SlideShare a Scribd company logo
Universitas Kristen Krida Wacana
Fakultas Teknik Jurusan Sipil
TUGAS METODOLOGI
PENELITIAN ILMIAH
(KTA 2)
Disusun oleh :
Andreas Yudika (24-1996-018 / 24-2003-021)
Universitas Kristen Krida Wacana
Fakultas Teknik Jurusan Sipil
Jakarta 2001
Mata Kuliah : Meteodologi Penelitian
Kriteria : Tugas
Judul : KTA II
Penyusun : Andreas Yudika (24-1996-018)
1. Apakah anda mempunyai pendapat lain tentang sifat/ciri-ciri ilmiah?
Jelaskan pendapat saudara !
Kalau kita perlu panas, kita buat matahari bersinar
Kalau kita perlu hujan, kita buat awan menurunkan hujan
Kong Beng (Zhuge Liang)
Kepada bapak dosen Metodologi Penelitian yang terhormat.
Seperti yang sudah saya kemukakan sebelumnya, bahwa sebelum kita berbicara
lebih jauh mengenai sifat dan ciri-ciri ilmiah, marilah kita bahas mengenai perkataan
“ilmiah” itu sendiri.
Apakah kata ilmiah itu? Ada banyak asumsi dan pendapat mengenai kata ilmiah.
Yang paling umum (mungkin) bagi orang awam berpendapat mengenai ilmiah,
secara terdokrinasi mereka (mungkin) akan mengatakan “Suatu benda (ilmu
pengetahuan) yang memusingkan dan membingungkan yang disusun dalam
kerangka formal dimana merupakan suatu permainan untuk orang-orang nyentrik
yang menyebut dirinya sendiri sebagai orang pintar dan berpendidikan”. Terlalu
deskriptif untuk sebuah doktrin imajiner, Namun benarkah demikian?
Menurut The Lexicon Webster Dictionary (Ensyclopedic Edition), kata “Ilmu
Pengetahuan” (Science) didefinisikan sebagai berikut :” Knowladge, esp, of fact or
principles, gain by systematic study; a particular brance of knowladge, esp,
one dealing with the body of fact or thruths systematically arranged and
showing the operation of general laws (as the science of mathematics),
systematized knowladge, esp, of the laws and fact of the physical or material
world; skill resulting from training.” (Yang saya terjemahkan secara kasar :
“Pengetahuan dari suatu kenyataan atau prinsip (secara prinsipal dan mendasar)
yang didapatkan melalui penelaahan dan kajian (belajar) secara tersistim (dalam hal
ini berarti tersruktur) suatu kajian teliti dari pengetahuan, sesuatu yang berhubungan
dengan bentuk suatu fakta atau susunan kenyataan (kebenaran) yang terstruktur
dan memperlihatkan pengoprasian (proses pelaksanaan) dari kebenaran
umum/hukum-hukum umum (sebagai dikaji atas ilmiah (ilmu) matematika), suatu
pengetahuan yang terstruktur atas hukum dan fakta dari fisik (bentuk alam secara
nyata) atau materi bumi (atau materi di dunia); dan keterampilan yang didapatkan
dari latihan.”). Dan menurut Encyclopedia Americana, kata “Ilmu pengetahuan”
(Science) didefinisikan sebagai berikut :” Science is defined as systematized
positive knowladge, or what has been taken as positive knowladge at diffrent
ages and in diffrent place” (George Sarton, Author of “Horus, A Guide to History of
Science”, Encyclopedia Americana) (Yang saya terjemahkan secara kasar sebagai
berikut : “Ilmu pengetahuan didefinisikan sebagai pengetahuan positif yang tersistim
(terstruktur), atau sesuatu (pengetahuan) yang dijadikan (dimasukkan) ke dalam
(sebagai) pengetahuan positif di waktu dan tempat yang berbeda.”
Sedangkan kata “ilmiah” itu sendiri (scientific) menurut The Lexicon Webster
Dictionary (Ensyclopedic Edition), didefinisikan sebagai berikut :”Pertaining to
science. “ (yang saya terjemahkan secara kasar ialah sebagai berikut : “
Menyinggung (berdasarkan) Ilmu pengetahuan (science).”)
Jadi di sini kita lihat, bahwa “Ilmiah” merupakan suatu hal yang berhubungan dengan
Ilmu Pengetahuan, dimana merupakan suatu sikap yang harus dicermati dan
diteladani bagi setiap orang yang belajar, baik dalam pelajaran akademis, non
akademis, pelatihan keterampilan, pendidikan formal maupun non formal yang
dilakukan secara tersistem dan terstruktur sehngga penelaahan dan kajian
dijalankan secara teratur dan terjadwal sesuai dengan tujuan dari pengajaran
dan/atau pelatihan dan/atau pendidikan itu sendiri.
Setelah kita tahu bahwa ilmiah adalah sebagai berikut di atas, berarti ilmiah tersebut
tentu mempunyai sifat atau ciri-ciri, dimana bila kita lihat dari pernyataan berikut di
atas. Lantas, bagaimanakah ciri-ciri dan sifatnya dari kata “ilmiah” ?
Menurut saya, ciri-ciri ilmiah itu antara lain :
1. Obyektif
Bahwa yang kita telaah hanyalah obyek tersebut tanpa ego dan diri kita sebagai
manusia terpaut di dalamnya (/mengkontaminasi pengkajian) agar pengkajian
tersebut dapat berlaku secara universal sesuai dengan disiplin ilmu masing-
masing. Jadi Apabila teori dan asumsi yang kita pegang terbukti tidak benar,
maka kita harus membantah teori tersebut dan memperbaikinya.
2. Kritis.
Yang dalam arti mencari semua jawaban-jawaban yang tidak atau belum
terjawab dan mengritik jawaban-jawaban yang tidak memadai dengan tujuan
memperbaiki jawaban-jawaban yang tidak memadai tersebut.
3. Mempunyai dan memperlihatkan bukti serta harus dapat dibuktikan kembali.
Suatu telaah ilmiah bukanlah sesuatu yang hanya bermodalkan “percaya”. Tetapi
lebih dari itu, penelaahan secara ilmiah harus memiliki bukti, memperlihatkan
bukti, dapat membuktikan suatu kebenaran, dan bahkan harus dapat dibuktikan
kembali kebenarannya.
4. Menggunakan suatu metode dan/atau suatu sistem yang terstruktur dan
terjadwal.
Penelaahan secara ilmiah tidak dilakukan dengan cara “semau gue” atau
“seenak-enaknya dewek” dan tidak dilakukan dengan metode “obok-obok bin ora
urus”. Menelaah sesuatu secara ilmiah haruslah dilakukan dengan cara teratur,
terjadwal dengan sistematika yang terstruktur. Urutan-urutan kegiatannya jelas
dengan menggunakan prosedur dan metode yang jelas supaya hasilnya dapat
dipertanggungjawabkan dan dapat dipelajari oleh siapapun baik yang suka
maupun yang memerlukannya. Dan metode untuk menelaah sesuatu secara
ilmiah sudah dirumuskan secara jelas menjadi beberapa untaian dari urutan-
urutan prosedur standar yang disebut dengan Metode Ilmiah.
Metode Ilmiah itu antara lain adalah :
1. Perumusan suatu masalah.
Selama manusia hidup tidak akan pernah terlepas dari masalah. Bahkan
setelah manusia meninggal duniapun manusia masih harus dirudung oleh
masalah. Banyak sebab masalah manusia itu timbul, mulai dari ancaman dari
luar, kebutuhan manusia, keinginan manusia dan lain-lain. Di dalam
penelaahan secara ilmiah, perumusan masalah merupakan pertanyaan
tentang obyek yang jelas batas-batasnya dan pengidentifikasian seluruh
faktor-faktor yang terkait di dalamnya. Secara singkat dapat dianalogikan
dengan pertanyaan “Ada apa ?”.
2. Pencarian data.
Banyak pendapat yang memasukan urutan ini pada urutan pertama yaitu
“perumusan masalah”. Namun saya lebih suka untuk memisahkannya,
karena “pencarian data” merupakan langkah yang menjembatani antara
“peumusan masalah” dimana kita mengidentifikasi suatu masalah dengan
batas dan faktornya secara jelas, dengan langkah selanjutnya, yaitu
“penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis”. Pencarian data
dapat dilakukan dengan banyak hal, misalnya dengan cara “semi
eksperimen” (contohnya dengan angket dan lain-lain), dengan cara
menelaah teori sebelumnya, mengumpulkan informasi dari nara sumber yang
dapat dipertanggungjawabkan dan akurat mengenai obyek permasalahan
dan masih banyak cara yang lainnya.
3. Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan Hipotesis.
Sebelum kita menyusun sebuah “dugaan sementara” (hipotesis), marilah kita
menyusun masalah berdasarkan teori, fakta dan informasi yang kita
dapatkan menjadi sebuah argumentasi yang (mungkin) menjelaskan
hubungan-hubungan yang mungkin (kemungkinannya ada) terdapat dalam
berbagai faktor yang saling mengkait dan membentuk konstelasi
permasalahan.
Kerangka berpikir ini disusun secara rasional berdasarkan dengan premis-
premis yang telah teruji kebenarannya (seperti teori, postulat, hukum dan
sebagainya yang berhubungan dengan permasalahan) dengan
memperhatikan faktor-faktor empiris (seperti fakta dan informasi) yang
relevan dengan permasalahan. Tahap ini juga termasuk dengan penentuan
variabel dan konstanta yang akan dipakai dalam pengujian. Dalam
penentuan faktor-faktor empiris sebagai kedudukan variabel atau kedudukan
konstanta, sangat penting diperhatikan secara teliti dan dikaji terlebih dahulu,
supaya jangan sampai terjadi “salah kaprah” secara pragmatis yang
menyebabkan “kesalahan fatal” pada eksperimen sehingga kesimpulan yang
diambil merupakan jawaban yang salah dan tidak berguna, seperti ada
anekdot di bawah ini:
“Alkisah ada seorang ilmuan yang ingin meneliti tentang “minuman apakah
yang membuat seseorang mabuk”. Pertama-tama, ia mencampur air mineral
dengan wiskey. Setelah meminumnya, iapun mabuk. Yang kedua, ia
mencampurkan air mineral dengan Bacardy (sejenis Rum), iapun mabuk
setelah meminumnya. Kemudian ia mencampur air mineral dengan Vodka.
Setelah meminumnya, iapun kembali mabuk. Lalu ia mencampur air mineral
dengan Brandy. Belum selesai meminumnya, ia telah mabuk. Lalu yang
terakhir, ia mencampurkan air mineral dengan tuak. Ternyata kali ini pun ia
mabuk setelah meminumnya. Akhirnya ia menyimpulkan bahwa yang
memabukkan adalah air mineral.”
4. Pengajuan Hipotesa.
Tahap ini merupakan sebuah “argumentasi mentah dengan ribuan
kemungkinan dan alasan”, dimana argumentasi tersebut merupakan jawaban
sementara (kira-kira) atas sebab dan akibat ataupun penyelesaian dari
permasalahan yang kita hadapi yang materinya merupakan kesimpulan dari
kerangka berpikir yang kita kembangkan sebelumnya.
5. Eksperimental / Percobaan guna menjadi suatu pengujian bagi
hipotesa.
Percobaan di sini, merupakan suatu pembuktian, apakah hipotesa kita benar
atau salah. Ada banyak cara dalam melakukan percobaan, apakah itu di
Laboratorium, ataukah pengumpulan fakta di lapangan, dan banyak macam
lainnya. Percobaan ini dilakukan sebagai bukti dari hipotesis yang kita susun
sebagai argumentasi.
6. Penarikan kesimpulan akhir sementara (Hipotesis).
Langkah ini merupakan penilaian apakah sebuah hipotesa tersebut diterima
atau ditolak. Hal yang perlu diingat ialah dalam hal ini, hipotesa yang
diajukan (hipotesis sebagai kesimpulan akhir yang ditarik) harus ditafsirkan
secara pragmatis, dalam arti kata, belum ada fakta yang menyatakan
sebaliknya.
7. Langkah akhir.
Yang dimaksud dengan langkah akhir ialah suatu langkah guna menjadikan
kesimpulan akhir yang bersifat sementara tersebut (hipotesis) menjadi suatu
kesimpulan akhir secara bulat dan dianggap sebagai bagian dari ilmu
pengetahuan. Langkah akhir tersebut mencakup dua hal yaitu :
a. Pengujian ulang dengan percobaan.
b. Penarikan kesimpulan akhir yang memang sudah diuji kembali.
5. Mempunyai kerangka berfikir yang konsisten.
6. Memiliki beberapa aspek, yang diantaranya ialah :
1. Penalaran.
2. Kemampuan verbal.
3. Kemampuan non verbal.
4. Abstrakis.
5. Logika.
6. Ketelitian.
7. Asumsi.
8. Peluang.
Sedangkan untuk berpikir secara ilmiah, kita juga membutuhkan sebuah sarana
dan fasilitas yang menunjang dalam penelaahan sesuatu secara ilmiah. Sarana
dan fasilitas tersebut (yang kemudian disebut Sarana Ilmiah) adalah :
1. Bahasa.
2. Matematika.
7. Mempunyai nilai kegunaan, baik menjadi sebagai dasar dari suatu aplikasi yang
dibutuhkan maupun mempunyai nilai kegunaan secara prospeksional.
8. Menjawab pertanyaan atas sebuah pertanyaan yang tidak terjawab.
Maksudnya ialah, bahwa sesuatu yang “ilmiah” itu haruslah menjadi sebuah
jawaban dengan nilai kebenaran yang mutlak dengan segala faktor dan
perumusannya yang koheren atas keterbatasan dan pertanyaan yang menjadi
kebutuhan manusia secara akademik, dimana “ilmu” tersebut secara akademik
dimasukkan sebagai literatur yang diajarkan dalam akademik demi
perkembangan kemanusiaan.
2. Paparkan proses tingkatan pengetahuan mulai dari pengetahuan biasa dan
khusus sampai filsafat.
Le bon sens est la chose du monde la mieux partage’e,
Car chacun pense en être bien porvu.
Rene Descartes
Kepada bapak dosen Metodologi Penelitian yang terhormat.
Saya rasa (mungkin) ada perbedaan pendapat yang cukup tajam antara pendapat
bapak dan pendapat saya mengenai filsafat dan ilmu pengetahuan, jika saya lihat
pada pertanyaan yang bapak ajukan di tersebut atas. Berdasarkan yang saya sudah
bahas sebelumnya bahwa Filsafat adalah suatu dasar pemikiran yang mempelajari
(atau lebih tepatnya merenungkan) suatu dasar yang menjadi dasar dari segala ilmu
baik pemikiran,ilmu pengetahuan, pengetahuan ataupun ilmu yang ada di dunia
dimana filsafat tersebut menjadi suatu penghubung dan penterjemah antara teori
dan praktek yang mempertahankan sifat kritisinya dimana sebagai pencari jawaban
atas semua pertanyaan kita dan mengkritik jawaban-jawaban yang tidak memadai
(secara definitif). Jadi menurut saya, pertanyaan tersebut diuraikan secara sistematik
menjadi Paparkan proses tingkatan pengetahuan mulai dari filsafat,
pengetahuan biasa dan pengetahuan khusus.
Namun secara akademika, pendapat saya (yang mungkin memiliki kepastian yang
tinggi) adalah keliru (jadi, dapat dipastikan pendapat saya keliru). Dan saya ingin
memperbaiki pandangan dan pendapat saya sesuai dengan yang bapak ajarkan
kepada saya.
Secara singkat tersistematis, saya akan mencoba untuk memaparkan kepada
bapak, proses tingkatan pengetahuan mulai dari pengetahuan biasa, pengetahuan
khusus sampai ke filsafat yaitu :
1. Proses tingkatan tahu secara global.
Proses ini merupakan suatu tingkatan dimana pengetahuan yang dimiliki hanya
sekedar “tahu” tanpa menelaah lebih lanjut. Proses tahu ini disebabkan oleh
interaksi kita sebagai manusia baik dengan alam, maupun dengan sesama
manusia dengan menggunakan indra kita. Tingkatan pengetahuan ini
menyebabkan yang memilikinya disebut sebagai “orang awam”. Misalnya,
semua orang tahu kalau jatuh itu arahnya ke bawah, tanpa pengkajian lebih
lanjut sebabnya, tetapi akibatnya diketahui secara umum berdasarkan
pengalaman bahwa kalau jatuh ke bawah itu menyebabkan rasa sakit (tanpa
tahu spesifikasi sakit tersebut, apakah rasa nyeri, atau rasa perih), sehingga
kalau jalan harus hati-hati jangan sampai jatuh, dan menganggap hanya orang
“bego” yang bertanya “bisa tidak kalau jatuh itu ke atas ?”.
2. Proses tingkatan pengetahuan dasar.
Proses ini merupakan suatu tingkatan pengetahuan yang lebih rinci secara
umum, dimana pengetahuan ini (mungkin) diajarkan pada sekolah dasar, dimana
manusia mulai mengenal sesuatu hal yang bernama ilmu pengetahuan.
Misalnya, pada pelajaran ilmu pengetahuan alam di sekolah dasar diajarkan
bahwa sesuatu benda “jatuh” ke bawah karena ada berat benda (dimana berat
merupakan pengaruh dari gaya gravitasi lokal terhadap massa suatu benda).
3. Proses penjelasan (penelaahan ilmu pengetahuan)
Pada proses tingkatan ini, seorang murid dijelaskan mengenai “mengapa itu” dan
“bagaimana itu terjadi”. Hal tersebut membuat diajarkannya sesuatu hal yang
secara spesifikasi umum dilandaskan pada teori. Misalnya, diajarkannya bahwa
secara vektor, gaya gravitasi bekerja terhadap suatu benda dengan arah ke
pusat inti bumi dengan kisaran sebesar “g=98 m/sec2
”, dimana kecepatan jatuh
benda yang dijatuhkan secara bebas mengikuti acuan rumus “Vt = ½ gt2”, atau
“Vt=2gh” dimana Vt adalah kecepatan jatuh benda, g adalah percepatan
gravitasi, t adalah waktu dan h adalah tinggi benda dari permukaan bumi.
4. Proses percobaan (pengkajian ilmu pengetahuan)
Dalam proses tingkatan ini, seseorang mulai memiliki keraguan atas teori yang
diajarkannya. Oleh karena itu, dilakukan percobaan sebagai pembuktian atas
ilmu pengetahuan tersebut.
5. Proses tingkatan refleksi filsafatis (pengkajian dan penelaahan lmu pengetahuan
secara lebih mendalam).
3. Bagaimana sikap ilmuan seharusnya dalam melakukan penelitian ilmiah ?
L’homme n’est qu’un roseau,
le pluse faible de la nature;
mais c’est un roseau pensant.
Blaise Pascal
Kepada bapak dosen Metodologi Penelitian yang terhormat.
“Scientist, A person versed in or devoted to sciensce”(Ilmuan, Seseorang yang
benar-benar ahli (mengetahui/berkecimpung) atau menekuni ilmu pengetahuan)
,”Scientism, The mental attitude or the practiced of scientists; the aplication of
scientific methods in other realms of investigation whether suitable or not.”
(scientism (?), sebuah sikap mental atau pelatihan bagi ilmuan; penerapan dari
metode ilmiah dalam kenyataan lain dari penelitian apakah yang diteliti memang
pantas (benar) atau tidak). (The Lexicon Webster Dictionary (Ensyclopedic
Edition)).
Di dalam melakukan penelitian secara ilmiah sesuai dengan akademik, memang
dibutuhkan sebuah sikap mental yang mendukung sikap keilmuan tersebut, dimana
sikap tersebut harus diterapkan dan dikembangkan oleh tidak saja hanya para
ilmuan, tetapi juga bagi setiap akademika yang hendak melakukan penyelidikan,
bahkan oleh seorang profesional sekalipun. Sikap mental tersebut merupakan sikap
mental yang dikembangkan berdasarkan dari sifat dan ciri ilmiah itu sendiri.
Seperti yang sudah dibahas tersebut di atas, bahwa sikap mental keilmuan
merupakan penerapan dari metode ilmiah yang dalam kenyataan lain dari penelitian,
apakah yang diteliti memang benar atau tidak. Suatu sikap yang mempertanyakan
sesuatu dan mencari jawaban bagi suatu pertanyaan atau yang dipertanyakan
secara kritis.
De omnibus dubitandum ! Segala sesuatu harus diragukan desak Rene Descartes.
Memang segala sesuatu yang ada dalam hidup ini dimulai dengan meragukan
sesuatu. Tetapi bagi Hemlet, sang peragu, yang berseru kepada Ophelia :
Ragukan bahwa bintang-bintang itu api;
Ragukan bahwa matahari itu bergerak;
Ragukan bahwa kebenaran itu dusta;
Tapi jangan ragukan cintaku.
Kebenaran adalah pernyataan tanpa ragu ! (?) Namun pertanyaannya sekarang
adalah “Apakah kebenaran ?”. dan mungkin lebih spesifik menurut pembahasan ini
disebutkan sebagai “Bagaimana sikap seorang ilmuan dalam melakukan penelitian
(menghadapi sebuah keraguan untuk menemukan sebuah kebenaran dan sebuah
kenyataan yang berelevansi secara kohern) ?”.
Menurut saya, ada beberapa pernyataan sikap yang harus diambil oleh seseorang
(baik itu ilmuan, akademika, profesionalis dan lain-lain) dalam menghadapi keraguan
untuk memperoleh kebenaran secara ilmiah (dalam melakukan penelitian), yaitu
antara lain :
1. Obyektif,tidak mengandung unsur Subyektif.
Bahwa yang kita telaah hanyalah obyek tersebut tanpa ego dan diri kita sebagai
manusia terpaut di dalamnya (/mengkontaminasi pengkajian) agar pengkajian
tersebut dapat berlaku sesuai dengan disiplin ilmu masing-masing. Jadi Apabila
teori dan asumsi yang kita pegang terbukti tidak benar, maka kita harus
membantah teori tersebut dan memperbaikinya. Dan sebuah pernyataan dan
teori sebelumnya yang dicetuskan oleh seorang ilmuan hebat yang terpandang
serta terhormat dengan “segudang” reputasi baik sekalipun, bila di dalam obyek
yang kita teliti, ternyata mendapatkan hasil dan kenyataan yang justru
sebaliknya, harus dikritik untuk diperbaiki tanpa memandang reputasi orang yang
membuat teori yang kita bantah tersebut.
2. Tidak mengandung unsur diskriminatif.
Sebuah pengkajian secara ilmiah tidak berlaku sifat diskriminatif (baik
diskriminasi seksual, agama, etnis dan sebagainya) sehingga tidak menghalangi
perkembangan kultur, budaya dan ilmu pengetahuan demi perkembangan
kemanusiaan yang sesuai dengan kemanusian yang adil dan beradab.
3. Rendah hati
Dalam ilmu ada kerendahan hati. Suatu sikap yang harus dicermati, bahwa
dalam melakukan penelitian, kita harus mempunyai suatu sikap mental positif,
yang diantaranya adalah kerendahan hati yang mengacu pada rasa ingin tahu
dan mencari kebenaran sesuai dengan tujuan sebagai suatu bagian dari sikap
belajar. Ada sebuah pepatah bagus yang mengatakan bahwa “Seseorang baru
disebut sebagai orang yang pintar apabila ia selalu belajar selama hidupnya,
karena dengan belajar ia dapat berkembang dan bukan menjadi pintar.” Sebuah
pertanyaan bagus yang dilontarkan adik saya terhadap saya, “Apa bedanya
antara anak ITB dengan anak Nan Yang University ? Kondisinya, keduanya
ketika masuk mempunyai kemampuan yang sama. Setelah luluspun mempunyai
kemampuan yang tidak jauh berbeda, malah bagusan anak ITB, kemampuan
lulusan ITB lebih tinggi dibandingkan dengan lulusan Nan Yang. Tapi
kenyataannya, lulusan Nan Yang lebih berkembang dan lebih berhasil dibanding
lulusan ITB.” Saya sendiri tidak tahu mengapa, seperti hubungan sebab akibat
dengan term dan kondisi yang ironis dan kontradiktif, ternyata sebabnya adalah
masalah kerendahan hati yang saya nilai dari jawabannya sebagai berikut :
“ Sebabnya, kalau lulusan ITB selalu berkata “Gue yang terbaik diantara yang
paling baik di Indonesia, siapa ada yang lebih pinter dari gue !”, sedangkan
lulusan Nan Yang selalu berkata “Yah, kita sich cuman dari kampus yang
nggak bagus. Apalagi nilai kita cuman pas-pasan. Bagaimana kita bisa
dapat pekerjaan karena lapangan pekerjaan kita sudah diambil anak MIT
(Massachusetts Institut of Technology) kalau kita nggak terus belajar.” “.
Dalam ilmu ada kerendahan hati.
4. Kritis.
Seperti juga sifat filsafat, sifat yang harus dikembangkan dalam sebuah
penelitian bagi seorang peneliti adalah sikap kritis yakni mencari jawaban atas
pertanyaan dan permasalahan serta mengkritik jawaban yang tidak memuaskan.
5. Dinamis dalam kerangka prinsipal terstruktur yang konsisten.
Maksudnya ialah tidak terpaku pada acuan dan teori yang sebelumnya secara
konservatif, tetapi terutama harus dikembangkan sikap “meragukan segala
sesuatu” dan kritis. Hal ini sangat penting terutama dalam menentukan variabel
dan konstanta dari kondisi yang akan dipercobakan. Jangan sampai kita salah
menentukan variabel dan konstanta dari kondisi seperti cerita “profesor dungu”
yang ingin tahu minuman apa yang memabukan tersebut di atas.
6. Sesuai dengan kebenaran moral dan dapat dipertanggungjawabkan.
Segala sesuatu beresiko, baik besar maupun kecil. Dengan itikad baik
mengharapkan agar hal yang kita teliti dapat berguna bagi kemanusiaan. Hal ini
perlu mendapat bahasan khusus dalam nilai kegunaan ilmu (aksiologi) dan
hubungan antara ilmu dengan moral. Namun seperti sebuah syair pada lirik lagu
yang mengatakan :
Every rose has it’s thorne.
Just like every night has it down.
Just like every cowboy, sing a sad, said for song.
Every rose has it’s thorne.
(Poison)
4. Jelaskan mengapa ilmu-ilmu eksakta memiliki tingkat kepastian yang lebih
tinggi dari ilmu-ilmu sosial ?
Jangan pernah tanya ‘ama gua, kalau gua Cina atau bukan.
Gua paling benci kalau ada orang nanya pertanyaan bego kayak gitu ke
gua.
Kalau ‘emang gua orang Cina, ‘emangnya kenapa ?
Dan kalau bukan, ‘emangnya kenapa ?
Yang penting satu yang elu musti tahu,
Gua orang Indonesia.
Vivi Daryanti
Kepada bapak dosen Metodologi Penelitian yang terhormat.
Sebelum saya membahas pertanyaan tersebut di atas, ada baiknya jika saya
mengutip sedikit dari tulisan Jujun S Suriasumantri :
Alkisah,bertanyalah seorang awam kepada seorang yang arif dan bijaksana, “Coba
sebutkan kepada saya berapa jenis manusia yang terdapat dalam kehidupan ini
berdasarkan pengetahuannya !”
Orang tersebut menarik napas panjang dan mulai berpantun :
Ada orang yang tahu di tahunya.
Ada orang yang tahu di tidak tahunya.
Ada orang yang tidak tahu di tahunya.
Ada orang yang tidak tahu di tidak tahunya...
Sebuah kata-kata yang menurut saya sangat bijak (dalam pandangan psikologi)
mengenai jati diri seseorang di dalam kehidupan di dunia. Segala pengetahuan
dimulai dari rasa ingin tahu. Perkataan Jujun S Suriasumantri tersebut sebenarnya
sama persis dengan perkataan seorang teman yang kuliah di falkutas Psikologi :
“Jika saya tahu tentang yang saya tahu, maka apabila ada orang yang tidak tahu,
saya akan memberitahukan kepada orang itu apa yang saya tahu, sebab saya tahu
bahwa saya tahu. Jika saya tahu yang tidak saya ketahui, maka saya akan mencari
tahu, atau bersikap tidak mau tahu karena saya mungkin tidak perlu tahu. Jika saya
tidak tahu bahwa yang sebenarnya saya tahu tentang sesuatu, maka saya adalah
orang yang rendah diri dan tidak punya rasa percaya diri, dan saya perlu orang yang
memberitahukan kepada saya bahwa saya tahu. Jika saya tidak tahu tentang apa
yang saya tidak tahu, lebih baik saya diam dan tidak mau tahu sampai ada yang
memberitahukan. Sebab jika saya sok tahu, itulah yang paling merepotkan dan
dapat membahayakan diri saya, karena lebih baik menjadi orang yang tidak tahu
apa-apa sehingga saya bisa bertanya dibandingkan menjadi orang yang sok tahu
padahal tidak tahu apa-apa sehingga mudah untuk diprovokasi.”. Oleh karena itu,
secara berterus terang saya ingin menjadi orang yang “tahu di ketidaktahuan” agar
saya terus berkembang dalam kehidupan saya, walaupun saya akui, sering kali saya
menjadi orang yang “tidak tahu di tidak tahunya” atau bahkan yang lebih parah lagi,
yaitu orang yang “sok tahu”.
Tetapi demikian, mengenai pertanyaan yang bapak ajukan tersebut di atas, jelas-
jelas saya menentangnya dan patut mempertanyakan keabsahan atas pernyataan
“Ilmu-ilmu eksakta memiliki tingkat kepastian yang lebih tinggi dari ilmu sosial” yang
tidak jelas keberadaannya dan memiliki tingkat kebenaran yang sangat diragukan.
Saya mengerti atas pandangan umum secara universal yang diakui secara absolut
oleh semua orang (dan bukan hanya orang awam saja), bahwa ilmu eksakta
memiliki tingkat kepastian yang lebih tinggi dibandingkan ilmu sosial. Dan terlebih
dari itu, apabila seluruh orang mengakui hal tersebut, saya tidak mungkin
menentang pandangan yang saya anggap sebagai “penghinaan secara akademika
terhadap salah satu kelompok disiplin ilmu sebagai suatu bentuk dari pelecehan dan
diskriminasi terhadap salah satu bidang kehidupan”.
Seperti sebuah perkataan teman saya yang cukup bijak terhadap saya :”Apa sich
definisi dari gila ? Kalau seandainya seluruh orang di dunia menjadi gila, dan cuman
eloe doang yang waras, maka semua orang akan bilang kalau eloe tuch yang gila,
mereka waras.”. Sebuah pernyataan yang cukup “nyeleneh” dan terkesan “kekanak-
kanakan”. Tetapi memang demikianlah kenyataannya, hanya masalah “mayoritas”
dan “minoritas” atau masalah “minoritas yang mengendalikan dan menekan
mayoritas”.
Ketika saya mendengarkan guru PMP (sekarang namanya sudah berganti dengan
PPKN) saya bercerita, saya sangat terkesan dengan pernyataan :
Ketika Ir. Soekarno berpidato di depan para anggota BPUPKI yang sedang
bersidang, Ir. Soekarno mengatakan :
“... bahwa negara yang akan kita dirikan ini tidak mengenal adanya asas
otoritas mayoritas. Minoritaspun diakui baik hak, suara, kewajiban dan
kedudukannya di dalam negara ini. Minoritas mempunyai kesempatan
yang sama dengan mayoritas di dalam menentukan nasib negara ini.
Baik mayoritas dan minoritas diakui persamaannya di dalam negara ini
sesuai dengan asas kebersamaan dan kekeluargaan ...”
Dalam buku yang saya baca mengenai negara integralistik, pernyataan Ir. Soekarno
ini kemudian diperkuat oleh pernyataan Mr. Supomo yang berpidato pada saat yang
sama. Beliau mengatakan sebagai berikut (dalam kutipan buku) :
“...Maka pada dasarnya tidak akan ada dualisme “Staat dan individu”,...
tidak akan ada dualisme “Staat und staatsfreie Gesellschaft” (negara dan
masyarakat di luar negara) ... dan sebaliknya oleh karena Staat bukan
suatu badan kekuasaan atau raksasa politik yang berdiri di luar
lingkungan suasana kemerdekaan seseorang ... Negara...mengatasi
segala golongan dan segala seseorang, mempersatukan diri dengan
segala lapisan rakyat dan seluruhnya ... Negara akan mengakui dan
menghormati adanya golongan-golongan dalam masyarakat yang nyata,
akan tetapi segala seseorang dan segala golongan akan insyaf kepada
kedudukannya sebagai bagian organik dan negara seluruhnya,...Menolak
sistem yang menyamakan manusia satu sama lain seperti angka-angka
belaka yang semuanya sama harganya...”
(dikutip sebagian dari buku Filsafat sebagai Ilmu Kritis karangan Franz Magnis Suseno)
Pendapat yang saya sebutkan tersebut di atas, bukan saya ungkapkan untuk
membela dan melindungi pendapat saya yang tidak setuju atas pernyataan umum
mengenai perbandingan mengenai tingkat “kepastian” (keakuratan) antara ilmu
pengetahuan sosial dengan ilmu pengetahuan alam. Namun hanya mengungkapkan
bahwa saya memang tidak setuju dengan pendapat yang demikian, terutama
terhadap pandangan Jujun S Suriasumantri yang terkesan lebih ekstrem (menurut
saya) dengan kesan seolah-olah menganggap bahwa ilmu pengetahuan sosial
bukanlah ilmu pengetahuan.
Pembahasan selanjutnya adalah sebuah pertanyaan baru yang timbul dari
pembahasan di atas, “Mengapa saya tidak setuju dengan pandangan umum
tersebut ?”.
Sebelum saya menjawabnya, ada baiknya jika saya mengutarakan sedikit tentang
pengalaman hidup saya kepada bapak sebagai bahan acuan dan bahan referensi
(atau lebih tepatnya sebagai konteks permasalahan dan perikop pengkajian) agar
bapak dapat menilai pandangan saya dengan lebih leluasa.
Ketika saya kecil, saya sudah sangat terkesan dengan kemampuan papa saya (ayah
saya) dalam hal akademika, terutama dengan bidang profesinya sebagai “montir”
(ayah saya pernah bekerja sebagai anggota Research and Development grup Astra,
lalu dimutasikan sebagai perwakilan Astra di PT Gaya Motor, kemudian dimutasikan
sebagai Kepala Produksi Gaya Motor Daihatsu. Lalu keluar dan bekerja sebagai
anggota Research and Development di Indomobil Grup, kemudian dimutasikan
menjadi anggota bagian produksi di divisi Mazda, kemudian dimutasikan ke Kepala
Produksi PT Marvia Graha Motor, sebelum akhirnya sekarang menjadi
pengangguran karena kerusuhan bulan Mei tahun 1998). Karena sejak kecil, dan
bahkan setelah menginjak masa pendidikan SMA, saya setiap hari “bergaul” dengan
mobil membuat saya mempunyai hasrat yang tinggi dengan disiplin ilmu teknik
mesin. Hal inilah yang menyebabkan saya pernah berbuat sesuatu yang saya
katakan “ide gila dan disertai perbuatan yang goblok dengan alasan yang tidak
masuk diakal” ketika saya secara “nekat” membuat surat pernyataan tertulis di atas
kertas segel bahwa saya meminta dengan hormat agar saya tidak dinaikkan kelas
agar saya dapat masuk ke jurusan A1/Fisika (dimana waktu itu saya naik kelas dan
masuk jurusan A3/Sosial).
Dalam hal pendidikanpun, orang tua saya sangat memperhatikan kami (saya
maksudnya dalam hal ini) sebagai anak-anaknya dengan memberikan banyak buku
referensi dan pengetahuan yang sangat berguna (diantaranya ada beberapa buku
yang saya pakai dalam penulisan pendapat saya dalam membuat tugas ini),
sehingga saya secara alamiah diajarkan (melalui beberapa cerita) selalu untuk
memperhatikan hal-hal yang kecil yang sepertinya dianggap oleh sebagian orang
tidak berguna untuk diperhatikan (hal inilah yang mendorong saya untuk tertarik dan
mencoba untuk mempelajari filsafat). Dalam hal sekolahpun, saya disekolahkan di
sekolah yang terbaik yang ada di daerah saya, sehingga banyak manfaat yang saya
dapatkan sekarang, seperti contohnya pelajaran mengenai metode ilmiah yang
diajarkan oleh guru pelajaran Biologi di sekolah yang menjadi dasar dan landasan
dalam kerangka berfikir saya terbentuk.
Ketika di SMA, saya diajarkan untuk berfikir secara prinsipal oleh guru fisika saya
yang “rada nyeleneh” dan guru matematika yang “rada gokil” dimana jika ujian selalu
dalam salah satu soal pasti ditanyakan hal-hal prinsipal seperti misalnya “Mengapa
orang mati kalau kesetrum ?” atau “Bagaimana cara mengukur jari-jari atom ?” atau
bahkan “Kenapa kalau orang bernyanyi ketika sedang mandi terdengar suaranya
lebih nyaring dibanding dengan suara teriakan di lapangan bola ? Dan suara orang
terdengar lebih jelas ketika malam hari dibandingkan dengan siang hari ?” (Yang
saya masih ingat dengan jelas karena kesal atas pertanyaan yang diajukan ketika
ulangan kelas 1 SMA yaitu “Sejak dari sekolah dasar kita tahu bahwa jarak antara
matahari dengan bumi adalah 150 juta kilometer, pertanyaannya ialah, bagaimana
cara mengukurnya sehingga dapat diketahui jaraknya sedemikian besar ?”).
Sedangkan guru matematika saya sering “mendongeng” di dalam kelas dan paling
senang dengan sebuah kata yang paling saya benci (tetapi kemudian menjadi salah
satu prinsip hidup saya), Quot Erat Demonstratum (Pembuktian sudah
didemonstrasikan). Sebenarnya saya sungguh beruntung memiliki kedua guru
tersebut di SMA karena banyak ajaran prinsipal yang mereka ajarkan terdogma
dalam kehidupan saya (kebetulan guru fisika saya lulusan MIPA Fisika dan guru
matematika saya lulusan MIPA matematika UI).
Walaupun saya tertarik dengan ilmu pengetahuan alam dengan segala
kerahasiaannya, saya merasa bahwa ada kesan diskriminatif terhadap salah satu
bagian disiplin ilmu. Hal tersebut saya rasakan dengan adanya pandangan “miring”
(atau mungkin sudah menjadi pandangan umum di berbagai kalangan di Indonesia),
bahwa anak Sosial merupakan anak-anak “buangan” yang tidak mampu masuk ke
“golongan orang pintar/golongan Ilmu Pengetahuan Alam”. Pandangan tersebut juga
mengacu pada hal yang seperti yang bapak ajukan di atas bahwa “Ilmu-ilmu Alam
(atau yang disebut eksakta yang berasal dari kata “exact” yang berarti tepat)
memiliki tingkat kepastian yang lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu Sosial”.
Namun ada hal yang membuat saya berfikir lebih jauh mengenai tingkat kepastian
dalam Ilmu Pengetahuan Alam dan menyimpulkan sebuah bantahan terhadap
pandangan tersebut.
Kenyataan pertama, ialah ketika saya sedang ujian fisika di SMA mengenai gaya
gesek (salah satu unsur Newtoniah yang dipakai sebagai salah satu materi
pengajaran teknik mesin, teknik perminyakan dan teknik sipil, khususnya jalan raya).
Ada sebuah soal dalam ujian tersebut yang kira-kira berbunyi demikian :
“Bayangkan jika kita berada dalam suatu ruangan yang maha luas dimana
koefisien gesek kinetis (μk) = 0 (tidak ada) dan koefisien gesek statis (μs) = 0
(tidak ada), atau dengan kata lain tidak ada gaya gesek sama sekali
sehingga jangankan kita berdiri, bergerakpun kita tidak bisa. Bagaimana
caranya agar kita dapat keluar dari ruangan tersebut tanpa menggunakan
alat bantu ?”
Sebenarnya inti dari jawaban pertanyaan tersebut hanya mengenai hukum Newton,
yang berbunyi :
“1. Setiap benda akan tetap berada dalam keadaan diam atau bergerak lurus
beraturan kecuali ia dipaksa untuk mengubah keadaan tersebut oleh
gaya-gaya yang berpengaruh padanya. Atau dengan kata lain, jika tidak
ada resultan gaya yang bekerja pada benda, maka percepatannya adalah
0 (tidak ada).
2. Gaya merupakan suatu hal yang membuat benda (yang memiliki massa)
mengalami percepatan karenanya. Jadi apabila benda yang dikenai gaya
tersebut sedang berada kondisi diam, maka benda tersebut akan
bergerak. Gaya juga merupakan sebuah besaran vektor yang berarti
mempunyai arah, dimana setiap arah dan bentuk gerakan benda seperti
dipercepat, diperlambat dan sebagainya bergantung pada besar dan arah
setiap gaya yang bekerja pada benda tersebut.
3. Untuk setiap aksi selalu terdapat reaksi yang sama besar dan
berlawanan arah; atau, aksi timbal-balik satu terhadap yang lain antara
dua benda selalu sama besar, dan berarah ke bagian yang berlawanan.”
Jadi menurut saya, hanya diberikan sebuah gaya yang secara “bego”-nya dengan
sebuah tiupan anginpun yang kita tiupkan dari mulut kita, maka soal itu dapat
terpecahkan. Tetapi saya tidak menjawab soal ujian tersebut, meskipun banyak
teman saya yang menjawabnya dengan cara “polos” yaitu antara lain : “kentut”, “tiup”
dan lain sebagainya, dan ternyata memang benar. Mengapa ? Karena dalam hati
saya timbul keraguan atas dasar pemikiran logika saya, yaitu “bagaimana dengan
tahanan fluida ?”
Seperti yang kita ketahui, bahwa setiap makhluk hidup (secara aerob disini, dan kita
tidak membahas masalah makhluk hidup yang hidup secara anaerob) memerlukan
oksigen sebagai salah satu sumber energi yang salah satunya adalah dengan cara
bernafas. Demikian pula dengan sebuah aktivitas yang namanya “meniup”, harus
memiliki (setidaknya) udara yang dikumpulkan (walupun bukan oksigen), lalu
dihembuskan secara keras dan bertenaga untuk membentuk suatu gaya yang
membuat tubuh kita meluncur. Namun, karena adanya udara tersebut, maka
terjadilah gaya perlawanan/ tahanan fluida (atau lebih tepatnya aerostatik), karena
walaupun besaran molekulnya sangat kecil dengan kerapatan yang dapat dikatakan
“sangat renggang” (tekanan rendah) namun tetap saja udara merupakan sebuah
molekular yang mempunyai massa, sehingga membentuk suatu momentum
(tumbukan) antara partikel dengan tubuh kita, sehingga menimbulkan gaya friksi
(gesekan). Bagaimana dengan penjelasan mengenai hal tersebut? Jika otot tangan
kita yang sedemikian kuat saja tidak sanggup menggunakan partikel udara di sekitar
sebagai medium untuk membentuk gaya, menimbulkan pertanyaan “Seberapa kuat
otot mulut kita menghembuskan udara keluar dari mulut sehingga membentuk suatu
vektor gaya yang membawa kita keluar dari ruangan yang maha luas tersebut ?”.
Kenyataan kedua yang saya temui ialah mengenai teori Relativitas Einstein yang
menggemparkan. Gambaran apa yang didapat bila mendengar tentang kata “teori
Relativitas” tersebut ? Secara gamblang, orang awam (mungkin) akan menjawab
“Teori yang ditemukan oleh seorang ilmuan hebat yaitu Albert Einstein dimana ada
dua anak kembar, yang satu pergi ke luar angkasa, dan yang satu lagi tinggal di
bumi. Ketika yang pergi ke luar angkasa itu pulang, maka umur yang pergi masih
tetap muda, sedang yang di bumi menjadi tua, dengan buktinya yaitu bom atom.”.
Penjelasan yang menarik, namun sesungguhnya kurang tepat.
Dalam ilmu mekanika, dasar-dasar pemikiran diberikan oleh Newton yang
memperlihatkan bahwa semua hukum alam adalah hal yang pasti (eksakta),
memang benar, namun hukum-hukum tersebut berlaku dalam kerangka yang
lembam. Sedangkan dalam penjelasan mengenai “Apakah itu cahaya?”, kerangka
berfikir seperti demikian tidak dapat memenuhi sebuah penjelasan “Bagaimana
cahaya bisa ditransformasikan dari matahari ke planet seperti bumi dengan melewati
ruang hampa udara ?”. Maka atas kebutuhan tersebut itulah, berkembang sebuah
teori yang dikembangkan oleh Dr. Albert Einstein yang bernama teori Relativitas,
dimana suatu pernyataan yang memandang bahwa hukum alam secara
eksperimental harus dipandang sebagai sesuatu yang tidak selalu eksak (konsisten
sejati) atau relatif. Baik relatif dalam dimensi waktu, maupun relatif dalam dimensi
panjang.
Kedua hal tersebutlah yang membuat saya mempunyai suatu kesimpulan, bahwa
baik ilmu pengetahuan alam, maupun ilmu pengetahuan sosial sama-sama
mempunyai tingkat kepastian yang yang sama, dimana ilmu-ilmu pengetahuan
tersebut disusun dalam suatu kondisi ideal. Dan ilmu-ilmu pengetahuan tersebut pun
memiliki masing-masing ciri khas tersendiri, dimana (mungkin) pada tahap
percobaan (eksperimen), Ilmu Pengetahuan Alam dilakukan di dalam Laboratorium,
sedangkan Ilmu Pengetahuan Sosial dilakukan dengan pengumpulan informasi
seperti wawancara dan angket yang diselidiki dengan metode empiris.
Kedua jenis ilmu pengetahuan tersebut (Ilmu Pengetahuan Alam dan Ilmu
Pengetahuan Sosial) pun sebenarnya tidak dapat diterapkan di dalam kehidupan.
Keduanya baru dapat diterapkan dan berguna secara praktis dalam ilmu terapan,
misalnya seperti ilmu teknik Sipil, ilmu Management, ilmu teknik Mesin, ilmu teknik
elektro komunikasi, ilmu teknik informatik, ilmu hukum, ilmu psikologi dan lain-lain.
Dan saya juga tidak dapat menerima pendapat seorang teman yang mengatakan
logika “anak fisika” berbeda dengan logika “anak sosial”. Apa bedanya ? Logika
tetaplah logika, dan logika bagi “anak fisika” dengan logika bagi “anak sosial”
tetaplah sama, sama-sama logika yang berkedudukan sebagai sarana berpikir
ilmiah.
Namun demikian, tetaplah saya mengakui, bahwa saya tidak mungkin menentang
pandangan umum yang sudah terbentuk. ”Apa sich definisi dari gila ? Kalau
seandainya seluruh orang di dunia menjadi gila, dan cuman eloe doang yang waras,
maka semua orang akan bilang kalau eloe tuch yang gila, mereka waras.” sebagai
suatu nasehat yang bijak akan saya taati agar saya tidak berlawanan secara frontal
sehingga di”cap” sebagai “seorang ekstrimis radikal”.
Sekarang kita masuk dalam pembahasan pokok masalah, (mungkin) menurut
pandangan umum ilmu-ilmu eksakta (ilmu alam) memiliki tingkat kepastian yang
lebih tinggi dari ilmu-ilmu sosial adalah karena dalam ilmu eksakta, metode ilmiah
telah diterapkan dengan didukung suatu percobaan sebagai bukti yang real atas
hipotesis yang disusun. Jadi memang aproksimasi dan toleransi kesalahannya lebih
kecil, sehingga lebih akurat antara teori dengan praktek dalam pembuktiannya,
sedangkan ilmu sosial hanya melalui pendekatan secara empiris atas hipotesa,
sehingga banyak faktor yang tidak diperhitungkan dan dalam banyak kasus
dimasukan ke dalam katalogi “literatur” atau “sesuatu yang bersifat khusus” sebagai
akibat dari variasi dalam individu dan perkembangan individu itu sendiri yang bersifat
dinamis, seperti kata Auguste Comte yang menganggap bahwa ilmu sosial
merupakan ilmu pengetahuan yang paling kompleks dan yang merupakan ilmu
pengetahuan yang akan berkembang pesat sekali sebagai dampak perkembangan
atas kebutuhan manusia yang semakin kompleks.
Sebagai kata penutup, saya menuturkan rasa terima kasih saya yang paling
mendalam atas kesediaan bapak membaca ulasan saya yang lebih terkesan
“dongeng” dan “obrolan warung kopi” ini dan saya mohon maaf apabila ada kata-
kata yang salah dan harap diluruskan apabila ada yang menyimpang.
Hormat saya
Andreas Yudika
24-1996-018

More Related Content

What's hot

Filsafat Ilmu dan Pendekatan Pascadisiplin 05: Paradigma, Positivisme, dan Pa...
Filsafat Ilmu dan Pendekatan Pascadisiplin 05: Paradigma, Positivisme, dan Pa...Filsafat Ilmu dan Pendekatan Pascadisiplin 05: Paradigma, Positivisme, dan Pa...
Filsafat Ilmu dan Pendekatan Pascadisiplin 05: Paradigma, Positivisme, dan Pa...
Ahmad Ibrahim
 
metodologi penelitian
metodologi penelitianmetodologi penelitian
metodologi penelitian
Risfandi Setyawan
 
Hakikat Ilmu Alamiah dan Keterkaitan dengan Teknologi
Hakikat Ilmu Alamiah  dan Keterkaitan dengan TeknologiHakikat Ilmu Alamiah  dan Keterkaitan dengan Teknologi
Hakikat Ilmu Alamiah dan Keterkaitan dengan Teknologi
seaaln
 
Tugas makalah filsafat sains ( pa mustamin)
Tugas makalah filsafat sains ( pa mustamin)Tugas makalah filsafat sains ( pa mustamin)
Tugas makalah filsafat sains ( pa mustamin)Rusmin Unisa
 
Metodologi penelitian
Metodologi penelitianMetodologi penelitian
Metodologi penelitian
MBSHOLEH
 
Filsafat Ilmu dan Pendekatan Pascadisiplin 01: Logika
Filsafat Ilmu dan Pendekatan Pascadisiplin 01: LogikaFilsafat Ilmu dan Pendekatan Pascadisiplin 01: Logika
Filsafat Ilmu dan Pendekatan Pascadisiplin 01: Logika
Ahmad Ibrahim
 
Berpikir ilmiah 2016
Berpikir ilmiah 2016Berpikir ilmiah 2016
Berpikir ilmiah 2016
Ibrahim Doru
 
Metode Induksi Dan Permasalahannya
Metode Induksi Dan PermasalahannyaMetode Induksi Dan Permasalahannya
Metode Induksi Dan Permasalahannya
gueste97040
 
Metpen 1 Penelitian Ilmiah
Metpen 1   Penelitian IlmiahMetpen 1   Penelitian Ilmiah
Metpen 1 Penelitian Ilmiah
Andi Iswoyo
 
Tugas Filsafat Ilmu
Tugas Filsafat IlmuTugas Filsafat Ilmu
Tugas Filsafat Ilmu
KristinaMala
 
Bab 2 pd
Bab 2 pdBab 2 pd
Bab 2 pd
Izyani Ma'syuqi
 
Sikap ilmiah dalam kehidupan sehari (full)
Sikap ilmiah dalam kehidupan sehari (full)Sikap ilmiah dalam kehidupan sehari (full)
Sikap ilmiah dalam kehidupan sehari (full)
Muhammad Hendra
 
Filsafat Ilmu
Filsafat IlmuFilsafat Ilmu
Ilmu Pengetahuan dan Akal Sehat
Ilmu Pengetahuan dan Akal SehatIlmu Pengetahuan dan Akal Sehat
Ilmu Pengetahuan dan Akal Sehat
University of Andalas
 
Filosofi ilmu dalam 3 kajian
Filosofi ilmu dalam 3 kajianFilosofi ilmu dalam 3 kajian
Filosofi ilmu dalam 3 kajianSigit Kindarto
 
Makalah Sejarah Pengetahuan, Metode Ilmiah dan Struktur
Makalah Sejarah Pengetahuan, Metode Ilmiah dan StrukturMakalah Sejarah Pengetahuan, Metode Ilmiah dan Struktur
Makalah Sejarah Pengetahuan, Metode Ilmiah dan Struktur
sayid bukhari
 

What's hot (19)

Filsafat Ilmu dan Pendekatan Pascadisiplin 05: Paradigma, Positivisme, dan Pa...
Filsafat Ilmu dan Pendekatan Pascadisiplin 05: Paradigma, Positivisme, dan Pa...Filsafat Ilmu dan Pendekatan Pascadisiplin 05: Paradigma, Positivisme, dan Pa...
Filsafat Ilmu dan Pendekatan Pascadisiplin 05: Paradigma, Positivisme, dan Pa...
 
metodologi penelitian
metodologi penelitianmetodologi penelitian
metodologi penelitian
 
Hakikat Ilmu Alamiah dan Keterkaitan dengan Teknologi
Hakikat Ilmu Alamiah  dan Keterkaitan dengan TeknologiHakikat Ilmu Alamiah  dan Keterkaitan dengan Teknologi
Hakikat Ilmu Alamiah dan Keterkaitan dengan Teknologi
 
Tugas makalah filsafat sains ( pa mustamin)
Tugas makalah filsafat sains ( pa mustamin)Tugas makalah filsafat sains ( pa mustamin)
Tugas makalah filsafat sains ( pa mustamin)
 
Metodologi penelitian
Metodologi penelitianMetodologi penelitian
Metodologi penelitian
 
Filsafat Ilmu dan Pendekatan Pascadisiplin 01: Logika
Filsafat Ilmu dan Pendekatan Pascadisiplin 01: LogikaFilsafat Ilmu dan Pendekatan Pascadisiplin 01: Logika
Filsafat Ilmu dan Pendekatan Pascadisiplin 01: Logika
 
Berpikir ilmiah 2016
Berpikir ilmiah 2016Berpikir ilmiah 2016
Berpikir ilmiah 2016
 
2. penelitian & ilpeng
2. penelitian & ilpeng2. penelitian & ilpeng
2. penelitian & ilpeng
 
Metode Induksi Dan Permasalahannya
Metode Induksi Dan PermasalahannyaMetode Induksi Dan Permasalahannya
Metode Induksi Dan Permasalahannya
 
Metpen 1 Penelitian Ilmiah
Metpen 1   Penelitian IlmiahMetpen 1   Penelitian Ilmiah
Metpen 1 Penelitian Ilmiah
 
Tugas Filsafat Ilmu
Tugas Filsafat IlmuTugas Filsafat Ilmu
Tugas Filsafat Ilmu
 
Bab 2 pd
Bab 2 pdBab 2 pd
Bab 2 pd
 
Sikap ilmiah dalam kehidupan sehari (full)
Sikap ilmiah dalam kehidupan sehari (full)Sikap ilmiah dalam kehidupan sehari (full)
Sikap ilmiah dalam kehidupan sehari (full)
 
Penelitian Pendidikan Matematika
Penelitian Pendidikan MatematikaPenelitian Pendidikan Matematika
Penelitian Pendidikan Matematika
 
Filsafat Ilmu
Filsafat IlmuFilsafat Ilmu
Filsafat Ilmu
 
Ilmu Pengetahuan dan Akal Sehat
Ilmu Pengetahuan dan Akal SehatIlmu Pengetahuan dan Akal Sehat
Ilmu Pengetahuan dan Akal Sehat
 
Filosofi ilmu dalam 3 kajian
Filosofi ilmu dalam 3 kajianFilosofi ilmu dalam 3 kajian
Filosofi ilmu dalam 3 kajian
 
Makalah Sejarah Pengetahuan, Metode Ilmiah dan Struktur
Makalah Sejarah Pengetahuan, Metode Ilmiah dan StrukturMakalah Sejarah Pengetahuan, Metode Ilmiah dan Struktur
Makalah Sejarah Pengetahuan, Metode Ilmiah dan Struktur
 
Filsafat 8
Filsafat 8Filsafat 8
Filsafat 8
 

Viewers also liked

2015 09 12_22_06_37
2015 09 12_22_06_372015 09 12_22_06_37
2015 09 12_22_06_37
timmsmgroup
 
Tugas ipa sts
Tugas ipa stsTugas ipa sts
Tugas ipa sts
AuliaHapsari
 
Rita Olszewski Resume - August 2015
Rita Olszewski Resume - August 2015Rita Olszewski Resume - August 2015
Rita Olszewski Resume - August 2015
Rita Olszewski
 
FilsafatMetodologiKAT1
FilsafatMetodologiKAT1FilsafatMetodologiKAT1
FilsafatMetodologiKAT1Andreas Yudika
 
Fuzzy Logic (Tugas Elektro industri)
Fuzzy Logic (Tugas Elektro industri)Fuzzy Logic (Tugas Elektro industri)
Fuzzy Logic (Tugas Elektro industri)
Andreas Yudika
 
オープンソースソフトウェア技術の傾向分析
オープンソースソフトウェア技術の傾向分析オープンソースソフトウェア技術の傾向分析
オープンソースソフトウェア技術の傾向分析
Jun Iio
 
My Portfolio in EDTC 2
My Portfolio in EDTC 2My Portfolio in EDTC 2
My Portfolio in EDTC 2
chsllylngcy
 

Viewers also liked (7)

2015 09 12_22_06_37
2015 09 12_22_06_372015 09 12_22_06_37
2015 09 12_22_06_37
 
Tugas ipa sts
Tugas ipa stsTugas ipa sts
Tugas ipa sts
 
Rita Olszewski Resume - August 2015
Rita Olszewski Resume - August 2015Rita Olszewski Resume - August 2015
Rita Olszewski Resume - August 2015
 
FilsafatMetodologiKAT1
FilsafatMetodologiKAT1FilsafatMetodologiKAT1
FilsafatMetodologiKAT1
 
Fuzzy Logic (Tugas Elektro industri)
Fuzzy Logic (Tugas Elektro industri)Fuzzy Logic (Tugas Elektro industri)
Fuzzy Logic (Tugas Elektro industri)
 
オープンソースソフトウェア技術の傾向分析
オープンソースソフトウェア技術の傾向分析オープンソースソフトウェア技術の傾向分析
オープンソースソフトウェア技術の傾向分析
 
My Portfolio in EDTC 2
My Portfolio in EDTC 2My Portfolio in EDTC 2
My Portfolio in EDTC 2
 

Similar to FilsafatMetodologiKAT2

pak sigit sardjono
pak sigit sardjonopak sigit sardjono
pak sigit sardjono
mahendrakurniawan3
 
Revisi pid klmpk 10
Revisi pid klmpk 10Revisi pid klmpk 10
Revisi pid klmpk 10
muhammadfaridfaizal
 
Makalah filsafat ilmu inda
Makalah filsafat ilmu indaMakalah filsafat ilmu inda
Makalah filsafat ilmu inda
Ferdy Tohopi
 
BAB-2_PERKEMBANGAN-DAN-PENGEMBANGAN-ILMU-PENGETAHUAN-ALAM.ppt
BAB-2_PERKEMBANGAN-DAN-PENGEMBANGAN-ILMU-PENGETAHUAN-ALAM.pptBAB-2_PERKEMBANGAN-DAN-PENGEMBANGAN-ILMU-PENGETAHUAN-ALAM.ppt
BAB-2_PERKEMBANGAN-DAN-PENGEMBANGAN-ILMU-PENGETAHUAN-ALAM.ppt
WiraDharma11
 
Pertemuan 3-perkembangan ipa
Pertemuan 3-perkembangan ipaPertemuan 3-perkembangan ipa
Pertemuan 3-perkembangan ipa
Nurainun Adamy
 
Ilmualamiahdasarbr 131221225205-phpapp01
Ilmualamiahdasarbr 131221225205-phpapp01Ilmualamiahdasarbr 131221225205-phpapp01
Ilmualamiahdasarbr 131221225205-phpapp01
FitraUmmah
 
ILMU ALAMIAH DASAR
ILMU ALAMIAH DASARILMU ALAMIAH DASAR
ILMU ALAMIAH DASAR
INDAHMAWARNI1
 
Hakikat sains
Hakikat sainsHakikat sains
Hakikat sains
Eko Supriyadi
 
Bab ii pembahasan_ilmu_alamiah_dasar
Bab ii pembahasan_ilmu_alamiah_dasarBab ii pembahasan_ilmu_alamiah_dasar
Bab ii pembahasan_ilmu_alamiah_dasar
eend_endriani
 
Tugas Akhir Kelompok 8 Pengantar Filsafat Ilmu .pptx
Tugas Akhir Kelompok 8 Pengantar Filsafat Ilmu .pptxTugas Akhir Kelompok 8 Pengantar Filsafat Ilmu .pptx
Tugas Akhir Kelompok 8 Pengantar Filsafat Ilmu .pptx
RestiWanda1
 
Rankuman iad
Rankuman iadRankuman iad
Rankuman iad
Triyas Cah Duol
 
Soaljawab filsafat
Soaljawab filsafatSoaljawab filsafat
Soaljawab filsafat
NovritaLeedya
 
Tugas Akhir Kelompok 8 Pengantar Filsafat Ilmu.pptx
Tugas Akhir Kelompok 8 Pengantar Filsafat Ilmu.pptxTugas Akhir Kelompok 8 Pengantar Filsafat Ilmu.pptx
Tugas Akhir Kelompok 8 Pengantar Filsafat Ilmu.pptx
RestiWanda1
 
Filsafat ilmu 2
Filsafat ilmu 2Filsafat ilmu 2
Filsafat ilmu 2
KuliahMandiri.org
 
Filsafat ilmu 1
Filsafat ilmu 1Filsafat ilmu 1
Filsafat ilmu 1
putri eneliz
 
Makalah puasa sunnah
Makalah puasa sunnahMakalah puasa sunnah
Makalah puasa sunnah
Iska Nangin
 
Tugas kuliah metode penelitian
Tugas kuliah metode penelitianTugas kuliah metode penelitian
Tugas kuliah metode penelitian
Chandra Agustian
 
Metodologi Penelitian Bisnis
Metodologi Penelitian BisnisMetodologi Penelitian Bisnis
Metodologi Penelitian Bisnis
Zaldeeho Nei
 
sebuah materi tentang metodologi penelitian
sebuah materi tentang metodologi penelitiansebuah materi tentang metodologi penelitian
sebuah materi tentang metodologi penelitian
VeniaMursalim
 

Similar to FilsafatMetodologiKAT2 (20)

pak sigit sardjono
pak sigit sardjonopak sigit sardjono
pak sigit sardjono
 
Revisi pid klmpk 10
Revisi pid klmpk 10Revisi pid klmpk 10
Revisi pid klmpk 10
 
Makalah filsafat ilmu inda
Makalah filsafat ilmu indaMakalah filsafat ilmu inda
Makalah filsafat ilmu inda
 
BAB-2_PERKEMBANGAN-DAN-PENGEMBANGAN-ILMU-PENGETAHUAN-ALAM.ppt
BAB-2_PERKEMBANGAN-DAN-PENGEMBANGAN-ILMU-PENGETAHUAN-ALAM.pptBAB-2_PERKEMBANGAN-DAN-PENGEMBANGAN-ILMU-PENGETAHUAN-ALAM.ppt
BAB-2_PERKEMBANGAN-DAN-PENGEMBANGAN-ILMU-PENGETAHUAN-ALAM.ppt
 
Pertemuan 3-perkembangan ipa
Pertemuan 3-perkembangan ipaPertemuan 3-perkembangan ipa
Pertemuan 3-perkembangan ipa
 
Ilmualamiahdasarbr 131221225205-phpapp01
Ilmualamiahdasarbr 131221225205-phpapp01Ilmualamiahdasarbr 131221225205-phpapp01
Ilmualamiahdasarbr 131221225205-phpapp01
 
ILMU ALAMIAH DASAR
ILMU ALAMIAH DASARILMU ALAMIAH DASAR
ILMU ALAMIAH DASAR
 
Hakikat sains
Hakikat sainsHakikat sains
Hakikat sains
 
Bab ii pembahasan_ilmu_alamiah_dasar
Bab ii pembahasan_ilmu_alamiah_dasarBab ii pembahasan_ilmu_alamiah_dasar
Bab ii pembahasan_ilmu_alamiah_dasar
 
Tugas Akhir Kelompok 8 Pengantar Filsafat Ilmu .pptx
Tugas Akhir Kelompok 8 Pengantar Filsafat Ilmu .pptxTugas Akhir Kelompok 8 Pengantar Filsafat Ilmu .pptx
Tugas Akhir Kelompok 8 Pengantar Filsafat Ilmu .pptx
 
Rankuman iad
Rankuman iadRankuman iad
Rankuman iad
 
Soaljawab filsafat
Soaljawab filsafatSoaljawab filsafat
Soaljawab filsafat
 
Tugas Akhir Kelompok 8 Pengantar Filsafat Ilmu.pptx
Tugas Akhir Kelompok 8 Pengantar Filsafat Ilmu.pptxTugas Akhir Kelompok 8 Pengantar Filsafat Ilmu.pptx
Tugas Akhir Kelompok 8 Pengantar Filsafat Ilmu.pptx
 
Hakekat sains
Hakekat sainsHakekat sains
Hakekat sains
 
Filsafat ilmu 2
Filsafat ilmu 2Filsafat ilmu 2
Filsafat ilmu 2
 
Filsafat ilmu 1
Filsafat ilmu 1Filsafat ilmu 1
Filsafat ilmu 1
 
Makalah puasa sunnah
Makalah puasa sunnahMakalah puasa sunnah
Makalah puasa sunnah
 
Tugas kuliah metode penelitian
Tugas kuliah metode penelitianTugas kuliah metode penelitian
Tugas kuliah metode penelitian
 
Metodologi Penelitian Bisnis
Metodologi Penelitian BisnisMetodologi Penelitian Bisnis
Metodologi Penelitian Bisnis
 
sebuah materi tentang metodologi penelitian
sebuah materi tentang metodologi penelitiansebuah materi tentang metodologi penelitian
sebuah materi tentang metodologi penelitian
 

FilsafatMetodologiKAT2

  • 1. Universitas Kristen Krida Wacana Fakultas Teknik Jurusan Sipil TUGAS METODOLOGI PENELITIAN ILMIAH (KTA 2) Disusun oleh : Andreas Yudika (24-1996-018 / 24-2003-021) Universitas Kristen Krida Wacana Fakultas Teknik Jurusan Sipil Jakarta 2001
  • 2. Mata Kuliah : Meteodologi Penelitian Kriteria : Tugas Judul : KTA II Penyusun : Andreas Yudika (24-1996-018) 1. Apakah anda mempunyai pendapat lain tentang sifat/ciri-ciri ilmiah? Jelaskan pendapat saudara ! Kalau kita perlu panas, kita buat matahari bersinar Kalau kita perlu hujan, kita buat awan menurunkan hujan Kong Beng (Zhuge Liang) Kepada bapak dosen Metodologi Penelitian yang terhormat. Seperti yang sudah saya kemukakan sebelumnya, bahwa sebelum kita berbicara lebih jauh mengenai sifat dan ciri-ciri ilmiah, marilah kita bahas mengenai perkataan “ilmiah” itu sendiri. Apakah kata ilmiah itu? Ada banyak asumsi dan pendapat mengenai kata ilmiah. Yang paling umum (mungkin) bagi orang awam berpendapat mengenai ilmiah, secara terdokrinasi mereka (mungkin) akan mengatakan “Suatu benda (ilmu pengetahuan) yang memusingkan dan membingungkan yang disusun dalam kerangka formal dimana merupakan suatu permainan untuk orang-orang nyentrik yang menyebut dirinya sendiri sebagai orang pintar dan berpendidikan”. Terlalu deskriptif untuk sebuah doktrin imajiner, Namun benarkah demikian? Menurut The Lexicon Webster Dictionary (Ensyclopedic Edition), kata “Ilmu Pengetahuan” (Science) didefinisikan sebagai berikut :” Knowladge, esp, of fact or principles, gain by systematic study; a particular brance of knowladge, esp, one dealing with the body of fact or thruths systematically arranged and showing the operation of general laws (as the science of mathematics), systematized knowladge, esp, of the laws and fact of the physical or material world; skill resulting from training.” (Yang saya terjemahkan secara kasar : “Pengetahuan dari suatu kenyataan atau prinsip (secara prinsipal dan mendasar) yang didapatkan melalui penelaahan dan kajian (belajar) secara tersistim (dalam hal ini berarti tersruktur) suatu kajian teliti dari pengetahuan, sesuatu yang berhubungan dengan bentuk suatu fakta atau susunan kenyataan (kebenaran) yang terstruktur dan memperlihatkan pengoprasian (proses pelaksanaan) dari kebenaran umum/hukum-hukum umum (sebagai dikaji atas ilmiah (ilmu) matematika), suatu pengetahuan yang terstruktur atas hukum dan fakta dari fisik (bentuk alam secara nyata) atau materi bumi (atau materi di dunia); dan keterampilan yang didapatkan dari latihan.”). Dan menurut Encyclopedia Americana, kata “Ilmu pengetahuan” (Science) didefinisikan sebagai berikut :” Science is defined as systematized positive knowladge, or what has been taken as positive knowladge at diffrent ages and in diffrent place” (George Sarton, Author of “Horus, A Guide to History of Science”, Encyclopedia Americana) (Yang saya terjemahkan secara kasar sebagai berikut : “Ilmu pengetahuan didefinisikan sebagai pengetahuan positif yang tersistim (terstruktur), atau sesuatu (pengetahuan) yang dijadikan (dimasukkan) ke dalam (sebagai) pengetahuan positif di waktu dan tempat yang berbeda.” Sedangkan kata “ilmiah” itu sendiri (scientific) menurut The Lexicon Webster Dictionary (Ensyclopedic Edition), didefinisikan sebagai berikut :”Pertaining to science. “ (yang saya terjemahkan secara kasar ialah sebagai berikut : “ Menyinggung (berdasarkan) Ilmu pengetahuan (science).”)
  • 3. Jadi di sini kita lihat, bahwa “Ilmiah” merupakan suatu hal yang berhubungan dengan Ilmu Pengetahuan, dimana merupakan suatu sikap yang harus dicermati dan diteladani bagi setiap orang yang belajar, baik dalam pelajaran akademis, non akademis, pelatihan keterampilan, pendidikan formal maupun non formal yang dilakukan secara tersistem dan terstruktur sehngga penelaahan dan kajian dijalankan secara teratur dan terjadwal sesuai dengan tujuan dari pengajaran dan/atau pelatihan dan/atau pendidikan itu sendiri. Setelah kita tahu bahwa ilmiah adalah sebagai berikut di atas, berarti ilmiah tersebut tentu mempunyai sifat atau ciri-ciri, dimana bila kita lihat dari pernyataan berikut di atas. Lantas, bagaimanakah ciri-ciri dan sifatnya dari kata “ilmiah” ? Menurut saya, ciri-ciri ilmiah itu antara lain : 1. Obyektif Bahwa yang kita telaah hanyalah obyek tersebut tanpa ego dan diri kita sebagai manusia terpaut di dalamnya (/mengkontaminasi pengkajian) agar pengkajian tersebut dapat berlaku secara universal sesuai dengan disiplin ilmu masing- masing. Jadi Apabila teori dan asumsi yang kita pegang terbukti tidak benar, maka kita harus membantah teori tersebut dan memperbaikinya. 2. Kritis. Yang dalam arti mencari semua jawaban-jawaban yang tidak atau belum terjawab dan mengritik jawaban-jawaban yang tidak memadai dengan tujuan memperbaiki jawaban-jawaban yang tidak memadai tersebut. 3. Mempunyai dan memperlihatkan bukti serta harus dapat dibuktikan kembali. Suatu telaah ilmiah bukanlah sesuatu yang hanya bermodalkan “percaya”. Tetapi lebih dari itu, penelaahan secara ilmiah harus memiliki bukti, memperlihatkan bukti, dapat membuktikan suatu kebenaran, dan bahkan harus dapat dibuktikan kembali kebenarannya. 4. Menggunakan suatu metode dan/atau suatu sistem yang terstruktur dan terjadwal. Penelaahan secara ilmiah tidak dilakukan dengan cara “semau gue” atau “seenak-enaknya dewek” dan tidak dilakukan dengan metode “obok-obok bin ora urus”. Menelaah sesuatu secara ilmiah haruslah dilakukan dengan cara teratur, terjadwal dengan sistematika yang terstruktur. Urutan-urutan kegiatannya jelas dengan menggunakan prosedur dan metode yang jelas supaya hasilnya dapat dipertanggungjawabkan dan dapat dipelajari oleh siapapun baik yang suka maupun yang memerlukannya. Dan metode untuk menelaah sesuatu secara ilmiah sudah dirumuskan secara jelas menjadi beberapa untaian dari urutan- urutan prosedur standar yang disebut dengan Metode Ilmiah. Metode Ilmiah itu antara lain adalah : 1. Perumusan suatu masalah. Selama manusia hidup tidak akan pernah terlepas dari masalah. Bahkan setelah manusia meninggal duniapun manusia masih harus dirudung oleh masalah. Banyak sebab masalah manusia itu timbul, mulai dari ancaman dari luar, kebutuhan manusia, keinginan manusia dan lain-lain. Di dalam penelaahan secara ilmiah, perumusan masalah merupakan pertanyaan tentang obyek yang jelas batas-batasnya dan pengidentifikasian seluruh faktor-faktor yang terkait di dalamnya. Secara singkat dapat dianalogikan dengan pertanyaan “Ada apa ?”.
  • 4. 2. Pencarian data. Banyak pendapat yang memasukan urutan ini pada urutan pertama yaitu “perumusan masalah”. Namun saya lebih suka untuk memisahkannya, karena “pencarian data” merupakan langkah yang menjembatani antara “peumusan masalah” dimana kita mengidentifikasi suatu masalah dengan batas dan faktornya secara jelas, dengan langkah selanjutnya, yaitu “penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis”. Pencarian data dapat dilakukan dengan banyak hal, misalnya dengan cara “semi eksperimen” (contohnya dengan angket dan lain-lain), dengan cara menelaah teori sebelumnya, mengumpulkan informasi dari nara sumber yang dapat dipertanggungjawabkan dan akurat mengenai obyek permasalahan dan masih banyak cara yang lainnya. 3. Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan Hipotesis. Sebelum kita menyusun sebuah “dugaan sementara” (hipotesis), marilah kita menyusun masalah berdasarkan teori, fakta dan informasi yang kita dapatkan menjadi sebuah argumentasi yang (mungkin) menjelaskan hubungan-hubungan yang mungkin (kemungkinannya ada) terdapat dalam berbagai faktor yang saling mengkait dan membentuk konstelasi permasalahan. Kerangka berpikir ini disusun secara rasional berdasarkan dengan premis- premis yang telah teruji kebenarannya (seperti teori, postulat, hukum dan sebagainya yang berhubungan dengan permasalahan) dengan memperhatikan faktor-faktor empiris (seperti fakta dan informasi) yang relevan dengan permasalahan. Tahap ini juga termasuk dengan penentuan variabel dan konstanta yang akan dipakai dalam pengujian. Dalam penentuan faktor-faktor empiris sebagai kedudukan variabel atau kedudukan konstanta, sangat penting diperhatikan secara teliti dan dikaji terlebih dahulu, supaya jangan sampai terjadi “salah kaprah” secara pragmatis yang menyebabkan “kesalahan fatal” pada eksperimen sehingga kesimpulan yang diambil merupakan jawaban yang salah dan tidak berguna, seperti ada anekdot di bawah ini: “Alkisah ada seorang ilmuan yang ingin meneliti tentang “minuman apakah yang membuat seseorang mabuk”. Pertama-tama, ia mencampur air mineral dengan wiskey. Setelah meminumnya, iapun mabuk. Yang kedua, ia mencampurkan air mineral dengan Bacardy (sejenis Rum), iapun mabuk setelah meminumnya. Kemudian ia mencampur air mineral dengan Vodka. Setelah meminumnya, iapun kembali mabuk. Lalu ia mencampur air mineral dengan Brandy. Belum selesai meminumnya, ia telah mabuk. Lalu yang terakhir, ia mencampurkan air mineral dengan tuak. Ternyata kali ini pun ia mabuk setelah meminumnya. Akhirnya ia menyimpulkan bahwa yang memabukkan adalah air mineral.” 4. Pengajuan Hipotesa. Tahap ini merupakan sebuah “argumentasi mentah dengan ribuan kemungkinan dan alasan”, dimana argumentasi tersebut merupakan jawaban sementara (kira-kira) atas sebab dan akibat ataupun penyelesaian dari permasalahan yang kita hadapi yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir yang kita kembangkan sebelumnya.
  • 5. 5. Eksperimental / Percobaan guna menjadi suatu pengujian bagi hipotesa. Percobaan di sini, merupakan suatu pembuktian, apakah hipotesa kita benar atau salah. Ada banyak cara dalam melakukan percobaan, apakah itu di Laboratorium, ataukah pengumpulan fakta di lapangan, dan banyak macam lainnya. Percobaan ini dilakukan sebagai bukti dari hipotesis yang kita susun sebagai argumentasi. 6. Penarikan kesimpulan akhir sementara (Hipotesis). Langkah ini merupakan penilaian apakah sebuah hipotesa tersebut diterima atau ditolak. Hal yang perlu diingat ialah dalam hal ini, hipotesa yang diajukan (hipotesis sebagai kesimpulan akhir yang ditarik) harus ditafsirkan secara pragmatis, dalam arti kata, belum ada fakta yang menyatakan sebaliknya. 7. Langkah akhir. Yang dimaksud dengan langkah akhir ialah suatu langkah guna menjadikan kesimpulan akhir yang bersifat sementara tersebut (hipotesis) menjadi suatu kesimpulan akhir secara bulat dan dianggap sebagai bagian dari ilmu pengetahuan. Langkah akhir tersebut mencakup dua hal yaitu : a. Pengujian ulang dengan percobaan. b. Penarikan kesimpulan akhir yang memang sudah diuji kembali. 5. Mempunyai kerangka berfikir yang konsisten. 6. Memiliki beberapa aspek, yang diantaranya ialah : 1. Penalaran. 2. Kemampuan verbal. 3. Kemampuan non verbal. 4. Abstrakis. 5. Logika. 6. Ketelitian. 7. Asumsi. 8. Peluang. Sedangkan untuk berpikir secara ilmiah, kita juga membutuhkan sebuah sarana dan fasilitas yang menunjang dalam penelaahan sesuatu secara ilmiah. Sarana dan fasilitas tersebut (yang kemudian disebut Sarana Ilmiah) adalah : 1. Bahasa. 2. Matematika. 7. Mempunyai nilai kegunaan, baik menjadi sebagai dasar dari suatu aplikasi yang dibutuhkan maupun mempunyai nilai kegunaan secara prospeksional. 8. Menjawab pertanyaan atas sebuah pertanyaan yang tidak terjawab. Maksudnya ialah, bahwa sesuatu yang “ilmiah” itu haruslah menjadi sebuah jawaban dengan nilai kebenaran yang mutlak dengan segala faktor dan perumusannya yang koheren atas keterbatasan dan pertanyaan yang menjadi kebutuhan manusia secara akademik, dimana “ilmu” tersebut secara akademik dimasukkan sebagai literatur yang diajarkan dalam akademik demi perkembangan kemanusiaan.
  • 6. 2. Paparkan proses tingkatan pengetahuan mulai dari pengetahuan biasa dan khusus sampai filsafat. Le bon sens est la chose du monde la mieux partage’e, Car chacun pense en être bien porvu. Rene Descartes Kepada bapak dosen Metodologi Penelitian yang terhormat. Saya rasa (mungkin) ada perbedaan pendapat yang cukup tajam antara pendapat bapak dan pendapat saya mengenai filsafat dan ilmu pengetahuan, jika saya lihat pada pertanyaan yang bapak ajukan di tersebut atas. Berdasarkan yang saya sudah bahas sebelumnya bahwa Filsafat adalah suatu dasar pemikiran yang mempelajari (atau lebih tepatnya merenungkan) suatu dasar yang menjadi dasar dari segala ilmu baik pemikiran,ilmu pengetahuan, pengetahuan ataupun ilmu yang ada di dunia dimana filsafat tersebut menjadi suatu penghubung dan penterjemah antara teori dan praktek yang mempertahankan sifat kritisinya dimana sebagai pencari jawaban atas semua pertanyaan kita dan mengkritik jawaban-jawaban yang tidak memadai (secara definitif). Jadi menurut saya, pertanyaan tersebut diuraikan secara sistematik menjadi Paparkan proses tingkatan pengetahuan mulai dari filsafat, pengetahuan biasa dan pengetahuan khusus. Namun secara akademika, pendapat saya (yang mungkin memiliki kepastian yang tinggi) adalah keliru (jadi, dapat dipastikan pendapat saya keliru). Dan saya ingin memperbaiki pandangan dan pendapat saya sesuai dengan yang bapak ajarkan kepada saya. Secara singkat tersistematis, saya akan mencoba untuk memaparkan kepada bapak, proses tingkatan pengetahuan mulai dari pengetahuan biasa, pengetahuan khusus sampai ke filsafat yaitu : 1. Proses tingkatan tahu secara global. Proses ini merupakan suatu tingkatan dimana pengetahuan yang dimiliki hanya sekedar “tahu” tanpa menelaah lebih lanjut. Proses tahu ini disebabkan oleh interaksi kita sebagai manusia baik dengan alam, maupun dengan sesama manusia dengan menggunakan indra kita. Tingkatan pengetahuan ini menyebabkan yang memilikinya disebut sebagai “orang awam”. Misalnya, semua orang tahu kalau jatuh itu arahnya ke bawah, tanpa pengkajian lebih lanjut sebabnya, tetapi akibatnya diketahui secara umum berdasarkan pengalaman bahwa kalau jatuh ke bawah itu menyebabkan rasa sakit (tanpa tahu spesifikasi sakit tersebut, apakah rasa nyeri, atau rasa perih), sehingga kalau jalan harus hati-hati jangan sampai jatuh, dan menganggap hanya orang “bego” yang bertanya “bisa tidak kalau jatuh itu ke atas ?”. 2. Proses tingkatan pengetahuan dasar. Proses ini merupakan suatu tingkatan pengetahuan yang lebih rinci secara umum, dimana pengetahuan ini (mungkin) diajarkan pada sekolah dasar, dimana manusia mulai mengenal sesuatu hal yang bernama ilmu pengetahuan. Misalnya, pada pelajaran ilmu pengetahuan alam di sekolah dasar diajarkan bahwa sesuatu benda “jatuh” ke bawah karena ada berat benda (dimana berat merupakan pengaruh dari gaya gravitasi lokal terhadap massa suatu benda). 3. Proses penjelasan (penelaahan ilmu pengetahuan) Pada proses tingkatan ini, seorang murid dijelaskan mengenai “mengapa itu” dan “bagaimana itu terjadi”. Hal tersebut membuat diajarkannya sesuatu hal yang
  • 7. secara spesifikasi umum dilandaskan pada teori. Misalnya, diajarkannya bahwa secara vektor, gaya gravitasi bekerja terhadap suatu benda dengan arah ke pusat inti bumi dengan kisaran sebesar “g=98 m/sec2 ”, dimana kecepatan jatuh benda yang dijatuhkan secara bebas mengikuti acuan rumus “Vt = ½ gt2”, atau “Vt=2gh” dimana Vt adalah kecepatan jatuh benda, g adalah percepatan gravitasi, t adalah waktu dan h adalah tinggi benda dari permukaan bumi. 4. Proses percobaan (pengkajian ilmu pengetahuan) Dalam proses tingkatan ini, seseorang mulai memiliki keraguan atas teori yang diajarkannya. Oleh karena itu, dilakukan percobaan sebagai pembuktian atas ilmu pengetahuan tersebut. 5. Proses tingkatan refleksi filsafatis (pengkajian dan penelaahan lmu pengetahuan secara lebih mendalam).
  • 8. 3. Bagaimana sikap ilmuan seharusnya dalam melakukan penelitian ilmiah ? L’homme n’est qu’un roseau, le pluse faible de la nature; mais c’est un roseau pensant. Blaise Pascal Kepada bapak dosen Metodologi Penelitian yang terhormat. “Scientist, A person versed in or devoted to sciensce”(Ilmuan, Seseorang yang benar-benar ahli (mengetahui/berkecimpung) atau menekuni ilmu pengetahuan) ,”Scientism, The mental attitude or the practiced of scientists; the aplication of scientific methods in other realms of investigation whether suitable or not.” (scientism (?), sebuah sikap mental atau pelatihan bagi ilmuan; penerapan dari metode ilmiah dalam kenyataan lain dari penelitian apakah yang diteliti memang pantas (benar) atau tidak). (The Lexicon Webster Dictionary (Ensyclopedic Edition)). Di dalam melakukan penelitian secara ilmiah sesuai dengan akademik, memang dibutuhkan sebuah sikap mental yang mendukung sikap keilmuan tersebut, dimana sikap tersebut harus diterapkan dan dikembangkan oleh tidak saja hanya para ilmuan, tetapi juga bagi setiap akademika yang hendak melakukan penyelidikan, bahkan oleh seorang profesional sekalipun. Sikap mental tersebut merupakan sikap mental yang dikembangkan berdasarkan dari sifat dan ciri ilmiah itu sendiri. Seperti yang sudah dibahas tersebut di atas, bahwa sikap mental keilmuan merupakan penerapan dari metode ilmiah yang dalam kenyataan lain dari penelitian, apakah yang diteliti memang benar atau tidak. Suatu sikap yang mempertanyakan sesuatu dan mencari jawaban bagi suatu pertanyaan atau yang dipertanyakan secara kritis. De omnibus dubitandum ! Segala sesuatu harus diragukan desak Rene Descartes. Memang segala sesuatu yang ada dalam hidup ini dimulai dengan meragukan sesuatu. Tetapi bagi Hemlet, sang peragu, yang berseru kepada Ophelia : Ragukan bahwa bintang-bintang itu api; Ragukan bahwa matahari itu bergerak; Ragukan bahwa kebenaran itu dusta; Tapi jangan ragukan cintaku. Kebenaran adalah pernyataan tanpa ragu ! (?) Namun pertanyaannya sekarang adalah “Apakah kebenaran ?”. dan mungkin lebih spesifik menurut pembahasan ini disebutkan sebagai “Bagaimana sikap seorang ilmuan dalam melakukan penelitian (menghadapi sebuah keraguan untuk menemukan sebuah kebenaran dan sebuah kenyataan yang berelevansi secara kohern) ?”. Menurut saya, ada beberapa pernyataan sikap yang harus diambil oleh seseorang (baik itu ilmuan, akademika, profesionalis dan lain-lain) dalam menghadapi keraguan untuk memperoleh kebenaran secara ilmiah (dalam melakukan penelitian), yaitu antara lain : 1. Obyektif,tidak mengandung unsur Subyektif. Bahwa yang kita telaah hanyalah obyek tersebut tanpa ego dan diri kita sebagai manusia terpaut di dalamnya (/mengkontaminasi pengkajian) agar pengkajian tersebut dapat berlaku sesuai dengan disiplin ilmu masing-masing. Jadi Apabila teori dan asumsi yang kita pegang terbukti tidak benar, maka kita harus membantah teori tersebut dan memperbaikinya. Dan sebuah pernyataan dan
  • 9. teori sebelumnya yang dicetuskan oleh seorang ilmuan hebat yang terpandang serta terhormat dengan “segudang” reputasi baik sekalipun, bila di dalam obyek yang kita teliti, ternyata mendapatkan hasil dan kenyataan yang justru sebaliknya, harus dikritik untuk diperbaiki tanpa memandang reputasi orang yang membuat teori yang kita bantah tersebut. 2. Tidak mengandung unsur diskriminatif. Sebuah pengkajian secara ilmiah tidak berlaku sifat diskriminatif (baik diskriminasi seksual, agama, etnis dan sebagainya) sehingga tidak menghalangi perkembangan kultur, budaya dan ilmu pengetahuan demi perkembangan kemanusiaan yang sesuai dengan kemanusian yang adil dan beradab. 3. Rendah hati Dalam ilmu ada kerendahan hati. Suatu sikap yang harus dicermati, bahwa dalam melakukan penelitian, kita harus mempunyai suatu sikap mental positif, yang diantaranya adalah kerendahan hati yang mengacu pada rasa ingin tahu dan mencari kebenaran sesuai dengan tujuan sebagai suatu bagian dari sikap belajar. Ada sebuah pepatah bagus yang mengatakan bahwa “Seseorang baru disebut sebagai orang yang pintar apabila ia selalu belajar selama hidupnya, karena dengan belajar ia dapat berkembang dan bukan menjadi pintar.” Sebuah pertanyaan bagus yang dilontarkan adik saya terhadap saya, “Apa bedanya antara anak ITB dengan anak Nan Yang University ? Kondisinya, keduanya ketika masuk mempunyai kemampuan yang sama. Setelah luluspun mempunyai kemampuan yang tidak jauh berbeda, malah bagusan anak ITB, kemampuan lulusan ITB lebih tinggi dibandingkan dengan lulusan Nan Yang. Tapi kenyataannya, lulusan Nan Yang lebih berkembang dan lebih berhasil dibanding lulusan ITB.” Saya sendiri tidak tahu mengapa, seperti hubungan sebab akibat dengan term dan kondisi yang ironis dan kontradiktif, ternyata sebabnya adalah masalah kerendahan hati yang saya nilai dari jawabannya sebagai berikut : “ Sebabnya, kalau lulusan ITB selalu berkata “Gue yang terbaik diantara yang paling baik di Indonesia, siapa ada yang lebih pinter dari gue !”, sedangkan lulusan Nan Yang selalu berkata “Yah, kita sich cuman dari kampus yang nggak bagus. Apalagi nilai kita cuman pas-pasan. Bagaimana kita bisa dapat pekerjaan karena lapangan pekerjaan kita sudah diambil anak MIT (Massachusetts Institut of Technology) kalau kita nggak terus belajar.” “. Dalam ilmu ada kerendahan hati. 4. Kritis. Seperti juga sifat filsafat, sifat yang harus dikembangkan dalam sebuah penelitian bagi seorang peneliti adalah sikap kritis yakni mencari jawaban atas pertanyaan dan permasalahan serta mengkritik jawaban yang tidak memuaskan. 5. Dinamis dalam kerangka prinsipal terstruktur yang konsisten. Maksudnya ialah tidak terpaku pada acuan dan teori yang sebelumnya secara konservatif, tetapi terutama harus dikembangkan sikap “meragukan segala sesuatu” dan kritis. Hal ini sangat penting terutama dalam menentukan variabel dan konstanta dari kondisi yang akan dipercobakan. Jangan sampai kita salah menentukan variabel dan konstanta dari kondisi seperti cerita “profesor dungu” yang ingin tahu minuman apa yang memabukan tersebut di atas. 6. Sesuai dengan kebenaran moral dan dapat dipertanggungjawabkan. Segala sesuatu beresiko, baik besar maupun kecil. Dengan itikad baik mengharapkan agar hal yang kita teliti dapat berguna bagi kemanusiaan. Hal ini perlu mendapat bahasan khusus dalam nilai kegunaan ilmu (aksiologi) dan hubungan antara ilmu dengan moral. Namun seperti sebuah syair pada lirik lagu yang mengatakan :
  • 10. Every rose has it’s thorne. Just like every night has it down. Just like every cowboy, sing a sad, said for song. Every rose has it’s thorne. (Poison)
  • 11. 4. Jelaskan mengapa ilmu-ilmu eksakta memiliki tingkat kepastian yang lebih tinggi dari ilmu-ilmu sosial ? Jangan pernah tanya ‘ama gua, kalau gua Cina atau bukan. Gua paling benci kalau ada orang nanya pertanyaan bego kayak gitu ke gua. Kalau ‘emang gua orang Cina, ‘emangnya kenapa ? Dan kalau bukan, ‘emangnya kenapa ? Yang penting satu yang elu musti tahu, Gua orang Indonesia. Vivi Daryanti Kepada bapak dosen Metodologi Penelitian yang terhormat. Sebelum saya membahas pertanyaan tersebut di atas, ada baiknya jika saya mengutip sedikit dari tulisan Jujun S Suriasumantri : Alkisah,bertanyalah seorang awam kepada seorang yang arif dan bijaksana, “Coba sebutkan kepada saya berapa jenis manusia yang terdapat dalam kehidupan ini berdasarkan pengetahuannya !” Orang tersebut menarik napas panjang dan mulai berpantun : Ada orang yang tahu di tahunya. Ada orang yang tahu di tidak tahunya. Ada orang yang tidak tahu di tahunya. Ada orang yang tidak tahu di tidak tahunya... Sebuah kata-kata yang menurut saya sangat bijak (dalam pandangan psikologi) mengenai jati diri seseorang di dalam kehidupan di dunia. Segala pengetahuan dimulai dari rasa ingin tahu. Perkataan Jujun S Suriasumantri tersebut sebenarnya sama persis dengan perkataan seorang teman yang kuliah di falkutas Psikologi : “Jika saya tahu tentang yang saya tahu, maka apabila ada orang yang tidak tahu, saya akan memberitahukan kepada orang itu apa yang saya tahu, sebab saya tahu bahwa saya tahu. Jika saya tahu yang tidak saya ketahui, maka saya akan mencari tahu, atau bersikap tidak mau tahu karena saya mungkin tidak perlu tahu. Jika saya tidak tahu bahwa yang sebenarnya saya tahu tentang sesuatu, maka saya adalah orang yang rendah diri dan tidak punya rasa percaya diri, dan saya perlu orang yang memberitahukan kepada saya bahwa saya tahu. Jika saya tidak tahu tentang apa yang saya tidak tahu, lebih baik saya diam dan tidak mau tahu sampai ada yang memberitahukan. Sebab jika saya sok tahu, itulah yang paling merepotkan dan dapat membahayakan diri saya, karena lebih baik menjadi orang yang tidak tahu apa-apa sehingga saya bisa bertanya dibandingkan menjadi orang yang sok tahu padahal tidak tahu apa-apa sehingga mudah untuk diprovokasi.”. Oleh karena itu, secara berterus terang saya ingin menjadi orang yang “tahu di ketidaktahuan” agar saya terus berkembang dalam kehidupan saya, walaupun saya akui, sering kali saya menjadi orang yang “tidak tahu di tidak tahunya” atau bahkan yang lebih parah lagi, yaitu orang yang “sok tahu”. Tetapi demikian, mengenai pertanyaan yang bapak ajukan tersebut di atas, jelas- jelas saya menentangnya dan patut mempertanyakan keabsahan atas pernyataan “Ilmu-ilmu eksakta memiliki tingkat kepastian yang lebih tinggi dari ilmu sosial” yang tidak jelas keberadaannya dan memiliki tingkat kebenaran yang sangat diragukan.
  • 12. Saya mengerti atas pandangan umum secara universal yang diakui secara absolut oleh semua orang (dan bukan hanya orang awam saja), bahwa ilmu eksakta memiliki tingkat kepastian yang lebih tinggi dibandingkan ilmu sosial. Dan terlebih dari itu, apabila seluruh orang mengakui hal tersebut, saya tidak mungkin menentang pandangan yang saya anggap sebagai “penghinaan secara akademika terhadap salah satu kelompok disiplin ilmu sebagai suatu bentuk dari pelecehan dan diskriminasi terhadap salah satu bidang kehidupan”. Seperti sebuah perkataan teman saya yang cukup bijak terhadap saya :”Apa sich definisi dari gila ? Kalau seandainya seluruh orang di dunia menjadi gila, dan cuman eloe doang yang waras, maka semua orang akan bilang kalau eloe tuch yang gila, mereka waras.”. Sebuah pernyataan yang cukup “nyeleneh” dan terkesan “kekanak- kanakan”. Tetapi memang demikianlah kenyataannya, hanya masalah “mayoritas” dan “minoritas” atau masalah “minoritas yang mengendalikan dan menekan mayoritas”. Ketika saya mendengarkan guru PMP (sekarang namanya sudah berganti dengan PPKN) saya bercerita, saya sangat terkesan dengan pernyataan : Ketika Ir. Soekarno berpidato di depan para anggota BPUPKI yang sedang bersidang, Ir. Soekarno mengatakan : “... bahwa negara yang akan kita dirikan ini tidak mengenal adanya asas otoritas mayoritas. Minoritaspun diakui baik hak, suara, kewajiban dan kedudukannya di dalam negara ini. Minoritas mempunyai kesempatan yang sama dengan mayoritas di dalam menentukan nasib negara ini. Baik mayoritas dan minoritas diakui persamaannya di dalam negara ini sesuai dengan asas kebersamaan dan kekeluargaan ...” Dalam buku yang saya baca mengenai negara integralistik, pernyataan Ir. Soekarno ini kemudian diperkuat oleh pernyataan Mr. Supomo yang berpidato pada saat yang sama. Beliau mengatakan sebagai berikut (dalam kutipan buku) : “...Maka pada dasarnya tidak akan ada dualisme “Staat dan individu”,... tidak akan ada dualisme “Staat und staatsfreie Gesellschaft” (negara dan masyarakat di luar negara) ... dan sebaliknya oleh karena Staat bukan suatu badan kekuasaan atau raksasa politik yang berdiri di luar lingkungan suasana kemerdekaan seseorang ... Negara...mengatasi segala golongan dan segala seseorang, mempersatukan diri dengan segala lapisan rakyat dan seluruhnya ... Negara akan mengakui dan menghormati adanya golongan-golongan dalam masyarakat yang nyata, akan tetapi segala seseorang dan segala golongan akan insyaf kepada kedudukannya sebagai bagian organik dan negara seluruhnya,...Menolak sistem yang menyamakan manusia satu sama lain seperti angka-angka belaka yang semuanya sama harganya...” (dikutip sebagian dari buku Filsafat sebagai Ilmu Kritis karangan Franz Magnis Suseno) Pendapat yang saya sebutkan tersebut di atas, bukan saya ungkapkan untuk membela dan melindungi pendapat saya yang tidak setuju atas pernyataan umum mengenai perbandingan mengenai tingkat “kepastian” (keakuratan) antara ilmu pengetahuan sosial dengan ilmu pengetahuan alam. Namun hanya mengungkapkan bahwa saya memang tidak setuju dengan pendapat yang demikian, terutama terhadap pandangan Jujun S Suriasumantri yang terkesan lebih ekstrem (menurut saya) dengan kesan seolah-olah menganggap bahwa ilmu pengetahuan sosial bukanlah ilmu pengetahuan. Pembahasan selanjutnya adalah sebuah pertanyaan baru yang timbul dari pembahasan di atas, “Mengapa saya tidak setuju dengan pandangan umum tersebut ?”.
  • 13. Sebelum saya menjawabnya, ada baiknya jika saya mengutarakan sedikit tentang pengalaman hidup saya kepada bapak sebagai bahan acuan dan bahan referensi (atau lebih tepatnya sebagai konteks permasalahan dan perikop pengkajian) agar bapak dapat menilai pandangan saya dengan lebih leluasa. Ketika saya kecil, saya sudah sangat terkesan dengan kemampuan papa saya (ayah saya) dalam hal akademika, terutama dengan bidang profesinya sebagai “montir” (ayah saya pernah bekerja sebagai anggota Research and Development grup Astra, lalu dimutasikan sebagai perwakilan Astra di PT Gaya Motor, kemudian dimutasikan sebagai Kepala Produksi Gaya Motor Daihatsu. Lalu keluar dan bekerja sebagai anggota Research and Development di Indomobil Grup, kemudian dimutasikan menjadi anggota bagian produksi di divisi Mazda, kemudian dimutasikan ke Kepala Produksi PT Marvia Graha Motor, sebelum akhirnya sekarang menjadi pengangguran karena kerusuhan bulan Mei tahun 1998). Karena sejak kecil, dan bahkan setelah menginjak masa pendidikan SMA, saya setiap hari “bergaul” dengan mobil membuat saya mempunyai hasrat yang tinggi dengan disiplin ilmu teknik mesin. Hal inilah yang menyebabkan saya pernah berbuat sesuatu yang saya katakan “ide gila dan disertai perbuatan yang goblok dengan alasan yang tidak masuk diakal” ketika saya secara “nekat” membuat surat pernyataan tertulis di atas kertas segel bahwa saya meminta dengan hormat agar saya tidak dinaikkan kelas agar saya dapat masuk ke jurusan A1/Fisika (dimana waktu itu saya naik kelas dan masuk jurusan A3/Sosial). Dalam hal pendidikanpun, orang tua saya sangat memperhatikan kami (saya maksudnya dalam hal ini) sebagai anak-anaknya dengan memberikan banyak buku referensi dan pengetahuan yang sangat berguna (diantaranya ada beberapa buku yang saya pakai dalam penulisan pendapat saya dalam membuat tugas ini), sehingga saya secara alamiah diajarkan (melalui beberapa cerita) selalu untuk memperhatikan hal-hal yang kecil yang sepertinya dianggap oleh sebagian orang tidak berguna untuk diperhatikan (hal inilah yang mendorong saya untuk tertarik dan mencoba untuk mempelajari filsafat). Dalam hal sekolahpun, saya disekolahkan di sekolah yang terbaik yang ada di daerah saya, sehingga banyak manfaat yang saya dapatkan sekarang, seperti contohnya pelajaran mengenai metode ilmiah yang diajarkan oleh guru pelajaran Biologi di sekolah yang menjadi dasar dan landasan dalam kerangka berfikir saya terbentuk. Ketika di SMA, saya diajarkan untuk berfikir secara prinsipal oleh guru fisika saya yang “rada nyeleneh” dan guru matematika yang “rada gokil” dimana jika ujian selalu dalam salah satu soal pasti ditanyakan hal-hal prinsipal seperti misalnya “Mengapa orang mati kalau kesetrum ?” atau “Bagaimana cara mengukur jari-jari atom ?” atau bahkan “Kenapa kalau orang bernyanyi ketika sedang mandi terdengar suaranya lebih nyaring dibanding dengan suara teriakan di lapangan bola ? Dan suara orang terdengar lebih jelas ketika malam hari dibandingkan dengan siang hari ?” (Yang saya masih ingat dengan jelas karena kesal atas pertanyaan yang diajukan ketika ulangan kelas 1 SMA yaitu “Sejak dari sekolah dasar kita tahu bahwa jarak antara matahari dengan bumi adalah 150 juta kilometer, pertanyaannya ialah, bagaimana cara mengukurnya sehingga dapat diketahui jaraknya sedemikian besar ?”). Sedangkan guru matematika saya sering “mendongeng” di dalam kelas dan paling senang dengan sebuah kata yang paling saya benci (tetapi kemudian menjadi salah satu prinsip hidup saya), Quot Erat Demonstratum (Pembuktian sudah didemonstrasikan). Sebenarnya saya sungguh beruntung memiliki kedua guru tersebut di SMA karena banyak ajaran prinsipal yang mereka ajarkan terdogma dalam kehidupan saya (kebetulan guru fisika saya lulusan MIPA Fisika dan guru matematika saya lulusan MIPA matematika UI).
  • 14. Walaupun saya tertarik dengan ilmu pengetahuan alam dengan segala kerahasiaannya, saya merasa bahwa ada kesan diskriminatif terhadap salah satu bagian disiplin ilmu. Hal tersebut saya rasakan dengan adanya pandangan “miring” (atau mungkin sudah menjadi pandangan umum di berbagai kalangan di Indonesia), bahwa anak Sosial merupakan anak-anak “buangan” yang tidak mampu masuk ke “golongan orang pintar/golongan Ilmu Pengetahuan Alam”. Pandangan tersebut juga mengacu pada hal yang seperti yang bapak ajukan di atas bahwa “Ilmu-ilmu Alam (atau yang disebut eksakta yang berasal dari kata “exact” yang berarti tepat) memiliki tingkat kepastian yang lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu Sosial”. Namun ada hal yang membuat saya berfikir lebih jauh mengenai tingkat kepastian dalam Ilmu Pengetahuan Alam dan menyimpulkan sebuah bantahan terhadap pandangan tersebut. Kenyataan pertama, ialah ketika saya sedang ujian fisika di SMA mengenai gaya gesek (salah satu unsur Newtoniah yang dipakai sebagai salah satu materi pengajaran teknik mesin, teknik perminyakan dan teknik sipil, khususnya jalan raya). Ada sebuah soal dalam ujian tersebut yang kira-kira berbunyi demikian : “Bayangkan jika kita berada dalam suatu ruangan yang maha luas dimana koefisien gesek kinetis (μk) = 0 (tidak ada) dan koefisien gesek statis (μs) = 0 (tidak ada), atau dengan kata lain tidak ada gaya gesek sama sekali sehingga jangankan kita berdiri, bergerakpun kita tidak bisa. Bagaimana caranya agar kita dapat keluar dari ruangan tersebut tanpa menggunakan alat bantu ?” Sebenarnya inti dari jawaban pertanyaan tersebut hanya mengenai hukum Newton, yang berbunyi : “1. Setiap benda akan tetap berada dalam keadaan diam atau bergerak lurus beraturan kecuali ia dipaksa untuk mengubah keadaan tersebut oleh gaya-gaya yang berpengaruh padanya. Atau dengan kata lain, jika tidak ada resultan gaya yang bekerja pada benda, maka percepatannya adalah 0 (tidak ada). 2. Gaya merupakan suatu hal yang membuat benda (yang memiliki massa) mengalami percepatan karenanya. Jadi apabila benda yang dikenai gaya tersebut sedang berada kondisi diam, maka benda tersebut akan bergerak. Gaya juga merupakan sebuah besaran vektor yang berarti mempunyai arah, dimana setiap arah dan bentuk gerakan benda seperti dipercepat, diperlambat dan sebagainya bergantung pada besar dan arah setiap gaya yang bekerja pada benda tersebut. 3. Untuk setiap aksi selalu terdapat reaksi yang sama besar dan berlawanan arah; atau, aksi timbal-balik satu terhadap yang lain antara dua benda selalu sama besar, dan berarah ke bagian yang berlawanan.” Jadi menurut saya, hanya diberikan sebuah gaya yang secara “bego”-nya dengan sebuah tiupan anginpun yang kita tiupkan dari mulut kita, maka soal itu dapat terpecahkan. Tetapi saya tidak menjawab soal ujian tersebut, meskipun banyak teman saya yang menjawabnya dengan cara “polos” yaitu antara lain : “kentut”, “tiup” dan lain sebagainya, dan ternyata memang benar. Mengapa ? Karena dalam hati saya timbul keraguan atas dasar pemikiran logika saya, yaitu “bagaimana dengan tahanan fluida ?” Seperti yang kita ketahui, bahwa setiap makhluk hidup (secara aerob disini, dan kita tidak membahas masalah makhluk hidup yang hidup secara anaerob) memerlukan oksigen sebagai salah satu sumber energi yang salah satunya adalah dengan cara bernafas. Demikian pula dengan sebuah aktivitas yang namanya “meniup”, harus memiliki (setidaknya) udara yang dikumpulkan (walupun bukan oksigen), lalu
  • 15. dihembuskan secara keras dan bertenaga untuk membentuk suatu gaya yang membuat tubuh kita meluncur. Namun, karena adanya udara tersebut, maka terjadilah gaya perlawanan/ tahanan fluida (atau lebih tepatnya aerostatik), karena walaupun besaran molekulnya sangat kecil dengan kerapatan yang dapat dikatakan “sangat renggang” (tekanan rendah) namun tetap saja udara merupakan sebuah molekular yang mempunyai massa, sehingga membentuk suatu momentum (tumbukan) antara partikel dengan tubuh kita, sehingga menimbulkan gaya friksi (gesekan). Bagaimana dengan penjelasan mengenai hal tersebut? Jika otot tangan kita yang sedemikian kuat saja tidak sanggup menggunakan partikel udara di sekitar sebagai medium untuk membentuk gaya, menimbulkan pertanyaan “Seberapa kuat otot mulut kita menghembuskan udara keluar dari mulut sehingga membentuk suatu vektor gaya yang membawa kita keluar dari ruangan yang maha luas tersebut ?”. Kenyataan kedua yang saya temui ialah mengenai teori Relativitas Einstein yang menggemparkan. Gambaran apa yang didapat bila mendengar tentang kata “teori Relativitas” tersebut ? Secara gamblang, orang awam (mungkin) akan menjawab “Teori yang ditemukan oleh seorang ilmuan hebat yaitu Albert Einstein dimana ada dua anak kembar, yang satu pergi ke luar angkasa, dan yang satu lagi tinggal di bumi. Ketika yang pergi ke luar angkasa itu pulang, maka umur yang pergi masih tetap muda, sedang yang di bumi menjadi tua, dengan buktinya yaitu bom atom.”. Penjelasan yang menarik, namun sesungguhnya kurang tepat. Dalam ilmu mekanika, dasar-dasar pemikiran diberikan oleh Newton yang memperlihatkan bahwa semua hukum alam adalah hal yang pasti (eksakta), memang benar, namun hukum-hukum tersebut berlaku dalam kerangka yang lembam. Sedangkan dalam penjelasan mengenai “Apakah itu cahaya?”, kerangka berfikir seperti demikian tidak dapat memenuhi sebuah penjelasan “Bagaimana cahaya bisa ditransformasikan dari matahari ke planet seperti bumi dengan melewati ruang hampa udara ?”. Maka atas kebutuhan tersebut itulah, berkembang sebuah teori yang dikembangkan oleh Dr. Albert Einstein yang bernama teori Relativitas, dimana suatu pernyataan yang memandang bahwa hukum alam secara eksperimental harus dipandang sebagai sesuatu yang tidak selalu eksak (konsisten sejati) atau relatif. Baik relatif dalam dimensi waktu, maupun relatif dalam dimensi panjang. Kedua hal tersebutlah yang membuat saya mempunyai suatu kesimpulan, bahwa baik ilmu pengetahuan alam, maupun ilmu pengetahuan sosial sama-sama mempunyai tingkat kepastian yang yang sama, dimana ilmu-ilmu pengetahuan tersebut disusun dalam suatu kondisi ideal. Dan ilmu-ilmu pengetahuan tersebut pun memiliki masing-masing ciri khas tersendiri, dimana (mungkin) pada tahap percobaan (eksperimen), Ilmu Pengetahuan Alam dilakukan di dalam Laboratorium, sedangkan Ilmu Pengetahuan Sosial dilakukan dengan pengumpulan informasi seperti wawancara dan angket yang diselidiki dengan metode empiris. Kedua jenis ilmu pengetahuan tersebut (Ilmu Pengetahuan Alam dan Ilmu Pengetahuan Sosial) pun sebenarnya tidak dapat diterapkan di dalam kehidupan. Keduanya baru dapat diterapkan dan berguna secara praktis dalam ilmu terapan, misalnya seperti ilmu teknik Sipil, ilmu Management, ilmu teknik Mesin, ilmu teknik elektro komunikasi, ilmu teknik informatik, ilmu hukum, ilmu psikologi dan lain-lain. Dan saya juga tidak dapat menerima pendapat seorang teman yang mengatakan logika “anak fisika” berbeda dengan logika “anak sosial”. Apa bedanya ? Logika tetaplah logika, dan logika bagi “anak fisika” dengan logika bagi “anak sosial” tetaplah sama, sama-sama logika yang berkedudukan sebagai sarana berpikir ilmiah.
  • 16. Namun demikian, tetaplah saya mengakui, bahwa saya tidak mungkin menentang pandangan umum yang sudah terbentuk. ”Apa sich definisi dari gila ? Kalau seandainya seluruh orang di dunia menjadi gila, dan cuman eloe doang yang waras, maka semua orang akan bilang kalau eloe tuch yang gila, mereka waras.” sebagai suatu nasehat yang bijak akan saya taati agar saya tidak berlawanan secara frontal sehingga di”cap” sebagai “seorang ekstrimis radikal”. Sekarang kita masuk dalam pembahasan pokok masalah, (mungkin) menurut pandangan umum ilmu-ilmu eksakta (ilmu alam) memiliki tingkat kepastian yang lebih tinggi dari ilmu-ilmu sosial adalah karena dalam ilmu eksakta, metode ilmiah telah diterapkan dengan didukung suatu percobaan sebagai bukti yang real atas hipotesis yang disusun. Jadi memang aproksimasi dan toleransi kesalahannya lebih kecil, sehingga lebih akurat antara teori dengan praktek dalam pembuktiannya, sedangkan ilmu sosial hanya melalui pendekatan secara empiris atas hipotesa, sehingga banyak faktor yang tidak diperhitungkan dan dalam banyak kasus dimasukan ke dalam katalogi “literatur” atau “sesuatu yang bersifat khusus” sebagai akibat dari variasi dalam individu dan perkembangan individu itu sendiri yang bersifat dinamis, seperti kata Auguste Comte yang menganggap bahwa ilmu sosial merupakan ilmu pengetahuan yang paling kompleks dan yang merupakan ilmu pengetahuan yang akan berkembang pesat sekali sebagai dampak perkembangan atas kebutuhan manusia yang semakin kompleks. Sebagai kata penutup, saya menuturkan rasa terima kasih saya yang paling mendalam atas kesediaan bapak membaca ulasan saya yang lebih terkesan “dongeng” dan “obrolan warung kopi” ini dan saya mohon maaf apabila ada kata- kata yang salah dan harap diluruskan apabila ada yang menyimpang. Hormat saya Andreas Yudika 24-1996-018