Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan - Damono SD.pdf
1. 1
Kalam 25 / 2013
KESUSASTRAAN INDONESIA SEBELUM KEMERDEKAAN1
Pengantar
Hal pertama yang harus dijelaskan dalam karangan mengenai
sastra Indonesia adalah kapan ia lahir. Beberapa pengamat sudah
membicarakan hal itu dan pada hemat saya tidak perlu adanya kata
sepakat dalam hal ini. Bahasa Indonesia tumbuh dari bahasa Melayu
dan dalam perkembangannya ia melibatkan kelompok-kelompok
etnik lain yang masing-masing sudah memiliki kebudayaan dan
bahasa sendiri—suatu hal yang justru memperkaya khazanah sastra
itu sendiri. Yang dibicarakan dalam karangan ini adalah sastra yang
dicetak dalam bahasa Melayu dengan menggunakan aksara Latin.
SastrayangditulisataudicetakdenganmenggunakanaksaraJawitidak
dibicarakan sebab perbedaan penggunaan aksara dan penulisannya
telah menyebabkan adanya batas antara sastra lama dan sastra
modern. Sastra Melayu lama adalah khazanah yang ditulis dengan
aksara Jawi, sebab itu memerlukan transliterasi jika disebarluaskan
bagi umumnya pembaca sekarang. Di samping itu, sebagian besar
1
Tulisan ini adalah kumpulan kutipan dari tiga buku Sapardi Djoko Damono,
Novel Sastra Indonesia Sebelum Perang (Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, 1979); Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2004); dan Drama Indonesia (Jakarta: Editum, 2009).
Kesusastraan Indonesia
Sebelum Kemerdekaan1
Sapardi Djoko Damono
2. 2
Kalam 25 / 2013
khazanah itu ditulis, dan tidak dicetak, sehingga penyebarannya relatif
terbatas. Dalam pembicaraan mengenai perkembangan sastra, faktor
penyebarluasan dan khalayak tidak bisa ditinggalkan. Karangan ini
diawali dengan pembicaraan sepintas tentang puisi.
Puisi dan Media Cetak
Perkembangan puisi Indonesia dimulai sekitar pertengahan abad
ke-19, ketika di negeri yang dulu dikenal sebagai Hindia Belanda ini
masyarakat mulai mengembangkan media massa cetak. Tampaknya,
perkembangan sastra kita tidak bisa dipisahkan dari perkembangan
penerbitan; sejak awal, dalam berbagai penerbitan disediakan
ruangan untuk sastra, terutama puisi. Pengamatan sementara
menunjukkan bahwa kebanyakan sastrawan adalah juga wartawan,
yang menekankan pentingnya bahasa sebagai alat komunikasi.
Bahasa Melayu sejak lama sudah menjadi bahasa komunikasi lisan
di Nusantara, tetapi ketika kalangan pers menggunakannya sebagai
alat komunikasi cetak, mereka tampaknya harus mengubah yang
lisan itu menjadi tulisan, mengubah bunyi menjadi aksara. Tentu saja
mereka sudah juga mengenal bahasa tulis sebelumnya, tetapi dalam
perkembangannya bahwa bahasa yang dipergunakan dalam media
massa ketika itu tidak bersumber pada bahasa tulis seperti yang kita
kenal dari khazanah sastra Melayu lama. Jika memang demikian
halnya, maka sumber bahasa Melayu cetak itu tentunya bahasa lisan.
Itulah juga tentunya yang menyebabkan banyaknya variasi struktur
dan kosa kata dalam perkembangan awalnya.
Itu tidak berarti bahwa wartawan dan sastrawan masa itu
sama sekali tidak mengenal khazanah sastra Melayu lama seperti
3. 3
Kalam 25 / 2013
pantun, yang merupakan tradisi lisan, dan syair, yang merupakan
salah satu genre dalam tradisi tulis kita. Beberapa orang bahkan
sempat mengalihaksarakan sejumlah syair Melayu dari huruf Jawi
ke huruf Latin. Di antara mereka pun ada yang mentransliterasikan
sastra Tionghoa ke bahasa Melayu beraksara Latin.2
Bagi kebanyakan
sastrawan pada masa itu, istilah pantun dan syair cenderung
dipertukarkan. Dalam beberapa karangan, pantun dan syair tidak
lain merupakan komposisi tulis yang setiap baitnya terdiri atas empat
larik—syarat-syarat lain cenderung disisihkan. Ini pada hemat saya
tidak ada kaitannya dengan keinginan untuk mengadakan inovasi
tetapi bersumber pada ketidaktahuan; atau pengetahuan tentang
bentuk-bentuk tetap itu didapatkan secara lisan. Sair Tjerita Siti
Akbari, misalnya, ditulis setelah pengarangnya mendengarkan pantun
Sunda, dan bukan transliterasi atau saduran dari aksara Jawi.
Perkenalan dengan kebudayaan Barat menyebabkan para
penulis puisi kita mempertimbangkan cara penulisan baru, tetapi
pengaruh yang sangat kuat dari tradisi lisan menyebabkan bentuk-
bentuk seperti pantun dan syair masih juga menjadi pilihan penting.
Selain di majalah dan surat kabar, puisi sejak awal juga disebarluaskan
dalam bentuk buku. Dan karena penerbit-penerbit yang terlibat
dalam penyebarluasan itu mempunyai alasan dan ideologi berbeda-
beda, maka bisa disimpulkan bahwa fungsi puisi pada masa itu pun
berbagai-bagai.
Sejak awal pertumbuhannya, puisi Indonesia bekembang di
koran dan majalah. Sampai dengan 1930-an, penerbitan dalam bentuk
buku masih sangat jarang dan terbatas pada usaha perseorangan atau
2
Claudine Salmon, Literature in Malay by the Chinese of Indonesia (Paris: Éditions
de la Maison des sciences de l’homme, 1981).
4. 4
Kalam 25 / 2013
lembaga yang secara khusus menaruh perhatian pada kesusastraan.
Selama dekade 1930-an, hanya sekitar 10 buku kumpulan sajak
diterbitkan; sementara itu beberapa penerbit, seperti Balai Pustaka,
menaruh minat terhadap penerbitan kembali naskah lama atau syair
karangan baru dengan mengambil cerita lama sebagai bahan. Ada
kesan bahwa minat masyarakat masa itu terhadap puisi baru belum
berkembang dengan baik; bahkan bisa dikatakan bahwa masyarakat
masih lebih berminat pada bentuk-bentuk lama, terutama syair dan
pantun.
Kenyataan itu tampaknya menunjukkan bahwa tradisi
pantun dan syair dalam masyarakat Melayu memang sangat kuat
dan bahwa proses untuk menciptakan puisi modern pada masa itu
masih dalam taraf yang sangat awal. Dalam sebuah tulisannya A.
Teeuw3
menyatakan bahwa sebuah buku syair di akhir dekade 1920-
an berhasil terjual sampai hampir 27.000 eksemplar; perlu diketahui
bahwa jumlah buku syair ciptaan baru lebih banyak daripada buku
puisi baru. Namun, jika dipandang dari segi lain, yakni yang berkaitan
dengan semangat pembaruan yang ada di kalangan pada sastrawan
pada masa itu, munculnya sejumlah besar puisi baru dalam berbagai
penerbitan berkala membuktikan bahwa dalam sastra kita kala itu
sedang terjadi suatu proses pembaruan yang sangat penting.
Beberapa pengamat sastra kita mencatat bahwa pada masa
itu terjadi suatu arus pengaruh yang sangat kuat dari Barat; salah
satu agen yang perlu mendapat sorotan istimewa adalah kelompok
sastrawan dan intelektual muda usia yang “tergabung” dalam majalah
Pujangga Baru. Majalah itu memang dengan gigih menawarkan
3
A. Teeuw, Modern Indonesian Literature I (The Hague: Martinus Nijhoff, 1967).
5. 5
Kalam 25 / 2013
berbagai konsep Barat untuk membongkar pemikiran bangsa kita
yang dianggap sudah mulai mengalami kemacetan pada masa itu.
Dalam hal kesusastraan, tokoh-tokoh muda itu—terutama Sutan
Takdir Alisjahbana—menunjukkan berbagai kelemahan yang ada
dalam tradisi penulisan puisi kita seperti yang terlihat dalam pantun
dan syair. Mereka mencoba meyakinkan kita bahwa cara terbaik
untuk memajukan sastra kita adalah dengan mencontoh berbagai
cara pengucapan yang berasal dari Barat. Di luar kelompok itu,
karya-karya di majalah yang dikelola oleh berbagai kelompok etnik
menunjukkan penggunaan aksara Latin juga bermakna oreintasi ke
Barat.
Ada dua hal yang perlu diberi catatan sehubungan dengan
masalah yang penting itu. Pertama, usaha keras untuk mengelakkan
diri dari bentuk lama—pantun, misalnya—ternyata menghasilkan
minat yang luar biasa terhadap sebuah bentuk lama juga yang diimpor
dari Eropa, yakni soneta. Beberapa pengamat, antara lain Teeuw dan
Foulcher,4
bahkan juga Takdir, dengan tepat menyatakan bahwa
pada dasarnya pantun dan soneta merupakan cara pengungkapan
yang polanya sama. Jadi, pada hemat saya, di samping sebenarnya
para penyair muda itu tidak menciptakan suatu bentuk baru—karena
soneta adalah barang impor—juga pada hakikatnya mereka tetap
berpegang pada cara penyampaian yang sama dengan nenek moyang
mereka. Kedua, ternyata baik para penyair muda dan penulis syair itu
mendapatkan kegairahan menulis karena pengaruh luar. Kita ketahui
juga bahwa syair pun adalah pengaruh dari “Barat.” Jika para penyair
baru itu dengan bersemangat memperkenalkan konsep-konsep
4
Keith Foulcher, Pujangga Baru: Kesusasteraan dan Nasionalisme di Indonesia 1933-
1942, terjemahan Sugiata Sriwibawa (Jakarta: Girimukti Pasaka, 1991).
6. 6
Kalam 25 / 2013
baru dari sastra Barat, para penulis syair tradisional itu dengan setia
mengikuti tradisi yang sudah lama hidup dalam masyarakat kita, yakni
memanfaatkan kisah-kisah dari negeri asing untuk menyusun syair-
syair mereka. Kisah-kisah dari negeri asing itu tidak hanya berasal
dari India, Arab, dan Persia tetapi juga dari Eropa. Salah satu syair
yang diterbitkan pada masa itu, yakni Sjair Silindoeng Delima karya
Aman, adalah saduran kisah Cinderella.
Di dalam berbagai majalah juga tampak kecenderungan itu,
setidaknya dipandang dari segi stilistika. Syair-syair yang jelas masih
berpijak pada tradisi penulisan lama muncul bersamaan dengan
sajak-sajak yang ditulis oleh para penyair yang berpandangan Barat.
Bahkan, seperti yang telah diuraikan sebelumnya, sajak-sajak baru itu
belum berhasil sepenuhnya membebaskan diri dari tradisi penulisan
puisi yag sudah berakar ratusan tahun lamanya. Yang mungkin
bisa dicatat dari kebanyakan puisi baru adalah kosakata; memang
sangat wajar bahwa perkembangan sastra selalu ditandai oleh
kecenderungan mempergu
nakan kosakata baru, yakni yang berasal
dari bahasa sehari-hari. Dalam pembicaraan mengenai puisi 1930-an
ini, anggapan yang mendasari uraiannya adalah bahwa dalam usaha
mengadakan pembaruan, para penyair kita harus menghadapi dua hal
yakni masya
rakat yang masih erat terikat pada cara penulisan lama
dan sikap para penyair itu sendiri yang mendua dalam menghadapi
tradisi penulisan yang merupakan lingkungan budayanya.
Tradisi lisan, di mana pun, adalah asal-muasal puisi modern.
Bahkan cukup aman untuk dikatakan bahwa pada dasarnya puisi
modern pun, yang ditulis berdasarkan prinsip keberaksaraan,
memiliki hubungan yang tak terpisahkan dengan prinsip kelisanan.
Piranti puisi seperti rima, irama, pengulangan, aliterasi, asonansi,
7. 7
Kalam 25 / 2013
dan kesejajaran membuktikan bahwa puisi tulis dan cetak memang
harus dilisankan untuk mendapatkan keindahan dan maknanya—
meskipun kadang-kadang kita tidak perlu melisankannya secara
keras, tetapi cukup dalam pikiran kita. Dalam perkembangan puisi
kita pengembangan berbagai jenis tradisi lisan itu masih nampak
sampai sekarang, seperti yang tampak dalam penggunaan bentuk-
bentuk pantun dan mantra.5
Pantun, dan mungkin mantra, merupakan bentuk tradisi
lisan kita yang boleh dikatakan “asli,” meskipun istilah itu bisa saja
dimasalahkan.Disampingitu,kebudayaankitayangterbukamenerima
pengaruh berbagai jenis puisi dari berbagai penjuru, terutama dari
arah Barat. Masuknya pengaruh Hindu telah memberi peluang bagi
para penyair kuna menciptakan kakawin, sejenis puisi yang sangat
ketat aturan penulisannya, yang kemudian dalam kebudayaan Jawa
berkembang menjadi tembang macapat. Kedatangan Islam telah
menyebabkan para penyair kita mengembangkan berbagai jenis
“baru” seperti ghazal, nizam, dan nalam yang berasal dari Timur
Tengah, sedangkan syair berasal dari Arab. Yang kemudian jauh
dikembangkan oleh kebudayaan kita ternyata adalah yang disebut
terakhir itu sehingga sampai sekarang penulis puisi kita sebut penyair
dan bukan, misalnya, puisiwan. Syair, dalam pengertian terdahulu,
merupakan nama jenis seperti halnya puisi. Dalam kaitannya dengan
berbagai pembicaraan mengenai puisi di awal perkembangannya,
kita menggunakan istilah syair; baru sesudah majalah Pujangga
Baru terbit pada 1933 penggunaan kata puisi semakin meluas. Ini
5
Dalam perkembangan mutakhir, melisankan puisi adalah peristiwa penting, di
samping penerbitannya dalam bentuk cetak. Dalam tradisi puisi Jawa klasik,
pelisanan adalah tuntutan sebab puisi ditulis dalam bentuk tembang.
8. 8
Kalam 25 / 2013
tentu saja merupakan pengaruh dari Barat yang mula-mula bahkan
menggunakan istilah poesie untuk segala jenis sastra dan drama.
Sejak awal perkembangannya, puisi Indonesia modern
mempergunakan jenis-jenis bahasa yang umumnya disebut Melayu
Tinggi dan Melayu Rendah atau Melayu-Tionghoa. Pengertian itu
sebenarnya tidak begitu tepat sebab dalam kenyataannya bahasa
Melayu yang dipergunakan oleh para pengarang yang tidak berasal
dari kalangan keturunan Tionghoa juga tidak sama dengan bahasa
yang dikembangkan oleh, antara lain, Balai Pustaka. Itulah sebabnya
muncul juga istilah Malayu Balai Pustaka sebagai sinonim dari Melayu
Tinggi. Kalangan pengarang keturunan Tionghoa sendiri mengakui
adanya perbedaan itu, suatu pengakuan yang boleh dikatakan
menyiratkan adanya perbedaan kualitas. Puisi yang disiarkan dalam
berbagai media yang dikelola oleh dan disebarluaskan di kalangan
peranakan Tionghoa menggunakan bahasa Melayu-Tionghoa, dan
tampaknya sama sekali tidak dirasakan adanya keperluan untuk
bergeser ke bahasa yang oleh mereka sendiri disebut Melayu Tinggi
atau, kadang-kadang, Melayu Riau.
Disampingpenerbitanberkala,bukujugasudahmerupakanalat
penyebarluasan puisi. Sejumlah penyair Melayu-Tionghoa seperti Lie
Kim Hok telah mendapatkan khalayak yang berarti, terbukti dari buku
puisinya, Sair Tjerita Siti Akbari, yang dicetak sampai tiga kali. Beberapa
penerbit komersial berani menanggung risiko menerbitkannya. Balai
Pustaka pada masa itu juga ikut menyumbangkan jasanya terhadap
perkembangan puisi modern dengan mencetak buku Sanusi Pane yang
berjudul Puspa Mega pada 1926. Muhammad Yamin menerbitkan buku
sajaknya pada 1922, bertepatan dengan ulang tahun Jong Sumatranen
Bond, judulnya Tanah Air. Sajak-sajak Yamin yang dimuat di majalah
9. 9
Kalam 25 / 2013
Jong Sumatra besar sekali pengaruhnya terhadap puisi Indonesia; hampir
semua sajak yang dimuat di majalah itu berbentuk soneta, suatu bentuk
tetap yang sampai sekarang masih dipertahankan oleh penyair modern
kita. Baru pada 1930-an, para penyair muda menyatakan kesadarannya
secara bersama-sama untuk membuat pembaruan dalam kebudayaan
dan kesusastraan Indonesia, seperti yang antara lain tersirat dalam
usaha penerbitan majalah Pujangga Baru.
Pada 1930-an puisi mendapat tempat di majalah-majalah
umum dan berita. Mungkin karena bentuknya yang ringkas, majalah-
majalah itu tidak berkeberatan memuat puisi yang kalau perlu dimuat
“sekadar” sebagai pengisi sudut halaman yang kosong. Beberapa
majalah terbatas seperti Pujangga Baru memang memusatkan perhatian
kepada kesusastraan, terutama puisi—setidaknya selama tiga tahun
pertama penerbitannya, tetapi majalah-majalah lain seperti Pedoman
Masyarakat, Pedoman Islam, Keng Po, dan Panji Pustaka memuat karya
sastra—terutama puisi—hanya sebagai semacam sisipan bagi berbagai
macam berita dan artikel yang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya
dengan kesusastraan. Majalah Dunia Baru diusahakan oleh peranakan
Tionghoa. Dalam beberapa nomornya dicantumkan halaman yang
diberi nama “Bagian Sa’iran” yang memuat sajak-sajak yang umumnya
sangat konvensional bentuknya. Sementara itu majalah Caya Timur
kadang-kadang membuka rubrik yang namanya “Penutup Minggu”,
yang berisi sajak-sajak juga; kadang-kadang rubrik itu diberi nama
“Sair Mingguan” kadang-kadang “Kesusastra’an”. Karena hanya
semacam sisipan, sama sekali tidak terasa adanya kesadaran untuk
mengadakan pembaruan di dalamnya. Para penulisnya mengikuti saja
kaidah-kaidah penulisan puisi lama, tidak jarang tanpa pengertian
yang baik. Dalam majalah Asia yang juga diusahakan oleh peranakan
10. 10
Kalam 25 / 2013
Tionghoa, sajak disisipkan begitu saja di antara artikel dan berita yang
sama sekali tidak ada kaitannya dengan sastra. Hal semacam itu terjadi
juga pada majalah Dewan Islam yang sesekali menyebut rubrik puisinya
itu sebagai “Makanan Otak”. Sajak juga kadang-kadang diselipkan di
halaman kosong seri penerbitan berkala Penghidupan yang sebenarnya
berupa novelet.
Beberapa media massa yang terbit di zaman pendudukan Jepang
memberikan perhatian yang cukup besar kepada sastra. Di antaranya
yang menjadi sampel penelitian ini adalah majalah-majalah Kebudayaan
Timur, Panji Pustaka, dan Jawa Baru serta harian Asia Raja. Media massa
yang terbit pada masa itu semuanya merupakan agen pemerintah
pendudukan Jepang, oleh karenanya propaganda politik pemerintah
militer Jepang merupakan tema yang sangat menonjol. Namun, tema-
tema lain yang menyangkut konflik batin manusia, termasuk tema
cinta dan keaga
maan, mendapat perhatian pula. Selama masa itu, boleh
dikatakan tidak ada perkembangan yang berarti dalam penerbitan
sebagai akibat dari politik pemerintah jajahan.
Sajak-sajak zaman itu terutama dimuat di media massa
pada masa pendudukan Jepang. Zaman tersebut sangat ketat
memberlakukan sensor di segala segi kehidupan, tidak terkecuali
sastra. Oleh karena
nya, konon pula, banyak sastrawan yang terpaksa
tidak bisa menyiarkan karya-karyanya karena sensor tersebut, kecuali
sejumlah kecil sajak yang berhasil diselundupkan oleh redaksi, antara
lain H.B. Jassin yang membicarakan sajak-sajak Chairil Anwar, yang
disebutnya sebagai sajak-sajak ekspresionistis.6
Sampai seka
rang,
bunga rampai yang memuat karya sastra zaman Jepang adalah yang
6
“Beberapa Sajak Ekspresionistis,” Pandji Poestaka, 1 Mei 2604, 51-53.
11. 11
Kalam 25 / 2013
diterbitkan oleh H.B. Jassin.7
Sayang sekali, Jassin tidak menyertakan
data lengkap mengenai penerbitan pertama karya-karya sastra yang
dibungarampaikannya itu. Sejumlah besar karya dalam bunga rampai
itu ternyata terbit sesudah zaman Jepang, dan karenanya tidak
semestinyajikadikelompokkankedalamsastrazamanJepang.Sebagai
sekadar contoh, sajak-sajak Chairil Anwar boleh dikatakan tidak ada
yang diterbitkan di majalah zaman Jepang; semuanya diterbitkan di
zaman Kemerdekaan. Bahwa ternyata beberapa di antaranya telah
ditulis di zaman Jepang, hal itu tidak seharusnya diartikan bahwa
karya-karya tersebut terbit pada zaman Jepang.
Beberapa Ciri Puisi Awal
Menurut penelitian Edwina Satmoko,8
selama abad ke-19 buku puisi
yang ditulis bisa dikelompokkan menjadi setidaknya empat: puisi
saduran dari karya prosa atau kisah-kisah yang pernah diterbitkan,
baik yang pernah terjadi maupun yang berupa peristiwa sejarah.
Kedua, syair yang berisi kejadian semasa, seperti Sair Mangkatnya
Keiser Solo oleh Tan Ciook San yang terbit pada 1894, yang memuat
beritamengenaimeninggalnyaMahaPadukaSusuhunanPakubuwono
IX dari Keraton Surakarta. Syair ini dimuat dalam Almanak Bahasa
Melayu terbitan H. Buning, Yogyakarta. Ada juga pantun yang
panjang judulnya, yang berisi catatan perjalanan beberapa pejabat
Belanda ke Indonesia Timur. Pantun yang ditulis oleh Ang I Tong
dan terbit pada 1899 ini mengisahkan penumpasan pemberontakan
7
H.B. Jassin, Kesusastraan Indonesia dimasa Djepang (Jakarta: Balai Pustaka, 1948).
8
Edwina Satmoko. Dari Jalanan Kereta Api sampai Kembang: Satu Studi atas Syair-
syair Tan Te Ki (Depok: FSUI, 1993).
12. 12
Kalam 25 / 2013
pribumi di Gorontalo, di samping kedatangan Pangeran F. Hendrik
ke beberapa daerah di Indonesia Timur seperti Ambon, dan disambut
dengan upacara adat oleh penduduk setempat. Ketiga, pantun yang
beisi ajaran atau nasihat yang terutama ditujukan kepada kaum muda.
Pantun yang berisi nasihat berjudul Sair Tiga Sobat Nona Bujang dieret
oleh Baba Pranakan Tangerang, isinya peringatan kepada perempuan
Tionghoa pada masa itu untuk tidak mudah ditipu oleh lelaki yang
hanya mengincar uang dan kekayaan mereka. Keempat, ada juga
pantun yang isinya semata-mata hiburan. Ini sesuai dengan salah satu
fungsi pantun sebagai bagian dari tradisi lisan. Perlu dicatat juga bahwa
banyak syair yang nama pengarangnya adalah perempuan, meskipun
tidak jelas benar apakah itu nama samaran atau nama asli.
Majalah berbahasa Melayu berhuruf Latin yang dianggap
tertua, setidaknya oleh Tio Ie Soei,9
adalah Bianglala, sebuah majalah
yang terbit pada 1852 yang mula-mula dipimpin oleh Stefanus
Sandiman dan Mas Marcus Garito. Berkala ini bukan penerbitan yang
komersial, tetapi didasarkan pada keinginan untuk menyebarluaskan
informasi sehubungan dengan perkembangan agama Katolik.
Majalah ini juga memuat puisi, yang umumnya religius. Mengingat
pertama kali terbit pertengahan dekade 1850-an, tentunya sejak itu
sudah banyak ditulis puisi berbahasa Melayu dalam aksara Latin. Dalam
beberapa nomor yang masih bisa didapatkan, penulis-penulisnya tidak
terutama berasal dari Riau atau Sumatra Barat, tetapi dari Manado
atau Betawi. Untuk melihat ujud puisi kita pada pertengahan abad ke-
19 berikut ini disinggung beberapa sajak. Salah seorang penyair yang
menulis di abad ke-19 itu adalah yang menamakan dirinya A.D., yang
9
Tan Ie Soei. Lie Kim Hok, 1853-1912 (Bandung: L.D. Good Luck, 1956).
13. 13
Kalam 25 / 2013
mungkin menulis terutama untuk Bianglala. Dalam suatu terbitan 1870,
penyair ini menyiarkan sajak pendek yang berjudul “Amin”. Sajak yang
mengingatkan kita pada masmur, yang—seperti halnya umumnya
tradisi lisan—mementingkan repetisi, ini kita kutip seutuhnya.
AMIN
1
Amin, Bapa saya!
Amin, ku percaya!
Amin, saya trima!
Bapa punya kerja
2
Amin, kapan suka,
Amin, kapan duka,
Amin, kapan berkat,
Amin, kapan laknat.
Asal saya slamat!10
Bentuk yang banyak dipakai pada awal perkembanagan puisi
kita pada 1920-an adalah puisi akrostik atau puisi ABC. Dalam puisi
semacam itu huruf pertama, tengah, atau terakhir setiap larik kalau
dirangkaikanakanmenjadikataataukalimat.Jenispuisiinidigunakan
untuk berbagai-bagai maksud, antara lain untuk memprogandakan
gagasan seperti yang tersurat dalam contoh berikut.
Kawan-kawan kaum komunis
Kaum rakyat yang diperas
Kita semua harus berbaris
Karena si Tamak bekerja keras
10
Bianglala, No.30, Jumat, 12 Agustus 1870.
14. 14
Kalam 25 / 2013
Isapan perahan selalu memukuli
Injakan ancaman keras sekali
Ikatan besi datang beberapa kali
Ikhtiar jahat tak segan dibeli11
Kalau huruf pertama dan terakhir sajak itu dibaca ke bawah,
akan terbaca KITA DIPERAH SI KAPITALIS.
Ciri lain yang perlu diuraikan di sini adalah penggunaan
berbagai bahasa dalam puisi. Dalam sejumlah sajak yang dimuat di
majalah yang terbit pada masa itu, kita mendapati kesengajaan untuk
menggunakan beberapa bahasa sekaligus, tidak hanya terbatas pada
satu-duakata,tetapipadakalimatdanlarikyangutuh.Kecenderungan
ini sudah ada sejak abad ke-19 seperti yang tampak pada syair Tan
Teng Kie mengenai pembuatan jalan kereta api. Bahasa-bahasa yang
dipergunakan, disampingMelayu,adalahantaralainInggris,Belanda,
dan Prancis. Agar kecenderungan itu bisa lebih jelas dipahami, saya
kutip seutuhnya sebuah sajak yang menggunakan beberapa bahasa
berikut ini. Dalam sajak ini dipergunakan bahasa-bahasa Melayu dan
Belanda.
MENEER PERLENTE12
oleh
Lou Cui Ceng, Indramayu
Kepada sekalian pembaca Dames, Heeren, oudste en jongste,
Disini kita suguhken sairan getiteld “Meneer Perlente”.
Yang sehari-harinya berpakean precies als een Keizer,
Dengan kelakuan sombong als heeft een huis van ijzer.
11
Matahari, No. 1, Th. 2 Januari 1923.
12
“Penghibur Hati,” Panorama, 6 Juli 1927.
15. 15
Kalam 25 / 2013
Dia selalu hidup senang zonder hard te werken,
Maskipun dia punya utang kan niet di-reken.
Saban sore gaat hij met zijn fiets gerijden,
Tida perduli badan mesum nog niet gebaden.
Asal saja bisa lekas liat Inlandsche vrou loopen,
Omdat kalu bisa hij wil vlug te koopen.
Tapi, astaga, baru saja meer dan een jaar,
Marika punya utang semua kan niet membajar.
Sampe alle menschen zeggen, dia kliwat terlalu,
Omdat dia utang perlunya om te wandelen melulu.
Itu meneer sudah tentu word erg cilaka,
Omdat alle rentenieren tentu menjadi murka.
***
Jang terhormat tuan pembaca tuwa dan muda,
Saja harep sekalian jangan sampe berluda;
Kerna saja tidak masuk sekola Blanda,
Jika ini sairan salah harep dibikin suda.
Sajak dua seuntai yang sangat ketat mengikuti aturan rima
ini merupakan ejekan atau kritik terhadap gaya hidup laki-laki
yang boros. Katanya, laki-laki yang boros itu tak suka kerja, hanya
suka nampang dan mengutang. Ejekan itu disusun sedemikian rupa
sehingga menimbulkan juga rasa geli pada pembaca, tentu saja yang
memahami kedua bahasa tersebut.
Di tengah-tengah situasi penulisan puisi semacam itulah Kwee
Tek Hoay menawarkan poetika baru yang landasan utamanya adalah
penulisan pantun dan syair. Kwee Tek Hoay menulis esai panjang
16. 16
Kalam 25 / 2013
mengenai poetika syair sebagai akibat dari penolakan karangannya
oleh sebuah majalah yang mengatakan bahwa sebaiknya syair itu
ditulis menjadi berita saja, sebab syair memang tidak disukai orang
banyak. Penolakan redaksi majalah itu menunjukkan bahwa dalam
pikirannya, sama sekali tidak ada perbedaan antara fakta dan fiksi
sehingga keduanya bisa dipertukarkan dengan mudah. Di samping
itu, niat Kwee untuk kemudiaan menulis esai panjang mengenai
poetika syair itu menunjukkan bahwa ia memiliki keyakinan akan
pentingnya kesusastraan.
Dalam esai itu syair diklasifikasinya menjadi tiga golongan.
Yang pertama adalah yang paling mudah dibuat oleh sembarang orang,
seperti syair-yair dalam lagu keroncong. Jenis pertama ini disebutnya
pantun dan memiliki ciri-ciri pantun. Dijelaskannya juga konvensi
penulisan pantun seperti yang sudah kita kenal. Empat baris, dua baris
sampiranduabarisisi.Jeniskeduadisebutnyasyairyangberisikejadian,
cerita, atau drama. Mungkin sekali yang dimaksudkan di sini adalah
puisi naratif sebab yang dipilihnya sebagai contoh adalah Sair Tjerita Siti
Akbari karya Lie Kim Hok. Jenis ini memerlukan keterampilan khusus
sebab tidak sekadar mengikuti konvensi yang menurutnya sangat
mudah dilaksnakan. Jenis ketiga, yang dikatakannya paling sulit ditulis
adalah yang disebutnya “sairan alus yang lukisken satu pengrasaan.”13
Untuk menjelaskan itu ia mengutip sajak Umar Kayyam,
penyair Persia klasik, yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris. Diterjemahkannya bait itu lalu dianalisisnya keindahannya.
Yang kemudian juga dikutip Kwee sebagai contoh puisi yang
bagus adalah karya-karya penyair Inggris seperti Lord Byron, yang
13
Kwee Tek Hoay, “Mengarang Sair,” dalam Panorama, 23 Juli 1927.
17. mempertahankan tradisi penulisan kwatrin yang ketat, di samping
menyampaikan perasaan yang mungkin sekarang kita anggap
berlebihan. Dalam rangkaian esai itu Kwee juga menekankan
pentingnya kerapian bentuk. Ini tampaknya merupakan inti dari
poetika yang ditawarkannya. Untuk itu ia juga mengutip puisi
Sunda, dan dikatakannya bahwa teknik penulisan puisi dalam kedua
bahasa itu dengan setia mengikuti aturan yang sangat ketat. Yang
ia maksudkan tentunya adalah penulisan tembang, yang memang
memiliki aturan dalam penyusunan jumlah larik, suku kata, dan
rima. Tulisan Kwee itu sebenarnya juga merupakan semacam kritik
terhadap naskah-naskah yang masuk ke meja redaksi majalah yang
dipimpinnya. Dalam esainya itu tersirat bahwa ada banyak naskah
syair yang masuk ke majalahnya, oleh karena itu ia merasa perlu
memberi semacam arahan kepada penulis syair agar karangannya
bisa dimuat. Bagi Kwee, cara satu-satunya untuk menulis puisi adalah
dengan mengikuti peraturan yang sangat ketat dalam soal bentuk.
Pertama, syair harus ditulis berdasarkan jumlah baris yang
tetap;bolehempat,lima,atausekianbarisasalsetiapbaitdalamsebuah
syair memiliki jumlah larik yang sama. Syarat kedua bagi syair yang
baik adalah bahwa setiap baris harus terdiri atas suku kata yang sama
jumlahnya, boleh delapan, sebelas, atau sekian suku kata. Hal ketiga
yang juga dianggapnya penting adalah bahwa harus ada rima yang
benar-benar setia kepada lafal. Jadi, penyair harus menentukan yang
akanditulisnyaituterdiriatasberapalariksetiapbait,berapasukukata
setiap larik, dan rima apa yang dipergunakan dalam masing-masing
baitnya. Ia tampaknya cenderung untuk menekankan pentingnya
penggunaan rima a-b-a-b dan beranggapan bahwa pengaturan rima
dengan cara lain hanya menunjukkan ketidakmampuan penyair. Ia
18. mengambil contoh sebuah bait yang rimanya a-b-b-a, dan ia anggap
itu dilakukan penyair karena “tida mau pusing buat karang itu sair
menurut satu aturan yang tetep, hanya asal jadi saja.”14
Sebagai editor sebuah majalah, Kwee berpendirian bahwa ia
mempunyai hak, dan bahkan kewajiban, untuk memperbaiki naskah
yang diterimanya agar sesuai dengan poetika yang diajukannya. Itulah
sebabnya katanya, antara lain, bahwa “banyak sairan yang terpaksa
kita pendem beberapa bulan lantaran kekurangan tempo untuk
perbaiki.” Sikap ini sangat menarik sebab jelas ia tekankan pentingnya
peran editor dalam penerbitan; apa pun harus diedit, tak terkecuali
kaya sastra. Ini tak lain merupakan isyarat bahwa bahwa karya sastra
bukan kitab suci yang sama sekali tidak boleh dikutik-kutik. Itulah
sebabnya ia mengimbau agar para penulis syair mematuhi aturan
seperti yang disampaikannya agar pemuatannya bisa lebih cepat.15
Dalam kaitannya dengan sikap itu, ia membuat contoh
bagaimana memperbaiki naskah yang masuk ke majalahnya dengan
mengutip beberapa bait naskah asli, yang kemudian diperbaikinya
berdasarkan poetikanya.16
Contoh ini bisa mewakili apa yang
dimaksud dan dilakukan Kwee Tek Hoay. Seorang penyumbang
karangan menulis bait sebagai berikut:
Sadari itu kutika,
Orang tida liat lagi ia punya tampang muka,
Orang menanya dengen menyangka-nyangka,
Apatah ia masih idup atawa ada di tempat baka?
14
Kwee Tek Hoay, “Mengarang Sair IX,” dalam Panorama, 3 September 1927.
15
Kwee Tek Hoay, “Mengarang Sair V,” dalam Panorama, 13 Agustus 1927.
16
Kwee Tek Hoay, “Mengarang Sair VI,” dalam Panorama, 20 Agustus 1927.
19. Bait itu dikatakannya mengandung cacat, bukan karena ditulis
oleh “pengarang sair yang bodo,” tetapi semata-mata karena penyair
itu belum pernah diberi tahu atau ditegur mengenai bagaimana cara
menyusun syair yang bagus. Kwee menjelaskan bahwa tidaklah sukar
baginya memperbaiki syair semacam itu. Dan ia pun menunjukkan
hasil perbaikan yang telah dilakukannya, sebagai berikut.
Sedari ambil putusan nekat pada itu kutika,
Orang tida meliat lagi ia punya tampang muka,
Bebrapa orang menanya dengen menyangka-nyangka,
Apatah ia masih idup atawa ada di tempat baka?
Dalam contoh itu tampak bahwa Kwee ternyata tidak begitu
mengindahkan keseragaman aturan banyaknya suku kata di tiap
larik, tetapi tetap dikatakannya bahwa syair yang mula-mula panjang
pendeknya tidak keruan bisa diubah menjadi lebih dekat satu sama
lain sehingga enak dibaca dan dilihat. Di sini pada hakikatnya ia
berbicara mengenai tipografi.
Bagi Kwee, ada dua hal lagi yang harus diketahui oleh penulis
syair. Pemaksaan rima yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan
makna dianggapnya haram dalam penulisan syair. Syair yang ditulis
berdasarkan pemaksaan rima itu ia sebut “sairan bersifat bocengli.”17
Penggunaan kata bocengli, yang merupakan umpatan dalam bahasa
Tionghoa, benar-benar menunjukkan kejengkelannya terhadap cara
penulisan syair yang tidak mengindahkan aturan yang diyakininya.
Di samping itu, masalah ejaan, terutama yang berkaitan dengan
penempatan titik dan koma, juga menjadi perhatian khusus Kwee Tek
17
Kwee Tek Hoay, “Mengarang Sair VIII,” dalam Panorama, 3 September 1927.
20. Hoay. Sair Tjerita Siti Akbari karya Lie Kim Hok lagi-lagi dijadikannya
teladan.
Contoh-contoh itu menunjukkan adanya “bahasa” tersendiri
dalam penulisan puisi, yang terutama didasarkan pada bahasa
Melayu-Tionghoa. Dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa
itu ada baiknya kita kutip pandangan Sutan Takdir Alisjahbana;
dikatakannya bahwa pengertian bahasa Melayu-Tionghoa itu suatu
pengertian yang kabur dan amat luas. Ia menjelaskan pandangannya
itu dengan mengutip karangan yang dimuat dalam dua majalah
yang berbeda, yakni Pelita Andalas dan Matahari. Menurutnya, ada
perbedaan antara bahasa Melayu-Tionghoa yang dipakai di Medan,
Semarang, dan kota-kota lain di Jawa Barat. Dalam sebuah catatan
kaki dalam karangannya itu dikatakannya juga bahwa beberapa anasir
bahasa Indonesia yang sedang tumbuh telah menerima pengaruh
juga dari bahasa Melayu Rendah yang berpusat pada bahasa Melayu
Betawi.18
Pandangan ini memaksa kita untuk mempertim
bangkan
kembali hubungan-hubungan antara dialek-dialek bahasa Melayu
yang ada sejak pertumbuhannya di dalam media cetak.
Menurut STA, jumlah media cetak berbahasa Melayu-
Tionghoa begitu banyaknya sehingga mau tidak mau pengaruhnya
tentu sangat besar. Dan lebih penting lagi dikatakannya, “Saya
yakin, bahwa perasaan yang setinggi-tinggi dan semulia-mulia mana
sekalipun akan dapat dijelaskan dalam bahasa Melayu-Tionghoa,
seperti dalam bahasa mana yang lain sekali pun di dunia ini.”
Dikatakannya juga bahwa siapa pun yang terbuka hatinya akan bisa
menghayati keindahan bahasa Melayu-Tionghoa, terutama dalam
18
Sutan Takdir Alisjahbana, “Kedudukan bahasa Melayu-Tionghoa,” Pujangga
Baru, 1934.
21. mendeskripsikan peristiwa. Dalam hal ini para jurnalis sebaiknya
meniru kecanggihan teknik penggambaran itu. “Ubahlah sedikit saja
ejaannya dan kita akan mendapat daripada bahasa Melayu-Tionghoa
ini bahasa Indonesia yang seindah-indahnya mungkin.” Kalimat
yang dikutip terakhir itu menegaskan bahwa yang disebut Melayu
Tinggi tampaknya dianggap berubah menjadi bahasa Indonesia.
Dalam karangan ini tidak ada pembedaan antara bahasa-bahasa, atau
tepatnya dialek-dialek, itu. Dalam kesusastraan modern di mana pun,
tidak pernah ada perbedaan antara bahasa rendah dan tinggi.
Pembentukan Balai Pustaka
Segolongan kecil masyarakat Hindia Belanda telah membaca karya
sastra yang berbentuk novel dalam bahasa Melayu beberapa puluh
tahun sebelum Sitti Nurbaya karya Marah Rusli diterbitkan Balai
Pustaka pada 1922. Oleh beberapa kritikus, novel tersebut dianggap
novel penting pertama dalam sejarah kesusastraan Indonesia
modern19
, tetapi hal itu tidak berarti bahwa sebelumnya tidak ada
novel yang pantas dibicarakan. Dua tahun sebelumnya penerbit yang
sama mengeluarkan Azab dan Sengsara karya Merari Siregar, dan
pengarang yang sama telah menerbitkan sebuah novel saduran, Si
Jamin dan si Johan, pada 1919.
Sejak 1920-an Balai Pustaka sebagai penerbit resmi
pemerintah kolonial memegang tugas penting dalam penerbitan
19
H.B. Jassin, Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei I (Jakarta:
Gunung Agung, 1953); A.H. Johns, “The Novel as a Guide to Indonesian Social
History”, BKI: 1959; Ajip Rosidi, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (Bandung:
Binacipta, 1976); C.W. Watson. “The Sociology of the Indonesian Novel 1920-1955,
Tesis Ph.D. (Kingston upon Hull: University of Hull, 1972).
22. buku-buku berbahasa Melayu; banyak di antara buku terbitannya itu
kemudian dianggap penting dalam perkembangan sastra Indonesia
modern. Namun, sebelum dan semasa Balai Pustaka ada beberapa
penerbit swasta yang berani menerbitkan novel baik berdasarkan
pertimbangan komersial maupun ideal. Dari segi perkembangan
kesusastraan kita, Balai Pustaka tampak sebagai pencetus atau
pendorong utama kesusastraan Indonesia modern; ditinjau dari
segi sosial politik, badan itu sesungguhnya merupakan akibat dari
suatu pergeseran sikap pemerintah kolonial pada waktu itu terhadap
perkembangan pendidikan dan hasil-hasilnya. Pergeseran sikap itu
merupakan akibat pula dari perubahan sosial yang ada, terutama
sekali yang menyangkut golongan pribumi. Dalam sebuah brosur20
kita dapat membaca pandangan pemerintah kolonial sendiri tentang
perubahan sosial tersebut.
Mula-mula kebanyakan pribumi yang mempunyai keinginan
belajar sudah merasa puas apabila mereka sudah bisa membaca
dan menulis huruf Arab. Biasanya mereka itu tidak mempunyai
keinginan untuk melanjutkan pelajaran sesuai dengan sistem
pendidikan modern yang ada pada waktu itu. Pemerintah kolonial
menyesuaikan sekolah-sekolah yang didirikannya dengan keinginan
yang tidak muluk-muluk itu. Maksud pendirian sekolah semacam itu
adalah untuk melatih calon pegawai rendah yang diharapkan dapat
melaksanakan pekerjaan administrasi sederhana. Di samping sekolah
semacam itu ada juga sekolah yang disediakan khusus untuk keluarga
bangsawan rendah; sekolah itu diharapkan dapat menghasilkan
20
B. Th. Brondgeest dan G.W.J. Drewes, Bureau voor de Volkslectuur/The Bureau of
Popular Literature of Netherlands India. What It is and What It Does (Weltevreden:
Bureau voor de Volkslectuur, 1929).
23. pegawai menengah yang cakap melakukan kerja administrasi yang
lebih rumit. Kalangan orang pribumi yang bersekolah pada waktu
itu praktis tidak usah merisaukan hari depannya; pekerjaan sudah
tersedia baginya. Karena tidak ada keharusan “berjuang” untuk
mendapatkan pekerjaan, hampir semua merasa puas dengan yang
diterima di sekolah saja. Sedikit sekali usaha untuk mendapatkan
pengetahuan lebih lanjut di luar sekolah.
Namun, kebangkitan bangsa-bangsa Asia ternyata ada juga
pengaruhnya terhadap sikap serupa itu. Di kalangan kaum pribumi
mulai tumbuh keyakinan dan harga diri yang lebih bulat, dan sebagai
akibatnya terasa kebutuhan akan pendidikan lebih lanjut, yang tidak
lain merupakan pendidikan Eropa. Bahkan di kalangan masyarakat
yang paling rendah pun terasa adanya kebutuhan akan pendidikan
dasar. Pemerintah Belanda tidak bisa berbuat lain kecuali memenuhi
tuntutan itu: bermacam-rnacam sekolah didirikan di pelbagai kota;
yang tertinggi adalah Sekolah Kedokteran, Sekolah Teknik, dan
Sekolah Hukum.
Penyediaan pendidikan untuk massa selalu mengandung
konsekuensi sosial politik; hal ini dipahami benar oleh pemerintah.
Pemerintah mengharapkan dua hal penting: pertama, dengan fasilitas
yang ada pengetahuan yang didapat di sekolah-sekolah itu bisa
dimanfaatkan secara “wajar”; kedua, pendidikan bukan merupakan
keuntungan kelompok kecil masyarakat saja, tetapi bisa membagikan
manfaat merata bagi seluruh penduduk—baik dari segi moral maupun
kultural. Pemerintah kolonial juga menyadari bahwa tidak banyak
gunanya mendidik orang apabila di luar sekolah tidak tersedia sarana
yang bisa mengembangkan kepandaian. Dalam hal ini sarana yang
penting berupa buku bacaan. Sangat berbahaya apabila pendidikan
24. dilaksanakan tanpa penyediaan santapan rohani yang sehat. Apabila
bacaan yang baik tidak tersedia di masyarakat, dikhawatirkan
para pemuda yang sudah mampu membaca dan menulis itu akan
terjerumus membaca “bacaan liar” yang diterbitkan oleh penerbit-
penerbit “tak bertanggung jawab dan para agitator.”
Pandangan serupa itu timbul sebelum Balai Pustaka didirikan,
sekitar tahun-tahun pertama abad ke-20. Ketakutan pemerintah
kolonial terhadap penerbit “tak bertanggung jawab” dan para
“agitator” itu menunjukkan bahwa sebelum Balai Pustaka sudah ada
beberapa penerbit swasta yang mengusahakan bacaan. Penerbit-
penerbit swasta ini biasanya dipimpin oleh keturunan Tionghoa
atau Belanda, dan mendasarkan kegiatan mereka pada keuntungan
materi semata-mata. Tentu saja penerbit semacam itu tidak peduli
benar apakah terbitannya merupakan santapan rohani yang sehat
atau bukan—menurut ukuran pemerintah kolonial.
Akhirnya pemerintah memutuskan untuk mendirikan badan
penerbit yang bertugas menyediakan bacaan bagi pemuda-pemuda
yang sudah mendapat pendidikan membaca dan menulis. Buku-buku
itu diharapkan dapat memenuhi selera dan minat baca mereka, di
samping untuk menjaga agar mereka tidak kehilangan keterampilan
membaca dan menulis. Juga diharapkan agar buku-buku itu dapat
menambah pengetahuan pembaca. Tugas badan penerbit serupa itu
memang berat: menyediakan bahan bacaan yang bidangnya lebih
luas dari jangkauan sekolah-sekolah pada umumnya, memerangi
keterbelakangan di segala segi kehidupan, dan membebaskan
masyarakat dari takhayul dan tradisi kolot. Ditekankan pula bahwa
usaha menyediakan bahan bacaan itu haruslah dapat menjauhkan
rakyat dari hal-hal yang bisa merusakkan kekuasaan pemerintah dan
25. ketenteraman negeri.
Hampir tanpa kecuali novel-novel 1920-an yang biasa
dibicarakan dalam kesusastraan Indonesia adalah terbitan Balai
Pustaka, meskipun di luar itu juga ada juga cerita rekaan yang
diterbitkan oleh “penerbit liar”. Penerbit semacam itu sudah ada
sejak akhir abad ke-19, yang diterbitkannya adalah cerata-cerita
dalam bahasa “Melayu Rendah”.21
Pengarang-pengarangnya adalah
golongan keturunan Tionghoa yang kebanyakan menulis untuk
golongannya sendiri. Mula-mula yang ditulis adalah saduran berbagai
cerita Tionghoa klasik, dan hanya pada perkembangan selanjutnya
juga diciptakan novel-novel asli yang kebanyakan bermain di dalam
masyarakat Tionghoa di Hindia Belanda, dengan tokoh-tokoh
utama keturunan Tionghoa pula. Tujuannya semata-mata mencari
keuntungan materi. Penerbit-penerbit itu ditakuti pemerintah sebab
tidak begitu memperhatikan segi moral dan pendidikan dalam buku-
buku terbitannya.
Penerbitan “Liar”
Penerbit macam lain yang ditakuti pemerintah jajahan adalah yang
tidak mencari keuntungan keuangan tetapi melakukan penyebaran
ideologi, misalnya penerbit yang disokong oleh gerakan komunis.
Di samping menyebarkan pamflet dan propaganda komunisme,
penerbit tertentu juga menyiarkan karya sastra yang isinya gagasan
yang telah digariskan oleh golongan komunis pada waktu itu.
Penerbit semacam itulah tentunya yang oleh D.A. Rinkes disebut
21
Nio Joe Lan, Sastra Indonesia-Tionghoa (Jakarta: Gunung Agung, 1962).
26. sebagai “saudagar kitab yang kurang suci hatinya” atau “agitator”.22
(Buku-buku terbitannya dianggap bacaan bisa menghasut rakyat
dan membahayakan pemerintah. Komisi Bacaan Rakyat dari Balai
Pustaka bertugas memperkecil peranan penerbit serupa itu.
Penerbitan novel propaganda komunis, misalnya, jelas
dilatarbelakangi oleh berbagai gerakan politik yang ada di Hindia
Belanda waktu itu. Kedatangan beberapa tokoh berhaluan kiri dari
negeri Belanda pada awal abad ke-20, dan meningkatkan kegiatan
mereka pada tahun-tahun belasan dan dua puluhan, telah berhasil
membuat peta baru gerakan sosial politik di Hindia Belanda.
Sejak menjelang akhir abad ke-19 sudah sering terjadi berbagai
pemberontakan di daerah-daerah. Pemerintah kolonial pada waktu
itu cenderung menuduh pemimpin-pemimpin agama Islam sebagai
biang keladinya. Kekuatan golongan Islam yang digambarkan sebagai
gunungapimemangditakutipemerintahBelanda,meskipunakhirnya
ada seorang ahli Islam, Dr. C. Snouck Hurgronje, yang menganjurkan
pemerintah untuk tidak terlalu mencurigai golongan Islam.
Golongan ini pada tahun-tahun 1920-an berhasil membentuk
sebuah perserikatan, Serikat Islam, yang memiliki kekuatan nyata dan
kuat di bidang sosial dan politik. Dalam perkembangan selanjutnya
perserikatan ini dipecah-belah oleh golongan kiri sehingga beberapa
tokohnya dan anggotanya memisahkan diri dan bergabung dengan
golongan kiri—yang kemudian jelas-jelas menamakan diri komunis.
Golongan yang terakhir ini sangat giat melakukan propaganda
dan mendapat dukungan jelas dari Komintern. Gerakan komunis
internasional ini sangat kuat pengaruhnya terhadap perkembangan
22
Balai Pustaka, Balai Pustaka Sewajarnya 1908-1942 (Jakarta: Balai Pustaka, 1948);
The Bureau of Popular Literature of Netherland India, 1929.
27. komunismeawaldiHindiaBelanda.Banyakdiantaratokoh-tokohnya
adalah orang pers; gerakan itu pun ternyata memberikan perhatian
cukup besar terhadap karya sastra senagai alat propaganda.
Kegiatan penerbitan sastra di luar Balai Pustaka terutama
dilakukan oleh golongan peranakan Tionghoa. Nio telah
mengadakan telaah yang dapat memberikan gambaran tentang
perkembangan sastra yang dilakukan oleh golongan tersebut. Bahasa
yang dipergunakan adalah bahasa Melayu Rendah, yang oleh Nio
digambarkan antara lain karena kurangnya kesempatan golongan itu
mendapatkan pendidikan berbahasa Melayu. Dari buku Nio itu kita
antara lain dapat menyimpulkan bahwa pada dasarnya cerita yang
ditulis dimaksudkan sebagai hiburan belaka—ini sesuai dengan sifat
komersial penerbit yang mengurusnya. Pada awal perkembangannya,
sastra yang ditulis golongan ini hanya merupakan saduran berbagai
cerita tanah leluhur, tetapi perkembangan selanjutnya menunjukkan
adanya perhatian yang sangat besar terhadap masalah yang timbul
di Hindia Belanda. Cerita-cerita yang dimaksudkan sebagai hiburan
itu diterbitkan dengan dua macam cara: ada yang langsung terbit
sebagai buku, ada pula yang dimuat terlebih dahulu di koran Melayu-
Tionghoa sebagai cerita bersambung. Biasanya yang disebut terakhir
itu lebih “terpelihara” bahasanya karena sudah dikoreksi oleh redaktur
koran.
Yang juga lazim dalam penerbitan novel-novel semacam
itu adalah keterangan bahwa cerita-cerita yang ditulis tersebut
didasarkan pada kejadian sebenarnya. Lepas dari benar atau tidaknya
keterangan itu, cara demikian memang suatu cara yang baik untuk
memasarkan karya sastra. Novel yang berjudul Cerita Si Ribut atawa
Bunga Mengandung Racun yang “terkarang dan terpetik dari sana-sini”
28. oleh Tan Bun Kim pada 1917 diberi keterangan sebagai “suatu cerita
jang betul terjadi di Surabaja kutika di pertengahan taon 1916, jaitu
politie opziener Cunraad bunuh aktris Constantinopel jang menjadi
kacinta’annja.”
Agar ada gambaran yang lebih jelas tentang sastra golongan
ini saya kutip penjelasan penulisnya mengenai penciptaan novel
karya Kwee Tek Hoay yang ditulisnya pada 1927, Bunga Roos dari
Cikembang. Buku yang oleh Nio dianggap sebagai cerita tragis
yang indah ini dapat dianggap mewakili karya lain sejenis, sebab
pengarangnya adalah tokoh penting sastra Melayu Rendah sebelum
perang. Kwee adalah seorang wartawan yang perhatiannya tidak
hanya menulis novel tetapi juga mengarang sandiwara, puisi, dan
buku agama. Ada semacam penjelasan tentang proses penciptaan
karya sastra oleh Kwee Tek Hoay.
a. Dalam buku ini ada sebuah “Permulaan Kata” yang ditulis
pengarang; isinya antara lain bahwa ide penulisan novel ini
lahir dari sebuah lagu populer yang berjudul “Mimi d’ Amour”;
b. Dorongan pertama yang menyebabkan Kwee menulis cerita
itu datang dari sebuah lembaga sosial yang akan mementaskan
drama; jadi mula-mula Bunga Roos dari Cikembang ditulis
dalam bentuk drama;
c. Kwee kemudian menulis novel ini berdasarkan dramanya
dengan beberapa perubahan; mula-mula ceritanya ini dimuat
dalam weekblad Panorama;
d. Pengarang bermaksud menulis naskah drama lagi berdasarkan
novel ini;
e. Akhirnya ia berharap agar karangannya “bisa membangunken
29. orang punja pikiran tentang beberapa sual-sual jang sulit
dalem penghidupan”;
f. Karangan itu tidak ada hubungannya dengan kejadian yang
pernah terjadi.
Keterangan Kwee tersebut sedikit-banyak memberi gambaran
tentang berbagai segi kepengarangan dalam sastra Melayu-Tionghoa
pada1920-an.Niatuntukmembangunpikiranpembaca,gagasanyang
dengan mudah digeser dari suatu genre ke genre lain, dan hubungan
“langsung” yang ada antara khalayak dan pengarang setidaknya
menunjukkan sifatpopulersastrasemacamitu:faktorkebetulanboleh
dikatakan merupakan satu-satunya perangkai peristiwa-peristiwa.
Pengarang-pengarang yang menulis dalam bahasa Melayu
Rendah tidak semuanya keturunan Tionghoa; beberapa di antaranya
adalah pribumi. Mas Marco Kartodikormo, misalnya, di samping
menulis dalam bahasa Jawa juga menulis dalam bahasa Melayu
Rendah. Wartawan yang pernah dimasukkan penjara karena masalah
politik itu ternyata juga menulis novel populer. Mata Gelap (1914),
salah satu novelnya, bahkan berisi beberapa adegan cabul. Novel yang
diterbitkan dalam beberapa jilid itu rupanya dimaksudkan sebagai
komoditas belaka. Yang menjadi perhatian utama pengarang jelas
hubungan pria-wanita, terutama sekali hubungan kelamin di luar
perkawinan. Salah satu adegannya menggambarkan secara tersurat
hubungan kelamin antara tokoh Subriga dan iparnya sendiri, Ratna
Purnama, sementara istrinya sedang tidur nyenyak dalam kamar yang
sama.
Mas Marco ternyata tidak hanya menulis novel seperti Mata
Gelap. Pada 1919 terbit novelnya yang berjudul Student Hijo; setahun
30. sebelumnya novel itu dimuat secara bersambung di koran Sinar
Hindia. Karyanya yang lain, Rasa Merdika, terbit sebagai buku pada
1924; sebelumnya juga dimuat, secara bersambung di koran yang
sama. Sama sekali berbeda dari Mata Gelap, karya Mas Marco yang
disebut terakhir itu penuh dengan pokok-pokok ajaran Komunis
Internasional yang mulai dirasakan pengaruhnya di Hindia Belanda
dalam 1920-an. Ditinjau lari satu segi, novel ini jelas merupakan
propaganda politik, namun dari segi lain Rasa Merdika sebenarnya
tidak berbeda dari novel populer yang lain.
Tokoh utamanya adalah Sudjarmo, “seorang pemuda jang
baik budi, berbadan tegak serta sehat. Perkataannja senantiasa
lemah lembut, tetapi berhati keras.” Ia anak seorang asisten wedana,
dan kerap kali bergaul dengan para petani dan penduduk yang
menjadi bawahan ayahnya untuk mendengarkan keluh-kesah
tentang kehidupan mereka. Pemuda yang menaruh simpati kepada
penderitaan si miskin itu kemudian disuruh ayahnya menjadi magang
pada seorang Belanda, Vlammenhart. Sudjarmo sama sekali tidak
menyukai pekerjaannya itu, dan beberapa bulan kemudian ia minta
berhenti. Ia pun mengembara ke kota lain; di sana ia mengetahui
lebih banyak tentang penderitaan bunuh dan tani. Setelah uangnya
menipis, pemuda itu terpaksa mencari pekerjaan di sebuah firma. Di
tempat kerjanya yang baru inilah ia berkenalan dengan Sastro, rekan
sekerja yang menyediakan rumahnya sebagai tempat menumpang
bagi Sudjarmo. Ternyata Sastro adalah seorang yang aktif dalam
kegiatan sosial dan politik; ia berhasil mengajak pemuda yang
menumpang di rumahnya itu untuk mengikuti kegiatannya juga.
Lewat berbagai rapat dan diskusi Sudjarmo akhirnya memahami dan
meyakini pokok-pokok pikiran komunisme. Dalam kegiatannya itu
31. Sudjarmo juga berhasil mempersunting seorang gadis yang sangat
aktif dalam organisasi sosial dan politik.
Novel yang diberi sub-judul Hikayat Sudjarmo ini memuat
sebuah kata pengantar yang menjelaskan bahwa pengarang menulis
cerita ini dalam penjara. Juga diharapkannya, “Mudah-mudahanlah
karangan ini yang dibikin dalam waktu kesusahan, dapetlah sekadar
menghiburken hatinya nyonyah-nyonyah dan tuan-tuan pembaca
adanya.” Pada dasarnya, peristiwa-peristiwa yang diharapkan dapat
“menghibur hati” pembaca itu tidak lebih dari sederet sangkutan
untuk ide-ide yang ditampilkan pengarang.
Peran Balai Pustaka
Dalam perkembangan selanjutnya, Balai Pustaka dianggap memegang
peranan penting dalam penerbitan novel di Indo
nesia, tidak hanya
yang ditulis dalam bahasa Melayu tetapi juga yang ditulis dalam
bahasa daerah seperti Jawa dan Sunda. Jaringan perpustakaan rakyat,
perpustakaan sekolah, dan toko buku yang diatur sangat rapi oleh
penerbit pemerintah itu banyak membantu penyebaran buku-buku
terbitannya. Meningkatnya minat baca menyebabkan Balai Pustaka
harus secara aktif mencari naskah agar judul-judul buku yang
diterbitkannya semakin banyak. Dan atas dasar itulah rupanya sejak
awal perkembangannya, kesusastraan Indonesia sudah mengenal
sayembara mengarang. Dalam hal ini ternyata Balai Pustaka adalah
juga salah satu pelopornya. Salah satu sayembara mengarang
diselenggarakan penerbit itu pada 1937. “Perlumbaan Mengarang”
tersebut antara lain diumumkan dalam Pedoman Pembaca 1937.
Pengumuman tersebut ternyata bisa menjadi bahan yang sangat
32. penting untuk mengetahui apa sebenarnya pandangan penerbit
pemerintah itu terhadap kesusastraan. Dari pengumuman tentang
syarat-syarat sayembara mengarang itu dapat ditarik kesimpulan
antara lain sebagai berikut.
Pertama, anggapan Balai Pustaka bahwa novel adalah
tiruan kejadian-kejadian penting dalam kehidupan manusia, yang
dapat mengajar pembaca dengan cara yang menarik hati; “...makin
banyak kejadian yang penting-penting itu, makin banyak seseorang
mengalami dalam kehidupannya, makin banyak soal yang sulit-sulit
harus diselesaikannya, maka lukisan sekaliannya itu dalam sebuah
buku akan makin lebih menarik hati kita pula.”
Kedua, Balai Pustaka berpendapat bahwa dalam novel unsur-
unsur formalnya harus memiliki hubungan yang erat. Penokohan
harus erat hubungannya dengan alur agar karang
an tidak sekadar
merupakan verslag belaka. Yang penting bukan sekadar keganjilan
pengalaman yang diungkapkan tetapi “sikap dan akhlaknyalah (si
tokoh) yang terutama harus jadi dasar dan pokok penyelesaian soal-
soal itu.”
Ketiga, Balai Pustaka beranggapan bahwa novel ditulis secara
realistis, “Segala yang diceritakan itu hendaklah berjalan seperti yang
sebenarnya mungkin terjadi.” Hanya dengan cara itulah semangat dan
akhlak tokoh dapat kita pahami sebaik-baiknya.
Keempat, penokohan yang ternyata dianggap lazim oleh
penerbit itu adalah cara hitam-putih.
33. Dengan cara demikian sudah banyak kesukaran dan
perjuangan yang digambar dilukiskan dalam buku-buku keluaran
Balai Pustaka, antara orang tua yang kuna dengan anak-anaknya
yang berpendi
dikan modern, antara hati yang ingin akan kemuliaan
dan kemasyhuran dengan sifat sederhana dan ikhlas, antara sifat
loba dan tamak akan harta dengan sifat lurus dan benar, antara
cinta dengan kewajiban menurut perintah orang tua, antara sifat
congkak dan sombong dengan baik budi, dan sebagainya. Pokok-
pokok kesimpulan di atas itu bisa dianggap sebagai kriteria Balai
Pustaka dalam menyensor naskah-naskah yang akan diterbitkannya.
Dan, seperti juga dijelaskan dalam pengumuman tersebut, novel-
novel yang telah diterbitkan memiliki ciri-ciri seperti itu, meskipun
sebenarnya kecen
derungan ke romantisisme sangat terasa.
Ciri yang terpenting bagi penerbit seperti Balai Pustaka
adalah yang pertama, yakni mengajar dengan cara yang menarik hati.
Dan secara khusus disinggung dalam pe
ngumuman itu bahwa
...hanyaapabilakesusahan-kesusahanyangdialammyakitaketahui,
maka isi buku itu baru mungkin meresap ke dalam sanubari kita,
dan baru ada pengajaran yang dapat kita pungut daripadanya.
“Pengajaran” itu harus dapat dipungut oleh pembaca,
meski
pun pengarang tidak jarang harus mengorbankan keutuhan
karangannya—seperti yang tampak dalam kebanyakan novel Balai
Pustaka sebelum perang. Keadaan seperti itu tampak lebih jelas
dalam novel-novel berbahasa daerah yang diterbit
kan Balai Pustaka.
Sebenarnya, kriteria yang diajukan pener
bit itu adalah kriteria Barat,
dan dalam kenyataannya sulit dilaksanakan sepenuhnya dalam sastra
34. Melayu dan daerah.
Pengumuman sayembara itu juga memberikan beberapa
keterangan penting mengenai posisi sastra Melayu pada waktu itu.
Sayembara itu terbuka bagi siapa saja dan karangan boleh ditulis
dalam bahasa Melayu, Jawa, atau Sunda. Seorang pengarang hanya
boleh memasukkan sebuah karang
an. Dalam Pedoman Pembaca tahun
berikutnya (1938:19) diberitahukan bahwa jumlah karangan yang
diterima redaksi Balai Pustaka sebanyak 433 naskah terbagi dalam
232 ber
bahasa Jawa, 147 berbahasa Melayu, dan 54 naskah dalam
bahasa Sunda. Sayembara yang meliputi penulisan karangan ilmu
pengetahuan populer dan sastra itu menghasilkan naskah populer
berbahasa Melayu sebanyak 26, berbahasa Jawa 25, dan berbahasa
Sunda 6. Jadi naskah novel yang masuk adalah 207 dalam bahasa
Jawa, 121 dalam bahasa Melayu, dan 38 dalam bahasa Sunda. Angka-
angka itu dengan jelas membuktikan bahwa setidaknya sampai pada
akhir 1930-an, pengarang ber
bahasa Jawa masih jauh lebih banyak
daripada yang ber
bahasa Melayu. Namun perhatian Balai Pustaka
ternyata lebih banyak ditujukan kepada penerbitan yang berbahasa
Melayu, yang untuk konsumsi kaum yang lebih maju, meskipun tidak
sedikit judul buku yang dicetak dalam tiga bahasa sekaligus.
Sayembara yang diadakan Balai Pustaka itu menunjukkan
bahwa novel dibutuhkan. Ternyata kebutuhan akan novel itu
dipenuhi juga oleh beberapa penerbit swasta yang sama sekali
menggantungkan hidup mereka dari penjualan buku terbitan mereka.
Oleh sebab itu wajar apabila penerbit swasta itu memiliki kriteria
sendiri dalam penerbitannya. Kalau Balai Pustaka beranggapan
bahwa novel harus memberikan pe
ngajaran kepada pembaca, maka
penerbit swasta berpendapat bahwa novel harus dapat memberikan
35. keuntungan bagi penerbit. Dengan demikian orientasinya bukanlah
pada kebijakan pendidikan pemerintah kolonial, melainkan pada
pasar. Yang diterbitkan adalah yang menurut perkiraan menjadi
kesukaan pembaca.
Sikap Balai Pustaka
Dalam bukunya tentang Sastra Indonesia-Tionghoa, Nio Joe Lan
menjelaskan bahwa sejak 1925 para pengarang dalam Melayu-
Tionghoa mendapat kesempatan agak besar untuk menerbitkan
karyanya. Pada tahun itu terbit Penghidupan dan Cerita Roman di
Surabaya, dua penerbitan yang masing-masing setiap bulannya
mengeluar
kan sebuah novel. Keberhasilan kedua penerbit itu disusul
oleh beberapa penerbitan lain di pelbagai kota di Jawa, dan kegiatan
penerbitan semacam itu mencapai puncaknya pada 1930-an dan
berakhir pada masa pendudukan Jepang.
Di samping berbagai penerbit novel Melayu-Tionghoa
itu, di beberapa kota ada beberapa penerbit yang mencari untung
dengan menerbitkan novel murahan, yang kemudian lebih dikenal
sebagai “roman picisan”. Kota yang terkenal sebagai pusat penerbitan
semacam itu adalah Medan. Suatu hal yang menarik tentang para
pengarang novel-novel itu adalah bahwa beberapa di antara mereka
ternyata juga menulis untuk Balai Pustaka. Bahkan ada beberapa
buku yang mula mula diterbit
kan sebagai “roman picisan” kemudian
dicetak ulang oleh Balai Pustaka. Dalam hal nilai memang kadang-
kadang sulit untuk menarik garis yang tegas antara novel-novel
terbitan Medan (dan Padang) itu dengan beberapa novel Balai Pustaka
(Modern Indonesian Literature I, 35).
36. Perkembangan penerbitan buku itu rupanya membuat Balai
Pustaka agak khawatir. Dekade 1930-an memang merupakan dekade
pertama dalam sejarah sastra Indonesia yang menyaksikan ledakan
penerbitan novel. Dalam sebuah artikel “Tanggung Jawab Penerbit”
yang dimuat dalam Pedoman Pembaca (1938) majalah terbitan Balai
Pustaka, redaksi menulis antara lain:
Selama golongan kritisi itu belum lahir, maka kewajiban memberi
kritik itu jatuh pada kaum penerbit. Dalam Pedoman Pembaca No.
10 sudah kami terangkan perkara kewajiban penerbit, mesti selalu
awas-awas, jangan diterima
nya sembarang karangan. Penerbit itu
mesti pandai dalam bermacam-macam perkara. Karena golongan
kritisi itu belum lahir, kewajiban memberi kritik itu mesti jatuh
pada
nya, maka pertanggungannya memang sangat berat, lebih
daripada di negeri lain-lain. Moga-moga penerbit partikulir lambat
laun lebih berani menambah syarat-syaratnya untuk menerima
karangan. Kalau ada terbit karangan yang bukan-
bukan, salah
terbesar bukan tanggungan pengarang, melain
kan tanggungan
penerbit. Kalau penerbit suka menambah syarat-syaratnya, maka
dengan sendirinya pengarang akan berhati-hati.
“Yang bukan-bukan” bagi Balai Pustaka berarti yang tidak
sesuai dengan garis kebijaksanaan pemerintah dalam soal penerbitan
buku bacaan. Karangan yang buruk bisa dengan leluasa beredar di
masyarakat karena belum ada kritikus yang baik. Jabatan kritikus itu
biasanya dirangkap oleh wartawan yang biasanya melakukan ulasan
dengan serampangan.
Artikel dalam Pedoman Pembaca itu adalah tanggapan terhadap
sebuah artikel yang dimuat dalam harian Pewarta Deli, Medan, 16
Nopember 1938, tentang tanggung jawab pengarang. Artikel yang
sebagian dikutip oleh Pedoman Pembaca itu antara lain menyebutkan
37. bahwa “zaman sekarang pasar buku kebanjiran kitab-kitab yang
berbahasa Melayu.” Selanjutnya dikatakan,
Keadaan itu adalah tanda bahwa publik sudah tahu menghargakan
pembacaan dan mau mengurbankan uangnya untuk membeli kitab-
kitab yang berfaedah. Satu tanda bukti yang menggembirakan,
sebab nyata perubahan itu menuju kemajuan rohani. Lain daripada
itu adalah pener
bitan kitab-kitab itu menunjukkan bertambah
banyaknya kaum pengarang di antara bangsa kita, serta pula
memberi bukti, bahwa kaum pencetak sudah mulai melihat adalah
penerbitan buku-buku itu, walaupun tidak lekas dan segera banyak,
tapi sekadarnya ada juga mendatangkan keuntungan lumayan.
Meskipun secara keseluruhan bersikap positif, penulis artikel
tersebut sempat menyayangkan bahwa mutu buku-buku bacaan yang
diterbitkan pada waktu itu semakin lama semakin menurun. Semakin
banyakpengarangdanbukuternyatatidakmenyebabkanpeningkatan
mutu buku-buku tersebut. Sangat sulit mencari buku bagus waktu
itu. Rupanya kebanyakan pengarang menulis secara seram
pangan
saja. Keadaan yang sedemikian itulah yang memberi
kan tugas kepada
wartawan untuk bertindak sebagai “kritikus”, untuk memberi tahu
pembaca mana karangan yang baik dan yang mana yang buruk.
Tentang tugas tambahan bagi wartawan itu ternyata Balai
Pustaka berpendirian lain. Wartawan tidak bisa dibebani tugas
sebagai penyeleksi karya sastra. Dan selama belum ada kritikus yang
benar-benar mantap, tugas para penerbitlah untuk bertindak sebagai
kritikus. Penerbit harus ketat men
yensor buku-buku yang akan
diterbitkannya. Jadi sebenarnya penerbitlah yang mendidik pembaca.
Dan Balai Pustaka rupanya berusaha keras untuk mempertahankan
pendiriansemacamitu,pendirianyangbisasaja“memaksa”pengarang
38. untuk memperhatikan kehendak penerbit dan bukan kehen
dak
publik atau kehendaknya sendiri.
Hasil sikap semacam itu muncul dalam berbagai bentuk. Ada
novel yang ditolak Balai Pustaka karena dari segi pendidikan dan sikap
hidup tidak memenuhi kriterianya. Ada beberapa novel yang ditulis
berdasarkan kerja sama antara pengarang dan redaktur. Dan praktis
semua novel keluaran Balai Pustaka harus tunduk pada penggunaan
bahasa Melayu gaya Balai Pustaka—yang kemudian dianggap sebagai
semacam ragam bahasa sastra sebelum perang. Dan sikap yang bisa
disebut “kaku” dari segi stilistika dan tematik itu menyebabkan
beberapa pihak kemudian mengembangkan sikap tersendiri dalam
memberikan “pengajaran” kepada pembacanya.
Polemik Kebudayaan
Di samping penerbit-penerbit komersial yang hampir sepenuhnya
menganggap karya sastra adalah komoditas, ada beberapa penerbit
yangmempunyaimisitertentu;penerbit-penerbitIslamdanpenerbit-
penerbit yang memberanikan diri men
cetak karya sastra pelopor
pada zamannya. Di antara penerbit-penerbit Islam yang muncul
pada 1930-an adalah Lektur Islam Indonesia yang berkedudukan di
Solo dan Penyiaran Islam di Fort de Kock, Bukittinggi. Novel-novel
M. Dimyati, misalnya, diterbitkan oleh penerbit Solo itu sedangkan
beberapa karya Hamka diterbitkan di Fort de Kock. Penerbit yang
memberanikan diri menerbitkan karya pelopor antara lain Pustaka
Rakyat yang menerbitkan Belenggu karya Armijn Pane yang ditolak
Balai Pustaka, di samping beberapa buku kumpulan sajak. Dalam
perkembangannya sampai Perang Dunia Kedua, Balai Pustaka
39. memang tidak menaruh per
hatian sungguh-sungguh terhadap
penerbitan puisi modern, yang tentunya kurang sesuai untuk
melaksanakan misi penerbit pemerintah itu.
Sejak awal 1930-an sudah terasa adanya kegelisahan di
kalanganpengarangmudaterpelajar;merekarupanyatidakpuashanya
sekadar menulis karya sastra saja, tetapi berusaha menyumbangkan
pikiran dalam bidang kebudayaan dan sosial. Pikiran-pikiran mereka
itu disiarkan lewat berbagai media antara lain majalah Pujangga
Baru dan koran Suara Umum. Karangan kaum muda terpelajar itu
kemudian dikumpulkan oleh Achdiat Kartamihardja dalam Polemik
Kebudayaan.23
Beberapa nama yang tersangkut dalam polemik
tersebut antara lain Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Ki Hadjar
Dewantara, Purbatjaraka, Dr. M. Amir, dan Dr. Soetomo.
Sebelum menyinggung pokok-pokok polemik yang sangat
penting tersebut, patut dicatat bahwa pada 1933 terbit sebuah majalah
bernama Pujangga Baru. Di antara pendirinya terdapat Sutan Takdir
Alisjahbana dan Armijn Pane, dua novelis penting pada periode 1930-
an sampai 1942. Majalah ini mula-mula dimaksudkan sebagai pengisi
kekurangan ruangan bagi penyiaran karya-karya pengarang muda.
Tetapi perkembangan selanjutnya me
nunjukkan bahwa situasi telah
menyebabkan lebih banyak memberi perhatian kepada masalah sosial
dan budaya. Tahun pertama penerbitan majalah itu mempergunakan
keterangan “Majalah Kesusastraan dan Bahasa serta Kebuda
yaan
Umum”. Anak judul itu ternyata mengalami perubahan setiap tahun,
dan pada tahun keempat terbaca “Majalah Bulanan Pembimbing
Semangat Baru yang Dinamis untuk Membentuk Kebudayaan Baru,
23
Achdiat Kartamihardja, ed., Polemik Kebudayaan (Jakarta: Pustaka Jaya, 1977).
40. 40
Kalam 25 / 2013
Kebudayaan Persatuan Indonesia”.
Dalam kelompok Pujangga Baru tersebut terdapat ber
bagai-bagai pandangan terhadap kebudayaan Indonesia umumnya.
Salah satu pandangan yang tegas lahir dari Takdir; ia tegas-tegas
berorientasi ke Barat. Dalam esai “Semboyan yang Tegas” (Polemik
Kebudayaan, 37-42) ia antara lain menegaskan:
Di Indonesia Muda yang hendak mendudukkan bangsanya di sisi
bangsa-bangsa yang lain di dunia ini, tiada boleh ter
lampau berat
memikirkan resiko. Ia harus menggambarkan dalam hatinya apa
yang di kehendakinya, apa yang dicita-citakannya dan kapalnya
terus dilayarkannya menuju ke arah cita-cita itu.
Indonesia sekarang perlu akan putera yang tajam pikiran
nya, individu yang mempunyai pikiran, pemandangan dan
perasaan sendiri, yang tahu mengemukakan dan memper
tahankan kepentingan dan haknya, yang senantiasa berdaya upaya
memperbaiki kehidupan dan penghidupannya lahir batin. Untuk
mencapai sekaliannya itu maka suara negatif yang terdengar pada
Konggres Permusyawaratan Perguruan Indonesia di Solo itu:
anti-intelektualisme
anti-individualisme
anti-egoisme
anti-materialisme
harus ditukar dengan semboyan positif yang gembira ber
api-api:
Otak Indonesia harus diasah menyamai otak Barat!
Keinsyafan akan kepentingan diri harus disedarkan sesedar-
sedarnya!
Bangsa Indonesia harus dianjurkan mengumpulkan harta dunia
sebanyak-banyak mungkin!
Ke segala jurusan bangsa Indonesia harus berkem
bang!
Sikap demikian itulah yang membawa Takdir berhadapan
dengan beberapa orang terpelajar lain yang beranggapan bahwa yang
41. 41
Kalam 25 / 2013
namanya Indonesia ini tidak boleh memutuskan hubungan dengan
masalampau.Takdirtidakhanyaberbedapandangandenganbeberapa
tokoh masyarakat seperti Ki Hadjar Dewantara, Dr. Sutomo, dan Dr.
M. Amir, tetapi juga dengan beberapa tokoh Pujangga Baru. Takdir
rupanya menghendaki agar sastra mengandung pesan tertentu yang
bermanfaat bagi kemajuan sosial bangsa; ia tidak bisa menerima
semboyan “seni untuk seni” misalnya, dan akibatnya ia juga tidak
bisa menerima baik Belenggu karya Armijn Pane dan Sandyakalaning
Majapahit karya Sanusi Pane, meskipun kedua karya tersebut
sebenarnya tidak dapat diklasifikasikan sesuai dengan semboyan “seni
untuk seni”. Namun demikian di kalangan Pujangga Baru ada saling
pengertian yang baik, saling menghormati pen
dirian orang lain.
Armijn adalah seorang pengarang yang tertarik kepada
pengolahan masalah sosial dalam karyanya, tetapi tidak suka
menyampaikan pesan secara “langsung” kepada pembaca. Hal ini
tampak jelas pada Belenggu yang ditolak Balai Pustaka—meskipun
Armijn pernah menjabat sebagai redaktur penerbit pemerintah
tersebut. Seperti Takdir, Armijn adalah seorang terpelajar yang
banyak berkenalan dengan karya sastra Eropa. Berlainan dengan
Takdir, ia masih mengakui adanya hubungan antara yang baru dan
yang lama. “Setiap zaman baru berdasar kepada yang lama”, tulisnya,
“tetapi sebab semangat sudah ber
lainan, diadakannyalah bangunan
baru, yang bukan lain dalam segala-galanya dengan bangunan yang
lalu.”24
Seperti halnya Takdir dan beberapa tokoh Pujangga Baru lain,
Armijn banyak menulis esai mengenai masalah sosial dan sastra,
beberapa di antaranya dalam bahasa Belanda dan Inggris. Rupanya
24
H.B. Jassin, Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei II (Jakarta:
Gunung Agung, 1962).
42. 42
Kalam 25 / 2013
penggunaan bahasa asing di kalangan pengarang Pujangga Baru
sangat kuat, terbukti dari adanya nomor khusus majalah itu untuk
menyambut dibukannya Sekolah Tinggi Kesastraan. Nomor khusus
itu memuat karangan-karangan dalam bahasa Belanda. Hal itu
membuktikan bahwa akhirnya perhatian beberapa tokoh Pujangga
Baru bukanlah sastra dan bahasa Indonesia itu sendiri, tetapi problem
sosial yang ingin ditampilkan dan dipecahkan.
Dalam kenyataannya memang banyak pengarang dan
pendukung majalah itu memegang peranan aktif dalam kegiatan
sosial dan politik di tanah jajahan ini. Di samping Takdir kita kenal
tokoh-tokoh lain seperti Muhammad Yamin, Rustam Effendi, dan
Asmara Hadi yang selain menghasilkan karya sastra juga sibuk
dalam pergerakan nasional. Karya sastra yang mereka hasilkan itu
jelas merupakan usaha untuk mengobarkan semangat nasionalisme;
beberapa di antaranya ditulis sebelum ada gagasan untuk menerbitkan
majalah Pujangga Baru. Rustam Effendi, misalnya, menerbit
kan
Bebasari pada 1924 dan Percikan Permenungan kira-kira dua tahun
kemudian. Meskipun demikian mereka itu harus dikelompokkan ke
dalam Pujangga Baru karena memiliki semangat pembaruan seperti
yang dijadikan semboyan majalah itu.
Pujangga Baru dan Balai Pustaka
Kalaudiantarapengarangituternyatabanyakyangtelahmenerbitkan
karyanya sejak awal 1920-an, bagai
manakah hubungan antara
karya mereka itu dengan terbitan Balai Pustaka? Sudah disinggung
sebelumnya bahwa Balai Pustaka tidak banyak memperhatikan
penerbitan puisi modern dalam kegiatannya, sedangkan kebanyakan
43. 43
Kalam 25 / 2013
orang-orang muda yang mengadakan pembaruan dalam sastra
Indonesia modern 1920-an itu adalah penyair. Meskipun majalah
Pujangga Baru adalah redaksi Balai Pustaka, tetapi mereka itu
menolak adanya kaitan antara kedua kegiatan penerbitan itu. Dalam
karangannya tentang kesusastraan baru, Armijn Pane antara lain
menandaskan (1933: 112-3)
Kesusastraan baru,yang berlingkung kepada Pujangga Baru, Panji
Pustaka-lah yang menimbulkannya, sebab pujang
ga-pujangga
muda yang sekarang di sanalah, katanya, menem
patkan sajaknya
atas ajakan dan bujukan! Balai Pustaka itu bukan, kata fihak
itu seterusnya, badan pemerintah yang hendak meneguhkan
imperialisme. Jadi kesusastraan baru ini bukan timbul dari dalam
bangsa kita, tetapi dari dalam neraka imperialisme!
Menurut Armijn Pane, serangan pihak “yang kolot” atau
“pihak nenek” terhadap kesusastraan baru itu mempergunakan ikhtiar
yang tidak jujur. Pihak kolot itu mengatakan bahwa sebenarnya Balai
Pustakalah (lewat Panji Pustaka) yang memulai gerakan kesusastraan
baru itu. Banyak pengarang muda dibujuk untuk menulis dalam
majalah milik Balai Pustaka tersebut. Dan karena penerbit itu milik
pemerintah kolonial, tentunya sastra baru yang ditimbulkan
nya itu
juga berasal dari paham imperialisme. Armijn menun
jukkan bahwa
tuduhan itu tidak benar, sebab Panji Pustaka baru membuka ruang
kesusastraan pada 1932, sedang
kan kebanyakan pujangga muda itu
sudah mulai menulis bahkan menerbitkan buku sejak awal 1920-an.
Pengarang Belenggu itu kemudian menunjukkan adanya hubungan
yang erat antara timbulnya kesusastraan baru itu dan gerakan
kebangsaan, terutama sekali gerakan pemuda seperti yang dilakukan
44. 44
Kalam 25 / 2013
oieh Jong Java dan Jong Sumatra
nen Bond. Setelah mencoba
menjelaskan panjang-lebar tentang hubungan tersebut, Armijn
menutup tulisannya dengan mengatakan:
Seperti banyak yang baru dalam pergerakan kita timbul
nya dalam
kalangan pemuda dan perkumpulan pemuda, begitu jugalah
Pujangga Baru timbul sebagai pembentukan salah satu cita-cita
gerakan pemuda.
Dia bukan sekonyong-konyong timbul atas titah Balai Pustaka,
sebagai diserukan oleh pihak kolot, melainkan dia hanya
meneruskan usaha yang beberapa kali sudah diusahakan dalam
kalangan semangat muda.
Ada suatu pokok penting yang tersirat dalam tulisan Armijn
Pane itu. Pihak kolot ternyata menuduh Pujangga Baru sebagai
agen Balai Pustaka, dan oleh karenanya ber
usaha meneguhkan
imperialisme. Kalangan Pujangga Baru sendiri ternyata dengan
keras menolak tuduhan tersebut; ia “bukan sekonyong-konyong
timbul atas titah Balai Pus
taka” tetapi berada dalam “kalangan
semangat muda”. Dengan demikian tersirat bahwa baik pihak kolot
maupun pujangga muda beranggapan bahwa Balai Pustaka ingin
meneguhkan imperialisme, setidaknya kedua pihak itu ber
sikap
negatif terhadap Balai Pustaka. Memang, fungsi pener
bit pemerintah
kolonial itu sebagai bagian tak terpisahkan dari kebijakan pendidikan
menyebabkannya selalu dicurigai oleh berbagai pihak.
Kecurigaan terhadap Balai Pustaka itu ternyata tidak
menyebabkan semua pengarang muda menerbitkan karyanya
di luar penerbit pemerintah tersebut. Sutan Takdir Alisjahbana
sendiri, penggerak Pujangga Baru, menerbitkan novelnya di Balai
45. 45
Kalam 25 / 2013
Pustaka. Penulis-penulis lain yang menerbitkan karya
nya di Balai
Pustaka, yang kemudian dikenal sebagai penulis utama kita sebelum
perang adalah Hamka dan Nur Sutan Iskan
dar. Mereka itu berasal
dari Sumatra. Periode ini juga menghasilkan karya-karya yang
ditulis oleh pengarang-pengarang non-Sumatra antara lain Paulus
Supit, L. Wairata, dan I Gusti Njoman Panji Tisna. Kehadiran
pengarang-pengarang non-Sumatra itu penting artinya sebab
lewat karya merekalah latar belakang sosial dan budaya non-Islam
dengan jelas muncul dalam sastra Indonesia. Di samping itu pantas
pula dicatat munculnya dua penulis wanita, Hamidah dan Selasih,
yang menghasilkan novel-novel sewaktu usia mereka sangat muda.
Novel-novel itu sendiri tidak berperan apa-apa dalam perkembangan
kesusastraan kita, dan biasanya mendapat perhatian karena ditulis
oleh wanita.
Belenggu
Persoalan keluarga juga mendapat perhatian dari Armijn Pane dalam
novel Belenggu, sebuah novel yang merupakan puncak perkembangan
novel modern Indonesia sebelum perang. Ditinjau dari segi stilistika
maupun tematik, novel ini adalah hasil seorang novelis yang lebih
menekankan pada pembaruan daripada sekadar mengulang-ulang
apa yang pernah dikerjakan pengarang sebelumnya. Pembaruan yang
dilakukan Armijn, seorang redaktur Balai Pustaka dan Pujangga Baru,
ternyata mendapat reaksi dan tanggapan yang berbeda-beda, yang
beberapa di antaranya dikutip dalam penerbitan ulang novel ini.
Setidaknyaadaduahalpentingsehubungandenganpembaruan
Armijn ini. Pertama, pengarang memberi perhatian utama kepada
46. 46
Kalam 25 / 2013
serangkaian pikiran masing-masing tokoh rekaannya. Dengan
demikian peristiwa-peristiwa fisik yang ada seolah-olah merupakan
penyokong gerak pikiran tersebut. Teknik bukannya sama sekali
baru dalam perkembangan novel Indonesia; beberapa pengarang
pernah mencobanya antara lain dalam Salah Asuhan, Kehilangan
Mestika, dan Layar Terkembang. Namun teknik cakapan dalam hati
(interior monologue) baru benar-benar dikembangkan secara sadar dan
fungsional dalam Belenggu.
Kedua, pengarang menampilkan pandangan tertentu terhadap
keadaan sosial kota besar, suatu pandangan yang belum pernah
menjiwai novel-novel sebelum perang. Armijn tidak berusaha
menilaikeadaanitu,dankemudianmendesakkanpenilaiannyakepada
kita; pengarang asal Sumatra itu membuat semacam deskripsi dan
analisis atas keadaan tersebut. Apa yang dikerjakannya itu terbuka
bagi penafsiran masing-masing pembaca. Novel ini didahului oleh
semacam kredo yang agak sentimental, kalau bukan bombastis, tetapi
yang setidaknya menunjukkan kepada kita apa sebenarnya yang
mendorong pengarang menerbitkan juga novelnya meskipun telah
ditolak oleh Balai Pustaka. Dalam pengantar karyanya itu pengarang
menulis antara lain,
Banyakyanghendaksayanyatakan,apakahyangdapatmenghalangi
saya, kalau menurut saya patut berbicara?
Karena cara melahirkan keyakinan akan dicela setengah orang?
Karena soal yang saya kemukakan, menurut setengah orang mesti
didiamkan?
Rupanya yang mengganggu pengarang adalah adanya pihak
yang mungkin sekali tidak menyetujui pokok dan cara menyampaikan
47. 47
Kalam 25 / 2013
persoalan dalam karangannya. Ternyata bahwa memang kedua
hal itulah yang menjadi buah pembicaraan ketika novel itu selesai
dimuat dalam majalah Pujangga Baru. Beberapa komentar dimuat
dalam penerbitan novel itu. Di antara orang-orang yang tidak begitu
bersimpati pada cara penulisan Armijn itu adalah salah seorang rekan
dekatnya, Sutan Takdir Alisjahbana.
Dan kalau buku Armijn ini diletakkan di tengah-tengah usaha dan
perjuangan ini untuk kemajuan bangsa, maka hampir dapat kita
memasukkannyadalamlekturdefaistisyangmelemahkansemangat,
meski betapa sekalipun gembira bunyi kata pendahuluannya.
Setiap pembaruan cenderung menimbulkan komentar
bermacam-macam. Suwarsih Djojopuspito, misalnya, menulis bahwa
“tendenslah yang amat mempengaruhinya”, sedang M. Dimyati
mengatakan bahwa “payah saya hendak menangkap tendens cerita
Belenggu ini”. Kedua orang yang juga pengarang itu ternyata berbeda
pandangan dan pengertian tentang arti tendens dan penerapannya
pada novel Belenggu.
Tema yang ditampilkan Armijn memang belum pernah
disentuh oleh pengarang sebelumnya. Hubungan antara Tono, Tini,
dan Yah tidak dapat dijelaskan sebagai hubungan cinta segi tiga
yang klasik. Masih merupakan pertanyaan apakah Tono dan Tini
memasuki perkawinan berdasarkan cinta; juga pantas dipertanyakan
apakah hubungan antara Yah dan Tono dilandasi cinta. Dari segi
sosial, “belenggu” dalam novel ini adalah ikatan perkawinan dan
ikatan antara orang dan orang lain. Dari segi perorangan, “belenggu”
berarti keinginan dan kebutuhan yang selalu mendesak untuk
48. 48
Kalam 25 / 2013
dipenuhi namun tidak pernah bisa sepenuhnya terpenuhi. Tema
yang menyangkut hubungan antara konflik batin dan konflik sosial
ini harus ditampung dalam suatu teknik penulisan yang berbeda dari
yang pernah ditempuh pengarang-pengarang sebelumnya. Sejak
alinea-alinea permulaan sudah tampak kekhasan gaya Armijn.
Seni Pertunjukan dan Munculnya Drama
Ketika drama mulai tumbuh di sekitar akhir abad ke-19 dan awal
abad ke-20, di Hindia Belanda telah tumbuh seni pertunjukan
berbahasa Melayu yang sangat populer terutama di kota-kota besar,
yang umumnya dikenal sebagai Komedi Bangsawan atau Komedi
Stambul atau Opera Bangsawan. Perlu dicatat, komedi tidak berarti
tontonan yang lucu belaka, tetapi kisah yang dipentaskan dengan
kemungkinan adanya unsur-unsur lucu di dalamnya. Unsur-unsur
lucu itu menghibur dan tidak selalu harus terkait dengan alur
pokoknya, bahkan bisa juga merupakan sekadar selingan atau anasir
stereotip yang sengaja dimasukkan untuk memancing ketawa. Kisah-
kisah yang dipentaskan terutama sekali diambil dari khazanah 1001
Malam, cerita berbingkai yang sebelumnya sudah dikenal luas di
kalangan masyarakat dan sekaligus ditunjang kepopulerannya dengan
pementasan mereka di panggung.
Asal-usul seni pertunjukan itu tidak begitu jelas, tetapi
menurut suatu pendapat ia berasal dari Tanah Melayu, dibawa
oleh seorang sutradara teater keliling yang berdarah Rusia. Teater
ini bukan sejenis folktheater ‘teater rakyat’ yang diciptakan oleh
masyarakat untuk keperluan tertentu dan kemudian dianggap sebagai
miliknya, yang sekaligus juga merupakan identitas masyarakat itu.
49. 49
Kalam 25 / 2013
Komedi Bangsawan adalah produk kebudayaan populer yang sejak
pertengahan abad ke-19 masuk ke Hindia Belanda, dipicu antara
lain oleh kebutuhan massa di kota-kota besar untuk mendapatkan
hiburan. Hal ini tentu saja ada hubungannya dengan perkembangan
industri, meskipun pada masa itu Hindia Belanda belum merupakan
“negeri” yang sepenuhnya dikendalikan oleh industri yang
membutuhkan modal besar. Urbanisasi yang mulai berlangsung saat
itu mengakibatkan tumbuhnya kota-kota yang menyediakan ruang
untuk orang-orang yang datang dari desa. Sesudah sementara waktu
tinggal di kota, mereka tidak lagi merupakan bagian dari teater rakyat
yang mereka ciptakan dan sekaligus memiliki mereka di tempat
asalnya.
Teater rakyat sebenarnya tidak sekadar tontonan, tetapi juga
sekaligus—dan di beberapa tempat terutama—adalah bagian dari
upacara yang berakar pada kepercayaan masyarakat setempat. Karena
tidak lagi merupakan bagian dari masyarakatnya yang dulu, penduduk
kota akhirnya tercerabut dari jenis kesenian rakyat miliknya itu tetapi
belum merupakan bagian dari kesenian kota yang sama sekali lain
cirinya. Teater rakyat diciptakan oleh dan untuk rakyat, kelompok
masyarakat yang memiliki ciri-ciri khusus yang tercermin dalam
kesenian mereka. Ia merupakan sejenis taman yang dipagari dan
tidak boleh disentuh orang dari luar masyarakat bersangkutan.
Teater semacam itu sepenuhnya bersumber pada ciri-ciri dan kualitas
masyarakat sehingga orang luar tidak bisa menembusnya begitu saja.
Ini tidak berarti bahwa teater semacam itu sepenuhnya diciptakan
masyarakat tanpa sama sekali pengaruh dari luar. Di zaman kita
ini tidak ada yang sepenuhnya asli, semua hal
—tidak terkecuali
seni pertunjukan—ada sumbernya di tempat lain, baik yang berupa
50. 50
Kalam 25 / 2013
struktur pertunjukannya maupun kisah yang dipertunjukkannya.
Dengan demikian di berbagai suku bangsa di Indonesia telah sejak
entah kapan tumbuh ratusan jenis seni pertunjukan yang sangat lebar
spektrumnya, mulai dari yang sama sekali tidak bisa dipisahkan dari
upacara keagamaan sampai ke jenis pertunjukan yang sepenuhnya
profan, yang bisa dilakukan oleh siapa pun tanpa harus mempelajari
bagaimana cara melaksanakannya. Dengan kata lain, ada yang
pelaksanaanya ditentukan oleh aturan yang sangat ketat, yang hanya
bisa diikuti oleh orang-orang yang sangat terbatas jumlahnya sampai
ke jenis pertunjukan yang siapa pun bisa ikut di dalamnya, tentu
bukannya sama sekali tanpa aturan.
Jenis teater itu digolongkan ke dalam tradisi lisan meskipun
boleh dikatakan tanpa kecuali berasal dari kisah atau kepercayaan yang
pernah dituliskan, yang mungkin sampai ke pelaksana pementasan
itu tidak berupa tulisan tetapi secara lisan. Ada dua jenis tradisi lisan,
yakni primary orality ‘kelisanan primer’ dan secondary orality ‘kelisanan
sekunder.’ Kelisanan primer boleh dikatakan sama sekali tidak ada di
zamankitainisebabpraktissemuabangsasudahmengenalaksara;yang
ada tinggal kelisanan kedua yang semakin hari semakin berkembang
berkat adanya begitu banyak jenis media yang menyalurkan dana dan
kebutuhan akan media inilah yang pada gilirannya memicu derasnya
pengaruh global yang memungkinkan dikembangkannya jenis-jenis
seni pertunjukan baru. Pertunjukan atau ritual rakyat yang dulu
berlangsung di tempat-tempat yang sangat luas spektrumnya, mulai
dari pasar sampai kuil sebagian berkembang menjadi berbagai jenis
teater yang memerlukan tempat khusus untuk mementaskannya, yang
umumnya berupa panggung prosenium. Kalau di zaman tradisi lisan
pengarah “lakon” bisa saja seorang pendeta yang memelihara aturan
51. 51
Kalam 25 / 2013
ritualsecaraketat,ataumalahtakadasutradarasamasekalisebabsetiap
orang boleh mengambil bagian, di dalam tradisi teater prosenium
sutradara muncul dan langsung memegang peranan penting.
PengaruhdramaBaratpunmasuksejakakhirabadke-19,mula-
mula dalam bentuk penulisan naskah yang dipentaskan untuk berbagai
kepentingan sosial, seperti mencari derma bagi organisasi sosial
di kalangan kaum peranakan Tionghoa atau merupakan idealisme
seperti yang terjadi di sementara kalangan intelektual muda pada
masa itu. Dalam perkembangan tahap ini, dua jalur pekembangan pun
muncul; yang pertama merupakan tiruan belaka dari seni pertunjukan
yang dikenal sebagai Komedi Stambul atau Opera Melayu, yang kedua
merupakan usaha beberapa kalangan untuk menyerap pengaruh dari
teater Eropa yang pada masa itu sedang mengembangkan realisme.
Tokoh-tokohsepertiIbsenmenjaditumpuanbagibeberapadramawan
awal sepeti Kwee Tek Hoay, seorang jurnalis, sastrawan, dan filsuf
yang berusaha menulis pandangan teoretisnya mengenai berbagai
jenis kesenian, antara lain drama.
Pada perempat pertama abad ke-20, Kwee Tek Hoay
mencoba dengan sadar mengembangkan realisme yang meneladani
Ibsen, meskipun di sekitarnya penulisan drama masih di bawah
bayang-bayang seni pertunjukan lisan, yang tidak mengandalkan
pada penulisan naskah. Drama pun mulai berkembang. Yang khas
pada perkembangannya di Indonesia adalah bahwa berbagai jenis
kecenderungan masuk bersama-sama, suatu hal yang menyebabkan
munculnya beberapa mazhab sekaligus. Kwee Tek Hoay dan F.
Wiggers yang mengembangkan gaya realis dalam drama mereka
adalah wartawan. Itu mungkin sebabnya drama-drama yang
mereka tulis mengungkapkan berbagai masalah yang berkaitan
52. 52
Kalam 25 / 2013
dengan perubahan sosial dengan gaya realis, sementara itu sejumlah
intelektual muda pribumi mengembangkan gaya penulisan Romantik
untuk menyampaikan idealisme mereka dalam rangka bangkitnya
rasa kebangsaan. Dengan demikian ada perbedaan yang mendasar
antara, misalnya, Lelakon Raden Bei Surio Retno karya F. Wiggers dan
Bebasari karya Rustam Effendi. Yang disebut pertama adalah drama
sosial yang mengungkapkan dengan gaya realis suatu fenomena sosial
yang berkembang pada zamannya, sementara yang disebut kedua
adalah upaya untuk mengungkapkan gagasan mengenai kebebasan
bangsa dari penjajahan pihak asing. Pergolakan pertama drama
Indonesia terjadi pada 1920-an, yang kemudian disusul dengan
kecenderungan yang semakin kuat untuk mengungkapkan idealisme
dengan menggunakan simbol-simbol.
Sepanjang 1930-an para dramawan pribumi kita umumnya
adalah sastrawan yang tidak begitu akrab dengan seni pertunjukan
sehingga naskah-naskah yang mereka tulis bisa digolongkan ke dalam
drama kamar, jenis yang lebih merupakan bacaan daripada bahan
pementasan.ParasastrawanmudaangkatanSanusiPanemendapatkan
pendidikan di sekolah menengah Belanda yang memberikan
pengetahuan mengenai perkembangan kesenian sekitar 1880-an di
negeri itu. Itulah sebabnya dikatakan bahwa Angkatan 1880 yang
muncul di negeri Belanda menjadi acuan bagi perkembangan drama
Romantik di Indonesia. Dalam rangka pengaruh itu, muncullah
drama-drama yang menunjukkan perhatian mereka terhadap masa
lampau dan negeri asing seperti Sandyakalaning Majapahit yang
berlatar zaman klasik dan Manusia Baru yang berlatar negeri asing
untuk mengungkapkan idealisme dan simpati mereka terhadap kaum
tertindas.
53. 53
Kalam 25 / 2013
Perkembangan itu boleh dikatakan praktis berubah ke arah
lain ketika pada awal 1940-an pemerintah militer Jepang menguasai
Indonesia dan menentukan dengan tegas bahwa segala jenis seni, tak
terkecuali pertunjukan, harus dipergunakan sebagai alat propaganda
untuk mendukung gagasan Asia Timur Raya. Sensor yang sangat ketat
dari pemerintah militer Jepang menyebabkan dramawan kita tidak
bisa berbuat lain kecuali mematuhinya dengan menghasilkan sejumlah
drama yang dianggap bisa menyebarluaskan gagasan dasar Asia Timur
Raya, tujuan utama Jepang dalam melakukan ekspansi ke Asia Timur
dan Tenggara. Demikianlah maka muncul drama seperti Pandu Pertiwi
karya Merayu Sukma, yang seperti halnya Cinta Tanah Air roman
karangan Nur Sutan Iskandar, dan Palawija karya Karim Halim tidak
lain adalah hasil kesenian yang menggunakan teknik propaganda.
Karya Merayu Sukma jelas-jelas menggunakan simbol-simbol dalam
rangka menyebarluaskan gagasan militerisme, suatu hal yang pada
dasarnya dilakukan juga oleh Rustam Effendi dalam Bebasari tapi yang
tujuannya penulisannya sama sekali berbeda, bahkan berlawanan.
Bebasari adalah drama yang memprogandakan gagasan kemerdekaan
sementara Pandu Pertiwi adalah drama yang memaksakan pelaksanaan
gagasan militerisme Jepang. Persamaannya adalah keduanya
menggunakan simbol-simbol dalam teknik penulisannya.
Meskipun masa pendudukan Jepang yang singkat itu
menerapkan sistem sensor yang sangat ketat, pada masa itu ada
beberapa sastrawan, antara lain Usmar Ismail, yang mengembangkan
bakatnyadengantidaksekadarmenulisdramapropaganda.Dramanya
Citra, misalnya, bukanlah drama propaganda tetapi lebih merupakan
upaya untuk mengungkapkan suatu segi masalah sosial pada masanya,
tentu dengan cara yang tidak melanggar ketentuan pemerintah
54. 54
Kalam 25 / 2013
pada masa itu. Karya Usmar Ismail, dramawan utama Indonesia
1940-an, merupakan tonggak penting dalam perkembangan drama
kita. Ia terus menulis sampai lenyapnya pemerintah militer Jepang
dan menguasai panggung sandiwara dan film sampai 1960-an.
Sesudah Kemerdekaan tumbuh euforia kebebasan yang mendukung
tumbuhnya perhatian dramawan kita terhadap nasib kaum lemah
dan rakyat kecil. Kecenderungan serupa sebenarnya sudah muncul
pada 1930-an ketika para sastrawan kita menulis drama kamar,
tetapi jika ditinjau dari konteks sosialnya kedua kecenderungan itu
menunjukkan perbedaan yang mencolok. Jika pada 1930-an para
sastrawan kita menghasilkan drama romantik sebagai akibat dari
pengetahuan mereka mengenai kesusastraan dan kondisi sosial yang
merosot kualitasnya sebagai akibat malaise yang melanda dunia,
maka kecenderungan yang ada pada akhir 1940-an dan awal 1950-an
terutama disebabkan oleh kondisi sosial yang buruk sebagai akibat
dari revolusi yang mau tidak mau memaksakan perubahan sosial
politik yang mendadak dan mendasar.
Dalam sebuah pengantar untuk dramanya yang berjudul
Korbannya Kong-Ek (1926) Kwee Tek Hoay, seorang tokoh peranakan
Tionghoa yang memiliki perhatian terhadap berbagai bidang, antara
lain mengakui bahwa dalam penulisan drama ia belajar dari seorang
dramawan Norwegia abad ke-19, Henrik Ibsen. Katanya,
Ini semua pendapetan, ditambah lagi dengan lelakon-lelakon
komedi dari Ibsen yang saya baca berulang-ulang, membikin saya
mendapet pikiran aken karang ini lelakon Korbannya Kong-Ek yang
sifatnya mirip seperti Ibsen punya An Enemy of the People, di mana
dituturken bagaimana saorang yang hendak berbuat baek sudah
dimusuhin oleh orang banyak.
55. 55
Kalam 25 / 2013
Ada beberapa hal yang penting dibicarakan dari kutipan ini
dalam kaitannya dengan awal perkembangan drama di Indonesia.
Namun sebelum itu, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa di
awal perkembangan drama tulis di Hindia Belanda, drama disebut
dengan beberapa nama, yakni lelakon, komedi, dan tooneelstuk.
Istilah drama pada masa itu belum dipergunakan secara luas, dan
komedi tidak berarti drama jenaka meskipun dalam Komedi Stambul
selalu ada anasir yang menyebabkan penonton tertawa oleh antara
lain munculnya tokoh bodor. Di negeri yang terdiri atas ratusan
kelompok etnik yang masing-masing memiliki sejumlah besar jenis
seni pertunjukan lisan, perkembangan drama tulis sudah semestinya
dikaitkan dengan keadaan tersebut. Kwee memilih Ibsen sebagai
dramawan yang diteladaninya, dan itu berarti dia memilih bentuk
realisme dalam drama. Karangan yang mengawali drama kedua yang
ditulisnya itu memang dengan tegas menyuratkan keinginannya
untuk mengungkapkan peristiwa “yang sebetulnya,” seperti yang
tertera dalam kutipan berikut ini.
Ini pengalaman membikin saya ambil putusan, kalo misti karang
lagi satu tooneelstuk, lebih baek tuturkan kaadaan yang sabetulnya,
dari pada ciptaken yang ada dalem angen-angen, yang meskipun
ada lebih menyenangken dan mempuasken pada pembaca atau
penonton, tapi palsu dan justa, bertentangan dengan kaadaan yang
bener.
Dengan pernyataan itu jelas Kwee telah meletakkan dasar
realisme yang lebih kokoh di dalam penulisan drama Indonesia,
meskipun ada drama sejenis yang ditulis sebelum Kwee menulis
drama pertamanya, Allah yang Palsu, pada 1919. Namun, pandangan
56. 56
Kalam 25 / 2013
yang disampaikan Kwee itu merupakan semacam kredo yang dengan
teguhdipegangnyadalampenulisandrama.PengaruhIbsendiakuinya,
dan itu jelas berarti ia menerima jenis drama Barat yang pada abad
ke-19 sedang berkembang, yang mengungkapkan masalah-masalah
kebobrokan sosial, terutama dalam kaitannya dengan hubungan
antara individu dan masyarakat. Drama Ibsen yang disebutnya dalam
karanganituadalahsalahsatusajadarisejumlahbesardramaIbsendan
dramawan lain di Eropa yang ditulis dan dipentaskan untuk melawan
kecenderungan Romantik yang telah sekian lama menguasai dunia
kesenian Eropa. Drama realis diciptakan untuk mencatat, kalau tidak
boleh dikatakan meniru, perubahan yang terjadi dalam kehidupan
bermaysarakat.
Namun tentu saja kita juga harus mempertimbangkan faktor
lain yang telah membantu lahirnya drama realis di Indonesia, yakni
kegiatansekelompokmasyarakatperanakanTionghoayangpadamasa
itu memerlukan bantuan kesenian untuk menunjang kelangsungan
hidup organisasi mereka. Organisasi sosial seperti Tiong Hoa Hwe
Koan tidak akan bisa hidup tanpa bantuan derma, dan di awal
karangannya dalam Allah yang Palsu Kwee menulis sebagai berikut.
Pada kira-kira sapulu taon yang lalu, bebrapa orang Tionghoa
dermawan di Pasar Baru Weltevreden telah dapet ingetan aken
adaken opera derma buat menunjang Tiong Hoa Hak Tong di
itu tempat. Ini percobaan ternyata telah berhasil bagus, kerna
pendapetan dari itu pertunjukan, kira ampir f 10.000, ada
melebihken dari pada apa yang lebih dulu orang brani harep.
Ibsen memang akhirnya menjadi pilihan Kwee, tentu bukan
karena yang dibacanya adalah drama tokoh realisme tersebut tetapi
57. 57
Kalam 25 / 2013
juga kenyataan bahwa ia muak terhadap perkembangan drama
zamannya yang dikuasi oleh sejenis teater populer yang merupakan
bagian dari tradisi lisan, antara lain kelompok yang dikenal sebagai
KomediStambul.Dengandemikiansebenarnyaadaduakekuatanyang
telah melahirkan drama realis di Indonesia, yakni pengaruh drama
realis dari Eropa dan kondisi setempat yang memerlukan jenis drama
baru yang bisa dijadikan sarana untuk mencari derma. Keadaan yang
disampaikan Kwee tersebut jelas menumbuhkan keinginan banyak
pihak untuk melakukan hal serupa, meskipun hasilnya tidak seperti
yang dillaksanakan olehnya. Catatan Kwee itu juga menunjukkan
bahwa ia bukanlah orang pertama yang menyediakan naskah drama
untuk kegiatan mengumpulkan derma. Sayang bahwa ia tidak
menyebutkan drama apa yang dipertunjukkan sehingga berhasil
membantu organisasi itu dengan uang derma begitu banyak. Bahwa
sebelum ia menulis Allah yang Palsu sudah ada beberapa naskah yang
ditulis tampak dari kutipan berikut ini.
Dalem waktu yang blakangan, cerita-cerita yang dipertunjukken
oleh opera derma Tionghoa kebanyakan sudah dikarang sendiri,
bukan dipetik dari buku. Ini membikin itu lelakon jadi banyak lebih
baek dan rapi, tapi berbareng dengen itu ada juga membawa cacat-
cacat yang baru. Sasuatu pengarang dari cerita buat opera derma
ampir semua pikir perlu musti suguken pada penonton “lelakon
yang berisi nasihat.”
Realisme dituduh hanya cenderung menggambarkan hal-hal
yang kusam, kumuh, dan kotor meskipun pada dasarnya yang menjadi
ciri utamanya adalah penggambaran secara detail. Dalam kutipan
tersebut bukan detail yang diungkapkan tetapi luapan perasan yang
58. 58
Kalam 25 / 2013
tidakbisadikendalikanpengarang,yangpadagilirannyapastimenular
ke penonton. Namun, mungkin hal itu justru bermanfaat bagi usaha
pementasan drama semacam itu, mengingat tujuan utamanya adalah
mencari derma. Orang-orang yang menonton opera derma semacam
itu tentulah bukan mereka yang telah memiliki pengetahuan yang
baik mengenai perkembangan drama modern. Dalam hal ini Kwee
berpendapat bahwa sejumlah naskah yang telah ditulis untuk opera
derma pada zaman itu sudah jauh lebih baik dari tontonan yang
disuguhkan oleh kelompok teater keliling yang disebutnya Opera
Melayu atau Opera Bangsawan. Setidaknya, menurutnya, ada
perbedaan mencolok antara lakon-lakon yang dipentaskan Opera
Melayu dan opera untuk derma, yakni bahwa dalam yang disebut
terakhir itu kita bisa menyaksikan kehidupan nyata, kehidupan yang
kita lihat sehari-hari dan bukan kisah-kisah yang diturunkan dari,
misalnya, 1001 Malam.
PerkembangandramarealisdikalanganmasyarakatTionghoa
peranakan pada masa itu antara lain dipicu oleh maraknya usaha
dari berbagai organisasi sosial seperti Tiong Hoa Hwe Koan untuk
mencari derma. Sebenarnya mereka bisa saja mengundang kelompok
opera keliling untuk maksud tersebut, tetapi karena ada rasa bosan
terhadap pertunjukan yang semakin lama semakin dirasakan bertele-
tele itu menyebabkan masyarakat menuntut jenis tontonan yang
berbeda. Mereka tidak suka lagi menyaksikan lakon yang terjadi di
negeri antah-berantah, yang tokoh-tokohnya tidak hanya manusia
biasa tetapi juga jin dan peri, yang manusia-manusianya berpakaian
indah-indah, yang segala sesuatunya tampak eksotik. Dalam opera
semacam itu yang dipentingkan bukan jalan ceritanya, yang biasanya
sudah diketahui karena diambil dari kisah-kisah populer, tetapi
59. 59
Kalam 25 / 2013
kelucuan dan nyanyiannya. Komedi Bangsawan dan Melayu selalu
menampilkan nyanyian sebagai selingan yang bisa saja kemudian
menjadi bagian yang justru lebih menarik dari pertunjukan utamanya.
Menurut Kwee sudah banyak opera derma yang ditulis, yang
ceritanya sesuai dengan kedaan sehari-hari yang kita kenal, yang
masalahnyaadalahmasalahkitasehinggapenontonbisadenganmudah
terlibat di dalamnya. Masalah utamanya adalah bahwa kebanyakan
opera derma semacam itu terlalu menonjolkan aspek edukatif. Ini
bisa dimaklumi sebab pertunjukan memang dimaksudkan untuk
mengumpulkan dana. Kwee sendiri, yang menilai kecenderungan
itu tidak sebaiknya dipertahankan, masih tetap menyisipkan nasihat
tersebut dalam drama-dramanya. Dalam Allah yang Palsu, misalnya,
sifat baik tokoh utama yang menjadi corongnya adalah Kioe Gie,
seorang yang sangat darmawan, yang dengan ikhlas merelakan
sebagian gajinya yang sangat terbatas itu untuk didermakan. Sifat
inilah yang dikecam oleh kakaknya, antagonis dalam drama ini, yang
akhirnya mengakui bahwa segala yang dikatakan adiknya selama ini
benar adanya—tentu temasuk keikhlasannya mendermakan sebagian
gajinya. Itulah mungkin sebabnya drama Kwee ini sangat disukai
oleh organisasi sosial pada masanya sebagai naskah yang pantas
dipentaskan. Salah satu sifat baik Kioe Gie yang dipertahankan sampai
akhir drama adalah kedermawanan itu, yang memang merupakan
alasan menyelenggarakan opera derma.
Dalam pengantar dramanya itu dikatakan pula antara lain
bahwa sumbangan yang bisa masuk dalam pementasan opera derma
itu bisa mencapai f10.000, jumlah yang pada masa itu sangat besar,
yang bisa dipergunakan untuk menjalankan organisasi. Dengan
demikian bisa ditentukan adanya perbedaan sebab munculnya
60. 60
Kalam 25 / 2013
penciptaan drama realis di Eropa dan Hindia Belanda. Ketika Ibsen
dan Strindberg mulai menyadari pentingnya penulisan drama realis
yang menjadi dorongan adalah penolakan terhadap kecenderungan
Romantik yang semakin kuat, yang tidak lagi bisa menampung
berbagai masalah sosial yang semakin lama semakin mendesak di
Eropa.DiEropapadamasaitu,samasekalitentusajatidakadamasalah
mengumpulkan derma bagi organisasi sosial semacam yang terjadi
di sini. Jika di Hindia Belanda waktu itu teater kita boleh dikatakan
masih sepenuhnya termasuk tradisi lisan, di Eropa Barat teater
modern sudah berkembang ratusan tahun lamanya. Kecenderungan
Romantik di Eropa Barat tampak pada naskah drama yang ditulis,
sementara di sini yang berkembang adalah seni pertunjukan lisan
yang sama sekali tidak mengandalkan adanya teks tertulis dalam
pementasan, meskipun bisa saja pementasan didasarkan pada naskah
tertulis yang tidak harus berupa teks drama.
Namun, hal itu tidak sepenuhnya bisa diterima juga sebab
dalam kenyataannya di zaman ketika Kwee menulis drama-dramanya
sejumlah naskah tertulis sudah ada, dan kebanyakan di antaranya
merupakan tiruan saja dari Komedi Bangsawan. Berbeda dari yang
dikembangkan Kwee, dalam teks-teks itu sama sekali tidak ada niat
untuk membuat deskripsi yang sangat rinci mengenai masalah,
tokoh, maupun latar peristiwa. Seperti halnya Opera Bangsawan
yang megandalkan imajinasi penonton, drama-drama yang ditulis
di masa itu memuat petunjuk pemanggungan yang sekadarnya, yang
jelas merupakan tiruan belaka dari apa yang ada di panggung Opera
Bangsawan. Latar tempat yang selalu muncul dalam drama-drama
semacam itu adalah straat ‘jalan,’ kebon, dan rumah
—sama sekali
tanpa perincian seperti yang dicantumkan dalam drama-drama realis.