DIAGNOSA BANDING PENURUNAN KESADARAN MANAJEMEN
Dipresentasikan oleh Jofizal Jannis | Neurologist| National Brain Centre
pada PIT VI IDI Kota Bogor | 10 Nopember 2013
DIAGNOSA BANDING PENURUNAN KESADARAN MANAJEMEN
Dipresentasikan oleh Jofizal Jannis | Neurologist| National Brain Centre
pada PIT VI IDI Kota Bogor | 10 Nopember 2013
Kehamilan ektopik adalah kehamilan dengan ovum yang dibuahi, berimplantasi dan tumbuh tidak di tempat yang normal, yakni dalam endometrium cavum uteri. Istilah kehamilan ektopik lebih tepat daripada istilah ekstrauterin yang sekarang masih juga banyak dipakai, oleh karena terdapat beberapa jenis kehamilan ektopik yang berimplantasi dalam uterus tetapi tidak pada tempat yang normal, misalnya kehamilan pada pars interstitial tuba dan kehamilan pada serviks uteri.
Kehamilan ektopik adalah kehamilan dengan ovum yang dibuahi, berimplantasi dan tumbuh tidak di tempat yang normal, yakni dalam endometrium cavum uteri. Istilah kehamilan ektopik lebih tepat daripada istilah ekstrauterin yang sekarang masih juga banyak dipakai, oleh karena terdapat beberapa jenis kehamilan ektopik yang berimplantasi dalam uterus tetapi tidak pada tempat yang normal, misalnya kehamilan pada pars interstitial tuba dan kehamilan pada serviks uteri.
ppt profesionalisasi pendidikan Pai 9.pdfNur afiyah
Pembelajaran landasan pendidikan yang membahas tentang profesionalisasi pendidikan. Semoga dengan adanya materi ini dapat memudahkan kita untuk memahami dengan baik serta menambah pengetahuan kita tentang profesionalisasi pendidikan.
1. Fakultas Kedokteran Makassar, 28 September 2018
Universitas Muslim Indonesia
LAPORAN PBL
SISTEM GAWAT DARURAT DAN TRAUMATOLOGI
MODUL 1
KESADARAN MENURUN
Kelompok 4
11020150007 Adela Firdza Yamin
11020150008 Syatirah Rizky Ananda
11020150009 Aulia Amani
11020150031 Nurul Faiqah Baeduri
11020150032 Rosmiati
11020150033 Ainun Jariah Muliadi
11020150034 Githa Nur Afiefah
11020150035 Fathul Rachmat S. Imam
11020150039 Intan Dessy Tirta Moh Henik
11020150040 Muhammad Rafsanjani
TUTOR: dr. Gina Isni D Iskandar
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2018
2. Skenario 2
Perempuan 50 tahun masuk ke Unit Gawat Darurat RS dengan kesadaran menurun
sekitar 2 jam yang lalu. Pasien mendengkur, tidak mempu membuka mata dan
ekstremitas hanya fleksi abnormal dengan rangsang nyeri. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan tanda vital tekanan darah 160/90 mmHg, nadi radialis 90x/menit,
pernapasan 28x/menit, Suhu37°C. Menurut keluarga, pasien mengeluh sakit kepala
hebat dan muntah, pasien memiliki riwayat hipertensi namun tidak teratur berobat.
Identifikasi kata sulit
-
Identifikasi kata kunci
Perempuan 50 tahun masuk RS
Kesadaran menurun sekitar 2 jam lalu
Pasien mendengkur, tidak membuka mata dan ekstremitas hanya fleksi
abnormal dengan rangsang nyeri.
Pemfis : TD : 160/90 mmHg, nadi radialis 90X/menit, pernapasan 28X/menit,
suhu 37oC.
Sebelumnya pasien mengeluh sakit kepala hebat dan muntah.
Riwayat hipertensi namun tidak teratur berobat.
3. Pertanyaan
1. Apa yang menyebabkan kesadaran menurun?
2. Bagaimana tingkat kesadaran menurun pada skenario?
3. Bagaimana mekanisme kesadaran menurun pada skenario?
4. Bagaimana penganan awal pada kesadaran menurun?
5. Bagaimana cara memberikan tindakan lanjut apabila terjadi kegagalan pada
penanganan awal?
6. Bagaimana cara pemakaian obat-obat darurat sesuai dengan penyebab
penurunan kesadaran?
7. Bagaimana cara melakukan tindakan khusus pada pasien dengan penurunan
kesadaran, baik trauma maupun nontrauma?
8. Bagaimana syarat-syarat melakukan transportasi dan rujukan pada penderita
dengan penurunan kesadaran?
4. Jawaban pertanyaaan :
1. Apa yang menyebabkan kesadaran menurun ?
Intrakranial:
- Trauma susunan saraf pusat
- Gangguan perdarahan darah otak
- Infeksi susunan saraf pusat
- Tumor, Kejang, epilepsy
- Penyakit degenerative susunan saraf pusat
Ekstrakranial:
- Vaskuler: syok, payah jantung, hipertensi, hipotensi
- Metabolik: hipoglikemia, hiperglikemia, asidosis metabolik, ketidakseimbangan
elektrolit
- Toksik: overdosis obat, alcohol abuse, keracunan CO, gas anastesi
- Infeksi sistemik berat: pneumoni, malaria
Berdasarkan skenario, kemungkinan penyebab penurunan kesadaran adalah
pecahnya pembuluh darah otak secara tiba-tiba (strok hemoragic) hingga
menyebabkan perdarahan epidural kemudian terjadi peningkatan tekanan intracranial
yang akan mengganggu sistem ARAS.1
2. Bagaimana tingkat kesadaran menurun pada skenario ?
Kesadaran diatur oleh ascending reticular activating system (ARAS) dan kedua
hemisfer otak. ARAS terdiri dari beberapa saraf yang menghubungkan batang otak
dengan korteks seberi. Batang otak terdiri dari medulla oblongata, pons, dan
mesensefalon. Batang otak berperan penting dalam mengatur kerja jantung,
pernapasan, sistem saraf pusat, tingkat kesadaran, dan siklus tidur. Tingkat kesadaran
adalah pengukuran dari kesadaran dan respon klien terhadap rangsangan dari
lingkungan eksternal. Pengukuran tingkat kesadaran terbagi atas 2 macam,
5. pengukuran tingkat kesadaran kualitatif dan kuantitatif yang menggunakan Glasgow
Coma Scale.2
1. Tingkat Kesadaran Kualitatif:
a) COMPOS MENTIS
Yaitu sadar sepenuhnya, baik terhadap dirinya maupun terhadap
lingkungannya. klien dapat menjawab pertanyaan pemeriksa dengan
baik.
b) APATIS
Keadaan dimana klien tampak segan dan acuk tak acuh terhadap
lingkungannya.
c) DELIRIUM
Yaitu penurunan kesadaran disertai kekacauan motorik dan siklus tidur
bangun yang terganggu. Klien tampak gaduh gelisah, kacau,
disorientasi dan meronta-ronta.
d) SOMNOLEN (Letergia, Obtundasi, Hipersomnia)
Yaitu keadaan mengantuk yang masih dapat pulih bila dirangsang,
tetapi bila rangsang berhenti, klien akan tertidur kembali.
e) SOPOR (Stupor)
Keadaan mengantuk yang dalam, Klien masih dapat dibangunkan
dengan rangsang yang kuat, misalnya rangsang nyeri, tetapi klien tidak
terbangun sempurna dan tidak dapat memberikan jawaban verbal yang
baik.
f) SEMI-KOMA (koma ringan)
Yaitu penurunan kesadaran yang tidak memberikan respons terhadap
rangsang verbal, dan tidak dapat dibangunkan sama sekali, tetapi
refleks (kornea, pupil) masih baik. Respons terhadap rangsang nyeri
tidak adekuat.
6. g) KOMA
Yaitu penurunan kesadaran yang sangat dalam, tidak ada gerakan
spontan dan tidakada respons terhadap rangsang nyeri.
Berdasarkan skenario, interpretasi tingkat kesadaran pasien secara kualitatif
yaitu masuk dalam kategori Sopor (Stupor).3
2. Tingkat Kesadaran Kualitatif (Glasgow Coma Scale):
GCS (Glasgow Coma Scale) adalah skala yang digunakan untuk
menilai tingkat kesadaran secara kuantitatif pada klien dengan menilai respon
pasien terhadap rangsangan yang diberikan. Respon pasien yang perlu
diperhatikan mencakup 3 hal yaitu reaksi membuka mata , bicara dan motorik.
Hasil pemeriksaan dinyatakan dalam derajat (skor).3
Glasgow Coma Scale (GCS):
Nilai
Respon Membuka Mata
Spontan
Terhadap perintah/pembicaraan
Terhadap rangsang nyeri
Tidak membuka mata
4
3
2
1
Respon Motorik
Sesuai perintah
Mengetahui lokalisasi nyeri
Reaksi menghindar
Reaksi fleksi-dekortikasi
Reaksi ekstensi-deserebrasi
Tidak berespon
6
5
4
3
2
1
Respon Verbal
Dapat berbicara dan memiliki orientasi baik
Dapat berbicara, namun disorientasi
5
4
7. Berkata-kata tidak tepat dan tidak jelas
Mengeluarkan suara tidak jelas
Tidak bersuara
3
2
1
Hasil pemeriksaan dalam E…V…M… selanjutnya dijumlahkan. Nilai GCS
yang tertinggi adalah 15 yaitu E4M6V5 dan terendah adalah 3 yaitu E1M1V1.
Berdasarkan skenario, interpretasi GCS pasien yaitu E1M3V1 dengan jumlah 5
jadi secara kuantitatif tingkat kesadaran pasien masuk dalam kategori Koma.4,5
Keterangan:
a. Skor 14-15 : Compos mentis
b. Skor 12-13 : Apatis
c. Skor 10-11 : Somnolent
d. Skor 8-9 : Stupor
e. Skor 6-7 : Semi koma
f. Skor ≤ 5 : Koma
3. Bagaimana mekanisme kesadaran menurun pada skenario ?
Etiologi Gangguan kesadaran disebabkan oleh berbagai faktor etiologi, baik yang
bersifat intracranial maupun ekstrakranial / sistemik.6
Penjelasan singkat tentang factor etiologi gangguan kesadaran adalah sebagai berikut:
a) Gangguan sirkulasi darah di otak (serebrum, serebellum, atau batang otak).
Perdarahan, thrombosis maupun emboli. Mengingat insidensi stroke cukup
tinggi maka kecurigaan terhadap stroke pada setiap kejadian gangguan
kesadaran perlu digaris bawahi.
b) Infeksi: ensefalo meningitis (meningitis, ensefalitis, serebritis/absesotak) –
Mengingat infeksi (bakteri, virus, jamur) merupakan penyakit yang sering
dijumpai di Indonesia maka pada setiap gangguan kesadaran yang disertai
suhu tubuh meninggi perlu dicurigai adanya ensefalo meningitis.
8. c) Gangguan metabolisme. Di Indonesia, penyakit hepar, gagal ginjal, dan
diabetes mellitus sering dijumpai.
d) Neoplasma. Neoplasmaotak, baik primer maupun metastatik, sering di jumpai
di Indonesia. Neoplasma lebih sering dijumpai pada golongan usia dewasa
dan lanjut. Kesadaran menurun umumnya timbul berangsur-angsur namun
progresif/ tidak akut.
e) Trauma kepala. Trauma kepala paling sering disebabkan oleh kecelakaan lalu-
lintas.
f) Epilepsi. Gangguan kesadaran terjadi pada kasus epilepsy umum dan status
epileptikus
g) Intoksikasi. Intoksikasi dapat disebabkan oleh obat, racun (percobaan bunuh
diri), makanan tertentu dan bahan kimia lainnya.
h) Gangguan elektrolit dan endokrin. Gangguan in isering kali tidak
menunjukkan “identitas” nya secara jelas; dengan demikian memerlukan
perhatian yang khusus agar tidak terlupakan dalam setiap pencarian penyebab
gangguan kesadaran.
Mekanisme Penurunan Kesadaran Pada Skenario
9. Hipertensi memiliki efek besar. Pada struktur pembuluh darah otak. Faktor
mekanik, saraf, dan humoral, semua berkontribusi terhadap perubahan komposisi dan
struktur dinding serebro vaskular Hipertensi mencetus timbulnya plak aterosklerotik
di arteri serebral dan arteriol, yang dapat menyebabkan oklusi arteri dan cedera
iskemik.6
Hipertensi menyebabkan baik batas bawah maupun batas atas autoregulasidari
aliran darah otak bergeser kearah tekanan yang lebih tinggi, yang merupakan
predisposisi penderita hipertensi untuk hipoperfusi serebral dan mungkin iskemia
Peningkatan tonus miogenik, remodeling dan hipertrofi yang terjadi pada hipertensi
berkontribusi pada pergeseran dalam auto regulasi dengan mengurangi lumen
pembuluh darah dan meningkatkan resistensi serebro vascular.6
Stroke Hemoragik
Diakibatkan karena pecahnya suatu mikro aneurisma dari Charcot atau
etatcrible diotak.6
10. Stroke hemoragik terjadi akibat adanya perdarahan. Perdarahan dapat terjadi bila
arteri di otak pecah, darah tumpah ke otak atau rongga antara permukaan luar otak
dan tengkorak.6
Perdarahan langsung ke jaringan otak atau disebut perdarahan parenkim otak.
Perdarahan intraparenkim spontan (nontraumatic) paling sering pada usia
pertengahan dan lanjut, dengan insiden puncak pada usia sekitar 60 tahun. Sebagian
besar disebabkan oleh ruptur sebuah pembuluh intraparenkim kecil.
Penyebab mendasar yang paling sering menyebabkan perdarahan parenkim otak
primer adalah hipertensi yang menyebabkan lebih dari 50% kasus perdarahan
dan secara klinis bermakna.6
Sebaliknya, perdarahan otak merupakan penyebab sekitar 15% kematian pada
pasien dengan hipertensi kronis. Pada perdarahan jenis ini arteri yang
berfungsi memvaskularisasi otak rupture atau pecah, sehingga akan
menyebabkan kebocoran darah ke otak, dan radang menyebabkan otak tertekan
karena adanya penambahan volume cairan. Pada orang dengan hipertensi
kronis terjadi proses degenerative pada otot dan unsure elastic dari dinding arteri.
Perubahan degenerative ini dan ditambah dengan beban tekanan darah tinggi,
dapat membentuk penggembungan penggembungan keci lsetempat yang disebut
aneurisma Charcot- Bourchard. Aneurisma ini merupakan suatu locus minorus
resisten (LMR).6
Pada lonjakan tekanan darah sistemik, misalnya sewaktu marah, saat aktivitas
yang mengeluarkan tenaga banyak, mengejan dan sebagainya, dapat menyebabkan
pecahnya LMR ini. Oleh karena itu stroke hemoragik dikenal juga sebagai"Stress
Stroke".3
Ancaman utrama pendarahan intraserebral adalah hipertensi intracranial akibat
efek masa hematom. Tidak seperti infark, yang meningkatkan tekanan intra cranial
secara perlahan ketika edema sitotoksik yang menyertainya bertambah berat
perdarahan intracranial meningkatkan tekanan intracranial dengan sangat cepat.6
11. Peningkatan TIK ini dapat menyebabkan penurunan kesadaran karena dapat
menekan medulla oblongata dan mengganggu RAS, penurunan kesadaran bergantung
pada kualitas perdarahan yang dapat menyebabkan kerusakan structural maupun
penekanan pada medulla oblongata. Gejala yang muncul adalah:
a) Muntah
Mekanisme muntah pada saat terjadi peningkatan tekanan Intrakranial karena
adanya edema akibat cedera kepala, selanjutnya akan merangsang reseptor
tekanan intrakranial. Ketika reseptor tekanan intrakranial terangsang akan
mengakibatkan pusat muntah di dorsolateral formatio retkularis terangsang.
Selanjutnya formatio retikularis akan menyalurkan rangsang motorik melalui
nervus vagus. Selanjutnya nervus vagus akan menyebabkan kontraksi
duodenum dan antrum lambung dan terjadi peningkatan tekanan
intraabdomen, selain itu nervus vagus juga membuat sphincter esofagus
membuka, oleh karena itu terjadilah muntah.
b) Nyeri kepala
Perdarahan menyebabkan rembesan komponen komponen darah termasuk zat
pro inflamasi yang dapat merangsang terjadinya nyeri kepala begitu juga
dengan Peningkatn TIK yang disebabkan oleh perdarahan akan merangsang
struktur peka nyeri intracranial.
4. Bagaimana penganan awal pada kesadaran menurun?
Primary Survey
Penilaian keadaan pasien dan prioritas terapi didasarkan jenis perlukaan, tanda-
tanda vital, dan mekanisme trauma. Pada pasien yang terluka parah, terapi diberikan
berdasarkan prioritas. Tanda vital pasien harus dinilai secara cepat dan efisien.
Pengelolaan pasien berupa primary survey yang cepat dan kemudian resusitasi,
secondary survey, dan akhirnya terapi definitif.
Proses ini merupakan ABCDE-nya trauma, dan berusaha mengenali keadaan
yang mengancam nyawa terlebih dahulu, dengan berpatokan pada urutan berikut:
12. 1. Airway, menjaga airway dengan control servikal (cervical spine control)
2. Breathing, menjaga pernafasan dengan ventilasi
3. Circulation dengan control perdarahan (hemorrhage control)
4. Disability: status neurologis
5. Exposure/environmental control: buka baju pasien, tetapi cegah
hipotermia
Airway
a. Penilaian
Beberapa tanda objektif sumbatan airway dapat diketahui dengan langkah-
langkah berikut:
1.Lihat (look) apakah pasien mengalami agitasi atau kesadaran menurun,
agitasi member kesan adanya hipoksia, dan penurunan kesadaran member
kesan adanya hiperkarbia. Sianosis menunjukkan hipoksemia yang
disebabkan oleh kurangya oksigenasi dan dapat dilihat dengan melihat
pada kuku da sekitar mulut. Retraksi dan penggunaan otot-otot napas
tambahan yang apabila ada, merupakan bukti tambahan adanya gangguan
airway.
2.Dengar (listen) adanya suara-suara abnormal pernapasan yang berbunyi
(suara, napas bisik) adalah pernapasan yang tersumbat. Suara mendengkur
(snoring), berkumur (gurgling), dan bersiul (crowing sound, stridor)
mungkin berhubungan dengan sumbatan parsial pada faring atau laring.
Suara parau (hoarseness, dysphonia) menunjukkan sumbatan pada laring.
Pasien yang melawan ddan berkata-kata kasar (gaduh, gelisah) mungkin
mengalami hipoksia dan tidak boleh dianggap karena keracunan/mabuk.
3.Raba (feel) lokasi trakea dan dengan cepat tentukan arah trakea berada di
tengah.
13. Gambar 8. Look, Listen and Feel
b. Permasalahan
1. Lidah yang jatuh ke belakang dan menyumbat orofaring dan glottis
(stridor)
2. Cairan atau benda semipadat atau benda asing yang menyumbat
lumen saluran pernapasan bagian atas.
3. Penekanan saluran pernapasan dari luar.
4. Terjadi sumbatan benda padat secara total
c. Penanganan
Bila salah satu dari hal-hal tersebut kita temukan maka segeralah lakukan
pembebasan jalan napas.
Jalan napas bebas dapat dicapai dengan ekstensi kepala sehingga lidah terletak
di depan dan tidak menutup hipofaring. Hal ini dapat dicapai dengan menarik
dagu ke depan. Bila ada kecurigaan terjadi fraktur tulang leher, tindakan
membebaskan jalan napas dilakukan tanpa ekstensi berlebihan kepala dan posisi
leher harus diimobilisasi. Umumya jalan napas harus terlebih dahulu dibuka,
dibebaskan, dan dibersihkan.
Bila pasien mengalami penurunan tingkat kesadaran, maka lidah mungkin
jatuh ke belakang dan menghambat hipofaring. Bentuk sumbatan seperti ini
dapat segera diperbaiki dengan cara mengangkat dagu (chin lift maneuver) atau
14. dengan mendorong rahang bawah kea rah depan (jaw-thrust maneuver), airway
selanjutnya dapat dipertahankan dengan oropharyngeal airway atau
nasopharyngeal airway. Tindakan-tindakan yang digunakan untuk membuka
airway dapat menyebabkan atau memperburuk cedera spinal. Oleh karena itu,
selama mengerjakan prosedur-prosedur ini harus dilakukan imobilisasi segaris
(inline immobilization).
Head tilt/chin lift maneuver
Berdasarkan AHA, head tilt/chin lift maneuver adalah teknik paling efektif untuk
membuka jalan napas korban yang tidak sadar. Teknik ini adalah satu-satunya
maneuver yang direkomendasikan untuk penolong awam dan penolong yang
berpengalaman ketika ada trauma kepala atau leher. Head tilt/chin lift maneuver
dilakukan dengan meletakkan satu tangan pada dahi pasien dan kepala dimiringkan
kebelakang. Jari pada tangan lain diletakkan dengan kuat di bawah bagian tulang
yang menonjol pada dagu, angkat dagu ke atas.
Jaw Trhust Manuever
Cara ini dilakukan pada korban dengan riwayat trauma servikal. Tindakan jaw-
thrust dilakukan dengan cara memegang sudut rahang bawah (angulus mandibula)
kiri dan kanan serta mendorong rahang bawah ke depan. Hal ini harus dilakukan
secara hati-hati untuk mencegah ekstensi kepala.
15. Heimlich Maneuver
Obstruksi jalan napas dapat disebabkan oleh corpus alienum misalnya karena
tersedak. Tersedak adalah respon fisiologis terhadap obstruksi saluran napas
mendadak. Benda asing obstruksi jalan napas menyebabkan asfiksia dan merupakan
kondisi yang mengkhawatirkan, yang terjadi sangat akut, pasien sering tidak dapat
menjelaskan apa yang terjadi kepada mereka. Jika parah, dapat menyebabkan
hilangnya cepat kesadaran dan kematian jika pertolongan pertama tidak dilakukan
dengan cepat dan berhasil. Jika benda asing tidak tampak di mulut dan tidak dapat
ditangkap dengan jari atau alat harus dilakukan Heimlich. Pasien dipegang dari
belakang setinggi ulu hati dengan kedua tangan : tangan yang satu memegang tangan
yang lain dengan cukup kuat, tangan ditekan sehingga diafragma naik dan terjadi
tekanan tinggi di rongga dada. Posisi tangan yang lebih dominan mengepal dan
tangan yang lain diletakkan di atasnya. Gerakan ini dapat mengeluarkan benda asing.
16. Back Blows
Back blows adalah pukulan atau tepukan pada punggung pasien sebanyak lima
kali yang dapat dilakukan pada siapapun.
Finger sweep
Teknik untuk membersihkan obstruksi mekanik dari saluran napas bagian atas
pada pasien yang tidak sadar. Penyelamat membuka mulut korban dengan
memegang rahang bawah dan lidah antara ibu jari dan jari-jari. Penyelamat kemudian
mencoba untuk menyapu benda asing keluar dari mulut korban dengan jari.
Apabila dengan cara-cara diatas pasien belum dapat bernapas maka lakukan
pertolongan dengan menggunakan alat seperti di bawah ini :
Oropharingeal Airway
Airway oral disisipkan ke dalam mulut dibalik lidah. Teknik yang dipilih adalah
dengan menggunakan spatula lidah untuk menekan lidah dan menyisipkan airway
tersebut ke belakang. Alat ini tidak boleh mendorong lidah kebelakang yang justru
akan membuat airway buntu. Alat ini tidak boleh digunakan pada pasien yang sadar
karena dapat menyebabkan sumbatan, muntah dan aspirasi. Pasien yang dapat
mentoleransi airway orofaringeal kemungkinan besar membutuhkan intubasi.
(a)
17. Nasopharyngeal Airways
Airway nasofaringeal disisipkan pada salah satu lubang hidung dan dilewatkan
dengan hati-hati ke orofaring posterior dengan menggunakan jelly. Alat tersebut
sebaiknya dilumasi baik-baik kemudian disisipkan ke lubang hidung yang tampak
tidak tertutup. Bila hambatan dirasakan selama pemasangan airway, hentikan dan
coba melalui lubang hidung yang lainnya.
Pada Skenario:
Terdapat suara mendengkur, Mendengkur terjadi karena udara tidak mengalir
dengan mulus melalui saluran pernafasan atau ketika jaringan lunak atau otot di
saluran pernafasan bergetar.
Yang pertama yang harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas. Usaha untuk
membebaskan airway harus melindung vertebra servikal. Dalam hal ini dapat dimulai
dengan menggunakan head tilt/chin lift atau jaw thrust. Dipertahankan dengan
pemasangan nasopharyngeal air way atau oropharingeal airway.
Breathing
Menjamin terbukanya airway merupakan langkah penting pertama untuk
pemberian oksigen pada pasien, tapi itu baru merupakan langkah awal. Airway yang
terbuka tidak akan berguna bagi pasien terkecuali pasien juga mempunyai adekuat
ventilasi dan mencari tanda-tanda objektif dari ventilasi yang tidak adekuat.
18. a. Penilaian
Beberapa tanda objektif ventilasi yang tidak adekuat dapat diketahui dengan
mengambil langka-langkah berikut:
1. Lihat (look) naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan udara dinding
dada yang adekuat. Asimetris menunjukkan pembelatan (splinting) atau flail
chest dan tiap pernapasan yang dilakukan dengan susah (labored breathing)
sebaiknya harus dianggap sebagai ancaman terhadap ventilasi pasien.
2. Dengar (listen) adanya pergerakan udara pada kedua sisi dada. Penurunan
atau tidak terdengarnya suara napas pada satu atau kedua hemitoraks
merupakan adanya cedera dada. Hati-hati terhadap adanya laju pernapasan
yang cepat, takipneu mungkin menunjukkan adanya kekurangan oksigen
(respiratory distress).
3. Gunakan pulse oxymeter. Alat ini mampu memberikan informasi tentang
saturasi oksigen dan perfusi perifer pasien, tetapi tidak memastikan adanya
ventilasi yang adekuat.
b. Permasalahan
Ventilasi mungkin terganggu oleh sumbatan airway tetapi juga oleh gangguan
pergerakan napas (ventilatory mechanics) atau depresi susunan saraf pusat. Apabila
pernapasan tidak membaik dengan terbukanya airway, penyebab lain harus dicari.
Trauma langsung pada dada, khususnya yang disertai trauma tulang iga,
menyebabkan rasa sakit setiap kali bernapas dan menyebabkan pernapasan yang
cepat, dangkal, dan hipoksemia. Pasien lanjut usia yang mengalami trauma toraks dan
menderita gangguan paru mempunyai resiko bermakna untuk mengalami gagal napas
pada keadaan ini.
Cedera intrakranial dapat menyebabkan pola pernapasan yang abnormal dan
mengganggu ventilasi. Cedera servikal dapat menyebabkan pernapasan diafragmatik
sehingga kemampuan penyesuaian untuk kebutuhan oksigen yang meningkat menjadi
terganggu. Transeksi total servikal, yang masih menyisakan nervus frenikus
19. menimbulkan pernapasan abdominal dan kelumpuhan otot-otot intercostal. Bantuan
ventilasi mungkin dibutuhkan.
Cedera dinding dada, rongga toraks, atau paru menyebabkan gagal napas. Pada
trauma majemuk, gagal napas dapat pula terjadi bila trauma mengenai abdomen atas.
Cadangan napas dapat menurun bila penderita telah menderita gangguan napas
sebelum terjadi trauma sehingga pertukaran gas tidak cukup. Sindrom gagal napas
pada orang dewasa (Adult respiratory distress syndrome, ARDS) adalah kegagalan
paru karena trauma, syok, sepsis.
c. Penanganan
Cara menanganinya adalah dengan melakukan ventilasi buatan dan oksigenasi
dengan inflasi tekanan positif secara intermitten dengan menggunakan udara
ekshalasi dari mulut ke mulut, mulut ke hidung atau mulut ke alat (S- tube masker
atau bag valve mask). Ventilasi buatan dengan tekanan positif jangka panjang
sebainya dilakukan melalui intubasi dengan pipa endotrakeal atau dengan
trakeostomi.
Mouth to Mouth
Untuk memberikan bantuan pernapasan mulut ke mulut, jalan napas korban harus
terbuka. Tangan penolong masih tetap melakukan teknik membuka jalan napas chin
lift. Hidung korban harus ditutup bisa dengan tangan atau dengan menekan pipi
penolong pada hidung korban. Mulut penolong mencakup seluruh mulut korban.
Mata penolong melihat ke arah dada korban untuk melihat pengembangan dada.
Pemberian pernapasan buatan secara efektif dapat diketahui dengan melihat
pengembangan dada korban. Tiupkan napas dengan lambat, tiupkan setiap napas
lebih dari 2 detik, pastikan ada pengembangan dada korban. Bersiaplah untuk
memberikan sekitar 10 sampai 12 napas per menit (1 nafas setiap 4 sampai 5 detik).
20. Mouth to Nose
Memberikan napas dari mulut ke hidung direkomendasikan jika pemberian
napas buatan melalui mulut korban tidak dapat dilakukan misalnya terdapat luka
yang berat pada mulut korban, mulut tidak dapat dibuka, korban di dalam air atau
mulut penolong tidak dapat mencakup mulut korban.
Mouth to Mask
Sebuah masker transparan dengan atau tanpa katup yang digunakan dari mulut ke
masker pernapasan. Ventilasi mulut ke masker sangat efektif karena memungkinkan
penyelamat untuk menggunakan dua tangan untuk membuat masker terpasang erat
di daerah mulut pasien.Ada 2 teknik yang mungkin untuk menggunakan masker
mulut. Teknik pertama posisi penyelamat di atas kepala korban (cephalic technique).
Pada teknik kedua (lateral technique), penyelamat adalah diposisikan di samping
korban dan menggunakan head tilt– chin lift.
Bag Valve Mask
Pemberian nafas buatan dengan menggunakan alat dapat meggunakan Bag Valve
Mask (ambu bag). Ambu bag terdiri dari bag yang berfungsi untuk memompa O2
bebas, valve atau pipa berkatup dan masker yang menutup mulut dan hidung
21. penderita. Ambu bag sangat efektif bila dilakukan oleh dua orang penolong yang
berpengalaman. Salah seorang penolong mebuka jalan napas dan menempelkan
sungkup di wajah korban dan penolong lain memegang bagging. Teknik ventilasi bag
valve mask membutuhkan instruksidan praktek. Penyelamat harus dapat
menggunakanperalatan secara efektif dalam berbagai situasi.
Pada Skenario :
Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada, dan
diagfragma. Setiap komponen ini harus selalu dievaluasi secara cepat. Inspeksi dan
palpasi dapat memperlihatkan kelainan dinding dada yang mungkin mengganggu
ventilasi.
Jika terdapat gangguan ventilasi kita bisa tangani denganCara melakukan
ventilasi buatan dan oksigenasi dengan inflasi tekanan positif secara intermitten
dengan menggunakan udara ekshalasi dari mouthto mouth, mouth to nose, bag valve
mask. Ventilasi buatan dengan tekanan positif jangka panjang sebainya dilakukan
melalui intubasi dengan pipa endotrakeal atau dengan trakeostomi.
Circulation
Istilah henti jantung adalah istilah umum yang meliputi konsekuensi
hemodinamik pada asistol, fibrilasi ventrikel, dan disosiasi elektrodinamik.
Berhentinya kontraksi jantung tidak benar-benar terjadi pada dua dari tiga keadaan
ini. Bila curah jantung sangat rendah sehingga semua tanda-tanda henti jantung
muncul.
a. Penilaian
Yang dibicarakan adalah volume darah dan cardiac output serta, perdarahan.
22. Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang, yang akan mengakibatkan
penurunan kesadaran (jangan dibalik: pasien yang sadar belum tentu normo-volemik).
Warna kulit dapat membantu diagnosis hipovolemia. Pasien trauma yang
kulitnya kemerahan, terutama pada wajah dan ekstremitas, jarang yang dalam
keadaan hipovolemia. Sebaliknya, wajah pucat keabu-abuan dan kulit ekstremitas
yang pucat, merupakan tanda hipovolemia.
Periksalah nadi yang besar seperti A. femoralis atau A. karotis (kiri-kanan),
untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama. Nadi yang tidak cepat, kuat dan teratur
biasanya merupakan tanda normovolemia (bila pasien tidak minum obat beta-
blocker). Nadi yang cepat dan kecil merupakan tanda hipovolemia, walaupun dapat
disebabkan keadaan yang lain. Kecepatan nadi yang normal bukan jaminan bahwa
normo-volemia. Nadi yang tidak teratur biasanya merupakan tanda gangguan jantung.
Tidak ditemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan pertanda diperlukannya
resusitasi segera untuk memperbaiki volume dan cardiac output.
b. Permasalahan
Kegagalan sirkulasi yang paling sering terjadi pada korban trauma adalah syok
dan henti jantung yang antara lain terjadi karena perdarahan yang terlalu banyak atau
karena cedera jantungnya sendiri.
Tanda-tanda henti jantung adalah: tidak teraba nadi yang sebelumnya teraba atau
tidak ada denyut pembuluh darah besar karotis atau femoralis. Salah satu atau kedua
tanda utama ini berlaku pada semua situasi.
Perlu dibuat diagnosis dengan cepat dalam hitungan detik akan kejadian ini.
Dilatasi pupil terjadi pada henti sirkulasi dan merupakan tanda hipoksia. Hipoksia
dapat juga mendahului henti jantung sehingga sianosis serta midriasis telah ada
walaupun curah jantung tidak berkurang.
Tidak ada cadangan nyata oksigen di dalam tubuh tetapi pada setiap saat tersedia
kurang lebih 1000 ml oksigen. Jelas bahwa tidak semua oksigen ini tersedia
sepenuhnya untuk keperluan metabolik. Jadi jika penggunaan oksigen terus tidak
23. berkurang, “cadangan” akan habis terpakai (paling lama 3 menit). Secara umum, bila
sirkulasi tidak mulai kembali secara spontan, atau tidak ditambah secara buatan,
dalam 3 menit sejak saat berhenti, mungkin tidak ada gunanya kita memulai
resusitasi. Oleh karena itu, henti jantung klinis harus ditangani segera.
c. Penanganan
Syok
Perdarahan merupakan penyebab syok paling umum pada trauma dan hampir
semua pasien-pasien dengan trauma multipel terjadi hipovolemia. Sebagai tambahan,
kebanyakan pasien dengan syok nonhemoragik memberikan respon yang singkat
terhadap resusitasi cairan. Walaupun tidak lengkap (parsial).
Klasifikasi perdarahan (kehilangan darah) dibagi menjadi empat kelas
berdasarkan tanda-tanda klinis, merupakan perangkat yang penting untuk
memperkirakan presentasi hilangnya darah secara akut. Perubahan-perubahan ini
dapat menunjukkan adanya perdarahan yang sedang terjadidan sebagai pedoman
terapi awal. Penggantian volume darah hendaknya didasarkan atas respon pasien
terhadap terapi awal dan bukan klasifikasi kehilangan darah. Sistem klasifikasi
perdarahan ini berguna untuk menetukan tanda-tanda klinis awal patofisiologi kodisi
syok.
Upaya diagnostik dan penangan syok harus dilaksanakan secara simultan. Prinsip
penanganan dasar syok adalah stop perdarahan dan penggantian volume darah/cairan
yang hilang.
Pemeriksaan fisik ditujukan langsung pada diagnosis segera atas cedera yang
mengancam jiwa dan meliputi penilaian ABCDE. Pencatatan data-data awal penting
untuk memonitor respon pasien terhadap terapi. Tanda-tanda vital, produksi urin, dan
tingkat kesadaran merupakan faktor penting. Bila kondisi memungkinkan,
pemeriksaan yang lebih detil perlu dilaksanakan.
Menjamin airway yang paten dengan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat
merupakan prioritas pertama. Pemberian oksigen tambahan untuk mempertahankan
saturasi lebih dari 95%.
24. Prioritas dalam sirkulasi meliputi control perdarahan yang jekas terlihat,
memperoleh akses intarvena yang cukup dan menilai perfusi jaringan. Pendarahan
dari luka-luka luar umumnya dapat dikontrol dengan bebat tekan langsung pada
perdarahan.
Terapi awal cairan larutan elektrolit istonik hangat, misalnya Ringer laktat,
digunakan untuk resusitasi awal. Cairan jenis ini mengisi volume vaskuler dengan
cara menggantikan kehilangan cairan penyerta yang hilang ke dalam ruang itertisial
dan intraseluler.
Keputusan untuk memberikan transfuse darah didasarkan pada respon pasien.
Tujuan utama transfuse darah adalah untuk mengembalikan kapasitas angkut oksigen
di dalam volume intravaskuler.
Chest Compression
Jika korban juga bernapas tidak normal (terengah-engah), penolong harus
mengasumsikan korban mengalami henti jantung. Penyelamat awam harus
melakukan panggilan darurat saat penyelamat menemukan bahwa korban dalam
keadaan tidak responsif, operator harus mampu membimbing penolong awam untuk
memeriksa pernapasan pasien serta langkah-langkah CPR (cardiopulmonary
resuscitation), jika diperlukan.
Setelah melakukan panggilan darurat, semua tim penolong harus segera memulai
CPR (lihat langkah-langkah di bawah ini) untuk korban dewasa yang tidak responsif
dengan tidak bernapas atau tidak bernapas normal (terengah-engah).
Kompresi terdiri dari aplikasi irama dan tekanan yang kuat di pertengahan
sternum. Kompresi mengembalikan aliran darah dengan meningkatkan tekanan
intrathoracic dan langsung menekan jantung. ini menghasilkan aliran darah dan
pengiriman oksigen ke miokardium dan otak.
Kompresi dada yang efektif sangat penting untuk mengembalikan aliran darah
selama CPR. Untuk alasan ini semua pasien dalam. serangan jantung harus menerima
kompresi dada.
25. Tim penyelamat harus berusaha untuk meminimalkan frekuensi dan
durasi gangguan dalam kompresi untuk memaksimalkan jumlah kompresi per menit.
Rasio kompresi-ventilasi 30:2 direkomendasikan dengan kedalaman kompresi 5 cm.
Pedoman AHA 2010 untuk CPR dan ECC merekomendasikan inisiasi kompresi
sebelum ventilasi. Sementara tidak ada bukti manusia atau hewan yang
dipublikasikan menunjukkan bahwa CPR dimulai dengan 30 kompresi lebih dari 2
ventilasi mengarah ke hasil yang lebih baik, jelas bahwa aliran darah bergantung pada
penekanan dada.
Untuk memaksimalkan kompresi dada, tempatkan korban pada permukaan keras
bila memungkinkan, dalam terlentang posisi dengan penyelamat berlutut di samping
dada korban atau berdiri di samping tempat tidur. Karena tempat tidur rumah sakit
biasanya tidak keras. Kita merekomendasikan penggunaan papan meski tidak cukup
bukti terhadap penggunaan papan selama CPR.
Penyelamat harus menempatkan satu tangan di tengah (tengah) dari dada korban
dan tangan lainnya di atas tangan pertama sehingga tangan dapat tumpang tindih dan
paralel.
Untuk memberikan kompresi dada yang efektif, mendorong keras (push hard)
dan mendorong cepat (push fast). Hal ini wajar untuk orang awam dan kesehatan
penyedia untuk kompres dada dewasa pada tingkat minimal
100 kompresi per menit dengan kedalaman kompresi minimal 2 inci / 5 cm). Tim
penyelamat harus mengusahakan dada mengembang kembali ke posisi semula
(recoil) disetiap pemberian sati kali kompresi, untuk memungkinkan jantung untuk
mengisi sepenuhnya sebelum kompresi berikutnya.
26. Pada bayi, kompresi dada yang dilakukan mengggunakan teknik yang berbeda.
Jika penolong sendirian harus menggunakan teknik kompresi dada dengan
mengguakan 2 jari yang diletakkan di garis antara kedua puting susu dengan ratio
kompresi-ventilasi (30:2). Disarankan untuk melakukan kompresi pada bayi dengan
dua penolong. Pada teknik ini penolong memegang badan bayi dengan kedua
tangannya dan menempatkan kedua ibu jari intermammary line dengan ratio
kompresi-ventilasi (15:2). Kompresi pada bayi dilakukan kurang lebih 100 kali per
menit secara cepat dan kuat dengan kedalaman kompresi 4cm.
Indikasi Pengakhiran Resusitasi
a. Tanda- tanda Keberhasilan Resusitasi
Suatu resusitasi yang baik dinilai atas 3 dasar, yaitu:
1. Fungsi otak, pernapasan dan jantung dapat dipertahankan. Bila O2 yang
dibutuhkan oleh jaringan otak dapat mencegah terjadinya kerusakan
cerebral, maka ini dapat dinilai dari beberapa reaksi, antara lain:
2. Berdasarkan diameter pupil. Bila miosis, menunjukkan hasil yang baik dan
bila midriasis menetap, menunjukkan hasil buruk.
3. Refleks pupil
4. Reflex air mata
5. Struggling (meronta-ronta)
6. Tonus otot meningkat
Bila hal di atas positif, maka hal tersebut menunjukkan indikasi ke arah
perbaikan.
1. Terjadi spontanitas respirasi
Penilaian terhadap respirasi dapat dibagi menjadi:
27. a. Pernapasan menjadi normal atau apneu, gasping (megap-megap) atau
pernapasan cheyne-stokes
b. Frekuensi pernapasan berkisar antara 16-20 kali/menit
c. Amplitudo pernapasan yang meninggi
2. Fungsi kardiovaskuler
Fungsi kardiovaskuler dapat diketahui dari denyut nadi yang teratur
dan kuat dan juga dari tekanan darah. Bila fungsi kardiovaskuler telah
kembali normal, maka dilakukan penilaian:
a. Monitoring dari organ-organ vital dalam, antara lain kardiovaskuler,
ginjal, dan keseimbangan asam dan basa.
b. Apakah terdapat fibrilasi ventrikuler dan takikardi ventrikuler yang
berulang.
b. Tanda-tanda Kegagalan Resusitasi
Tanda- tanda dari kegagalan resusitasi dapat dibagi menjadi beberapa hal, yakni
:
1. Interval waktu yang terlalu lama antara fase cardiopulmonary arrest dengan
tindakan resusitasi yang dilakukan. Bila jarak ini lebih dari 3 menit, maka
kemungkinan besar kerusakan yang cerebral yang irreversible telah terjadi,
sehingga tindakan resusitasi tidak akan berhasil.
2. Progresivitas yang pasti dari keadaan ini dapat diketahui, akan tetapi secara
klinis terdapat perburukan dari fungsi respirasi atau fungsi kardiovaskular yang
dimanifestasikan pada perburukan fungsi serebral.
3. Teknik resusitasi yang salah.
a. Tekni resusitasi pernapasan yang salah disebabkan oleh karena hambatan
pada saluran napas, sehingga rasio perfusi ventilasi tidak dapat mengatasi
kebutuhan O2 pada titik kritis dari serebral.
b. Restorasi kardiovaskular yang kurang tepat. Baik lokasi penekanan yang
keliru tidak akan menghasilkan cardiac output yang adekuat untuk memenuhi
titik kritis dari kebutuhan daerah serebral.
28. 1. Kerusakan mekanikal
Bila terjadi kerusakan pada paru, kardiovaskuler, atau rongga thorax maka
tindakan resusitasi kardiopulmonal dapat mengalami kegagalan.
2. Resusitasi yang tidak memadai
Tindakan serta hasil restorasi pernapasan dan restorasi jantung tidak akan
dapat memenuhi titik kritis akan kebutuhan O2 dari serebral.
3. Tergantung kepada etiologi atau penyebab dari cardio pulmonary arres
t.
c. Penghentian Tindakan resusitasi
1. Kematian klinis
Secara klinis tindakan resusitasi dapat dihentikan apabila setelah 1-1,5
jam jantung berhenti dan pasien tetap tidak dapat menunjukkan kesadaran.
2. Kematian jantung
Dapat dimulai dengan tandanya monitoring EKG dalam waktu paling
sedikit 30 menit setelah tindakan resusitasi selama pemberian obat-obatan.
3. Kematian otak
Secara total bila tidak terdapat aktivitas elektroensepalografi dan
secara klinis terjadi pelebaran pupil paling sedikit selama 1-2 jam maka dapat
dianggap sebagai indikasi untuk menghentikan resusitasi.
4. Telah timbul kembali sirkulasi dan ventilasi spontan yang efektif.
1) Upaya resusitasi telah diambil alih orang yang bertanggung
jawab.
2) Penolong terlalu capek sehingga tak sanggup meneruskan
resusitasi. Setelah dimulai resusitasi, ternyata kemudian diketahui
bahwa pasien berada dalam stadium terminal suatu penyakit yang tak
dapat disembuhkan atau hampir dapat dipastikan bahwa fungsi
serebral akan pulih.
Pada Skenario:
- Nadi radialis 90X/menit
29. - Tekanan darah 160/90 mmHg
Menjaga agar tekanan darah tetap cukup tinggi untuk mengalirkan darah
(perfusi) ke otak dan menjaga komposisi darah (O2, Hb, Glukosa) tetap optimal
untuk metabolism otak
D. Disability
1) Tentukan tingkat kesadaran memakai skor GCS/AVPU
2) Nilai pupil: besarnya, isokor atau tidak, refleks cahaya dan awasi tanda –
tanda lateralisasi
3) Evaluasi dan re-evaluasi airway, oksigenasi, ventilasi dan circulation7
pada skenario:
1) E1M3V2 (Semi coma)
Penurunan kesadaran menuntut dilakukannya reevaluasi terhadap keadaan
oksigenasi, ventilasi, dan perfusi .
E. Exposure
1) Buka pakaian penderita
2) Cegah hipotermia: beri selimut hangat dan tempatkan pada ruangan yang
cukup hangat7
5. Bagaimana cara memberikan tindakan lanjut apabila terjadi kegagalan
pada penanganan awal?
Tindakan lanjut yang dilakukan apabila penanganan awal gagal:
Lakukan Trakeotomi, merupakan tindakan membuat jalan napas baru dengan
membuat lubang pada trakea. Trakeotomi menurut urgensi dibagi atas:
a. Emergency tracheostomy, dilakukan pada keadaan darurat, biasanya
didaerah glottis
b. Orderly tracheostomy, merupakan tindakan berencana, dilakukan pada
cincing trakea III atau dibawahnya.
30. Indikasi:
a. Pasien yang tampak pucat atau sianotik
b. Terjadinya obstruksi jalan napas
c. Terdapat benda asing disubglotis
d. Cedera parah pada wajah dan leher
Komplikasi:
a. Perdarahan
b. Infeksi pada tulang rawan tiroid
c. Stenosis trakea
Secondery Survei
Dimulai setelah primary survey selesai. Pada secondary survey dievaluasi dari
kepala sampai kaki pasien, yaitu riwayat pasien dan pemeriksaan fisik, termasuk
penilaian kembali tanda-tanda vital.8
RIWAYAT PASIEN
- Alergi
- Obat-obatan yang saat ini digunakan
- Penyakit masa lalu/kehamilan
- Makanan terakhir
- Peristiwa/Lingkungan yang terkait dengan cedera
PEMERIKSAAN FISIK
- Kepala,
- tulangbelakang,
- leher,
- dada,
- Perut,
- panggul,
- perineum,
- rectum,
- vagina,
- system musculoskeletal,
- system neurologis
1) Kepala
31. Secondery survaice dimulai dengan evaluasi kepala untuk mengidentifikasi ada
tidaknya trauma neurologis dan trauma lainnya yang signifikan. Pada kepala
diperiksa ada tidaknya trauma laserasi, kontusio, dan fractur. 8
Jika edema disekitar mata lakukan pemeriksaan lebih dalam, seperti:
o Ketajaman penglihatan
o Ukuran pupil
o Pendarahan konjungtiva atau fundus
o Luka tusuk
o Kontaklensa (dilepas sebelum edema terjadi)
o Dislokasilensa
o Okular yang terperangkap
Salah satu pemeriksaan ketajaman visual dapat dilaukan dengan menggunakan
Snellen chart. gerakan ocular perlu diperiksa untuk mengeliminasi gangguan otot
ekstraokuler dikarenakan fraktur orbita. 8
2) Struktur Maxillofacial
Pemeriksaan wajah terdiri dari palpasi dari struktur yang bertulang, penilaian
oklusi, pemeriksaan intraoral, dan penilaian jaringan lunak.5
Trauma maxillofacial tidak berhubungan dengan obstruksi jalan nafas atau
pendarahan massif yang harus diatasi hanya setelah pasien stabil dan trauma yang
mengancam nyawa telah diatasi. Pasien dengan fraktur midface mungkin juga
memiliki fraktur platcribriform. Untuk pasien-pasien ini, intubasi lambung harus
dilakukan melalui rute oral.8
3) Tulang belakang dan leher
Pasien dengan trauma maxillofacial atau kepala harus dicurigai memiliki trauma
tulang belakang sehingga gerakan leher harus dibatasi.
Pemeriksaan leher terdiri dari inspeksi, palpassi dan auskultasi. Cervical spine
tenderness, emfisema subcutaneous, deviasi trachea, dan fraktur laring dapat
ditemukan. Artericarotisharus di palpasi dan auskultasi.
32. 4) Dada
Inspeksi pada dada, depan dan belakang dapat mengidentifikasi kondisi seperti
open pneumothorax, flail chest. Pemeriksaan lengkap dari dada membutuhkan palpasi
seluruh dinding dada termasuk clavicula, tulang rusuk dan sternum. Tekanan pada
sternum dapat menyebabkan nyeri jika terdapat fraktur atau separasi costo kondral
pada sternum. Kontusio dan hematoma pada dinding dada dapat menandakan cedera
occult.
Reevaluation
Pasien harus dievaluiasi secara berkala, memastikan tidak ada kelainan yang
terlewatkan, ataupun adanya kelainan baru.8
Pemantauan terus-menerus tanda vital, saturasi oksigen, dan pengeluaran urin
sangat penting. Untuk pasien dewasa normalnya urin keluar 0,5 mL/kg/jam dan pada
pasien anak yang lebih dari tahun normalnya 1 mL/kg/jam. 8
6. Bagaimana cara pemakaian obat-obat darurat sesuai dengan penyebab
penurunan kesadaran?
Pengendalian Tekanan Intrakranial
Pada pasien dengan GCS <9 dan penderita yang mengalami penurunan kesadaran
karena kenaikan TIK diperlukan tindakan memonitor TIK. Pemantauan ketat
terhadap penderita dengan risiko edema serebral harus dilakukan dengan
memperhatikan perburukan gejala dan tanda neurologis yang terjadi akibat
peningkatan TIK. Sasaran terapi adalah TIK kurang dari 20 mmHg dan CPP >70
mmHg. Adapun obat-obat yang dapat digunakan :9
Manitol
Manitol digunakan untuk menurunkan tekanan intrakranial (TIK),
biasanya dengan konsentrasi cairan 20%. Manitol juga diberikan pada
penderita-penderita dengan pupil dilatasi bilateral dan reaksi cahaya pupil
negatif namun tidak hipotensi. Dosis Manitol 0.25 - 0.50 gr/kgBB, selama
>20 menit, diulangi setiap 4 - 6 jam dengan target ≤ 310 mOsrn/L.
33. Furosemid
Obat ini diberikan bersama manitol untuk menurunkan TIK. Dosis : 0,3-
0,5 mg/kg BB, secara intravena.
Barbiturat
Barbiturat bermanfaat untuk menurunkan TIK yang refrakter terhadap
obat-obat atau prosedur yang biasa. Namun obat ini tidak boleh diberikan
bila terdapat hipotensi, karena barbiturat sendiri juga menurunkan tekanan
darah. Karena itu obat barbiturat tidak boleh diberikan pada fase akut
resusitasi.
7. Bagaimana cara melakukan tindakan khusus pada pasien dengan
penurunan kesadaran, baik trauma maupun nontrauma?
Prinsip penatalaksanaan pada pasien dengan penurunan kesadaran:10
Mempertahankan fungsi vital dan mencukupi kebutuhan akan O2 cairan dan
kalori
• Pelihara jalan napas
• Pemebrian cairan dan kalori
Jumlah maintenance kira-kira 2000 ml/hari
Bila koma lebih dari 2-3 hari, berikan makanan personde agar
intake dapat lebuh banyak.
Pemeliharaan kebersihan tubuh
• Mata: ditetesi borwater/larutan garam faal
• Mulut: boraks-gliserin, alkohol tiap pagi
• Klisma: larutan gliserin 2-3x sehari
• Mandi dengan air dan sabun min 2x1
Mencegah infeksi sekunder dan dekubitus
34. • Untuk mengurangi kemungkinan pneumonia dan dekubitus posis
berbaring harus diubah-ubah tiap 2 jam.
• Mengeluarkan secret dengan ditepuk-tepuk dada dan punggung tiap
pagi hari
Pengobatan simtomatik
• Bila kejang atau gelisah berikan sedatif yang efek depresifnya minimal
(mis: diazepam)
• Untuk menurunkan tek.intrakranial gunakan kortikosteroid dan larutan
hipertonik.
8. Bagaimana syarat-syarat melakukan transportasi dan rujukan pada
penderita dengan penurunan kesadaran?
Menentukan perlunya rujukan.
Hasil tindakan pada pasien berhubungan langsung dengan waktu yang
dibutuhkan dari saat kejadian sampai diberikannya terapi definitive. Dalam rumah
sakit yang tidak ada dokter emergensi purna-waktu, dianjurkan agar ada system
komunikasi, sehingga dokter akan siap pada saat penderita tiba di ruang emergensi
tetap (Full Time). Saat merujuk pasien tergantung dari banyak factor antara lain jarak
rumah sakit yang akan dirujuk, keberadaan tenaga terampil yang akan mendampingi
pasien, dan intervensi yang perlu dilakukan. Penanganan pasien ini mungkin
membutuhkan intervensi bedah sehingga diusahakan pasien dalam keadaan yang
optimal sebelum dirujuk. Intervensi sebelum merujuk adalah keputusan bedah.11
Faktor yang berhubungan dengan rujukan
Faktor-faktor yang dapat dijadikan pegangan untuk merujuk penderita antara lain
adalah criteria fisiologis, pola perlukaan, biomekanika trauma dan beberapa masalah
khusus. Faktor-faktor tersebut dapat membantu dalam keputusan untuk merujuk.11
35. Ada criteria fisiologis yang dapat bermanfaat dalam menentukan perlunya
rujukan. Sebagai contoh adalah penderita dalam syok yang sulit teratasi, atau
penurunan keadaan neurologis.11
Cara Rujukan
1) Dokter yang merujuk
Dokter yang mengirim bertanggung jawab untuk memulai rujukan, pemilihan
cara transport serta tingkat perawatan sepanjang perjalanan. Dokter yang
merujuk harus berkomunikasi terlebih dahulu dengan dokter penerima rujukan,
mengetahui seluk-beluk cara transportasi yang dipilih, dan mengatur pelayanan
pasien salama transportasi.11
Dokter yang akan merujuk bertanggung jawab bahwa pasien dalam keadaan
stabil saat akan berangkat. Proses merujuknya sendiri mungkin sudah dimulai
saat resusitasi masih berlangsung. Persetujuan untuk rujukan pasien harus
disiapkan, karena akan memperlancar proses rujukan.11
2) Dokter penerima rujukan
36. Dokter penerima rujukan harus meyakini bahwa rumah sakitnya mampu
menerima pasien, dan memang bersedia menerima. Dokter penerima rujukan
harus membantu dokter yang merujuk dalam pemilihan cara transportasi, cara
perawatan selama dalam perjalanan. Bila dokter penerima rujukan menyatakan
menolak rujukan, maka tetap harus membantu mencari alternative rujukan.11
Cara Transportasi
Dalam memilih cara transportasi, prinsip “Do no further harm” harus menjadi
pertimbangan utama. Perjalanan antar rumah sakit dapat berbahaya, keculi
apabila terhadap pasien telah dilakukan stabilisasi, tenaga yang mendampingi
cukup terlatih, dan telah diperhitungkan kemungkinan yang terjadi selama
transportasi. 11
Protokol Rujukan
Apabila belum ada prosedur tetap, maka dianjurkan prosedur dibawah ini:
1) Dokter yang merujuk
Dokter yang akan merujuk harus berbicara dengan dokter penerima rujukan, dan
memberikan informasi dibawah ini:
Identitaspasien
Anamnesis singkat kejadiannya, termasuk data pra-rumah sakit yang penting
Penemuan awal pada pemeriksaan pasien
Responter hadap terapi
2) Informasi untuk petugas yang akan mendampingi
Petugas pendamping harus paling sedikit diberitahukan:
Pengelolaan jalan nafas pasien
Cairan yang telah / akan diberikan
Prosedur khsus yang mungkin akan diperlukan
Revised Trauma Score, prosedur resusitasi dan perubahan-perubahan yang
mungkin akan terjadi selama dalam perjalanan
3) Dokumentasi
37. Yang disertakan dengan pasien adalah dokumentasi mengenai permasalahan
pasien, terapi yang telah diberikan, keadaan pasien saat akan dirujuk.
4) Pengobatan sebelum merujuk
Pasien harus dilakukan resusitasi dalam usaha membuat pasien dalam keadaan
sestabil mungkin, seperti dianjurkan dibawah ini
a) Airway
Pasang airway atau intubasi bila perlu
Suction dimana perlu
Pasang NGT untuk mencegah aspirasi
b) Breathing
Tentukan laju pernafasan, berikan oksigen
Ventilasi mekanik bila diperlukan
Pasang pipa toraks (chest tube) dimana perlu
c) Circulation
Kontrol perdarahan luar
Pasang 2 jalur infus, mulai pemberian kristaloid
Perbaiki kehilangan darah dengan kristaloid atau darah, dan teruskan pemberian
selama transportasi
Pasang kateter uretra untuk monitor keluar urin
Monitor kecepatan dan irama jantung
38. Daftar Pustaka
1. Kumar,P. & Clark,M. 2006 Clinical Medicine, 6
th
ed. Elsevier Saunders,
Edinburgh London
2. Wijdicks EF, Varelas PN, Gronseth GS, Greer DM, American Academy of N.
Evidence- based guideline update: Determining brain death in adults: Report
of the quality standards subcommittee of the American Academy of
Neurology. Neurology 2010; 74: 1911-8.
3. Singhal NS, Josephson SA. A practical approach to neurologic evaluation in
the intensive care unit. J Crit Care 2014; 29(4): 627-33.
4. Huff JS, Stevens RD, Weingart SD, Smith WS. Emergency neurological life
support: Approach to the patient with coma. Neurocritical Care 2012; 17(S1):
54-9.
5. Yeo SS, Chang PH, Jang SH. The ascending reticular activating system from
pontine reticular formation to the thalamus in the human brain. Frontiers in
Human Neuroscience [Internet]. 2013 [cited 2015 May 25];
6. Farzaneh A, Sorond. Does hypertension affect cerebral blood-flow auto
regulation?J Neural Sci[internet]. 2002 [diakses tanggal 15 april 2016]; 1(1).
Tersedi adari : http://www.jwatch.org/
7. Henry Sharon, MD, Karen Brasel, MD, Ronald M. Stewart, MD, FACS.
2018. “ATLS : Advanced Trauma Life Support Tenth Edition” The
Committee on Trauma: American College of Surgeons.
8. Stewart RM. Advanced Trauma Life Support ®. 10th ed. American College of
Surgeons; 2018.
9. PERDOSSI.2011.Guideline Stroke. Bagian Ilmu Penyakit Saraf RSUD Arifin
Achmad Pekanbaru. Fakultas kedokteran Universitas Riau.
10. Advanced Trauma Life Support Tenth Edition. 2018
11. Henry, Sharon; dkk. 2008. Advanced Trauma Life Support 8thEdition.
Chicago: American Collage of Surgeons Committee on Trauma