1. Khutbah membahas pelajaran ikhlas yang dapat dipetik dari Perang Muktah.
2. Perang ini mencontohkan sosok Tsabit bin Arqam yang melakukan peran besar tanpa ingin terkenal.
3. Kita perlu belajar untuk beramal dengan ikhlas tanpa mempedulikan popularitas.
1. Belajar Ikhlas dari Perang Muktah
Diposkan oleh Abu Nida pada Kamis, 04 April 2013 | 19.30
WIB
Khutbah Jumat: Belajar Ikhlas dari Perang Muktah - Kini kita berada di Jum'at terakhir bulan
Jumadul Ula 1434 H. Pada bulan yang sama di tahun 8 H terjadi perang Muktah. Banyak ibrah
dalam perang itu mulai dari kepahlawanan, keistiqamahan berjuang, keberanian, kecerdasan
strategi perang dan sebagainya. Diantara ibrah yang tak kalah penting adalah keikhlasan yang
utamanya dicontohkan oleh seorang sahabat bernama Tsabit bin Arqam. Ia melakukan pekerjaan
besar, tetapi namanya tidak banyak dikenal dan ia juga tidak ingin terkenal. Karenanya Khutbah
Jum'at edisi 24 Jumadil Awal 1434 H yang bertepatan dengan 5 April 2013 ini mengambil
tema "Belajar Ikhlas dari Perang Muktah".
KHUTBAH PERTAMA
.
.
2. Jama'ah Jum'at yang dirahmati Allah,
Hari ini kita berada di Jum’at terakhir bulan Jumadil Ula 1434 H. Pada bulan yang sama, 1426
tahun yang lalu, sebuah perang besar dilakukan umat Islam. Mengapa besar? Karena saat itu
Rasulullah mengutus 3.000 pasukan. Jumlah pasukan terbesar yang sampai saat itu hanya
tertandingi dengan jumlah pasukan Islam pada Perang Khandaq.
Perang yang kemudian dikenal sebagai Perang Muktah itu bermula ketika Rasulullah mengutus
Al Harits bin Umair untuk mengantarkan surat kepada pemimpin Bushra. Namun di perjalanan,
Al Harits dihadang Syurahbil bin Amr Al Ghassany, pemimpin Al Balqa’ yang berada di bawah
Qaishar Romawi. Syurahbil mengikat Al Harits dan membawanya ke hadapan Qaishar, lalu
memenggal lehernya.
Membunuh utusan merupakan kejahatan yang sangat keji sekaligus mengumumkan perang kepaa
negara pengutus. Karena itulah Rasulullah sangat murka dan menghimpun 3.000 pasukan.
Sebelum memberangkatkan pasukan beliau menunjuk Zaid bin Haritsah sebagai pemimpin
pasukan seraya berpesan: “Jika Zaid gugur, penggantinya adalah Ja’far. Jika Ja’far gugur,
penggantinya adalah Abdullah bin Rawahah.”
Pesan ini aneh. Belum pernah Rasulullah berpesan seperti ini dalam perang-perang sebelumnya.
Kelak, para sahabat dan sejarah mencatat bahwa itu adalah prediksi nubuwah yang benar-benar
terjadi. Bahwa mereka yang disebut benar-benar gugur dalam Perang Muktah tersebut.
Jamaah Jum’at rahimakumullah,
Singkat cerita, kemudian kedua pasukan bertemu setelah dua hari saling mengawasi. Mengapa
tidak langsung berperang? Sebab mereka sama-sama ragu. Pasukan Islam belum pernah
berhadapan dengan pasukan sebanyak itu, sedangkan Pasukan Romawi juga ragu sebab pasukan
Islam yang kecil itu tidak memiliki sejarah kalah.
3.000 pasukan Islam melawan 200.000 pasukan Romawi. Jumlah yang sangat tidak seimbang.
Tetapi Zaid bin Haritsah memimpin perang dengan gagah berani. Ia bertempur hebat sambil
memegang bendera Islam. Di zaman itu, bendera pasukan dipegang oleh pemimpinnya. Hingga,
sebuah tombak musuh mengenainya. Zaid pun jatuh ke tanah. Ia syahid.
Seperti pesan Rasulullah, Ja’far bin Abu Thalib mengambil bendera itu. Melanjutkan
kepemimpinan perang. Ia pun bertempur dengan luar biasa. Membunuh satu per satu pasukan
Romawi. Ketika peperangan makin seru, kudanya terkena senjata dan ia terlempar. Ja’far
melanjutkan pertemuran hingga pasukan Romawi menebas tangan kanannya. Kehilangan tangan
kanan, Ja’far mengamankan bendera dengan tangan kirinya. Namun kemudian tangan kirinya
juga tertebas pedang musuh. Ja’far lalu mendekap bendera di dada dengan sisa-sisa lengannya
3. agar tetap berkibar. Lalu pasukan Romawi menebaskan pedang hingga tubuhnya terbelah
menjadi dua. Ketika nantinya jasad Ja’far ditemukan, Ibnu Umar mendapati tak kurang dari 50
luka sabetan dan hunjaman di tubuh Ja’far yang terbelah menjadi dua itu. Dan karenanya Ja’far
dijuluki Dzul-Janahain (orang yang memiliki dua sayap).
Setelah Ja’far syahid seperti prediksi Rasulullah, bendera diambil alih Abdullah bin Rawahah. Ia
juga memimpin pasukan dan bertempur dengan gagah berani. Hingga kemudian ia pun gugur.
Pada saat itu di Madinah, Rasulullah mengabarkan gugurnya ketiga panglima Islam tersebut.
“Zaid mengambil bendera lalu dia gugur. Kemudian Ja’far mengambilnya lalu dia juga gugur.
Kemudian Ibnu Rawahah mengambilnya, dan ia pun juga gugur.” Rasulullah menangis, para
sahabat juga ikut menangis.
Kembali ke Muktah. Rasulullah memang menunjuk urutan panglima mulai dari Zaid, Ja’far lalu
Ibnu Rawahah. Tetapi setelah itu tidak ada petunjuk. Padahal bendera jatuh dan harus
diselamatkan, perang harus dilanjutkan, harus ada pemimpin baru. Pada saat itulah seorang
sahabat dari Bani Ajlan, Tsabit bin Arqam maju dan menyelamatkan bendera. Setelah bendera di
tangannya ia berteriak, “Wahai semua muslim, angkatlah pemimpin baru!”
“Engkau saja,” jawab mereka.
“Aku tidak akan sanggup” kata Tsabit yang kemudian mencari seseorang dan memintanya
memimpin. “Kau yang harus memimpin wahai Abu Sulaiman” semula ia menolak, tetapi setelah
musyawarah singkat menunjuknya. Abu Sulaiman pun memimpin dengan gagah berani. Dialah
yang disebut Rasulullah Syaifullah (pedang Allah), Khalid bin Walid.
Jamaah Jum’at rahimakumullah,
Ada sebuah nama yang disebutkan dalam sejarah Perang Muktah tersebut. Tsabit bin Arqam.
Nama itu mungkin asing bagi kita, karena ia memang tidak terkenal dan tidak ingin terkenal.
Dalam sepanjang sirah nabawiyah, namanya hanya disebut satu kali itu, dalam Perang Muktah.
Sebelum dan sesudahnya tidak disebut lagi. Tetapi, jasanya sangat besar. Ia ikut berperang,
berjihad. Bahkan pada perang kali ini ia menyelamatkan bendera, melanjutkan jalannya
peperangan, mengamankan masa transisi hingga terpilihnya pemimpin baru.
Jamaah Jum’at rahimakumullah,
Kita membutuhkan orang-orang seperti Tsabit bin Arqam ini. Jasanya besar, meskipun ia tidak
terkenal. Kita juga perlu belajar dari Tsabit bin Arqam, yang terus beramal, terus berkarya,
berkontribusi, menyumbang jasa besar, tanpa mempedulikan apakah kita akan dikenal atau tidak.
Keihlasan seperti inilah yang sulit dan barangkali cukup langka di zaman kita, hari–hari ini.
Tetapi hanya dengan ikhlas-lah, amal-amal kita akan bernilai di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Tanpa keikhlasan, sirnalah segala amal, sia-sia dalam pandangan-Nya.
Ikhlas inilah yang menjadi kaidah agama Allah secara mutlak, baik Islam di masa kini maupun
agama samawi di masa sebelumnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Padahal mereka tidak diperintah kecuali supaya beribadah kepada Allâh dengan memurnikan
keta’atan kepada-Nya dalam menjalankan agama dengan lurus..." (QS. Al Bayyinah : 5)
4. Allah Azza wa Jalla juga mengajarkan kepada kita untuk meneguhkan keikhlasan dalam setiap
amal, bahkan dalam setiap langkah kehidupan kita.
"Katakanlah, 'Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah,
Rabb semesta alam..." (QS. Al An'am : 162)
Maka segala amal, baik ibadah mahdhah maupun ghairu mahdhah, semuanya harus berangkat
dari ikhlas, semata-mata untuk Allah. Jika ikhlas ini sudah mendarah daging, sudah menjadi
landasan amal, sudah menjadi ruh ibadah, maka pada setiap aktifitas tidak terlalu penting bagi
kita, apakah itu akan dipuji orang atau tidak. Tidak penting bagi orang yang ikhlas, apakah
amalnya akan diingat orang atau tidak. Tidak penting bagi orang yang ikhlas, apakah kontribusi
sosialnya akan diliput media atau tidak. Tidak penting bagi orang yang ikhlas, apakah karyanya
akan ditulis sejarah atau tidak.
Orang yang ikhlas itu berpikir produktifitas, bukan popularitas. Orang yang ikhlas itu fokus pada
peran dan pekerjaan, bukan status dan jabatan. Orang yang ikhlas itu berorientasi pada persoalan
apakah amalnya diterima Allah Ta'ala, bukan pada apakah manusia melihatnya. Dan sekali lagi,
tanpa keikhlasan, sirnalah segala nilai amal, betatapun besarnya.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
“Semua amal perbuatan tergantung niatnya dan setiap orang akan mendapatkan sesuai yang ia
niatkan. Maka barangsiapa hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya menuju
Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrahnya karena dunia yang dicari atau wanita yang
ingin dinikahi, maka hijrahnya menuju apa yang ia tuju" (HR. Bukhari - Muslim)
Lihatlah. Amal yang sangat besar seperti hijrah saja tidak akan diterima Allah jika tidak ikhlas.
Apatah lagi amal-amal lainnya. Padahal hijrah itu meninggalkan harta. Meninggalkan rumah dan
aset-aset lainnya. Meninggalkan tanah kelahiran yang sangat berat bagi banyak orang, hingga
Bilal pun demam akibat kerinduannya pada Makkah, lalu sembuh setelah Rasulullah
mendoakannya. Bahkan hijrah tidak jarang juga meninggalkan keluarga dan saudara. Amal
apalagi yang lebih besar dari itu? Tetapi ia akan sia-sia jika tidak diniatkan karena Allah Azza
wa Jalla.
Jama'ah Jum'at rahimakumullah,
Mungkin kita akan menyebut jihad sebagai amal yang lebih besar dari hijrah. Jihad juga sama,
tanpa keikhlasan ia menjadi sia-sia. Mati dalam jihad tetapi niatnya tidak ikhlas juga tidak bisa
5. berujung ridha Allah dan surga-Nya. Karenanya dalam sebuah hadits disebutkan bahwa tiga
orang yang pertama-tama masuk neraka adalah orang berilmu, orang kaya yang dermawan dan
orang yang mati dalam jihad, tetapi ketiganya tidak ikhlas dalam niatnya.
Suatu saat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ditanya, siapakah yang dinilai Allah fi
sabilillah, apakah orang yang berperang karena ia berani, karena fanatisme kebangsaan atau
karena ingin dipuji orang. Maka Rasulullah bersabda:
"Barangsiapa berperang agar kalimat Allah menjadi tinggi, maka dia fi sabilillah" (HR.
Bukhari)
Jama'ah Jum'at yang dirahmati Allah,
Di era modern saat ini, sangat sulit untuk meluruskan niat menjadi ikhlas. Banyak godaan
datang, termasuk godaan ingin disanjung dan popularitas. Tetapi tidak ada pilihan lain agar amal
kita diterima Allah, kecuali dengan ikhlas. Sebagaimana Tsabit bin Arqam mengajarkan kepada
kita, melakukan pekerjaan besar dengan ikhlas tanpa mempedulikan popularitas. Tetap beramal
walaupun kita tak pernah dikenal.
KHUTBAH KEDUA
.
Jama'ah Jum'at rahimakumullah,
Selain popularitas, ingin dikenal, ingin dipuji dan ingin dikenang, godaan keikhlasan lainnya
adalah meniatkan amal akhirat untuk tujuan dunia. Untuk mendapatkan harta, kekayaan, jabatan
atau kekuasaan. Di dalam sirah nabawiyah pernah dicontohkan ada seorang yang ikut berjihad, ia
mati dalam kondisi mencuri satu benda bagian dari ghanimah. Nilainya tidak seberapa, tetapi
ketidakikhlasan dalam berjihad itu membuatnya tidak mendapatkan pahala sebagai syuhada.
Maka bayangkanlah, jika nanti pada yaumul hisab (hari perhitungan), kita menyangka catatan
kebaikan kita banyak, bertumpuk-tumpuk, menggunung. Sebab di dunia memang kita banyak
beramal. Tetapi alangkah kecewanya kita jika semua amal kita tidak dinilai sama sekali karena
6. tidak ada ikhlas di dalam hati. Alangkah sedihnya kita, jika di waktu itu kita hanya menemui
catatan kejelekan, tanpa pahala dan kebaikan.
Jama'ah Jum'at rahimakumullah,
Kita tak bisa selamat kecuali hati kita ikhlas. Di akhirat itu tidak bermanfaat harta yang dulunya
kita kejar dengan menggadai keikhlasan dalam beramal. Bahkan tidak bermanfaat anak-anak
yang kita banggakan. Kecuali hati kita bersih, dipenuhi keikhlasan.
"(yaitu) hari yang tiada bermanfaat harta dan anak-anak. Kecuali orang yang datang kepada
Allah dengan hati yang bersih" (QS. Asy Syu'ara : 88-89)
.
.
.
.
7. .
.
.
.
.
.
[Khutbah Jum'at edisi 24 Jumadil Awal 1434 H bertepatan dengan 5 April 2013 M; Bersama
Dakwah]