Epistemologi sering juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). Epistemologi lebih memfokuskan kepada makna pengetahuan yang berhubungan dengan konsep, sumber, dan kriteria pengetahuan, jenis pengetahuan, dan lain sebagainya.
Tanya Jawab Materi Pengantar Filsafat Ilmu Dari Sudut Pandang Ontologi, Epist...YuliaKartika6
Presentasi ini merupakan pemenuhan tugas evaluasi akhir semester mata kuliah Pengantar Filsafat ilmu oleh Sigit Sardjono, Dr,M.Ec.
Dimana berisi sekumpulan pertanyaan dan jawaban berbagai materi Filsafat Ilmu dengan sudut pandang Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi
Makalah filsafat ilmu ILMU PENGETAHUAN DAN PENGETAHUAN ILMIAHSoga Biliyan Jaya
makalah kali mencoba menjelaskan tentang ilmu pengetahuan dan pengetahuan ilmiah, yang meliputi hakikat ilmu pengetahuandan pengethuan ilmiah, hubungan ilmu pengetahuan dan pengetahuan ilmiah, dan apakah pengetahuan tersebut merupakan pengetahuan yang benar adanya atau sebaliknya
Epistemologi sering juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). Epistemologi lebih memfokuskan kepada makna pengetahuan yang berhubungan dengan konsep, sumber, dan kriteria pengetahuan, jenis pengetahuan, dan lain sebagainya.
Tanya Jawab Materi Pengantar Filsafat Ilmu Dari Sudut Pandang Ontologi, Epist...YuliaKartika6
Presentasi ini merupakan pemenuhan tugas evaluasi akhir semester mata kuliah Pengantar Filsafat ilmu oleh Sigit Sardjono, Dr,M.Ec.
Dimana berisi sekumpulan pertanyaan dan jawaban berbagai materi Filsafat Ilmu dengan sudut pandang Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi
Makalah filsafat ilmu ILMU PENGETAHUAN DAN PENGETAHUAN ILMIAHSoga Biliyan Jaya
makalah kali mencoba menjelaskan tentang ilmu pengetahuan dan pengetahuan ilmiah, yang meliputi hakikat ilmu pengetahuandan pengethuan ilmiah, hubungan ilmu pengetahuan dan pengetahuan ilmiah, dan apakah pengetahuan tersebut merupakan pengetahuan yang benar adanya atau sebaliknya
Mansoer, Hamdan, dkk. 2004. Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Seni Dalam Islam. Jakarta: Departemen Agama RI.
Aminuddin, dkk. 2005. Islam Pengetahuan dan Teknologi. Bandung: PT. Ghalia Indonesia.
Imtihana, Aida, dkk. 2009. Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi umum. Palembang: Universitas Sriwijaya.
Faridi. 2002. Agama Jalan Kedamaian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Bakhtiar, Amsal. 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Power Point Filsafat Hubungan Ilmu Metafisika dengan OntologiArief S
Disini saya akan mempresentasikan hasil tugas filsafat saya tentang Ontologi dengan ilmu Metafisika. Untuk kurang lebihnya mohon maaf, dan mohon masukannya.
Dasar-dasar Sains Islam Jaringan Rohis MIPA NasionalAde Narsa
Materi Seminar Sains Nasional pendidikan Karakter
JRMN-HASKA JMF FMIPA UNY 2011.
Melandandasi arah gerak Sains Islam.Memeperjelas Perbedaan antara Sains Islam dan Sains Islami.
Mansoer, Hamdan, dkk. 2004. Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Seni Dalam Islam. Jakarta: Departemen Agama RI.
Aminuddin, dkk. 2005. Islam Pengetahuan dan Teknologi. Bandung: PT. Ghalia Indonesia.
Imtihana, Aida, dkk. 2009. Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi umum. Palembang: Universitas Sriwijaya.
Faridi. 2002. Agama Jalan Kedamaian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Bakhtiar, Amsal. 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Power Point Filsafat Hubungan Ilmu Metafisika dengan OntologiArief S
Disini saya akan mempresentasikan hasil tugas filsafat saya tentang Ontologi dengan ilmu Metafisika. Untuk kurang lebihnya mohon maaf, dan mohon masukannya.
Dasar-dasar Sains Islam Jaringan Rohis MIPA NasionalAde Narsa
Materi Seminar Sains Nasional pendidikan Karakter
JRMN-HASKA JMF FMIPA UNY 2011.
Melandandasi arah gerak Sains Islam.Memeperjelas Perbedaan antara Sains Islam dan Sains Islami.
Power Point ini menjabar mengenai 3 Branch Theores of Philosophies. yaitu: Epistemologi, Aksiologi, Ontologi. Serta dalam pendekatannya akan menggunakan grafik nilai, Problema Pemikiran Barat. The Problem of Worldview Epistemic Eror yang berdampak pada Confusion About Values Lost of Adab.
Kampung Keluarga Berkualitas merupakan salah satu wadah yang sangat strategis untuk mengimplementasikan kegiatan-kegiatan prioritas Program Bangga Kencana secara utuh di lini
lapangan dalam rangka menyelaraskan pelaksanaan program-program yang dilaksanakan Desa
1. BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sains dan teknologi telah menuntun manusia menuju peradaban yang lebih
maju dan merupakan bagian tak terpisahkan dari kebudayaan masyarakat. Pada era
globalisasi seperti sekarang ini, penguasaan sains dan teknologi merupakan
indikator signifikan dalam percepatan pertumbuhan pembangunan suatu bangsa.
Upaya mengejar ketertinggalan sains dan teknologi bangsa-bangsa yang sedang
membangun terhadap bangsa-bangsa yang sudah maju bukanlah suatu hal yang
mudah karena kondisinya dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya masyarakat setempat.
Sains merupakan bagian dari himpunan informasi yang termasuk dalam
pengetahuan alamiah, dan berisikan informasi yang memberikan gambaran tentang
struktur dari suatu sistem serta penjelasan tentang pola laku sistem tersebut. Sistem
yang dimaksud dapat berupa sistem alami maupun sistem yang merupakan rekaan
pemikiran manusia mengenai pola laku hubungan dalam tatanan kehidupan
bermasyarakat.
Sains sebagai proses ilmiah, menurut Ritchie Calder, (1955 : 37), dimulai
ketika manusia mengamati sesuatu. Pengamatan tersebut disebabkan oleh adanya
kontak langsung antara manusia dengan dunia empiris yang menimbulkan berbagai
macam permasalahan. Jadi proses berpikir manusia dilakukan ketika manusia
menemukan masalah dan karena masalah itu berasal dari dunia empiris maka proses
berpikir itu di arahkan pada pengamatan obyek yang bersangkutan dengan dunia
empiris pula
Kita dapat mempelajari sains dari alam semesta yang dimulai dengan
bertanya kepada alam atau mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang alam. Dari
pertanyaan itulah kemudian muncul sebuah hipotesis yang akan diajukan secara
empiris sehingga dari pengujian empiris tersebut diperoleh informasi yang valid dan
dapat dipercaya.
Sains dan hasilnya dapat dirasakan dalam semua aspek kehidupan manusia.
Untuk itu sains harus menjadi bagian internal dari sistem pendidikan nasional
supaya para siswa menjadi warga negara dan masyarakat yang sadar akan
pentingnya sains di era masa kini.
2. 1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas yang menjadi permasalahan adalah :
bagaimana peranan bebas nilai dalam ilmu sains dan bagaimana tanggung jawab
sains.
1.3 Tujuan
Aadapun tujuan dari penulisan ini adalah :
1. Untuk mengetahui deskripsi/pengertian sains bebas nilai, teori bebas nilai, dan
ilmu antara bebas atau terikat nilai
2. Untuk mengetahui tanggung jawab dan peranan sains dalam kehidupan.
3. BAB II
ISI
2.1 Deskripsi Bebas Nilai Dalam Sains
Sains bebas nilai, objektif dan diolah melalui pengamatan
berkesinambungan, terus menerus, dan disempurnakan. Hadir dari filsafat
positivisme yang mengangungkan pendekatan material dan harus terukur secara
inderawi (melalui metodologi keilmuan tentunya). Sains, didalamnya melahirkan
kebenaran-kebenaran dan uji-uji hipotesis dari masa ke masa dengan segala latar
belakangnya menimbulkan kebanggaan dan keberdayaan manusia dengan produk
teknologinya. Meski kita sadari juga, pada akhirnya seluruh proses kreatifitas
manusia dan kemampuan berpikir manusia untuk mengelola alam semesta dengan
segala pernak-perniknya selalu melahirkan penemuan-penemuan baru yang kian
lama kian shophisticated, kian canggih.
Dalam pemabahasan mengenal hal ini kami menemukan 2 persepsi yang
berbeda. Ada yang mengatakan bahwa sains itu bebas nilai, tidak ada sangkut
pautnya dengan keyakinan apalagi agama. Namun ada pula yang mengatakan
bahwa sains itu tidak bebas nilai dengan alasan landasan perkataaan Enstein yang
mengeluarkan kata terkenal : “Sains tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu
pincang” atau Stephen Hawking berkata :”saya membaca pikiran-pikiran Tuhan”.
Titik tengah dari pendapat tersebut adalah seperti pada uraian berikut.
Pembuktian teori-teori sains yang dikembangkan dilandasi pencarian kebenaran,
bukan pembenaran nafsu manusiawi. Secara sederhana, sering dikatakan bahwa
dalam sains kesalahan adalah lumrah karena keterbatasan daya analisis manusiawi,
tetapi kebohongan adalah bencana.
Perkembangan ilmu pengetahuan dalam sejarahnya tidak selalu melalui
logika penemuan yang didasarkan pada metodologi objektivisme yang ketat.
Setiap buah pikiran manusia harus kembali pada aspek ontologi, epistimologi, dan
aksiologi. Hal ini sangat penting bahwa setelah tahap ontologi dan epistimologi
suatu ilmu dituntut pertanyaan yaitu tentang nilai kegunaan ilmu (aksiologi). Dari
sudut epistemologi, sains (ilmu pengetahuan) terbagi dua, yaitu sains formal dan
sains empirikal. Sains formal berada di pikiran kita yang berupa kontemplasi
dengan menggunakan simbol, merupakan implikasi-implikasi logis yang tidak
4. berkesudahan. Sains formal netral karena berada di dalam pikiran kita dan diatur
oleh hukum-hukum logika. Adapun sains empirical tidak netral. Sains empirikal
merupakan wujud kongkret jagad raya ini, isinya ialah jalinan-jalinan sebab akibat.
Sains empirikal tidak netral karena dibangun oleh pakar berdasarkan paradigma
yang menjadi pijakannya, dan pijakannya itu merupakan hasil penginderaan
terhadap jagad raya. Pijakan ilmuwan tersebut tentulah nilai. Tetapi sebaliknya
pada dasar ontologi dan aksiologi bahwa ilmuwan harus menilai antara yang baik
dan buruk pada suatu objek, yang hakikatnya mengharuskan dia menentukan sikap.
Objek ilmu memiliki nilai intrinsik sementara di luar itu terdapat nilai-nilai
lain yang mempengaruhinya. Objek tidak dapat menghindari nilai dari luar dirinya
karena tidak akan dikenal sebagai ilmu pengetahuan apabila hanya berdiri sendiri
dan sibuk dengan nilainya sendiri. Dengan kata lain ilmu bukan hanya untuk
kepentingan ilmu sendiri tetapi ilmu juga untuk kepentingan lainnya, sehingga tidak
dapat diabaikan kalau ilmu terikat dengan lainnya seperti nilai. Paradigmalah yang
menentukan jenis eksperimen dilakukan para ilmuwan, jenis-jenis pertanyaan yang
mereka ajukan, dan masalah yang mereka anggap penting dan manfaatnya.
Ketidaknetralan ilmu disebabkan karena ilmuwan berhubungan dengan realitas
bukan sebagai sesuatu yang telah ada tanpa interpretasi, melainkan dibangun oleh
skema konseptual, ideologi, permainan bahasa, ataupun paradigma.
Di samping itu ilmu yang bebas nilai juga akan berimplikasi lepasnya
secara otomatis tanggung jawab sosial para ilmuwan terhadap masalah negatif yang
timbul, karena disibukkan dengan kegiatan keilmuan yang diyakini sebagai bebas
nilai alias tak bisa diganggu gugat. Jika ilmuwan berlepas terhadap persoalan
negatif yang ditimbulkannya, maka secara ilmiah mereka dianggap benar. Hal yang
sangat menggelikan. Seharusnya ilmuwan menerima kebenaran yang didapat dalam
penyelidikan ilmu dengan kritis. Setiap pendapat yang dikemukakan diuji
kebenarannya, itulah yang membawa kemajuan ilmu. Kelanggengannya dapat
diganti dengan penemuan yang baru. Kemudian di mana letak kenetralan ilmu?
Dalam perkembangan ilmu sering digunakan metode trial and error, dan sering
menimbulkan permasalahan eksistensi ilmu ketika eksperimentasi ternyata
seringkali menimbulkan fatal error sehingga tuntutan nilai sangat dibutuhkan
sebagai acuan moral bagi pengembangannya. Dalam konteks ini, eksistensi nilai
5. dapat diwujudkan dalam visi, misi, keputusan, pedoman perilaku, dan kebijakan
moral.
Dapat disimpulkan bahwa ilmu dapat netral hanya pada aspek sains formal
sedangkan pada sains empirik, ontology, dan aksiologi sains tidak bisa netral.
Objek ilmu, subjek ilmu, dan pengguna ilmu saling berkaitan. Ilmu dibangun oleh
interpretasi ilmuwan yang didasari paradigma dan nilai diluar objek ilmu.
Hukum konservasi massa dan energi yang secara keliru sering disebut
sebagai hukum kekekalan massa dan energi sering dikira bertentangan dengan
prinsip tauhid. Padahal itu hukum agama yang dirumuskan manusia, bahwa massa
dan energi tidak bisa diciptakan dari ketiadaan dan tidak bisa dimusnahkan. Alam
hanya bisa mengalihkannya menjadi wujud yang lain. Hanya Tuhan yang kuasa
menciptakan dan memusnahkan.
Demikian juga tetap sains yang berlandaskan agama yang menghasilkan
teknologi kloning, rekayasa biologi yang memungkinkan binatang atau manusia
memperoleh keturunan yang benar-benar identik dengan sumber gennya. Teori
evolusi dalam konteks tinjauan aslinya dalam sains, juga agamis bila didukung
bukti saintifik. Semua prosesnya mengikuti sunnah agama, yang tanpa kekuasaan
Tuhan semuanya tak mungkin terwujud.
Dalam sains, rujukan yang digunakan semestinya dapat diterima semua
orang, tanpa memandang sistem nilai yang dianutnya. Dalam hal ini sistem nilai
yang tidak mungkin dilepaskan. Memang tidak akan tampak dalam makalah
ilmiahnya, tetapi sistem nilai yang dianut seorang saintis kadang tercermin dalam
pemaparan yang bersifat populer atau semi-ilmiah.
Karena objektivitasnya pada pandangan indrawi dan harus teruji, maka
sains mendekati dari kacamata agama (Islam) menjadi susah. Islam tidak bebas
nilai. Islam berbicara pada sudut-sudut yang tidak dimiliki oleh ilmu
(pengetahuan). Karena itu pula, Jamaluddin menulis dalam artikel yang
dikomentari Joesath : “tidak ada sains islam yang ada adalah saintis islam dan
bukan saintis islam”.
Salah satu alasan pandangan sains yang tidak bebas nilai yaitu ketika
mempelajari sains, manusia tetap saja punya keinginan-keinginan untuk
menyimpulkan sesuatu atas dasar cara pandangnya. Ketika Eistein mengeluarkan
6. kata yang terkenal : “Sains tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu pincang” atau
Stephen Hawking berkata :”saya membaca pikiran-pikiran Tuhan”, sangat jelas
bahwa persepsi pengetahuan dan kemampuan memahami fenomena alam
melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang tidak bebas nilai.
Sains juga ditelaah dengan segala kemajuannya semakin (menurut agor)
semakin juga terjerembab pada pertanyaan-pertanyaan yang semakin tidak ada
jawabnya jika diolah dari pengetahuan inderawi, terukur, dan objektif. Karena,
semakin di dalami, semakin tampak bahwa penelitian-penelitian yang terjadi,
indikator-indikator yang terjadi mengarah pada substansi yang tak tertangkap oleh
inderawi. Paling minimal, indikasi makin mengetahui menjadi semakin tidak
mengetahui. Misalnya saja, ketika bicara alam, muncul pemikiran alam paralel,
materi gelap, ketiadaan materi dalam teori dawai. Wujud menjadi sesuatu yang
pseudo.
Jawaban-jawaban kemudian sangat tampak subjektif atas objektif yang
diamati atau diteorikan. Jadi, semakin tampak bahwa sains harus (baca : kemudian)
semakin subjektif dan tidak bebas nilai. Kesulitan sains mempertahankan posisi
untuk bebas nilai semakin sulit karena fakta indera menangkap begitu banyak
masalah-masalah di luar dimensi-dimensi fisik yang terukur pada bidang-bidang
fisika, kimia, biologi, astronomi tampaknya semakin menekan ilmuwan untuk
melihat dan harus melihat tidak hanya pada realitas objektif, tapi juga realitas relatif
terhadap spirit atau metafisik.
2.2. Teori Tentang Nilai
Perkembangan yang terjadi dalam pengetahuan ternyata melahirkan
sebuah polemik baru karena kebebasan pengetahuan terhadap nilai atau yang bisa
kita sebut sebagai netralitas pengetahuan (value free). Sebaliknya ada jenis
pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai atau yang lebih dikenal sebagai
value baound. Sekarang mana yang lebih unggul antara netralitas pengetahuan dan
pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai?
Bagi ilmuwan yang menganut faham bebas nilai kemajuan perkembangan
ilmu pengetahuan akan lebih cepat terjadi. Karena ketiadaan hambatan dalam
melakukan penelitian. Baik dalam memilih objek penelitian, cara yang digunakan
maupun penggunaan produk penelitian.
7. Sedangkan bagi ilmuwan penganut faham nilai terikat, perkembangan
pengetahuan akan terjadi sebaliknya. karena dibatasinya objek penelitian, cara, dan
penggunaan oleh nilai.
Kendati demikian paham pengetahuan yang disandarkan pada teori bebas
nilai ternyata melahirkan sebuah permasalahan baru. Dari yang tadinya
menciptakan pengetahuan sebagai sarana membantu manusia, ternyata kemudian
penemuannya tersebut justru menambah masalah bagi manusia. Meminjam istilah
carl Gustav Jung “bukan lagi Goethe yang melahirkan Faust melainkan Faust-lah
yang melahirkan Goethe”.
2.3 Ilmu, Antara Bebas Atau Terikat Nilai
Perkembangan ilmu pengetahuan dalam sejarahnya tidak selalu melalui
logika penemuan yang didasarkan pada metodologi objektivisme yang ketat. Ide
baru bisa saja muncul berupa kilatan intuisi atau refleksi religius, di mana netralitas
ilmu pengetahuan kemudian rentan permasalahan di luar objeknya. Yaitu terikat
dengan nilai subjektifitasnya seperti hal yang berbau mitologi. Dengan demikian
netralitas ilmu semakin dipertanyakan.
Setiap buah pikiran manusia harus kembali pada aspek ontologi,
epistimologi, dan aksiologi. Hal ini sangat penting bahwa setelah tahap ontologi
dan epistimologi suatu ilmu dituntut pertanyaan yaitu tentang nilai kegunaan ilmu
(aksiologi). Dari sudut epistemologi, sains (ilmu pengetahuan) terbagi dua, yaitu
sains formal dan sains empirikal. Sains formal berada di pikiran kita yang berupa
kontemplasi dengan menggunakan simbol, merupakan implikasi-implikasi logis
yang tidak berkesudahan. Sains formal netral karena berada di dalam pikiran kita
dan diatur oleh hukum-hukum logika. Adapun sains empirical tidak netral. Sains
empirikal merupakan wujud kongkret jagad raya ini, isinya ialah jalinan-jalinan
sebab akibat. Sains empirikal tidak netral karena dibangun oleh pakar berdasarkan
paradigma yang menjadi pijakannya, dan pijakannya itu merupakan hasil
penginderaan terhadap jagad raya. Pijakan ilmuwan tersebut tentulah nilai. Tetapi
sebaliknya pada dasar ontologi dan aksiologi bahwa ilmuwan harus menilai antara
yang baik dan buruk pada suatu objek, yang hakikatnya mengharuskan dia
menentukan sikap.
8. Objek ilmu memiliki nilai intrinsik sementara di luar itu terdapat nilai-nilai
lain yang mempengaruhinya. Objek tidak dapat menghindari nilai dari luar dirinya
karena tidak akan dikenal sebagai ilmu pengetahuan apabila hanya berdiri sendiri
dan sibuk dengan nilainya sendiri. Dengan kata lain ilmu bukan hanya untuk
kepentingan ilmu sendiri tetapi ilmu juga untuk kepentingan lainnya, sehingga tidak
dapat diabaikan kalau ilmu terikat dengan lainnya seperti nilai. Paradigmalah yang
menentukan jenis eksperimen dilakukan para ilmuwan, jenis-jenis pertanyaan yang
mereka ajukan, dan masalah yang mereka anggap penting dan manfaatnya.
Ketidaknetralan ilmu disebabkan karena ilmuwan berhubungan dengan realitas
bukan sebagai sesuatu yang telah ada tanpa interpretasi, melainkan dibangun oleh
skema konseptual, ideologi, permainan bahasa, ataupun paradigma.
Di samping itu ilmu yang bebas nilai juga akan berimplikasi lepasnya
secara otomatis tanggungjawab sosial para ilmuwan terhadap masalah negatif yang
timbul, karena disibukkan dengan kegiatan keilmuan yang diyakini sebagai bebas
nilai alias tak bisa diganggu gugat. Jika ilmuwan berlepas terhadap persoalan
negatif yang ditimbulkannya, maka secara ilmiah mereka dianggap benar. Hal yang
sangat menggelikan. Seharusnya ilmuwan menerima kebenaran yang didapat dalam
penyelidikan ilmu dengan kritis. Setiap pendapat yang dikemukakan diuji
kebenarannya, itulah yang membawa kemajuan ilmu. Kelanggengannya dapat
diganti dengan penemuan yang baru. Kemudian di mana letak kenetralan ilmu?
Dalam perkembangan ilmu sering digunakan metode trial and error, dan
sering menimbulkan permasalahan eksistensi ilmu ketika eksperimentasi ternyata
seringkali menimbulkan fatal error sehingga tuntutan nilai sangat dibutuhkan
sebagai acuan moral bagi pengembangannya. Dalam konteks ini, eksistensi nilai
dapat diwujudkan dalam visi, misi, keputusan, pedoman perilaku, dan kebijakan
moral.
Berbeda dengan ilmu yang bebas nilai, ilmu yang tidak bebas nilai atau
terikat nilai (valuebond) memandang bahwa ilmu itu selalu terkait dengan nilai dan
harus dikembangkan dengan mempertimbangkan aspek nilai. Pengembangan ilmu
yang terikat nilai jelas tidak mungkin bisa terlepas dari nilai-nilai, lepas dari
kepentingan-kepentingan baik politis, ekonomis, sosial, religius, ekologis dsb.
9. 2.4 Hakikat dan Tanggung Jawab Pendidikan Sains
Sains dari aspek dan epistemologi, didefinisikan sebagai “Suatu deretan
konsep serta skema konseptual yang berhubungan satu sama lain, dan yang tumbuh
sebagai hasil eksperimentasi dan observasi, serta berguna untuk diamati dan
dieksprementasikan lebih lanjut”. Sebagai disiplin ilmu, sains diidentikkan dengan
IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) yang terediri atas physical sciences dan life sciences.
Termasuk physical sciences adalah ilmu-ilmu astronomi, kimia, geologi,
mineralogi, meteorologi, dan fisika. Sedangkan life sciences meliputi biologi,
zoologi, dan fisiologi. Hal ini sejalan dengan pendefinisian yang diberikan dalam
Encyclopaedia of Knowledge, 1993, dimana Sains / IPA didefinisikan sebagai
pengembangan dan sistematisasi dari ilmu pengetahuan positif yang berkaitan
dengan alam semesta. Perkembangan IPA ditunjukkan tidak hanya oleh kumpulan
fakta saja, melainkan juga oleh timbulnya metode ilmiah (scientific method) dan
sikap ilmiah (scientific attitude).
A.N. Whitehead menyatakan bahwa sains dibentuk karena pertemuan dua
orde pengalaman, yaitu orde observasi yang dididasarkan pada hasil observasi
terhadap gejala/fakta alam, dan orde konsepsional yang didasarkan pada konsep
manusia mengenai alam semesta. Dengan demikian, Sains berupaya
membangkitkan minat manusia agar mau menigkatkan kecerdasan dan pemahaman
tentang alam seisinya yang penuh dengan rahasia yang tidak habis-habisnya, yang
pada akhirnya akan memperdekat rentang jarak antara sains dengan teknologi
sebagai terapannya. Pendidikan Sains tentunya berbeda dengan sains itu sendiri,
tetapi memiliki hubungan yang sangat erat. Bila Sains ditujukan untuk
mengembangkan Sains itu sendiri, tetapi pendidikan sains ditujukan agar manusia
mengerti dan mengembangkan atau mengembangkan aplikasi dari sains. Lain
halnya dengan para saintis (ilmuwan), para praktisi dalam pendidikan sains dituntut
harus memperhatikan aspek-aspek psikologis, sosial dan kultural.
Pendidikan sains seringkali disamakan dengan pengajaran sains, namun
pendidikan sains dapat dibedakan lebih jauh dari pengajaran sains. Dalam
pengajaran sains, para siswa terutama dilatih untuk memahami hubungan antar (dan
peran masing-masing) peubah dalam gejala dan peristiwa alam, serta kondisi yang
perlu bagi terjadi atau tidak terjadinya gejala itu melalui mekanisme tertentu.
10. Sementara itu, pendidikan sains lebih ditujukan memberikan kearifan, menanamkan
rasa tanggung jawab dan mendewasakan pertimbangan serta sikap moral etis.
Dengan demikian, pendidikan sains lebih menitik beratkan pada pada aspek afektif,
dan pengajaran sains lebih terfokus pada segi-segi kognitif dan psikomotorik.
Dalam kaitannya dengan disiplin ilmu, sains (dan matematika) dapat
dinyatakan memiliki daerah bersama (irisan) dengan ilmu-ilmu lain dimana, sains
itu sendiri merupakan disiplin pokok yang berkaitan erat dengannya. Pendidikan
sains tidak dapat terlepas dari psikologi, pedagogi, epistemologi, sosiologi,
antropologi, bahasa dan lain-lain. Keterkaitan erat antara Sains dengan didiplin
ilmu lainnya dalam Pendidikan Sains, berimplikasi pada pengembangannya sebagai
disiplin ilmu yang relatif masih berkembang ini. Dimensi Pendidikan Sains, dengan
sendirinya, sekurang-kurangnya mengandung unsur atau nilai sosial budaya, etika
moral dan agama.
2.5 Pendidik Dan Pengajar Sains
Dalam masyarakat industri modern sekarang ini, dibutuhkan sosok para
pendidik yang menguasai sains dan teknologi dan sekaligus sosok personifikasi
moral dan keyakinan agama. Dia adalah gabungan ciri-ciri seorang profesioanl,
saintis, ulama dan mungkin pula seniman. Perubahan pandangan yang dirasa
penting dari setiap pendidik sains dewasa ini adalah agar para pendidik berusaha
mengetahui hal-hal yang dibutuhkan peserta didik untuk dipelajari, agar setelah
berlangsungnya proses pembelajaran betu betul dirasakan manfaatnya bagi peserta
didik tersebut. Hal ini tidaklah berarti bahwa struktur keilmuan sains tidak
diperhatikan sama sekali, akan tetapi perlu dilakukan penelaahan dan pemilihan
kedalaman pembahasan konsep- konsep yang tercantum dalam kurikulum. Untuk
itu, para pendidik sains harus mampu melihat jauh ke depan dalam merancang
program pengajaran agar dapat memenuhi tuntutan masa depan. Apabila
peningkatan kualitas pembelajaran sains hendak dijadikan sebagai prioritas, maka
kualitas tenaga pendidik menjadi faktor penentu bagi berlangsungnya upaya
tersebut.
11. BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Kemajuan pembangunan suatu bangsa merupakan interaksi beberapa faktor.
Penguasaan sains dan teknologi merupakan keharusan, tetapi yang lebih urgen
adalah pembentukan tata nilai budaya masyarkat itu sendiri.
2. Peningkatan SDM dalam pemanfaatan sains, teknologi, dan seni haruslah di
dasari dengan sikap tanggung jawab dan moral yang tinggi supaya dapat
menetralkan pengaruh negatif dan meningkatkan pengaruh positif dari dampak
sains, teknologi dan seni itu sendiri. Dengan cara mengkolaborasikan antara
yang empiris dengan nilai-nilai keagamaan.
3.2. Saran
Sebaiknya umat manusia tidak hanya mendalami pengetahuannya tentang
sains, dan teknologi saja, tetapi juga harus mendalami nilai-nilai religius,
keagamaan untuk menetralisir pengaruh buruk dari sains, teknologi, untuk
mendapatkan kesejahteraan hidup yang lebih baik lagi. Sebab tanpa memperhatikan
tatanan nilai-nilai, perkembangan sains akan berbelok ke arah yang tidak
diinginkan yang menyebab terjadinya berbagai penyimpangan.
12. BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. NETRALITAS SAINS : Perbedaan Cara Pandang Saintis dan Pakar Filsafat
Ilmu dimuat dalam “Radar Bandung”, Ramadhan 1424, 10 & 11 November
2003.
Ahmad Rifa’i. ILMU, Antara Bebas atau Terikat Nilai. Diambil dari
“http://www.inilahjalanku.com/fisika_dan_kimia”Diakses pada tanggal 25
Oktober 2013.
Djohar. 1996. Reformasi Pendidikan Sains. Jurnal Pendidikan Matematika dan Sains.
No. 1-2/ I. FPMIPA IKIP Yogyakarta. Yogyakarta
Poedjiadi, Anna. 1994. Pembaharuan Pandangan dalam Pendidikan Sains. Mimbar
Pendidikan. No. 4/XIII. IKIP Bandung.
Sukarno, dkk. 1981. Dasar-dasar Pendidikan Sains. Bhratara Karya Aksara. Jakarta
Sumaji,dkk. 1998. Pendidikan Sains Yang Humanitis. Penerbit Kanisius. Jakarta.
13. TUGAS
STRUKTUR ALJABAR
“GROUP PERMUTASI”
Oleh
1. RUSMIN Y. MA’BUD / K 202 13 032
2. MUZDALIFA / K 202 13 038
PPs UNIVERSITAS TADULAKO
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SAINS
KOSENTRASI PENDIDIKAN MATEMATIKA