan menyimpang dan merusak. Prof. Abdul Shabur 
Shahin, salah satu penguji ketika ia mengajukan promosi profesornya, dalam khutbahnya di 
masjid ‘Amr bin ‘Aṣ menyatakan bahwa Abu Zayd telah murtad, yang kemudian di-amin-kan 
oleh para khatib lainnya di masjid- masjid pada hari jum’at berikutnya, Mesir pun heboh. 
4 
10 Ibid.,, hlm 18. 
11 Ibid.,, hlm 20.
Dan apada akhirnya pada 14 Juni 1995, “Mahkamah al-Isti’nāf Kairo” menyatakan Abu 
Zayd murtad.12 
Setelah diusir dari Mesir dengan fatwa murtad dan ia menolak untuk mencabut 
keyakinannya kemudian dijatuhkan vonis hukuman mati yang dituntut oleh Majelis Ulama 
al-Azhar kepada pemerintah Mesir, yang kemudian dibuktikan juga dengan dikeluarkannya 
keputusan dari Mahkamah Agung Mesir pada 5 Agustus 1996, yang juga telah menyatakan ia 
murtad, maka kemudian pindah ke Madrid, Spanyol pada 23 Juli 1995, bersama-sama 
dengan istrinya. Sebelum akhirnya menetap di Leiden, Belanda, sejak 2 Oktober 19995 
sampai sekarang (data pada tahun 2008).13 
Hasil karya-karya kritis Nasr seperti Mafhūm al-Naṣ: Dirāsah fī `Ulūm al- 
Qur’ān (Konsep Teks: Studi Ilmu- ilmu Alqur’an), Isykāliyyāt al-Qirā’ah wa Aliyāt al- 
Ta’wīl (Problem Pembacaan dan Metode Interpretasi), Falsafah al-Ta’wīl: Dirāsah fī Ta’wīl 
al-Qur’ān `inda Ibn `Arabī (Filsafat Hermeneutika: Studi Hermeneutika Alqur’an menurut 
Ibn Arabi), al-Imām al-Syāfi’i wa Ta`sīs al-Aidiulujiyyah al-Wasaṭiyyah (Imam Syafi’i dan 
Pembasisan Ideologi Moderatisme), al-Ittijā al-`Aqli fi at-Tafsīr (Rasionalisme dalam 
Tafsir), Naqd al-Khithāb al-Dīnī (Kritik Wacana Agama), dan lain- lain. Karya-karyanya juga 
terbit dalam bahasa Inggris seperti Reformation of Islamic Thought: a Critical Historical 
Analysis; Rethinking the Qur’an: Towards a Humanistic Hermeneutics; dan Voice of an 
Exile: Reflections on Islam. 
5 
C. Teori dan Gagasan Nasr Hamid Abu Zaid 
1. Konsep Wahyu dan Teks Al-Qur’an 
Abu Zaid selalu memulai diskusi tentang tekstualitas al-Q ur’an dengan mengkaji 
perdebatan klasik antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah tentang kata-kata Allah (kalām 
Allāh). Isu ini berkaitan dengan diskusi tentang asal- usul basasa dan ‘ke-tak-terciptaan’ 
al-Qur’an. Abu Zaid menyebutkan dua teori tentang asal-usul bahasa itu. Teori pertama, 
yang didukung oleh Asy’ariyah, mengatakan bahwa bahasa adalah pemberian Tuhan 
kepada manusia, dan bukanlah temuan manusia. Hubungan antara penanda ( signifier) dan 
petanda (signified) ditentukan oleh Tuhan. Hubungan ini bersifat ilahiyah. Dari poin ini, 
disimpulkan bahwa kata-kata Allah tidaklah tercipta, namun merupakan salah satu sifat- 
12 Syamsudin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran,(Jakarta: Gima Insani, 2003), hlm. 168-187. 
13 Ibid.,, hlm. 187-188.
Nya. Asy’ariyah meyakini bahwa al-Q ur’an sebagai kata-kata Allah adalah abadi 
sebagaimana Allah sendiri, dan direkam dalam Tablet Terjaga (Al-Lawh Al-Mahfūzh).14 
Yang kedua adalah teori Mu’tazilah yang beragumen bahwa bahasa adalah 
konvensi manusia, karena ia merefleksikan konvensi sosial tentang hubungan antara 
suara suatu kata dengan maknanya. Bahasa tidaklah merajuk secara langsung kepada 
realitas aktual; namun, realitas dipahami. Dikonseptualisasi, dan disimbolisasi melalui 
suatu sistem suara. Mu’tazilah berpendapat bahwa al-Q ur’an diciptakan dan, dengan 
demikian, tidak abadi. Al-Qur’an diciptakan dalam konteks tertentu dan pesan yang 
dikandungnya haruslah dipahami dalam sinaran konteks itu.15 
Menurut Abu Zaid, pendapat Mu’tazilah tentang hakikat al-Qur’an ini lebih 
sesuai dengan pengertian modern tentang teks yang menganggap semua teks, termasuk 
teks al-Qur’an, sebagai sebuah fenomena historis dan mempunyai konteks spesifikasinya 
sendiri. Alih-alih mengadopsi teori Asy’ariyah, Abu Zaid lebih mendukung teori 
Mu’tazilah. Menurutnya, teori Mu’tazilah tentang asal-usul bahasa dan hubungannya 
dengan teks suci adalah teori yang paling rasional. Teori ini menekankan pada manusia 
sebagai tujuan teks dan sasaran pesan-pesannya.16 
Abu Zaid meyakini bahwa problem pokok hermeneutika al-Qur’an bukanlah 
problem tentang keberagaman interpretasi, namun adanya perbedaan konsep tentang 
hakikat teks, yang pada akhirnya melahirkan keberagaman interpretasi. Keberagaman 
interpretasi secara natural tidak terhindarkan, namun interpretasi itu seharusnya 
didasarkan atas konsep objektif tentang teks.17 
Teks al-Qur’an sebagai pesan berarti masyarakat yang menjadi sasarannya adalah 
seluruh manusia, manusia yang terkait dengan sistem bahasa yang sama dengan teks, dan 
yang terkait dengan peradaban di mana bahasa tersebut dianggap sebagai sentralnya.18 
Kerena itu, penelusuran konsep teks oleh Nasr Hamid ini sesungguhnya bertujuan untuk 
pertama, menulusuri relasi dan kontak sistematis (al-alaqat al-murakkabat) antara teks 
dan kebudayaan yang mempengaruhi pembentukan teks tersebut. Kedua, teks sebagai 
14 Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan …, hlm. 63-64. 
15 Ibid.,, hlm. 64. 
16 Ibid.,, 
17 Ibid.,, hlm. 65. 
18 Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulumul Qur’an, diter. dari Mafhum al- 
6 
Nash Dirasah fi Ullum al-Qur’an oleh Khoirun Nahdliyyin,Cet. I, (Yogyakarta: LKIS, 2001), hlm. 69.
bentuk dan kebudayaan. 19 Pada tujuan yang kedua ini, pembahasan konsep teks 
difokuskan kepada aspek-aspek yang terkait dengan masalah kebudayaan dan tradisi, 
tepatnya masalah historitas, otoritas, otoritas, dan konteks.20 
Kenyataan yang menunjukkan bahwa teks al-Qur’an senantiasa mempunyai 
hubungan dialektika dengan masyarakat Arab di masa pewahyuan merupakan hal nyata 
yang memberikan pengertian bahwa secara tidak langsung teks al-Qur’an dibentuk oleh 
realitas peradaban Arab yang ada di satu sisi, namun di sisi lain juga teks al-Q ur’an 
berperan dalam perombakan peradaban lewat pesan atau konsep-konsep yang ditawarkan 
dari al-Q ur’an itu sendiri. Jadi proses keduanya saling terkait, tidak bisa dipisahkan. Oleh 
karena proses inilah, lalu Nasr Hamid mengatakan bahwa al-Q ur’an merupakan produk 
budaya (muntij al-tsaqāfi). Ide dasar pemikiran tersebut berasumsi bahwa inspirasi al- 
Qur’an adalah Tuhan, akan tetap i ketika memasuki realitas semesta, wahyu tersebut 
tersejarahkan dan termanusiakan oleh “intervensi” budaya dalam bingkai sistem bahasa.21 
7 
2. Teori Interpretasi Teks 
Pembahasan tentang al-Qur-an sebagai sebuah pesan tidak bisa dilepaskan dari 
kesadaran seorang penafsir mengenai al-Qur’an sebagai teks linguistik yang memiliki 
karakteristik sendiri. Menurut Nasr, di dalam makna bahasa terdapat dua dimensi yang 
tampak terlihat kontradiktif, namun sebenarnya saling melengkapi. 22 Gambaran 
penjelasan ini terlihat dalam membedakan antara konsep tafsir dan ta’wil. Tafsir memiliki 
pengertian menyingkap sesuatu yang tersembunyi atau tidak diketahui, yang bisa 
diketahui karena adanya media tafsirah.23 Sedangkan, ta’wil adalah kembali ke asal usul 
sesuatu untuk mengungkapkan ma’nā dan magzā.24 Ma’nā merupakan dalālah (arti) yang 
dibangun berdasarkan gramatikal teks, sehingga makna yang dihasilkan adalah makna-makna 
gramatik (ma’āni al-naḥwi).25 Sedangkan magzā menunjukkan pada makna dalam 
19 Naṣr Hamid Abu Zayd, Mafhūm al-Naṣ: Dirāsāt fi ‘Ulūm al-Qur’ān, (Beirut: Al-Markaz al-Saqafi al- 
‘Arabī, 2000), hlm. 28. 
20 Ibid. 
21 Naṣr Hamid Abu Zayd, Al-Naṣṣ, al-Sulṭat, al-Haqīqat: Al-Fikr al-Dīnī bain Irādat al-Ma’rifat wa Irādat 
al-Haiminat, Bairut: Markaz al-Tsaqafī al-‘Arabī, 1994), hlm. 74. 
22 Naṣr Hamid Abu Zaid, Naqd al-Khiṭāb al-Dīnī (Kairo: Sinā li al-Nasyr, 1992), hlm. 
23 Ibid., hlm. 225. 
24 Ibid.,, hlm. 229. 
25 Ibid.,, hlm. 108.
konteks sosio-historis. 26 Dalam proses penafsiran kedua hal ini saling berhubungan 
dengan kuat, magzā selalu mengikuti ma’nā begitu pula sebaliknya. 
Perbedaan penting kedua hal tersebut tercermin bahwa proses penafsiran selalu 
membutuhkan medium tafsirah, sehingga penafsir dapat menyingkapkan apa yang 
dikehendakinya, sementara dalam proses ta’wil tidak selalu membutuhkan medium 
tafsirah, bahkan kadang-kadang ta’wil didasarkan pada gerak mental –intelektual dalam 
menemukan asal mula “gejala”.27 Hal ini menunjukkan bahwa ta’wil bisa dijalankan atas 
dasar hubungan langsung antara subjek dan objek. Sementara itu tafsir hanya bisa 
dijalankan melalui adanya medium, sehingga proses hubungan antara subjek dan objek 
tidak bersifat langsung. Medium ini berupa teks bahasa atau berupa suatu penanda. 
Penafsiran al-Qur’an sebagai teks bahasa tidak bisa digali hanya dengan 
menganalisis bahasa secara inheren. Bagaimanapun teks al-Qur’an turun bukan dalam 
masyarakat yang sama sekali tidak memiliki budaya. Paling tidak keberadaan asbāb al-nuzūl 
merupakan bukti bahwa teks al-Qur’an telah merespon terhadap kondisi 
masyarakat saat itu. Oleh sebab itu, bagi Nasr persoalan konteks budaya secara luas yang 
saat itu berkembang merupakan persoalan penting yang tidak bisa ditinggalkan. 
Analisis terhadap teks al-Qur’an dan tradisi otentik Nabi SAW. Menurut latar 
belakang konteks yang terjadi saat itu harus dilakukan dalam proses penafsiran. Hal ini 
disebabkan karena pesan Islam tidak memiliki berbagai pengaruh kalau masyaraka t yang 
pertama kali menerima tidak mampu memahami pesan tersebut. Sementara itu, 
masyarakat tersebut hanya bisa memahami pesan dalam konteks sosial-budaya mereka 
sendiri.28 Pandangan seperti ini menyebabkan lahirnya perbedaan pemahaman terhadap 
pesan dalam teks yang dilakukan oleh masyarakat dalam konteks sosial-budaya yang 
berbeda pula. 
Perbedaan konteks dan metode melahirkan pemahaman yang beragam seiring 
dengan perjalanan waktu. Oleh karena itu, pemahaman generasi muslim pertama terhadap 
pesan teks tidak dianggap sebagai pemahaman yang final dan absolut. 29 Bahasa teks al- 
Qur’an pada hakikatnya sama dengan bahasa-bahasa lain. Bahasa selalu mengalami 
26 Nasr Hamid Abu Zayd, Dawāir al-Khaūf (Beirut: Al-Markaz al-Saqafī al-‘Arabī, tth.), hlm. 203. 
27 Ibid.,, hlm. 232. 
28 Nasr Hamid Abu Zayd, Al-Qur’an, Hermeneutik a dan Kek uasaan, terj. Dede Iswadi dkk, (Bandung: 
8 
Korpus, 2003), hlm. 96. 
29 Ibid.,,
perkembangan secara dinamis melalui proses pengkodean secara terus menerus dan tidak 
berakhir. Hal ini berarti teks memiliki makna yang berkembang menjadi signifikasi, atau 
dengan kata lain akan selalu terjadi produksi makna tanpa akhir. Dinamika makna teks 
tersebut membuat kemungkinan-kemungkinan untuk menafsirkan teks itu secara terus-menerus. 
Oleh karena itu, proses interpretasi tidak akan pernah berakhir, dan 
9 
reinterpretasi akan selalu terjadi di sepanjang masa. 
Untuk itu dibutuhkan suatu model analisis yang membedakan pembacaan zaman 
sekarang dengan masa klasik. Masyarakat kontemporer tidak lagi sekedar melakukan 
pembacaan yang bersifat pengulangan-pengulangan, repetitive, namun lebih kepada 
upaya untuk menemukan proggresivitas tradisi secara lebih terbuka. Model analisis 
alternative tersebut bagi Nasr Abu Zaid adalah “metode analisis wacana”. Untuk itu 
Nasr menyatakan: 
(“Suatu tradisi tidaklah akan dapat diperbarui dengan hanya 
(menggunakan pembacaan) yang bersifat pengulangan-pengulangan) dan taqlid 
semata-mata, akan tetapi hanya dapat diperbarui dengan menelaah, mengkaji 
dan menganalisisnya seiring dengan semakin berkembangnya metode-metode 
yang ada. Kemampuan nalar manusia secara epistemologis akan dapat 
menangkap apa yang sebelumnya belum diketahui. 
Selanjutnya ia mengatakan juga: 
(metode yang semakin banyak dan progresif,mengharuskan diadakannya 
pembaharuan dan pembacaan ulang terhadap masa lampau untuk menyingkap 
apa yang dalam tradisi sebelumnya belum mungkin untuk disingkap).30 
Apa yang disampaikan Nasr di atas menunjukkan bahwa interpretasi teks dapat 
dilakukan siapapun yang memiliki kompeten. Meskipun demikian, Nasr memberikan 
catatan penting sebelum penafsir melakukan interpretasi. Beberapa teori kontemporer 
memiliki kecenderungan untuk menekankan aspek internal teks sebagai hubungan-hubungan 
semantis, sehingga melahirkan pembacaan yang terkait (al-qirā’ah gair al-bariah). 
31 Hubungan antara teks dengan pengarang , masa dan realitas yang memproduk 
teks itu sendiri harus dipisahkan. Pembacaan seperti ini mengakibatkan pembacaan 
30 Hilman Lat ief, Nasr Hamid Abu Zaid; Kritik Teks Keagamaan, Yogyakarta: Elsaq Press, 2003), hlm . 
66-67. 
31 Nasr Hamid Abu Zaid, Naqd al…, hlm. 113.
terhadap teks selalu terikat dengan data-data kebahasaan yang terdapat pada teks itu. 
Hubungan antara teks dengan dunia di luar teks diabaikan, padahal kenyataannya teks 
tidak dapat dipisahkan dari faktor-faktor eksternal yang turut mempengaruhi teks. 
Pembacaan terikat atau tidak bebas seperti inilah yang harus ditinggalkan dalam proses 
interpretasi. 
Model pembacaan lain yang harus ditinggalkan oleh penafsir adalah pembacaan 
tendensius (al-qirā’ah al-mugridah). 32 Pembacaan tendensius adalah pembacaan teks 
yang dilakukan sesuai dengan ideologi yang dianut oleh penafsir. 33 Pembacaan 
tendensius merupakan pembacaan yang dilakukan atas dasar kepentingan, sehingga hasil 
yang dicapai akan selalu bersifat subjektif. Hal ini karena sejak awal penafsir memiliki 
kepentingan dan berusaha agar hasil interpretasinya berbicara sesuai yang diinginkannya. 
Oleh karena itu, sebelum melakukan interpretasi penafsir harus menanggalkan segala 
macam horizon subjektif yang beredar di otaknya. 
Memang harus disadari bahwa untuk melepaskan diri dari ideologi- ideologi yang 
ada pada diri penafsir bukan persoalan mudah. Dalam hal ini Nasr membuat pemisahan 
dua dimensi. Makna dalam teks, yaitu antara dalālah dan magzā. Pembedaan antara 
dalālah dan magzā harus menjadi tuntutan utama agar metodologi interpretasi teks tidak 
tunduk pada ideologi pengkaji secara serampangan dan vulgar. 34 Secara tegas Nasr 
menolak kegiatan interaksi dengan teks dan interpretasi terhadapnya dengan landasan 
opotunistik-pragmatis, karena interaksi dan interpretasi seperti itu dianggap mengabaikan 
gerak teks (harakah al-naṣṣ) dalam konteks historis dan mengingkari data-data yang 
memungkinkan untuk membantu mengungkap makna teks. 
Aktivitas intelektual pada umumnya dan tindakan pembacaan khususnya 
bertujuan untuk menyingkap fakta- fakta tertentu dari tataran-tataran eksistensi di liar 
horizon subjek yang membaca. Apabila horizon pembaca membatasi sudut pandangnya, 
maka data-data teks tidak berposisi sebagai penerima pasif terhadap orientasi-orientasi 
subjek.35 Ini berarti pembacaan dan aktifitas intelektual yang benar itu didasarkan pada 
dialektika antara subjek dan objek. Berbeda dengan ini, pembacaan tendensius hanya 
10 
32 Ibid.,, 
33 Ibid.,, hlm. 114. 
34 Ibid.,, 
35 Ibid.,, 115.
akan menghasilkan ideologi. Kecenderungan subjektifitas oportunistik pada akhirnya 
akan melahirkan klaim bahwa pembaca mampu menemukan makna, padahal makna yang 
dihasilkan itu sebenarnya adalah makna yang diinginkan sebelum melakukan pembacaan. 
Dalam rangka menanggapi problem diatas, Nasr menawarkan model pembacaan 
yang disebut al-qirā’ah al-muntijah (pembacaan produktif). Al-qirā’ah al-muntijah yang 
ditawarkan Nasr sebenarnya kembali masuk dalam diskusi tentang hubungan antara 
ma’nā dan magzā, tapi dalam hal ini Nasr menggunakandialektika antara istilah dalālah 
dan magzā. Di sini Nasr terlihat tidak konsisten dalam menggunakan istilah, terkadang 
menggunkan distingsi magzā dan dalālah, tapi terkadang menggunakan distingsi magzā 
dan ma’nā. pada dasarnya dalālah dan magzā merupakan dua bentuk yang digunakan 
untuk satu pekerjaan. Magzā tidak bisa dilepaskan dari sentuhan dalālah, sebab 
dalalahlah yang mengantarkan magzā sampai pada ma’na yang paling jauh.36 Sementara 
itu, untuk mengungkap ma’na dalalah harus melalui media al-tafsirah (denotatum/tanda). 
Dengan demikian, al-qirā’ah al-muntijah berangkat dari analisis tanda bahasa untuk 
memperoleh makna tekstual, setelah itu kembali ke asal atau dihubungkan dengan makna 
konteks sosio-historis untuk memperoleh magzā. 
11 
3. Level-level Konteks 
Struktur teks dan produksi makna teks bagi Nasr tidak bisa dilepaskan dari 
persoalan al-siyāq (konteks). Termasuk dalam hal ini teks al-Qur’an, membawa level-level 
konteksnya sendiri, yang harus dipertimbangkan oleh interpreter. Menurut Abu 
Zaid, ada lima level konteks dari sebuah teks, diantaranya adalah:37 
1. Konteks sosio-kultural (al-siyāq al-saqafī al-ijtimā’i) yang terdiri dari aturan sosio 
dan kultural, dengan semua konvensi, adat kebiasaan, dan tradisinya yang 
terekspresikan dalam bahasa teks itu. Bahasa mengandung aturan-aturan 
konvensional kolektif yang bersandar pada kerangka kultural. Teks sebagai sebuah 
pesan ditujukan kepada masyarakat yang sebelumnya telah mempunyai 
kebudayaannya sendiri dan konsepsi-konsepsi mental dan kepercayaan-kepercayaan 
kulturalnya sendiri. Dalam rangka inilah, Abu Zaid mengusulkan proposisi 
36 Ibid.,, hlm. 144. 
37 Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan…, hlm. 90-93
fundamentalnya bahwa al-Q ur’an adalah sebuah produk budaya dan bahwa ia 
haruslah dipahami dalam sosio-kulturalnya. 
2. Konteks eksternal (al-siyāq al-khariji), yakni konteks percakapan (siyāq al-takhathub) 
yang diekspresikan dalam struktur bahasa (bunyah lughawiyyah) suatu 
teks. Konteks percakapan berkaitan dengan hubungan antara pembicara atau pengirim 
pesan dan patner bicara atau penerima pesan, yang mendefinisikan karakteristik teks 
pada satu sisi, dan otoritas tafsir dan interpretasi pada sisi lain. Dalam konteks 
hermeneutika al-Q ur’an, Abu Zaid juga menyebut konteks ini dengan “konteks 
pewahyuan” (siyāq al-tanzīl) berdasarkan dua fakta: pertama, teks (al-Qur’an) 
diwahyukan secara berangsur-angsur selama lebih dari 22 tahun, yang masing-masing 
bagian mempunyai konteksnya sendiri. Kedua, variasi dalam level suasana pewacana 
pertama, Muhammad SAW, yang dengan sendirinya berada dalam ruang psikologi 
yang berubah-ubah, seperti senang, marah, sedih, kecewa dan tidak menutup 
kemungkinan pula adanya pengaruh dari orang yang diajak bicara, baik sahabat, 
khususnya istri-istri Nabi. 
3. Konteks internal (al-siyāq al-dakhīli) yang berkaitan dengan “ketakintegralan” 
struktur teks dan pluralitas level wacananya. Struktur teks, menurut Abu Zaid, 
tidaklah integral. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan antara urutan teks 
(tartīb al-ajza) dan urutan pewahyuan (tartīb al-nuzūl). Lebih dari itu, teks al-Qur’an 
pada hakekatnya bersifat plural, dan tidak mungkin untuk memahaminya kecuali 
dengan mempertimbangkan level spesifikasinya. Seorang pembaca haruslah 
mengenali level wacana yang dihadapinya. Wacana cerita (siyāq al-qiṣṣah), misalnya, 
berbeda dalam pengertian dan penekanan dari wacana hiburan dan intimidasi (al-targhīb 
wa tarhīb), debat dan konteks (al-jadāl wa al-sijāl), janji dan ancaman (al-wa’d 
12 
wa al-wa’id), dan lain-lain. 
4. Konteks linguistik yang tidak hanya berkaitan dengan elemen-elemen suatu kalimat, 
atau korelasi antar kalimat (nazm), atau berkaitan dengan perluasan figuratif atau 
majaz-ifikasi (tajāwuz) dalam arti bentuk-bentuk gramatikal dan style, namun juga 
berkaitan dengan signifikansi yang implisit atau “yang tak terkatakan” di dalam 
struktur wacana. Analisis teks melalui tanda-tanda linguistik haruslah mengungkap 
“yang tak terkatakan” dengan melampaui kata-kata dengan masuk dalam struktur
kultural teks. Hal ini disebabkan karena bahasa adalah kristalisasi budaya dan 
merupakan bagian integral darinya. Misalnya, sūrah Jinn yang mempresentasikan 
bahwa Jinn memang ada adalah bahwa al-Qur’an menggunakan kepercayaan kultural 
atau yang disebut Abu Zaid dengan “konsep mental”, yang ada dalam budaya Arab 
pra-Islam. 
5. Konteks pembacaan (siyāq al-qirā’ah). Proses pembacaan, yang pada hakekatnya 
adalah sebuah dekonstruksi kode (fakk al-syifrah), bukanlah konteks eksternal 
pelengkap yang disandarkan kepada teks. Tekstualisasi al-Qur’an terungkap melalui 
tindak pembacaan. 
13 
D. Aplikasi Penafsiran 
1. Riba dan Bunga Bank38 
Kata riba (usūry) telah dipakai dalam wacana Islamis kontemporer di Mesir, 
sebagaimana di negara-negara Islam lainnya sejajar dengan bunga dalam sistem 
perbankan. Pengkiasan hukum (antara riba dan bunga bank) ini menyebabkan para 
Islamis menolak segala bentuk bunga, dan sebagai gantinya mereka berupaya mendirikan 
bank-bank Islam dan lembega- lembaga ekonomi lainnya. Kongres kedua Lembaga Riset 
Islam (Islamic Research Group) Mesir menyatakan dalam salah satu rekomendasinya 
bahwa bunga dari segala bentuk pinjaman, baik untuk konsumsi maupun produksi, adalah 
legal, haram. Jika pinjaman dengan riba berderajat kecil saja haram, apalagi berderajat 
besar. 
Diskusi tentang riba dan bunga di Mesir tentu bukan suatu hal yang baru. Rasyid 
Ridha , misalnya, mengatakan bahwa riba yang dilarang dalam al-Q ur’an adalah riba 
yang oleh Ibnul Qoyyim disebut “riba yang jelas” (riba nasi’ah), dan yang mempunyai 
karakteristik pelipatan yang terus menerus dari utang semula. Menurut Muhammad Sa’id 
Al-‘Asymawi, riba yang disebut dalam al-Q ur’an adalah riba pra-Islam, suatu bentuk 
renta yang mempunyai tingkat bunga sangat tinggi yang sering kali berujung pada 
perbudakan pengutang ketika dia tidak mampu membayarnya. Lagi pula, riba semacam 
ini hanya di Arab belum ada sistem mata uang. Sistem bunga yang ada sekarang tidak ada 
masalah karena tingkat bunga bisa dikontrol oleh pemerintah dan lebih rendah dari sistem 
riba jahiliyah itu. 
38 Ibid.,, hlm. 127-130.
Abu Zaid mengatakan bahwa penggunaan kembali kata riba sebagai padanan riba 
(‘arbah atau fawāid, keuntungan) tidaklah tepat karena riba dalam al-Qur’an adalah riba 
pra-Islam. Abu Zaid mengkritik para Islamis karena bersiteguh menggunakan dan 
menghidupkan kembali suatu kata yang menjadi perbendaharaan kata lama, yakni riba. 
Abu Zaid berargumen bahwa penggunaan kata riba sebagai padanan bunga bukanlah 
merupakan ijtihād hukum murni dan objektif, karena tidak ada ijtihād hukum semacam 
itu, namun ini merupakan bagian dari mekanisme wacana keagamaan untuk 
menggantikan hal yang baru dengan yang lama. 
Kaum Islamis selalu mendasarkan diri atas mekanisme analogi hukum (al-qiyās 
al-fiqhi) yang mengarah, baik kepada pengharaman atau penghalalan. Sementara itu, 
hukum berdasarkan atas alasan-alasan legal yang dengannya ijtihad menemukan adanya 
pengharaman riba. Namun, dalam pandangan Abu Zaid, sistem perbankan, termasuk 
bunga, tidaklah terkait dengan riba, namun ia memberikan keuntungan kepada depositor. 
Tidak ada hubungan antara sistem perbakan modern dan riba pra-Islam yang dilarang 
Allah dalam al-Qur’an. Disini, menurut Abu Zaid, konsep riba memiliki level pertama 
makna pesan, yakni konsep yang harus dianggap sebagai bukti sejarah yang tidak dapat 
diinterpretasikan secara metaforis. 
14 
2. Hak Waris Perempuan39 
Abu Zaid kemudian beralih menganalisis konteks sosio- historis posisi perempuan 
dalam masyarakat pra-Islam. Petanda dari sebagian besar hukum Islam yang berkaitan 
dengan perempuan, dan juga signifikansinya, tidak bisa diungkap tanpa 
mempertimbangkan kebudayaan Arab pra-Islam. Dalam kebudayaan Arab pra-Islam, 
perempuan tidak mempunyai hak untuk memiliki. Karena tidak produktif, perempuan 
(dan juga anak-anak kecil) tidak mendapatkan warisan; bahkan sebaliknya, mereka dapat 
diwariskan laiknya harta warisan. Aturan standarnya terkait dengan masalah 
produktivitas ekonomi, sebagaimana yang mereka katakan: “kita tidak memberikan 
warisan kepada seseorang yang tidak bisa menunggang kuda, tidak kelelahan dan tidak 
melukai musush”. Ini mengekspresikan sebuah kebudayaan yang menganggap 
peperangan sebagai salah satu jalan, bukan hanya untuk mendapatkan kekuasaan tetapi 
juga harta kekayaan (yang berupa rampasan perang dan budak tawanan). Dalam konteks 
39 Ibid.,, 144-149.
kebudayaan semacam ini, al-Qur’an manyatakan bahwa perempuan mendapatkan 
warisan setengah dari bagian laki- laki, dan bahkan mereka mempunyai hak untuk 
mendapatkan kalalah. 
Berdasarkan atas sebuah prinsip hukum Islam: “hukum berubah berdasarkan atas 
ada, atau tidak adanya, alasan-alasan legal (al-hukmu yaruddu ma’a al-‘illah wujudan wa 
‘adaman), konteks dan alasan legal dari hak perempuan untuk mendapatkan warisan telah 
berubah. Pada masa Nabi, secara ekonomi, perempuan tidak produktif, sementara pada 
masa sekarang perempuan rata-rata secara ekonomi produktif. Jadi, hukum dalam hal ini 
haruslah berubah. 
Bagian waris perempuan ditetapkan sebagai bagian yang ditetapkan Allah 
(farīdhah min Allah) yang tidak seorang pun diperbolehkan menguranginya. Dari sini, 
Abu Zaid beralih kepada argumen lain, yang mendukung argumen pertama (tentang 
alasan produktivitas perempuan). Analisis lain dari frase “bagi laki-laki bagian yang 
sebanding dengan bagian dua perempuan”, adalah bahwa teks menekankan pada bagian 
laki- laki dulu baru kemudian bagian perempuan. Ini menunjukkan bahwa al-Q ur’an 
membatasi bagian laki- laki ketimbang bagian perempuan “sebanding dengan bagian dua 
perempuan”. Namun, bagian perempuan ini sebenarnya merupakan bagian minimum, 
bukan maksimum. Ini berarti bahwa laki- laki dapat memperoleh lebih rendah ketimbang 
bagian yang seharusnya dia terima, dan perempuan dapat menerima lebih banyak dari 
bagian yang seharusnya mereka terima berdasarkan kesepakatan. Dengan 
mempertimbangkan “arah teks”, perempuan haruslah mendapatkan bagian waris yang 
sebanding dengan laki- laki. Dalam hal ini, Abu Zaid mengkaji hukum pewarisan dalam 
konteks level makna ketiga, yang harus diungkap signifikansi pesannya. 
15 
3. Poligami40 
Poligami dalam wacana Alquran mempunyai level makna ketiga, di mana 
pemahamannya haruslah melampaui makna historisnya dengan menguak signifikansi 
masa kininya dan mampu menguak dimensi yang tak terkatakan dari suatu pesan. Dalam 
masalah poligami, Abu Zayd berargumentasi sebagai berikut: 
 Kesadaran akan historisitas teks keagamaan adalah teks linguistik dan bahasa sebagai 
produk sosial dan kultural. 
40 Ibid.,, hlm. 138-143.
 meletakkan teks dalam konteks Alquran secara keseluruhan terhadap konsep adil. 
Dengan melakukan ini, Abu Zaid berharap bahwa “yang tak terkatakan” atau yang 
implisit dapat diungkapkan. 
 Poligami dibolehkan dalam Alquran pada hakikatnya adalah sebuah pembatasan dari 
16 
poligami yang tak terbatas yang telah dipraktikan sebelum datangnya Islam. 
No. Makna /Dilalah Signifikansi/magza 
Yang tak 
terkatakan 
Poligami Praktik poligami 
pra-islam : 
poligami tidak 
terbatas 
Islam 
membatasi 
poligami 
empat istri 
secara adil 
Sikap adil dalam 
poligami tidak 
mungkin: 
monogami 
ditekankan 
Tujuan akhir legislasi 
Islam: monogami 
Poligami 
dilarang
17 
Kesimpulan 
Metodologi Tafsir al-Qur`an dibangun di atas prinsip tektualitas al-Qur`an, bahwa obyek 
utama kajian al-Qur`an adalah teks kebahasaan. Dengan prinsip dasar tersebut, studi al-Qur`an 
harus dikaitan dengan ilmu bahasa (linguistik) dan kritik sastra. Selain pendekatan tekstual, studi 
al-Qur`an juga menggunakan pendekatan histors kritis. Bagaimanapun teks al-Qur’an turun 
bukan dalam masyarakat yang sama sekali tidak memiliki budaya. Menurut latar belakang 
kontekstual yang terjadi saat itu harus dilakukan dalam proses penafsiran. Al-Quran berinteraksi 
dengan akal (untuk dipahami) dan kemudian al-Quran terbentuk dengan budaya Arab, oleh 
karena itu Nasr Hamid Abu Zaid berpendapat bahwa al-Quran adalah produk budaya. Nasr 
Hamid juga berpendapat bahwa teks-teks keagamaan adalah teks-teks bahasa yang 
kedudukannya sama dengan yang lain dalam kebudayaan manusia. 
Nasr Hamid Abu Zaid menawarkan hermeneutika sebagai paradigma takwil. Pembacaan 
teks melampaui dua dunia, dunia author, penulis dan interpreter. Pembacaan teks tidak hanya 
berhenti pada yang terkatakan dalam teks, makna asal, tetapi sampai pada signifikansi/magzā, 
makna yang tidak terkatakan. Takwil adalah suatu upanya kembali pada asal usul sesuatu. Hal itu 
dimaksudkan untuk mengungkapkan makna dan signifikansinya. Sederhananya Nasr Hamid Abu 
Zaid menafsirkan al-Qur’an dengan apa pesan yang terkandung yang tidak terlihat secara dzhohir 
melainkan dengan kajian yang lebih mendalam. Nasr Hamid Abu Zaid juga menekankan analisis 
beberapa konteks dan hubungan masing-masing dalam proses penafsiran. Beberapa konteks 
tersebut adalah Konteks sosio-kultural (al-siyāq al-saqafī al-ijtimā’i), Konteks eksternal (al-siyāq 
al-khariji), Konteks internal (al-siyāq al-dakhili), Konteks linguistik, Konteks pembacaan 
(siyāq al-qirā’ah).
18 
Daftar Pustaka 
Latief, Hilman, Nasr Hamid Abu Zaid; Kritik Teks Keagamaan, Yogyakarta: Elsaq Press, 2003). 
E. Sumaryono, Hermenautik sebuah Metode filsafat, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 
1999. 
Kurdi, dkk, Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis , Yogyakarta: Elsaq Press, 2010. 
Ichwan, Moch. Nur, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an: Teori Hermeneutika Nasr Abu 
Zayd, Jakarta: Teraju, 2003. 
Arif, Syamsudin, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gima Insani, 2003. 
Zaid, Nasr Hamid Abu, Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulumul Qur’an, diter. dari 
Mafhum al-Nash Dirasah fi Ullum al-Qur’an oleh Khoirun Nahdliyyin,Cet. I, 
Yogyakarta: LKIS, 2001. 
______, Al-Qur’an, Hermeneutika dan Kekuasaan, terj. Dede Iswadi dkk, Bandung: Korpus, 
2003. 
______,Al-Naṣṣ, al-Sulṭat, al-Haqīqat: Al-Fikr al-Dīnī bain Irādat al-Ma’rifat wa Irādat al- 
Haiminat, Bairut: Markaz al-Tsaqafī al-‘Arabī, 1994. 
______, Dawāir al-Khauf , Beirut: Al-Markaz al-Saqāfi al-‘Arabī, tth. 
______,Mafhūm al-Nāṣ: Dirāsat fi ‘Ulūm al-Qur’an, Beirut: Al-Markaz al-Saqāfi al-‘Arabī, 
2000. 
______, Naqd al-Khiṭāb al-Dīnī, Kairo: Sinā li al-Nasyr, 1992.

More Related Content

What's hot

Penelitian kualitatif dan kuantitatif
Penelitian kualitatif dan kuantitatifPenelitian kualitatif dan kuantitatif
Penelitian kualitatif dan kuantitatif
Siti Sahati
 
Teori sosiologi: Paradigma Fakta Sosial dan Defenisi Sosial
Teori sosiologi: Paradigma Fakta Sosial dan Defenisi SosialTeori sosiologi: Paradigma Fakta Sosial dan Defenisi Sosial
Teori sosiologi: Paradigma Fakta Sosial dan Defenisi Sosial
Yaser Lopekabausirah
 
Metode Penelitian Kuantitatif
Metode Penelitian KuantitatifMetode Penelitian Kuantitatif
Metode Penelitian Kuantitatif
Siti Sahati
 
RANCANGAN TUGAS MAHASISWA
RANCANGAN TUGAS MAHASISWARANCANGAN TUGAS MAHASISWA
RANCANGAN TUGAS MAHASISWA
Universitas Nahdlatul Wathan Mataram
 
Filsafat Ilmu
Filsafat IlmuFilsafat Ilmu
Filsafat Ilmu
tianachris
 
Bab 1.c. karakteristik atau partikularisme dan eksklusifisme kelompok
Bab 1.c. karakteristik atau partikularisme dan eksklusifisme kelompokBab 1.c. karakteristik atau partikularisme dan eksklusifisme kelompok
Bab 1.c. karakteristik atau partikularisme dan eksklusifisme kelompok
BudionoDrs
 
konseptualisasi penelitian
konseptualisasi penelitiankonseptualisasi penelitian
konseptualisasi penelitian
SMTI Pontianak
 
Contoh Ppt Seminar Proposal
Contoh Ppt Seminar ProposalContoh Ppt Seminar Proposal
Contoh Ppt Seminar Proposal
Agung Agung
 
Makalah manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial
Makalah manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosialMakalah manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial
Makalah manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial
Dini Nur Hanifah
 
Populasi dan Sampel Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif (Anantyo Bimosuseno...
Populasi dan Sampel Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif (Anantyo Bimosuseno...Populasi dan Sampel Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif (Anantyo Bimosuseno...
Populasi dan Sampel Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif (Anantyo Bimosuseno...
Maulana Husada
 
Materi 011-penelitian-kuantitatif-dan-kualitatif
Materi 011-penelitian-kuantitatif-dan-kualitatifMateri 011-penelitian-kuantitatif-dan-kualitatif
Materi 011-penelitian-kuantitatif-dan-kualitatif
KuliahMandiri.org
 
Slide ppt proposal Metode Kualitatif
Slide ppt proposal Metode Kualitatif Slide ppt proposal Metode Kualitatif
Slide ppt proposal Metode Kualitatif
Rohayatiiyoh
 
Filsafat Ilmu : Ontologi
Filsafat Ilmu : OntologiFilsafat Ilmu : Ontologi
Filsafat Ilmu : OntologiHosyatul Aliyah
 
Penelitian Studi Kasus
Penelitian Studi KasusPenelitian Studi Kasus
Penelitian Studi Kasus
Universitas Pendidikan Indonesia
 
Bangsa dan Negara (New) - Djoko Aw
Bangsa dan Negara (New) - Djoko AwBangsa dan Negara (New) - Djoko Aw
Bangsa dan Negara (New) - Djoko Aw
Kafe Buku Pak Aw
 
Penerapan filsafat eksistensialisme dalam komponen pendidikan
Penerapan filsafat eksistensialisme dalam komponen pendidikanPenerapan filsafat eksistensialisme dalam komponen pendidikan
Penerapan filsafat eksistensialisme dalam komponen pendidikannirtaaldi
 
Filsafat Umum - Epistemologi
Filsafat Umum - EpistemologiFilsafat Umum - Epistemologi
Filsafat Umum - Epistemologi
Wulandari Rima Kumari
 

What's hot (20)

Penelitian kualitatif dan kuantitatif
Penelitian kualitatif dan kuantitatifPenelitian kualitatif dan kuantitatif
Penelitian kualitatif dan kuantitatif
 
Presentasi Jurnal
Presentasi JurnalPresentasi Jurnal
Presentasi Jurnal
 
Teori sosiologi: Paradigma Fakta Sosial dan Defenisi Sosial
Teori sosiologi: Paradigma Fakta Sosial dan Defenisi SosialTeori sosiologi: Paradigma Fakta Sosial dan Defenisi Sosial
Teori sosiologi: Paradigma Fakta Sosial dan Defenisi Sosial
 
penelitian kuantitatif (keabsahan data)
penelitian kuantitatif (keabsahan data)penelitian kuantitatif (keabsahan data)
penelitian kuantitatif (keabsahan data)
 
Metode Penelitian Kuantitatif
Metode Penelitian KuantitatifMetode Penelitian Kuantitatif
Metode Penelitian Kuantitatif
 
RANCANGAN TUGAS MAHASISWA
RANCANGAN TUGAS MAHASISWARANCANGAN TUGAS MAHASISWA
RANCANGAN TUGAS MAHASISWA
 
Filsafat Ilmu
Filsafat IlmuFilsafat Ilmu
Filsafat Ilmu
 
Bab 1.c. karakteristik atau partikularisme dan eksklusifisme kelompok
Bab 1.c. karakteristik atau partikularisme dan eksklusifisme kelompokBab 1.c. karakteristik atau partikularisme dan eksklusifisme kelompok
Bab 1.c. karakteristik atau partikularisme dan eksklusifisme kelompok
 
konseptualisasi penelitian
konseptualisasi penelitiankonseptualisasi penelitian
konseptualisasi penelitian
 
Contoh Ppt Seminar Proposal
Contoh Ppt Seminar ProposalContoh Ppt Seminar Proposal
Contoh Ppt Seminar Proposal
 
Makalah manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial
Makalah manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosialMakalah manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial
Makalah manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial
 
Populasi dan Sampel Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif (Anantyo Bimosuseno...
Populasi dan Sampel Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif (Anantyo Bimosuseno...Populasi dan Sampel Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif (Anantyo Bimosuseno...
Populasi dan Sampel Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif (Anantyo Bimosuseno...
 
Materi 011-penelitian-kuantitatif-dan-kualitatif
Materi 011-penelitian-kuantitatif-dan-kualitatifMateri 011-penelitian-kuantitatif-dan-kualitatif
Materi 011-penelitian-kuantitatif-dan-kualitatif
 
Slide ppt proposal Metode Kualitatif
Slide ppt proposal Metode Kualitatif Slide ppt proposal Metode Kualitatif
Slide ppt proposal Metode Kualitatif
 
Filsafat Ilmu : Ontologi
Filsafat Ilmu : OntologiFilsafat Ilmu : Ontologi
Filsafat Ilmu : Ontologi
 
Konsep dan variabel
Konsep dan variabelKonsep dan variabel
Konsep dan variabel
 
Penelitian Studi Kasus
Penelitian Studi KasusPenelitian Studi Kasus
Penelitian Studi Kasus
 
Bangsa dan Negara (New) - Djoko Aw
Bangsa dan Negara (New) - Djoko AwBangsa dan Negara (New) - Djoko Aw
Bangsa dan Negara (New) - Djoko Aw
 
Penerapan filsafat eksistensialisme dalam komponen pendidikan
Penerapan filsafat eksistensialisme dalam komponen pendidikanPenerapan filsafat eksistensialisme dalam komponen pendidikan
Penerapan filsafat eksistensialisme dalam komponen pendidikan
 
Filsafat Umum - Epistemologi
Filsafat Umum - EpistemologiFilsafat Umum - Epistemologi
Filsafat Umum - Epistemologi
 

Similar to Teori dan Gagasan Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid

Review tafsir al manar
Review tafsir al manarReview tafsir al manar
Review tafsir al manar
Dodyk Fallen
 
Nama lengkapnya adalah syed muhammad naquib ibn ali ibn abdullah ibn muhsin al
Nama lengkapnya adalah syed muhammad naquib ibn ali ibn abdullah ibn muhsin alNama lengkapnya adalah syed muhammad naquib ibn ali ibn abdullah ibn muhsin al
Nama lengkapnya adalah syed muhammad naquib ibn ali ibn abdullah ibn muhsin al
Aulia Kindy
 
Manhaj Tafsir Al-Azhar.doc
Manhaj Tafsir Al-Azhar.docManhaj Tafsir Al-Azhar.doc
Manhaj Tafsir Al-Azhar.doc
Rahmat Hidayat
 
Biodata
BiodataBiodata
SII KEL.5.pptx
SII KEL.5.pptxSII KEL.5.pptx
SII KEL.5.pptx
RezzaAnandaSyafrizal
 
Nu persis
Nu   persisNu   persis
Nu persis
iwan Alit
 
PANDANGAN IGNAZ_GOLDZIHER TERHADAP AL QUR'AN_KUSYADI.docx
PANDANGAN IGNAZ_GOLDZIHER TERHADAP AL QUR'AN_KUSYADI.docxPANDANGAN IGNAZ_GOLDZIHER TERHADAP AL QUR'AN_KUSYADI.docx
PANDANGAN IGNAZ_GOLDZIHER TERHADAP AL QUR'AN_KUSYADI.docx
AliDani5
 
Seyyed hosein nasr
Seyyed hosein nasrSeyyed hosein nasr
Seyyed hosein nasr
Ltfltf
 
laporan Hp sosial-pdf
laporan Hp sosial-pdflaporan Hp sosial-pdf
laporan Hp sosial-pdf
shafirahmalek
 
Literatur Tafsir Nusantara Muh amin Yalinawa.pptx
Literatur Tafsir Nusantara Muh amin Yalinawa.pptxLiteratur Tafsir Nusantara Muh amin Yalinawa.pptx
Literatur Tafsir Nusantara Muh amin Yalinawa.pptx
AminYalinawa
 
Hukum Keluarga dalam Tafsir Adhwa' al-Bayan
Hukum Keluarga dalam Tafsir Adhwa' al-BayanHukum Keluarga dalam Tafsir Adhwa' al-Bayan
Hukum Keluarga dalam Tafsir Adhwa' al-BayanMuhammad Nashiruddin
 
konsep pendidikan ibnu rusyd (f).docx
konsep pendidikan ibnu rusyd (f).docxkonsep pendidikan ibnu rusyd (f).docx
konsep pendidikan ibnu rusyd (f).docx
UkhyAverroes
 
Kel 8
Kel 8Kel 8
Kel 8
Bung Ri
 
Mengenal Kitab Al Umm - Imam Syafie
Mengenal Kitab Al Umm - Imam SyafieMengenal Kitab Al Umm - Imam Syafie
Mengenal Kitab Al Umm - Imam Syafie
Gua Syed Al Yahya
 
Perjuangan Hasan al bana
Perjuangan Hasan al banaPerjuangan Hasan al bana
Perjuangan Hasan al bana
Muzani Ghifari
 
Kel 9
Kel 9Kel 9
Kel 9
Bung Ri
 
Tafsir Quran Karim Karya Mahmud Yunus pdf
Tafsir Quran Karim Karya Mahmud Yunus pdfTafsir Quran Karim Karya Mahmud Yunus pdf
Tafsir Quran Karim Karya Mahmud Yunus pdf
RulHas SulTra
 
MAKALAH KLM 4 SEJARAH ISLAM MODERN (1).pdf
MAKALAH KLM 4 SEJARAH ISLAM MODERN (1).pdfMAKALAH KLM 4 SEJARAH ISLAM MODERN (1).pdf
MAKALAH KLM 4 SEJARAH ISLAM MODERN (1).pdf
NovyNovitaSari
 
PEMIKIRAN ISLAM SEMASA - TOKOH HAMKA
PEMIKIRAN ISLAM SEMASA - TOKOH HAMKAPEMIKIRAN ISLAM SEMASA - TOKOH HAMKA
PEMIKIRAN ISLAM SEMASA - TOKOH HAMKA
IZZATIZULKEFLI1
 

Similar to Teori dan Gagasan Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid (20)

Review tafsir al manar
Review tafsir al manarReview tafsir al manar
Review tafsir al manar
 
Nama lengkapnya adalah syed muhammad naquib ibn ali ibn abdullah ibn muhsin al
Nama lengkapnya adalah syed muhammad naquib ibn ali ibn abdullah ibn muhsin alNama lengkapnya adalah syed muhammad naquib ibn ali ibn abdullah ibn muhsin al
Nama lengkapnya adalah syed muhammad naquib ibn ali ibn abdullah ibn muhsin al
 
Manhaj Tafsir Al-Azhar.doc
Manhaj Tafsir Al-Azhar.docManhaj Tafsir Al-Azhar.doc
Manhaj Tafsir Al-Azhar.doc
 
Biodata
BiodataBiodata
Biodata
 
SII KEL.5.pptx
SII KEL.5.pptxSII KEL.5.pptx
SII KEL.5.pptx
 
Nu persis
Nu   persisNu   persis
Nu persis
 
PANDANGAN IGNAZ_GOLDZIHER TERHADAP AL QUR'AN_KUSYADI.docx
PANDANGAN IGNAZ_GOLDZIHER TERHADAP AL QUR'AN_KUSYADI.docxPANDANGAN IGNAZ_GOLDZIHER TERHADAP AL QUR'AN_KUSYADI.docx
PANDANGAN IGNAZ_GOLDZIHER TERHADAP AL QUR'AN_KUSYADI.docx
 
Seyyed hosein nasr
Seyyed hosein nasrSeyyed hosein nasr
Seyyed hosein nasr
 
laporan Hp sosial-pdf
laporan Hp sosial-pdflaporan Hp sosial-pdf
laporan Hp sosial-pdf
 
Literatur Tafsir Nusantara Muh amin Yalinawa.pptx
Literatur Tafsir Nusantara Muh amin Yalinawa.pptxLiteratur Tafsir Nusantara Muh amin Yalinawa.pptx
Literatur Tafsir Nusantara Muh amin Yalinawa.pptx
 
Hukum Keluarga dalam Tafsir Adhwa' al-Bayan
Hukum Keluarga dalam Tafsir Adhwa' al-BayanHukum Keluarga dalam Tafsir Adhwa' al-Bayan
Hukum Keluarga dalam Tafsir Adhwa' al-Bayan
 
konsep pendidikan ibnu rusyd (f).docx
konsep pendidikan ibnu rusyd (f).docxkonsep pendidikan ibnu rusyd (f).docx
konsep pendidikan ibnu rusyd (f).docx
 
13 26-1-pb
13 26-1-pb13 26-1-pb
13 26-1-pb
 
Kel 8
Kel 8Kel 8
Kel 8
 
Mengenal Kitab Al Umm - Imam Syafie
Mengenal Kitab Al Umm - Imam SyafieMengenal Kitab Al Umm - Imam Syafie
Mengenal Kitab Al Umm - Imam Syafie
 
Perjuangan Hasan al bana
Perjuangan Hasan al banaPerjuangan Hasan al bana
Perjuangan Hasan al bana
 
Kel 9
Kel 9Kel 9
Kel 9
 
Tafsir Quran Karim Karya Mahmud Yunus pdf
Tafsir Quran Karim Karya Mahmud Yunus pdfTafsir Quran Karim Karya Mahmud Yunus pdf
Tafsir Quran Karim Karya Mahmud Yunus pdf
 
MAKALAH KLM 4 SEJARAH ISLAM MODERN (1).pdf
MAKALAH KLM 4 SEJARAH ISLAM MODERN (1).pdfMAKALAH KLM 4 SEJARAH ISLAM MODERN (1).pdf
MAKALAH KLM 4 SEJARAH ISLAM MODERN (1).pdf
 
PEMIKIRAN ISLAM SEMASA - TOKOH HAMKA
PEMIKIRAN ISLAM SEMASA - TOKOH HAMKAPEMIKIRAN ISLAM SEMASA - TOKOH HAMKA
PEMIKIRAN ISLAM SEMASA - TOKOH HAMKA
 

Recently uploaded

Pendampingan Individu 2 Modul 1 PGP 10 Kab. Sukabumi Jawa Barat
Pendampingan Individu 2 Modul 1 PGP 10 Kab. Sukabumi Jawa BaratPendampingan Individu 2 Modul 1 PGP 10 Kab. Sukabumi Jawa Barat
Pendampingan Individu 2 Modul 1 PGP 10 Kab. Sukabumi Jawa Barat
Eldi Mardiansyah
 
0. PPT Juknis PPDB TK-SD -SMP 2024-2025 Cilacap.pptx
0. PPT Juknis PPDB TK-SD -SMP 2024-2025 Cilacap.pptx0. PPT Juknis PPDB TK-SD -SMP 2024-2025 Cilacap.pptx
0. PPT Juknis PPDB TK-SD -SMP 2024-2025 Cilacap.pptx
Indah106914
 
Laporan Kegiatan Pramuka Tugas Tambahan PMM.pdf
Laporan Kegiatan Pramuka Tugas Tambahan PMM.pdfLaporan Kegiatan Pramuka Tugas Tambahan PMM.pdf
Laporan Kegiatan Pramuka Tugas Tambahan PMM.pdf
UmyHasna1
 
PENGUMUMAN PPDB SMPN 4 PONOROGO TAHUN 2024.pdf
PENGUMUMAN PPDB SMPN 4 PONOROGO TAHUN 2024.pdfPENGUMUMAN PPDB SMPN 4 PONOROGO TAHUN 2024.pdf
PENGUMUMAN PPDB SMPN 4 PONOROGO TAHUN 2024.pdf
smp4prg
 
SOAL SBDP KELAS 3 SEMESTER GENAP TAHUN PELAJARAN 2023 2024
SOAL SBDP KELAS 3 SEMESTER GENAP TAHUN PELAJARAN 2023 2024SOAL SBDP KELAS 3 SEMESTER GENAP TAHUN PELAJARAN 2023 2024
SOAL SBDP KELAS 3 SEMESTER GENAP TAHUN PELAJARAN 2023 2024
ozijaya
 
Penjelasan tentang Tahapan Sinkro PMM.pptx
Penjelasan tentang Tahapan Sinkro PMM.pptxPenjelasan tentang Tahapan Sinkro PMM.pptx
Penjelasan tentang Tahapan Sinkro PMM.pptx
GuneriHollyIrda
 
705368319-Ppt-Aksi-Nyata-Membuat-Rancangan-Pembelajaran-Dengan-Metode-Fonik.pptx
705368319-Ppt-Aksi-Nyata-Membuat-Rancangan-Pembelajaran-Dengan-Metode-Fonik.pptx705368319-Ppt-Aksi-Nyata-Membuat-Rancangan-Pembelajaran-Dengan-Metode-Fonik.pptx
705368319-Ppt-Aksi-Nyata-Membuat-Rancangan-Pembelajaran-Dengan-Metode-Fonik.pptx
nimah111
 
Fundamental Gerakan Pramuka KMD G ok.pptx
Fundamental Gerakan Pramuka KMD G ok.pptxFundamental Gerakan Pramuka KMD G ok.pptx
Fundamental Gerakan Pramuka KMD G ok.pptx
wahtun86siaran
 
Laporan Pembina Pramuka sd format doc.docx
Laporan Pembina Pramuka sd format doc.docxLaporan Pembina Pramuka sd format doc.docx
Laporan Pembina Pramuka sd format doc.docx
RUBEN Mbiliyora
 
SOAL ASAS SENI MUSIK kelas 2 semester 2 kurikulum merdeka
SOAL ASAS SENI MUSIK kelas 2 semester 2 kurikulum merdekaSOAL ASAS SENI MUSIK kelas 2 semester 2 kurikulum merdeka
SOAL ASAS SENI MUSIK kelas 2 semester 2 kurikulum merdeka
NiaTazmia2
 
Refleksi pembelajaran guru bahasa inggris.pptx
Refleksi pembelajaran guru bahasa inggris.pptxRefleksi pembelajaran guru bahasa inggris.pptx
Refleksi pembelajaran guru bahasa inggris.pptx
SholahuddinAslam
 
Modul Ajar IPS Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka
Modul Ajar IPS Kelas 7 Fase D Kurikulum MerdekaModul Ajar IPS Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka
Modul Ajar IPS Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka
Fathan Emran
 
Observasi Praktik Kinerja Kepala Sekolah.pdf
Observasi Praktik Kinerja Kepala Sekolah.pdfObservasi Praktik Kinerja Kepala Sekolah.pdf
Observasi Praktik Kinerja Kepala Sekolah.pdf
andikuswandi67
 
materi sosialisai perencanaan visi misi satuan pendidikan.pptx
materi sosialisai perencanaan visi misi satuan pendidikan.pptxmateri sosialisai perencanaan visi misi satuan pendidikan.pptx
materi sosialisai perencanaan visi misi satuan pendidikan.pptx
srihardiyanty17
 
FORMAT PPT RANGKAIAN PROGRAM KERJA KM 7.pptx
FORMAT PPT RANGKAIAN PROGRAM KERJA KM 7.pptxFORMAT PPT RANGKAIAN PROGRAM KERJA KM 7.pptx
FORMAT PPT RANGKAIAN PROGRAM KERJA KM 7.pptx
NavaldiMalau
 
RANCANGAN TINDAKAN AKSI NYATA MODUL 1.4.pptx
RANCANGAN TINDAKAN AKSI NYATA MODUL 1.4.pptxRANCANGAN TINDAKAN AKSI NYATA MODUL 1.4.pptx
RANCANGAN TINDAKAN AKSI NYATA MODUL 1.4.pptx
SurosoSuroso19
 
Sebuah buku foto yang berjudul Lensa Kampung Ondel-Ondel
Sebuah buku foto yang berjudul Lensa Kampung Ondel-OndelSebuah buku foto yang berjudul Lensa Kampung Ondel-Ondel
Sebuah buku foto yang berjudul Lensa Kampung Ondel-Ondel
ferrydmn1999
 
Komunitas Belajar dalam Sekolah.Mari Melakukan Identifikasi! Apakah kombel Ib...
Komunitas Belajar dalam Sekolah.Mari Melakukan Identifikasi! Apakah kombel Ib...Komunitas Belajar dalam Sekolah.Mari Melakukan Identifikasi! Apakah kombel Ib...
Komunitas Belajar dalam Sekolah.Mari Melakukan Identifikasi! Apakah kombel Ib...
JokoPramono34
 
Aksi Nyata Merdeka Belajar Lolos Validasi
Aksi Nyata Merdeka Belajar Lolos ValidasiAksi Nyata Merdeka Belajar Lolos Validasi
Aksi Nyata Merdeka Belajar Lolos Validasi
DinaSetiawan2
 
ppt materi aliran aliran pendidikan pai 9
ppt materi aliran aliran pendidikan pai 9ppt materi aliran aliran pendidikan pai 9
ppt materi aliran aliran pendidikan pai 9
mohfedri24
 

Recently uploaded (20)

Pendampingan Individu 2 Modul 1 PGP 10 Kab. Sukabumi Jawa Barat
Pendampingan Individu 2 Modul 1 PGP 10 Kab. Sukabumi Jawa BaratPendampingan Individu 2 Modul 1 PGP 10 Kab. Sukabumi Jawa Barat
Pendampingan Individu 2 Modul 1 PGP 10 Kab. Sukabumi Jawa Barat
 
0. PPT Juknis PPDB TK-SD -SMP 2024-2025 Cilacap.pptx
0. PPT Juknis PPDB TK-SD -SMP 2024-2025 Cilacap.pptx0. PPT Juknis PPDB TK-SD -SMP 2024-2025 Cilacap.pptx
0. PPT Juknis PPDB TK-SD -SMP 2024-2025 Cilacap.pptx
 
Laporan Kegiatan Pramuka Tugas Tambahan PMM.pdf
Laporan Kegiatan Pramuka Tugas Tambahan PMM.pdfLaporan Kegiatan Pramuka Tugas Tambahan PMM.pdf
Laporan Kegiatan Pramuka Tugas Tambahan PMM.pdf
 
PENGUMUMAN PPDB SMPN 4 PONOROGO TAHUN 2024.pdf
PENGUMUMAN PPDB SMPN 4 PONOROGO TAHUN 2024.pdfPENGUMUMAN PPDB SMPN 4 PONOROGO TAHUN 2024.pdf
PENGUMUMAN PPDB SMPN 4 PONOROGO TAHUN 2024.pdf
 
SOAL SBDP KELAS 3 SEMESTER GENAP TAHUN PELAJARAN 2023 2024
SOAL SBDP KELAS 3 SEMESTER GENAP TAHUN PELAJARAN 2023 2024SOAL SBDP KELAS 3 SEMESTER GENAP TAHUN PELAJARAN 2023 2024
SOAL SBDP KELAS 3 SEMESTER GENAP TAHUN PELAJARAN 2023 2024
 
Penjelasan tentang Tahapan Sinkro PMM.pptx
Penjelasan tentang Tahapan Sinkro PMM.pptxPenjelasan tentang Tahapan Sinkro PMM.pptx
Penjelasan tentang Tahapan Sinkro PMM.pptx
 
705368319-Ppt-Aksi-Nyata-Membuat-Rancangan-Pembelajaran-Dengan-Metode-Fonik.pptx
705368319-Ppt-Aksi-Nyata-Membuat-Rancangan-Pembelajaran-Dengan-Metode-Fonik.pptx705368319-Ppt-Aksi-Nyata-Membuat-Rancangan-Pembelajaran-Dengan-Metode-Fonik.pptx
705368319-Ppt-Aksi-Nyata-Membuat-Rancangan-Pembelajaran-Dengan-Metode-Fonik.pptx
 
Fundamental Gerakan Pramuka KMD G ok.pptx
Fundamental Gerakan Pramuka KMD G ok.pptxFundamental Gerakan Pramuka KMD G ok.pptx
Fundamental Gerakan Pramuka KMD G ok.pptx
 
Laporan Pembina Pramuka sd format doc.docx
Laporan Pembina Pramuka sd format doc.docxLaporan Pembina Pramuka sd format doc.docx
Laporan Pembina Pramuka sd format doc.docx
 
SOAL ASAS SENI MUSIK kelas 2 semester 2 kurikulum merdeka
SOAL ASAS SENI MUSIK kelas 2 semester 2 kurikulum merdekaSOAL ASAS SENI MUSIK kelas 2 semester 2 kurikulum merdeka
SOAL ASAS SENI MUSIK kelas 2 semester 2 kurikulum merdeka
 
Refleksi pembelajaran guru bahasa inggris.pptx
Refleksi pembelajaran guru bahasa inggris.pptxRefleksi pembelajaran guru bahasa inggris.pptx
Refleksi pembelajaran guru bahasa inggris.pptx
 
Modul Ajar IPS Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka
Modul Ajar IPS Kelas 7 Fase D Kurikulum MerdekaModul Ajar IPS Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka
Modul Ajar IPS Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka
 
Observasi Praktik Kinerja Kepala Sekolah.pdf
Observasi Praktik Kinerja Kepala Sekolah.pdfObservasi Praktik Kinerja Kepala Sekolah.pdf
Observasi Praktik Kinerja Kepala Sekolah.pdf
 
materi sosialisai perencanaan visi misi satuan pendidikan.pptx
materi sosialisai perencanaan visi misi satuan pendidikan.pptxmateri sosialisai perencanaan visi misi satuan pendidikan.pptx
materi sosialisai perencanaan visi misi satuan pendidikan.pptx
 
FORMAT PPT RANGKAIAN PROGRAM KERJA KM 7.pptx
FORMAT PPT RANGKAIAN PROGRAM KERJA KM 7.pptxFORMAT PPT RANGKAIAN PROGRAM KERJA KM 7.pptx
FORMAT PPT RANGKAIAN PROGRAM KERJA KM 7.pptx
 
RANCANGAN TINDAKAN AKSI NYATA MODUL 1.4.pptx
RANCANGAN TINDAKAN AKSI NYATA MODUL 1.4.pptxRANCANGAN TINDAKAN AKSI NYATA MODUL 1.4.pptx
RANCANGAN TINDAKAN AKSI NYATA MODUL 1.4.pptx
 
Sebuah buku foto yang berjudul Lensa Kampung Ondel-Ondel
Sebuah buku foto yang berjudul Lensa Kampung Ondel-OndelSebuah buku foto yang berjudul Lensa Kampung Ondel-Ondel
Sebuah buku foto yang berjudul Lensa Kampung Ondel-Ondel
 
Komunitas Belajar dalam Sekolah.Mari Melakukan Identifikasi! Apakah kombel Ib...
Komunitas Belajar dalam Sekolah.Mari Melakukan Identifikasi! Apakah kombel Ib...Komunitas Belajar dalam Sekolah.Mari Melakukan Identifikasi! Apakah kombel Ib...
Komunitas Belajar dalam Sekolah.Mari Melakukan Identifikasi! Apakah kombel Ib...
 
Aksi Nyata Merdeka Belajar Lolos Validasi
Aksi Nyata Merdeka Belajar Lolos ValidasiAksi Nyata Merdeka Belajar Lolos Validasi
Aksi Nyata Merdeka Belajar Lolos Validasi
 
ppt materi aliran aliran pendidikan pai 9
ppt materi aliran aliran pendidikan pai 9ppt materi aliran aliran pendidikan pai 9
ppt materi aliran aliran pendidikan pai 9
 

Teori dan Gagasan Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid

  • 1. Teori dan Gagasan Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Bahasa Pengampu: Zamzam Afandi, Ph.D Disusun Oleh: Indah Kumalasari NIM: 1320411220 KONSENTRASI PENDIDIKAN BAHASA ARAB PRODI PENDIDIKAN ISLAM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2014
  • 2. 1 A. Pendahuluan Dalam konteks Islam, hermeneutika sebagai sekumpulan metode, teori dan kefilsafatan yang terfokus pada problem pemahaman teks, sebenarnya telah muncul pada masa-masa awal ketika teks al-Qur’an dirasakan sulit dipahami dan problematik, yang dengan demikian harus dijelaskan, diterjemah, dan diinterpretasikan agar dapat dipahami. Problem hermeneutika menjadi semakin rumit setelah Nabi Muhammad SAW wafat karena tidak ada lagi otoritas tunggal untuk menjelaskan al-Qur’an, dan kaum muslimin telah berkenalan dengan berbagai bangsa, kebudayaan, dan peradaban lain. Dalam perjalanan sejarah, para ilmuan muslim menerapkan hermeneutika dalam pengertian yang sejalan dengan perkembangan disiplin ini pada masa mereka masing-masing untuk memahami sebuah teks suci yang mereka imani, al-Qur’an. Dalam perjalanan sejarah pula, perkembangan hermeneutika al-Q ur’an tidak dapat dipisahkan dari perkembangan ilmu- ilmu Islam (utamanya teori hukum Islam (Uṣūl Al-fiqh), filsafat dan sufisme) dan ilmu-ilmu sosial dan humanitas. Oleh karena itu, hermeneutika al-Qur’an tidak hanya termasuk dalam apa yang disebut secara tradisional sebagai ilmu al-Qur’an dan Tafsir. Ia telah menjelma menjadi bidang multi dan interdisipliner. Hakikat interdisipliner dari disiplin ini nampak sangat jelas dalam hermeneutika al-Qur’an kontemporer, di mana penerapan ilmu-ilmu sosial dan humanitas tidak bisa diabaikan. Teori hermeneutika al-Qur’an Nasr Hamid Abu Zaid adalah salah satu contoh yang trend di masa ini. Berdasarkan latar belakang tersebut penulis akan menguraikan sedikit penjelasan tentang biografi Nasr Hamid Abu Zaid, teori, gagasan dan aplikasi penafsirannya. B. Biografi Nasr Hamid Abu Zaid Nasr Hamid Abu Zaid adalah tokoh kontroversial akibat kritik keagamaan yang dilontarkannya di Mesir dan kepada kalangan muslim Sunni. 1 Nasr Hamid di lahirkan di desa Qahafah dekat kota Thantha Mesir pada 10 Juli 1943 dan hidup dalam sebuah keluarga yang religious. Bapaknya adalah seorang aktivis Al-Ikhwān Al-Muslimīn dan pernah dipenjara menyusul dieksekuensinya Sayyid Quthb. Sebagaimana anak-anak Mesir, dia mulai belajar dan menulis, serta kemudian menghafal al-Qur’an di kuttāb ketika dia berusia 1 Kurdi, dkk, Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis , (Yogyakarta: Elsaq Press, 2010), hlm 116.
  • 3. empat tahun. Dan karena kecerdasannya, dia telah menghafal keseluruhan al-Qur’an pada usia delapan tahun, sehingga dia dipanggil “Syaikh Nashr” oleh anak-anak di desanya.2 Ketika Al-Ikhwān Al-Muslimīn menjadi sebuah gerakan yang kuat dan memiliki cabang hampir di setiap desa, dia ikut bergabung dengan gerakan ini pada 1954, pada usia sebelas tahun. Dalam usia yang masih belia seperti ini, sebenarnya dia belum diperkenankan mengikutinya. Tetapi, dia merajuk kepada ketua cabang di desanya untuk memasukkannya dalam gerakan yang dipimpin oleh Sayyid Quthb ini, dan diperkenankan untuk menyenangkan hatinya. Karena namanya tercantum di dalam daftar anggota itulah maka Abu Zaid pun pernah dijebloskan dipenjara selama satu hari dan dilepaskan karena dia masih dibawah umur. Pada saat itu, dia tertarik pada pemikiran Syayyid Quthb dalam bukunya Al- Islām wa Al-‘Adālah Al-Ijtimā’iyyyah (Islam dan Keadilan Sosial), khususnya penekanannya pada keadilan manusiawi dalam menafsirkan Islam. Pada masa remajanya, dia biasa mengumandangkan adzan di masjid dan tak jarang sebagai imam shalat, 3 hal yang biasanya di Mesir dilakukan oleh orang dewasa.4 Abu Zaid menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya di Thantha. Setelah kematian ayahnya, saat berusia empat belas tahun, dia harus bekerja untuk membantu perekonomian keluarganya. Setelah lulus dari Sekolah Teknik Thantha pada 1960, dia bekerja sebagai seorang teknisi elektronik pada Organisasi Komunikasi Nasional di Kairo sampai pada tahun 1972. Minatnya pada kritik sastra tampak dalam tulisan-tulisan awalnya ketika dia berusia 21 yang dipublikasikan pada 1964, di dalam jurnal Al-Adab, jurnal pemimpin Amīn Al-Khūlī. Dua artikel pentingnya saat itu adalah “Hawl Adab Al-‘Ummal wa Al-Fallahin” (tentang Sastra Buruh dan Petani) 5 dan “Azmah Al-Aghniyyah Al- Mishriyyah” (Krisis Lagu Mesir). 6 Dia sangat tertarik kepada sosialisme dan revolusi ketika keduanya menjadi trend dominan di Mesir pada tahun 1960-an. Dan dia mulai mengkritik 2 Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an: Teori Hermeneutika Nasr Abu Zayd , 2 (Jakarta: Teraju, 2003), cet. 1, hlm 15-16. 3 Tampaknya sederhana. Tetapi, berbeda dengan di Indonesia, imam shalat di masjid -masjid Mesir dipersyaratkan untuk hafal al-Qur’an. 4 Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan …, hlm 16. 5 Al-Adab, no. 5, thn. 9, (Oktober 1964), h. 310-11; artikel ini pada awalnya tidak mencantumkan nama penulisnya, namun pada Al-Adab, no. 8, thn. 9 (Januari 1965), editor mengoreksi bahwa penulis artikel itu adalah Nasr Hamid Abu Zayd. Keterangan ini penulis ambil dari Moch. Nur Ichwan, Meretas…, hlm. 16-17. 6 Al-Adab, no. 7 (1964), h. 406-8 dalam Moch. Nur Ichwan, Meretas…, hlm. 17.
  • 4. Al-Ikhwān Al-Muslimīn, kendatipun dia tidak mengekspresikan kritiknya itu dalam tulisan-tulisan awalnya.7 Pada 1968, Abu Zaid mulai studinya di Jurusan Bahasa dan Sastra Arab di Universitas Kairo. Dia masuk siang hari dan siangnya dia tetap bekerja. Dia menyelesaikan studinya pada 1972 dengan predikat cum laude. Setelah itu, dia diangkat sebagai asisten dosen. Karena kebijakan pimpinan pada jurusannya mewajibkan para asisten dosen baru untuk mengambil studi Islam sebagai bidang utama dalam riset Master dan Doktor, dia merubah bidangnya dari murni linguistic dan kritik sastra menjadi studi Islam, khususnya studi al-Qur’an. Abu Zaid sebenarnya enggan untuk mengambil subjek ini, mengingat pengalaman Muhammad Ahmad Khalafallah yang mengalami problem serius karena dia menggunakan studi kritik sastra (literer) atas narasi-narasi al-Qur’an dalam disertasinya. Namun, akhirnya dia menerima keputusan itu. Sejak saat itulah dia melakukan studi tentang al-Qur’an dan problem interpretasi dan hermeneutika.8 Pada 1975, Abu Zaid mendapatkan beasiswa Ford Foundation untuk melakukan studi selama dua tahun di American University di Kairo. Dua tahun kemudian dia meraih gelar MA dengan predikat cum laude dari Jurusan Bahasa dan Sastra Arab Universitas Kairo dengan tesis yang berjudul Al-Ittijāh Al-Aqlī fi Al-Tafsīr: Dirāsah fi Qadhiyyat Al-Majāz fi Al-Qur’an ‘inda Al-Mu’tazillah (Rasionalisme dalam Tafsir: Sebuah Studi tentang Problem Metafor menurut Mu’tazillah), dan dipublikasikan pada 1982. Setelah itu, dia diangkat menjadi dosen.9 Selama periode 1976-1978, Abu Zaid mengajar bahasa Arab untuk orang-orang Asing di Centre for Diplomats dan Kementrian Pendidikan di samping tetap mengajar di Universitas Kairo. Pada 1978 dia menjadi fellow pada Centre for Middle East Studies di Universitas Pensylvania, Philadelphia, Amerika Serikat, di mana dia mempelajari ilmu- ilmu sosial dan humanitas, khususnya teori-teori tentang cerita rakyat (folklore). Pada periode inilah, Abu Zaid menjadi akrab dengan hermeneutika Barat. Dia menulis sebuah artikel “Al- Hirminiyūṭīqā wa mu’dhilat Tafsīr Al-Naṣṣ” (Hermeneutika dan Problem Penafsiran Teks), 3 7 Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan …, hlm 16-17. 8 Ibid.,, hlm 17. 9 Ibid.,, hlm 17-18.
  • 5. yang menurut pengakuannya merupakan artikel pertama tentang hermeneutika yang ditulis dalam bahasa Arab.10 Pada 1981, Abu Zaid meraih gelar PhD-nya dalam bidang studi Islam dan Bahasa Arab dari jurusan yang sama dengan predikat cum laude. Dia menulis disertasi berjudul Falsafah Al-Ta’wīl: Dirāsah fī Ta’wīl Al-Qur’an ‘inda Muhy Al Dīn ibnu ‘Arabī (Filsafat Takwil: Studi Hermeneutika Al-Q ur’an Muhy Al-Din ibnu ‘Arabi) yang dipublikasikan pada 1983. Abu Zaid dipromosikan sebagai asisten professor pada 1982, tahun di mana dia mendapatkan penghargaan ‘Abd Al-‘Azīz Al-Ahwānī untuk Humanitas karena konsernya pada humanitas dan budaya Arab. Selama 1985-1989, dia menjadi seorang professor tamu pada Osaka University of Foreign Studies, Jepang. Pada 1987, ketika dia masih berada di Jepang, dia dipromosikan sebagai Associate Profesor. Periode Jepang tampaknya merupakan fase sangat produktif baginya. Dalam pepriode inilah, Abu Zaid menyelesaikan bukunya Mafhūm Al-Naṣṣ: Dirāsah fī Al-Ulūm Al-Qur’ān (Konsep Teks: Studi tentang Ilmu- ilmu Al-Qur’an) dan menulis artikel-artikel lainnya, yang sebagiannya nanti dipublikasikan dalam Naqd Al- Khithāb Al-Dīnī (Kritik atas Wacana Keagamaan). Sebagian besar artikel yang dimuat dalam buku terakhir ini dipublikkasikan pada akhir 1980-an dan awal 1990-an.11 Pada tahun 1992, dia menikah dengan Dr. Ibtuhal Yunis pada saat usianya menginjak 49 tahun. Di tahun yang sama pula, ia mengajukan karya-karyanya untuk dipromosikan mendapat gelar professor penuh di Fakultas Sastra Universitas Kairo. Diantaranya sejumlah karyanya yang diajukan adalah Naqd al-Kitāb al-Dīnī yang diterbitkan pertama kalinya pada tahun 1992 dan langsung membuat namanya melejit di dunia Islam. Namun di tahun ini dimulailah “kasus Abu Zayd” di persidangan yang berakhir dengan vonis murtad atas dirinya dan dituntut menceraikan istrinya pada tahun 1995. Karena karyanya dinilai tidak bermutu, dan promosinya ditolak bahkan dinyatakan menyimpang dan merusak. Prof. Abdul Shabur Shahin, salah satu penguji ketika ia mengajukan promosi profesornya, dalam khutbahnya di masjid ‘Amr bin ‘Aṣ menyatakan bahwa Abu Zayd telah murtad, yang kemudian di-amin-kan oleh para khatib lainnya di masjid- masjid pada hari jum’at berikutnya, Mesir pun heboh. 4 10 Ibid.,, hlm 18. 11 Ibid.,, hlm 20.
  • 6. Dan apada akhirnya pada 14 Juni 1995, “Mahkamah al-Isti’nāf Kairo” menyatakan Abu Zayd murtad.12 Setelah diusir dari Mesir dengan fatwa murtad dan ia menolak untuk mencabut keyakinannya kemudian dijatuhkan vonis hukuman mati yang dituntut oleh Majelis Ulama al-Azhar kepada pemerintah Mesir, yang kemudian dibuktikan juga dengan dikeluarkannya keputusan dari Mahkamah Agung Mesir pada 5 Agustus 1996, yang juga telah menyatakan ia murtad, maka kemudian pindah ke Madrid, Spanyol pada 23 Juli 1995, bersama-sama dengan istrinya. Sebelum akhirnya menetap di Leiden, Belanda, sejak 2 Oktober 19995 sampai sekarang (data pada tahun 2008).13 Hasil karya-karya kritis Nasr seperti Mafhūm al-Naṣ: Dirāsah fī `Ulūm al- Qur’ān (Konsep Teks: Studi Ilmu- ilmu Alqur’an), Isykāliyyāt al-Qirā’ah wa Aliyāt al- Ta’wīl (Problem Pembacaan dan Metode Interpretasi), Falsafah al-Ta’wīl: Dirāsah fī Ta’wīl al-Qur’ān `inda Ibn `Arabī (Filsafat Hermeneutika: Studi Hermeneutika Alqur’an menurut Ibn Arabi), al-Imām al-Syāfi’i wa Ta`sīs al-Aidiulujiyyah al-Wasaṭiyyah (Imam Syafi’i dan Pembasisan Ideologi Moderatisme), al-Ittijā al-`Aqli fi at-Tafsīr (Rasionalisme dalam Tafsir), Naqd al-Khithāb al-Dīnī (Kritik Wacana Agama), dan lain- lain. Karya-karyanya juga terbit dalam bahasa Inggris seperti Reformation of Islamic Thought: a Critical Historical Analysis; Rethinking the Qur’an: Towards a Humanistic Hermeneutics; dan Voice of an Exile: Reflections on Islam. 5 C. Teori dan Gagasan Nasr Hamid Abu Zaid 1. Konsep Wahyu dan Teks Al-Qur’an Abu Zaid selalu memulai diskusi tentang tekstualitas al-Q ur’an dengan mengkaji perdebatan klasik antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah tentang kata-kata Allah (kalām Allāh). Isu ini berkaitan dengan diskusi tentang asal- usul basasa dan ‘ke-tak-terciptaan’ al-Qur’an. Abu Zaid menyebutkan dua teori tentang asal-usul bahasa itu. Teori pertama, yang didukung oleh Asy’ariyah, mengatakan bahwa bahasa adalah pemberian Tuhan kepada manusia, dan bukanlah temuan manusia. Hubungan antara penanda ( signifier) dan petanda (signified) ditentukan oleh Tuhan. Hubungan ini bersifat ilahiyah. Dari poin ini, disimpulkan bahwa kata-kata Allah tidaklah tercipta, namun merupakan salah satu sifat- 12 Syamsudin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran,(Jakarta: Gima Insani, 2003), hlm. 168-187. 13 Ibid.,, hlm. 187-188.
  • 7. Nya. Asy’ariyah meyakini bahwa al-Q ur’an sebagai kata-kata Allah adalah abadi sebagaimana Allah sendiri, dan direkam dalam Tablet Terjaga (Al-Lawh Al-Mahfūzh).14 Yang kedua adalah teori Mu’tazilah yang beragumen bahwa bahasa adalah konvensi manusia, karena ia merefleksikan konvensi sosial tentang hubungan antara suara suatu kata dengan maknanya. Bahasa tidaklah merajuk secara langsung kepada realitas aktual; namun, realitas dipahami. Dikonseptualisasi, dan disimbolisasi melalui suatu sistem suara. Mu’tazilah berpendapat bahwa al-Q ur’an diciptakan dan, dengan demikian, tidak abadi. Al-Qur’an diciptakan dalam konteks tertentu dan pesan yang dikandungnya haruslah dipahami dalam sinaran konteks itu.15 Menurut Abu Zaid, pendapat Mu’tazilah tentang hakikat al-Qur’an ini lebih sesuai dengan pengertian modern tentang teks yang menganggap semua teks, termasuk teks al-Qur’an, sebagai sebuah fenomena historis dan mempunyai konteks spesifikasinya sendiri. Alih-alih mengadopsi teori Asy’ariyah, Abu Zaid lebih mendukung teori Mu’tazilah. Menurutnya, teori Mu’tazilah tentang asal-usul bahasa dan hubungannya dengan teks suci adalah teori yang paling rasional. Teori ini menekankan pada manusia sebagai tujuan teks dan sasaran pesan-pesannya.16 Abu Zaid meyakini bahwa problem pokok hermeneutika al-Qur’an bukanlah problem tentang keberagaman interpretasi, namun adanya perbedaan konsep tentang hakikat teks, yang pada akhirnya melahirkan keberagaman interpretasi. Keberagaman interpretasi secara natural tidak terhindarkan, namun interpretasi itu seharusnya didasarkan atas konsep objektif tentang teks.17 Teks al-Qur’an sebagai pesan berarti masyarakat yang menjadi sasarannya adalah seluruh manusia, manusia yang terkait dengan sistem bahasa yang sama dengan teks, dan yang terkait dengan peradaban di mana bahasa tersebut dianggap sebagai sentralnya.18 Kerena itu, penelusuran konsep teks oleh Nasr Hamid ini sesungguhnya bertujuan untuk pertama, menulusuri relasi dan kontak sistematis (al-alaqat al-murakkabat) antara teks dan kebudayaan yang mempengaruhi pembentukan teks tersebut. Kedua, teks sebagai 14 Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan …, hlm. 63-64. 15 Ibid.,, hlm. 64. 16 Ibid.,, 17 Ibid.,, hlm. 65. 18 Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulumul Qur’an, diter. dari Mafhum al- 6 Nash Dirasah fi Ullum al-Qur’an oleh Khoirun Nahdliyyin,Cet. I, (Yogyakarta: LKIS, 2001), hlm. 69.
  • 8. bentuk dan kebudayaan. 19 Pada tujuan yang kedua ini, pembahasan konsep teks difokuskan kepada aspek-aspek yang terkait dengan masalah kebudayaan dan tradisi, tepatnya masalah historitas, otoritas, otoritas, dan konteks.20 Kenyataan yang menunjukkan bahwa teks al-Qur’an senantiasa mempunyai hubungan dialektika dengan masyarakat Arab di masa pewahyuan merupakan hal nyata yang memberikan pengertian bahwa secara tidak langsung teks al-Qur’an dibentuk oleh realitas peradaban Arab yang ada di satu sisi, namun di sisi lain juga teks al-Q ur’an berperan dalam perombakan peradaban lewat pesan atau konsep-konsep yang ditawarkan dari al-Q ur’an itu sendiri. Jadi proses keduanya saling terkait, tidak bisa dipisahkan. Oleh karena proses inilah, lalu Nasr Hamid mengatakan bahwa al-Q ur’an merupakan produk budaya (muntij al-tsaqāfi). Ide dasar pemikiran tersebut berasumsi bahwa inspirasi al- Qur’an adalah Tuhan, akan tetap i ketika memasuki realitas semesta, wahyu tersebut tersejarahkan dan termanusiakan oleh “intervensi” budaya dalam bingkai sistem bahasa.21 7 2. Teori Interpretasi Teks Pembahasan tentang al-Qur-an sebagai sebuah pesan tidak bisa dilepaskan dari kesadaran seorang penafsir mengenai al-Qur’an sebagai teks linguistik yang memiliki karakteristik sendiri. Menurut Nasr, di dalam makna bahasa terdapat dua dimensi yang tampak terlihat kontradiktif, namun sebenarnya saling melengkapi. 22 Gambaran penjelasan ini terlihat dalam membedakan antara konsep tafsir dan ta’wil. Tafsir memiliki pengertian menyingkap sesuatu yang tersembunyi atau tidak diketahui, yang bisa diketahui karena adanya media tafsirah.23 Sedangkan, ta’wil adalah kembali ke asal usul sesuatu untuk mengungkapkan ma’nā dan magzā.24 Ma’nā merupakan dalālah (arti) yang dibangun berdasarkan gramatikal teks, sehingga makna yang dihasilkan adalah makna-makna gramatik (ma’āni al-naḥwi).25 Sedangkan magzā menunjukkan pada makna dalam 19 Naṣr Hamid Abu Zayd, Mafhūm al-Naṣ: Dirāsāt fi ‘Ulūm al-Qur’ān, (Beirut: Al-Markaz al-Saqafi al- ‘Arabī, 2000), hlm. 28. 20 Ibid. 21 Naṣr Hamid Abu Zayd, Al-Naṣṣ, al-Sulṭat, al-Haqīqat: Al-Fikr al-Dīnī bain Irādat al-Ma’rifat wa Irādat al-Haiminat, Bairut: Markaz al-Tsaqafī al-‘Arabī, 1994), hlm. 74. 22 Naṣr Hamid Abu Zaid, Naqd al-Khiṭāb al-Dīnī (Kairo: Sinā li al-Nasyr, 1992), hlm. 23 Ibid., hlm. 225. 24 Ibid.,, hlm. 229. 25 Ibid.,, hlm. 108.
  • 9. konteks sosio-historis. 26 Dalam proses penafsiran kedua hal ini saling berhubungan dengan kuat, magzā selalu mengikuti ma’nā begitu pula sebaliknya. Perbedaan penting kedua hal tersebut tercermin bahwa proses penafsiran selalu membutuhkan medium tafsirah, sehingga penafsir dapat menyingkapkan apa yang dikehendakinya, sementara dalam proses ta’wil tidak selalu membutuhkan medium tafsirah, bahkan kadang-kadang ta’wil didasarkan pada gerak mental –intelektual dalam menemukan asal mula “gejala”.27 Hal ini menunjukkan bahwa ta’wil bisa dijalankan atas dasar hubungan langsung antara subjek dan objek. Sementara itu tafsir hanya bisa dijalankan melalui adanya medium, sehingga proses hubungan antara subjek dan objek tidak bersifat langsung. Medium ini berupa teks bahasa atau berupa suatu penanda. Penafsiran al-Qur’an sebagai teks bahasa tidak bisa digali hanya dengan menganalisis bahasa secara inheren. Bagaimanapun teks al-Qur’an turun bukan dalam masyarakat yang sama sekali tidak memiliki budaya. Paling tidak keberadaan asbāb al-nuzūl merupakan bukti bahwa teks al-Qur’an telah merespon terhadap kondisi masyarakat saat itu. Oleh sebab itu, bagi Nasr persoalan konteks budaya secara luas yang saat itu berkembang merupakan persoalan penting yang tidak bisa ditinggalkan. Analisis terhadap teks al-Qur’an dan tradisi otentik Nabi SAW. Menurut latar belakang konteks yang terjadi saat itu harus dilakukan dalam proses penafsiran. Hal ini disebabkan karena pesan Islam tidak memiliki berbagai pengaruh kalau masyaraka t yang pertama kali menerima tidak mampu memahami pesan tersebut. Sementara itu, masyarakat tersebut hanya bisa memahami pesan dalam konteks sosial-budaya mereka sendiri.28 Pandangan seperti ini menyebabkan lahirnya perbedaan pemahaman terhadap pesan dalam teks yang dilakukan oleh masyarakat dalam konteks sosial-budaya yang berbeda pula. Perbedaan konteks dan metode melahirkan pemahaman yang beragam seiring dengan perjalanan waktu. Oleh karena itu, pemahaman generasi muslim pertama terhadap pesan teks tidak dianggap sebagai pemahaman yang final dan absolut. 29 Bahasa teks al- Qur’an pada hakikatnya sama dengan bahasa-bahasa lain. Bahasa selalu mengalami 26 Nasr Hamid Abu Zayd, Dawāir al-Khaūf (Beirut: Al-Markaz al-Saqafī al-‘Arabī, tth.), hlm. 203. 27 Ibid.,, hlm. 232. 28 Nasr Hamid Abu Zayd, Al-Qur’an, Hermeneutik a dan Kek uasaan, terj. Dede Iswadi dkk, (Bandung: 8 Korpus, 2003), hlm. 96. 29 Ibid.,,
  • 10. perkembangan secara dinamis melalui proses pengkodean secara terus menerus dan tidak berakhir. Hal ini berarti teks memiliki makna yang berkembang menjadi signifikasi, atau dengan kata lain akan selalu terjadi produksi makna tanpa akhir. Dinamika makna teks tersebut membuat kemungkinan-kemungkinan untuk menafsirkan teks itu secara terus-menerus. Oleh karena itu, proses interpretasi tidak akan pernah berakhir, dan 9 reinterpretasi akan selalu terjadi di sepanjang masa. Untuk itu dibutuhkan suatu model analisis yang membedakan pembacaan zaman sekarang dengan masa klasik. Masyarakat kontemporer tidak lagi sekedar melakukan pembacaan yang bersifat pengulangan-pengulangan, repetitive, namun lebih kepada upaya untuk menemukan proggresivitas tradisi secara lebih terbuka. Model analisis alternative tersebut bagi Nasr Abu Zaid adalah “metode analisis wacana”. Untuk itu Nasr menyatakan: (“Suatu tradisi tidaklah akan dapat diperbarui dengan hanya (menggunakan pembacaan) yang bersifat pengulangan-pengulangan) dan taqlid semata-mata, akan tetapi hanya dapat diperbarui dengan menelaah, mengkaji dan menganalisisnya seiring dengan semakin berkembangnya metode-metode yang ada. Kemampuan nalar manusia secara epistemologis akan dapat menangkap apa yang sebelumnya belum diketahui. Selanjutnya ia mengatakan juga: (metode yang semakin banyak dan progresif,mengharuskan diadakannya pembaharuan dan pembacaan ulang terhadap masa lampau untuk menyingkap apa yang dalam tradisi sebelumnya belum mungkin untuk disingkap).30 Apa yang disampaikan Nasr di atas menunjukkan bahwa interpretasi teks dapat dilakukan siapapun yang memiliki kompeten. Meskipun demikian, Nasr memberikan catatan penting sebelum penafsir melakukan interpretasi. Beberapa teori kontemporer memiliki kecenderungan untuk menekankan aspek internal teks sebagai hubungan-hubungan semantis, sehingga melahirkan pembacaan yang terkait (al-qirā’ah gair al-bariah). 31 Hubungan antara teks dengan pengarang , masa dan realitas yang memproduk teks itu sendiri harus dipisahkan. Pembacaan seperti ini mengakibatkan pembacaan 30 Hilman Lat ief, Nasr Hamid Abu Zaid; Kritik Teks Keagamaan, Yogyakarta: Elsaq Press, 2003), hlm . 66-67. 31 Nasr Hamid Abu Zaid, Naqd al…, hlm. 113.
  • 11. terhadap teks selalu terikat dengan data-data kebahasaan yang terdapat pada teks itu. Hubungan antara teks dengan dunia di luar teks diabaikan, padahal kenyataannya teks tidak dapat dipisahkan dari faktor-faktor eksternal yang turut mempengaruhi teks. Pembacaan terikat atau tidak bebas seperti inilah yang harus ditinggalkan dalam proses interpretasi. Model pembacaan lain yang harus ditinggalkan oleh penafsir adalah pembacaan tendensius (al-qirā’ah al-mugridah). 32 Pembacaan tendensius adalah pembacaan teks yang dilakukan sesuai dengan ideologi yang dianut oleh penafsir. 33 Pembacaan tendensius merupakan pembacaan yang dilakukan atas dasar kepentingan, sehingga hasil yang dicapai akan selalu bersifat subjektif. Hal ini karena sejak awal penafsir memiliki kepentingan dan berusaha agar hasil interpretasinya berbicara sesuai yang diinginkannya. Oleh karena itu, sebelum melakukan interpretasi penafsir harus menanggalkan segala macam horizon subjektif yang beredar di otaknya. Memang harus disadari bahwa untuk melepaskan diri dari ideologi- ideologi yang ada pada diri penafsir bukan persoalan mudah. Dalam hal ini Nasr membuat pemisahan dua dimensi. Makna dalam teks, yaitu antara dalālah dan magzā. Pembedaan antara dalālah dan magzā harus menjadi tuntutan utama agar metodologi interpretasi teks tidak tunduk pada ideologi pengkaji secara serampangan dan vulgar. 34 Secara tegas Nasr menolak kegiatan interaksi dengan teks dan interpretasi terhadapnya dengan landasan opotunistik-pragmatis, karena interaksi dan interpretasi seperti itu dianggap mengabaikan gerak teks (harakah al-naṣṣ) dalam konteks historis dan mengingkari data-data yang memungkinkan untuk membantu mengungkap makna teks. Aktivitas intelektual pada umumnya dan tindakan pembacaan khususnya bertujuan untuk menyingkap fakta- fakta tertentu dari tataran-tataran eksistensi di liar horizon subjek yang membaca. Apabila horizon pembaca membatasi sudut pandangnya, maka data-data teks tidak berposisi sebagai penerima pasif terhadap orientasi-orientasi subjek.35 Ini berarti pembacaan dan aktifitas intelektual yang benar itu didasarkan pada dialektika antara subjek dan objek. Berbeda dengan ini, pembacaan tendensius hanya 10 32 Ibid.,, 33 Ibid.,, hlm. 114. 34 Ibid.,, 35 Ibid.,, 115.
  • 12. akan menghasilkan ideologi. Kecenderungan subjektifitas oportunistik pada akhirnya akan melahirkan klaim bahwa pembaca mampu menemukan makna, padahal makna yang dihasilkan itu sebenarnya adalah makna yang diinginkan sebelum melakukan pembacaan. Dalam rangka menanggapi problem diatas, Nasr menawarkan model pembacaan yang disebut al-qirā’ah al-muntijah (pembacaan produktif). Al-qirā’ah al-muntijah yang ditawarkan Nasr sebenarnya kembali masuk dalam diskusi tentang hubungan antara ma’nā dan magzā, tapi dalam hal ini Nasr menggunakandialektika antara istilah dalālah dan magzā. Di sini Nasr terlihat tidak konsisten dalam menggunakan istilah, terkadang menggunkan distingsi magzā dan dalālah, tapi terkadang menggunakan distingsi magzā dan ma’nā. pada dasarnya dalālah dan magzā merupakan dua bentuk yang digunakan untuk satu pekerjaan. Magzā tidak bisa dilepaskan dari sentuhan dalālah, sebab dalalahlah yang mengantarkan magzā sampai pada ma’na yang paling jauh.36 Sementara itu, untuk mengungkap ma’na dalalah harus melalui media al-tafsirah (denotatum/tanda). Dengan demikian, al-qirā’ah al-muntijah berangkat dari analisis tanda bahasa untuk memperoleh makna tekstual, setelah itu kembali ke asal atau dihubungkan dengan makna konteks sosio-historis untuk memperoleh magzā. 11 3. Level-level Konteks Struktur teks dan produksi makna teks bagi Nasr tidak bisa dilepaskan dari persoalan al-siyāq (konteks). Termasuk dalam hal ini teks al-Qur’an, membawa level-level konteksnya sendiri, yang harus dipertimbangkan oleh interpreter. Menurut Abu Zaid, ada lima level konteks dari sebuah teks, diantaranya adalah:37 1. Konteks sosio-kultural (al-siyāq al-saqafī al-ijtimā’i) yang terdiri dari aturan sosio dan kultural, dengan semua konvensi, adat kebiasaan, dan tradisinya yang terekspresikan dalam bahasa teks itu. Bahasa mengandung aturan-aturan konvensional kolektif yang bersandar pada kerangka kultural. Teks sebagai sebuah pesan ditujukan kepada masyarakat yang sebelumnya telah mempunyai kebudayaannya sendiri dan konsepsi-konsepsi mental dan kepercayaan-kepercayaan kulturalnya sendiri. Dalam rangka inilah, Abu Zaid mengusulkan proposisi 36 Ibid.,, hlm. 144. 37 Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan…, hlm. 90-93
  • 13. fundamentalnya bahwa al-Q ur’an adalah sebuah produk budaya dan bahwa ia haruslah dipahami dalam sosio-kulturalnya. 2. Konteks eksternal (al-siyāq al-khariji), yakni konteks percakapan (siyāq al-takhathub) yang diekspresikan dalam struktur bahasa (bunyah lughawiyyah) suatu teks. Konteks percakapan berkaitan dengan hubungan antara pembicara atau pengirim pesan dan patner bicara atau penerima pesan, yang mendefinisikan karakteristik teks pada satu sisi, dan otoritas tafsir dan interpretasi pada sisi lain. Dalam konteks hermeneutika al-Q ur’an, Abu Zaid juga menyebut konteks ini dengan “konteks pewahyuan” (siyāq al-tanzīl) berdasarkan dua fakta: pertama, teks (al-Qur’an) diwahyukan secara berangsur-angsur selama lebih dari 22 tahun, yang masing-masing bagian mempunyai konteksnya sendiri. Kedua, variasi dalam level suasana pewacana pertama, Muhammad SAW, yang dengan sendirinya berada dalam ruang psikologi yang berubah-ubah, seperti senang, marah, sedih, kecewa dan tidak menutup kemungkinan pula adanya pengaruh dari orang yang diajak bicara, baik sahabat, khususnya istri-istri Nabi. 3. Konteks internal (al-siyāq al-dakhīli) yang berkaitan dengan “ketakintegralan” struktur teks dan pluralitas level wacananya. Struktur teks, menurut Abu Zaid, tidaklah integral. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan antara urutan teks (tartīb al-ajza) dan urutan pewahyuan (tartīb al-nuzūl). Lebih dari itu, teks al-Qur’an pada hakekatnya bersifat plural, dan tidak mungkin untuk memahaminya kecuali dengan mempertimbangkan level spesifikasinya. Seorang pembaca haruslah mengenali level wacana yang dihadapinya. Wacana cerita (siyāq al-qiṣṣah), misalnya, berbeda dalam pengertian dan penekanan dari wacana hiburan dan intimidasi (al-targhīb wa tarhīb), debat dan konteks (al-jadāl wa al-sijāl), janji dan ancaman (al-wa’d 12 wa al-wa’id), dan lain-lain. 4. Konteks linguistik yang tidak hanya berkaitan dengan elemen-elemen suatu kalimat, atau korelasi antar kalimat (nazm), atau berkaitan dengan perluasan figuratif atau majaz-ifikasi (tajāwuz) dalam arti bentuk-bentuk gramatikal dan style, namun juga berkaitan dengan signifikansi yang implisit atau “yang tak terkatakan” di dalam struktur wacana. Analisis teks melalui tanda-tanda linguistik haruslah mengungkap “yang tak terkatakan” dengan melampaui kata-kata dengan masuk dalam struktur
  • 14. kultural teks. Hal ini disebabkan karena bahasa adalah kristalisasi budaya dan merupakan bagian integral darinya. Misalnya, sūrah Jinn yang mempresentasikan bahwa Jinn memang ada adalah bahwa al-Qur’an menggunakan kepercayaan kultural atau yang disebut Abu Zaid dengan “konsep mental”, yang ada dalam budaya Arab pra-Islam. 5. Konteks pembacaan (siyāq al-qirā’ah). Proses pembacaan, yang pada hakekatnya adalah sebuah dekonstruksi kode (fakk al-syifrah), bukanlah konteks eksternal pelengkap yang disandarkan kepada teks. Tekstualisasi al-Qur’an terungkap melalui tindak pembacaan. 13 D. Aplikasi Penafsiran 1. Riba dan Bunga Bank38 Kata riba (usūry) telah dipakai dalam wacana Islamis kontemporer di Mesir, sebagaimana di negara-negara Islam lainnya sejajar dengan bunga dalam sistem perbankan. Pengkiasan hukum (antara riba dan bunga bank) ini menyebabkan para Islamis menolak segala bentuk bunga, dan sebagai gantinya mereka berupaya mendirikan bank-bank Islam dan lembega- lembaga ekonomi lainnya. Kongres kedua Lembaga Riset Islam (Islamic Research Group) Mesir menyatakan dalam salah satu rekomendasinya bahwa bunga dari segala bentuk pinjaman, baik untuk konsumsi maupun produksi, adalah legal, haram. Jika pinjaman dengan riba berderajat kecil saja haram, apalagi berderajat besar. Diskusi tentang riba dan bunga di Mesir tentu bukan suatu hal yang baru. Rasyid Ridha , misalnya, mengatakan bahwa riba yang dilarang dalam al-Q ur’an adalah riba yang oleh Ibnul Qoyyim disebut “riba yang jelas” (riba nasi’ah), dan yang mempunyai karakteristik pelipatan yang terus menerus dari utang semula. Menurut Muhammad Sa’id Al-‘Asymawi, riba yang disebut dalam al-Q ur’an adalah riba pra-Islam, suatu bentuk renta yang mempunyai tingkat bunga sangat tinggi yang sering kali berujung pada perbudakan pengutang ketika dia tidak mampu membayarnya. Lagi pula, riba semacam ini hanya di Arab belum ada sistem mata uang. Sistem bunga yang ada sekarang tidak ada masalah karena tingkat bunga bisa dikontrol oleh pemerintah dan lebih rendah dari sistem riba jahiliyah itu. 38 Ibid.,, hlm. 127-130.
  • 15. Abu Zaid mengatakan bahwa penggunaan kembali kata riba sebagai padanan riba (‘arbah atau fawāid, keuntungan) tidaklah tepat karena riba dalam al-Qur’an adalah riba pra-Islam. Abu Zaid mengkritik para Islamis karena bersiteguh menggunakan dan menghidupkan kembali suatu kata yang menjadi perbendaharaan kata lama, yakni riba. Abu Zaid berargumen bahwa penggunaan kata riba sebagai padanan bunga bukanlah merupakan ijtihād hukum murni dan objektif, karena tidak ada ijtihād hukum semacam itu, namun ini merupakan bagian dari mekanisme wacana keagamaan untuk menggantikan hal yang baru dengan yang lama. Kaum Islamis selalu mendasarkan diri atas mekanisme analogi hukum (al-qiyās al-fiqhi) yang mengarah, baik kepada pengharaman atau penghalalan. Sementara itu, hukum berdasarkan atas alasan-alasan legal yang dengannya ijtihad menemukan adanya pengharaman riba. Namun, dalam pandangan Abu Zaid, sistem perbankan, termasuk bunga, tidaklah terkait dengan riba, namun ia memberikan keuntungan kepada depositor. Tidak ada hubungan antara sistem perbakan modern dan riba pra-Islam yang dilarang Allah dalam al-Qur’an. Disini, menurut Abu Zaid, konsep riba memiliki level pertama makna pesan, yakni konsep yang harus dianggap sebagai bukti sejarah yang tidak dapat diinterpretasikan secara metaforis. 14 2. Hak Waris Perempuan39 Abu Zaid kemudian beralih menganalisis konteks sosio- historis posisi perempuan dalam masyarakat pra-Islam. Petanda dari sebagian besar hukum Islam yang berkaitan dengan perempuan, dan juga signifikansinya, tidak bisa diungkap tanpa mempertimbangkan kebudayaan Arab pra-Islam. Dalam kebudayaan Arab pra-Islam, perempuan tidak mempunyai hak untuk memiliki. Karena tidak produktif, perempuan (dan juga anak-anak kecil) tidak mendapatkan warisan; bahkan sebaliknya, mereka dapat diwariskan laiknya harta warisan. Aturan standarnya terkait dengan masalah produktivitas ekonomi, sebagaimana yang mereka katakan: “kita tidak memberikan warisan kepada seseorang yang tidak bisa menunggang kuda, tidak kelelahan dan tidak melukai musush”. Ini mengekspresikan sebuah kebudayaan yang menganggap peperangan sebagai salah satu jalan, bukan hanya untuk mendapatkan kekuasaan tetapi juga harta kekayaan (yang berupa rampasan perang dan budak tawanan). Dalam konteks 39 Ibid.,, 144-149.
  • 16. kebudayaan semacam ini, al-Qur’an manyatakan bahwa perempuan mendapatkan warisan setengah dari bagian laki- laki, dan bahkan mereka mempunyai hak untuk mendapatkan kalalah. Berdasarkan atas sebuah prinsip hukum Islam: “hukum berubah berdasarkan atas ada, atau tidak adanya, alasan-alasan legal (al-hukmu yaruddu ma’a al-‘illah wujudan wa ‘adaman), konteks dan alasan legal dari hak perempuan untuk mendapatkan warisan telah berubah. Pada masa Nabi, secara ekonomi, perempuan tidak produktif, sementara pada masa sekarang perempuan rata-rata secara ekonomi produktif. Jadi, hukum dalam hal ini haruslah berubah. Bagian waris perempuan ditetapkan sebagai bagian yang ditetapkan Allah (farīdhah min Allah) yang tidak seorang pun diperbolehkan menguranginya. Dari sini, Abu Zaid beralih kepada argumen lain, yang mendukung argumen pertama (tentang alasan produktivitas perempuan). Analisis lain dari frase “bagi laki-laki bagian yang sebanding dengan bagian dua perempuan”, adalah bahwa teks menekankan pada bagian laki- laki dulu baru kemudian bagian perempuan. Ini menunjukkan bahwa al-Q ur’an membatasi bagian laki- laki ketimbang bagian perempuan “sebanding dengan bagian dua perempuan”. Namun, bagian perempuan ini sebenarnya merupakan bagian minimum, bukan maksimum. Ini berarti bahwa laki- laki dapat memperoleh lebih rendah ketimbang bagian yang seharusnya dia terima, dan perempuan dapat menerima lebih banyak dari bagian yang seharusnya mereka terima berdasarkan kesepakatan. Dengan mempertimbangkan “arah teks”, perempuan haruslah mendapatkan bagian waris yang sebanding dengan laki- laki. Dalam hal ini, Abu Zaid mengkaji hukum pewarisan dalam konteks level makna ketiga, yang harus diungkap signifikansi pesannya. 15 3. Poligami40 Poligami dalam wacana Alquran mempunyai level makna ketiga, di mana pemahamannya haruslah melampaui makna historisnya dengan menguak signifikansi masa kininya dan mampu menguak dimensi yang tak terkatakan dari suatu pesan. Dalam masalah poligami, Abu Zayd berargumentasi sebagai berikut:  Kesadaran akan historisitas teks keagamaan adalah teks linguistik dan bahasa sebagai produk sosial dan kultural. 40 Ibid.,, hlm. 138-143.
  • 17.  meletakkan teks dalam konteks Alquran secara keseluruhan terhadap konsep adil. Dengan melakukan ini, Abu Zaid berharap bahwa “yang tak terkatakan” atau yang implisit dapat diungkapkan.  Poligami dibolehkan dalam Alquran pada hakikatnya adalah sebuah pembatasan dari 16 poligami yang tak terbatas yang telah dipraktikan sebelum datangnya Islam. No. Makna /Dilalah Signifikansi/magza Yang tak terkatakan Poligami Praktik poligami pra-islam : poligami tidak terbatas Islam membatasi poligami empat istri secara adil Sikap adil dalam poligami tidak mungkin: monogami ditekankan Tujuan akhir legislasi Islam: monogami Poligami dilarang
  • 18. 17 Kesimpulan Metodologi Tafsir al-Qur`an dibangun di atas prinsip tektualitas al-Qur`an, bahwa obyek utama kajian al-Qur`an adalah teks kebahasaan. Dengan prinsip dasar tersebut, studi al-Qur`an harus dikaitan dengan ilmu bahasa (linguistik) dan kritik sastra. Selain pendekatan tekstual, studi al-Qur`an juga menggunakan pendekatan histors kritis. Bagaimanapun teks al-Qur’an turun bukan dalam masyarakat yang sama sekali tidak memiliki budaya. Menurut latar belakang kontekstual yang terjadi saat itu harus dilakukan dalam proses penafsiran. Al-Quran berinteraksi dengan akal (untuk dipahami) dan kemudian al-Quran terbentuk dengan budaya Arab, oleh karena itu Nasr Hamid Abu Zaid berpendapat bahwa al-Quran adalah produk budaya. Nasr Hamid juga berpendapat bahwa teks-teks keagamaan adalah teks-teks bahasa yang kedudukannya sama dengan yang lain dalam kebudayaan manusia. Nasr Hamid Abu Zaid menawarkan hermeneutika sebagai paradigma takwil. Pembacaan teks melampaui dua dunia, dunia author, penulis dan interpreter. Pembacaan teks tidak hanya berhenti pada yang terkatakan dalam teks, makna asal, tetapi sampai pada signifikansi/magzā, makna yang tidak terkatakan. Takwil adalah suatu upanya kembali pada asal usul sesuatu. Hal itu dimaksudkan untuk mengungkapkan makna dan signifikansinya. Sederhananya Nasr Hamid Abu Zaid menafsirkan al-Qur’an dengan apa pesan yang terkandung yang tidak terlihat secara dzhohir melainkan dengan kajian yang lebih mendalam. Nasr Hamid Abu Zaid juga menekankan analisis beberapa konteks dan hubungan masing-masing dalam proses penafsiran. Beberapa konteks tersebut adalah Konteks sosio-kultural (al-siyāq al-saqafī al-ijtimā’i), Konteks eksternal (al-siyāq al-khariji), Konteks internal (al-siyāq al-dakhili), Konteks linguistik, Konteks pembacaan (siyāq al-qirā’ah).
  • 19. 18 Daftar Pustaka Latief, Hilman, Nasr Hamid Abu Zaid; Kritik Teks Keagamaan, Yogyakarta: Elsaq Press, 2003). E. Sumaryono, Hermenautik sebuah Metode filsafat, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 1999. Kurdi, dkk, Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis , Yogyakarta: Elsaq Press, 2010. Ichwan, Moch. Nur, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an: Teori Hermeneutika Nasr Abu Zayd, Jakarta: Teraju, 2003. Arif, Syamsudin, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gima Insani, 2003. Zaid, Nasr Hamid Abu, Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulumul Qur’an, diter. dari Mafhum al-Nash Dirasah fi Ullum al-Qur’an oleh Khoirun Nahdliyyin,Cet. I, Yogyakarta: LKIS, 2001. ______, Al-Qur’an, Hermeneutika dan Kekuasaan, terj. Dede Iswadi dkk, Bandung: Korpus, 2003. ______,Al-Naṣṣ, al-Sulṭat, al-Haqīqat: Al-Fikr al-Dīnī bain Irādat al-Ma’rifat wa Irādat al- Haiminat, Bairut: Markaz al-Tsaqafī al-‘Arabī, 1994. ______, Dawāir al-Khauf , Beirut: Al-Markaz al-Saqāfi al-‘Arabī, tth. ______,Mafhūm al-Nāṣ: Dirāsat fi ‘Ulūm al-Qur’an, Beirut: Al-Markaz al-Saqāfi al-‘Arabī, 2000. ______, Naqd al-Khiṭāb al-Dīnī, Kairo: Sinā li al-Nasyr, 1992.