SlideShare a Scribd company logo
1 of 30
TUGAS UJIAN AKHIR SEMESTER
FILSAFAT ILMU
Oleh
I WAYAN RUDI
NIM. 1329041180
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DASAR
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
2014
1.Logika yang dilogikakan
Logika berasal dari bahasa Yunani, dari kata sifat "logike" yang
berhubunganberhubungan dengan kata benda "logos" yang berarti 'perkataan' atau
'kata'sebagai manifestasi dari ikiran manusia. Dengan demikian terdapatlah suatujalinan
yang kuat antara pikiran dan kata yang dimanifestasikan dalam
bahasa. Secara etimologis dapatlah diartikan bahwa logika itu adalah ilmuyang
mempelajari pikiran yang dinyatakan dalam bahasa.Logika adalah ilmu yang
merumuskan tentang hukum-hukum, asas asas,aturan-aturan atau kaidah-kaidah tentang
berpikir yang harus ditaatisupaya kita dapat berpikir tepat dan mencapai kebenaran. Atau
dapat pula didefinisikan sebagai suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari aktivitas
akalatau rasio manusia dipandang dari segi benar atau salah. Dari sini dapat diketahui
bahwa tugas logika adalah memberikan penerangan bagaimana orang seharusnya
berpikir, dan obyek forma logika adalah mencari jawaban tentang bagaimana manusia
dapat berpikir dengan semestinya Dari definisi tersebut di atas, maka dapat diketahui
bahwa, dilihat dari metodenya dapat dibedakan atas logika tradisional dan logika
modern ,Logika tradisional adalah logika Aristiteles, dan logika dari logika logikus yang
lebih kemudian, tetapi masih mengikuti sistem logika Aristoteles. Para logikus sesudah
Aristoteles tidak membuat perubahan atau mencipta sistem baru dalam logika kecuali
hanya membuat komentar yang menjadikan logika Aristoteles lebih elegant dengan
sekedar mengadakan perbaikan-perbaikan dan membuang hal-hal yang tidak penting dari
logika Aristoteles. Logika modern tumbuh dan dimulai pada abad VIII. Mulai abad ini
ditemukan sistem baru, metode baru yang berlain dengan sistem logika
Aristoteles.Apabila logika tersebut dilihat dari obyeknya akan dikenal sebagai logika
formal dan logika material. Pemikiran yang benar dapat dibedakan menjadi dua bentuk
yang berbeda, yakni cara berfikir dari umum ke khusus dan cara berfikir dari khusus ke
umum. Cara pertama disebut berfikir deduktif dipergunakan dalam logika formal yang
mempelajari dasar-dasar persesuaian (tidk adanya pertetangan) dalam pemikiran dengan
mempergunakan hukum-hukum, rumus-rumus, patokan-patokan berfikir benar. Cara
berfikir induktif dipergunakan dalam logika material, yang mempelajari dasar-dasar
persesuaian pikiran dengan kenyataan. Ia menilai hasil pekerjaan logika formal dan
menguji benar tidaknya dengan kenyataan empiris. Cabang logika formal disebut juga
logika minor, logika materia disebut logika mayor. Hal inilah yang merupakan inti
daripada logika Proses berfikir yang ada pada diri manusia adalah berdialog dengan diri
sendiri dalam batin dengan manifestasinya adalah mempertimbangkan merenungkan,
menganalisis, menunjukan alasan-alasan, membuktikan sesuatu, menggolong-golongkan,
membanding-bandingkan, menarik kesimpulan, meneliti sesuatu jalan fikiran, mencari
kausalitasnya, membahassecara realitas dan sebagainya Dengan berpikir, merupakan
suatu bentuk kegiatan akal atau rasio manusia dengan mana pengetahuan yang kita terima
melalui panca indera diolah dan ditujuaan untuk mencapai suatu kebenaran. Aktivitas
berpikir adalah berdialog dengan diri sendiri dalam batin dengan manifestasinya yaitu
mempertimbangkan, merenungkan, menganalisis,manunjukkan alasan-alasan,
membuktikan sesuatu, menggolang-golongkan,membanding-bandingkan, menarik
kesimpulan, meneliti suatu jalam pikiran,mecari kausalitasnya, mebahas secara realitas
dan lain-lain.Di dalam aktivitas berpikir itulah ditunjukkan dalam logika wawasan
berpikir yang tepat atau ketepatan pemikrian/kebenaran berpikir yang sesuai dengan
penggarisan logika yang disebut berpikir logis.Agar supaya pemikiran dan penalaran kita
dapat berdaya guna dengan membuahkan kesimpulan-kesimpulan yang benar, valid dan
sahih,ada 3 syarat pokok yang harus dipenuhi : 1) pemikiran haruslah berpangkal pada
kenyataan atau kebenaran, 2) alasan-alasan yang dikemukakan haruslah tepat dan kuat, 3)
jalan pikiran haruslah logis.Berkaitan dengan hal tersebut, logika dapat disistematisasikan
menjadi beberapa golongan tergantung dari mana kita meninjuanya. Dilihat dari segi
kualitasnya, logika dapat dibedakan menjadi logika naturalis, yaitu kecakapan berlogika
berdasarkan kemampuan akan bawaan manusia. Akal manusia yang normal dapat bekerja
secara spontan sesuai dengan hukum hukum logika dasar. Bagaimanapun rendahnya
intelegensi seseorang ia dapat membedakan bahwa sesuatu itu adalah berbeda dengan
sesuatu yang lain,dan bahwa dua kenyataan yang bertetangan tidaklah sama.Kemampuan
berlogika naturalis pada tiap-tiap orang berbeda-beda tergantung dari tingkatan
pengetahuannnya. Kita dapati para ahli pidato politikus dan mereka yang terbiasa
bertukar pikiran dapat mengutarakan jalan pikiran dengan logis, meskipun barangkali
mereka belum pernah membuka buku logika sekalipun. Tetapi dalam menghadapi yang
rumit dan dalam berfikir manusia banyak dipengaruhi oleh kecenderungan
pribadi,disamping bahwa pengetahuan manusia terbatas mengakibatkan tidak mungkin
terhindar dari kesalahan. Untuk mengatasi kenytaan yang tidak dapat ditanggulangi oleh
logika naturalis, manusia menyususn hukum-hukum,patokan-patokan, rumus-rumus
berfikir lurus. Logika ini disebut logika artifisialis atau logika ilmia yang bertugas
membantu logika naturalis. Logika ini memperluas, mempertajam serta menunjukkan
jalan pemikiran agar akal dapat bekerja lebih teliti, efisien, mudah dan aman sehingga
tercapai tujuan
AGAMA tidak boleh dilogikakan. Demikian kata banyak orang. Saya yang pernah memperdalam
ilmu logika lebih dari 30 tahun bertanya pada diri saya sendiri:” Apakah orang yang bicara
demikian menguasai ilmu logika?”. Saya jawab:”Sebagian besar: Tidak!”.
Ilmu logika itu apa?
Ilmu logika adalah ilmu yang mempelajari perilaku berpikir supaya sampai pada
kesimpulan yang benar, objektif ,rasional dan berdasarkan fakta.
Agama itu apa?
Agama adalah pedoman perilaku bagi umat pemeluknya agar selamat hidup di dunia
dengan cara berperilaku baik dan menghindari perilaku buruk sesuai perintah agamanya.
Agama wahyu itu apa?
Yaitu agama yang diturunkan langsung dari Tuhan melalui nabi, yaitu manusia yang
dipercaya Tuhan untuk menyebarkan agama tersebut ke seluruh umat tanpa mengurangi
kata,kalimat maupun arti dan maksudnya. Yaitu, menggunakan bahasa Tuhan.
Agama rasional itu apa?
Yaitu agama yang disusun secara sistematis bertitiktolak dari filsafat dan dijadikan
pedoman berperilaku yang baik dan menghindari perilaku yang tidak baik. Agama
rasional dibawakan manusia biasa yang dikaruniai anugerah Tuhan untuk menciptakan
agama ang sesuai untuk dirinya dan golongannya. Tanpa anugerah dari Tuhan, tidak
mungkin mampu menciptakan kitab suci yang demikian sempurna bagi dirinya atau
golongannya.
Antara agama wahyu dan agama rasional
Apakah agama wahyu saja yang benar sedangka agama rasional bukan agama yang
benar? Tentu, tidak perlu diperdebatkan karena sesungguhnya hanya Tuhan yang tahu.
Yang pasti, manusia juga merupakan mahluk rasional dan kecerdasan otaknya berasal
dari Tuhan.
Ada tiga macam logika
1.Logika Manusia
2.Logika Alam
3.Logika Tuhan
ad.1.Logika Manusia
Yaitu cara bernalar sesuai dengan kemampuan otak manusia untuk berpikir.
Contoh:
-Bagi umat Islam, kenapa daging babi it haram? karena daging bab mengandung bebagai
benh penyakit yang tidak mngkin disterilkan dngan teknologi secanggih apapun.
ad.2.Logika Alam
Yaitu cara bernalar dari alam yang terjadi dari proses sebab-akibat.
Contoh:
Kenapa terjadi tsunami di Aceh? Sebab Aceh atau Sumatera terletak di “ring of fire”
sehingga jika terjadi gmpa yang bepotensi tsunami, maka Aceh akan terkena tsunam.
Sedangkan Kalmantan tidak mungkin tekena gempa ataupun tsunami karena tidak
terletak di “ring of fire”
3.Logika Tuhan
Yaitu cara bernalar Tuhan yang tidak akan terjangkau oleh cara bernalar manusia.
Contoh:
Katanya langit itu tidak terbatas. Kalau begitu, di mana batas langit? Logika manusia
tidak mampu menjawabnya sebab itu wilayah Logika Tuhan.
Lantas apa maksud agama tidak boleh dilogikakan?
1.Maksudnya, kalau kita memeluk agama, maka harus berdasarkan keyakinan bahwa
agama itu sesuai dengan kita. Artinya, memeluk agama harus berdasarkan keyakinan dan
tidak berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional.
2.Ayat-ayat suci yang dianggap bahasa Tuhan, harus diterima sebagai kebenaran tanpa
harus dilogikakan.
Lantas apa yang boleh dilogikakan?
Yang justru harus dilogikakan adalah kebenaran daripada terjemahan an tafsirnya.
Apakah sudah pasti benar. Apakah tidak terjadi salah terjemah ata tafsir? Tejemah atau
tafsir adalah bahasa manusia. Manusia bisa salah. Oleh karena it terjemah dan tafsir boleh
dan harus dilogikakan
Siapa yang behak melogikakan
Yang berhak melogikakan adalah ahlinya. Yaitu ahli bahasa sekaligus ahli terjemah dan
tafsir sekaligus ahli ilmu logika. Tidak semua orang mempunyai tiga macam keahlian itu
sekaligus.
Bukannya tidak boleh dilogikakan tetapi tidak boleh melogikakan
Bagi umat beragama yang tidak benar-benar menguasai dan memiliki tiga keahlian
tersebut (ahlui bahasa+ahli tejemah dan tafsir+ahli ilmu logika) maka tidak boleh untuk
melogikakan semua ayat kitab suci, baik yang dianggap bahasa Tuhan maupun bahasa
manusia (terjemah dan tafsir) sebab sangat besar kemungkinannya terjebak dan tersesat
kepada kesimpulan berlogika yang salah.
Apa akibatnya kalau salah melogikakan?
Jika salah melogikakan ayat (bagi yang bukan ahlinya) maka bisa menimbulkan:
-Terorisme
-Anakisme
-Perpecahan antarumat agama
-Membenci suku lain,agama lain,ras lain,bangsa/keturunan lain dan antargolngan lain
dan ini merupakan penyaki hati
-Merusak kerukunan dan toleransi antarumat beragama yang berbeda
-Merasa agamanya sendirilah yang paling sempurna
-Merasa paling suci
-Mengkafirkan orang lain yang berbeda agama
Apa akibatnya kalau menerima ajaran agama dari ustadnya tanpa dilogikakan?
Ternyata akibatnya sama.
-Terorisme
-Anakisme
-Perpecahan antarumat agama
-Membenci suku lain,agama lain,ras lain,bangsa/keturunan lain dan antargolngan lain
dan ini merupakan penyaki hati
-Merusak kerukunan dan toleransi antarumat beragama yang berbeda
-Merasa agamanya sendirilah yang paling sempurna
-Merasa paling suci
-Mengkafirkan orang lain yang berbeda agama
Kesimpulan
Agar menjadi umat beagama yang cerdas, maka umat beragama tidak cukup belajar ilmu
agama saja, tetapi harus diimbangi degan belajar ilmu logika. Jika tidak, akan menjadi
umat beragama yang ibadahnya bagus tetapi logikanya kacau balau. Jadi, harus belajar
ilmu agama secara benar dan belajar ilmu logika secara benar. Tidak mudah.
Dalam dunia filsafat (faham rasionalisme khususnya) yang disebut ‘logika’ seperti
menjadi sebuah parameter kebenaran yang utama,sehingga yang tidak bisa masuk kepada
cara berfikir berdasar logika akal seringkali ditolak atau diragukan sebagai sebuah
‘kebenaran’. dengan kata lain dalam pandangan rasionalisme kebenaran berdasar logika
adalah bentuk ‘kebenaran tertinggi’Tetapi dalam agama walau logika atau ‘cara berfikir
sistematis’ merupakan suatu yang harus dipakai karena ia berhubungan dengan cara
berfikir akal tetapi agama tidaklah menjadikannya sebagai parameter kebenaran yang
utama karena agama sebenarnya lebih mengutamakan atau mengedepankan MAKNA
diatas logika, dengan kata lain dalam agama logika bukanlah parameter kebenaran utama
dan kebenaran berdasar logika bukanlah ‘kebenaran tertinggi’Mengapa (?) … karena
kemampuan berlogika itu sebenarnya terbatas,artinya tidak bisa menjangkau keseluruhan
problem keilmuan - problem kebenaran,dengan kata lain teramat banyak problem
keilmuan - problem kebenaran khususnya yang sudah bersinggungan dengan dunia
abstrak yang tidak bisa ditelusur oleh cara berfikir akal yang sistematis lagi.Dengan kata
lain kemampuan berlogika itu terbatas hanya pada wilayah kebenaran yang sebatas bisa
difahami oleh mekanisme cara berfikir sistematis akal manusia,sedang ada bentuk
kebenaran lain yang derajatnya lebih tinggi yang tidak bisa dijangkau - ditelusur oleh
kemampuan berlogika tetapi dapat di gapai oleh pengertian hati (sebab itu dalam agama
kedudukan ‘hati’ lebih tinggi ketimbang ‘kepala’, berbeda dengan filsafat yang selalu
mengutamakan isi kepala)) Kita ambil salah satu contohnya : dalam ajaran agama Islam
tentu tak ada itu logika sholat-logika zakat-logika puasa-logika hajji,apa sebab (?) sebab
semua itu bentuk peribadatan yang bukan untuk di logika kan (oleh kepala) tetapi untuk
dimaknai (oleh hati), artinya disini manusia harus lebih banyak menggunakan hati (bukan
isi kepala) untuk memahami ibadat ritual sebagaimana yang disebutkan tadi Dengan kata
lain perbedaan lain antara LOGIKA dan MAKNA adalah : bila logika seolah lebih
banyak menggunakan isi kepala untuk mengolahnya maka makna lebih banyak
menggunakan hati untuk mengolahnya,bila logika lebih mengacu kepada cara berfikir
akal yang sistematis-tertata maka ‘makna’ lebih menekankan kepada cara berfikir hati :
merenung-menghayati-mendalami.bila isi kepala melahirkan ‘kebenaran
rasional’-‘bentuk kebenaran logis’ maka olah fikir hati melahirkan : pengertian (hati) Itu
sebab dalam agama cara berfikir hati atau yang disebut ‘pengertian’ itu lebih diutamakan
dan lebih ditekankan ketimbang cara berfikir yang hanya mengandalkan kemampuan
berlogika belaka Coba renungkan,.. apakah agama mengajarkan manusia untuk berfikir
tentang apa itu ‘logika hidup’ (?) …. tentu tidak bukan,… tetapi agama mengajarkan
manusia untuk berfikir tentang apa itu ‘makna hidup’, artinya instrument ‘makna’
digunakan untuk menelusur hal hal yang lebih bersifat mendalam yang memerlukan cara
berfikir hati untuk menelusurnya Dan sebab yang disebut ilmu dan kebenaran itu dalam
pandangan Tuhan tentu bukanlah suatu yang datar tetapi suatu yang memiliki struktur
yang bersifat hierarkis artinya ada bentuk ilmu dan kebenaran yang derajat kedudukannya
lebih tinggi dan ada yang lebih rendah,dan sebagaimana yang saya tulis dalam artikel
tentang ‘mystery rahasia teka teki ilmu nabi Khidir’ disitu jelas adanya bentuk ilmu dan
kebenaran yang memiliki derajat kedudukan yang berbeda antara satu dengan yang lain
sehingga seorang yang berakal cerdas seperti nabi Musa yang mengandalkan kekuatan
logika manusiawi nya harus tunduk dan patuh kepada seorang nabi Khidir yang tengah
mengajarkan kepadanya bentuk ilmu dan kebenaran yang memiliki derajat yang lebih
tinggi ketimbang ilmu dan kebenaran yang selama ini dikuasai oleh seorang nabi Musa
Dan dengan uraian ini saudara bisa mendalami dan menilai mana yang lebih tinggi
derajatnya (dalam pandangan Tuhan tentu) antara bentuk kebenaran rasional dengan
bentuk kebenaran yang berdasar makna-hikmat Ilahi Dan dalam agama Ilahi pendalaman
tentang ‘makna-makna’ itu bermuara pada sebuah bentuk ilmu yang dikenal sebagai
‘ilmu hikmat’ atau ilmu yang berbicara tentang makna - maksud tujuan dari segala suatu
dalam bingkai pengertian Ilahiah tentu saja Sehingga makna sholat identik dengan hikmat
sholat,makna puasa identik dengan hikmat puasa yaitu pendalaman tentang maksud
tujuan Tuhan mewajibkan ritual sholat - puasa bagi kaum yang beriman tentunya
Logika adalah pemikiran yang logis, analitis dan mendetail. Jika menggunakan logika
berarti kita berusaha mencari solusi secara masuk akal, terencana, dan menggunakan
perhitungan.
2.Kebenaran yang dibuat benar tetapi tidak benar
Kebenaran adalah satu nilai utama dadalam kehidupan human.sebagai nilai nilai yang
menjadi fungsi rohani manusia.artinya sifat manusiawi atau martabat manusia (Human
Dignity)selalu berusaha “ memeluk “ suatu kebenaran
Pengertian kebenaran dan tingkatannya berdasarkan scope potensi subjek,maka susunan
tingkat kebenaran itu menjadi :
1. Tingkat Kebenaran Indera adalah tingkatan yang paling sederhana dan
pertama yang dialami manusia
2. Tingkat Ilmiah,Pengalaman pengalaman yang didasarkan disamping melalui
indera,diolah pula dengan rasio
3. Tingkat filosofis,rasio dan pikir murni,renungan yang mendalam mengolah
kebenaran itu semakin tinggi nilainya
4. Tingkatan religius,kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan Yang Maha
Esadan dihayati oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan
kepercayaan
Teori teori Kebenaran Menurut Filsafat
1. Teori Corespondence : menerangkan bahwa kebenaran atau sesuatu keadaan
benar itu terbukti benar bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu
pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju/dimaksud oleh pernyataan
atau pendapat tersebut
2. Teori Consistency : teori inimerupakan suatu usaha pengujian (test) atas arti
kebenaran.hasil test dan eksperimen dianggap reliabel jika kesan kesan yang
berturut turut dari suatu penyelidik bersifat konsisten dengan hasil test
eksperimen yang dilakukan penyelidik lain dalam waktu dan tempat yang lain
3. Teori Pragmatisme : Paragmatisme menguji kebenaran dalam praktek yang
dikenal para pendidik sebagai metode project atau metode problem solving
dalam pengajaran.mereka akan benar benar hanya jika mereka
berguna,mampu memecahkan problem yang ada.artinya sesuatu itu benar,jika
mengembalikan pribadi manusia di dalam keseimbangan dalam tanpa
persoalan dan kesulitan.sebab tujuan utama pragmatisme ialah supaya manusia
selaluada didalam keseimbangan untuk itu manusiaharus mampu melakukan
penyesuaian dan tuntutan tuntutan lingkungan.
Manusia selalu mencari kebenaran,jika manusia mengerti dan memahami kebenaran,sifat
asasinyaterdorong pula untuk melaksanakan kebenaran itu.sebaiknyapengetahuan dan
pemahaman tentang kebenaran,tanpa melaksanakan konflik kebenaran,manusia akan
mengalami pertentangan batin,konflik spilogis. Karena dalam kehidupan manusia sesuatu
yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya dan
manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyatan dalam hidupnya yang dimana
selalu ditunjukkan oleh kebenaran.
3.Kemanusiaan yang manusiawi namun tidak berprikemanusiaan
Suatu kenyataan yang tampak jelas dalam dunia modern yang telah maju ini, ialah adanya
kontradiksi-kontradiksi yang mengganggu kebahagiaan orang dalam hidup. Kemajuan
industri telah dapat menghasilkan alat-alat yang memudahkan hidup, memberikan
kesenangan dalam hidup, sehingga kebutuhan-kebutuhan jasmani tidak sukar lagi untuk
memenuhinya. Seharusnya kondisi dan hasil kemajuan itu membawa kebahagiaan yang
lebih banyak kepada manusia dalam hidupnya. Akan tetapi suatu kenyataan yang
menyedihkan ialah bahwa kebahagiaan itu ternyata semakin jauh, hidup semakin sukar
dan kesukaran-kesukaran material berganti dengan kesukaran mental. Beban jiwa
semakin berat, kegelisahan dan ketegangan serta tekanan perasaan lebih sering terasa dan
lebih menekan sehingga mengurangi kebahagiaan.Masyarakat modern telah berhasil
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih untuk mengatasi berbagai
masalah hidupnya, namun pada sisi lain ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut tidak
mampu menumbuhkan moralitas (ahlak) yang mulia. Dunia modern saat ini, termasuk di
indonesia ditandai oleh gejalah kemerosotan akhlak yang benar-benar berada pada taraf
yang menghawatirkan. Kejujuran, kebenaran, keadilan, tolong menolong dan kasih
sayang sudah tertutup oleh penyelewengan, penipuan, penindasan, saling menjegal dan
saling merugikan. Untuk memahami gerak perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang sedemikian itu, maka kehadiran filsafat ilmu berusaha mengembalikan
ruh dan tujuan luhur ilmu agar ilmu tidak menjadi bomerang bagi kehidupan umat
manusia. Dalam masyarakat beragama, ilmu adalah bagian yang tak terpisahkan dari
nilai-nilai ketuhanan karena sumber ilmu yang hakiki adalah dari Tuhan. Manusia adalah
ciptaan Tuhan yang paling tinggi derajatnya dibandingkan dengan mahluk yang lain,
karena manusia diberi daya berfikir, daya berfikir inilah yang menemukan teori-teori
ilmiah dan teknologi. Pada waktu yang bersamaan, daya pikir tersebut menjadi bagian
yang tak dapat dipisahkan dari keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan. Sehingga dia
tidak hanya bertanggung jawab kepada sesama manusia, tetapi juga kepada pencipta-
Nya.Ilmu merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Meskipun
secara metodologis ilmu tidak membedakan antara ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial,
namun karena permasalahan-permasalahan teknis yang bersifat khas, maka filsafat ilmu
ini sering dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam dan filsafat ilmu-ilmu sosial. Pembagian
ini lebih merupakan pembatasan masing-masing bidang yang ditelaah, yakni ilmu-ilmu
alam dan ilmu-ilmu sosial, dan tidak mencirikan cabang filsafat yang otonom. Ilmu
memang berbeda dengan pengetahuan-pengetahuan secara filsafat, namun tidak terdapat
perbedaan yang prinsipil antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, di mana keduanya
mempunyai ciri-ciri yang sama.
Pertama, filsafat ilmu ingin menjawab pertanyaan laandasan ontologis ilmu; obyek apa
yang ditelaah? Bagaimana korelasi antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia
(seperti berfikir, merasa dan mengindera) yang menghasilkan ilmu? Dari
landasan ontologis ini adalah dasar untuk mengklasifikasi pengetahuan dan sekaligus
bidang-bidang ilmu. Noeng Muhadjir dalam bukunya flsafat ilmu mengatakan, ontologi
membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi
membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal.
Ontologi berusaha mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam
rumusan Lorens Bagus, menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua
bentuknya.
Menurut Jujun S. Suriasumantri dalam Pengantar Ilmu dalam Perspektif mengatakan,
ontologi membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau
dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori tentang ada. Tiang penyangga
yang kedua adalah Epistimologi ilmu atau teori pengetahuan. Ini merupakan cabang
filsafat yang berurusan dengan hakekat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-
pengandaian, dan dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai
pengetahuan yang dimiliki.
Dengan demikian adanya perubahan pandangan tentang ilmu pengetahuan mempunyai
peran penting dalam membentuk peradaban dan kebudayaan manusia, dan dengan itu
pula tampaknya, muncul semacam kecenderungan yang terjalin pada jantung setiap ilmu
pengetahuan dan juga para ilmuwan untuk lebih berinovasi untuk penemuan dan
perumusan berikutnya.Kecenderungan yang lain ialah adanya hasrat untuk selalu
menerapkan apa yang dihasilkan ilmu pengetahuan, baik dalam dunia teknik mikro
maupun makro. Dengan demikian tampaklah bahwa semakin maju pengetahuan, semakin
meningkat keinginan manusia, sampai memaksa, merajalela, dan bahkan membabi buta.
Akibatnya ilmu pengetahuan dan hasilnya tidak manusiawi lagi, bahkan cenderung
memperbudak manusia sendiri yang telah merencanakan dan menghasilkannya.
Kecenderungan yang kedua inilah yang lebih mengerikan dari yang pertama, namun tidak
dapat dilepaskan dari kecenderungan yang pertama.Kedua kecenderungan ini secara
nyata paling menampakkan diri dan paling mengancam keamanan dan kehidupan
manusia, dewasa ini dalam bidang lomba persenjataan, kemajuan dalam memakai serta
menghabiskan banyak kekayaan bumi yang tidak dapat diperbaharui kembali, kemajuan
dalam bidang kedokteran yang telah mengubah batas-batas paling pribadi dalam hidup
manusia dan perkembangan ekonomi yang mengakibatkan melebarnya jurang kaya dan
miskin. Ilmu pengetahuan dan teknologi akhirnya mau tak mau mempunyai kaitan
langsung ataupun tidak, dengan setruktur sosial dan politik yang pada gilirannya
berkaitan dengan jutaan manusia yang kelaparan, kemiskinan, dan berbagai macam
ketimpangan yang justru menjadi pandangan yang menyolok di tengah keyakinan
manusia akan keampuhan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menghapus penderitaan
manusia.Kedua kecenderungan di atas yang ternyata condong menjadi lingkaran setan ini
perlu dibelokkan manusia sendiri sehingga tidak menimbulkan ancaman lagi. Kesadaran
akan hal ini sudah muncul dalam banyak lingkungan ilmuwan yang prihatin akan
perkembangan teknik, industri, dan persenjataan yang membahayakan masa depan
kehidupan umat manusia dan bumi kita. Untuk itulah maka epistimologi ilmu bertugas
menjawab pertanyaan; bagaimana proses pengetahuan yang masih berserakan dan tidak
teratur itu menjadi ilmu? Bagaimana prosedur dan mekanismenya?Tiang penyangga
filsafat ilmu yang ketiga adalah aksiologi ilmu; Ilmu adalah sesuatu yang paling penting
bagi manusia, karena dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa
terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah. Dan merupakan kenyataan yang tidak
dapat dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang pada ilmu. Ilmu telah
banyak mengubah wajah dunia seperti hal memberantas penyakit, kelaparan, kemiskinan
dan berbagai wajah kehidupan yang sulit lainnya. Dengan kemajuan ilmu juga, manusia
bisa merasakan kemudahan lainnya seperti transportasi, pemukiman, pendidikan,
komonikasi, dan lain sebagainya. Singkatnya ilmu merupakan sarana untuk membantu
manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.Kemudian timbul pertanyaan, apakah ilmu
selalu merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia? Dan memang sudah terbukti,
dengan kemajuan ilmu pengetahuan, manusia dapat menciptakan berbagai bentuk
teknologi. Misalnya pembuatan bom yang pada awalnya untuk memudahkan kerja
manusia, namun kemudian dipergunakan untuk hal-hal yang bersifat negatif yang
menimbulkan malapetaka bagi manusia itu sendiri. Di sinilah ilmu harus diletakkan
secara proposional dan memihak pada nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan. Sebab, jika
ilmu tidak berpihak kepada nilai-nilai, maka yang terjadi adalah bencana dan
malapetaka.Setiap ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan
diterapkan pada masyarakat. Proses ilmu pengetahuan menjadi sebuah teknologi yang
benar-benar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat tentu tidak terlepas dari siilmuwannya.
Seorang ilmuwan akan dihadapkan pada kepentingan-kepentingan pribadi ataukah
kepentingan masyarakat akan membawa pada persoalan etika keilmuan serta masalah
bebas nilai. Untuk itulah tanggungjawab seorang ilmuwan haruslah dipupuk dan berada
pada tempat yang tepat, tanggung jawab akademis, dan tanggung jawab moral.Untuk
lebih mengenal apa yang dimaksud dengan aksiologi, berikut adalah keterangan
mengenainya. Aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai dan
logos yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Sedangkan arti aksiologi
yang terdapat di dalam bukunya Jujun S. Suriasumantri Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar
Populer bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan
dari pengetahuan yang diperoleh.Dari definisi-definisi mengenai aksiologi di atas, terlihat
dengan jelas bahwa pemasalahan yang utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud
adalah suatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa
yang dinilai. Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan
estetika.
Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat dikatakan bahwa obyek formal etika
adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa etika
mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik di dalam suatu
kondisi yang normatif, yaitu suatu kondisi yang melibatkan norma-norma. Sedangkan
estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia
terhadap lingkungan dan fenomena disekelilingnya.
Nilai itu objektif ataukah subjektif adalah sangat tergantung dari hasil pandangan yang
muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabilah subjek sangat berperan dalam
segala hal, kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya; atau eksistensinya,
maknanya dan faliditasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian
tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau fisis.
Dengan demikian, nilai subjektif akan selalu memperhatikan berbagai pandangan yang
dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan, intelektualitas dan hasil nilai subjektif selalu
akan mengarah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.Nilai itu objektif,
jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Nilai objektif muncul
karena adanya pandangan dalam filsafat tentang objektivisme. Objektivisme ini
beranggapan pada tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, sesuatu yang memiliki
kadar secara realitas benar-benar ada. Kemudian bagaimana dengan nilai dalam ilmu
pengetahuan. Seorang ilmuwan haruslah bebas dalam menentukan topik penelitiannya,
bebas dalam melakukan eksprimen-eksprimen. Kebebasan inilah yang nantinya akan
dapat mengukur kualitas kemampuannya. Ketika seorang ilmuwa bekerja, dia hanya
tertuju pada proses kerja ilmiahnya dan tujuan agar penelitiannya berhasil dengan baik.
Nilai objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat dengan nilai-nilai
subjektif, seperti nilai-nilai dalam masyarakat, nilai agama, nilai adat, dan sebagainya.
Bagi seorang ilmuwan kegiatan ilmiahnya dengan kebenaran ilmiah adalah yang sangat
penting.Untuk itulah netralitas ilmu terletak pada epistimologinya saja, artinya tanpa
berpihak kepada siapapun, selain kepada kebenaran yang nyata. Sedangkan secara
ontologis dan aksiologis, ilmuwan harus mapu menilai mana yang baik dan yang buruk,
yang pada hakekatnya mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai landasan moral yang
kuat. Tanpa ini seorang ilmuwan akan lebih merupakan seorang momok yang
menakutkan.Etika keilmuan merupakan etika normatif yang merumuskan prinsip-prinsip
etis yang dapat dipertanggung jawabkan secara rasional dan dapat diterapkan dalam ilmu
pengetahuan. Tujuan etika keilmuan adalah agar seorang ilmuwan dapat menerapkan
prinsip-prinsip moral, yaitu yang baik dan menghindarkan dari yang buruk kedalam
prilaku keilmuannya, sehingga ia dapat menjadi ilmuwan yang dapat mempertanggung
jawabkan prilaku ilmiahnya. Etika normatif menetapkan kaidah-kaidah yang mendasari
pemberian penilaian terhadap perbuatan-perbuatan apa yang seharusnya dikerjakan dan
apa yang seharusnya terjadi serta menetapkan apa yang bertentangan dengan yang
seharusnya terjadi.
Pokok persoalan dalam etika keilmuan selalu mengacu kepada “elemen-elemen” kaidah
moral, yaitu hati nurani, kebebasan dan tanggung jawab, nilai dan norma yang bersifat
utilitaristik (kegunaan). Hati nurani disini adalah penghayatan tentang yang baik dan
yang buruk dan dihubungkan dengan prilaku manusia.
Nilai dan norma yang harus berada pada etika keilmuan adalah nilai dan norma moral.
Lalu apa yang menjadi kriteria pada nilai dan norma moral itu? Nilai moral tidak berdiri
sendiri, tetapi ketika ia berada pada atau menjadi milik seseorang, ia akan bergabung
dengan nilai yang ada seperti nilai agama, hukum, budaya, dan sebagainya. Yang paling
utama dalam nilai moral adalah yang terkait dengan tanggung jawab seseorang. Norma
moral menentukan apakah seseorang berlaku baik ataukah buruk dari sudut etis. Bagi
seorang ilmuwan, nilai dan norma moral yang dimilikinya akan menjadi penentu, apakah
ia sudah menjadi ilmuwan yang baik atau belum.
Penerapan ilmu pengetahuan yang telah dihasilkan oleh para ilmuwan, apakah itu berupa
teknologi, ataupun teori-teori emansipasi masyarakat, mestilah memperhatikan nilai-nilai
kemanusiaan, nilai agama, nilai adat, dan sebagainya. Ini berarti ilmu pengetahuan
tersebut sudah tidak bebas nilai. Karena ilmu sudah berada di tengah-tengah masyarakat
luas dan masyarakat akan mengujinya.
Oleh karena itu, tanggung jawab lain yang berkaitan dengan teknologi di masyarakat,
yaitu menciptakan hal yang positif. Namun, tidak semua teknologi atau ilmu pengetahuan
selalu memiliki dampak positif. Di bidang etika, tanggung jawab seorang ilmuwan, bukan
lagi memberi informasi namun harus memberi contoh. Dia harus bersifat objektif,
terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang
dianggap benar, dan berani mengakui kesalahan. Semua sifat ini, merupakan implikasi
etis dari proses penemuan kebenaran secarah ilmiah. Di tengah situasi di mana nilai
mengalami kegoncangan, maka seorang ilmuwan harus tampil kedepan. Pengetahuan
yang dimilikinya merupakan kekuatan yang akan memberinya keberanian. Hal yang sama
harus dilakukan pada masyarakat yang sedang membangun, seorang ilmuwan harus
bersikap sebagai seorang pendidik dengan memberikan contoh yang baik.Tentang tujuan
ilmu pengetahuan, ada beberapa perbedaan pendapat antara filosof dengan para ulama.
Sebagian berpendapat bahwa pengetahuan sendiri merupakan tujuan pokok bagi orang
yang menekuninya, dan mereka ungkapkan tentang hal ini dengan ungkapan, ilmu
pengetahuan untuk ilmu pengetahuan, seni untuk seni, sastra untuk sastra, dan lain
sebagainya. Menurut mereka ilmu pengetahuan hanyalah sebagai objek kajian untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan sendiri. Sebagian yang lain cenderung berpendapat
bahwa tujuan ilmu pengetahuan merupakan upaya para peneliti atau ilmuwan menjadikan
ilmu pengetahuan sebagai alat untuk menambahkan kesenangan manusia dalam
kehidupan yang sangat terbatas dimuka bumi ini. Menurut pendapat yang kedua ini, ilmu
pengetahuan itu untuk meringankan beban hidup manusia atau untuk membuat manusia
senang, karena dari lmu pengetahuan itulah yang nantinya akan melahirkan teknologi.
Teknologi jejas sangat dibutuhkan oleh manusia untuk mengatasi berbagai masalah, dan
lain sebagainya. Sedangkan pendapat yang lainnya cenderung menjadikan ilmu
pengetahuan sebagai alat untuk meningkatkan kebudayaan dan kemajuan bagi umat
manusia secara keseluruan.
Dalam perkembangannya, ilmu pengetahuan telah menjadi suatu sistem yang kompleks,
dan manusia terperangkap didalamnya, sulit dibayangkan manusia bisa hidup layak tanpa
ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan tidak lagi membebaskan manusia, tetapi manusia
menjadi terperangkap hidupnya dalam sistem ilmu pengetahuan. Manusia telah menjadi
bagian dari sistemnya, manusia juga menjadi objeknya dan bahkan menjadi kelinci
percobaan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan telah melahirkan mahluk baru yang
sistemik, mempunyai mekanisme yang kadangkala tidak bisa dikontrol oleh manusianya
sendiri. Suatu mekanisme sistemik yang semakin hari semakin kuat, makin besar dan
makin kompleks, dan rasanya telah menjadi suatu dunia baru di atas dunia yang ada ini.
Dalam realitas kehidupan masyarakat dewasa ini, terjadi konflik antara etika prakmatik
dengan etika pembebasan manusia. Etika prakmatik berorentasi pada kepentingan-
kepentingan elite sebagai wujud kerja sama denga ilmu pengetahua dan kekerasan yang
cenderung menindas untuk kepentingannya sendiri yang bersifat materialistik. Etika
pembebasan manusia, bersuifat spiritual dan universal itu bisa muncul dari kalangan
ilmuwan itu sendiri, yang bisa jadi karena menolak etika prakmatik yang dirasakan telah
menodai prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan agama yang menjunjung tinggi kebenaran,
kebebasan, dan kemandirian.
Kemajuan ilmu pengetahuan dikembalikan pada tujuan semula yaitu filsafat ilmunya
sebagai sarana untuk memakmurkan umat manusia dimuka bumi bukan malah sebaliknya
mengancam eksistensi manusia.
Diharapkan perkembangan ilmu yang begitu sepektakuler di satu sisi dan nilai-nilai
agama yang statis dan universal disisi lain dapat dijadikan arah dalam menentukan
perkembangan ilmu selanjutnya. Sebab, tanpa adanya bimbingan agama terhadap ilmu
dikhawatirkan kehebatan ilmu dan teknologi tidak semakin mensejahterahkan manusia,
tetapi justru merusak dan bahkan menghancurkan kehidupan mereka.
4.Manfaat mempelajari filsafat bagi pengembangan keilmuan
Filsafat ilmu adalah bagian dari filsafat pengetahuan atau sering juga disebutepistimologi.
Epistimologi berasal dari bahasa Yunani yakni episcmc yang berartiknowledge,
pengetahuan dan logos yang berarti teori. Istilah ini pertama kalidipopulerkan oleh J.F.
Ferier tahun 1854yang membuat dua cabang filsafat yakniepistemology dan ontology (on
= being, wujud, apa + logos = teori ), ontology ( teoritentang apa). Secara sederhana
dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah dasaryang menjiwai dinamika proses kegiatan
memperoleh pengetahuan secara ilmiah. Iniberarti bahwa terdapat pengetahuan yang
ilmiah dan tak-ilmiah. Adapun yangtergolong ilmiah ialah yang disebut ilmu pengetahuan
atau singkatnya ilmu saja, yaituakumulasi pengetahuanyang telah disistematisasi dan
diorganisasi sedemikian rupa;sehingga memenuhi asas pengaturan secara prosedural,
metologis, teknis, dannormatif akademis. Dengan demikian teruji kebenaran ilmiahnya
sehingga memenuhikesahihan atau validitas ilmu, atau secara ilmiah dapat
dipertanggungjawabkan.Sedang pengetahuan tak-ilmiah adalah yang masih tergolong
prailmiah. Dalam hal iniberupa pengetahuan hasil serapan inderawi yang secara sadar
diperoleh, baik yangtelah lama maupun baru didapat. Di samping itu termasuk yang
diperoleh secara pasifatau di luar kesadaranseperti ilham, intuisi, wangsit, atau wahyu
(oleh nabi).pengetahuan ilmiah diperoleh secara sadar, aktif, sistematis, jelas prosesnya
secara prosedural, metodis dan teknis, tidak bersifat acak, kemudian diakhiri
denganverifikasi atau diuji kebenaran (validitas) ilmiahnya. Sedangkan pengetahuan yang
prailmiah, walaupun sesungguhnya diperoleh secara sadar dan aktif, namun bersifatacak,
yaitu tanpa metode, apalagi yang berupa intuisi, sehingga tidak dimasukkandalam ilmu.
Dengan demikian, pengetahuan pra-ilmiah karena tidak diperoleh secarasistematis-
metodologis ada yang cenderung menyebutnya sebagai pengetahuan“naluriah”. Dalam
sejarah perkembangannya, di zaman dahulu yang lazim disebuttahap-mistik, tidak
terdapat perbedaan di antara pengetahuanpengetahuan yangberlaku juga untuk obyek-
obyeknya. Pada tahap mistik ini, sikap manusia sepertidikepung oleh kekuatan-kekuatan
gaib di sekitarnya, sehingga semua obyek tampildalam kesemestaan dalam artian satu
sama lain berdifusi menjadi tidak jelas batasbatasnya.Tiadanya perbedaan di antara
pengetahuan-pengetahuan itu mempunyaiimplikasi sosial terhadap kedudukan seseorang
yang memiliki kelebihan dalampengetahuan untuk dipandang sebagai pemimpin yang
mengetahui segala-galanya.Fenomena tersebut sejalan dengan tingkat kebudayaan
primitif yang belum mengenalberbagai organisasi kemasyarakatan, sebagai implikasi
belum adanya diversifikasipekerjaan. Seorang pemimpin dipersepsikan dapat merangkap
fungsi apa saja,antara lain sebagai kepala pemerintahan, hakim, guru, panglima perang,
pejabat,pernikahan, dan sebagainya. Ini berarti pula bahwa pemimpin itu mampu
menyelesaikan segala masalah, sesuai dengan keanekaragaman fungsional yang
dicanangkan kepadanya. Tahap berikutnya adalah tahap-ontologis, yang membuat
manusia telah terbebas dari kepungan kekuatan-kekuatan gaib, sehingga mampu
mengambil jarak dari obyek di sekitarnya, dan dapat menelaahnya. Orang-orang yang
tidak mengakui status ontologis obyek-obyek metafisika pasti tidak akan mengakui
status-status ilmiah dari ilmu tersebut. Itulah mengapa tahap ontologis dianggap
merupakan tonggak ciri awal pengembangan ilmu. Dalam hal ini subyek menelaah obyek
dengan pendekatan awal pemecahan masalah, semata-mata mengandalkan logika berpikir
secara nalar. Hal ini merupakan salah satu ciri pendekatan ilmiah yang kemudian
dikembangkan lebih lanjut menjadi metode ilmiah yang makin mantap berupa proses
berpikir secara analisis dan sintesis.Dalam proses tersebut berlangsung logika berpikir
secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan khusus dari yang umum. Hal ini mengikuti
teori koherensi, yaitu perihal melekatnya sifat yang terdapat pada sumbernya yang
disebut premis-premis yang telah teruji kebenarannya, dengan kesimpulan yang pada
gilirannya otomatis mempunyai kepastian kebenaran. Dengan lain perkataan kesimpulan
tersebut praktis sudah diarahkan oleh kebenaran premis-premis yang bersangkutan.
Walaupun kesimpulan tersebut sudah memiliki kepastian kebenaran, namun mengingat
bahwa prosesnya dipandang masih bersifat rasional–abstrak, maka harus dilanjutkan
dengan logika berpikir secara induktif. Hal ini mengikuti teori korespondensi, yaitu
kesesuaian antara hasil pemikiran rasional dengan dukungan data empiris melalui
penelitian,dalam rangka menarik kesimpulan umum dari yang khusus. Sesudah melalui
tahapontologis, maka dimasukan tahap akhir yaitu tahap fungsional. Pada tahap
fungsional,sikap manusia bukan saja bebas dari kepungan kekuatan-kekuatan gaib, dan
tidak semata-mata memiliki pengetahuan ilmiah secara empiris, melainkan lebih daripada
itu. Sebagaimana diketahui, ilmu tersebut secara fungsionaldikaitkan dengan kegunaan
langsung bagi kebutuhan manusia dalam kehidupannya.Tahap fungsional pengetahuan
sesungguhnya memasuki proses aspel aksiologi filsafat ilmu, yaitu yang membahas amal
ilmiah serta profesionalisme terkait dengan kaidah moral. Sementara itu, ketika kita
membicarakan tahap-tahap perkembangan pengetahuan dalam satu nafas tercakup pula
telaahan filsafat yang menyangkut pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Pertama, dari segi
ontologis, yaitu tentang apa dan sampai di mana yang hendak dicapai ilmu. Ini berarti
sejak awal kita sudah ada pegangan dan gejala sosial. Dalam hal ini menyangkut yang
mempunyai eksistensi dalam dimensi ruang dan waktu, dan terjangkau oleh pengalaman
inderawi. Dengan demikian, meliputi fenomena yang dapat diobservasi, dapat diukur,
sehingga datanya dapat diolah, diinterpretasi, diverifikasi, dan ditarik kesimpulan.
Dengan lain perkataan, tidak menggarap hal-hal yang gaib seperti soal surga atau neraka
yang menjadi garapan ilmu keagamaan. Telaahan kedua adalah dari segi epistimologi,
yaitu meliputi aspek normatif mencapai kesahihan perolehan pengetahuan secara ilmiah,
di samping aspek prosedural, metode dan teknik memperoleh data empiris.Kesemuanya
itu lazim disebut metode ilmiah, meliputi langkah langkah pokok danurutannya, termasuk
proses logika berpikir yang berlangsung di dalamnya dan saran,berpikir ilmiah yang
digunakannya. Telaahan ketiga ialah dari segi aksiologi, yang sebagaimana telah
disinggung di atas terkait dengan kaidah moral pengembanganpenggunaan ilmu yang
diperoleh.Epistimologi, Ontologi, dan Aksiologi
TahapanOntologi(Hakikat Ilmu) Obyek apa yang telah ditelaah ilmu? Bagaimana wujud
yang hakiki dari obyektersebut?Bagaimana hubungan antara obyek tadidengan daya
tangkap manusia (sepertiberpikir, merasa, dan mengindera) yangmembuahkan
pengetahuan?Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang
berupa ilmu?Bagaimana prosedurnya?
Epistimologi(Cara MendapatkanPengetahuan)Bagaimana proses yang memungkinkan
ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu?Bagaimana prosedurnya?Hal-hal apa yang
harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan dengan benar?Apa yang disebut
dengan kebenaran itusendiri?Apa kriterianya?Sarana/cara/teknik apa yang membantu
kitadalam mendapatkan pengetahuan yang berupailmu? Aksiologi(Guna
Pengetahuan)Untuk apa pengetahuan tersebut digunakan?Bagaiman kaitan antara cara
penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral?Bagaimana penetuan obyek yang
ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?Bagaimana kaitan antara teknik prosedural
yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma
moral/profesional,Bidang garapan Filsafat Ilmu terutama diarahkan pada komponen-
komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu, yaitu ontologi,
epistemologi, dan aksiologi. Ontologi ilmu meliputi apa hakikat ilmu itu, apa hakikat
kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas
dari persepsi filsafat tentang apa dan bagai mana (yang) “Ada” itu (being Sein, het zijn).
Pahammonisme yang terpecah menjadi idealisme atau spiritualisme, Paham dua lisme,
pluralisme dengan berbagai nuansanya, merupakan paham ontologik yang pada akhimya
menentukan pendapat bahkan ke yakinan kita masing- masing mengenai apa dan
bagaimana(yang) ada sebagaimana manifestasi kebenaran yang kita cari. Epistemologi
ilmu meliputi sumber, sarana, dan tatacara mengunakan sarana tersebut untuk mencapai
pengetahuan (ilmiah). Perbedaan mengenal pilihan landasan ontologik akan dengan
sendirinya mengakibatkan perbedaan dalam menentukan sarana yang akan kita pilih.
Akal (Verstand), akal budi (Vernunft) pengalaman, atau komunikasi antara akal dan
pengalaman, intuisi, merupakan sarana yang dimaksud dalam epistemologik, sehingga
dikenal adanya model-model epistemologik seperti: rasionalisme, empirisme, kritisisme
atau rasionalisme kritis, positivisme, feno -menologi dengan berbagai variasinya.
Ditunjukkan pula bagai mana kelebihan dan kelemahan sesuatu model epistemologik be
serta tolok ukurnya bagi pengetahuan (ilmiah) itu seperti teori ko herensi, korespondesi,
pragmatis, dan teori intersubjektif. Akslologi llmu meliputi nilal-nilal (values) yang
bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau ke nyataan
sebagaimana kita jumpai dalam kehidupan kita yang menjelajahi berbagai kawasan,
seperti kawasan sosial, kawasan simbolik atau pun fisik-material. Lebih dari itu nilai-nilai
juga ditunjukkan oleh aksiologi ini sebagai suatu conditio sine qua non yang wajib
dipatuhi dalam kegiatan kita, baik dalam melakukan penelitian maupun di dalam
menerapkan ilmu. Dalam perkembangannya Filsafat llmu juga mengarahkan
pandangannya pada Strategi Pengembangan ilmu, yang menyangkut etik dan heuristik.
Bahkan sampal pada dimensi ke budayaan untuk menangkap tidak saja kegunaan atau
keman faatan ilmu, tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan. Landasan ontologis
ilmu[1] berkaitan dengan hakikat ilmu; secara ontologis, ilmu mengkaji realitas
sebagaimana adanya (das Sein). Persoalan yang didalami: ”Apakah yang menjadi bidang
telaah ilmu?” Dalam konteks ini, hendak dijawab pula pertanyaan:”Apakah yang
membedakan penjelasan ilmiah dengan penjelasan lainnya?”.Dikarenakan dalam Filsafat
ilmu berkaitan dengan Ontologi, Filsafat Ilmu dalam telaahnya terhadap ilmu akan
menyelidiki landasan ontologis dari suatu ilmu. Landasan ilmu dapat dicari dengan
menanyakan apa asumsi ilmu terhadap objek material maupun objek formal ? apakah
objek bersifat phisik ataukah bersifat kejiwaan ?.Secara lebih terperinci ilmu mempunyai
tiga asumsi mengenai obyek empiris.Asumsi pertama, menganggap obyek-obyek tertentu
mempunyai keserupaan satu sama lain, umpamanya dalam hal bentuk, struktur, sifat dan
sebagainya. Berdasarkan ini maka kita dapat mengelompokkan beberapa obyek yang
serupa kedalam satu golongan. Klasifikasi merupakan pendekatan keilmuan yang
pertama terhadap obyek obyek yang ditelaahnya dan Taxonomi merupakan cabang
keilmuan yang mula-mula sekali berkembang. Linnaeus (1707-1778) merupakan pelopor
dalam penggolongan hewan dan tumbuhansecara sistematis. Dengan adanya klasifikasi
ini, sehingga kita menganggap bahwa individu-individu dalam suatu kelas tertentu
mempunyai cirri-ciri yang serupa, maka ilmu tidak berbicara mengenai kasus individu
melainkan suatu kelas tertentu. Asumsi kedua, adalah anggapan bahwa suatu benda tidak
mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu. Oleh sebab itu ilmu hanya menuntut
adanya kelestarian yang relatif, artinya sifat-sifat pokok dari suatu benda tidak berubah
dalam jangka waktu tertentu. Tercakup dalam pengertian ini adalah pengakuan bahwa
benda-benda dalam jangka panjang akan mengalami perubahan dan jangka waktu ini
berbeda-beda untuk tiap benda. Kelestarian relative dalam jangka waktu tertentu ini
memungkinkan kita untuk melakukan pendekatan keilmuan terhadap obyek yang sedang
diselidiki. Asumsi yang ketiga, adalah determinisme; merupakan anggapan tiap gejala
bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan. Tiap gejala mempunyai pola
tertentu yang bersifat tetap dengan urut-urutan kejadian yang sama. Determinismedalam
pengertian ilmu mempunyai konotasi yang bersifat peluang (propabilistik)(Suriasumantri,
2006:7-8)[2]. Berdasarkan uraian sebelumnya, jelas bahwa terdapattiga hal distingtif
penjelasan ilmiah (scientific explanation): (1) deduktif, (2)probabilistik, (3) fungsional
atau teleologis, dan yang keempat, menurut Ernest Nagel,adalah (4) genetik[3], atau
seringkali disebut dengan penjelasan historis[4].Landasan epistemologis ilmu[5]
berkaitan dengan aspek-aspek metodologis ilmu dan sarana berpikir ilmiah lainnya,
seperti bahasa, logika, matematika, dan statistika.Landasan ini berangkat dari suatu
premis bahwa sesungguhnya alam semesta tidak berbicara (dalam arti formal); ia hanya
memanifestasikan diri dalam dan lewat fakta fakta saja agar sains dapat berada, metode-
metode (mekanisme-mekanisme) tertentu harus diciptakan, untuk ”menanyai” alam
semesta dan bahkan untuk menerima darinya jawaban-jawaban yang signifikatif dan
kondusif. Inilah fungsi pokok metode ilmiah yang akan dielaborasi lebih jauh nanti.
Dalam konteks ini, hendak dijawab pula pertanyaan:(1) ”Apakah ilmu menjamin
diperolehnya kebenaran?”, (2) ”Apakah batas-batas pengetahuan ilmiah itu?” Terhadap
pertanyaan pertama, diajukan proposisi bahwakebenaran itu bukanlah sesuatu yang
stabil atau yang sudah ada, melainkan beradadalam sejarah yang senantiasa berubah.
Louis Leahy (2002: 17) memberikan analogiilustratif, ” kita naik selangkah demi
selangkah dari suatu tangga yang panjang;sehingga dewasa ini kepada kita
disajikansuatu perspektif yang dahulu tidak ada,dan yang memungkinkan kita untuk
menentukan relasi-relasi antara segi-segi alamsemesta“.[6] . Di samping itu, sejarah
ilmu menunjukkan bahwa para filsuf dan ilmuwan tidak mampu merumuskan perangkat
ketentuan yang universal diterima semua orang untuk menilai kebenaran (Alsa, 2003: 3)
[7]. Argumentasi ini semakin diperumit lagi apabila pemikiran Michael Foucault
diikutsertakan, bahwa kebenaran-pun ditunjuk dalam setiap wacana ilmiah dimana kuasa
strategi dipraktikkan. Demikian pula, kita dapat menjadi semakin pesimis. mengenai
penjaminan pemerolehan kebenaran olehilmu, apabila kita merujuk pada hipotesis
Foucault bahwa sejarah pengetahuan tidak begitu saja patuh pada hukum umum
kemajuan nalar. Di bawah apa yang diketahui oleh ilmu pengetahuan, ada sesuatu yang
tidak diketahuinya, tetapi yang mempunyai hukum dan aturannya sendiri. Tidak
mengherankan, Foucault memposisikan psikoanalisis (di samping etnologi) secara
khusus, bukan karena berhasil menjadi ilmiah dengan memantapkan landasan
positivitasnya, tetapi karena terus mempertanyakan segala sesuatu yang tampak mapan
(Leksono, 2002: 31)[8]. Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa yang dijamin untuk
diperoleh oleh ilmu hanyalah jenis kebenaran ilmiah (scientific truth), meskipun sifat-
sifatnya tidak mutlak, tidak samad, melainkan bersifat nisbi (relatif), sementara (tentatif),
dan hanya merupakan pendekatan (Wilardjo dalam Suriasumantri, 1997: 239)
”Kebenaran ilmiah” dalam tulisan ini diartikan sebagai kebenaran yang didapat melalui
cara-cara baku yang disebut ”metode ilmiah”. Menurut Shaw dan Costanzo (Sarwono, S.
W, 2002: 5)[9], teori merupakan serangkaian hipotesis atau proposisi yang saling
berhubungan tentang suatu gejala (fenomena) atau sejumlah gejala. Berdasarkan definisi
ini dapat disimpulkan sedikitnya empat fungsi teori : (1) menjelaskan atau memberi tafsir
baru terhadap fenomena (2) menghubungkan satu konsep/konstruk dengan
konsep/konstruk yang lain, (3) memprediksi gejala, dan (4) menyediakan kerangka yang
lebih luas dari temuan dan pengamatan[10]. Metode Ilmiah-lah yang merupakan prosedur
baku yang berfungsi temuan dan pengamatan. Metode Ilmiah yang merupakan prosedur
baku yang berfungsi menghasilkan teori/kebenaran yang dimaksud. Metode ilmiah
merupakan rentetan-rentetan daur-daur penyimpulan rampatan, Hipotetiko
(induksi),penyimpul-khasan (deduksi) dan penyalinan (verifikasi/validasi) yang terus
menerus tak kunjung usai (Wilardjo dalam Suriasumantri, 2006)[11] ; jadi, kebenaran
yang didapat dengan cara lain tidak disebut kebenaran ilmiah, kecuali aksioma seperti
dalam matematika (Marzoeki, 2000: 15)[12]. Suatu pertanyaan teoritis mesti
berlandaskan pada peryataan sebelumnya. Peryataan sebelumnya harus berlandaskan
peryataan sebelumnya lagi, dan seterusnya sehingga kita dapat sampai pada peryataan
yang paling pangkal diajukan. Peryataan ini dianggap terbukti dengan sendirinya
(selfevident) dan diterima umum sebagai kebenaran (universally recognized as truth)
disebut aksioma. Ada kebenaran lain dan sumber kebenaran lain (filsafat, seni, agama,
dsb) (Suriasumantri, 2006)[13].Selanjutnya, terhadap pertanyaan epistemologis kedua,
dapat dikemukakan bahwa dikalangan para ahli-ahli sejarah sains dan (kajian-kajian )
metodologi ilmiah mengaku adanya jenis masalah yang meskipun lahir dari dalam sains,
namun melampaui batasbatas sains itu (Leahy, 1997: 32-40)[14].Berdasarkan uraian di
atas, dapat disimpulkan bahwa pengetahuan ilmiah itu terbatas setidaknya berdasarkan
dua argumen pokok: (1) keterbatasan persepsi, memori, dan penalaran, (2) implikasi
saintifik kosmos terhadap pertanyaan-pertanyaan paripurna.Pertama, kiranya sudah
sangat jelas bahwa persepsi, ingatan, dan penalaran sebagaisumber pemerolehan
pengetahuan manusia mempunyai kelemahan-kelemahan (Suriasumantri, 2006)[15].
Dalam kaitan ini, kegiatan berpikir dalam ilmu menggunakan objek-objek material
berupa gejala-gejala konkret yang dapat diamatisecara langsung[16].
[1] Hakekat atau kenyataan atau realitas memang dapat didekati secara ontologis dengan
dua macam sudut pandang, yang pertama, kuantitatif yaitu dengan mempertanyakan
apakah kenyataan itu tunggal atau jamak ? yang kedua, kualitatif yakni dengan
mempertanyakan kenyataan atau realitas tersebut memiliki kualitas tertentu, seperti
misalnya : daun yang memiliki warna kehijauan, bunga mawar yang berbau harum.[2]
Jujun Suriasumantri, op.cit, 7-8[3] Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar
Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), 142-143 [4] Contoh: Penjelasan
probabilistik ditarik secara induktif dari sejumlah kasus yang dengan demikian tidak
memberikan kepastian seperti penjelasan deduktif, melainkan penjelasan yang bersifat
peluang, seperti ”kemungkinan”, ”kemungkinan besar”, atau ”hampir dapat dipastikan”.
Penjelasan fungsional atau teleologis meletakkan sebuah unsure dalam kaitannya dengan
sistem secara keseluruhan yang mempunyai karakteristik atau arah perkembangan
tertentu (Suriasumantri, 2000: 142). Dewasa ini telah ditemukan model-model penjelasan
ilmiah yang membedakannya dengan penjelasan non-ilmiah, yakni Deductive-
Nomological (DN), Statistical Relevance (SR), Causal Mechanical (CM), dan
Unificationist models (”Scientific explanation”, 2009). Dalam model DN, sebagai contoh,
ilmu bertanggung jawab untuk menyediakan jawaban yang memuaskan atas pertanyaan
“mengapa”. Suatu jawaban atas pertanyaan “mengapa” baru dapat disebut penjelasan
ilmiah apabila ia memiliki struktur yang logis dalam argumennya, yaitu terdiri atas
premispremis dan kesimpulan yang memiliki relasi satu sama lain. Kesimpulan yang ada
di dalamnya merupakan fenomena yang perlu dijelaskan (explanandum), sedangkan
premis-premisnya adalah fakta yang bisa digunakan untuk mendukung kesimpulan
tersebut (explanans). Untuk dapat memberikan penjelasan, ilmu memiliki argumen
deduktif dengan minimal satu hukum umum sebagai premis dan satu explanandum
sebagai konklusi. Explanans memberikan penjelasan ilmiah terhadap explanandum hanya
apabila: (1) Explanandum merupakan konsekuensi logis dari konjungsi explanans; (2)
Tidak ada surplus explanans yang tidak perlu dalam rangka eksplanasi; (3) Pernyataan
pernyataan explanans harus memiliki isi empiris; (4) Semua pernyataan explanans harus
benar (Ruben, 1990). Ada karakteristik lain dari model DN, yaitu bahwa sebuah
eksplanasi dapat digunakan untuk memperkirakan, dan sebuah prediksi adalah sebuah
eksplanasi yang sahkarena kepersisan struktur logisnya. Model ini sangat jelas
membedakan antara ilmu dan bukan-ilmu. [5] Episteme berrati pengetahuan, sedangkan
epistemology ialah ilmu yang membahas tentang apa itu pengetahuan dan bagaimana cara
memperoleh pengetahuan. Pengetahuan pada hakekatnya adalah keadaan mental (mental
state). Mengetahui sesuatu ialah menyusun pendapat tentang sesuatu itu, dengan kata lain
menyusun gambaran itu sesuai dengan fakta atau kenyataan atau tidak? Apakah
gambaran itu benar? Atau apakah gambaran itu dekat dengan kebenaran atau jauh dari
kebenaran. Ada dua teori mengenai hakekat pengetahuan ini, yaitu teori realisme, yang
berpandangan bahwa pengetahuan adalah benar dan tepat jika sesuai dengan kenyataan
tau realitas. Sebaliknya teori yang kedua adalah idealisme, yang berpendapat bahwa
gambaran yang benar-benar tepat dan sesuai dengan kenyataan adalah mustahil, oleh
karenanya teori ini berpendapat bahwa gambaran subyektif dan bukan obyektif tentang
kenyataan. Subyektif dipandang dari sudut yang mengetahui, yaitu dari sudut orang yang
membuat gambaran tersebut. Pengetahuan menurut teori ini tidak menggambarkan
keadaan yang sebenarnya, pengetahuan tidak memberikan gambaran yang tepat hakekat
yang ada diluar akal, yang diberikan pengetahuan hanyalah gambaran menurut pendapat
atau penglihatan orang yang mengetahui. [6] Louis Leahy, Horizon Manusia: Dari
Pengetahuan ke Kebijaksanaan (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2002), 17 [7] A. Alsa,
Pendekatan Kuantitatif serta kombinasinya dalam Penelitian Psikologi (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1990), 3 [8] K. Leksono, Berakhirnya Manusia dalam
Kebangkrdemarkasi yang disebut Karl Popper sebagai falsifiabilitas[9]. Yang harus
melewati patok demarkasi pengujian empiris ini adalah hipotesis. Hipotesis merupakan
pernyataan dugaan (conjectural) (Yogyakarta: [10] Metode ilmiah merupakan rentetan
daur-daur penyimpulanrampatan (induksi), tentang hubungan antara dua variabel atau
lebih, yang dapat dirunut atau dijabarkan dari teori dan dari hipotesis lain (Kerlinger,
2003: 32). Apabila hipotesis kerja (yang hendak diuji) bertahan menghadapi semua usaha
menolaknya sebagai keliru (false), teori baru (Popper: ”system of hypotheses”; Shaw &
Costanzo: ”a set of interrelated hypothesis”) boleh dianggap sudah diperoleh. Jadi, fungsi
hipotesis adalah mengarahkan prosedur penelitian ilmiah, dan membawa ilmuwan
”keluar” dari dirinya sendiri (Kerlinger, 2003: 33). Dua atau lebih variabel yang
dijalinkan oleh hipotesis merupakan konstruk-konstruk atau konsep-konsep yang
memiliki variasi nilai dan terhubung dengan realitas via pengukuran. ”Konsep”
mengungkapkan abstraksi yang terbentuk oleh generalisasi dari hal-hal khusus
(Kerlinger, 2003: 48), sedangkan ”konstruk” merupakan konsep-konsep yang
didefinisikan oleh sebuah jejaring nomologis, yang mengaitkan konstruk-konstruk dan
variabel-variabel yang teramati melalui seperangkat relasi-relasi teoritis-sah (Cronbach &
Meehl, 1955). Menurut Bunge (1983), konstruk adalah sebuah objek ideal, yang
eksistensinya bergantung (predicated) pada mind seseorang; dalam hal ini dikontraskan
dengan objek-objek riil, yang eksistensinya tidak bergantung pada mind. Dalam definisi
yang lain, konstruk merupakan sebuah properti mental (”Assessing statistically”, 2004).
Fungsi konsep adalah sebagai alat identifikasi fenomena yang diobservasinya (Effendi
dalam Singarimbun & Effendi, 2006: 95); misalnya, ”konsep prestasi akademis”
mengungkapkan sejumlah observasi tentang halhal yang lebih atau kurang ”prestatif”.
Sedangkan konstruk berfungsi membantu kita mengerti esensi fenomena yang sedang
diteliti (Christensen, Johnson, & Horn, 2008: 288); misalnya,”konstruk prestasi”
menolong kita mengenalikenyataan bahwa prestasi akademis merupakan fungsi dari
inteligensi dan motivasi.[11] Wilardjo dalam Jujun Suriasumantri, op.cit, 237[12] D.
Marzuki, Budaya Ilmiah dan Filsafat Ilmu (Jakarta: Grasindo, 2000),5[13] Jujun
Suriasumantri, op.cit, 3[14] Louis Leahy, Agama dalam Konteks Zaman ini (Yogyakarta:
Penerbit Kanisius,1997), 32 Misalnya: ”(1) Ahli fisikia, yang menghadapi soal hubungan
antara subjek dan objek, yang bersifat filosofis; (2) Ahli biologi, yang menemui program
DNA, … , seakan-akanmateri ”dipikirkan” ke arah prestasi yang melampaui kemampuan
materi murni; (3) Kasus Hellen Keller, yang menunjukkan bahwa semua usaha untuk
merendahkan kesadaran intelektual kepada derajat suatu psikologi empiris atau sensualis
saja, sama sekali kalah. (Kasus ini) … tidak dapat dimengerti tanpamelihat dalam
inteligensi sebuah dimensi yang memang supra-material.”[15] Jujun Suriasumantri,
op.cit, 17-18[16] Sehubungan dengan ini, Tennant (1968: 364) menyatakan: Science can
only know…. the Real through and as the phenomenal. It is precluded from making
statements,positive or negative, as to the ontal, and from claiming absoluteknowledge or
nonphenomenalknowledge of the absoluteutan Ilmu-ilmu
5.Guna filsafat bagi pengembangan penelitian Pendidikan
Dalam kaitannya dengan hubungan filsafat ilmu dan penelitian, terdapat tiga komponen
dasar yang erat kaitannya dengan penelitian yaitu : ontologi, epistimologi, dan
aksiologi.Dalam pembahasan ontology, epistimologi dan aksiologi dikaitkan dengan
lgika yang digunakan untuk pembuktian, baik mengenai kenyataan,kebenaran dan tingkat
kepastian, dapat dikelompokkan menjadi dua aliran filsafat ilmu yaitu, empirisme dan
rasionalisme/rasionalisme menghendaki kebenaran imperik logic, etik dan
transcendental/metafisik, memunculkan logika penomenologik.Pada logika positivistic
menghendaki perencanaan riset yang rigor/ketat,rinci, terukur, terkontrol dan penetapan
data yang konkrit yang teramati, memunculkan jenis penelitian kuantitatif.logika
phenomenologik menghendaki perancanaan riset yang longgar dan luwes,sebab data yang
dicari tidak pasti, sangat tergantung pada fenomena yang dijadikan sasaran risetnya,
memunculkan jenis penelitian kualitatif.
A. Ontologi
Sebagai komponen dasar filsafat, ontology memiliki obyek telaah yaitu yang ada. Studi
tentang yang ada pada dataran studi filsafat pada umumnya dilakukan oleh filsafat
metafisika. Istilah ontologi ketika kita membahas yang ada dalam konteks filsafat ilmu.
Ontologi membahas tetantang yang ada yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu.
Ontologi membahas yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal.
Sedangkan yang merupakan obyek formal ontologi adalah hakekat seluruh realitas. Bagi
pendekatan kuantitaif, realita tampil dalam kuantitas atau jumlah, telaahnya akan menjadi
telaah monisme, paralenisme, atau pluralisme. Bagi pendekatan kualitatif, realitas akan
tampil menjadi aliran-aliran materialisme, idialisme, naturalisme atau hylomorphisme.
Dalam hal ini ada tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu: abstraksi fisik, abstraksi
bentuk dan abstraksi metafisik.
B. Epistimolgi
Istilah epistimologi berasal dari kata epiteme yang berarti pengetahuan dan logos yang
berarti pengetahuan, dan logos yang berarti teori. Secara etimologis, berarti teri
pengetahuan. Epistimologi merupakan cabang filsafat yang mempersoalakan atau
menyelidiki tentang asal, susunan, metode, serta kebenaran pengetahuan. Jadi
epistimologi merupakan cabang atau bagian dari filsafat yang membahasa maslaah-
masalah pengetahuan[8] Epistimologi atau teori pengetahuan, membahas secara
menadalam segenap proses yang terlihat alam usaha kita untuk memperoleh pengetauan.
Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalaui proses tertentu yang dinamakn
metode keilmuaSebagai komponen dasar selanjutnya adalah epistimologi yaitu
pembahasan tentang bagaimana cara memperoleh kebenaan ilmu pengetahuan.
Bagaimana tata cara memperoleh kebenaran ilmu pengetahuan ini dipengaruhi oleh
ontologi yang dipilihnya. Epistimologi dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu
epistimologi subyektif dan epistimologi pragmatik. Epistimologi subyektif memberikan
implikasi pada standar rasional tentang hal yang duyakini. Menggunakan standar rasional
bearti bahwa sesuatu yang diyakini sebagai benar itu tentunya memiliki sifat reliabel
(ajek). Sejarah mengatakan bahwa tokoh epistimologi prakmatig adalah Wiliams Jams
dan juga Jhon Dewey[9] yang menyarankan agar pencarian pada yang kekal hendaknya
diganti dengan pencermatan realistik mengkritik ide palsu, diganti dengan pencermatan
eksperimental dan empirik, menggunakan means mencari ins untuk selanjutnya menjadi
means. Hal ini merupakan bukti bahwa ontology merupakan bagian penting dari
filsafat.Dalam perjalanan keilmuan yang terjadi pada masa dahulu, membuktikan bahwa
ilmuwan terdahulu menampilkan tesis dan teori yang secara berkelanjutan disanggah atau
dimodifikasi atau diperkaya oleh ilmuwan berikutnya. Kebenaran-kebenaran yang
ditampilkan berupa tesis atau teori yang bersifat kondisional sejauh medianya demikian,
sampelnya itu,desainnya demikian dan seterusnya. Dengan demikian kebenaran yang
diperoleh dengan cara kerja demikian adalah kebenaran epistimologik. Ilmu pengetahuan
yang berkembang sekarang dengan metodologi yang kita kenal sekarang ini lebih banyak
menjangkau kebenaran epistimologik, belum menjangkau kebenaran subtantif hakiki,
yang merupakan esensi dari keilmuan itu sendiri.
C. Aksiologi
Komponen dasar selanjutnya dalam filsafat adalah aksiologi yaitupembahasan tentang
bentuk ilmu yang dihasilkan dari penelitian. Inipun dipengaruhi oleh ontologi yang
digunakan. Ontologi yang memahami sesuatu itu tunggal penelitiannya jenis kuantitatif,
maka ilmu yang dibentuknya disebut nomotetik dan bebas nilai (value).Menurut Scheler
ada empat jenis values dalam aksiologi. Pertama,value sensual, dalam tampilan seperti
menyenangkan dan tak menyenangkan. Kedua, nilai hidup seperti edel (agung) atau
gemein(bersahaja). Ketiga, nilai kejiwaan seperti nilai estetis, nilai benar salah, dan nilai
instrinsik ilmu. Keempat nilai religius, seperti yang suci, yang sakral[10]Dari telaah yang
dilakukan oleh Scheler tentang etik kontras dengan Kant.Kant berbicara sollen
(kemistian), sedangkan Scheller memandang bahwa kemestian itu sesuatu yang dibuat-
buat.
6.Kelemahan Filsafat ilmu dalam mengurai persoalan persoalan ilmiah
1. Rasionalisme
Kelemahan :
* Doktrin – doktrin filsafat rasio cenderung mementingkan subjek daripada objek,
sehingga rasionalisme hanya berpikir yang keluar dari akal budinya saja yang benar,
tanpa memerhatikan objek – objek rasional secara peka.
* Cara memahami objek di luar cakupan rasionalitas sehingga titik kelemahantersebut
mengundang kritikan tajam , sekaligus memulai permusuhan baru dengan sesama pemikir
filsafat yang kurang setuju dengan sistem – sistem filosofis yang subjektif tersebut.
2. Empirisme
Kelemahan :
Indra terbatas, Indera menipu, Objek yang menipu, Indera dan objek sekaligus.
3.Positivisme
Kelemahan :
* Manusia akan kehilangan makna, seni atau keindahan, sehingga manusia tidak dapat
merasa bahagia dan kesenangan itu tidak ada. Karena dalam positivistic semua hal itu
dinafikan
* Hanya berhenti pada sesuatu yang nampak dan empiris sehingga tidak dapat
menemukan pengetahuan yang valid.
4.Pragmatisme
Kelemahan :
* Filsafat pragmatisme adalah sesuatu yang nyata, praktis, dan langsung dapat dinikmati
hasilnya oleh manusia, maka pragmatisme menciptkan pola pikir masyarakat yang
matrealis.
* Pagmatisme sangat mendewakan kemampuan akal dalam mencapai kebutuhan
kehidupan, maka sikap-sikap semacam ini menjurus kepada ateisme.
5.Realisme
Kelemahan :
* Menganggap bahwa realitas itu tidak sekedar apa yang dapat dilihat secara real, tetapi
realitas itu adalah pemikiran atau ide-ide.
6.Idealisme
Kelemahan :
* Anggapan terhadap sesuatu nilai atau kebenaran yang kekal sepanjang masa.
7. Materialisme
Kelemahan :
* Memandang sesuatu bukan dari keseluruhannya, tidak dari saling hubungannya, tetapi
dipandang sebagai sesuatu yang berdiri sendiri.
* Melihat segala sesuatu tidak dari geraknya, melainkan sebagai yang diam, mati dan
tidak berubah-ubah.
8. Vitalisme
Kekurangan :
* Tidak bisa saling mengintervensi.
9. Eksistensialisme
Kekurangan :
* Mengabaikan Perintah Tuhan.
* Menyangkal realitas dan kesungguhan perikehidupan antar manusia.

More Related Content

What's hot

Dimensi kajian filsafat ilmu
Dimensi kajian filsafat ilmuDimensi kajian filsafat ilmu
Dimensi kajian filsafat ilmuM fazrul
 
Mata kuliah filsafat ilmu
Mata kuliah filsafat ilmuMata kuliah filsafat ilmu
Mata kuliah filsafat ilmuMas Yono
 
Filsafat ilmu
Filsafat  ilmu Filsafat  ilmu
Filsafat ilmu Ram Dhany
 
Resume filsafat ilmu
Resume filsafat ilmuResume filsafat ilmu
Resume filsafat ilmuUCy Rukmana
 
Aksiologi pengetahuan
Aksiologi pengetahuanAksiologi pengetahuan
Aksiologi pengetahuanwindarti aja
 
Ontologi, epistomologi, dan aksiologi presentasi ke 8
Ontologi, epistomologi, dan aksiologi presentasi ke 8Ontologi, epistomologi, dan aksiologi presentasi ke 8
Ontologi, epistomologi, dan aksiologi presentasi ke 8Alfis Khisoli
 
Filsafat ilmu pengetahuan
Filsafat ilmu pengetahuanFilsafat ilmu pengetahuan
Filsafat ilmu pengetahuanvian rahayu
 
Struktur Ilmu Filsafat Ontologi dan Epistemologi
Struktur Ilmu Filsafat Ontologi dan EpistemologiStruktur Ilmu Filsafat Ontologi dan Epistemologi
Struktur Ilmu Filsafat Ontologi dan Epistemologiriskaramadhanti
 
Tugas review materi filsafat
Tugas review materi filsafatTugas review materi filsafat
Tugas review materi filsafatwindarti aja
 
Filsafat Ilmu : Ontologi
Filsafat Ilmu : OntologiFilsafat Ilmu : Ontologi
Filsafat Ilmu : OntologiHosyatul Aliyah
 
Ontologi, epistimologi, aksiologi sains
Ontologi, epistimologi, aksiologi sainsOntologi, epistimologi, aksiologi sains
Ontologi, epistimologi, aksiologi sainsMutiara Cess
 
Makalah pengantar filsafat
Makalah pengantar filsafatMakalah pengantar filsafat
Makalah pengantar filsafatnewskiem
 
Cabang kajian ilmu filsafat administrasi
Cabang kajian ilmu filsafat administrasiCabang kajian ilmu filsafat administrasi
Cabang kajian ilmu filsafat administrasiIntelektual Aceh
 

What's hot (20)

Dimensi kajian filsafat ilmu
Dimensi kajian filsafat ilmuDimensi kajian filsafat ilmu
Dimensi kajian filsafat ilmu
 
Mata kuliah filsafat ilmu
Mata kuliah filsafat ilmuMata kuliah filsafat ilmu
Mata kuliah filsafat ilmu
 
Epistemologi
EpistemologiEpistemologi
Epistemologi
 
Filsafat ilmu
Filsafat  ilmu Filsafat  ilmu
Filsafat ilmu
 
Filsafat ilmu lengkap
Filsafat ilmu lengkapFilsafat ilmu lengkap
Filsafat ilmu lengkap
 
Resume filsafat ilmu
Resume filsafat ilmuResume filsafat ilmu
Resume filsafat ilmu
 
Ppt. objek filsafat
Ppt. objek filsafatPpt. objek filsafat
Ppt. objek filsafat
 
Aksiologi pengetahuan
Aksiologi pengetahuanAksiologi pengetahuan
Aksiologi pengetahuan
 
Ontologi, epistomologi, dan aksiologi presentasi ke 8
Ontologi, epistomologi, dan aksiologi presentasi ke 8Ontologi, epistomologi, dan aksiologi presentasi ke 8
Ontologi, epistomologi, dan aksiologi presentasi ke 8
 
Filsafat ilmu pengetahuan
Filsafat ilmu pengetahuanFilsafat ilmu pengetahuan
Filsafat ilmu pengetahuan
 
Makalah filsafat
Makalah filsafatMakalah filsafat
Makalah filsafat
 
Struktur Ilmu Filsafat Ontologi dan Epistemologi
Struktur Ilmu Filsafat Ontologi dan EpistemologiStruktur Ilmu Filsafat Ontologi dan Epistemologi
Struktur Ilmu Filsafat Ontologi dan Epistemologi
 
Dasar filsafat
Dasar filsafatDasar filsafat
Dasar filsafat
 
Tugas review materi filsafat
Tugas review materi filsafatTugas review materi filsafat
Tugas review materi filsafat
 
1. epistemologi (selesai)
1. epistemologi (selesai)1. epistemologi (selesai)
1. epistemologi (selesai)
 
Filsafat Ilmu : Ontologi
Filsafat Ilmu : OntologiFilsafat Ilmu : Ontologi
Filsafat Ilmu : Ontologi
 
Ontologi, epistimologi, aksiologi sains
Ontologi, epistimologi, aksiologi sainsOntologi, epistimologi, aksiologi sains
Ontologi, epistimologi, aksiologi sains
 
Makalah pengantar filsafat
Makalah pengantar filsafatMakalah pengantar filsafat
Makalah pengantar filsafat
 
Modul filsafat ilmu filsafat Ilmu
Modul filsafat ilmu filsafat IlmuModul filsafat ilmu filsafat Ilmu
Modul filsafat ilmu filsafat Ilmu
 
Cabang kajian ilmu filsafat administrasi
Cabang kajian ilmu filsafat administrasiCabang kajian ilmu filsafat administrasi
Cabang kajian ilmu filsafat administrasi
 

Similar to Filsafat ilmu

Similar to Filsafat ilmu (20)

Kelompok 2
Kelompok 2Kelompok 2
Kelompok 2
 
Tugas 1 filsafat ilmu
Tugas 1 filsafat  ilmuTugas 1 filsafat  ilmu
Tugas 1 filsafat ilmu
 
Tugas 1 filsafat ilmu
Tugas 1 filsafat  ilmuTugas 1 filsafat  ilmu
Tugas 1 filsafat ilmu
 
Logika
LogikaLogika
Logika
 
Makalah filsafat ilmu inda
Makalah filsafat ilmu indaMakalah filsafat ilmu inda
Makalah filsafat ilmu inda
 
Filsafat
FilsafatFilsafat
Filsafat
 
Logika
Logika Logika
Logika
 
Filsafat
FilsafatFilsafat
Filsafat
 
Filsafat
FilsafatFilsafat
Filsafat
 
Filsafat Ilmu Ninik Charmila
Filsafat Ilmu Ninik Charmila Filsafat Ilmu Ninik Charmila
Filsafat Ilmu Ninik Charmila
 
Penerangan ilmu mantiq
Penerangan ilmu mantiqPenerangan ilmu mantiq
Penerangan ilmu mantiq
 
Bab i .2.
Bab i .2.Bab i .2.
Bab i .2.
 
Kel 1 Pengantar Filsafat Ilmu.pptx
Kel 1 Pengantar Filsafat Ilmu.pptxKel 1 Pengantar Filsafat Ilmu.pptx
Kel 1 Pengantar Filsafat Ilmu.pptx
 
Makalah logika
Makalah logika Makalah logika
Makalah logika
 
Makalah tentang dasar
Makalah tentang dasarMakalah tentang dasar
Makalah tentang dasar
 
Hubungan ilmu, agama dn filsafat
Hubungan ilmu, agama dn filsafatHubungan ilmu, agama dn filsafat
Hubungan ilmu, agama dn filsafat
 
Ketode Memahami ilmu Logika Presentasi.ppt
Ketode Memahami ilmu Logika Presentasi.pptKetode Memahami ilmu Logika Presentasi.ppt
Ketode Memahami ilmu Logika Presentasi.ppt
 
Tugas 2
Tugas 2Tugas 2
Tugas 2
 
Makalah kumpulan tugas Pengantar Filsafat Ilmu
Makalah kumpulan tugas Pengantar Filsafat IlmuMakalah kumpulan tugas Pengantar Filsafat Ilmu
Makalah kumpulan tugas Pengantar Filsafat Ilmu
 
3. LOGIKA HUKUM.ppt
3. LOGIKA HUKUM.ppt3. LOGIKA HUKUM.ppt
3. LOGIKA HUKUM.ppt
 

Filsafat ilmu

  • 1. TUGAS UJIAN AKHIR SEMESTER FILSAFAT ILMU Oleh I WAYAN RUDI NIM. 1329041180 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DASAR PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA SINGARAJA 2014
  • 2. 1.Logika yang dilogikakan Logika berasal dari bahasa Yunani, dari kata sifat "logike" yang berhubunganberhubungan dengan kata benda "logos" yang berarti 'perkataan' atau 'kata'sebagai manifestasi dari ikiran manusia. Dengan demikian terdapatlah suatujalinan yang kuat antara pikiran dan kata yang dimanifestasikan dalam bahasa. Secara etimologis dapatlah diartikan bahwa logika itu adalah ilmuyang mempelajari pikiran yang dinyatakan dalam bahasa.Logika adalah ilmu yang merumuskan tentang hukum-hukum, asas asas,aturan-aturan atau kaidah-kaidah tentang berpikir yang harus ditaatisupaya kita dapat berpikir tepat dan mencapai kebenaran. Atau dapat pula didefinisikan sebagai suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari aktivitas akalatau rasio manusia dipandang dari segi benar atau salah. Dari sini dapat diketahui bahwa tugas logika adalah memberikan penerangan bagaimana orang seharusnya berpikir, dan obyek forma logika adalah mencari jawaban tentang bagaimana manusia dapat berpikir dengan semestinya Dari definisi tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa, dilihat dari metodenya dapat dibedakan atas logika tradisional dan logika modern ,Logika tradisional adalah logika Aristiteles, dan logika dari logika logikus yang lebih kemudian, tetapi masih mengikuti sistem logika Aristoteles. Para logikus sesudah Aristoteles tidak membuat perubahan atau mencipta sistem baru dalam logika kecuali hanya membuat komentar yang menjadikan logika Aristoteles lebih elegant dengan sekedar mengadakan perbaikan-perbaikan dan membuang hal-hal yang tidak penting dari logika Aristoteles. Logika modern tumbuh dan dimulai pada abad VIII. Mulai abad ini ditemukan sistem baru, metode baru yang berlain dengan sistem logika Aristoteles.Apabila logika tersebut dilihat dari obyeknya akan dikenal sebagai logika formal dan logika material. Pemikiran yang benar dapat dibedakan menjadi dua bentuk yang berbeda, yakni cara berfikir dari umum ke khusus dan cara berfikir dari khusus ke umum. Cara pertama disebut berfikir deduktif dipergunakan dalam logika formal yang mempelajari dasar-dasar persesuaian (tidk adanya pertetangan) dalam pemikiran dengan mempergunakan hukum-hukum, rumus-rumus, patokan-patokan berfikir benar. Cara berfikir induktif dipergunakan dalam logika material, yang mempelajari dasar-dasar persesuaian pikiran dengan kenyataan. Ia menilai hasil pekerjaan logika formal dan menguji benar tidaknya dengan kenyataan empiris. Cabang logika formal disebut juga logika minor, logika materia disebut logika mayor. Hal inilah yang merupakan inti
  • 3. daripada logika Proses berfikir yang ada pada diri manusia adalah berdialog dengan diri sendiri dalam batin dengan manifestasinya adalah mempertimbangkan merenungkan, menganalisis, menunjukan alasan-alasan, membuktikan sesuatu, menggolong-golongkan, membanding-bandingkan, menarik kesimpulan, meneliti sesuatu jalan fikiran, mencari kausalitasnya, membahassecara realitas dan sebagainya Dengan berpikir, merupakan suatu bentuk kegiatan akal atau rasio manusia dengan mana pengetahuan yang kita terima melalui panca indera diolah dan ditujuaan untuk mencapai suatu kebenaran. Aktivitas berpikir adalah berdialog dengan diri sendiri dalam batin dengan manifestasinya yaitu mempertimbangkan, merenungkan, menganalisis,manunjukkan alasan-alasan, membuktikan sesuatu, menggolang-golongkan,membanding-bandingkan, menarik kesimpulan, meneliti suatu jalam pikiran,mecari kausalitasnya, mebahas secara realitas dan lain-lain.Di dalam aktivitas berpikir itulah ditunjukkan dalam logika wawasan berpikir yang tepat atau ketepatan pemikrian/kebenaran berpikir yang sesuai dengan penggarisan logika yang disebut berpikir logis.Agar supaya pemikiran dan penalaran kita dapat berdaya guna dengan membuahkan kesimpulan-kesimpulan yang benar, valid dan sahih,ada 3 syarat pokok yang harus dipenuhi : 1) pemikiran haruslah berpangkal pada kenyataan atau kebenaran, 2) alasan-alasan yang dikemukakan haruslah tepat dan kuat, 3) jalan pikiran haruslah logis.Berkaitan dengan hal tersebut, logika dapat disistematisasikan menjadi beberapa golongan tergantung dari mana kita meninjuanya. Dilihat dari segi kualitasnya, logika dapat dibedakan menjadi logika naturalis, yaitu kecakapan berlogika berdasarkan kemampuan akan bawaan manusia. Akal manusia yang normal dapat bekerja secara spontan sesuai dengan hukum hukum logika dasar. Bagaimanapun rendahnya intelegensi seseorang ia dapat membedakan bahwa sesuatu itu adalah berbeda dengan sesuatu yang lain,dan bahwa dua kenyataan yang bertetangan tidaklah sama.Kemampuan berlogika naturalis pada tiap-tiap orang berbeda-beda tergantung dari tingkatan pengetahuannnya. Kita dapati para ahli pidato politikus dan mereka yang terbiasa bertukar pikiran dapat mengutarakan jalan pikiran dengan logis, meskipun barangkali mereka belum pernah membuka buku logika sekalipun. Tetapi dalam menghadapi yang rumit dan dalam berfikir manusia banyak dipengaruhi oleh kecenderungan pribadi,disamping bahwa pengetahuan manusia terbatas mengakibatkan tidak mungkin terhindar dari kesalahan. Untuk mengatasi kenytaan yang tidak dapat ditanggulangi oleh logika naturalis, manusia menyususn hukum-hukum,patokan-patokan, rumus-rumus
  • 4. berfikir lurus. Logika ini disebut logika artifisialis atau logika ilmia yang bertugas membantu logika naturalis. Logika ini memperluas, mempertajam serta menunjukkan jalan pemikiran agar akal dapat bekerja lebih teliti, efisien, mudah dan aman sehingga tercapai tujuan AGAMA tidak boleh dilogikakan. Demikian kata banyak orang. Saya yang pernah memperdalam ilmu logika lebih dari 30 tahun bertanya pada diri saya sendiri:” Apakah orang yang bicara demikian menguasai ilmu logika?”. Saya jawab:”Sebagian besar: Tidak!”. Ilmu logika itu apa? Ilmu logika adalah ilmu yang mempelajari perilaku berpikir supaya sampai pada kesimpulan yang benar, objektif ,rasional dan berdasarkan fakta. Agama itu apa? Agama adalah pedoman perilaku bagi umat pemeluknya agar selamat hidup di dunia dengan cara berperilaku baik dan menghindari perilaku buruk sesuai perintah agamanya. Agama wahyu itu apa? Yaitu agama yang diturunkan langsung dari Tuhan melalui nabi, yaitu manusia yang dipercaya Tuhan untuk menyebarkan agama tersebut ke seluruh umat tanpa mengurangi kata,kalimat maupun arti dan maksudnya. Yaitu, menggunakan bahasa Tuhan. Agama rasional itu apa? Yaitu agama yang disusun secara sistematis bertitiktolak dari filsafat dan dijadikan pedoman berperilaku yang baik dan menghindari perilaku yang tidak baik. Agama rasional dibawakan manusia biasa yang dikaruniai anugerah Tuhan untuk menciptakan agama ang sesuai untuk dirinya dan golongannya. Tanpa anugerah dari Tuhan, tidak mungkin mampu menciptakan kitab suci yang demikian sempurna bagi dirinya atau golongannya. Antara agama wahyu dan agama rasional Apakah agama wahyu saja yang benar sedangka agama rasional bukan agama yang benar? Tentu, tidak perlu diperdebatkan karena sesungguhnya hanya Tuhan yang tahu. Yang pasti, manusia juga merupakan mahluk rasional dan kecerdasan otaknya berasal dari Tuhan. Ada tiga macam logika 1.Logika Manusia 2.Logika Alam 3.Logika Tuhan
  • 5. ad.1.Logika Manusia Yaitu cara bernalar sesuai dengan kemampuan otak manusia untuk berpikir. Contoh: -Bagi umat Islam, kenapa daging babi it haram? karena daging bab mengandung bebagai benh penyakit yang tidak mngkin disterilkan dngan teknologi secanggih apapun. ad.2.Logika Alam Yaitu cara bernalar dari alam yang terjadi dari proses sebab-akibat. Contoh: Kenapa terjadi tsunami di Aceh? Sebab Aceh atau Sumatera terletak di “ring of fire” sehingga jika terjadi gmpa yang bepotensi tsunami, maka Aceh akan terkena tsunam. Sedangkan Kalmantan tidak mungkin tekena gempa ataupun tsunami karena tidak terletak di “ring of fire” 3.Logika Tuhan Yaitu cara bernalar Tuhan yang tidak akan terjangkau oleh cara bernalar manusia. Contoh: Katanya langit itu tidak terbatas. Kalau begitu, di mana batas langit? Logika manusia tidak mampu menjawabnya sebab itu wilayah Logika Tuhan. Lantas apa maksud agama tidak boleh dilogikakan? 1.Maksudnya, kalau kita memeluk agama, maka harus berdasarkan keyakinan bahwa agama itu sesuai dengan kita. Artinya, memeluk agama harus berdasarkan keyakinan dan tidak berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional. 2.Ayat-ayat suci yang dianggap bahasa Tuhan, harus diterima sebagai kebenaran tanpa harus dilogikakan. Lantas apa yang boleh dilogikakan? Yang justru harus dilogikakan adalah kebenaran daripada terjemahan an tafsirnya. Apakah sudah pasti benar. Apakah tidak terjadi salah terjemah ata tafsir? Tejemah atau tafsir adalah bahasa manusia. Manusia bisa salah. Oleh karena it terjemah dan tafsir boleh dan harus dilogikakan Siapa yang behak melogikakan Yang berhak melogikakan adalah ahlinya. Yaitu ahli bahasa sekaligus ahli terjemah dan tafsir sekaligus ahli ilmu logika. Tidak semua orang mempunyai tiga macam keahlian itu sekaligus.
  • 6. Bukannya tidak boleh dilogikakan tetapi tidak boleh melogikakan Bagi umat beragama yang tidak benar-benar menguasai dan memiliki tiga keahlian tersebut (ahlui bahasa+ahli tejemah dan tafsir+ahli ilmu logika) maka tidak boleh untuk melogikakan semua ayat kitab suci, baik yang dianggap bahasa Tuhan maupun bahasa manusia (terjemah dan tafsir) sebab sangat besar kemungkinannya terjebak dan tersesat kepada kesimpulan berlogika yang salah. Apa akibatnya kalau salah melogikakan? Jika salah melogikakan ayat (bagi yang bukan ahlinya) maka bisa menimbulkan: -Terorisme -Anakisme -Perpecahan antarumat agama -Membenci suku lain,agama lain,ras lain,bangsa/keturunan lain dan antargolngan lain dan ini merupakan penyaki hati -Merusak kerukunan dan toleransi antarumat beragama yang berbeda -Merasa agamanya sendirilah yang paling sempurna -Merasa paling suci -Mengkafirkan orang lain yang berbeda agama Apa akibatnya kalau menerima ajaran agama dari ustadnya tanpa dilogikakan? Ternyata akibatnya sama. -Terorisme -Anakisme -Perpecahan antarumat agama -Membenci suku lain,agama lain,ras lain,bangsa/keturunan lain dan antargolngan lain dan ini merupakan penyaki hati -Merusak kerukunan dan toleransi antarumat beragama yang berbeda -Merasa agamanya sendirilah yang paling sempurna -Merasa paling suci -Mengkafirkan orang lain yang berbeda agama Kesimpulan Agar menjadi umat beagama yang cerdas, maka umat beragama tidak cukup belajar ilmu agama saja, tetapi harus diimbangi degan belajar ilmu logika. Jika tidak, akan menjadi
  • 7. umat beragama yang ibadahnya bagus tetapi logikanya kacau balau. Jadi, harus belajar ilmu agama secara benar dan belajar ilmu logika secara benar. Tidak mudah. Dalam dunia filsafat (faham rasionalisme khususnya) yang disebut ‘logika’ seperti menjadi sebuah parameter kebenaran yang utama,sehingga yang tidak bisa masuk kepada cara berfikir berdasar logika akal seringkali ditolak atau diragukan sebagai sebuah ‘kebenaran’. dengan kata lain dalam pandangan rasionalisme kebenaran berdasar logika adalah bentuk ‘kebenaran tertinggi’Tetapi dalam agama walau logika atau ‘cara berfikir sistematis’ merupakan suatu yang harus dipakai karena ia berhubungan dengan cara berfikir akal tetapi agama tidaklah menjadikannya sebagai parameter kebenaran yang utama karena agama sebenarnya lebih mengutamakan atau mengedepankan MAKNA diatas logika, dengan kata lain dalam agama logika bukanlah parameter kebenaran utama dan kebenaran berdasar logika bukanlah ‘kebenaran tertinggi’Mengapa (?) … karena kemampuan berlogika itu sebenarnya terbatas,artinya tidak bisa menjangkau keseluruhan problem keilmuan - problem kebenaran,dengan kata lain teramat banyak problem keilmuan - problem kebenaran khususnya yang sudah bersinggungan dengan dunia abstrak yang tidak bisa ditelusur oleh cara berfikir akal yang sistematis lagi.Dengan kata lain kemampuan berlogika itu terbatas hanya pada wilayah kebenaran yang sebatas bisa difahami oleh mekanisme cara berfikir sistematis akal manusia,sedang ada bentuk kebenaran lain yang derajatnya lebih tinggi yang tidak bisa dijangkau - ditelusur oleh kemampuan berlogika tetapi dapat di gapai oleh pengertian hati (sebab itu dalam agama kedudukan ‘hati’ lebih tinggi ketimbang ‘kepala’, berbeda dengan filsafat yang selalu mengutamakan isi kepala)) Kita ambil salah satu contohnya : dalam ajaran agama Islam tentu tak ada itu logika sholat-logika zakat-logika puasa-logika hajji,apa sebab (?) sebab semua itu bentuk peribadatan yang bukan untuk di logika kan (oleh kepala) tetapi untuk dimaknai (oleh hati), artinya disini manusia harus lebih banyak menggunakan hati (bukan isi kepala) untuk memahami ibadat ritual sebagaimana yang disebutkan tadi Dengan kata lain perbedaan lain antara LOGIKA dan MAKNA adalah : bila logika seolah lebih banyak menggunakan isi kepala untuk mengolahnya maka makna lebih banyak menggunakan hati untuk mengolahnya,bila logika lebih mengacu kepada cara berfikir akal yang sistematis-tertata maka ‘makna’ lebih menekankan kepada cara berfikir hati : merenung-menghayati-mendalami.bila isi kepala melahirkan ‘kebenaran rasional’-‘bentuk kebenaran logis’ maka olah fikir hati melahirkan : pengertian (hati) Itu
  • 8. sebab dalam agama cara berfikir hati atau yang disebut ‘pengertian’ itu lebih diutamakan dan lebih ditekankan ketimbang cara berfikir yang hanya mengandalkan kemampuan berlogika belaka Coba renungkan,.. apakah agama mengajarkan manusia untuk berfikir tentang apa itu ‘logika hidup’ (?) …. tentu tidak bukan,… tetapi agama mengajarkan manusia untuk berfikir tentang apa itu ‘makna hidup’, artinya instrument ‘makna’ digunakan untuk menelusur hal hal yang lebih bersifat mendalam yang memerlukan cara berfikir hati untuk menelusurnya Dan sebab yang disebut ilmu dan kebenaran itu dalam pandangan Tuhan tentu bukanlah suatu yang datar tetapi suatu yang memiliki struktur yang bersifat hierarkis artinya ada bentuk ilmu dan kebenaran yang derajat kedudukannya lebih tinggi dan ada yang lebih rendah,dan sebagaimana yang saya tulis dalam artikel tentang ‘mystery rahasia teka teki ilmu nabi Khidir’ disitu jelas adanya bentuk ilmu dan kebenaran yang memiliki derajat kedudukan yang berbeda antara satu dengan yang lain sehingga seorang yang berakal cerdas seperti nabi Musa yang mengandalkan kekuatan logika manusiawi nya harus tunduk dan patuh kepada seorang nabi Khidir yang tengah mengajarkan kepadanya bentuk ilmu dan kebenaran yang memiliki derajat yang lebih tinggi ketimbang ilmu dan kebenaran yang selama ini dikuasai oleh seorang nabi Musa Dan dengan uraian ini saudara bisa mendalami dan menilai mana yang lebih tinggi derajatnya (dalam pandangan Tuhan tentu) antara bentuk kebenaran rasional dengan bentuk kebenaran yang berdasar makna-hikmat Ilahi Dan dalam agama Ilahi pendalaman tentang ‘makna-makna’ itu bermuara pada sebuah bentuk ilmu yang dikenal sebagai ‘ilmu hikmat’ atau ilmu yang berbicara tentang makna - maksud tujuan dari segala suatu dalam bingkai pengertian Ilahiah tentu saja Sehingga makna sholat identik dengan hikmat sholat,makna puasa identik dengan hikmat puasa yaitu pendalaman tentang maksud tujuan Tuhan mewajibkan ritual sholat - puasa bagi kaum yang beriman tentunya Logika adalah pemikiran yang logis, analitis dan mendetail. Jika menggunakan logika berarti kita berusaha mencari solusi secara masuk akal, terencana, dan menggunakan perhitungan. 2.Kebenaran yang dibuat benar tetapi tidak benar
  • 9. Kebenaran adalah satu nilai utama dadalam kehidupan human.sebagai nilai nilai yang menjadi fungsi rohani manusia.artinya sifat manusiawi atau martabat manusia (Human Dignity)selalu berusaha “ memeluk “ suatu kebenaran Pengertian kebenaran dan tingkatannya berdasarkan scope potensi subjek,maka susunan tingkat kebenaran itu menjadi : 1. Tingkat Kebenaran Indera adalah tingkatan yang paling sederhana dan pertama yang dialami manusia 2. Tingkat Ilmiah,Pengalaman pengalaman yang didasarkan disamping melalui indera,diolah pula dengan rasio 3. Tingkat filosofis,rasio dan pikir murni,renungan yang mendalam mengolah kebenaran itu semakin tinggi nilainya 4. Tingkatan religius,kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Esadan dihayati oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan Teori teori Kebenaran Menurut Filsafat 1. Teori Corespondence : menerangkan bahwa kebenaran atau sesuatu keadaan benar itu terbukti benar bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju/dimaksud oleh pernyataan atau pendapat tersebut 2. Teori Consistency : teori inimerupakan suatu usaha pengujian (test) atas arti kebenaran.hasil test dan eksperimen dianggap reliabel jika kesan kesan yang berturut turut dari suatu penyelidik bersifat konsisten dengan hasil test eksperimen yang dilakukan penyelidik lain dalam waktu dan tempat yang lain 3. Teori Pragmatisme : Paragmatisme menguji kebenaran dalam praktek yang dikenal para pendidik sebagai metode project atau metode problem solving dalam pengajaran.mereka akan benar benar hanya jika mereka berguna,mampu memecahkan problem yang ada.artinya sesuatu itu benar,jika mengembalikan pribadi manusia di dalam keseimbangan dalam tanpa persoalan dan kesulitan.sebab tujuan utama pragmatisme ialah supaya manusia selaluada didalam keseimbangan untuk itu manusiaharus mampu melakukan penyesuaian dan tuntutan tuntutan lingkungan.
  • 10. Manusia selalu mencari kebenaran,jika manusia mengerti dan memahami kebenaran,sifat asasinyaterdorong pula untuk melaksanakan kebenaran itu.sebaiknyapengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran,tanpa melaksanakan konflik kebenaran,manusia akan mengalami pertentangan batin,konflik spilogis. Karena dalam kehidupan manusia sesuatu yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya dan manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyatan dalam hidupnya yang dimana selalu ditunjukkan oleh kebenaran. 3.Kemanusiaan yang manusiawi namun tidak berprikemanusiaan Suatu kenyataan yang tampak jelas dalam dunia modern yang telah maju ini, ialah adanya kontradiksi-kontradiksi yang mengganggu kebahagiaan orang dalam hidup. Kemajuan industri telah dapat menghasilkan alat-alat yang memudahkan hidup, memberikan kesenangan dalam hidup, sehingga kebutuhan-kebutuhan jasmani tidak sukar lagi untuk memenuhinya. Seharusnya kondisi dan hasil kemajuan itu membawa kebahagiaan yang lebih banyak kepada manusia dalam hidupnya. Akan tetapi suatu kenyataan yang menyedihkan ialah bahwa kebahagiaan itu ternyata semakin jauh, hidup semakin sukar dan kesukaran-kesukaran material berganti dengan kesukaran mental. Beban jiwa semakin berat, kegelisahan dan ketegangan serta tekanan perasaan lebih sering terasa dan lebih menekan sehingga mengurangi kebahagiaan.Masyarakat modern telah berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih untuk mengatasi berbagai masalah hidupnya, namun pada sisi lain ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut tidak mampu menumbuhkan moralitas (ahlak) yang mulia. Dunia modern saat ini, termasuk di indonesia ditandai oleh gejalah kemerosotan akhlak yang benar-benar berada pada taraf yang menghawatirkan. Kejujuran, kebenaran, keadilan, tolong menolong dan kasih sayang sudah tertutup oleh penyelewengan, penipuan, penindasan, saling menjegal dan saling merugikan. Untuk memahami gerak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian itu, maka kehadiran filsafat ilmu berusaha mengembalikan ruh dan tujuan luhur ilmu agar ilmu tidak menjadi bomerang bagi kehidupan umat manusia. Dalam masyarakat beragama, ilmu adalah bagian yang tak terpisahkan dari nilai-nilai ketuhanan karena sumber ilmu yang hakiki adalah dari Tuhan. Manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling tinggi derajatnya dibandingkan dengan mahluk yang lain, karena manusia diberi daya berfikir, daya berfikir inilah yang menemukan teori-teori
  • 11. ilmiah dan teknologi. Pada waktu yang bersamaan, daya pikir tersebut menjadi bagian yang tak dapat dipisahkan dari keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan. Sehingga dia tidak hanya bertanggung jawab kepada sesama manusia, tetapi juga kepada pencipta- Nya.Ilmu merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Meskipun secara metodologis ilmu tidak membedakan antara ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial, namun karena permasalahan-permasalahan teknis yang bersifat khas, maka filsafat ilmu ini sering dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam dan filsafat ilmu-ilmu sosial. Pembagian ini lebih merupakan pembatasan masing-masing bidang yang ditelaah, yakni ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, dan tidak mencirikan cabang filsafat yang otonom. Ilmu memang berbeda dengan pengetahuan-pengetahuan secara filsafat, namun tidak terdapat perbedaan yang prinsipil antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, di mana keduanya mempunyai ciri-ciri yang sama. Pertama, filsafat ilmu ingin menjawab pertanyaan laandasan ontologis ilmu; obyek apa yang ditelaah? Bagaimana korelasi antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berfikir, merasa dan mengindera) yang menghasilkan ilmu? Dari landasan ontologis ini adalah dasar untuk mengklasifikasi pengetahuan dan sekaligus bidang-bidang ilmu. Noeng Muhadjir dalam bukunya flsafat ilmu mengatakan, ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berusaha mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus, menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya. Menurut Jujun S. Suriasumantri dalam Pengantar Ilmu dalam Perspektif mengatakan, ontologi membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori tentang ada. Tiang penyangga yang kedua adalah Epistimologi ilmu atau teori pengetahuan. Ini merupakan cabang filsafat yang berurusan dengan hakekat dan lingkup pengetahuan, pengandaian- pengandaian, dan dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Dengan demikian adanya perubahan pandangan tentang ilmu pengetahuan mempunyai peran penting dalam membentuk peradaban dan kebudayaan manusia, dan dengan itu pula tampaknya, muncul semacam kecenderungan yang terjalin pada jantung setiap ilmu
  • 12. pengetahuan dan juga para ilmuwan untuk lebih berinovasi untuk penemuan dan perumusan berikutnya.Kecenderungan yang lain ialah adanya hasrat untuk selalu menerapkan apa yang dihasilkan ilmu pengetahuan, baik dalam dunia teknik mikro maupun makro. Dengan demikian tampaklah bahwa semakin maju pengetahuan, semakin meningkat keinginan manusia, sampai memaksa, merajalela, dan bahkan membabi buta. Akibatnya ilmu pengetahuan dan hasilnya tidak manusiawi lagi, bahkan cenderung memperbudak manusia sendiri yang telah merencanakan dan menghasilkannya. Kecenderungan yang kedua inilah yang lebih mengerikan dari yang pertama, namun tidak dapat dilepaskan dari kecenderungan yang pertama.Kedua kecenderungan ini secara nyata paling menampakkan diri dan paling mengancam keamanan dan kehidupan manusia, dewasa ini dalam bidang lomba persenjataan, kemajuan dalam memakai serta menghabiskan banyak kekayaan bumi yang tidak dapat diperbaharui kembali, kemajuan dalam bidang kedokteran yang telah mengubah batas-batas paling pribadi dalam hidup manusia dan perkembangan ekonomi yang mengakibatkan melebarnya jurang kaya dan miskin. Ilmu pengetahuan dan teknologi akhirnya mau tak mau mempunyai kaitan langsung ataupun tidak, dengan setruktur sosial dan politik yang pada gilirannya berkaitan dengan jutaan manusia yang kelaparan, kemiskinan, dan berbagai macam ketimpangan yang justru menjadi pandangan yang menyolok di tengah keyakinan manusia akan keampuhan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menghapus penderitaan manusia.Kedua kecenderungan di atas yang ternyata condong menjadi lingkaran setan ini perlu dibelokkan manusia sendiri sehingga tidak menimbulkan ancaman lagi. Kesadaran akan hal ini sudah muncul dalam banyak lingkungan ilmuwan yang prihatin akan perkembangan teknik, industri, dan persenjataan yang membahayakan masa depan kehidupan umat manusia dan bumi kita. Untuk itulah maka epistimologi ilmu bertugas menjawab pertanyaan; bagaimana proses pengetahuan yang masih berserakan dan tidak teratur itu menjadi ilmu? Bagaimana prosedur dan mekanismenya?Tiang penyangga filsafat ilmu yang ketiga adalah aksiologi ilmu; Ilmu adalah sesuatu yang paling penting bagi manusia, karena dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah. Dan merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang pada ilmu. Ilmu telah banyak mengubah wajah dunia seperti hal memberantas penyakit, kelaparan, kemiskinan dan berbagai wajah kehidupan yang sulit lainnya. Dengan kemajuan ilmu juga, manusia
  • 13. bisa merasakan kemudahan lainnya seperti transportasi, pemukiman, pendidikan, komonikasi, dan lain sebagainya. Singkatnya ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.Kemudian timbul pertanyaan, apakah ilmu selalu merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia? Dan memang sudah terbukti, dengan kemajuan ilmu pengetahuan, manusia dapat menciptakan berbagai bentuk teknologi. Misalnya pembuatan bom yang pada awalnya untuk memudahkan kerja manusia, namun kemudian dipergunakan untuk hal-hal yang bersifat negatif yang menimbulkan malapetaka bagi manusia itu sendiri. Di sinilah ilmu harus diletakkan secara proposional dan memihak pada nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan. Sebab, jika ilmu tidak berpihak kepada nilai-nilai, maka yang terjadi adalah bencana dan malapetaka.Setiap ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan diterapkan pada masyarakat. Proses ilmu pengetahuan menjadi sebuah teknologi yang benar-benar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat tentu tidak terlepas dari siilmuwannya. Seorang ilmuwan akan dihadapkan pada kepentingan-kepentingan pribadi ataukah kepentingan masyarakat akan membawa pada persoalan etika keilmuan serta masalah bebas nilai. Untuk itulah tanggungjawab seorang ilmuwan haruslah dipupuk dan berada pada tempat yang tepat, tanggung jawab akademis, dan tanggung jawab moral.Untuk lebih mengenal apa yang dimaksud dengan aksiologi, berikut adalah keterangan mengenainya. Aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Sedangkan arti aksiologi yang terdapat di dalam bukunya Jujun S. Suriasumantri Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.Dari definisi-definisi mengenai aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa pemasalahan yang utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah suatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika. Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat dikatakan bahwa obyek formal etika adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik di dalam suatu kondisi yang normatif, yaitu suatu kondisi yang melibatkan norma-norma. Sedangkan
  • 14. estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena disekelilingnya. Nilai itu objektif ataukah subjektif adalah sangat tergantung dari hasil pandangan yang muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabilah subjek sangat berperan dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya; atau eksistensinya, maknanya dan faliditasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau fisis. Dengan demikian, nilai subjektif akan selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan, intelektualitas dan hasil nilai subjektif selalu akan mengarah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.Nilai itu objektif, jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Nilai objektif muncul karena adanya pandangan dalam filsafat tentang objektivisme. Objektivisme ini beranggapan pada tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara realitas benar-benar ada. Kemudian bagaimana dengan nilai dalam ilmu pengetahuan. Seorang ilmuwan haruslah bebas dalam menentukan topik penelitiannya, bebas dalam melakukan eksprimen-eksprimen. Kebebasan inilah yang nantinya akan dapat mengukur kualitas kemampuannya. Ketika seorang ilmuwa bekerja, dia hanya tertuju pada proses kerja ilmiahnya dan tujuan agar penelitiannya berhasil dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat dengan nilai-nilai subjektif, seperti nilai-nilai dalam masyarakat, nilai agama, nilai adat, dan sebagainya. Bagi seorang ilmuwan kegiatan ilmiahnya dengan kebenaran ilmiah adalah yang sangat penting.Untuk itulah netralitas ilmu terletak pada epistimologinya saja, artinya tanpa berpihak kepada siapapun, selain kepada kebenaran yang nyata. Sedangkan secara ontologis dan aksiologis, ilmuwan harus mapu menilai mana yang baik dan yang buruk, yang pada hakekatnya mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai landasan moral yang kuat. Tanpa ini seorang ilmuwan akan lebih merupakan seorang momok yang menakutkan.Etika keilmuan merupakan etika normatif yang merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat dipertanggung jawabkan secara rasional dan dapat diterapkan dalam ilmu pengetahuan. Tujuan etika keilmuan adalah agar seorang ilmuwan dapat menerapkan prinsip-prinsip moral, yaitu yang baik dan menghindarkan dari yang buruk kedalam prilaku keilmuannya, sehingga ia dapat menjadi ilmuwan yang dapat mempertanggung jawabkan prilaku ilmiahnya. Etika normatif menetapkan kaidah-kaidah yang mendasari
  • 15. pemberian penilaian terhadap perbuatan-perbuatan apa yang seharusnya dikerjakan dan apa yang seharusnya terjadi serta menetapkan apa yang bertentangan dengan yang seharusnya terjadi. Pokok persoalan dalam etika keilmuan selalu mengacu kepada “elemen-elemen” kaidah moral, yaitu hati nurani, kebebasan dan tanggung jawab, nilai dan norma yang bersifat utilitaristik (kegunaan). Hati nurani disini adalah penghayatan tentang yang baik dan yang buruk dan dihubungkan dengan prilaku manusia. Nilai dan norma yang harus berada pada etika keilmuan adalah nilai dan norma moral. Lalu apa yang menjadi kriteria pada nilai dan norma moral itu? Nilai moral tidak berdiri sendiri, tetapi ketika ia berada pada atau menjadi milik seseorang, ia akan bergabung dengan nilai yang ada seperti nilai agama, hukum, budaya, dan sebagainya. Yang paling utama dalam nilai moral adalah yang terkait dengan tanggung jawab seseorang. Norma moral menentukan apakah seseorang berlaku baik ataukah buruk dari sudut etis. Bagi seorang ilmuwan, nilai dan norma moral yang dimilikinya akan menjadi penentu, apakah ia sudah menjadi ilmuwan yang baik atau belum. Penerapan ilmu pengetahuan yang telah dihasilkan oleh para ilmuwan, apakah itu berupa teknologi, ataupun teori-teori emansipasi masyarakat, mestilah memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan, nilai agama, nilai adat, dan sebagainya. Ini berarti ilmu pengetahuan tersebut sudah tidak bebas nilai. Karena ilmu sudah berada di tengah-tengah masyarakat luas dan masyarakat akan mengujinya. Oleh karena itu, tanggung jawab lain yang berkaitan dengan teknologi di masyarakat, yaitu menciptakan hal yang positif. Namun, tidak semua teknologi atau ilmu pengetahuan selalu memiliki dampak positif. Di bidang etika, tanggung jawab seorang ilmuwan, bukan lagi memberi informasi namun harus memberi contoh. Dia harus bersifat objektif, terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggap benar, dan berani mengakui kesalahan. Semua sifat ini, merupakan implikasi etis dari proses penemuan kebenaran secarah ilmiah. Di tengah situasi di mana nilai mengalami kegoncangan, maka seorang ilmuwan harus tampil kedepan. Pengetahuan yang dimilikinya merupakan kekuatan yang akan memberinya keberanian. Hal yang sama harus dilakukan pada masyarakat yang sedang membangun, seorang ilmuwan harus bersikap sebagai seorang pendidik dengan memberikan contoh yang baik.Tentang tujuan ilmu pengetahuan, ada beberapa perbedaan pendapat antara filosof dengan para ulama.
  • 16. Sebagian berpendapat bahwa pengetahuan sendiri merupakan tujuan pokok bagi orang yang menekuninya, dan mereka ungkapkan tentang hal ini dengan ungkapan, ilmu pengetahuan untuk ilmu pengetahuan, seni untuk seni, sastra untuk sastra, dan lain sebagainya. Menurut mereka ilmu pengetahuan hanyalah sebagai objek kajian untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sendiri. Sebagian yang lain cenderung berpendapat bahwa tujuan ilmu pengetahuan merupakan upaya para peneliti atau ilmuwan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk menambahkan kesenangan manusia dalam kehidupan yang sangat terbatas dimuka bumi ini. Menurut pendapat yang kedua ini, ilmu pengetahuan itu untuk meringankan beban hidup manusia atau untuk membuat manusia senang, karena dari lmu pengetahuan itulah yang nantinya akan melahirkan teknologi. Teknologi jejas sangat dibutuhkan oleh manusia untuk mengatasi berbagai masalah, dan lain sebagainya. Sedangkan pendapat yang lainnya cenderung menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk meningkatkan kebudayaan dan kemajuan bagi umat manusia secara keseluruan. Dalam perkembangannya, ilmu pengetahuan telah menjadi suatu sistem yang kompleks, dan manusia terperangkap didalamnya, sulit dibayangkan manusia bisa hidup layak tanpa ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan tidak lagi membebaskan manusia, tetapi manusia menjadi terperangkap hidupnya dalam sistem ilmu pengetahuan. Manusia telah menjadi bagian dari sistemnya, manusia juga menjadi objeknya dan bahkan menjadi kelinci percobaan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan telah melahirkan mahluk baru yang sistemik, mempunyai mekanisme yang kadangkala tidak bisa dikontrol oleh manusianya sendiri. Suatu mekanisme sistemik yang semakin hari semakin kuat, makin besar dan makin kompleks, dan rasanya telah menjadi suatu dunia baru di atas dunia yang ada ini. Dalam realitas kehidupan masyarakat dewasa ini, terjadi konflik antara etika prakmatik dengan etika pembebasan manusia. Etika prakmatik berorentasi pada kepentingan- kepentingan elite sebagai wujud kerja sama denga ilmu pengetahua dan kekerasan yang cenderung menindas untuk kepentingannya sendiri yang bersifat materialistik. Etika pembebasan manusia, bersuifat spiritual dan universal itu bisa muncul dari kalangan ilmuwan itu sendiri, yang bisa jadi karena menolak etika prakmatik yang dirasakan telah menodai prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan agama yang menjunjung tinggi kebenaran, kebebasan, dan kemandirian.
  • 17. Kemajuan ilmu pengetahuan dikembalikan pada tujuan semula yaitu filsafat ilmunya sebagai sarana untuk memakmurkan umat manusia dimuka bumi bukan malah sebaliknya mengancam eksistensi manusia. Diharapkan perkembangan ilmu yang begitu sepektakuler di satu sisi dan nilai-nilai agama yang statis dan universal disisi lain dapat dijadikan arah dalam menentukan perkembangan ilmu selanjutnya. Sebab, tanpa adanya bimbingan agama terhadap ilmu dikhawatirkan kehebatan ilmu dan teknologi tidak semakin mensejahterahkan manusia, tetapi justru merusak dan bahkan menghancurkan kehidupan mereka. 4.Manfaat mempelajari filsafat bagi pengembangan keilmuan Filsafat ilmu adalah bagian dari filsafat pengetahuan atau sering juga disebutepistimologi. Epistimologi berasal dari bahasa Yunani yakni episcmc yang berartiknowledge, pengetahuan dan logos yang berarti teori. Istilah ini pertama kalidipopulerkan oleh J.F. Ferier tahun 1854yang membuat dua cabang filsafat yakniepistemology dan ontology (on = being, wujud, apa + logos = teori ), ontology ( teoritentang apa). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah dasaryang menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah. Iniberarti bahwa terdapat pengetahuan yang ilmiah dan tak-ilmiah. Adapun yangtergolong ilmiah ialah yang disebut ilmu pengetahuan atau singkatnya ilmu saja, yaituakumulasi pengetahuanyang telah disistematisasi dan diorganisasi sedemikian rupa;sehingga memenuhi asas pengaturan secara prosedural, metologis, teknis, dannormatif akademis. Dengan demikian teruji kebenaran ilmiahnya sehingga memenuhikesahihan atau validitas ilmu, atau secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan.Sedang pengetahuan tak-ilmiah adalah yang masih tergolong prailmiah. Dalam hal iniberupa pengetahuan hasil serapan inderawi yang secara sadar diperoleh, baik yangtelah lama maupun baru didapat. Di samping itu termasuk yang diperoleh secara pasifatau di luar kesadaranseperti ilham, intuisi, wangsit, atau wahyu (oleh nabi).pengetahuan ilmiah diperoleh secara sadar, aktif, sistematis, jelas prosesnya secara prosedural, metodis dan teknis, tidak bersifat acak, kemudian diakhiri denganverifikasi atau diuji kebenaran (validitas) ilmiahnya. Sedangkan pengetahuan yang prailmiah, walaupun sesungguhnya diperoleh secara sadar dan aktif, namun bersifatacak, yaitu tanpa metode, apalagi yang berupa intuisi, sehingga tidak dimasukkandalam ilmu. Dengan demikian, pengetahuan pra-ilmiah karena tidak diperoleh secarasistematis-
  • 18. metodologis ada yang cenderung menyebutnya sebagai pengetahuan“naluriah”. Dalam sejarah perkembangannya, di zaman dahulu yang lazim disebuttahap-mistik, tidak terdapat perbedaan di antara pengetahuanpengetahuan yangberlaku juga untuk obyek- obyeknya. Pada tahap mistik ini, sikap manusia sepertidikepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya, sehingga semua obyek tampildalam kesemestaan dalam artian satu sama lain berdifusi menjadi tidak jelas batasbatasnya.Tiadanya perbedaan di antara pengetahuan-pengetahuan itu mempunyaiimplikasi sosial terhadap kedudukan seseorang yang memiliki kelebihan dalampengetahuan untuk dipandang sebagai pemimpin yang mengetahui segala-galanya.Fenomena tersebut sejalan dengan tingkat kebudayaan primitif yang belum mengenalberbagai organisasi kemasyarakatan, sebagai implikasi belum adanya diversifikasipekerjaan. Seorang pemimpin dipersepsikan dapat merangkap fungsi apa saja,antara lain sebagai kepala pemerintahan, hakim, guru, panglima perang, pejabat,pernikahan, dan sebagainya. Ini berarti pula bahwa pemimpin itu mampu menyelesaikan segala masalah, sesuai dengan keanekaragaman fungsional yang dicanangkan kepadanya. Tahap berikutnya adalah tahap-ontologis, yang membuat manusia telah terbebas dari kepungan kekuatan-kekuatan gaib, sehingga mampu mengambil jarak dari obyek di sekitarnya, dan dapat menelaahnya. Orang-orang yang tidak mengakui status ontologis obyek-obyek metafisika pasti tidak akan mengakui status-status ilmiah dari ilmu tersebut. Itulah mengapa tahap ontologis dianggap merupakan tonggak ciri awal pengembangan ilmu. Dalam hal ini subyek menelaah obyek dengan pendekatan awal pemecahan masalah, semata-mata mengandalkan logika berpikir secara nalar. Hal ini merupakan salah satu ciri pendekatan ilmiah yang kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi metode ilmiah yang makin mantap berupa proses berpikir secara analisis dan sintesis.Dalam proses tersebut berlangsung logika berpikir secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan khusus dari yang umum. Hal ini mengikuti teori koherensi, yaitu perihal melekatnya sifat yang terdapat pada sumbernya yang disebut premis-premis yang telah teruji kebenarannya, dengan kesimpulan yang pada gilirannya otomatis mempunyai kepastian kebenaran. Dengan lain perkataan kesimpulan tersebut praktis sudah diarahkan oleh kebenaran premis-premis yang bersangkutan. Walaupun kesimpulan tersebut sudah memiliki kepastian kebenaran, namun mengingat bahwa prosesnya dipandang masih bersifat rasional–abstrak, maka harus dilanjutkan dengan logika berpikir secara induktif. Hal ini mengikuti teori korespondensi, yaitu
  • 19. kesesuaian antara hasil pemikiran rasional dengan dukungan data empiris melalui penelitian,dalam rangka menarik kesimpulan umum dari yang khusus. Sesudah melalui tahapontologis, maka dimasukan tahap akhir yaitu tahap fungsional. Pada tahap fungsional,sikap manusia bukan saja bebas dari kepungan kekuatan-kekuatan gaib, dan tidak semata-mata memiliki pengetahuan ilmiah secara empiris, melainkan lebih daripada itu. Sebagaimana diketahui, ilmu tersebut secara fungsionaldikaitkan dengan kegunaan langsung bagi kebutuhan manusia dalam kehidupannya.Tahap fungsional pengetahuan sesungguhnya memasuki proses aspel aksiologi filsafat ilmu, yaitu yang membahas amal ilmiah serta profesionalisme terkait dengan kaidah moral. Sementara itu, ketika kita membicarakan tahap-tahap perkembangan pengetahuan dalam satu nafas tercakup pula telaahan filsafat yang menyangkut pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Pertama, dari segi ontologis, yaitu tentang apa dan sampai di mana yang hendak dicapai ilmu. Ini berarti sejak awal kita sudah ada pegangan dan gejala sosial. Dalam hal ini menyangkut yang mempunyai eksistensi dalam dimensi ruang dan waktu, dan terjangkau oleh pengalaman inderawi. Dengan demikian, meliputi fenomena yang dapat diobservasi, dapat diukur, sehingga datanya dapat diolah, diinterpretasi, diverifikasi, dan ditarik kesimpulan. Dengan lain perkataan, tidak menggarap hal-hal yang gaib seperti soal surga atau neraka yang menjadi garapan ilmu keagamaan. Telaahan kedua adalah dari segi epistimologi, yaitu meliputi aspek normatif mencapai kesahihan perolehan pengetahuan secara ilmiah, di samping aspek prosedural, metode dan teknik memperoleh data empiris.Kesemuanya itu lazim disebut metode ilmiah, meliputi langkah langkah pokok danurutannya, termasuk proses logika berpikir yang berlangsung di dalamnya dan saran,berpikir ilmiah yang digunakannya. Telaahan ketiga ialah dari segi aksiologi, yang sebagaimana telah disinggung di atas terkait dengan kaidah moral pengembanganpenggunaan ilmu yang diperoleh.Epistimologi, Ontologi, dan Aksiologi TahapanOntologi(Hakikat Ilmu) Obyek apa yang telah ditelaah ilmu? Bagaimana wujud yang hakiki dari obyektersebut?Bagaimana hubungan antara obyek tadidengan daya tangkap manusia (sepertiberpikir, merasa, dan mengindera) yangmembuahkan pengetahuan?Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu?Bagaimana prosedurnya? Epistimologi(Cara MendapatkanPengetahuan)Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu?Bagaimana prosedurnya?Hal-hal apa yang
  • 20. harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan dengan benar?Apa yang disebut dengan kebenaran itusendiri?Apa kriterianya?Sarana/cara/teknik apa yang membantu kitadalam mendapatkan pengetahuan yang berupailmu? Aksiologi(Guna Pengetahuan)Untuk apa pengetahuan tersebut digunakan?Bagaiman kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral?Bagaimana penetuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional,Bidang garapan Filsafat Ilmu terutama diarahkan pada komponen- komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ontologi ilmu meliputi apa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafat tentang apa dan bagai mana (yang) “Ada” itu (being Sein, het zijn). Pahammonisme yang terpecah menjadi idealisme atau spiritualisme, Paham dua lisme, pluralisme dengan berbagai nuansanya, merupakan paham ontologik yang pada akhimya menentukan pendapat bahkan ke yakinan kita masing- masing mengenai apa dan bagaimana(yang) ada sebagaimana manifestasi kebenaran yang kita cari. Epistemologi ilmu meliputi sumber, sarana, dan tatacara mengunakan sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan (ilmiah). Perbedaan mengenal pilihan landasan ontologik akan dengan sendirinya mengakibatkan perbedaan dalam menentukan sarana yang akan kita pilih. Akal (Verstand), akal budi (Vernunft) pengalaman, atau komunikasi antara akal dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana yang dimaksud dalam epistemologik, sehingga dikenal adanya model-model epistemologik seperti: rasionalisme, empirisme, kritisisme atau rasionalisme kritis, positivisme, feno -menologi dengan berbagai variasinya. Ditunjukkan pula bagai mana kelebihan dan kelemahan sesuatu model epistemologik be serta tolok ukurnya bagi pengetahuan (ilmiah) itu seperti teori ko herensi, korespondesi, pragmatis, dan teori intersubjektif. Akslologi llmu meliputi nilal-nilal (values) yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau ke nyataan sebagaimana kita jumpai dalam kehidupan kita yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan simbolik atau pun fisik-material. Lebih dari itu nilai-nilai juga ditunjukkan oleh aksiologi ini sebagai suatu conditio sine qua non yang wajib dipatuhi dalam kegiatan kita, baik dalam melakukan penelitian maupun di dalam menerapkan ilmu. Dalam perkembangannya Filsafat llmu juga mengarahkan
  • 21. pandangannya pada Strategi Pengembangan ilmu, yang menyangkut etik dan heuristik. Bahkan sampal pada dimensi ke budayaan untuk menangkap tidak saja kegunaan atau keman faatan ilmu, tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan. Landasan ontologis ilmu[1] berkaitan dengan hakikat ilmu; secara ontologis, ilmu mengkaji realitas sebagaimana adanya (das Sein). Persoalan yang didalami: ”Apakah yang menjadi bidang telaah ilmu?” Dalam konteks ini, hendak dijawab pula pertanyaan:”Apakah yang membedakan penjelasan ilmiah dengan penjelasan lainnya?”.Dikarenakan dalam Filsafat ilmu berkaitan dengan Ontologi, Filsafat Ilmu dalam telaahnya terhadap ilmu akan menyelidiki landasan ontologis dari suatu ilmu. Landasan ilmu dapat dicari dengan menanyakan apa asumsi ilmu terhadap objek material maupun objek formal ? apakah objek bersifat phisik ataukah bersifat kejiwaan ?.Secara lebih terperinci ilmu mempunyai tiga asumsi mengenai obyek empiris.Asumsi pertama, menganggap obyek-obyek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, umpamanya dalam hal bentuk, struktur, sifat dan sebagainya. Berdasarkan ini maka kita dapat mengelompokkan beberapa obyek yang serupa kedalam satu golongan. Klasifikasi merupakan pendekatan keilmuan yang pertama terhadap obyek obyek yang ditelaahnya dan Taxonomi merupakan cabang keilmuan yang mula-mula sekali berkembang. Linnaeus (1707-1778) merupakan pelopor dalam penggolongan hewan dan tumbuhansecara sistematis. Dengan adanya klasifikasi ini, sehingga kita menganggap bahwa individu-individu dalam suatu kelas tertentu mempunyai cirri-ciri yang serupa, maka ilmu tidak berbicara mengenai kasus individu melainkan suatu kelas tertentu. Asumsi kedua, adalah anggapan bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu. Oleh sebab itu ilmu hanya menuntut adanya kelestarian yang relatif, artinya sifat-sifat pokok dari suatu benda tidak berubah dalam jangka waktu tertentu. Tercakup dalam pengertian ini adalah pengakuan bahwa benda-benda dalam jangka panjang akan mengalami perubahan dan jangka waktu ini berbeda-beda untuk tiap benda. Kelestarian relative dalam jangka waktu tertentu ini memungkinkan kita untuk melakukan pendekatan keilmuan terhadap obyek yang sedang diselidiki. Asumsi yang ketiga, adalah determinisme; merupakan anggapan tiap gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan. Tiap gejala mempunyai pola tertentu yang bersifat tetap dengan urut-urutan kejadian yang sama. Determinismedalam pengertian ilmu mempunyai konotasi yang bersifat peluang (propabilistik)(Suriasumantri, 2006:7-8)[2]. Berdasarkan uraian sebelumnya, jelas bahwa terdapattiga hal distingtif
  • 22. penjelasan ilmiah (scientific explanation): (1) deduktif, (2)probabilistik, (3) fungsional atau teleologis, dan yang keempat, menurut Ernest Nagel,adalah (4) genetik[3], atau seringkali disebut dengan penjelasan historis[4].Landasan epistemologis ilmu[5] berkaitan dengan aspek-aspek metodologis ilmu dan sarana berpikir ilmiah lainnya, seperti bahasa, logika, matematika, dan statistika.Landasan ini berangkat dari suatu premis bahwa sesungguhnya alam semesta tidak berbicara (dalam arti formal); ia hanya memanifestasikan diri dalam dan lewat fakta fakta saja agar sains dapat berada, metode- metode (mekanisme-mekanisme) tertentu harus diciptakan, untuk ”menanyai” alam semesta dan bahkan untuk menerima darinya jawaban-jawaban yang signifikatif dan kondusif. Inilah fungsi pokok metode ilmiah yang akan dielaborasi lebih jauh nanti. Dalam konteks ini, hendak dijawab pula pertanyaan:(1) ”Apakah ilmu menjamin diperolehnya kebenaran?”, (2) ”Apakah batas-batas pengetahuan ilmiah itu?” Terhadap pertanyaan pertama, diajukan proposisi bahwakebenaran itu bukanlah sesuatu yang stabil atau yang sudah ada, melainkan beradadalam sejarah yang senantiasa berubah. Louis Leahy (2002: 17) memberikan analogiilustratif, ” kita naik selangkah demi selangkah dari suatu tangga yang panjang;sehingga dewasa ini kepada kita disajikansuatu perspektif yang dahulu tidak ada,dan yang memungkinkan kita untuk menentukan relasi-relasi antara segi-segi alamsemesta“.[6] . Di samping itu, sejarah ilmu menunjukkan bahwa para filsuf dan ilmuwan tidak mampu merumuskan perangkat ketentuan yang universal diterima semua orang untuk menilai kebenaran (Alsa, 2003: 3) [7]. Argumentasi ini semakin diperumit lagi apabila pemikiran Michael Foucault diikutsertakan, bahwa kebenaran-pun ditunjuk dalam setiap wacana ilmiah dimana kuasa strategi dipraktikkan. Demikian pula, kita dapat menjadi semakin pesimis. mengenai penjaminan pemerolehan kebenaran olehilmu, apabila kita merujuk pada hipotesis Foucault bahwa sejarah pengetahuan tidak begitu saja patuh pada hukum umum kemajuan nalar. Di bawah apa yang diketahui oleh ilmu pengetahuan, ada sesuatu yang tidak diketahuinya, tetapi yang mempunyai hukum dan aturannya sendiri. Tidak mengherankan, Foucault memposisikan psikoanalisis (di samping etnologi) secara khusus, bukan karena berhasil menjadi ilmiah dengan memantapkan landasan positivitasnya, tetapi karena terus mempertanyakan segala sesuatu yang tampak mapan (Leksono, 2002: 31)[8]. Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa yang dijamin untuk diperoleh oleh ilmu hanyalah jenis kebenaran ilmiah (scientific truth), meskipun sifat-
  • 23. sifatnya tidak mutlak, tidak samad, melainkan bersifat nisbi (relatif), sementara (tentatif), dan hanya merupakan pendekatan (Wilardjo dalam Suriasumantri, 1997: 239) ”Kebenaran ilmiah” dalam tulisan ini diartikan sebagai kebenaran yang didapat melalui cara-cara baku yang disebut ”metode ilmiah”. Menurut Shaw dan Costanzo (Sarwono, S. W, 2002: 5)[9], teori merupakan serangkaian hipotesis atau proposisi yang saling berhubungan tentang suatu gejala (fenomena) atau sejumlah gejala. Berdasarkan definisi ini dapat disimpulkan sedikitnya empat fungsi teori : (1) menjelaskan atau memberi tafsir baru terhadap fenomena (2) menghubungkan satu konsep/konstruk dengan konsep/konstruk yang lain, (3) memprediksi gejala, dan (4) menyediakan kerangka yang lebih luas dari temuan dan pengamatan[10]. Metode Ilmiah-lah yang merupakan prosedur baku yang berfungsi temuan dan pengamatan. Metode Ilmiah yang merupakan prosedur baku yang berfungsi menghasilkan teori/kebenaran yang dimaksud. Metode ilmiah merupakan rentetan-rentetan daur-daur penyimpulan rampatan, Hipotetiko (induksi),penyimpul-khasan (deduksi) dan penyalinan (verifikasi/validasi) yang terus menerus tak kunjung usai (Wilardjo dalam Suriasumantri, 2006)[11] ; jadi, kebenaran yang didapat dengan cara lain tidak disebut kebenaran ilmiah, kecuali aksioma seperti dalam matematika (Marzoeki, 2000: 15)[12]. Suatu pertanyaan teoritis mesti berlandaskan pada peryataan sebelumnya. Peryataan sebelumnya harus berlandaskan peryataan sebelumnya lagi, dan seterusnya sehingga kita dapat sampai pada peryataan yang paling pangkal diajukan. Peryataan ini dianggap terbukti dengan sendirinya (selfevident) dan diterima umum sebagai kebenaran (universally recognized as truth) disebut aksioma. Ada kebenaran lain dan sumber kebenaran lain (filsafat, seni, agama, dsb) (Suriasumantri, 2006)[13].Selanjutnya, terhadap pertanyaan epistemologis kedua, dapat dikemukakan bahwa dikalangan para ahli-ahli sejarah sains dan (kajian-kajian ) metodologi ilmiah mengaku adanya jenis masalah yang meskipun lahir dari dalam sains, namun melampaui batasbatas sains itu (Leahy, 1997: 32-40)[14].Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengetahuan ilmiah itu terbatas setidaknya berdasarkan dua argumen pokok: (1) keterbatasan persepsi, memori, dan penalaran, (2) implikasi saintifik kosmos terhadap pertanyaan-pertanyaan paripurna.Pertama, kiranya sudah sangat jelas bahwa persepsi, ingatan, dan penalaran sebagaisumber pemerolehan pengetahuan manusia mempunyai kelemahan-kelemahan (Suriasumantri, 2006)[15].
  • 24. Dalam kaitan ini, kegiatan berpikir dalam ilmu menggunakan objek-objek material berupa gejala-gejala konkret yang dapat diamatisecara langsung[16]. [1] Hakekat atau kenyataan atau realitas memang dapat didekati secara ontologis dengan dua macam sudut pandang, yang pertama, kuantitatif yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan itu tunggal atau jamak ? yang kedua, kualitatif yakni dengan mempertanyakan kenyataan atau realitas tersebut memiliki kualitas tertentu, seperti misalnya : daun yang memiliki warna kehijauan, bunga mawar yang berbau harum.[2] Jujun Suriasumantri, op.cit, 7-8[3] Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), 142-143 [4] Contoh: Penjelasan probabilistik ditarik secara induktif dari sejumlah kasus yang dengan demikian tidak memberikan kepastian seperti penjelasan deduktif, melainkan penjelasan yang bersifat peluang, seperti ”kemungkinan”, ”kemungkinan besar”, atau ”hampir dapat dipastikan”. Penjelasan fungsional atau teleologis meletakkan sebuah unsure dalam kaitannya dengan sistem secara keseluruhan yang mempunyai karakteristik atau arah perkembangan tertentu (Suriasumantri, 2000: 142). Dewasa ini telah ditemukan model-model penjelasan ilmiah yang membedakannya dengan penjelasan non-ilmiah, yakni Deductive- Nomological (DN), Statistical Relevance (SR), Causal Mechanical (CM), dan Unificationist models (”Scientific explanation”, 2009). Dalam model DN, sebagai contoh, ilmu bertanggung jawab untuk menyediakan jawaban yang memuaskan atas pertanyaan “mengapa”. Suatu jawaban atas pertanyaan “mengapa” baru dapat disebut penjelasan ilmiah apabila ia memiliki struktur yang logis dalam argumennya, yaitu terdiri atas premispremis dan kesimpulan yang memiliki relasi satu sama lain. Kesimpulan yang ada di dalamnya merupakan fenomena yang perlu dijelaskan (explanandum), sedangkan premis-premisnya adalah fakta yang bisa digunakan untuk mendukung kesimpulan tersebut (explanans). Untuk dapat memberikan penjelasan, ilmu memiliki argumen deduktif dengan minimal satu hukum umum sebagai premis dan satu explanandum sebagai konklusi. Explanans memberikan penjelasan ilmiah terhadap explanandum hanya apabila: (1) Explanandum merupakan konsekuensi logis dari konjungsi explanans; (2) Tidak ada surplus explanans yang tidak perlu dalam rangka eksplanasi; (3) Pernyataan pernyataan explanans harus memiliki isi empiris; (4) Semua pernyataan explanans harus benar (Ruben, 1990). Ada karakteristik lain dari model DN, yaitu bahwa sebuah eksplanasi dapat digunakan untuk memperkirakan, dan sebuah prediksi adalah sebuah
  • 25. eksplanasi yang sahkarena kepersisan struktur logisnya. Model ini sangat jelas membedakan antara ilmu dan bukan-ilmu. [5] Episteme berrati pengetahuan, sedangkan epistemology ialah ilmu yang membahas tentang apa itu pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan. Pengetahuan pada hakekatnya adalah keadaan mental (mental state). Mengetahui sesuatu ialah menyusun pendapat tentang sesuatu itu, dengan kata lain menyusun gambaran itu sesuai dengan fakta atau kenyataan atau tidak? Apakah gambaran itu benar? Atau apakah gambaran itu dekat dengan kebenaran atau jauh dari kebenaran. Ada dua teori mengenai hakekat pengetahuan ini, yaitu teori realisme, yang berpandangan bahwa pengetahuan adalah benar dan tepat jika sesuai dengan kenyataan tau realitas. Sebaliknya teori yang kedua adalah idealisme, yang berpendapat bahwa gambaran yang benar-benar tepat dan sesuai dengan kenyataan adalah mustahil, oleh karenanya teori ini berpendapat bahwa gambaran subyektif dan bukan obyektif tentang kenyataan. Subyektif dipandang dari sudut yang mengetahui, yaitu dari sudut orang yang membuat gambaran tersebut. Pengetahuan menurut teori ini tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya, pengetahuan tidak memberikan gambaran yang tepat hakekat yang ada diluar akal, yang diberikan pengetahuan hanyalah gambaran menurut pendapat atau penglihatan orang yang mengetahui. [6] Louis Leahy, Horizon Manusia: Dari Pengetahuan ke Kebijaksanaan (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2002), 17 [7] A. Alsa, Pendekatan Kuantitatif serta kombinasinya dalam Penelitian Psikologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1990), 3 [8] K. Leksono, Berakhirnya Manusia dalam Kebangkrdemarkasi yang disebut Karl Popper sebagai falsifiabilitas[9]. Yang harus melewati patok demarkasi pengujian empiris ini adalah hipotesis. Hipotesis merupakan pernyataan dugaan (conjectural) (Yogyakarta: [10] Metode ilmiah merupakan rentetan daur-daur penyimpulanrampatan (induksi), tentang hubungan antara dua variabel atau lebih, yang dapat dirunut atau dijabarkan dari teori dan dari hipotesis lain (Kerlinger, 2003: 32). Apabila hipotesis kerja (yang hendak diuji) bertahan menghadapi semua usaha menolaknya sebagai keliru (false), teori baru (Popper: ”system of hypotheses”; Shaw & Costanzo: ”a set of interrelated hypothesis”) boleh dianggap sudah diperoleh. Jadi, fungsi hipotesis adalah mengarahkan prosedur penelitian ilmiah, dan membawa ilmuwan ”keluar” dari dirinya sendiri (Kerlinger, 2003: 33). Dua atau lebih variabel yang dijalinkan oleh hipotesis merupakan konstruk-konstruk atau konsep-konsep yang memiliki variasi nilai dan terhubung dengan realitas via pengukuran. ”Konsep”
  • 26. mengungkapkan abstraksi yang terbentuk oleh generalisasi dari hal-hal khusus (Kerlinger, 2003: 48), sedangkan ”konstruk” merupakan konsep-konsep yang didefinisikan oleh sebuah jejaring nomologis, yang mengaitkan konstruk-konstruk dan variabel-variabel yang teramati melalui seperangkat relasi-relasi teoritis-sah (Cronbach & Meehl, 1955). Menurut Bunge (1983), konstruk adalah sebuah objek ideal, yang eksistensinya bergantung (predicated) pada mind seseorang; dalam hal ini dikontraskan dengan objek-objek riil, yang eksistensinya tidak bergantung pada mind. Dalam definisi yang lain, konstruk merupakan sebuah properti mental (”Assessing statistically”, 2004). Fungsi konsep adalah sebagai alat identifikasi fenomena yang diobservasinya (Effendi dalam Singarimbun & Effendi, 2006: 95); misalnya, ”konsep prestasi akademis” mengungkapkan sejumlah observasi tentang halhal yang lebih atau kurang ”prestatif”. Sedangkan konstruk berfungsi membantu kita mengerti esensi fenomena yang sedang diteliti (Christensen, Johnson, & Horn, 2008: 288); misalnya,”konstruk prestasi” menolong kita mengenalikenyataan bahwa prestasi akademis merupakan fungsi dari inteligensi dan motivasi.[11] Wilardjo dalam Jujun Suriasumantri, op.cit, 237[12] D. Marzuki, Budaya Ilmiah dan Filsafat Ilmu (Jakarta: Grasindo, 2000),5[13] Jujun Suriasumantri, op.cit, 3[14] Louis Leahy, Agama dalam Konteks Zaman ini (Yogyakarta: Penerbit Kanisius,1997), 32 Misalnya: ”(1) Ahli fisikia, yang menghadapi soal hubungan antara subjek dan objek, yang bersifat filosofis; (2) Ahli biologi, yang menemui program DNA, … , seakan-akanmateri ”dipikirkan” ke arah prestasi yang melampaui kemampuan materi murni; (3) Kasus Hellen Keller, yang menunjukkan bahwa semua usaha untuk merendahkan kesadaran intelektual kepada derajat suatu psikologi empiris atau sensualis saja, sama sekali kalah. (Kasus ini) … tidak dapat dimengerti tanpamelihat dalam inteligensi sebuah dimensi yang memang supra-material.”[15] Jujun Suriasumantri, op.cit, 17-18[16] Sehubungan dengan ini, Tennant (1968: 364) menyatakan: Science can only know…. the Real through and as the phenomenal. It is precluded from making statements,positive or negative, as to the ontal, and from claiming absoluteknowledge or nonphenomenalknowledge of the absoluteutan Ilmu-ilmu 5.Guna filsafat bagi pengembangan penelitian Pendidikan Dalam kaitannya dengan hubungan filsafat ilmu dan penelitian, terdapat tiga komponen dasar yang erat kaitannya dengan penelitian yaitu : ontologi, epistimologi, dan aksiologi.Dalam pembahasan ontology, epistimologi dan aksiologi dikaitkan dengan
  • 27. lgika yang digunakan untuk pembuktian, baik mengenai kenyataan,kebenaran dan tingkat kepastian, dapat dikelompokkan menjadi dua aliran filsafat ilmu yaitu, empirisme dan rasionalisme/rasionalisme menghendaki kebenaran imperik logic, etik dan transcendental/metafisik, memunculkan logika penomenologik.Pada logika positivistic menghendaki perencanaan riset yang rigor/ketat,rinci, terukur, terkontrol dan penetapan data yang konkrit yang teramati, memunculkan jenis penelitian kuantitatif.logika phenomenologik menghendaki perancanaan riset yang longgar dan luwes,sebab data yang dicari tidak pasti, sangat tergantung pada fenomena yang dijadikan sasaran risetnya, memunculkan jenis penelitian kualitatif. A. Ontologi Sebagai komponen dasar filsafat, ontology memiliki obyek telaah yaitu yang ada. Studi tentang yang ada pada dataran studi filsafat pada umumnya dilakukan oleh filsafat metafisika. Istilah ontologi ketika kita membahas yang ada dalam konteks filsafat ilmu. Ontologi membahas tetantang yang ada yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Sedangkan yang merupakan obyek formal ontologi adalah hakekat seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitaif, realita tampil dalam kuantitas atau jumlah, telaahnya akan menjadi telaah monisme, paralenisme, atau pluralisme. Bagi pendekatan kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-aliran materialisme, idialisme, naturalisme atau hylomorphisme. Dalam hal ini ada tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu: abstraksi fisik, abstraksi bentuk dan abstraksi metafisik. B. Epistimolgi Istilah epistimologi berasal dari kata epiteme yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti pengetahuan, dan logos yang berarti teori. Secara etimologis, berarti teri pengetahuan. Epistimologi merupakan cabang filsafat yang mempersoalakan atau menyelidiki tentang asal, susunan, metode, serta kebenaran pengetahuan. Jadi epistimologi merupakan cabang atau bagian dari filsafat yang membahasa maslaah- masalah pengetahuan[8] Epistimologi atau teori pengetahuan, membahas secara menadalam segenap proses yang terlihat alam usaha kita untuk memperoleh pengetauan. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalaui proses tertentu yang dinamakn metode keilmuaSebagai komponen dasar selanjutnya adalah epistimologi yaitu pembahasan tentang bagaimana cara memperoleh kebenaan ilmu pengetahuan.
  • 28. Bagaimana tata cara memperoleh kebenaran ilmu pengetahuan ini dipengaruhi oleh ontologi yang dipilihnya. Epistimologi dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu epistimologi subyektif dan epistimologi pragmatik. Epistimologi subyektif memberikan implikasi pada standar rasional tentang hal yang duyakini. Menggunakan standar rasional bearti bahwa sesuatu yang diyakini sebagai benar itu tentunya memiliki sifat reliabel (ajek). Sejarah mengatakan bahwa tokoh epistimologi prakmatig adalah Wiliams Jams dan juga Jhon Dewey[9] yang menyarankan agar pencarian pada yang kekal hendaknya diganti dengan pencermatan realistik mengkritik ide palsu, diganti dengan pencermatan eksperimental dan empirik, menggunakan means mencari ins untuk selanjutnya menjadi means. Hal ini merupakan bukti bahwa ontology merupakan bagian penting dari filsafat.Dalam perjalanan keilmuan yang terjadi pada masa dahulu, membuktikan bahwa ilmuwan terdahulu menampilkan tesis dan teori yang secara berkelanjutan disanggah atau dimodifikasi atau diperkaya oleh ilmuwan berikutnya. Kebenaran-kebenaran yang ditampilkan berupa tesis atau teori yang bersifat kondisional sejauh medianya demikian, sampelnya itu,desainnya demikian dan seterusnya. Dengan demikian kebenaran yang diperoleh dengan cara kerja demikian adalah kebenaran epistimologik. Ilmu pengetahuan yang berkembang sekarang dengan metodologi yang kita kenal sekarang ini lebih banyak menjangkau kebenaran epistimologik, belum menjangkau kebenaran subtantif hakiki, yang merupakan esensi dari keilmuan itu sendiri. C. Aksiologi Komponen dasar selanjutnya dalam filsafat adalah aksiologi yaitupembahasan tentang bentuk ilmu yang dihasilkan dari penelitian. Inipun dipengaruhi oleh ontologi yang digunakan. Ontologi yang memahami sesuatu itu tunggal penelitiannya jenis kuantitatif, maka ilmu yang dibentuknya disebut nomotetik dan bebas nilai (value).Menurut Scheler ada empat jenis values dalam aksiologi. Pertama,value sensual, dalam tampilan seperti menyenangkan dan tak menyenangkan. Kedua, nilai hidup seperti edel (agung) atau gemein(bersahaja). Ketiga, nilai kejiwaan seperti nilai estetis, nilai benar salah, dan nilai instrinsik ilmu. Keempat nilai religius, seperti yang suci, yang sakral[10]Dari telaah yang dilakukan oleh Scheler tentang etik kontras dengan Kant.Kant berbicara sollen (kemistian), sedangkan Scheller memandang bahwa kemestian itu sesuatu yang dibuat- buat. 6.Kelemahan Filsafat ilmu dalam mengurai persoalan persoalan ilmiah
  • 29. 1. Rasionalisme Kelemahan : * Doktrin – doktrin filsafat rasio cenderung mementingkan subjek daripada objek, sehingga rasionalisme hanya berpikir yang keluar dari akal budinya saja yang benar, tanpa memerhatikan objek – objek rasional secara peka. * Cara memahami objek di luar cakupan rasionalitas sehingga titik kelemahantersebut mengundang kritikan tajam , sekaligus memulai permusuhan baru dengan sesama pemikir filsafat yang kurang setuju dengan sistem – sistem filosofis yang subjektif tersebut. 2. Empirisme Kelemahan : Indra terbatas, Indera menipu, Objek yang menipu, Indera dan objek sekaligus. 3.Positivisme Kelemahan : * Manusia akan kehilangan makna, seni atau keindahan, sehingga manusia tidak dapat merasa bahagia dan kesenangan itu tidak ada. Karena dalam positivistic semua hal itu dinafikan * Hanya berhenti pada sesuatu yang nampak dan empiris sehingga tidak dapat menemukan pengetahuan yang valid. 4.Pragmatisme Kelemahan : * Filsafat pragmatisme adalah sesuatu yang nyata, praktis, dan langsung dapat dinikmati hasilnya oleh manusia, maka pragmatisme menciptkan pola pikir masyarakat yang matrealis. * Pagmatisme sangat mendewakan kemampuan akal dalam mencapai kebutuhan kehidupan, maka sikap-sikap semacam ini menjurus kepada ateisme. 5.Realisme Kelemahan : * Menganggap bahwa realitas itu tidak sekedar apa yang dapat dilihat secara real, tetapi realitas itu adalah pemikiran atau ide-ide. 6.Idealisme Kelemahan : * Anggapan terhadap sesuatu nilai atau kebenaran yang kekal sepanjang masa.
  • 30. 7. Materialisme Kelemahan : * Memandang sesuatu bukan dari keseluruhannya, tidak dari saling hubungannya, tetapi dipandang sebagai sesuatu yang berdiri sendiri. * Melihat segala sesuatu tidak dari geraknya, melainkan sebagai yang diam, mati dan tidak berubah-ubah. 8. Vitalisme Kekurangan : * Tidak bisa saling mengintervensi. 9. Eksistensialisme Kekurangan : * Mengabaikan Perintah Tuhan. * Menyangkal realitas dan kesungguhan perikehidupan antar manusia.