Dokumen tersebut membahas faktor-faktor yang menentukan daya saing ekspor Indonesia pada tingkat makro dan mikro. Pada tingkat makro, faktor-faktor tersebut terbagi menjadi sisi permintaan dan penawaran. Sedangkan pada tingkat mikro, daya saing perusahaan ditentukan oleh keahlian SDM, modal, teknologi, organisasi, dan lingkungan bisnis. Dokumen ini juga menganalisis kinerja ekspor Indonesia yang relatif lemah d
Tahun 1920 an industry modern di Indonesia hampir semua dimiliki oleh orang asing, walau jumlahnya hanya sedikit. Indutri kecil yang ada pada masa itu berupa industry rumah tangga seperti penggilingan padi, pembuatan gula merah (tebu dan nira), rokok kretek, kerajinan tekstil, dan sebagainya tidak terkoordinasi dengan baik.
Perusahaan modern hanya ada dua, yaitu pabrik rokok milik British American Tobaco (BAT) dan perakitan kendaraan bermotor General Motor Car Assembly. Depresi ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1930an meruntuhkan perekonomian, megakibatkan menurunnya penerimaan ekspor dari 1.448 gulden menjadi 505 gulden (1929) yang mengakibatkan pengangguran. Melihat situasi tersebut pemerintah Hindia Belanda mengubah system dan pola kenijakan ekonomi dari sector perkebunan ke sector industry, dengan memberi kemudahan dalam pemberian ijin dan fasilitas bagi pendirian industry baru.
Tahun 1920 an industry modern di Indonesia hampir semua dimiliki oleh orang asing, walau jumlahnya hanya sedikit. Indutri kecil yang ada pada masa itu berupa industry rumah tangga seperti penggilingan padi, pembuatan gula merah (tebu dan nira), rokok kretek, kerajinan tekstil, dan sebagainya tidak terkoordinasi dengan baik.
Perusahaan modern hanya ada dua, yaitu pabrik rokok milik British American Tobaco (BAT) dan perakitan kendaraan bermotor General Motor Car Assembly. Depresi ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1930an meruntuhkan perekonomian, megakibatkan menurunnya penerimaan ekspor dari 1.448 gulden menjadi 505 gulden (1929) yang mengakibatkan pengangguran. Melihat situasi tersebut pemerintah Hindia Belanda mengubah system dan pola kenijakan ekonomi dari sector perkebunan ke sector industry, dengan memberi kemudahan dalam pemberian ijin dan fasilitas bagi pendirian industry baru.
This is an Ignite talk I have been giving at Config Management Camp in Ghent in February 2016 and at the CentOS dojo in brussels 3 days before. It is about how the communities could get together to build better cfgmgmt packages for cfgmgmt tools.
PERINGKAT PARALEL NILAI TRY OUT - I 2015-2016 - BAHASA INDONESIAPhaphy Wahyudhi
Ini peringkat nilai Bhasa Indonesia secara paralel mulai 9A - 9H. Lebih lengkap dan jelas bisa diklik di tautannya atau di > imamwahyudibin.blogspot.co.id
Istilah industrialisasi secara ekonomi diartikan sebagai kegiatan mengolah bahan mentah menjadi barang jadi atau barang setengah jadi, dapat pula diartikan sebagai himpunan perusahaan-perusahaan sejenis dimana kata industry dirangkai dengan kata yang menerangkan jenis industrinya. Misalnya, industry obat-obatan, industry garmen, industry perkayuan, dsb.
ORDER https://wa.me/6282186148884 , Pelita Mas adalah perusahaan yang bergerak di bidang Industri Beton dan Paving Block. Paving Untuk Taman, Pelita Mas Paving Block, Pengunci Paving, Pengunci Paving Block, Pinggiran Paving.
Temukan keindahan luar biasa dalam taman paving kami yang eksklusif. Dengan desain yang elegan dan tahan lama, taman paving kami menciptakan ruang luar yang memikat. Pilihlah kualitas terbaik untuk keindahan yang abadi. Jual taman paving, wujudkan taman impian Anda hari ini!
Kami melayani pengiriman ke area Kota Malang dan Kota Batu. Kami Juga melayani Berbagai Macam Pemesanan Genteng Beton dan Paving Block dalam jumlah Besar untuk keperluan Perumahan, Perkantoran, Villa, Gedung, Pembangunan Kampus, Masjid, dan lainnya.
Produk yang kami produksi terdiri dari :
1. Genteng Beton Multiline
2. Genteng Beton Urat Batu
3. Genteng Beton Royal
4. Genteng Beton Vertical
5. Wuwung Genteng
6. Paving ukuran 20x20, 10,5x21, Diagonal
7. Kanstin dan Topi Uskup
8. Pagar Panel
9. Paving Corso 50x50
10. Paving Grass Block Lubang
Untuk informasi lebih lanjut serta pemesanan, hubungi :
Pabrik Genteng Beton dan Paving Pelita Mas
Jl Raya Tlogowaru No 41, Tajinan, Kedungkandang, Malang
Hub kami via whatsapp
https://wa.me/6282186148884
Hub kami via whatsapp
https://wa.me/6282186148884
Lokasi Pabrik kami
https://maps.app.goo.gl/bmDrQ87yF6gQvHnf8
Jasa Cuci Sofa Terdekat Bogor Barat Bogor.PDFRajaclean
Jasa Cuci Sofa Bogor Barat Bogor, Cuci Sofa Terdekat Bogor Barat Bogor, Laundry Sofa Bogor Barat Bogor, Cuci Sofa Jakarta Bogor Barat Bogor, Cuci Sofa Kulit Bogor Barat Bogor, Cuci Sofa Panggilan Bogor Barat Bogor, Cuci Sofa Di Rumah Bogor Barat Bogor, Jasa Cuci Sofa Terdekat Bogor Barat Bogor, Cuci Sofa Fabric Bogor Barat Bogor, Laundry Sofa Terdekat Bogor Barat Bogor,
Jasa cuci sofa kini semakin diminati karena kepraktisannya. Dengan menggunakan jasa ini, Anda tidak perlu repot mencuci sofa sendiri. Profesional dalam bidang ini dilengkapi dengan peralatan modern yang mampu membersihkan sofa hingga ke serat terdalam, menghilangkan kotoran dan bakteri yang tidak terlihat.
ppt metodologi penelitian bisnis digital Al faizAlfaiz21
Perkembangan teknologi saat ini telah memasuki segala bidang atau aspek, kita diperhadapkan dengan berbagai teknologi salah satunya pada investasi atau trading secara real-time. Salah satu bidang investasi yang cukup populer saat ini adalah perdagangan valuta asing atau Foreign Exchange (Forex). Pasar Foreign Exchange (forex) adalah inter-bank atau inter-dealer yang didirikan pada tahun 4971 ketika nilai tukar mengambang (floating rate) mulai diberlakukan. Tingginya minat dan ketertarikan masyarakat dunia terhadap dunia valuta asing atau forex (foreign exchange) meningkat cukup drastis dari tahun ke tahun. Hal tersebut dapat kita lihat dari data statistik yang diolah oleh BIS (Bank for International Settlement), yang mana menunjukkan data turnover foreign exchange market dari tahun 2001 yang hanya berkisar 1.239 billion menjadi 5.067 billion di tahun 2016 (Bank of International Settlement, 2016).
Forex merupakan sebuah investasi yang tergolong high risk dan high return investment program. Sebuah investasi yang memiliki risiko tinggi, tentu timbal baliknya juga profit yang tinggi, jadi kedua sisi, baik itu profit maupun risiko ini tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Investasi menempatkan modal pada suatu perusahaan atau aset dengan harapan menghasilkan keuntungan dalam jangka waktu tertentu. Dalam berinvestasi, harapan utama investor adalah memperoleh keuntungan dari transaksi yang dilakukannya. Transaksi yang dilakukan di Pasar Forex adalah antara dua pihak yang sepakat untuk melakukan perdagangan melalui fasilitas telepon atau electronic network sehingga investor dan pihak perusahaan tidak harus bertemu secara langsung untuk bertransaksi kecuali ketika penyerahan modal. Dalam melakukan investasi tersebut setiap perusahaan umumnya akan berusaha agar perluasannya dapat berkembang sesuai dengan tujuan perusahaan yaitu untuk mendapatkan laba sebesar-besarnya untuk kelangsungan hidup perusahaan.
DAFTAR GACOR KETIK DI GOOGLE >> agensunda.com
SUNDABET Situs Slot Gacor dengan Maxwin Tertinggi Hari Ini telah menjadi salah satu situs judi slot online terpercaya selama 3 tahun terakhir bagi para pemain judi online di Indonesia.
SUNDABET Situs Slot Gacor dengan Maxwin Tertinggi Hari Ini telah menjadi salah satu situs judi slot online terpercaya selama 3 tahun terakhir bagi para pemain judi online di Indonesia. Tentunya memiliki berbagai jenis permainan Judi Online seperti Togel, Live Casino, Poker Online, Slot Online dan Judi Bola dalam 1 akun, sehingga membuat para member akan lebih nyaman dalam bermain.
SUNDABET » Daftar Akun VVIP Hanya Hari ini di Situs Slot Paling Gacor
SUNDABET » Situs Judi Online Terpercaya dengan Pilihan Slot Gacor dan Live Casino Terbaik
Slot gacor sampai hari ini masih menarik minat para pemain dikarenakan cara bermainnya sangat mudah bagi pemula, selain itu kesempatan untuk menang sangat besar. Tidak heran jika SUNDABET menjadi salah satu Situs Slot favorit bagi pecinta Judi Online.
Situs SUNDABET tentunya juga memiliki berbagai jenis permainan Judi Online seperti Togel, Live Casino, Poker Online, Slot Online dan Judi Bola dalam 1 akun, sehingga membuat para member akan lebih nyaman dalam bermain. Tentunya kami juga memberikan berbagai macam promo dan bonus yang dapat di claim setiap harinya seperti Bonus New Member, Garansi kekalahan, Cashback, Rollingan.
SUNDABET berkomitmen untuk mengesahkan taruhan yang bertanggung jawab seperti halnya mempromosikan kesadaran akan masalah judi dan meningkatkan pencegahan, intervensi dan pelayanan. Kebijakan Pertanggungjawaban Permainan SUNDABET menetapkan komitmennya untuk meminimalisir efek negatif dari masalah judi dan untuk mempromosikan praktek perjudian yang bertanggung jawab.
Kami percaya ini tanggung jawab kami untuk anda, pelanggan kami, untuk memastikan bahwa anda menikmati pengalaman bertaruh di situs kami, sementara tetap menyadari penuh terhadap kerugian sosial dan keuangan yang terkait dengan masalah perjudian.
Dalam rangka membantu pemain kami dalam pertanggunjawaban perjudian, kami memastikan bahwa semua staf kami memiliki kesadaran pertanggunjawaban perjudian. Silahkan menghubungi kami jika anda membutuhkan informasi atau bantuan lebih lanjut.
Bertaruh dibawah batas umur 18 tahun merupakan tindakan ilegal di SUNDABET. SUNDABET memiliki tanggung jawab yang serius untuk masalah ini. SUNDABET mempunyai hak untuk meminta bukti umur dari pelanggan manapun dan untuk melakukan pengecekan untuk memverifikasi informasi yang disediakan. Akun pelanggan mungkin akan ditutup untuk sementara dan dana akan ditahan sampai tersedia bukti yang memadai mengenai umur anda.
Untuk pelanggan kami yang menginginkan untuk membatasi dirinya dari berjudi, kami menyediakan fasilitas pengecualian diri yang memungkinkan pelanggan untuk menutup akunnya untuk minimum waktu 6 bulan sampai 5 tahun sesuai dengan permintaan. Silahkan hubungi Petugas Layanan Pelanggan melalui “Live Chat”
Forex, atau Foreign Exchange, adalah pasar global untuk perdagangan mata uang yang merupakan yang terbesar dan paling likuid di dunia, dengan volume perdagangan harian mencapai triliunan dolar. Pasar ini beroperasi 24 jam sehari melalui jaringan komputer global yang melibatkan bank, pialang, institusi, dan individu. Di forex, mata uang diperdagangkan berpasangan, seperti EUR/USD, dan nilai tukar mata uang ditentukan oleh permintaan dan penawaran di pasar bebas. Trader forex menggunakan analisis teknis dan fundamental untuk membuat keputusan perdagangan, serta berbagai strategi seperti day trading, swing trading, dan scalping untuk memaksimalkan keuntungan. Manajemen risiko, termasuk penggunaan stop-loss order dan diversifikasi, sangat penting dalam trading forex. Broker forex berperan sebagai perantara dan menawarkan berbagai platform trading seperti MetaTrader dan TradingView. Meskipun menawarkan peluang besar, trading forex juga memiliki risiko yang signifikan dan memerlukan edukasi serta disiplin yang baik.
studi kelayakan bisnis (desaian studi kelayakan).ppt
Kadin indonesia20120608101837
1. Advancing Indonesia's Civil Society in Trade and Investment Climate
(ACTIVE) Programme
Policy Paper 2 1
EKSPOR DAN DAYA SAING
Pendahuluan
Ekspor sangat penting bagi perekonomian Indonesia untuk dua hal, yakni sebagai
sumber utama devisa yang diperlukan terutama untuk pendanaan impor kebutuhan industri
dalam negeri (bahan baku, komponen, dan barang-barang modal serta perantara) dan
masyarakat (barang-barang jadi), dan sebagai salah satu motor penggerak pertumbuhan
ekonomi, yang berarti juga peningkatan kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan. Peran
ekspor yang sangat krusial ini disadari oleh pemerintah Indonesia sejak era Orde Baru,
walaupun pada waktu itu awalnya perhatian lebih diberikan pada pertumbuhan ekspor
komoditas-komoditas primer, khususnya minyak dan gas. Pada saat itu, tingkat diversifikasi
(pasar maupun produk) dan pendalaman ekspor nasional masih sangat lemah. Namun, sejak
berakhirnya era oil boom pada awal dekade 80-an, mulai ada perhatian terhadap
perkembangan ekspor non-primer, khususnya manufaktur, yang ditandai oleh pergeseran di
dalam strategi industrialisasi dari kebijakan substitusi impor ke kebijakan promosi ekspor.
Krisis keuangan Asia pada periode 1997-98 dan ketidakstabilan harga-harga dari sejumlah
komoditas primer di pasar internasional semakin memaksa pemerintah Indonesia untuk lebih
memfokuskan perhatian pada perkembangan ekspor manufaktur.
Namun hingga saat ini, berdasarkan laporan tahunan dari WTO dan UNCTAD,
Indonesia sebagai sebuah ekonomi besar (dalam arti kekayaan sumber daya alam dan sumber
daya manusia) masih belum mampu menjadi bagian dari sepuluh besar negara-negara
eksportir dunia. Misalnya berdasarkan data WTO (2010) China yang lebih belakangan
memulai pembangunan ekonominya menduduki posisi teratas dengan nilai total ekspornya
tercatat mencapai 1.202 miliar dollar AS atau menyumbang sekitar 9,6 persen dari nilai total
ekspor dunia, disusul kemudian oleh Jerman di posisi kedua, Amerika Serikat (AS) di posisi
ketiga, dan Jepang di posisi keempat. Sementara Indonesia berada di peringkat ke 30 dengan
nilai total ekspornya hanya 120 miliar dollar AS atau pangsa dunianya hanya 1 persen. Bahkan
di dalam kelompok ASEAN, Indonesia bukan negara eksportir terbesar. Pada tahun 2008,
misalnya, Indeks Intensitas Ekspor Indonesia 3,54, yang adalah terendah setelah Viet Nam
dengan 2,91. Sedangkan Malaysia 4,61 dan Thailand 4,04 (Widyasanti, 2010). Juga di lihat
dari diversifikasi produk-produk ekspor menurut teknologi, Indonesia masih lemah, karena
hingga saat ini produk-produk manufaktur sebagai ekspor unggulan Indonesia masih sama saja
2. Advancing Indonesia's Civil Society in Trade and Investment Climate
(ACTIVE) Programme
Policy Paper 2 2
seperti dekade-dekade sebelumnya, yakni tekstil dan pakaian jadi, produk-produk dari kulit
termasuk alas kaki, dan produk-produk dari kayu, bamboo dan rotan, termasuk meubel
(Tambunan, 2011a,b).
Kinerja Indonesia yang masih relatif buruk dalam ekspor, terutama ekspor manufaktur,
membuat banyak kalangan pesimis akan kemampuan Indonesia untuk unggul, atau bahkan
untuk dapat bertahan, di dalam era globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan dunia
saat ini dan ke depan. Rasa pesimis ini diperkuat dengan hasil simulasi dari banyak penelitian
(antara lain, Feridhanusetyawan, dkk., 2000; Feridhanusetyawan dan Pangestu, 2002;
Oktaviani, dkk., 2008) yang memang menunjukkan bahwa Indonesia adalah pihak yang
dirugikan, atau paling tidak bukan ekonomi yang paling diuntungkan dari era perdagangan
dunia tanpa hambatan. Juga penelitian-penelitian (antara lain, Pambudi dan Chandra, 2006;
Hutabarat, dkk., 2007; Tambunan dan Suparyati, 2009) mengenai keuntungan yang Indonesia
bisa dapatkan dari kesepakatan perdagangan bebas antara ASEAN dengan China (CAFTA)
tidak memberikan alasan yang kuat untuk optimis. Sekarang pertanyaannya adalah: faktor-
faktor apa saja yang selama ini menjadi penghambat utama perkembangan ekspor Indonesia,
khususnya dari sektor manufaktur? Apakah karena kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak
mendukung atau yang menciptakan distorsi pasar, atau karena faktor-faktor lainnya yang tidak
dipengaruhi langsung oleh kebijakan-kebijakan ekonomi (seperti kebijakan perdagangan,
kebijakan investasi, kebijakan industry, kebijakan pertanian, kebijakan moneter, dan kebijakan
fiskal)?
Tujuan utama dari policy paper ini adalah untuk mencoba menjawab pertanyaan
tersebut di atas yakni menganalisis faktor-faktor yang menentukan tingkat daya saing ekspor
Indonesia, dengan memberi perhatian khusus pada kebijakan perdagangan (khususnya ekspor)
dan kebijakan-kebijakan lainnya yang mempengaruhi secara tidak langsung kinerja ekspor
Indonesia.
Faktor-faktor Penentu Daya Saing dan Kinerja Ekspor
Pertumbuhan dan perkembangan (diversifikasi pasar serta produk dan pendalaman)
ekspor dipengaruhi secara bersamaan oleh banyak faktor, yang menurut sifatnya
(endogen/bisa dikontrol versus eksogen/tidak bisa dikontrol) bisa dikelompokkan ke dalam
dua kategori, yakni faktor-faktor di sisi permintaan dan faktor-faktor di sisi penawaran
(Gambar 1). Faktor-faktor di sisi permintaan bersifat eksogen bagi Indonesia, termasuk
perubahan harga di pasar internasional untuk semua produk yang Indonesia ekspor. Karena
menurut laporan tahunan dari WTO, berdasarkan sumbangannya terhadap nilai total ekspor
dunia, Indonesia hingga saat ini tidak termasuk negara-negara eksportir penting untuk hampir
semua barang dan jasa yang diperdagangkan secara internasional. Jadi dalam perdagangan
3. Advancing Indonesia's Civil Society in Trade and Investment Climate
(ACTIVE) Programme
Policy Paper 2 3
dunia, Indonesia bukan penentu harga, melainkan price taker. Pemerintah Indonesia hanya
bisa mempengaruhi harga dalam mata uang asing dari produk-produk ekspor Indonesia lewat
perubahan kurs rupiah (devaluasi atau revaluasi).
Faktor-faktor yang bersifat endogen bagi Indonesia adalah dari sisi penawaran yang
meliputi sumber daya manusia (SDM), ketersediaan/penguasaan teknologi dan kemampuan
melakukan inovasi di tingkat perusahaa, pendanaan yakni ketersediaan pinjaman dan skim-
skim pendanaan ekspor dan impor dari sektor perbankan dan lembaga keuangan lainnya,
ketersediaan bahan baku bukan hanya dalam arti jumlah tetapi juga kualitas dan harga
(walaupun untuk faktor satu ini sifat endogennya terbatas), infrastruktur dan logistik dalam
kuantitas dan kualitas, pembangunan industri-industri pendukung yang membuat komponen,
barang-barang modal dan perantara dan mengolah bahan baku (di dalam model “berlian”
mengenai konsep daya saing ekonomi dari M. Porter, industri pendukung termasuk diantara
empat pilar utama daya saing), enerji dalam kuantitas, kualitas dan harga, ketersediaan
informasi, dan kebijakan khusus ekspor.
Gambar 1: Faktor-faktor Penentu Daya Saing dan Kinerja Ekspor
di Tingkat Makro (Negara)
Sisi Pebawaran Sisi Permintaan
Ekspor Permintaan Luar Negeri (LN)
Harga LN
Jumlah penduduk
LN
Pendapatan LN
SDM: kualitas & upah
Kurs rupiah
Teknologi & kemampuan
inovasi
Pendanaan
Bahan baku/SDA
Infrastruktur & logistik
Industri pendukung
Enerji
Informasi
Kebijakan/kesepakatan
internasional/regional/
bilateral
Kebijakan/peraturan
pemerintah
Kebijakan ekspor-impor
Kebijakan sektoral
4. Advancing Indonesia's Civil Society in Trade and Investment Climate
(ACTIVE) Programme
Policy Paper 2 4
Yang membuat faktor-faktor di sisi penawaran ini semakin kompleks dari sudut
pandang kebijakan pemerintah adalah bahwa masing-masing dari faktor-faktor tersebut
mewakili sektor masing-masing, dan ini berarti berbagai kebijakan sektoral secara tidak
langsung juga berpengaruh terhadap tingkat daya saing dan kinerja ekspor. Misalnya dalam
hal SDM: kebijakan dari Kementerian Pendidikan turut serta mempengaruhi ketersediaan
pekerja-pekerja terampil siap pakai bagi perusahaan-perusahaan eksportir. Demikian juga, UU
Perburuhan sangat mempengaruhi kondisi pasar tenaga kerja di Indonesia yang berarti juga
daya saing perusahaan-perusahaan eksportir, khususnya yang padat karya, seperti industri
tekstil dan pakaian jadi dan industri alas kaki. Demikian juga kebijakan moneter, misalnya
dalam penentuan suku bunga pinjaman atau nilai tukar rupiah, sangat berpengaruh terhadap
kegiatan ekspor. Tingkat suku bunga yang terlalu tinggi membuat biaya produksi meningkat
yang berarti mengurangi daya saing harga dari ekspor Indonesia, yang selanjutnya
menurunkan permintaan dunia terhadap ekspor Indonesia. Nilai tukar rupiah yang terlalu
tinggi juga membuat daya saing harga dari ekspor Indonesia menurun relatif dibandingkan
harga dari produk yang sama buatan negara lain.
GAMBAR 2: DAYA SAING PRODUK DAN FAKTOR-FAKTOR UTAMA
PENENTUNYA DI TINGKAT PERUSAHAAN
Daya Saing Produk
Daya Saing Perusahaan
Faktor-faktor Penentu Daya Saing Perusahaan
Keahlian Pekerja
Keahlian
pengusaha
Ketersediaan
modal
Ketersediaan
teknologi
Ketersediaan
informasi
Ketersediaan
input lainnya
Organisasi dan
manajemen yang
baik
5. Advancing Indonesia's Civil Society in Trade and Investment Climate
(ACTIVE) Programme
Policy Paper 2 5
Selain dibedakan menurut sifatnya seperti yang diuraikan di atas tersebut, faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat daya saing dan kinerja ekspor bisa juga dibedakan menurut tingkatnya,
yakni pada tingkat makro dan tingkat mikro. Di tingkat makro adalah yang telah dibahas
tersebut di atas, yakni faktor-faktor di sisi permintaan dan sisi penawaran yang mempengaruhi
daya saing dan kinerja ekspor nasional secara keseluruhan. Sedangkan di tingkat mikro adalah
mengenai daya saing ekspor dari sebuah perusahaan secara individu. Tingkat daya saing
sebuah perusahaan tercerminkan dari tingkat daya saing dari produk yang dihasilkan oleh
perusahaan tersebut. Dalam gilirannya, daya saing dari perusahaan tersebut ditentukan oleh
banyak faktor, tujuh diantaranya yang sangat penting adalah: keahlian atau tingkat pendidikan
pekerja, keahlian pengusaha, ketersediaan modal, sistem organisasi dan manajemen yang baik
(sesuai kebutuhan bisnis), ketersediaan teknologi, ketersediaan informasi, dan ketersediaan
input-input lainnya seperti enerji, bahan baku, dan lainnya (Gambar 2).
Dua faktor pertama tersebut adalah aspek SDM, yang mana, keahlian pekerja tidak
hanya dalam teknik produksi (antara lan disain produk dan proses produksi), tetapi juga teknik
pemasaran dan dalam penelitian dan pengembangan (R&D). Sedang keahlian pengusaha
terutama adalah wawasan bisnis, dan yang dimaksud di sini adalah wawasan mengenai
bisnisnya dan juga lingkungan eksternalnya (antara lain perkembangan saat ini dan ke depan
dari pasar ekspor yang dilayani dan juga dari pasar-pasar ekspor lainnya yang belum dilayani,
kondisi persaingan (termasuk calon-calon pesaing yang akan muncul), dan segala macam
peraturan pemerintah atau dunia (seperti dalam konteks World Trade Organisation (WTO)
dalam perdagangan internasional) mengenai perdagangan, produksi dan investasi di bidang
bisnisnya. Sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan eksternalnya adalah kebijakan-
kebijakan ekonomi umum seperti kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dan kebijakan
perdagangan luar negeri, kecenderungan dari perubahan selera masyarakat, perubahan sosial-
budaya yang bisa mempengaruhi dalam jangka panjang permintaan atau persepsi pembeli
(masyarakat) terhadap produknya, dan lain-lain). Wawasan pengusaha yang luas juga sangat
penting bagi inovasi, dan bukan lagi rahasia umum bahwa inovasi merupakan kunci utama
daya saing. Bahkan banyak literatur menyatakan bahwa banyak faktor yang menentukan
kemampuan perusahaan melakukan inovasi, diantaranya adalah kreativitas pengusaha, dan
yang terakhir ini, pada gilirannya, ditentukan oleh wawasannya mengenai bisnis yang
ditekuninnya (Shahid, 2007).
Kondisi Perkembangan Ekspor Indonesia: Beberapa Catatan
6. Advancing Indonesia's Civil Society in Trade and Investment Climate
(ACTIVE) Programme
Policy Paper 2 6
Badan Pusat Statistik pada bulan September 2011 mengumumkan ekspor non-migas
pada bulan Juli 2011 tercatat sebanyak 13,26 miliar dollar AS, turun 7,93 persen dibandingkan
Juni 2011, namun meningkat jika dibandingkan dengan nilai ekspor bulan Juli 2010. Namun
kenaikkan tersebut lebih disebabkan oleh kenaikkan harga di pasar internasional, bukan
penambahan volume permintaan dunia terhadap ekspor Indonesia.
Nilai Ekspor Indonesia Tahun 2010 – 2011
(Miliar $US)
Sumber: BPS, 2010-2011
Menurut BPS, dalam kurun waktu 2006-2010 peningkatan volume ekspor non-migas
Indonesia hanya 46,4 persen, lebih rendah dibandingkan dengan peningkatan dari sisi nilai
yang tercatat mencapai sekitar 56,5 persen (Kompas, Ekonomi, Rabu, 7 September 2011,
halaman 17). Jadi sebenarnya ada masalah di sisi suplai dari ekspor Indonesia, yakni masih
banyaknya faktor yang menghambat laju peningkatan volume ekspor non-migas nasional.
7. Advancing Indonesia's Civil Society in Trade and Investment Climate
(ACTIVE) Programme
Policy Paper 2 7
Volume Ekspor Indonesia Tahun 2010 – 2011
(Juta ton)
Sumber: www.bps.go.id [20-01-2012] diolah
Hasil pendugaan dengan metode OLS (model double log) menunjukkan bahwa ekspor (x)
Indonesia sangat dipengaruhi oleh harga ekspor (p) dan nilai tukar (exchange rate, e),
signifikan pada taraf kepercayaan 95%. Secara ekonomi terlihat bahwa respon perubahan nilai
tukar terhadap perubahan ekspor Indonesia adalah elastis. Sistem perdagangan Indonesia
sebaiknya diberikan suatu mitigasi ekspor, karena krisis Eropa telah mulai terlihat dampaknya
pada sektor keuangan. September tahun 2011 lalu, sektor keuangan Indonesia mengalami
tekanan sehingga nilai tukar rupiah cenderung melemah terus terhadap mata uang dollar AS,
sehingga pada akhirnya akan berdampak pada penurunan kinerja ekspor Indonesia.
kepx 052.0252.2716.0420.41ˆ −−+= R2
= 0.774; Adj R2
= 0.752
(1.543) (-7.161) (-0.383)
Sedangkan kebijakan pelarangan ekspor (k), secara statistik tidak berbeda nyata dengan nol,
tetapi secara ekonomi menurunkan ekspor. Kebijakan pelarangan ekspor untuk row-material
secara ekonomi menurunkan nilai ekspor Indonesia. Hal ini ditandai dengan beberapa
peraturan Menteri seperti Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengeluarkan
Peraturan Menteri No: 07 Tahun 2012 terkait peningkatan nilai tambah mineral dan larangan
untuk mengekspor produk-produk pertambangan jenis tertentu dalam kondisi mentah (raw
8. Advancing Indonesia's Civil Society in Trade and Investment Climate
(ACTIVE) Programme
Policy Paper 2 8
material). Produk pertambangan tertentu dalam kondisi mentah tidak boleh diekspor atau
dijual keluar negeri, yang diharapkan akan dapat menguntungkan bagi daerah dan Negara.
Peraturan tersebut mewajibkan setiap jenis komoditas tambang mineral logam dan bukan
logam tertentu wajib diolah atau dimurnikan, yang merupakan turunan dari Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara.
Kasus lainnya adalah Peraturan Menteri Perdagangan RI No: 36/M-DAG/PER/8/2009,
tentang Ketentuan Ekspor Rotan, dimaan Pasal (1) ayat (2) menyebutkan bahwa (a) Rotan
Asalan; (b) Rotan W/S dari jenis rotan Taman/Sega dan Irit yang diameternya dibawah 4 mm
dan diatas 16 mm; dan (c) Rotan W/S bukan dari jenis rotan Taman/Sega dan Irit, dilarang
untuk diekspor. Tentu saja hal ini bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah produk, namun
demikian pemerintah harusnya memberikan kelonggaran terkait dengan pelaranagan ekspor
raw material tersebut, karena selain sumberdaya manusia, modal, kita juga harus menyiapkan
teknologi industri kita dalam rangka untuk mencapai tujuan peningkatan nilai tambah tersebut.
Permasalahan Ekspor Indonesia
Secara umum beberapa hal yang menjadi permasalahan baru dan klasik bagi perkembangan
kinerja ekspor Indonesia, beriku ini adalah uraiannya
Tingkat Diversifikasi yang Rendah
Indonesia masih sangat lemah dalam diversifikasi produk maupun pasar, padahal ini
merupakan salah satu syarat untuk bisa unggul dalam persaingan di pasar dunia yang semakin
ketat. Konsentrasi pasar ekspor non-migas nasional hingga saat ini masih yang itu-itu saja;
demikian juga ekspor Indonesia masih terkonsentrasi di sejumlah komoditas tertentu yang
relatif sama seperti beberapa dekade yang lalu. Hingga saat ini negara-negara tujuan utama
ekspor non-migas Indonesia masih yang sama juga seperti Jepang, China, Amerika Serikat
(AS), dan India. Misalnya, dari tahun 2006 hingga 2010, Jepang masih diperingkat pertama
sebagai pasar utama ekspor non-migas Indonesia, yang nilainya naik dari 12.199 juta dollar
AS ke 16.497 juta dollar; sedangkan pada tahun 2011 China mengambil posisi Jepang menjadi
peringkat pertama dengan nilai 17.136 juta dollar AS. Pada tahun 2006, AS di posisi kedua
dengan nilai 10.683 juta dollar AS dan pada tahun 2011 turun ke posisi ketiga dengan nilai
13.223 juta dollar AS (Kompas, Ekonomi, Sabtu, 4 Januari 2012, halaman 18). Hingga saat ini
belum ada peningkatan yang berarti dari ekspor non-migas Indonesia ke pasar lain seperti
Eropa, Timur Tengah, Afrika dan Amerika Latin.
Hasil penelitian dari Basri dan Rahardja yang dikutip oleh harian Kompas (Opini,
Selasa, 27 Juli 2010, halaman 7) menunjukkan bahwa indeks konsentrasi ekspor Indonesia
(Herfindahl index) mengalami peningkatan sejak tahun 2003. Ekspor Indonesia masih
9. Advancing Indonesia's Civil Society in Trade and Investment Climate
(ACTIVE) Programme
Policy Paper 2 9
terkonsetrasi pada komoditas-komoditas primer. Mereka menyimpulkan bahwa ada tiga
penyebab utama pola ekspor nasional seperti ini, yakni apresiasi riil dari nilai tular rupiah
yang membuat daya saing harga dari ekspor manufaktur Indonesia relatif rendah; kurang
inovasi (yang diantaranya kurang dukungan dari perguruan tinggi dan lembaga-lembaga
R&D), dan masalah pendanaan ekspor.
Ekspor manufaktur Indonesia juga masih didominasi (sekitar 34 persen) oleh mesin
dan peralatan listrik, karet, pakaian jadi, serta minyak hewan/nabati. Sementara produk-
produk andalan Indonesia tersebut di pasar dunia kian mendapat pesaing yang semakin kuat
dari sejumlah negara lain seperti China, Viet Nam dan India. Sejak tahun 2009, Viet Nam
mulai menjadi pesaing ketat Indonesia dalam perdagangan pakaian jadi di pasar internasional.
Bahkan, Viet Nam lebih maju dalam diversifikasi pasar, yakni mulai menjual ke pasar di luar
Asia dan Amerika. Menurut Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), pangsa Viet Nam di impor
Uni Eropa (UE) untuk pakaian jadi sekitar 1,26 persen dengan nilai 3,6 miliar euro, sedangkan
pangsa Indonesia 1,21 persen dengan nilai 3,46 miliar euro (Kompas, Ekonomi, Rabu, 7
September 2011, halaman 17).
Seperti telah dikatakan sebelumnya, ekspor Indonesia masih terkonsentrasi di
komoditas-komoditas primer, termasuk pertanian. Namun demikian, Indonesia semakin
tergeser dalam bersaing dengan negara-negara yang juga menghasilkan dan mengekspor
komoditas-komoditas pertanian yang sama. Menurut Rina Oktaviani (Kompas, Ekonomi,
Senin, 31 Oktober 2011, halaman 19), daya saing ekspor Indonesia, termasuk pertanian
semakin memburuk, dan Indonesia belum bisa memanfaatkan secara optimal adanya area
perdagangan bebas (FTA) termasuk ASEAN dengan China. Menurutnya, kendala-kendala
yang dihadapi Indonesia dalam meningkatkan daya saing ekspornya adalah diantaranya
mencakup buruknya infrastruktur fisik (kualitas maupun volume), kurangnya pasokan energi,
ekonomi biaya tinggi di jalur distribusi, biaya pelabuhan yang besar, masalah
kelembagaan/birokrasi yang masih kurang efisien, manajemen rantai pasok produk pertanian
ekspor yang masih lemah, terbatasnya akses ke informasi, besarnya biaya peningkatan standar
mutu, dan terbatasnya akses ke kerdit bank dan sumber-sumber pendanaan lainnya.
Tekstil dan produk-produknya, termasuk pakaian jadi (TPT) merupakan salah satu
ekspor tradisional Indonesia dari sektor manufaktur. Dengan pengalaman yang panjang dalam
industri dan ekspor TPT, sebenarnya sekarang ini Indonesia harus menjadi salah satu eksportir
besar TPT di dunia. Namun, sekarang ini Indonesia cenderung semakin tergeser oleh
pendatang-pendatang baru di pasar internasional. Salah satu kendala serius yang dihadapi oleh
industri TPT nasional yang sebenarnya sudah klasik adalah kondisi mesin yang sudah tua yang
tidak bisa diharapkan bisa menghasilkan TPT dengan efisien dan berdaya saing tinggi.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Benny Soetrisno, sulitnya
mendapatkan pendanaan dari bank dan sumber-sumber formal pendanaan lainnya merupakan
10. Advancing Indonesia's Civil Society in Trade and Investment Climate
(ACTIVE) Programme
Policy Paper 2 10
salah satu (kalau bukan utama) penyebnya. Berdasarkan data dari The Japan Textiles
Importers Association (Kompas, Bisnis & Keuangan, Selasa, 24 Februari 2009, halaman 18),
dari total TPT yang diekspor ASEAN ke Jepang pada tahun 2008, nilai dari Indonesia tercatat
sebanyak 135 juta dollar AS, sedangkan dari Myanmar, negara anggota yang jauh lebih kecil
dan tingkat kemajuan ekonominya jauh lebih rendah dibandingkan dengan Indonesia, tercatat
sebanyak 133 juta dollar AS, Thailand 240 juta dollar AS, dan Viet Nam sangat tinggi
mencapai 838 juta dollar AS.
Keterbatasan Informasi
Masalah lainnya yang juga sering disebut-sebut di media masa maupun seminar-
seminar akademi adalah keterbatasan informasi, baik mengenai kondisi dan potensi pasar
ekspor dan pasar input, maupun mengenai kebijakan-kebijakan atau peraturan-peraturan
pemerintah dan kesepakatan-kesepakatan di tingkat regional (misalnya di dalam konteks
ASEAN dan APEC) maupun internasional (misalnya WTO) mengenai perdagangan dan
investasi antar negara. Belakangan ini salah satu perubahan di dalam negeri yang sering
mengganggu kelancaran ekspor dan impor adalah perubahan kode komoditas. Dalam rangka
mengharmonisasikan sistem pencatatan komoditas ekspor dan impor (HS) untuk memberikan
keseragaman dalam penggolongan barang untuk penetapan tarif kepabeanan secara global, dan
untuk menjembatani perbedaan sistem klasifikasi tarif antarnegara , serta untuk memudahkan
pengumpulan, pembuatan, dan analisis statistik perdagangan, saat ini sekitar 30 persen (atau
sekitar 25.000) kode komoditas telah berubah, yang mengacu pada buku tarif kepabeanan
terbaru yakni tahun 2012 (Kompas, Ekonomi, Kamis, 16 Februari 2012). Perubahan kode ini
tentu adalah sesuatu yang positif. Hanya saja masalahnya, informasi mengenai perubahan
kode tersebut tidak sampai ke semua eksportir dan importir, sehingga membuat dokumen
ekspor-impor banyak yang ditolak oleh pihak bea cukai karena salah menyebutkan kode HS.
Dampak selanjutnya adalah tertahannya banyak barang dipelabuhan yang jelas merugikan
pelaku bisnis bersangkutan. Juga perubahan tersebut menyulitkan banyak pengusaha yang
pemahaman analis berbeda baik antar individu pelaku usaha maupun antara pengusaha dan
pihak bea cukai.
Implementasi FTZ dan KEK yang Belum Optimal
Implementasi kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas (FTZ), khususnya di pulau
Batam, termasuk Bintan dan Karimun (atau BBK), yang sudah berjalan sejak awal April 2009
lalu, masih belum optimal. Bahkan banyak pengusaha, khususnya pelaku industri dan
eksportir menilai bahwa regulasi pabean di BBK sangat rumit dan justru mempersulit atau
memperlambat kelancaran usaha mereka. Banyak peraturan pemerintah, khususnya yang
11. Advancing Indonesia's Civil Society in Trade and Investment Climate
(ACTIVE) Programme
Policy Paper 2 11
dikeluarkan oleh Menteri Keuangan, yang maksud baik, namun di lapangan sering terjadi
”kesemerawutan” akibat dua hal utama, yakni: tidak adanya koordinasi yang baik dari semua
dinas pemerintah daerah terkait, dan kurangnya sosialisasi semua peraturan mengenai
penerapan FTZ di BBK. Misalnya, Peraturan Pemerintah (PP) No.2/2009 yang mengatur
barang-barang apa saja yang boleh masuk ke BBK dari luar wilayah yang bebas bea.
Maksudnya baik agar tidak terjadi penyalah-gunaan fasilitas bebas bea tersebut untuk barang-
barang yang bukan input bagi kegiatan industri di BBK. Namun menurut PP tersebut, setiap
importir membuat sebuah daftar jenis-jenis barang dan volumnya yang akan diimpor selama
satu tahun ke depan. Hal ini ternyata menyulitkan banyak industri khususnya industri-industri
yang inputnya sangat beragam hingga 12 digit nomor kode HS. Misalnya perusahaan-
perusahaan elektronik harus membeli dari luar wilayah mulai dari kabel, sekrup, hingga sirkuit
terpadu (Kompas, Bisnis & Keuangan, 1 Juni 2009, halaman 21).
Pelaksanaan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di dalam negeri yang telah di tetapkan
di hampir semua provinsi juga belum optimal. Secara potensial, pelaksanaan KEK yang
optimal sangat membantu kemajuan ekspor Indonesia. Namun, disahkannya Undang-Undang
KEK pada 14 September 2009 lalu tidak serta-merta membuat Indonesia menjadi salah satu
negara favorit tujuan penanaman modal asing (PMA). Salah satunya adalah Indonesia masih
terbelakang dalam membangun KEK dibandingkan negara-negara lain yang juga memiliki
KEK, khususnya China, yang sudah merintis konsep KEK sejak dekade 70-an. Masalah serius
yang dihadapi oleh Indonesia dalam pelaksanaan KEK adalah yang terkait dengan
pembebasan lahan. Padahal salah satu fasilitas penting yang membedakan antara KEK dengan
wilayah non-KEK adalah kemudahan memperoleh hak atas tanah. Selain itu, keterbatasan
infrastruktur, bukan di dalam KEK namun di luar sekitar KEK, yang penting untuk
menghubungi KEK dengan sumber-sumber pasokan bahan baku dan pelabuhan-pelabuhan
utama yang melayani perdagangan internasional (Kompas, Bisnis & Keuangan, Rabu, 30
September 2009, halaman 21).
Kondisi Infrastruktur dan Logistik yang Buruk.
Sudah banyak diskusi dan laporan yang menunjukkan bahwa Indonesia merupakan
salah satu ekonomi yang buruk dalam hal infrastruktur dan logistik. Hasil survei tahunan
mengenai daya saing global dari negara-negara di dunia dari World Economic Forum (WEF)
menunjukkan bahwa untuk periode 2011-2012, Indonesia berada di posisi ke 76 dari 142
negara yang disurvei. Berdasarkan opini para pimpinan perusahaan yang disurvei,
keterbatasan infrastruktur (dalam arti volume dan kualitas) merupakan kendala utama bagi
hampir 10 persen dari jumlah responden (85 pengusaha/manajer/ceo). Sangat mungkin sekali
bahwa buruknya infrastruktur dan mahalnya logistik selama ini sebagai salah satu penyebab
12. Advancing Indonesia's Civil Society in Trade and Investment Climate
(ACTIVE) Programme
Policy Paper 2 12
utama rendahnya daya saing dan kinerja ekspor non-migas (khususnya manufaktur) Indonesia.
Menurut laporan di Harian Kompas (Ekonomi, Kamis 2 Februari 2012), sebesar 14,08 persen
dari harga jual bertumpu pada beban biaya logistik, dan sekitar 66,8 persen adalah biaya
transportasi, mulai dari angkut barang dari gudang hingga distribusi, dan besarnya beban biaya
ini terutama karena kombinasi antara keterbatasan jalan raya dan fasilitas angkutan.
Ketergantungan pada Impor Bahan Baku dan Komponen yang Tinggi
Salah satu yang membuat Indonesia tidak bisa menikmati secara penuh hasil ekspor
selama ini adalah besarnya ketergantungan pada impor bahan baku yang telah diolah,
komponen, barang modal dan alat produksi. Satu bukti nyata adalah pada saat krisis keuangan
Asia 1997/98. Secara teori, depresiasi rupiah yang sejak Agustus 1997 hingga Mei 1998 sudah
melebihi 500 persen bisa membuat ekspor Indonesia meningkat secara signifikan. Tentu teori
ini berlaku dengan asumsi bahwa faktor-faktor penentu ekspor lainnya mendukung. Namun
fakta menunjukkan bahwa pada saat rupiah jatuh selama periode tersebut, ekspor Indonesia
tidak mengalami peningkatan yang pesat, terutama manufaktur, dan hal ini disebabkan oleh
kandungan impor yang sangat tinggi dari semua ekspor manufaktur Indonesia. Penyebab
utama tingginya ketergantungan ekspor non-migas Indonesia pada impor adalah masih sangat
lemahnya industry-industri pendukung di dalam negeri yang membuat komponen, mesin-
mesin, alat-alat produksi dan bahan-bahan baku siap pakai.
Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan
Diversifikasi ekspor baik produk maupun pasar tujuan harus terus diupayakan untuk
mengurangi kerentanan ekspor Indonesia terhadap gejolak-gejoka ekonomi regional (seperti
kelesuhan ekonomi di zona euro dan di AS) dan terhadap ketidakstabilan harga-harga
komoditas primer di pasar internasional. Dukungan pemerintah terhadap upaya diversifikasi
ekspor bisa dalam berbagai bentuk, termasuk stabilisasi nilai tukar rupiah (khususnya
mencegah apresiasi riil rupiah yang terlalu besar yang menurunkan daya saing harga dari
ekspor manufaktur Indonesia), stabilitas harga, dukungan dana dengan suku bunga murah
terutama untuk peningkatan produksi dan inovasi, insentif untuk menstimulasi kerjasama
antara universitas dan lembaga R&D dengan perusahaan-perusahaan eksportir, bantuan
promosi untuk tujuan pasar-pasar baru (dukungan aktif dari perwakilan Indonesia/KBRI di
negara-negara tujuan ekspor sangat diperlukan), keamanan dan kepastian hukum, dan
perlindungan hak cipta.
Faktor-faktor yang selama ini menghambat kelancaran ekspor dan upaya peningkatan
daya saing produk ekspor Indonesia harus dihilangkan, seperti buruknya infrastruktur,
keterbatasan fasilitas transportasi berkualitas tinggi dan efisien, tingginya biaya logistik,
13. Advancing Indonesia's Civil Society in Trade and Investment Climate
(ACTIVE) Programme
Policy Paper 2 13
kelembagaan dan birokrasi pemerintah yang masih belum efisien, jalur dan sistem disribusi
yang menimbukan ekonomi biaya tinggi, pasokan energi yang sering terganggu, manajemen
rantai pasok produk pertanian ekspor yang masih lemah, terbatasnya akses ke informasi,
besarnya biaya peningkatan standar mutu, dan keterbatasan pendanaan dari perbankan.
Upaya sosialisasi kepada semua eksportir dan usaha-usaha terkait dari semua
kesepakatan perdagangan bebas pemerintah Indonesia dengan negara-negara lain seperti di
dalam konteks AFTA dan APEC, maupun kesepakatan-kesepakatan di dalam WTO, dan
kebijakan-kebijakan lainnya yang mempengaruhi ekspor secara langsung maupun tidak
langsung seperti harmonisasi sistem pencatatan komoditas ekspor dan impor (HS) perlu
ditingkatkan lewat semua mode media yang ada, seperti surat kabar, televisi, radio, majalah,
surat edaran, website resmi, dan lainnya. Implementasi FTZ dan KEK perlu dioptimalkan.
Segala rintangan yang menghambat kelancaran pelaksanaan FTZ dan KEK seperti pasokan
energi yang sering teranggu, infrastruktur yang belum mencukupi, dan regulasi pabean yang
masih rumit perlu segera dihilangkan.
Perlu keseriusan dalam membangun industri-industri pendukung ekspor untuk
mengurangi ketergantungan industri-industri ekspor terhadap impor bahan baku siap pakai dan
komponen. Pembangunan industri-industri pendukung harus menjadi salah satu komponen
penting dari kebijakan promosi ekspor.
Perlu kebijakan promosi ekspor dengan pendekatan ”cluster”, yang mana terjalin
kerjasama yang erat antar semua pihak terkait yakni perusahaan eksportir, perusahaan
importir, bank dan lembaga keuangan lainnya, departemen pemerintah, distributor, lembaga
promosi, media, universitas dan lembaga R&D, Kadin, asosiasi bisnis, pemasok bahan baku,
energi dan input lainnya, penyedia transportasi, dan industri pendukung, dan lainnya
Usaha kecil dan menengah yang mempunyai potensi besar sebagai eksportir perlu
mendapatkan perhatian khusus, antara lain memperbesar akses mereka ke fasilitas-fasilitas
perdagangan, informasi (termasuk penggunaan teknologi informasi dan kounikasi),
pendanaan, bahan baku, dan sumber-sumber inovasi (seperti kerjasama dalam R&D dengan
universitas dan lembaga R&D), dan bantuan kegiatan promosi.
Kebijakan-kebijakan atau peraturan-peraturan yang bersifat ”dadakan” dan inkonsisten
yang berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap kelancaran kegiatan
ekspor dan daya saing ekspor Indonesia perlu dihilangkan.
Dalam rangka mengantisipasi dilaksanakannya peraturan tentang larangan ekspor raw
material, sebaiknya pemerintah melakukan sosisalisasi kepada setiap industri terkait, agara
perusahaan dalam hal ini dapat mempersiapkan diri, sehingga nilai ekspor dan tentu saja nilai
tambah produk menjadi lebih besar. Karena persiapan tersebut membutuhkan waktu yang
tidak singkat, maka disarakan kepada pemerintah untuk dapat memberikan kelonggaran waktu
untuk beberapa jenis pengolahan produk tertentu.
14. Advancing Indonesia's Civil Society in Trade and Investment Climate
(ACTIVE) Programme
Policy Paper 2 14
Daftar Pustaka
Feridhanusetyawan, Tubagus dan Mari Pangestu (2002), ‘Indonesian Trade Liberalization:
Estimating the Gains’, Working Paper 02.02, November, Adelaide: CIES, University
of Adelaide,
Feridhanusetyawan, Tubagus; Mari Pangestu; dan Erwidodo (2000), ‘Effects of AFTA and
APEC Trade Policy Reforms on Indonesian Agriculture’, Working Paper 00.01,
Oktober, Adelaide: CIES, University of Adelaide,
Hutabarat, Budiman, M. Husein Sawit, Saktyanu K.D., Helena J. Purba, Wahida dan Sri
Nuryanti (2007), ‘Analisis Kesepakatan Perdagangan Bebas Indonesia-China dan
Kerjasama AFTA serta Dampaknya Terhadap Perdagangan Komoditas Pertanian
Indonesia, Laporan Akhir dari Penelitian TA 2007, Bogor: Pusat Analisa Kebijakan
Pertanian dan Ekonomi-Sosial, dan Lembaga Penelitian, Departemen Pertanian,
Jakarta.
Oktaviani, Rina, Eka Puspitawati, dan Haryadi (2008), ‘Impacts of ASEAN Agricultural
Trade Liberalization on ASEAN-6 Economies and Income Distribution in Indonesia’,
Asia-Pacific Research and Training Network on Trade Working Paper Series, No. 51,
Januari, Bangkok: UN-ESCAP.
Pambudi, Daniel dan Alexander C. Chandra (2006), Dampak Kesepakatan Perdagangan Bebas
Bilateral ASEAN-China terhadap Perekonomian Indnesia, Jakarta: Institute for Global
Justice.
Shahid, Yusuf (2007), “From Creativity to Innovation”, Policy Research Working Paper 4262,
Juni, Development Research Group, Washington, D.C.: World Bank.
Tambunan, Tulus T.H. (2011a), “Indonesian Export and Competitiveness”, Bahan Kuliah
Kelas Unggulan, FE-Trisakti, Mei, Jakarta: Center for Industry, SME and Business
Competition Studies, USAKTI
Tambunan, Tulus T.H. (2011b), Perekonomian Indonesia. Kajian Teoretis dan Analisis
Empiris, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Tambunan, Tulus T.H. dan Agustina Suparyati (2009), “ASEAN-China Trade Liberalization
Effect on Indonesian Agricultural Production and Trade”, Policy Discussion Paper
Series, No. 3/07/09, Center for Industry, SME & Business Competition Studies,
University of Trisakti, Jakarta.
Widyasanti, Amalia Adininggar (2010), “Do Regional Trade Areas Improve Export
Competitiveness? – A Case of Indonesia”, Bulletin of Monetary, Economics and
Banking, Juli.
WTO (2010), World Trade Report 2010. Trade in Natural Resources, Geneva: World Trade
Organization.