ISIS memiliki propaganda yang lebih canggih daripada gerakan teroris sebelumnya, menggunakan video, media sosial, dan majalah daring untuk merekrut pendukung. Meski Indonesia berhasil mencegah serangan teroris, ISIS mampu menarik lebih banyak pemuda Indonesia dibanding konflik Afghanistan, menantang upaya pencegahan ekstremisme kekerasan.
Artikel ini ingin melacak dampak polarisasi politik pasca pemilu yang cukup kuat dalam wacana Covid-19. Pentingnya melacak perbincangan tentang Covid-19 adalah untuk melihat dampak distraksi kebijakan pemerintah dalam penanganan Covid-19. Penelitian ini menggunakan social network analisis dan social network actor dalam perbicangan di media sosial Twitter. Dengan mengidentifikasi trending topic yang terkait selama 4 bulan, maka dilakukan crawling data dengan pemograman Phyton, kemudian dilakukan analisis kumulatif teks melalui library phyton sastrawi dan visualisasi analisis SNA dengan Gephi. Temuan penelitian ini memetakan setidaknya ada dua kutub kluster besar yang berseberangan, pertama adalah kutub kluster populis pluralis dan kutub kluster populis islam. Temuannya menunjukkan bahwa wacana kebijakan Covid-19 justru menjadi ajang bagi perang sentimen masing-masing kubu, yang ternyata didominasi oleh buzzer dan sebagian kecil influencer. Sebaliknya, suara kelompok kritis dan rasional malah tenggelam oleh gaung dari para buzzer yang cenderung memiliki sentimen negatif.
Isu ISIS seperti dijadikan pengalihan isu dari isu pilpres. Hal ini terlihat dari pola pemberitaan ISIS di media yang baru meningkat pada awal Agustus 2014 atau disaat isu pilpres sedang menjadi isu utama di media. Padahal isu ISIS ini sudah ada sejak awal Juli 2014, namun tidak begitu banyak diberitakan.
Pemerintah dalam hal ini BNPT terlihat berhasil membangun persepsi bahwa keberadaan ISIS adalah kelompok terorisme baru di Indonesia, sehingga banyak pihak yang menolak ISIS dan Polri langsung menindak pihak-pihak yang menyatakan mendukung ISIS. Pendukung ISIS di Indonesia dianggap sebagai teroris di Indonesia.
ISIS di Indonesia lebih banyak diasosiasikan dengan Jamaah Ansharud Tauhid (JAT) yang dipimpin oleh Abu Bakar Ba’asyir sehingga hal ini membuat para pendukung ISIS dianggap sebagai kelompok radikal di Indonesia.
Uyghurs - Narasi Kontra Radikalisme dan TerorismeIsmail Fahmi
Timeline konflik Uyghur di Xinjiang menunjukkan kompleksitas masalah dengan adanya pemberontakan, migrasi etnis Han ke Xinjiang, dan kamp reedukasi masal yang saat ini menahan lebih dari 1 juta Uyghur. Laporan Wall Street Journal menyinggung diamnya organisasi Islam Indonesia atas penindasan Uyghur, sementara netizen mendukung tindakan Muhammadiyah yang menyangkal tuduhan tersebut. Diskusi terkini di media sosial fokus pada peran
Presentasi Kelompok 1 : Islamic state in iraq and syamAnin Rodahad
1. Gerakan ISIS menimbulkan reaksi penolakan karena menggunakan kekerasan dan ingin meruntuhkan negara yang sudah berdiri.
2. Mahasiswa di Bantul melakukan aksi damai menolak ISIS untuk mencegah perkembangan ideologi radikal yang bertentangan dengan Pancasila.
3. Masyarakat perlu waspada terhadap ISIS dan bekerja sama mencegah penyebaran ideologi mereka di Indonesia.
Konflik Israel-Palestina diperburuk oleh serangan militer Israel terhadap Hamas di Jalur Gaza. Israel melakukan serangan untuk melemahkan Hamas karena kelompok ini memiliki dukungan rakyat Palestina dan kekuatan militer yang dianggap ancaman bagi Israel. Namun, serangan tersebut juga menewaskan warga sipil Palestina dan merusak fasilitas kesehatan seperti rumah sakit Indonesia di Gaza. Konflik ini dipengaruhi oleh sejarah panjang permusuhan antara kedua
Bila konflik di Iraq-Suriah ini dapat diakhiri, kepulangan para alumni ke negara masing-masing, terutama ke Indonesia, harus diwaspadai karena dapat membawa amunisi bagi tumbuhnya ideologi dan gerakan jihad baru di negeri ini. Hal inilah yang pernah dilakukan oleh para veteran perang Afghanistan yang melakukan serangkaian operasi pengeboman terhadap pusat-pusat yang diidentifikasi sebagai musuh Islam, seperti bom Bali I pada tahun 2002. Kondisi semacam ini dikhawatirkan dapat melahirkan gelombang jihadis baru ke berbagai penjuru dunia dan menciptakan instabilitas keamanan di negara masing-masing, sebuah kondisi yang sudah barang tentu sangat perlu untuk diwaspadai (Ali, 2014).
Artikel ini ingin melacak dampak polarisasi politik pasca pemilu yang cukup kuat dalam wacana Covid-19. Pentingnya melacak perbincangan tentang Covid-19 adalah untuk melihat dampak distraksi kebijakan pemerintah dalam penanganan Covid-19. Penelitian ini menggunakan social network analisis dan social network actor dalam perbicangan di media sosial Twitter. Dengan mengidentifikasi trending topic yang terkait selama 4 bulan, maka dilakukan crawling data dengan pemograman Phyton, kemudian dilakukan analisis kumulatif teks melalui library phyton sastrawi dan visualisasi analisis SNA dengan Gephi. Temuan penelitian ini memetakan setidaknya ada dua kutub kluster besar yang berseberangan, pertama adalah kutub kluster populis pluralis dan kutub kluster populis islam. Temuannya menunjukkan bahwa wacana kebijakan Covid-19 justru menjadi ajang bagi perang sentimen masing-masing kubu, yang ternyata didominasi oleh buzzer dan sebagian kecil influencer. Sebaliknya, suara kelompok kritis dan rasional malah tenggelam oleh gaung dari para buzzer yang cenderung memiliki sentimen negatif.
Isu ISIS seperti dijadikan pengalihan isu dari isu pilpres. Hal ini terlihat dari pola pemberitaan ISIS di media yang baru meningkat pada awal Agustus 2014 atau disaat isu pilpres sedang menjadi isu utama di media. Padahal isu ISIS ini sudah ada sejak awal Juli 2014, namun tidak begitu banyak diberitakan.
Pemerintah dalam hal ini BNPT terlihat berhasil membangun persepsi bahwa keberadaan ISIS adalah kelompok terorisme baru di Indonesia, sehingga banyak pihak yang menolak ISIS dan Polri langsung menindak pihak-pihak yang menyatakan mendukung ISIS. Pendukung ISIS di Indonesia dianggap sebagai teroris di Indonesia.
ISIS di Indonesia lebih banyak diasosiasikan dengan Jamaah Ansharud Tauhid (JAT) yang dipimpin oleh Abu Bakar Ba’asyir sehingga hal ini membuat para pendukung ISIS dianggap sebagai kelompok radikal di Indonesia.
Uyghurs - Narasi Kontra Radikalisme dan TerorismeIsmail Fahmi
Timeline konflik Uyghur di Xinjiang menunjukkan kompleksitas masalah dengan adanya pemberontakan, migrasi etnis Han ke Xinjiang, dan kamp reedukasi masal yang saat ini menahan lebih dari 1 juta Uyghur. Laporan Wall Street Journal menyinggung diamnya organisasi Islam Indonesia atas penindasan Uyghur, sementara netizen mendukung tindakan Muhammadiyah yang menyangkal tuduhan tersebut. Diskusi terkini di media sosial fokus pada peran
Presentasi Kelompok 1 : Islamic state in iraq and syamAnin Rodahad
1. Gerakan ISIS menimbulkan reaksi penolakan karena menggunakan kekerasan dan ingin meruntuhkan negara yang sudah berdiri.
2. Mahasiswa di Bantul melakukan aksi damai menolak ISIS untuk mencegah perkembangan ideologi radikal yang bertentangan dengan Pancasila.
3. Masyarakat perlu waspada terhadap ISIS dan bekerja sama mencegah penyebaran ideologi mereka di Indonesia.
Konflik Israel-Palestina diperburuk oleh serangan militer Israel terhadap Hamas di Jalur Gaza. Israel melakukan serangan untuk melemahkan Hamas karena kelompok ini memiliki dukungan rakyat Palestina dan kekuatan militer yang dianggap ancaman bagi Israel. Namun, serangan tersebut juga menewaskan warga sipil Palestina dan merusak fasilitas kesehatan seperti rumah sakit Indonesia di Gaza. Konflik ini dipengaruhi oleh sejarah panjang permusuhan antara kedua
Bila konflik di Iraq-Suriah ini dapat diakhiri, kepulangan para alumni ke negara masing-masing, terutama ke Indonesia, harus diwaspadai karena dapat membawa amunisi bagi tumbuhnya ideologi dan gerakan jihad baru di negeri ini. Hal inilah yang pernah dilakukan oleh para veteran perang Afghanistan yang melakukan serangkaian operasi pengeboman terhadap pusat-pusat yang diidentifikasi sebagai musuh Islam, seperti bom Bali I pada tahun 2002. Kondisi semacam ini dikhawatirkan dapat melahirkan gelombang jihadis baru ke berbagai penjuru dunia dan menciptakan instabilitas keamanan di negara masing-masing, sebuah kondisi yang sudah barang tentu sangat perlu untuk diwaspadai (Ali, 2014).
Potensi Intoleransi dan Radikalisme di Kalangan Perempuan di Lima WilayahLestari Moerdijat
Riset ini bertujuan menjelajahi potensi intoleransi dan radikalisme di kalangan perempuan di lima wilayah di Indonesia dengan melakukan wawancara mendalam dan fokus grup diskusi terhadap 358 responden termasuk mantan narapidana terorisme, pejabat pemerintah, dan aktivis. Temuan utama riset ini adalah bahwa meski Indonesia memiliki peraturan yang mendukung toleransi, masih ada aturan yang dimanfaatkan kelompok intoleran untuk menolak keruk
Tantangan Otoritarianisme Digital Pada DemokrasiDamar Juniarto
Dokumen tersebut membahas tantangan otoritarianisme digital pada demokrasi, termasuk penyempitan ruang warga di ranah digital, weaponisasi media sosial, hukum, dan teknologi untuk menekan suara-suara kritis, serta serangan siber yang dialami kelompok-kelompok berisiko seperti jurnalis dan aktivis. Dokumen ini menyimpulkan bahwa Indonesia telah mencapai status "siaga satu" menghadapi ancaman otoritarianisme digital.
Makalah ini membahas tentang penerapan nilai-nilai Pancasila dalam menghadapi radikalisme di Kota Surakarta. Radikalisme terjadi di Surakarta karena faktor politik lokal dan agama sebagai legitimasi. Pemerintah berupaya meningkatkan toleransi dengan mempertahankan tradisi seperti lampion. Masyarakat disarankan untuk tidak terprovokasi dan memelihara kerukunan. Pancasila dipertahankan sebagai dasar negara
Dunia maya; Informasi Sampah dan Alat PropagandaLSP3I
Dokumen tersebut membahas tentang informasi sampah dan propaganda yang marak di media sosial Indonesia. Konten negatif seperti berita bohong, ujaran kebencian, dan isu SARA digunakan oleh beberapa pihak untuk memengaruhi pengguna media sosial. Influencer dan akun palsu juga turut memperparah masalah ini dengan menyebarkan informasi yang belum terverifikasi.
Dokumen tersebut membahas tentang salah faham yang ada terhadap agama Islam. Beberapa faktor penyebab salah faham diidentifikasi seperti kurangnya pengetahuan tentang ajaran Islam dan pengaruh media. Dokumen ini juga menjelaskan bahwa Islam sebenarnya tidak memaksa kekerasan dan memperkenalkan prinsip toleransi antar umat beragama.
The document discusses Australia's approach to counterterrorism, arguing that both tough security measures and softer community engagement strategies are needed. It notes that existing legislation covers many security needs, but that preventing radicalization requires working with communities and addressing social factors. The key challenge is implementing grassroots programs to identify and support at-risk individuals, as these "soft measures" will be most effective against threats of extremism and recruitment.
Man Haron Monis' violent siege in Sydney raises questions about how a person with his criminal history was released on bail and able to carry out the attack. While his actions were driven by delusion and narcissism, they still meet the definition of terrorism. The Islamic State has actively encouraged "lone wolf" attacks in Western countries by troubled, alienated individuals. They view damaged people as weapons to enact violence without being formally connected or following orders. This poses challenges for detection without established patterns of terrorist planning and networks. Increased community engagement and intelligence sharing between security agencies will be important to address the threat of future lone wolf attacks.
The document discusses proposed revisions to Australia's counterterrorism laws announced on Tuesday. While new laws are needed to address the evolving threat of foreign fighters returning home and homegrown terrorists, laws alone are not enough. Community engagement is also vital to opposing extremism and protecting vulnerable individuals. The threat environment has changed with many more Australians fighting with extremist groups in Syria and Iraq compared to previous conflicts in Afghanistan, and these foreign fighters may return home to carry out terrorist acts. However, any legal changes still require careful consultation to avoid eroding community trust and goodwill, which are important elements of security.
This document discusses the growing threat of ISIS and how it has become directly connected to threats in Australia. It notes that ISIS has been urging supporters around the world to attack enemies wherever they are through its online magazines. Australian intelligence agencies have intercepted communications showing the connection between foreign fighters traveling to Syria and Iraq and homegrown extremism in Australia. The raising of the terror threat level and recent counter-terrorism raids in Australia reflect this increased threat from both foreign fighters and lone actors being inspired by groups like ISIS. To address the threat, the document argues that military and police responses alone are not enough and that a broader community effort is needed.
The document discusses the rise of ISIS in Iraq and Syria and argues that defeating ISIS requires more than just military force. It will require the Iraqi government, led by Nouri al-Maliki, to build consensus with Kurds and Sunnis to undermine the social support ISIS currently has. While military efforts are important, the key to rolling back ISIS's gains will be addressing the political issues that have disaffected Sunni communities and strengthened ISIS.
The document discusses how Muslim communities can help fight extremism in Australia. It notes that Islamic State is targeting and recruiting Australian youth. While security agencies and police play a key role, prevention is better than cure. Countering violent extremism programs in other countries work with former extremists and communities to rehabilitate and reintegrate those who have been radicalized. Such community-based counter-terrorism efforts are essential for Australia to develop a holistic approach and turn the tide against extremist recruitment.
The document discusses the Sydney cafe hostage crisis and the threat of lone wolf terrorism. It argues that while terrorism is an unlikely threat compared to other dangers, lone wolf attacks carried out by damaged individuals in the name of Islamic State are a growing threat. Lone wolf terrorists like Man Haron Monis, the hostage taker, are appealing to Islamic State because even pathetic actors can achieve notoriety through highly publicized attacks. The threat of copycat lone wolf sieges and hostage situations is increasing.
The document discusses Europe's response to the Charlie Hebdo attacks in Paris. It summarizes the views of some who argue radical Islam is embedded in Islam itself, while others say the terrorists do not represent Islam. It profiles the attackers and notes they followed a pattern of becoming radicalized in prison then carrying out attacks after training abroad. While the threat is real, most Muslims do not support terrorism. There is no simple response, but attitudes and actions will shape future developments.
The document discusses Europe's response to the Charlie Hebdo attacks in Paris. It summarizes the views of prominent figures on whether Islam itself is responsible for terrorism. It also profiles the attackers and notes commonalities with other recent extremists in Europe. While a small minority of Muslims hold extreme views, the vast majority do not, and the issue affects all societies. A balanced, nuanced response is needed to address the complex social and religious factors driving radicalization.
The terrorist attack in Paris displayed elements both familiar and novel. The attackers, two French-born brothers of North African descent with criminal histories, carried out the attack in a professional manner, shooting 12 people dead at the offices of satirical magazine Charlie Hebdo. While past lone wolf attacks in France and other countries involved smaller scales and were seeking attention, this attack was larger in scale and deadlier, displaying the professionalism of a terrorist network while still being carried out autonomously. The attack raises concerns that lone wolf terrorism may become increasingly sophisticated and effective if inspired by groups like al-Qaeda.
The document discusses how to appropriately respond to terrorist attacks like the Charlie Hebdo shooting in Paris. It examines different perspectives on the root causes of Islamic extremism and analyzes the backgrounds and motivations of recent attackers in France, Canada, and other Western countries. While acknowledging the threat posed by a small minority of radicalized Muslims, the document argues against linking terrorism to Islam as a whole. It stresses the importance of avoiding reactions that strengthen the extremist narrative or divide societies, and instead promoting unity and democratic values.
- The protests in Turkey began as a peaceful demonstration against plans to develop Gezi Park in Istanbul but escalated after a heavy-handed police response using tear gas and riot gear.
- While some see parallels to the Arab Spring uprisings, the author argues Turkey has already undergone democratic reforms and economic growth in past decades and this is not a Turkish Spring.
- The long-serving Prime Minister Erdogan is seen as increasingly authoritarian and out of touch, fueling discontent among former supporters, though the government remains secular rather than Islamist.
- The author believes Turkey will withstand this political crisis due to its history of overcoming challenges, and the more conciliatory President Gul can help reduce
More Related Content
Similar to GBarton-OpEd-Tempo-IndonesiaISIS-30Mar15
Potensi Intoleransi dan Radikalisme di Kalangan Perempuan di Lima WilayahLestari Moerdijat
Riset ini bertujuan menjelajahi potensi intoleransi dan radikalisme di kalangan perempuan di lima wilayah di Indonesia dengan melakukan wawancara mendalam dan fokus grup diskusi terhadap 358 responden termasuk mantan narapidana terorisme, pejabat pemerintah, dan aktivis. Temuan utama riset ini adalah bahwa meski Indonesia memiliki peraturan yang mendukung toleransi, masih ada aturan yang dimanfaatkan kelompok intoleran untuk menolak keruk
Tantangan Otoritarianisme Digital Pada DemokrasiDamar Juniarto
Dokumen tersebut membahas tantangan otoritarianisme digital pada demokrasi, termasuk penyempitan ruang warga di ranah digital, weaponisasi media sosial, hukum, dan teknologi untuk menekan suara-suara kritis, serta serangan siber yang dialami kelompok-kelompok berisiko seperti jurnalis dan aktivis. Dokumen ini menyimpulkan bahwa Indonesia telah mencapai status "siaga satu" menghadapi ancaman otoritarianisme digital.
Makalah ini membahas tentang penerapan nilai-nilai Pancasila dalam menghadapi radikalisme di Kota Surakarta. Radikalisme terjadi di Surakarta karena faktor politik lokal dan agama sebagai legitimasi. Pemerintah berupaya meningkatkan toleransi dengan mempertahankan tradisi seperti lampion. Masyarakat disarankan untuk tidak terprovokasi dan memelihara kerukunan. Pancasila dipertahankan sebagai dasar negara
Dunia maya; Informasi Sampah dan Alat PropagandaLSP3I
Dokumen tersebut membahas tentang informasi sampah dan propaganda yang marak di media sosial Indonesia. Konten negatif seperti berita bohong, ujaran kebencian, dan isu SARA digunakan oleh beberapa pihak untuk memengaruhi pengguna media sosial. Influencer dan akun palsu juga turut memperparah masalah ini dengan menyebarkan informasi yang belum terverifikasi.
Dokumen tersebut membahas tentang salah faham yang ada terhadap agama Islam. Beberapa faktor penyebab salah faham diidentifikasi seperti kurangnya pengetahuan tentang ajaran Islam dan pengaruh media. Dokumen ini juga menjelaskan bahwa Islam sebenarnya tidak memaksa kekerasan dan memperkenalkan prinsip toleransi antar umat beragama.
Similar to GBarton-OpEd-Tempo-IndonesiaISIS-30Mar15 (10)
The document discusses Australia's approach to counterterrorism, arguing that both tough security measures and softer community engagement strategies are needed. It notes that existing legislation covers many security needs, but that preventing radicalization requires working with communities and addressing social factors. The key challenge is implementing grassroots programs to identify and support at-risk individuals, as these "soft measures" will be most effective against threats of extremism and recruitment.
Man Haron Monis' violent siege in Sydney raises questions about how a person with his criminal history was released on bail and able to carry out the attack. While his actions were driven by delusion and narcissism, they still meet the definition of terrorism. The Islamic State has actively encouraged "lone wolf" attacks in Western countries by troubled, alienated individuals. They view damaged people as weapons to enact violence without being formally connected or following orders. This poses challenges for detection without established patterns of terrorist planning and networks. Increased community engagement and intelligence sharing between security agencies will be important to address the threat of future lone wolf attacks.
The document discusses proposed revisions to Australia's counterterrorism laws announced on Tuesday. While new laws are needed to address the evolving threat of foreign fighters returning home and homegrown terrorists, laws alone are not enough. Community engagement is also vital to opposing extremism and protecting vulnerable individuals. The threat environment has changed with many more Australians fighting with extremist groups in Syria and Iraq compared to previous conflicts in Afghanistan, and these foreign fighters may return home to carry out terrorist acts. However, any legal changes still require careful consultation to avoid eroding community trust and goodwill, which are important elements of security.
This document discusses the growing threat of ISIS and how it has become directly connected to threats in Australia. It notes that ISIS has been urging supporters around the world to attack enemies wherever they are through its online magazines. Australian intelligence agencies have intercepted communications showing the connection between foreign fighters traveling to Syria and Iraq and homegrown extremism in Australia. The raising of the terror threat level and recent counter-terrorism raids in Australia reflect this increased threat from both foreign fighters and lone actors being inspired by groups like ISIS. To address the threat, the document argues that military and police responses alone are not enough and that a broader community effort is needed.
The document discusses the rise of ISIS in Iraq and Syria and argues that defeating ISIS requires more than just military force. It will require the Iraqi government, led by Nouri al-Maliki, to build consensus with Kurds and Sunnis to undermine the social support ISIS currently has. While military efforts are important, the key to rolling back ISIS's gains will be addressing the political issues that have disaffected Sunni communities and strengthened ISIS.
The document discusses how Muslim communities can help fight extremism in Australia. It notes that Islamic State is targeting and recruiting Australian youth. While security agencies and police play a key role, prevention is better than cure. Countering violent extremism programs in other countries work with former extremists and communities to rehabilitate and reintegrate those who have been radicalized. Such community-based counter-terrorism efforts are essential for Australia to develop a holistic approach and turn the tide against extremist recruitment.
The document discusses the Sydney cafe hostage crisis and the threat of lone wolf terrorism. It argues that while terrorism is an unlikely threat compared to other dangers, lone wolf attacks carried out by damaged individuals in the name of Islamic State are a growing threat. Lone wolf terrorists like Man Haron Monis, the hostage taker, are appealing to Islamic State because even pathetic actors can achieve notoriety through highly publicized attacks. The threat of copycat lone wolf sieges and hostage situations is increasing.
The document discusses Europe's response to the Charlie Hebdo attacks in Paris. It summarizes the views of some who argue radical Islam is embedded in Islam itself, while others say the terrorists do not represent Islam. It profiles the attackers and notes they followed a pattern of becoming radicalized in prison then carrying out attacks after training abroad. While the threat is real, most Muslims do not support terrorism. There is no simple response, but attitudes and actions will shape future developments.
The document discusses Europe's response to the Charlie Hebdo attacks in Paris. It summarizes the views of prominent figures on whether Islam itself is responsible for terrorism. It also profiles the attackers and notes commonalities with other recent extremists in Europe. While a small minority of Muslims hold extreme views, the vast majority do not, and the issue affects all societies. A balanced, nuanced response is needed to address the complex social and religious factors driving radicalization.
The terrorist attack in Paris displayed elements both familiar and novel. The attackers, two French-born brothers of North African descent with criminal histories, carried out the attack in a professional manner, shooting 12 people dead at the offices of satirical magazine Charlie Hebdo. While past lone wolf attacks in France and other countries involved smaller scales and were seeking attention, this attack was larger in scale and deadlier, displaying the professionalism of a terrorist network while still being carried out autonomously. The attack raises concerns that lone wolf terrorism may become increasingly sophisticated and effective if inspired by groups like al-Qaeda.
The document discusses how to appropriately respond to terrorist attacks like the Charlie Hebdo shooting in Paris. It examines different perspectives on the root causes of Islamic extremism and analyzes the backgrounds and motivations of recent attackers in France, Canada, and other Western countries. While acknowledging the threat posed by a small minority of radicalized Muslims, the document argues against linking terrorism to Islam as a whole. It stresses the importance of avoiding reactions that strengthen the extremist narrative or divide societies, and instead promoting unity and democratic values.
- The protests in Turkey began as a peaceful demonstration against plans to develop Gezi Park in Istanbul but escalated after a heavy-handed police response using tear gas and riot gear.
- While some see parallels to the Arab Spring uprisings, the author argues Turkey has already undergone democratic reforms and economic growth in past decades and this is not a Turkish Spring.
- The long-serving Prime Minister Erdogan is seen as increasingly authoritarian and out of touch, fueling discontent among former supporters, though the government remains secular rather than Islamist.
- The author believes Turkey will withstand this political crisis due to its history of overcoming challenges, and the more conciliatory President Gul can help reduce
A small radical fringe element within the Australian Muslim community engages in provocative and sometimes violent protests, damaging the image of Muslims. These fringe groups like Al-Furqan and Hizb ut-Tahrir involve only a few dozen or hundred people but receive disproportionate media attention. Mainstream Muslim leaders work closely with police to address extremism and support rehabilitation efforts, demonstrating that Australian Muslims are well integrated and do not widely support extremist views.
- Journalist Peter Greste was sentenced to 7 years in prison in Egypt along with two Al Jazeera colleagues, despite expectations that they would be released after lobbying by foreign officials.
- Greste and his colleagues were caught in the middle of a geopolitical feud between Qatar, which owns Al Jazeera, and Saudi Arabia/Egypt, as the two sides back opposing factions in the region.
- Their imprisonment is part of a broader crackdown in Egypt against the Muslim Brotherhood and political dissent that risks fueling further extremism, as authoritarian actions in the past have breathed new life into terrorist movements.
Joko Widodo was recently elected president of Indonesia in what was described as one of the largest democratic elections ever held. He will lead the 10th largest economy in the world, surpassing countries like Italy and Canada. As an outsider with no connections to the political elite, Widodo faces challenges reforming the economy and bureaucracy, but aims to create positive change through ambitious infrastructure plans and improving education. He is assembling a cabinet focused on merit over political ties to best address the significant tasks ahead.
The document summarizes President Joko Widodo's new cabinet in Indonesia. It notes that while the cabinet lacks "star power" and prominent figures, it has several positive attributes. Positives include that over half the ministers are under 45, eight are women, and many have advanced degrees from Western universities. However, the document also points out some controversial appointments made due to political pressures, such as the Defense Minister who breaks tradition of being a civilian. Overall, the assessment is that the cabinet seems oriented towards business and economic growth, and could make for a generally competent government.
The execution of Sheikh Nimr al-Nimr by Saudi Arabia has exacerbated tensions between Saudi Arabia and Iran. The execution was seen as a provocation by Iran and has reignited the proxy conflict between the two regional powers. The rivalry between Saudi Arabia and Iran dates back to the Iranian revolution but in recent decades they have exploited sectarian divisions and used proxy militias to counter each other. The execution threatens fragile hopes of resolving ongoing conflicts in the region such as Syria and Yemen.
The rise of ISIS caught many by surprise with its swift conquest of Mosul in 2014 and declaration of a caliphate. While some hoped ISIS would not strongly influence stable societies like Indonesia's, hundreds have been seduced by its propaganda and networks, with estimates of Indonesians who have joined ranging from 200 to over 600. ISIS's recruitment poses a real danger as its online and personal outreach is highly sophisticated and effective at identifying and grooming potential supporters. With the numbers being radicalized sharply rising across Asia, Indonesia likely faces a greater terrorism challenge from ISIS than ever before as it transforms existing extremist networks within Indonesian society.
1. 44 | | 5 APRIL 2015
M
UNCULNYA gerakan Negara Is-
lam Irak dan Suriah (ISIS) menge-
jutkan dunia. Jatuhnya Mosul,
kota terbesar kedua di Irak, pada
10 Juni 2014, disusul penakluk-
an permukiman bagian utara Su-
ngai Tigris pada minggu berikut-
nya, yang diikuti deklarasi khalifah pada 29 Juni 2014, be-
nar-benar menakutkan. Dengan karakter kejam dan bru-
tal, daya tarik ISIS bukannya menurun, malah meningkat.
Malah ada ribuan ”pejuang” asing yang bergabung dengan
khalifah baru itu.
KitaterkejutdenganmunculnyaISISbukankarenakeha-
diran gerakan itu tidak terduga, melainkan karena kita ti-
dak ingin melihatnya. Misalnya dengan melihat ribuan pe-
muda diculik dan dilarikan untuk mendukung perjuangan
ISIS. Secara global, angka pendukung ISIS saat ini diperki-
rakan melebihi 22 ribu orang. Jumlah ini terlalu besar un-
tuk diabaikan. Tapi sayangnya masih banyak negara, ter-
utama di Asia Tenggara, yang enggan mengakui skala ma-
salah yang dihadapi.
Dibandingkan dengan negara-negara tetangganya, In-
donesia sudah mengakui ISIS bisa menjadi masalah serius.
Tapi, di sisi lain, Indonesia masih berharap dampak dari
ISIS muncul pada skala yang terbatas.
Di Indonesia, sempat ada harapan bahwa daya tarik ISIS
tidak begitu kuat karena negara ini relatif stabil dan terle-
tak jauh dari pusat dunia muslim yang sedang mengalami
kekacauan. Dalam minggu-minggu setelah deklarasi ke-
khalifahan, organisasi-organisasi Islam dan para pemim-
pin Islam dari seluruh spektrum, termasuk Indonesia, me-
nolak legitimasi ISIS. Muslim Indonesia tidak ingin terlibat
dalam proyek kekerasan ISIS. Ketika Mosul jatuh, relatif se-
dikit warga Indonesia tertarik ikut ”berjuang” di tengah
konflik yang berkecamuk.
Situasi tadi jauh berbeda pada akhir tahun lalu ketika ra-
tusan orang telah tergoda oleh iterasi terbaru Al-Qaidah
itu. Mendekati April 2015, angka penduduk Indonesia yang
mendukung ISIS belum jelas. Namun ada perkiraan angka
terendah di sekitar 200 orang. Tapi banyak pengamat, ter-
masuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, ber-
pendapat bahwa lebih dari 600 orang Indonesia telah ber-
gabung baik dengan ISIS maupun Jabhat al-Nusra.
Meski begitu, ada beberapa alasan agar tidak membesar-
besarkan ancaman ISIS. Pertama, terorisme bekerja de-
nganmemanfaatkansituasi, melalui provokasi yangmemi-
cu kemarahan. Hal ini terlihat jelas dalam serangan 11 Sep-
tember Al-Qaidah, yang diperkirakan menelan biaya US$
500 ribu. Insiden itu mengakibatkan triliunan dolar dan
ratusan ribu nyawa dihabiskan buat memerangi Al-Qai-
dah. Ironisnya, situasi itu malah menyediakan kondisi ide-
al bagi Al-Qaidah untuk tumbuh di negara tempat mereka
sebelumnya tidak ada. Situasi ini mirip dengan kesalahan
yang dibuat Indonesia ketika merespons gerakan Darul Is-
lam pada 1980-an, yang kemudian meletakkan dasar bagi
kemunculan Jamaah Islamiyah.
Kedua, kita tahu bahwa masalah terorisme meningkat
secara global. Dampaknya paling terasa di negara yang
menghadapi kegalauan politik. Tahun lalu, misalnya, 80
persen serangan terorisme yang menyebabkan hilangnya
nyawa terjadi di lima negara saja, yakni Afganistan, Pakis-
tan, Irak, Suriah, dan Nigeria. Sebagai negara demokratis,
Indonesia tidak hanya membawa ancaman terorisme, tapi
juga telah menjadi kisah sukses dunia muslim.
Kita yakin bahwa ISIS memiliki sedikit dukungan di In-
donesia,tapiadarisikobesarbilakitameremehkanancam-
an perekrutannya. Apalagi pengalaman terakhir dari radi-
kalisasi ISIS yang muncul di seluruh dunia menunjukkan
bahwa Indonesia akan menghadapi tantangan yang lebih
besar dari sebelumnya.
Di Australia saja, misalnya, 160 pemuda sudah terlibat
pertempuran di Irak dan Suriah. Lebih dari 30 telah tewas
dan sekitar 100 orang saat ini ikut berperang dengan ISIS.
Beberapa di antara mereka datang dari keluarga baik-baik.
Memang masyarakat Australia tidak sempurna dan ada
alasankaummudamuslimnyamerasaterasing.Namunhal
itu sama sekali tidak bisa menjelaskan tingkat radikalisa-
si di Australia sama dengan di Prancis, yang memiliki ting-
kat pengangguran kaum muda lebih tinggi dan persoalan
diskriminasi lebih serius. Artinya, faktor penarik (pull fac-
tors) lebih besar daripada faktor pendorong (push factors),
dan itu sangat berperan membetot kaum muda rela men-
dukung proyek kekhalifahan ISIS.
Hal yang sama terjadi di Indonesia. Dengan melihat jum-
lah kasus radikalisme yang meningkat tajam di Asia, ke-
adaan di Indonesia bisa jadi akan lebih buruk. Masalahnya
bukan terletak pada masyarakat Indonesia atau pada Is-
lam ”mainstream” di Indonesia. Soalnya, ISIS terampil me-
TANTANGAN
DAYA TARIK ISIS
2. 5 APRIL 2015 | | 45
manfaatkan jaringan sosial untuk menargetkan mangsa-
nya. ISIS memiliki propaganda yang lebih canggih daripa-
da semua jaringan teroris sebelumnya. Video, Facebook,
danmajalahelektronikikutberperanmembujukorangter-
libat dengan gerakan tersebut. Tapi yang paling berperan
ialah tindak lanjut perkenalan dan persahabatan pribadi.
ISIS menjalankan jaringan global yang sangat efektif untuk
mengidentifikasi mangsanya.
Indonesia memberikan peluang yang besar buat rekrut-
men ISIS. Luasnya jaringan mapan para ekstremis menye-
diakanISISbegitubanyakkesempatan.Haliniterlepasdari
kenyataan bahwa polisi telah melakukan pekerjaan luar
biasa menanggulangi terorisme. Lebih dari seribu orang
ki banyak alumnus Afganistan tidak mau melanjutkan se-
rangan teroris di Indonesia pasca-Soeharto, faksi jaringan
JamaahIslamiyahmemilikilinkyangkuatdenganalumnus
Afganistan. Apa yang terjadi di Afganistan lebih dari dua
dekade lalu tetap menimbulkan bayangan kelam di Asia
Tenggara.
Al-Qaidah Irak (AQI), juga dikenal sebagai Negara Islam
Irak (ISI), yang kemudian menjadi Negara Islam Irak dan
Suriah (ISIS), dibentuk dalam kondisi pemberontakan aki-
bat invasi ke Irak pada 2003. Gerakan yang terjadi di Afga-
nistan pada dekade terakhir Perang Dingin kini mendomi-
nasi masalah keamanan dunia pasca-Perang Dingin. Indo-
nesia, misalnya, masih harus berhadapan dengan penga-
Greg Barton*
ISIS MEMILIKI PROPAGANDA YANG LEBIH CANGGIH DARIPADA
SEMUA JARINGAN TERORIS SEBELUMNYA. VIDEO, FACEBOOK, DAN
MAJALAH ELEKTRONIK IKUT BERPERAN MEMBUJUK ORANG TERLIBAT
DENGAN GERAKAN TERSEBUT. TAPI YANG PALING BERPERAN IALAH
TINDAK LANJUT PERKENALAN DAN PERSAHABATAN PRIBADI. ISIS
MENJALANKAN JARINGAN GLOBAL YANG SANGAT EFEKTIF UNTUK
MENGIDENTIFIKASI MANGSANYA.
ditangkap selama 12 tahun sejak bom Bali pertama. Seba-
gian besar telah dituntut melalui proses hukum. Kredit ha-
rus diberikan untuk pencegahan serangan. Tapi semua
keberhasilan pemerintah Indonesia ini tidak cukup buat
menghadapi ancaman ISIS. Gerakan ini telah menyuntik-
kan energi baru ke dalam jaringan jihadis di seluruh dunia.
Hal ini akan mengubah skala dan masalah terorisme yang
dihadapi masyarakat Indonesia.
Tantangan yang dihadapi Indonesia berkaitan dengan ji-
hadis atau pejuang yang pergi ke Afganistan dan Pakistan
pada 1980-an dan awal 1990-an. Perang Afganistan meng-
ubah masalah yang telah mendidih sejak Darul Islam mun-
cul pada 1950-an. Gerakan itu dikaitkan dengan ide-ide
perjuangan global yang disosialisasi oleh Al-Qaidah. Bebe-
rapa ratus orang Indonesia melakukan perjalanan ke Af-
ganistan serta kembali dari Afganistan dan Pakistan. Mes-
ruh generasi pertama Al-Qaidah.
AQI atau Al-Qaidah 2.0 memang berhasil menarik ribu-
an jihadis asing. Indonesia saat itu tidak tersentuh gerak-
an AQI. Tapi situasinya kini berbeda. Dalam waktu bebera-
pa tahun, ISIS atau Al-Qaidah 3.0 telah menarik jumlah pe-
muda Indonesia lebih banyak daripada perang Afganistan
dalam satu dekade.
Iterasi ketiga ”Al-Qaidah” ini merupakan gerakan yang
jauh lebih canggih dan berpengaruh daripada sebelum-
nya. Karena itu, tantangan yang dihadapi akan bertahan
lama. Indonesia, yang sudah terbukti mampu menghadapi
tantangan terorisme, kini harus menyiapkan diri mengha-
dapi tantangan melawan ekstremisme kekerasan.
*) Profesor di Monash University, Australia, dan Direktur Centre for
Islam and Modern World. Ia Juga aktif di Global Terrorism Research
Centre