Dokumen tersebut membahas tentang emfisema subkutis yang merupakan komplikasi sering dari pneumothoraks. Emfisema subkutis terjadi ketika udara masuk ke jaringan subkutis, yang dapat disebabkan oleh trauma atau prosedur medis seperti drainase thorakostomi. Gejala emfisema subkutis bervariasi namun biasanya berupa pembengkakan jaringan dan bunyi retakan saat dipalpasi. Tidak ada pedoman khusus untuk pen
Dokumen tersebut membahas tentang trakeostomi dan krikotirotomi sebagai teknik pembuatan jalan nafas darurat sementara. Trakeostomi dapat dilakukan secara elektif maupun darurat dengan berbagai jenis insisi trakea, sedangkan krikotirotomi lebih sering dilakukan dalam keadaan darurat meskipun memiliki risiko. Kedua prosedur ini memerlukan pemahaman anatomi laring dan trakea untuk mengetahui tekn
Pneumotoraks adalah kondisi di mana udara masuk ke ruang pleura yang mengelilingi paru-paru, menyebabkan paru-paru mengempis. Pneumotoraks dapat terjadi secara spontan tanpa cedera atau disebabkan oleh trauma toraks. Gejala umumnya meliputi nyeri dada dan kesulitan bernapas. Diagnosa didukung dengan pemeriksaan radiologi yang menunjukkan adanya udara di ruang pleura. Penatalaksanaan bervariasi mulai dari ok
Trakeostomi adalah tindakan membuka dinding depan trakea untuk mempertahankan jalan nafas dan memintas jalan nafas bagian atas. Tindakan ini dilakukan untuk mengatasi obstruksi jalan nafas atas, memasang alat bantu pernafasan, atau mengeluarkan sekret pada pasien koma. Trakeostomi berguna untuk mengurangi ruang rugi di saluran nafas atas pada pasien kerusakan paru.
Dokumen tersebut membahas tentang trakeostomi dan krikotirotomi sebagai teknik pembuatan jalan nafas darurat sementara. Trakeostomi dapat dilakukan secara elektif maupun darurat dengan berbagai jenis insisi trakea, sedangkan krikotirotomi lebih sering dilakukan dalam keadaan darurat meskipun memiliki risiko. Kedua prosedur ini memerlukan pemahaman anatomi laring dan trakea untuk mengetahui tekn
Pneumotoraks adalah kondisi di mana udara masuk ke ruang pleura yang mengelilingi paru-paru, menyebabkan paru-paru mengempis. Pneumotoraks dapat terjadi secara spontan tanpa cedera atau disebabkan oleh trauma toraks. Gejala umumnya meliputi nyeri dada dan kesulitan bernapas. Diagnosa didukung dengan pemeriksaan radiologi yang menunjukkan adanya udara di ruang pleura. Penatalaksanaan bervariasi mulai dari ok
Trakeostomi adalah tindakan membuka dinding depan trakea untuk mempertahankan jalan nafas dan memintas jalan nafas bagian atas. Tindakan ini dilakukan untuk mengatasi obstruksi jalan nafas atas, memasang alat bantu pernafasan, atau mengeluarkan sekret pada pasien koma. Trakeostomi berguna untuk mengurangi ruang rugi di saluran nafas atas pada pasien kerusakan paru.
Seorang laki-laki berusia 18 tahun mengeluhkan telinga kiri sakit dan berair disertai demam tinggi. Berdasarkan gejala klinis, diduga menderita salah satu dari lima kemungkinan diagnosis, yaitu otitis media akut dengan perforasi, otitis media supuratif kronis, otitis media serosa akut, otitis eksterna, atau cholesteatoma. Diagnosis pasti membutuhkan pemeriksaan fisik lanjutan dan penunjang.
This document discusses faringitis, which is an infection and inflammation of the pharynx. Faringitis can be caused by viruses or bacteria, including those that cause the common cold, flu, adenovirus, mononucleosis, or HIV. Symptoms include sore throat, fever, malaise, redness of the pharynx and palate, and swollen lymph nodes. Treatment depends on the cause, but may include medications, antibiotics to prevent complications like rheumatic fever, steroids for symptom relief, or antivirals/antifungals for specific infections. Complications can include rheumatic fever, scarlet fever, glomerulonephritis, peritonsillar abscess,
Dokumen tersebut membahas tentang tekanan intrakranial dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Terdapat penjelasan mengenai patofisiologi, gejala klinis, dan penatalaksanaan peningkatan tekanan intrakranial.
Tesis ini membahas faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian emfisema subkutis pada pasien pneumotoraks yang menjalani pemasangan selang dada. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor risiko terjadinya emfisema subkutis dengan menggunakan desain studi kasus kontrol dan menelaah rekam medis pasien di RSUP H Adam Malik Medan. Parameter yang diteliti antara lain ukuran selang dada, lama pemasangan, dan
Kelenjar parotis adalah kelenjar liur mayor terbesar yang berkembang dari ektoderm oral selama enam minggu kehamilan. Kelenjar ini terletak di fosa retromandibular dan dibatasi oleh tulang temporal, mastoid, dan mandibula. Nervus fasialis dan Ductus Stensen's merupakan struktur penting yang berada di sekitar kelenjar parotis.
Polip hidung adalah massa lunak yang terbentuk akibat inflamasi kronik di rongga hidung. Polip hidung umumnya disebabkan oleh rinitis alergi atau penyakit atopi. Gejalanya berupa hidung tersumbat, rinorea, dan gangguan penciuman. Pemeriksaan menunjukkan massa berwarna pucat yang mudah digerakan di dalam hidung. Penatalaksanaannya meliputi kortikosteroid topikal atau sistemik, serta operasi jika kondis
Dokumen tersebut membahas tentang asuhan keperawatan trauma dada/thorax yang meliputi pengertian, etiologi, manifestasi klinis, dan tindakan keperawatan. Trauma dada adalah cedera pada rangka dada yang disebabkan benturan dan dapat mengganggu sistem pernapasan. Tindakan keperawatan meliputi pertolongan darurat, pengelolaan nyeri, dan tindakan invasif seperti WSD untuk mengeluarkan cairan dari rong
Seorang laki-laki berusia 18 tahun mengeluhkan telinga kiri sakit dan berair disertai demam tinggi. Berdasarkan gejala klinis, diduga menderita salah satu dari lima kemungkinan diagnosis, yaitu otitis media akut dengan perforasi, otitis media supuratif kronis, otitis media serosa akut, otitis eksterna, atau cholesteatoma. Diagnosis pasti membutuhkan pemeriksaan fisik lanjutan dan penunjang.
This document discusses faringitis, which is an infection and inflammation of the pharynx. Faringitis can be caused by viruses or bacteria, including those that cause the common cold, flu, adenovirus, mononucleosis, or HIV. Symptoms include sore throat, fever, malaise, redness of the pharynx and palate, and swollen lymph nodes. Treatment depends on the cause, but may include medications, antibiotics to prevent complications like rheumatic fever, steroids for symptom relief, or antivirals/antifungals for specific infections. Complications can include rheumatic fever, scarlet fever, glomerulonephritis, peritonsillar abscess,
Dokumen tersebut membahas tentang tekanan intrakranial dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Terdapat penjelasan mengenai patofisiologi, gejala klinis, dan penatalaksanaan peningkatan tekanan intrakranial.
Tesis ini membahas faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian emfisema subkutis pada pasien pneumotoraks yang menjalani pemasangan selang dada. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor risiko terjadinya emfisema subkutis dengan menggunakan desain studi kasus kontrol dan menelaah rekam medis pasien di RSUP H Adam Malik Medan. Parameter yang diteliti antara lain ukuran selang dada, lama pemasangan, dan
Kelenjar parotis adalah kelenjar liur mayor terbesar yang berkembang dari ektoderm oral selama enam minggu kehamilan. Kelenjar ini terletak di fosa retromandibular dan dibatasi oleh tulang temporal, mastoid, dan mandibula. Nervus fasialis dan Ductus Stensen's merupakan struktur penting yang berada di sekitar kelenjar parotis.
Polip hidung adalah massa lunak yang terbentuk akibat inflamasi kronik di rongga hidung. Polip hidung umumnya disebabkan oleh rinitis alergi atau penyakit atopi. Gejalanya berupa hidung tersumbat, rinorea, dan gangguan penciuman. Pemeriksaan menunjukkan massa berwarna pucat yang mudah digerakan di dalam hidung. Penatalaksanaannya meliputi kortikosteroid topikal atau sistemik, serta operasi jika kondis
Dokumen tersebut membahas tentang asuhan keperawatan trauma dada/thorax yang meliputi pengertian, etiologi, manifestasi klinis, dan tindakan keperawatan. Trauma dada adalah cedera pada rangka dada yang disebabkan benturan dan dapat mengganggu sistem pernapasan. Tindakan keperawatan meliputi pertolongan darurat, pengelolaan nyeri, dan tindakan invasif seperti WSD untuk mengeluarkan cairan dari rong
Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru yang disebabkan penyumbatan saluran udara atau pernafasan dangkal. Sindroma lobus medialis merupakan atelektasis jangka panjang di lobus tengah paru-paru kanan yang disebabkan penekanan bronkus. Atelektasis percepatan sering terjadi pada pilot karena kecepatan penerbangan. Mikroatelektasis tersebar terjadi karena gangguan surfaktan atau faktor lain se
Pneumotoraks adalah pengumpulan udara di antara pleura viseral dan parietal yang dapat disebabkan robekan pleura atau terbukanya dinding dada. Manifestasi klinisnya berupa nyeri dada, sesak napas, dan bahkan gagal pernapasan. Komplikasinya dapat berupa pneumotoraks tegang yang berisiko menyebabkan gagal pernapasan akut, pneumotoraks berulang, atau kematian. Penatalaksanaannya meliputi observasi, pengisapan udara, atau de
Efusi pleura adalah terkumpulnya cairan abnormal dalam rongga pleura yang dapat berupa trasudat atau eksudat dan disebabkan oleh berbagai kondisi seperti penyakit jantung, hati, infeksi, trauma, dan neoplasma. Diagnosa didasarkan pada pemeriksaan radiologi, laboratorium cairan pleura, dan biopsi jika diperlukan. Pengobatan berupa pengeluaran cairan dan pengobatan penyebab utama.
Tinjauan dokumen ini membahas tata laksana anestesia dan reanimasi pada operasi torakotomi. Dokumen ini menjelaskan masalah-masalah yang dapat timbul terkait sistem kardiovaskular, respirasi, dan neurologis selama operasi, serta pendekatan evaluasi, persiapan, dan penatalaksanaan yang tepat.
PRESENTASI LAPORAN TUGAS AKHIR ASUHAN KEBIDANAN KOMPREHENSIFratnawulokt
Peningkatan status kesehatan ibu dan anak merupakan salah satu hal prioritas di Indonesia. Status derajat kesehatan ibu dan anak sendiri dapat dinilai dari jumlah AKI dan AKB. Pemerintah berupaya menerapkan program Sustainable Development Goals (SDGs) dengan harapan dapat menekan AKI dan AKB, tetapi kenyataannya masih tinggi sehingga tujuan dari penyusunan laporan tugas akhir ini untuk memberikan asuhan kebidanan secara komprehensif dari ibu hamil trimester III sampai KB.
Metode penelitian menggunakan Continuity of Care dengan pendokumentasian SOAP Notes. Subjek penelitian Ny. “H” usia 34 tahun masa kehamilan Trimester III hingga KB di PMB E Kecamatan Ngunut Kabupaten Tulungagung.
Hasil asuhan selama masa kehamilan trimester III tidak ada komplikasi pada Ny. “E”. Masa persalinan berjalan lancar meskipun terdapat kesenjangan dimana IMD dilakukan kurang dari 1 jam. Kunjungan neonatus hingga nifas normal tidak ada komplikasi, metode kontrasepsi memilih KB implant.
Kesimpulan asuhan pada Ny. “H” ditemukan kesenjangan antara kenyataan dan teori di penatalaksanaan, tetapi dalam pemberian asuhan ini kesenjangan masih dalam batas normal. Asuhan kebidanan ini diberikan untuk membantu mengurangi kemungkinan terjadi komplikasi pada saat masa kehamilan hingga KB.
PRESENTASI LAPORAN TUGAS AKHIR ASUHAN KEBIDANAN KOMPREHENSIF
Emfisema subkutis.pdf
1. 140
ISSN : 2721-2882
TATALAKSANA EMFISEMA SUBKUTIS PADA
PNEUMOTHORAX: REVIEW LITERATUR
THE MANAGEMENT OF SUBCUTANEOUS EMPHYSEMA IN PNEUMOTHORAX: A
LITERATURE REVIEW
Fitri Pranita Milyarona1
, Saut Idoan Sijabat2
'Program Studi Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Muhammadiyah Surakarta
2
Departemen Ilmu Bedah, RSUD dr. Hardjono S. Ponorogo
Korespondensi: author 1. Alamat email: j500160122@student.ums.ac.id
ABSTRAK
Emfisema subkutis merupakan suatu kondisi dimana terdapat udara bebas pada jaringan subkutis.
Emfisema subkutis adalah komplikasi yang sering dan sering sembuh spontan dari tindakan thorakostomi
atau tindakan kardiothoraks lainnya. Pada kondisi yang jarang, emfisema subkutis yang parah dan luas
ditandai dengan adanya krepitasi, disfagia, disfonia, penutupan palpebra atau terkait dengan
pneumoperitoneum, dan kegagalan pernapasan. Emfisema subkutis sering terjadi bersamaan dengan
pneumothoraks. Biasanya kondisi tersebut tidak signifikan secara klinis, tetapi dalam beberapa kasus
dapat mengancam gangguan napas pasien. Tidak ada uji coba terkontrol dan tidak ada pedoman
manajemen, selain itu penyebabnya harus diidentifikasi dan diobati sedapat mungkin. Tujuan artikel ini
adalah untuk meninjau pendekatan yang dijelaskan untuk emfisema subkutis pada pneumothoraks dan
memberikan referensi kepada dokter. Pengobatan dapat diarahkan terutama untuk mengobati
pneumothoraks yang mendasari dan/atau emfisema subkutis. Penatalaksanaan pneumothoraks yang
mendasari meliputi tatalaksana konservatif; penggunaan negative suction; dan manajemen definitif bedah.
Penatalaksanaan emfisema subkutis dapat mencakup teknik dekompresi seperti: insisi blow hole atau
angio-kateter subkutis atau drainase.
Kata Kunci: Emfisema subkutis, surgical emphysema, pneumothoraks, suction drain dada, drainase interkostal
ABSTRACT
Subcutaneous emphysema (SE) is a clinical condition that occurs when air gets into soft tissues
under the skin. Subcutaneous emphysema is a frequent and often self-limiting complication of tube
thoracostomy or other cardiothoracic procedures. On rare occasions, severe and extensive surgical
emphysema marked by palpable cutaneous tension, dysphagia, dysphonia, palpebral closure or
associated with pneumoperitoneum and respiratory failure. Subcutaneous emphysema is often observed
by clinicians in the context of pneumothorax. There are no controlled trials and no guidelines on
management, other than that the cause should be identified and treated wherever possible. The goal of
this article is to review the described approaches to subcutaneous emphysema in pneumothorax and
provide a reference to the clinician. Summary Treatment can be directed primarily towards treating an
underlying pneumothorax and or towards the subcutaneous emphysema. Management of the underlying
pneumothorax includes conservative management; use of the negative suction; siting of wider bore
intercostal drains and definitive surgical management. Management of subcutaneous emphysema may
include decompression techniques such as: ‘blow hole’ incisions or subcutaneous angio-catheters or
tunnelled drains.
Keywords: Subcutaneous emphysema, surgical emphysema, pneumothorax, chest drain suction, intercostal
drainage
PENDAHULUAN
Emfisema subkutis adalah suatu kondisi
dimana terdapat udara atau gas di bawah kulit.
Secara klinis, emfisema subkutis ditandai dengan
adanya krepitus yang memiliki sensasi taktil
patognomonik seperti “berjalan di atas salju”'.
Secara radiografi, emfisema subkutis tampak
2. 141
ISSN : 2721-2882
sebagai gambaran radiolusen yang melintasi
jaringan subkutis dan otot (Ahmed Z, 2017).
Emfisema subkutis adalah salah satu
komplikasi dari pneumothoraks dan lebih sering
berhubungan dengan pneumothoraks
dibandingkan kondisi patologi lainnya. Belum
terapat dada yang jelas terkait kejadian
emfisema subkutis dengan pneumothoraks,
namun telah dilaporkan 27% diakibatkan pasien
trauma dan fraktur costae, sedangkan pada 15-
20% pasien yang menjalani perawatan drainase
interkostal dari pneumothoraks. Selebihnya
sekitar 7% pasien mengalami emfisema subkutis
setelah tindakan medis thoracoscopy
(Aghajanzadeh et al, 2017). Tidak ada panduan
pedoman tentang pengelolaan emfisema
subkutis. Namun, terdapat beberapa
rekomendasi berbasis kasus dalam literatur,
tetapi tidak ada uji coba terkontrol yang
dilakukan sampai saat ini. Artikel ini bertujuan
untuk meninjau teknik yang dijelaskan dalam
keberhasilan manajemen emfisema subkutis
(Bong S, 2017).
DEFINISI
Emfisema diartikan sebagai
terkumpulnya udara secara patologik dalam
jaringan atau organ. Subkutis merupakan suatu
lapisan kulit setelah dermis. Sehingga definisi
emfisema subkutis adalah emfisema intertisial
yang ditandai dengan adanya udara bebas dalam
jaringan subkutis, yang biasanya disebabkan oleh
cedera intra-thoraks, dan pada kebanyakan kasus
disertai dengan adanya pneumothoraks dan
pneumomediastinum sehingga disebut juga
pneumoderma (Bayu I, 2021).
Emfisema subkutis merupakan suatu
kondisi yang sebenarnya relatif tidak
mengancam nyawa, namun menimbulkan
ketidaknyamanan pada pasien. Hal ini
disebabkan karena terdapatnya sekumpulan
udara di dalam rongga subkutis pada dinding
dada yang menjalar ke jaringan lunak di wajah,
leher, dada atas, dan bahu. Terkumpulnya udara
di wajah menimbulkan pembengkakan pada
kelopak mata yang menyebabkan pasien tidak
dapat membuka mata, selain itu juga disertai
adanya perubahan suara yang menjadi lebih
tinggi akibat dari pengumpulan udara di dalam
laring. Udara pada jaringan subkutis yang
terkumpul dapat menyebar secara langsung ke
daerah sekitar, sehingga bagian tubuh atas lebih
sering terkena daripada bagian tubuh bawah
(James & Helen, 2021).
Keadaan yang tampak pada emfisema
subkutis adalah pembengkakan pada kulit yang
3. 142
ISSN : 2721-2882
jika dipalpasi teraba seperti crunchy. Pada
gambaran radiologi akan tampak pengumpulan
udara pada permukaan kulit yang biasanya
meliputi sebagian besar dari tubuh (Kamaran
AK et al, 2022).
ETIOLOGI
Emfisema subkutis dihipotesiskan
terjadi pada pneumothoraks spontan melalui
Macklin effect. Kondisi ini dikarenakan
pecahnya alveoli pada pneumothoraks spontan
yang diikuti kebocoran udara ke dalam jaringan
ikat longgar yang mengelilingi pembuluh darah
paru. Udara ini mengalir di sepanjang selubung
bronkovaskular ke mediastinum. Pada
pneumothoraks traumatik dan pada pasien yang
dilakukan drainase interkostal, emfisema
subkutis terjadi ketika terdapat trauma atau
robekan pleura parietalis. Kondisi ini
menyebabkan udara masuk ke dalam jaringan
subkutis secara langsung (Peter, 2018).
Dalam kasus pasien dengan drainase
interkostal in-situ yang berkembang menjadi
emfisema subkutis, dihipotesiskan bahwa
volume udara yang melewati pleura parietalis
dari rongga pleura ke jaringan subkutis
melebihi volume udara yang dikeluarkan dari
rongga pleura. Hal ini diakibatkan oleh
ketidakseimbangan laju aliran antara robekan
pada pleura parietalis dan drainase interkostal
yang relatif kecil. Penyumbatan saluran
interkostal adalah contoh dari
ketidakseimbangan tersebut, dan dalam suatu
penelitian dari 25 pasien yang mengalami
emfisema subkutis setelah pemasangan drainase
interkostal, penyumbatan drainase interkostal
adalah penyebab utama dalam 6 kasus. Selain
itu, emfisema subkutis telah dilaporkan terjadi
pada fistula bronkopleural yang sering
mengakibatkan pneumothoraks refrakter yang
persisten. Penempatan drainase interkostal
multipel juga meningkatkan risiko emfisema
subkutis (Wang, 2018).
Emfisema subkutis dapat disebabkan
oleh trauma pada sistem respirasi ataupun
sistem gastrointestinal. Umumnya trauma yang
terjadi pada dada dan leher, dimana udara
dapat terperangkap sebagai hasil dari trauma
tajam seperti luka tembak atau luka tikam,
maupun luka tumpul. Emfisema subkutis juga
dapat disebabkan oleh prosedur dan tindakan
medis, yang menyebabkan tekanan pada
alveoli, sehingga alveoli menjadi ruptur (Bong
S et al, 2017).
Hal ini biasanya disebabkan oleh
pneumothoraks dan chest tube. Keadaan ini
4. 143
ISSN : 2721-2882
disebut sebagai surgical emphysema.
Beberapa kondisi yang menyebabkan
terjadinya emfisema subkutis dijelaskan pada
bagian dibawah ini:
• Trauma
Trauma tumpul maupun trauma
penetrasi merupakan kondisi yang dapat
menyebabkan terjadinya emfisema subkutis.
Trauma pada bagian dada merupakan penyebab
umum terjadinya emfisema subkutis, dimana
udara yang berasal dari dada dan paru dapat
masuk ke kulit dinding dada. Sebagai contoh
terjadinya luka tusuk atau luka tembak pada
dada yang menyebabkan robeknya pleura,
sehingga udara yang berasal dari paru
menyebar ke otot-otot dan lapisan subkutis.
Emfisema subkutis juga dapat terjadi pada
pasien dengan patah tulang iga, dimana iga
melukai parenkim paru yang menyebabkan
rupturnya alveolus (Kamaran AK et al, 2022).
• Tindakan Medis
Emfisema subkutis merupakan suatu
komplikasi yang umum disebabkan pada
berbagai tindakan operasi, seperti operasi dada,
operasi daerah sekitar esofagus, operasi gigi,
tindakan laparoscopy, cricothyrotomy, dan
sebagainya (Kamaran AK et al, 2022).
• Infeksi
Udara dapat terperangkap di bawah
kulit yang mengalami infeksi nekrosis seperti
pada gangren. Gejala emfisema subkutis
terjadi ketika organisme infeksius
memproduksi gas sebagai hasil dari
fermentasi. Kemudian gas ini menyebar ke
sekitar lokasi awal pembentukan infeksi, maka
terbentuklah emfisema subkutis(Kamaran AK
et al, 2022).
PATOGENESIS
Emfisema subkutis terjadi karena
peningkatan tekanan di dalam paru
dikarenakan rupturnya alveoli. Udara dapat
masuk ke jaringan lunak pada leher dari
mediastinum dan retroperitoneum. Pada
emfisema subkutis, udara menyebar dari
alveoli yang ruptur ke interstitial space dan
sepanjang pembuluh darah paru, masuk ke
mediastinum dan berlanjut ke jaringan lunak
pada leher dan kepala (Bayu, 2018).
Emfisema pada daerah subkutis,
servikofasial, mediastinum terjadi karena udara
yang masuk ke jaringan fasial kepala dan daerah
leher. Daerah ini mempunyai suatu rongga yang
memungkinkan untuk terisi dengan udara.
Daerah ini dibatasi oleh fasia otot, organ, dan
struktur lainnya. Udara yang masuk ke daerah
5. 144
ISSN : 2721-2882
leher dapat masuk ke retrofaringeal yang
terletak antara dinding posterior dan kolumna
vertebra, dari sini akan diteruskan ke posterior
fasial kemudian ke Grodinsky and Holyoke’s
area yang disebut sebagai daerah yang
berbahaya karena berhubungan langsung ke
posterior mediastinum. Jika udara mengalir
pada daerah ini akan menekan vena trunkus dan
menyebabkan gagal jantung atau asfiksia
karena adanya tekanan di trakea (Ghosh I,
2018).
MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala emfisema subkutis
bervariasi tergantung dari penyebab dan lokasi
terjadinya. Terdapat dua gejala dan tanda khas
emfisema subkutis yaitu painless swelling of the
tissue dan crackling sensation (krepitasi). Pada
hasil inspeksi tampak jaringan di sekitar
emfisema subkutis biasanya membengkak.
Pembengkakan dapat melibatkan jaringan
sekitar tetapi sering berhubungan dengan
pembengkakan pada leher, nyeri dada,
terkadang juga terjadi nyeri tenggorokan, nyeri
leher, wheezing (mengi) dan kesulitan bernafas.
Jika kebocoran udara sangat banyak, wajah
dapat menjadi bengkak sehingga kelopak mata
tidak dapat dibuka (Wang et al, 2018).
Kasus emfisema subkutis mudah
dideteksi dengan melakukan palpasi pada
permukaan kulit. Hasil palpasi akan teraba
seperti kertas atau crispies. Jika disentuh maka
teraba seperti balon yang berpindah dan kadang-
kadang timbul bunyi retakan crack. Gejala klinis
emfisema subkutis tahap lanjut meliputi
pembengkakan lokal, krepitus, ketidaknyamanan
lokal, pembengkakan difus, eritema lokal, nyeri
dan ditemukan kelainan pada radiografi.
Emfisema subkutis seringnya hanya
menimbulkan gejala minimal, tidak berbahaya
bila terjadi spontan, dan tidak memerlukan
penanganan yang spesifik. Namun, apabila
meluas melibatkan jaringan pada dada, maupun
perut, maka hal ini akan berubah menjadi suatu
kondisi yang berat, mengkhawatirkan, dan
mengancam nyawa. Hal ini dapat dipersulit oleh
terjadinya restriksi dari reekspansi paru secara
menyeluruh dan dapat mengakibatkan tekanan
jalan napas yang tinggi, asidosis respirasi berat,
kegagalan ventilasi, kegagalan pacemaker,
kegagalan jalan napas, dan juga tension
phenomenon (Aghajanzadeh et al, 2017).
6. 145
ISSN : 2721-2882
Gambar 1. Emfisema subkutis melibatkan dinding
dada, wajah, leher, dan kelopak mata (Kesiema et al,
2016).
Gambar 2. Klasifikasi emfisema subkutis
berdasarkan tingkat keparahan (Manouchehr A,
2017).
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pencitraan diperlukan untuk
mendiagnosa emfisema subkutis atau untuk
mengkonfirmasi diagnosa berdasarkan temuan
klinis. Pada radiologi dada, emfisema subkutis
mungkin terlihat sebagai gambaran radiolusen
pada jaringan lunak atau jika sudah masif dapat
memberikan gambaran ginkgo leaf sign yakni
gambaran radiolusen pada otot pektoralis mayor
(N-C Huan et al., 2020).
Emfisema subkutis lebih baik
dikonfirmasi dengan pemeriksaan CT-scan
dada, dimana tampak kantung udara yang
berwarna hitam (hipodens) pada daerah subkutis
yang merupakan air-trapping pada subkutis.
Gambar 3. Emfisema subkutis massif yang
melibatkan seluruh dada dan meluas ke leher (Peter,
2018).
Gambar 4a & 4b. Potongan aksial dan
koronal dari ct-scan thorax menunjukkan massif
emfisema subkutis. Penelitian ini dari pasien yang
dirawat di pusat medis kami yang memiliki
pneumothoraks dan pneumomediastinum dalam
konteks karsinoma sel ginjal metastatik. Panah
menunjukkan erosi metastatik melalui dinding dada
yang mengarah ke pneumothoraks (Ghosh I, 2018).
7. 146
ISSN : 2721-2882
Gambar 5. Lima klasifikasi emfisema
subkutis ditunjukkan masing-masing: a grade 1, b
grade 2, c grade 3, d grade 4, dan e grade 5
(Manouchehr A, 2017).
TATALAKSANA
Emfisema subkutis biasanya ringan,
sehingga tidak membutuhkan penanganan
karena dalam 3 atau 4 hari bahkan sampai satu
minggu pembengkakan akan berkurang secara
menyeluruh karena udara diserap secara
spontan dan terjadi penyembuhan. Namun pada
kasus emfisema subkutis massif yang meluas di
luar batang tubuh ke kepala dan leher, harus
segera ditangani untuk mencegah komplikasi
lebih lanjut (N-C Huan et al., 2020).
Penatalaksanaan awal harus dimulai
dengan penilaian pasien: setiap gangguan jalan
napas (disfonia progresif, stridor) harus ditangani
terlebih dahulu. Pasien mungkin memerlukan
oksigenasi tambahan. Telah dihipotesiskan bahwa
pemberian oksigen bermanfaat dalam resorpsi
udara secara spontan. Hal ini memungkinkan
terjadinya pengurangan tekanan parsial nitrogen
dalam rongga pleura relatif terhadap oksigen,
sehingga lebih mudah diserap (Aghajanzadeh M,
2017).
Pengelolaan emfisema subkutis harus
dimulai dengan upaya untuk mengidentifikasi
penyebabnya. Pemeriksaan yang paling akurat
untuk melihat komplikasi pneumothoraks
(termasuk emfisema subkutis) adalah ct-scan
thoraks (Manouchehr, 2017).
Jika pasien memiliki emfisema subkutis
karena pneumothoraks, maka pneumothoraks
penyebab harus ditangani dengan pemasangan
WSD interkostal jika memungkinkan. Dalam
kasus pneumothoraks spontan rekomendasi
konsensus adalah penggunaan drainase intercostal
dengan ukuranyang lebih kecil (≤14F). Pada
pasien yang sudah terpasang drainase interkostal,
penting untuk memastikan bahwa drainase
ditempatkan dengan tepat dengan semua port
samping di rongga dada, tidak tertekuk, tersumbat
ataupun terjepit. Jika terdapat keraguan tentang
patensi drainase interkostal, dapat dinilai dengan
membilasnya dengan sejumlah kecil normal saline
steril (Wang et al, 2018).
Jika pasien terpasang drainase interkostal
dan emfisema subkutis tidak membaik atau malah
semakin parah, terdapat sejumlah pilihan yang
tersedia bagi dokter. Pilihan ini ditujukan untuk
menangani pneumothoraks yang mendasari atau
emfisema subkutis itu sendiri. Mengatasi
emfisema subkutis saja mungkin satu-satunya
8. 147
ISSN : 2721-2882
pilihan bagi dokter yang merawat pasien dengan
emfisema subkutis oleh karena pneumothoraks
yang tidak dapat dilakukan drainase dengan aman
(misalnya, karena ukurannya yang sangat kecil)
atau jika pasien menolak drainase interkostal atau
jika tujuan akhir pengobatan hanya untuk
menghilangkan gejala. Pilihan pengobatan berikut
diarahkan terutama pada emfisema subkutis
terkait dengan pneumothoraks yang mendasari
(Kamaran AK et al, 2022).
Drainase Emfisema Subkutis Melalui Blow
Holes Incision
Emfisema subkutis dapat didekompresi
secara langsung melalui insisi kulit yang
dinamakan blow holes incision. Terdapat berbagai
laporan bahwa emfisema subkutis massif berhasil
diatasi melalui drainase ini dan dapat mengalami
perbaikan dalam waktu <24 jam. Dibuat insisi
unilateral atau bilateral dengan panjang 2-4 cm ke
fascia thoracic eksterna sampai bagian subkutis.
Insisi ini dibuat bisa di atas klavikula atau di
bawah klavikula. Namun biasanya sayatan dibuat
segaris pada linea midclavicular. Pada saat
dilakukan sayatan akan Nampak adanya air
bubble yang menandakan keluarnya udara yang
terjebak pada jaringan subkutis (N-C Huan et al.,
2020).
Gambar 6. (A) Foto yang menunjukkan
emfisema subkutis yang luas dari dada ke badan
bagian atas, leher, dan wajah, yang menyebabkan
gangguan jalan napas setelah pemasangan selang dada
(WSD). Pasien diintubasi untuk perlindungan jalan
napas. (B) Foto menunjukkan perbaikan paska
pembalutan luka tekanan negatif yang dimasukkan
secara subkutan melalui sayatan yang dibuat di
dinding dada anterior kiri dan kanan. Foto diambil
sekitar 24 jam setelah pemasangan (N-C Huan et al.,
2020).
Drainase Emfisema Subkutis Melalui
Drainase Subkutis
Tindakan ini harus diposisikan di daerah
subkutis. Dilakukan diseksi terlebih dahulu pada
bagian dada yang terkena (diseksi tumpul sampai
fascia superficialis pectoralis). Selanjutnya
dilakukan insisi sepanjang 2 cm pada linea
axillaris anterior yang kemudian disisipkan
kateter intercostal ukuran 26 Fr dan dihubungkan
pada WSD pada alat vaccum dengan pengisapan
9. 148
ISSN : 2721-2882
rendah tekanan -5cmH2O.
Gambar 7. Hasil dari blow holes incision yang
dimodifikasi menggunakan negative pressure wound
therapy. (A dan C) Radiografi menunjukkan
perkembangan emfisema subkutis massif pada pasien
yang dipasang ventilator. (B dan D) Setelah 3 hari
negative pressure wound therapy, emfisema subkutis
teratasi (Bong S et al, 2017).
Terapi Operatif
Pembedahan adalah solusi definitif
potensial untuk emfisema subkutis akibat
pneumothoraks spontan berulang misalnya,
dalam kasus fistula bronkopleural,
bagaimanapun, ini merupakan tindakan invasif
dan terbatas pada pasien dengan kondisi stabil
untuk dilakukan anestesi umum (James &
Helen, 2021).
MORBIDITAS DAN MORTALITAS
Dalam kebanyakan kasus, emfisema
subkutis dapat sembuh sendiri. Namun kondisi
tersebut bisa menjadi sumber ketidaknyamanan
dan penderitaan bagi pasien untuk sementara.
Pada sebagian kecil pasien, emfisema subkutis
dapat menjadi luas dengan tension phenomenon
yang mengarah ke disfagia, disfonia,
pembengkakan pada kelopak mata yang
menyebabkan pasien tidak dapat membuka mata,
dan bahkan penutupan jalan nafas yang sampai
membutuhkan intubasi (O’Reilly et al, 2018).
Terdapat laporan kasus kematian akibat
emfisema subkutis sebagai akibat dari kegagalan
ventilasi. Dalam rangkaian penelitian oleh Jones
dkk pada pasien emfisema subkutis karena
pneumotoraks dengan pemasangan WSD,
didapatkan peningkatan mortalitas pada pasien
dengan emfisema subkutis (16% berbanding 5%
dalam kasus di mana emfisema subkutis tidak
ada). Dalam seri yang sama juga dicatat bahwa
emfisema subkutis dikaitkan dengan peningkatan
lama rawat inap pasien (rata-rata 17,5 hari versus
11,8 hari di mana tidak disertai emfisema
subkutis). Morbiditas pasien terkait emfisema
subkutis signifikan akibat sekuele merugikan
yang serius yang dijelaskan dalam literatur
termasuk kebutaan, sindroma kompartemen,
malfungsi pacemaker dan hipertensi intracranial
(Bong S, 2017).
PROGNOSIS
10. 149
ISSN : 2721-2882
Udara di jaringan subkutis biasanya
tidak menimbulkan kematian, sejumlah kecil
udara dapat di reabsorbsi oleh tubuh. Terkadang
pneumothoraks atau pneumomediastinum yang
menyebabkan emfisema subkutis, dengan atau
tanpa tindakan medis emfisema subkutis ini
biasanya akan hilang sendiri. Meskipun jarang,
emfisema subkutis dapat menjadi suatu kondisi
yang bersifat emergensi, seperti terjadinya gagal
nafas dan henti jantung, sehingga diperlukan
tindakan medis (Ahmed et al, 2017).
Strategi manajemen definitif lainnya
untuk pneumotoraks dengan kebocoran udara
persisten (dengan atau tanpa emfisema subkutis)
dapat dilakukan pleurodesis (Bayu I, 2022).
KESIMPULAN
Sebagian besar kasus emfisema subkutis
pada pneumothoraks ringan dan dapat sembuh
spontan. Manajemen emfisema subkutis
meliputi manajemen expectant (kontrol etiologi
yang mendasari). Penatalaksanaan
pneumothoraks yang mendasari meliputi
tatalaksana konservatif, negative pressure
wound therapy, penempatan drainase interkostal
yang lebih lebar dan manajemen bedah definitif.
Penatalaksanaan emfisema subkutis dapat
mencakup teknik dekompresi seperti: blow holes
incision atau drainase subkutis. Pendekatan ini
dapat digunakan secara bersamaan. Tidak ada
rekomendasi definitif untuk menentukan
manajemen yang tepat dari pasien dengan
emfisema subkutis.
DAFTAR PUSTAKA
Aghajanzadeh M, Dehnadi A, Ebrahimi H,
Fallah KM, Khajeh JS, Amir MA (2017).
Classification and Management of
Subcutaneous Emphysema: a 10-Year
Experience. Indian J Surg, 77 (2):673-677.
Ahmed Z, Patel P, Singh S, Sharma RG, Somani
P, Gouri AR, Singh S. (2017). High
negative pressure subcutaneous suction
drain for managing debilitating
subcutaneous emphysema secondary to
tube thoracostomy for an iatrogenic post
computed tomography guided
transthoracic needle biopsy pneumothorax:
Case report and review of literature. Int J
Surg Case Rep, 26:138-141.
Bayu I, Oea K, Russilawati (2021).
Pneumothorax and Subcutaneous
Emphysema Related to Use Of HFNC in
Critically ILLCovid-19 Patient. Jurnal
Human Care, 6 (2): 484-490.
Bong S, Sungsoo L, Woo HC, Jung JH, Kil DK,
Do HK (2017). Modified Blowhole Skin
Incision Using Negative Pressure Wound
Therapy in The Treatment of Ventilator-
Related Severe Subcutaneous
Emphysema. Interactive CardioVascular
and Thoracic Surgery, 19 (1): 904–90.
James M, Helen ED (2021). The Diagnosis and
Management of Subcutaneous
Emphysema: A Literature Review. Current
Pulmonology Reports,10: 92-97.
Ghosh I, Behera P, Das B, Gerber CJ. (2018).
Subcutaneous emphysema after
endotracheal intubation: A case
report. Saudi J Anaesth, 12(2):348-349.
Kamaran AK, et al (2022). Recurrent
11. 150
ISSN : 2721-2882
Spontaneous Subcutaneous Emphysema
Of Unknown Origin: A Case Report With
Literature Review. Annals of Medicine
and Surgery, 76: 1-4.
Manouchehr A, Anosh D, Hannan E, Morteza
FK, Sina KJ, Alireza AM, Gilda A
(2017). Classification and Management of
Subcutaneous Emphysema: a 10-Year
Experience. Indian Journal Surgery, 1 (1):
177–182.
Nai-Chien H, Noorasyikin MA, Teng-Shin K,
Yean-Chen LA (2020). Management of
Extensive Subcutaneous Emphysema
Using Negative Pressure Wound Therapy
Dressings. Journal of the Asian Pacific
Society of Respirology, 8 (3): 1-4.
Peter O, Hua KC, Rachel W (2018).
Management of Extensive Subcutaneous
Emphysema With A Subcutaneous Drain.
Journal of The Asian Pacific Society of
Respirology, 2 (5): 28-30.
Wang HS, Lin J, Wang F, Miao L. (2018).
Tracheal injury characterized by
subcutaneous emphysema and dyspnea
after improper placement of a
Sengstaken-Blakemore tube: A case
report. Medicine (Baltimore), 97(30):
1128-1133.