SlideShare a Scribd company logo
KOLERA
Kolera merupakan diare sekretori akut yang disebabkan oleh bakteri gram negative Vibrio
cholerae serogroup O1 atau O139. Penyakit ini menjadi endemic di 50 negara serta pernah
menyebabkan wabah yang cukup besar. Diare termasuk kolera merupakan penyebab kedua
mortalitas anak usia <5 tahun, serta merupakan salah satu penyebab utama morbiditas.
Kolera juga merupakan penyebab terbanyak kasus diare dengan dehidrasi berat pada
dewasa.1
Agen Penyebab1
Vibrio cholerae merupakan bakteri gram negatif, famili Vibrionaceae yang sering
ditemukan di pesisir pantai dan muara. Organisme ini dapat berkembang baik pada
lingkungan yang kaya akan kandungan garam, atau lingkungan dengan kadar garam rendah
yang memiliki suhu optimal (hangat) dan mengandung nutrien organik yang cukup.
       Vibrio cholera telah diklasifikasikan dalam lebih dari 200 serogroup berdasarkan
antigen O pada lipopolisakarida. Tetapi hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya
serogroup O1 dan O139 yang dapat menyebabkan epidemic kolera. Vibrio cholerae O1
diklasifikasikan dalam 2 biotypes, yakni classical dan El Tor. Sedangkan Vibrio cholera
O139 merupakan derivate Vibrio cholera O1 El Tor yang mengalami transfer lateral, tetapi
hingga saat ini Vibrio cholera O139 lebih identik dikenal dengan Vibrio cholera O1 El Tor.
Vibrio cholera O139 dan beberapa O1 El Tor yang telah diisolasi memiliki elemen SXT
bawaan yang dianggap memediasi resistensi pada cotrimoxazole dan streptomycin.
Patogenesis dan Patofisiologi
Kemampuan Vibrio cholera menyebabkan penyakit bergantung pada banyak faktor yang
mempengaruhi proses kolonisasi pada epitel usus halus dan produksi enterotoxin yang
berdampak pada perubahan transport ion.2 Masuknya Vibrio cholerae pada saluran
pencernaan, terlebih dahulu akan dihadapi oleh asam lambung, hingga pada akhirnya
beberapa bakteri yang mampu bertahan akan menguraikan toxin kolera yang merupakan
protein exotoxin. Protein ini mengandung satu subunit A (CTA) yang berperan dalam
perubahan transport Cl melalui aktifasi adenilat siklase dan lima subunit B (CTB) yang
mengikat helotoxin dengan reseptor gangliosida GM1 pada sel eukariot.1,2


                                                                                        1
Epidemiologi
Kejadian kolera sangat erat kaitannya dengan kemiskinan, sanitasi yang buruk serta
rendahnya higienitas. Penyakit ini tersebar hingga Asia Selatan serta beberapa bagian
Afrika dan Amerika. Kematian akibat kolera di seluruh dunia yang diungkapkan oleh
Cokee di tahun 2010 diperkirakan telah mencapai 120.000 jiwa dengan kejadian terbanyak
pada anak-anak. Pandemic kolera yang ketujuh bermula di Indonesia pada tahun 1961,
Afrika pada tahun 1970 dan Amerika latin pada tahun 1999.2 DI tahun 2010 kolera kembali
menjadi pandemic di Haiti, hal ini diperkirakan terjadi semakin parah akibat kepadatan
populasi, sanitasi buruk dan infrastruktur yang tidak memadai, serta kendala logistik yang
pada akhirnya sangat mempengaruhi proses keberlangsungan manajemen kasus kolera.
Peningkatan epidemic kolera juga diperkirakan berkaitan dengan kejadian banjir, serta
bencana alam seperti angin topan dan gempa bumi.1
Cara Penularan1
Secara garis besar penularan kolera dioengaruhi oleh konsentrasi Vibrio cholerae O1 dan
O139 pada feses, perbedaan kemampuan infektif antara sel planktonic dan agregat feses,
kecepatan penyebaran organism antara manusia satu dengan yang lain, keberadaan
bakteriofag lytic di feses dan air, serta konsentrasi viable environtment cell pada air yang
memungkinkan terjadinya transmisi dari lingkungan ke manusia. Pasien infeksi kolera yang
asimptomatik pada umumnya memiliki kemungkinan penularan hanya dalam waktu
beberapa hari, sedangkan kemungkinan penularan dari pasien simptomatik dapat
berlangsung lebih lama, dengan kisaran 2 hari-2 minggu. Pada pemeriksaan feses
ditemukan gambaran Vibrio cholera dalam bentuk sel panktonic tunggal atau agregat
menyerupai biofilm.
       Puncak epidemic kolera seringkali didahului oleh peningkatan prevalensi strain
pathogenic pada suatu lingkungan. Bakteriofag Vibrio cholera O1 dan O139 yang lytic juga
sering ditemukan di feses serta air pada lingkungan pasien.
Manifestasi Klinis1
Manifestasi klinis kolera bergantung pada keadaan endemic atau epidemic. Pada keadaan
endemic, infeksi kolera yang asimptomatik mencapai 40-80% dengan kasus penderita
terbanyak pada anak-anak dan tampak sebagai diare sedang yang tidak dapat dibedakan
                                                                                          2
dengan diare akibat infeksi enteropatogen lain. Sedangkan pada keadaan epidemic, angka
kejadian kolera dengan kondisi berat sebanding antara dewasa dan anak-anak. Penampakan
klinis Vibrio cholera O1 dan O139 kurang lebih sama, antara lain:
   1. Watery diarrhea yang masif (mencapai 1 L per jam, diare menyerupai air cucian
       beras, painless, tanpa disertai tenesmus, pada beberapa kasus dapat dijumpai rasa
       tidak enak pada perut atau keram perut akibat bowel distension)
   2. Muntah, biasanya terjadi pada awal penyakit.
   3. Jika dijumpai demam, dicurigai akibat infeksi sekunder.
   4. Dehidrasi dan abnormalitas elektrolit yang ditandai oleh keadaan lemas, mata
       cekung, bibir kering, kulit dingin, penurunan turgor kulit, kaki dan tangan keriput.
   5. Kussmaul, asidosis akibat kehilangan bikarbonat melalui feses dan lactic asidosis
       akibat penurunan perfusi.
   6. Nadi teraba cepat dan lemah. Bahkan dapat terjadi kesulitan dalam palpasi nadi
       akibat penurunan tekanan darah.
   7. Produksi urin menurun.
   8. Keram otot akibat kehilangan elektrolit dan perubahan komposisi ion dalam tubuh
       (terutama potassium dan calcium).
   9. Pada anak-anak dapat terjadi hipoglikemia akibat deplesi cadangan glikogen dan
       glukogenesis yang inadekuat. Hal ini terlihat dari keadaan anak yang tampak
       kehilangan kesadaran, bahkan koma.
Diagnosis1
1. Pasien usia >5 tahun yang menderita diare akut dengan dehidrasi berat, dengan atau
   tanpa disertai riwayat wabah kolera pada lingkungan tempat tinggalnya.
2. Pasien usia <2 tahun yang menderita diare akut dengan dehidrasi berat, dengan disertai
   riwayat wabah kolera pada lingkungan tempat tinggalnya.
3. Jika tersedia fasilitas mikrobiologi dapat dilakukan isolasi mikroorganisme melalui
   feses pada media selektif, yang kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan biochemical,
   serogrouping, dan serotyping dengan menggunakan antibody spesifik.
4. Pemeriksaan feses dengan menggunakan mikroskop perbesaran 400x dapat ditemukan
   adanya vibrio-cell shaped dengan ciri motilitas yang cepat.
                                                                                              3
5. Pemeriksaan immunoassay untuk mendeteksi toxin kolera atau lipopolisakarida Vibrio
   cholera O1 dan O139.
Penatalaksanaan
1. Rehidrasi merupakan penatalaksanaan utama pada pasien kolera. Prosedur rehidrasi
   disesuaikan dengan keadaan dehidrasi pasien serta riwayat gastroenteritis yang
   mengalami kehilangan elektrolit jauh lebih banyak dibanding pasien non-cholera
   gastroenteritis.1
2. Pasien dengan gejala hipogikemia dapat diberikan 0.25-0.50g/Kg glukosa secara
   intravena hingga terlihat perbaikan klinis dari gejala hipoglikemia dan pasien mampu
   menerima rehidrasi oral.1
3. Pemberian antibiotik bagi pasien kolera dengan dehidrasi ringan sampai sedang atau
   dengan dehidrasi berat mampu mempersempit durasi diare dan menurunkan volume
   feses hingga 50%.1 Keraguan dalam pemberian antibiotik seringkali muncul pada
   pasien kolera yang disertai muntah hebat dan gejala infeksi. Umumnya muntah akan
   segera berakhir beberapa jam setelah pasien mendapatkan rehidrasi, dan pemberian
   antibiotik sebaiknya ditunda hingga pasien mampu mengkonsumsi makanan dan
   minuman tanpa diikuti muntah.3
4. Pengaturan asupan nutrisi dengan diet energy tinggi mulai dilaksanakan setelah masalah
   kekurangan cairan dapat teratasi. Pengaturan asupan tersebut dilakukan untuk
   mencegah terjadinya malnutrisi dan komplikasi seperti hipokalemia dan hipoglikemia.
   Bagi balita, asupan ASI merupakan pilihan utama dalam pelaksanaan rehidrasi oral.
   Pada negara berkembang dianjurkan penambahan suplementasi vitamin A.1
5. Suplementasi zinc berguna untuk mengurangi durasi diare dan volume feses anak
   penderita kolera, serta mengurangi kemungkinan kejadian diare selama beberapa bulan
   kedepan (2-3 bulan). Pemberian zinc bagi usia <6 bulan sebanyak 10 mg/hari dan 20
   mg/hari selama 10 hari untuk usia 6 bulan-5 tahun.1
6. Pemberian obat antimotility dan antiemetics dianggap tidak menguntungkan dan bahkan
   terancam memperpanjang durasi infeksi atau memberikan efek sedative yang nantinya
   akan turut mempengaruhi efektifitas terapi rehidrasi oral.1


                                                                                       4
Tabel Prosedur Rehidrasi1
                     Tanpa Dehidrasi         Dehidrasi Ringan-         Dehidrasi Berat
                            (<5%)             Sedang (5-10%)                (>10%)
                                    Manifestasi Klinis pada Derajat Dehidrasi
  Penampakan            Baik, sadar             Gelisah, rewel       Lemas atau tak sadar
     Umum
      Mata                  Normal               Mata cekung             Mata cekung
   Rasa Haus          Minum dengan           Haus, minum dengan      Lemah dan tidak ingin
                            normal                sangat kuat               minum
  Turgor Kulit        Kembali dengan           Kembali dalam         Kembali dalam waktu
                    cepat pasca cubitan       waktu lebih lambat      sangat lambat pasca
                                              pasca cubitan (<2        cubitan (>2 detik)
                                                    detik)
      Nadi                  Normal               Cepat, lemah          Lemah atau tidak
                                                                             teraba
                                                   Rehidrasi*
  Penggantian          Sesuai dengan           75 ml/kg selain         100 ml/kg selain
      cairan         jumlah cairan yang       penggantian cairan      penggantian cairan
                            hilang               yang hilang              yang hilang
 Rute rehidrasi             Oral**            Oral atau intravena          intravena
     Waktu           Setiap kali merasa       Penggantian cairan       Secepat mungkin
                             haus               setiap 3-4 jam          hingga sirkulasi
                                                                       kembali normal,
                                                                       lengkapi rehidrasi
                                                                      dalam waktu 3 jam
  Pemantauan         Observasi hingga        Observasi setiap 1-2     Observasi setiap 1-2
                     cairan yang hilang       jam hingga semua                jam
                     dapat benar-benar          tanda dehidrasi
                      tergantikan oleh        teratasi atau pasien

                                                                                             5
pemberian ORS              berkemih
                             ORS=Oral Rehidration Solution
 *pasien dengan gangguan comorbid seperti malnutrisi berat, komplikasi, balita dan lansia
                   perlu menyesuaikan dengan kondisi spesifik pasien
    **penggunaan oral tidak efektif jika cairan yang hilang lebih dari 10ml/kg per jam
Tabel Antibiotik untuk Pasien Kolera1
                          Dosis Pediatric             Dosis Dewasa         Keterangan
                                        Tetracyclines
    Tetracycline          12.5 mg/kg per        500 mg, 4 kali sehari   Tidak dianjurkan
                         dosis, 4 kali sehari         selama 3 hari     bagi wanita hamil,
                           selama 3 hari                                anak-anak usia <8
    Doxycycline           4-6 mg/kg, dosis            300 mg, dosis       tahun karena
                              tunggal                    tunggal             beresiko
                                                                          menyebabkan
                                                                        perubahan warna
                                                                           gigi secara
                                                                            permanen
                                    Fluoroquinolones
   Ciprofloxacin        15 mg/kg per dosis,     500 mg, 2 kali sehari
                        4 kali sehari selama          selama 3 hari
                               3 hari
                                         Macrolides
   Erythromycin           12.5 mg/kg per        250 mg, 4 kali sehari   Azithromycin dosis
                         dosis, 4 kali sehari         selama 3 hari     tunggal pada anak-
                           selama 3 hari                                    anak lebih
    Azithromycin          20 mg/kg, dosis         1 g, dosis tunggal    dianjurkan, karena
                              tunggal                                     pada beberapa
                                                                             Negara
                                                                          membuktikan

                                                                                            6
azithromycin jauh
                                                                           lebih efektif
                                                                              daripada
                                                                           ciprofloxacin
Komplikasi
Kolera seringkali dapat menyebabkan dehidrasi berat dan abnormalitas elektrolit dalam
waktu beberapa jam. Keadaan hipotensi yang ditemui pada pasien kolera dapat berdampak
pada stroke (terutama pada lansia), renal compromise dan muntah yang dikhawatirkan
dapat menyebabkan aspiration pneumonia. Tetapi kolera merupakan infeksi akut yang
tidak pernah menampakkan gejala kronik.
Pencegahan
1. Menjaga kebersihan lingkungan.1
2. Menggunakan air yang aman dan tidak berbahaya.3
3. Membiasakan perilaku hidup bersih dan sehat, seperti rutin mencuci tangan
   menggunakan sabun.1
4. Pada daerah yang beresiko tinggi diperlukan adanya tambahan edukasi mengenai
   penggunaan rehidrasi oral secara sederhana dan informasi mengenai ketersediaan
   layanan kesehatan apabila terjangkit penyakit tersebut.3
5. Vaksinasi.1
           Dosis    Interval        Volume        Booster        Efikasi                 Keterangan
                   Pemberian         Dosis
                      Dosis
                                               Dukoral
Usia 2-5     3       14 hari      3 ml vaksin     Setiap 6       60-85%             Dianjurkan oleh
 tahun              (toleransi     dan 75 ml        bulan       terlindungi         WHO, memiliki
                      7-42)          buffer                   selama 6 bulan,       lisensi di banyak
                                                                kemudian             Negara, aman
                                                              menurun selama        digunakan oleh
                                                               24-36 bulan           penderita HIV,


                                                                                            7
Usia > 6      2       14 hari
 tahun               (toleransi
                       7-42)
                                                Shanchol
   >1         2       14 hari          1-5 ml       Setiap 2        60-70%            Dianjurkan oleh
 tahun                                               tahun        memberikan            WHO, lebih
                                                                proteksi selama       terjangkau, tidak
                                                                  24-36 bulan       memerlukan buffer
                                                                                           dalam
                                                                                      penggunaannya,




ESCHERICHIA COLI
Diare menjadi salah satu penyebab yang paling umum dari morbiditas dan kematian pada
bayi dan anak-anak, terutama di negara-negara berkembang. Etiologi diare mencakup
berbagai virus, bakteri dan parasit. Di antara bakteri patogen, diarrheagenic Escherichia coli
(DEC) adalah patogen tersering penyebab diare di seluruh dunia.4

        Strain DEC       secara     dibagi menjadi enteropathogenic E. coli (EPEC),
enterotoxigenic E. coli (ETEC), enteroinvasive E. coli (EIEC), Shiga toxin-producing E.
coli (STEC), diffusely adherent E. coli, dan enteroaggregative E. Coli.6

Patogenesis

Enteropathogenic E. coli (EPEC) terdiri atas antigen oligosakarida (O), flagela (H), dan
kapsuler (K). Mereka terkait dengan wabah diare pada anak-anak dalam negara
berkembang. Biasanya bersifat self limited dan rehidrasi adalah pengobatan yang paling
efektif. Penggunaan antibiotik kurang penting dan telah dikritik atas dasar toksisitas obat
dan risiko meningkatnya resistensi.6

        Enteropathogenic E. coli (EPEC) dibagi menjadi dua kelompok, yaitu tEPEC dan
EPEC atipikal (aEPEC). Properti yang membedakan keduanya adalah adanya faktor
plasmid, yang hanya ditemukan di tEPEC. tEPEC dan aEPEC memiliki kesamaan
                                                                                            8
kemampuan untuk membentuk lesi A/ E, yang merupakan mekanisme patogenik utama di
kedua kelompok.7

           Enterotoksigenik Escherichia coli (ETEC) adalah penyebab utama morbiditas
terutama pada anak di bawah 5 tahun. Infeksi ETEC berasal dari air yang tercemar atau
makanan, dan inokulum yang relatif tinggi diperlukan untuk menghasilkan infeksi (> 108
CFU). infeksi ETEC memiliki manifestasi khas yaitu gejala muncul 3 hari setelah invasi
organisme, dapat menimbulkan gejala gastrointestinal mulai dari ringan sampai diare berat,
dengan atau tanpa demam dan muntah, biasanya tanpa leukosit feses atau darah. Meskipun
dapat sembuh dalam 1-3 hari, penyakit ini dapat menyebabkan kematian, terutama pada
anak-anak dan lansia.5

           ETEC mengeluarkan dua enterotoksin, heat labile (LT) dan heat stablel (ST). LT
adalah racun yang sama AB5 toksin kolera yang akhirnya mengarah pada peningkatan
siklik AMP. ST adalah peptida kecil yang mengaktifkan guanylyl adenilat mengarah ke
peningkatan produksi siklik GMP. Hasil bersih dari LT dan ST adalah perubahan sinyal
beberapa jalur dari enterosit, sehingga sekresi klorida meningkati dan akhirnya terjadi diare
berair.5

           Patogenesis EIEC sangat mirip dengan Shigella. EIEC menembus dan berkembang
biak dalam sel epitel usus menyebabkan kerusakan sel luas. Sindrom klinis identik dengan
disentri Shigella dan termasuk diare disentri dengan demam. EIEC ternyata kurang
adhesins fimbrial tetapi memiliki suatu adhesin spesifik yang, seperti dalam Shigella, EIEC
merupakan organisme invasif. Mereka tidak menghasilkan LT atau toksin ST. Tidak ada
reservoir hewan diketahui untuk       EIEC. Oleh karena itu sumber utama untuk EIEC
tampaknya adalah manusia yang terinfeksi. Setidaknya 106 organisme EIEC diperlukan
untuk menyebabkan penyakit pada orang dewasa yang sehat.7

           Transmisi utama Shiga toxin-producing E. coli (STEC) adalah makanan, karena
terjadi peningkatan konsumsi sayuran segar dan buah-buahan. Virulensinya diketahui
mampu menginfeksi walaupun jumlah yang meninvasi manusia sedikit kemudian dapat
menyebabkan kolitis hemoragik dan hemolitik uremik sindrom. Asam lambung merupakan
mekanisme pertama untuk patogen yang tertelan namun telah dilaporkan bahwa organisme
                                                                                           9
ini resisten terhadap asam lambung. Meskipun mekanisme yang mendasari untuk hal ini
tidak sepenuhnya dipahami, produksi toksin shiga merupakan penentukan virulensinya.8

        Fitur yang membedakan strain enteroaggregative E. Coli (EAEC) adalah
kemampuan mereka untuk menempel pada sel kultur jaringan secara agregatif. Strain ini
berhubungan dengan diare persisten pada anak-anak. Mereka menyerupai ETEC strain dan
menyebabkan diare tidak berdarah tanpa menyebabkan atau menyebabkan peradangan. Ini
menunjukkan bahwa organisme menghasilkan enterotoksin. Pentingnya strain EAEC dalam
penyakit manusia masih kontroversial.

Manifestasi klinis 4,6,7,8

EPEC     Biasanya mengenai anak-anak, diare berair dengan darah, peradangan, tidak
         demam, gejala mungkin terjadi terutama dari invasi daripada toxigenesis

ETEC     Rapid onset watery diare, tidak ada inflamasi, tidak demam, nyeri abdomen,
         malaise, mual, dan muntah. Diare dan gejala lainnya berhenti secara spontan
         setelah 24 sampai 72 jam.

EIEC     disentri-like diare (lendir, darah), peradangan, demam berat

STEC     diare pediatrik, perdarahan berlebihan (hemoragik colitis), respon inflamasi yang
         intens, komplikasi berupa uremia hemolitik

EAEC persisten diare pada anak-anak tanpa peradangan atau demam

Diagnosis 5,6,7,8

        Diagnosis didasarkan atas gambaran klinis dan dikonfirmasi dengan kultur tinja.
Serotyping dan tes untuk faktor virulensi kadang-kadang dilakukan jika terjadi outbreaks.

Tatalaksana 5,6,7,8

        1. Atasi dehidrasi sesuai dengan tingkat dehidrasi
        2. Trimethoprim-sulfametoksazol (TMP-SMX) harus diberikan jika diare sedang
            atau berat dicatat. Antibiotik parenteral generasi kedua atau generasi ketiga
            cephalosporin diindikasikan untuk komplikasi sistemik. Pengobatan antibiotik

                                                                                            10
diindikasikan untuk bayi berusia kurang dari 3 bulan dengan EPEC dan pasien
            yang tetap bergejala



SALMONELLA SPP.

Salmonella merupakan agen yang paling sering dalam menyebabkan penyakit
gastroenteritis yang merupakan self-limiting hingga penyakit sistemik yaitu demam
typhoid. Penyakit yang ditimbulkan berdasarkan pada serotype-nya. Namun yang paling
sering terjadi secara global ataupun di Negara berkembang dan pada seseorang dnegan
immunodeficiency ialah Salmonella enteric serovar Paratyphi B yang menjadi penyebab
primer dari gastroenteritis.9,10

    Ada lebih dari sekitar 2000 yang merupakan pathogen bagi mausia, dimana bayi dan
orang tua merupakan resiko utama yang paling tersering terkena infeksi salmonella ini.
Salmonella sendiri berasal dari hewan seperti tikus yang merupakan reservoir major.
Adapun gejala klinisnya antara lain:13

    1. Tidak terdapat onset akut seperti mual, muntah.
    2. Diare dapat terjadi watery diarrhea, ataupun bloody diarrhea.
    3. Demam dapat terjadi pada 70% anak.
    4. Demam yang terjadi juga dapat sebagai enteric fever yang diakibatkan oleh
        Salmonella typhy atau parathypi A, B, C atau biasa dikenal dengan demam fever.

Secara umum perbedaan gejala dapat terlihat pada tabel berikut:




                                                                                         11
Tabel 1. Clinical features of infection with selected diarrheal pathogens5

Dalam menegakkan diagnosis diare yang disebabkan oleh Salmonella, dapat dilakukan
dengan cara “Selective enrichment fecal cultures”, yaitu dengan cara Dacron steril swab
digunakan untuk menyuntikkan material feses ke dalam 10 ml mannitol selenite yang
kemudian diinkubasikan pada suhu 37 derajat selsius selama semalam. Selanjutnya di
masukkan ke dalam xylose lactose deoxycholate agar dan diinkubas kembali pada suhu 37
derajat selsius semalaman. Dugaan koloni salmonella yang terbentuk kemudian di taruh ke
dalam agar darah dan diinkubasi kembali pada suhu dan dan durasi yang sama, lalu di tes
dengan menggunakan commercial salmonella latex agglutination kit.11

Setelah diagnosis ditegakkan dengan melihat gejala klinis ataupun dengan menunggu hasil
kultur baketei, terapi yang digunakan antara lain:




                                                                                       12
Tabel 2. Penggunaan Antibiotika pilihan dan kecendrungan resistensi terhadap
                                      Salmonella.12




CAMPYLOBACTER JEJUNI14

Campylobacteriosis adalah penyakit diare yang ditularkan melalui makanan dan air yang
disebabkan oleh bakteri dari genus Campylobacter, dengan sebagian besar kasus
disebabkan oleh C. jejuni. Spesies Campylobacter memiliki distribusi di seluruh dunia, dan
merupakan penyebab utama diare akut campylobakteriosis dan enterokolitis seluruh dunia.
Di Amerika Serikat, sekitar 1 juta gejala infeksi Campylobacter terjadi setiap tahun.
Sebagian besar infeksi Campylobacter diperoleh melalui rute oral setelah pemeliharaan
unggas atau mengkonsumsi unggas matang.

Epidemiologi

Lebih dari 16 spesies Campylobacter telah diidentifikasi, tetapi kebanyakan infeksi klinis
terjadi pada orang dewasa yang imunokompeten terhadap C. jejuni. Campylobacters
berkoloni di usus besar domba pertanian dan hewan domestik, termasuk ternak khususnya
kambing, babi, dan unggas, yang berfungsi sebagai sumber utama infeksi pada manusia.
                                                                                       13
Dalam survei mikrobiologis produk daging mentah, ayam broiler muncul menjadi sumber
umum dari kontaminasi dengan C.jejuni yang dideteksi pada 31% sampai 83% dari sampel.

       Kejadian infeksi Campylobacter bervariasi seluruh dunia tetapi tampaknya mulai
menurun di negara negara industri karena perbaikan pada pengolahan unggas.
Epidemiologi dan manifestasi klinis penyakit akibat C. jejuni berbeda tajam pada negara
berkembang. Infeksi terjadi tanpa variabilitas musiman di iklim hangat, dan C. jejuni sering
ditemukan dengan kopatogen lainnya. Gejala penyakit ini muncul paling sering pada anak-
anak, dan isolasi organisme Campylobacter pada orang tua. Campylobacter juga
merupakan penyebab penting dari traveller diare. Dalam sebuah studi dari 322 pengunjung
ke Jamaika yang menderita diare, C. jejuni menyumbang 6% dari kasus.Campylobacter
menyumbang 9% dari bakteri penyebab diare pada 328 ekspatriat ke Nepal dan 64% dalam
pasukan militer AS di Thailand. Spesies Campylobacter telah dilaporkan sebagai penyebab
enterik menular seksual Infeksi pada pria homoseksual. Laporan kasus menggambarkan
transmisi perinatal ibu ke bayi dan nosokomial tersebar di rumah sakit.




Morfologi

Campylobacters adalah gram-negatif spiral atau S berbentuk batang yang nonspora dan
sangat motil dan berflagella. Semua spesies Campylobacter adalah oksidase dan katalase-

                                                                                         14
positif dan tumbuh pada 37°C. C. Jejuni dan C. coli, tumbuh optimal pada 42°C.
Campylobacters tumbuh lambat, dan inkubasi kultur feses dilakukan selama minimal 48
jam. Organisme ini juga umumnya rapuh dan dapat dihancurkan oleh panas, pengeringan,
keasaman, dan disinfektan.




Patogenesis

Campylobacters menyebabkan inflamasi enteritis akut nonspesifik yang melibatkan usus
besar dan usus kecil; edema dari daerah yang terinfeksi yang terdiri dari neutrofil dan sel
mononuklear dilihat secara histologis. Setelah ingesti oral, patogen bergerak melalui
lapisan lendir usus melalui flagelnya dan bermultiplikasi di ileum distal dan kolon.
Campylobacters menyebabkan diare dengan merusak sel epitel usus baik secara langsung
dengan menyerang sel-sel atau tidak langsung dengan memulai respon inflamasi. Dosis
infektif C. jejuni bervariasi tergantung pada strain tetapi mungkin serendah 500 organisme
dalam susu. Dalam penelitian yang melibatkan 111 sukarelawan dewasa, dosis infektif C.
jejuni berkisar 800 sampai 2 × 109 organisme. Tingkat infeksi meningkat sesuai dosis,
tetapi tidak ada hubungan yang jelas antara dosis dan perkembangan penyakit, dengan 10%
sampai 50% dari sukarelawan menjadi demam dan / atau diare pada dosis tersebut.

Manifestasi Klinis



                                                                                        15
Banyak orang dengan infeksi Campylobacter adalah asimtomatik. Tingkat infeksi
asimtomatik bervariasi menurut umur dan daerah. Dalam penelitian yang dilakukan
pada 2 rumah sakit akademik besar di Baltimore dan New Haven, Campylobacter diisolasi
dari 0,9% individu yang sehat dari segala usia tanpa gejala diare tetapi tidak ditemukan
dalam kontrol subyek dewasa yang sehat dalam penelitian yang dilakukan di Swedia. Pada
gejala individual, timbulnya penyakit klinis terjadi 1 sampai 7 hari setelah menelan bakteri.
Diare akut adalah yang paling umum, terjadi pada 98% sampai 99% dari pasien disentri.
Gejala klasik mungkin terjadi pada tinja berlendir dengan volume sedikit yang mengandung
okultisme atau darah kotor. Namun, cairan dengan volume yang banyak tanpa disentri juga
dapat terjadi. Pada pasien imunokompeten, gejala menonjol lainnya termasuk perut kram,
mual, muntah, demam, sakit kepala, dan mialgia. Demam dan gejala gastrointestinal,
termasuk kram perut dan mual, tetapi tanpa diare juga telah dilaporkan. Penyakit dengan
diare berat, sakit perut, atau demam tinggi adalah pertimbangan untuk masuk rumah sakit
dan replacement.

       Penyakit gastrointestinal berat, termasuk diare kronis, bakteremia dengan atau tanpa
diseminasi ekstraintestinal, dan sindrom pascainfeksi yang jarang terlihat pada pasien yang
sehat. Penyakit yang berkepanjangan dan parah lebih sering terjadi pada individu dengan
sindrom imunodefisiensi, termasuk HIV / AIDS. Pada 38 pasien dengan HIV dan infeksi
Campylobacter, sebagian besar pasien mengalami diare akut, demam, dan nyeri perut,
namun 4 pasien (11%) mengalami bakteremia, dan 8 pasien (21%) mengalami diare kronis.




                                                                                          16
Komplikasi Pasca Infeksi

Komplikasi pascainfeksi yang terkait dengan infeksi Campylobacter termasuk sindrom
Guillain-Barré,   arthritis reaktif, sindrom pasca infeksi iritasi usus, dan berpotensi
Immunoproliferative Small Intestinal Disease (IPSID).




Diagnosis
Infeksi Campylobacter harus dicurigai pada pasien dengan demam dan diare akut, terutama
diare yang disertai dengan tinja berdarah dan berlendir, termasuk wisatawan internasional.
Karena presentasi klinis mirip dengan yang terlihat denganbakteri patogen umum lainnya
seperti Salmonella, Shigella, Yersinia, Clostridium difficile, dan E. coli, sehingga diduga
diagnosis berdasarkan presentasi klinis tidak bisa dibuat.
                                                                                        17
Diagnosa dibuat dengan mengisolasi campylobacters dari sampel tinja. Spesimen
untuk kultur harus memiliki eksposur oksigen minimal dan akan diproses dalam waktu 24
jam. Campylobacters adalah gram-negatif spiral atau S berbentuk batang yang nonspora
dan sangat motil. Pewarnaan Gram tinja diare menunjukkan bakteri melengkung atau
berbentuk spiral gram negatif batang. Diagnosis pasti didasarkan pada kultur tinja dalam
kondisi mikroaerofilik (5%-10% oksigen, 1%-10% karbon dioksida, 85% nitrogen). Semua
spesies Campylobacter adalah oksidase dan katalase-positif dan tumbuh pada 37°C. C.
Jejuni dan C. coli, tumbuh optimal pada 42°C. C. jejuni sendiri dapat dibedakan menurut
kemampuan untuk menghidrolisis kenaikan hippurate. Campylobacters tumbuh lambat,
dan inkubasi kultur feses dilakukan selama minimal 48 jam. Organisme ini juga umumnya
rapuh dan dapat dihancurkan oleh panas, pengeringan, keasaman, dan disinfektan.
Pengobatan
       Kebanyakan     kasus   campylobakteriosis    adalah   self   limiting   pada   pasien
imunokompeten tanpa tanda-tanda infeksi sistemik, hanya membutuhkan perawatan
suportif dengan hidrasi yang memadai. Sebuah meta analisis menunjukkan bahwa
pengobatan antibiotik menguntungkan bila mulai dari awal, mengurangi durasi diare serta
memperpendek durasi mikrobiologis. Bagaimanapun juga, tidak ada tanda klinis yang
mendukung penggunaan antibiotik, seperti yang tercantum saat ini pada pedoman untuk
pengelolaan menular diare. Dua uji coba terkontrol secara acak telah menunjukkan manfaat
dari antibiotik dalam pemberantasan pengangkutan tinja tetapi tidak menunjukkan
perubahan dalam durasi penyakit. Karena tidak ada standar perawatan yang jelas untuk
pengobatan individu imunokompeten, penilaian klinis harus digunakan untuk memutuskan
apakah untuk mengobati dengan antibiotik atau tidak. Kebijaksanaan penggunaan antibiotik
akan menguntungkan pasien apabila darah terlihat dalam tinja, demam, dan / atau
memburuknya gejala, seperti peradangan diare lainnya. Ibu hamil dan individu dengan
kondisi medis imunosupresif, termasuk HIV / AIDS, juga harus menerima antibiotik. C.
jejuni telah sensitif terhadap macrolides, tetrasiklin, fluoroquinolones, aminoglikosida,
imipenem, dan kloramfenikol tetapi tahan terhadap trimethoprim. Eritromisin pilihan
utama terapi. Dengan diperkenalkannya fluoroquinolones, ciprofloxacin menjadi andalan
empirik pengobatan untuk diare akut dan diare travellers.
                                                                                         18
Di Amerika Serikat, resistensi siprofloksasin naik dari 0% pada tahun 1989 menjadi
19% pada tahun 2001 dan telah mencapai 90% di Thailand. Saat ini, antibiotik macrolide
adalah pengobatan pilihan untuk pasien rawat jalan dengan infeksi Campylobacter yang
didapat di Amerika Serikat yang membutuhkan terapi: eritromisin (500 mg dua kali sehari
selama 5 hari) atau azithromycin (500 mg oral setiap hari selama 3 hari). Azitromisin harus
digunakan untuk diare travellers akibat infeksi Campylobacter dan empiris di mana
resistensi kuinolon harus diantisipasi. Pada personel militer AS di Thailand, azitromisin
terbukti seefektif ciprofloxacin dalam memperpendek penyakit bergejala dan tingkat
kesembuhan mikrobilogis. Penyakit sistemik dapat diobati dengan berbagai antibiotik
intravena, termasuk sefotaksim, imipenem, ampisilin, dan parenteral aminoglikosida, tetapi
sensitivitas antimikroba harus selalu diperiksa.
Pencegahan
Pencegahan infeksi Campylobacter melibatkan perhatian untuk menangani unggas mentah
dan konsumsi unggas matang serta air dan makanan terkontaminasi. Antara 50% dan 70%
dari infeksi sporadis yang disebabkan oleh unggas; pembersihan menyeluruh dari papan
pemotong, memasak yang tepat (170°F-180°F) dan mencuci tangan setelah penanganan
ayam harus dilaksanakan di rumah. Wisatawan internasional, individu imunokompromise,
dan wanita hamil harus mengikuti tindakan pencegahan umum untuk melindungi terhadap
diare,
termasuk konsumsi air minum yang bersih, menghindari susu yang tidak dipasteurisasi dan
daging matang, dan perhatian yang lebih untuk kebersihan tangan.



CAUSA AEROMONAS SP15
Diare yang di sebabkan        oleh bakteri saat berpergian atau travelling, bakteri yang
menginfeksi memiliki empat biotipe dari bakteri aeromanas sp yaitu biotipe A. veronii
biotype sobria A. caviae A. jandaei A. hydrophila.
Etiologi dan Epidemiologi
Diare ini di sebabkan oleh aeromonas sp, dengan biotipe A. veronii biotype sobria A.
caviae A. jandaei A. hydrophila. Penyakit ini biasanya di sebabkan karena berpergian

                                                                                        19
biasnya akibat makan sembarangan. Biasanya akibat mengkonsumsi sayuran yang di cuci
atau yang di masak tidak matang. Penyebaran dan kondisi geografis dari penyebaran
penyakit yang di sebabkan oleh biotipe aromonas sp.




Menifestasi Klinis




Terapi




                                                                                20
Dari hasil studi yang dilakukan terpai medikamentosanya yaitu amoxicillin plus clavulanic
Acid. Kemudian untuk diare yang persisten dapat di berikan antibiotic seperti norfloxacin,
ciprofloxacin, trimethoprim-sulfamethoxazole.


YERSINIA ENTEROCOLITICA DAN YERSINIA PSEUDOTUBERCULOSIS

Epidemiologi

Foodborne disease atau penyakit yang ditularkan melalui makanan merupakan masalah
kesehatan yang luas ditemukan di negara maju dan berkembang. Salah satunya yaitu
yersiniosis karena infeksi dengan bakteri Yersinia enterocolitica yang sering dilaporkan
zoonotic gastrointestinal disease setelah campylobakteriosis dan salmonellosis di banyak
negara maju, terutama di negara-negara subtropis. Di Negara maju, insiden yersiniosis dan
wabah penyakit yang ditularkan melalui makanan yang tampaknya lebih rendah di Amerika
Serikat daripada banyak negara Eropa. Di negara Eropa jumlah kasus yang dilaporkan di
Inggris dan Wales lebih rendah dibandingan dinegara-negara eropa lain di mana kurang
dari 0,1 kasus per 100.000 orang yersiniosis dilaporkan di Inggris pada tahun 2005, berbeda
dengan 12.2 di Finlandia dan 6,8 di Jerman. Di sisi lain, tingginya prevalensi penyakit
pencernaan, termasuk kasus fatal akibat yersiniosis juga diamati di banyak negara
berkembang seperti Bangladesh, Irak, Iran, dan Nigeria, yang menunjukkan masalah utama
keamanan pangan di negara-negara yang pemsukannya rendah. Di seluruh dunia, infeksi Y.
enterocolitica terjadi paling sering pada bayi dan anak-anak dengan gejala umum seperti
demam, sakit perut, dan diare, yang sering berdarah. Anak-anak dan dewasa muda tidak
keluar dari resiko. Gejala dominan dalam kelompok-kelompok usia adalah nyeri perut pada
sisi kanan dan demam, kadang-kadang disalah artikan dengan appendisitis. Adapun
komplikasi Y. enterocolitica seperti ruam kulit, nyeri sendi, atau penyebaran bakteri ke
aliran darah juga dapat terjadi.16

Etiologi

Yersiniosis    biasanya     merupakan    self-limiting   disease,   merupakan     penyakit
gastrointesintestinal yang menjadi perhatian global. Agen penyebab yang dikenal yaitu
                                                                                        21
Yersinia enterocolitica dan Yersinia pseudotuberculosis (sangat jarang).17 Y. enterocolitica
merupakan anggota dari genus Yersinia yang meliputi kumpulan heterogen bakteri
fakultatif anaerob yang termasuk dalam keluarga Enterobacteriaceae. Dari 11 spesies dalam
genus ini, hanya tiga, Y. pestis, Y. pseudotuberculosis, dan Y. enterocolitica dianggap
sebagai patogen bagi manusia sedangkan Y. ruckeri adalah patogen ikan, dan Y.
enterocolitica-seperti organisme Y. krirtensenii, Y intermedia,. Y. mollaretii, Y. dan Y.
frederiksenii bercovieri belum teridentifikasi peran dalam penyakit manusia.18 Yersinia
enterocolitica dan Yersinia pseudotuberculosis adalah bakteri gram negative yang tidak
memfermentasikan laktosa serta bersifat urease-positif dan oksidase-negatif. Bakteri ini
tumbuh paling baik pada suhu 25° C dan tidak dapat bergerak pada suhu 37° C. Baktei ini
dapat ditemukan pada saluran intestinal berbagai jenis binatang, yang dapat menyebabkan
penyakit, dan dpat ditularkan ke manusia yang dapat menyebabkan berbagai macam
sindrom klinis. Yersinia enterocolitica telah diisolasi dari binatang penggerat dan binatang
domestic (misalnya domba, sapi, babi, anjing, dan kucing) serta dari air yang
terkontaminasi. Transmisi ke manusia mungkin terjadi melalui kontaminasi makanan,
minuman atau benda-benda yang terkontaminasi dan dapat berperan dalam transimisi
organism terebut. Yersinia pseudotuberculosis terdapat pada hewan piaraan dan sawah
serta burung. Infeksi pada manusia mungkin disebabkan oleh konsumsi bahan yang
terkontaminasi dengan feses binatang.19

Pathogenesis

Patogenesis Y. enterocolitica ini tidak sepenuhnya dipahami. Kebanyakan isolasi Y.
enterocolitica dari bahan makanan atau klinis memiliki salah satu dari dua sifat patogen.
Pertama adalah kemampuan untuk menembus dinding usus, yang diduga dikendalikan oleh
virulensi plasmid 70-kb (pyv / PCD) gen, yang tidak ada dalam strain avirulen, kedua
adalah produksi heat-stable enterotoxin yang dikendalikan oleh gen kromosom (Ysta, ystB,
dan ystC).18 Yersinia biasanya tertelan secara tidak langsung dengan makanan. Meskipun
jauh lebih jarang, Infeksi juga dapat terjadi dengan cara kontak langsung dengan hewan
yang sakit. Bakteri memasuki saluran usus yang lebih rendah, menembus mukosa dan
diangkut dengan makrofag ke getah bening mesenterika. Peristiwa utama dari pathogenesis
                                                                                         22
yersinia adalah melakukan kolonisasi pada saluran usus khususnya usus kecil bagian distal
(terminal ileum) dan usus proksimal. Dengan demikian sebagain besar efek patologis dan
manifestasi klinis terjadi pada lokasi ini.19


                                                                     Gambar 1. Pathogenesis
                                                                     yersinia19




Keterangan:19

    1. Sel yersinia melintasi epitel usus melalui sel epitel pada submucosa.
    2. Pada submukosa makrofag memfagositosis patogen dan masuk ke dalam sistem
        limfatik
        sehingga mencapai MLN (mesenterika kelenjar getah bening) yang memicu respon
        peradangan dan menyebabkan sakit perut.
    3. Atau, bakteri dapat ditelan oleh sel M.
    4. Setelah di     Peyer‟s patches (PP). Yersinia membentuk mikrokoloni dan mulai
        replikasi.
    5. Akhirnya, Sel-sel bakteri yang terletak di MLN dan bersama-sama dapat terbentuk
        mikrokoloni untuk memungkinkan replikasi.

Manifestasi Klinis:

                                                                                        23
Gejala awalnya meliputi demam, nyeri abdomen, dan diare. Diare bervariasi dari cair
sampai berdarah dan dapat terjadi akibat enterotoksin atau invasi mukosa. Kadang-kadang
nyeri abdomen yang terjadai dapat parah dan berada di kuadran kanan bawah,
menimbulkan kecurigaan apendisitis. Satu sampai dua minggu awitan penyakit, beberapa
pasien mengalami atralgia, arthritis, dan eritema nodosum, yang diduga terjadi akibat rekasi
imunologik terhadap infeksinya. Infeksi yersinia sangat jarang menyebabkan pneumonia,
meningitis, atau sepsis, pada kebanyakan kasus, penyakit ini dapat sembuh dengan
sendirinya.16,17

Diagnosis

Gold standart dalam mendiagnosis pasti yersinia adalah dengan kultur dengan
menggunakan media agar MacConkey. Reaksi aglutinasi, ELISA atau uji imunoblot dapat
digunakan untuk mendeteksi antibodi.19-20

Penatalaksanaan

Sebagian besar daire yang disebabkan infeksi yersinia dapat sembuh dengan sendirinya,
dan manfaat terapi antimikroba masih belum diketahui . Y enterocolitica secara umum
sensitive    terhadap    aminoglikosida,     kloramfenikol,     tetrasiklin,   tripmetropin-
sulfametoksazol, piperasilin, sefalosporin generasi ketiga, dan flurokuinolon; bakteri ini
secara khas resisten terhadap ampisilin dan sefalosporin generasi pertama. Sepsis atau
meningitis yersinia yang sudah terbukti memliki laju mortalitas yang tinggi, tetapi kematian
terutama terjadi pada pasien imunokompromais. Sepsis yersinia dapat diobati dengan
sukses menggunakan sefalosporin generasi ketiga (mungkin dalam kombinasi dengan
aminoglokosida) atau florokuinolon (mungkin dalam kombinasi dengan antibiotika lain).
Pada kasus-kasus yang gejalan klinisnya mengarah jelas pada apendisitis atau adenitis
mesenteric, eksplorasi pembedahan harus dilakukan kecuali pada beberapa kasus yang
muncul secara simultan mengindikasikan danya kemungkinan infeksi yersinia.19




                                                                                         24
STAPHYLOCOCCUS AUREUS

Staphylococcus aureus merupakan penyebab penting infeksi yang didapat dari komunitas
dan yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan. Beberapa studi menunjukkan kolonisasi
pada saluran pencernaan pasien yang dirawat di rumah sakit memiliki banyak implikasi
terhadap kolonisasi tersebut.21

         Mekanisme kolonisasi dari S.aureus, dapat menginduksi peningkatan risiko infeksi
staphylococcal masih belum diketahui. Squire et al menyatakan bahwa kolonisasi
interstinal oleh S.aureus dapat berasosiasi dengan peningkatan frekuensi dari kontaminasi
atau kolonisasi pada bagian kulit, oleh karenanya meningkatkan risiko kontaminasi dari
peralatan, luka, atau membran mukus. Selain itu, untuk memfasilitasi infeksi, besarnya
jumlah S.aureus dari feses ke kulit dan permukaan lingkungan secara potensial
berkontribusi terhadap transmisi nosocomial.21

         Faktor risiko multipel untuk AAD (antibiotic associated diarrhea) telah
dideskripsikan termasuk meningkatnya umur, perpanjangan waktu di rumah sakit, dan
pemberian spektrum luas sefalosporin, spektrum luas penisilin, dan klindamisin. Risiko
yang berkaitan dnegan prosedur pemberian makan melalui tabung, enemas, endoskopi.
S.aureus menghasilkan enterotoksin A, C, D, dan toksik sindrom shock.22

         Meticilin resistant S.aureus (MRSA) telah menjadi infeksi yang signifikan
terhadap infeksi nosokomial. Kemudian strain baru community acquired MRSA (CA-
MRSA), telah menjadi infeksi yang terjadi di luar rumah sakit. CA-MRSA dan hospital
acquired MRSA (HA-MRSA) dibedakan berdasarkan pada tempat pelayanan kesehatan.
Untuk strain     CA-MRSA membawa              gen   Panton-Valentine leukocidin (PVL),
staphylococcal chromosomal cassette mec (SCCmec) tipe IV. Bakteri ini bisa terjadi pada
daging yang kurang dimasak.23

         Saat ini, pada studi prospektif 2 tahun di rumah sakit di Perancis diidentifikasi 60
kasus AAD Staphylococcus aureus. Studi yang dilakukan Asha (2006) mendapati 735
patogen AAD pada 4.659 sampel feses, didapati 0,2% sekitar 10 sampel yang terinfeksi

                                                                                          25
S.aureus.22 Keberadaan S.aureus terutama strain enterotoksigenik berkaitan dengan
perkembangan AAD, kontaminasi lingkungan, rekolonisasi pada pasien dan perkembangan
sindrom syok toksik. Resistensi luas pada penggunaan antibiotik menyebabkan penyebaran
luas dari patogen ini, dimana flora normal pada usus tereliminasi karena antibiotic.24 Dalam
penegakan diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan feses. Pengobatan dengan
mupirocin (bactoban) tampaknya efektif dalam mengeliminasi MRSA dari hidung karier
sehat, tetapi dekolonisasi (menterapi pasien untuk menghilangkan bakteri) tidak
direkomendasikan.25




LISTERIA MONOCYTOGENES26

Listeria monocytogenes merupakan patogen yang berbahaya pada orang hamil, neonatus,
orang tua, dan individu dengan keadaan immunocompromised. Selain itu, pasien kanker
juga berisiko tinggi terkena infeksi listeria.

       Manusia tertular kuman Leisteria monositogene, dari makanan yang tercemar.
Makanan tercemar kuman, karena di lingkungan banyak hewan yang mengandung kuman
di dalam saluran cernanya, meskipun hewan yang mengandung kuman tidak menunjukkan
gejala. Kuman Listeria terdapat di seluruh dunia dan hidup di dalam usus hewan seperti
burung, binatang berkulit keras (crustacea) dan hewan arachnoidea (laba-laba).

       Kuman Listeriasecara alami terdapat pada tanah dan air serta sayur dan rerumputan.
Listeria telah ditemukan di berbagai jenis makanan mentah (bahkan seafood), tetapi
terutama dalam daging, sayuran, dan keju. Ia bahkan telah ditemukan dalam makanan
olahan karena kontaminasi selama atau setelah pengolahan. Setelah makanan yang
terkontaminasi atau cairan telah tertelan, mungkin diperlukan waktu hingga tiga minggu
untuk organisme menyebabkan gejala.

       Janin dapat terinfeksi setelah ibu terpapar organisme, bakteri ternyata mencapai
janin melalui aliran darah. Bayi baru lahir dapat memperoleh bakteri selama prosedur
bedah caesar atau terkena mereka saat melintasi vagina.
                                                                                         26
Epidemiologi

Wanita usia subur yang umumnya terkena. Frekuensi infeksi L monocytogenes di Amerika
Serikat adalah 9,7 kasus per juta penduduk. Setiap tahun, 2500 kasus dilaporkan, dengan
tingkat insiden yang lebih tinggi selama musim panas. 27% dari semua kasus adalah wanita
hamil, dan sebagian besar terjadi selama trimester ketiga. Tujuh puluh persen dari semua
infeksi nonperinatal terjadi pada pasien immunocompromised. Terapi kortikosteroid
merupakan faktor predisposisi yang paling penting pada pasien yang tidak hamil. Faktor
risiko lain termasuk usia lanjut dan pasien kemoterapi.

Manifestasi klinis

Seseorang dengan listeriosis biasanya mengalami demam dan nyeri otot, sering didahului
dengan diare atau gejala gastrointestinal lainnya. Hampir semua orang yang didiagnosis
dengan listeriosis mengalami infeksi invasif (yang berarti bahwa bakteri menyebar dari
usus ke aliran darah mereka atau situs tubuh lainnya).            Beberapa orang dapat
mengembangkan lebih gejala berat seperti meningitis, perubahan mental, abses otak, atau
bahkan kematian.

Gejala bervariasi dengan orang yang terinfeksi:

       Orang berisiko tinggi selain wanita hamil: Gejalanya bisa berupa nyeri otot demam,,
       sakit kepala, leher kaku, kebingungan, kehilangan keseimbangan, dan kejang-
       kejang.

       Wanita hamil: Wanita hamil biasanya hanya mengalami gejala ringan berupa flu
       like sindrom. Namun, infeksi selama kehamilan dapat menyebabkan keguguran,
       infeksi, persalinan prematur lahir mati, atau mengancam nyawa bayi yang baru
       lahir.

       Orang yang sebelumnya sehat: Orang-orang yang sebelumnya sehat tapi terkena
       Listeria dapat mengembangkan penyakit non-invasif (yang berarti bahwa bakteri



                                                                                       27
belum menyebar ke dalam aliran darah mereka atau situs tubuh lainnya). Gejalanya
       bisa berupa diare dan demam.

Pathogenesis

L. monocytogenes adalah bakteri motil, basil gram positif yang memiliki karakteristik
aerobik dan fakultatif anaerob. Bakteri ini tumbuh terbaik pada pH netral sampai sedikit
basa dan mampu tumbuh pada berbagai temperatur, 1-45 ° C. L.monocitogenes adalah
bakteri beta-hemolitik dan memiliki warna biru-hijau pada darah agar bebas.

       Sebagian besar infeksi terjadi setelah konsumsi makanan yang tercemar bakteri L.
monocytogenes, kemudian masuk           ke sirkulasi sistemik setelah penetrasi di usus.
Perlindungan terhadap Listeria dimediasi melalui aktivasi sel T limfokin pada makrofag
dan dengan interleukin-18. Infeksi        SSP dapat bermanifestasi sebagai meningitis,
meningoencephalitis, atau abses. Infeksi lokal dapat bermanifestasi sebagai septic arthritis,
osteomyelitis, dan, pneumonia.

Diagnosis

Diagnosis awal biasanya didasarkan pada riwayat pasien dan pemeriksaan fisik, terutama
setelah pasien memberikan riwayat kemungkinan paparan sumber makanan yang
terkontaminasi Listeria. Tanpa informasi ini, diagnosis sulit untuk memilah-milah dari
banyak penyakit lainnya, situasi ini dapat berakibat pada penundaan pengobatan sebagai
dokter mungkin melakukan tes lain untuk menyingkirkan penyakit lain seperti
salmonellosis, shigellosis, botulisme dan infeksi E. coli. Diagnosis definitif listeriosis
adalah dengan kultur bakteri Listeria monocytogenes dari darah pasien, cairan
serebrospinal, atau cairan ketuban, biasanya pada media yang selektif untuk Listeria
(misalnya, RAPID'L mono agar). Saat ini, tidak ada tes yang dapat diandalkan yang
tersedia untuk mendeteksi bakteri pada tinja, juga, tidak ada tes serologis yang tersedia (tes
yang dapat mengidentifikasi protein spesifik yang berhubungan dengan bakteri atau
antibodi terhadap bakteri).



                                                                                           28
Tatalaksana

Sebagian besar orang dengan infeksi Listeria sembuh spontan dalam waktu sekitar tujuh
hari. Namun, pasien pada peningkatan risiko, terutama wanita hamil, biasanya
membutuhkan pengobatan segera antibiotik IV untuk mencegah, menghentikan, atau
memperlambat perkembangan penyakit yang lebih parah. Sebagai contoh, perawatan
antibiotik dini yang efektif dari perempuan hamil mungkin menyelamatkan nyawa bagi
janin.

         Secara umum, lama pengobatan antibiotik meningkat dengan tingkat keparahan
infeksi. Meningitis diobati selama tiga minggu sementara abses otak dirawat selama enam
minggu. Pilihan awal antibiotik biasanya IV ampisilin. Bactrim (trimetoprim-
sulfametoksazol) juga telah berhasil digunakan. Namun, pengobatan setiap pasien harus
individual untuk hasil yang optimal, banyak dokter merekomendasikan konsultan menular-
penyakit akan terlibat, dan jika pasien hamil, dokter kandungan dan spesialis anak harus
membantu mengelola rencana pengobatan.




                                                                                     29
DAFTAR PUSTAKA


1. Haris JB, et al. Cholera. Division of Infectious Diseases, Massachusetts General
   Hospital, Boston, MA, USA. Lancet vol 379 (2012); 30 (6); 2466-2473.
2. Olaniran AO, et al. Toxigenic Escherichia coli and Vibrio cholerae: Classification,
   Pathogenesis and Virulence Determinants. Discipline of Microbiology, School of
   Biochemistry, Genetics and Microbiology, Faculty of Science and Agriculture,
   University of KwaZulu-Natal (Westville Campus), Durban, Republic of South Africa.
   Biotechnology and Molecular Biology Review Vol. 6 (2011); (4); 94-100.
3. Nelson EJ, et al. Antibiotics for Both Moderate and Severe Cholera. Lucile Packard
   Children‟s Hospital, Standford University, Palo Alto, CA. The New England Journal
   Medicine 364 (2011); 6 (1); 5-6.
4. Bueris V, et al. „Detection of Diarrheagenic Escherichia coli from hildren with and
   without diarrhea in Salvador, Bahia, Brazil‟, Mem Inst Oswaldo Cruz, Rio de Janeiro,
   Vol. 102 (2007); hh. 839-844
5. Nunes, et al. „Enterotoxigenic Escherichia coli in children with acute diarrhoea and
   controls in Teresina ⁄ PI, Brazil: distribution of enterotoxin and colonization factor
   genes‟, Journal of Applied Microbiology, vol. 111 (2011); hh. 224-232.
6. Behiry, et al. „Enteropathogenic Escherichia coli Associated with Diarrhea in Children
   in Cairo, Egypt‟, the scientific world JOURNAL, vol. 11 (2011); hh. 2613–2619.
7. Hernandes TR, et al. „An overviewofatypical enteropathogenicEscherichia coli‟,
   European Microbiological Societies Published by Blackwell Publishing, vol. 297
   (2009); hh.137-149.
8. Collins, et al. „Review of the Pathophysiology and Treatment of Shiga Toxin Producing
   E. Coli Infection‟ , Practical Gastroentrology, 2010; hh. 41-50
9. Bodhidatta, et al. Case-Control Study of Diarrheal Disease Etiology in Remte Rural
   Area in Western Thailand. Thailand: The American Society of Tropical Medicine and
   Hygiene. 2010: 83(5):1106-08.
10. Jantch, et al. Immunological Reviews: Cellular aspects of imunity to intracellular
   Salmonella enteric. Germany: John Wiley & Sons A/S. 2011: 240:185.
                                                                                      30
11. Izzo, et al. Prevalence of Major enteric pathogens in Australian dairy calves with
   diarrhea: Australia: Australian Veternity Journal. 2011: 89(5):167-68.
12. Izzo, et al. Antimicrobial susceptibility of Salmonella isolates recovered from calves
   with diarrhea in Australia: Australia: Australian Veternity Journal. 2011: 89(10):402-
   04.
13. World Gastroenterology Organization. Acute diarrhea. United Kingdom: WGO. 2008,
   Pp: 6-9.
14. Olayinka A, et al. Campylobacter jejuni Infections: Update on Presentation, Diagnosis,
   and Management. 2008. Hospital Physician: Burlington. [Accesed 28 October 2012].

15. Vila J. Aeromonas spp. and Traveler‟s Diarrhea: Clinical Features and Antimicrobial
   Resistance., Vol. 9. [Accesed 27 Oktober 2012].
16. Rahman A, et al. Yersinia enterocolitica : Epidemiological Studies and Outbreaks.
   Journal of Pathogens. 2011.
17. Galindo CL, et al. Pathogenesis of Y. enterocolitica and Y. pseudotuberculosis in
   Human Yersiniosis. Journal of Pathogens. 2011.
18. Sabina Y, et al. Yersinia enterocolitica :Mode of Transmission,Molecular Insights of
   Virulence, and Pathogenesis of Infection. Journal of Pathogens. 2011.
19. Fàbrega A, et al.. Yersinia enterocolitica: Pathogenesis, virulence and antimicrobial
   resistance. Department of Microbiology University of Barcelona : Elsevier Espa˜na.
   2011.
20. Lamps LW. Infective disorders of the gastrointestinal tract. Department of Pathology,
   University of Arkansas for Medical Sciences, Little Rock, AR, USA. 2007.
21. Bhalla A, et al. Staphylococcus aureus intestinal colonization is associated with
   increased frequency of S. aureus on skin of hospitalized patients. BMC Infectious
   Diseases 2007, 7:105.
22. Asha NJ, et al. Comparative Analysis of Prevalence, Risk Factors, and Molecular
   Epidemiology of Antibiotic-Associated Diarrhea Due to Clostridium difficile,
   Clostridium perfringens, and Staphylococcus aureus. Department of Microbiology,



                                                                                       31
Leeds Teaching Hospitals & University of Leeds. Journal Of Clinical Microbiology,
   Aug. 2006, p. 2785–91.
23. Ogata K, et al. Commercially Distributed Meat as a Potential Vehicle for Community-
   Acquired Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus. Appl. Environ. Microbiol, 2012,
   78(8):2797.
24. Lis E, et al. Enterotoxin gene content inStaphylococcus aureus fromthe human
   intestinal tract. FEMS Microbiol Lett 296 (2009) 72–77.
25. Shiel,     W.      2012.      Staphylococcus       Infection.   Available   at     .
   http://www.medicinenet.com/staph_infection/page3.htm#what_is_the_treatment_for_st
   aph_infections. [accessed 29 October 2012]
26. Terence Zach. Listeria Infection. 2012. Available at :
   http://emedicine.medscape.com/article/965841-overview. [Accesed 27 Oktober 2012].




                                                                                     32

More Related Content

What's hot

Patofisiologi diare pada anak
Patofisiologi diare pada anakPatofisiologi diare pada anak
Patofisiologi diare pada anak
Fransiska Oktafiani
 
Case Report diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang ppt
Case Report diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang pptCase Report diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang ppt
Case Report diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang ppt
Syscha Lumempouw
 
Askep diare
Askep diareAskep diare
Askep diare
rialdi aldi
 
KOLERA
KOLERAKOLERA
Lp diare putu
Lp diare putuLp diare putu
Lp diare putu
Putu Acok
 
Makalah diare 1
Makalah diare 1Makalah diare 1
Makalah diare 1ranirunnie
 
Diare pada bayi
Diare pada bayiDiare pada bayi
Diare pada bayi
prikitw
 
Penyakit Taun - Cholera
Penyakit Taun - CholeraPenyakit Taun - Cholera
Penyakit Taun - Cholera
Muhammad Nasrullah
 
Diare akut
Diare akutDiare akut
Diare akut
fikri asyura
 
Askep hepatitis akper
Askep hepatitis akperAskep hepatitis akper
Askep hepatitis akper
AKPER PEMDA INDRAMAYU
 
BAB II Case Report diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang
BAB II Case Report diare Akut Dehidrasi Ringan SedangBAB II Case Report diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang
BAB II Case Report diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang
Syscha Lumempouw
 
Penyakit Pencernaan Biology Kelas XI
Penyakit Pencernaan Biology Kelas XIPenyakit Pencernaan Biology Kelas XI
Penyakit Pencernaan Biology Kelas XI
tyvaniaRsashi
 
Asuhan kebidanan pada bayi dengan dehidrasi sedang AKBID PARAMATA RAHA
Asuhan kebidanan pada bayi dengan dehidrasi sedang AKBID PARAMATA RAHA Asuhan kebidanan pada bayi dengan dehidrasi sedang AKBID PARAMATA RAHA
Asuhan kebidanan pada bayi dengan dehidrasi sedang AKBID PARAMATA RAHA Operator Warnet Vast Raha
 
Diare infeksi strategi pendekatan
Diare infeksi strategi pendekatanDiare infeksi strategi pendekatan
Diare infeksi strategi pendekatan
Budi Riyanto
 

What's hot (17)

Askep gea
Askep geaAskep gea
Askep gea
 
Patofisiologi diare pada anak
Patofisiologi diare pada anakPatofisiologi diare pada anak
Patofisiologi diare pada anak
 
Case Report diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang ppt
Case Report diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang pptCase Report diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang ppt
Case Report diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang ppt
 
Askep diare
Askep diareAskep diare
Askep diare
 
Hepatitis AKPER PEMKAB MUNA
Hepatitis AKPER PEMKAB MUNA Hepatitis AKPER PEMKAB MUNA
Hepatitis AKPER PEMKAB MUNA
 
KOLERA
KOLERAKOLERA
KOLERA
 
Lp diare putu
Lp diare putuLp diare putu
Lp diare putu
 
Makalah diare 1
Makalah diare 1Makalah diare 1
Makalah diare 1
 
Diare pada bayi
Diare pada bayiDiare pada bayi
Diare pada bayi
 
Penyakit Taun - Cholera
Penyakit Taun - CholeraPenyakit Taun - Cholera
Penyakit Taun - Cholera
 
Diare akut
Diare akutDiare akut
Diare akut
 
Askep hepatitis akper
Askep hepatitis akperAskep hepatitis akper
Askep hepatitis akper
 
Askep hepatitis
Askep hepatitisAskep hepatitis
Askep hepatitis
 
BAB II Case Report diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang
BAB II Case Report diare Akut Dehidrasi Ringan SedangBAB II Case Report diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang
BAB II Case Report diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang
 
Penyakit Pencernaan Biology Kelas XI
Penyakit Pencernaan Biology Kelas XIPenyakit Pencernaan Biology Kelas XI
Penyakit Pencernaan Biology Kelas XI
 
Asuhan kebidanan pada bayi dengan dehidrasi sedang AKBID PARAMATA RAHA
Asuhan kebidanan pada bayi dengan dehidrasi sedang AKBID PARAMATA RAHA Asuhan kebidanan pada bayi dengan dehidrasi sedang AKBID PARAMATA RAHA
Asuhan kebidanan pada bayi dengan dehidrasi sedang AKBID PARAMATA RAHA
 
Diare infeksi strategi pendekatan
Diare infeksi strategi pendekatanDiare infeksi strategi pendekatan
Diare infeksi strategi pendekatan
 

Similar to Diare et causa bakteri

Makalah diare pada neonatus dan bayi
Makalah diare pada neonatus dan bayi Makalah diare pada neonatus dan bayi
Makalah diare pada neonatus dan bayi
Nova Ci Necis
 
DIARE_KRONIK.pptx
DIARE_KRONIK.pptxDIARE_KRONIK.pptx
DIARE_KRONIK.pptx
KevinTandarto1
 
197431179 case-diare-rotasi-2
197431179 case-diare-rotasi-2197431179 case-diare-rotasi-2
197431179 case-diare-rotasi-2
homeworkping3
 
Askep-diare-anak-phatways
Askep-diare-anak-phatwaysAskep-diare-anak-phatways
Askep-diare-anak-phatways
asepcarsa
 
Bab ii
Bab iiBab ii
Bab ii
Arya Ningrat
 
Isi makalah diare.
Isi makalah diare.Isi makalah diare.
Isi makalah diare.
Raup Sutrianto
 
Diare Pada Anak
Diare Pada AnakDiare Pada Anak
Diare Pada Anak
Rafi Mahandaru
 
Copy of Cholera Disease by Slidesgo (1).pptx
Copy of Cholera Disease by Slidesgo (1).pptxCopy of Cholera Disease by Slidesgo (1).pptx
Copy of Cholera Disease by Slidesgo (1).pptx
OvisaIntanAuliya
 
Askep klien diare
Askep klien diareAskep klien diare
Askep klien diare
Operator Warnet Vast Raha
 
Gastroenteritis
GastroenteritisGastroenteritis
Gastroenteritis
Riskita Asari Anggraeni
 
38120856 diare
38120856 diare38120856 diare
38120856 diare
roropuji
 
Modul pencernaan d3
Modul pencernaan d3Modul pencernaan d3
Modul pencernaan d3
ardiners
 
Asuhan keperawatan diare
Asuhan keperawatan diareAsuhan keperawatan diare
Asuhan keperawatan diare
Yudha09
 
Diare
DiareDiare
Asuhan keperawatan gastroenteritis pada anak
Asuhan keperawatan gastroenteritis pada anakAsuhan keperawatan gastroenteritis pada anak
Asuhan keperawatan gastroenteritis pada anakRahmi Sari
 
Askep diare bu arma print lengkap
Askep diare bu arma print lengkapAskep diare bu arma print lengkap
Askep diare bu arma print lengkap
Operator Warnet Vast Raha
 
Askep diare anak
Askep diare anakAskep diare anak
Askep diare anak
f' yagami
 
Diareeeeeeeeeee
DiareeeeeeeeeeeDiareeeeeeeeeee
Diareeeeeeeeeee
mas_ega
 
INFEKSI ASAL AIR
INFEKSI ASAL AIRINFEKSI ASAL AIR
INFEKSI ASAL AIR
REVINA SRI UTAMI,S.Pd
 

Similar to Diare et causa bakteri (20)

Makalah diare pada neonatus dan bayi
Makalah diare pada neonatus dan bayi Makalah diare pada neonatus dan bayi
Makalah diare pada neonatus dan bayi
 
DIARE_KRONIK.pptx
DIARE_KRONIK.pptxDIARE_KRONIK.pptx
DIARE_KRONIK.pptx
 
197431179 case-diare-rotasi-2
197431179 case-diare-rotasi-2197431179 case-diare-rotasi-2
197431179 case-diare-rotasi-2
 
Askep-diare-anak-phatways
Askep-diare-anak-phatwaysAskep-diare-anak-phatways
Askep-diare-anak-phatways
 
Bab ii
Bab iiBab ii
Bab ii
 
Isi makalah diare.
Isi makalah diare.Isi makalah diare.
Isi makalah diare.
 
Askep klien diare AKPER PEMDA MUNA
Askep klien diare AKPER PEMDA MUNA Askep klien diare AKPER PEMDA MUNA
Askep klien diare AKPER PEMDA MUNA
 
Diare Pada Anak
Diare Pada AnakDiare Pada Anak
Diare Pada Anak
 
Copy of Cholera Disease by Slidesgo (1).pptx
Copy of Cholera Disease by Slidesgo (1).pptxCopy of Cholera Disease by Slidesgo (1).pptx
Copy of Cholera Disease by Slidesgo (1).pptx
 
Askep klien diare
Askep klien diareAskep klien diare
Askep klien diare
 
Gastroenteritis
GastroenteritisGastroenteritis
Gastroenteritis
 
38120856 diare
38120856 diare38120856 diare
38120856 diare
 
Modul pencernaan d3
Modul pencernaan d3Modul pencernaan d3
Modul pencernaan d3
 
Asuhan keperawatan diare
Asuhan keperawatan diareAsuhan keperawatan diare
Asuhan keperawatan diare
 
Diare
DiareDiare
Diare
 
Asuhan keperawatan gastroenteritis pada anak
Asuhan keperawatan gastroenteritis pada anakAsuhan keperawatan gastroenteritis pada anak
Asuhan keperawatan gastroenteritis pada anak
 
Askep diare bu arma print lengkap
Askep diare bu arma print lengkapAskep diare bu arma print lengkap
Askep diare bu arma print lengkap
 
Askep diare anak
Askep diare anakAskep diare anak
Askep diare anak
 
Diareeeeeeeeeee
DiareeeeeeeeeeeDiareeeeeeeeeee
Diareeeeeeeeeee
 
INFEKSI ASAL AIR
INFEKSI ASAL AIRINFEKSI ASAL AIR
INFEKSI ASAL AIR
 

Diare et causa bakteri

  • 1. KOLERA Kolera merupakan diare sekretori akut yang disebabkan oleh bakteri gram negative Vibrio cholerae serogroup O1 atau O139. Penyakit ini menjadi endemic di 50 negara serta pernah menyebabkan wabah yang cukup besar. Diare termasuk kolera merupakan penyebab kedua mortalitas anak usia <5 tahun, serta merupakan salah satu penyebab utama morbiditas. Kolera juga merupakan penyebab terbanyak kasus diare dengan dehidrasi berat pada dewasa.1 Agen Penyebab1 Vibrio cholerae merupakan bakteri gram negatif, famili Vibrionaceae yang sering ditemukan di pesisir pantai dan muara. Organisme ini dapat berkembang baik pada lingkungan yang kaya akan kandungan garam, atau lingkungan dengan kadar garam rendah yang memiliki suhu optimal (hangat) dan mengandung nutrien organik yang cukup. Vibrio cholera telah diklasifikasikan dalam lebih dari 200 serogroup berdasarkan antigen O pada lipopolisakarida. Tetapi hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya serogroup O1 dan O139 yang dapat menyebabkan epidemic kolera. Vibrio cholerae O1 diklasifikasikan dalam 2 biotypes, yakni classical dan El Tor. Sedangkan Vibrio cholera O139 merupakan derivate Vibrio cholera O1 El Tor yang mengalami transfer lateral, tetapi hingga saat ini Vibrio cholera O139 lebih identik dikenal dengan Vibrio cholera O1 El Tor. Vibrio cholera O139 dan beberapa O1 El Tor yang telah diisolasi memiliki elemen SXT bawaan yang dianggap memediasi resistensi pada cotrimoxazole dan streptomycin. Patogenesis dan Patofisiologi Kemampuan Vibrio cholera menyebabkan penyakit bergantung pada banyak faktor yang mempengaruhi proses kolonisasi pada epitel usus halus dan produksi enterotoxin yang berdampak pada perubahan transport ion.2 Masuknya Vibrio cholerae pada saluran pencernaan, terlebih dahulu akan dihadapi oleh asam lambung, hingga pada akhirnya beberapa bakteri yang mampu bertahan akan menguraikan toxin kolera yang merupakan protein exotoxin. Protein ini mengandung satu subunit A (CTA) yang berperan dalam perubahan transport Cl melalui aktifasi adenilat siklase dan lima subunit B (CTB) yang mengikat helotoxin dengan reseptor gangliosida GM1 pada sel eukariot.1,2 1
  • 2. Epidemiologi Kejadian kolera sangat erat kaitannya dengan kemiskinan, sanitasi yang buruk serta rendahnya higienitas. Penyakit ini tersebar hingga Asia Selatan serta beberapa bagian Afrika dan Amerika. Kematian akibat kolera di seluruh dunia yang diungkapkan oleh Cokee di tahun 2010 diperkirakan telah mencapai 120.000 jiwa dengan kejadian terbanyak pada anak-anak. Pandemic kolera yang ketujuh bermula di Indonesia pada tahun 1961, Afrika pada tahun 1970 dan Amerika latin pada tahun 1999.2 DI tahun 2010 kolera kembali menjadi pandemic di Haiti, hal ini diperkirakan terjadi semakin parah akibat kepadatan populasi, sanitasi buruk dan infrastruktur yang tidak memadai, serta kendala logistik yang pada akhirnya sangat mempengaruhi proses keberlangsungan manajemen kasus kolera. Peningkatan epidemic kolera juga diperkirakan berkaitan dengan kejadian banjir, serta bencana alam seperti angin topan dan gempa bumi.1 Cara Penularan1 Secara garis besar penularan kolera dioengaruhi oleh konsentrasi Vibrio cholerae O1 dan O139 pada feses, perbedaan kemampuan infektif antara sel planktonic dan agregat feses, kecepatan penyebaran organism antara manusia satu dengan yang lain, keberadaan bakteriofag lytic di feses dan air, serta konsentrasi viable environtment cell pada air yang memungkinkan terjadinya transmisi dari lingkungan ke manusia. Pasien infeksi kolera yang asimptomatik pada umumnya memiliki kemungkinan penularan hanya dalam waktu beberapa hari, sedangkan kemungkinan penularan dari pasien simptomatik dapat berlangsung lebih lama, dengan kisaran 2 hari-2 minggu. Pada pemeriksaan feses ditemukan gambaran Vibrio cholera dalam bentuk sel panktonic tunggal atau agregat menyerupai biofilm. Puncak epidemic kolera seringkali didahului oleh peningkatan prevalensi strain pathogenic pada suatu lingkungan. Bakteriofag Vibrio cholera O1 dan O139 yang lytic juga sering ditemukan di feses serta air pada lingkungan pasien. Manifestasi Klinis1 Manifestasi klinis kolera bergantung pada keadaan endemic atau epidemic. Pada keadaan endemic, infeksi kolera yang asimptomatik mencapai 40-80% dengan kasus penderita terbanyak pada anak-anak dan tampak sebagai diare sedang yang tidak dapat dibedakan 2
  • 3. dengan diare akibat infeksi enteropatogen lain. Sedangkan pada keadaan epidemic, angka kejadian kolera dengan kondisi berat sebanding antara dewasa dan anak-anak. Penampakan klinis Vibrio cholera O1 dan O139 kurang lebih sama, antara lain: 1. Watery diarrhea yang masif (mencapai 1 L per jam, diare menyerupai air cucian beras, painless, tanpa disertai tenesmus, pada beberapa kasus dapat dijumpai rasa tidak enak pada perut atau keram perut akibat bowel distension) 2. Muntah, biasanya terjadi pada awal penyakit. 3. Jika dijumpai demam, dicurigai akibat infeksi sekunder. 4. Dehidrasi dan abnormalitas elektrolit yang ditandai oleh keadaan lemas, mata cekung, bibir kering, kulit dingin, penurunan turgor kulit, kaki dan tangan keriput. 5. Kussmaul, asidosis akibat kehilangan bikarbonat melalui feses dan lactic asidosis akibat penurunan perfusi. 6. Nadi teraba cepat dan lemah. Bahkan dapat terjadi kesulitan dalam palpasi nadi akibat penurunan tekanan darah. 7. Produksi urin menurun. 8. Keram otot akibat kehilangan elektrolit dan perubahan komposisi ion dalam tubuh (terutama potassium dan calcium). 9. Pada anak-anak dapat terjadi hipoglikemia akibat deplesi cadangan glikogen dan glukogenesis yang inadekuat. Hal ini terlihat dari keadaan anak yang tampak kehilangan kesadaran, bahkan koma. Diagnosis1 1. Pasien usia >5 tahun yang menderita diare akut dengan dehidrasi berat, dengan atau tanpa disertai riwayat wabah kolera pada lingkungan tempat tinggalnya. 2. Pasien usia <2 tahun yang menderita diare akut dengan dehidrasi berat, dengan disertai riwayat wabah kolera pada lingkungan tempat tinggalnya. 3. Jika tersedia fasilitas mikrobiologi dapat dilakukan isolasi mikroorganisme melalui feses pada media selektif, yang kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan biochemical, serogrouping, dan serotyping dengan menggunakan antibody spesifik. 4. Pemeriksaan feses dengan menggunakan mikroskop perbesaran 400x dapat ditemukan adanya vibrio-cell shaped dengan ciri motilitas yang cepat. 3
  • 4. 5. Pemeriksaan immunoassay untuk mendeteksi toxin kolera atau lipopolisakarida Vibrio cholera O1 dan O139. Penatalaksanaan 1. Rehidrasi merupakan penatalaksanaan utama pada pasien kolera. Prosedur rehidrasi disesuaikan dengan keadaan dehidrasi pasien serta riwayat gastroenteritis yang mengalami kehilangan elektrolit jauh lebih banyak dibanding pasien non-cholera gastroenteritis.1 2. Pasien dengan gejala hipogikemia dapat diberikan 0.25-0.50g/Kg glukosa secara intravena hingga terlihat perbaikan klinis dari gejala hipoglikemia dan pasien mampu menerima rehidrasi oral.1 3. Pemberian antibiotik bagi pasien kolera dengan dehidrasi ringan sampai sedang atau dengan dehidrasi berat mampu mempersempit durasi diare dan menurunkan volume feses hingga 50%.1 Keraguan dalam pemberian antibiotik seringkali muncul pada pasien kolera yang disertai muntah hebat dan gejala infeksi. Umumnya muntah akan segera berakhir beberapa jam setelah pasien mendapatkan rehidrasi, dan pemberian antibiotik sebaiknya ditunda hingga pasien mampu mengkonsumsi makanan dan minuman tanpa diikuti muntah.3 4. Pengaturan asupan nutrisi dengan diet energy tinggi mulai dilaksanakan setelah masalah kekurangan cairan dapat teratasi. Pengaturan asupan tersebut dilakukan untuk mencegah terjadinya malnutrisi dan komplikasi seperti hipokalemia dan hipoglikemia. Bagi balita, asupan ASI merupakan pilihan utama dalam pelaksanaan rehidrasi oral. Pada negara berkembang dianjurkan penambahan suplementasi vitamin A.1 5. Suplementasi zinc berguna untuk mengurangi durasi diare dan volume feses anak penderita kolera, serta mengurangi kemungkinan kejadian diare selama beberapa bulan kedepan (2-3 bulan). Pemberian zinc bagi usia <6 bulan sebanyak 10 mg/hari dan 20 mg/hari selama 10 hari untuk usia 6 bulan-5 tahun.1 6. Pemberian obat antimotility dan antiemetics dianggap tidak menguntungkan dan bahkan terancam memperpanjang durasi infeksi atau memberikan efek sedative yang nantinya akan turut mempengaruhi efektifitas terapi rehidrasi oral.1 4
  • 5. Tabel Prosedur Rehidrasi1 Tanpa Dehidrasi Dehidrasi Ringan- Dehidrasi Berat (<5%) Sedang (5-10%) (>10%) Manifestasi Klinis pada Derajat Dehidrasi Penampakan Baik, sadar Gelisah, rewel Lemas atau tak sadar Umum Mata Normal Mata cekung Mata cekung Rasa Haus Minum dengan Haus, minum dengan Lemah dan tidak ingin normal sangat kuat minum Turgor Kulit Kembali dengan Kembali dalam Kembali dalam waktu cepat pasca cubitan waktu lebih lambat sangat lambat pasca pasca cubitan (<2 cubitan (>2 detik) detik) Nadi Normal Cepat, lemah Lemah atau tidak teraba Rehidrasi* Penggantian Sesuai dengan 75 ml/kg selain 100 ml/kg selain cairan jumlah cairan yang penggantian cairan penggantian cairan hilang yang hilang yang hilang Rute rehidrasi Oral** Oral atau intravena intravena Waktu Setiap kali merasa Penggantian cairan Secepat mungkin haus setiap 3-4 jam hingga sirkulasi kembali normal, lengkapi rehidrasi dalam waktu 3 jam Pemantauan Observasi hingga Observasi setiap 1-2 Observasi setiap 1-2 cairan yang hilang jam hingga semua jam dapat benar-benar tanda dehidrasi tergantikan oleh teratasi atau pasien 5
  • 6. pemberian ORS berkemih ORS=Oral Rehidration Solution *pasien dengan gangguan comorbid seperti malnutrisi berat, komplikasi, balita dan lansia perlu menyesuaikan dengan kondisi spesifik pasien **penggunaan oral tidak efektif jika cairan yang hilang lebih dari 10ml/kg per jam Tabel Antibiotik untuk Pasien Kolera1 Dosis Pediatric Dosis Dewasa Keterangan Tetracyclines Tetracycline 12.5 mg/kg per 500 mg, 4 kali sehari Tidak dianjurkan dosis, 4 kali sehari selama 3 hari bagi wanita hamil, selama 3 hari anak-anak usia <8 Doxycycline 4-6 mg/kg, dosis 300 mg, dosis tahun karena tunggal tunggal beresiko menyebabkan perubahan warna gigi secara permanen Fluoroquinolones Ciprofloxacin 15 mg/kg per dosis, 500 mg, 2 kali sehari 4 kali sehari selama selama 3 hari 3 hari Macrolides Erythromycin 12.5 mg/kg per 250 mg, 4 kali sehari Azithromycin dosis dosis, 4 kali sehari selama 3 hari tunggal pada anak- selama 3 hari anak lebih Azithromycin 20 mg/kg, dosis 1 g, dosis tunggal dianjurkan, karena tunggal pada beberapa Negara membuktikan 6
  • 7. azithromycin jauh lebih efektif daripada ciprofloxacin Komplikasi Kolera seringkali dapat menyebabkan dehidrasi berat dan abnormalitas elektrolit dalam waktu beberapa jam. Keadaan hipotensi yang ditemui pada pasien kolera dapat berdampak pada stroke (terutama pada lansia), renal compromise dan muntah yang dikhawatirkan dapat menyebabkan aspiration pneumonia. Tetapi kolera merupakan infeksi akut yang tidak pernah menampakkan gejala kronik. Pencegahan 1. Menjaga kebersihan lingkungan.1 2. Menggunakan air yang aman dan tidak berbahaya.3 3. Membiasakan perilaku hidup bersih dan sehat, seperti rutin mencuci tangan menggunakan sabun.1 4. Pada daerah yang beresiko tinggi diperlukan adanya tambahan edukasi mengenai penggunaan rehidrasi oral secara sederhana dan informasi mengenai ketersediaan layanan kesehatan apabila terjangkit penyakit tersebut.3 5. Vaksinasi.1 Dosis Interval Volume Booster Efikasi Keterangan Pemberian Dosis Dosis Dukoral Usia 2-5 3 14 hari 3 ml vaksin Setiap 6 60-85% Dianjurkan oleh tahun (toleransi dan 75 ml bulan terlindungi WHO, memiliki 7-42) buffer selama 6 bulan, lisensi di banyak kemudian Negara, aman menurun selama digunakan oleh 24-36 bulan penderita HIV, 7
  • 8. Usia > 6 2 14 hari tahun (toleransi 7-42) Shanchol >1 2 14 hari 1-5 ml Setiap 2 60-70% Dianjurkan oleh tahun tahun memberikan WHO, lebih proteksi selama terjangkau, tidak 24-36 bulan memerlukan buffer dalam penggunaannya, ESCHERICHIA COLI Diare menjadi salah satu penyebab yang paling umum dari morbiditas dan kematian pada bayi dan anak-anak, terutama di negara-negara berkembang. Etiologi diare mencakup berbagai virus, bakteri dan parasit. Di antara bakteri patogen, diarrheagenic Escherichia coli (DEC) adalah patogen tersering penyebab diare di seluruh dunia.4 Strain DEC secara dibagi menjadi enteropathogenic E. coli (EPEC), enterotoxigenic E. coli (ETEC), enteroinvasive E. coli (EIEC), Shiga toxin-producing E. coli (STEC), diffusely adherent E. coli, dan enteroaggregative E. Coli.6 Patogenesis Enteropathogenic E. coli (EPEC) terdiri atas antigen oligosakarida (O), flagela (H), dan kapsuler (K). Mereka terkait dengan wabah diare pada anak-anak dalam negara berkembang. Biasanya bersifat self limited dan rehidrasi adalah pengobatan yang paling efektif. Penggunaan antibiotik kurang penting dan telah dikritik atas dasar toksisitas obat dan risiko meningkatnya resistensi.6 Enteropathogenic E. coli (EPEC) dibagi menjadi dua kelompok, yaitu tEPEC dan EPEC atipikal (aEPEC). Properti yang membedakan keduanya adalah adanya faktor plasmid, yang hanya ditemukan di tEPEC. tEPEC dan aEPEC memiliki kesamaan 8
  • 9. kemampuan untuk membentuk lesi A/ E, yang merupakan mekanisme patogenik utama di kedua kelompok.7 Enterotoksigenik Escherichia coli (ETEC) adalah penyebab utama morbiditas terutama pada anak di bawah 5 tahun. Infeksi ETEC berasal dari air yang tercemar atau makanan, dan inokulum yang relatif tinggi diperlukan untuk menghasilkan infeksi (> 108 CFU). infeksi ETEC memiliki manifestasi khas yaitu gejala muncul 3 hari setelah invasi organisme, dapat menimbulkan gejala gastrointestinal mulai dari ringan sampai diare berat, dengan atau tanpa demam dan muntah, biasanya tanpa leukosit feses atau darah. Meskipun dapat sembuh dalam 1-3 hari, penyakit ini dapat menyebabkan kematian, terutama pada anak-anak dan lansia.5 ETEC mengeluarkan dua enterotoksin, heat labile (LT) dan heat stablel (ST). LT adalah racun yang sama AB5 toksin kolera yang akhirnya mengarah pada peningkatan siklik AMP. ST adalah peptida kecil yang mengaktifkan guanylyl adenilat mengarah ke peningkatan produksi siklik GMP. Hasil bersih dari LT dan ST adalah perubahan sinyal beberapa jalur dari enterosit, sehingga sekresi klorida meningkati dan akhirnya terjadi diare berair.5 Patogenesis EIEC sangat mirip dengan Shigella. EIEC menembus dan berkembang biak dalam sel epitel usus menyebabkan kerusakan sel luas. Sindrom klinis identik dengan disentri Shigella dan termasuk diare disentri dengan demam. EIEC ternyata kurang adhesins fimbrial tetapi memiliki suatu adhesin spesifik yang, seperti dalam Shigella, EIEC merupakan organisme invasif. Mereka tidak menghasilkan LT atau toksin ST. Tidak ada reservoir hewan diketahui untuk EIEC. Oleh karena itu sumber utama untuk EIEC tampaknya adalah manusia yang terinfeksi. Setidaknya 106 organisme EIEC diperlukan untuk menyebabkan penyakit pada orang dewasa yang sehat.7 Transmisi utama Shiga toxin-producing E. coli (STEC) adalah makanan, karena terjadi peningkatan konsumsi sayuran segar dan buah-buahan. Virulensinya diketahui mampu menginfeksi walaupun jumlah yang meninvasi manusia sedikit kemudian dapat menyebabkan kolitis hemoragik dan hemolitik uremik sindrom. Asam lambung merupakan mekanisme pertama untuk patogen yang tertelan namun telah dilaporkan bahwa organisme 9
  • 10. ini resisten terhadap asam lambung. Meskipun mekanisme yang mendasari untuk hal ini tidak sepenuhnya dipahami, produksi toksin shiga merupakan penentukan virulensinya.8 Fitur yang membedakan strain enteroaggregative E. Coli (EAEC) adalah kemampuan mereka untuk menempel pada sel kultur jaringan secara agregatif. Strain ini berhubungan dengan diare persisten pada anak-anak. Mereka menyerupai ETEC strain dan menyebabkan diare tidak berdarah tanpa menyebabkan atau menyebabkan peradangan. Ini menunjukkan bahwa organisme menghasilkan enterotoksin. Pentingnya strain EAEC dalam penyakit manusia masih kontroversial. Manifestasi klinis 4,6,7,8 EPEC Biasanya mengenai anak-anak, diare berair dengan darah, peradangan, tidak demam, gejala mungkin terjadi terutama dari invasi daripada toxigenesis ETEC Rapid onset watery diare, tidak ada inflamasi, tidak demam, nyeri abdomen, malaise, mual, dan muntah. Diare dan gejala lainnya berhenti secara spontan setelah 24 sampai 72 jam. EIEC disentri-like diare (lendir, darah), peradangan, demam berat STEC diare pediatrik, perdarahan berlebihan (hemoragik colitis), respon inflamasi yang intens, komplikasi berupa uremia hemolitik EAEC persisten diare pada anak-anak tanpa peradangan atau demam Diagnosis 5,6,7,8 Diagnosis didasarkan atas gambaran klinis dan dikonfirmasi dengan kultur tinja. Serotyping dan tes untuk faktor virulensi kadang-kadang dilakukan jika terjadi outbreaks. Tatalaksana 5,6,7,8 1. Atasi dehidrasi sesuai dengan tingkat dehidrasi 2. Trimethoprim-sulfametoksazol (TMP-SMX) harus diberikan jika diare sedang atau berat dicatat. Antibiotik parenteral generasi kedua atau generasi ketiga cephalosporin diindikasikan untuk komplikasi sistemik. Pengobatan antibiotik 10
  • 11. diindikasikan untuk bayi berusia kurang dari 3 bulan dengan EPEC dan pasien yang tetap bergejala SALMONELLA SPP. Salmonella merupakan agen yang paling sering dalam menyebabkan penyakit gastroenteritis yang merupakan self-limiting hingga penyakit sistemik yaitu demam typhoid. Penyakit yang ditimbulkan berdasarkan pada serotype-nya. Namun yang paling sering terjadi secara global ataupun di Negara berkembang dan pada seseorang dnegan immunodeficiency ialah Salmonella enteric serovar Paratyphi B yang menjadi penyebab primer dari gastroenteritis.9,10 Ada lebih dari sekitar 2000 yang merupakan pathogen bagi mausia, dimana bayi dan orang tua merupakan resiko utama yang paling tersering terkena infeksi salmonella ini. Salmonella sendiri berasal dari hewan seperti tikus yang merupakan reservoir major. Adapun gejala klinisnya antara lain:13 1. Tidak terdapat onset akut seperti mual, muntah. 2. Diare dapat terjadi watery diarrhea, ataupun bloody diarrhea. 3. Demam dapat terjadi pada 70% anak. 4. Demam yang terjadi juga dapat sebagai enteric fever yang diakibatkan oleh Salmonella typhy atau parathypi A, B, C atau biasa dikenal dengan demam fever. Secara umum perbedaan gejala dapat terlihat pada tabel berikut: 11
  • 12. Tabel 1. Clinical features of infection with selected diarrheal pathogens5 Dalam menegakkan diagnosis diare yang disebabkan oleh Salmonella, dapat dilakukan dengan cara “Selective enrichment fecal cultures”, yaitu dengan cara Dacron steril swab digunakan untuk menyuntikkan material feses ke dalam 10 ml mannitol selenite yang kemudian diinkubasikan pada suhu 37 derajat selsius selama semalam. Selanjutnya di masukkan ke dalam xylose lactose deoxycholate agar dan diinkubas kembali pada suhu 37 derajat selsius semalaman. Dugaan koloni salmonella yang terbentuk kemudian di taruh ke dalam agar darah dan diinkubasi kembali pada suhu dan dan durasi yang sama, lalu di tes dengan menggunakan commercial salmonella latex agglutination kit.11 Setelah diagnosis ditegakkan dengan melihat gejala klinis ataupun dengan menunggu hasil kultur baketei, terapi yang digunakan antara lain: 12
  • 13. Tabel 2. Penggunaan Antibiotika pilihan dan kecendrungan resistensi terhadap Salmonella.12 CAMPYLOBACTER JEJUNI14 Campylobacteriosis adalah penyakit diare yang ditularkan melalui makanan dan air yang disebabkan oleh bakteri dari genus Campylobacter, dengan sebagian besar kasus disebabkan oleh C. jejuni. Spesies Campylobacter memiliki distribusi di seluruh dunia, dan merupakan penyebab utama diare akut campylobakteriosis dan enterokolitis seluruh dunia. Di Amerika Serikat, sekitar 1 juta gejala infeksi Campylobacter terjadi setiap tahun. Sebagian besar infeksi Campylobacter diperoleh melalui rute oral setelah pemeliharaan unggas atau mengkonsumsi unggas matang. Epidemiologi Lebih dari 16 spesies Campylobacter telah diidentifikasi, tetapi kebanyakan infeksi klinis terjadi pada orang dewasa yang imunokompeten terhadap C. jejuni. Campylobacters berkoloni di usus besar domba pertanian dan hewan domestik, termasuk ternak khususnya kambing, babi, dan unggas, yang berfungsi sebagai sumber utama infeksi pada manusia. 13
  • 14. Dalam survei mikrobiologis produk daging mentah, ayam broiler muncul menjadi sumber umum dari kontaminasi dengan C.jejuni yang dideteksi pada 31% sampai 83% dari sampel. Kejadian infeksi Campylobacter bervariasi seluruh dunia tetapi tampaknya mulai menurun di negara negara industri karena perbaikan pada pengolahan unggas. Epidemiologi dan manifestasi klinis penyakit akibat C. jejuni berbeda tajam pada negara berkembang. Infeksi terjadi tanpa variabilitas musiman di iklim hangat, dan C. jejuni sering ditemukan dengan kopatogen lainnya. Gejala penyakit ini muncul paling sering pada anak- anak, dan isolasi organisme Campylobacter pada orang tua. Campylobacter juga merupakan penyebab penting dari traveller diare. Dalam sebuah studi dari 322 pengunjung ke Jamaika yang menderita diare, C. jejuni menyumbang 6% dari kasus.Campylobacter menyumbang 9% dari bakteri penyebab diare pada 328 ekspatriat ke Nepal dan 64% dalam pasukan militer AS di Thailand. Spesies Campylobacter telah dilaporkan sebagai penyebab enterik menular seksual Infeksi pada pria homoseksual. Laporan kasus menggambarkan transmisi perinatal ibu ke bayi dan nosokomial tersebar di rumah sakit. Morfologi Campylobacters adalah gram-negatif spiral atau S berbentuk batang yang nonspora dan sangat motil dan berflagella. Semua spesies Campylobacter adalah oksidase dan katalase- 14
  • 15. positif dan tumbuh pada 37°C. C. Jejuni dan C. coli, tumbuh optimal pada 42°C. Campylobacters tumbuh lambat, dan inkubasi kultur feses dilakukan selama minimal 48 jam. Organisme ini juga umumnya rapuh dan dapat dihancurkan oleh panas, pengeringan, keasaman, dan disinfektan. Patogenesis Campylobacters menyebabkan inflamasi enteritis akut nonspesifik yang melibatkan usus besar dan usus kecil; edema dari daerah yang terinfeksi yang terdiri dari neutrofil dan sel mononuklear dilihat secara histologis. Setelah ingesti oral, patogen bergerak melalui lapisan lendir usus melalui flagelnya dan bermultiplikasi di ileum distal dan kolon. Campylobacters menyebabkan diare dengan merusak sel epitel usus baik secara langsung dengan menyerang sel-sel atau tidak langsung dengan memulai respon inflamasi. Dosis infektif C. jejuni bervariasi tergantung pada strain tetapi mungkin serendah 500 organisme dalam susu. Dalam penelitian yang melibatkan 111 sukarelawan dewasa, dosis infektif C. jejuni berkisar 800 sampai 2 × 109 organisme. Tingkat infeksi meningkat sesuai dosis, tetapi tidak ada hubungan yang jelas antara dosis dan perkembangan penyakit, dengan 10% sampai 50% dari sukarelawan menjadi demam dan / atau diare pada dosis tersebut. Manifestasi Klinis 15
  • 16. Banyak orang dengan infeksi Campylobacter adalah asimtomatik. Tingkat infeksi asimtomatik bervariasi menurut umur dan daerah. Dalam penelitian yang dilakukan pada 2 rumah sakit akademik besar di Baltimore dan New Haven, Campylobacter diisolasi dari 0,9% individu yang sehat dari segala usia tanpa gejala diare tetapi tidak ditemukan dalam kontrol subyek dewasa yang sehat dalam penelitian yang dilakukan di Swedia. Pada gejala individual, timbulnya penyakit klinis terjadi 1 sampai 7 hari setelah menelan bakteri. Diare akut adalah yang paling umum, terjadi pada 98% sampai 99% dari pasien disentri. Gejala klasik mungkin terjadi pada tinja berlendir dengan volume sedikit yang mengandung okultisme atau darah kotor. Namun, cairan dengan volume yang banyak tanpa disentri juga dapat terjadi. Pada pasien imunokompeten, gejala menonjol lainnya termasuk perut kram, mual, muntah, demam, sakit kepala, dan mialgia. Demam dan gejala gastrointestinal, termasuk kram perut dan mual, tetapi tanpa diare juga telah dilaporkan. Penyakit dengan diare berat, sakit perut, atau demam tinggi adalah pertimbangan untuk masuk rumah sakit dan replacement. Penyakit gastrointestinal berat, termasuk diare kronis, bakteremia dengan atau tanpa diseminasi ekstraintestinal, dan sindrom pascainfeksi yang jarang terlihat pada pasien yang sehat. Penyakit yang berkepanjangan dan parah lebih sering terjadi pada individu dengan sindrom imunodefisiensi, termasuk HIV / AIDS. Pada 38 pasien dengan HIV dan infeksi Campylobacter, sebagian besar pasien mengalami diare akut, demam, dan nyeri perut, namun 4 pasien (11%) mengalami bakteremia, dan 8 pasien (21%) mengalami diare kronis. 16
  • 17. Komplikasi Pasca Infeksi Komplikasi pascainfeksi yang terkait dengan infeksi Campylobacter termasuk sindrom Guillain-Barré, arthritis reaktif, sindrom pasca infeksi iritasi usus, dan berpotensi Immunoproliferative Small Intestinal Disease (IPSID). Diagnosis Infeksi Campylobacter harus dicurigai pada pasien dengan demam dan diare akut, terutama diare yang disertai dengan tinja berdarah dan berlendir, termasuk wisatawan internasional. Karena presentasi klinis mirip dengan yang terlihat denganbakteri patogen umum lainnya seperti Salmonella, Shigella, Yersinia, Clostridium difficile, dan E. coli, sehingga diduga diagnosis berdasarkan presentasi klinis tidak bisa dibuat. 17
  • 18. Diagnosa dibuat dengan mengisolasi campylobacters dari sampel tinja. Spesimen untuk kultur harus memiliki eksposur oksigen minimal dan akan diproses dalam waktu 24 jam. Campylobacters adalah gram-negatif spiral atau S berbentuk batang yang nonspora dan sangat motil. Pewarnaan Gram tinja diare menunjukkan bakteri melengkung atau berbentuk spiral gram negatif batang. Diagnosis pasti didasarkan pada kultur tinja dalam kondisi mikroaerofilik (5%-10% oksigen, 1%-10% karbon dioksida, 85% nitrogen). Semua spesies Campylobacter adalah oksidase dan katalase-positif dan tumbuh pada 37°C. C. Jejuni dan C. coli, tumbuh optimal pada 42°C. C. jejuni sendiri dapat dibedakan menurut kemampuan untuk menghidrolisis kenaikan hippurate. Campylobacters tumbuh lambat, dan inkubasi kultur feses dilakukan selama minimal 48 jam. Organisme ini juga umumnya rapuh dan dapat dihancurkan oleh panas, pengeringan, keasaman, dan disinfektan. Pengobatan Kebanyakan kasus campylobakteriosis adalah self limiting pada pasien imunokompeten tanpa tanda-tanda infeksi sistemik, hanya membutuhkan perawatan suportif dengan hidrasi yang memadai. Sebuah meta analisis menunjukkan bahwa pengobatan antibiotik menguntungkan bila mulai dari awal, mengurangi durasi diare serta memperpendek durasi mikrobiologis. Bagaimanapun juga, tidak ada tanda klinis yang mendukung penggunaan antibiotik, seperti yang tercantum saat ini pada pedoman untuk pengelolaan menular diare. Dua uji coba terkontrol secara acak telah menunjukkan manfaat dari antibiotik dalam pemberantasan pengangkutan tinja tetapi tidak menunjukkan perubahan dalam durasi penyakit. Karena tidak ada standar perawatan yang jelas untuk pengobatan individu imunokompeten, penilaian klinis harus digunakan untuk memutuskan apakah untuk mengobati dengan antibiotik atau tidak. Kebijaksanaan penggunaan antibiotik akan menguntungkan pasien apabila darah terlihat dalam tinja, demam, dan / atau memburuknya gejala, seperti peradangan diare lainnya. Ibu hamil dan individu dengan kondisi medis imunosupresif, termasuk HIV / AIDS, juga harus menerima antibiotik. C. jejuni telah sensitif terhadap macrolides, tetrasiklin, fluoroquinolones, aminoglikosida, imipenem, dan kloramfenikol tetapi tahan terhadap trimethoprim. Eritromisin pilihan utama terapi. Dengan diperkenalkannya fluoroquinolones, ciprofloxacin menjadi andalan empirik pengobatan untuk diare akut dan diare travellers. 18
  • 19. Di Amerika Serikat, resistensi siprofloksasin naik dari 0% pada tahun 1989 menjadi 19% pada tahun 2001 dan telah mencapai 90% di Thailand. Saat ini, antibiotik macrolide adalah pengobatan pilihan untuk pasien rawat jalan dengan infeksi Campylobacter yang didapat di Amerika Serikat yang membutuhkan terapi: eritromisin (500 mg dua kali sehari selama 5 hari) atau azithromycin (500 mg oral setiap hari selama 3 hari). Azitromisin harus digunakan untuk diare travellers akibat infeksi Campylobacter dan empiris di mana resistensi kuinolon harus diantisipasi. Pada personel militer AS di Thailand, azitromisin terbukti seefektif ciprofloxacin dalam memperpendek penyakit bergejala dan tingkat kesembuhan mikrobilogis. Penyakit sistemik dapat diobati dengan berbagai antibiotik intravena, termasuk sefotaksim, imipenem, ampisilin, dan parenteral aminoglikosida, tetapi sensitivitas antimikroba harus selalu diperiksa. Pencegahan Pencegahan infeksi Campylobacter melibatkan perhatian untuk menangani unggas mentah dan konsumsi unggas matang serta air dan makanan terkontaminasi. Antara 50% dan 70% dari infeksi sporadis yang disebabkan oleh unggas; pembersihan menyeluruh dari papan pemotong, memasak yang tepat (170°F-180°F) dan mencuci tangan setelah penanganan ayam harus dilaksanakan di rumah. Wisatawan internasional, individu imunokompromise, dan wanita hamil harus mengikuti tindakan pencegahan umum untuk melindungi terhadap diare, termasuk konsumsi air minum yang bersih, menghindari susu yang tidak dipasteurisasi dan daging matang, dan perhatian yang lebih untuk kebersihan tangan. CAUSA AEROMONAS SP15 Diare yang di sebabkan oleh bakteri saat berpergian atau travelling, bakteri yang menginfeksi memiliki empat biotipe dari bakteri aeromanas sp yaitu biotipe A. veronii biotype sobria A. caviae A. jandaei A. hydrophila. Etiologi dan Epidemiologi Diare ini di sebabkan oleh aeromonas sp, dengan biotipe A. veronii biotype sobria A. caviae A. jandaei A. hydrophila. Penyakit ini biasanya di sebabkan karena berpergian 19
  • 20. biasnya akibat makan sembarangan. Biasanya akibat mengkonsumsi sayuran yang di cuci atau yang di masak tidak matang. Penyebaran dan kondisi geografis dari penyebaran penyakit yang di sebabkan oleh biotipe aromonas sp. Menifestasi Klinis Terapi 20
  • 21. Dari hasil studi yang dilakukan terpai medikamentosanya yaitu amoxicillin plus clavulanic Acid. Kemudian untuk diare yang persisten dapat di berikan antibiotic seperti norfloxacin, ciprofloxacin, trimethoprim-sulfamethoxazole. YERSINIA ENTEROCOLITICA DAN YERSINIA PSEUDOTUBERCULOSIS Epidemiologi Foodborne disease atau penyakit yang ditularkan melalui makanan merupakan masalah kesehatan yang luas ditemukan di negara maju dan berkembang. Salah satunya yaitu yersiniosis karena infeksi dengan bakteri Yersinia enterocolitica yang sering dilaporkan zoonotic gastrointestinal disease setelah campylobakteriosis dan salmonellosis di banyak negara maju, terutama di negara-negara subtropis. Di Negara maju, insiden yersiniosis dan wabah penyakit yang ditularkan melalui makanan yang tampaknya lebih rendah di Amerika Serikat daripada banyak negara Eropa. Di negara Eropa jumlah kasus yang dilaporkan di Inggris dan Wales lebih rendah dibandingan dinegara-negara eropa lain di mana kurang dari 0,1 kasus per 100.000 orang yersiniosis dilaporkan di Inggris pada tahun 2005, berbeda dengan 12.2 di Finlandia dan 6,8 di Jerman. Di sisi lain, tingginya prevalensi penyakit pencernaan, termasuk kasus fatal akibat yersiniosis juga diamati di banyak negara berkembang seperti Bangladesh, Irak, Iran, dan Nigeria, yang menunjukkan masalah utama keamanan pangan di negara-negara yang pemsukannya rendah. Di seluruh dunia, infeksi Y. enterocolitica terjadi paling sering pada bayi dan anak-anak dengan gejala umum seperti demam, sakit perut, dan diare, yang sering berdarah. Anak-anak dan dewasa muda tidak keluar dari resiko. Gejala dominan dalam kelompok-kelompok usia adalah nyeri perut pada sisi kanan dan demam, kadang-kadang disalah artikan dengan appendisitis. Adapun komplikasi Y. enterocolitica seperti ruam kulit, nyeri sendi, atau penyebaran bakteri ke aliran darah juga dapat terjadi.16 Etiologi Yersiniosis biasanya merupakan self-limiting disease, merupakan penyakit gastrointesintestinal yang menjadi perhatian global. Agen penyebab yang dikenal yaitu 21
  • 22. Yersinia enterocolitica dan Yersinia pseudotuberculosis (sangat jarang).17 Y. enterocolitica merupakan anggota dari genus Yersinia yang meliputi kumpulan heterogen bakteri fakultatif anaerob yang termasuk dalam keluarga Enterobacteriaceae. Dari 11 spesies dalam genus ini, hanya tiga, Y. pestis, Y. pseudotuberculosis, dan Y. enterocolitica dianggap sebagai patogen bagi manusia sedangkan Y. ruckeri adalah patogen ikan, dan Y. enterocolitica-seperti organisme Y. krirtensenii, Y intermedia,. Y. mollaretii, Y. dan Y. frederiksenii bercovieri belum teridentifikasi peran dalam penyakit manusia.18 Yersinia enterocolitica dan Yersinia pseudotuberculosis adalah bakteri gram negative yang tidak memfermentasikan laktosa serta bersifat urease-positif dan oksidase-negatif. Bakteri ini tumbuh paling baik pada suhu 25° C dan tidak dapat bergerak pada suhu 37° C. Baktei ini dapat ditemukan pada saluran intestinal berbagai jenis binatang, yang dapat menyebabkan penyakit, dan dpat ditularkan ke manusia yang dapat menyebabkan berbagai macam sindrom klinis. Yersinia enterocolitica telah diisolasi dari binatang penggerat dan binatang domestic (misalnya domba, sapi, babi, anjing, dan kucing) serta dari air yang terkontaminasi. Transmisi ke manusia mungkin terjadi melalui kontaminasi makanan, minuman atau benda-benda yang terkontaminasi dan dapat berperan dalam transimisi organism terebut. Yersinia pseudotuberculosis terdapat pada hewan piaraan dan sawah serta burung. Infeksi pada manusia mungkin disebabkan oleh konsumsi bahan yang terkontaminasi dengan feses binatang.19 Pathogenesis Patogenesis Y. enterocolitica ini tidak sepenuhnya dipahami. Kebanyakan isolasi Y. enterocolitica dari bahan makanan atau klinis memiliki salah satu dari dua sifat patogen. Pertama adalah kemampuan untuk menembus dinding usus, yang diduga dikendalikan oleh virulensi plasmid 70-kb (pyv / PCD) gen, yang tidak ada dalam strain avirulen, kedua adalah produksi heat-stable enterotoxin yang dikendalikan oleh gen kromosom (Ysta, ystB, dan ystC).18 Yersinia biasanya tertelan secara tidak langsung dengan makanan. Meskipun jauh lebih jarang, Infeksi juga dapat terjadi dengan cara kontak langsung dengan hewan yang sakit. Bakteri memasuki saluran usus yang lebih rendah, menembus mukosa dan diangkut dengan makrofag ke getah bening mesenterika. Peristiwa utama dari pathogenesis 22
  • 23. yersinia adalah melakukan kolonisasi pada saluran usus khususnya usus kecil bagian distal (terminal ileum) dan usus proksimal. Dengan demikian sebagain besar efek patologis dan manifestasi klinis terjadi pada lokasi ini.19 Gambar 1. Pathogenesis yersinia19 Keterangan:19 1. Sel yersinia melintasi epitel usus melalui sel epitel pada submucosa. 2. Pada submukosa makrofag memfagositosis patogen dan masuk ke dalam sistem limfatik sehingga mencapai MLN (mesenterika kelenjar getah bening) yang memicu respon peradangan dan menyebabkan sakit perut. 3. Atau, bakteri dapat ditelan oleh sel M. 4. Setelah di Peyer‟s patches (PP). Yersinia membentuk mikrokoloni dan mulai replikasi. 5. Akhirnya, Sel-sel bakteri yang terletak di MLN dan bersama-sama dapat terbentuk mikrokoloni untuk memungkinkan replikasi. Manifestasi Klinis: 23
  • 24. Gejala awalnya meliputi demam, nyeri abdomen, dan diare. Diare bervariasi dari cair sampai berdarah dan dapat terjadi akibat enterotoksin atau invasi mukosa. Kadang-kadang nyeri abdomen yang terjadai dapat parah dan berada di kuadran kanan bawah, menimbulkan kecurigaan apendisitis. Satu sampai dua minggu awitan penyakit, beberapa pasien mengalami atralgia, arthritis, dan eritema nodosum, yang diduga terjadi akibat rekasi imunologik terhadap infeksinya. Infeksi yersinia sangat jarang menyebabkan pneumonia, meningitis, atau sepsis, pada kebanyakan kasus, penyakit ini dapat sembuh dengan sendirinya.16,17 Diagnosis Gold standart dalam mendiagnosis pasti yersinia adalah dengan kultur dengan menggunakan media agar MacConkey. Reaksi aglutinasi, ELISA atau uji imunoblot dapat digunakan untuk mendeteksi antibodi.19-20 Penatalaksanaan Sebagian besar daire yang disebabkan infeksi yersinia dapat sembuh dengan sendirinya, dan manfaat terapi antimikroba masih belum diketahui . Y enterocolitica secara umum sensitive terhadap aminoglikosida, kloramfenikol, tetrasiklin, tripmetropin- sulfametoksazol, piperasilin, sefalosporin generasi ketiga, dan flurokuinolon; bakteri ini secara khas resisten terhadap ampisilin dan sefalosporin generasi pertama. Sepsis atau meningitis yersinia yang sudah terbukti memliki laju mortalitas yang tinggi, tetapi kematian terutama terjadi pada pasien imunokompromais. Sepsis yersinia dapat diobati dengan sukses menggunakan sefalosporin generasi ketiga (mungkin dalam kombinasi dengan aminoglokosida) atau florokuinolon (mungkin dalam kombinasi dengan antibiotika lain). Pada kasus-kasus yang gejalan klinisnya mengarah jelas pada apendisitis atau adenitis mesenteric, eksplorasi pembedahan harus dilakukan kecuali pada beberapa kasus yang muncul secara simultan mengindikasikan danya kemungkinan infeksi yersinia.19 24
  • 25. STAPHYLOCOCCUS AUREUS Staphylococcus aureus merupakan penyebab penting infeksi yang didapat dari komunitas dan yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan. Beberapa studi menunjukkan kolonisasi pada saluran pencernaan pasien yang dirawat di rumah sakit memiliki banyak implikasi terhadap kolonisasi tersebut.21 Mekanisme kolonisasi dari S.aureus, dapat menginduksi peningkatan risiko infeksi staphylococcal masih belum diketahui. Squire et al menyatakan bahwa kolonisasi interstinal oleh S.aureus dapat berasosiasi dengan peningkatan frekuensi dari kontaminasi atau kolonisasi pada bagian kulit, oleh karenanya meningkatkan risiko kontaminasi dari peralatan, luka, atau membran mukus. Selain itu, untuk memfasilitasi infeksi, besarnya jumlah S.aureus dari feses ke kulit dan permukaan lingkungan secara potensial berkontribusi terhadap transmisi nosocomial.21 Faktor risiko multipel untuk AAD (antibiotic associated diarrhea) telah dideskripsikan termasuk meningkatnya umur, perpanjangan waktu di rumah sakit, dan pemberian spektrum luas sefalosporin, spektrum luas penisilin, dan klindamisin. Risiko yang berkaitan dnegan prosedur pemberian makan melalui tabung, enemas, endoskopi. S.aureus menghasilkan enterotoksin A, C, D, dan toksik sindrom shock.22 Meticilin resistant S.aureus (MRSA) telah menjadi infeksi yang signifikan terhadap infeksi nosokomial. Kemudian strain baru community acquired MRSA (CA- MRSA), telah menjadi infeksi yang terjadi di luar rumah sakit. CA-MRSA dan hospital acquired MRSA (HA-MRSA) dibedakan berdasarkan pada tempat pelayanan kesehatan. Untuk strain CA-MRSA membawa gen Panton-Valentine leukocidin (PVL), staphylococcal chromosomal cassette mec (SCCmec) tipe IV. Bakteri ini bisa terjadi pada daging yang kurang dimasak.23 Saat ini, pada studi prospektif 2 tahun di rumah sakit di Perancis diidentifikasi 60 kasus AAD Staphylococcus aureus. Studi yang dilakukan Asha (2006) mendapati 735 patogen AAD pada 4.659 sampel feses, didapati 0,2% sekitar 10 sampel yang terinfeksi 25
  • 26. S.aureus.22 Keberadaan S.aureus terutama strain enterotoksigenik berkaitan dengan perkembangan AAD, kontaminasi lingkungan, rekolonisasi pada pasien dan perkembangan sindrom syok toksik. Resistensi luas pada penggunaan antibiotik menyebabkan penyebaran luas dari patogen ini, dimana flora normal pada usus tereliminasi karena antibiotic.24 Dalam penegakan diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan feses. Pengobatan dengan mupirocin (bactoban) tampaknya efektif dalam mengeliminasi MRSA dari hidung karier sehat, tetapi dekolonisasi (menterapi pasien untuk menghilangkan bakteri) tidak direkomendasikan.25 LISTERIA MONOCYTOGENES26 Listeria monocytogenes merupakan patogen yang berbahaya pada orang hamil, neonatus, orang tua, dan individu dengan keadaan immunocompromised. Selain itu, pasien kanker juga berisiko tinggi terkena infeksi listeria. Manusia tertular kuman Leisteria monositogene, dari makanan yang tercemar. Makanan tercemar kuman, karena di lingkungan banyak hewan yang mengandung kuman di dalam saluran cernanya, meskipun hewan yang mengandung kuman tidak menunjukkan gejala. Kuman Listeria terdapat di seluruh dunia dan hidup di dalam usus hewan seperti burung, binatang berkulit keras (crustacea) dan hewan arachnoidea (laba-laba). Kuman Listeriasecara alami terdapat pada tanah dan air serta sayur dan rerumputan. Listeria telah ditemukan di berbagai jenis makanan mentah (bahkan seafood), tetapi terutama dalam daging, sayuran, dan keju. Ia bahkan telah ditemukan dalam makanan olahan karena kontaminasi selama atau setelah pengolahan. Setelah makanan yang terkontaminasi atau cairan telah tertelan, mungkin diperlukan waktu hingga tiga minggu untuk organisme menyebabkan gejala. Janin dapat terinfeksi setelah ibu terpapar organisme, bakteri ternyata mencapai janin melalui aliran darah. Bayi baru lahir dapat memperoleh bakteri selama prosedur bedah caesar atau terkena mereka saat melintasi vagina. 26
  • 27. Epidemiologi Wanita usia subur yang umumnya terkena. Frekuensi infeksi L monocytogenes di Amerika Serikat adalah 9,7 kasus per juta penduduk. Setiap tahun, 2500 kasus dilaporkan, dengan tingkat insiden yang lebih tinggi selama musim panas. 27% dari semua kasus adalah wanita hamil, dan sebagian besar terjadi selama trimester ketiga. Tujuh puluh persen dari semua infeksi nonperinatal terjadi pada pasien immunocompromised. Terapi kortikosteroid merupakan faktor predisposisi yang paling penting pada pasien yang tidak hamil. Faktor risiko lain termasuk usia lanjut dan pasien kemoterapi. Manifestasi klinis Seseorang dengan listeriosis biasanya mengalami demam dan nyeri otot, sering didahului dengan diare atau gejala gastrointestinal lainnya. Hampir semua orang yang didiagnosis dengan listeriosis mengalami infeksi invasif (yang berarti bahwa bakteri menyebar dari usus ke aliran darah mereka atau situs tubuh lainnya). Beberapa orang dapat mengembangkan lebih gejala berat seperti meningitis, perubahan mental, abses otak, atau bahkan kematian. Gejala bervariasi dengan orang yang terinfeksi: Orang berisiko tinggi selain wanita hamil: Gejalanya bisa berupa nyeri otot demam,, sakit kepala, leher kaku, kebingungan, kehilangan keseimbangan, dan kejang- kejang. Wanita hamil: Wanita hamil biasanya hanya mengalami gejala ringan berupa flu like sindrom. Namun, infeksi selama kehamilan dapat menyebabkan keguguran, infeksi, persalinan prematur lahir mati, atau mengancam nyawa bayi yang baru lahir. Orang yang sebelumnya sehat: Orang-orang yang sebelumnya sehat tapi terkena Listeria dapat mengembangkan penyakit non-invasif (yang berarti bahwa bakteri 27
  • 28. belum menyebar ke dalam aliran darah mereka atau situs tubuh lainnya). Gejalanya bisa berupa diare dan demam. Pathogenesis L. monocytogenes adalah bakteri motil, basil gram positif yang memiliki karakteristik aerobik dan fakultatif anaerob. Bakteri ini tumbuh terbaik pada pH netral sampai sedikit basa dan mampu tumbuh pada berbagai temperatur, 1-45 ° C. L.monocitogenes adalah bakteri beta-hemolitik dan memiliki warna biru-hijau pada darah agar bebas. Sebagian besar infeksi terjadi setelah konsumsi makanan yang tercemar bakteri L. monocytogenes, kemudian masuk ke sirkulasi sistemik setelah penetrasi di usus. Perlindungan terhadap Listeria dimediasi melalui aktivasi sel T limfokin pada makrofag dan dengan interleukin-18. Infeksi SSP dapat bermanifestasi sebagai meningitis, meningoencephalitis, atau abses. Infeksi lokal dapat bermanifestasi sebagai septic arthritis, osteomyelitis, dan, pneumonia. Diagnosis Diagnosis awal biasanya didasarkan pada riwayat pasien dan pemeriksaan fisik, terutama setelah pasien memberikan riwayat kemungkinan paparan sumber makanan yang terkontaminasi Listeria. Tanpa informasi ini, diagnosis sulit untuk memilah-milah dari banyak penyakit lainnya, situasi ini dapat berakibat pada penundaan pengobatan sebagai dokter mungkin melakukan tes lain untuk menyingkirkan penyakit lain seperti salmonellosis, shigellosis, botulisme dan infeksi E. coli. Diagnosis definitif listeriosis adalah dengan kultur bakteri Listeria monocytogenes dari darah pasien, cairan serebrospinal, atau cairan ketuban, biasanya pada media yang selektif untuk Listeria (misalnya, RAPID'L mono agar). Saat ini, tidak ada tes yang dapat diandalkan yang tersedia untuk mendeteksi bakteri pada tinja, juga, tidak ada tes serologis yang tersedia (tes yang dapat mengidentifikasi protein spesifik yang berhubungan dengan bakteri atau antibodi terhadap bakteri). 28
  • 29. Tatalaksana Sebagian besar orang dengan infeksi Listeria sembuh spontan dalam waktu sekitar tujuh hari. Namun, pasien pada peningkatan risiko, terutama wanita hamil, biasanya membutuhkan pengobatan segera antibiotik IV untuk mencegah, menghentikan, atau memperlambat perkembangan penyakit yang lebih parah. Sebagai contoh, perawatan antibiotik dini yang efektif dari perempuan hamil mungkin menyelamatkan nyawa bagi janin. Secara umum, lama pengobatan antibiotik meningkat dengan tingkat keparahan infeksi. Meningitis diobati selama tiga minggu sementara abses otak dirawat selama enam minggu. Pilihan awal antibiotik biasanya IV ampisilin. Bactrim (trimetoprim- sulfametoksazol) juga telah berhasil digunakan. Namun, pengobatan setiap pasien harus individual untuk hasil yang optimal, banyak dokter merekomendasikan konsultan menular- penyakit akan terlibat, dan jika pasien hamil, dokter kandungan dan spesialis anak harus membantu mengelola rencana pengobatan. 29
  • 30. DAFTAR PUSTAKA 1. Haris JB, et al. Cholera. Division of Infectious Diseases, Massachusetts General Hospital, Boston, MA, USA. Lancet vol 379 (2012); 30 (6); 2466-2473. 2. Olaniran AO, et al. Toxigenic Escherichia coli and Vibrio cholerae: Classification, Pathogenesis and Virulence Determinants. Discipline of Microbiology, School of Biochemistry, Genetics and Microbiology, Faculty of Science and Agriculture, University of KwaZulu-Natal (Westville Campus), Durban, Republic of South Africa. Biotechnology and Molecular Biology Review Vol. 6 (2011); (4); 94-100. 3. Nelson EJ, et al. Antibiotics for Both Moderate and Severe Cholera. Lucile Packard Children‟s Hospital, Standford University, Palo Alto, CA. The New England Journal Medicine 364 (2011); 6 (1); 5-6. 4. Bueris V, et al. „Detection of Diarrheagenic Escherichia coli from hildren with and without diarrhea in Salvador, Bahia, Brazil‟, Mem Inst Oswaldo Cruz, Rio de Janeiro, Vol. 102 (2007); hh. 839-844 5. Nunes, et al. „Enterotoxigenic Escherichia coli in children with acute diarrhoea and controls in Teresina ⁄ PI, Brazil: distribution of enterotoxin and colonization factor genes‟, Journal of Applied Microbiology, vol. 111 (2011); hh. 224-232. 6. Behiry, et al. „Enteropathogenic Escherichia coli Associated with Diarrhea in Children in Cairo, Egypt‟, the scientific world JOURNAL, vol. 11 (2011); hh. 2613–2619. 7. Hernandes TR, et al. „An overviewofatypical enteropathogenicEscherichia coli‟, European Microbiological Societies Published by Blackwell Publishing, vol. 297 (2009); hh.137-149. 8. Collins, et al. „Review of the Pathophysiology and Treatment of Shiga Toxin Producing E. Coli Infection‟ , Practical Gastroentrology, 2010; hh. 41-50 9. Bodhidatta, et al. Case-Control Study of Diarrheal Disease Etiology in Remte Rural Area in Western Thailand. Thailand: The American Society of Tropical Medicine and Hygiene. 2010: 83(5):1106-08. 10. Jantch, et al. Immunological Reviews: Cellular aspects of imunity to intracellular Salmonella enteric. Germany: John Wiley & Sons A/S. 2011: 240:185. 30
  • 31. 11. Izzo, et al. Prevalence of Major enteric pathogens in Australian dairy calves with diarrhea: Australia: Australian Veternity Journal. 2011: 89(5):167-68. 12. Izzo, et al. Antimicrobial susceptibility of Salmonella isolates recovered from calves with diarrhea in Australia: Australia: Australian Veternity Journal. 2011: 89(10):402- 04. 13. World Gastroenterology Organization. Acute diarrhea. United Kingdom: WGO. 2008, Pp: 6-9. 14. Olayinka A, et al. Campylobacter jejuni Infections: Update on Presentation, Diagnosis, and Management. 2008. Hospital Physician: Burlington. [Accesed 28 October 2012]. 15. Vila J. Aeromonas spp. and Traveler‟s Diarrhea: Clinical Features and Antimicrobial Resistance., Vol. 9. [Accesed 27 Oktober 2012]. 16. Rahman A, et al. Yersinia enterocolitica : Epidemiological Studies and Outbreaks. Journal of Pathogens. 2011. 17. Galindo CL, et al. Pathogenesis of Y. enterocolitica and Y. pseudotuberculosis in Human Yersiniosis. Journal of Pathogens. 2011. 18. Sabina Y, et al. Yersinia enterocolitica :Mode of Transmission,Molecular Insights of Virulence, and Pathogenesis of Infection. Journal of Pathogens. 2011. 19. Fàbrega A, et al.. Yersinia enterocolitica: Pathogenesis, virulence and antimicrobial resistance. Department of Microbiology University of Barcelona : Elsevier Espa˜na. 2011. 20. Lamps LW. Infective disorders of the gastrointestinal tract. Department of Pathology, University of Arkansas for Medical Sciences, Little Rock, AR, USA. 2007. 21. Bhalla A, et al. Staphylococcus aureus intestinal colonization is associated with increased frequency of S. aureus on skin of hospitalized patients. BMC Infectious Diseases 2007, 7:105. 22. Asha NJ, et al. Comparative Analysis of Prevalence, Risk Factors, and Molecular Epidemiology of Antibiotic-Associated Diarrhea Due to Clostridium difficile, Clostridium perfringens, and Staphylococcus aureus. Department of Microbiology, 31
  • 32. Leeds Teaching Hospitals & University of Leeds. Journal Of Clinical Microbiology, Aug. 2006, p. 2785–91. 23. Ogata K, et al. Commercially Distributed Meat as a Potential Vehicle for Community- Acquired Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus. Appl. Environ. Microbiol, 2012, 78(8):2797. 24. Lis E, et al. Enterotoxin gene content inStaphylococcus aureus fromthe human intestinal tract. FEMS Microbiol Lett 296 (2009) 72–77. 25. Shiel, W. 2012. Staphylococcus Infection. Available at . http://www.medicinenet.com/staph_infection/page3.htm#what_is_the_treatment_for_st aph_infections. [accessed 29 October 2012] 26. Terence Zach. Listeria Infection. 2012. Available at : http://emedicine.medscape.com/article/965841-overview. [Accesed 27 Oktober 2012]. 32