LATAR BELAKANG
Perkembangan ilmu pengetahuan dan perubahan peradaban dalam kehidupan manusia terutama pada saat berinteraksi satu sama lain dalam masyarakat, untuk memenuhi kebutuhan hidup mengakibatkan banyak kaidah-kaidah di dalam agama yang dikesampingkan atau diabaikan, dikarenakan pemahaman yang diberikan pada bidang yang dilakukan sudah sengaja di kaburkan, atau ketidak tahuan dari manusia yang melakukan perbuatan tersebut dikelompokkan sebagai haram, halal, sunnah, makruh atau mubah.
Pemahaman pada suatu perbuatan dikelompokkan sebagai: halal, haram, sunnah, mubah dan makruh semakin kabur, akibat munculnya berbagai definisi atau pemahaman yang diorientasikan kepada “keharusan tercapainya maksud dari transaksi yang dilakukan sehingga mengabaikan kaidah-kaidah agama yang melarang untuk dilakukannya,” timbul dari keinginan mencapai keuntungan dalam waktu cepat, sedikit tenaga yang dicurahkan, dan mendapatkan hasil yang berlipat-lipat.
OBEJCTIVE
1. Pemahaman yang mendalam tentang berbagai transaksi yang diharamkan menurut ajaran Islam;
2. Ketrampilan dalam mendefinisikan suatu transaksi sehingga dapat mengetahui jenis transaksi yang diharamkan atau dihalalkan;
3. Batasan pada setiap transaksi atau kegiatan usaha yang dapat dikelompokkan dalam perbuatan haram atau halal;
4. Jenis dan barang yang dapat ditransaksikan sesuai dengan kaidah hukum Islam sehingga terhindar dari riba.
2. Riba (asury atau interest) yang berasal dari bahasa arab artinya
tambahan (ziyadah), yang berarti tambahan pembelajaran atas
uang pokok pinjaman. Atau juga dapat di artikan menetapkan
bunga/melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian
berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok,
yang dibebankan kepada peminjam. Dalam pengertian lain,
secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar .
Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan
tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada
beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara
umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba
adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli
maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan
dengan prinsip muamalat dalam Islam. Dan dalam hal ini para
‘ulama fiqih terjadi perbedaan pendapat menurut sifat
penetapan haramnya.
3. Dalam Islam, memungut riba atau mendapatkan
keuntungan berupa riba pinjaman adalah haram. Ini
dipertegas dalam Al-Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 275 :
“...padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba....”
Pandangan ini juga yang mendorong maraknya perbankan
syariah dimana konsep keuntungan bagi penabung didapat
dari sistem bagi hasil bukan dengan bunga seperti pada bank
konvensional, karena menurut sebagian pendapat (termasuk
Majelis Ulama Indonesia), Bunga Bank termasuk ke dalam
riba.
4. Ada dua perbedaan mendasar antara investasi dengan mem-bungakan uang.
Perbedaan tersebut dapat ditelaah dari definisi hingga makna masing-masing.
1.
2.
Investasi adalah kegiatan usaha yang mengandung risiko karena
berhadapan dengan unsur ketidakpastian. Dengan demikian, perolehan
kembaliannya (return) tidak pasti dan tidak tetap.
Membungakan uang adalah kegiatan usaha yang kurang mengandung
risiko karena perolehan kembaliannya berupa bunga yang relatif pasti dan
tetap.
Islam mendorong masyarakat ke arah usaha nyata dan produktif. Islam
mendorong seluruh masyarakat untuk melakukan investasi dan melarang
membungakan uang. Sesuai dengan definisi di atas, menyimpan uang di bank
Islam termasuk kategori kegiatan investasi karena perolehan kembaliannya
(return) dari waktu ke waktu tidak pasti dan tidak tetap. Besar kecilnya
perolehan kembali itu ter-gantung kepada hasil usaha yang benar-benar terjadi
dan dilakukan bank sebagai mudharib atau pengelola dana.
Dengan demikian, bank Islam tidak dapat sekadar menyalurkan uang. Bank
Islam harus terus berupaya meningkatkan kembalian atau return of investment
sehingga lebih menarik dan lebih memberi kepercayaan bagi pemilik dana.
5. Ada dua jenis hutang yang berbeda satu sama lainnya, yakni
hutang yang terjadi karena pinjam-meminjam uang dan hutang
yang terjadi karena pengadaan barang. Hutang yang terjadi
karena pinjam-meminjam uang tidak boleh ada tambahan,
kecuali dengan alasan yang pasti dan jelas, seperti biaya materai,
biaya notaris, dan studi kelayakan. Tambahan lainnya yang
sifatnya tidak pasti dan tidak jelas, seperti inflasi dan deflasi,
tidak diperbolehkan. Hutang yang terjadi karena pembiayaan
pengadaan barang harus jelas dalam satu kesatuan yang utuh
atau disebut harga jual. Harga jual itu sendiri terdiri dari harga
pokok barang plus keuntungan yang disepakati. Sekali harga jual
telah disepakati, maka selamanya tidak boleh berubah naik,
karena akan masuk dalam kategori riba fadl. Dalam transaksi
perbankan syariah yang muncul adalah kewajiban dalam bentuk
hutang pengadaan barang, bukan hutang uang.
6. Ancaman Bagi Pelaku Riba
Islam membenarkan pengembangan uang dengan jalan
perdagangan. Seperti firman Allah:
"Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu makan harta
kamu di antara kamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan
perdagangan dengan adanya saling kerelaan dari antara kamu." (anNisa': 29)
Akan tetapi Islam menutup pintu bagi siapa yang berusaha akan
mengembangkan
uangnya
itu
dengan
jalan
riba.
Maka
diharamkannyalah riba itu sedikit maupun banyak, dan mencela orangorang Yahudi yang menjalankan riba padahal mereka telah dilarangnya.
7. 1. Riba hutang piutang ( yad ) :
• Riba Qardh
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyarakan terhadap yang
berhutang (muqtarid).
• Riba Jahiliyyah
Hutang dibayar lebih pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar
hutangnya pada waktunyang ditetapkan.
2. Riba jual beli ( bai’ ) :
• Riba Fadhl
Pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda,
sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
• Riba Nasi’ah
Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang
dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul
karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan
saat ini dengan yang diserahkan kemudian.
8. Riba, hukumnya berdasar Kitabullah, sunnah Rasul-Nya
dan ijma’ umat Islam:
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah
dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu
orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba), maka permaklumkanlah bahwa Allah
dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat
(dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kami tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS Al-Baqarah: 278279).
9. Islam bersikap sangat keras dalam persoalan
riba semata-mata demi melindungi kemaslahatan
manusia, baik dari segi akhlak, masyarakat maupun
perekonomiannya. Kiranya cukup untuk mengetahui
hikmahnya seperti apa yang dikemukakan oleh Imam
ar-Razi dalam tafsir Qurannya sebagai berikut:
10. Riba adalah suatu perbuatan
mengambil harta kawannya tanpa
ganti. Sebab orang yang meminjamkan
uang 1 dirham dengan 2 dirham,
misalnya, maka dia dapat tambahan
satu dirham tanpa imbalan ganti.
Nabi Muhammad SAW:
"Bahwa kehormatan harta manusia,
sama dengan kehormatan
darahnya."Oleh karena itu mengambil
harta kawannya tanpa ganti, sudah
pasti haramnya.”
11. Riba akan menyebabkan terputusnya sikap
yang baik (ma'ruf) antara sesama manusia
dalam bidang pinjam-meminjam. Sebab kalau
riba itu diharamkan, maka seseorang akan
merasa senang meminjamkan uang satu
dirham dan kembalinya satu dirham juga.
Tetapi kalau riba itu dihalalkan, maka sudah
pasti kebutuhan orang akan menganggap
berat dengan diambilnya uang satu dirham
dengan diharuskannya mengembalikan dua
dirham.
12. Ini semua dapat diartikan, bahwa dalam riba
terdapat unsur pemerasan terhadap orang yang
lemah demi kepentingan orang kuat (exploitasion
de l'home par l'hom) dengan suatu kesimpulan:
yang kaya bertambah kaya, sedang yang miskin
tetap miskin. Hal mana akan mengarah kepada
membesarkan satu kelas masyarakat atas
pembiayaan kelas lain, yang memungkinkan akan
menimbulkan golongan sakit hati dan pendengki;
dan akan berakibat berkobarnya api pertentangan
di antara anggota masyarakat serta membawa
kepada pemberontakan oleh golongan ekstrimis
dan kaum subversi.