1. DOKUMEN
TIM KERJA PENGARUSUTAMAAN REDD+
KE DALAM SISTEM PERENCANAAN
PEMBANGUNAN
LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN
PENGARUSUTAMAAN REDD+
SATUAN TUGAS PERSIAPAN KELEMBAGAAN REDD+ INDONESIA
LAPORAN SINTESIS
Hasil Capacity Building Pedoman Pengarusutamaan
REDD+ ke Dalam Sistem Perencanaan Pembangunan
dan Pedoman Greening MP3EI dalam Kerangka REDD+
4. A. Latar Belakang
Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation+ (REDD+) merupakan
mekanisme untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dengan cara memberikan
kompensasi kepada pihak-pihak yang melakukan pencegahan deforestasi dan degradasi hutan
serta melakukan perlindungan hutan. Pada COP 13 UNFCCC tahun 2007 di Bali, Pemerintah
Indonesia menyepakati Bali Action Plan yang berisi antara lain kesepakatan mitigasi perubahan
iklim melalui REDD+. Sebagai persiapan pelaksanaan REDD+, telah dilakukan berbagai upaya
di tingkat kebijakan, penyusunan kerangka penerapan dan pembiayaan, hingga pelaksanaan
demonstration activities (DA) di sejumlah daerah.
Sebagai upaya mitigasi perubahan iklim maka REDD+ merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi
Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) yang memuat upaya pengurangan emisi GRK dari berbagai sektor.
Dalam Rencana Aksi Nasional tersebutsektor kehutanan dan lahan gambut diharapkandapat
berkontribusi sebesar minimal 22 persen dari 26% total penurunan emisi yang ditargetkan
pada tahun 2020. Hal ini menunjukkan pentingnya kegiatan REDD+ dalam mencapai target
penurunan emisi nasional.
Sebagai landasan dan arah pelaksanaan REDD+ di Indonesia secara rinci, telah disusun rancangan
Strategi Nasional REDD+. Rancangan Strategi Nasional REDD+ ini memiliki lima pilar yang saling
berkaitan, yaitu: (1) kelembagaan dan proses, (2) kerangka hukum dan peraturan, (3) pelaksanaan
program strategis, (4) perubahan paradigma dan budaya kerja, serta (5) pelibatan para pihak.
Secara keseluruhan, Strategi Nasional REDD+ diharapkan menjadi acuan untuk memastikan
bahwa pelaksanaan REDD+ dapat mengatasi emisi yang disebabkanoleh deforestasi dan
degradasi hutan. Selain itu, Strategi Nasional REDD+ diharapkan dapat menjamin tercapainya
penurunan emisi gas rumah kaca nasional dari sektor kehutanan sesuai target yang telah
ditentukan.
Pelaksanaan REDD+ tidak hanya terkait sektor kehutanan saja, tetapi juga berkaitan dengan
sektor pembangunan lainnya. Kebutuhan lahan untuk pertanian, perkebunan, pertambangan,
energi, dan permukiman diidentifikasi sebagai pemicu terjadinya deforestasi. Oleh karena itu,
intervensi kebijakan dan koordinasi perencanaan lintas sektor sangat perlu dilakukan untuk
mencapai tujuan dan sasaran pelaksanaan REDD+. Tantangan pelaksanaan REDD+ adalah
menurunkan emisi yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan tanpa mengganggu funsi
dan peran kawasan hutan dan kehutanan terhadap pendapatan dan pertumbuhan ekonomi
nasional.
Dalam perencanaan dan pelaksanaan program dan kegiatan REDD+, perlu adanya kajian
keterkaitannya dan implikasinya terhadapsektor pembangunan lain dan pembangunan antar
wilayah (regional). Oleh sebab itu, kegiatan REDD+ harus dapat diarusutamakan ke dalam
perencanaan pembangunan nasional agar terbentuk sinergi, integrasi dan keterpaduan program
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
1
5. dan kegiatan REDD+ dalam mencapai sasaran pembangunan nasional.
Terkait pembangunan bidang ekonomi, telah ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun
2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 20112025 (MP3EI). Substansi dari MP3EI adalah pengembangan koridor ekonomi Indonesia dengan
menggunakan tiga strategi utama yaitu: (1) pengembangan potensi ekonomi, (2) penguatan
konektivitas antar wilayah dan (3) penguatan kemampuan sumber daya manusia serta ilmu
pengetahuan dan teknologi nasional. Prinsip dasar MP3EI adalah pembangunan berkelanjutan.
Untuk itu, diperlukan harmonisasi antara pelaksanaan MP3EI dengan penurunan GRK khususnya
penurunan emisi karbon yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut
(REDD+).
Terkait dengan hal-hal tersebut, Tim Kerja Pengarusutamaan REDD+ ke dalam Sistem Perencanaan
Pembangunan pada Satgas Persiapan Kelembagaan REDD+ telah menyusun dua pedoman
yaitu: 1) Pedoman Pengarusutamaan REDD+ ke dalam Sistem Perencanaan Pembangunan dan
2) Pedoman Greening MP3EI dalam Kerangka REDD+. Kedua pedoman ini menjadi dasar dalam
proses penyusunan rencana pembangunan yang berkelanjutan serta pembangunan rendah
karbon. Untuk mengadopsi kedua pedoman tersebut, diperlukan proses penguatan kapasitas
para perencana pembangunan di berbagai sektor pembangunan terkait hutan dan lahan
gambut, baik di Kementerian/Lembaga maupun di daerah.
B. Tujuan
Tujuan
j n
T u
Tujuan penguatan kapasitas perencana
Tujuan penguatan kapasitas perencana adalah :
nguat
atan p
eren
n
1 Agar rencana pembangunan daerah berorienta pada p nuruna e is karb
1.. Agar rencana pembangunan daerah berorientasi pada penurunan emisi karbon dari
g r en a a em angunan aerah berorientasi ad penurunan emisi karbon dari
n
a
rientasi
uru an
rbon ari
deforestasi, degradasi hutan, dengan tetap memperhatikan keanekaragaman hayati,,
def estasi
deforestasi, degradasi hutan, dengan tetap memperhatikan keanekaragaman h y
fo
gra asi utan, e ga e p empe hat kan eanekaragama hayati,
peni gkata stok arbo dan pela sanaa prinsi sustainabl forest anagemen
peningkatan stok karbon dan pelaksanaan prinsip sustainable forest management
peningkatan stok karbon dan pelaksanaan prinsip sustainable forest management..
atan
bon a pela
pri sip st inable forest
abl
e
ent
Agar e ca a e bangun n aera berkontribusi ada encapaia tujuan embangun n
2 Ag r rencana pembangunan daerah be kontribus pada pencapaian tujuan pembangunan
2.. Agar rencana pembangunan daerah berkontribusi pada pencapaian tujuan pembangunan
ea
ntr bus
trib
n
berkelanjutan mencakup spek konomi lingkungan an os al
berkelanjuta me cakup aspek ekonomi, lingkungan dan sosial.
berkelanjutan mencakup aspek ekonomi, lingkungan dan sosial..
anjutan
ua
kup pek
omi ingkung
2
NOT ON
NOT ONSEP PR NSI KRITERIA AN INDIK TOR SAFEGUARDS RED INDONESI
NOTA KONSEP PRINSI KRITERI DAN INDIKATOR SAFEGUARDS REDD+ INDONESIA PRISAI
NOTA KONSEP PRINSIP KRITERIA DAN INDIKATOR SAFEGUARDS REDD+ INDONESIA – PRISAI
OTA NS PRINSIP RITERI
RI S
RI R
INDIKATOR FEGUA
NDIKA O
KA
E AR REDD+ INDONESIA PRISA
EDD+ N N IA PRISAI
E
AI
6. C. Ruang Lingkup
Capacity Building Pengarusutamaan REDD+ ke dalam Sistem Perencanaan Pembangunan dan
Greening MP3EI dalam Kerangka REDD+ bertujuan untuk meningkatkan kemampuan perencana
dan pengguna Pedoman Pengarusutamaan REDD+ ke dalam Sistem Perencanaan Pembangunan
dan Pedoman Greening MP3EI dalam Kerangka REDD+, baik individu, organisasi maupun sistem
yang terkait agar dapat mewujudkan pembangunan berkelanjutan sebagai prinsip dasar
perencanaan pembangunan, melalui pembangunan rendah karbon dalam percepatan dan
perluasan pembangunan ekonomi Indonesia dengan mengintegrasikan implementasi REDD+
ke dalam proses perencanaan pembangunan dan pelaksanaan MP3EI.
Dalam laporan ini Capacity Building Pengarusutamaan REDD+ ke dalam Sistem Perencanaan
Pembangunan dan Greening MP3EI dalam Kerangka REDD+ meliputi penguatan pemahaman
dan peningkatan kemampuan perencana di sektor berbasis lahan, serta para pihak terkait, di 11
provinsi prioritas implementasi REDD+, khususnya untuk menginternalisasikan prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan dan menurunkan emisi karbon.
D. Peserta
Peserta Capacity Building yaitu individu yang mewakili instansi atau organisasi yang terlibat secara
langsung dalam penyusunan perencanaan pembangunan, termasuk menyusun dokumen
MP3EI tingkat provinsi dan kabupaten, antara lain:
1. Perwakilan dari Kelompok Kerja RAD-GRK
2. Perwakilan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda)
3. Perwakilan Dinas (bidang yang menangani perencanaan/perizinan) yang menangani bidang
kehutanan
4. Perwakilan Dinas (bidang yang menangani perencanaan/perizinan) yang menangani bidang
pertanian/perkebunan
5. Perwakilan Dinas yang menangani Perencanaan Tata Ruang (Dinas PU)
6. Perwakilan Dinas/Kantor Lingkungan Hidup Daerah (bidang yang menangani perencanaan/
perizinan)
7. Akademisi Bidang Perencanaan, Kehutanan dan Lingkungan Hidup
8. LSM yang bekerja di bidang perubahan iklim, kehutanan, atau bidang lain terkait
9. Bidang yang menangani perencanaan/perizinan pada UPT Kementerian Kehutanan di
Daerah (BPKH, BTN, BKSDA, BPDAS, BP2HP)
10. Perwakilan Dinas (bidang yang menangani perencanaan/perizinan) yang menangani bidang
perindustrian
11. Perwakilan Dinas (bidang yang menangani perencanaan/perijinan) yang menangani bidang
pertambangan dan energi
12. Perwakilan KADIN Provinsi
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
3
7. 13. Perwakilan Badan Penanaman Modal Provinsi
14. Perwakilan Kabupaten yang memiliki kawasan hutan cukup luas
15. Perwakilan Kelompok Kerja MP3EI
E. Proses Capacity Building
Hingga saat ini Capacity Building (CB) telah dilakukan di 11 provinsi sebagaimana disajikan pada
Tabel 1. Proses CB didahului dengan brainstorming dan FGD untuk menguatkan pemahaman
peserta mengenai isu Perubahan Iklim dan REDD+ dalam konteks sistem perencanaan
pembangunan, serta pentingnya REDD+ dalam perbaikan tata kelola kehutanan (forestry
governance). Proses dilanjutkan dengan diskusi mendalam, baik secara kelompok atau pleno,
untuk membahas mengenai: (1) proses pengarusutamaan REDD+ ke dalam RPJMD/RKPD
tinkat Provinsi; (2) Greening MP3EI. Diskusi mendalam dilakukan dengan mengikuti alur pikir
yang dituangkan dalam Pedoman Pengarusutamaan REDD+ ke dalam Sistem Perencanaan
Pembangunan dan Greening MP3EI dalam Kerangka REDD+ dengan mengacu pada dokumendokumen perencanaan yang telah ada (RPJMD/RKPD), RAD GRK dan/atau SRAP REDD+.
4
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
8. Tabel 1. Implementasi Capacity Building , Status SRAP REDD+ dan RAD GRK
No
Provinsi
Lokasi
Tanggal
SRAP REDD+
RAD GRK
1
Kalimantan Barat
Kantor Bappeda
Provinsi Kalbar
14-5 Februari 2013
Dalam proses
penyusunan
Sudah Disahkan melalui
peraturan Gubernur (No.
27/2012)
2
Sumatera
Selatan
Hotel Arista,
Palembang
19-20 Februari 2013
Dalam Proses
Penyelesaian
Sudah Disahkan melalui
peraturan Gubernur (No.
34/2012)
3
Jambi
Hotel Sang Ratu,
Jambi
20-21 Februari 2013
Dalam proses
Penyelesaian
Sudah Disahkan melalui
peraturan Gubernur (No.
36/2012)
4
Aceh
Hotel Kuala
Radja, Banda
Aceh
27-28 Februari 2013
Dalam proses
penyusunan
Sudah Disahkan melalui
peraturan Gubernur (No.
85/2012)
5
Sumatera Barat
Hotel Axana,
Padang
27-28 Maret 2013
Sudah selesai disusun
Sudah Disahkan melalui
peraturan Gubernur (No.
80/2012)
6
Sulawesi Tengah
Kantor Bappeda,
Palu
22-23 Mei 2013
STRADA REDD+ sudah
Disahkan melalui
peraturan Gubernur
(No. 36/2012)
Sudah Disahkan melalui
peraturan Gubernur (No.
30/2012)
7
Riau
Kantor Bappeda,
Pekanbaru
7-8 Mei 2013
Dalam proses
penyusunan
Sudah Disahkan melalui
peraturan Gubernur (No.
77/2012)
8
Papua
Kantor Bapeda
Provinsi Papua
15-16 Mei 2013
Dalam proses
penyusunan
Sudah Disahkan melalui
peraturan Gubernur (No.
9/2013)
9
Kaltim
Hotel Aston
Samarinda
27-28 Mei 2013
Sudah selesai disusun
Sudah Disahkan melalui
peraturan Gubernur (No.
54/2012)
10
Papua Barat
Hotel Aston,
Manokwari
20-21 Juni 2013
Sudah selesai Disusun
Dalam proses
penyusunan
11
Kalimantan
Tengah
Kantor Bappeda
Provinsi Kalteng
27-28 Juni 2013
STRADA REDD+ sudah
Disahkan melalui
peraturan Gubernur
(No. 10/2012)
Sudah Disahkan melalui
peraturan Gubernur (No.
36/2012)
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
5
9. F. Hasil Capacity Building
F1. Pengarusutamaan REDD+, Greening MP3EI dan Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) diimplementasikan oleh pemerintah
dan pemerintah daerah melalui proses perencanaan dan penganggaran yang berjenjang
dengan menganut kombinasi antara pendekatan top down dan bottom up planning. Sinergi
rencana pembangunan tersebut dilaksanakan melalui Musrenbang, mulai dari tingkat
desa, hingga musrenbang nasional. Dari keseluruhan alur perencanaan nasional, dokumen
RPJMN merupakan dokumen induk yang menjadi acuan utama dalam penyusunan
RPJMD yang menjadi acuan dalam penyusunan RKP dan RKPD. RPJMN disusun dengan
mempertimbangkan kinerja pembangunan pada saat awal perencanaan, agenda kinerja
Presiden terpilih, serta aspirasi pemangku kepentingan dan daerah pada saat musrenbang
jangka menengah nasional berlangsung. Dengan mekanisme tersebut, diharapkan terjadi
sinergi perencanaan pembangunan nasional dan daerah. Untuk menjembatani penanganan
isu lintas sektor dan lintas wilayah, RPJMN dan RPJMD secara eksplisit harus memuat program
lintas kementerian/SKPD dan lintas kewilayahan.
Dalam implementasi rencana pembangunan dimungkinkan adanya penetapan kebijakan
untuk merespon isu strategis tertentu yang dituangkan melalui Peraturan Presiden. Rencana
Aksi Nasional GRK (termasuk turunannya, yaitu REDD+) dan MP3EI merupakan dua dokumen
kebijakan nasional yang dalam implementasinya membutuhkan proses adopsi ke dalam Sistem
Perencanaan Nasional yang sedang berjalan. Hal ini menyebabkan perlunya penyesuaian dan
pengintegrasian kebijakan tersebut ke dalam implementasi pembangunan nasional/daerah.
Dalam konteks laporan ini, proses ini dikenal dengan pengarus-utamaan REDD+ ke dalam
SPPN dan Greening MP3EI. Pengarus-utamaan REDD+ ke dalam SPPN diharapkan mampu
menguatkan peran pemerintah dan pemerintah daerah dalam penurunan emisi karbon yang
berasal dari deforestasi dan degradasi hutan, sedangkan greening MP3EI diharapkan mampu
memberikan kontribusi pada pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan dalam upaya
percepatan dan pembangunan ekonomi. Fokus pengarus-utamaan REDD+ ke dalam Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional dan greening MP3EI Bidang REDD+ dalam laporan ini
dibatasi pada 11 Provinsi prioritas implementasi REDD+.
Evaluasi terhadap dokumen/draft/presentasi dokumen SRAP REDD+ yang telah disiapkan
oleh kelompok kerja di 11 Provinsi prioritas menunjukkan ragam format dan substansi yang
dituangkan ke dalam dokumen. Dalam perspektif sistem perencanaan, proses pengarusutamaan dinilai akan mengalami kendala akibat berbagai faktor berikut:
6
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
10. 1.
Terdapat kesenjangan kerangka pemikiran dalam penyusunan dokumen RAN REDD+
dengan RAD GRK dan SRAP REDD+. RAN REDD+ telah memberikan gambaran mengenai
kesenjangan antara kegiatan dan target pembangunan dengan syarat pencapaian,
baik di tingkat nasional maupun daerah.Secara umum, kesenjangan tersebut bermuara
pada lemahnya kondisi pemungkin yang merupakan ranah kewenangan pusat,
padahal kondisi pemungkin tersebut sangat diperlukan untuk menjalankan rencana
yang tertuang dalam SRAP REDD+.
2.
Terdapat kesenjangan antara substansi SRAP REDD+ dengan kewenangan Provinsi
dalam menjalankan urusan pemerintah sesuai PP 38 Tahun 2007. Substansi SRAP
REDD+ yang disusun untuk menyelesaikan akar masalah pembangunan di sektor
berbasis lahan, cenderung akan mengalami “penyesuaian” ketika masuk dalam struktur
birokrasi perencanaan yang bekerja berdasarkan kerangka hukum yang berlaku dan
tupoksi masing-masing sektor, baik di tingkat Provinsi maupun kabupaten.
3.
Terdapat perbedaan format antara strategi dan rencana aksi dalam dokumen SRAP
REDD+ dengan dokumen perencanaan daerah.
4.
Terdapat kesenjangan antara substansi SRAP REDD+ dengan kapasitas para aktor
pembangunan di daerah, baik dalam lingkup pemerintah, swasta maupun masyarakat
dalam pelaksanaan REDD+.
Sebagai langkah transisi untuk menata penyediaan kondisi pemungkin bagi perbaikan tata
kelola hutan dan lahan, maka pemfokusan upaya pengarus-utamaan REDD+ pada peran
pemerintah sebaiknya dilakukan sesuai dengan pembagian urusan dan kewenangan
pemerintahan yang berlaku (lihat Gambar 1). Dalam konteks ini, tema pengarusutamaan
diprioritaskan pada nomenklatur yang sudah dikenal dalam SPPN:
1.
Penyelesaian tata ruang wilayah Provinsi dan kabupaten/kota.
2.
Penyelesaian pengukuhan kawasan hutan, termasuk penyelesaian konflik tenurial dan
penataan ruang kelola masyarakat adat/lokal.
3.
Pembenahan sistem perijinan bidang kehutanan, pertambangan, perkebunan/
pertanian, dan pembangunan infratruktur.
4.
Pembangunan KPH dan implementasi adi-praktis pengelolaan hutan di tingkat tapak.
5.
Pengendalian kebakaran hutan dan lahan.
6.
Penegakan hukum atas segala bentuk tindakan haram bidang kehutanan.
7.
Implementasi adi-praktis pengelolaan lahan di luar kawasan hutan.
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
7
11. DOMAIN KEBIJAKAN (RPJMN/D: RKP/D: RENSTRA/RENJA K/L/D)
PENENTU KEBIJAKAN
(POLICY MAKERS)
KEBIJAKAN
&
REGULASI
TATA RUANG
YANG MANTAP
SISTEM
PERIJINAN
KAWASAN
BUDIDAYA NON
KEHUTANAN
KAWASAN
HUTAN TETAP
KONDISI PEMUNGKIN
(ENABLING
CONDITION)
PENGELOLAAN HUTAN
FASILITAS &
BIMBINGAN
TEKNIS
TERKENDALINYA
KEBAKARAN
HUTAN &
AKTIVITAS
HARAM
KAWASAN TERTENTU
KPHK/KPHL/
KPHP
IJIN USAHA
PEMANFAATAN HASIL
HUTAN & PENGGUNAAN
KAWASAN HUTAN
PENGELOLAAN
HUTAN TINGKAT
TAPAK
HUTAN ADAT
HUTAN RAKYAT
KINERJA
PENGELOLAAN
LAHAN KBNK
TINGKAT TAPAK
KINERJA
PENGELOLAAN
HUTAN TINGKAT
TAPAK
KINERJA
REDD+ TINGKAT
WILAYAH
DOMAIN PENGELOLAAN (RENCANA PENGELOLAAN HUTAN DAN LAHAN)
Gambar 1. Struktur Hipotetik implementasi REDD+ di Indonesia
F2. Hasil Pengarusutamaan REDD+
Pemerintah Provinsi umumnya menyambut sangat baik proses pengarusutamaan REDD+
ke dalam Sistem Perencanaan Pembangunan. Tidak ada keluhan yang berkaitan dengan
kesulitan proses pengarusutamaan REDD+ dalam dokumen perencanaan pembangunan.
8
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
12. Hasil diskusi dengan pemerintah daerah dan pemangku kepentingan menunjukkan bahwa
mereka mengalami kesulitan untuk mengidentifikasi dan memasukkan akar masalah REDD+
sebagaimana tercantum dalam Stranas REDD+, RAN REDD+, dan SRAP REDD+ ke dalam
program dan kegiatan RAD GRK serta program dan kegiatan tahunan SKPD.
Secara umum isu Perubahan Iklim, khususnya REDD+, masih dipandang dengan berbagai
ragam perspektif sektoral bahkan di beberapa provinsi terfokus pada makna sebagai sistem
insentif semata. Berbagai masalah pembangunan daerah yang bersifat lintas sektor dalam
konteks REDD+ dipahami peserta sebagai persoalan yang terkait erat dengan pemantapan
kawasan hutan dan penataan ruang. Dalam konteks proses pengarusutamaan REDD+, para
pihak masih mengalami kesulitan untuk mengidentifikasi akar permasalahan, mengingat
hal tersebut umumnya berkenaan dengan kebijakan nasional/provinsi dan konsistensi
implementasinya di tingkat kabupaten/kota atau tapak. Lemahnya kepastian kawasan hutan,
belum selesainya penataan ruang dan realitas penguasaan kehutanan oleh dunia usaha dan
masyarakat di berbagai tempat merupakan pokok masalah yang didiskusikan.
Para pihak yang tergabung dalam Tim Penyusun SRAP REDD+ telah mengidentifikasi akar
permasalahan pembangunan di sektor berbasis lahan, khususnya di Provinsi Jambi dan
Sumatera Selatan. Tim Penyusun SRAP REDD+ memaknai pengarusutamaan sebagai akar
masalah yang tidak dapat diakomodasikan dalam sistem perencanaan pembangunan
nasional namun penting untuk dilaksanakan, sehingga perlu dicari mekanisme kelembagaan
lain untuk mewujudkannya, sedangkan WG9 memaknai pengarusutamaan sebagai proses
untuk mengakomodasikan seluruh akar masalah pembangunan di sektor berbasis lahan ke
dalam sistem perencanaan pembangunan nasional. Dasar pemikiran WG9 adalah Article 3.4
dari Convention UNFCCC.
Secara umum proses pengarusutamaan dipahami oleh peserta, namun lemahnya pendekatan
holistik dalam sistem perencanaan pembangunan dan carut marut permasalahan kehutanan
yang terlanjur terjadi selama ini cenderung mendorong peserta pada pendekatan perencanaan
yang berbasis tupoksi, berorientasi target dan cenderung mengabaikan “enabling condition”
yang menjadi syarat cukup bagi tercapainya target pembangunan tersebut.
Beberapa hasil penting dari proses capacity building mainstreaming REDD+ dalam sistem
perencanaan pembangunan adalah sebagai berikut:
1.
Proses pengarusutamaan sesuai dengan pedoman yang dibuat telah membuka
perspektif baru dalam penyusunan RPJMD dan RKPD mengenai koordinasi perencanaan
pembangunan secara lintas sektor dan lintas wilayah, serta pentingnya identifikasi akar
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
9
13. masalah dan pendekatan holistik berbasis rencana tata ruang dan kemantapan kawasan
hutan tetap.
2.
3.
Pendekatan sektoral dalam sistem perencanaan dan lemahnya sinergi perencanaan
tingkat nasional, provinsi dengan kabupaten akan menyulitkan proses identifikasi akar
masalah yang secara umum bermuara pada masalah kebijakan dan tata kelembagaan.
Namun demikian provinsi yang telah memiliki dokumen/draft SRAP REDD+ secara
umum juga memiliki pemahaman yang lebih baik dalam melihat akar permasalahan
pembangunan dalam konteks REDD+ dan penurunan emisi karbon.
4.
Dalam perspektif perencanaan pembangunan, selama pendekatan sektoral dalam sistem
perencanaan masih digunakan dan sinergi perencanaan tingkat nasional, provinsi dengan
kabupaten masih lemah, maka usulan pembentukan Lembaga REDD+ Daerah berpotensi
semakin menyulitkan proses penyelesaian akar masalah yang telah diidentifikasi dalam
SRAP REDD+.
5.
Dalam penyusunan SRAP, Satgas REDD+ perlu melakukan pendampingan dengan
melibatkan WG terkait, karena sebenarnya substansi SRAP memiliki muatan keseluruhan
output WG. Pendampingan penyusunan SRAP juga disertai kegiatan monitoring kemajuan
dan perkembangannya, sehingga permasalahan penyusunan SRAP dapat teridentifikasi.
6.
Khusus untuk Provinsi Sumatera Selatan, pemahaman terhadap pendekatan dan proses
pengarusutamaan yang dipaparkan oleh Pokja 9 sudah sangat komprehensif. Pendekatan
dan langkah-langkah yang digunakan oleh Pemerintah Provinsi hampir seluruhnya sesuai
dengan langkah-langkah yang dipersyaratkan dalam Pedoman Pengarusutamaan REDD+.
Sebagai contoh, telah dilakukannya persandingan antara RAD GRK dengan SRAP REDD+
untuk mencari kesesuaian program dan kegiatan dan kemungkinan adanya gap program
dan kegiatan antara keduanya. Selain itu, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan juga
telah berkomitmen (dinyatakan melalui SK Gubernur) untuk mengintegrasikan seluruh
kegiatan RAD GRK dan program dan kegiatan SRAP REDD+ ke dalam RPJMD 2014-2019.
7.
10
Penguatan kapasitas untuk pengarusutamaan REDD+ membutuhkan penguatan
pemahaman atas substansi REDD+ pada sektor penataaan ruang dan sektor berbasis lahan,
serta penguatan pemahaman terhadap proses perencanaan yang didukung oleh “spatial
baseline information” yang kuat mengenai kawasan hutan yang akan dipertahankan
sebagai hutan tetap. Perbedaan pemahaman mengenai pengarusutamaan REDD+
dalam sistem perencanaan pembangunan perlu diantisipasi sejak dini untuk memastikan
keberhasilan REDD+ di tingkat provinsi.
Khusus untuk Provinsi Papua dan Papua Barat, capacity building pengarusutamaan REDD+
dan MP3EI direspon sebagai peluang untuk menyusun “grand design” pembangunan
wilayah secara berkelanjutan berbasis pembangunan ekonomi rendah karbon. Kedua
Provinsi perlu didukung pemerintah pusat untuk menyusun rencana induk pembangunan
wilayah tersebut guna mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam, khususnya
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
14. kehutanan bagi upaya untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari berbasis modal
sosial yang ada dan mendukung pencapaian tujuan REDD+ pada masa yang datang.
F3. Hasil Greening MP3EI
Dua isu greening paling utama, yakni lingkungan dan keadilan sosial, dapat dimengerti dan
diterima meskipun masih memerlukan pemikiran lebih jauh untuk mengimplementasikannya
dalam rencana pembangunan daerah. Secara umum, ego sektoral masih sangat mewarnai
dialog antar sektor, sehingga melemahkan koordinasi antar sektor. Hal ini masih perlu
mendapatkan perhatian yang sangat serius dalam mengimplementasikan MP3EI yang
lebih hijau. Selain itu, pemahaman peserta mengenai pendekatan yang berbasis insentif
dan disinsentif masih sangat kurang sehingga perlu peningkatan segera. Pada Provinsi
Jambi sudah ada kesadaran bahwa pembangunan sumberdaya manusia setempat melalui
pendidikan merupakan kunci pembangunan jangka panjang.
Beberapa hasil penting dari proses capacity building Greening MP3EI adalah sebagai berikut:
1. Pengetahuan tentang MP3EI tidak merata untuk semua peserta. Disamping itu juga
belum ada dokumen MP3EI yang spesifik untuk tingkat provinsi. Greening MP3EI masih
banyak menghadapi tantangan, khususnya perubahan paradigm pembangunan yang
belum berbasiskan pada paradigma pembangunan berkelanjutan, namun masih
berorientasi kepada pembangunan sektoral-ekonomi.
2. Terbatasnya sosialisasi kebijakan dan rencana aksi MP3EI dari kementrian terkait dan
belum adanya MP3EI untuk provinsi, mengakibatkan minimnya pemahaman stakeholders
pada tingkat provinsi dan tingkat kabupaten. Berdasarkan kondisi ini, proses capacity
building greening MP3EI bidang REDD+, lebih difokuskan pada diskusi konsep dan isuisu pembangunan berkelanjutan. Perlunya visi dan misi pemimpin dalam menjabarkan
pembangunan berkelanjutan ke dalam kebijakan, strategi, program, dan kegiatan serta
struktur organisasi pendukungnya.
3. secara umum perencanaan pembangunan masih berorientasi pada target output,
sangat terbatas di dalam penetapan tujuan (dampak) dari aspek ekonomi, lingkungan
dan sosial, dan ukuran (indikator) yang jelas; dan masih terbatas dalam menggunakan
informasi statistik wilayah sebagai bahan perencanaan dan evaluasi kinerja pencapaian
tujuan pembangunan daerah.
4. Secara umum mekanisme greening bidang REDD+ sebagaimana pada pedoman dapat
dipahami peserta, namun koordinasi antar sektor masih perlu mendapat perhatian yang
sangat serius dalam mengimplementasikan MP3EI yang hijau, mengingat investasi skala
besar di daerah umumnya masih didominasi oleh capital intensive yang berasal dari
perusahaan skala besar atau perusahaan asing.
5. Proses greening akan mengalami hambatan (lambat) pada proses legal terkait
penggunaan kawasan hutan untuk sektor di luar kehutanan, masalah ketersediaan data,
dan proses pengambilan keputusan greening dan kendala ketidakpastian tata ruang.
6. Pedoman Greening MP3EI bidang REDD+ statusnya di dalam proses perencanaan
pembangunan daerah masih belum memiliki legalitas, sehingga menjadi suatu
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
11
15. tantangan pada tataran implementasinya. Ada dua hal tantangan itu yaitu status legal
pedoman greening MP3EI, dan para pihak yang akan melaksanakan greening MP3EI
bidang REDD+.
7. Di Provinsi Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, dan Aceh diskusi yang lebih mendalam
dalam proses greening adalah mengenai kriteria dan indikator. Ada kesepahaman bahwa
diperlukan perubahan kebijakan dan strategi pembangunan agar beberapa kriteria
dan indikator greening dapat dipenuhi. Kriteria indikator dimaksud adalah a) indikator
nisbah anggaran pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan terhadap
nilai sumberdaya alam yang tereksploitasi dari daerah yang bersangkutan ;b) konflik
di masyarakat; c) perimbangan pembagian hasil dari sumberdaya alam, baik langsung
maupun tidak langsung, antara pusat dan daerah; d) partisipasi/ akses masyarakat local/
adat di dalam kegiatan ekonomi/ pembangunan
8. Di Provinsi Kalimantan Barat MP3EI diharapkan dapat meningkatkan ketersediaan dan
layanan energy/ listrik, dan tuntasnya transportasi (Trans Kalimantan) khususnya di
jalur Kalbar ke Kalteng/ Kaltim. Disamping itu juga digugah agar kebijakan yang lebih
tinggi (PP) tentang pembangunan perbatasan Kalbar dan Malaysia, diprioritaskan untuk
direalisasikan, kemudian baru implementasi MP3EI dengan status Perpres.
9. Diskusi pembangunan pada MP3EI dan REDD+ sangat mendapat perhatian pada isu
kepentingan sektor pada ruang (diperlukan kepastian tata ruang/ RTRW), isu kerusakan
sumberdaya alam dan dampak lingkungan, serta isu keadilan sosial, terutama hak-hak
masyarakat terhadap sumberdaya dan memperoleh manfaat pembangunan tersebut.
10. Pada provinsi yang infrastrukturnya belum berkembang, ada persoalan yang harus
dipahami secara baik dan bijak, bahwa kebutuhan pembangunan infrastruktur sebagai
prasyarat pengembangan wilayah, yang tidak jarang melewati kawasan hutan khususnya
hutan lindung dan konservasi, perlu mendapatkan perhatian dan alokasi ruang namun
tetap tanpa mengorbankan kelestarian dan ekosistem.
G. Evaluasi Proses Capacity Building
Evaluasi proses capacity building dilakukan melalui evaluasi terhadap a) peserta yang hadir
dan keaktifan berkontribusi di dalam diskusi, b) materi capacity building, c) mekanisme atau
pelaksanaan capacity building, d) isu yang muncul pada saat diskusi kelompok maupun panel.
1. Peserta dan Proses Diskusi
Peserta capacity building berasal dari badan perencana, SKPD kehutanan/perkebunan,
pertanian, pertambangan, perdagangan industri, lingkungan hidup, penanaman modal
daerah pada tingkat provinsi dan sebagian dari kabupaten/kota, dan UPT Kementerian
Kehutanan di daerah. Di samping unsur pemerintah, juga dihadiri oleh peserta dari perguruan
tinggi, lembaga swadaya masyarakat di provinsi maupun kabupaten. Dari sisi target
12
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
16. keterwakilan peserta, maka capacity building sudah terpenuhi; hal ini berkait kerjasama yang
baik antara WG9 dengan Bappeda sebagai penyelenggara.
Sebagian besar peserta capacity building bukan pengambil keputusan yang dapat secara
langsung menyatakan komitmen mereka untuk mempergunakan dua pedoman tersebut
dalam proses perencanaan pembangunan daerah. Namun mereka akan berupaya agar dua
pedoman tersebut dapat menjadi dasar dalam penyusunan program dan kegiatan SKPD.
Topik pengarusutamaan REDD+ ke dalam perencanaan pembangunan daerah relatif lebih
banyak mendapat perhatian peserta; peserta lebih banyak mendiskusikan isu-isu terkait topik
REDD+ ini. Hal ini terkait dengan realitas di daerah, pengetahuan tentang isu REDD+ relatif
sudah lebih banyak diperoleh sebagian besar peserta, dan proses sosialisasi ataupun FGD
tentang REDD+ di daerah banyak dilakukan oleh berbagai pihak baik dari Satgas REDD+
maupun dari LSM. Di samping itu peserta yang menjadi anggota pokja (komisi daerah istilah
di Kalteng) RAD GRK atau REDD+ langsung berkepentingan terhadap substansi REDD+
untuk penyusunan dokumen SRAP REDD+ ataupun untuk mendapatkan kejelasan rencana
implementasi dan mekanisme pendanaannya/insentif. Sedangkan, untuk topik MP3EI
peserta relatif lebih banyak memberikan perhatian kepada penyampaian materi oleh nara
sumber dari WG 9 Satgas REDD+. Sehingga proses capacity building juga sekaligus menjadi
sosialisasi MP3EI, pembangunan daerah dalam konteks pembangunan berkelanjutan, dan
metode greening.
2. Materi Capacity Building
Proses capacity building dengan metode brainstorming dan FGD pada topik pengarusutamaan
REDD+ ke dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Greening MP3EI bidang
REDD+. Materi capacity building karena pertimbangan alokasi waktu dan prasyarat
peserta sejak awal dirancang bukan untuk tujuan memberikan kemampuan skill di dalam
menggunakan ke 2 jenis pedoman ini. Secara umum substansi materi capacity building
adalah kebijakan dan isu-isu perubahan iklim (REDD+) dan kebijakan serta isu-isu MP3EI;
pedoman pengarusutamaan REDD+ ke dalam perencanaan pembangunan daerah (RPJMD
dan RKPD) serta pedoman greening bidang REDD+.
Materi capacity building sudah memenuhi tujuan yang diharapkan dari pelaksanaan
capacity building pada dua pedoman dimaksud. Capacity Building pada beberapa provinsi
belum banyak mengupas teknis pengarusutamaan REDD+ dan greening MP3EI, karena
lebih berfokus pada diskusi isu REDD+ dan MP3EI terkait masalah kepastian hukum, otonomi
daerah, penataan dan pemanfaatan ruang yang belum mengakomodir hak-hak masyarakat
adat/ lokal, kordinasi antar sektor, termasuk soal penggunaan kawasan hutan untuk areal
penggunaan lain (APL) seperti pertanian, perkebunan, pertambangan, infrastruktur dan lain
sebagainya.
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
13
17. 3. Mekanisme Pelaksanaan Capacity Building
Mekanisme capacity building dirancang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, yaitu
menggunakan pendekatan brainstorming dan FGD, untuk membangun partisipasi peserta
dalam mengungkapkan dan memberikan bahasan terhadap topik dan isu yang dibahas.
Dalam pelaksanaan capacity building dua pedoman ini, setelah mengambil pengalaman di
Provinsi Kalbar, dipandang perlu pihak daerah khususnya Pokja RAD GRK atau SRAP REDD+,
melakukan desiminasi dan sosialisasi program dan kegiatan yang ada pada kedua dokumen
tersebut (RAD-GRK dan SRAP REDD+) kepada seluruh peserta dan proses integrasi program
dan kegiatan REDD+ ke dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah (RPJMD dan
RKPD).
Mekanisme capacity building dipandang cukup untuk mencapai tujuan yaitu membangunan
pemahaman REDD+, keperluan integrasi ke dalam perencanaan pembangunan daerah,
pemahaman kepentingan greening dan/atau pembangunan berkelanjutan. Untuk tujuan
capacity building lebih lanjut, yaitu tujuan praktek, maka diperlukan pengembangan
pelaksanaan, terkait persyaratan peserta yang betul-betul sebagai pelaksana di dalam
perencanaan pembangunan di setiap SKPD, alokasi waktu yang lebih lama, metode latihan
kasus dengan data yang cukup untuk sebuah kasus bahasan.
4. Isu-Isu Pokok Diskusi Pengarusutamaan REDD+ Dan Greening MP3EI
Isu pokok di dalam diskusi secara lebih rinci telah disajikan pada Bab Hasil Capacity Building
(pengarusutamaan REDD+ dan greening MP3EI bidang REDD+). Secara umum, adalah :
Ketidakpastian RTRW provinsi dan kabupaten/ kota dan pemantapan kawasan hutan
tetap, yang dapat menghambat penetapan lokasi, program dan besar kegiatan SRAP/
STRADA REDD+ di lapangan.
Akomodasi kepentingan dan hak-hak masyarakat dalam penataan dan pemanfaatan
ruang, REDD+ maupun pembangunan secara umum, termasuk MP3EI.
Kesesuaian berbagai program dan kegiatan sektoral, RAD GRK, REDD+, MP3EI,
memerlukan koordinasi secara lebih baik, dan didukung oleh data dasar yang akurat
terkait inventarisasi nilai sumberdaya hutan, masyarakat dan ruang.
Memastikan kapasitas daerah dalam perencanaan dan operasionalisasi rencana di
lapangan, dikaitkan dengan kepentingan sektor lain atau para pihak di daerah, maka
diperlukan pendampingan dalam implementasi, monitoring dan evaluasi sampai pada
tingkat lapangan.
Implementasi REDD+ saat ini masih dalam tahap penyiapan kondisi pemungkin. Kendala
yang dihadapi dalam menyiapkan kondisi pemungkin antara lain ketersediaan data dan
informasi termasuk peta yang akurat, kebutuhan ruang untuk kegiatan bukan hutan dan
14
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
18. kehutanan, kebutuhan minimal untuk melakukan konservasi kawasan hutan dan lahan
gambut, kebijakan pemberian akses terhadap kawasan hutan bagi masayarakat adat,
serta kebijakan “one map”.
H. Rekomendasi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Penguatan kapasitas untuk pengarusutamaan REDD+ membutuhkan penguatan
pemahaman atas substansi REDD+ pada sektor penataaan ruang dan sektor berbasis lahan,
serta penguatan pemahaman terhadap proses perencanaan yang didukung oleh “spatial
baseline information” yang kuat mengenai kawasan hutan yang akan dipertahankan sebagai
hutan tetap.
Disarankan kepada pemerintah daerah provinsi untuk mensosialisasikan pengetahuan pada
capacity building ini ke pemda kabupaten. Cara lain adalah mewajibkan staf perencana
pada SKPD kabupaten untuk mengikuti secara aktif dalam proses capacity building yang
diadakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Pertimbangannya adalah bahwa
SKPD kabupaten merupakan penanggungjawab pelaksanaan REDD+ yang kewenangannya
sudah diberikan kepada mereka.
Perlu dipertimbangkan status/legalitas pedoman pengarusutamaan REDD+ dan pedoman
greening MP3EI, di dalam proses perencanaan pembangunan nasional, provinsi dan
kabupaten/kota. Tanpa adanya kejelasan status/legalitas, maka kedua pedoman tersebut
kemungkinan besar hanya menjadi pengetahuan.
Desentralisasi anggaran, termasuk anggaran pendidikan yang berorientasi pada peningkatan
sumberdaya manusia, perlu di-reform agar penggunaannya lebih efektif dan sesuai dengan
kebutuhan Daerah.
Perlu ada pelatihan khusus mengenai pendekatan insentif dan disinsentif sebagai instrumen
pembangunan dan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan.
Pengarusutamaan REDD+ ke dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan
Greening MP3EI bidang REDD+, serta program dan kegiatan implementasi REDD+
secara keseluruhan perlu dilandaskan pada konsep pembangunan berkelanjutan untuk
memastikan bahwa REDD+ selaras dan harmonis dengan pembangunan wilayah.
20. MODUL
GREENING MP3EI DALAM KERANGKA REDD+
LATAR BELAKANG
DESKRIPSI SINGKAT
TUJUAN
MATERI POKOK
PENUTUP
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
17
21. 1. Latar Belakang
Undang-Undang No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
(RPJPN), menyatakan bahwa pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan
yang berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan
negara untuk melaksanakan UUD 1945. Rangkaian upaya pembangunan tersebut berlangsung
tanpa henti, dengan menaikkan tingkat kesejahteraan masyarakat dari generasi demi generasi.
Pelaksanaan upaya tersebut dalam konteks memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa
mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya.
Pernyataan ini adalah RPJPN secara substansi harusnya pembangunan berkelanjutan. Pemerintah
telah membuat kebijakan pembangunan, khususnya terkait 1) Penurunan Gas Rumah Kaca (GRK),
dan penurunan emisis karbon dari degradasi dan deforestasi hutan (REDD+). 2) Master Plan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia.
Kebijakan dan strategi RAN-GRK Indonesia dirumuskan berdasarkan kesiapan yang sudah
dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam meratifikasi kesepakatan UNFCCC. Hal ini kemudian,
dituangkan dalam Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2010 tentang RAN-GRK. Mengacu pada prinsipprinsip UNFCCC tersebut, maka pengurangan emisi dari business as usual (BAU) tahun 2020 akan
dilaksanakan sejalan dengan upaya mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar rata-rata
6-7%, sebagaimana tertuang di dalam RAN-GRK. Jadi, strategi nasional akan mengkombinasikan
antara target nasional tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 6-7% dan komitmen Indonesia
kepada dunia untuk emisi sebesar 26-41%.
Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) adalah skema pemberian
insentif buat usaha-usaha pengurangan emisi yang berasal dari deforestasi dan kerusakan
hutan. Pada keputusan Conference of Parties (COP) 13 dan COP 14, peranan hutan dalam mitigasi
perubahan iklim tidak hanya dari sisi negatifnya (mencegah deforestasi dan kerusakan hutan),
tetapi juga dilihat sisi positifnya. Sasaran atau target REDD+ adalah emisi GRK dari hutan dan
gambut turun sebesar 14% dari bagian komitmen nasional sebesar 26% dengan upaya nasional
dan 41% dengan dukungan internasional, pada tahun 2020.
MP3EI adalah dokumen rencana pembangunan ekonomi yang menjadi bagian tidak terpisahkan
dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025. Undang-Undang No
17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional, menyatakan bahwa
pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan
yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara untuk melaksanakan
UUD 1945. Melalui MP3EI, pembangunan ekonomi Indonesia diperkirakan akan mengalami
percepatan dan peningkatan dan akan menempatkan Indonesia sebagai Negara maju pada
tahun 2025 dengan pendapatan perkapita antara USD 14.250 – USD 15.500 dengan nilai total
perekonomian (PDB) berkisar antara USD 4,0 – 4,5 triliun. Untuk mencapai kondisi perekonomian
tersebut diperlukan pertumbuhan ekonomi riil sebesar 6,4 – 7,5 persen pada periode 2011 –
2014, dan sekitar 8,0 – 9,0 persen pada periode 2015 – 2025. Pertumbuhan tersebut diharapkan
18
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
22. akan dibarengi oleh penurunan inflasi dari sebesar 6,5 persen pada periode 2011 - 2014 menjadi
3,0 persen pada 2025.
Perubahan paradigma dari pembangunan “business as usual” saat ini yang mengedepankan
pembangunan ekonomi saja menjadi pembangunan berkelanjutan menjadi semakin penting
dengan permasalahan lingkungan global dan lokal yang berkembang saat ini. Master Plan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), Rencana Aksi Nasional
Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) dan Implementasi REDD+ di Indonesia dapat
berpotensi kurang memberikan kontribusi terhadap pencapaian pembangunan nasional dan
kesejahteraan rakyat jika tidak diletakkan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan yang
dilandaskan pada pilar rasionalitas lingkungan, sosial dan ekonomi nasional.
MP3EI tampaknya lebih focus pada gambaran pertumbuhan ekonomi, belum menggambarkan
perwujudan pembangunan berkelanjutan. Berdasarkan substansi RPPLH dan KLHS, dan
mempertimbangkan MP3EI sebagai perencanaan pembangunan ekonomi, operasionalisasi
pembangunan berkelanjutan MP3EI seharusnya meliputi 4 muatan prinsip pembangunan
berkelanjutan, yaitu (1) keberlanjutan cadangan sumber daya alam yang dieksploitasi, (2)
keberlanjutan daya dukung dan daya tampung lingkungan untuk mendukung pembangunan
ekonomi di masa datang, (3) perkiraan dampak dan resiko lingkungan hidup, dan (4) keselamatan,
mutu hidup dan kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat di wilayah pembangunan.
Pembangunan berkelanjutan mengandung pengertian sebagai pembangunan yang
“memperhatikan” dan “mempertimbangkan” dimensi lingkungan hidup dalam pelaksanaannya.
Pembangunan berkelanjutan, para ahli sepakat mengadopsi pengertian yang telah disepakati
oleh komisi Brundtland yang menyatakan bahwa “pembangunan berkelanjutan adalah
pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan
generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Agar kebijakan MP3EI dan Redd+ itu tidak saling meniadakan dan memenuhi prinsip
pembangunan berkelanjutan diperlukan upaya “greening” MP3EI bidang REDD+.
2. Deskripsi Singkat
Modul greening MP3EI mencakup pembahasan atau diskusi tentang kebijakan pembangunan
Indonesia khususnya tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia (MP3EI), Rencana Aksi Nasional Penurunan Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) juga Reducing
Emission from Degradation and Deforestation Plus (REDD+).
Diskusi berupa posisi MP3EI didalam konteks pemenuhan prinsip pembangunan berkelanjutan.
Untuk itu juga diuraikan tentang konsep pembangunan berkelanjutan di dalam pembangunan.
MP3EI sebagai bagian dari perencanaan pembangunan, maka pembahasan perencanaan
pembangunan berupa Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) beserta
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
19
23. landasannya juga dikupas.
Operasionalisasi konsep pembangunan berkelanjutan, maka pembahasan hal ini dikemas di
dalam pembangunan berkeadilan dan ramah lingkungan. Disini diuraikan secara lebih operasional
tentang prinsip pembangunan berkelanjutan beserta ukuran (kriteria dan indikator) yang dipakai
dalam mengukur rencana pembangunan apakah sudah memenuhi prinsip keberlanjutan.
Secara teknis pelaksanaan greening dibahas di dalam topic Mekanisme Greening MP3EI dalam
Perencanaan Pembangunan.
3. Tujuan
1. Sebagai upaya membangun paradigma pembangunan berkelanjutan dalam penyelenggaraan
MP3EI sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem perencanaan pembangunan
nasional.
2. Sebagai upaya membangun kapasitas berupa pengetahuan para pemangku kepentingan,
dalam perencanaan pembangunan di tingkat nasional dan daerah, tentang paradigma
pembangunan berkelanjutan dan pengetahuan mekanisme proses operasionalisasinya
ke dalam perencanaan pembangunan. Pengetahuan ini sebagai modal dasar integrasi
pembangunan berkelanjutan dalam perencanaan pembangunan nasional dan daerah
khususnya dalam penyelenggaraan MP3EI.
4. Materi Pokok
1.1
1.2
1.3
1.4
Tinjauan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)
Prinsip Pembangunan Berkelanjutan dalam Perencanaan Pembangunan
Pembangunan Berkeadilan dan Ramah Lingkungan
Mekanisme Greening MP3EI dalam Perencanaan Pembangunan
5. Penutup
Pembahasan melalui berbagai modul greening ini sebagai upaya melengkapi “Pedoman
Greening MP3EI Bidang REDD+”. Pemahaman “Pedoman Greening MP3EI” dan “modul-modul
greening” dibangun melalui melalui diskusi secara interaktif dan terfokus diantara para pemangku
kepentingan di tingkat nasional dan daerah.
Hasil ideal yang diharapkan adalah memberikan hasil proses perencanaan pembangunan
khususnya respon terhadap MP3EI berupa kebijakan (Perpres) MP3EI itu sendiri, ataupun rencana
aksi MP3EI yang akan diintegrasikan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
Nasional dan Daerah, serta Rencana Strategis Kementerian/Lembaga Non Kementerian dan
Satuan Kerja Pemerintah Daerah, yang telah teruji pemenuhan keberlanjutannya. Jika rancangan
rencana pembangunan belum mampu memenuhi keberlanjutan maka diperlukan revisi dan
penyesuaian, termasuk rancangan rencana aksi MP3EI maupun Rencana REDD+ itu.
20
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
24. Disadari bahwa kegiatan diskusi yang diselenggarakan ini memiliki keterbatasan, khususnya
waktu pelaksanaan, yang juga berimplikasi pada substansi yang dibahas. Oleh karena itu ukuran
keberhasilan diskusi ini adalah adanya pemahaman yang relatif merata di antara para pemangku
kepentingan tentang konsep pembangunan berkelanjutan di dalam perencanaan pembangunan
khususnya di bidang MP3EI dan REDD+. Ukuran sedikit lebih diharapkan adalah berkembangnya
kesadaran dan sikap kritis terhadap kepentingan pembangunan berkelanjutan.
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
21
26. MODUL 1:
TINJAUAN MASTERPLAN PERCEPATAN DAN
PERLUASAN PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA
MP3EI DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Guna meningkatkan daya saing perekonomian nasional yang lebih solid, untuk melengkapi
dokumen perencanaan pembangunan, khususnya Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional 2005-2025 (RPJPN) diperlukan adanya masterplan percepatan dan
perluasan pembangunan ekonomi Indonesia yang memiliki arah yang jelas, strategi yang
tepat, fokus dan terukur. Berdasarkan pertimbangan tersebut, pemerintah menetapkan
Peraturan Presiden Nomor 32 tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Substansi dari Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 adalah pengembangan Koridor
Ekonomi Indonesia menggunakan tiga strategi utama yaitu pengembangan potensi
ekonomi, penguatan konektivitas nasional dan penguatan kemampuan sumber daya
manusia dan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) nasional.
Upaya pemerintah merealisasikan komitmen nasional untuk berperan dalam pengurangan
emisi gas rumah kaca (GRK) telah dituangkan dalam Rencana Aksi Nasional Pengurangan
Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) yang ditetapkan sebagai kebijakan pemerintah melalui
Peraturan Presiden No 61 tahun 2011. Untuk mendukung upaya reduksi emisi GRK
dalam MP3EI, diperlukan upaya integrasi MP3EI dalam perencanaan pembangunan
dengan mempertimbangkan RAN GRK. Disisi lain, terkait perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup nasional, telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-Undang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ini sebagai wujud pada amanat Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa pembangunan nasional diselenggarakan
berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawaskan lingkungan, serta
adanya permasalahan lingkungan hidup yang membutuhkan upaya perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup. MP3EI sebagai perencanaan pembangunan bidang ekonomi,
yang menjadi bagian dari perencanaan pembangunan nasional, juga diamanatkan untuk
berlandaskan pada prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawaskan lingkungan.
Sebagai upaya membangun paradigma pembangunan berkelanjutan dalam
penyelenggaraan MP3EI sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem perencanaan
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
23
27. pembangunan nasional, dibutuhkan capacity building paradigma pembangunan
berkelanjutan sebagai modal dasar kapasitas integrasi pembangunan berkelanjutan dalam
perencanaan pembangunan nasional, khususnya dalam penyelenggaraan MP3EI.
1.2 Deskripsi Singkat
Modul Tinjauan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
(MP3EI) ini meliputi beberapa materi, yaitu (1) landasan hukum pembangunan berkelanjutan
dan MP3EI serta landasan teori pembangunan berkelanjutan, (2) muatan MP3EI, dan (3)
muatan prinsip pembangunan berkelanjutan dalam MP3EI.
Materi landasan hukum MP3EI dan pembangunan berkelanjutan serta landasan teori
pembangunan berkelanjutan menjelaskan kebijakan yang telah ditetapkan sebagai
landasan hukum MP3EI dan pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan dalam
sistem perencanaan pembangunan. Materi landasan teori pembangunan berkelanjutan
menjelaskan teori-teori pembangunan berkelanjutan yang menjadi prinsip dasar MP3EI.
Materi prinsip Muatan MP3EI menjelaskan latar belakang, prinsip dasar dan prasyarat, strategi
utama, program dan kegiatan, dan inisiatif strategis. Materi muatan prinsip pembangunan
berkelanjutan MP3EI menguraikan keterkaitan tema pembangunan dan kegiatan ekonomi
utama MP3EI dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.
1.3 Tujuan
Modul tinjauan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
(MP3EI) ini adalah materi yang menjadi bagian dari capacity building greening MP3EI bidang
REDD+ dengan tujuan untuk membangun paradigma pembangunan berkelanjutan
sebagai modal dasar integrasi MP3EI dalam perencanaan pembangunan.
2. Landasan Hukum dan Teori
2.1 Landasan Hukum Pembangunan Berkelanjutan dan MP3EI
Ada beberapa landasan hukum yang menjadi dasar kewajiban untuk menerapkan
pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Berikut beberapa peraturan tersebut dan
penjabarannya:
a. Undang-Undang Dasar 1945
Pembangunan berkelanjutan dan wawasan lingkungan hidup telah diamanatkan oleh
UUD 1945, yaitu pasal 28 H ayat (1) dan pasal 33 ayat (4). Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945
secara jelas menyatakan bahwa: setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hak
untuk memperoleh pelayanan lingkungan hidup serta pelayanan kesehatan yang baik
24
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
28. merupakan hak asasi manusia. Hadirnya ketentuan pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 tersebut
telah menegaskan bahwa norma lingkungan hidup telah mengalami konstitusionalisasi
menjadi materi muatan konstitusi sebagai hukum tertinggi. Artinya, segala kebijakan
dan tindakan pemerintahan dalam pembangunan haruslah tunduk kepada ketentuan
mengenai hak asasi manusia atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Tidak boleh
ada lagi kebijakan yang tertuang dalam bentuk undang-undang ataupun peraturan di
bawahnya yang bertentangan dengan ketentuan konstitusional yang pro-lingkungan ini.
Selanjutnya, dalam ketentuan pasal 33 ayat (4) dinyatakan bahwa: perekonomian nasional
diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan dan kemajuan ekonomi nasional. Perekonomian nasional
berdasar atas demokrasi ekonomi yang dimaksud haruslah mengandung prinsip
bekerlanjutan dan berwawasan lingkungan. Oleh sebab itu, berbagai undang-undang
di bidang lingkungan hidup haruslah dikelola untuk kepentingan pembangunan
berdasarkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan wawasan lingkungan
hidup.
Dengan diterimanya kedua prinsip tersebut menjadi dasar dalam rumusan hukum
tertinggi di Indonesia, menunjukkan bahwa semua kebijakan-kebijakan ekonomi yang
kita kembangkan haruslah mengacu dan atau tidak boleh bertentangan dengan prinsip
yang diatur dalam UUD 1945. UUD sebagai hukum tertinggi merupakan kesepakatan
kewarganegaraan dan konsensus kebangsaan tertinggi yang harus dijadikan pegangan
bersama dalam segenap aktivitas penyelenggaraan negara.
b. Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan UndangUndang No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
2005-2025 (RPJMN).
GBHN tahun 1999-2004 menyebutkan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan telah
diletakkan sebagai kebijakan. Pembangunan berkelanjutan menjadi sebuah harapan
yang harus diwujudkan. Hal ini kemudian yang mendasari dibentuknya institusi atau
lembaga yang membidangi lingkungan hidup. Kelembagaan ini mempunyai peranan
penting dalam memberi landasan lingkungan bagi pelaksanaan pembangunan di
Indonesia.
Rencana Pembangunan Jangka Panjang nasional adalah dokumen pengganti hilangnya
GBHN. Dalam RPJPN, perubahan iklim dan pemanasan global dianggap sebagai tantangan
bagi keberlanjutan pembangunan dalam jangka panjang. Dalam bidang sumber daya
alam dan lingkungan hidup, RPJPN menyebutkan bahwa jasa-jasa lingkungan adalah
penopang hidup manusia. Jasa-jasa lingkungan itu adalah keanekaragaman hayati,
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
25
29. penyerapan karbon, pengaturan air secara alamiah, keindahan alam dan udara bersih.
Oleh sebab itu, aspek lingkungan selain aspek ekonomi dan sosial adalah aspek penting
untuk keberlangsungan pembangunan di Indonesia dan umat manusia. Dalam RPJMN,
pelaksanaan pembangunan dilakukan dalam konteks memenuhi kebutuhan masa
sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi
kebutuhannya. Pernyataan ini adalah substansi dari pembangunan berkelanjutan,
yang berarti bahwa Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional adalah rencana
pembangunan dengan konsep pembangunan berkelanjutan.
c. Undang-Undang tentang lingkungan hidup (UU no. 14/1982 tentang Ketentuanketentuan Pokok Pengelolaan lingkungan Hidup; UU no. 23/2007 tentang Pengelolaan
Lingkungan hidup; dan UU no.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup).
Undang-Undang No. 14 tahun 1982 mengamanatkan keharusan untuk mengkaitkan
pelaksanaan pembangunan dengan pengelolaan lingkungan hidup melalui apa yang
dinamakan “pembangunan berwawasan lingkungan”. Pasal 4 huruf d undang-undang
ini disebutkan juga bahwa salah satu tujuan pengelolaan lingkungan hidup adalah
“terlaksananya pembangunan berwawasan lingkungan untuk kepentingan generasi
sekarang dan mendatang”. Pembangunan berwawasan lingkungan dirumuskan dalam
pasal 1 angka 13 yang menyatakan bahwa “pembangunan berwawasan lingkungan
adalah upaya sadar dan terencana menggunakan dan mengelola sumber daya secara
bijaksana dalam pembangunan yang berkesinambungan untuk meningkatkan mutu
hidup.
Dalam perkembangan selanjutnya UU No. 4 Tahun 1982 dicabut dan digantikan dengan
UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang ini
menggunakan istilah baru lagi yatu “Pembangunan Berkelanjutan Yang Berwawasan
Lingkungan Hidup. “Konsideran UU no. 23 Tahun 1997 antara lain menjelaskan tentang
mengapa kita harus melaksanakan ‘Pembangunan Berkelanjutan Yang Berwawasan
Lingkungan Hidup” seperti pada pertimbangan huruf b, bahwa dalam rangka
mendayagunakan sumberdaya alam untuk memajukan kesejahteraan umum seperti
diamanatkan dalam UUD 1945 dan untuk mencapai kebahagiaan hidup berdasarkan
Pancasila, perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan
hidup berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadu dan menyeluruh dengan
memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa depan. Pasal 1 butir
3 menyebutkan dalam ketentuan tersebut bahwa pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan
lingkungan hidup, termasuk sumber daya ke dalam proses pembangunan untuk
menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan masa
depan.
26
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
30. UU No. 23 tahun 1997 selanjutnya diperkuat dengan dikeluarkannya Undang-Undang
no. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pada UU
ini masih menggunakan istilah pembangunan berkelanjutan, hanya saja menekankan
juga aspek perlindungan. Pasal 1 butir 2 menjelaskan arti perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup sebagai upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk
melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,
pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Sementara, rencana perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup yang selanjutnya disingkat RPPLH adalah perencanaan
tertulis yang memuat potensi, masalah lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan
pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu.
d. Undang-Undang No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas).
Undang-Undang ini menjabarkan tentang arah kebijakan-kebijakan pembangunan
bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup. Arah kebijakan tersebut sebagai
berikut:
Mengelola sumber daya alam dan memelihara daya dukungnya agar bermanfaat
bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dari generasi.
Meningkatkan pemanfaatan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup
dengan melakukan konservasi, rehabilitasi dan penghematan penggunaan dengan
menerapkan teknologi ramah lingkungan.
Mendelegasikan secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam secara selektif dan
pemeliharaan lingkungan hidup sehingga kualitas ekosistem tetap terjaga yang
diatur dengan undang-undang.
Mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup,
pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat
lokal, serta penataan ruang yang pengusahaanya diatur dengan undang-undang.
Menerapkan indikator-indikator yang memungkinkan pelestarian kemampuan,
keterbatasan sumber daya alam yang dapat diperbaharui untuk mencegah kerusakan
yang tidak dapat balik.
e. Undang-Undang no. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
Pengaturan tentang pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan tampak dengan
jelas dalam UU no. 41 Tahun 1999. Pasal 3 dari undang-undang ini misalnya menentukan:
“Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
yang berkeadilan dan berkelanjutan:
Menjamin keberadaan hutan dengan luasnya yang cukup dan sebaran yang
proporsional.
Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi komunikasi, fungsi
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
27
31. lindung, dan fungsi produksi. Untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya
dan ekonomi yang seimbang dan lestari.
Meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai.
Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan
masyarakat secara partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan sehingga
mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap
akibat perubahan eksternal, dan
Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Berdasarkan hal tersebut, undang-undang ini menganut prinsip pengelolaan hutan yang
berkelanjutan atau “sustainable forest management” .
f. Undang-undang tentang pengelolaan sumber daya alam (UU No. 5 tahun 1960 tentang
Ketentuan Pokok Agraria; UU no. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan;
Undang-Undang No. 11 tahun 1974 tentang Pengairan).
Semua undang-undang ini menekankan tentang pengelolaan sumber daya alam yang
berkelanjutan atau memenuhi prinsip-prinsip keberlanjutan. Misalnya di pertambangkan
menerapkan konsep Good Mining Practices. Prinsip keberlanjutan mengandung
makna setiap orang memikul kewajibannya dan tanggung jawab terhadap generasi
mendatang, dan terhadap sesamanya dalam satu generasi, untuk terlaksananya
kewajiban dan tanggung jawab tersebut, maka kemampuan lingkungan hidup, harus
dilestarikan. Terlestarikannya kemampuan lingkungan hidup menjadi tumpuannya
dalam meningkatkan pembangunan.
g. Perpres No 32 Tahun 2011 Tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia
Pemerintah menetapkan Peraturan Presiden Nomor 32 tahun 2011 tentang Masterplan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Substansi dari
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025
adalah pengembangan Koridor Ekonomi Indonesia menggunakan tiga strategi utama
yaitu pengembangan potensi ekonomi, penguatan konektivitas nasional dan penguatan
kemampuan sumber daya manusia dan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi)
nasional. MP3EI dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing perekonomian nasional
yang lebih solid, khususnya Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-
28
28
LA
LA ORA INTES
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BU LDI G
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
NT SI ASIL CAPACITY BUILDING
N ESI AS CA CI BUILDI
SI
U D
32. 2025 (RPJPN). Pembangunan ekonomi melalui MP3EI diharapkan akan menempatkan
Indonesia sebagai Negara maju pada tahun 2025.
2.2 Teori Pembangunan Berkelanjutan
2.2.1 Definisi
Sebagai sebuah konsep, pembangunan berkelanjutan mengandung pengertian
sebagai pembangunan yang “memperhatikan” dan “mempertimbangkan” dimensi
lingkungan hidup dalam pelaksanaannya sudah menjadi topik pembicaraan dalam
konferensi Stockholm (UN Conference on the Human Environment) tahun 1972 yang
menganjurkan agar pembangunan dilaksanakan dengan memperhatikan faktor
lingkungan.1 Selanjutnya berkembang pula berbagai definisi dari apa yang dimaksud
dengan pembangunan berkelanjutan. Berikut beberapa definisi dari pembangunan
berkelanjutan:
a. Menurut Brundtland Report dari PBB (1987), pembangunan berkelanjutan adalah
bagaimana dalam pembangunan memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa
mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial.
b. Laporan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Dunia (2005), pembangunan
berkelanjutan adalah pembangunan yang berlandaskan tiga tiang utama
(ekonomi, sosial, dan lingkungan) yang saling bergantung dan memperkuat.
c. Deklarasi Universal Keberagaman Budaya (UNESCO, 2001) lebih jauh menggali
konsep pembangunan berkelanjutan dengan menyebutkan bahwa “keragaman
budaya penting bagi manusia sebagaimana pentingnya keragaman hayati
bagi alam”. Dengan demikian “pembangunan tidak hanya dipahami sebagai
pembangunan ekonomi, namun juga sebagai alat untuk mencapai kepuasan
intelektual, emosional, moral, dan spiritual”. Dalam pandangan ini, keragaman
“pertumbuhan ekonomi” itu sendiri bermasalah, karena sumberdaya bumi itu
sendiri terbatas.
d. World Commission on Environment and Development/WCED (1988),
pembangunan berkelanjutan adalah konsep yang sudah hadir sejak lama sebagai
anti tesis atas konsep pembangunan modern yang eksploitatif. Prinsip utama
pembangunan berkelanjutan adalah sebuah pembangunan yang mencukupi
kebutuhan sekarang tanpa mengkompromikan kemampuan generasi mendatang
untuk mencukupi kebutuhan mereka sendiri.
Elemen-elemen pokok pembangunan berkelanjutan menurut WCED (1988) adalah
sebagai berikut:
a. Tercukupinya kebutuhan dasar.
b. Pemanfaatan sumber daya yang hemat dan efisien karena ada batas sumber daya
lingkungan menyerap pengaruh-pengaruh kegiatan manusia.
c. Teknologi ramah lingkungan.
1
Lihat Abdurrahman, 2003 “Pembangunan Berkelanjutan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia”. Makalah
Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII. Denpasar, 14-18 Juli 2003. Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI.
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
29
33. d. Demokratisasi dalam pengambilan keputusan atas sumber daya.
e. Pembatasan jumlah penduduk.
Berdasarkan dari definisi-definisi di atas, maka pada dasarnya pembangunan
berkelanjutan itu memiliki 3 (tiga) kaki, yaitu keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan
sosial, dan keberlanjutan lingkungan. Pemikiran-pemikiran tentang syaratsyarat tercapainya proses pembangunan berkelanjutan dari berbagai sumber
dideskripsikan pada Tabel 1.1 berikut.
Tabel 1.1. Pemikiran-pemikiran tentang syarat-syarat tercapainya proses pembangunan
berkelanjutan
Sumber Pikiran
Dimensi
Brundtland (1987)
ICPQL (1996)
Becker et al (1997)
Pemenuhan kebutuhan dasar
bagi semua
Keadilan sosial, kesetaraan
gender, rasa aman, menghargai
diversitas budaya
Penekanan pada proses
pertumbuhan sosial yang
dinamis, keadilan sosial dan
pemerataan
Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi untuk
pemenuhan kebutuhan dasar
Ekonomi kesejahteraan
Ekonomi kesejahteraan
Lingkungan
Lingkungan untuk generasi
sekarang dan yang akan dating
Keseimbangan lingkungan yang
sehat
Lingkungan adalah dimensi
sentral dalam proses sosial
Sosial
Sumber: Gondokusumo (2005)
Tiga aspek di atas, sering juga dikenal 3 (tiga) pro kriteria pembangunan berkelanjutan,
yaitu:
a. Pro-keadilan sosial, artinya keadilan dan kesetaraan akses terhadap sumber daya
alam dan pelayanan publik, menghargai diversitas budaya dan kesetaraan gender.
b. Pro-ekonomi kesejahteraan, artinya pertumbuhan ekonomi ditujukan untuk
kesejahteraan semua anggota masyarakat, dapat dicapai melalui teknologi
inovatif yang berdampak minimum terhadap lingkungan.
c. Pro-lingkungan berkelanjutan, artinya etika lingkungan non-antroposentris
menjadi pedoman hidup masyarakat, sehingga mereka selalu mengupayakan
kelestarian dan keseimbangan lingkungan, konservasi sumberdaya alam vital, dan
mengutamakan peningkatan kualitas hidup non-material.
2.2.2 Prinsip Pembangunan Berkelanjutan
Memang diakui bahwa konsep keberlanjutan merupakan konsep yang sederhana
30
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
34. namun kompleks, sehingga pengertian keberlanjutan pun sangat multi-dimensi dan
multi-interpretasi. Beberapa cara pandang tersebut antara lain:
a. Menurut Heal dalam Fauzi (2004) Konsep keberlanjutan ini paling tidak
mengandung dua dimensi: Pertama adalah dimensi waktu karena keberlanjutan
tidak lain menyangkut apa yang akan terjadi dimasa yang akan datang. Kedua
adalah dimensi interaksi antara sistem ekonomi dan sistem sumber daya alam dan
lingkungan.
b. Menurut Pezzey dalam Fauzi (2004) melihat aspek keberlanjutan dari sisi yang
berbeda. Keberlanjutan dari sisi statik diartikan sebagai pemanfaatan sumber daya
alam terbarukan dengan laju teknologi yang konstan, sementara keberlanjutan
dari sisi dinamik diartikan sebagai pemanfaatan sumber daya alam yang tidak
terbarukan dengan tingkat teknologi yang terus berubah.
Berkembangnya multidimensi dan multi-interpretasi ini, maka para ahli sepakat untuk
sementara mengadopsi pengertian yang telah disepakati oleh komisi Brundtland
yang menyatakan bahwa “pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang
memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi
mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka.”2
Mengacu pada konsep keberlanjutan tersebut, maka dapat dirinci menjadi 3
(tiga) aspek pemahaman, yaitu: (a) Keberlanjutan ekonomi yang diartikan sebagai
pembangunan yang mampu menghasilkan barang dan jasa secara kontinu
untuk memelihara keberlanjutan pemerintahan dan menghindari terjadinya
ketidakseimbangan sektoral yang dapat merusak produksi pertanian dan industri;
(b) Keberlanjutan lingkungan, dimana sistem keberlanjutan secara lingkungan harus
mampu memelihara sumber daya yang stabil, menghindari eksploitasi sumber daya
alam dan fungsi penyerapan lingkungan. Konsep ini juga menyangkut pemeliharaan
keanekaraman hayati, stabilitas ruang udara, dan fungsi ekosistem lainnya yang tidak
termasuk kategori sumber-sumber ekonomi; (c) Keberlanjutan sosial, keberlanjutan
secara sosial diartikan sebagai sistem yang mampu mencapai kesetaraan, penyediaan
layanan sosial termasuk kesehatan, pendidikan, gender, dan akuntabilitas politik.
Dari berbagai konsep yang ada, dapat dirumuskan prinsip dasar dari setiap elemen
pembangunan berkelanjutan. Dalam hal ini ada empat komponen yang perlu
diperhatikan yaitu pemerataan, partisipasi, keanekaragaman, integrasi dan perspektif
jangka panjang (Jaya, 2004):
a. Pembangunan yang menjamin pemerataan dan keadilan sosial
Pembangunan yang berorientasi pemerataan dan keadilan sosial harus dilandasi
hal-hal seperti: meratanya distribusi sumber lahan dan faktor produksi, meratanya
peran dan kesempatan perempuan, meratanya ekonomi yang dicapai dengan
keseimbangan distribusi kesejahteraan.
2
Lihat Muhajir, 2010 “REDD di Indonesia Kemana Akan Melangkah?” HuMa: Jakarta
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
31
35. b. Pembangunan yang menghargai keanekaragaman hayati
Pemeliharaan keanekaragaman hayati adalah prasyarat untuk memastikan bahwa
sumber daya alam selalu tersedia secara berkelanjutan untuk masa kini dan masa
datang. Keanekaragaman hayati juga merupakan dasar bagi keseimbangan
ekosistem. Pemeliharaan keanekaragaman budaya akan mendorong perlakuan
yang merata terhadap setiap orang dan membuat pengetahuan terhadap tradisi
berbagai masyarakat dapat lebih dimengerti.
c. Pembangunan yang menggunakan pendekatan integratif.
Pembangunan berkelanjutan mengutamakan keterkaitan antara manusia dengan
alam. Manusia mempengaruhi alam dengan cara yang bermanfaat atau merusak.
Hanya dengan memanfaatkan pengertian tentang kompleksnya keterkaitan
antara sistem alam dan sistem sosial. Dengan menggunakan pengertian ini maka
pelaksanaan pembangunan yang lebih integratif merupakan konsep pelaksanaan
pembangunan yang dapat dimungkinkan.
d. Pembangunan yang meminta perspektif jangka panjang.
Masyarakat cenderung menilai masa kini lebih dari masa depan, implikasi
pembangunan berkelanjutan merupakan tantangan yang melandasi penilaian
ini. Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan pelaksanaan penilaian yang
berbeda dengan asumsi normal dalam prosedur discounting. Persepsi jangka
panjang adalah perspektif pembangunan yang berkelanjutan.
2.2.3 Indikator Pembangunan Berkelanjutan
Djajadiningrat (2005) menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan memerlukan
perspektif jangka panjang. Secara ideal keberlanjutan pembangunan membutuhkan
pencapaian keberlanjutan dalam hal:
a. Keberlanjutan ekologis
Keberlanjutan ekologis merupakan prasyarat pembangunan demi keberlanjutan
kehidupan karena akan menjamin keberlanjutan eksistensi bumi. Dikaitkan
32
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
36. dengan kearifan budaya, masing-masing suku di Indonesia memiliki konsep yang
secara tradisional dapat menjamin keberlangsungan ekologis yang dapat diambil
filosofinya terkait harmonisasi dengan alam.
b. Keberlanjutan ekonomi
Keberlanjutan ekonomi yang terdiri atas keberlanjutan ekonomi makro dan
keberlanjutan ekonomi sektoral merupakan salah satu aspek keberlanjutan
ekonomi dalam perspektif pembangunan. Dalam keberlanjutan ekonomi
makro tiga elemen yang diperlukan adalah efisiensi ekonomi, kesejahteraan
ekonomi yang berkesinambungan dan peningkatan pemerataan dan distribusi
kemakmuran. Sementara itu keberlanjutan ekonomi sektoral yang merupakan
keberlanjutan ekonomi makro akan diwujudkan dalam bentuk kebijaksanaan
sektoral yang spesifik. Kegiatan ekonomi sektoral ini dalam bentuknya yang
spesifik akan mendasarkan pada perhatian terhadap sumber daya alam yang
bernilai ekonomis sebagai kapital.
c. Keberlanjutan sosial dan budaya
Secara menyeluruh keberlanjutan sosial dinyatakan dalam keadilan sosial. Halhal yang merupakan perhatian utama adalah stabilitas penduduk, pemenuhan
kebutuhan dasar manusia, pertahanan keanekaragaman budaya dan partisipasi
masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan.
d. Keberlanjutan politik
Di bidang keberlanjutan politik terdapat pokok pikiran seperti perhatian terhadap
HAM, kebebasan individu, hak-hak sosial, politik dan ekonomi, demokratisasi serta
kepastian ekologis.
e. Keberlanjutan pertahanan dan keamanan
Keberlanjutan di bidang pertahanan dan keamanan adalah keberlanjutan
kemampuan dalam menghadapi dan mengatasi tantangan, ancaman dan
gangguan. Persoalan berikutnya adalah harmonisasi antar struktur (suprastruktur
dan infrastruktur) dalam menghadapi atau melaksanakan idealisasi pembangunan
yang berkelanjutan.
3. Muatan MP3EI
3.1 Latar Belakang MP3EI
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (MP3EI)
yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 32 tahun 2011 adalah sebagai arahan
strategis dalam percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia untuk periode
15 (lima belas) tahun terhitung sejak tahun 2011 sampai dengan tahun 2025 dalam rangka
pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 dan melengkapi
dokumen perencanaan. MP3EI dimaksudkan sebagai dokumen pelengkap dari dokumen
perencanaan guna meningkatkan daya saing perekonomian nasional yang lebih solid.
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
33
37. MP3EI memiliki fungsi sebagai berikut, (1) Sebagai acuan bagi menteri dan pimpinan
lembaga pemerintah non kementrian untuk menetapkan kebijakan sektoral dalam rangka
pelaksanaan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia di bidang
tugas masing-masing, yang dituangkan dalam dokumen rencana strategis masingmasing kementrian/lembaga pemerintah non kementrian sebagai bagian dari dokumen
perencanaan pembangunan dan (2) Sebagai acuan penyusunan kebijakan percepatan dan
perluasan pembangunan ekonomi Indonesia pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota
terkait.
Melalui MP3EI, pembangunan ekonomi Indonesia diperkirakan akan mengalami
percepatan dan peningkatan dan akan menempatkan Indonesia sebagai Negara maju
pada tahun 2025 dengan pendapatan perkapita antara USD 14.250 – USD 15.500 dengan
nilai total perekonomian (PDB) berkisar antara USD 4,0 – 4,5 triliun. Untuk mencapai kondisi
perekonomian tersebut diperlukan pertumbuhan ekonomi riil sebesar 6,4 – 7,5 persen pada
periode 2011 – 2014, dan sekitar 8,0 – 9,0 persen pada periode 2015 – 2025. Pertumbuhan
tersebut diharapkan akan dibarengi oleh penurunan inflasi dari sebesar 6,5 persen pada
periode 2011 - 2014 menjadi 3,0 persen pada 2025.
2045
2025
POB: “USD 15,0 -17,5 triliun
POB: “USD 4,0 - 4,5 triliun Pendapatan/kapita
2010
diperkirakan” USD
Pendapatan/kapita
POB: USD 700 Miliar diperkirakan” USD
44.500 - 49.000
Pendapatan/ kapita 14.250 - 15.500 (negara
USD 3.000
berpendapatan tinggi
Sumber : Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. 2011. MP3EI 2011-2025
Gambar 3.1. Aspirasi Pencapaian PDB Indonesia
Untuk mewujudkan aspirasi pencapaian ekonomi Indonesia, diperlukan suatu transformasi
ekonomi yang membutuhkan perubahan pola pikir yang didasarkan pada semangat “not
business as usual”. Perubahan pola pikir paling mendasar adalah bahwa pembangunan
ekonomi membutuhkan kolaborasi pemerintah, badan usaha pemerintah dan pihak
swasta, dengan dilandasi pemahaman adanya keterbatasan kemampuan pemerintah
34
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
38. dalam pembiayaan pembangunan melalui APBN da APBD. Selain itu, semakin maju
perekonomian suatu negara, maka semakin kecil pula proporsi anggaran pemerintah dalam
pembangunan ekonomi, yang pada akhirnya dinamika ekonomi suatu negara tergantung
pada dunia usaha yang meliputi BUMN, BUMD dan swasta domestik maupun asing. MP3EI
merefleksikan pentingnya peran dunia usaha dengan menekankan pentingnya evaluasi
regulasi yang dapat mendorong peran tersebut, dan secara khusus peran dunia usaha
terhadap pengembangan indrfastruktur dengan pengembangan konsep Public-Private
Partnership (PPP).
Percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia menetapkan sejumlah
program utama dan kegiatan ekonomi utama yang menjadi fokus pengembangan strategi
dan kebijakan. MP3EI memiliki 8 program utama, yaitu pertanian, pertambangan, energi,
industri, kelautan, pariwisata dan telematika, serta pengembangan kawasan strategis.
Kedelapan program tersebut mencakup 22 kegiatan ekonomi utama.
Dokumen MP3EI adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Sistem Perencanaan Pembagunan
Nasional, khususnya menjadi dokumen yang terintegrasi dan komplementer terhadap
dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 – 2025 khususnya untuk
percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi. Selain itu, MP3EI juga dirumuskan
dengan memperhatikan Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca (RAN-GRK).
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
35
39. Dinamika Perubahan
Sistem Perencanaan
dan Penganggaran
UU 25/2004-UU 17/2003
•
•
•
Lingkungan global (krisis 2008,
BRICS, dll)
Komitmen internasional (G20,
APEC, FTA, ASEAN, Climate
Change)
Perkembangan sosial-economi
domestik
Tuntutan untuk
mempercepat transformasi
ekonomi nasional
RPJPN 2005-2025
1
RPJMN
2010-2014
RKP/RAPBN
Masterplan Percepatan &
l
Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia
Rencana Aksi/Proyek
RAN-GRK
REDD
RTRWN
Investasi
Swasta dan PPP
Sumber : Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. 2011. MP3EI 2011-2025
Gambar 3.2. Posisi MP3EI dalam Rencana Pembangunan Pemerintah dan Isu Strategis
RAN GRK yang merupakan komitmen nasional terhadap perubahan iklim telah menjadi isu
strategis dalam MP3EI. Sejak Conferences of the Parties (COP) ke 13 United Nation Framework
Convention on Climate Cange (UNFCCC) di Bali tahun 2007 dan setelah penandatanganan
letter of intent (LoI) antara Indonesia dengan Norwegia untuk melakukan kerjasama REDD+
dalam rangka mengatasi emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh degradasi hutan dan
deforestasi serta degradasi lahan gambut di Indonesia, telah memberikan kesempatan
kepada Indonesia untuk melangkah melaksanakan pembangunan karbon rendah (low
carbon development) melalui implementasi REDD+ dalam kerangka RAN GRK.
3.2 Prinsip Dasar
Strategi utama, program dan kegiatan, serta inisiatif strategi yang ada di dalam MP3EI
memiliki prinsip dasar dan prasyarat untuk dapat mewujudkan tujuan MP3EI. Keberhasilan
pelaksanaan MP3EI sangat ditentukan oleh prinsip-prinsip dasar serta prasyarat sebagai
berikut:
Perubahan harus terjadi untuk seluruh komponen bangsa
Perubahan pola pikir dimulai dari pemerintah dengan birokrasinya
36
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
40.
Perubahan membutuhkan semangat kerja keras dan keinginan untuk membangun
kerjasama dalam kompetisi yang sehat
Produktivitas, inovasi dan kreatifitas didorong oleh ilmu pengetahuan dan teknologi
(Iptek) menjadi salah satu pilar perubahan
Penigkatan jiwa kewirausahaan menjadi faktor utama pendorong perubahan
Dunia usaha berperan penting dalam pembangunan ekonomi
Kampanye untuk melaksanakan pembangunan dengan mempertimbangkan prinsipprinsip pembangunan yang berkelanjutan
Kampanye untuk perubahan pola pikir untuk memperbaiki kesejahteraan dilakukan
secara luas oleh seluruh komponen bangsa
Adapun prasyarat yang dibutuhkan untuk mendukung keberhasilan MP3EI yaitu meliputi:
Peran pemerintah dan dunia usaha
Reformasi Kebijakan Keuangan Negara
Reformasi birokrasi
Penciptaan konektivitas antar wilayah di Indonesia
Kebijakan ketahanan pangan, air dan energi serta
Jaminan sosial dan Penanggulangan kemiskinan.
Undang-Undang No 17Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional,
menyatakan bahwa pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang
berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan negara
untuk melaksanakan UUD 1945. Rangkaian upaya pembangunan tersebut memuat kegiatan
pembangunan yang berlangsung tanpa henti, dengan menaikkan tingkat kesejahteraan
masyarakat dari generasi demi generasi. Pelaksanaan upaya tersebut dilakukan dalam
konteks memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi
yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Pernyataan ini adalah substansi dari
pembangunan berkelanjutan, yang berarti bahwa Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional adalah rencana pembangunan dengan konsep pembangunan berkelanjutan.
3.3 Strategi Utama
Untuk mencapai keberhasilan MP3EI, selain berlandaskan pada prinsip dasar dan adanya
prasyarat keberhasilan, juga ditentukan oleh strategi MP3EI, yaitu (1) Pengembangan
potensi ekonomi melalui koridor ekonomi, (2) Penguatan konektivitas nasional dan (3)
Penguatan kemampuan sumber daya manusia (SDM) dan ilmu pengetahuan dan teknologi
(Iptek) nasional.
a. Pengembangan potensi ekonomi melalui koridor ekonomi
Percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi diselenggarakan berdasarkan
pendekatan pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, baik yang telah ada
maupun yang baru. Pendekatan ini pada intinya merupakan integrasi dari pendekatan
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
37
41. sektoral dan regional. Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan perekonomian
dilakukan dengan mengembangkan kluster industri dan Kawasan Industri Khusus
(KEK). Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan tersebut disertai dengan penguatan
konektivitas antar pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan antara pusat pertumbuhan
ekonomi dengan lokasi kegiatan serta infrastrukur pendukungnya. Secara keseluruhan,
pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan konektivitas tersebut menciptakan Koridor
Ekonomi Indonesia.
b. Penguatan konektivitas nasional
Penguatan konektivitas nasional adalah strategi utama MP3EI yang kedua. Keberhasilan
percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia sangat tergantung pada
kekuatan konektivitas ekonomi nasional (intra dan inter wilayah) maupun konektivitas
ekonomi internasional Indonesia dengan pasar dunia. Konektivitas nasional merupakan
pengintegrasian 4 (empat) elemen kebijakan nasional yang terdiri dari Sistem Logistik
Nasional (Sislognas), Sistem Transportasi Nasional (Sistranas), Pengembanga Wilayah
(RPJMN/RTRWN), Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK/ICT). Hasil dari pengintegrasian
keempat komponen konektivitas nasional tersebut selanjutnya menjadi rumusan visi
konektivitas nasional, yaitu “Terintegrasi secara lokal, terhubung secara global”
c. Penguatan kemampuan SDM dan Iptek nasional
Strategi utama ketiga adalah penguatan kemampuan SDM dan Iptek nasional. Peran
sumber daya manusia menjadi kunci keberhasilan pembangunan ekonomi, oleh
karena itu, penguatan kemampuan SDM dan Iptek nasional menjadi salah satu strategi
utama MP3EI. Pada era perekonomian yang bebasis pengetahuan, mesin pertumbuhan
ekonomi sangat bergantung pada kapitalisasi hasil penemuan menjadi produk inovasi.
Untuk mendorong peran kemampuan SDM dan iptek nasional, sistem pendidikan
dan pelatihan haruslah menciptakan sumber daya manusia yang mampu beradaptasi
dengan cepat terhadap pertumbuhan sains dan teknologi.
3.2 Program dan Kegiatan
Indonesia menjadi salah satu penghasil dan eksportir beberapa komoditas penting sumber
daya alam di dunia. Sampai dengan tahun 2010, komoditas kelapa sawit, Indonesia adalah
penghasil dan eksportir terbesar di dunia, kemudian untuk komoditi kakao dan timah sebagai
produsen terbesar kedua di dunia. Untuk komoditi nikel, Indonesia memiliki cadangan
terbesar keempat di dunia, sedangkan bauksit memiliki cadangan terbesar ketujuh di
dunia, selain itu memiliki komoditas unggulan lainnya, seperti besi baja, tembaga, karet dan
perikanan. Indonesia juga memiliki cadangan energy yang amat besar, misalnya batubara,
panas bumi, gas alam, dan air. Selain kekayaan sumber daya alamnya, ketersediaan sumber
daya manusia, kondisi geografis serta posisi Indonesia dalam dinamika regional dan global
membentuk karakteristik potensi dan tantangan pembangunan ekonomi Indonesia.
38
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
42. Setelah mempertimbangkan potensi dan tantangan pembangunan ekonomi Indonesia,
melalui sejumlah kesepakatan yang dibangun bersama-sama dengan seluruh pemangku
kepentingan, percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi menetapkan sejumlah
program utama dan kegiatan ekonomi utama yang menjadi fokus pengembangan strategi
dan kebijakan. Program utama terdiri atas 8 program, yaitu, (1) Pertanian, (2) Pertambangan,
(3) Energi, (4) Industri, (5) Kelautan, (6) Pariwisata, (7) Telematika, dan (8) Pengembangan
kawasan strategis.
Kedelapan program utama tersebut terdiri dari 22 kegiatan ekonomi utama, yaitu sebagai
berikut:
Pertanian; Pertanian Pangan, Kelapa Sawit, Karet, Kakao, Perkayuan, Peternakan
Pertambangan; Bouksit, Tembaga, Nikel
Energi; Batubara, Minyak dan Gas
Industry; Peralatan Transportasi, Tekstil, Makanan Minuman, Besi Baja, Alutsista,
Kelautan; Perkapalan, Perikanan
Pariwisata; Pariwisata
Telematika; Telematika
Pengembangan kawasan strategis; Jabodetabek Area, KSN Selat Sun
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
39
44. 3.3 Insiatif Strategis
Koridor Ekonomi dibentuk berdasarkan identifikasi potensi wilayah ekonomi di masing
masing koridor ekonomi, dan selain itu, di setiap Koridor Ekonomi juga memiliki kegiatan
ekonomi utama serta kegiatan ekonomi lainnya. Masing-masing Koridor Ekonomi memiliki
kegiatan ekonomi utama dan kegiatan ekonomi lainnya yang berbeda-beda. Namun secara
keseluruhan, kegiatan ekonomi utama maupun kegiatan ekonomi lainnya, tercakup dalam
22 kegiatan ekonomi MP3EI. Kegiatan ekonomi utama selanjutnya membentuk suatu
inisiatif strategis MP3EI di suatu Koridor Ekonomi. Secara lengkap, muatan inisiatif strategi
MP3EI Koridor Ekonomi terdiri dari kegiatan ekonomi utama, lokus kegiatan, pelaku kegiatan,
infrastruktur pendukung dan besaran nilai investasi kegiatan ekonomi. Keseluruhan muatan
membentuk suatu sistem percepatan dan perluasan pembangunan eknomi di suatu
Koridor Ekonomi.
Land-based Products
& Energy
Mining & Energy
3
4
1
Industry & Service
Agriculture, Farming
& Fisheries
6
5
2
Tourism & Food
Security
Natural & Human
Resources
Gambar 3.4. Koridor Ekonomi MP3EI
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
41
45. 4. Prinsip Pembangunan Berkelanjutan dalam MP3EI
MP3EI adalah dokumen rencana pembangunan ekonomi yang menjadi bagian tidak terpisahkan
dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025. Undang-Undang No
17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional, menyatakan bahwa
pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang
meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara untuk melaksanakan UUD 1945.
Rangkaian upaya pembangunan tersebut memuat kegiatan pembangunan yang berlangsung
tanpa henti, dengan menaikkan tingkat kesejahteraan masyarakat dari generasi demi generasi.
Pelaksanaan upaya tersebut dilakukan dalam konteks memenuhi kebutuhan masa sekarang
tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya.
Pernyataan ini adalah substansi dari pembangunan berkelanjutan, yang berarti bahwa Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional adalah rencana pembangunan dengan konsep
pembangunan berkelanjutan. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional juga didasarkan
pada pertimbangan bahwa pembangunan ekonomi nasional sebagaimana diamanatkan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diselenggarakan berdasarkan
prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawaskan lingkungan.
Pembangunan berkelanjutan telah menjadi prinsip dasar MP3EI sebagai perwujudan amanat
RPJPN. Sebagai prinsip dasar, maka pembangunan berkelanjutan perlu diintegrasikan dalam
muatan-muatan MP3EI, yang saat ini belum tampak di MP3EI. Instrumen integrasi pembangunan
berkelanjutan telah dituangkan dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Instrumen integrasi pembangunan berkelanjutan
dalam PPLH meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan
dan penegakan hukum. Dalam aspek perencanaan pembangunan, khususnya PPLH, telah
ditetapkan instrumen Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH).
RPPLH dilaksanakan pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota. RPPLH menjadi landasan
perencanaan pembangunan dan pemanfaatan sumber daya alam. Selanjutnya untuk kebijakan,
rencana dan program pembangunan suatu wilayah telah ditetapkan Kajian Lingkungan Hidup
Strategis (KLHS) sebagai instrumen pengendalian. RPPLH dan KLHS adalah instrumen PPLH
pada tataran perencanaan pembangunan. Berdasarkan kebijakan KLHS, maka MP3EI adalah
sebuah kebijakan yang menjadi obyek KLHS, namun demikian, digunakannya pembangunan
berkelanjutan sebagai prinsip dasar MP3EI, tetap harus terwujud dalam muatan-muatan MP3EI.
4.1 Tema Pembangunan Koridor Ekonomi
MP3EI memiliki 6 Koridor Ekonomi Indonesia, yaitu (1) Koridor Ekonomi Sumatera, (2)
Koridor Ekonomi Jawa, (3) Koridor Ekonomi Kalimantan, (4) Koridor Ekonomi Sulawesi, (5)
Koridor Ekonomi Bali Nusa Tenggara dan (6) Koridor Ekonomi Papua- Kepulauan Maluku.
Masing-masing Koridor Ekonomi memiliki tema pembangunan yang berbeda, sesuai
dengan potensi ekonomi wilayah bersangkutan. Tema pembangunan masing-masing
Koridor Ekonomi Indonesia adalah sebagai berikut:
42
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
46.
Koridor Ekonomi Sumatera
Memiliki tema pembangunan sebagai “Sentra Produksi dan Pengolahan Hasil Bumi dan
Lumbung Energi Nasonal”
Koridor Ekonomi Jawa
Memiliki tema pembangunan sebagai “Pendorong Industri dan Jasa Nasional”
Koridor Ekonomi Kalimantan
Memiliki tema pembangunan sebagai “Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil Tambang
dan Lumbung Energi Nasional”
Koridor Ekonomi Sulawesi
Memiliki tema pembangunan sebagai “Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil Pertanian,
Perkebunan, Perikanan, Migas dan Pertambangan Nasional
Koridor Ekonomi Bali-Nusa Tenggara
Memiliki tema pembangunan sebagai “Pintu Gerbang Pariwisata dan Pendukung
Pangan Nasional”
Koridor Ekonomi Papua-Kepulauan Maluku
Memiliki tema pembangunan sebagai “Pusat Pengembangan Pangan, Perikanan, Energi,
dan Pertambangan Nasional”
4.2 Pusat Ekonomi dan Kegiatan Ekonomi Utama
Masing-masing Koridor Ekonomi memiliki pusat ekonomi dan kegiatan ekonomi utama
yang berbeda, sesuai dengan potensi ekonomi wilayah bersangkutan. Kegiatan ekonomi
utama masing-masing Koridor Ekonomi Indonesia adalah sebagai berikut:
Koridor Ekonomi Sumatera memiliki 11 Pusat Ekonomi, yang merupakan ibukota
provinsi serta kota lain yang memiliki peran ekonomi penting, yaitu Banda Aceh,
Medan, Pekanbaru, Jambi, Palembang, Tanjungpinang, Pangkal Pinang, Padang, Bandar
Lampung, Bengkulu, dan Serang. Pusat ekonomi tersebut sebagai pusat dari 6 kegiatan
ekonomi utama, yaitu kelapa sawit, karet, batubara, perkapalan, besi baja dan kawasan
strategi nasional (KSN) Selat Sunda.
Koridor Ekonomi Jawa terdapat 4 pusat ekonomi, yaitu Jakarta, Bandung, Semarang,
Di
Yogyakarta dan Surabaya. Kegiatan ekonomi utamanya meliputi makanan-minuman,
tekstil, peralatan transportasi, perkapalan, telematika, alutsista, dan Jabodetabek Area.
Koridor Ekonomi Kalimantan memiliki 4 pusat ekonomi, yaitu Pontianak, Palangkaraya,
Banjarmasin dan Samarinda. Kegiatan ekonomi utama yang ada di Koridor Ekonomi ini
meliputi besi baja, bouksit, kelapa sawit, batu bara, migas, dan perkayuan, dengan empat
Pusat Ekonomi, yaitu Pontianak, Palangkaraya, Banjarmasin dan Samarinda.
Koridor Ekonomi Sulawesi memiliki 6 pusat ekonomi, yaitu Makassar, Kendari, Mamuju,
Palu, Gorontalo, dan Manado. Kegiatan ekonomi utama di Koridor Ekonomi ini meliputi
pertanian pangan (padi, jagung, kedelai dan ubi kayu), kakao, perikana, nikel, serta
minyak dan gas bumi (migas).
Koridor Ekonomi Bali-Nusa Tenggara memiliki 4 pusat ekonomi yang terdapat di Koridor
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
43
47. Ekonomi Bali-Nusa Tenggara adalah Denpasar, Lombok, Kupang dan Mataram, dengan
tiga kegiatan ekonomi utama yang meliputi pariwisata, perikanan dan peternakan.
Koridor Ekonomi Papua-Kepulauan Maluku terdapat tujuh pusat ekonomi, yaitu Sofifi,
Di
Ambon, Sorong, Manokwari, Timika, Jayapura, dan Merauke. Kegiatan ekonomi utama
di Koridor Ekonomi ini yaitu pertanian pangan – MIFEE, tembaga, nikel, minyak dan gas
bumi, serta perikanan.
4.3 Kebutuhan Muatan Prinsip Pembangunan Berkelanjutan dalam MP3EI
Tema ekonomi beserta kegiatan ekonomi utama didasarkan pada potensi wilayah
ekonomi di masing-masing Koridor Ekonomi. Dalam paradigma pembangunan
berkelanjutan, pembangunan ekonomi di setiap Koridor Ekonomi perlu memperhatikan
aspek keberlanjutan ekonomi, lingkungan dan sosial yang menjadi pilar pembangunan
berkelanjutan di Koridor Ekonomi bersangkutan. Operasionalisasi perwujudan prinsip
pembangunan berkelanjutan dalam MP3EI didasarkan pada substansi RPPLH dan KLHS
sebagai instrumen pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan dalam kebijakan,
rencana dan program pembangunan. RPPLH didasarkan pada daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup, serta memperhatikan (1) proses dan fungsi lingkungan hidup,
(2) produktivitas lingkungan hidup, dan (3) keselamatan, mutu hidup dan kesejahteraan
masyarakat. Selain itu sebagai kebijakan perencanaan pembangunan, MP3EI perlu disertai
KLHS yang memuat kajian tentang (1) kapasitas daya dukung dan daya tampung, (2)
perkiraan dampak dan resiko lingkungan hidup, (3) kinerja layanan/jasa ekosistem, (4)
efisiensi pemanfaatan sumber daya alam, (5) tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi
terhadap perubahan iklim, dan (6) tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.
Selain memberikan gambaran pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan dari percepatan dan
perluasan pembangunan ekonomi yang direncanakan, MP3EI juga perlu menggambarkan
perwujudan pembangunan berkelanjutan. Berdasarkan substansi RPPLH dan KLHS, dan
mempertimbangkan MP3EI sebagai perencanaan pembangunan ekonomi, operasionalisasi
pembangunan berkelanjutan dalam muatan-muatan MP3EI seharusnya meliputi 4 muatan
prinsip pembangunan berkelanjutan, yaitu (1) keberlanjutan cadangan sumber daya
alam yang dieksploitasi, (2) Keberlanjutan daya dukung dan daya tampung lingkungan
untuk mendukung pembangunan ekonomi di masa datang, (3) perkiraan dampak dan
resiko lingkungan hidup, dan (4) keselamatan, mutu hidup dan kesejahteraan masyarakat
terutama masyarakat di wilayah pembangunan. Suatu perencanaan pembangunan
ekonomi dianggap telah mengintegrasikan pembangunan berkelanjutan apabila memiliki
4 muatan pembangunan berkelanjutan tersebut secara nyata.
Tema pembangunan ekonomi, kegiatan ekonomi utama, serta inisiatif strategis di masingmasing Koridor Ekonomi serta proyeksi capaian percepatan dan perluasan pembagunan
ekonomi MP3EI memberikan gambaran bahwa 4 muatan pembangunan berkelanjutan
belum terwujud dalam dokumen MP3EI tersebut.
44
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
50. MODUL 2 :
PRINSIP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Undang-Undang No 17Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional,
menyatakan bahwa pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang
berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan negara
untuk melaksanakan UUD 1945. Rangkaian upaya pembangunan tersebut memuat kegiatan
pembangunan yang berlangsung tanpa henti, dengan menaikkan tingkat kesejahteraan
masyarakat dari generasi demi generasi. Pelaksanaan upaya tersebut dilakukan dalam
konteks memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi
yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Pernyataan ini adalah substansi dari
pembangunan berkelanjutan, yang berarti bahwa Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional adalah rencana pembangunan dengan konsep pembangunan berkelanjutan.
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional juga didasarkan pada pertimbangan
bahwa pembangunan ekonomi nasional sebagaimana diamanatkan oleh UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diselenggarakan berdasarkan prinsip
pembangunan berkelanjutan dan berwawaskan lingkungan.
Perubahan paradigma dari pembangunan business as usual saat ini yang mengedepankan
pembangunan ekonomi saja menjadi pembangunan berkelanjutan menjadi semakin
penting dengan permasalahan lingkungan global dan lokal yang berkembang saat ini.
Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), Rencana
Aksi Nasional Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) dan Implementasi REDD+
di Indonesia dapat berpotensi kurang memberikan kontribusi terhadap pencapaian
pembangunan nasional dan kesejahteraan rakyat jika tidak diletakkan dalam kerangka
pembangunan berkelanjutan yang dilandaskan pada pilar rasionalitas lingkungan, sosial
dan ekonomi nasional. Oleh karena itu, kapasitas pemangku kepentingan pembangunan
nasional dalam memahami paradigma pembangunan berkelanjutan menjadi modal dasar
tercapainya kesejahteraan rakyat Indonesia melalui pembangunan nasional, termasuk
implementasi REDD+ ataupun MP3EI.
Untuk mendukung integrasi REDD+ dalam pembangunan nasional, khususnya aspek
pengarusutamaan REDD+ dalam perencanaan pembangunan serta greening MP3EI bidang
REDD+, dibutuhkan capacity building paradigma pembangunan berkelanjutan sebagai
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
47
51. modal dasar kapasitas integrasi REDD+ dalam perencanaan pembangunan nasional.
1.2 Deskripsi Singkat
Modul Prinsip Pembangunan Berkelanjutan dalam Perencanaan Pembangunan ini meliputi
beberapa materi, yaitu (1) landasan hukum dan landasan teori pembangunan berkelanjutan,
(2) pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan, dan (3) pembangunan rendah karbon
sebagai tujuan integrasi REDD+ dalam pembangunan nasional.
Materi landasan hukum pembangunan berkelanjutan menjelaskan kebijakan yang telah
ditetapkan sebagai landasan hukum pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan dalam
sistem perencanaan pembangunan. Materi landasan teori pembangunan berkelanjutan
menjelaskan teori-teori pembangunan berkelanjutan yang menjadi dasar penetapan
kebijakan pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan.
Dalam materi pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan dijelaskan operasionalisasi
pembangunan berkelanjutan dalam kebijakan-kebijakan, khususnya kebijakan perencanaan
pembangunan, yaitu dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025
(RPJMN) dan kebijakan lingkungan hidup, yaitu dalam Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (PPLH).
Materi berikutnya yaitu pembangunan rendah karbon yang menjelaskan peran RANGRK dan REDD+ dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan melalui integrasi
pembangunan rendah karbon dalam perencanaan pembangunan.
1.3 Tujuan
Modul Prinsip Pembangunan Berkelanjutan dalam Perencanaan Pembangunan ini adalah
materi yang menjadi bagian capacity building pengarusutamaan REDD+ dalam perencanaan
pembangunan dan greening MP3EI bidang REDD+ dengan tujuan untuk membangun
paradigma pembangunan berkelanjutan sebagai modal dasar integrasi REDD+ dan
kegiatan MP3EI dalam perencanaan pembangunan.
2. Landasan Hukum dan Teori
2.1 Landasan Hukum
Ada beberapa landasan hukum yang menjadi dasar kewajiban untuk menerapkan
pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Berikut beberapa peraturan tersebut dan
penjabarannya:
a. Undang-undang Dasar 1945
Pembangunan berkelanjutan dan wawasan lingkungan hidup telah diamanatkan oleh
UUD 1945, yaitu pasal 28 H ayat (1) dan pasal 33 ayat (4). Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945
48
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING