SlideShare a Scribd company logo
1 of 179
Download to read offline
D A T A D A N I N F O R M A S I
P E M A N F A A T A N H U T A N
T A H U N 2 0 1 2
DIREKTORAT WILAYAH PENGELOLAAN DAN PENYIAPAN AREAL PEMANFAATAN HUTAN
DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN
KEMENTERIAN KEHUTANAN
JAKARTA, DESEMBER 2012
Buku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 Page i
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga Buku Data dan Informasi Pemanfaatan Hutan Tahun 2012 ini dapat
tersusun dan selesai pada waktunya. Buku Data dan Informasi Pemanfaatan Hutan Tahun 2012
ini adalah merupakan publikasi lanjutan dari Buku Data dan Informasi Pemanfaatan Hutan tahun
sebelumnya.
Materi yang disajikan dalam Buku Data dan Informasi Pemanfaatan Hutan Tahun 2012 ini
meliputi peraturan perundang-undangan terkait perizinan pemanfaatan hutan, tata cara
permohonan pencadangan dan izin pemanfaatan hutan, pemanfaatan hutan seluruh Indonesia,
perkembangan permohonan dan penyelesaian peta areal kerja serta permohonan izin
pemanfaatan kawasan hutan dalam 60 KPH Model yang beroperasi tahun 2012.
Kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan Buku Data dan Informasi Pemanfaatan Hutan ini.
Akhirnya kami berharap semoga buku ini dapat memberikan manfaat dan menjadi salah satu
acuan dalam perencanaan pembangunan kehutanan ke depan khususnya yang terkait dengan
perencanaan pemanfaatan hutan.
Jakarta, Desember 2012
Direktur Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan
Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan
Ir. Is Mugiono, MM
NIP 19570726 198203 1 001
Buku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 Page ii
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN…………………..…………………………………………………………………….……………...1
A. Latar Belakang ………………………………………………………………………………………………..…..1
B. Maksud dan Tujuan……………………………………………………………………………………………….2
C. Ruang Lingkup……………………………………………………………………………………….…………..…2
II. DEFINISI ………………………………………………………………………………………………………….……..3
III. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN……………………………………………………………………..…6
A. Umum……………………………………………………………………………………………………….………...6
B. Teknis………………………………………………………………………………………………………….….....10
C. Pendukung……………………………………………………………………………………………………..…...20
IV. TATA CARA PERMOHONAN PENCADANGAN DAN IZIN PEMANFAATAN HUTAN………………24
A. Pemberian dan Perluasan Areal Kerja IUPHHK-HA/HTI/RE……………………………………....24
B. Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Rakyat
Dalam Hutan Tanaman…………………………………………………………………………………….....27
C. Penetapan Areal Kerja HD…………………………………………………………………………………….29
D. Penetapan Areal Kerja Hkm…………………………………………………………………………………..31
E. Penetapan KHDTK………………………………………………………………………………………..……..32
F. Silvo Pastura…………………………………………………………………………………………………..….33
V. PEMANFAATAN HUTAN INDONESIA…………………………………………………………………………..35
A. Luas Kawasan Hutan Indonesia, Kawasan Hutan Yang Sudah Dibebani Izin Pemanfaatan
dan Kawasan yang Belum di bebani Izin Pemanfaatan………………………………………..…..35
B. Pemanfaatan Hutan Indonesia Perprovinsi ……………………………………………….…………...47
C. Izin Pemanfaatan Kawasan Hutan dalam 60 KPH Model yang Beroperasi Tahun 2012..97
VI. PERMOHONAN IZIN PEMANFAATAN HUTAN INDONESIA S/D NOVEMBER 2012….…….…125
A. Perkembangan Permohonan Izin Pemanfaatan Hutan Indonesia Yang Sudah
Mendapatkan SP 1 s/d November 2012…………………………………….………………..………..125
B. Perkembangan Permohonan dan penyelesaian Peta areal kerja (WA/SP 2) Tahun 2012.
……………………………………………………………………………………………………………….………..130
C. Rekapitulasi Perkembangan Permohonan dan penyelesaian Peta areal kerja (WA/SP2)
Tahun 2010, 2011 dan 2012…………………………………………………………………………..…...136
D. Permohonan Izin Pemanfaatan Hutan dalam 60 KPH Model yang Beroperasi Tahun
2012………………………………………………………………………………………………………..…….….139
VII. PENUTUP…………………………………………………………………………………………………………….….145
LAMPIRAN…………………………………………………………………………………………………………………....146
Peta Pemanfaatan Hutan Seluruh Indonesia S/D November 2012…………………………………...146
BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam mengiringi dinamika perkembangan pembangunan Indonesia, peran kawasan
hutan menjadi penting dalam mendukung peningkatan ekonomi bangsa. Maka sesuai
dengan amanat undang-undang, Pemanfaatan Hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan
kawasan hutan, memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan
kayu serta memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk
kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya.
Pemanfaatan hutan dapat dilakukan antara lain melalui pemanfaatan hasil hutan kayu
pada Hutan Alam, Hutan Tanaman dan Restorasi Ekosistem melalui pemberian izin usaha
pemanfaatan kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan Republik Indonesia. Disamping itu
pemanfaatan kawasan hutan juga diberikan dalam bentuk Hutan Kemasyarakatan (HKm)
dan Hutan Desa serta Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang penetapan dan pencadangannya
dilakukan oleh Menteri Kehutanan.
Dalam rangka penyiapan peta areal kerja izin pemanfaatan kawasan hutan (IUPHHK-
HA/HTI/RE/penetapan HKm dan Hutan Desa serta pencadangan HTR, yang merupakan
salah satu tugas pokok Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan
Kawasan Hutan, diperlukan data dan informasi tentang areal kawasan hutan yang telah
dibebani izin-izin pemanfaatan kawasan hutan baik yang sudah diterbitkan izinnya maupun
yang sedang dalam proses. Data dan informasi tersebut dihimpun melalui konfirmasi dan
klarifikasi di tingkat pusat maupun di daerah.
Berdasarkan perkembangan pengukuhan kawasan hutan sampai dengan November
2012, luas kawasan hutan dan perairan seluruh Indonesia adalah 134.290.240,94 ha.
Menurut fungsinya,kawasan tersebut terdiri dari Hutan Konservasi (HK) perairan dan daratan
seluas 27.086.910,23 ha, Hutan Lindung (HL) seluas 30.539.823,36 ha, Hutan Produksi (HP)
seluas 30.810.790,34 ha, Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 27.967.604,50 ha dan
Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK) seluas 17.885.112,50 ha.
Sampai dengan November 2012 luas kawasan Hutan Produksi yang telah dibebani izin
pemanfaatan adalah 34.624.957 ha dan yang sedang dalam proses perizinan adalah
2.677.722,79 ha sehingga Hutan Produksi yang belum dibebani izin pemanfaatan adalah
seluas 42.038.550,34 ha.
Sesuai amanat pasal 17 UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa untuk
memastikan fungsi-fungsi penyelenggaraan pengelolaan hutan dapat terlaksana dan tetap
berpegang pada prinsip kelestarian hutan, maka diperlukan suatu penyelenggaraan
BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 2
pengelolaan hutan di tingkat tapak melalui pembentukan unit Pengelolaan Hutan atau
Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Implementasi dari amanat tersebut diatas, telah
dilakukan pembagian kawasan hutan ke dalam wilayah-wilayah KPH agar menjadi bagian
penguatan sistem pengurusan hutan nasional, provinsi, kab/kota. Berdasarkan Pasal 28
ayat (2) PP No 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan, unit pengelolaan hutan
terdiri dari Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK), Kesatuan Pengelolaan Hutan
Lindung (KPHL) dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP). Setiap wilayah KPH akan
dikelola oleh organisasi pengelola KPH yang merupakan organisasi di tingkat tapak.
Organisasi KPHK merupakan organisasi perangkat pusat, sedangkan organisasi KPHL dan
KPHP merupakan organisasi perangkat daerah.
Berdasarkan SK Penetapan Wilayah, luas KPH Model seluruhnya adalah
8.169.933,50 ha dan luas ijin pemanfaatan didalam KPH model tersebut adalah
3.182.765,88 ha sehingga luas KPH Model yang belum dibebani izin pemanfaatan adalah
4.987.167,615 ha.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas dan dalam rangka mengakomodir amanat
Permenhut No P.7/Menhut-II/2011 tentang keterbukaan informasi publik di lingkungan
Kementerian Kehutanan maka perlu diterbitkan Buku Data dan Informasi Pemanfaatan
Hutan.
B. Maksud dan Tujuan
Maksud pembuatan buku ini adalah untuk menyajikan data dan informasi yang terkait
dengan pemanfaatan hutan. Adapun tujuan penyusunan buku ini adalah tersusunnya buku
data dan informasi pemanfaatan kawasan hutan guna mendukung terciptanya transparansi
pelayanan data dan informasi tentang pemanfaatan kawasan hutan.
C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penyusunan buku Data dan Informasi Pemanfaatan Hutan tahun 2012
ini mencakup :
a. Peraturan perundangan terkait perizinan pemanfaatan hutan.
b. Tata cara pemberian izin pemanfaatan hutan.
c. Pemanfaatan hutan meliputi areal kerja izin IUPHHK-HA, HTI, RE, Pencadangan Areal
Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKM), Hutan Desa (HD), KHDTK
dan Silvo Pastura.
d. Kawasan hutan yang belum dibebani izin.
e. Pemanfaatan kawasan di wilayah KPH Model.
BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 3
II. DEFINISI
Dalam Buku Data dan Informasi Pemanfaatan Hutan ini pengertian dan istilah yang
dipakai adalah yang terkait dengan pemanfaatan hutan untuk izin usaha pemanfaatan hasil
hutan kayu, pencadangan areal HTR, penetapan areal kerja HKm dan HD :
1. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam
hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu
dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
2. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil
hutan.
3. Hutan produksi yang tidak produktif adalah hutan yang dicadangkan oleh menteri sebagai
areal pembangunan hutan tanaman.
4. Hutan alam adalah suatu lapangan yang bertumbuhan pohon-pohon alami yang secara
keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya.
5. Hutan tanaman industri yang selanjutnya disingkat HTI adalah hutan tanaman pada hutan
produksi yang dibangun oleh kelompok industri kehutanan untuk meningkatkan potensi
dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka memenuhi
kebutuhan bahan baku industri hasil hutan.
6. Hutan tanaman rakyat yang selanjutnya disingkat HTR adalah hutan tanaman pada hutan
produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan
kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian
sumber daya hutan.
7. Hutan kemasyarakatan yang selanjutnya disingkat HKm adalah hutan negara yang
pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat.
8. Hutan desa adalah hutan negara yang belum dibebani izin/hak, yang dikelola oleh desa
dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa.
9. Pemanfaatan hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan, memanfaatkan
jasa lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta memungut hasil
hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk kesejahteraan masyarakat
dengan tetap menjaga kelestariannya.
10. Pemanfaatan hasil hutan kayu adalah kegiatan untuk memanfaatkan dan mengusahakan
hasil hutan berupa kayu dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi
pokoknya.
11. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam yang selanjutnya disingkat
IUPHHK-HA yang sebelumnya disebut Hak Pengusahaan Hutan (HPH) adalah izin
BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 4
memanfaatkan hutan produksi yang kegiatannya terdiri dari penebangan, pengangkutan,
penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan kayu.
12. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman industri dalam hutan
tanaman pada hutan produksi yang selanjutnya disingkat IUPHHK-HTI yang sebelumnya
disebut Hak Pengusahaan Hutan Tanaman (HPHT) atau Hak Pengusahaan Hutan Tanaman
Industri (HPHTI) atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman
Industri (IUPHHK-HTI) adalah izin usaha untuk membangun hutan tanaman pada hutan
produksi yang dibangun oleh kelompok industri untuk meningkatkan potensi dan kualitas
hutan produksi dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri.
13. IUPHHK restorasi ekosistem dalam hutan alam adalah izin usaha yang diberikan untuk
membangun kawasan dalam hutan alam pada hutan produksi yang memiliki ekosistem
penting sehingga dapat dipertahankan fungsi dan keterwakilannya melalui kegiatan
pemeliharaan, perlindungan dan pemulihan ekosistem hutan termasuk penanaman,
pengayaan, penjarangan, penangkaran satwa, pelepasliaran flora dan fauna untuk
mengembalikan unsur hayati (flora dan fauna) serta unsur non hayati (tanah, iklim dan
topografi) pada suatu kawasan kepada jenis yang asli, sehingga tercapai keseimbangan
hayati dan ekosistemnya.
14. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman rakyat yang selanjutnya
disingkat IUPHHK-HTR adalah izin usaha untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu
dan hasil hutan ikutannya pada hutan produksi yang diberikan kepada perorangan atau
koperasi untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan
silvikultur yang sesuai untuk menjamin kelestarian sumber daya hutan.
15. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan kemasyarakatan yang selanjutnya
disingkat IUPHHK-HKm adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan
berupa kayu dalam areal kerja IUPHHK-HKm pada hutan produksi.
16. Hak pengelolaan hutan desa adalah hak yang diberikan kepada desa untuk mengelola
hutan negara dalam batas waktu dan luasan tertentu.
17. AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) adalah kajian mengenai dampak besar
dan penting suatu usaha dan atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup
yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha atau
kegiatan.
18. Upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, yang
selanjutnya disebut UKL-UPL adalah pengelolaan dan pemantauan terhadap usaha
dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup yang
BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 5
diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau
kegiatan.
19. Kawasan hutan dengan tujuan khusus yang selanjutnya disingkat KHDTK adalah kawasan
hutan yang dikelola untuk keperluan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan
latihan, serta kepentingan religi dan budaya tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan.
20. Izin usaha pemanfaatan kawasan silvo pastura yang selanjutnya disingkat IUPK-SP adalah
kegiatan kehutanan yang dikombinasikan secara proporsional dengan usaha peternakan di
dalam kawasan hutan produksi yang meliputi pelepasliaran dan atau pengandangan ternak
dalam rangka pengelolaan hutan lestari.
21. Kesatuan Pengelolaan Hutan selanjutnya disebut KPH adalah sebuah unit wilayah kelola,
institusi pengelola dan unit perencanaan pengelolaan hutan di tingkat tapak, dibentuk
dengan tujuan agar dapat dicapai pengelolaan hutan yang efisien dan lestari.
22. Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung selanjutnya disebut KPHL adalah KPH yang luas
wilayahnya seluruh atau sebagian besar terdiri atas kawasan hutan lindung.
23. Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi selanjutnya disebut KPHP adalah KPH yang luas
wilayahnya seluruh atau sebagian besar terdiri dari kawasan hutan produksi.
24. KPH Model adalah wujud awal dari KPH yang secara bertahap dikembangkan menuju
situasi dan kondisi aktual organisasi KPH di tingkat tapak.
BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 6
III. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Bab III ini disajikan dalam rangka mempermudah para pihak memahami payung hukum
yang berkaitan dengan pemanfaatan hutan khususnya terkait dengan Izin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dalam Hutan Alam, IUPHHK Restorasi Ekosistem, IUPHHK-HTI pada
Hutan Produksi dan pencadangan areal HTR serta penetapan areal kerja HKm & HD, mulai dari
Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Instruksi Presiden (Inpres) sampai dengan
Peraturan Menteri (Permen) yang akan dibagi menjadi 3 sub bab yaitu peraturan umum, teknis
dan pendukung.
A. Umum
1. Undang–undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang nomor 19 tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang nomor 1 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang
nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-undang.
Pasal 4 Undang-undang nomor 41 tahun 1999 mengamanatkan bahwa semua hutan di
wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam rangka penguasaan
tersebut negara memberi wewenang kepada pemerintah untuk mengatur dan mengurus
segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan. Selanjutnya pada pasal 6 diamanatkan bahwa
pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok yaitu : hutan konservasi, hutan
lindung dan hutan produksi.
Pada pasal 23 diatur bahwa pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang
optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga
kelestariannya.
Pasal 28 mengatur antara lain bahwa pemanfaatan hutan produksi dapat berupa
pemanfaatan hasil hutan kayu.
Pada pasal 29 diatur bahwa izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dapat diberikan
kepada perorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Swasta Indonesia, Badan Usaha Milik
Negara atau Badan Usaha Milik Daerah.
Pada pasal 30 disebutkan bahwa dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat, setiap
Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah dan Badan Usaha Milik Swasta
Indonesia yang memperoleh izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha
pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu diwajibkan bekerja sama dengan koperasi
masyarakat setempat.
BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 7
Pasal 31 mengatur bahwa untuk menjamin azas keadilan, pemerataan dan lestari, maka izin
usaha pemanfaatan hutan dibatasi dengan mempertimbangkan aspek kelestarian hutan dan
aspek kepastian usaha.
Pasal 32 mengatur bahwa pemegang izin berkewajiban untuk menjaga, memelihara dan
melestarikan hutan tempat usahanya.
Pada pasal 33 diatur bahwa usaha pemanfaatan hasil hutan meliputi kegiatan penanaman,
pemeliharaan, pemanenan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan. Pemanenan dan
pengolahan hasil hutan tidak boleh melebihi daya dukung hutan secara lestari.
Pasal 35 mengatur bahwa setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan dikenakan iuran
izin usaha, provisi, dana reboisasi dan dana jaminan kinerja serta wajib menyediakan dana
investasi untuk biaya pelestarian hutan.
Pasal 48 mengatur bahwa pemegang izin usaha pemanfaatan hutan serta pihak-pihak yang
menerima wewenang pengelolaan hutan diwajibkan melindungi hutan dalam areal kerjanya.
Pasal 49 mengatur bahwa pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya
kebakaran hutan di areal kerjanya.
Pasal 50 menyebutkan bahwa setiap orang dilarang merusak sarana dan prasarana
perlindungan hutan. Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin
usaha pemanfaatan, jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan
kayu serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan
yang menimbulkan kerusakan hutan.
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia PP. No. 6 tahun 2007 jo PP. No. 3 tahun 2008
tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan.
Pada pasal 31 diatur bahwa pemanfaatan hutan pada hutan produksi dilaksanakan
berdasarkan prinsip untuk mengelola hutan lestari dan meningkatkan fungsi utamanya dan
dilakukan antara lain melalui kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan
alam dan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman.
Pada pasal 34 diatur bahwa pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam dapat
dilakukan melalui kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu atau pemanfaatan hasil
hutan kayu restorasi ekosistem.
Pada pasal 35 diatur bahwa usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam pada
hutan produksi meliputi kegiatan pemanenan, pengayaan, penanaman, pemeliharaan,
pengamanan dan pemasaran hasil, sesuai dengan rencana pengelolaan hutan yang telah
ditetapkan. Sedangkan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu restorasi ekosistem dalam
hutan alam pada hutan produksi meliputi kegiatan pemeliharaan, perlindungan dan
BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 8
pemulihan ekosistem hutan termasuk penanaman, pengayaan, penjarangan, penangkaran
satwa, pelepasliaran flora dan fauna.
Selanjutnya pada pasal 36 diatur bahwa kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu restorasi
ekosistem dalam hutan alam pada hutan produksi hanya dilakukan dengan ketentuan :
hutan produksi harus berada dalam satu kesatuan kawasan hutan dan diutamakan pada
kawasan hutan produksi yang tidak produktif. Dalam hal kegiatan restorasi ekosistem dalam
hutan alam belum diperoleh keseimbangan, dapat diberikan IUPK, IUPJL atau IUPHHBK
pada hutan produksi kepada Badan Usaha Milik Swasta (BUMS). Sedangkan jika kegiatan
restorasi ekosistem dalam hutan alam telah diperoleh keseimbangan, dapat diberikan
IUPHHK pada hutan produksi.
Pada pasal 37 dan pasal 38 diatur bahwa pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan
tanaman pada hutan produksi dapat dilakukan pada : HTI, HTR atau HTHR, meliputi
kegiatan penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan
pemasaran. Pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTI dan HTR dalam hutan tanaman
dilakukan pada hutan produksi yang tidak produktif.
Pada pasal 40 dan pasal 41 diatur bahwa menteri mengalokasikan dan menetapkan areal
tertentu untuk membangun HTR berdasarkan usulan KPH atau pejabat yang ditunjuk. Untuk
melindungi hak-hak HTR, menteri menetapkan harga dasar penjualan kayu pada HTR.
Pada pasal 42 diatur bahwa menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat memberikan IUPHHK
pada HTI atau IUPHHK pada HTR kepada perorangan, koperasi, BUMN, atau BUMS.
Pada pasal 48 diatur bahwa dalam setiap kegiatan pemanfaatan hutan pada hutan produksi,
wajib disertai dengan izin pemanfaatan. Pemberi izin, dilarang mengeluarkan izin dalam
wilayah kerja BUMN bidang kehutanan yang telah mendapat pelimpahan untuk
menyelenggarakan pengelolaan hutan dan dalam areal yang telah dibebani izin usaha
pemanfaatan hutan.
Pasal 51 mengatur bahwa jangka waktu IUPHHK dalam hutan alam pada hutan produksi
diberikan paling lama 55 (lima puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang berdasarkan
evaluasi yang dilakukan setiap 5 (lima) tahun oleh menteri.
Pasal 52 mengatur bahwa jangka waktu IUPHHK restorasi ekosistem dalam hutan alam pada
hutan produksi diberikan jangka waktu 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperpanjang satu
kali untuk jangka waktu selama 35 (tiga puluh lima) tahun. IUPHHK restorasi ekosistem
dalam hutan alam dievaluasi setiap 5 (lima) tahun oleh menteri sebagai dasar kelangsungan
izin.
Pada pasal 53 diatur bahwa jangka waktu IUPHHK-HTI dalam hutan tanaman pada hutan
produksi dapat diberikan untuk jangka waktu 60 (enam puluh) tahun dan dapat
BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 9
diperpanjang satu kali untuk jangka waktu selama 35 (tiga puluh lima) tahun, serta
dievaluasi setiap 5 (lima) tahun oleh menteri sebagai dasar kelangsungan izin.
Pasal 54 mengatur jangka waktu IUPHHK pada HTR dalam hutan tanaman pada hutan
produksi dapat diberikan untuk jangka waktu 60 (enam puluh) tahun dan dapat
diperpanjang satu kali untuk jangka waktu selama 35 (tiga puluh lima) tahun, dievaluasi
setiap 5 (lima) tahun oleh menteri sebagai dasar kelangsungan izin.
3. Peraturan Pemerintah nomor 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
Pasal 64 menjelaskan tentang :
(1). Kawasan peruntukan hutan produksi terdiri atas :
a. kawasan peruntukan hutan produksi terbatas;
b. kawasan peruntukan hutan produksi tetap; dan
c. kawasan peruntukan hutan produksi yang dapat dikonversi.
(2). Kawasan peruntukan hutan produksi terbatas ditetapkan dengan kriteria memiliki faktor
kemiringan lereng, jenis tanah dan intensitas hujan dengan jumlah skor 125 (seratus
dua puluh lima) sampai dengan 174 (seratus tujuh puluh empat).
(3). Kawasan peruntukan hutan produksi tetap ditetapkan dengan kriteria memiliki faktor
kemiringan lereng, jenis tanah dan intensitas hujan dengan jumlah skor paling besar
124 (seratus dua puluh empat).
(4). Kawasan peruntukan hutan produksi yang dapat dikonversi ditetapkan dengan kriteria :
a. memiliki faktor kemiringan lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan dengan jumlah
skor paling besar 124 (seratus dua puluh empat); dan/atau
b. merupakan kawasan yang apabila dikonversi mampu mempertahankan daya dukung
dan daya tampung lingkungan.
(5). Kriteria teknis kawasan peruntukan hutan produksi terbatas, kawasan peruntukan hutan
produksi tetap dan kawasan peruntukan hutan produksi yang dapat dikonversi
ditetapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kehutanan.
Pada bagian penjelasan pasal 64 PP No 26 tahun 2008, menerangkan bahwa :
Ayat (1)
Penerapan kriteria kawasan peruntukan hutan produksi secara tepat diharapkan akan
mendorong terwujudnya kawasan hutan produksi yang dapat memberikan manfaat
sebagai berikut :
a. meningkatkan perkembangan pembangunan lintas sektor dan sub sektor serta kegiatan
ekonomi sekitarnya;
b. meningkatkan fungsi lindung;
BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 10
c. menyangga kawasan lindung terhadap pengembangan kawasan budi daya;
d. menjaga keseimbangan tata air dan lingkungan;
e. meningkatkan upaya pelestarian kemampuan sumber daya hutan;
f. meningkatkan pendapatan masyarakat terutama di daerah setempat;
g. meningkatkan pendapatan daerah dan nasional;
h. meningkatkan kesempatan kerja terutama untuk masyarakat daerah setempat;
i. meningkatkan nilai tambah produksi hasil hutan dan industri yang mengolahnya;
j. meningkatkan ekspor; atau
k. mendorong perkembangan usaha dan peran masyarakat terutama di daerah setempat.
Selain hal tersebut diatas, dijelaskan juga di penjelasan pasal 64 ayat 1, yaitu :
Penjelasan huruf a :
Yang dimaksud dengan “kawasan hutan produksi terbatas” adalah kawasan hutan yang
secara ruang digunakan untuk budi daya hutan alam.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kawasan hutan produksi tetap” adalah kawasan hutan yang
secara ruang digunakan untuk budi daya hutan alam dan hutan tanaman.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi” adalah kawasan
hutan yang secara ruang dicadangkan untuk digunakan bagi perkembangan transportasi,
transmigrasi, permukiman, pertanian, perkebunan, industri, dan lain-lain.
Pada pasal 65 menjelaskan tentang :
(1). Kawasan peruntukan hutan rakyat ditetapkan dengan kriteria kawasan yang dapat
diusahakan sebagai hutan oleh orang pada tanah yang dibebani hak milik.
(2). Kriteria teknis kawasan peruntukan hutan rakyat ditetapkan oleh menteri yang tugas
dan tanggung jawabnya di bidang kehutanan.
B. Teknis
1. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.50/Menhut-II/2010 jo P.26/Menhut-II/2012 tentang
Tata cara Pemberian dan Perluasan Areal Kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
(IUPHHK) dalam Hutan Alam, IUPHHK Restorasi Ekosistem atau IUPHHK Tanaman Industri
pada Hutan Produksi.
BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 11
Dalam rangka memberikan kepastian dan kemudahan berinvestasi serta untuk menghindari
tingginya biaya investasi maka proses pemberian izin usaha pemanfaatan hutan diatur
berdasarkan Permenhut No. P.50/Menhut-II/2010 tanggal 31 Desember 2010.
Dalam peraturan P.50/Menhut-II/2010 ini diatur tentang ketentuan umum persyaratan areal,
subjek pemohon, persyaratan permohonan, penilaian permohonan, persyaratan dan
pemberian izin perluasan dan pembayaran iuran izin usaha pemanfaatan hutan (IIUPH).
Pada pasal 2 diatur bahwa areal yang dimohon adalah kawasan hutan produksi yang tidak
dibebani izin/hak. Untuk IUPHHK-HTI dan IUPHHK-RE diutamakan pada hutan produksi yang
tidak produktif dan dicadangkan/ditunjuk oleh menteri sebagai areal untuk pembangunan
hutan tanaman atau untuk restorasi ekosistem.
Pada pasal 3 diatur bahwa pemohon yang dapat mengajukan permohonan adalah
perorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Swasta Indonesia, Badan Usaha Milik Negara atau
Badan Usaha Milik Daerah.
Pada pasal 4 diatur bahwa persyaratan permohonan terdiri dari : akte pendirian, surat izin
usaha, NPWP, pernyataan untuk membuka kantor cabang di provinsi atau kabupaten/kota,
rencana lokasi dilampiri peta, rekomendasi gubernur yang didasarkan pada pertimbangan
bupati/walikota dan analisis fungsi kawasan hutan dari kepala dinas kehutanan provinsi dan
kepala balai pemanfaatan kawasan hutan serta proposal teknis.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.50/Menhut-II/2010 jo P.26/Menhut-II/2012
dilakukan penghapusan pada pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) tentang :
Dalam hal pertimbangan bupati/walikota dalam waktu 10 (sepuluh hari) hari kerja sejak
diterimanya permohonan tidak diterima oleh gubernur, maka gubernur tetap memberikan
rekomendasi dan dalam hal Gubenur tidak memberikan rekomendasi dan setelah dimintakan
konfirmasi 3 (tiga) kali dengan tenggang waktu masing-masing 10 (sepuluh) hari kerja,
menteri memproses permohonan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pada pasal 5 diatur bahwa permohonan diajukan kepada menteri dengan tembusan kepada
Direktur Jenderal BUK, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan, gubernur, bupati/walikota
dan kepala balai pemanfaatan kawasan hutan.
Ketentuan pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) diubah dan menghapus ayat (3) serta menambah 1
(satu) ayat baru yaitu ayat (4), sehingga keseluruhan pasal 7 berbunyi sebagai berikut :
(1). Dalam hal hasil penilaian proposal teknis sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (4)
tidak lulus, Direktur Jenderal melapor kepada Menteri dan Menteri menerbitkan surat
penolakan permohonan izin.
(2). Dalam hal hasil penilaian proposal teknis sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (4)
dinyatakan lulus, Direktur Jenderal melapor kepada Menteri.
BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 12
(3). Berdasarkan laporan Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri
menetapkan calon pemegang izin dengan menerbitkan Surat Perintah Pertama (SP-1)
yang berisi perintah untuk menyusun dan menyampaikan Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan pasal 8 ayat (1) dihapus dan ayat (2) dan ayat (3) diubah, sehingga keseluruhan
pasal 8 berbunyi sebagai berikut :
(1). AMDAL yang telah mendapat persetujuan atau pengesahan dari pejabat yang
berwenang, disampaikan oleh calon pemegang izin kepada Menteri melalui Direktur
Jenderal.
(2). Dalam hal penilaian proposal teknis IUPHHK-RE dinyatakan lulus dan ditetapkan sebagai
calon pemegang izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (4), calon pemegang
izin diwajibkan menyusun UKL dan UPL sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Diantara pasal 9 ayat (2) dan ayat (3) disisipkan ayat baru yaitu ayat (2a), sehingga
keseluruhan pasal 9 berbunyi sebagai berikut :
(1). AMDAL sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (2), diselesaikan dalam jangka waktu
paling lama 150 (seratus lima puluh) hari kerja dan UKL-UPL sebagaimana dimaksud
dalam pasal 8 ayat (3), diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh)
hari kerja.
(2). Dalam hal waktu penyelesaian AMDAL atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak terpenuhi, pemohon dapat mengajukan permohonan perpanjangan waktu
kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal, dengan disertai alasan keterlambatan.
(2a) Permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diberikan 2
(dua) kali perpanjangan dengan jangka waktu masing-masing 60 (enam puluh)
hari kerja untuk AMDAL dan 15 (lima belas) hari kerja untuk UKL-UPL.
(3). Direktur Jenderal atas nama Menteri dapat menerima atau menolak permohonan
perpanjangan jangka waktu penyelesaian AMDAL atau UKL dan UPL, dengan
mempertimbangkan alasan keterlambatan penyelesaian AMDAL atau UKL dan UPL.
(4). Dalam hal permohonan perpanjangan jangka waktu penyelesaian AMDAL atau UKL dan
UPL sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima, Direktur Jenderal atas nama
Menteri menerbitkan perpanjangan waktu penyelesaian AMDAL atau UKL dan UPL.
(5). Dalam hal pemohon telah diberikan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dan pemohon tetap tidak dapat menyelesaikan kewajibannya, maka SP-1 menjadi batal
dengan sendirinya dan tidak berlaku lagi.
BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 13
Pada pasal 12 ayat 1 sampai dengan ayat 5 diatur bahwa izin perluasan IUPHHK-HA, HTI,
RE dapat diberikan pada lokasi yang berada disekitarnya, sepanjang tidak dibebani izin
usaha pemanfaatan hutan dengan luasan tidak melebihi izin yang telah diberikan. Izin
perluasan juga dapat diberikan kepada pemegang IUPHHK-HA, HTI, RE dalam hutan
produksi yang berkinerja baik dengan mengajukan permohonan dan melampirkan rencana
lokasi dan proposal teknis kepada Menteri Kehutanan dengan tembusan kepada Direktur
Jenderal BUK, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan kepala dinas provinsi. Dalam hal
wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) sudah dibentuk, perluasan
sebagaimana dimaksud diutamakan dalam wilayah KPHP yang sama.
Pada pasal 13 diatur bahwa keputusan tentang pemberian, perluasan areal kerja IUPHHK-
HA, HTI dan HTR diserah terimakan kepada pemohon setelah yang bersangkutan membayar
lunas Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IIUPH).
Ketentuan pasal 18 ayat (2) diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut Permohonan
IUPHHK-RE yang diajukan berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.61/Menhut-
II/2008 dan sudah sampai pada tingkat SP-1 (untuk membuat UKL dan UPL) atau sudah
dinyatakan lulus uji kelayakan untuk dapat diberikan SP-1, penyelesaian izinnya diproses
sesuai Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.61/Menhut-II/2008.
2. Peraturan Menteri Kehutanan No.P.55/Menhut-II/2011 tentang Tata Cara Permohonan Izin
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman.
Dalam peraturan P.55/Menhut-II/2011 ini diatur tentang ketentuan penetapan areal,
kegiatan dan pola HTR, jenis tanaman, persyaratan dan tata cara permohonan,
kelembagaan kelompok dan pembiayaan serta hak dan kewajiban pemegang IUPHHK-HTR.
Pada pasal 2 diatur bahwa alokasi dan penetapan areal HTR dilakukan oleh Menteri
Kehutanan pada kawasan hutan produksi yang tidak produktif dan tidak dibebani izin/hak
lain, berupa pencadangan areal HTR yang didasarkan pada rencana pembangunan HTR
yang diusulkan oleh bupati/walikota atau kepala KPHP dan luas areal pencadangan
disesuaikan dengan keberadaan masyarakat sekitar hutan. Rencana pencadangan areal HTR
dimaksud dilampiri pertimbangan teknis dari kepala dinas kabupaten/kota atau kepala KPHP
dengan tembusan disampaikan kepada Direktur Jenderal BUK dan Direktur Jenderal
Planologi Kehutanan. Direktur Jenderal Planologi Kehutanan melakukan verifikasi peta
usulan lokasi HTR yang disampaikan oleh bupati/walikota dan menyiapkan konsep peta
pencadangan areal HTR serta hasilnya disampaikan kepada Direktur Jenderal Bina Usaha
Kehutanan.
Pada pasal 4 diatur bahwa kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (UPHHK) pada
HTR melalui kegiatan penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan,
BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 14
dan pemasaran. Adapun tanaman yang dihasilkan dari UPHHK pada HTR merupakan asset
pemegang izin usaha dan dapat dijadikan agunan sepanjang izin usahanya masih berlaku.
Dalam hal terdapat tegakan hutan alam pada areal yang dicadangkan sebagai areal
pencadangan HTR, areal hutan alam tersebut ditetapkan sebagai areal perlindungan
setempat dan pengembangan hasil hutan bukan kayu (HHBK).
Pada pasal 5 diatur bahwa pola HTR terdiri dari pola mandiri yang dibangun oleh pemegang
IUPHHK-HTR, pola kemitraan yang dibangun oleh pemegang IUPHHK-HTR bersama dengan
mitra yang difasilitasi oleh pemerintah/pemerintah daerah dan pola developer yang
dibangun oleh BUMN atau BUMS atas permintaan pemegang IUPHHK-HTR dan biaya
pembangunannya menjadi tanggung jawab pemegang IUPHHK-HTR.
Pada pasal 7 diatur bahwa jenis tanaman pokok yang dapat dikembangkan untuk
pembangunan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu HTR terdiri dari jenis tanaman pokok
sejenis yaitu tanaman hutan berkayu yang hanya terdiri dari satu jenis (spesies) dan varietas
serta jenis tanaman pokok berbagai jenis yaitu tanaman hutan berkayu yang dikombinasikan
dengan tanaman budidaya tahunan yang berkayu (paling luas 40%) antara lain karet,
tanaman berbuah, bergetah dan pohon penghasil pangan dan energi.
Pada pasal 9 diatur bahwa yang dapat memperoleh IUPHHK-HTR adalah perorangan dan
koperasi dalam skala usaha mikro kecil, menengah dan dibangun oleh masyarakat setempat
yang tinggal di desa terdekat dari hutan dan diutamakan penggarap lahan pada areal
pencadangan HTR.
Pada pasal 10 diatur bahwa luas areal HTR maksimum 15 hektar untuk setiap pemegang izin
perorangan dan maksimum 700 hektar untuk pemegang izin berbentuk koperasi didukung
oleh daftar nama anggota koperasi yang jelas identitasnya dan letak areal harus berada
dalam lokasi pencadangan HTR yang telah ditetapkan oleh menteri.
Pada pasal 11 diatur bahwa persyaratan permohonan adalah foto copy KTP/akte pendirian
koperasi, keterangan dari kepala desa dan sketsa areal/peta areal yang dimohon yang
pembuatannya difasilitasi oleh pendamping HTR.
Pada pasal 13 dan 14 diatur bahwa perorangan atau ketua kelompok koperasi mengajukan
permohonan kepada bupati/walikota atau kepala KPHP melalui kepala desa dengan
tembusan kepada kepala UPT dilampiri dengan persyaratan. Berdasarkan tembusan
permohonan kepala desa dan kepala UPT melakukan verifikasi berkoordinasi dengan BPKH
dan hasilnya disampaikan kepada bupati/walikota dan atau kepala KPHP. Selanjutnya
bupati/walikota atau kepala KPHP atas nama Menteri Kehutanan menerbitkan IUPHHK-HTR
dengan tembusan kepada menteri, gubernur, Dirjen BUK, kepala dinas kehutanan provinsi,
kepala dinas kehutanan kabupaten dan kepala UPT. Selanjutnya kepala UPT melaporkan
BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 15
kepada menteri rekapitulasi penerbitan keputusan IUPHHK-HTR secara periodik setiap
3 bulan.
Pada pasal 15 diatur bahwa dalam hal areal yang dimohon untuk HTR berada diluar areal
yang telah ditetapkan oleh menteri, bupati/walikota atau kepala KPHP mengusulkan areal
yang dimaksud kepada menteri untuk ditetapkan sebagai areal pencadangan HTR.
Pada pasal 16 dan 17 diatur bahwa IUPHHK-HTR diberikan untuk jangka waktu 60 tahun
dan dapat diperpanjang satu kali untuk jangka waktu 35 tahun berdasarkan hasil evaluasi
yang dilakukan setiap 2 tahun. IUPHHK-HTR tidak dapat diperjualbelikan, dipindahtangankan
tanpa izin dan diwariskan. Dalam hal pemegang IUPHHK-HTR perorangan meninggal dunia
salah satu ahli waris diutamakan untuk memohon IUPHHK-HTR pada areal yang sama untuk
melanjutkan pembangunan HTR.
Pada pasal 21 diatur bahwa pembangunan HTR dapat dibiayai melalui pola pengelolaan
keuangan badan layanan umum, pusat pembiayaan pembangunan hutan (BLU Pusat P2H),
perbankan maupun pihak lain yang tidak mengikat.
Pada pasal 22 dan 23 diatur bahwa pemegang IUPHHK-HTR mempunyai hak melakukan
kegiatan sesuai izin, mendapatkan pinjaman dana bergulir sesuai ketentuan, bimbingan dan
penyuluhan teknis, mengikuti pendidikan dan latihan serta peluang mendirikan industri dan
memperoleh fasilitasi pemasaran hasil hutan. Sedangkan kewajibannya adalah menyusun
RKU PHHK-HTR dan RKT PHHK-HTR (dapat difasilitasi oleh pendamping HTR, UPT dan atau
perguruan tinggi dibidang kehutanan), melaksanakan pengukuran dan pemetaan areal kerja.
3. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.49/Menhut-II/2008 jo P.14/Menhut-II/2010 jo
P.53/Menhut-II/2011 tentang Hutan Desa.
Dalam peraturan P.49/Menhut-II/2008 jo P.14/Menhut-II/2010 jo P.53/Menhut-II/2011
tentang Hutan Desa ini diatur tentang penetapan areal kerja hutan desa, fasilitasi, hak
pengelolaan hutan desa, hak dan kewajiban pemegang hak, rencana kerja, pelaporan,
pembinaan, pengendalian dan pembiayaan serta sanksi .
Pada pasal 2 diatur bahwa penyelenggaraan hutan desa dimaksudkan untuk memberikan
akses kepada masyarakat setempat melalui lembaga desa dalam memanfaatkan sumber
daya hutan secara lestari. Penyelenggaraan hutan desa bertujuan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat setempat secara berkelanjutan.
Pada pasal 4 diatur bahwa kriteria kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai areal kerja
hutan desa adalah hutan lindung dan hutan produksi yang belum dibebani hak pengelolaan
atau izin pemanfaatan dan berada dalam wilayah administrasi desa yang bersangkutan.
Kriteria kawasan hutan tersebut didasarkan atas rekomendasi dari kepala KPH atau kepala
dinas kabupaten/kota yang diserahi tugas dan bertanggung jawab dibidang kehutanan.
BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 16
Pada pasal 5 dan 6 diatur bahwa UPT Direktorat Jenderal BPDASPS melakukan koordinasi
dengan UPT eselon I Kementerian Kehutanan terkait dan pemerintah daerah untuk
menentukan calon areal kerja hutan desa dan memfasilitasi pembentukan lembaga desa
membuat permohonan Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD) kepada gubernur dengan
tembusan kepada bupati/walikota. Pada areal lain diluar areal yang dicalonkan, masyarakat
setempat dapat mengajukan permohonan penetapan areal kerja hutan desa kepada
bupati/walikota. Selanjutnya bupati/walikota mengajukan usulan penetapan areal kerja
hutan desa kepada menteri.
Pada pasal 7 dan 8 diatur bahwa usulan bupati/walikota dilakukan verifikasi oleh tim yang
dibentuk oleh menteri beranggotakan unsur-unsur eselon I terkait lingkup Kementerian
Kehutanan yang dikoordinasikan oleh Dirjen BPDASPS. Selanjutnya Dirjen BPDASPS
menugaskan UPT Kementerian Kehutanan untuk melakukan verifikasi ke lapangan serta
berkoordinasi dengan pemda setempat. Berdasarkan hasil verifikasi tersebut, terhadap
usulan yang ditolak tim verifikasi menyampaikan pemberitahuan kepada bupati/walikota
dengan tembusan gubernur, sedangkan terhadap usulan penetapan yang diterima, menteri
menetapkan areal kerja hutan desa dan disampaikan kepada gubernur dan bupati/walikota
setempat.
Pada pasal 11 diatur bahwa hak pengelolaan hutan desa bukan merupakan hak kepemilikan
atas kawasan hutan dan dilarang memindahtangankan atau mengagunkan serta mengubah
status dan fungsi kawasan hutan dan dilarang digunakan untuk kepentingan lain diluar
rencana pengelolaan hutan dan harus dikelola berdasarkan kaidah-kaidah pengelolaan hutan
lestari.
Pada pasal 17 diatur bahwa hak pengelolaan hutan desa dapat diberikan untuk jangka
waktu paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang berdasarkan evaluasi
yang dilakukan paling lama setiap 5 (lima) tahun sekali oleh pemberi hak.
Pada pasal 18 dan 19 diatur bahwa hak pengelolaan hutan desa dapat mengajukan IUPHHK
dalam hutan desa yang terdiri dari IUPHHK-HA, HTI pada areal kerja yang berada dalam
hutan produksi. Permohonan IUPHHK diajukan oleh lembaga desa kepada menteri. Menteri
dapat melimpahkan wewenang penerbitan IUPHKK-HA dalam hutan desa kepada gubernur
dan IUPHHK-HT dalam hutan desa kepada bupati/walikota.
Pada pasal 23, 27, 28, 29, 30 dan 31 diatur bahwa pada hutan produksi pemegang hak
pengelolaan hutan desa berhak untuk memanfaatkan kawasan, jasa lingkungan,
pemanfaatan hutan kayu dan bukan kayu, pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu
melalui kegiatan budidaya tanaman obat, budidaya tanaman hias, budidaya jamur, budidaya
lebah, penangkaran satwa atau budidaya sarang burung walet, pemanfaatan jasa aliran air,
BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 17
pemanfaatan air, wisata alam, perlindungan keanekaragaman hayati, penyelamatan dan
perlindungan lingkungan atau penyerapan dan penyimpanan karbon, pemanfaatan rotan,
sagu, nipah, bambu, getah, kulit kayu, daun, buah atau biji gaharu. Pemanfaatan hasil
hutan kayu hanya dapat dilakukan setelah mendapat IUPHHK.
Pada pasal 34 diatur bahwa pemegang hak pengelolaan hutan desa memiliki kewajiban
melaksanakan penataan batas HPHD, menyusun rencana kerja HPHD, melakukan
perlindungan hutan, melaksanakan rehabilitasi areal kerja hutan desa dan melaksanakan
pengkayaan tanaman kerja hutan desa.
Pada pasal 36 diatur bahwa dalam menyusun rencana kerja hak pengelolaan hutan desa,
lembaga desa dapat meminta fasilitasi kepada pemerintah, pemerintah daerah atau pihak
lain.
Pada pasal 43 diatur bahwa pemegang HPHD menyampaikan laporan kinerja kepada
gubernur dengan tembusan kepada menteri, bupati/walikota sedangkan pemegang IUPHHK
hutan desa menyampaikan laporan kepada menteri dengan tembusan gubernur dan
bupati/walikota.
Pasal 47 diatur bahwa pembiayaan untuk pelaksanaan hutan desa dibebankan kepada kas
desa sedangkan pembiayaan untuk fasilitasi, pembinaan dan pengendalian dalam
penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat dibebankan kepada APBN, APBD atau sumber-
sumber yang tidak mengikat.
4. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.37/Menhut-II/2007 jo P.18/Menhut-II/2009 jo
P.13/Menhut-II/2010 jo P.52/Menhut-II/2011 tentang Hutan Kemasyarakatan.
Dalam peraturan P.37/Menhut-II/2007 jo P.18/Menhut-II/2009 jo P.13/Menhut-II/2010 jo
P.52/Menhut-II/2011 tentang Hutan Kemasyarakatan ini antara lain diatur tentang azas dan
prinsip penetapan areal kerja, perizinan, hak dan kewajiban serta pembiayaan HKm.
Pada pasal 2 diatur bahwa penyelenggaraan HKm berazaskan manfaat, musyawarah
mufakat dan keadilan dengan prinsip tidak mengubah status dan fungsi kawasan hutan,
pemanfaatan hasil hutan kayu hanya dapat dilakukan dari hasil kegiatan penanaman,
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagai pelaku utama dan partisipatif dalam
pengambilan keputusan.
Pada pasal 6 diatur bahwa kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai areal kerja hutan
kemasyarakatan adalah kawasan hutan lindung dan kawasan hutan produksi dengan
ketentuan belum dibebani hak atau izin dalam pemanfaatan hasil hutan dan menjadi sumber
mata pencaharian masyarakat setempat.
Pada pasal 8 diatur bahwa UPT Direktorat Jenderal BPDASPS melakukan koordinasi dengan
UPT eselon I Kementerian Kehutanan terkait dan pemerintah daerah untuk menentukan
BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 18
calon areal kerja hutan kemasyarakatan dan memfasilitasi masyarakat setempat untuk
membuat permohonan izin hutan kemasyarakatan kepada bupati/walikota. Pada areal lain
yang dicalonkan, masyarakat setempat dapat mengajukan permohonan penetapan areal
kerja hutan kemasyarakatan kepada bupati/walikota. Selanjutnya bupati/walikota
mengajukan usulan penetapan areal kerja hutan kemasyarakatan kepada menteri.
Pada pasal 11 s.d 14 diatur bahwa perizinan dalam hutan kemasyarakatan dilakukan melalui
tahapan fasilitasi dan pemberian izin. IUPHKm bukan merupakan hak kepemilikan atas
kawasan hutan dan dilarang dipindahtangankan, diagunkan atau digunakan untuk
kepentingan lain diluar rencana pengelolaan yang telah disahkan serta dilarang merubah
status dan fungsi kawasan hutan. IUPHKm dapat diberikan kepada kelompok masyarakat
setempat yang telah mendapat fasilitasi pada kawasan hutan yang telah ditetapkan sebagai
areal kerja HKm dengan surat keputusan menteri.
Pada pasal 15 dan 17 diatur bahwa IUPHKm yang berada pada hutan produksi meliputi
kegiatan pemanfaatan kawasan, penanaman tanaman hutan berkayu, pemanfaatan jasa
lingkungan, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, pemungutan hasil hutan kayu dan bukan
kayu melalui kegiatan budidaya tanaman obat, budidaya tanaman hias, budidaya jamur,
budidaya lebah, penangkaran satwa atau budidaya sarang burung walet, pemanfaatan jasa
aliran air, pemanfaatan air, wisata alam, perlindungan keanekaragaman hayati,
penyelamatan dan perlindungan lingkungan atau penyerapan dan penyimpanan karbon,
pemanfaatan rotan, sagu, nipah, bambu, getah, kulit kayu, daun, buah atau biji gaharu.
Pada pasal 20 s.d 22 diatur bahwa kelompok masyarakat yang telah memiliki IUPHHK dan
akan mengajukan permohonan IUPHHK-HKm kepada menteri wajib membentuk koperasi
dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah diberikan izin. Menteri dapat menugaskan
penerbitan IUPHH-HKm kepada gubernur. IUPHH-HKm diberikan untuk jangka waktu 35
tahun dan dapat diperpanjang sesuai dengan hasil evaluasi setiap 5 (lima) tahun. IUPHHK-
HKm hanya dapat dilakukan pada hutan produksi untuk kegiatan pemanfaatan hasil hutan
tanaman berkayu yang merupakan hasil penanamannya.
Pada pasal 24 diatur bahwa pemegang IUPHHK-HKm berhak menebang hasil hutan kayu
yang merupakan hasil penanamannya untuk jangka waktu 1 (satu) tahun sesuai dengan
rencana kerja tahunan dan rencana operasional serta mendapatkan pelayanan dokumen
sahnya hasil hutan sesuai ketentuan.
Pada pasal 25 diatur bahwa pemegang IUPHHK-HKm memiliki kewajiban membayar provisi
sumber daya hutan, menyusun rencana kerja pemanfaatan hasil hutan kayu, melaksanakan
penataan batas areal kerja, melakukan pengamanan areal tebangan antara lain pencegahan
kebakaran, melindungi pohon-pohon yang tumbuh secara alami/tidak menebang pohon
BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 19
yang bukan hasil tanaman dan menyampaikan laporan kegiatan pemanfaatan HKm pada
pemberi izin.
Pada pasal 37 diatur bahwa pembiayaan penyelenggaraan HKm dapat bersumber dari APBN,
APBD dan atau sumber sumber lain yang tidak mengikat
5. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.63/Menhut-II/2009 tentang Tata cara pemberian izin
usaha pemanfaatan kawasan silvo pastura pada hutan produksi
Pada pasal 2 tentang persyaratan areal untuk silvo pastura mengatur bahwa areal untuk
usaha pemanfaatan kawasan silvo pastura tersebut adalah Hutan Produksi yang telah
dibebani ijin IUPHHK HTI dengan luas maksimal 500 ha dan yang belum dibebani IUPHHK
atau izin usaha lainnya dengan luas maksimal 5 ha.
Pada pasal 3 tentang persyaratan pemohon menerangkan bahwa untuk pemohon IUPK-SP
pada areal yang telah dibebani izin HTI khusus diperuntukkan bagi pemegang IUPHHK-HTI
yang bersangkutan.
Pemohon IUPK-SP pada areal yang belum dibebani izin, yang dapat mengajukan
permohonan adalah perorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Swasta Indonesia (BUMSI)
dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
Pada pasal 4 mengatur bahwa persyaratan permohonan IUPK-SP yang telah dibebani
IUPHHK-HTI adalah fotocopy SK pemberian izin IUPHHK-HTI dan izin usaha lainnya, peta
permohonan, rekomendasi gubernur, proposal teknis.
Sedangkan persyaratan permohonan IUPK-SP yang belum dibebani IUPHHK-HTI atau izin
usaha lainnya adalah :
x Rekomendasi gubernur apabila areal yang diusulkan berada pada lintas kabupaten, tidak
dibebani hak-hak lain dan dilampiri Peta lokasi skala 1: 100.000
x Rekomendasi bupati/balikota apabila areal yang diusulkan berada pada satu wilayah
kabupaten/kota, tidak dibebani hak-hak lain dan dilampiri peta lokasi skala 1: 100.000
x Pernyataan bersedia membuka kantor cabang di provinsi dan atau kabupaten/kota
x Akte pendirian Koperasi atau Badan Usaha beserta perubahan-perubahannya yang telah
disahkan oleh pejabat yang berwenang
x Bergerak di bidang usaha kehutanan/pertanian/perkebunan, peternakan
x Surat izin usaha dari instansi yang berwenang
x Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
x Proposal teknis yang berisi antara lain : kondisi umum areal dan perusahaan serta usulan
teknis kegiatan yang terdiri dari tujuan dan perencanaan.
BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 20
Rekomendasi gubernur atau bupati/walikota sebagaimana harus didasarkan analisa fungsi
kawasan oleh dinas kehutanan dan Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) antara lain
analisis izin-izin kehutanan, izin penggunaan kawasan hutan dan mutasi kawasan yang
dituangkan dalam data spatial.
Pada pasal 10 mengatur bahwa jangka waktu IUPK-SP pada hutan produksi diberikan paling
lama 25 (dua puluh lima) tahun sesuai dengan jenis usahanya dan dapat diperpanjang.
Pada pasal 13 menerangkan bahwa dalam hal areal pada hutan produksi telah ditetapkan
tata hutannya dalam 1 (satu) KPH, maka areal/lokasi permohonan izin baru atau perluasan
areal UPK-SP harus berada pada hutan produksi.
C. Pendukung
1. Instruksi Presiden No.10 tahun 2011 tentang Penundaan Izin Baru dan Penyempurnaan Tata
Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.
Dalam rangka menyeimbangkan dan menselaraskan pembangunan ekonomi, sosial, budaya
dan lingkungan serta upaya penurunan emisi gas rumah kaca yang dilakukan melalui
penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, presiden menginstruksikan kepada
menteri terkait agar :
a. Mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi dan kewenangan
masing-masing untuk mendukung penundaan pemberian izin baru hutan alam primer dan
lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi (hutan
produksi terbatas, hutan produksi tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi) dan area
penggunaan lain sebagaimana tercantum dalam peta indikatif penundaan izin baru.
b. Penundaan pemberian izin baru sebagaimana dimaksud dalam diktum pertama berlaku
bagi penggunaan kawasan hutan alam primer dan lahan gambut, dengan pengecualian
diberikan kepada :
1) Permohonan yang telah mendapat persetujuan prinsip dari Menteri Kehutanan.
2) Pelaksanaan pembangunan nasional yang bersifat vital yaitu : geothermal, minyak
dan gas bumi, ketenagalistrikan, lahan untuk padi dan tebu.
3) Perpanjangan izin pemanfaatan hutan dan/atau penggunaan kawasan hutan yang
telah ada sepanjang izin di bidang usahanya masih berlaku dan
4) Restorasi ekosistem.
Selanjutnya presiden pada diktum ketiga memberikan instruksi khusus kepada :
A. Menteri Kehutanan agar :
BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 21
1) Melakukan penundaan terhadap penerbitan izin baru pada hutan alam primer dan
lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi (hutan
produksi terbatas, hutan produksi biasa/tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi)
berdasarkan peta indikatif penundaan izin baru.
2) Menyempurnakan kebijakan tata kelola bagi izin pinjam pakai dan izin usaha
pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam.
3) Meningkatkan efektivitas pengelolaan lahan kritis dengan memperhatikan kebijakan
tata kelola hutan dan lahan gambut yang baik, antara lain melalui restorasi ekosistem.
4) Melakukan revisi terhadap peta indikatif penundaan izin baru pada kawasan hutan
setiap 6 (enam) bulan sekali.
5) Menetapkan peta indikatif penundaan izin baru hutan alam primer dan lahan gambut
pada kawasan hutan yang telah direvisi.
B. Menteri Lingkungan Hidup agar melakukan upaya pengurangan emisi dari hutan dan
lahan gambut melalui perbaikan tata kelola pada kegiatan usaha yang diusulkan pada
hutan dan lahan gambut yang ditetapkan dalam peta indikatif penundaan izin baru
melalui izin lingkungan.
C. Menteri Dalam Negeri melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap gubernur dan
bupati/walikota dalam pelaksanaan instruksi presiden ini.
D. Kepala Badan Pertanahan Nasional melakukan penundaan terhadap penerbitan hak-hak
atas tanah antara lain hak guna usaha, hak pakai pada areal penggunaan lain
berdasarkan peta indikatif penundaan izin baru.
E. Ketua Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional :
melakukan percepatan konsolidasi peta indikatif penundaan izin baru ke dalam revisi peta
tata ruang wilayah sebagai bagian dari pembenahan tata kelola penggunaan lahan
melalui kerja sama dengan gubernur, bupati/walikota dan ketua satuan tugas persiapan
pembentukan kelembagaan REDD+ atau ketua lembaga yang dibentuk untuk
melaksanakan tugas khusus di bidang REDD+.
F. Kepala Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional agar melakukan pembaharuan
peta tutupan hutan dan lahan gambut sesuai peta indikatif penundaan izin baru pada
kawasan hutan dan areal penggunaan lain setiap 6 (enam) bulan sekali melalui kerja
sama dengan Menteri Kehutanan, Kepala Badan Pertanahan Nasional dan Ketua Satuan
Tugas Persiapan Pembentukan Kelembagaan REDD+ atau ketua lembaga yang dibentuk
untuk melaksanakan tugas khusus di bidang REDD+.
BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 22
G. Para gubernur agar melakukan penundaan penerbitan rekomendasi dan izin lokasi baru
pada kawasan hutan dan lahan gambut serta areal penggunaan lain berdasarkan peta
indikatif penundaan izin baru.
H. Para bupati/walikota agar melakukan penundaan penerbitan rekomendasi dan izin lokasi
baru pada kawasan hutan dan lahan gambut serta areal penggunaan lain berdasarkan
peta indikatif penundaan izin baru.
Selanjutnya pada diktum kelima diinstruksikan bahwa penundaan pemberian izin baru,
rekomendasi dan pemberian izin lokasi dilakukan selama 2 (dua) tahun terhitung sejak
instruksi presiden ini dikeluarkan.
2. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.3803/Menhut-VI/BRPUK/2012 tentang Penetapan
Indikatif pencadangan kawasan hutan produksi untuk usaha pemanfaatan hasil hutan kayu
menetapkan peta indikatif pencadangan kawasan hutan produksi untuk usaha pemanfaatan
hasil hutan kayu seluas ± 22.908.130 ha.
Luas indikatif pencadangan kawasan hutan tersebut adalah :
a. Usaha pemanfaatan hasil hutan kayu untuk hutan alam seluas ± 6.516.711 ha.
b. Usaha pemanfaatan hasil hutan kayu untuk restorasi ekosistem seluas ± 4.982.708 ha.
c. Usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman yatui hutan tanaman industri
(HTI) dan atau hutan tanaman rakyat (HTR) seluas ± 11.075.592 ha.
d. Hutan Desa (HD) atau hutan Kemasyarakatan (HKm) seluas ± 333.119 ha.
Dalam hal pengajuan permohonan untuk izin usaha pemanfaatan hasil hutan yang tidak
sesuai dengan pencadangan maka kawasan yang dimohon wajib dilakukan analisis makro
dan atau analisis mikro sesuai dengan kiteria yang telah ditetapkan.
3. Keputusan Menteri Kehutanan nomor SK.6315/Menhut-VII/IPSDH/2012 tentang penetapan
peta indikatif penundaan izin baru pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan dan
perubahan peruntukan kawasan hutan dan areal penggunaan lain (Revisi III).
Menetapkan peta indikatif penundaan izin baru pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan
hutan dan perubahan peruntukan kawasan hutan dan areal penggunaan lain Revisi II yang
meliputi : izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, izin pemungutan hasil hutan kayu, izin
penggunaan kawasan hutan dan perubahan peruntukan kawasan hutan.
Penundaan pemberian izin baru ini tidak berlaku dalam perubahan peruntukan kawasan
hutan terkait dengan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi.
Peta indikatif ini tidak berlaku terhadap lokasi yang telah mendapat persetujuan prinsip dari
Menteri Kehutanan pada kawasan hutan yang telah diterbitkan sebelum intruksi presiden
nomor 10 tahun 2011 dan perizinan atau titel hak dari pejabat berwenang sesuai dengan
BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 23
peraturan perundang-undangan pada areal penggunaan lain (APL) atau bukan kawasan
hutan yang diterbitkan sebelum intruksi presiden nomor 10 tahun 2011.
BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 24
IV. TATA CARA PERMOHONAN PENCADANGAN
DAN IZIN PEMANFAATAN HUTAN
Guna memperlancar proses permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada
Hutan Alam dan Hutan Tanaman Industri serta Restorasi Ekosistem, Pencadangan Areal HTR,
Penetapan Areal Kerja HKM dan HD, pada bab ini disajikan secara jelas tata cara pemberian izin
pemanfaatan, pencadangan areal HTR dan penetapan areal kerja HKm & HD dimaksud sebagai
berikut :
A. Pemberian dan Perluasan Areal Kerja IUPHHK-HA/HTI/RE
Dasar : Permenhut No. P.50/Menhut-II/2010 jo P.26 Menhut II/2012
Gambar 1 : Skema tata cara pencadangan areal kerja areal kerja IUPHHK-HA, IUPHHK-
HTI dan IUPHHK-RE sesuai dengan Permenhut No. P.50/Menhut-II/2010 jo
P.26 Menhut II/2012
BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 25
1. Pemohon yang dapat mengajukan permohonan IUPHHK-HA, IUPHHK-HTI dan IUPHHK-
RE adalah :
a. Perorangan.
b. Koperasi.
c. Badan Usaha Milik Swasta Indonesia (BUMSI).
d. Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
e. Badan Usaha Milik Daerah.
Dalam hal permohonan IUPHHK-HTI perorangan tidak diperbolehkan mengajukan
permohonan.
2. Permohonan IUPHHK-HA atau IUPHHK-HTI atau IUPHHK-RE mengacu pada areal yang
telah dialokasikan dan dapat dilihat dalam website www.dephut.go.id
a. Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan.
dengan alamat
“Bina Usaha Kehutanan”. Permohonan diajukan dengan tembusan kepada :
b. Direktur Jenderal Planologi Kehutanan.
c. Gubernur.
d. Bupati/Walikota.
e. Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan.
dengan melengkapi persyaratan seperti rekomendasi gubernur, pertimbangan
bupati/walikota, pertimbangan teknis dinas kehutanan kabupaten/kota, analisis fungsi
kawasan hutan dari dinas kehutanan dan balai pemanfaatan kawasan hutan dan peta
lokasi serta proposal teknis. Permohonan tersebut diajukan dengan tembusan kepada
Direktur Jenderal BUK, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan, gubernur, bupati/walikota
dan kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan.
3. Direktorat Jenderal BUK memeriksa kelengkapan persyaratan yang diajukan oleh
pemohon. Jika permohonan tidak memenuhi kelengkapan persyaratan, Direktur Jenderal
BUK atas nama Menteri Kehutanan menerbitkan surat penolakan, jika syarat-syarat
permohonan lengkap, Direktur Jenderal BUK memeriksa proposal teknis dengan tenggang
waktu 10 (sepuluh) hari kerja dan hasilnya disampaikan kepada Menteri Kehutanan.
Apabila satu areal telah dimohon dan memenuhi kelengkapan persyaratan, maka dalam
tenggang waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak pemohon pertama menyampaikan
permohonan dan lengkap persyaratan, diberi kesempatan kepada pemohon lain untuk
mengajukan permohonan pada areal yang sama.
4. Berdasarkan hasil penilaian proposal teknis terhadap pemohon yang dinyatakan lulus dan
diterima Menteri Kehutanan, Direktur Jenderal BUK atas nama Menteri Kehutanan
menerbitkan Surat Perintah Pertama (SP-1) kepada pemohon untuk menyusun dan
BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 26
menyampaikan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). AMDAL yang telah
mendapatkan persetujuan atau pengesahan dari pejabat yang berwenang diteruskan
untuk disampaikan oleh pemohon kepada Menteri Kehutanan melalui Direktur Jenderal
BUK. Dalam hal penilaian proposal teknis IUPHHK-RE dinyatakan lulus, pemohon harus
menyusun UKL dan UPL. AMDAL harus diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 150
(seratus lima puluh) hari kerja dan UKL-UPL harus diselesaikan dalam jangka waktu
paling lama 60 (enam puluh) hari kerja. Dalam hal waktu penyelesaian AMDAL atau UKL
dan UPL tidak terpenuhi, pemohon dapat mengajukan permohonan perpanjangan waktu
kepada Menteri Kehutanan c.q Direktur Jenderal BUK dengan disertai alasan
keterlambatan. Dalam hal pemohon telah diberikan perpanjangan sebagaimana
dimaksud, pemohon tetap tidak dapat menyelesaikan kewajibannya maka SP-1 menjadi
batal dengan sendirinya dan tidak berlaku lagi.
5. Berdasarkan AMDAL atau UKL dan UPL yang diterima, Direktur Jenderal BUK atas nama
Menteri Kehutanan menerbitkan Surat Perintah kedua (SP-2) kepada Direktur Jenderal
Planologi Kehutanan untuk menyiapkan peta areal kerja (working area/WA) paling lambat
15 (lima belas) hari kerja dan menyampaikan hasilnya kepada Direktur Jenderal BUK.
6. Berdasarkan peta areal kerja (working area/WA) yang disampaikan oleh Dirjen Planologi
Kehutanan, Direktur Jenderal BUK menyiapkan dan menyampaikan konsep keputusan
Menteri Kehutanan tentang pemberian IUPHHK-HA atau IUPHHK-HTI atau IUPHHK-RE
kepada Menteri Kehutanan melalui Sekretaris Jenderal.
7. Sekretaris Jenderal menelaah aspek hukum terhadap konsep Keputusan Menteri
Kehutanan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya
konsep tersebut dan menyampaikan hasil telaahan kepada menteri.
8. Berdasarkan konsep keputusan yang diterima, Menteri Kehutanan menerbitkan keputusan
tentang pemberian IUPHHK-HA atau IUPHHK-HTI atau IUPHHK-RE.
BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 27
B. Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman
Rakyat dalam Hutan Tanaman
Dasar : Peraturan Menteri Kehutanan No. P.55/Menhut-II/2011
Gambar 2 : Skema tata cara pencadangan areal HTR berdasarkan Permenhut
No. P.55/Menhut-II/2011
BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 28
1. Pencadangan areal HTR didasarkan kepada usulan rencana pembangunan HTR oleh
bupati/walikota atau kepala KPHP dengan dilampiri oleh pertimbangan teknis dari kepala
dinas kabupaten/kota atau kepala KPHP yang memuat :
- Informasi kondisi areal dan penutupan lahan, informasi (kawasan atau areal) tumpang
tindih perizinan, tanaman reboisasi dan rehabilitasi.
- Daftar nama-nama masyarakat calon pemegang izin IUPHHK-HTR yang diketahui oleh
camat dan kepala desa/lurah sesuai KTP setempat.
- Pernyataan bahwa aksesibilitas areal yang diusulkan tidak sulit.
- Peta usulan rencana pembangunan HTR skala 1: 50.000 atau skala 1: 100.000.
2. Bupati/walikota/kepala KPHP menyampaikan permohonan tersebut kepada Menteri
Kehutanan dengan tembusan kepada Direktur Jenderal BUK dan Direktur Jenderal
Planologi Kehutanan.
3. Berdasarkan usulan bupati/walikota/kepala KPH maka Direktur Jenderal BUK dan Direktur
Jenderal Planologi Kehutanan melakukan verifikasi rencana pembangunan HTR dari aspek
teknis dan administratif sebagai berikut :
- Direktur Jenderal Planologi Kehutanan melakukan verifikasi peta usulan lokasi HTR
yang disampaikan oleh bupati/walikota dan menyiapkan konsep peta pencadangan
areal HTR serta hasilnya disampaikan kepada Direktur Jenderal BUK.
- Direktur Jenderal BUK melakukan verifikasi rencana pembangunan HTR yang
disampaikan oleh bupati/walikota dari aspek teknis dan administratif, kemudian
menyiapkan konsep keputusan menteri tentang penetapan/alokasi areal HTR dengan
dilampiri konsep peta pencadangan areal HTR dan mengusulkan melalui Sekretaris
Jenderal kepada Menteri Kehutanan untuk ditetapkan.
4. Sekretaris Jenderal menelaah aspek hukum terhadap konsep Keputusan Menteri
Kehutanan yang diusulkan oleh Dirjen BUK dan menyampaikan hasil telaahan tersebut
kepada menteri.
5. Menteri Kehutanan menerbitkan pencadangan areal untuk pembangunan HTR yang
nantinya akan disampaikan kepada bupati/walikota atau kepala KPHP dengan tembusan
kepada gubernur .
6. Berdasarkan pencadangan areal HTR, bupati/walikota atau kepala KPHP melakukan
sosialisasi kepada masyarakat. Sosialisasi dapat dilakukan oleh lembaga swadaya
masyarakat yang ada di Jakarta, provinsi atau kabupaten/kota.
BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 29
C. Penetapan Areal Kerja Hutan Desa
Dasar : Permenhut No.P.49/Menhut-II/2008 jo Permenhut No.P.14/Menhut-II/2008 jo
Permenhut No.P.53/Menhut-II/2008
Gambar 3 : Skema tata cara penetapan hutan desa berdasarkan Permenhut
No.P.49/Menhut-II/2008 jo Permenhut No.P.14/Menhut-II/2008 jo Permenhut
No.P.53/Menhut-II/2008 jo Permenhut No.P.53/Menhut-II/2011
1. Kriteria kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai calon areal kerja hutan desa
adalah
a) Hutan lindung atau hutan produksi yang belum dibebani hak pengelolaan atau izin
pemanfaatan.
b) Berada dalam wilayah administrasi desa yang bersangkutan.
c) Calon areal kerja yang dimohon harus didasarkan atas rekomendasi dari kepala KPH
atau kepala dinas kabupaten/kota yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di
BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 30
bidang kehutanan.
Pada areal lain di luar areal yang dicalonkan, masyarakat setempat melalui kepala desa
dapat mengajukan permohonan penetapan areal kerja hutan desa kepada bupati/walikota
dengan melampirkan :
a) Sketsa lokasi areal yang dimohon.
b) Surat usulan dari kepala desa/lurah.
c) Nama-nama calon anggota lembaga desa atau struktur lembaga desa jika sudah
terbentuk yang diketahui oleh camat dan kepala desa/lurah.
2. Bupati/walikota mengajukan usulan penetapan areal kerja hutan desa kepada menteri
dengan melengkapi :
- Peta digital lokasi calon areal kerja hutan desa dengan skala paling kecil 1: 50.000.
- Deskripsi wilayah, antara lain keadaan fisik wilayah, sosial ekonomi dan potensi
kawasan.
- Surat usulan dari kepala desa/lurah.
- Nama-nama calon anggota lembaga desa atau struktur lembaga desa jika sudah
terbentuk yang diketahui oleh camat dan kepala desa/lurah.
3. Usulan bupati tersebut dilakukan verifikasi oleh tim verifikasi yang beranggotakan unsur-
unsur eselon I Kementerian Kehutanan dengan penanggung jawab Direktur Jenderal
BPDASPS. Tim verifikasi ini terdiri dari BPKH dan BPDAS.
4. Jika verifikasi tersebut ditolak maka tim verifikasi atas nama menteri memberitahukan
kepada bupati/walikota dengan tembusan kepada gubernur.
5. Jika verifikasi diterima maka menteri dapat mengeluarkan keputusan penetapan hutan
desa.
6. Selanjutnya penetapan areal kerja disampaikan kepada gubernur dan bupati/walikota
untuk disosialisasikan kepada masyarakat.
7. Hasil dari sosialisasi tersebut adalah pembentukan lembaga desa yang dituangkan dalam
peraturan desa. Lembaga desa inilah yang dapat mengajukan hak pengelolaan hutan
desa kepada gubernur melalui bupati/walikota.
8. Selanjutnya gubernur akan melakukan verifikasi, jika hasil verifikasi memenuhi syarat,
gubernur memberikan hak pengelolaan hutan desa dalam bentuk SK pemberian hak
pengelolaan hutan desa.
BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 31
D. Penetapan Areal Kerja Hutan Kemasyarakatan
Dasar : Permenhut No.P.37/Menhut-II/2007 jo Permenhut No.P.18/Menhut-II/2009 jo
Permenhut No.P.13/Menhut-II/2010 jo Permenhut No.P.52/Menhut-II/2011.
Gambar 4 : Tata cara penetapan HKm dan permohonan IUPHHK-HKm sesuai dengan
Permenhut No.P.37/Menhut-II/2007 jo Permenhut No.P.18/Menhut-II/2009 jo
Permenhut No.P.13/Menhut-II/2010 jo Permenhut No.P.52/Menhut-II/2011.
1. Kriteria kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai calon areal kerja hutan
kemasyarakatan adalah :
a) Hutan lindung atau hutan produksi yang belum dibebani hak pengelolaan atau izin
pemanfaatan.
b) Menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat.
BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 32
Pada areal lain di luar areal yang dicalonkan masyarakat melalui ketua kelompok/kepala
desa/tokoh masyarakat dapat mengajukan IUPHKm kepada bupati/walikota dengan
melampirkan :
a) Sketsa lokasi areal yang dimohon.
b) Daftar nama masyarakat setempat calon kelompok hutan kemasyarakatan yang
diketahui oleh camat dan kepala desa/lurah.
2. Permohonan masyarakat setempat diajukan oleh ketua kelompok atau kepala desa atau
tokoh masyarakat kepada bupati/walikota. Permohonan awal ini akan diverifikasi tahap
pertama oleh tim yang dibentuk oleh gubernur atau bupati/walikota.
3. Berdasarkan hasil verifikasi ini maka tim dapat menolak atau menerima permohonan
penetapan areal hutan kemasyarakatan. Terhadap permohonan yang ditolak, tim
verifikasi melaporkan kepada gubernur atau bupati/walikota. Terhadap permohonan yang
diterima, tim verifikasi menyampaikan rekomendasi kepada gubernur dan atau
bupati/walikota.
4. Berdasarkan hasil verifikasi, gubernur atau bupati/walikota menyampaikan usulan
penetapan areal hutan kemasyarakatan kepada Menteri Kehutanan dilengkapi peta calon
areal kerja hutan kemasyarakatan dilengkapi dengan peta calon areal kerja hutan
kemasyarakatan dengan skala 1: 50.000 serta deskripsi wilayah antara lain keadaan fisik
wilayah, sosial ekonomi dan potensi kawasan sesuai petunjuk teknis pemetaan oleh
BPKH/BPDAS.
5. Hasil rekomendasi tim verifikasi yang telah dilampiri dengan peta calon areal HKm
tersebut kemudian akan diverfikasi oleh tim yang dibentuk oleh Menteri Kehutanan
dengan penanggung jawab Direktur Jenderal BPDASPS dengan menugaskan UPT terkait.
6. Jika verifikasi tersebut ditolak maka tim verifikasi menyampaikan pemberitahuan
penolakan tersebut kepada gubernur dan/atau bupati/walikota.
7. Jika verifikasi diterima maka menteri dapat menetapkan areal kerja hutan
kemasyarakatan dan bupati dapat menerbitkan IUPHHK-HKm.
E. Tata cara permohonan izin KHDTK
Dasar : UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan PP no 12 Tahun 2010, dan saat ini
sedang dipersiapkan Permenhut yang mengatur tentang KHDTK.
BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 33
F. Tata cara pemberian Izin usaha pemanfaatan silvo pastura pada hutan
produksi
Dasar : Permenhut No. P.63/Menhut-II/2009
Gambar 5 : Tata cara pemberian izin usaha pemanfaatan silvo pastura pada hutan
produksi sesuai dengan Permenhut no P.63/Menhut-II/2009
1. Penetapan Izin Usaha Pemanfaatan Silvo Pastura didasarkan dari usulan permohonan :
x Pemohon IUPK-SP pada areal yang telah dibebani izin HTI khusus diperuntukkan bagi
pemegang IUPHHK-HTI yang bersangkutan.
x Pemohon IUPK-SP pada areal yang belum dibebani izin, yang dapat mengajukan
permohonan adalah perorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Swasta Indonesia
(BUMSI) dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Persyaratan areal untuk silvo pastura mengatur bahwa areal untuk usaha pemanfaatan
kawasan silvo pastura tersebut adalah Hutan Produksi yang telah dibebani ijin IUPHHK
HTI dengan luas maksimal 500 hektar dan yang belum dibebani IUPHHK atau izin usaha
lainnya dengan luas maksimal 5 hektar.
2. Persyaratan permohonan IUPK-SP yang telah dibebani IUPHHK-HTI adalah :
x Fotocopy SK pemberian izin IUPHHK-HTI dan izin usaha lainnya.
BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 34
x Peta permohonan.
x Rekomendasi Gubernur.
x Proposal teknis.
3. Sedangkan Persyaratan permohonan IUPK-SP yang belum dibebani IUPHHK-HTI atau izin
usaha lainnya adalah :
x Rekomendasi Gubernur apabila areal yang diusulkan berada pada lintas Kabupaten,
tidak dibebani hak-hak lain dan dilampiri Peta lokasi skala 1: 100.000.
x Rekomendasi Bupati/Walikota apabila areal yang diusulkan berada pada satu wilayah
Kabupaten/Kota, tidak dibebani hak-hak lain dan dilampiri Peta lokasi skala 1: 100.000.
x Pernyataan bersedia membuka kantor cabang di provinsi dan atau kabupaten/kota.
x Akte pendirian Koperasi atau Badan Usaha beserta perubahan-perubahannya yang
telah disahkan oleh pejabat yang berwenang.
x Bergerak di bidang usaha kehutanan/pertanian/perkebunan, peternakan.
x Surat izin usaha dari instansi yang berwenang.
x Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
x Proposal teknis yang berisi antara lain : kondisi umum areal dan perusahaan serta
usulan teknis kegiatan yang terdiri dari tujuan dan perencanaan.
4. Rekomendasi gubernur atau bupati/walikota sebagaimana harus didasarkan analisa fungsi
kawasan oleh dinas kehutanan dan Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) antara lain
analisis izin-izin kehutanan, izin penggunaan kawasan hutan dan mutasi kawasan yang
dituangkan dalam data spatial.
5. Jika semua syarat terpenuhi, maka Menteri memerintahkan Dirjen Planologi Kehutanan
untuk membuat Peta areal kerja Izin Usaha Pemanfaatan Silvo Pastura.
6. Setelah selesai, Dirjen Planologi menyerahkan Peta Areal Kerja untuk ditelaah aspek
hukumnya di Sekjen.
7. Setelah semua terpenuhi, Menteri menetapkan SK Izin Usaha Pemanfaatan Silvo Pastura.
8. Pada pasal 10 mengatur bahwa jangka waktu IUPK-SP pada hutan produksi diberikan
paling lama 25 (dua puluh lima) tahun sesuai dengan jenis usahanya dan dapat
diperpanjang.
9. Dalam hal areal pada hutan produksi telah ditetapkan tata hutannya dalam 1 (satu) KPH,
maka areal/lokasi permohonan izin baru atau perluasan areal IUPK-SP harus berada pada
hutan produksi.
BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 35
V. PEMANFAATAN HUTAN INDONESIA
A. Luas Kawasan Hutan Indonesia, Kawasan Hutan Yang Dibebani Izin Pemanfaatan
dan Kawasan Hutan Yang Belum Dibebani Izin Pemanfaatan Hutan
Berdasarkan SK penunjukan kawasan hutan dan perairan sampai dengan bulan November
2012, luas kawasan hutan Indonesia adalah 134.290.240,94 ha yang terdiri dari : Hutan
Konservasi (KSA+KPA) 27.086.910,23 ha, Hutan Lindung (HL) 30.539.823,36 ha, total Hutan
Produksi (HP+HPT+HPK) 76.663.507,34 ha. Sampai dengan November 2012 luas kawasan
Hutan Produksi yang telah dibebani izin pemanfaatan adalah 34.871.041 ha sehingga Hutan
Produksi yang belum dibebani izin pemanfaatan adalah seluas 41.770.695 ha.
Gambar 6 : Diagram Luas Kawasan Hutan Indonesia
Gambar 7 : Diagram Luas Kawasan Hutan Produksi Indonesia
27.086.910
20%
30.539.823
23%
76.663.507
57%
Hutan Konservasi
Hutan Lindung
Hutan Produksi
27.967.604,50
37%30.810.790,34
40%
17.885.112,50
23%
HPT
HP
HPK
BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 36
Adapun rincian luas kawasan hutan, luas kawasan hutan yang sudah dibebani ijin pemanfaatan dan luas kawasan hutan yang belum dibebani izin sampai dengan
November 2012 diseluruh Indonesia dapat terlihat pada tabel 1, 2 dan 3 dibawah ini.
NO PROPINSI
KEPUTUSAN LUAS KAWASAN HUTAN DAN PERAIRAN (Ha)
Total Hutan
Produksi
Jumlah
Kawasan
Hutan
Jumlah
Kawasan
Hutan dan
Perairan
NOMOR TANGGAL
KAWASAN KONSERVASI
HL
Hutan Produksi
Konservasi
Perairan
Konservasi
Darat
JUMLAH HPT HP HPK
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
1 D. I. Aceh 170/Kpts-II/2000 29 Juni 2000 214.100,00 852.633,00 1.066.733,00 1.844.500,00 37.300,00 601.280,00 0,00 638.580,00 3.335.713,00 3.549.813,00
2 Sumatera Utara 44/Menhut-II/2005
16 Februari 2005
- 477.070,00 477.070,00 1.297.330 879.270,00 1.035.690,00 52.760,00 1.967.720,00 3.742.120,00 3.742.120,00
3 Sumatera Barat 141/Menhut-II/2012
15 Maret 2012
37.164 769.716,00 806.880,00 792.114,00 233.157,00 360.382,00 188.257,00 781.796,00 2.343.626,00 2.380.790,00
4 Riau (1) 173/Kpts-II/1986
06 Juni 2011
- 451.240,00 451.240,00 397.150,00 1.971.553,00 1.866.132,00 4.770.085,00 8.607.770,00 9.456.160,00 9.456.160,00
5
Kepulauan Riau
(2) -
-
- - - - - - - 0,00 0,00 -
6 Jambi 421/Kpts-II/1999
15 Juni 1999
- 676.120,00 676.120,00 191.130,00 340.700,00 971.490,00 - 1.312.190,00 2.179.440,00 2.179.440,00
7 Bengkulu 643/Menhut-II/2011
10 Nopember 2011
- 462.965,00 462.965,00 250.750,00 173.280,00 25.873,00 11.763 210.916,00 924.631,00 924.631,00
8
Sumatera
Selatan 76/Kpts-II/2001
15 Maret 2001
17.000,00 697.416,00 714.416,00 760.523,00 217.370,00 2.293.083,00 431.445,00 2.941.898,00 4.399.837,00 4.416.837,00
9
Kep. Bangka
Belitung 357/Menhut-II/04
01 Oktober 2004
- 34.690,00 34.690,00 156.730,00 - 466.090,00
-
466.090,00 657.510,00 657.510,00
10 Lampung 256/Kpts-II/2000
23 Agustus 2000
- 462.030,00 462.030,00 317.615,00 33.358,00 191.732,00
-
225.090,00 1.004.735,00 1.004.735,00
11 DKI Jakarta 220/Kpts-II/2000 02 Agustus 2000 108.000,00 272,34 108.272,34 44,76 - 158,35
-
158,35 475,45 108.475,45
12 Jawa Barat 195/Kpts-II/2003
04 Juli 2003
- 132.180,00 132.180,00 291.306,00 190.152,00 202.965,00
-
393.117,00 816.603,00 816.603,00
13 Banten (3) 419/Kpts-II/1999
15 Juni 1999
51.467,000 112.991,000 164.458,00 12.359,000 49.439,000 26.998,000
-
76.437,00 201.787,00 253.254,00
14 Jawa Tengah 359/Menhut-II/04 01 Oktober 2004 110.117,00 16.413,00 126.530,00 84.430,00 183.930,00 362.360,00
-
546.290,00 647.133,00 757.250,00
15 D.I Yogyakarta 171/Kpts-II/2000
29 Juni 2000
- 910,34 910,34 2.057,90 - 13.851,28
-
13.851,28 16.819,52 16.819,52
16 Jawa Timur 395/Menhut-II/2011
21 Juli 2011
3.506 230.126,00 233.632,00 344.742,00 - 782.772,00
-
782.772,00 1.357.640,00 1.361.146,00
17 B a l i 433/Kpts-II/1999 15 Juni 1999 3.415,00 22.878,59 26.293,59 95.766,06 6.719,26 1.907,10
-
8.626,36 127.271,01 130.686,01
Tabel 1 Luas Kawasan Hutan Indonesia berdasarkan SK Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan
BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 37
NO PROPINSI
KEPUTUSAN LUAS KAWASAN HUTAN DAN PERAIRAN (Ha)
Total Hutan
Produksi
Jumlah
Kawasan
Hutan
Jumlah
Kawasan
Hutan dan
Perairan
NOMOR TANGGAL
KAWASAN KONSERVASI
HL
Hutan Produksi
Konservasi
Perairan
Konservasi
Darat
JUMLAH HPT HP HPK
18 N T B 598/Menhut-II/2009 02 Oktober 2009 11.121,00 168.044,00 179.165,00 430.485,00 286.700,00 150.609,00
-
437.309,00 1.035.838,00 1.046.959,00
19 N T T 423/Kpts-II/1999 15 Juni 1999 122.350,00 227.980,00 350.330,00 731.220,00 197.250,00 428.360,00 101.830,00 727.440,00 1.686.640,00 1.808.990,00
20 Kalimantan Barat 259/Kpts-II/2000 23 Agustus 2000 187.885,00 1.457.695,00 1.645.580,00 2.307.045,00 2.445.985,00 2.265.800,00 514.350,00 5.226.135,00 8.990.875,00 9.178.760,00
21
Kalimantan
Tengah 529/Menhut-II/2012
25 September 2012
22.542,00 1.608.286,00 1.630.828,00 1.346.066,00 3.317.461 ,00 3.324.675,00 3.881.817,00 9.721.042,00 12.697.165,00 12.719.707,00
22
Kalimantan
Timur 79/Kpts-II/2001
15 Maret 2001
500,00 2.164.698,00 2.165.198,00 2.751.702,00 4.612.965,00 5.121.688,00
-
9.734.653,00 14.651.053,00 14.651.553,00
23
Kalimantan
Selatan 435/Menhut-II/2009
23 Juli 2009
- 213.285 213.285,00 526.425,00 126.660,00 762.188,00 151.424,00 1.040.272,00 1.779.982,00 1.779.982,00
24
Sulawesi Utara
(5) 452/Kpts-II/1999
17 Juni 1999
89.065,00 245.249,00 334.314,00 180.833,00 217.997,00 66.507,00 14.928,00 299.432,00 725.514,00 814.579,00
25 Gorontalo 325/Menhut-II/2010
25 Mei 2010
- 196.653 196.653,00 204.608 251.097 89.879 82.431 423.407,00 824.668,00 824.668,00
26 Sulawesi Tengah 757/Kpts-II/1999
23 September 1999
0,00 676.248,00 676.248,00 1.489.923,00 1.476.316,00 500.589,00 251.856,00 2.228.761,00 4.394.932,00 4.394.932,00
27
Sulawesi
Tenggara 465/Menhut-II/2011
09 Agustus 2011
1.504.160,00 282.924,00 1.787.084,00 1.081.489,00 466.854,00 401.581,00 93.571,00 962.006,00 2.326.419,00 3.830.579,00
28 Sulawesi Selatan 434/Menhut-II/2009 23 Juli 2009 606.804,00 244.463,00 851.267,00 1.232.683,00 494.846,00 124.024,00 22.976,00 641.846,00 2.118.992,00 2.725.796,00
29
Sulawesi Barat
(4) 890/Kpts-II/1999
14 Oktober 1999
8.458 1.283 9.741,00 677.872 361.775 65.001 79.735 506.511,00 1.185.666,00 1.194.124,00
30 Maluku (7) 415/Kpts-II/1999 15 Juni 1999 9.952,68 415.599,01 425.551,69 624.059,54 910.544,94 684.261,39 1.645.211,60 3.240.017,94 4.279.676,49 4.289.629,16
31 Maluku Utara 490/Menhut-II/2012 05 September 2012 0,00 218.557,48 218.557,48 583.975,28 667.192,66 482.284,33 567.614,16 1.717.091,15 2.519.623,91 2.519.623,91
32 Papua 458/Menhut-II/2012 15 Agustus 2012 1.029.560,14 6.753.181,35 7.782.741,49 7.881.084,60 5.968.491,99 4.739.401,69 4.069.847,77 14.777.741,45 29.412.007,40 30.441.567,54
33
Papua Barat
((2),(6)) 891/Kpts-II/1999
14 Oktober 1999 934.666,28 1.741.280,02
2.675.946
1.651.805,22 1.849.240,65 1.844.036,20 2.291.492,97
5.984.769,82 9.377.855,06 10.312.521,34
JUMLAH - -
5.071.833,10 22.015.077,14 27.086.910,23 30.539.823,36 27.967.604,50 30.810.790,34 17.885.112,50 76.663.507,34 129.218.407,84 134.290.240,94
Sumber: Direktorat Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan (November 2012)
Catatan:
1) Belum ada SK Penunjukan dan data masih berdasarkan TGHK.
2) Belum ada SK Penunjukan dan data masih bergabung dengan Provinsi Induk.
3) Perhitungan ulang secara digital setelah dikurangi Prov Jawa Barat
4) Perhitungan ulang secara digital setelah dikurangi Prov. Sulsel
5) Perhitungan ulang secara digital setelah dikurangi Prov. Gorontalo
6) Perhitungan ulang secara digital setelah dikurangi Prov. Papua
7) Perhitungan ulang secara digital setelah dikurangi Prov. Maluku Utara
SK Perubahan Fungsi dan Peruntukan Kawasan Hutan baru
SK Penunjukan baru
BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 38
Berdasarkan grafik diatas, luas hutan produksi berbanding lurus dengan luas kawasan hutan dalam satu provinsi, semakin luas kawasan hutan dalam provinsi
tersebut akan semakin luas pula hutan produksinya. Kawasan hutan terluas terdapat pada Provinsi Papua dan Hutan Produksi terluas juga terdapat pada Provinsi
Papua dan Papua Barat.
3.549.813
3.742.120
2.380.790
9.456.160
2.179.440
4.416.837
924.631
1.004.735
657.51016.820
130.686
1.046.959
1.808.990
9.178.760
12.675.364
1.779.982
14.651.553
814.579
4.394.932
2.725.796
3.830.579
824.668
1.194.124
4.289.629
2.519.624
10.312.521
30.441.568
0
5.000.000
10.000.000
15.000.000
20.000.000
25.000.000
30.000.000
35.000.000
Kawasan Hutan (ha) Hutan Produksi (ha)
Gambar 8 : Luas Kawasan Hutan Indonesia dibandingkan dengan Luas Hutan Produksi
BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 39
Rekapitulasi Izin Pemanfaatan Hutan Indonesia
Luas kawasan hutan yang telah dimanfaatkan (telah mendapat izin definitif) untuk kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu secara keseluruhan sampai dengan
akhir November 2012 adalah 34.871.041 ha dengan rincian sebagai berikut :
- Jumlah IUPHHK-HA 296 unit dengan luas 23.906.451 ha (68,53%)
- Jumlah IUPHHK-HTI 234 unit dengan luas 9.789.617 ha (28,06%)
- Jumlah IUPHHK-RE 5 unit dengan luas 219.350 ha (0,63%)
- Pencadangan areal HTR 112 lokasi dengan luas 700.831 ha (2,01%)
- Penetapan areal kerja HKm sebanyak 49 lokasi dengan luas 186.676 ha (0,54%) dan
- Penetapan areal kerja HD sebanyak 40 lokasi dengan luasan 83.401 ha (0,24%)
Gambar 9 : Perbandingan Kawasan Hutan Indonesia dengan Izin Pemanfatan Indonesia
99.374.857
74%
34.871.041
26%
Kawasan Hutan Indonesia Yang
belum Ada Izin Pemanfaatan
Izin Pemanfaatan
Perbandingan Kawasan Hutan Indonesia dengan Izin Pemanfatan Indonesia
BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 40
Berdasarkan izin pemanfaatan hutan yang telah diterbitkan oleh Menteri Kehutanan di seluruh provinsi di Indonesia, pemanfaatan hutan terbesar adalah untuk
IUPHHK-HA yaitu 68,53 % dan izin pemanfaatan hutan terkecil adalah untuk HD yaitu 0,24 %. Gambaran pemanfaatan kawasan hutan berdasarkan jenis
pemanfaatannya dapat dilihat pada gambar 4 dibawah ini.
Gambar 10 : Grafik Izin Pemanfaatan Hutan Indonesia dalam luas (ha) dan unit sampai dengan November 2012
0
5.000.000
10.000.000
15.000.000
20.000.000
25.000.000
HA HTI RE HTR HKM Hutan
Desa
23.890.911
9.789.617
219.350 700.831 186.931 83.401
DIAGRAM LUAS IZIN PEMANFAATAN INDONESIA
s/d NOVEMBER 2012
luas (ha)
0
50
100
150
200
250
300
HA HTI RE HTR HKM Hutan
Desa
296
234
5
112
50
40
DIAGRAM IZIN PEMANFAATAN INDONESIA DALAM UNIT
s/d NOVEMBER 2012
Unit
BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 41
Tabel 2 Rekapitulasi jumlah dan unit izin pemanfaatan hutan definitif (berdasarkan jenis) per provinsi seluruh Indonesia sampai dengan November 2012
No Provinsi
Hutan
Produksi
HA HTI RE HTR HKM Hutan Desa Jumlah Total
Persentase
Unit Luas (ha) Unit Luas (ha) Unit Luas (ha) Unit Luas (ha) Unit Luas (ha) Unit Luas (ha) Unit Luas (ha)
1 Aceh 638.580,00 7 405.129 5 226.820 7 10.884 3 17.010 22 659.843 1,89%
2 Sumatera Utara 1.967.720,00 7 343.603 8 394.947 10 50.755 1 200 26 789.505 2,26%
3 Sumatera Barat 781.796,00 3 106.145 3 50.649 2 5.345 2 1.738 10 163.877 0,47%
4 Riau dan Kepulauan Riau 8.607.770,00 6 308.158 50 1.632.801 1 20.265 7 93.605 62 2.054.829 5,89%
5 Jambi 1.312.190,00 2 56.045 17 644.134 1 46.385 7 49.703 24 53.978 51 850.245 2,44%
6 Sumatera Selatan 2.941.898,00 1 56.000 19 1.337.417 1 52.170 5 42.605 1 7.250 27 1.495.442 4,29%
7 Bengkulu 210.916,00 2 56.070 2 23.693 2 2.068 1 995 7 82.826 0,24%
8 Lampung 225.090,00 4 114.444 1 24.835 8 35.719 13 174.998 0,50%
9 Bangka Belitung 466.090,00 4 112.148 3 12.780 7 124.928 0,36%
10 DI Yogyakarta 13.851,28 1 328 2 1.284 3 1.612 0,00%
11 Bali 8.626,36 1 375 1 150 1 3.041 3 3.566 0,01%
12 Nusa Tenggara Barat 437.309,00 3 68.590 5 4.396 12 14.837 20 87.823 0,25%
13 Nusa Tenggara Timur 727.440,00 2 16.717 5 18.869 7 35.586 0,10%
14 Kalimantan Barat 5.226.135,00 26 1.267.620 34 1.736.176 4 40.690 2 78.465 6 14.325 72 3.137.276 8,99%
15 Kalimantan Tengah 9.721.042,00 59 4.020.595 17 528.650 1 11.942 1 3.590 78 4.564.777 13,08%
16 Kalimantan Selatan 1.040.272,00 4 243.241 13 497.560 6 29.758 23 770.559 2,21%
17 Kalimantan Timur 9.734.653,00 83 5.666.512 41 1.752.653 2 100.530 1 2.090 1 1.400 1 880 129 7.524.065 21,57%
18 Sulawesi Utara 299.432,00 1 26.800 1 7.500 9 48.140 11 82.440 0,24%
19 Sulawesi Tengah 2.228.761,00 12 779.245 1 13.400 5 23.375 2 3.130 1 490 21 819.640 2,35%
20 Sulawesi Selatan 641.846,00 13 40.535 5 8.930 3 704 21 50.169 0,14%
21 Sulawesi Tenggara 962.006,00 2 89.590 5 68.945 5 1.280 12 159.815 0,46%
22 Gorontalo 423.407,00 2 78.500 2 75.920 4 13.005 8 167.425 0,48%
23 Sulawesi Barat 506.511,00 4 184.285 2 23.900 5 32.860 11 241.045 0,69%
24 Maluku 3.240.017,94 13 816.445 2 66.205 15 882.650 2,53%
25 Maluku Utara 1.717.091,15 13 669.500 5 65.453 4 24.120 22 759.073 2,18%
26 Papua Barat 5.984.769,82 24 3.673.838 24 3.673.838 10,53%
27 Papua 14.777.741,45 25 5.059.130 3 440.250 2 29.350 30 5.528.730 15,85%
Jumlah 74.842.961,99 296 23.906.451 234 9.789.617 5 219.350 112 700.831 50 186.931 40 83.401 736 34.871.041 100,00%
Sumber: Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan (Diolah dari data Ditjen BUK & Ditjen BPDASPS), Tahun 2012
Keterangan: SK penunjukan kawasan Provinsi Riau dan Kepulauan Riau masih menjadi satu. Luas Kawasan Hutan produksi tersebut diatas tidak termasuk kawasan hutan produksi yang terdapat seluas 1.820.545 di Jawa
Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Banten karena pengelolaanya oleh Perum Perhutani.
BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 42
Sumber: Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan (Diolah dari data Ditjen BUK & Ditjen BPDASPS), Tahun 2012)
0,0%
5,0%
10,0%
15,0%
20,0%
25,0%
1,9% 2,2%
0,5%
5,9%
2,4%
4,3%
0,2% 0,5% 0,4% 0,1% 0,0% 0,0% 0,3% 0,1%
9,0%
13,1%
2,2%
21,6%
0,2%
2,3%
0,1% 0,5% 0,5% 0,7%
2,5% 2,2%
10,5%
15,8%
Persentase Sebaran Izin Pemanfaatan Indonesia
persentase
Gambar 11 : Persentase Sebaran Izin Pemanfaatan Indonesia
BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 43
Tabel 3 Luas Kawasan Hutan yang belum dibebani Izin Pemanfaatan Hutan sampai dengan November 2012
No Provinsi
Hutan
Produksi
Izin
Pemanfaatan
Hutan
Kawasan Hutan
yang belum
dibebani izin
pemanfaatan
1 Aceh 638.580 659.843 -21.263
2 Sumatera Utara 1.967.720 789.505 1.178.214
3 Sumatera Barat 781.796 163.877 617.919
4
Riau dan Kepulauan
Riau 8.607.770 2.054.829 6.552.941
5 Jambi 1.312.190 850.245 461.945
6 Sumatera Selatan 2.941.898 1.495.442 1.446.456
7 Bengkulu 210.916 82.826 128.090
8 Lampung 225.090 174.998 50.092
9 Bangka Belitung 466.090 124.928 341.162
10 DI Yogyakarta 13.851 1.612 12.239
11 Bali 8.626 3.566 5.060
12 Nusa Tenggara Barat 437.309 87.823 349.487
13 Nusa Tenggara Timur 727.440 35.586 691.854
14 Kalimantan Barat 5.226.135 3.137.276 2.088.859
15 Kalimantan Tengah 9.721.042 4.564.777 5.156.265
16 Kalimantan Selatan 1.040.272 770.559 269.713
17 Kalimantan Timur 9.734.653 7.524.065 2.210.588
18 Sulawesi Utara 299.432 82.440 216.992
19 Sulawesi Tengah 2.228.761 819.640 1.409.121
20 Sulawesi Selatan 641.846 50.169 591.677
21 Sulawesi Tenggara 962.006 159.815 802.191
22 Gorontalo 423.407 167.425 255.982
23 Sulawesi Barat 506.511 241.045 265.466
24 Maluku 3.240.018 882.650 2.357.368
25 Maluku Utara 1.717.091 759.073 958.018
26 Papua Barat 5.984.770 3.673.838 2.310.932
27 Papua 14.777.741 5.528.730 9.249.011
Jumlah 74.842.961 34.871.041 41.770.695
Sumber: Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan (Diolah dari data Ditjen BUK & Ditjen BPDASPS), Tahun 2012
Keterangan: SK penunjukan kawasan Provinsi Riau dan Kepulauan Riau masih menjadi satu. Luas Kawasan Hutan produksi tersebut diatas tidak termasuk kawasan hutan produksi seluas 1.820.545 di Jawa barat, Jawa Timur,
Jawa Tengah dan Banten karena pengelolaanya oleh Perum Perhutani.
34.871.041
47%39.971.921
53%
Izin Pemanfaatan Hutan
Kawasan Hutan produksi
yang belum dibebani izin
pemanfaatan
Diagram Perbandingan Izin Pemanfaatan Hutan Dan Kawasan
Hutan Produksi Yang Belum Dibebani Izin Pemanfaatan
Gambar 12 : Diagram Perbandingan Izin Pemanfaatan Hutan dan Kawasan Hutan
Produksi yang belum dibebani Izin Pemanfaatan
BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 44
.
Berdasarkan tabel 3 diatas dapat dilihat bahwa Hutan Produksi di Provinsi Aceh seluruhnya telah dibebani izin pemanfaatan hutan, bahkan terdapat luas yang
perlu mendapat perhatian yaitu seluas – 21.273 ha. Hal ini dimungkinkan terjadi karena adanya perubahan fungsi kawasan hutan dari Hutan Produksi menjadi
Hutan Lindung (berdasarkan SK Menteri Kehutanan tentang Penunjukan Kawasan Hutan Provinsi Aceh SK. 170/Kpts-II/2000 tgl 29 Juni 2000) sehingga
menyebabkan adanya perbedaan luas fungsi kawasan hutan dengan SK Menteri Kehutanan tentang penerbitan izin definitif sebelum tahun 2000. Berdasarkan
tabel 2 dan 3 diatas dapat diperoleh hasil bahwa luas hutan produksi terbesar terdapat pada Provinsi Papua, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah,
sedangkan pemanfaatan hutan terbesar didominasi oleh provinsi-provinsi di Pulau Kalimantan dan Papua. Provinsi Kalimantan Timur adalah provinsi yang izin
pemanfaatan hutannya terbesar sehingga sisa areal hutan produksi yang masih memungkinkan untuk diberikan izin pemanfaatan sangat kecil. Sedangkan hutan
produksi yang masih luas dapat dimanfaatkan terdapat di Provinsi Papua dan Papua Barat, karena izin pemanfaatan dan izin yang masih dalam proses lebih kecil
dibanding luas hutan produksi yang ada di provinsi tersebut. Kondisi tersebut tergambar pada grafik 1 dan 2 berikut :
638.580
1.967.720
781.796
8.607.770
1.312.190
2.941.898
210.916
225.090
466.090
13.851
8.626
437.309
727.440
5.226.135
9.721.042
1.040.272
9.734.653
299.432
2.228.761
641.846
962.006
423.407
506.511
3.240.018
1.717.091
5.984.770
14.777.741
0
2.000.000
4.000.000
6.000.000
8.000.000
10.000.000
12.000.000
14.000.000
16.000.000
Luas Hutan Produksi (ha) Luas Ijin Pemanfaatan (ha)
Gambar 13 :Perbandingan Luas Hutan Produksi dengan Izin Pemanfaatan Hutan Seluruh Indonesia
BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 45
Berdasarkan grafik di atas pemanfaatan hutan terbesar masih didominasi oleh provinsi-provinsi di Pulau Kalimantan. Dapat terlihat bahwa Provinsi Kalimantan
Timur adalah provinsi di Indonesia yang izin pemanfaatan hutannya terbesar sehingga areal hutan produksi yang masih memungkinkan untuk diberikan izin
pemanfaatan sangat kecil. Hutan produksi yang terlihat masih luas dapat dimanfaatkan terdapat di Provinsi Papua dan Papua Barat karena izin pemanfaatan dan
izin yang masih dalam proses lebih kecil dibanding luas hutan produksi yang ada di provinsi tersebut.
Persebaran Izin pemanfaatan perprovinsi seluruh Indonesia menurut jenis izinnya, dapat juga digambarkan dalam grafik berikut ini :
0
1000000
2000000
3000000
4000000
5000000
6000000
HA
HTI
RE
HTR
HKM
Hutan Desa
Gambar 14 : Grafik Sebaran Izin Pemanfaatan Indonesia perprovinsi
BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 46
Berdasarkan Tabel 2 dan 3 tersebut diatas jika dilihat dari sebaran jumlah luas IUPHHK-HA,
HTI, RE, pencadangan areal HTR, penetapan areal kerja HKm & HD maka dapat disimpulkan
bahwa :
1. IUPHKK-HA Indonesia tersebar di 20 provinsi dengan sebaran areal paling luas berada di
Provinsi Kalimantan Timur.
2. IUPHKK-HTI Indonesia juga tersebar di 20 provinsi dengan sebaran areal paling luas juga
berada di Provinsi Kalimantan Timur.
3. Pencadangan areal HTR di Indonesia tersebar di 26 provinsi dan yang mempunyai areal
paling luas adalah di Provinsi Sulawesi Tenggara.
4. Untuk izin IUPHHK-RE, baru terbit 5 izin dan tersebar di 4 provinsi yaitu : Riau, Jambi,
Sumatera Selatan dan Kalimantan timur. Sebaran areal IUPHHK-RE paling luas juga berada
di Provinsi Kalimantan Timur.
5. Penetapan HKM sudah terbit 50 izin, tersebar di 14 Provinsi dengan sebaran areal paling luas
berada di provinsi Kalimantan Barat.
6. Untuk penetapan hutan desa, baru ditetapkan 40 unit di 9 provinsi dengan sebaran paling
luas berada di provinsi Jambi.
BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 47
B. Pemanfaatan Hutan Indonesia Perprovinsi
1. Provinsi Aceh
Luas kawasan hutan di Provinsi Aceh berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.170/Kpts-
II/2000 tanggal 29 Juni 2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi
Aceh adalah sebagai berikut :
- Kawasan Konservasi : 1.066.733 ha.
- Hutan Lindung (HL) : 1.844.500 ha.
- Hutan Produksi Terbatas (HPT) : 37.300 ha.
- Hutan Produksi Tetap (HP) : 601.280 ha.
- Hutan Produksi yang dapat di Konversi (HPK) : - ha.
Jumlah Total : 3.549.813 ha.
Luas kawasan hutan produksi seluruhnya adalah 638.580 ha dan yang sudah
dimanfaatkan (telah terbit SK) adalah sebagai berikut :
- IUPHHK-HA (7 unit) : 405.129 ha (tabel 4).
- IUPHHK-HTI (5 unit) : 226.820 ha (tabel 5).
- Pencadangan areal HTR (7 lokasi) : 10.884 ha (tabel 6).
- Penetapan areal kerja HKM (3 lokasi) : 17.010 ha (tabel 7).
Luas kawasan hutan yang telah termanfaatkan adalah seluas 659.843 ha.
Dari data tersebut, diperoleh luas hutan produksi yang belum dibebani izin pemanfaatan
adalah seluas -21.263 ha.
Kawasan hutan produksi yang sudah memiliki izin pemanfaatan seperti tersebut diatas
secara rinci disajikan pada tabel-tabel berikut :
Tabel 4 Daftar IUPHHK Hutan Alam di Provinsi Aceh
No Nama IUPHHK-HA Nomor SK Tanggal SK
Luas (ha)
±
Lokasi
(Kab/Kota)
Kode
Spasial
1 Kopontren
Najmussalam (Eks PT.
Narindu)
876/Kpts-VI/1999 14/10/1999 30.000 Bireuen HA-1
2 PT. Aceh Inti Timber 859/Kpts-VI/1999 12/10/1999 80.804 Aceh Jaya HA-2
3 PT. Alas Aceh Perkasa 68/Kpts-II/1991 01/02/1991 56.500 Aceh Jaya HA-3
4 PT. Lamuri Timber 863/Kpts-VI/1999 12/10/1999 44.400 Aceh Jaya HA-4
5 PT. Raja Garuda Mas
Lestari Unit II (Eks
PT. Bayben Woyla)
851/Kpts-VI/1999 11/10/1999 96.500 Aceh Barat HA-5
6 PT. Trijasa Mas Karya
Inti
29/Kpts-II/1991 12/01/1991 41.000 Pidie, Pidie
Jaya
HA-6
7 PT. Wiralanao 344/Kpts-II/1995 07/07/1995 55.925 Aceh Timur HA-7
Jumlah 405.129
Sumber : Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan (Diolah dari data
Ditjen BUK dan Dinas Kehutanan Provinsi Aceh), Tahun 2012.
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012
Buku pemanfaatan final 2012

More Related Content

What's hot

P.46 2012 metode_danmateripenyuluhankehutanan_
P.46 2012 metode_danmateripenyuluhankehutanan_P.46 2012 metode_danmateripenyuluhankehutanan_
P.46 2012 metode_danmateripenyuluhankehutanan_Jhon Blora
 
Analisis kebijakan mendorong hutan desa dan hutan kemasyarakatan
Analisis kebijakan mendorong hutan desa dan hutan kemasyarakatanAnalisis kebijakan mendorong hutan desa dan hutan kemasyarakatan
Analisis kebijakan mendorong hutan desa dan hutan kemasyarakatanYossy Suparyo
 
Permenhut no 44 th 2014 ttg pedoman pembangunan unit percontohan penyuluhan k...
Permenhut no 44 th 2014 ttg pedoman pembangunan unit percontohan penyuluhan k...Permenhut no 44 th 2014 ttg pedoman pembangunan unit percontohan penyuluhan k...
Permenhut no 44 th 2014 ttg pedoman pembangunan unit percontohan penyuluhan k...Jhon Blora
 
P.30 2012 penataan_hasilhutandarihutanhak
P.30 2012 penataan_hasilhutandarihutanhakP.30 2012 penataan_hasilhutandarihutanhak
P.30 2012 penataan_hasilhutandarihutanhakJhon Blora
 
Permenhut no 50 th 2014 ttg perdagangan sertifikat penurunan emisi karbon hut...
Permenhut no 50 th 2014 ttg perdagangan sertifikat penurunan emisi karbon hut...Permenhut no 50 th 2014 ttg perdagangan sertifikat penurunan emisi karbon hut...
Permenhut no 50 th 2014 ttg perdagangan sertifikat penurunan emisi karbon hut...Jhon Blora
 
Permenhut no 38 th 2014 ttg p engenaan tarif rp.0
Permenhut no 38 th 2014 ttg p engenaan tarif rp.0Permenhut no 38 th 2014 ttg p engenaan tarif rp.0
Permenhut no 38 th 2014 ttg p engenaan tarif rp.0Jhon Blora
 
P 42 menhut ii 2014
P 42 menhut ii 2014P 42 menhut ii 2014
P 42 menhut ii 2014Jhon Blora
 
Permenhut no 43 th 2014 ttg p enilaian kinerja hutan produksi (1)
Permenhut no 43 th 2014 ttg p enilaian kinerja hutan produksi (1)Permenhut no 43 th 2014 ttg p enilaian kinerja hutan produksi (1)
Permenhut no 43 th 2014 ttg p enilaian kinerja hutan produksi (1)Jhon Blora
 
P14 2011 ijin pemanfaatan kayu
P14 2011 ijin pemanfaatan kayuP14 2011 ijin pemanfaatan kayu
P14 2011 ijin pemanfaatan kayuJhon Blora
 
Pp12 2014 tarif pnbp deptan
Pp12 2014 tarif pnbp deptanPp12 2014 tarif pnbp deptan
Pp12 2014 tarif pnbp deptanJhon Blora
 
Permenhut ri no 91 th 2014 ttg penatausahaan hasil hutan bukan kayu yang bera...
Permenhut ri no 91 th 2014 ttg penatausahaan hasil hutan bukan kayu yang bera...Permenhut ri no 91 th 2014 ttg penatausahaan hasil hutan bukan kayu yang bera...
Permenhut ri no 91 th 2014 ttg penatausahaan hasil hutan bukan kayu yang bera...Jhon Blora
 
Permenhut no 24 th 2014 ttg tata cara penulisan pembayaran
Permenhut no 24 th 2014 ttg tata cara penulisan pembayaranPermenhut no 24 th 2014 ttg tata cara penulisan pembayaran
Permenhut no 24 th 2014 ttg tata cara penulisan pembayaranJhon Blora
 
Permen lhk no. 46 2016 ttg pemanfaatan jasa lingkungan panas bumi dan kawasan...
Permen lhk no. 46 2016 ttg pemanfaatan jasa lingkungan panas bumi dan kawasan...Permen lhk no. 46 2016 ttg pemanfaatan jasa lingkungan panas bumi dan kawasan...
Permen lhk no. 46 2016 ttg pemanfaatan jasa lingkungan panas bumi dan kawasan...Rizki Darmawan
 
P41 2010 programa penyuluhan kehutanan
P41 2010 programa penyuluhan kehutananP41 2010 programa penyuluhan kehutanan
P41 2010 programa penyuluhan kehutananJhon Blora
 
Permen menhut no 14 tahun 2013 tentang pedoman pinjam pakai hutan
Permen menhut no 14 tahun 2013 tentang pedoman pinjam pakai hutanPermen menhut no 14 tahun 2013 tentang pedoman pinjam pakai hutan
Permen menhut no 14 tahun 2013 tentang pedoman pinjam pakai hutanwalhiaceh
 
Permenhut ri no 78 th 2014 ttg pedoman penyusunan programa penyuluhan kehutanan
Permenhut ri no 78 th 2014 ttg pedoman penyusunan programa penyuluhan kehutananPermenhut ri no 78 th 2014 ttg pedoman penyusunan programa penyuluhan kehutanan
Permenhut ri no 78 th 2014 ttg pedoman penyusunan programa penyuluhan kehutananJhon Blora
 
Permenhut no. p.16 menhut ii 2014
Permenhut no. p.16 menhut ii 2014Permenhut no. p.16 menhut ii 2014
Permenhut no. p.16 menhut ii 2014Hari Susandi
 
Pp 34 2002-tata_hutan
Pp 34 2002-tata_hutanPp 34 2002-tata_hutan
Pp 34 2002-tata_hutanPeople Power
 
Pp tata hutan
Pp tata hutanPp tata hutan
Pp tata hutanwalhiaceh
 
010 perdirjen p.1 tahun 2015 vlk
010 perdirjen p.1 tahun 2015 vlk010 perdirjen p.1 tahun 2015 vlk
010 perdirjen p.1 tahun 2015 vlkteguh soedrajat
 

What's hot (20)

P.46 2012 metode_danmateripenyuluhankehutanan_
P.46 2012 metode_danmateripenyuluhankehutanan_P.46 2012 metode_danmateripenyuluhankehutanan_
P.46 2012 metode_danmateripenyuluhankehutanan_
 
Analisis kebijakan mendorong hutan desa dan hutan kemasyarakatan
Analisis kebijakan mendorong hutan desa dan hutan kemasyarakatanAnalisis kebijakan mendorong hutan desa dan hutan kemasyarakatan
Analisis kebijakan mendorong hutan desa dan hutan kemasyarakatan
 
Permenhut no 44 th 2014 ttg pedoman pembangunan unit percontohan penyuluhan k...
Permenhut no 44 th 2014 ttg pedoman pembangunan unit percontohan penyuluhan k...Permenhut no 44 th 2014 ttg pedoman pembangunan unit percontohan penyuluhan k...
Permenhut no 44 th 2014 ttg pedoman pembangunan unit percontohan penyuluhan k...
 
P.30 2012 penataan_hasilhutandarihutanhak
P.30 2012 penataan_hasilhutandarihutanhakP.30 2012 penataan_hasilhutandarihutanhak
P.30 2012 penataan_hasilhutandarihutanhak
 
Permenhut no 50 th 2014 ttg perdagangan sertifikat penurunan emisi karbon hut...
Permenhut no 50 th 2014 ttg perdagangan sertifikat penurunan emisi karbon hut...Permenhut no 50 th 2014 ttg perdagangan sertifikat penurunan emisi karbon hut...
Permenhut no 50 th 2014 ttg perdagangan sertifikat penurunan emisi karbon hut...
 
Permenhut no 38 th 2014 ttg p engenaan tarif rp.0
Permenhut no 38 th 2014 ttg p engenaan tarif rp.0Permenhut no 38 th 2014 ttg p engenaan tarif rp.0
Permenhut no 38 th 2014 ttg p engenaan tarif rp.0
 
P 42 menhut ii 2014
P 42 menhut ii 2014P 42 menhut ii 2014
P 42 menhut ii 2014
 
Permenhut no 43 th 2014 ttg p enilaian kinerja hutan produksi (1)
Permenhut no 43 th 2014 ttg p enilaian kinerja hutan produksi (1)Permenhut no 43 th 2014 ttg p enilaian kinerja hutan produksi (1)
Permenhut no 43 th 2014 ttg p enilaian kinerja hutan produksi (1)
 
P14 2011 ijin pemanfaatan kayu
P14 2011 ijin pemanfaatan kayuP14 2011 ijin pemanfaatan kayu
P14 2011 ijin pemanfaatan kayu
 
Pp12 2014 tarif pnbp deptan
Pp12 2014 tarif pnbp deptanPp12 2014 tarif pnbp deptan
Pp12 2014 tarif pnbp deptan
 
Permenhut ri no 91 th 2014 ttg penatausahaan hasil hutan bukan kayu yang bera...
Permenhut ri no 91 th 2014 ttg penatausahaan hasil hutan bukan kayu yang bera...Permenhut ri no 91 th 2014 ttg penatausahaan hasil hutan bukan kayu yang bera...
Permenhut ri no 91 th 2014 ttg penatausahaan hasil hutan bukan kayu yang bera...
 
Permenhut no 24 th 2014 ttg tata cara penulisan pembayaran
Permenhut no 24 th 2014 ttg tata cara penulisan pembayaranPermenhut no 24 th 2014 ttg tata cara penulisan pembayaran
Permenhut no 24 th 2014 ttg tata cara penulisan pembayaran
 
Permen lhk no. 46 2016 ttg pemanfaatan jasa lingkungan panas bumi dan kawasan...
Permen lhk no. 46 2016 ttg pemanfaatan jasa lingkungan panas bumi dan kawasan...Permen lhk no. 46 2016 ttg pemanfaatan jasa lingkungan panas bumi dan kawasan...
Permen lhk no. 46 2016 ttg pemanfaatan jasa lingkungan panas bumi dan kawasan...
 
P41 2010 programa penyuluhan kehutanan
P41 2010 programa penyuluhan kehutananP41 2010 programa penyuluhan kehutanan
P41 2010 programa penyuluhan kehutanan
 
Permen menhut no 14 tahun 2013 tentang pedoman pinjam pakai hutan
Permen menhut no 14 tahun 2013 tentang pedoman pinjam pakai hutanPermen menhut no 14 tahun 2013 tentang pedoman pinjam pakai hutan
Permen menhut no 14 tahun 2013 tentang pedoman pinjam pakai hutan
 
Permenhut ri no 78 th 2014 ttg pedoman penyusunan programa penyuluhan kehutanan
Permenhut ri no 78 th 2014 ttg pedoman penyusunan programa penyuluhan kehutananPermenhut ri no 78 th 2014 ttg pedoman penyusunan programa penyuluhan kehutanan
Permenhut ri no 78 th 2014 ttg pedoman penyusunan programa penyuluhan kehutanan
 
Permenhut no. p.16 menhut ii 2014
Permenhut no. p.16 menhut ii 2014Permenhut no. p.16 menhut ii 2014
Permenhut no. p.16 menhut ii 2014
 
Pp 34 2002-tata_hutan
Pp 34 2002-tata_hutanPp 34 2002-tata_hutan
Pp 34 2002-tata_hutan
 
Pp tata hutan
Pp tata hutanPp tata hutan
Pp tata hutan
 
010 perdirjen p.1 tahun 2015 vlk
010 perdirjen p.1 tahun 2015 vlk010 perdirjen p.1 tahun 2015 vlk
010 perdirjen p.1 tahun 2015 vlk
 

Similar to Buku pemanfaatan final 2012

Pp tata hutan dan prencanaan hutan
Pp tata hutan dan prencanaan hutanPp tata hutan dan prencanaan hutan
Pp tata hutan dan prencanaan hutanwalhiaceh
 
Pp tata hutan dan perencanaan hutan
Pp tata hutan dan perencanaan hutanPp tata hutan dan perencanaan hutan
Pp tata hutan dan perencanaan hutanwalhiaceh
 
Pp tata hutan dan perencanaan hutan
Pp tata hutan dan perencanaan hutanPp tata hutan dan perencanaan hutan
Pp tata hutan dan perencanaan hutanwalhiaceh
 
PPT-PERCEPATAN-PENETAPAN-KHDTK.pdf
PPT-PERCEPATAN-PENETAPAN-KHDTK.pdfPPT-PERCEPATAN-PENETAPAN-KHDTK.pdf
PPT-PERCEPATAN-PENETAPAN-KHDTK.pdfsabaruddinsabar2
 
Pp tata guna hutan dan perencanaan hutan
Pp tata guna hutan dan perencanaan hutanPp tata guna hutan dan perencanaan hutan
Pp tata guna hutan dan perencanaan hutanwalhiaceh
 
Pp tata guna hutan dan perencanaan hutan
Pp tata guna hutan dan perencanaan hutanPp tata guna hutan dan perencanaan hutan
Pp tata guna hutan dan perencanaan hutanwalhiaceh
 
Pemen_Kehuanan_P.39_Tahun2013_pemberdayaan_masy_melalui_kemitraan
Pemen_Kehuanan_P.39_Tahun2013_pemberdayaan_masy_melalui_kemitraanPemen_Kehuanan_P.39_Tahun2013_pemberdayaan_masy_melalui_kemitraan
Pemen_Kehuanan_P.39_Tahun2013_pemberdayaan_masy_melalui_kemitraanPipiet Noorch
 
Pp no 6_th_2007 tata cara pengelolaan hutan
Pp no 6_th_2007 tata cara pengelolaan hutanPp no 6_th_2007 tata cara pengelolaan hutan
Pp no 6_th_2007 tata cara pengelolaan hutanwalhiaceh
 
Kebijakan Tenurial Kawasan Hutan Di Provinsi Maluku
Kebijakan Tenurial Kawasan Hutan Di Provinsi MalukuKebijakan Tenurial Kawasan Hutan Di Provinsi Maluku
Kebijakan Tenurial Kawasan Hutan Di Provinsi MalukuCIFOR-ICRAF
 
Skripsi Peran Polhut Terhadap Pengamanan Hutan di Kabupaten Sinjai.pdf
Skripsi Peran Polhut Terhadap Pengamanan Hutan di Kabupaten Sinjai.pdfSkripsi Peran Polhut Terhadap Pengamanan Hutan di Kabupaten Sinjai.pdf
Skripsi Peran Polhut Terhadap Pengamanan Hutan di Kabupaten Sinjai.pdfSudirman Sultan
 
PP_Nomor_23_Tahun_2021_2.pdf
PP_Nomor_23_Tahun_2021_2.pdfPP_Nomor_23_Tahun_2021_2.pdf
PP_Nomor_23_Tahun_2021_2.pdfBKPHBRPN
 
Sni 19 6728.2-2002
Sni 19 6728.2-2002Sni 19 6728.2-2002
Sni 19 6728.2-2002mayaandara
 
Tropenbos_Pengalaman Perencanaan KEE dan HCV.pdf
Tropenbos_Pengalaman Perencanaan KEE dan HCV.pdfTropenbos_Pengalaman Perencanaan KEE dan HCV.pdf
Tropenbos_Pengalaman Perencanaan KEE dan HCV.pdfSubditSumberdayaPend
 
Peluang dan Tantangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup da...
Peluang dan Tantangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup da...Peluang dan Tantangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup da...
Peluang dan Tantangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup da...01112015
 
Qanun 14 tahun 2002 ttg kehutanan prov nad
Qanun 14  tahun   2002 ttg kehutanan prov nadQanun 14  tahun   2002 ttg kehutanan prov nad
Qanun 14 tahun 2002 ttg kehutanan prov nadwalhiaceh
 
Qanun kehutanan nad
Qanun kehutanan nadQanun kehutanan nad
Qanun kehutanan nadwalhiaceh
 

Similar to Buku pemanfaatan final 2012 (20)

Pp tata hutan dan prencanaan hutan
Pp tata hutan dan prencanaan hutanPp tata hutan dan prencanaan hutan
Pp tata hutan dan prencanaan hutan
 
Pp tata hutan dan perencanaan hutan
Pp tata hutan dan perencanaan hutanPp tata hutan dan perencanaan hutan
Pp tata hutan dan perencanaan hutan
 
Pp tata hutan dan perencanaan hutan
Pp tata hutan dan perencanaan hutanPp tata hutan dan perencanaan hutan
Pp tata hutan dan perencanaan hutan
 
PPT-PERCEPATAN-PENETAPAN-KHDTK.pdf
PPT-PERCEPATAN-PENETAPAN-KHDTK.pdfPPT-PERCEPATAN-PENETAPAN-KHDTK.pdf
PPT-PERCEPATAN-PENETAPAN-KHDTK.pdf
 
Pp tata guna hutan dan perencanaan hutan
Pp tata guna hutan dan perencanaan hutanPp tata guna hutan dan perencanaan hutan
Pp tata guna hutan dan perencanaan hutan
 
Pp tata guna hutan dan perencanaan hutan
Pp tata guna hutan dan perencanaan hutanPp tata guna hutan dan perencanaan hutan
Pp tata guna hutan dan perencanaan hutan
 
Pemen_Kehuanan_P.39_Tahun2013_pemberdayaan_masy_melalui_kemitraan
Pemen_Kehuanan_P.39_Tahun2013_pemberdayaan_masy_melalui_kemitraanPemen_Kehuanan_P.39_Tahun2013_pemberdayaan_masy_melalui_kemitraan
Pemen_Kehuanan_P.39_Tahun2013_pemberdayaan_masy_melalui_kemitraan
 
Pp no 6_th_2007 tata cara pengelolaan hutan
Pp no 6_th_2007 tata cara pengelolaan hutanPp no 6_th_2007 tata cara pengelolaan hutan
Pp no 6_th_2007 tata cara pengelolaan hutan
 
P 57 menhut ii 2014
P 57 menhut ii 2014P 57 menhut ii 2014
P 57 menhut ii 2014
 
Kebijakan Tenurial Kawasan Hutan Di Provinsi Maluku
Kebijakan Tenurial Kawasan Hutan Di Provinsi MalukuKebijakan Tenurial Kawasan Hutan Di Provinsi Maluku
Kebijakan Tenurial Kawasan Hutan Di Provinsi Maluku
 
Skripsi Peran Polhut Terhadap Pengamanan Hutan di Kabupaten Sinjai.pdf
Skripsi Peran Polhut Terhadap Pengamanan Hutan di Kabupaten Sinjai.pdfSkripsi Peran Polhut Terhadap Pengamanan Hutan di Kabupaten Sinjai.pdf
Skripsi Peran Polhut Terhadap Pengamanan Hutan di Kabupaten Sinjai.pdf
 
PP_Nomor_23_Tahun_2021_2.pdf
PP_Nomor_23_Tahun_2021_2.pdfPP_Nomor_23_Tahun_2021_2.pdf
PP_Nomor_23_Tahun_2021_2.pdf
 
Sni 19 6728.2-2002
Sni 19 6728.2-2002Sni 19 6728.2-2002
Sni 19 6728.2-2002
 
Kelola kph
Kelola kphKelola kph
Kelola kph
 
Metode penelitian hukum
Metode penelitian hukumMetode penelitian hukum
Metode penelitian hukum
 
Metode penelitian hukum
Metode penelitian hukumMetode penelitian hukum
Metode penelitian hukum
 
Tropenbos_Pengalaman Perencanaan KEE dan HCV.pdf
Tropenbos_Pengalaman Perencanaan KEE dan HCV.pdfTropenbos_Pengalaman Perencanaan KEE dan HCV.pdf
Tropenbos_Pengalaman Perencanaan KEE dan HCV.pdf
 
Peluang dan Tantangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup da...
Peluang dan Tantangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup da...Peluang dan Tantangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup da...
Peluang dan Tantangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup da...
 
Qanun 14 tahun 2002 ttg kehutanan prov nad
Qanun 14  tahun   2002 ttg kehutanan prov nadQanun 14  tahun   2002 ttg kehutanan prov nad
Qanun 14 tahun 2002 ttg kehutanan prov nad
 
Qanun kehutanan nad
Qanun kehutanan nadQanun kehutanan nad
Qanun kehutanan nad
 

More from Basuki Suhardiman

Buku saku tanaman obat (rev red)
Buku saku tanaman obat (rev red)Buku saku tanaman obat (rev red)
Buku saku tanaman obat (rev red)Basuki Suhardiman
 
Ramuan Obat Tradisional Indonesia
Ramuan Obat Tradisional IndonesiaRamuan Obat Tradisional Indonesia
Ramuan Obat Tradisional IndonesiaBasuki Suhardiman
 
Survey literasi digital indonesia 2020
Survey literasi digital indonesia 2020Survey literasi digital indonesia 2020
Survey literasi digital indonesia 2020Basuki Suhardiman
 
Brief indosat untuk indonesia mobile and midi csr final external
Brief indosat untuk indonesia   mobile and midi csr final externalBrief indosat untuk indonesia   mobile and midi csr final external
Brief indosat untuk indonesia mobile and midi csr final externalBasuki Suhardiman
 
Rancangan uu pdp final (setneg 061219)
Rancangan uu pdp final (setneg 061219)Rancangan uu pdp final (setneg 061219)
Rancangan uu pdp final (setneg 061219)Basuki Suhardiman
 
Narasi Rencana jangka panjang menengah Presiden RI 2020 2024 (27 jan 2020) pdf
Narasi Rencana jangka panjang menengah Presiden RI  2020 2024 (27 jan 2020) pdfNarasi Rencana jangka panjang menengah Presiden RI  2020 2024 (27 jan 2020) pdf
Narasi Rencana jangka panjang menengah Presiden RI 2020 2024 (27 jan 2020) pdfBasuki Suhardiman
 
Freeport mcmoraninc 8k_20151008
Freeport mcmoraninc 8k_20151008Freeport mcmoraninc 8k_20151008
Freeport mcmoraninc 8k_20151008Basuki Suhardiman
 
Buku tahunan pemanfaatan 2013
Buku tahunan pemanfaatan 2013Buku tahunan pemanfaatan 2013
Buku tahunan pemanfaatan 2013Basuki Suhardiman
 
Buku tahunan pemanfaatan 2013
Buku tahunan pemanfaatan 2013Buku tahunan pemanfaatan 2013
Buku tahunan pemanfaatan 2013Basuki Suhardiman
 

More from Basuki Suhardiman (11)

Buku saku tanaman obat (rev red)
Buku saku tanaman obat (rev red)Buku saku tanaman obat (rev red)
Buku saku tanaman obat (rev red)
 
Ramuan Obat Tradisional Indonesia
Ramuan Obat Tradisional IndonesiaRamuan Obat Tradisional Indonesia
Ramuan Obat Tradisional Indonesia
 
Survey literasi digital indonesia 2020
Survey literasi digital indonesia 2020Survey literasi digital indonesia 2020
Survey literasi digital indonesia 2020
 
Brief indosat untuk indonesia mobile and midi csr final external
Brief indosat untuk indonesia   mobile and midi csr final externalBrief indosat untuk indonesia   mobile and midi csr final external
Brief indosat untuk indonesia mobile and midi csr final external
 
Sorgum why-sorgum
Sorgum why-sorgumSorgum why-sorgum
Sorgum why-sorgum
 
Rancangan uu pdp final (setneg 061219)
Rancangan uu pdp final (setneg 061219)Rancangan uu pdp final (setneg 061219)
Rancangan uu pdp final (setneg 061219)
 
Narasi Rencana jangka panjang menengah Presiden RI 2020 2024 (27 jan 2020) pdf
Narasi Rencana jangka panjang menengah Presiden RI  2020 2024 (27 jan 2020) pdfNarasi Rencana jangka panjang menengah Presiden RI  2020 2024 (27 jan 2020) pdf
Narasi Rencana jangka panjang menengah Presiden RI 2020 2024 (27 jan 2020) pdf
 
Kpu desain-it-kpu-ver5
Kpu desain-it-kpu-ver5Kpu desain-it-kpu-ver5
Kpu desain-it-kpu-ver5
 
Freeport mcmoraninc 8k_20151008
Freeport mcmoraninc 8k_20151008Freeport mcmoraninc 8k_20151008
Freeport mcmoraninc 8k_20151008
 
Buku tahunan pemanfaatan 2013
Buku tahunan pemanfaatan 2013Buku tahunan pemanfaatan 2013
Buku tahunan pemanfaatan 2013
 
Buku tahunan pemanfaatan 2013
Buku tahunan pemanfaatan 2013Buku tahunan pemanfaatan 2013
Buku tahunan pemanfaatan 2013
 

Buku pemanfaatan final 2012

  • 1.
  • 2. D A T A D A N I N F O R M A S I P E M A N F A A T A N H U T A N T A H U N 2 0 1 2 DIREKTORAT WILAYAH PENGELOLAAN DAN PENYIAPAN AREAL PEMANFAATAN HUTAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN KEMENTERIAN KEHUTANAN JAKARTA, DESEMBER 2012
  • 3. Buku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 Page i KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga Buku Data dan Informasi Pemanfaatan Hutan Tahun 2012 ini dapat tersusun dan selesai pada waktunya. Buku Data dan Informasi Pemanfaatan Hutan Tahun 2012 ini adalah merupakan publikasi lanjutan dari Buku Data dan Informasi Pemanfaatan Hutan tahun sebelumnya. Materi yang disajikan dalam Buku Data dan Informasi Pemanfaatan Hutan Tahun 2012 ini meliputi peraturan perundang-undangan terkait perizinan pemanfaatan hutan, tata cara permohonan pencadangan dan izin pemanfaatan hutan, pemanfaatan hutan seluruh Indonesia, perkembangan permohonan dan penyelesaian peta areal kerja serta permohonan izin pemanfaatan kawasan hutan dalam 60 KPH Model yang beroperasi tahun 2012. Kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan Buku Data dan Informasi Pemanfaatan Hutan ini. Akhirnya kami berharap semoga buku ini dapat memberikan manfaat dan menjadi salah satu acuan dalam perencanaan pembangunan kehutanan ke depan khususnya yang terkait dengan perencanaan pemanfaatan hutan. Jakarta, Desember 2012 Direktur Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan Ir. Is Mugiono, MM NIP 19570726 198203 1 001
  • 4. Buku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 Page ii DAFTAR ISI I. PENDAHULUAN…………………..…………………………………………………………………….……………...1 A. Latar Belakang ………………………………………………………………………………………………..…..1 B. Maksud dan Tujuan……………………………………………………………………………………………….2 C. Ruang Lingkup……………………………………………………………………………………….…………..…2 II. DEFINISI ………………………………………………………………………………………………………….……..3 III. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN……………………………………………………………………..…6 A. Umum……………………………………………………………………………………………………….………...6 B. Teknis………………………………………………………………………………………………………….….....10 C. Pendukung……………………………………………………………………………………………………..…...20 IV. TATA CARA PERMOHONAN PENCADANGAN DAN IZIN PEMANFAATAN HUTAN………………24 A. Pemberian dan Perluasan Areal Kerja IUPHHK-HA/HTI/RE……………………………………....24 B. Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Rakyat Dalam Hutan Tanaman…………………………………………………………………………………….....27 C. Penetapan Areal Kerja HD…………………………………………………………………………………….29 D. Penetapan Areal Kerja Hkm…………………………………………………………………………………..31 E. Penetapan KHDTK………………………………………………………………………………………..……..32 F. Silvo Pastura…………………………………………………………………………………………………..….33 V. PEMANFAATAN HUTAN INDONESIA…………………………………………………………………………..35 A. Luas Kawasan Hutan Indonesia, Kawasan Hutan Yang Sudah Dibebani Izin Pemanfaatan dan Kawasan yang Belum di bebani Izin Pemanfaatan………………………………………..…..35 B. Pemanfaatan Hutan Indonesia Perprovinsi ……………………………………………….…………...47 C. Izin Pemanfaatan Kawasan Hutan dalam 60 KPH Model yang Beroperasi Tahun 2012..97 VI. PERMOHONAN IZIN PEMANFAATAN HUTAN INDONESIA S/D NOVEMBER 2012….…….…125 A. Perkembangan Permohonan Izin Pemanfaatan Hutan Indonesia Yang Sudah Mendapatkan SP 1 s/d November 2012…………………………………….………………..………..125 B. Perkembangan Permohonan dan penyelesaian Peta areal kerja (WA/SP 2) Tahun 2012. ……………………………………………………………………………………………………………….………..130 C. Rekapitulasi Perkembangan Permohonan dan penyelesaian Peta areal kerja (WA/SP2) Tahun 2010, 2011 dan 2012…………………………………………………………………………..…...136 D. Permohonan Izin Pemanfaatan Hutan dalam 60 KPH Model yang Beroperasi Tahun 2012………………………………………………………………………………………………………..…….….139 VII. PENUTUP…………………………………………………………………………………………………………….….145 LAMPIRAN…………………………………………………………………………………………………………………....146 Peta Pemanfaatan Hutan Seluruh Indonesia S/D November 2012…………………………………...146
  • 5. BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam mengiringi dinamika perkembangan pembangunan Indonesia, peran kawasan hutan menjadi penting dalam mendukung peningkatan ekonomi bangsa. Maka sesuai dengan amanat undang-undang, Pemanfaatan Hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan, memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya. Pemanfaatan hutan dapat dilakukan antara lain melalui pemanfaatan hasil hutan kayu pada Hutan Alam, Hutan Tanaman dan Restorasi Ekosistem melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan Republik Indonesia. Disamping itu pemanfaatan kawasan hutan juga diberikan dalam bentuk Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Hutan Desa serta Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang penetapan dan pencadangannya dilakukan oleh Menteri Kehutanan. Dalam rangka penyiapan peta areal kerja izin pemanfaatan kawasan hutan (IUPHHK- HA/HTI/RE/penetapan HKm dan Hutan Desa serta pencadangan HTR, yang merupakan salah satu tugas pokok Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan, diperlukan data dan informasi tentang areal kawasan hutan yang telah dibebani izin-izin pemanfaatan kawasan hutan baik yang sudah diterbitkan izinnya maupun yang sedang dalam proses. Data dan informasi tersebut dihimpun melalui konfirmasi dan klarifikasi di tingkat pusat maupun di daerah. Berdasarkan perkembangan pengukuhan kawasan hutan sampai dengan November 2012, luas kawasan hutan dan perairan seluruh Indonesia adalah 134.290.240,94 ha. Menurut fungsinya,kawasan tersebut terdiri dari Hutan Konservasi (HK) perairan dan daratan seluas 27.086.910,23 ha, Hutan Lindung (HL) seluas 30.539.823,36 ha, Hutan Produksi (HP) seluas 30.810.790,34 ha, Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 27.967.604,50 ha dan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK) seluas 17.885.112,50 ha. Sampai dengan November 2012 luas kawasan Hutan Produksi yang telah dibebani izin pemanfaatan adalah 34.624.957 ha dan yang sedang dalam proses perizinan adalah 2.677.722,79 ha sehingga Hutan Produksi yang belum dibebani izin pemanfaatan adalah seluas 42.038.550,34 ha. Sesuai amanat pasal 17 UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa untuk memastikan fungsi-fungsi penyelenggaraan pengelolaan hutan dapat terlaksana dan tetap berpegang pada prinsip kelestarian hutan, maka diperlukan suatu penyelenggaraan
  • 6. BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 2 pengelolaan hutan di tingkat tapak melalui pembentukan unit Pengelolaan Hutan atau Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Implementasi dari amanat tersebut diatas, telah dilakukan pembagian kawasan hutan ke dalam wilayah-wilayah KPH agar menjadi bagian penguatan sistem pengurusan hutan nasional, provinsi, kab/kota. Berdasarkan Pasal 28 ayat (2) PP No 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan, unit pengelolaan hutan terdiri dari Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK), Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP). Setiap wilayah KPH akan dikelola oleh organisasi pengelola KPH yang merupakan organisasi di tingkat tapak. Organisasi KPHK merupakan organisasi perangkat pusat, sedangkan organisasi KPHL dan KPHP merupakan organisasi perangkat daerah. Berdasarkan SK Penetapan Wilayah, luas KPH Model seluruhnya adalah 8.169.933,50 ha dan luas ijin pemanfaatan didalam KPH model tersebut adalah 3.182.765,88 ha sehingga luas KPH Model yang belum dibebani izin pemanfaatan adalah 4.987.167,615 ha. Sehubungan dengan hal tersebut di atas dan dalam rangka mengakomodir amanat Permenhut No P.7/Menhut-II/2011 tentang keterbukaan informasi publik di lingkungan Kementerian Kehutanan maka perlu diterbitkan Buku Data dan Informasi Pemanfaatan Hutan. B. Maksud dan Tujuan Maksud pembuatan buku ini adalah untuk menyajikan data dan informasi yang terkait dengan pemanfaatan hutan. Adapun tujuan penyusunan buku ini adalah tersusunnya buku data dan informasi pemanfaatan kawasan hutan guna mendukung terciptanya transparansi pelayanan data dan informasi tentang pemanfaatan kawasan hutan. C. Ruang Lingkup Ruang lingkup penyusunan buku Data dan Informasi Pemanfaatan Hutan tahun 2012 ini mencakup : a. Peraturan perundangan terkait perizinan pemanfaatan hutan. b. Tata cara pemberian izin pemanfaatan hutan. c. Pemanfaatan hutan meliputi areal kerja izin IUPHHK-HA, HTI, RE, Pencadangan Areal Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKM), Hutan Desa (HD), KHDTK dan Silvo Pastura. d. Kawasan hutan yang belum dibebani izin. e. Pemanfaatan kawasan di wilayah KPH Model.
  • 7. BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 3 II. DEFINISI Dalam Buku Data dan Informasi Pemanfaatan Hutan ini pengertian dan istilah yang dipakai adalah yang terkait dengan pemanfaatan hutan untuk izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, pencadangan areal HTR, penetapan areal kerja HKm dan HD : 1. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. 2. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. 3. Hutan produksi yang tidak produktif adalah hutan yang dicadangkan oleh menteri sebagai areal pembangunan hutan tanaman. 4. Hutan alam adalah suatu lapangan yang bertumbuhan pohon-pohon alami yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya. 5. Hutan tanaman industri yang selanjutnya disingkat HTI adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok industri kehutanan untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan. 6. Hutan tanaman rakyat yang selanjutnya disingkat HTR adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan. 7. Hutan kemasyarakatan yang selanjutnya disingkat HKm adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat. 8. Hutan desa adalah hutan negara yang belum dibebani izin/hak, yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa. 9. Pemanfaatan hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan, memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya. 10. Pemanfaatan hasil hutan kayu adalah kegiatan untuk memanfaatkan dan mengusahakan hasil hutan berupa kayu dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokoknya. 11. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam yang selanjutnya disingkat IUPHHK-HA yang sebelumnya disebut Hak Pengusahaan Hutan (HPH) adalah izin
  • 8. BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 4 memanfaatkan hutan produksi yang kegiatannya terdiri dari penebangan, pengangkutan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan kayu. 12. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman industri dalam hutan tanaman pada hutan produksi yang selanjutnya disingkat IUPHHK-HTI yang sebelumnya disebut Hak Pengusahaan Hutan Tanaman (HPHT) atau Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) adalah izin usaha untuk membangun hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok industri untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri. 13. IUPHHK restorasi ekosistem dalam hutan alam adalah izin usaha yang diberikan untuk membangun kawasan dalam hutan alam pada hutan produksi yang memiliki ekosistem penting sehingga dapat dipertahankan fungsi dan keterwakilannya melalui kegiatan pemeliharaan, perlindungan dan pemulihan ekosistem hutan termasuk penanaman, pengayaan, penjarangan, penangkaran satwa, pelepasliaran flora dan fauna untuk mengembalikan unsur hayati (flora dan fauna) serta unsur non hayati (tanah, iklim dan topografi) pada suatu kawasan kepada jenis yang asli, sehingga tercapai keseimbangan hayati dan ekosistemnya. 14. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman rakyat yang selanjutnya disingkat IUPHHK-HTR adalah izin usaha untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dan hasil hutan ikutannya pada hutan produksi yang diberikan kepada perorangan atau koperasi untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur yang sesuai untuk menjamin kelestarian sumber daya hutan. 15. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan kemasyarakatan yang selanjutnya disingkat IUPHHK-HKm adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dalam areal kerja IUPHHK-HKm pada hutan produksi. 16. Hak pengelolaan hutan desa adalah hak yang diberikan kepada desa untuk mengelola hutan negara dalam batas waktu dan luasan tertentu. 17. AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha atau kegiatan. 18. Upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut UKL-UPL adalah pengelolaan dan pemantauan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup yang
  • 9. BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 5 diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. 19. Kawasan hutan dengan tujuan khusus yang selanjutnya disingkat KHDTK adalah kawasan hutan yang dikelola untuk keperluan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta kepentingan religi dan budaya tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan. 20. Izin usaha pemanfaatan kawasan silvo pastura yang selanjutnya disingkat IUPK-SP adalah kegiatan kehutanan yang dikombinasikan secara proporsional dengan usaha peternakan di dalam kawasan hutan produksi yang meliputi pelepasliaran dan atau pengandangan ternak dalam rangka pengelolaan hutan lestari. 21. Kesatuan Pengelolaan Hutan selanjutnya disebut KPH adalah sebuah unit wilayah kelola, institusi pengelola dan unit perencanaan pengelolaan hutan di tingkat tapak, dibentuk dengan tujuan agar dapat dicapai pengelolaan hutan yang efisien dan lestari. 22. Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung selanjutnya disebut KPHL adalah KPH yang luas wilayahnya seluruh atau sebagian besar terdiri atas kawasan hutan lindung. 23. Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi selanjutnya disebut KPHP adalah KPH yang luas wilayahnya seluruh atau sebagian besar terdiri dari kawasan hutan produksi. 24. KPH Model adalah wujud awal dari KPH yang secara bertahap dikembangkan menuju situasi dan kondisi aktual organisasi KPH di tingkat tapak.
  • 10. BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 6 III. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Bab III ini disajikan dalam rangka mempermudah para pihak memahami payung hukum yang berkaitan dengan pemanfaatan hutan khususnya terkait dengan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dalam Hutan Alam, IUPHHK Restorasi Ekosistem, IUPHHK-HTI pada Hutan Produksi dan pencadangan areal HTR serta penetapan areal kerja HKm & HD, mulai dari Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Instruksi Presiden (Inpres) sampai dengan Peraturan Menteri (Permen) yang akan dibagi menjadi 3 sub bab yaitu peraturan umum, teknis dan pendukung. A. Umum 1. Undang–undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang nomor 19 tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang nomor 1 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-undang. Pasal 4 Undang-undang nomor 41 tahun 1999 mengamanatkan bahwa semua hutan di wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam rangka penguasaan tersebut negara memberi wewenang kepada pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan. Selanjutnya pada pasal 6 diamanatkan bahwa pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok yaitu : hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Pada pasal 23 diatur bahwa pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Pasal 28 mengatur antara lain bahwa pemanfaatan hutan produksi dapat berupa pemanfaatan hasil hutan kayu. Pada pasal 29 diatur bahwa izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dapat diberikan kepada perorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Swasta Indonesia, Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah. Pada pasal 30 disebutkan bahwa dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat, setiap Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah dan Badan Usaha Milik Swasta Indonesia yang memperoleh izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu diwajibkan bekerja sama dengan koperasi masyarakat setempat.
  • 11. BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 7 Pasal 31 mengatur bahwa untuk menjamin azas keadilan, pemerataan dan lestari, maka izin usaha pemanfaatan hutan dibatasi dengan mempertimbangkan aspek kelestarian hutan dan aspek kepastian usaha. Pasal 32 mengatur bahwa pemegang izin berkewajiban untuk menjaga, memelihara dan melestarikan hutan tempat usahanya. Pada pasal 33 diatur bahwa usaha pemanfaatan hasil hutan meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan. Pemanenan dan pengolahan hasil hutan tidak boleh melebihi daya dukung hutan secara lestari. Pasal 35 mengatur bahwa setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan dikenakan iuran izin usaha, provisi, dana reboisasi dan dana jaminan kinerja serta wajib menyediakan dana investasi untuk biaya pelestarian hutan. Pasal 48 mengatur bahwa pemegang izin usaha pemanfaatan hutan serta pihak-pihak yang menerima wewenang pengelolaan hutan diwajibkan melindungi hutan dalam areal kerjanya. Pasal 49 mengatur bahwa pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya. Pasal 50 menyebutkan bahwa setiap orang dilarang merusak sarana dan prasarana perlindungan hutan. Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan, jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan. 2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia PP. No. 6 tahun 2007 jo PP. No. 3 tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Pada pasal 31 diatur bahwa pemanfaatan hutan pada hutan produksi dilaksanakan berdasarkan prinsip untuk mengelola hutan lestari dan meningkatkan fungsi utamanya dan dilakukan antara lain melalui kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam dan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman. Pada pasal 34 diatur bahwa pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam dapat dilakukan melalui kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu atau pemanfaatan hasil hutan kayu restorasi ekosistem. Pada pasal 35 diatur bahwa usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam pada hutan produksi meliputi kegiatan pemanenan, pengayaan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan dan pemasaran hasil, sesuai dengan rencana pengelolaan hutan yang telah ditetapkan. Sedangkan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu restorasi ekosistem dalam hutan alam pada hutan produksi meliputi kegiatan pemeliharaan, perlindungan dan
  • 12. BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 8 pemulihan ekosistem hutan termasuk penanaman, pengayaan, penjarangan, penangkaran satwa, pelepasliaran flora dan fauna. Selanjutnya pada pasal 36 diatur bahwa kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu restorasi ekosistem dalam hutan alam pada hutan produksi hanya dilakukan dengan ketentuan : hutan produksi harus berada dalam satu kesatuan kawasan hutan dan diutamakan pada kawasan hutan produksi yang tidak produktif. Dalam hal kegiatan restorasi ekosistem dalam hutan alam belum diperoleh keseimbangan, dapat diberikan IUPK, IUPJL atau IUPHHBK pada hutan produksi kepada Badan Usaha Milik Swasta (BUMS). Sedangkan jika kegiatan restorasi ekosistem dalam hutan alam telah diperoleh keseimbangan, dapat diberikan IUPHHK pada hutan produksi. Pada pasal 37 dan pasal 38 diatur bahwa pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman pada hutan produksi dapat dilakukan pada : HTI, HTR atau HTHR, meliputi kegiatan penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan pemasaran. Pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTI dan HTR dalam hutan tanaman dilakukan pada hutan produksi yang tidak produktif. Pada pasal 40 dan pasal 41 diatur bahwa menteri mengalokasikan dan menetapkan areal tertentu untuk membangun HTR berdasarkan usulan KPH atau pejabat yang ditunjuk. Untuk melindungi hak-hak HTR, menteri menetapkan harga dasar penjualan kayu pada HTR. Pada pasal 42 diatur bahwa menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat memberikan IUPHHK pada HTI atau IUPHHK pada HTR kepada perorangan, koperasi, BUMN, atau BUMS. Pada pasal 48 diatur bahwa dalam setiap kegiatan pemanfaatan hutan pada hutan produksi, wajib disertai dengan izin pemanfaatan. Pemberi izin, dilarang mengeluarkan izin dalam wilayah kerja BUMN bidang kehutanan yang telah mendapat pelimpahan untuk menyelenggarakan pengelolaan hutan dan dalam areal yang telah dibebani izin usaha pemanfaatan hutan. Pasal 51 mengatur bahwa jangka waktu IUPHHK dalam hutan alam pada hutan produksi diberikan paling lama 55 (lima puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang berdasarkan evaluasi yang dilakukan setiap 5 (lima) tahun oleh menteri. Pasal 52 mengatur bahwa jangka waktu IUPHHK restorasi ekosistem dalam hutan alam pada hutan produksi diberikan jangka waktu 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperpanjang satu kali untuk jangka waktu selama 35 (tiga puluh lima) tahun. IUPHHK restorasi ekosistem dalam hutan alam dievaluasi setiap 5 (lima) tahun oleh menteri sebagai dasar kelangsungan izin. Pada pasal 53 diatur bahwa jangka waktu IUPHHK-HTI dalam hutan tanaman pada hutan produksi dapat diberikan untuk jangka waktu 60 (enam puluh) tahun dan dapat
  • 13. BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 9 diperpanjang satu kali untuk jangka waktu selama 35 (tiga puluh lima) tahun, serta dievaluasi setiap 5 (lima) tahun oleh menteri sebagai dasar kelangsungan izin. Pasal 54 mengatur jangka waktu IUPHHK pada HTR dalam hutan tanaman pada hutan produksi dapat diberikan untuk jangka waktu 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperpanjang satu kali untuk jangka waktu selama 35 (tiga puluh lima) tahun, dievaluasi setiap 5 (lima) tahun oleh menteri sebagai dasar kelangsungan izin. 3. Peraturan Pemerintah nomor 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional Pasal 64 menjelaskan tentang : (1). Kawasan peruntukan hutan produksi terdiri atas : a. kawasan peruntukan hutan produksi terbatas; b. kawasan peruntukan hutan produksi tetap; dan c. kawasan peruntukan hutan produksi yang dapat dikonversi. (2). Kawasan peruntukan hutan produksi terbatas ditetapkan dengan kriteria memiliki faktor kemiringan lereng, jenis tanah dan intensitas hujan dengan jumlah skor 125 (seratus dua puluh lima) sampai dengan 174 (seratus tujuh puluh empat). (3). Kawasan peruntukan hutan produksi tetap ditetapkan dengan kriteria memiliki faktor kemiringan lereng, jenis tanah dan intensitas hujan dengan jumlah skor paling besar 124 (seratus dua puluh empat). (4). Kawasan peruntukan hutan produksi yang dapat dikonversi ditetapkan dengan kriteria : a. memiliki faktor kemiringan lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan dengan jumlah skor paling besar 124 (seratus dua puluh empat); dan/atau b. merupakan kawasan yang apabila dikonversi mampu mempertahankan daya dukung dan daya tampung lingkungan. (5). Kriteria teknis kawasan peruntukan hutan produksi terbatas, kawasan peruntukan hutan produksi tetap dan kawasan peruntukan hutan produksi yang dapat dikonversi ditetapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kehutanan. Pada bagian penjelasan pasal 64 PP No 26 tahun 2008, menerangkan bahwa : Ayat (1) Penerapan kriteria kawasan peruntukan hutan produksi secara tepat diharapkan akan mendorong terwujudnya kawasan hutan produksi yang dapat memberikan manfaat sebagai berikut : a. meningkatkan perkembangan pembangunan lintas sektor dan sub sektor serta kegiatan ekonomi sekitarnya; b. meningkatkan fungsi lindung;
  • 14. BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 10 c. menyangga kawasan lindung terhadap pengembangan kawasan budi daya; d. menjaga keseimbangan tata air dan lingkungan; e. meningkatkan upaya pelestarian kemampuan sumber daya hutan; f. meningkatkan pendapatan masyarakat terutama di daerah setempat; g. meningkatkan pendapatan daerah dan nasional; h. meningkatkan kesempatan kerja terutama untuk masyarakat daerah setempat; i. meningkatkan nilai tambah produksi hasil hutan dan industri yang mengolahnya; j. meningkatkan ekspor; atau k. mendorong perkembangan usaha dan peran masyarakat terutama di daerah setempat. Selain hal tersebut diatas, dijelaskan juga di penjelasan pasal 64 ayat 1, yaitu : Penjelasan huruf a : Yang dimaksud dengan “kawasan hutan produksi terbatas” adalah kawasan hutan yang secara ruang digunakan untuk budi daya hutan alam. Huruf b Yang dimaksud dengan “kawasan hutan produksi tetap” adalah kawasan hutan yang secara ruang digunakan untuk budi daya hutan alam dan hutan tanaman. Huruf c Yang dimaksud dengan “kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi” adalah kawasan hutan yang secara ruang dicadangkan untuk digunakan bagi perkembangan transportasi, transmigrasi, permukiman, pertanian, perkebunan, industri, dan lain-lain. Pada pasal 65 menjelaskan tentang : (1). Kawasan peruntukan hutan rakyat ditetapkan dengan kriteria kawasan yang dapat diusahakan sebagai hutan oleh orang pada tanah yang dibebani hak milik. (2). Kriteria teknis kawasan peruntukan hutan rakyat ditetapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kehutanan. B. Teknis 1. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.50/Menhut-II/2010 jo P.26/Menhut-II/2012 tentang Tata cara Pemberian dan Perluasan Areal Kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dalam Hutan Alam, IUPHHK Restorasi Ekosistem atau IUPHHK Tanaman Industri pada Hutan Produksi.
  • 15. BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 11 Dalam rangka memberikan kepastian dan kemudahan berinvestasi serta untuk menghindari tingginya biaya investasi maka proses pemberian izin usaha pemanfaatan hutan diatur berdasarkan Permenhut No. P.50/Menhut-II/2010 tanggal 31 Desember 2010. Dalam peraturan P.50/Menhut-II/2010 ini diatur tentang ketentuan umum persyaratan areal, subjek pemohon, persyaratan permohonan, penilaian permohonan, persyaratan dan pemberian izin perluasan dan pembayaran iuran izin usaha pemanfaatan hutan (IIUPH). Pada pasal 2 diatur bahwa areal yang dimohon adalah kawasan hutan produksi yang tidak dibebani izin/hak. Untuk IUPHHK-HTI dan IUPHHK-RE diutamakan pada hutan produksi yang tidak produktif dan dicadangkan/ditunjuk oleh menteri sebagai areal untuk pembangunan hutan tanaman atau untuk restorasi ekosistem. Pada pasal 3 diatur bahwa pemohon yang dapat mengajukan permohonan adalah perorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Swasta Indonesia, Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah. Pada pasal 4 diatur bahwa persyaratan permohonan terdiri dari : akte pendirian, surat izin usaha, NPWP, pernyataan untuk membuka kantor cabang di provinsi atau kabupaten/kota, rencana lokasi dilampiri peta, rekomendasi gubernur yang didasarkan pada pertimbangan bupati/walikota dan analisis fungsi kawasan hutan dari kepala dinas kehutanan provinsi dan kepala balai pemanfaatan kawasan hutan serta proposal teknis. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.50/Menhut-II/2010 jo P.26/Menhut-II/2012 dilakukan penghapusan pada pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) tentang : Dalam hal pertimbangan bupati/walikota dalam waktu 10 (sepuluh hari) hari kerja sejak diterimanya permohonan tidak diterima oleh gubernur, maka gubernur tetap memberikan rekomendasi dan dalam hal Gubenur tidak memberikan rekomendasi dan setelah dimintakan konfirmasi 3 (tiga) kali dengan tenggang waktu masing-masing 10 (sepuluh) hari kerja, menteri memproses permohonan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pada pasal 5 diatur bahwa permohonan diajukan kepada menteri dengan tembusan kepada Direktur Jenderal BUK, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan, gubernur, bupati/walikota dan kepala balai pemanfaatan kawasan hutan. Ketentuan pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) diubah dan menghapus ayat (3) serta menambah 1 (satu) ayat baru yaitu ayat (4), sehingga keseluruhan pasal 7 berbunyi sebagai berikut : (1). Dalam hal hasil penilaian proposal teknis sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (4) tidak lulus, Direktur Jenderal melapor kepada Menteri dan Menteri menerbitkan surat penolakan permohonan izin. (2). Dalam hal hasil penilaian proposal teknis sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (4) dinyatakan lulus, Direktur Jenderal melapor kepada Menteri.
  • 16. BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 12 (3). Berdasarkan laporan Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri menetapkan calon pemegang izin dengan menerbitkan Surat Perintah Pertama (SP-1) yang berisi perintah untuk menyusun dan menyampaikan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan pasal 8 ayat (1) dihapus dan ayat (2) dan ayat (3) diubah, sehingga keseluruhan pasal 8 berbunyi sebagai berikut : (1). AMDAL yang telah mendapat persetujuan atau pengesahan dari pejabat yang berwenang, disampaikan oleh calon pemegang izin kepada Menteri melalui Direktur Jenderal. (2). Dalam hal penilaian proposal teknis IUPHHK-RE dinyatakan lulus dan ditetapkan sebagai calon pemegang izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (4), calon pemegang izin diwajibkan menyusun UKL dan UPL sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Diantara pasal 9 ayat (2) dan ayat (3) disisipkan ayat baru yaitu ayat (2a), sehingga keseluruhan pasal 9 berbunyi sebagai berikut : (1). AMDAL sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (2), diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 150 (seratus lima puluh) hari kerja dan UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (3), diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari kerja. (2). Dalam hal waktu penyelesaian AMDAL atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, pemohon dapat mengajukan permohonan perpanjangan waktu kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal, dengan disertai alasan keterlambatan. (2a) Permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diberikan 2 (dua) kali perpanjangan dengan jangka waktu masing-masing 60 (enam puluh) hari kerja untuk AMDAL dan 15 (lima belas) hari kerja untuk UKL-UPL. (3). Direktur Jenderal atas nama Menteri dapat menerima atau menolak permohonan perpanjangan jangka waktu penyelesaian AMDAL atau UKL dan UPL, dengan mempertimbangkan alasan keterlambatan penyelesaian AMDAL atau UKL dan UPL. (4). Dalam hal permohonan perpanjangan jangka waktu penyelesaian AMDAL atau UKL dan UPL sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima, Direktur Jenderal atas nama Menteri menerbitkan perpanjangan waktu penyelesaian AMDAL atau UKL dan UPL. (5). Dalam hal pemohon telah diberikan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan pemohon tetap tidak dapat menyelesaikan kewajibannya, maka SP-1 menjadi batal dengan sendirinya dan tidak berlaku lagi.
  • 17. BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 13 Pada pasal 12 ayat 1 sampai dengan ayat 5 diatur bahwa izin perluasan IUPHHK-HA, HTI, RE dapat diberikan pada lokasi yang berada disekitarnya, sepanjang tidak dibebani izin usaha pemanfaatan hutan dengan luasan tidak melebihi izin yang telah diberikan. Izin perluasan juga dapat diberikan kepada pemegang IUPHHK-HA, HTI, RE dalam hutan produksi yang berkinerja baik dengan mengajukan permohonan dan melampirkan rencana lokasi dan proposal teknis kepada Menteri Kehutanan dengan tembusan kepada Direktur Jenderal BUK, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan kepala dinas provinsi. Dalam hal wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) sudah dibentuk, perluasan sebagaimana dimaksud diutamakan dalam wilayah KPHP yang sama. Pada pasal 13 diatur bahwa keputusan tentang pemberian, perluasan areal kerja IUPHHK- HA, HTI dan HTR diserah terimakan kepada pemohon setelah yang bersangkutan membayar lunas Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IIUPH). Ketentuan pasal 18 ayat (2) diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut Permohonan IUPHHK-RE yang diajukan berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.61/Menhut- II/2008 dan sudah sampai pada tingkat SP-1 (untuk membuat UKL dan UPL) atau sudah dinyatakan lulus uji kelayakan untuk dapat diberikan SP-1, penyelesaian izinnya diproses sesuai Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.61/Menhut-II/2008. 2. Peraturan Menteri Kehutanan No.P.55/Menhut-II/2011 tentang Tata Cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman. Dalam peraturan P.55/Menhut-II/2011 ini diatur tentang ketentuan penetapan areal, kegiatan dan pola HTR, jenis tanaman, persyaratan dan tata cara permohonan, kelembagaan kelompok dan pembiayaan serta hak dan kewajiban pemegang IUPHHK-HTR. Pada pasal 2 diatur bahwa alokasi dan penetapan areal HTR dilakukan oleh Menteri Kehutanan pada kawasan hutan produksi yang tidak produktif dan tidak dibebani izin/hak lain, berupa pencadangan areal HTR yang didasarkan pada rencana pembangunan HTR yang diusulkan oleh bupati/walikota atau kepala KPHP dan luas areal pencadangan disesuaikan dengan keberadaan masyarakat sekitar hutan. Rencana pencadangan areal HTR dimaksud dilampiri pertimbangan teknis dari kepala dinas kabupaten/kota atau kepala KPHP dengan tembusan disampaikan kepada Direktur Jenderal BUK dan Direktur Jenderal Planologi Kehutanan. Direktur Jenderal Planologi Kehutanan melakukan verifikasi peta usulan lokasi HTR yang disampaikan oleh bupati/walikota dan menyiapkan konsep peta pencadangan areal HTR serta hasilnya disampaikan kepada Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan. Pada pasal 4 diatur bahwa kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (UPHHK) pada HTR melalui kegiatan penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan,
  • 18. BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 14 dan pemasaran. Adapun tanaman yang dihasilkan dari UPHHK pada HTR merupakan asset pemegang izin usaha dan dapat dijadikan agunan sepanjang izin usahanya masih berlaku. Dalam hal terdapat tegakan hutan alam pada areal yang dicadangkan sebagai areal pencadangan HTR, areal hutan alam tersebut ditetapkan sebagai areal perlindungan setempat dan pengembangan hasil hutan bukan kayu (HHBK). Pada pasal 5 diatur bahwa pola HTR terdiri dari pola mandiri yang dibangun oleh pemegang IUPHHK-HTR, pola kemitraan yang dibangun oleh pemegang IUPHHK-HTR bersama dengan mitra yang difasilitasi oleh pemerintah/pemerintah daerah dan pola developer yang dibangun oleh BUMN atau BUMS atas permintaan pemegang IUPHHK-HTR dan biaya pembangunannya menjadi tanggung jawab pemegang IUPHHK-HTR. Pada pasal 7 diatur bahwa jenis tanaman pokok yang dapat dikembangkan untuk pembangunan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu HTR terdiri dari jenis tanaman pokok sejenis yaitu tanaman hutan berkayu yang hanya terdiri dari satu jenis (spesies) dan varietas serta jenis tanaman pokok berbagai jenis yaitu tanaman hutan berkayu yang dikombinasikan dengan tanaman budidaya tahunan yang berkayu (paling luas 40%) antara lain karet, tanaman berbuah, bergetah dan pohon penghasil pangan dan energi. Pada pasal 9 diatur bahwa yang dapat memperoleh IUPHHK-HTR adalah perorangan dan koperasi dalam skala usaha mikro kecil, menengah dan dibangun oleh masyarakat setempat yang tinggal di desa terdekat dari hutan dan diutamakan penggarap lahan pada areal pencadangan HTR. Pada pasal 10 diatur bahwa luas areal HTR maksimum 15 hektar untuk setiap pemegang izin perorangan dan maksimum 700 hektar untuk pemegang izin berbentuk koperasi didukung oleh daftar nama anggota koperasi yang jelas identitasnya dan letak areal harus berada dalam lokasi pencadangan HTR yang telah ditetapkan oleh menteri. Pada pasal 11 diatur bahwa persyaratan permohonan adalah foto copy KTP/akte pendirian koperasi, keterangan dari kepala desa dan sketsa areal/peta areal yang dimohon yang pembuatannya difasilitasi oleh pendamping HTR. Pada pasal 13 dan 14 diatur bahwa perorangan atau ketua kelompok koperasi mengajukan permohonan kepada bupati/walikota atau kepala KPHP melalui kepala desa dengan tembusan kepada kepala UPT dilampiri dengan persyaratan. Berdasarkan tembusan permohonan kepala desa dan kepala UPT melakukan verifikasi berkoordinasi dengan BPKH dan hasilnya disampaikan kepada bupati/walikota dan atau kepala KPHP. Selanjutnya bupati/walikota atau kepala KPHP atas nama Menteri Kehutanan menerbitkan IUPHHK-HTR dengan tembusan kepada menteri, gubernur, Dirjen BUK, kepala dinas kehutanan provinsi, kepala dinas kehutanan kabupaten dan kepala UPT. Selanjutnya kepala UPT melaporkan
  • 19. BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 15 kepada menteri rekapitulasi penerbitan keputusan IUPHHK-HTR secara periodik setiap 3 bulan. Pada pasal 15 diatur bahwa dalam hal areal yang dimohon untuk HTR berada diluar areal yang telah ditetapkan oleh menteri, bupati/walikota atau kepala KPHP mengusulkan areal yang dimaksud kepada menteri untuk ditetapkan sebagai areal pencadangan HTR. Pada pasal 16 dan 17 diatur bahwa IUPHHK-HTR diberikan untuk jangka waktu 60 tahun dan dapat diperpanjang satu kali untuk jangka waktu 35 tahun berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan setiap 2 tahun. IUPHHK-HTR tidak dapat diperjualbelikan, dipindahtangankan tanpa izin dan diwariskan. Dalam hal pemegang IUPHHK-HTR perorangan meninggal dunia salah satu ahli waris diutamakan untuk memohon IUPHHK-HTR pada areal yang sama untuk melanjutkan pembangunan HTR. Pada pasal 21 diatur bahwa pembangunan HTR dapat dibiayai melalui pola pengelolaan keuangan badan layanan umum, pusat pembiayaan pembangunan hutan (BLU Pusat P2H), perbankan maupun pihak lain yang tidak mengikat. Pada pasal 22 dan 23 diatur bahwa pemegang IUPHHK-HTR mempunyai hak melakukan kegiatan sesuai izin, mendapatkan pinjaman dana bergulir sesuai ketentuan, bimbingan dan penyuluhan teknis, mengikuti pendidikan dan latihan serta peluang mendirikan industri dan memperoleh fasilitasi pemasaran hasil hutan. Sedangkan kewajibannya adalah menyusun RKU PHHK-HTR dan RKT PHHK-HTR (dapat difasilitasi oleh pendamping HTR, UPT dan atau perguruan tinggi dibidang kehutanan), melaksanakan pengukuran dan pemetaan areal kerja. 3. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.49/Menhut-II/2008 jo P.14/Menhut-II/2010 jo P.53/Menhut-II/2011 tentang Hutan Desa. Dalam peraturan P.49/Menhut-II/2008 jo P.14/Menhut-II/2010 jo P.53/Menhut-II/2011 tentang Hutan Desa ini diatur tentang penetapan areal kerja hutan desa, fasilitasi, hak pengelolaan hutan desa, hak dan kewajiban pemegang hak, rencana kerja, pelaporan, pembinaan, pengendalian dan pembiayaan serta sanksi . Pada pasal 2 diatur bahwa penyelenggaraan hutan desa dimaksudkan untuk memberikan akses kepada masyarakat setempat melalui lembaga desa dalam memanfaatkan sumber daya hutan secara lestari. Penyelenggaraan hutan desa bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat secara berkelanjutan. Pada pasal 4 diatur bahwa kriteria kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai areal kerja hutan desa adalah hutan lindung dan hutan produksi yang belum dibebani hak pengelolaan atau izin pemanfaatan dan berada dalam wilayah administrasi desa yang bersangkutan. Kriteria kawasan hutan tersebut didasarkan atas rekomendasi dari kepala KPH atau kepala dinas kabupaten/kota yang diserahi tugas dan bertanggung jawab dibidang kehutanan.
  • 20. BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 16 Pada pasal 5 dan 6 diatur bahwa UPT Direktorat Jenderal BPDASPS melakukan koordinasi dengan UPT eselon I Kementerian Kehutanan terkait dan pemerintah daerah untuk menentukan calon areal kerja hutan desa dan memfasilitasi pembentukan lembaga desa membuat permohonan Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD) kepada gubernur dengan tembusan kepada bupati/walikota. Pada areal lain diluar areal yang dicalonkan, masyarakat setempat dapat mengajukan permohonan penetapan areal kerja hutan desa kepada bupati/walikota. Selanjutnya bupati/walikota mengajukan usulan penetapan areal kerja hutan desa kepada menteri. Pada pasal 7 dan 8 diatur bahwa usulan bupati/walikota dilakukan verifikasi oleh tim yang dibentuk oleh menteri beranggotakan unsur-unsur eselon I terkait lingkup Kementerian Kehutanan yang dikoordinasikan oleh Dirjen BPDASPS. Selanjutnya Dirjen BPDASPS menugaskan UPT Kementerian Kehutanan untuk melakukan verifikasi ke lapangan serta berkoordinasi dengan pemda setempat. Berdasarkan hasil verifikasi tersebut, terhadap usulan yang ditolak tim verifikasi menyampaikan pemberitahuan kepada bupati/walikota dengan tembusan gubernur, sedangkan terhadap usulan penetapan yang diterima, menteri menetapkan areal kerja hutan desa dan disampaikan kepada gubernur dan bupati/walikota setempat. Pada pasal 11 diatur bahwa hak pengelolaan hutan desa bukan merupakan hak kepemilikan atas kawasan hutan dan dilarang memindahtangankan atau mengagunkan serta mengubah status dan fungsi kawasan hutan dan dilarang digunakan untuk kepentingan lain diluar rencana pengelolaan hutan dan harus dikelola berdasarkan kaidah-kaidah pengelolaan hutan lestari. Pada pasal 17 diatur bahwa hak pengelolaan hutan desa dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang berdasarkan evaluasi yang dilakukan paling lama setiap 5 (lima) tahun sekali oleh pemberi hak. Pada pasal 18 dan 19 diatur bahwa hak pengelolaan hutan desa dapat mengajukan IUPHHK dalam hutan desa yang terdiri dari IUPHHK-HA, HTI pada areal kerja yang berada dalam hutan produksi. Permohonan IUPHHK diajukan oleh lembaga desa kepada menteri. Menteri dapat melimpahkan wewenang penerbitan IUPHKK-HA dalam hutan desa kepada gubernur dan IUPHHK-HT dalam hutan desa kepada bupati/walikota. Pada pasal 23, 27, 28, 29, 30 dan 31 diatur bahwa pada hutan produksi pemegang hak pengelolaan hutan desa berhak untuk memanfaatkan kawasan, jasa lingkungan, pemanfaatan hutan kayu dan bukan kayu, pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu melalui kegiatan budidaya tanaman obat, budidaya tanaman hias, budidaya jamur, budidaya lebah, penangkaran satwa atau budidaya sarang burung walet, pemanfaatan jasa aliran air,
  • 21. BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 17 pemanfaatan air, wisata alam, perlindungan keanekaragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan atau penyerapan dan penyimpanan karbon, pemanfaatan rotan, sagu, nipah, bambu, getah, kulit kayu, daun, buah atau biji gaharu. Pemanfaatan hasil hutan kayu hanya dapat dilakukan setelah mendapat IUPHHK. Pada pasal 34 diatur bahwa pemegang hak pengelolaan hutan desa memiliki kewajiban melaksanakan penataan batas HPHD, menyusun rencana kerja HPHD, melakukan perlindungan hutan, melaksanakan rehabilitasi areal kerja hutan desa dan melaksanakan pengkayaan tanaman kerja hutan desa. Pada pasal 36 diatur bahwa dalam menyusun rencana kerja hak pengelolaan hutan desa, lembaga desa dapat meminta fasilitasi kepada pemerintah, pemerintah daerah atau pihak lain. Pada pasal 43 diatur bahwa pemegang HPHD menyampaikan laporan kinerja kepada gubernur dengan tembusan kepada menteri, bupati/walikota sedangkan pemegang IUPHHK hutan desa menyampaikan laporan kepada menteri dengan tembusan gubernur dan bupati/walikota. Pasal 47 diatur bahwa pembiayaan untuk pelaksanaan hutan desa dibebankan kepada kas desa sedangkan pembiayaan untuk fasilitasi, pembinaan dan pengendalian dalam penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat dibebankan kepada APBN, APBD atau sumber- sumber yang tidak mengikat. 4. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.37/Menhut-II/2007 jo P.18/Menhut-II/2009 jo P.13/Menhut-II/2010 jo P.52/Menhut-II/2011 tentang Hutan Kemasyarakatan. Dalam peraturan P.37/Menhut-II/2007 jo P.18/Menhut-II/2009 jo P.13/Menhut-II/2010 jo P.52/Menhut-II/2011 tentang Hutan Kemasyarakatan ini antara lain diatur tentang azas dan prinsip penetapan areal kerja, perizinan, hak dan kewajiban serta pembiayaan HKm. Pada pasal 2 diatur bahwa penyelenggaraan HKm berazaskan manfaat, musyawarah mufakat dan keadilan dengan prinsip tidak mengubah status dan fungsi kawasan hutan, pemanfaatan hasil hutan kayu hanya dapat dilakukan dari hasil kegiatan penanaman, meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagai pelaku utama dan partisipatif dalam pengambilan keputusan. Pada pasal 6 diatur bahwa kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai areal kerja hutan kemasyarakatan adalah kawasan hutan lindung dan kawasan hutan produksi dengan ketentuan belum dibebani hak atau izin dalam pemanfaatan hasil hutan dan menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat. Pada pasal 8 diatur bahwa UPT Direktorat Jenderal BPDASPS melakukan koordinasi dengan UPT eselon I Kementerian Kehutanan terkait dan pemerintah daerah untuk menentukan
  • 22. BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 18 calon areal kerja hutan kemasyarakatan dan memfasilitasi masyarakat setempat untuk membuat permohonan izin hutan kemasyarakatan kepada bupati/walikota. Pada areal lain yang dicalonkan, masyarakat setempat dapat mengajukan permohonan penetapan areal kerja hutan kemasyarakatan kepada bupati/walikota. Selanjutnya bupati/walikota mengajukan usulan penetapan areal kerja hutan kemasyarakatan kepada menteri. Pada pasal 11 s.d 14 diatur bahwa perizinan dalam hutan kemasyarakatan dilakukan melalui tahapan fasilitasi dan pemberian izin. IUPHKm bukan merupakan hak kepemilikan atas kawasan hutan dan dilarang dipindahtangankan, diagunkan atau digunakan untuk kepentingan lain diluar rencana pengelolaan yang telah disahkan serta dilarang merubah status dan fungsi kawasan hutan. IUPHKm dapat diberikan kepada kelompok masyarakat setempat yang telah mendapat fasilitasi pada kawasan hutan yang telah ditetapkan sebagai areal kerja HKm dengan surat keputusan menteri. Pada pasal 15 dan 17 diatur bahwa IUPHKm yang berada pada hutan produksi meliputi kegiatan pemanfaatan kawasan, penanaman tanaman hutan berkayu, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu melalui kegiatan budidaya tanaman obat, budidaya tanaman hias, budidaya jamur, budidaya lebah, penangkaran satwa atau budidaya sarang burung walet, pemanfaatan jasa aliran air, pemanfaatan air, wisata alam, perlindungan keanekaragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan atau penyerapan dan penyimpanan karbon, pemanfaatan rotan, sagu, nipah, bambu, getah, kulit kayu, daun, buah atau biji gaharu. Pada pasal 20 s.d 22 diatur bahwa kelompok masyarakat yang telah memiliki IUPHHK dan akan mengajukan permohonan IUPHHK-HKm kepada menteri wajib membentuk koperasi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah diberikan izin. Menteri dapat menugaskan penerbitan IUPHH-HKm kepada gubernur. IUPHH-HKm diberikan untuk jangka waktu 35 tahun dan dapat diperpanjang sesuai dengan hasil evaluasi setiap 5 (lima) tahun. IUPHHK- HKm hanya dapat dilakukan pada hutan produksi untuk kegiatan pemanfaatan hasil hutan tanaman berkayu yang merupakan hasil penanamannya. Pada pasal 24 diatur bahwa pemegang IUPHHK-HKm berhak menebang hasil hutan kayu yang merupakan hasil penanamannya untuk jangka waktu 1 (satu) tahun sesuai dengan rencana kerja tahunan dan rencana operasional serta mendapatkan pelayanan dokumen sahnya hasil hutan sesuai ketentuan. Pada pasal 25 diatur bahwa pemegang IUPHHK-HKm memiliki kewajiban membayar provisi sumber daya hutan, menyusun rencana kerja pemanfaatan hasil hutan kayu, melaksanakan penataan batas areal kerja, melakukan pengamanan areal tebangan antara lain pencegahan kebakaran, melindungi pohon-pohon yang tumbuh secara alami/tidak menebang pohon
  • 23. BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 19 yang bukan hasil tanaman dan menyampaikan laporan kegiatan pemanfaatan HKm pada pemberi izin. Pada pasal 37 diatur bahwa pembiayaan penyelenggaraan HKm dapat bersumber dari APBN, APBD dan atau sumber sumber lain yang tidak mengikat 5. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.63/Menhut-II/2009 tentang Tata cara pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan silvo pastura pada hutan produksi Pada pasal 2 tentang persyaratan areal untuk silvo pastura mengatur bahwa areal untuk usaha pemanfaatan kawasan silvo pastura tersebut adalah Hutan Produksi yang telah dibebani ijin IUPHHK HTI dengan luas maksimal 500 ha dan yang belum dibebani IUPHHK atau izin usaha lainnya dengan luas maksimal 5 ha. Pada pasal 3 tentang persyaratan pemohon menerangkan bahwa untuk pemohon IUPK-SP pada areal yang telah dibebani izin HTI khusus diperuntukkan bagi pemegang IUPHHK-HTI yang bersangkutan. Pemohon IUPK-SP pada areal yang belum dibebani izin, yang dapat mengajukan permohonan adalah perorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Swasta Indonesia (BUMSI) dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pada pasal 4 mengatur bahwa persyaratan permohonan IUPK-SP yang telah dibebani IUPHHK-HTI adalah fotocopy SK pemberian izin IUPHHK-HTI dan izin usaha lainnya, peta permohonan, rekomendasi gubernur, proposal teknis. Sedangkan persyaratan permohonan IUPK-SP yang belum dibebani IUPHHK-HTI atau izin usaha lainnya adalah : x Rekomendasi gubernur apabila areal yang diusulkan berada pada lintas kabupaten, tidak dibebani hak-hak lain dan dilampiri Peta lokasi skala 1: 100.000 x Rekomendasi bupati/balikota apabila areal yang diusulkan berada pada satu wilayah kabupaten/kota, tidak dibebani hak-hak lain dan dilampiri peta lokasi skala 1: 100.000 x Pernyataan bersedia membuka kantor cabang di provinsi dan atau kabupaten/kota x Akte pendirian Koperasi atau Badan Usaha beserta perubahan-perubahannya yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang x Bergerak di bidang usaha kehutanan/pertanian/perkebunan, peternakan x Surat izin usaha dari instansi yang berwenang x Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) x Proposal teknis yang berisi antara lain : kondisi umum areal dan perusahaan serta usulan teknis kegiatan yang terdiri dari tujuan dan perencanaan.
  • 24. BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 20 Rekomendasi gubernur atau bupati/walikota sebagaimana harus didasarkan analisa fungsi kawasan oleh dinas kehutanan dan Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) antara lain analisis izin-izin kehutanan, izin penggunaan kawasan hutan dan mutasi kawasan yang dituangkan dalam data spatial. Pada pasal 10 mengatur bahwa jangka waktu IUPK-SP pada hutan produksi diberikan paling lama 25 (dua puluh lima) tahun sesuai dengan jenis usahanya dan dapat diperpanjang. Pada pasal 13 menerangkan bahwa dalam hal areal pada hutan produksi telah ditetapkan tata hutannya dalam 1 (satu) KPH, maka areal/lokasi permohonan izin baru atau perluasan areal UPK-SP harus berada pada hutan produksi. C. Pendukung 1. Instruksi Presiden No.10 tahun 2011 tentang Penundaan Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Dalam rangka menyeimbangkan dan menselaraskan pembangunan ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan serta upaya penurunan emisi gas rumah kaca yang dilakukan melalui penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, presiden menginstruksikan kepada menteri terkait agar : a. Mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing untuk mendukung penundaan pemberian izin baru hutan alam primer dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi (hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi) dan area penggunaan lain sebagaimana tercantum dalam peta indikatif penundaan izin baru. b. Penundaan pemberian izin baru sebagaimana dimaksud dalam diktum pertama berlaku bagi penggunaan kawasan hutan alam primer dan lahan gambut, dengan pengecualian diberikan kepada : 1) Permohonan yang telah mendapat persetujuan prinsip dari Menteri Kehutanan. 2) Pelaksanaan pembangunan nasional yang bersifat vital yaitu : geothermal, minyak dan gas bumi, ketenagalistrikan, lahan untuk padi dan tebu. 3) Perpanjangan izin pemanfaatan hutan dan/atau penggunaan kawasan hutan yang telah ada sepanjang izin di bidang usahanya masih berlaku dan 4) Restorasi ekosistem. Selanjutnya presiden pada diktum ketiga memberikan instruksi khusus kepada : A. Menteri Kehutanan agar :
  • 25. BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 21 1) Melakukan penundaan terhadap penerbitan izin baru pada hutan alam primer dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi (hutan produksi terbatas, hutan produksi biasa/tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi) berdasarkan peta indikatif penundaan izin baru. 2) Menyempurnakan kebijakan tata kelola bagi izin pinjam pakai dan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam. 3) Meningkatkan efektivitas pengelolaan lahan kritis dengan memperhatikan kebijakan tata kelola hutan dan lahan gambut yang baik, antara lain melalui restorasi ekosistem. 4) Melakukan revisi terhadap peta indikatif penundaan izin baru pada kawasan hutan setiap 6 (enam) bulan sekali. 5) Menetapkan peta indikatif penundaan izin baru hutan alam primer dan lahan gambut pada kawasan hutan yang telah direvisi. B. Menteri Lingkungan Hidup agar melakukan upaya pengurangan emisi dari hutan dan lahan gambut melalui perbaikan tata kelola pada kegiatan usaha yang diusulkan pada hutan dan lahan gambut yang ditetapkan dalam peta indikatif penundaan izin baru melalui izin lingkungan. C. Menteri Dalam Negeri melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap gubernur dan bupati/walikota dalam pelaksanaan instruksi presiden ini. D. Kepala Badan Pertanahan Nasional melakukan penundaan terhadap penerbitan hak-hak atas tanah antara lain hak guna usaha, hak pakai pada areal penggunaan lain berdasarkan peta indikatif penundaan izin baru. E. Ketua Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional : melakukan percepatan konsolidasi peta indikatif penundaan izin baru ke dalam revisi peta tata ruang wilayah sebagai bagian dari pembenahan tata kelola penggunaan lahan melalui kerja sama dengan gubernur, bupati/walikota dan ketua satuan tugas persiapan pembentukan kelembagaan REDD+ atau ketua lembaga yang dibentuk untuk melaksanakan tugas khusus di bidang REDD+. F. Kepala Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional agar melakukan pembaharuan peta tutupan hutan dan lahan gambut sesuai peta indikatif penundaan izin baru pada kawasan hutan dan areal penggunaan lain setiap 6 (enam) bulan sekali melalui kerja sama dengan Menteri Kehutanan, Kepala Badan Pertanahan Nasional dan Ketua Satuan Tugas Persiapan Pembentukan Kelembagaan REDD+ atau ketua lembaga yang dibentuk untuk melaksanakan tugas khusus di bidang REDD+.
  • 26. BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 22 G. Para gubernur agar melakukan penundaan penerbitan rekomendasi dan izin lokasi baru pada kawasan hutan dan lahan gambut serta areal penggunaan lain berdasarkan peta indikatif penundaan izin baru. H. Para bupati/walikota agar melakukan penundaan penerbitan rekomendasi dan izin lokasi baru pada kawasan hutan dan lahan gambut serta areal penggunaan lain berdasarkan peta indikatif penundaan izin baru. Selanjutnya pada diktum kelima diinstruksikan bahwa penundaan pemberian izin baru, rekomendasi dan pemberian izin lokasi dilakukan selama 2 (dua) tahun terhitung sejak instruksi presiden ini dikeluarkan. 2. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.3803/Menhut-VI/BRPUK/2012 tentang Penetapan Indikatif pencadangan kawasan hutan produksi untuk usaha pemanfaatan hasil hutan kayu menetapkan peta indikatif pencadangan kawasan hutan produksi untuk usaha pemanfaatan hasil hutan kayu seluas ± 22.908.130 ha. Luas indikatif pencadangan kawasan hutan tersebut adalah : a. Usaha pemanfaatan hasil hutan kayu untuk hutan alam seluas ± 6.516.711 ha. b. Usaha pemanfaatan hasil hutan kayu untuk restorasi ekosistem seluas ± 4.982.708 ha. c. Usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman yatui hutan tanaman industri (HTI) dan atau hutan tanaman rakyat (HTR) seluas ± 11.075.592 ha. d. Hutan Desa (HD) atau hutan Kemasyarakatan (HKm) seluas ± 333.119 ha. Dalam hal pengajuan permohonan untuk izin usaha pemanfaatan hasil hutan yang tidak sesuai dengan pencadangan maka kawasan yang dimohon wajib dilakukan analisis makro dan atau analisis mikro sesuai dengan kiteria yang telah ditetapkan. 3. Keputusan Menteri Kehutanan nomor SK.6315/Menhut-VII/IPSDH/2012 tentang penetapan peta indikatif penundaan izin baru pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan dan perubahan peruntukan kawasan hutan dan areal penggunaan lain (Revisi III). Menetapkan peta indikatif penundaan izin baru pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan dan perubahan peruntukan kawasan hutan dan areal penggunaan lain Revisi II yang meliputi : izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, izin pemungutan hasil hutan kayu, izin penggunaan kawasan hutan dan perubahan peruntukan kawasan hutan. Penundaan pemberian izin baru ini tidak berlaku dalam perubahan peruntukan kawasan hutan terkait dengan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi. Peta indikatif ini tidak berlaku terhadap lokasi yang telah mendapat persetujuan prinsip dari Menteri Kehutanan pada kawasan hutan yang telah diterbitkan sebelum intruksi presiden nomor 10 tahun 2011 dan perizinan atau titel hak dari pejabat berwenang sesuai dengan
  • 27. BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 23 peraturan perundang-undangan pada areal penggunaan lain (APL) atau bukan kawasan hutan yang diterbitkan sebelum intruksi presiden nomor 10 tahun 2011.
  • 28. BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 24 IV. TATA CARA PERMOHONAN PENCADANGAN DAN IZIN PEMANFAATAN HUTAN Guna memperlancar proses permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam dan Hutan Tanaman Industri serta Restorasi Ekosistem, Pencadangan Areal HTR, Penetapan Areal Kerja HKM dan HD, pada bab ini disajikan secara jelas tata cara pemberian izin pemanfaatan, pencadangan areal HTR dan penetapan areal kerja HKm & HD dimaksud sebagai berikut : A. Pemberian dan Perluasan Areal Kerja IUPHHK-HA/HTI/RE Dasar : Permenhut No. P.50/Menhut-II/2010 jo P.26 Menhut II/2012 Gambar 1 : Skema tata cara pencadangan areal kerja areal kerja IUPHHK-HA, IUPHHK- HTI dan IUPHHK-RE sesuai dengan Permenhut No. P.50/Menhut-II/2010 jo P.26 Menhut II/2012
  • 29. BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 25 1. Pemohon yang dapat mengajukan permohonan IUPHHK-HA, IUPHHK-HTI dan IUPHHK- RE adalah : a. Perorangan. b. Koperasi. c. Badan Usaha Milik Swasta Indonesia (BUMSI). d. Badan Usaha Milik Negara (BUMN). e. Badan Usaha Milik Daerah. Dalam hal permohonan IUPHHK-HTI perorangan tidak diperbolehkan mengajukan permohonan. 2. Permohonan IUPHHK-HA atau IUPHHK-HTI atau IUPHHK-RE mengacu pada areal yang telah dialokasikan dan dapat dilihat dalam website www.dephut.go.id a. Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan. dengan alamat “Bina Usaha Kehutanan”. Permohonan diajukan dengan tembusan kepada : b. Direktur Jenderal Planologi Kehutanan. c. Gubernur. d. Bupati/Walikota. e. Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan. dengan melengkapi persyaratan seperti rekomendasi gubernur, pertimbangan bupati/walikota, pertimbangan teknis dinas kehutanan kabupaten/kota, analisis fungsi kawasan hutan dari dinas kehutanan dan balai pemanfaatan kawasan hutan dan peta lokasi serta proposal teknis. Permohonan tersebut diajukan dengan tembusan kepada Direktur Jenderal BUK, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan, gubernur, bupati/walikota dan kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan. 3. Direktorat Jenderal BUK memeriksa kelengkapan persyaratan yang diajukan oleh pemohon. Jika permohonan tidak memenuhi kelengkapan persyaratan, Direktur Jenderal BUK atas nama Menteri Kehutanan menerbitkan surat penolakan, jika syarat-syarat permohonan lengkap, Direktur Jenderal BUK memeriksa proposal teknis dengan tenggang waktu 10 (sepuluh) hari kerja dan hasilnya disampaikan kepada Menteri Kehutanan. Apabila satu areal telah dimohon dan memenuhi kelengkapan persyaratan, maka dalam tenggang waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak pemohon pertama menyampaikan permohonan dan lengkap persyaratan, diberi kesempatan kepada pemohon lain untuk mengajukan permohonan pada areal yang sama. 4. Berdasarkan hasil penilaian proposal teknis terhadap pemohon yang dinyatakan lulus dan diterima Menteri Kehutanan, Direktur Jenderal BUK atas nama Menteri Kehutanan menerbitkan Surat Perintah Pertama (SP-1) kepada pemohon untuk menyusun dan
  • 30. BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 26 menyampaikan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). AMDAL yang telah mendapatkan persetujuan atau pengesahan dari pejabat yang berwenang diteruskan untuk disampaikan oleh pemohon kepada Menteri Kehutanan melalui Direktur Jenderal BUK. Dalam hal penilaian proposal teknis IUPHHK-RE dinyatakan lulus, pemohon harus menyusun UKL dan UPL. AMDAL harus diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 150 (seratus lima puluh) hari kerja dan UKL-UPL harus diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari kerja. Dalam hal waktu penyelesaian AMDAL atau UKL dan UPL tidak terpenuhi, pemohon dapat mengajukan permohonan perpanjangan waktu kepada Menteri Kehutanan c.q Direktur Jenderal BUK dengan disertai alasan keterlambatan. Dalam hal pemohon telah diberikan perpanjangan sebagaimana dimaksud, pemohon tetap tidak dapat menyelesaikan kewajibannya maka SP-1 menjadi batal dengan sendirinya dan tidak berlaku lagi. 5. Berdasarkan AMDAL atau UKL dan UPL yang diterima, Direktur Jenderal BUK atas nama Menteri Kehutanan menerbitkan Surat Perintah kedua (SP-2) kepada Direktur Jenderal Planologi Kehutanan untuk menyiapkan peta areal kerja (working area/WA) paling lambat 15 (lima belas) hari kerja dan menyampaikan hasilnya kepada Direktur Jenderal BUK. 6. Berdasarkan peta areal kerja (working area/WA) yang disampaikan oleh Dirjen Planologi Kehutanan, Direktur Jenderal BUK menyiapkan dan menyampaikan konsep keputusan Menteri Kehutanan tentang pemberian IUPHHK-HA atau IUPHHK-HTI atau IUPHHK-RE kepada Menteri Kehutanan melalui Sekretaris Jenderal. 7. Sekretaris Jenderal menelaah aspek hukum terhadap konsep Keputusan Menteri Kehutanan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya konsep tersebut dan menyampaikan hasil telaahan kepada menteri. 8. Berdasarkan konsep keputusan yang diterima, Menteri Kehutanan menerbitkan keputusan tentang pemberian IUPHHK-HA atau IUPHHK-HTI atau IUPHHK-RE.
  • 31. BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 27 B. Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman Dasar : Peraturan Menteri Kehutanan No. P.55/Menhut-II/2011 Gambar 2 : Skema tata cara pencadangan areal HTR berdasarkan Permenhut No. P.55/Menhut-II/2011
  • 32. BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 28 1. Pencadangan areal HTR didasarkan kepada usulan rencana pembangunan HTR oleh bupati/walikota atau kepala KPHP dengan dilampiri oleh pertimbangan teknis dari kepala dinas kabupaten/kota atau kepala KPHP yang memuat : - Informasi kondisi areal dan penutupan lahan, informasi (kawasan atau areal) tumpang tindih perizinan, tanaman reboisasi dan rehabilitasi. - Daftar nama-nama masyarakat calon pemegang izin IUPHHK-HTR yang diketahui oleh camat dan kepala desa/lurah sesuai KTP setempat. - Pernyataan bahwa aksesibilitas areal yang diusulkan tidak sulit. - Peta usulan rencana pembangunan HTR skala 1: 50.000 atau skala 1: 100.000. 2. Bupati/walikota/kepala KPHP menyampaikan permohonan tersebut kepada Menteri Kehutanan dengan tembusan kepada Direktur Jenderal BUK dan Direktur Jenderal Planologi Kehutanan. 3. Berdasarkan usulan bupati/walikota/kepala KPH maka Direktur Jenderal BUK dan Direktur Jenderal Planologi Kehutanan melakukan verifikasi rencana pembangunan HTR dari aspek teknis dan administratif sebagai berikut : - Direktur Jenderal Planologi Kehutanan melakukan verifikasi peta usulan lokasi HTR yang disampaikan oleh bupati/walikota dan menyiapkan konsep peta pencadangan areal HTR serta hasilnya disampaikan kepada Direktur Jenderal BUK. - Direktur Jenderal BUK melakukan verifikasi rencana pembangunan HTR yang disampaikan oleh bupati/walikota dari aspek teknis dan administratif, kemudian menyiapkan konsep keputusan menteri tentang penetapan/alokasi areal HTR dengan dilampiri konsep peta pencadangan areal HTR dan mengusulkan melalui Sekretaris Jenderal kepada Menteri Kehutanan untuk ditetapkan. 4. Sekretaris Jenderal menelaah aspek hukum terhadap konsep Keputusan Menteri Kehutanan yang diusulkan oleh Dirjen BUK dan menyampaikan hasil telaahan tersebut kepada menteri. 5. Menteri Kehutanan menerbitkan pencadangan areal untuk pembangunan HTR yang nantinya akan disampaikan kepada bupati/walikota atau kepala KPHP dengan tembusan kepada gubernur . 6. Berdasarkan pencadangan areal HTR, bupati/walikota atau kepala KPHP melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Sosialisasi dapat dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat yang ada di Jakarta, provinsi atau kabupaten/kota.
  • 33. BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 29 C. Penetapan Areal Kerja Hutan Desa Dasar : Permenhut No.P.49/Menhut-II/2008 jo Permenhut No.P.14/Menhut-II/2008 jo Permenhut No.P.53/Menhut-II/2008 Gambar 3 : Skema tata cara penetapan hutan desa berdasarkan Permenhut No.P.49/Menhut-II/2008 jo Permenhut No.P.14/Menhut-II/2008 jo Permenhut No.P.53/Menhut-II/2008 jo Permenhut No.P.53/Menhut-II/2011 1. Kriteria kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai calon areal kerja hutan desa adalah a) Hutan lindung atau hutan produksi yang belum dibebani hak pengelolaan atau izin pemanfaatan. b) Berada dalam wilayah administrasi desa yang bersangkutan. c) Calon areal kerja yang dimohon harus didasarkan atas rekomendasi dari kepala KPH atau kepala dinas kabupaten/kota yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di
  • 34. BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 30 bidang kehutanan. Pada areal lain di luar areal yang dicalonkan, masyarakat setempat melalui kepala desa dapat mengajukan permohonan penetapan areal kerja hutan desa kepada bupati/walikota dengan melampirkan : a) Sketsa lokasi areal yang dimohon. b) Surat usulan dari kepala desa/lurah. c) Nama-nama calon anggota lembaga desa atau struktur lembaga desa jika sudah terbentuk yang diketahui oleh camat dan kepala desa/lurah. 2. Bupati/walikota mengajukan usulan penetapan areal kerja hutan desa kepada menteri dengan melengkapi : - Peta digital lokasi calon areal kerja hutan desa dengan skala paling kecil 1: 50.000. - Deskripsi wilayah, antara lain keadaan fisik wilayah, sosial ekonomi dan potensi kawasan. - Surat usulan dari kepala desa/lurah. - Nama-nama calon anggota lembaga desa atau struktur lembaga desa jika sudah terbentuk yang diketahui oleh camat dan kepala desa/lurah. 3. Usulan bupati tersebut dilakukan verifikasi oleh tim verifikasi yang beranggotakan unsur- unsur eselon I Kementerian Kehutanan dengan penanggung jawab Direktur Jenderal BPDASPS. Tim verifikasi ini terdiri dari BPKH dan BPDAS. 4. Jika verifikasi tersebut ditolak maka tim verifikasi atas nama menteri memberitahukan kepada bupati/walikota dengan tembusan kepada gubernur. 5. Jika verifikasi diterima maka menteri dapat mengeluarkan keputusan penetapan hutan desa. 6. Selanjutnya penetapan areal kerja disampaikan kepada gubernur dan bupati/walikota untuk disosialisasikan kepada masyarakat. 7. Hasil dari sosialisasi tersebut adalah pembentukan lembaga desa yang dituangkan dalam peraturan desa. Lembaga desa inilah yang dapat mengajukan hak pengelolaan hutan desa kepada gubernur melalui bupati/walikota. 8. Selanjutnya gubernur akan melakukan verifikasi, jika hasil verifikasi memenuhi syarat, gubernur memberikan hak pengelolaan hutan desa dalam bentuk SK pemberian hak pengelolaan hutan desa.
  • 35. BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 31 D. Penetapan Areal Kerja Hutan Kemasyarakatan Dasar : Permenhut No.P.37/Menhut-II/2007 jo Permenhut No.P.18/Menhut-II/2009 jo Permenhut No.P.13/Menhut-II/2010 jo Permenhut No.P.52/Menhut-II/2011. Gambar 4 : Tata cara penetapan HKm dan permohonan IUPHHK-HKm sesuai dengan Permenhut No.P.37/Menhut-II/2007 jo Permenhut No.P.18/Menhut-II/2009 jo Permenhut No.P.13/Menhut-II/2010 jo Permenhut No.P.52/Menhut-II/2011. 1. Kriteria kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai calon areal kerja hutan kemasyarakatan adalah : a) Hutan lindung atau hutan produksi yang belum dibebani hak pengelolaan atau izin pemanfaatan. b) Menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat.
  • 36. BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 32 Pada areal lain di luar areal yang dicalonkan masyarakat melalui ketua kelompok/kepala desa/tokoh masyarakat dapat mengajukan IUPHKm kepada bupati/walikota dengan melampirkan : a) Sketsa lokasi areal yang dimohon. b) Daftar nama masyarakat setempat calon kelompok hutan kemasyarakatan yang diketahui oleh camat dan kepala desa/lurah. 2. Permohonan masyarakat setempat diajukan oleh ketua kelompok atau kepala desa atau tokoh masyarakat kepada bupati/walikota. Permohonan awal ini akan diverifikasi tahap pertama oleh tim yang dibentuk oleh gubernur atau bupati/walikota. 3. Berdasarkan hasil verifikasi ini maka tim dapat menolak atau menerima permohonan penetapan areal hutan kemasyarakatan. Terhadap permohonan yang ditolak, tim verifikasi melaporkan kepada gubernur atau bupati/walikota. Terhadap permohonan yang diterima, tim verifikasi menyampaikan rekomendasi kepada gubernur dan atau bupati/walikota. 4. Berdasarkan hasil verifikasi, gubernur atau bupati/walikota menyampaikan usulan penetapan areal hutan kemasyarakatan kepada Menteri Kehutanan dilengkapi peta calon areal kerja hutan kemasyarakatan dilengkapi dengan peta calon areal kerja hutan kemasyarakatan dengan skala 1: 50.000 serta deskripsi wilayah antara lain keadaan fisik wilayah, sosial ekonomi dan potensi kawasan sesuai petunjuk teknis pemetaan oleh BPKH/BPDAS. 5. Hasil rekomendasi tim verifikasi yang telah dilampiri dengan peta calon areal HKm tersebut kemudian akan diverfikasi oleh tim yang dibentuk oleh Menteri Kehutanan dengan penanggung jawab Direktur Jenderal BPDASPS dengan menugaskan UPT terkait. 6. Jika verifikasi tersebut ditolak maka tim verifikasi menyampaikan pemberitahuan penolakan tersebut kepada gubernur dan/atau bupati/walikota. 7. Jika verifikasi diterima maka menteri dapat menetapkan areal kerja hutan kemasyarakatan dan bupati dapat menerbitkan IUPHHK-HKm. E. Tata cara permohonan izin KHDTK Dasar : UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan PP no 12 Tahun 2010, dan saat ini sedang dipersiapkan Permenhut yang mengatur tentang KHDTK.
  • 37. BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 33 F. Tata cara pemberian Izin usaha pemanfaatan silvo pastura pada hutan produksi Dasar : Permenhut No. P.63/Menhut-II/2009 Gambar 5 : Tata cara pemberian izin usaha pemanfaatan silvo pastura pada hutan produksi sesuai dengan Permenhut no P.63/Menhut-II/2009 1. Penetapan Izin Usaha Pemanfaatan Silvo Pastura didasarkan dari usulan permohonan : x Pemohon IUPK-SP pada areal yang telah dibebani izin HTI khusus diperuntukkan bagi pemegang IUPHHK-HTI yang bersangkutan. x Pemohon IUPK-SP pada areal yang belum dibebani izin, yang dapat mengajukan permohonan adalah perorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Swasta Indonesia (BUMSI) dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Persyaratan areal untuk silvo pastura mengatur bahwa areal untuk usaha pemanfaatan kawasan silvo pastura tersebut adalah Hutan Produksi yang telah dibebani ijin IUPHHK HTI dengan luas maksimal 500 hektar dan yang belum dibebani IUPHHK atau izin usaha lainnya dengan luas maksimal 5 hektar. 2. Persyaratan permohonan IUPK-SP yang telah dibebani IUPHHK-HTI adalah : x Fotocopy SK pemberian izin IUPHHK-HTI dan izin usaha lainnya.
  • 38. BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 34 x Peta permohonan. x Rekomendasi Gubernur. x Proposal teknis. 3. Sedangkan Persyaratan permohonan IUPK-SP yang belum dibebani IUPHHK-HTI atau izin usaha lainnya adalah : x Rekomendasi Gubernur apabila areal yang diusulkan berada pada lintas Kabupaten, tidak dibebani hak-hak lain dan dilampiri Peta lokasi skala 1: 100.000. x Rekomendasi Bupati/Walikota apabila areal yang diusulkan berada pada satu wilayah Kabupaten/Kota, tidak dibebani hak-hak lain dan dilampiri Peta lokasi skala 1: 100.000. x Pernyataan bersedia membuka kantor cabang di provinsi dan atau kabupaten/kota. x Akte pendirian Koperasi atau Badan Usaha beserta perubahan-perubahannya yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang. x Bergerak di bidang usaha kehutanan/pertanian/perkebunan, peternakan. x Surat izin usaha dari instansi yang berwenang. x Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). x Proposal teknis yang berisi antara lain : kondisi umum areal dan perusahaan serta usulan teknis kegiatan yang terdiri dari tujuan dan perencanaan. 4. Rekomendasi gubernur atau bupati/walikota sebagaimana harus didasarkan analisa fungsi kawasan oleh dinas kehutanan dan Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) antara lain analisis izin-izin kehutanan, izin penggunaan kawasan hutan dan mutasi kawasan yang dituangkan dalam data spatial. 5. Jika semua syarat terpenuhi, maka Menteri memerintahkan Dirjen Planologi Kehutanan untuk membuat Peta areal kerja Izin Usaha Pemanfaatan Silvo Pastura. 6. Setelah selesai, Dirjen Planologi menyerahkan Peta Areal Kerja untuk ditelaah aspek hukumnya di Sekjen. 7. Setelah semua terpenuhi, Menteri menetapkan SK Izin Usaha Pemanfaatan Silvo Pastura. 8. Pada pasal 10 mengatur bahwa jangka waktu IUPK-SP pada hutan produksi diberikan paling lama 25 (dua puluh lima) tahun sesuai dengan jenis usahanya dan dapat diperpanjang. 9. Dalam hal areal pada hutan produksi telah ditetapkan tata hutannya dalam 1 (satu) KPH, maka areal/lokasi permohonan izin baru atau perluasan areal IUPK-SP harus berada pada hutan produksi.
  • 39. BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 35 V. PEMANFAATAN HUTAN INDONESIA A. Luas Kawasan Hutan Indonesia, Kawasan Hutan Yang Dibebani Izin Pemanfaatan dan Kawasan Hutan Yang Belum Dibebani Izin Pemanfaatan Hutan Berdasarkan SK penunjukan kawasan hutan dan perairan sampai dengan bulan November 2012, luas kawasan hutan Indonesia adalah 134.290.240,94 ha yang terdiri dari : Hutan Konservasi (KSA+KPA) 27.086.910,23 ha, Hutan Lindung (HL) 30.539.823,36 ha, total Hutan Produksi (HP+HPT+HPK) 76.663.507,34 ha. Sampai dengan November 2012 luas kawasan Hutan Produksi yang telah dibebani izin pemanfaatan adalah 34.871.041 ha sehingga Hutan Produksi yang belum dibebani izin pemanfaatan adalah seluas 41.770.695 ha. Gambar 6 : Diagram Luas Kawasan Hutan Indonesia Gambar 7 : Diagram Luas Kawasan Hutan Produksi Indonesia 27.086.910 20% 30.539.823 23% 76.663.507 57% Hutan Konservasi Hutan Lindung Hutan Produksi 27.967.604,50 37%30.810.790,34 40% 17.885.112,50 23% HPT HP HPK
  • 40. BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 36 Adapun rincian luas kawasan hutan, luas kawasan hutan yang sudah dibebani ijin pemanfaatan dan luas kawasan hutan yang belum dibebani izin sampai dengan November 2012 diseluruh Indonesia dapat terlihat pada tabel 1, 2 dan 3 dibawah ini. NO PROPINSI KEPUTUSAN LUAS KAWASAN HUTAN DAN PERAIRAN (Ha) Total Hutan Produksi Jumlah Kawasan Hutan Jumlah Kawasan Hutan dan Perairan NOMOR TANGGAL KAWASAN KONSERVASI HL Hutan Produksi Konservasi Perairan Konservasi Darat JUMLAH HPT HP HPK 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 1 D. I. Aceh 170/Kpts-II/2000 29 Juni 2000 214.100,00 852.633,00 1.066.733,00 1.844.500,00 37.300,00 601.280,00 0,00 638.580,00 3.335.713,00 3.549.813,00 2 Sumatera Utara 44/Menhut-II/2005 16 Februari 2005 - 477.070,00 477.070,00 1.297.330 879.270,00 1.035.690,00 52.760,00 1.967.720,00 3.742.120,00 3.742.120,00 3 Sumatera Barat 141/Menhut-II/2012 15 Maret 2012 37.164 769.716,00 806.880,00 792.114,00 233.157,00 360.382,00 188.257,00 781.796,00 2.343.626,00 2.380.790,00 4 Riau (1) 173/Kpts-II/1986 06 Juni 2011 - 451.240,00 451.240,00 397.150,00 1.971.553,00 1.866.132,00 4.770.085,00 8.607.770,00 9.456.160,00 9.456.160,00 5 Kepulauan Riau (2) - - - - - - - - - 0,00 0,00 - 6 Jambi 421/Kpts-II/1999 15 Juni 1999 - 676.120,00 676.120,00 191.130,00 340.700,00 971.490,00 - 1.312.190,00 2.179.440,00 2.179.440,00 7 Bengkulu 643/Menhut-II/2011 10 Nopember 2011 - 462.965,00 462.965,00 250.750,00 173.280,00 25.873,00 11.763 210.916,00 924.631,00 924.631,00 8 Sumatera Selatan 76/Kpts-II/2001 15 Maret 2001 17.000,00 697.416,00 714.416,00 760.523,00 217.370,00 2.293.083,00 431.445,00 2.941.898,00 4.399.837,00 4.416.837,00 9 Kep. Bangka Belitung 357/Menhut-II/04 01 Oktober 2004 - 34.690,00 34.690,00 156.730,00 - 466.090,00 - 466.090,00 657.510,00 657.510,00 10 Lampung 256/Kpts-II/2000 23 Agustus 2000 - 462.030,00 462.030,00 317.615,00 33.358,00 191.732,00 - 225.090,00 1.004.735,00 1.004.735,00 11 DKI Jakarta 220/Kpts-II/2000 02 Agustus 2000 108.000,00 272,34 108.272,34 44,76 - 158,35 - 158,35 475,45 108.475,45 12 Jawa Barat 195/Kpts-II/2003 04 Juli 2003 - 132.180,00 132.180,00 291.306,00 190.152,00 202.965,00 - 393.117,00 816.603,00 816.603,00 13 Banten (3) 419/Kpts-II/1999 15 Juni 1999 51.467,000 112.991,000 164.458,00 12.359,000 49.439,000 26.998,000 - 76.437,00 201.787,00 253.254,00 14 Jawa Tengah 359/Menhut-II/04 01 Oktober 2004 110.117,00 16.413,00 126.530,00 84.430,00 183.930,00 362.360,00 - 546.290,00 647.133,00 757.250,00 15 D.I Yogyakarta 171/Kpts-II/2000 29 Juni 2000 - 910,34 910,34 2.057,90 - 13.851,28 - 13.851,28 16.819,52 16.819,52 16 Jawa Timur 395/Menhut-II/2011 21 Juli 2011 3.506 230.126,00 233.632,00 344.742,00 - 782.772,00 - 782.772,00 1.357.640,00 1.361.146,00 17 B a l i 433/Kpts-II/1999 15 Juni 1999 3.415,00 22.878,59 26.293,59 95.766,06 6.719,26 1.907,10 - 8.626,36 127.271,01 130.686,01 Tabel 1 Luas Kawasan Hutan Indonesia berdasarkan SK Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan
  • 41. BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 37 NO PROPINSI KEPUTUSAN LUAS KAWASAN HUTAN DAN PERAIRAN (Ha) Total Hutan Produksi Jumlah Kawasan Hutan Jumlah Kawasan Hutan dan Perairan NOMOR TANGGAL KAWASAN KONSERVASI HL Hutan Produksi Konservasi Perairan Konservasi Darat JUMLAH HPT HP HPK 18 N T B 598/Menhut-II/2009 02 Oktober 2009 11.121,00 168.044,00 179.165,00 430.485,00 286.700,00 150.609,00 - 437.309,00 1.035.838,00 1.046.959,00 19 N T T 423/Kpts-II/1999 15 Juni 1999 122.350,00 227.980,00 350.330,00 731.220,00 197.250,00 428.360,00 101.830,00 727.440,00 1.686.640,00 1.808.990,00 20 Kalimantan Barat 259/Kpts-II/2000 23 Agustus 2000 187.885,00 1.457.695,00 1.645.580,00 2.307.045,00 2.445.985,00 2.265.800,00 514.350,00 5.226.135,00 8.990.875,00 9.178.760,00 21 Kalimantan Tengah 529/Menhut-II/2012 25 September 2012 22.542,00 1.608.286,00 1.630.828,00 1.346.066,00 3.317.461 ,00 3.324.675,00 3.881.817,00 9.721.042,00 12.697.165,00 12.719.707,00 22 Kalimantan Timur 79/Kpts-II/2001 15 Maret 2001 500,00 2.164.698,00 2.165.198,00 2.751.702,00 4.612.965,00 5.121.688,00 - 9.734.653,00 14.651.053,00 14.651.553,00 23 Kalimantan Selatan 435/Menhut-II/2009 23 Juli 2009 - 213.285 213.285,00 526.425,00 126.660,00 762.188,00 151.424,00 1.040.272,00 1.779.982,00 1.779.982,00 24 Sulawesi Utara (5) 452/Kpts-II/1999 17 Juni 1999 89.065,00 245.249,00 334.314,00 180.833,00 217.997,00 66.507,00 14.928,00 299.432,00 725.514,00 814.579,00 25 Gorontalo 325/Menhut-II/2010 25 Mei 2010 - 196.653 196.653,00 204.608 251.097 89.879 82.431 423.407,00 824.668,00 824.668,00 26 Sulawesi Tengah 757/Kpts-II/1999 23 September 1999 0,00 676.248,00 676.248,00 1.489.923,00 1.476.316,00 500.589,00 251.856,00 2.228.761,00 4.394.932,00 4.394.932,00 27 Sulawesi Tenggara 465/Menhut-II/2011 09 Agustus 2011 1.504.160,00 282.924,00 1.787.084,00 1.081.489,00 466.854,00 401.581,00 93.571,00 962.006,00 2.326.419,00 3.830.579,00 28 Sulawesi Selatan 434/Menhut-II/2009 23 Juli 2009 606.804,00 244.463,00 851.267,00 1.232.683,00 494.846,00 124.024,00 22.976,00 641.846,00 2.118.992,00 2.725.796,00 29 Sulawesi Barat (4) 890/Kpts-II/1999 14 Oktober 1999 8.458 1.283 9.741,00 677.872 361.775 65.001 79.735 506.511,00 1.185.666,00 1.194.124,00 30 Maluku (7) 415/Kpts-II/1999 15 Juni 1999 9.952,68 415.599,01 425.551,69 624.059,54 910.544,94 684.261,39 1.645.211,60 3.240.017,94 4.279.676,49 4.289.629,16 31 Maluku Utara 490/Menhut-II/2012 05 September 2012 0,00 218.557,48 218.557,48 583.975,28 667.192,66 482.284,33 567.614,16 1.717.091,15 2.519.623,91 2.519.623,91 32 Papua 458/Menhut-II/2012 15 Agustus 2012 1.029.560,14 6.753.181,35 7.782.741,49 7.881.084,60 5.968.491,99 4.739.401,69 4.069.847,77 14.777.741,45 29.412.007,40 30.441.567,54 33 Papua Barat ((2),(6)) 891/Kpts-II/1999 14 Oktober 1999 934.666,28 1.741.280,02 2.675.946 1.651.805,22 1.849.240,65 1.844.036,20 2.291.492,97 5.984.769,82 9.377.855,06 10.312.521,34 JUMLAH - - 5.071.833,10 22.015.077,14 27.086.910,23 30.539.823,36 27.967.604,50 30.810.790,34 17.885.112,50 76.663.507,34 129.218.407,84 134.290.240,94 Sumber: Direktorat Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan (November 2012) Catatan: 1) Belum ada SK Penunjukan dan data masih berdasarkan TGHK. 2) Belum ada SK Penunjukan dan data masih bergabung dengan Provinsi Induk. 3) Perhitungan ulang secara digital setelah dikurangi Prov Jawa Barat 4) Perhitungan ulang secara digital setelah dikurangi Prov. Sulsel 5) Perhitungan ulang secara digital setelah dikurangi Prov. Gorontalo 6) Perhitungan ulang secara digital setelah dikurangi Prov. Papua 7) Perhitungan ulang secara digital setelah dikurangi Prov. Maluku Utara SK Perubahan Fungsi dan Peruntukan Kawasan Hutan baru SK Penunjukan baru
  • 42. BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 38 Berdasarkan grafik diatas, luas hutan produksi berbanding lurus dengan luas kawasan hutan dalam satu provinsi, semakin luas kawasan hutan dalam provinsi tersebut akan semakin luas pula hutan produksinya. Kawasan hutan terluas terdapat pada Provinsi Papua dan Hutan Produksi terluas juga terdapat pada Provinsi Papua dan Papua Barat. 3.549.813 3.742.120 2.380.790 9.456.160 2.179.440 4.416.837 924.631 1.004.735 657.51016.820 130.686 1.046.959 1.808.990 9.178.760 12.675.364 1.779.982 14.651.553 814.579 4.394.932 2.725.796 3.830.579 824.668 1.194.124 4.289.629 2.519.624 10.312.521 30.441.568 0 5.000.000 10.000.000 15.000.000 20.000.000 25.000.000 30.000.000 35.000.000 Kawasan Hutan (ha) Hutan Produksi (ha) Gambar 8 : Luas Kawasan Hutan Indonesia dibandingkan dengan Luas Hutan Produksi
  • 43. BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 39 Rekapitulasi Izin Pemanfaatan Hutan Indonesia Luas kawasan hutan yang telah dimanfaatkan (telah mendapat izin definitif) untuk kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu secara keseluruhan sampai dengan akhir November 2012 adalah 34.871.041 ha dengan rincian sebagai berikut : - Jumlah IUPHHK-HA 296 unit dengan luas 23.906.451 ha (68,53%) - Jumlah IUPHHK-HTI 234 unit dengan luas 9.789.617 ha (28,06%) - Jumlah IUPHHK-RE 5 unit dengan luas 219.350 ha (0,63%) - Pencadangan areal HTR 112 lokasi dengan luas 700.831 ha (2,01%) - Penetapan areal kerja HKm sebanyak 49 lokasi dengan luas 186.676 ha (0,54%) dan - Penetapan areal kerja HD sebanyak 40 lokasi dengan luasan 83.401 ha (0,24%) Gambar 9 : Perbandingan Kawasan Hutan Indonesia dengan Izin Pemanfatan Indonesia 99.374.857 74% 34.871.041 26% Kawasan Hutan Indonesia Yang belum Ada Izin Pemanfaatan Izin Pemanfaatan Perbandingan Kawasan Hutan Indonesia dengan Izin Pemanfatan Indonesia
  • 44. BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 40 Berdasarkan izin pemanfaatan hutan yang telah diterbitkan oleh Menteri Kehutanan di seluruh provinsi di Indonesia, pemanfaatan hutan terbesar adalah untuk IUPHHK-HA yaitu 68,53 % dan izin pemanfaatan hutan terkecil adalah untuk HD yaitu 0,24 %. Gambaran pemanfaatan kawasan hutan berdasarkan jenis pemanfaatannya dapat dilihat pada gambar 4 dibawah ini. Gambar 10 : Grafik Izin Pemanfaatan Hutan Indonesia dalam luas (ha) dan unit sampai dengan November 2012 0 5.000.000 10.000.000 15.000.000 20.000.000 25.000.000 HA HTI RE HTR HKM Hutan Desa 23.890.911 9.789.617 219.350 700.831 186.931 83.401 DIAGRAM LUAS IZIN PEMANFAATAN INDONESIA s/d NOVEMBER 2012 luas (ha) 0 50 100 150 200 250 300 HA HTI RE HTR HKM Hutan Desa 296 234 5 112 50 40 DIAGRAM IZIN PEMANFAATAN INDONESIA DALAM UNIT s/d NOVEMBER 2012 Unit
  • 45. BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 41 Tabel 2 Rekapitulasi jumlah dan unit izin pemanfaatan hutan definitif (berdasarkan jenis) per provinsi seluruh Indonesia sampai dengan November 2012 No Provinsi Hutan Produksi HA HTI RE HTR HKM Hutan Desa Jumlah Total Persentase Unit Luas (ha) Unit Luas (ha) Unit Luas (ha) Unit Luas (ha) Unit Luas (ha) Unit Luas (ha) Unit Luas (ha) 1 Aceh 638.580,00 7 405.129 5 226.820 7 10.884 3 17.010 22 659.843 1,89% 2 Sumatera Utara 1.967.720,00 7 343.603 8 394.947 10 50.755 1 200 26 789.505 2,26% 3 Sumatera Barat 781.796,00 3 106.145 3 50.649 2 5.345 2 1.738 10 163.877 0,47% 4 Riau dan Kepulauan Riau 8.607.770,00 6 308.158 50 1.632.801 1 20.265 7 93.605 62 2.054.829 5,89% 5 Jambi 1.312.190,00 2 56.045 17 644.134 1 46.385 7 49.703 24 53.978 51 850.245 2,44% 6 Sumatera Selatan 2.941.898,00 1 56.000 19 1.337.417 1 52.170 5 42.605 1 7.250 27 1.495.442 4,29% 7 Bengkulu 210.916,00 2 56.070 2 23.693 2 2.068 1 995 7 82.826 0,24% 8 Lampung 225.090,00 4 114.444 1 24.835 8 35.719 13 174.998 0,50% 9 Bangka Belitung 466.090,00 4 112.148 3 12.780 7 124.928 0,36% 10 DI Yogyakarta 13.851,28 1 328 2 1.284 3 1.612 0,00% 11 Bali 8.626,36 1 375 1 150 1 3.041 3 3.566 0,01% 12 Nusa Tenggara Barat 437.309,00 3 68.590 5 4.396 12 14.837 20 87.823 0,25% 13 Nusa Tenggara Timur 727.440,00 2 16.717 5 18.869 7 35.586 0,10% 14 Kalimantan Barat 5.226.135,00 26 1.267.620 34 1.736.176 4 40.690 2 78.465 6 14.325 72 3.137.276 8,99% 15 Kalimantan Tengah 9.721.042,00 59 4.020.595 17 528.650 1 11.942 1 3.590 78 4.564.777 13,08% 16 Kalimantan Selatan 1.040.272,00 4 243.241 13 497.560 6 29.758 23 770.559 2,21% 17 Kalimantan Timur 9.734.653,00 83 5.666.512 41 1.752.653 2 100.530 1 2.090 1 1.400 1 880 129 7.524.065 21,57% 18 Sulawesi Utara 299.432,00 1 26.800 1 7.500 9 48.140 11 82.440 0,24% 19 Sulawesi Tengah 2.228.761,00 12 779.245 1 13.400 5 23.375 2 3.130 1 490 21 819.640 2,35% 20 Sulawesi Selatan 641.846,00 13 40.535 5 8.930 3 704 21 50.169 0,14% 21 Sulawesi Tenggara 962.006,00 2 89.590 5 68.945 5 1.280 12 159.815 0,46% 22 Gorontalo 423.407,00 2 78.500 2 75.920 4 13.005 8 167.425 0,48% 23 Sulawesi Barat 506.511,00 4 184.285 2 23.900 5 32.860 11 241.045 0,69% 24 Maluku 3.240.017,94 13 816.445 2 66.205 15 882.650 2,53% 25 Maluku Utara 1.717.091,15 13 669.500 5 65.453 4 24.120 22 759.073 2,18% 26 Papua Barat 5.984.769,82 24 3.673.838 24 3.673.838 10,53% 27 Papua 14.777.741,45 25 5.059.130 3 440.250 2 29.350 30 5.528.730 15,85% Jumlah 74.842.961,99 296 23.906.451 234 9.789.617 5 219.350 112 700.831 50 186.931 40 83.401 736 34.871.041 100,00% Sumber: Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan (Diolah dari data Ditjen BUK & Ditjen BPDASPS), Tahun 2012 Keterangan: SK penunjukan kawasan Provinsi Riau dan Kepulauan Riau masih menjadi satu. Luas Kawasan Hutan produksi tersebut diatas tidak termasuk kawasan hutan produksi yang terdapat seluas 1.820.545 di Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Banten karena pengelolaanya oleh Perum Perhutani.
  • 46. BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 42 Sumber: Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan (Diolah dari data Ditjen BUK & Ditjen BPDASPS), Tahun 2012) 0,0% 5,0% 10,0% 15,0% 20,0% 25,0% 1,9% 2,2% 0,5% 5,9% 2,4% 4,3% 0,2% 0,5% 0,4% 0,1% 0,0% 0,0% 0,3% 0,1% 9,0% 13,1% 2,2% 21,6% 0,2% 2,3% 0,1% 0,5% 0,5% 0,7% 2,5% 2,2% 10,5% 15,8% Persentase Sebaran Izin Pemanfaatan Indonesia persentase Gambar 11 : Persentase Sebaran Izin Pemanfaatan Indonesia
  • 47. BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 43 Tabel 3 Luas Kawasan Hutan yang belum dibebani Izin Pemanfaatan Hutan sampai dengan November 2012 No Provinsi Hutan Produksi Izin Pemanfaatan Hutan Kawasan Hutan yang belum dibebani izin pemanfaatan 1 Aceh 638.580 659.843 -21.263 2 Sumatera Utara 1.967.720 789.505 1.178.214 3 Sumatera Barat 781.796 163.877 617.919 4 Riau dan Kepulauan Riau 8.607.770 2.054.829 6.552.941 5 Jambi 1.312.190 850.245 461.945 6 Sumatera Selatan 2.941.898 1.495.442 1.446.456 7 Bengkulu 210.916 82.826 128.090 8 Lampung 225.090 174.998 50.092 9 Bangka Belitung 466.090 124.928 341.162 10 DI Yogyakarta 13.851 1.612 12.239 11 Bali 8.626 3.566 5.060 12 Nusa Tenggara Barat 437.309 87.823 349.487 13 Nusa Tenggara Timur 727.440 35.586 691.854 14 Kalimantan Barat 5.226.135 3.137.276 2.088.859 15 Kalimantan Tengah 9.721.042 4.564.777 5.156.265 16 Kalimantan Selatan 1.040.272 770.559 269.713 17 Kalimantan Timur 9.734.653 7.524.065 2.210.588 18 Sulawesi Utara 299.432 82.440 216.992 19 Sulawesi Tengah 2.228.761 819.640 1.409.121 20 Sulawesi Selatan 641.846 50.169 591.677 21 Sulawesi Tenggara 962.006 159.815 802.191 22 Gorontalo 423.407 167.425 255.982 23 Sulawesi Barat 506.511 241.045 265.466 24 Maluku 3.240.018 882.650 2.357.368 25 Maluku Utara 1.717.091 759.073 958.018 26 Papua Barat 5.984.770 3.673.838 2.310.932 27 Papua 14.777.741 5.528.730 9.249.011 Jumlah 74.842.961 34.871.041 41.770.695 Sumber: Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan (Diolah dari data Ditjen BUK & Ditjen BPDASPS), Tahun 2012 Keterangan: SK penunjukan kawasan Provinsi Riau dan Kepulauan Riau masih menjadi satu. Luas Kawasan Hutan produksi tersebut diatas tidak termasuk kawasan hutan produksi seluas 1.820.545 di Jawa barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Banten karena pengelolaanya oleh Perum Perhutani. 34.871.041 47%39.971.921 53% Izin Pemanfaatan Hutan Kawasan Hutan produksi yang belum dibebani izin pemanfaatan Diagram Perbandingan Izin Pemanfaatan Hutan Dan Kawasan Hutan Produksi Yang Belum Dibebani Izin Pemanfaatan Gambar 12 : Diagram Perbandingan Izin Pemanfaatan Hutan dan Kawasan Hutan Produksi yang belum dibebani Izin Pemanfaatan
  • 48. BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 44 . Berdasarkan tabel 3 diatas dapat dilihat bahwa Hutan Produksi di Provinsi Aceh seluruhnya telah dibebani izin pemanfaatan hutan, bahkan terdapat luas yang perlu mendapat perhatian yaitu seluas – 21.273 ha. Hal ini dimungkinkan terjadi karena adanya perubahan fungsi kawasan hutan dari Hutan Produksi menjadi Hutan Lindung (berdasarkan SK Menteri Kehutanan tentang Penunjukan Kawasan Hutan Provinsi Aceh SK. 170/Kpts-II/2000 tgl 29 Juni 2000) sehingga menyebabkan adanya perbedaan luas fungsi kawasan hutan dengan SK Menteri Kehutanan tentang penerbitan izin definitif sebelum tahun 2000. Berdasarkan tabel 2 dan 3 diatas dapat diperoleh hasil bahwa luas hutan produksi terbesar terdapat pada Provinsi Papua, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah, sedangkan pemanfaatan hutan terbesar didominasi oleh provinsi-provinsi di Pulau Kalimantan dan Papua. Provinsi Kalimantan Timur adalah provinsi yang izin pemanfaatan hutannya terbesar sehingga sisa areal hutan produksi yang masih memungkinkan untuk diberikan izin pemanfaatan sangat kecil. Sedangkan hutan produksi yang masih luas dapat dimanfaatkan terdapat di Provinsi Papua dan Papua Barat, karena izin pemanfaatan dan izin yang masih dalam proses lebih kecil dibanding luas hutan produksi yang ada di provinsi tersebut. Kondisi tersebut tergambar pada grafik 1 dan 2 berikut : 638.580 1.967.720 781.796 8.607.770 1.312.190 2.941.898 210.916 225.090 466.090 13.851 8.626 437.309 727.440 5.226.135 9.721.042 1.040.272 9.734.653 299.432 2.228.761 641.846 962.006 423.407 506.511 3.240.018 1.717.091 5.984.770 14.777.741 0 2.000.000 4.000.000 6.000.000 8.000.000 10.000.000 12.000.000 14.000.000 16.000.000 Luas Hutan Produksi (ha) Luas Ijin Pemanfaatan (ha) Gambar 13 :Perbandingan Luas Hutan Produksi dengan Izin Pemanfaatan Hutan Seluruh Indonesia
  • 49. BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 45 Berdasarkan grafik di atas pemanfaatan hutan terbesar masih didominasi oleh provinsi-provinsi di Pulau Kalimantan. Dapat terlihat bahwa Provinsi Kalimantan Timur adalah provinsi di Indonesia yang izin pemanfaatan hutannya terbesar sehingga areal hutan produksi yang masih memungkinkan untuk diberikan izin pemanfaatan sangat kecil. Hutan produksi yang terlihat masih luas dapat dimanfaatkan terdapat di Provinsi Papua dan Papua Barat karena izin pemanfaatan dan izin yang masih dalam proses lebih kecil dibanding luas hutan produksi yang ada di provinsi tersebut. Persebaran Izin pemanfaatan perprovinsi seluruh Indonesia menurut jenis izinnya, dapat juga digambarkan dalam grafik berikut ini : 0 1000000 2000000 3000000 4000000 5000000 6000000 HA HTI RE HTR HKM Hutan Desa Gambar 14 : Grafik Sebaran Izin Pemanfaatan Indonesia perprovinsi
  • 50. BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 46 Berdasarkan Tabel 2 dan 3 tersebut diatas jika dilihat dari sebaran jumlah luas IUPHHK-HA, HTI, RE, pencadangan areal HTR, penetapan areal kerja HKm & HD maka dapat disimpulkan bahwa : 1. IUPHKK-HA Indonesia tersebar di 20 provinsi dengan sebaran areal paling luas berada di Provinsi Kalimantan Timur. 2. IUPHKK-HTI Indonesia juga tersebar di 20 provinsi dengan sebaran areal paling luas juga berada di Provinsi Kalimantan Timur. 3. Pencadangan areal HTR di Indonesia tersebar di 26 provinsi dan yang mempunyai areal paling luas adalah di Provinsi Sulawesi Tenggara. 4. Untuk izin IUPHHK-RE, baru terbit 5 izin dan tersebar di 4 provinsi yaitu : Riau, Jambi, Sumatera Selatan dan Kalimantan timur. Sebaran areal IUPHHK-RE paling luas juga berada di Provinsi Kalimantan Timur. 5. Penetapan HKM sudah terbit 50 izin, tersebar di 14 Provinsi dengan sebaran areal paling luas berada di provinsi Kalimantan Barat. 6. Untuk penetapan hutan desa, baru ditetapkan 40 unit di 9 provinsi dengan sebaran paling luas berada di provinsi Jambi.
  • 51. BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 47 B. Pemanfaatan Hutan Indonesia Perprovinsi 1. Provinsi Aceh Luas kawasan hutan di Provinsi Aceh berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.170/Kpts- II/2000 tanggal 29 Juni 2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Aceh adalah sebagai berikut : - Kawasan Konservasi : 1.066.733 ha. - Hutan Lindung (HL) : 1.844.500 ha. - Hutan Produksi Terbatas (HPT) : 37.300 ha. - Hutan Produksi Tetap (HP) : 601.280 ha. - Hutan Produksi yang dapat di Konversi (HPK) : - ha. Jumlah Total : 3.549.813 ha. Luas kawasan hutan produksi seluruhnya adalah 638.580 ha dan yang sudah dimanfaatkan (telah terbit SK) adalah sebagai berikut : - IUPHHK-HA (7 unit) : 405.129 ha (tabel 4). - IUPHHK-HTI (5 unit) : 226.820 ha (tabel 5). - Pencadangan areal HTR (7 lokasi) : 10.884 ha (tabel 6). - Penetapan areal kerja HKM (3 lokasi) : 17.010 ha (tabel 7). Luas kawasan hutan yang telah termanfaatkan adalah seluas 659.843 ha. Dari data tersebut, diperoleh luas hutan produksi yang belum dibebani izin pemanfaatan adalah seluas -21.263 ha. Kawasan hutan produksi yang sudah memiliki izin pemanfaatan seperti tersebut diatas secara rinci disajikan pada tabel-tabel berikut : Tabel 4 Daftar IUPHHK Hutan Alam di Provinsi Aceh No Nama IUPHHK-HA Nomor SK Tanggal SK Luas (ha) ± Lokasi (Kab/Kota) Kode Spasial 1 Kopontren Najmussalam (Eks PT. Narindu) 876/Kpts-VI/1999 14/10/1999 30.000 Bireuen HA-1 2 PT. Aceh Inti Timber 859/Kpts-VI/1999 12/10/1999 80.804 Aceh Jaya HA-2 3 PT. Alas Aceh Perkasa 68/Kpts-II/1991 01/02/1991 56.500 Aceh Jaya HA-3 4 PT. Lamuri Timber 863/Kpts-VI/1999 12/10/1999 44.400 Aceh Jaya HA-4 5 PT. Raja Garuda Mas Lestari Unit II (Eks PT. Bayben Woyla) 851/Kpts-VI/1999 11/10/1999 96.500 Aceh Barat HA-5 6 PT. Trijasa Mas Karya Inti 29/Kpts-II/1991 12/01/1991 41.000 Pidie, Pidie Jaya HA-6 7 PT. Wiralanao 344/Kpts-II/1995 07/07/1995 55.925 Aceh Timur HA-7 Jumlah 405.129 Sumber : Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan (Diolah dari data Ditjen BUK dan Dinas Kehutanan Provinsi Aceh), Tahun 2012.