SlideShare a Scribd company logo
Dalam Era Globalisasi yang ditandai dengan makin maraknya arus informasi dan perkembangan
Iptek yang berdampak pada kehidupan yang penuh perubahan, tantangan bukan saja berdampak
positif tetapi juga banyak dampak negatif seperti korupsi, kolusi monopoli, kerusuhan dan
sebagainya, maka sangat penting dalam kehidupan ini untuk dapat mengendalikan diri, sehingga
luput dari keinginan, nafsu dan godaan-godaan tersebut.

Tantangan Etika Global dalam kehidupan beragama ialah melaksanakan fungsi-fungsi agama
(budaya, pendidikan, filosofi, sosial/kerukunan dll) secara benar, mengembangkan keyakinan dan
mensosialisasikan ajaran agama kepada pemeluknya serta mengaktualisasikan ajaran agama
secara utuh baik dalam Dharma Agama dan Dhrama Negara.

Sebagai umat beragama kita seharusnya sadar, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang
majemuk, pluralis, baik dalam agama, suku, budaya serta tradisi. Kesadaran terhadap
kemajemukan bangsa Indonesia telah menyadarkan kita, bahwa sebagai bangsa Indonesia kita
harus saling menghargai, saling menghormati dengan penuh toleransi dan rukun. Kalau Bhineka
Tunggal Ika yang tertulis dalam lambang negara Garuda Pancasila telah hilang, maka dapat
dipastikan akan terjadi disintegrasi,

Karena itu kebhinekaan kita sebagai bangsa hendaknya disadari disamping sebagai sumber
kekuatan, dapat juga menjadi sumber kelemahan bangsa, kalau kita semua kurang mencermati
dan kurang mau bersikap toleransi satu dengan yang lain maka disintegrasi bangsa Indonesia
akan menjadi kenyataan.

Dalam Era Orde Baru telah lahir sarana untuk membina kerukunan hidup umat beragama yang
kita kenal sebagai Tri Kerukunan Hidup Umat Beragama yakni kerukunan intern umat Beragama,
kerukunan antar umat Beragama dan kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah.

Dalam Etika Global pada Era Komunikasi sekarang ini, sebaiknya dalam memberikan kotbah
agama, hal-hal yang dapat menganggu kerukunan dan toleransi antar umat beragama, tidak perlu
dijelaskan melalui Televisi dan kalau memang harus dijelaskan, sebaiknya tidak secara terbuka,
cukup dalam intern umat nya saja. Kalau hal ini dapat dilakukan, maka ketegangan antar agama
di Indonesia akan dapat diatasi dengan baik.

Pembinaan secara kontinutas berbagai sarana keagamaan dengan sarana dan motivasi yang
memadahi sehingga dapat membentuk manusia yang dapat mengendalikan dan mengalahkan diri
sendiri, manusia yang bersih dari hati yang membenci, yang serakah, iri hati, dan bebas dari
segala bentuk kebodohan dan ketidak tahuan.

Manusia yang memiliki cinta kasih dan kasih sayang (welas kasih), rasa senang dan simpati
terhadap kebahagiaan dan keberhasilan orang lain dan dapat bertindak bijaksana, baik melalui
pikiran, ucapan dan perbuatan badan jasmani dengan mengembangkan perasaan cinta kasih,
belas kasihan, simpati dan kebijaksanaan dalam agama Buddha disebut metta, karuna, muditha
dan upekkha, yang menjadi sumber kedamaian, kerukukunan, kebahagiaan dalam kehidupan ini.

Cita-cita Ketuhanan didalam agama Buddha adalah untuk mencapai Brahma Vihara atau kediaman
yang luhur, yang penuh dengan kebahagiaan, hidup yang bernuansakan cinta kasih, belas kasih,
simpati dan kebijaksanaan, dimana sudah tidak ada perasaan membenci, serakah, iri hati dan
kebodohan

Karena itu etika inter aksi kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara pada era global,
umat beragama hendaknya benar-benar menerapkan ajaran cinta kasih dan kasih sayang, dan
melaksanakan fungsi-fungsi agama, dalam beragama. Maka toleransi antar umat beragama akan
dapat terjalin dengan baik dan ketegangan hubungan antar agama di Indonesia tidak akan pernah
terjadi.

Tetapi kenyataan membuktikan bahwa diantara pimpinan, tokoh dan umat beragama di Indonesia
dalam mengaktualisasikan ajaran agamanya masih terkandung didalam hatinya perasaan
membenci, iri hati atas kesuksesan satu dengan yang lainnya dan tingginya rasa kecurigaan
terhadap SARA lainnya.

CARA AGAMA BUDDHA MENGATASI KETEGANGAN HUBUNGAN ANTAR AGAMA
Waktu Buddha masih hidup, upaya untuk menghindari terjadinya ketegangan hubungan antar
agama, dengan membina toleransi antar umat beragama di India, yakni antar agama Buddha
dengan agama Hindu, benar-benar diperhatikan oleh Sang Buddha. Hal ini terbukti dengan adanya
kotbah Sang Buddha dalam Upali Sutta yang isinya:

"Upali adalah seorang yang sangat terpandang dalam masyarakatnya. Ia menjadi siswa dari
Nighanta, Nataputta, guru besar agama Jahina. Upali diutus oleh guru besar-Nya untuk berdialog
dengan Buddha tentang hukum Karma. Setelah dialog itu selesai, Upali menyatakan dengan jujur,
bahwa ajaran Buddha tentang hukum karma adalah yang benar. Upali lalu memohon kepada
Buddha untuk menerimanya menjadi siswa dan penganut Buddha".

Apakah Buddha merasa bangga dan senang, Upali yang sangat terpandang di masyarakat dan
menjadi siswa utama dari Guru Besar agama Jahina itu? Sang Buddha tidak merasa bangga
dengan permintaan upali. Sang Buddha meminta kepada Upali agar memikirkan maksud dan
keinginannya untuk menjadi siswa penganutnya.

Buddha memberikan pengarahan kepada Upali dengan bijaksana: “Wahai Upali, anda adalah
murid yang bijaksana dari seorang guru besar yang terpandang dalam masyarakat. Mengenai
keinginanmu untuk menjadi penganutKu dan menjadi siswaKu, pikirlah dengan sesama, jangan
terburu nafsu untuk menjadi murid dan penganutKu".

Untuk kedua kalinya Upali memohon kepada Buddha, namun Buddha kembali menerangkan
dengan bijaksana, untuk dipertimbangkan kembali dengan seksama tentang keinginan tersebut.
Kemudian Upali memohon yang ketiga kalinya, akhirnya Sang Buddha berkata: ”Upali saya
menerimamu sebagai siswaKu, dengan syarat kau harus tetap menghormati bekas agamamu dan
mantan guru besarmu". Demikianlah cara yang ditujukan Buddha untuk menjaga kerukunan umat
beragama, agar jangan terjadi ketegangan antar agama.

Raja Asoka seorang Raja Buddis terkenal yang agung yang melaksanakan ajaran tentang toleransi
dan kerukunan hidup beragama telah mencanangkan dekrit toleransi dan kerukunan hidup
beragama yang terkenal dengan DEKRIT ASOKA sebagai berikut:

“Siapa yang memuji agamanya sendiri dan merendahkan agama lainnya hanya merendahkan
agamanya sendiri. Kerukunan dan toleransi antar umat beragama atau kepercayaan patut
dihargai. Hendaknya kita mau mendengar dan memahami ajaran yang benar dari agama lain”.

Lalu bagaimana dengan kenyataan yang kita alami dalam lintas perpindahan umat beragama,
dimana banyak pemimpin agama yang berusaha untuk menarik pimpinan dan umat agama
lainnya. Kenyataan yang kita lihat dalam kehidupan beragama ini kita menyadari hal tersebut
dapat menimbulkan terjadinya ketegangan sektor agama.

Demikian pula untuk mengatasi dampak negatif dalam kehidupan di era globalisasi, peran agama,
ilmu pengetahuan dan teknologi hendaknya menjadi kekuatan yang saling mengisi satu dengan
yang lain. Artinya kemajuan ilmu pengetahuan harus diimbangi dengan peningkatan moral dan
berlandaskan etika, yang sesuai dengan ajaran agama. Hal ini dikenal dengan keseimbangan iman
dan takwa yang selaras dengan kemajuan Ilmu pengetahuan dan teknologi.

Agama hendaknya tidak lagi menjadi alat untuk membenarkan tindakan penguasa atau justifikasi
terhadap tindakan kesewenang-wenangan, dimana membenarkan suatu produk hukum dan
perundangan-undangan ataupun keputusan yang diambil pemerintah/sikap penguasa jelas-jelas
diskriminasi dan melanggar HAM serta berbau SARA.

Oleh karena itu Reformasi merupakan momentum yang bermanfaat, untuk membina Manusia
Indonesia Baru dengan mengedepankan pengendalian dan menundukkan diri sendiri. Dalam hal ini
perubahan prilaku lama yang didasari oleh rasa saling curiga dapat diubah dengan sikap baru yang
saling menghormati secara tulus dan iklas yang bersumber dari penghargaan Hak Asasi Manusia,
jujur dan terbuka. Hanya dengan mendasari sikap baru maka dapat membangun masyarakat
Indonesia Baru, Masyarakat madani, masyarakat yang demokratis, yang adil, mentaati hukum
serta mengutamakan hak azasi manusia (HAM)

Dalam agama Buddha kata etika sering pula dijelaskan dengan kata Sila. Dan yang dimaksud
dengan etika dalam bahasa Indonesia adalah kesusilaan yang berarti hal-hal yang berkenaan
dengan perbuatan baik. Dalam agama Buddha sila merupakan dasar utama dalam pelaksanaan
ajaran agama, mencakup semua prilaku dan sifat-sifat baik, yang termasuk ajaran moral dan
etika.

Pada saat Sang Buddha akan mangkat, beliau menyampaikan pesan terakhirnya kepada muridnya
Y.A Ananda “Apapun Dhamma dan Vinaya yang telah Kuajarkan dan Kunyatakan, hal ini akan
menjadi guru kalian kelak”.

Sang Buddha mengajarkan Empat Kebenaran Utama (Empat Kesunyataan Mulia/The Four Fold
Noble Truth) ialah :

   a.   Hidup adalah penderitaan (dukkha)
   b.   Sebab penderitaan timbul karena keinginan/tanha (Dukkha Nirodha)

   c.   Berhentinya penderitaan hanya dapat diatasi dengan memadamkan keinginan (dukkha
        Samudaya).

   d.   Jalan menuju berhentinya penderitaan dengan memadamkan keinginan.

Memadamkan keinginan hanya terlaksana dengan perbuatan moral serta disiplin hidup dan
mencapai puncaknya pada konsentrasi dan meditasi. Untuk mengikis habis sebab penderitaan
Sang Buddha memberikan cara-cara terbaik yang dinamakan “Jalan Utama Beruas Delapan“ atau
"Ariya Atthangika Magga" yang merupakan Way of life seorang Buddhis, terdiri dari :

   a.   Pandangan benar (samma-ditthi)
   b.   Pikiran benar (samma-sankhapa)

   c.   Ucapan benar (samma-vacca)

   d.   Perbuatan benar (samma-kamanta)

   e.   Mata pencaharian benar (samma-ajiva)

   f.   Daya upaya benar (samma-vayama)

   g.   Perhatian benar (samma-sati)

   h.   Konsentrasi benar (samma-samadhi)

Jalan Mulia Berunsur Delapan ini dapat dibagi atas 3 golongan yaitu :

   1. Kebijaksanaan (Panna)
         1. Pengertian                             yang                           benar
             Artinya mengerti dan dapat menembus tentang hakekat hidup ini yang ditandai
             adanya Dukkha (penderitaan), Dukkha Samudaya (sebabnya penderitaan),
             Dukkha Nirodha (lenyapnya penderitaan) dan Magga (jalan untuk melenyapkan
             penderitaan). Jadi ukuran manusia bijaksana menurut agama Buddha memiliki
             pengertian yang benar tentang Dukkha, Sebab Dukkha, Lenyapnya Dukkha dan
             Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha

           2.   2.Pikiran                               yang                        benar
                Artinya pikirannya penuh dengan pikiran yang tidak membenci (Dosa), pikiran
                yang tidak serakah (lobha) dan pikiran yang tidak bodoh (Moha)

   2. Sila


           3.   Perkataan yang Benar
                Kita dapat berkata yang benar, bilamana pikiran kita bersih dari kebencian,
                keserakahan dan kebodohan. Tetapi kita tidak akan dapat berkata yang benar
                bilamana pikiran kita penuh dengan kebencian, keserakahan dan kebodohan.
Karena itu agar kita dapat berkata dan berbuat yang benar, kita harus
                membersihkan pikiran kita dari pikiran Lobha, Dosa dan Moha.

                Yang dimaksud dengan berkata yang benar disini adalah : tidak berbohong, tidak
                menipu, tidak memfitnah, tidak omong kosong, tidak membicarakan kejelekan
                orang lain, tidak menyakiti hati orang lain dan lain-lainnya.


           4.   4.                   Perbuatan                    yang                   benar
                Perbuatan yang benar juga bersumber pada pikiran yang positif, demikian pula
                halnya dengan perbuatan yang jahat bersumber pada pikiran yang negatif. Yang
                dimaksud dengan perbuatan yg benar adalah: tidak membunuh, tidak mencuri dan
                tidak berzinah.
           5.   5.              Mata           Pencaharian              yang             benar
                Mata pencaharian sangat penting artinya didalam kehidupan ini dan alangkah
                menyedihkan, bilamana ada orang yang tidak mempunyai mata pencaharian.
                Tetapi kita harus berusaha untuk memiliki mata pencaharian yang benar. Mata
                pencaharian yang tidak benar adalah : menjual minuman keras, menjual racun,
                menjual senjata untuk perang, menjual budak dan segala benda yang
                menyebabkan ketagihan seperti : ganja, morfin, Narkoba dan lain-lainnya.


   2.   Samadhi (Meditasi)
        Meditasi kami tidak babarkan. Jadi mata pencaharian yang benar adalah hidup dari mata
        pencaharian yang benar, dengan menghindari hidup dari mata pencaharian yang tidak
        halal, yang menyebabkan orang lain menderita. Misalnya menjual narkoba adalah
        merupakan kejahatan, karena narkoba yang diperjual belikan ini akan merusak moral
        masyarakat terutama kalangan remajanya.

        Melalui meditasi dan cinta kasih Metta dan Karuna dapat membawa umat Buddha dalam
        kehidupan nyata. Dalam pandangan hidup agama Buddha dapat dikatakan bahwa
        keberadaan moral merupakan hal penting dalam hidup. Dan perjuangan moral sesuai
        dengan ajaran Buddha mengandung sifatnya yang rasional dan filosofis, dari dasar moral
        ajaran Buddhisme, Yang demikian diletakkan disiplin moral dan manifestasi moral sebagai
        sesuatu yang penting dalam kehidupan manusia.

Unsur dalam disiplin moral Buddha yang meliputi Panna, Sila dan Samadhi menyangkut ajaran-
ajaran yang mengatur hubungan antara individu, keluarga, masyarakat, seperti Vinaya Pitaka
( Untuk Bhikkhu) dan Gihi Pitaka (untuk umat awam). Dengan ajaran ini Bhikhu harus menganut
dasa silanya (10 larangan) sedangkan umat awam melalui latihan kesusilaan yang disebut
Pancasila Buddhis (5 larangan) yang isinya :

   1.   Aku bertekad akan melatih diri untuk tidak melakukan pembunuhan makhluk hidup.
   2.   Aku bertekad akan melatih diri untuk tidak melakukan pencurian atau mengambil barang
        yang bukan haknya.

   3.   Aku bertekad akan melatih diri untuk tidak melakukan perbuatan zinah

   4.   Aku bertekad akan melatih diri untuk tidak berdusta, berbohong, berkata kasar dan omong
        kosong.


   5.   Aku bertekad akan melatih diri untuk tidak memakan dan meminum zat-zat atau jenis-
        jenis barang yang memabukkan dan menimbulkan ketagihan.


Disiplin moral adalah ketentuan atau tata aturan moral yang harus dilakukan oleh siapa saja.
Sementara manifestasi moral itu berkaitan dengan karma yang bersifat positif berupa perbuatan
baik (kusala-karma), maupun yang bersifat negatif (akusala-karma). Dari dua komponen itulah
tujuan moral digariskan untuk menuju terealisirnya kebahagiaan tertinggi atau Nibbana.

Manusia dilahirkan kedunia ini karena karmanya sendiri, berhubungan dengan karmanya sendiri,
terlindung oleh karmanya sendiri, pendeknya apapun karma yang dilakukan, diri sendirilah yang
harus menanggungnya. Kehidupan manusia menyimpan kumpulan atau warisan karma baik dan
buruk yang terjadi di masa kehidupan yang lampau. Agar kehidupan sekarang berbuah karma
kebajikan, maka sangat penting untuk selalu berusaha melatih diri melaksanakan sila dan
melakukan kebajikan. Karena hanya dengan dengan sila dan kebajikan yang dapat merubah
karma buruk dan membuahkan karma baik serta dibarengi dengan latihan yang giat, maka semua
akibat karma buruk akan dapat di netralisir, sehingga tidak akan mengalami rintangan dan
penderitaan.

Dengan melatih dan membina nilai-nilai positif yang dimiliki maka akan mengangkat harkat dan
martabat seseorang menuju perbaikan kehidupan duniawi serta bertambahnya kebijaksanaan.
Dengan demikian akan tercapailah kesadaran Dharma dan kesempurnaan hidup.

Dengan melakukan perenungan pentingnya pengendalian diri, dharma dapat diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari, baik pada waktu berjalan, berdiam, duduk, berbaring selagi tiada lelap, kita
harus senantiasa mengembangkan sila (kemoralan), kita sebagai modal dasar dalam pergaulan
hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Dalam hal inilah peranan agama amat menentukan. Agama bila dianut dengan tepat dapat
membuka pikiran dan perasaan manusia terhadap kehidupan yang dihadapi serta apa yang
dilakukannya untuk menjadi mahluk yang berguna dalam alam semesta ini. Karena dalam setiap
agama terdapat kebenaran-kebenaran yang hakiki dalam mengambarkan kehidupan dan alam
semesta ini, sehingga agama dapat memberikan pedoman kepada umat manusia untuk dapat
menjalani hidupnya dengan baik.

Disinilah letak potensi agama yang perlu diperhatikan. Yang menjadi persoalan bukan agamanya,
melainkan bagaimana para tokoh dan pimpinan agama itu membawa dan menginterprestasi
agamanya untuk berfungsi positif dalam menyajikan pedoman pada manusia dalam menghadapi
inter aksi dalam kehidupannya. Itu jelas sekali dibuktikan oleh sejarah umat manusia.

Dalam Vyagghapajja Sutta, Sang Buddha menjelaskan ada empat kondisi yang membawa
kesejahteraan dan kebahagiaan dalam hidup yang akan datang.

   a.   Bersemangat dan cermat dalam tugasnya, bijaksana mengatur kekayaannya.
   b.   Hidup sesuai dengan penghasilan, memelihara apa yang telah diperolehnya

   c.   Diberkahi dengan keyakinan dan kesusilaan, murah hati dan bebas dari kekikiran.


   d.   Selalu mengembangkan Magga.

Sabda Sang Buddha yang berguna untuk mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan sekarang
dan yang akan datang dirangkum sebagai berikut:

   1.   UTTHANA-SAMPADA, Seseorang hendaknya ahli, efisien, tekun dan giat dalam setiap
        pekerjaan dan mengerti pekerjaan yang dilakukannya dengan baik.
   2.   ARAKKHA-SAMPADA, Ia pandai melindungi penghasilan yang diperolehnya dari
        pekerjaan yang halal dan mencucurkan keringat, bahkan memperlipat gandakannya.

   3.   KALYANA-MITTA, mencari pergaulan yang baik, yang setia kepadanya, terpelajar, baik
        budi, tidak kikir dan cerdas, yang akan membantunya dengan cara yang benar, jauh dari
        kejahatan.

   4.   SAMAJIVIKATA, Ia hidup dalam             batas-batas   kemampuannya,      sesuai   dengan
        penghasilannya serta tidak boros.

   5.   SADDHA, Ia mempunyai kepercayaan dan keyakinan yang kuat terhadap nilai-nilai moral,
        spiritual dan intelektual.

   6.   SILA, Ia menjauhkan diri dari pembunuhan, penipuan, pencurian, hubungan sex yang
        tidak dibenarkan, ucapan yang tidak benar dan menghindar dari minum-minuman keras.

   7.   CAGA, Ia suka menolong orang lain, baik hati dan sederhana hidupnya.
8.   PANNA, Ia melatih diri dan mengembangkan pandangan-terang yang akan membawanya
         ke keselamatan dan kebahagiaan yang kekal yaitu Nibbana.

Dari Vyaghapajja Sutta terlihat bahwa Sang Buddha menganggap kesejahteraan ekonomi
diperlukan untuk mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan duniawi ini, tetapi Beliau tidak
memandang kemajuan ini sebagai sesuatu yang benar kalau hanya didasarkan atas kebendaan
dengan mengabaikan dasar moral dan spiritual

Sang Buddha juga membahas hingga yang sekecil-kecilnya, tentang bagaimana orang harus
menyimpan dan mengeluarkan uang. Misalnya pernah Beliau memberitahukan kepada Sigala
bahwa ia harus mengeluarkan seperempat dari penghasilannya untuk biaya sehari-hari. Setengah
bagian dimasukan kedalam perusahaannya dan seperempat bagian lagi untuk pengeluaran yang
tidak terduga.

Sabda Sang Buddha kepada Anathapindika. seorang bangkir kaya, murid yang sangat berbakti,
yang telah mendirikan vihara Jetavana yang megah di kota Savatthi. Dalam kehidupan
berkeluarga seorang hendaknya mempunyai empat macam kebahagiaan :


    1.   Atthi-sukha
         Ia bahagia karena terjamin keadaan ekonominya atau harta benda yang cukup yang
         didapat dari usaha/pekerjaan yang halal.
    2.   Bhoga-Sukha
         Ia dapat menggunakan kekayaannya dengan tidak usah terlalu kikir untuk keperluan diri
         sendiri, keluarganya, sahabat-sahabatnya dan untuk keperluan sosial.


    3.   Anana-Sukha
         Ia terbebas dari hutang.


    4.   Anavajja-sukha
         Ia dapat hidup secara bersih dan tidak ternoda, tanpa melakukan sesuatu yang tidak
         benar, dalam pikiran, perkataan dan perbuatan

Harap diperhatikan bahwa tiga diantaranya bersifat ekonomis dan akhirnya Sang Buddha
memperingatkan bankir tersebut bahwa kebahagiaan ekonomi dan materil tidaklah merupakan
1/16 bagian dari kebahagiaan spritiual yang didapat dengan hidup secara bersih dan tidak
ternoda.

Dari beberapa contoh yang diberikan diatas orang dapat melihat bahwa Sang Buddha menganggap
kesejahteraan ekonomi perlu untuk mendapatkan kebahagiaan, tetapi beliau tidak menganggap
kemajuan ini sebagai sesuatu yang benar kalau hanya didasarkan atas kebencian, keserakahan
dengan mengabaikan dasar-dasar spiritual dan moral. Maka agama Buddha biarpun menganjurkan
kemajuan materil, tetapi Dharma Buddha selalu menekankan pentingnya perkembangan watak,
moral dan spritual untuk menghasilkan satu masyarakat yang bahagia, aman dan sejahtera.

Dalam kehidupan politik, Sang Buddha juga mempunyai pengertian yang mendalam tentang
politik, perang dan damai, Sang Buddha bukan saja mengajarkan tentang kehidupan tanpa
kekerasan dan perdamaian. Dalam hal ini beliau mengajarkan kepada kaum Vajji, dimana dalam
kedamaian dan kesejahteraan dapat ditempuh dengan tujuh syarat oleh karena itu pada suatu
ketika Beliau sendiri pergi ke medan perang dan menjadi penengah untuk menghindari
peperangan.

Tujuh syarat itu sebagai berikut :

    •    Melaksanakan musyawarah untuk mufakat, musyawarah untuk damai,
    •    Menghormati dan menjunjung tinggi para pemuka agama yang baik


    •    Menghormati dan menghargai para sesepuh masyarakat (orang tua)


    •    Menghormati dan menghargai kitab suci baik agama sendiri maupun agama lain
•    Menghargai dan menghormati tempat-tempat ibadah baik agama sendiri maupun tempat
        ibadah agama lain

   •    Menghargai dan menghormati kaum lemah (kaum Wanita).


   •    Membuat undang-undang baru dengan tidak meninggalkan undang-undang yang sudah
        ada sepanjang masih relevan.

Kemampuan para tokoh pemerintahan, politik dan pemimpin agama untuk dapat membawa ajaran
agama demikian rupa kepada rakyat Indonesia, yang dapat menghasilkan Manusia Indonesia
dengan komitmen yang tinggi kepada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Terutama itu berlaku untuk para tokoh dan pimpinan umat beragama, dan seperti dikatakan
Toynbee, kalau para tokoh dan pimpinan agama hanya melakukan apa yang telah dilakukannya
dimasa lampau, maka tidak mungkin agama merupakan pembangkit martabat manusia Indonesia.
Sebab telah terbukti oleh kenyataan sejarah, bahwa martabat manusia Indonesia dimasa lampau
demikian rendahnya sehingga dapat dijajah.

Dalam Dhammapadda Atthakatha ditulis tentang pandangan Sang Buddha mengenai
pemerintahan yang baik harus dilihat dari keadaan sosial, ekonomi dan politik. Beliau pada zaman
itu dapat membuktikan bagaimana rakyat dari suatu negara akan tidak bahagia, rusak akhlaknya,
kalau saja menteri dan pejabat pemerintah memberikan contoh korup dan tidak jujur. Rakyat dari
suatu negara baru mendapatkan kebahagiaan, apabila raja dan pejabat pemerintahan jujur.

Dalam kitab Jataka dapat dibaca cara untuk mendapatkan pemerintahan yang jujur dan bersih
diterangkan dalam ajaran-Nya tentang “Sepuluh kewajiban seorang raja” (dasa-raja-
dhamma).Tentu saja istilah raja sekarang dapat diganti dengan istilah pimpinan secara umum.
Sepuluh kewajiban dari seorang raja adalah sebagai berikut :

   1.   Dana      (suka     menolong      orang,     tidak   kikir   dan    ramah     tamah)
        Seorang raja tidak boleh terlalu terikat kepada harta kekayaannya, tetapi pada waktu
        diperlukan ia harus berani/bersedia mengorbankannya demi kepentingan rakyat.
   2.   Sila                     (moralitas                     yang                   tinggi)
        Ia seharusnya jangan membinasakan makhluk hidup, menipu, mencuri, korupsi,
        melakukan perbuatan asusila, berbicara tidak benar dan minum-minuman keras.

   3.   Pariccaga   (mengorbankan     segala     sesuatu demi    kepentingan  rakyat)
        Ia harus bersedia mengorbankan semua kesenangan pribadi, nama dan keagungan,
        sampaipun nyawa demi kepentingan rakyat.


   4.   Ajjava                     (jujur                    dan                        bersih)
        Ia harus jujur, bebas dari rasa takut dan tidak boleh mempunyai kepentingan pribadi
        sewaktu menjalankan tugas, bersih tujuannya dan jangan sekali-kali menipu rakyat.


   5.   Maddava         (ramah           tamah           dan         sopan           santun)
        Ia harus mempunyai watak yang simpatik dan selalu ramah tamah terhadap siapapun.


   6.   Tapa                   (sederhana               dalam                  penghidupan)
        Ia harus membiasakan diri untuk hidup sederhana dan menjauhkan diri dari penghidupan
        yang berlebih-lebihan.

   7.   Akkodha    (bebas   dari kebencian,   keinginan  jahat   dan   sikap      bermusuhan).
        Ia seharusnya tidak mempunyai rasa dendam terhadap siapapun juga.


   8.   Avihimsa                              (tanpa                               kekerasan).
        Ini bukan saja berarti bahwa ia tidak boleh menyakiti orang lain, tetapi ia harus pula
        memelihara perdamaian dengan mengelakkan peperangan dan semua hall yang
        mengandung unsur kekerasan dan penghancuran hidup.

   9.   Khanti   (sabar,  rendah    hati,  dapat     memaafkan      kesalahan   orang   lain)
        Ia harus dapat menghadapi halangan, kesulitan-kesulitan dan ejekan-ejekan dengan hati
yang sabar, penuh pengertiandan memaafkan perbuatan orang lain yang menyakiti
        hatinya.

   10. Avirodha           (tidak       menentang,           tidak       menghalang-halangi)
       Ini berarti ia tidak boleh menentang kemauan rakyat, tidak boleh menghalang-halangi
       uisaha untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat. Dengan perkataan lain. Ia harus hidup
       bersatu dengan rakyat sesuai dengan tuntutan hati nurani rakyat.

Kalau suatu negara mempunyai raja yang berwatak seperti yang disebut diatas, maka tak usah
diragukan lagi bahwa rakyatnya akan menjadi bahagia.


   1.   Dalam Parabhava Sutta Sang Buddha memberikan nasehat-nasehat mengenai 12 sebab-
        penderitaan                  sebagai                   berikut                  :
        Orang yang mencintai Dharma akan sejahtera dan orang yang mengingkari dharma akan
        mengalami penderitaan.
   2.   Ia yang mencintai orang jahat dan menyenangi kejahatan serta tipu muslihat, tidak
        berbuat sesuatu yang menyenangkan orang baik.

   3.   Orang yang senang tidur, berfoya-foya, mudah tersinggung dan tidak bersemangat.

   4.   Orang yang dalam keadaan makmur, tetapi tidak menyokong ibu atau ayahnya yang telah
        tua dan lemah.

   5.   Ia yang dengan berbohong menipu seorang brahmana atau para orang suci lainnya.

   6.   Orang kaya yang berlimpah, namun hanya memakai untuk dirinya sendiri, tanpa
        membagikan kepada orang lain yang membutuhkannya.

   7.   Orang yang merasa sombong atas kekayaannya,          keturunannya,     sukunya bahkan
        merendahkan sanak saudaranya sendiri.

   8.   Ia yang menyerahkan diri pada wanita-wanita, minum-minuman keras, perjudian serta
        menghambur-hamburkan apa yang diperoleh dengan susah payah.

   9.   Orang yang tidak puas berhubungan dengan isterinya sendiri, berhubungan dengan
        wanita-wanita pelacur, serta terlihat bersama-sama dengan isteri orang lain.

   10. Orang yang telah melewati masa mudanya, tetapi membawa pulang seorang wanita yang
       berpayudara seperti buah timbaru dan tidak dapat tidur karena merasa cemburu terhadap
       dia.

   11. Ia yang memuliakan seorang wanita yang serakah, yang suka menghamburkan harta
       kekayaan, atau lelaki yang sejenis itu.


   12. Ia yang memiliki sedikit kekayaan, tetapi mempunyai banyak keinginan.

Dalam Sigalovada-Sutta (Digha Nikaya 31) diceritakan bagaimana Sang Buddha menaruh
penghargaan besar terhadap penghidupan para upasaka/upasika, keluarga dan sahabat-
sahabatnya.

Seorang anak muda bernama Sigala mempunyai kebiasaan untuk memuja dan menghormati 6
arah, yaitu : Timur, Selatan, Barat, Utara, Nadir (bawah) dan Zenith (atas) sebagai bakti dan
penghormatan kepada pesan ayahnya yang diberikan pada saat hendak menginggal dunia. Sang
Buddha memberitahukan orang muda itu bahwa dalam ajaran-Nya tentang Ariyassa Vinaya (tata
tertib para Ariya), enam penjuru itu mempunyai arti sebagai berikut :



    Timur berarti :        Orang Tua

    Selatan berarti :      Guru
Barat berarti :         Istri dan Anak-anak

    Utara berarti :         Sahabat, Sanak keluarga dan para Tetangga

    Nadir berarti :         Pelayan, Buruh dan Pegawai

    Zenith berarti :        Para brahmana dan pertapa lainnya.

“Orang harus memuja enam penjuru itu”, berkata Sang Buddha sambil memberikan tekanan
khusus pada kata memuja (Namasseyya). Kalau orang memuja, tentu memuja sesuatu yang
keramat, sesuatu yang ada harganya untuk dihormat dan dipuja. Enam kelompok orang-orang
yang disebut diatas, dalam agama Buddha diperlakukan sebagai keramat, berharga untuk
dihormati dan dipuja.

Tetapi, bagaimana orang harus memuja mereka? Sang Buddha bersabda bahwa orang hanya
dapat memuja mereka dengan jalan melakukan kewajiban kita terhadap mereka. Kewajiban ini
diterangkan dalam pembicaraan Beliau dengan Sigala.

Dengan cara pendekatan yang biasa dilakukan Buddhis, pertama kali Sang Buddha Mengajarkan
Sigala dengan mengemukakan aspek negatif atau 14 hal yang harus dihindari, yaitu :

   1.   Empat cacat perilaku, yaitu : pembunuhan, pencurian, hubungan kelamin yang salah dan
        ucapan yang salah.
   2.   Empat dorongan melakukan kejahatan, yaitu : keinginan, kebencian, ketakutan dan
        kebodohan.


   3.   Enam saluran menghabiskan kekayaan, yaitu : minuman keras, judi, berkeluyuran
        dijalanan yang tidak pada waktunya, bergaul dengan wanita-wanita penghibur, teman
        yang jahat dan malas.

Setelah Sang Buddha mengajarkan dan mengemukakan sila dalam aspek negatif dan empat jenis
teman yang sejati yang palsu, kemudian mengajarkan sila dalam aspek positif dalam bentuk
melakukan kewajiban kita kepada orang lain dalam lingkungan masyarakat yang terdiri dari enam
kelompok :

Orang tua (timur), Guru (selatan), Anak dan Istri (barat), Sahabat, Sanak keluarga dan para
Tetangga (utara ), Pelayan atau Karyawan (bawah) dan Rohaniwan (atas). Masing-masing
kelompok memiliki lima kewajiban yang harus dilaksanakan terhadap kelompok lain dalam
lingkungan hidupnya yang dilambangkan dengan enam arah mata angin. Dalam kitab agama
Buddha berbahasa Mandarin terdapat penambahan kewajiban-kewajiban isteri dan pelayan
terhadap kepala keluarga yang selaras dengan budaya cina.

Simbolisasi arah mata angin tersebut berasal dari kebudayaan India kuno. Kalau kita menghadap
ketimur, tangan kanan berada diselatan (dakkhina), disebelah belakang adalah barat, tangan
sebelah kiri berada diutara (uttara), dibawah kita adalah bawah (nadir), dan diatas kepala kita
adalah zenith.Timur selalu dilambangkan sebagai pendahulu (pubba), seperti hari dimulai dengan
terbitnya matahari dari Timur. Ayah dan ibu dipandang sebagai pendahulu, karena kehidupan
dimulai setelah kelahiran dan kemudian dirawat oleh orang tua, sebaliknya barat berada
dibelakang (pacchima), seperti matahari setelah lewat tengah hari berada dibarat, demikian pula
anak dan istri mengikuti dari belakang.

Tangan kanan yang berada disebelah selatan melambangkan guru yang layak menerima
pemberian (dakkhineyya). Perkataan Dakhina berarti ‘selatan’ dan juga berarti ‘kanan’. Tangan kiri
yang berada disebelah utara melambangkan sahabat, sanak keluarga dan tetangga.Uttara berarti
‘mengatasi’. Dengan bantuan sahabat dan sanak keluarga serta tetangga seseorang akan dapat
mengatasi kesulitan (utttarati).

Demikian juga dalam berusaha dan bekerja, seorang memerlukan bantuan pelayan dan karyawan,
maka arah bawah kaki (nadir) melambangkan pelayan dan karyawan yang juga
dihargai.Diperlukan pula bimbingan spiritual dari rohaniwan, maka arah atas kepala (zenith)
melambangkan guru spritual yang dijunjungi tinggi diatas kepala.
Dalam Sigalovada Sutta terlihat bagaimana Sang Buddha sendiri menaruh perhatian dan
penghargaan besar terhadap penghidupan para upasaka dan upasika, keluarga serta sahabat-
sahabatnya . bilamana masing-masing kelompok dalam masyarakat menjalankan kewajibannya
sebagaimana diajarkan oleh Sang Buddha, maka akan terdapat masyarakat yang aman,tenteram
dan sejahtera.

Lebih jauh dalam Sigalovada Sutta terlihat bahwa Sang Buddha membahas jalan untuk
kesejahteraan hingga terinci tentang bagaimana kepala keluarga harus menyimpan dan
mengeluarkan uang. Sang Buddha memberitahukan kepada Sigala bahwa ia harus mengeluarkan
seperempat dari penghasilannya untuk biaya sehari-hari, setengah bagian dimasukkan kedalam
perusahaan sebagai tambahan modal kerja dan seperempat bagian lagi untuk pengeluaran yang
tidak terduga, seperti sakit dan membantu orang yang memerlukan pertolongan.

Sebagai salah satu sutta yang keseluruhannya mengandung sila atau etika untuk dilaksanakan
umat Buddha. Sigalovada Sutta sangat penting dalam sejarah agama Buddha. Sigalovada Sutta
merupakan ajaran sila tahap pertama untuk mencapai kehidupan surga dan tahap selanjutnya
untuk perkembangan spiritual atau tahap untuk mencapai penerangan sempurna.

Pada hakikatnya sila dalam Vagghapajja Sutta, Parabhava Sutta, dan Sigalovada Sutta adalah
ajaran tentang sila yang dapat menimbulkan etika kerja atau etos kerja untuk meningkatkan
kualitas sumber daya manusia dan kualitas hidup masyarakat.

Pemahaman yang memadai tentang sila, etika dan moral dan bertekad melaksanakan sutta-sutta
tersebut diatas akan membawa kemajuan dalam kehidupan sekarang dan akan datang, dapat
mencegah tantangan dan ancaman dalam kehidupan di Era Globalisasi, kehidupan yang penuh
materialistis, penuh konflik dan Sara, penuh ancaman disintegrasi Menyadari sila-sila tersebut
diatas, seseorang umat hendaknya tidak melakukan perbuatan-perbuatan buruk yang merugikan
dalam kehidupan sekarang dan yang akan datang baik bagi dirinya sendiri, bagi bangsanya
maupun pada negaranya,

More Related Content

What's hot

Agama Buddha
Agama BuddhaAgama Buddha
Agama Buddha
JOYCE TEOH
 
Agama Budha
Agama BudhaAgama Budha
Agama Budha
pjj_kemenkes
 
Agama budha
Agama budhaAgama budha
PENGANTAR ILMU PENGETAHUAN AGAMA HINDU
PENGANTAR ILMU PENGETAHUAN AGAMA HINDUPENGANTAR ILMU PENGETAHUAN AGAMA HINDU
PENGANTAR ILMU PENGETAHUAN AGAMA HINDU
Emilia Wati
 
Agama Hindu
Agama HinduAgama Hindu
Agama Hindu
wk_aiman
 
Konsep Agama Hindu
Konsep Agama HinduKonsep Agama Hindu
Konsep Agama Hindu
pjj_kemenkes
 
Moral3101 nilai buddhisme&hinduisme
Moral3101 nilai buddhisme&hinduismeMoral3101 nilai buddhisme&hinduisme
Moral3101 nilai buddhisme&hinduisme
eefha
 
Agama Hindu
Agama HinduAgama Hindu
Agama Hindu
Florence Nandong
 
Perbandingan Agama II (Abdul Manam)
Perbandingan Agama II (Abdul Manam)Perbandingan Agama II (Abdul Manam)
Perbandingan Agama II (Abdul Manam)
wk_aiman
 
Etika dan Moral Agama Hindu
Etika dan Moral Agama HinduEtika dan Moral Agama Hindu
Etika dan Moral Agama Hindu
Thomas Mon
 
Macam- macam Agama di Indonesia
Macam- macam Agama di IndonesiaMacam- macam Agama di Indonesia
Macam- macam Agama di Indonesia
pjj_kemenkes
 
Perayaan dan hari kebesaran agama hindu dan buddha
Perayaan dan hari kebesaran agama hindu dan buddhaPerayaan dan hari kebesaran agama hindu dan buddha
Perayaan dan hari kebesaran agama hindu dan buddha
Timothy Harwich
 
Nota sivik tema 4
Nota sivik tema 4Nota sivik tema 4
Nota sivik tema 4
Nikmey Alyph
 
2015, BAB 6 HUBUNGAN ETNIK : KEPELBAGAIAN AGAMA DI MALAYSIA
2015, BAB 6 HUBUNGAN ETNIK : KEPELBAGAIAN AGAMA DI MALAYSIA2015, BAB 6 HUBUNGAN ETNIK : KEPELBAGAIAN AGAMA DI MALAYSIA
2015, BAB 6 HUBUNGAN ETNIK : KEPELBAGAIAN AGAMA DI MALAYSIA
NURUL AQILAH MUSARI
 
Peran dan Fungsi Agama dalam kehidupan sehari-hari
Peran dan Fungsi Agama dalam kehidupan sehari-hariPeran dan Fungsi Agama dalam kehidupan sehari-hari
Peran dan Fungsi Agama dalam kehidupan sehari-hari
pjj_kemenkes
 
Persembahyangan Rahina Purnama Tilem Perspektif Tri Kerangka Agama Hindu (I M...
Persembahyangan Rahina Purnama Tilem Perspektif Tri Kerangka Agama Hindu (I M...Persembahyangan Rahina Purnama Tilem Perspektif Tri Kerangka Agama Hindu (I M...
Persembahyangan Rahina Purnama Tilem Perspektif Tri Kerangka Agama Hindu (I M...
dexyudha
 
Nila nilai keagamaan dan kepercayaan masyarakat_PPKN kelas X
Nila nilai keagamaan dan kepercayaan masyarakat_PPKN kelas XNila nilai keagamaan dan kepercayaan masyarakat_PPKN kelas X
Nila nilai keagamaan dan kepercayaan masyarakat_PPKN kelas X
Rizka A. Hutami
 
Makalah kramaning sembah
Makalah kramaning sembahMakalah kramaning sembah
Makalah kramaning sembahmangtrie
 

What's hot (20)

Agama Buddha
Agama BuddhaAgama Buddha
Agama Buddha
 
Agama Buddha
Agama BuddhaAgama Buddha
Agama Buddha
 
Agama Budha
Agama BudhaAgama Budha
Agama Budha
 
Agama budha
Agama budhaAgama budha
Agama budha
 
PENGANTAR ILMU PENGETAHUAN AGAMA HINDU
PENGANTAR ILMU PENGETAHUAN AGAMA HINDUPENGANTAR ILMU PENGETAHUAN AGAMA HINDU
PENGANTAR ILMU PENGETAHUAN AGAMA HINDU
 
Agama Hindu
Agama HinduAgama Hindu
Agama Hindu
 
Konsep Agama Hindu
Konsep Agama HinduKonsep Agama Hindu
Konsep Agama Hindu
 
Moral3101 nilai buddhisme&hinduisme
Moral3101 nilai buddhisme&hinduismeMoral3101 nilai buddhisme&hinduisme
Moral3101 nilai buddhisme&hinduisme
 
Agama Hindu
Agama HinduAgama Hindu
Agama Hindu
 
Perbandingan Agama II (Abdul Manam)
Perbandingan Agama II (Abdul Manam)Perbandingan Agama II (Abdul Manam)
Perbandingan Agama II (Abdul Manam)
 
Etika dan Moral Agama Hindu
Etika dan Moral Agama HinduEtika dan Moral Agama Hindu
Etika dan Moral Agama Hindu
 
Macam- macam Agama di Indonesia
Macam- macam Agama di IndonesiaMacam- macam Agama di Indonesia
Macam- macam Agama di Indonesia
 
Perayaan dan hari kebesaran agama hindu dan buddha
Perayaan dan hari kebesaran agama hindu dan buddhaPerayaan dan hari kebesaran agama hindu dan buddha
Perayaan dan hari kebesaran agama hindu dan buddha
 
Nota sivik tema 4
Nota sivik tema 4Nota sivik tema 4
Nota sivik tema 4
 
2015, BAB 6 HUBUNGAN ETNIK : KEPELBAGAIAN AGAMA DI MALAYSIA
2015, BAB 6 HUBUNGAN ETNIK : KEPELBAGAIAN AGAMA DI MALAYSIA2015, BAB 6 HUBUNGAN ETNIK : KEPELBAGAIAN AGAMA DI MALAYSIA
2015, BAB 6 HUBUNGAN ETNIK : KEPELBAGAIAN AGAMA DI MALAYSIA
 
Agama hindu dan budha
Agama hindu dan budhaAgama hindu dan budha
Agama hindu dan budha
 
Peran dan Fungsi Agama dalam kehidupan sehari-hari
Peran dan Fungsi Agama dalam kehidupan sehari-hariPeran dan Fungsi Agama dalam kehidupan sehari-hari
Peran dan Fungsi Agama dalam kehidupan sehari-hari
 
Persembahyangan Rahina Purnama Tilem Perspektif Tri Kerangka Agama Hindu (I M...
Persembahyangan Rahina Purnama Tilem Perspektif Tri Kerangka Agama Hindu (I M...Persembahyangan Rahina Purnama Tilem Perspektif Tri Kerangka Agama Hindu (I M...
Persembahyangan Rahina Purnama Tilem Perspektif Tri Kerangka Agama Hindu (I M...
 
Nila nilai keagamaan dan kepercayaan masyarakat_PPKN kelas X
Nila nilai keagamaan dan kepercayaan masyarakat_PPKN kelas XNila nilai keagamaan dan kepercayaan masyarakat_PPKN kelas X
Nila nilai keagamaan dan kepercayaan masyarakat_PPKN kelas X
 
Makalah kramaning sembah
Makalah kramaning sembahMakalah kramaning sembah
Makalah kramaning sembah
 

Similar to Budha

Problematika kehidupan sosial manusia
Problematika kehidupan sosial manusiaProblematika kehidupan sosial manusia
Problematika kehidupan sosial manusia
tiyo noiss
 
Fungsi agama dan kepercayaan bagi individu
Fungsi agama dan kepercayaan bagi individuFungsi agama dan kepercayaan bagi individu
Fungsi agama dan kepercayaan bagi individuVJ Asenk
 
1. konsep agama (1)
1. konsep agama (1)1. konsep agama (1)
1. konsep agama (1)
Erwin Line
 
UTS_PENDIDIKAN AGAMA_HENDRO GUNAWAN_200401072103_IT-301.pdf
UTS_PENDIDIKAN AGAMA_HENDRO GUNAWAN_200401072103_IT-301.pdfUTS_PENDIDIKAN AGAMA_HENDRO GUNAWAN_200401072103_IT-301.pdf
UTS_PENDIDIKAN AGAMA_HENDRO GUNAWAN_200401072103_IT-301.pdf
HendroGunawan8
 
AGAMA_BUDDHA.pptx
AGAMA_BUDDHA.pptxAGAMA_BUDDHA.pptx
AGAMA_BUDDHA.pptx
rikson4
 
AGAMA_BUDDHA.pptx
AGAMA_BUDDHA.pptxAGAMA_BUDDHA.pptx
AGAMA_BUDDHA.pptx
SriHartono28
 
TUGAS 2-UAS_RESUME AGAMA ISLAM_ANGGI RAHMAT G.docx.pdf
TUGAS 2-UAS_RESUME AGAMA ISLAM_ANGGI RAHMAT G.docx.pdfTUGAS 2-UAS_RESUME AGAMA ISLAM_ANGGI RAHMAT G.docx.pdf
TUGAS 2-UAS_RESUME AGAMA ISLAM_ANGGI RAHMAT G.docx.pdf
AnggiRahmatGinanjar
 
SUB TEMA 3 PEMBELAJARAN 3.pptx
SUB TEMA 3 PEMBELAJARAN 3.pptxSUB TEMA 3 PEMBELAJARAN 3.pptx
SUB TEMA 3 PEMBELAJARAN 3.pptx
fristapakpahan
 
Bimas Buddha Nilai2 Kerukunan Intern Umat Buddha
Bimas Buddha Nilai2 Kerukunan Intern Umat BuddhaBimas Buddha Nilai2 Kerukunan Intern Umat Buddha
Bimas Buddha Nilai2 Kerukunan Intern Umat Buddha
bimasbuddhadkijakartaraya
 
Makalah agama hindu etika moral putu nagita
Makalah agama hindu etika moral putu nagitaMakalah agama hindu etika moral putu nagita
Makalah agama hindu etika moral putu nagita
PutuNagita
 
Konsep Agama di Indonesia
Konsep Agama di IndonesiaKonsep Agama di Indonesia
Konsep Agama di Indonesia
pjj_kemenkes
 
WUJUD TOLERANSI DIKABUPATEN MAROS.docx
WUJUD TOLERANSI DIKABUPATEN MAROS.docxWUJUD TOLERANSI DIKABUPATEN MAROS.docx
WUJUD TOLERANSI DIKABUPATEN MAROS.docx
NurRahmaeda
 
(Sadn1013 h) kump 20
(Sadn1013 h) kump 20(Sadn1013 h) kump 20
(Sadn1013 h) kump 20sadn1013
 
Kerukunan antar umat beragam
Kerukunan antar umat beragamKerukunan antar umat beragam
Kerukunan antar umat beragam
ian@net multimedia services
 
Bab ii tgas
Bab ii tgasBab ii tgas
Bab ii tgas33335
 
Makalah pendidikan agama plural
Makalah pendidikan agama pluralMakalah pendidikan agama plural
Makalah pendidikan agama plural
RadenRamadhanSyaidin
 
Agama dan masyarakat
Agama dan masyarakatAgama dan masyarakat
Agama dan masyarakat
bagas darmawan
 
Agama sebagai sumber kedamaian
Agama sebagai sumber kedamaianAgama sebagai sumber kedamaian
Agama sebagai sumber kedamaian
Taufick Hidayatulloh
 

Similar to Budha (20)

Problematika kehidupan sosial manusia
Problematika kehidupan sosial manusiaProblematika kehidupan sosial manusia
Problematika kehidupan sosial manusia
 
Fungsi agama dan kepercayaan bagi individu
Fungsi agama dan kepercayaan bagi individuFungsi agama dan kepercayaan bagi individu
Fungsi agama dan kepercayaan bagi individu
 
1. konsep agama (1)
1. konsep agama (1)1. konsep agama (1)
1. konsep agama (1)
 
UTS_PENDIDIKAN AGAMA_HENDRO GUNAWAN_200401072103_IT-301.pdf
UTS_PENDIDIKAN AGAMA_HENDRO GUNAWAN_200401072103_IT-301.pdfUTS_PENDIDIKAN AGAMA_HENDRO GUNAWAN_200401072103_IT-301.pdf
UTS_PENDIDIKAN AGAMA_HENDRO GUNAWAN_200401072103_IT-301.pdf
 
Pp
PpPp
Pp
 
AGAMA_BUDDHA.pptx
AGAMA_BUDDHA.pptxAGAMA_BUDDHA.pptx
AGAMA_BUDDHA.pptx
 
AGAMA_BUDDHA.pptx
AGAMA_BUDDHA.pptxAGAMA_BUDDHA.pptx
AGAMA_BUDDHA.pptx
 
TUGAS 2-UAS_RESUME AGAMA ISLAM_ANGGI RAHMAT G.docx.pdf
TUGAS 2-UAS_RESUME AGAMA ISLAM_ANGGI RAHMAT G.docx.pdfTUGAS 2-UAS_RESUME AGAMA ISLAM_ANGGI RAHMAT G.docx.pdf
TUGAS 2-UAS_RESUME AGAMA ISLAM_ANGGI RAHMAT G.docx.pdf
 
SUB TEMA 3 PEMBELAJARAN 3.pptx
SUB TEMA 3 PEMBELAJARAN 3.pptxSUB TEMA 3 PEMBELAJARAN 3.pptx
SUB TEMA 3 PEMBELAJARAN 3.pptx
 
Bimas Buddha Nilai2 Kerukunan Intern Umat Buddha
Bimas Buddha Nilai2 Kerukunan Intern Umat BuddhaBimas Buddha Nilai2 Kerukunan Intern Umat Buddha
Bimas Buddha Nilai2 Kerukunan Intern Umat Buddha
 
Makalah agama hindu etika moral putu nagita
Makalah agama hindu etika moral putu nagitaMakalah agama hindu etika moral putu nagita
Makalah agama hindu etika moral putu nagita
 
Teloeransi antar umat beragama 2
Teloeransi antar umat beragama 2Teloeransi antar umat beragama 2
Teloeransi antar umat beragama 2
 
Konsep Agama di Indonesia
Konsep Agama di IndonesiaKonsep Agama di Indonesia
Konsep Agama di Indonesia
 
WUJUD TOLERANSI DIKABUPATEN MAROS.docx
WUJUD TOLERANSI DIKABUPATEN MAROS.docxWUJUD TOLERANSI DIKABUPATEN MAROS.docx
WUJUD TOLERANSI DIKABUPATEN MAROS.docx
 
(Sadn1013 h) kump 20
(Sadn1013 h) kump 20(Sadn1013 h) kump 20
(Sadn1013 h) kump 20
 
Kerukunan antar umat beragam
Kerukunan antar umat beragamKerukunan antar umat beragam
Kerukunan antar umat beragam
 
Bab ii tgas
Bab ii tgasBab ii tgas
Bab ii tgas
 
Makalah pendidikan agama plural
Makalah pendidikan agama pluralMakalah pendidikan agama plural
Makalah pendidikan agama plural
 
Agama dan masyarakat
Agama dan masyarakatAgama dan masyarakat
Agama dan masyarakat
 
Agama sebagai sumber kedamaian
Agama sebagai sumber kedamaianAgama sebagai sumber kedamaian
Agama sebagai sumber kedamaian
 

Budha

  • 1. Dalam Era Globalisasi yang ditandai dengan makin maraknya arus informasi dan perkembangan Iptek yang berdampak pada kehidupan yang penuh perubahan, tantangan bukan saja berdampak positif tetapi juga banyak dampak negatif seperti korupsi, kolusi monopoli, kerusuhan dan sebagainya, maka sangat penting dalam kehidupan ini untuk dapat mengendalikan diri, sehingga luput dari keinginan, nafsu dan godaan-godaan tersebut. Tantangan Etika Global dalam kehidupan beragama ialah melaksanakan fungsi-fungsi agama (budaya, pendidikan, filosofi, sosial/kerukunan dll) secara benar, mengembangkan keyakinan dan mensosialisasikan ajaran agama kepada pemeluknya serta mengaktualisasikan ajaran agama secara utuh baik dalam Dharma Agama dan Dhrama Negara. Sebagai umat beragama kita seharusnya sadar, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, pluralis, baik dalam agama, suku, budaya serta tradisi. Kesadaran terhadap kemajemukan bangsa Indonesia telah menyadarkan kita, bahwa sebagai bangsa Indonesia kita harus saling menghargai, saling menghormati dengan penuh toleransi dan rukun. Kalau Bhineka Tunggal Ika yang tertulis dalam lambang negara Garuda Pancasila telah hilang, maka dapat dipastikan akan terjadi disintegrasi, Karena itu kebhinekaan kita sebagai bangsa hendaknya disadari disamping sebagai sumber kekuatan, dapat juga menjadi sumber kelemahan bangsa, kalau kita semua kurang mencermati dan kurang mau bersikap toleransi satu dengan yang lain maka disintegrasi bangsa Indonesia akan menjadi kenyataan. Dalam Era Orde Baru telah lahir sarana untuk membina kerukunan hidup umat beragama yang kita kenal sebagai Tri Kerukunan Hidup Umat Beragama yakni kerukunan intern umat Beragama, kerukunan antar umat Beragama dan kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah. Dalam Etika Global pada Era Komunikasi sekarang ini, sebaiknya dalam memberikan kotbah agama, hal-hal yang dapat menganggu kerukunan dan toleransi antar umat beragama, tidak perlu dijelaskan melalui Televisi dan kalau memang harus dijelaskan, sebaiknya tidak secara terbuka, cukup dalam intern umat nya saja. Kalau hal ini dapat dilakukan, maka ketegangan antar agama di Indonesia akan dapat diatasi dengan baik. Pembinaan secara kontinutas berbagai sarana keagamaan dengan sarana dan motivasi yang memadahi sehingga dapat membentuk manusia yang dapat mengendalikan dan mengalahkan diri sendiri, manusia yang bersih dari hati yang membenci, yang serakah, iri hati, dan bebas dari segala bentuk kebodohan dan ketidak tahuan. Manusia yang memiliki cinta kasih dan kasih sayang (welas kasih), rasa senang dan simpati terhadap kebahagiaan dan keberhasilan orang lain dan dapat bertindak bijaksana, baik melalui pikiran, ucapan dan perbuatan badan jasmani dengan mengembangkan perasaan cinta kasih, belas kasihan, simpati dan kebijaksanaan dalam agama Buddha disebut metta, karuna, muditha dan upekkha, yang menjadi sumber kedamaian, kerukukunan, kebahagiaan dalam kehidupan ini. Cita-cita Ketuhanan didalam agama Buddha adalah untuk mencapai Brahma Vihara atau kediaman yang luhur, yang penuh dengan kebahagiaan, hidup yang bernuansakan cinta kasih, belas kasih, simpati dan kebijaksanaan, dimana sudah tidak ada perasaan membenci, serakah, iri hati dan kebodohan Karena itu etika inter aksi kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara pada era global, umat beragama hendaknya benar-benar menerapkan ajaran cinta kasih dan kasih sayang, dan melaksanakan fungsi-fungsi agama, dalam beragama. Maka toleransi antar umat beragama akan dapat terjalin dengan baik dan ketegangan hubungan antar agama di Indonesia tidak akan pernah terjadi. Tetapi kenyataan membuktikan bahwa diantara pimpinan, tokoh dan umat beragama di Indonesia dalam mengaktualisasikan ajaran agamanya masih terkandung didalam hatinya perasaan membenci, iri hati atas kesuksesan satu dengan yang lainnya dan tingginya rasa kecurigaan terhadap SARA lainnya. CARA AGAMA BUDDHA MENGATASI KETEGANGAN HUBUNGAN ANTAR AGAMA
  • 2. Waktu Buddha masih hidup, upaya untuk menghindari terjadinya ketegangan hubungan antar agama, dengan membina toleransi antar umat beragama di India, yakni antar agama Buddha dengan agama Hindu, benar-benar diperhatikan oleh Sang Buddha. Hal ini terbukti dengan adanya kotbah Sang Buddha dalam Upali Sutta yang isinya: "Upali adalah seorang yang sangat terpandang dalam masyarakatnya. Ia menjadi siswa dari Nighanta, Nataputta, guru besar agama Jahina. Upali diutus oleh guru besar-Nya untuk berdialog dengan Buddha tentang hukum Karma. Setelah dialog itu selesai, Upali menyatakan dengan jujur, bahwa ajaran Buddha tentang hukum karma adalah yang benar. Upali lalu memohon kepada Buddha untuk menerimanya menjadi siswa dan penganut Buddha". Apakah Buddha merasa bangga dan senang, Upali yang sangat terpandang di masyarakat dan menjadi siswa utama dari Guru Besar agama Jahina itu? Sang Buddha tidak merasa bangga dengan permintaan upali. Sang Buddha meminta kepada Upali agar memikirkan maksud dan keinginannya untuk menjadi siswa penganutnya. Buddha memberikan pengarahan kepada Upali dengan bijaksana: “Wahai Upali, anda adalah murid yang bijaksana dari seorang guru besar yang terpandang dalam masyarakat. Mengenai keinginanmu untuk menjadi penganutKu dan menjadi siswaKu, pikirlah dengan sesama, jangan terburu nafsu untuk menjadi murid dan penganutKu". Untuk kedua kalinya Upali memohon kepada Buddha, namun Buddha kembali menerangkan dengan bijaksana, untuk dipertimbangkan kembali dengan seksama tentang keinginan tersebut. Kemudian Upali memohon yang ketiga kalinya, akhirnya Sang Buddha berkata: ”Upali saya menerimamu sebagai siswaKu, dengan syarat kau harus tetap menghormati bekas agamamu dan mantan guru besarmu". Demikianlah cara yang ditujukan Buddha untuk menjaga kerukunan umat beragama, agar jangan terjadi ketegangan antar agama. Raja Asoka seorang Raja Buddis terkenal yang agung yang melaksanakan ajaran tentang toleransi dan kerukunan hidup beragama telah mencanangkan dekrit toleransi dan kerukunan hidup beragama yang terkenal dengan DEKRIT ASOKA sebagai berikut: “Siapa yang memuji agamanya sendiri dan merendahkan agama lainnya hanya merendahkan agamanya sendiri. Kerukunan dan toleransi antar umat beragama atau kepercayaan patut dihargai. Hendaknya kita mau mendengar dan memahami ajaran yang benar dari agama lain”. Lalu bagaimana dengan kenyataan yang kita alami dalam lintas perpindahan umat beragama, dimana banyak pemimpin agama yang berusaha untuk menarik pimpinan dan umat agama lainnya. Kenyataan yang kita lihat dalam kehidupan beragama ini kita menyadari hal tersebut dapat menimbulkan terjadinya ketegangan sektor agama. Demikian pula untuk mengatasi dampak negatif dalam kehidupan di era globalisasi, peran agama, ilmu pengetahuan dan teknologi hendaknya menjadi kekuatan yang saling mengisi satu dengan yang lain. Artinya kemajuan ilmu pengetahuan harus diimbangi dengan peningkatan moral dan berlandaskan etika, yang sesuai dengan ajaran agama. Hal ini dikenal dengan keseimbangan iman dan takwa yang selaras dengan kemajuan Ilmu pengetahuan dan teknologi. Agama hendaknya tidak lagi menjadi alat untuk membenarkan tindakan penguasa atau justifikasi terhadap tindakan kesewenang-wenangan, dimana membenarkan suatu produk hukum dan perundangan-undangan ataupun keputusan yang diambil pemerintah/sikap penguasa jelas-jelas diskriminasi dan melanggar HAM serta berbau SARA. Oleh karena itu Reformasi merupakan momentum yang bermanfaat, untuk membina Manusia Indonesia Baru dengan mengedepankan pengendalian dan menundukkan diri sendiri. Dalam hal ini perubahan prilaku lama yang didasari oleh rasa saling curiga dapat diubah dengan sikap baru yang saling menghormati secara tulus dan iklas yang bersumber dari penghargaan Hak Asasi Manusia, jujur dan terbuka. Hanya dengan mendasari sikap baru maka dapat membangun masyarakat Indonesia Baru, Masyarakat madani, masyarakat yang demokratis, yang adil, mentaati hukum serta mengutamakan hak azasi manusia (HAM) Dalam agama Buddha kata etika sering pula dijelaskan dengan kata Sila. Dan yang dimaksud dengan etika dalam bahasa Indonesia adalah kesusilaan yang berarti hal-hal yang berkenaan dengan perbuatan baik. Dalam agama Buddha sila merupakan dasar utama dalam pelaksanaan
  • 3. ajaran agama, mencakup semua prilaku dan sifat-sifat baik, yang termasuk ajaran moral dan etika. Pada saat Sang Buddha akan mangkat, beliau menyampaikan pesan terakhirnya kepada muridnya Y.A Ananda “Apapun Dhamma dan Vinaya yang telah Kuajarkan dan Kunyatakan, hal ini akan menjadi guru kalian kelak”. Sang Buddha mengajarkan Empat Kebenaran Utama (Empat Kesunyataan Mulia/The Four Fold Noble Truth) ialah : a. Hidup adalah penderitaan (dukkha) b. Sebab penderitaan timbul karena keinginan/tanha (Dukkha Nirodha) c. Berhentinya penderitaan hanya dapat diatasi dengan memadamkan keinginan (dukkha Samudaya). d. Jalan menuju berhentinya penderitaan dengan memadamkan keinginan. Memadamkan keinginan hanya terlaksana dengan perbuatan moral serta disiplin hidup dan mencapai puncaknya pada konsentrasi dan meditasi. Untuk mengikis habis sebab penderitaan Sang Buddha memberikan cara-cara terbaik yang dinamakan “Jalan Utama Beruas Delapan“ atau "Ariya Atthangika Magga" yang merupakan Way of life seorang Buddhis, terdiri dari : a. Pandangan benar (samma-ditthi) b. Pikiran benar (samma-sankhapa) c. Ucapan benar (samma-vacca) d. Perbuatan benar (samma-kamanta) e. Mata pencaharian benar (samma-ajiva) f. Daya upaya benar (samma-vayama) g. Perhatian benar (samma-sati) h. Konsentrasi benar (samma-samadhi) Jalan Mulia Berunsur Delapan ini dapat dibagi atas 3 golongan yaitu : 1. Kebijaksanaan (Panna) 1. Pengertian yang benar Artinya mengerti dan dapat menembus tentang hakekat hidup ini yang ditandai adanya Dukkha (penderitaan), Dukkha Samudaya (sebabnya penderitaan), Dukkha Nirodha (lenyapnya penderitaan) dan Magga (jalan untuk melenyapkan penderitaan). Jadi ukuran manusia bijaksana menurut agama Buddha memiliki pengertian yang benar tentang Dukkha, Sebab Dukkha, Lenyapnya Dukkha dan Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha 2. 2.Pikiran yang benar Artinya pikirannya penuh dengan pikiran yang tidak membenci (Dosa), pikiran yang tidak serakah (lobha) dan pikiran yang tidak bodoh (Moha) 2. Sila 3. Perkataan yang Benar Kita dapat berkata yang benar, bilamana pikiran kita bersih dari kebencian, keserakahan dan kebodohan. Tetapi kita tidak akan dapat berkata yang benar bilamana pikiran kita penuh dengan kebencian, keserakahan dan kebodohan.
  • 4. Karena itu agar kita dapat berkata dan berbuat yang benar, kita harus membersihkan pikiran kita dari pikiran Lobha, Dosa dan Moha. Yang dimaksud dengan berkata yang benar disini adalah : tidak berbohong, tidak menipu, tidak memfitnah, tidak omong kosong, tidak membicarakan kejelekan orang lain, tidak menyakiti hati orang lain dan lain-lainnya. 4. 4. Perbuatan yang benar Perbuatan yang benar juga bersumber pada pikiran yang positif, demikian pula halnya dengan perbuatan yang jahat bersumber pada pikiran yang negatif. Yang dimaksud dengan perbuatan yg benar adalah: tidak membunuh, tidak mencuri dan tidak berzinah. 5. 5. Mata Pencaharian yang benar Mata pencaharian sangat penting artinya didalam kehidupan ini dan alangkah menyedihkan, bilamana ada orang yang tidak mempunyai mata pencaharian. Tetapi kita harus berusaha untuk memiliki mata pencaharian yang benar. Mata pencaharian yang tidak benar adalah : menjual minuman keras, menjual racun, menjual senjata untuk perang, menjual budak dan segala benda yang menyebabkan ketagihan seperti : ganja, morfin, Narkoba dan lain-lainnya. 2. Samadhi (Meditasi) Meditasi kami tidak babarkan. Jadi mata pencaharian yang benar adalah hidup dari mata pencaharian yang benar, dengan menghindari hidup dari mata pencaharian yang tidak halal, yang menyebabkan orang lain menderita. Misalnya menjual narkoba adalah merupakan kejahatan, karena narkoba yang diperjual belikan ini akan merusak moral masyarakat terutama kalangan remajanya. Melalui meditasi dan cinta kasih Metta dan Karuna dapat membawa umat Buddha dalam kehidupan nyata. Dalam pandangan hidup agama Buddha dapat dikatakan bahwa keberadaan moral merupakan hal penting dalam hidup. Dan perjuangan moral sesuai dengan ajaran Buddha mengandung sifatnya yang rasional dan filosofis, dari dasar moral ajaran Buddhisme, Yang demikian diletakkan disiplin moral dan manifestasi moral sebagai sesuatu yang penting dalam kehidupan manusia. Unsur dalam disiplin moral Buddha yang meliputi Panna, Sila dan Samadhi menyangkut ajaran- ajaran yang mengatur hubungan antara individu, keluarga, masyarakat, seperti Vinaya Pitaka ( Untuk Bhikkhu) dan Gihi Pitaka (untuk umat awam). Dengan ajaran ini Bhikhu harus menganut dasa silanya (10 larangan) sedangkan umat awam melalui latihan kesusilaan yang disebut Pancasila Buddhis (5 larangan) yang isinya : 1. Aku bertekad akan melatih diri untuk tidak melakukan pembunuhan makhluk hidup. 2. Aku bertekad akan melatih diri untuk tidak melakukan pencurian atau mengambil barang yang bukan haknya. 3. Aku bertekad akan melatih diri untuk tidak melakukan perbuatan zinah 4. Aku bertekad akan melatih diri untuk tidak berdusta, berbohong, berkata kasar dan omong kosong. 5. Aku bertekad akan melatih diri untuk tidak memakan dan meminum zat-zat atau jenis- jenis barang yang memabukkan dan menimbulkan ketagihan. Disiplin moral adalah ketentuan atau tata aturan moral yang harus dilakukan oleh siapa saja. Sementara manifestasi moral itu berkaitan dengan karma yang bersifat positif berupa perbuatan baik (kusala-karma), maupun yang bersifat negatif (akusala-karma). Dari dua komponen itulah tujuan moral digariskan untuk menuju terealisirnya kebahagiaan tertinggi atau Nibbana. Manusia dilahirkan kedunia ini karena karmanya sendiri, berhubungan dengan karmanya sendiri, terlindung oleh karmanya sendiri, pendeknya apapun karma yang dilakukan, diri sendirilah yang harus menanggungnya. Kehidupan manusia menyimpan kumpulan atau warisan karma baik dan buruk yang terjadi di masa kehidupan yang lampau. Agar kehidupan sekarang berbuah karma
  • 5. kebajikan, maka sangat penting untuk selalu berusaha melatih diri melaksanakan sila dan melakukan kebajikan. Karena hanya dengan dengan sila dan kebajikan yang dapat merubah karma buruk dan membuahkan karma baik serta dibarengi dengan latihan yang giat, maka semua akibat karma buruk akan dapat di netralisir, sehingga tidak akan mengalami rintangan dan penderitaan. Dengan melatih dan membina nilai-nilai positif yang dimiliki maka akan mengangkat harkat dan martabat seseorang menuju perbaikan kehidupan duniawi serta bertambahnya kebijaksanaan. Dengan demikian akan tercapailah kesadaran Dharma dan kesempurnaan hidup. Dengan melakukan perenungan pentingnya pengendalian diri, dharma dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, baik pada waktu berjalan, berdiam, duduk, berbaring selagi tiada lelap, kita harus senantiasa mengembangkan sila (kemoralan), kita sebagai modal dasar dalam pergaulan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam hal inilah peranan agama amat menentukan. Agama bila dianut dengan tepat dapat membuka pikiran dan perasaan manusia terhadap kehidupan yang dihadapi serta apa yang dilakukannya untuk menjadi mahluk yang berguna dalam alam semesta ini. Karena dalam setiap agama terdapat kebenaran-kebenaran yang hakiki dalam mengambarkan kehidupan dan alam semesta ini, sehingga agama dapat memberikan pedoman kepada umat manusia untuk dapat menjalani hidupnya dengan baik. Disinilah letak potensi agama yang perlu diperhatikan. Yang menjadi persoalan bukan agamanya, melainkan bagaimana para tokoh dan pimpinan agama itu membawa dan menginterprestasi agamanya untuk berfungsi positif dalam menyajikan pedoman pada manusia dalam menghadapi inter aksi dalam kehidupannya. Itu jelas sekali dibuktikan oleh sejarah umat manusia. Dalam Vyagghapajja Sutta, Sang Buddha menjelaskan ada empat kondisi yang membawa kesejahteraan dan kebahagiaan dalam hidup yang akan datang. a. Bersemangat dan cermat dalam tugasnya, bijaksana mengatur kekayaannya. b. Hidup sesuai dengan penghasilan, memelihara apa yang telah diperolehnya c. Diberkahi dengan keyakinan dan kesusilaan, murah hati dan bebas dari kekikiran. d. Selalu mengembangkan Magga. Sabda Sang Buddha yang berguna untuk mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan sekarang dan yang akan datang dirangkum sebagai berikut: 1. UTTHANA-SAMPADA, Seseorang hendaknya ahli, efisien, tekun dan giat dalam setiap pekerjaan dan mengerti pekerjaan yang dilakukannya dengan baik. 2. ARAKKHA-SAMPADA, Ia pandai melindungi penghasilan yang diperolehnya dari pekerjaan yang halal dan mencucurkan keringat, bahkan memperlipat gandakannya. 3. KALYANA-MITTA, mencari pergaulan yang baik, yang setia kepadanya, terpelajar, baik budi, tidak kikir dan cerdas, yang akan membantunya dengan cara yang benar, jauh dari kejahatan. 4. SAMAJIVIKATA, Ia hidup dalam batas-batas kemampuannya, sesuai dengan penghasilannya serta tidak boros. 5. SADDHA, Ia mempunyai kepercayaan dan keyakinan yang kuat terhadap nilai-nilai moral, spiritual dan intelektual. 6. SILA, Ia menjauhkan diri dari pembunuhan, penipuan, pencurian, hubungan sex yang tidak dibenarkan, ucapan yang tidak benar dan menghindar dari minum-minuman keras. 7. CAGA, Ia suka menolong orang lain, baik hati dan sederhana hidupnya.
  • 6. 8. PANNA, Ia melatih diri dan mengembangkan pandangan-terang yang akan membawanya ke keselamatan dan kebahagiaan yang kekal yaitu Nibbana. Dari Vyaghapajja Sutta terlihat bahwa Sang Buddha menganggap kesejahteraan ekonomi diperlukan untuk mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan duniawi ini, tetapi Beliau tidak memandang kemajuan ini sebagai sesuatu yang benar kalau hanya didasarkan atas kebendaan dengan mengabaikan dasar moral dan spiritual Sang Buddha juga membahas hingga yang sekecil-kecilnya, tentang bagaimana orang harus menyimpan dan mengeluarkan uang. Misalnya pernah Beliau memberitahukan kepada Sigala bahwa ia harus mengeluarkan seperempat dari penghasilannya untuk biaya sehari-hari. Setengah bagian dimasukan kedalam perusahaannya dan seperempat bagian lagi untuk pengeluaran yang tidak terduga. Sabda Sang Buddha kepada Anathapindika. seorang bangkir kaya, murid yang sangat berbakti, yang telah mendirikan vihara Jetavana yang megah di kota Savatthi. Dalam kehidupan berkeluarga seorang hendaknya mempunyai empat macam kebahagiaan : 1. Atthi-sukha Ia bahagia karena terjamin keadaan ekonominya atau harta benda yang cukup yang didapat dari usaha/pekerjaan yang halal. 2. Bhoga-Sukha Ia dapat menggunakan kekayaannya dengan tidak usah terlalu kikir untuk keperluan diri sendiri, keluarganya, sahabat-sahabatnya dan untuk keperluan sosial. 3. Anana-Sukha Ia terbebas dari hutang. 4. Anavajja-sukha Ia dapat hidup secara bersih dan tidak ternoda, tanpa melakukan sesuatu yang tidak benar, dalam pikiran, perkataan dan perbuatan Harap diperhatikan bahwa tiga diantaranya bersifat ekonomis dan akhirnya Sang Buddha memperingatkan bankir tersebut bahwa kebahagiaan ekonomi dan materil tidaklah merupakan 1/16 bagian dari kebahagiaan spritiual yang didapat dengan hidup secara bersih dan tidak ternoda. Dari beberapa contoh yang diberikan diatas orang dapat melihat bahwa Sang Buddha menganggap kesejahteraan ekonomi perlu untuk mendapatkan kebahagiaan, tetapi beliau tidak menganggap kemajuan ini sebagai sesuatu yang benar kalau hanya didasarkan atas kebencian, keserakahan dengan mengabaikan dasar-dasar spiritual dan moral. Maka agama Buddha biarpun menganjurkan kemajuan materil, tetapi Dharma Buddha selalu menekankan pentingnya perkembangan watak, moral dan spritual untuk menghasilkan satu masyarakat yang bahagia, aman dan sejahtera. Dalam kehidupan politik, Sang Buddha juga mempunyai pengertian yang mendalam tentang politik, perang dan damai, Sang Buddha bukan saja mengajarkan tentang kehidupan tanpa kekerasan dan perdamaian. Dalam hal ini beliau mengajarkan kepada kaum Vajji, dimana dalam kedamaian dan kesejahteraan dapat ditempuh dengan tujuh syarat oleh karena itu pada suatu ketika Beliau sendiri pergi ke medan perang dan menjadi penengah untuk menghindari peperangan. Tujuh syarat itu sebagai berikut : • Melaksanakan musyawarah untuk mufakat, musyawarah untuk damai, • Menghormati dan menjunjung tinggi para pemuka agama yang baik • Menghormati dan menghargai para sesepuh masyarakat (orang tua) • Menghormati dan menghargai kitab suci baik agama sendiri maupun agama lain
  • 7. Menghargai dan menghormati tempat-tempat ibadah baik agama sendiri maupun tempat ibadah agama lain • Menghargai dan menghormati kaum lemah (kaum Wanita). • Membuat undang-undang baru dengan tidak meninggalkan undang-undang yang sudah ada sepanjang masih relevan. Kemampuan para tokoh pemerintahan, politik dan pemimpin agama untuk dapat membawa ajaran agama demikian rupa kepada rakyat Indonesia, yang dapat menghasilkan Manusia Indonesia dengan komitmen yang tinggi kepada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Terutama itu berlaku untuk para tokoh dan pimpinan umat beragama, dan seperti dikatakan Toynbee, kalau para tokoh dan pimpinan agama hanya melakukan apa yang telah dilakukannya dimasa lampau, maka tidak mungkin agama merupakan pembangkit martabat manusia Indonesia. Sebab telah terbukti oleh kenyataan sejarah, bahwa martabat manusia Indonesia dimasa lampau demikian rendahnya sehingga dapat dijajah. Dalam Dhammapadda Atthakatha ditulis tentang pandangan Sang Buddha mengenai pemerintahan yang baik harus dilihat dari keadaan sosial, ekonomi dan politik. Beliau pada zaman itu dapat membuktikan bagaimana rakyat dari suatu negara akan tidak bahagia, rusak akhlaknya, kalau saja menteri dan pejabat pemerintah memberikan contoh korup dan tidak jujur. Rakyat dari suatu negara baru mendapatkan kebahagiaan, apabila raja dan pejabat pemerintahan jujur. Dalam kitab Jataka dapat dibaca cara untuk mendapatkan pemerintahan yang jujur dan bersih diterangkan dalam ajaran-Nya tentang “Sepuluh kewajiban seorang raja” (dasa-raja- dhamma).Tentu saja istilah raja sekarang dapat diganti dengan istilah pimpinan secara umum. Sepuluh kewajiban dari seorang raja adalah sebagai berikut : 1. Dana (suka menolong orang, tidak kikir dan ramah tamah) Seorang raja tidak boleh terlalu terikat kepada harta kekayaannya, tetapi pada waktu diperlukan ia harus berani/bersedia mengorbankannya demi kepentingan rakyat. 2. Sila (moralitas yang tinggi) Ia seharusnya jangan membinasakan makhluk hidup, menipu, mencuri, korupsi, melakukan perbuatan asusila, berbicara tidak benar dan minum-minuman keras. 3. Pariccaga (mengorbankan segala sesuatu demi kepentingan rakyat) Ia harus bersedia mengorbankan semua kesenangan pribadi, nama dan keagungan, sampaipun nyawa demi kepentingan rakyat. 4. Ajjava (jujur dan bersih) Ia harus jujur, bebas dari rasa takut dan tidak boleh mempunyai kepentingan pribadi sewaktu menjalankan tugas, bersih tujuannya dan jangan sekali-kali menipu rakyat. 5. Maddava (ramah tamah dan sopan santun) Ia harus mempunyai watak yang simpatik dan selalu ramah tamah terhadap siapapun. 6. Tapa (sederhana dalam penghidupan) Ia harus membiasakan diri untuk hidup sederhana dan menjauhkan diri dari penghidupan yang berlebih-lebihan. 7. Akkodha (bebas dari kebencian, keinginan jahat dan sikap bermusuhan). Ia seharusnya tidak mempunyai rasa dendam terhadap siapapun juga. 8. Avihimsa (tanpa kekerasan). Ini bukan saja berarti bahwa ia tidak boleh menyakiti orang lain, tetapi ia harus pula memelihara perdamaian dengan mengelakkan peperangan dan semua hall yang mengandung unsur kekerasan dan penghancuran hidup. 9. Khanti (sabar, rendah hati, dapat memaafkan kesalahan orang lain) Ia harus dapat menghadapi halangan, kesulitan-kesulitan dan ejekan-ejekan dengan hati
  • 8. yang sabar, penuh pengertiandan memaafkan perbuatan orang lain yang menyakiti hatinya. 10. Avirodha (tidak menentang, tidak menghalang-halangi) Ini berarti ia tidak boleh menentang kemauan rakyat, tidak boleh menghalang-halangi uisaha untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat. Dengan perkataan lain. Ia harus hidup bersatu dengan rakyat sesuai dengan tuntutan hati nurani rakyat. Kalau suatu negara mempunyai raja yang berwatak seperti yang disebut diatas, maka tak usah diragukan lagi bahwa rakyatnya akan menjadi bahagia. 1. Dalam Parabhava Sutta Sang Buddha memberikan nasehat-nasehat mengenai 12 sebab- penderitaan sebagai berikut : Orang yang mencintai Dharma akan sejahtera dan orang yang mengingkari dharma akan mengalami penderitaan. 2. Ia yang mencintai orang jahat dan menyenangi kejahatan serta tipu muslihat, tidak berbuat sesuatu yang menyenangkan orang baik. 3. Orang yang senang tidur, berfoya-foya, mudah tersinggung dan tidak bersemangat. 4. Orang yang dalam keadaan makmur, tetapi tidak menyokong ibu atau ayahnya yang telah tua dan lemah. 5. Ia yang dengan berbohong menipu seorang brahmana atau para orang suci lainnya. 6. Orang kaya yang berlimpah, namun hanya memakai untuk dirinya sendiri, tanpa membagikan kepada orang lain yang membutuhkannya. 7. Orang yang merasa sombong atas kekayaannya, keturunannya, sukunya bahkan merendahkan sanak saudaranya sendiri. 8. Ia yang menyerahkan diri pada wanita-wanita, minum-minuman keras, perjudian serta menghambur-hamburkan apa yang diperoleh dengan susah payah. 9. Orang yang tidak puas berhubungan dengan isterinya sendiri, berhubungan dengan wanita-wanita pelacur, serta terlihat bersama-sama dengan isteri orang lain. 10. Orang yang telah melewati masa mudanya, tetapi membawa pulang seorang wanita yang berpayudara seperti buah timbaru dan tidak dapat tidur karena merasa cemburu terhadap dia. 11. Ia yang memuliakan seorang wanita yang serakah, yang suka menghamburkan harta kekayaan, atau lelaki yang sejenis itu. 12. Ia yang memiliki sedikit kekayaan, tetapi mempunyai banyak keinginan. Dalam Sigalovada-Sutta (Digha Nikaya 31) diceritakan bagaimana Sang Buddha menaruh penghargaan besar terhadap penghidupan para upasaka/upasika, keluarga dan sahabat- sahabatnya. Seorang anak muda bernama Sigala mempunyai kebiasaan untuk memuja dan menghormati 6 arah, yaitu : Timur, Selatan, Barat, Utara, Nadir (bawah) dan Zenith (atas) sebagai bakti dan penghormatan kepada pesan ayahnya yang diberikan pada saat hendak menginggal dunia. Sang Buddha memberitahukan orang muda itu bahwa dalam ajaran-Nya tentang Ariyassa Vinaya (tata tertib para Ariya), enam penjuru itu mempunyai arti sebagai berikut : Timur berarti : Orang Tua Selatan berarti : Guru
  • 9. Barat berarti : Istri dan Anak-anak Utara berarti : Sahabat, Sanak keluarga dan para Tetangga Nadir berarti : Pelayan, Buruh dan Pegawai Zenith berarti : Para brahmana dan pertapa lainnya. “Orang harus memuja enam penjuru itu”, berkata Sang Buddha sambil memberikan tekanan khusus pada kata memuja (Namasseyya). Kalau orang memuja, tentu memuja sesuatu yang keramat, sesuatu yang ada harganya untuk dihormat dan dipuja. Enam kelompok orang-orang yang disebut diatas, dalam agama Buddha diperlakukan sebagai keramat, berharga untuk dihormati dan dipuja. Tetapi, bagaimana orang harus memuja mereka? Sang Buddha bersabda bahwa orang hanya dapat memuja mereka dengan jalan melakukan kewajiban kita terhadap mereka. Kewajiban ini diterangkan dalam pembicaraan Beliau dengan Sigala. Dengan cara pendekatan yang biasa dilakukan Buddhis, pertama kali Sang Buddha Mengajarkan Sigala dengan mengemukakan aspek negatif atau 14 hal yang harus dihindari, yaitu : 1. Empat cacat perilaku, yaitu : pembunuhan, pencurian, hubungan kelamin yang salah dan ucapan yang salah. 2. Empat dorongan melakukan kejahatan, yaitu : keinginan, kebencian, ketakutan dan kebodohan. 3. Enam saluran menghabiskan kekayaan, yaitu : minuman keras, judi, berkeluyuran dijalanan yang tidak pada waktunya, bergaul dengan wanita-wanita penghibur, teman yang jahat dan malas. Setelah Sang Buddha mengajarkan dan mengemukakan sila dalam aspek negatif dan empat jenis teman yang sejati yang palsu, kemudian mengajarkan sila dalam aspek positif dalam bentuk melakukan kewajiban kita kepada orang lain dalam lingkungan masyarakat yang terdiri dari enam kelompok : Orang tua (timur), Guru (selatan), Anak dan Istri (barat), Sahabat, Sanak keluarga dan para Tetangga (utara ), Pelayan atau Karyawan (bawah) dan Rohaniwan (atas). Masing-masing kelompok memiliki lima kewajiban yang harus dilaksanakan terhadap kelompok lain dalam lingkungan hidupnya yang dilambangkan dengan enam arah mata angin. Dalam kitab agama Buddha berbahasa Mandarin terdapat penambahan kewajiban-kewajiban isteri dan pelayan terhadap kepala keluarga yang selaras dengan budaya cina. Simbolisasi arah mata angin tersebut berasal dari kebudayaan India kuno. Kalau kita menghadap ketimur, tangan kanan berada diselatan (dakkhina), disebelah belakang adalah barat, tangan sebelah kiri berada diutara (uttara), dibawah kita adalah bawah (nadir), dan diatas kepala kita adalah zenith.Timur selalu dilambangkan sebagai pendahulu (pubba), seperti hari dimulai dengan terbitnya matahari dari Timur. Ayah dan ibu dipandang sebagai pendahulu, karena kehidupan dimulai setelah kelahiran dan kemudian dirawat oleh orang tua, sebaliknya barat berada dibelakang (pacchima), seperti matahari setelah lewat tengah hari berada dibarat, demikian pula anak dan istri mengikuti dari belakang. Tangan kanan yang berada disebelah selatan melambangkan guru yang layak menerima pemberian (dakkhineyya). Perkataan Dakhina berarti ‘selatan’ dan juga berarti ‘kanan’. Tangan kiri yang berada disebelah utara melambangkan sahabat, sanak keluarga dan tetangga.Uttara berarti ‘mengatasi’. Dengan bantuan sahabat dan sanak keluarga serta tetangga seseorang akan dapat mengatasi kesulitan (utttarati). Demikian juga dalam berusaha dan bekerja, seorang memerlukan bantuan pelayan dan karyawan, maka arah bawah kaki (nadir) melambangkan pelayan dan karyawan yang juga dihargai.Diperlukan pula bimbingan spiritual dari rohaniwan, maka arah atas kepala (zenith) melambangkan guru spritual yang dijunjungi tinggi diatas kepala.
  • 10. Dalam Sigalovada Sutta terlihat bagaimana Sang Buddha sendiri menaruh perhatian dan penghargaan besar terhadap penghidupan para upasaka dan upasika, keluarga serta sahabat- sahabatnya . bilamana masing-masing kelompok dalam masyarakat menjalankan kewajibannya sebagaimana diajarkan oleh Sang Buddha, maka akan terdapat masyarakat yang aman,tenteram dan sejahtera. Lebih jauh dalam Sigalovada Sutta terlihat bahwa Sang Buddha membahas jalan untuk kesejahteraan hingga terinci tentang bagaimana kepala keluarga harus menyimpan dan mengeluarkan uang. Sang Buddha memberitahukan kepada Sigala bahwa ia harus mengeluarkan seperempat dari penghasilannya untuk biaya sehari-hari, setengah bagian dimasukkan kedalam perusahaan sebagai tambahan modal kerja dan seperempat bagian lagi untuk pengeluaran yang tidak terduga, seperti sakit dan membantu orang yang memerlukan pertolongan. Sebagai salah satu sutta yang keseluruhannya mengandung sila atau etika untuk dilaksanakan umat Buddha. Sigalovada Sutta sangat penting dalam sejarah agama Buddha. Sigalovada Sutta merupakan ajaran sila tahap pertama untuk mencapai kehidupan surga dan tahap selanjutnya untuk perkembangan spiritual atau tahap untuk mencapai penerangan sempurna. Pada hakikatnya sila dalam Vagghapajja Sutta, Parabhava Sutta, dan Sigalovada Sutta adalah ajaran tentang sila yang dapat menimbulkan etika kerja atau etos kerja untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan kualitas hidup masyarakat. Pemahaman yang memadai tentang sila, etika dan moral dan bertekad melaksanakan sutta-sutta tersebut diatas akan membawa kemajuan dalam kehidupan sekarang dan akan datang, dapat mencegah tantangan dan ancaman dalam kehidupan di Era Globalisasi, kehidupan yang penuh materialistis, penuh konflik dan Sara, penuh ancaman disintegrasi Menyadari sila-sila tersebut diatas, seseorang umat hendaknya tidak melakukan perbuatan-perbuatan buruk yang merugikan dalam kehidupan sekarang dan yang akan datang baik bagi dirinya sendiri, bagi bangsanya maupun pada negaranya,