Analisis permasalahan Bidang Pedagogi MODUL 1.pptxWinaAyyuni2
Kompetensi guru yang pertama adalah kompetensi kepribadian. Kompetensi kepribadian adalah kemampuan personal yang dapat mencerminkan kepribadian seseorang yang dewasa, arif dan berwibawa, mantap, stabil, berakhlak mulia, serta dapat menjadi teladan yang baik bagi peserta didik.
Kompetensi kepribadian dibagi menjadi beberapa bagian, meliputi:
Kepribadian yang stabil dan mantap. Seorang guru harus bertindak sesuai dengan norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat, bangga menjadi seorang guru, serta konsisten dalam bertindak sesuai dengan norma yang berlaku.
Kepribadian yang dewasa. Seorang guru harus menampilkan sifat mandiri dalam melakukan tindakan sebagai seorang pendidik dan memiliki etos kerja yang tinggi sebagai guru.
Kepribadian yang arif. Seorang pendidik harus menampilkan tindakan berdasarkan manfaat bagi peserta didik, sekolah dan juga masyarakat serta menunjukkan keterbukaan dalam berpikir dan melakukan tindakan.
Kepribadian yang berwibawa. Seorang guru harus mempunyai perilaku yang dapat memberikan pengaruh positif dan disegani oleh peserta didik.
Memiliki akhlak mulia dan menjadi teladan. Seorang guru harus bertindak sesuai dengan norma yang berlaku (iman dan taqwa, jujur, ikhlas, suka menolong) dan dapat diteladani oleh peserta didik.
Kompetensi pedagogik yaitu kemampuan seorang guru dalam memahami peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, pengembangan peserta didik, dan evaluasi hasil belajar peserta didik untuk mengaktualisasi potensi yang mereka miliki.
Kompetensi pedagogik dibagi menjadi beberapa bagian, diantaranya sebagai berikut:
Dapat memahami peserta didik dengan lebih mendalam. Dalam hal ini, seorang guru harus memahami peserta didik dengan cara memanfaatkan prinsip-prinsip kepribadian, perkembangan kognitif, dan mengidentifikasi bekal untuk mengajar peserta didik.
Melakukan rancangan pembelajaran. Guru harus memahami landasan pendidikan untuk kepentingan pembelajaran, seperti menerapkan teori belajar dan pembelajaran, memahami landasan pendidikan, menentukan strategi pembelajaran didasarkan dari karakteristik peserta didik, materi ajar, kompetensi yang ingin dicapai, serta menyusun rancangan pembelajaran.
Melaksanakan pembelajaran. Seorang guru harus dapat menata latar pembelajaran serta melaksanakan pembelajaran secara kondusif.
Merancang dan mengevaluasi pembelajaran. Guru harus mampu merancang dan mengevaluasi proses dan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan dengan menggunakan metode, melakukan analisis evaluasi proses dan hasil belajar agar dapat menentukan tingkat ketuntasan belajar peserta didik, serta memanfaatkan hasil penilaian untuk memperbaiki program pembelajaran.
Mengembangkan peserta didik sebagai aktualisasi berbagai potensi peserta didik. Seorang guru mampu memberikan fasilitas untuk peserta didik agar dapat mengembangkan potensi akademik dan nonakademik yang mereka miliki.
Kompetensi guru selanjutnya adalah kompetensi sosial. Kompetensi sosial yaitu kemampuan yang
Analisis permasalahan Bidang Pedagogi MODUL 1.pptxWinaAyyuni2
Kompetensi guru yang pertama adalah kompetensi kepribadian. Kompetensi kepribadian adalah kemampuan personal yang dapat mencerminkan kepribadian seseorang yang dewasa, arif dan berwibawa, mantap, stabil, berakhlak mulia, serta dapat menjadi teladan yang baik bagi peserta didik.
Kompetensi kepribadian dibagi menjadi beberapa bagian, meliputi:
Kepribadian yang stabil dan mantap. Seorang guru harus bertindak sesuai dengan norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat, bangga menjadi seorang guru, serta konsisten dalam bertindak sesuai dengan norma yang berlaku.
Kepribadian yang dewasa. Seorang guru harus menampilkan sifat mandiri dalam melakukan tindakan sebagai seorang pendidik dan memiliki etos kerja yang tinggi sebagai guru.
Kepribadian yang arif. Seorang pendidik harus menampilkan tindakan berdasarkan manfaat bagi peserta didik, sekolah dan juga masyarakat serta menunjukkan keterbukaan dalam berpikir dan melakukan tindakan.
Kepribadian yang berwibawa. Seorang guru harus mempunyai perilaku yang dapat memberikan pengaruh positif dan disegani oleh peserta didik.
Memiliki akhlak mulia dan menjadi teladan. Seorang guru harus bertindak sesuai dengan norma yang berlaku (iman dan taqwa, jujur, ikhlas, suka menolong) dan dapat diteladani oleh peserta didik.
Kompetensi pedagogik yaitu kemampuan seorang guru dalam memahami peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, pengembangan peserta didik, dan evaluasi hasil belajar peserta didik untuk mengaktualisasi potensi yang mereka miliki.
Kompetensi pedagogik dibagi menjadi beberapa bagian, diantaranya sebagai berikut:
Dapat memahami peserta didik dengan lebih mendalam. Dalam hal ini, seorang guru harus memahami peserta didik dengan cara memanfaatkan prinsip-prinsip kepribadian, perkembangan kognitif, dan mengidentifikasi bekal untuk mengajar peserta didik.
Melakukan rancangan pembelajaran. Guru harus memahami landasan pendidikan untuk kepentingan pembelajaran, seperti menerapkan teori belajar dan pembelajaran, memahami landasan pendidikan, menentukan strategi pembelajaran didasarkan dari karakteristik peserta didik, materi ajar, kompetensi yang ingin dicapai, serta menyusun rancangan pembelajaran.
Melaksanakan pembelajaran. Seorang guru harus dapat menata latar pembelajaran serta melaksanakan pembelajaran secara kondusif.
Merancang dan mengevaluasi pembelajaran. Guru harus mampu merancang dan mengevaluasi proses dan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan dengan menggunakan metode, melakukan analisis evaluasi proses dan hasil belajar agar dapat menentukan tingkat ketuntasan belajar peserta didik, serta memanfaatkan hasil penilaian untuk memperbaiki program pembelajaran.
Mengembangkan peserta didik sebagai aktualisasi berbagai potensi peserta didik. Seorang guru mampu memberikan fasilitas untuk peserta didik agar dapat mengembangkan potensi akademik dan nonakademik yang mereka miliki.
Kompetensi guru selanjutnya adalah kompetensi sosial. Kompetensi sosial yaitu kemampuan yang
Mengembangkan isi kurikulum Pendidikan Kejuruan M Agung Prabowo
Presentasi ini adalah salah satu tugas mata kuliah pascasarjana pendidikan teknologi kejuruan angkatan 2013 yang berisikan tentang mengembangkan isi kurikulum pendidikan kejuruan. Dibuat oleh: Agung prabowo, reza, mega hadinata, yeni yulianti, dan yohannes agatha
1. SERTIFIKASI GURU DALAM JABATAN
PENDIDIKAN DAN LATIHAN PROFESI GURU
(PLPG)
MODUL
BIDANG STUDI
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
OLEH
TIM INSTRUKTUR
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
LPTK RAYON-17
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2008
2. KATA PENGANTAR
Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) diselenggarakan dan diperuntukan bagi guru yang
tidak lulus dalam penilaian portofolio. PLPG memiliki tujuan (1) untuk meningkatkan kompetensi dan
profesionalitas guru peserta sertifikasi yang belum mencapai batas minimal skor kelulusan melalui
penilaian portofolio (2) untuk menentukan kelulusan peserta sertifikasi guru melalui uji kompetensi
diakhir PLPG.
PLPG diselenggarakan selama 90 jam dengan materi terdiri dari:
A. Umum, yaitu Pengembangan Profesionalitas Guru sebanyak 4 jam teori.
B. Pokok, yaitu (1) Pendalaman materi (8 jam teori dan 12 jam praktek), (2) Model-model Pembelajaran
(10 jam teori dan 12 jam praktek), (3) Penelitian Tindakan Kelas (4 jam teori dan 6 jam praktek), (4)
Pelaksanaan Pembelajaran/ Peer Teaching (30 jam praktek dengan 2 kali latihan mengajar dan yang
ke 3 ujian).
C. Ujian tulis sebanyak 4 jam pelajaran.
Untuk memperlancar proses pembelajaran selama PLPG, maka peserta diberi modul. Modul materi
untuk Rayon_17 disusun oleh Tim Instruktur masing-masing bidang studi asesor/ instruktur. Oleh karena
itu, kepada semua tim penyusun modul dihaturkan ucapan terima kasih atas kerjasamanya. Semoga modul
yang disiapkan untuk PLPG bermanfaat bagi para peserta.
Kepada para peserta PLPG diharapkan dapat mengikuti proses pelatihan sebaik-baiknya dan
memanfaatkan modul yang disediakan. Semoga apa yang dikerjakan bermanfaat dan membawa
pendidikan di Indonesia lebih baik khususnya di Propinsi Kalimantan Selatan.
Banjarmasin, Nopember 2008
Ketua Pelaksana Sertifikasi Guru dalam Jabatan
Drs. H. Ahmad Sofyan, MA
NIP. 130 606 623
3. STANDAR KOMPETENSI GURU DAN DOSEN
( Permen N0.16 Th.2007 )
A. Kompetensi Pedagogik:
1. Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek :
- fisik
- moral
- sosial
- kultural
- emosional- intelektual
2. Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik
3. Menguasai kurikulum yang terkait dengan bidang pengembangan yang diampu
4.
Terampil melakukan kegiatan pengembangan yang mendidik
5.
Memanfaatkan teknologi informasi dan kumonikasi untuk kepentingan
penyelenggaraan kegiatan pengembangan yang mendidik.
6.
Memfasilitasi pengebangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan
berbagai potensi yang dimiliki.
7. Berkomunikasi secara efektif
4. BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Modul merupakan salah satu perangkat pembelajaran yang cukup penting kedudukan dan
perannya dalam kegiatan Proses Belajar Mengajar. Pentingnya modul didasarkan pada suatu
pandangan bahwa potensi belajar manusia bervariasi, seperti potensi melihat, mendengar, membaca
dll. Dengan demikian, potensi yang bervariasi itu bisa dimanfaatkan untuk membantu meningkatkan
kemampuan belajar seseorang, sehingga pencapaian hasil belajar dapat lebih maksimal.
Sehubungan dengan pentingnya kedudukan dan peranan modul, maka sangatlah dibutuhkan
dalam Pendidikan dan Latihan Profesionalisme Guru sebuah modul untuk membantu kemudahan
dalam memahami aspek-aspek yang dipelajari. Dengan demikian pencapaian tujuan pendidikan dan
latihan yang dilaksanakan akan dapat lebih maksimal sebagai mana diharapkan.
Pendidikan dan Latihan Profesionalisme Guru bidang studi Pendidikan Kewarganegaraan
dilaksanakan sebagai suatu tindaklanjut kebijakan sertifikasi guru dalam rangka pemberian “sertifikat
profesional guru”, tentunya dilaksanakan pada bidangnya masing-masing. Oleh karena itu Modul
Diklat PLPG ini materinya merupakan cerminan dari bidang Pendidikan Kewarganegaraan, yang di
dalamnya mencakup aspek Politik Kenegaraan, Hukum dan Sosial Budaya.
Bagian utama modul ini memuat tentang aspek “Politik Kenegaraan”, dalam aspek ini
dikembangkan meliputi uraian Pancasila dan Undang-Undang Dasar sebagai landasan falsafah dan
konstitusi kehidupan bernegar, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Kedua aspek ini merupakan yang
sangat mendasar yang perlu dipahami dan dikembangkan dalam kehidupan warga negara sehingga,
pada modul ini didahulukan dalam deskripsi.
Bagian kedua tentang modul memuat tentang aspek “Hukum”, dan pada aspek ini yang
dideskripsikan adalah tentang Sistem Hukum Indonesia. Deskripsi ini meliputi tentang bagaimana
memahami hukum sebagai suatu bagian sistem dalam kehidupan sosial, karakteristik tentang sistem
hukum Indonesia, serta deskripsi tentang bagaimana implementasi sistem hukum di Indonesia dalam
sebuah negara hukum sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi.
5. Bagian ketiga modul menjelaskan tentang aspek “Sosial dan Budaya” Pada aspek ini yang
dideskrepsikan meliputi aspek-aspek hakekat manusia, manusia dan budaya, teori-teori kebudayaan,
teori masyarakat dan perubahan sosial budaya. Materi bagian ini tentunya sangat penting dan
mendasar untuk dipahami karena bangsa Indonesia merupakan sebagai bangsa yang pluralistik
keadaan masyarakatnya, dengan dinamika kehidupan bangsa yang terus mengalami perkembangan
dan perubahan-perubahan dalam berbagai aspek. Oleh karena itu pada tulisan bagian ini juga
dikemukakan perubahan-perubahan sosial budaya dengan segala faktornya serta konsekuensi yang
menyertainya dari sudut pandang teoritik. Dengan uraian pada bagian ketiga ini dapat semakin
diperkaya wawasan tentang keadaan yang sesungguhnya mengenai kehidupan masyarakat dan bangsa
Indonesia. Pembekalan ini menjadi penting untuk diberikan pada para guru khususnya guru
Pendidikan Kewarganegaraan.
2. Tujuan
Secara umum modul ini dirancang untuk memberikan pemecahan dan membuka wawasan para
guru Pendidikan Kewarganegaraan pada tingkat sekolah sehingga para guru dapat diperkaya wawasan
pengetahuan utnuk meningkatkan profesionalisme pendidikan dan pengajaran sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang Guru dan Dosen yang menegaskan bahwa Guru merupakan
pekerja profesional.
Secara lebih khusus, modul ini dibuat dalam rangka memberikan acuan bahan/materi pada
Pendidikan dan Latihan Profesi Guru Pendidikan Kewarganegaraan, dan tujuan dibuatnya modul ini
adalah:
a. Menambah dan memperkaya wawasan guru Pendidikan Kewarganegaraan tentang keadaaan
politik kenegaraan Indonesia baik yang bersifat teoritik maupun praktek dengan segala
problemantikanya.
b. Menambah dan memperkaya wawasan guru Pendidikan Kewarganegaraan tentang Demokrasi
dan Hak Asasi Manusia baik secara teoritik maupun praktik dengan segala problemantikanya
yang terjadi dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia.
c. Menambah dan memperkaya wawasan guru Pendidikan Kewarganegaraan tentang sistem hukum
Indonesia baik dalam pandangan teoritik yang telah berlangsung dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
6. d. Menambah dan memperkaya wawasan guru Pendidikan Kewarganegaraan tentang berbagai
problema berdasarkan tentang praktek hukum yang terjadi dalam kehidupan bangsa Indonesia,
baik dalam kehidupan masyarakat maupun yang terjadi pada lembaga-lembaga hukum yang ada
yang selama ini telah dirasakan sebagai suatu persoalan yang memperihatinkan.
e. Menambah dan memperkaya wawasan guru Pendidikan Kewarganegaraan tentang keadaan sosial
budaya bangsa Indonesia, baik menyangkut aspek struktur, kultur dan keadaan dinamikanya
dalam paradikma teoritik.
f.
Menambah dan memperkaya wawasan guru Pendidikan Kewarganegaraan tentang berbagai
problema yang sedang dihadapi bangsa Indonesia dalam konteks globalisasi dengan segala
permasalahan yang menyertainya.
Penguasaaan materi yang dikembangkan dalam modul ini merupakan bagian integral yang
sangat mendasar dan tidak terpisahkan dari materi ajar untuk dunia persekolahan khususnya untuk
bidang studi Pendidikan Kewarganegaraan. Oleh karena itu modul materi ini sangat urgen untuk
diberikan dalam Pendidikan dan Latihan Profesi Guru khususnya untuk guru Pendidikan
Kewarganegaraan.
7. BAB II
PANCASILA DAN UUD 1945
A. Penetapan Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945
Istilah Pancasila dipopolerkan oleh Soekarno dalam sidang BPUPKI ketika merumuskan
rancangan dasar negara. Dijelaskan bahwa Istilah Pancasila telah didapatkan oleh Soekarno dari
seorang ahli bahasa yang mengatakan bahwa istilah Pancasila telah ditemukan dalam pustaka sejarah
telah dikenal sejak zaman Majapahit yaitu dalam buku kitab Sutasoma karangan Empu
Prapanca.Pancasila yang berasal dari dua suku kata yaitu panca dan sila. Panca artinya lima, Sila
artinya aturan atau karma. Dalam masa Majapahit Pancasila merupakan lima pelaksanaan
Kesusilaan dengan nama Pancasila Krama sebagaimana dikutip Darji. D. Dkk (1988) yaitu:
1. Tidak boleh melakukan kekerasan
2. Tidak boleh mencuri
3. Tidak boleh dengki
4. Tidak boleh berbohong
5. Tidak mabuk minuman keras
Lima ajaran atau lima nilai-nilaai dasar yang dijadikaan sebagai pedoman hidup tidak hanya
ditemukan dalam kitab Sutasoma, melaikan juga terdapat dalam ajaran agama yang menjadi dasar
kehidupan bagi penganut agama yang bersangkutan seperti:
Dalam agama terdapat ( lima nilai dasar) yaitu rukun Islam dan rukun iman yang wajib
dilakukan setiap umat musli sesuai dengan kemampuannya yaitu:
1.Mengucapkan kalimat syahadat
2.Melaksanakan Sholat (sembahyang)
3.Mengeluarkan zakat
4.Melaksanakan puasa ramadhan
8. 5.Melaksanakan ibadah haji
Dalam agama Budha terdapat 5 ajaran yang harus dipatuhi oleh setiap umat Budha yaitu:
1.Hyang Budha tan pahi Civa Raja Dewa
2. Rwaneka dhatu winiwus wara Budhaa wicwa
3.Bhinneka rakwa ring apan kena perwaanosen
4.Mangka Jinatwa lawan Civa tatwa tanggal
5.Binneka Tunggal iIka tan hana dhaarma wangrwa
Artinya:
1.Hyang Budha tidak berbeda dengan Hyang Civa, sang raja dewa
2.Keduanya disebutkan memilki sejumlah banyak anasir dunia, Budha
yang tinggi keduudukannya ini adalah dunia semesta alam
3.Dapatkah kedua mereka yang dapat dibedakan ini dipisahkan menjadi dua
4.Keadaannya (Hyang Budha) dan Hyang Civa itu hanyalah satu
5.Mreka itu dapat dibedakan, tetapi sesungguhnya satu, menurut hukum agama tidak ada
keduaan.
BPUPKI adalah lembaga bentukan Jepang yang dimaksudkan untuk memberikan keyakinan
kepada bangsa Indonesia bahwa Jepang tidak sekedar menjanjikan kemerdekaan untuk bangsa
Indonesia, meskipun pembentukan ini berisi muatan politik karena satu sisi Jepang sudah sangat
terdesak oleh Sekutu dan berharap akan bantuan bangsa Indonesia.
Kesempatan yang diberikan Jepang tidak disia-siakan oleh para tokoh intelektual pejuang
Indonesia dan memanfaatkan sidang BPUPKI untuk membahas agenda penting yakni tentang Dasar
Negara untuk berdirinya suatu Negara yang merdeka dengan kondisi yang bhineka dalam kehidupan
bangsa Indonesia. Dalam sidang tanggal 29 Mei sampai 1 Juni 1945 dibahas tentang rencana Dasar
Negara, dengan pembicara utama adalah Mr. M. Yamin, Prof. Dr. Soepomo, dan Ir. Soekarno.
Ketiganya menyampaikan lima dasar Negara dengan rumusan berbeda. Namun hanya Soekarno yang
9. menyebutkan kelima dasar itu diberikan nama Pancasila. Karena itu pada masa Orde Lama 1 Juni
diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila yang diambil dari momentum pidato Ir. Suekarno dalam
Sidang BPUPKI.
1. Sidang Pertama
a. Hari pertama tanggal 29 Mei 1945 ( M.Yamin )
Sidang hari pertama pembicara rancangan Dasar Negara disampaikan oleh
M.Yamin
yang mengusulkan Dasar Negara dalam dua susunan yang berbeda antara uraian dalam pidato
dan naskah tertulis yaitu:
Rancangan Dasar Negara oleh M.Yamin
N0
Rumusan lisan ( pidato )
Rumusan naskah tertulis
1
Perikebangsaan
Ketuhanan Yang Maha Esa
2
Perikemanausiaan
Kebangsaan Persatuan Indonesia
3
Periketuhanan
Rasa Kemanusiaan yang adil dan beradab
4
Perikerakyatan
Kerakyatan
yang
dipimpin
oleh
hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawataan perwakilan.
5
Kesejahteraan rakyat
Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
M.Yamin, selain mengusulkaan naskah rancangan Dasar Negara juga
mengusulkan agar Dasar Negara tersebut dimuat dalam Pembukaan UUD Negara RI
dengan rumusan sbb:
UNTUK MEMBENTUK PEMERINTAHAN NEGARA INDONESIA YG MELINDUNGI
SEGENAP BANGSA INDONESIA DAN SELURUH TUMPAH DARAH INDONESIA,
MEMAJUKAN KESEJAHTERAAN UMUM, MENCERDASKAN KEHIDUPAN BANGSA,
MENYUBURKAN HIDUP KEKELUARGAAN
, DAN IKUT SERTA MELAKSANAKAN KETERTIBAN
DUNIA BERDASARKAN PERDAMAIAN ABADI DAN KEADILAN SOSIAL, MAKA
DISUSUNLAH KEMERDEKAAN KEBANGSAAN INDONMESIA DALAM SUATU UUD
10. NEGARA INDONESIA, YANG TERBENTUK DALAM SUATU SUSUNAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA YG BERKDAULATAN RAKYAT DENGAN BERDASAR
KEPADA. KEPADA :KETUHANAN YME, KEBANGSAAN PERSATUAN INDONESIA,
DAN RASA KEMANUSIAAN YG ADIL DAN BERADAB, KERAKYATAN YG DIPIMPIN
OLEH HIKMAT KEBIJAKSANAAN DALAM PERMUSYA WARATAN PERWAKILAN,
DENGAN MEWUJUDKAN KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA..
b. Hari ketiga tanggal 31 Mei 1945 ( Soepomo )
Soepomo, menyampaikan rancangan rumusan Dasar Negara pada hari ketiga sidang
BPUPKI memberikan urai tentang konsep nilai-nilai dasar bagi Negara Indonesia merdeka. Dari
urai yang telaah disampaikan dapat disimpulkan bahwa dasar Negara Indonesia merdeka terdari
dari lima nilai dasar yaitu:
1.PAHAM KEBANGSAAN
2.KETUHANAN
3.KERAKYATAN
4.KEKELUARGAAN
5.INTERNASIONALISME
c. Hari ke empat tanaggal 1 Juni 1945
Hari ke empat merupakan hari terakhir masa sidang petama BPUPKI dalam rangka
merumuskan konsep Dasar Negara Indonesia yang akan diproklamasikan. Hari ke empat
Soekarno menyampaikan konsep dasar negara yang terdiri dari lima sila dan menjelaskan arti dari
makna yang terkandung dalam istilah Pancasila yang diperoleh dari seorang ahli bahasa.
Pancasila berasal dari bahasa sanksekerta yang terdiri dari Panca berarti lima dan Sila berarti
dasar ( Pancasila berarti Lima Dasar ). Selaian itu pula disebutkan bahwa lima nilai dasar sebagai
mana terdapat dalam agama Islam dan Budha, maka diharapkan dengan dasar negara Pancasila
juga diharapkan dapat dipatuhi oleh setiap warga negara Indonesia sebagai nilai dasar dalam
kehidupan berbangsa dana bernegara.
11. No
1
Pancasila
Paham Kebangsaan
Tri Sila
Sosio Nasionalisme
Eka Sila
Gotong royong
( perpaduan sila 1 & 2 )
2
Ketuhanan
Sosio Demokrasi
( perpaduan sila 3 & 4 )
3
Kerakyatan
4
Kekeluargaan
5
Ketuhanan
Internasionalisme
Peringatan hari lahir Pancasila 1 Juni dianggap tidak relevan lagi pada masa Orde Baru, dan
diganti dengan peringataan Hari Kesaktian Pancasila setiap tanggal 1 Oktober, dengan mengambil
momentum bahwa G 30 September gagal berkat dukungan dan pembelaan Pancasila yang mulai
bergerak pada tanggal 1 Oktober 1965. Pada era reformasi sikap pemerintah tidak setegas Orde Lama
maupun Orde Baru dalam menyikapi kedua momentum tersebut. Dalam situasi demikian peran guru
PKn dituntut kritis sehingga para siswa tidak kebingungan mengingat dengan era sekarang banyak
buku yang saling kontradiktif menyikapi pergeseran kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru,
termasuk tentang hari lahirnya Pancasila.
Dalamkan menyusun rumursan Dasar Negara atas dasar hasil siding BPUPKI yang pertama
tanggal 29 Mei – 1 Juni 1945, BPUPKI membentuk Panitia Sembilan, yang diketuai oleh Ir.
Soekarno, dan pelaksanaan sidang pada tanggal 22 Juni 1945 berhasil dengan rumusan Piagam
Jakarta, dengan rumusan Pancasila yang hampir sama dengan Pancasila dalam pembukaan UUD
1945, dengan perbedaan rumusan mendasar pada sila pertama, yaitu Ketuhanan, dengan kewajiban
12. menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Dalam sidang BPUPKI tanggal 14 Juni 1945
Piagam Jakarta disepakati untuk menjadi Dasar Negara dan pembukaan dari Rancangan UndangUndang Dasar yang dipersiapkan untuk Negara Indonesia merdeka.
Dengan makin terdesaknya Jepang oleh Sekutu, Jepang membentuk Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang diketuai oleh Ir. Soekarno dan wakilnya Drs. Moh. Hatta.
Setelah Jepang menyerah pada Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945, keadaan ini menjadikan
kekosongan kekuasaan di Indonesia, dan kesempatan ini digunakan untuk mewujudkan Kemerdekaan
Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, yang diproklamasikaan oleh Soekarno – Hatta
sebagai Ketua dan Wakil Ketua PPKI atas nama Bangsa Indonesia yang diwakili oleh SoekarnoHatta. Esok harinya tanggal 18 Agustus 1945 PPKI mengadakan sidang dengan keputusan sebagai
berikut:
1. Mengesahkan Undang-Undang Dasar Negara ( yang kemudian dikenal dengan UUD 1945)
2. Memilih Presiden dan Wakil Presiden, yaitu Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta.
3. Presiden untuk sementara waktu akan dibantu oleh sebuah Komite Nasional.
Dengan ditetapkannya UUD 1945 di mana dalam pembukaan termuat lima dasar Negara dan
lima dasar Negara ini meskipun dalam pembukaan tidak ada kata-kata Pancasila, lima dasar yang
dimaksud adalah Pancasila sebagai dasar Negara sekarang. Dengan rumusan sila pertama Ketuhanan
Yang Maha Esa, yang merupakan rumusan dari Piagam Jakarta. Rumusan ini merupakan hasil
kompromis dengan mediator Moh. Hatta. Karena itu bila generasi muda sekarang masih
mempertanyakan hasil kompromi yang dipaksa sebenarnya ini hasil maksimal. Bila kita
menginginkan Indonesia besar maka upaya mengotak atik kembali sila pertama Pancasila tidak lagi
relevan. Tapi bila ada orang Indonesia yang terpengaruh dan menyakini ideologi lain dan ingin
mengembangkan di Indonesia secara tidak langsung orang itu sadar atau tidak sadar menginginkan
Negara Indonesia Proklamasi bubar, karena di Indonesia akan berdiri berbagai Negara dengan
dominasi kultur masing-masing suku bangsa yang merasa mampu berdiri sebagai Negara Indonesia.
Dengan berlakunya UUD 1945 awal Proklamasi sampai sekarang dan beberapa amandemen,
maka polemik lahirnya Pancasila sebagai dasar Negara dapat kita perjelas sebagai berikut. Kita bicara
Pancasila adalah Pancasila yang mana, demikian juga jasa Bung Karno menamai dasar Negara
Pancasila perlu kita hormati, karena sampai sekarang kata Pancasila sebagaimana disebut-sebut
Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 memang tidak tersurat, sebagaimana kutipan sebagai
berikut,”... Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat berdasakan kepada: Ketuhanan Yang Maha
13. Esa, kemanusiaan yang beradil dan beradab, persatuaan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ parwakilan, serta dengan mewujudkan keailan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.” Wacana ini dapat kita diskusikan namun guru harus dapat
menghasilkan kesimpulan sehingga siswa yang sedang berkembang jangan dibiarkan bingung.
Misalnya istilah Pancasila sebagai dasar Negara dicetuskan Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945.
Pancasila sebagai dasar Negara yang berlaku sekarang ditetapkan pertama tanggal 18 Agustus 1945
sebagai satu rangkaiaan dengan penetapan UUD Negara Indonesia Proklamasi.
Pengertian dan Fungsi Pancasila sebagai:
1. Pancasila sebagai Jiwa Bangsa
2. Pancasila sebagai Dasar Negara
3. Pancasila sebagai Ideologi Negara
4. Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa
5. Pancasila sebagai Falsafah Bangsa
B. Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa
Pandangan hidup adalah kristalisasi dan institusionalisasi dari nilai-nilai yang dimiliki, yang
diyakini keberadaannya dan menimbulkan tekad untuk mewujudkannya. Dengan pandangan hidup
inilah suatu bangsa akan memandang persoalan yang dihadapi dan menetukan arah pemecahan secara
tepat sesuai dengan yang diyakini. Tanpa memiliki pandangan hidup, suatu bangsa akan terombang
ambing dalam menghadapi persoalan baik dalam pemecahan masalah dalam negeri atau masalah
yang berhubungan dengan dunia luar.
Bangsa Indonesia termasuk bangsa yang mampu menggali pandangan hidup dari nilai-nilai
luhur bangsa yang bersifat universal sebagaimana sila pertama, dan kedua yang merupakan
pangakuan bangsa Indonesia kepada Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan semua manusia, bukan hanya
Tuhan bagi bangsa Indonesia. Kemanusiaan yang adil dan beradabadalah cermin pengakuan bangsa
Indonesia bahwa bangsa Indonesia yang merdeka merupakan bagian bangsa-bangsa di seluruh dunia
dengan kedudukan harkat dan martabat yang sama. Pancasila mulai sila ketiga sampai kelima adalah
cara pandang bangsa Indonesia dengan titik berat sebagai bangsa yang merdeka dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang berdaulat dan berkewajiban mewujudkan
keadilan bagi bangsa Indonesia.
14. Dengan Pancasila kita bangsa Indonesia mendapatkan arah untuk semua kegiatan dan
aktivitas kehidupan sehari-hari dalam mengatasi berbagai hambatan, tantangan, aancamaan dan
gangguan. Untuk itu sudah seharusnya bangsa Indonesia di dalam setiap sikap dan perilaku dalam
kehidupan sehari-hari harus mencerminkan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila serta
mengamalkan niali-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Memang pengalaman/pelanggaran
nilai Pancasila dalam membangun kehidupan yang harmonis sesama manusia meski tidak semua
terikat dengan hukum positif. Kita perlu memahami menyadari bahwa mengamalkan nilai umum
Pancasila, apabila kita meyakini bahwa nilai Pancasila tidak bertentangan dengan norma agama,
norma kesusilaan, norma kesopanan, adat kebiasaan serta tidak bertentangan dengan norma hukum.
Pengamalan dasar ini merupakan pengamalan yang bersifat subyektif, dengan bidang yang sangat
luas dimana setiap orang dapat mengklaim telah mengamalkan Pancasila dengan pola yang berbeda
tanpa harus menghina dan menjelekkan pihak lain. Secara obyektif seseorang beragama dan dijamin
di Indonesia dan secara subyektif masing-masing mengamalkan dengan keyakinan masing-masing.
C. Pancasila sebagai Dasar Negara
Dasar Negara merupakan landasan penyelenggaraan pemerintahan Negara bagi setiap Negara.
Bagi bangsa Indonesia Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 telah ditetapkan
sebagai dasar Negara atau idiologi Negara, yang berarti Pancasila dijadikan dasar penyelenggara
Negara. Sebagai landasan bagi penyelenggara Negara Pancasila diformulasikan dalam bentukan
aturan sebagaimana tercermin dalam pasal-pasal yang tercantum dalam UUD 1945.
Meski secara tersurat Pembukaan UUD 1945 tidak pernah menyebutkan Pancasila dan hanya
menyebutkan sila-sila mulai sila pertama sampai sila kelima, Sila-sila tersebut telah diakui sebagai
dasar Negara Indonesia. Pancasila sebagai dasar Negara yang diimplementasikan ke dalam peraturan
perundang-undang yang mempunyai sifat imperative, yaitu mengikat dan memaksa semua warga
negara untuk tunduk kepada Pancasila, dan siapa yang melanggar Pancasila sebagai dasar Negara
dapat ditindak berdasarkan aturan hukum yang berlaku di Indonesia.
Penegasan Pancasila sebagai dasar Negara dan Sumber hukum sebagaimana ditetapkan dalam
Tap MPRS No.XX/MPRS/1966, tentang tata urutan perundang-undangan. Dalam era reformasi Tap
No.XX/MPRS/1966 diubah dengan ketetapan MPR No.III/MPR/2000, Pancasila sebagai sumber
hukum dan tata urutan perundang-undangan yang harus menyesuaikan dengan UU No.22 Tahun
15. 1999, jomto UU N0.32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, khususnya adanya Daerah
Otonom dan Otonomi Daerah, maka terjadilah perubahan tentang tata urutan perundang-undangan RI
Perkembangan
tata
urutan
perundang-perundangan
mengalami
pergeseran,
dengan
ditetapkannya Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Tata Urutan Perundang-Undangan RI.
Hal ini adanya pandangan dengan adanya pergeseran kedudukan, tugas, dan fungsi MPR-RI dan
ketetpan MPR lebih bersifat berupa keputusan-keputusaan yang hanya mengikat ke dalam, maka
Ketetapan MPR dipandang tidak relevan dijadikan sebagai bagian dari tata urutan perundangundangan.
Selanjutnya mengingat adanya beberapa ketetapan MPR yang masih berlaku dan masih
dimungkinnya ketetapan MPR seperti ketika melaksanakan impeachment ( ps.7B ayat 1 – 5 UUD
1945) diperlukannya melalui Ketetapan MPR. Untuk itu UU No.12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Bab II Ps.7 (1) herarki peraturan perundangundang sbb:
Tap.MPRS No.XX/66
Tap.MPR No.III/2000
UU No.10 Tahun 2004
UU N0.12 Tahun 2011
1 UUD 1945
UUD 1945
UUD 1945
UUD 1945
2 TAP. MPR
TAP. MPR
UU / PERPU
TAP. MPR
3 UU / PERPU
UU
PP
UU / PERPU
4 PP
PERPU
PERPRES
PP
5 KEPRES
PP
PERDA
PERPRES
6 PERMEN
KEPRES
-------------
PERDA PROV
7 ------------------
PERDA
--------------
PERDA KOTA/KAB
Sebagai sumber hukum, maka peraturan perundang-undangan di
Indonesia tidak boleh saling bertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi dan nilai-nilai Pancasila. Jika terjadi pertentangan antara UU dgn
UUD 1945 maka Mahkamah Konstitusi ( MK ) berwenang untuk
mengujinya sebagai mana terdapat dalam ps. 24 C ayat 1 dan 2 UUD 1945
16. dan Bab II ps.10 ayat 1 dan 2 UU No.24 Tahun 2003,tentang kewenangan
dan
kewajiban
Mahkamah
Konstitusi.
Akan
tetapi
jika
terjadi
pertentangan antara peraturan di bawah UU ( PP dan Kepres,) ,
kewenagan untuk mengujinya berada pada MA, selanjutnya jika terdapat
pertentangan antara Perda dengan peraturan tingkat pusat, Menteri
Dalam Negeri berwenang untuk menguji dan meminta pembatalan.
Nilai ialah suatu sifat yang melekat sesuatu atau benda berupa: makna, kegunaan, arti atau harga yang
dapat diukur dengan uang mengandung keindahan, atau sesuatu yang
Notonegoro, dalam Darji. Dkk (1978) mencakup:
1. Nilai materiil, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia yang diukur dengan
kebendaan atau sesuatu yang dapat diukur dengan uang.
2. Nilai vital, yaitu segala sesuatu fotensi yang dimiliki yang dapat dikembangkan sehingga
dapat mendatangkan kegunaan bagi kehidupan selanjutnya.
3. Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia yang terbagi atas:
a.
Nilai Logika yaitu berkenaan dengan nilai kebenaran yang bersumber
kepada akal manusia,
b.
Nilai Etika yaitu berkenaan dengan nilai kebaikan ( moral )yang
bersumber pada norma
c.
Nilai Estitika yaitu berkenaan dengan nilai keindahan yang bersumber
pada unsur rasa
d.
Nilai Religius yaitu nilai Ketuhanan ( ketaqwaan ) yang bersumber pada
keimanan..
Berdasarkan penggolongan di atas maka Pancasila merupakan krestalisasi dari nilai-nilai
rohani, namun demikian Pancasila juga mengakui keseimbanngan antara nilai rohaniah dan
materil
dengan menempatkan nilai Ketuhanan sebagai nilai tertinggi yang tersusun secara
sistematis-hirarkis, yaitu:
17. 1. Sila pertama menjiwai sila kedua, ketiga, keempat dan kelima
2. Sila kedua dijiwai oleh sila kesatu, serta menjiwai sila ketiga, keempat dan kelima
3.
Sila ke tiga dijiwai oleh sila kesatu, dan kedua, serta menjiwai sila keempat dan kelima
4. Sila keempat dijiwai oleh sila kesatu, kedua, dan ketiga, serta menjiwai sila kelima
5. Sila kelima dijiwai sila pertama, kedua, ketiga dan keempat.
Oleh sebab itu dalam pengamalan Pancasila harus dilakukan secara menyeluruh sebagai satu
kesatuan nilai, karena antara satu sila dengan sila lainnya saling ketergantungan, saling melengkapi
dan saling jiwa menjiwai. Selain itu pula dalam pengembangan nilai-nilai Pancassila harus
diperhatikan antara nilai dasar, nilai instrumen dan nilai praksis.
D. Pancasila sebagai Paham Integralistik
Paham integralistik dalam kehidupan negara berawal dari gagasan Dr. Supomo yang
disampaikan dalam sidang BPUPKI tanggal 30 Kei 1945. Paham integralistik telah di uraikan dalam
penjelasan UUD 1945, juga tercermin dalam tujuan negara yaitu;.. negara melindungi segenap bangsa
Indon esia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini dimaksudkan, negara mengatasi segala paham,
golongan, mengatasi paham perseorangan, serta mengthendaki persatuan yang meliputi bangsa
Indonesia seluruhnya, sebagaimana motto yang terdapat dalam lambang negara burung Garuda
Pancasila ”Bhinnika Tunggal Ika”.
18. Ilmu Heraldik adalah ilmu yang mempelajari bentuk dan arti lukisan bahwa:
- lambang atau simbol merupakan sarana informasi untuk memhami sesuatu, yang mempunyai
makna sendiri sesuai dengan arti dan maksud empunya lambang.
- lambang menunjukkan jiwa, kekhasan, tradisi ataupun harapan, gambaran, cita-cita luhur yang
ingin dan akan dicapai.
Lambang Garuda Pancasila, disahkan dalam sidang Dewan Mentri RI tanggal 10 Juli 1951 dalam
bentuk Peraturan Mentri No.66 Tahun 1951, sebagai hasil ciptaan Panitia Lambang Negara RI:
Ketua
: Mr.M.Yamin
Anggota : Ki Hajar Dewantara
M.A.Pallaupessy
Muhammad Natsir
Prof.Dr.RMNg.Poerbotjaroko
Konsep integralistik menurut Abdulkadir Besar ( Supriatnoko, 2008) menyebutkan:
1.Terjadinya hubungan relasi interaksi saling memberi, salain g ketergantungan antara negara dan
rakyat. Hal ini tercermin dalam tugas-tugas pemerintahan negara, serta perwujudan hak dan
kewajiban warga negara terhadap negara.
19. 2.Berstunya kepentingan negara dan warga negara
3.Kedaulatan negara di tangan rakyat, buykan pada individu
4.Kebebasan manusia saling relasional
5.Keputusan diutamakan dengan musyawarah untuk mencapai mufakat
E. Undang-Undang Dasar 1945
UUD 1945 yang ditetapkan tanggal 18 Agustus 1945 awalnya sebagai UUD sifatnya
sementara. Sifat sementara sesuai dengan isi Aturan Tambahan ayat 1 dan 2 UUD dan pidato Ir.
Soekarno pada saat pengesahan UUD tersebut. Sifat sementara UUD berakhir setelah ditetapkannya
dekrit Presiden 5 Juli 1959. Sistematika UUD 1945 terdiri dari pembukaan (4 alinea) dan Badan
tubuh UUD 1945 berisi 16 bab, 37 pasal, ditambah 4 pasal aturan peralihan dan 2 ayat aturan
tambahan, dan Penjelasan. Dalam era reformasi penjelasan UUD 1945 dinyatakan bukan merupakan
bagian dari UUD 1945.
1. Pembukaan UUD 1945
Pembukaan UUD 1945 yang terdiri dari 4 alenia pada setiap alenia mengandung makna sebagai
berikut:
a. Alenia pertama merupakan pernyataan bangsa Indonesia bahwa kemerdekaan bernegara
merupakan hak setiap bangsa dan merupakan pernyataan bangsa Indonesia yang anti penjajah
b. Alinea kedua merupakan pernyataan perjuangan bangsa Indonesia untuk merdeka, dengan
demikian tidaklah benar bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan hadiah dari Jepang
c. Alinea ketiga merupakan pernyataan kemerdekaan sebagai hasil perjuangan yang
mendapatkan rahmat Allah Tuhan Yang Maha Esa. Disini tercermin pengakuan bangsa
Indonesia akan kodrat manusia, bahwa manusia berusaha Tuhan yang menentukan. Dan
perjuangan bangsa Indonesia merdeka bukanlah perjuangan semata, tetapi perjuangan yang
mendapat ridha dari Tuhan Ynag Maha Esa.
d. Alenia keempat merupakan pernyataan bangsa tentang kondisi Pemerintah Negara Indonesia
yang merdeka, yang:
1) Menetapkan tujuan Negara
20. 2) Akan adanya UUD Negara RI
3) Adanya Dasar Negara yang kemudian dikenal dengan Pancasila
Disamping makna tiap alenia pembukaan juga terkandung pokok-pokok pikiran sebagai
berikut:
a. Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan
berdasar atas persatuan
b. Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
c. Negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan
d. Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab
Menurut Notonegoro, keberadaan pembukaan yang sangat penting bagi keberadaan Negara
Indonesia dikatakan sebagai status fundamental norma yang di dalamnya memenuhi unsur mutlak
sebagai berikut:
a. Dalam hal terjadinya, ditentukan oleh pembentukan Negara dan terjelma dalam suatu bentuk
pernyataan lahir sebagai penjelmaan kehendak pembentuk Negara untuk menjadikan hal-hal
tertentu sebagai dasar Negara yang dibentuk
b. Dalam hal isinya, menurut asas kerokhanian Negara (dasar Negara yang dibentuk) Menurut asas
politik Negara (dasar cita-cita Negara), Menurut cita-cita apa (tujuan Negara), menurut ketentuan
diadakanya UUD Negara
Sebagai pokok kaidah yang fundamental maka keberadaan pembukaan UUD 1945 tidak boleh
diubah oleh siapapun termasuk MPR hasil pemilihan umum, karena merubah pembukaan sama
halnya dengan membubarkan Negara Republik Indonesia yang telah diproklamasikan pada tanggal 17
Agustus 1945. Karena Pembukaan UUD 1945 memuat latar belakang berdirinya negara (alenia I, II
dan III ) serta tujuan dan dasar berdirinya ( alenia IV ).
2.Amandemen UUD 1945.
Pada masa Orde Baru keinginan untuk melakukan perubahan isi atau pasal-pasal UUD 1945
seringkali dikmukakan oleh berbagai kalangan karena adanya pandangan; adanya pasal-pasal yang
terlalu luwes sehingga dapat menimbulkan multitafsir, adanya system pengangkatan keanggotaan
21. MPR dan DPR langsung oleh Presiden tanpa melalui pemilu, adanya system politik yang executive
heavy dalam arti kekuasaan yang sangat besar pada Presiden tanpa mekanisme checks and balances
yang menyebabkan tampilnya pemerintahan yang tidak demokratis.
Sikap pemerintah Orde Baru untuk mempertahankan UUD 1945 terus berlanjut dengan
dikeluarkannya Tap MPR IV/MPR/1983 tentang Reperandum yang pada pokoknya menentukan
bahwa perubahan UUD 1945 tidak bisa langsung menggunakan pasal 37 UUD 1945 melainkan harus
melalui referendum lebih dulu dengan syarat-syarata yang tidak mudah.
Pernyataan Soeharto mundur sebagai Presiden pada tanggal 21 Mei 1998 merupakan tonggak
lahirnya gerakan reformasi untuk menata kembali system ketata negaraan, sebagaimana isi tuntutan
reformasi yaitu:
- Amandemen UUD 1945
- Penghapusan doktrin Dwi Fungsi ABRI
- Penegakkan hokum, HAM, dan Pemberantasan KKN
- Otonomi Daerah
- Kebebasan Pers
- Mewujudkan kehidupan demokrasi
Gerakan reformasi telah berhasil mengajak bangsa Indnesia untuk melakukan amandemen
atau perubahan UUD 1945 khususnya beberapa partai politik besar ( dalam arti mendapat kursi yang
signifikan di dalam Pemilu ) telah bersepakat untuk memperjuangkan amandemen pada Sidang
Umum MPR tahun 1999 bahkan juga menyepakati beberapa materi pokok untuk amandemen.
Kesepaakatan dasar sebelum amandemen dilaksanakan sbb:
- Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945
- Tetap mempertahankan NKRI
- Mempertegas sistem presidensiil
- Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif akan dimasukan ke dalam pasal-pasal
- Perubahan dilakukan dengan cara ”adendum”
Amandemen dilakukan dalam empat tahap yaitu:
1. 14 s.d 21 Oktober 1999
2.
7 s.d 18 Agustus 2000
3.
1 s.d 9 Nopember 2001
22. 4.
1 s.d 11 Agustus 2002
Hasil perubahan sbb:
- 21 bab
- 73 pasal
- 170 ayat
- 3 pasal Aturan Peralihan
- 2 pasal Aturan Tambahan
Beberapa perubahan mendasar hasil amandemen UUD 1945 adalah dalam rangka terciptanya sistem
pemerintahan yang seimbang antara lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif serta terciptanya
checks and balances antar lembaga negara.
Perubahan terhadaap lembaga negara seperti;
- Kedudukan dan Wewenang MPR
- Tugas dan wewenang Presiden
- Dihapusnya DPA
- Keberadaan pemerintah daerah
- Penambahan lembaga negara DPD, MK dan KY
- Penambahan HAM
3. Lembaga Negara dalam UUD 1945
Sebelum amandemen UUD 1945 Lembaga Negara dibagi menjadi Lembaga Tinggi Negara
yang dipegang oleh MPR dan Lembaga Tinggi Negara meliputi Presiden, DPA, DPR, BPK, dan
MA. Setelah beberapa kali amandemen tidak lagi dikenal Lembaga Tertinggi dan Lembaga
Tinggi Negara, melainkan disebut sebagai Lembaga Negara. Lembaga tersebut adalah MPR,
Presiden, DPR, DPD, BPK, MA dan MK.
a. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) = Bab II ps. 2 ,3
MPR ng berkedudukaan sebagai lembaga Negara, terdiri dari DPR dan DPD yang
dipilih melalui pemilihan umum. Sap putusaan MPR dilakukan dengan suara terbanyak, MPR
bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota Negara. MPR memiliki kewenangan:
23. 1) Mengubah dan menetapkan UUD
2) MPR melantik Presiden dan Wakil Presiden
3) MPR dapat memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden dalam masa jabatannya
menurut UUD
b. Presiden
Presiden RI memegang kekuasaan pemerintah menurut UUD. Dalam melakukan
tugasnya Presiden dibantu oleh seorang Wakil Presiden. Presiden berhak mengajukan RUU
dan menetapkan PP untuk menjalankan UU. Calon Presiden dan Wakil Presiden harus warga
Negara Indonesia dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendak sendiri.
Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.
Pasangan tersebut diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik sebelum pemilu.
Tata cara pemilihan Presiden dan Walik Presiden diatur dalam UU. Presiden dan Wakil
Presiden memegang jabatan selama lima tahun sesudahnya dapat dipilih kembali untuk satu
kali masa jabatan. Kekuasaan Presiden sebagai kepala Negara dan juga kepala pemerintahan
meliputi:
1) Memegang kekuasaan tertinggi atas AD, AL, dan AU
2) Dengan persetujuan DPR menyatakan perang, perdamaian dan perjanjian dengan Negara
lain
3) Presiden menyatakan Negara dalam keadaan bahaya
4) Presiden mengangkan duta dan konsul
5) Presiden memberi grasi, rehabilitasi dengan memperhatikan MA
6) Presiden member amnesti, dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR
7) Presiden memberikan gelar, tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan
Dalam melaksanakan tugas pemerintahan Presiden dibantu oleh menteri-menteri
Negara, dan para menteri tersebut diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Dalam hal
Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam
masa jabatan, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya. Dalam hal ini
selambat-lambatnya enam puluh hari kekosongan Wakil Presiden MPR menyelenggarakan
24. sidang untuk memilih Wakil Presiden dan dua calon yang diusulkan Presiden. Jika Presiden
dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan
kewajibannya dalam masa jabatan secara bersamaan, pelaksanaan tugas kepresidenan adalah
Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama.
Selambatnya setelah tiga puluh hari setelah itu MPR bersidang untuk memilih Presiden dan
Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik,
yang pasangan calon meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilu sebelumnya.
c. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
DPR dipilih melalui pemilihan umum, susunan DPR akan diatur dengan UU.
Kekuasaan DPR meliputi:
1) Kekuasaan membentuk UU
2)
Fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan
3) Setiap anggota mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan
pendapat, serta hak imunitas
d. Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum. Jumlah DPD dari
setia provinsi sama, DPD bersidang sedikitnya sekali dalam setahun. Kekuasaan terkait
dengan tugas DPD:
1) DPD dapat mengajukan RUU kepada DPR terkait dengan UU otonomi daerah
2) DPD ikut membahas terkait dengan otonomi daerah
3) DPD melakukan pengawasan atas pelaksaaan mengenai Undang-Undang otonomi daerah
e. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan dari DPD dan
diresmikan oleh Presiden. BPK adalah badan yang bertugas memeriksa dan bertangung jawab
tentang keuangan Negara, dengan tugas bebas dan mandiri. Hasil pemeriksaan diserahkan
kepada DPR. BPK berkedudukan di ibukota Negara dan memiliki perwakilan di setiap
provinsi.
25. f.
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi
Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada di wilayahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan
militer dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung berwenang mangadili pada
tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan dibawah UU dan wewenang lainnya.
Yang diberikan oleh UU. Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada DPR untuk
mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.
Komisi Yudisial bersifat mandiri dan berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung
dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan.
Keluhuran martabat, serta keluhuran hakim. Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden dengan persetujuan DPR.
Disamping MA, sebagaimana disebut dalam amandemen juga telah menetapkan
lembaga Mahkamah Konstitusi, yang memiliki wewenang:
1) Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang keputusannya bersifat final untuk
menguji UU terhadap UUD
2) Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh
UUD, memutus pembubaran partai politik, dan
3) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum
4) Wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh
Presiden dan Wakil Presiden menurut UUD.
4. Hubungan antara Negara dan Warga Negara/ Penduduk
Hubungan Negara dan Warga Negara/ Penduduk merupakan perwujudan pengakuan
Negara terhadap hak-hak warga Negara/ penduduk di Indonesia. Realisasi jaminan hak dan
kewajiban warga Negara sebagaimana dijamin dalam UUD antara lain:
a. Hak kedudukan sama dalam hukum dan pemerintahan
b. Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
26. c. Negara menjamin kemerdekaan berserikat, berkumpul mengeluarkan pendapat termasuk
kebebasan memeluk agama
d. Negara menjalankan sistem pengajaran nasional
e.
Menjamin HAM secara rinci ditambahkan dalam UUD 1945 dalam Bab XA pada Pasal
28A sampai 28J.
f.
Warga Negara berhak dan wajib ikut dalam pembelaan Negara
g. Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara.
27. BAB III
DEMOKRASI DAN HAK ASASI MANUSIA
A. Demokrasi di Indonesia
1. Sejarah Perkembangan Demokrasi
Secara epistimologis demokrasi berasal dari kata demos yang berarti rakyat, serta
kratos atau kratien yang berarti kekuasaan, sehingga secara sederhana demokrasi bisa
dikatakan sebagai kekuasaan rakyat atau pemerintahan rakyat. Dalam berbagai pustaka
tentang kehidupan demokrasi telah terjadi sebelum masehi yang dipraktekkan pada zaman
Yunani kuno, tepatnya di Negara kota (polis) Athena. Dalam pemahaman awal di Yunani
sendiri seperti yang dijelaskan Aristoteles menyebut tiga pemerintahan yang baik dan tiga
pemerintahan yang buruk (Suhelmi, 2001; Schmandt, 2002; Basalam, 2006; Agustino, 2007)
dimana demokrasi termasuk pemerintahan orang banyak yang berorientasi pada kelompoknya
sendiri. Sedang pemerintahan orang banyak yang baik disebut temokrasi. Karenanya Plato
yang juga guru Aristoteles menekankan perlunya orang terdidik untuk menjadi bijak dengan
mendirikan sekolah Academica (Suhelmi, 2001; Schmandt,2002) guna mempersiapkan
orang-orang bijak untuk berperan aktif dalam pemerintahan.
Kehidupan demokrasi mengalami pasang surut, dengan kehancuran Yunani dan
kokohnya monarki absolut di Eropa sampai abad pertengahan, terjadi kondisi yang tidak
28. diharapkan dalam kehidupan demokrasi yang dalam perkembangan sejarah Eropa disebut
zaman kegelapan (Dark Ages) menimbulkan reaksi para pemikir abad renaisance yang
melahirkan teori-teori tantang kekuasaan Negara, sampai dengan teori kedaulatan rakyat
menopang perkembangan demokrasi meluas ke berbagai penjuru dunia.
Aristoteles yang membenci demokrasi sekaligus memimpin demokrasi, memberikan
catatan untuk pemerintahan demokrasi menjadi pilihan terbaik harus dipersiapkan prakondisi
yang akan mendukung oang-orang terbaik menjadi pilihan orang-orang yang baik bila warga
negaranya telah memiliki pendidikan dan kesadaran bernegara yang baik karena kondisi
ekonomi yang mapan. Bila prakondisi masih belum seperti yang diharapkan maka mungkin
orang yang populer yang mampu mengambil kesempatan untuk terpilih dalam pemerintahan
meskipun orang tersebut tidak ada minat baik meminpin dan mensejahterakan rakyatnya.
Kondisi inilah yang sering terjadi di Negara berkembang karena pemerintahan dikuasai oleh
keinginan sosial, ekonomi, politik mayoritas yang mengabaikan kemakmuran warga, seperti
Nigeria 1983, Sudan 1989 yang oleh Casper dan Taylor diyatakan sebagai demokrasi
serampangan ( Agustino, 2007) . Inilah bukti yang dikhawatirkan oleh Aristoteles bahwa
kehancuran demokrasi karena eforia demokrasi yang bertumpu pada pemilikan kebebasan
bagi semua, yang tanpa disadari kebebasan yang diekspresikan berbenturan dengan
kebebasan orang lain.
Hal senada disampaikan oleh De Tocquiville (dalam Charmin, dkk, 2003) bahwa
demokrasi memerlukan moral menahan diri, tanpa kemampuan menahan diri, demokrasi akan
berubah menjadi demikrasi, dalam kaitan dengan kultur dan struktur politik menyimpulkan:
a. Kultur demokrasi adalah kultur campuran, yaitu antara kebebasan/ partisipasi di satu
pihak dan norma-norma prilaku dipihak lain
b. Kultur demokrasi bersumber dari kultur pada masyarakat secara umum, yang
mengandung social trust yang tinggi dan civicness, kecenderungan hubungan kerja yang
bersifat horizontal/ sederajad
c. Kultur demokrasi senantiasa memerlukan dan berbasis masyarakat madani
d. Seberapa jauh masyarakat memegang kultur demokrasi sangat tergantung pada perilaku
pemerintah dalam berdemokrasi
29. Tidaklah berebihan dalam demokrasi akan berjalan dengan baik bila warga bersikap
arif dan masing-masing mampu mengendalikan diri demi kepentingan bersama yang lebih
besar di bawah keteladanan pemerintahan demokratis. Sebaliknya kultur demokratis
masyarakat yang telah mendukung kehidupan demokrasi, bila pemerintahan tidak demokratis,
tidak akan terwujud kehidupan Negara yang demokratis.
2. Perkembangan Demokrasi di Indonesia
Konsepsi demokrasi di Indonesia menurut Mahfud, MD (2000) baru dikumandangka
awal oleh HOS Cokroaminoto, tahun 1918 di depan Volksraad, saat mengajukan mosi
tentang pembentukan parlemen di negeri jajahan Hindia Belanda. Pada awalnya demokrasi
di Indonesia adalah demokrasi tradisional yang berdasar pada kelompok-kelompok dari
marga (Batak), atau anang (Sulawesi) atau kelompok masyarakat patron.
Kehidupan demokrasi tradisional tersebut terguncang dengan kehadiran agama Hindu
dan munculnya kerajaan-kerajaan Hindu. Kehidupan demokrasi mulai berkembang dengan
berkembangnya pengaruh ajaran agama Islam. Islam yang membawa kesamaan derajat
manusia inilah yang membawa perubahan besar dan menghidupkan kembali prisip
kerakyatan tradisional. Perjuangan rakyat yang ditandai dengan berdirinya Budi Utomo,
Sumpah Pemuda, nilai-nilai demokrasi mulai tersosialisasi, bahkan pada 1 Juni 1945 dengan
konsep geo politik, telah menggambarkan konsep demokrasi dalam kaitan antar Negara dan
rakyat, maka demokrasi Indonesia modern dimulai pada abad 20 (Mahfud, MD, 2000).
a. Demoktasi Suekarno –Hatta, Demokrasi Terpimpin
Awal kemerdekaan Mahfud, MD (2000) menyebut pemikiran demokrasi
Soekarno-Hatta, yang berorientasi pada pluralistik dan cenderung memisahkan Negara
dengan agama, meski tidak menutup kemungkinan konsep agama masuk dalam
perundangan Negara sebagaimana dikutip Mahfud, MD (2000)”... rapatnya dapat
memesukkan segala paham keagamaan kedalam tiap-tiap tindakan Negara, kedalam
tiap-tiap undang-undang yang dipakaidalam Negara ke dalam tiap-tiap politik yang
diadakan oleh Negara, walaupun di situ agama dipisahkan dari Negara...Agar sebagian
besar dari anggota parlemen politiknya politik Islam, maka tidak dapat berjalanlah satu
usul juapun yang tak bersifat Islam”. Pada kutipan lain dilanjutkan “...Jikalau memang
rakyat Indonesia rakyat yang sebagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau Islam di sini
agama yang hidup berkobar-kobar dikalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin
30. menggerakkan segenap rakyat agar menggerakkan sebanyak mungkin utusan-utusan
Islam ke dalam badan perwakilan ini... Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiaptiap letter di dalam peraturan peraturan Negara Indonesia memuat Injil, bekerjalah
mati-matian, agar supaya sebagian besar daripada utusan-utusan yang masuk Badan
Perwakilan Indonesia ialah orang Kristen. Itu adil- fair play”.
Meskipun Soekarno mengutip kebebasan plularisrik ala barat, soekarno tidak
tertarik penerapan demokrasi barat di bidang sosial ekonomi, di mana Negara hanya
bertindak sebagai penjaga malam. Soekarno ingin mewujudkan faham welfare state, di
mana Negara aktif untuk membangun kesejahteraan sosial. Soekarno berusaha
membangun dua konsep yang berbeda, yang dalam prakteknya menjadikan demokrasi
terpimpin yang menjuruskan pada otoriter.
Konsep demokrasi terpimpin yang mengacu pada sila keempat Pancasila,
merupakan ide Soekarno yang kemudian dituangkan dalam ketetapan MPRS No. VIII/
MPRS 1965 tentang prinsip musyawarah untuk mufakat dalam Demokrasi Terpimpin.
Menurut Demokrasi Terpimpin inti dari permusyawarahan adalah musyawarah untuk
mufakat, bilamana tidak tercapai maka musyawarah akan ditempuh salah satu jalan
antara lain:
1) Persoalan diserahkan kepada pemimpin untuk mengambil kebijakan dengan
memperhatikan pendapat yang bertentangan
2) Persoalan ditangguhkan
3) Persoalan ditiadakan sama sekali.
Pada praktek Demokrasi Terpimpin peran Presiden sebagai pemimpin sangat
dominan, praktek inilah yang kemudian menimbulkan perbedaan pandangan antara
Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta, yang akhirnya Wakil Presiden
mengundurkan diri. Sejak pengunduran Moh. Hatta sebagai Wakil Presiden, kekuasaan
Presiden sangat dominan, dan ide-ide Presiden dalam pidato kenegaraan menjadi
landasan kebijakan Negara sebagai Garis Besar Haluan Negara. Kondisi inilah yang
menjadikan Presiden Soekarno mampu mengendalikan Negara termasuk lembaga Negara
lainnya seperti MPRS.
b. Demokrasi Pancasila
31. Tampilnya Orde Baru di pentas politik telah menggeser kehidupan politik dari
titik ekstrim otoriter ke sistem demokrasi liberal Orde Baru. Sebagai ganti sistem
Demokrasi Terpimpin ditetapkan Demokrasi Pancasila, meski sumber demokrasi tetap
sama yakni sila keempat dari Pancasila. Konsep Demokrasi Pancasila tetap
mengutamakan musyawarah untuk mufakat, tetapi pemimpin tidak diberikan hak untuk
mengambil keputusan sendiri dalam hal musyawarah tidak mencapai mufakat.
Penetapan Demokrasi Pancasila diatur dalam Tap MPRS No. XXXVII/ MPRS/
1968, di mana bila mufakat tidak dapat dilakukan maka akan dilakukan voting
(pemungutan suara, sesuai dengan pasal 6 ayat 2 UUD 1945). Ketetapan ini juga dicabut
dengan Tap No. V/ MPRS / 1973 bersama produk MPR lainnya yang dianggap tidak
sesuai dengan peraturan perundang-undangan, atau karena materinya sudah diatur oleh
ketetapan lain.
Awal Orde Baru konsep demokrasi lebih berlanggam liberal di bidang politik, dan
berusaha memberikan kepuasan di bidang ekonomi. Langkah awal ini dapat dimengerti
karena perlu langkah legitimasi, dengan membuat anti sistem yang terjadi pada
Demokrasi Terpimpin. Perkembangan Orde Baru setelah mendapatkan legitimasi dalam
perjalananya mengarah pada pola organis yang muncul sebagai kekuatan kekuasaan
Negara yang kuat dan mengatasi segala kekuatan yang ada dalam masyarakat.
Pada perkembangan Orde Baru yang awalnya mengkritik kekuasaan otoriter
Soekarno, juga terjebak dalam kondisi yang sama di mana Soekarno mampu mengontrol
kekuasaan lain dan menempatkan kekuasaan Presiden sangat dominan. Format baru
seperti kesatuan dan persatuan harus dijaga apapun dampak dan berapapun biaya, serta
stabilitas politik merupakan prasyarat usaha-usaha lain termasuk pembangunan ekonomi
terus dipertahankan. Strategi Orde Baru menurut pandangan Mahfud , MD (200) adalah:
1) Orientasi Program, dengan slogan pembangunan Yes politik No
2) Pergumulan sebelum Pemilu, bagaimana memperoleh suara mayoritas dalam
mengamankan komitmen Orde Baru.
3) Pengangkatan anggota DPR
4) Penggarapan partai dan penguatan Golkar, termasuk penyederhanaan sistem
kepartaian, dan penetapan Pancasila sebagai satu-satunya azas
32. Upaya Orde Baru cukup berhasil membangun birokratik otoritarian, atau
hegemonik birokratik yang menurut Mohtar Mas’oed dalam Mahfud, MD (2000)
bercirikan:
1) Pemerintah dipimpin oleh militer sebagai lembaga yang bekerja sama dengan
teknokrat sipil
2) Pemerintah didukung oleh pemilik modal domestik yang bersama-sama Pemerintah
bekerja sama dengan masyarakat internasional
3) Pendekatan kebijakan didominasi oleh pendekatan teknokratik dan menjauhi proses
bargaining yang panjang antara kelompok-kelompok kepentingan
4) Masa dimobilitas , termasuk dalam pemilu
5) Pemerintah meggunakan tindakan refresif untuk mengontrol oposisi
Meskipu Orde Baru mampu bertahan sampai tiga dasawarsa namun akhirnya
kelemahan-kelemahan yang terjadi pada masa Orde Baru mengkristal dan akhirnya
berakhir bersamaan dengan krisis multidimensi di Indonesia tahun 1998.
c. Demokrasi Era Repormasi
Akhir Orde Baru ditandai pengunduran diri Presiden Soeharto pada bulan Mei
1998. Bila demokrasi di Indonesia dikenal dengan label Demokrasi Terpimpin dan
Pancasila sampai saat ini kita tidak lagi menadapatkan label tentang pelaksanaan
demokrasi di Indonesia. Beberapa perubahan mendasar dalam praktek kenegaraan di era
reformasi adalah Amandemen UUD 1945 yang telah berjalan empat kali, yang juga
berdampak pada berbagai perubahan dalam praktek politik kenegaraan Indonesia.
1) Perubahan keanggotaan MPR
2) Tidak lagi anggota DPR dan MPR yang diangkat
3) Penetapan Presiden dan Wakil Presiden, dan Kepala Daerah serta Wakilnya yang
harus langsung dipilih oleh masyarakat
4) Pembatasan kekuasaan Presiden sebagai Kepala Negara yang harus memeperhatikan
suara DPR
33. 5) Jaminan hak warga Negara dalam bidang politik lebih terakomodir
6) Kebebasan mendirikan partai polititk, lebih terbuka bahkan kebebasan politik yang
bersifat individual dalam memperebutkan jabatan politik lebih menjadi wacana
B. Hak Asasi Manusia
Menurut Jan Materson dari Komisi HAM PBB, sebagaimana diikuti Baharudin Lopa,
(dalam Tim ICCE UIN Jakarta, 2003), Hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada
setiap manusia yang tanpanya manusia tidak bisa hidup sebagai manusia. HAM merupakan hak
alamiah yang melekat pada setiap manusia. Karena itu, tidak seorangpun di perkenankan
merampas hak-hak tersebut, HAM juga merupakan instrument untuk menjaga harkat dan
martabat manusia sesuai dengan kodrat kemanusiaan sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia.
Hal ini senada dengan mukadimah Declaration of Human Rights, bahwa pengakuan atas martabat
yang luhur dan hak-hak yang sama tidak dapat dicabut dari semua anggota keluarga manusia
merupakan dasar kemerdekaan, keadilan, dan perdamaian manusia.
1. Sejarah perkembangan HAM
Pada umumnya pada kajian literatur barat lainnya pemilikan HAM dimulai dengan
lahirnya Magna Charta (1215), Bill of Rights (1689), Declaration of Independence (1776),
Declaration des droit de I’hommes et du citoyen (1789). Magna Charta (1215), yaitu suatu
dokumen tuntutan rakyat Inggris bahwa raja tidak boleh berbuat sewenang-wenang, seperti
menghukum atau merampas hak seseorang oleh kerajaan. Bill of rights (1689), Suatu
Undang-Undang yang diterima oleh Raja James II, di mana kekuasaan raja harus dibatasi,
yang kemudian dikenal dengan revolusi tidak berdarah di Inggris. Declaration of
Independence (1776), Pernyataan kemerdekaan Amerika Serikat di dalamnya memuat hakhak dari Tuhan yang tidak dapat dialihkan, seperti hak hidup, hak kemerdekaan dan hak
memperoleh kebahagiaan. Declaration des droit de I’hommes et du citoyen (1789), dalam
pernyataan kemerdekaan Perancis telah disebutkan adanya hak-hak warga yang harus dijamin
oleh Negara, yakni hak kebebasan, hak milik, hak atas keamanan dan perlawanan terhadap
penindasan.
Setelah Peran Dunia ke II upaya mewujudkan perdamaian dunia juga diprakarsai oleh
Presiden Amerika Serikat Rosevelt, perlu ditegakkannya HAM yang menyangkut, kebebasan
berbicara dan memberikan pendapat, kebebasan beragama, kebebasan dari ketakutan, dan
34. kebebasan dari kemelaratan. Perjuangan perlindungan HAM akhirnya di sepakati PBB
tanggal 10 Desember 1948, dengan ditetapkan Universal Declaraiton of Human Right. HAM
dalam Declaration of Human Right yang menyangkut hak hukum, politik dan sipil meliputi:
1) Hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan pribadi
2) Hak bebas dari perbudakan dan perhambaan
3) Hak bebas dari penyiksaan atau perlakuan maupun hukuman yang kejam, tak
berperikemanusiaan dan merendahkan martabat kemanusiaan.
4) Hak untuk memperoleh pengakuan hukum di mana saja secara pribadi
5) Hak untuk pengampunan hukum secara efektif
6) Hak bebas dari penangkapan, penahanan dan pembuangan yang sewenang-wenang
7) Hak untuk peradilan independen dan tidak memihak
8) Hak untuk praduga tak bersalah sampai terbukti bersalah
9) Hak bebas dari campur tangan yang sewenang-wenang terhadap kekuasaan pribadi,
keluarga, tempat tinggal maupun surat-surat
10) Hak bebas dari serangan kehormatan dan nama baik, dan perlindungan hukumnya
11) Hak untuk bergerak
12) Hak memperoleh suaka
13) Hak atas suatu kebangsaan
14) Hak untuk menikah dan membentuk suatu keluarga
15) Hak untuk mempunyai hak milik
16) Hak bebas berpikir, menyatakan pendapat dan berkesadaran dari beragama
17) Hak untuk berkumpul dan berserikat
18) Hak untuk mengambil bagian yang sama dalam pemerintahan dan hak atas akses yang
sama terhadap pelayanan masyarakat
35. Sedang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya mencakup:
1) Hak atas jaminan sosial
2) Hak untuk bekerja
3) Hak untuk upah yang sama untuk pekerjaan yang sama
4) Hak untuk bergabung dalam serikat buruh
5) Hak atas istirahat dan waktu senggang
6) Hak atas standar hidup yang pantas dibidang kesejahteraan dan kesehatan
7) Hak atas pendidikan
8) Hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan yang berkebudayaan dari masyarakat
Sejalan dengan perkembangan kehidupan bangsa-bangsa di dunia, pelaksaan HAM
setelah Declaration of Human Rights ditetapkan, sampai saat ini dapat dibedakan dalam
empat generasi, yaitu:
a. Generasi pertama. Pada generasi ini subtansi HAM berpusat pada aspek hukum dan
politik, hal ini sebagai dampak dari perang dunia keII, di mana banyak Negara yang baru
merdeka dan menuntut jaminan perbaikan dalam hak untuk hidup, hak tidak menjadi
budak, hak tidak ditahan dan hak kesamaan dalam hukum dan praduga tak bersalah.
b. Generasi kedua, generasi kedua dipelopori oleh Negara berkembang menurut
pembangunan sosial, ekonomi poltik dan budaya. Hal ini berarti perlunya perluasaan
horizontal HAM dalam cakupan sosial, ekonomi dan kebudayaan
c. Generasi ketiga merupakan penekanan dari generasi kedua di mana telah terjadi ketidak
seimbangan aspek sosial, ekonomi, politik dan budaya. Dalam praktik tuntutan ini sangat
tergantung pada kondisi Negara, di mana masih banyak Negara yang mendominasi
kegiatan berbagi bidang kehidupan warga negaranya.
36. d. Generasi keempat, pada era ini banyak perjuangan untuk mengkritik peran Negara yang
sangat dominan dalam proses pembangunan, sehingga telah mengabaikan hak-hak rakyat,
termasuk mengabaikan kesejahteraan rakyat. Tuntutan yang dipelopori Negara-negara di
Asia menuntut hak azasi rakyatnya, di mana urusan hak azasi tidak lagi urusan orangperorang, tetapi menjadi tugas Negara.
2. Pelaksanaan HAM di Indonesia
Perkembangan hak asasi di Indonesia mengalami pasang surut sejalan dengan dasar
Negara yang diberlakukan serta kehidupan politik di Indonesia, meski dalam era reformasi
terlihat adanya upaya pemerintah melindungi hak-hak azasi manusia sebagimana dituntut
dalam Declaration of Human Rights.
a. Periode 1945-1949
Awal kemerdekaan bangsa Indonesia berhasil menyusun UUD yang kemudian kita
kenal UUD 1945. Dalam UUD ini bangsa Indonesia sangat menyadari penderitaan yang
dialami bangsa Indonesia akibat penjajahan di Indonesia. Meski PBB belum merumuskan
HAM bangsa Indonesia telah memberikan penekanan pentingnya kemerdekaan suatu
bangsa dari penindasan bangsa lain. Pernyataan ini dituangkan dari alenia pertama
pembukaan UUD 1945 yang menyatakan, bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa
oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai
dengan prikemanusiaan dan prikeadilan. Pernyataan perlindungan HAM yang juga diatur
dalam pasal-pasal UUD 1945 misalnya:
1) Hak memilih pekerjaan untuk penghidupan yang layak
2) Hak untuk berkumpul, berserikat, serta mengeluarkan pendapat, baik secara lisan
maupun tulisan
3) Jaminan sosial bagi fakir miskin dan anak terlamtar yang akan dipelihara oleh Negara
4) Dalam praktik kenegaraan di mana lembaga perwakilan belum terbentuk ditetapkan
adanya lembaga KNIP, yang awalnya sebagai pembantu Presiden ditingkatkan
peranannya sebagai lembaga perwakilan, pergeseran lain juga terjadi juga pada
tanggung jawab pemerintahan tidak pada Presiden tetapi pada para menteri Negara.
b. Periode 1949-1959
37. Dengan perlakuan KRIS dan UUDS, di mana konstitusi dan UUDS lahir setelah
Declaration of Human Rights, maka himbauan terhadap setiap Negara anggota harus
memasukkan HAM dalam KRIS maupun UUDS. Bila UUD 1945 tidak lebih dari lima
pasal dalam mengatur HAM maka KRIS mengatur cukup banyak mulai dari pasal 7
sampai pasal 33, sedang UUDS mulai pasal 7 sampai dengan 34.
c. Periode 1959-1966
Dengan berlakunya kembali UUD1945 maka pengaturan HAM dalam UUD tetap
sebagaimana berlaku pada periode 1945-1949. Meski dalam KRIS maupun UUDS telah
banyak mengatur HAM UUD 1945 tetap dipertahankan kemurniannya dengan pemikiran
UUD 1945 telah memuat pokok-pokok pikiran tentang HAM, pada sisi lain UUD 1945
lahir lebih dahulu dibanding dengan Declaration of Human Rights. Dalam era Demokrasi
Terpimpin di mana peranan pemimpin sangat dominan maka pelaksanaan HAM tidak
berjalan sebagaimana yang seharusnya, bahkan tidak berlebihan apa yang ditulis Tim
ICCE UIN Jakrta (2003), telah terjadi pemasungan HAM seperti hak sipil, hak politik,
seperti hak untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
d. Periode 1966-1998
Dengan berakhirnya Demokrasi Terpimpin ke Demokrasi Pancasila, pengaturan
HAM
dalam
UUD
1945
dipertahankan,
bahkan
dalam
periode
ini
upaya
mempertahankan UUD 1945 ditambahkan aturan baru dengan referendum, referendum
yang melibatkan rakyat dalam perubahan UUD 1945 seperti pemberian hak rakyat untuk
ikut memikirkan tentang keberadan UUD Negara, namun pada sisi lain referendum ini
justru sebagai upaya agar UUD 1945 tidak diwacanakan untuk diubah karena dalam Tap
MPR yang mengatur tugas dan kedudukan Lembaga Negara, bahkan MPR telah
menyatakan untuk tidak merubah UUD 1945. Upaya memasukkan HAM dalam
perundang-undangan Indonesia, pernah diwacanakan oleh MPRS tentang perlunya
pengaturan HAM dan perilindungannya dibahas dalam Panitia Ad Hoc ke IV namun hasil
tersebut tidak pernah tuntas. Jaminan HAM sebagaimana tercermin dalam Kehidupan
Demokrasi Pancasila, yang aturan formal tidak sesuai dengan empirik dalam realisasi
HAM misalnya ada hak monoloyalitas terhadap Negara yang diarahkan kepada
monoloyalitas pada pemerintah yang berkuasa, Pegawai Negeri dan ABRI yang harus
netral telah dikondisikan untuk mendukung Pemerintah yang berkuasa, sehingga
kehidupan Partai politik di luar Partai Pemerintah tidak dapat bersaing secara objektif.
38. Tidaklah berlebihan bahwa kehidupan Partai Politik di luar Pemerintah sering mendapat
sebutan dibuat bonsai. Silahkan hidup, tapi jangan sampai tumbuh menjadi besar.
e. Periode 1998- sampai sekarang
Pergantian pemerintahan Indonesia tahun 1998 memberikan dampak besar pada
pelaksanaan dan perlidungan HAM di Indonesia. Pada awal reformasi MPR berhasil
menetapkan ketetapan No. XVII/ MPR 1998 tentang HAM, yang diikuti dengan ratifikasi
beberapa konvensi seperti UU No. 5 Tahun 1999 tentang Konvensi menentang
Penyiksaan dan Perakuan Kejam Lainnya, UU No. 29 Tahun 1999 tentang konvensi
segala bentuk diskriminasi, juga Konvensi ILO tentang Penghapusan Kerja Paksa dengan
UU No. 19 Tahun 1999, serta UU No. 20 Tahun 1999 tentang Usia Minimum untuk
diperbolehkan bekerja.
Dalam amandemen UUD 1945 HAM juga mendapatkan penekanan lebih rinci
dengan memuat:
1) Hak kebebasan mengeluarkan pendapat
2) Hak kedudukan sama dalam hukum
3) Hak kebebasan berkumpul
4) Hak kebebasan beragama
5) Hak penghidupan yang layak
6) Hak kebebasan berserikat
7) Hak memperoleh pengajaran dan pendidikan
Untuk melaksanakan HAM lebih operasional ditetapkan Undang-Undang No. 39
Tahun 1999 tentang HAM, yang menegaskan kebebasan dasar manusia sebagai berikut:
1) Hak untuk hidup
2) Berkeluarga dan melanjutkan keturunan
3) Hak mengembangkan diri
39. 4) Hak memperoleh keadilan
5) Hak atas kebebasan pribadi
6) Hak atas rasa aman
7) Hak atas kesejahteraan
8) Hak turut serta dalam pemerintahan
9) Hak wanita
10) Hak anak
Disamping hak dasar UU No. 39 Tahun 1999 juga mengatur kewajiban dasar
warga Negara Indonesia seperti:
1) Setiap orang di wilayah Indonesia wajib patuh terhadap peraturan perundangundangan, hukum tak tertulis dan hukum internasional mengenai HAM yang telah
diterima oleh Negara RI
2) Setiap warga Negara serta dalam upaya pembelaan Negara sesuai dengan ketentuan
peraturan Perundang-undangan
3) Setiap orang wajib menghormati hak orang lain, moral, etika, dan tata tertib
kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara
4) Setiap hak azasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung
jawab utnuk meghormati hak azasi orang lain.
f.
Faktor-faktor terjadinya pelanggaran HAM
Meski secara perundangan Indonesia telah mengatur perlindungan HAM namun
dalam praktek kehidupan kenegaraan masih terjadi praktek pelanggaran HAM. Penyebab
tersebut antara lain:
1) Belum ada kesepakatan tataran konsep HAM secara universal dan partikularisme
2) Adanya dikotonomi antara individulisme dan kolektivitasme
40. 3) Kurang berfungsinya penegak hukum
4) Pemahaman belum merata dikalangan sipil dan militer
1. Konsep Universal dan Partikularisme
Aliran universal melihat penegakan HAM berdasarkan sifat universal manusia
di mana hendaknya mengacu pada pengakuan HAM sebagaimana telah disepakati
bersama dalam Declaration of Human Rights, sehingga tidak ada lagi kekhususan
yang diberlakukan oleh suatu Negara dengan alasan apapun. Sedangkan pandangan
kedua menganggap bahwa HAM harus dilihat dari beragam perspektif, karena
masyarakat dunia juga beragam, Negara-negara berkembang termasuk Indonesia
sampai Masa Orde Baru cenderung menerapkan paham partikularisme.
2. Dikotomi Individu dan Kolektivisme
Hak individu yang sering dihadapkan pada hak kolektif, di mana hak kolektif
dianggap lebih harus diutamakan atau diproritaskan dari pada hak individu. Hak
individu dan hak kolektif terkadang dalam posisi yang tidak terpisahkan, misal dalam
kebebasan beragama dan beribadah maka di sana melekat hak individu dan kolektif.
Karena tidaklah adil bila hak atas nama hak kolektif demi kepentinagan umum hak
individu tidak lagi di akomodir.
3. Kurang Berfungsinya Penegak Hukum
Lembaga penegak hukum di Indonesia dinilai lambat terhadap penanganan
pelanggaran HAM. Meski hal ini sering dibantah oleh para aparatnya namun dari rasa
keadilan warga sebagaimana dihimpun dalam jajak pendapat Kompas 25 Maret 2002,
terdapat 61,2% menyatakan pemutusan kasus pelanggaran HAM tidak yakin, artinya
masih banyak putusan terhadap pelanggaran HAM yang tidak memenuhi keadilan
masyarakat. Hal ini diperkuat Syahrir, yang pernah menjabat Ketua Partai
Perhitungan Indonesia, yang menyoroti masih maraknya korupsi di Indonesia. Kasus
terakhir yang tentang permainan jual beli perkara seperti kasus Jaksa Urip meski
41. akhirnya diketahui, serta pemberhentian Rahmadi sebagai Kajati di Sulawesi yang
akan memeras salah satu Bupati.
4. Pemahaman yang Belum Merata Baik di Kalangan Sipil maupun Militer
Tindakan militer yang sering bertindak represif, yang menganggap warga seperti
musuh dalam perang, sering menimbulkan masalah dengan HAM. Kasus orang
hilang atau kasus Munir salah satu dimana penanganan terhadap orang-orang yang
dianggap penghianat bangsa salah dalam penanganan sehingga menjadi sorotan
sebagai kasus pelanggaran. Di kalangan sipil juga msih sering terjadi tindakan
anarkis yang seperti pembakaran toko, pemerkosaan masal terhadap etnis tertentu,
yang dapat menjurus pada tindakan pelanggaran HSM.
g. Sikap Positif Penegakan HAM
Seiring dengan perkembangan dunia di mana tuntutan untuk menegakkan HAM
lebik sering dikumandangkan, bahkan instrument HAM sering dijadikan indikator untuk
kerjasama antar Negara, maka upaya penegakan HAM juga menjadi perhatian di negaranegara yang menjadi sorotan masih terjadi pelanggaran HAM termasuk Indonesia. Sikap
positif upaya Indonesia menegakkan HAM secara nyata antara lain:
1) Pada masa Presiden Soeharto dengan dibentuknya Kompas HAM dengan Kepres No.
50 Tahun 1993.
2) Penetapan UU No. 39 Tahun 1999 di mana Kompas HAM lebih mendapat penegasan
kembali, dengan tugas sebagai pengkajian dan penelitian terhadap kemungkinan
pelanggaran HAM, tugas dengan fungsi penyuluhan.
3) Menbentuk Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang dibentuk
berdasarkan Kepres No. 181 tahun 1998
4) Pengadilan HAM, yang dibentuk berdasarkan UU No. 26 tahun 2000, yang
berwenang memutuskan perkara pelanggaran HAM berat kejahatan genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan.
42. 5) Peran masyarakat yang diakui keberadaanya juga dapat memberikan laporan
tentang terjadinya pelanggaran HAM, seperti LSM atau NJO yang programnya
terfokus pada Demokrasi dan pengembangan HAM.
BAB IV
SISTEM HUKUM INDONESIA
A. Pengertian Sistem dan Sistem Hukum
Menurut Muchsin (2005:22) sistem merupakan suatu susunan atau tatanan yang kondisinya
bersifat teratur atau suatu keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama yang
lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu pemikiran, untuk mencapai suatu
tujuan.
Suatu sistem yang baik, sesungguhnya dapat tercermin mana kala terdapat adanya harmonisasi
dari berbagai komponen atau bagian yang ada pada sistem tersebut, selanjutnya bila mana tidak
terdapat adanya harmonisasi, maka itu mengindikasikan suatu sistem tidak berjalan dengan baik dan
sudah barang tentu tidak akan dapat mencapai tujuan secara maksimal. Oleh karena itu di dalam
sistem yang baik tidak boleh terjadi pertentangan-pertentangan atau benturan antara bagian-bagian
tersebut dan juga tidak boleh adanya suplikasi atau tumpang tindih (overlapping) diantara bagianbagian tersebut.
Dlihat dari keberadaannya, hukum merupakan salah satu bagian sistem sosial dan ilustrasi
dapat dapat diperhatikan dibawah ini.
Gambar 1 : Hukum dalam Sistem Sosial
43. Hukum
politik
buday
aaaa
ekonom
i
sosial
Pandangan lain yang patut untuk dikemukakan adalah sebagaimana dikemukakan oleh
Mariam Darus Badrulzaman (dalam Muchsin,2005: 16) bahwa sistem merupakan suatu kumpulan
asas-asas yang terpadu, yang merupakan landasan, di atas mana di bangun tertib hukum. Pendapat
Mariam Darus Badrulzaman ini memaknai sistem dalam pengertian hukum dalam arti sempit, yaitu
hukum sebagai suatu sistem aturan.
Dalam arti yang lebih luas, hukum sebagi suatu sistem tidak hanya diartikan sebagai aturan
saja, tetapi terdapat juga bagian-bagian lain yang merupakan bagian integral dari hukum tersebut,
seperti organ-organ pelaksan hukum, sarana prasarana, serta lingkungan di mana hukum itu
diberlakukan.
Pengertian sistem hukum dapat dimaknai dalam dua bagian, pertama dalam arti sempit hanya
memandang sebagai aturan-aturan dan dalam arti luas mencakup juga organ-organ pelaksana, sarana
pelaksana, serta lingkungan dimana aturan hukum itu diberlakukan.
Ilustrasi gambar di bawah ini tampaknya dapat memberikan pemahaman tentang pengertian
sistem hukum sebagaimana disebutkan di atas.
Gambar 2: Sistem Hukum Dalam Arti Luas
Aparat
aturan
fasilita
s
lingkunga
n
44. Lingkaran tersebar adalah lingkungan sistem hukum dalam arti luas, di mana di dalamnya
terdapat bagian-bagian, yaitu lingkaran aturan hukum, lingkaran aparat hukum lingkaran bagian
sarana pra sarana hukum itu diberlakukan dan lingkungan.
Bilamana salah satu bagian dari sistem hukum tersebut ( bagian aturan hukum) dikeluarkan
dari lingkaran sistem, maka ia juga merupakan suatu sistem, yaitu sistem aturan dan dalam hal ini
dapat diartikan sebagai pengertian sistem hukum dalam arti sempit, di dalamnya juga terdapat bagianbagian yang saling terkait satu sama lain dan bersifat satu kesatuan. Ilustrasi gambar di bawah ini
merupakan hal yang mungkin dapat menjelaskan apa yang dimaksudkan hukum sebagai sistem
aturan.
Gambar 3 : Sistem Hukum dalam Arti Sempit
Adalah hukum sebagai Sistem Aturan
Hak dan
kewajiban
Subyek
hukum
Peristiwa
hukum
Obyek
hukum
Hubungan
hukum
Lingkaran besar merupakan merupakan sistem aturan, yang di dalamnya meliputi bagianbagian yang harus tercermin pada aturan tersebut, yaitu harus menggambarkan adanya subjek hukum,
hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum dan objek hukum. Soerjono Soekanto
(1981:60), dan Soeleman Taneko (1987: 68), menegaskan bahwa pengertian dasar dari sistem hukum
meliputi adanya subjek hukum, peranan (hak dan kewajiban), peristiwa hukum, hubungan hukum dan
objek hukum.. Selanjutnya kelengkapan suatu sistem hukum dalam arti yang lebih luas, menyangkut
unsur-unsur yang berpengaruh terhadap penegakan hukum, yaitu adanya aturan hukum, penegakan
45. hukum, fasilitas (sarana dan prasarana hukum) dan warga masyarakat lingkungan di mana hukum itu
diberlakukan.
Hukum sebagai suatu sistem aturan secara prinsipil terkait dengan sendi-sendi dalam
kehidupan masyarakat. Menurut Fuler (dalam Muchsin, 2005: 23), bahwa peraturan hukum dalam
masyarakat baru dapat dinyatakan suatu sistem hukum, jika peraturan-peraturan hukum tersebut
memenuhi 8 (delapan) asas yang disebut ‘Principles of Legality’, yaitu:
1. Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan, tidak boleh mengandung sekedar
keputusan Ad Hoc.
2. Peraturan-peraturan yang telah dibuat harus diumumkan
3. Peraturan-peraturan tidak boleh ada yang berlaku surut
4. Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang mudah dimengerti
5. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan dengan satu sama
lain.
6. Tidak boleh ada suatu kebiasaan untuk sering mengubah-ubah peraturan sehingga menyebabkan
orang kehilangan orientasi
7. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan
8. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari
Kedelapan prinsip diatas merupakan asas hukum yang mestinya dijadikan sebagai landasan
dalam membangun tertib hukum sehingga memungkinkan dapat dilaksanakan dengan baik aturan
hukum yang akan ditetapkan. Selanjudnya, jika kedelapan prinsip tersebut diabaikan, atau tidak
diindahkan dalam membuat dan menetapkan aturan hukum yang akan diberlakukan dalam
masyarakat, maka aturan tersebut tidak memiliki jiwa hukum dan mengabaikan prinsip penciptaan
hukum yang baik. Pada umumya, jika pun aturan seperti itu diberlakukan oleh penguasa, maka
pelaksanaannya kurang efektif, sebab dapat dipastikan akan adanya warga masyarakat yang
menetapkan dan melakukan perlawanan terhadap penguasa yang memberlakukan aturan hukum
seperti itu.
B. Sumber dan Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
46. 1. Sumber Sistem Hukum Indonesia
Sistem hukum Indonesia adalah sistem hukum yang berlaku diseluruh wilayah Indonesia.
Kata “Indonesia” menunjuk pada tempatnya di mana hukum itu diberlakukan. Dengan demikian
yang dimaksud dengan Sistem Hukum Indonesia adalah sistem hukum positif yang ada di
Indonesia dan berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia. Dalam pengertian lain, sistem hukum
Indonesia menunjuk pada pengertian nasional, sistem Hukum Nasional Indonesia.
Dilihat dari sumber yang memberi bentuk dan isinya, sekurang-kurangnya ada 3 sumber
yang menjadi pilar pembentuk hukum nasional Indonesia. Ketiga Pilat itu adalah, Hukum Barat,
Hukum Islam,dan Hukum Adat. Hukum Barat konstribusinya dominan pada segi bentuknya,
sedangkan hukum Islam Hukum adat lebih dominan pada aspek isi/ materi hukumnya. Jika
disusun dalam bentuk bagian maka ilustrasinya akan terlihat seperti gambar berikut ini.
Gambar 4: Sumber Pembentuk Hukum Nasional Indonesia
Bila dilihat dari pilar pembentuk hukum nasional, maka keadaan hukum nasional
Indonesia disumbang oleh Hukum barat, Hukum islam dan Hukum Adat. Pilar hukum barat
disebut turut membentuk hukum nasional berdasrkan ketentuan UUD 1945 yang dalam peraturan
peralihannya menegaskan bahwa seluruh aturan hukum yang ada masih tetap berlaku sebelum
ditetapkan ketentuan hukum yang baru. Pilar hukum barat konstribusinya dalam pembentukan
hokum nasional pada aspek “formal” hukum yang diberlakukan. Selanjutnya pilar hukum Islam
dan Hukum Adat memberikan konstribusi dalam pembentukan hukum nasional lebih besar dari
aspek materi hukum (isi hukum), hal ini sangat realistis karena hukum nasional berlaku untuk
seluruh masyarakat Indonesia, sehingga nilai-nilai budaya bangsa yang tercermin dalam hukum
adat di seluruh nusantara, serta hukum Islam yang menjadi bagian terbesar masyarakat Indonesia
47. menjadi pilar utama pembentukan hukum nasional dari segi substansi hukum (materi hukum)
yang ditetapkan.
2. Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
Karakteristik mengandung arti sebagai suatu sifat kekhususan yang dimiliki oleh suatu
objek, atau dengan kata lain karakteristik lazimnya menunjukkan pada ciri-ciri khusus yang
dimiliki oleh suatu objek tersebut. Karakteristik sistem hukum nasional Indonesia, berarti ciri
khusus kondisi hukum Indonesia.
Karakteristik sistem hukum Indonesia sebagi ketentuan hukum positif yang berlaku saat
ini untuk seluruh rakyat bangsa Indonesia, antara lain adalah sebagai berikut:
a. Legal Formal
Legal formal artinya hukum yang sudah ditentukan secara resmi oleh penguasa
(pemerintah) dan bersifat tertulis artinya ditentukan dalam bentuk hukum tertulis. Dengan
demikian pandangan legal formal yang memaknai hokum hanya pada hal-hal yang sudah
bersifat tertulis dan tertentukan. Jika belum ada ketentuan tertulis, maka itu bukanlah sebagai
suatu hukum. Karakteristik sifat hukum “legal formal” ini merupakan adopsi model hukum
barat ( model hukum Eropa Kontinental). Format hukum seperti ini didasari sebagai akibat
bangsa Indonesia yang cukup lama dibawah kekuasaan kolonial bangsa Belanda, sehingga
format hukum yang berlaku pada masa itu berlaku hingga saat ini dan hal itu dikeluarkan
oleh aturan peralihan dalam UUD 1945.
b. Hirarkis atau Berjenjang
Hirarki atau perjenjangan artinya hukum nasional Indonesia memiliki jenjang hukum
tetulis tertinggi dan terendah. Pada ketetapan MPR No. III/ 2000, tentang tata urutan
perundang-undangan Republik Indonesia, disebutkan tentang susunan hukum tertulis sebagai
berikut:
Tap.MPRS No.XX/66
Tap.MPR No.III/2000
UU No.10 Tahun 2004
UU N0.12 Tahun 2011
48. 1 UUD 1945
UUD 1945
UUD 1945
UUD 1945
2 TAP. MPR
TAP. MPR
UU / PERPU
TAP. MPR
3 UU / PERPU
UU
PP
UU / PERPU
4 PP
PERPU
PERPRES
PP
5 KEPRES
PP
PERDA
PERPRES
6 PERMEN
KEPRES
-------------
PERDA PROV
7 ------------------
PERDA
--------------
PERDA KOTA/KAB
Makna sistem hukum yang bersifat berjenjang menunjukkan bahwa suatu ketentuan
hukum yang ada merupakan implikasi lebih lanjut dari ketentuan hukum yang ada diatas.
Dengan demikian dapat diartikan bahwa semakin rendah posisi hukum dalam susunan
hirarki, makna semakin konkrit ketentuan hukum tersebut.
Makna bersikap hirakis juga dapat diartikan bahwa ketentuan hukum yang ada dalam
sistem itu tidak boleh bertentangan satu dengan yang lainnya antara ketentuan yang lebih
rendah dengan kententuan yang lebih tinggi. Jika terjadi sengketa hukum antara ketentuan
yang lebih rendah dengan yang lebih tinggi, maka lembaga yang memiliki wewenang untuk
menyelesaikan sengketa hukum itu adalah Mahkamah Konstitusi.
3. Fungsi Aparat Sebagai “ Penegak Hukum” Formal
Aparat hukum tugasnya hanya sebatas menegakkan ketentuan hukum yang bersifat
formal. Artinya penegakan hukum sebagaimana bunyi ketentuan tertulisnya. Hal ini sebgai
konsekuensi faham legal formal. Apa yang tertulis dalam kitab hukum, maka itulah yang
ditegakkan. Dengan demikian bukan soal keadilan yang diutamakan, tetapi ketentuan hukum
formalnya. Jika ketentuan hukum formal tidak berkeadilan, maka paarat penegak hukum akan
melaksanakan bunyi ketentuan itu. Oleh karena itu dalam konsep legal formal, aturan hukum
merupakan aturan penentu adil tidaknya hukum yang diberlakukan.
C. Kedudukan dan Peranan Hukum Dalam Kehidupan Bernegara
49. Kata “kedudukan” umunya selalu dirangkai dengan kata “peranan” karena keduanya saling
terkait. Anlisa tentang kedudukan dan peranan hukum dalam kehidupan bangsa Indonesia
sesungguhnya masuk dalam tinjauan “politik hukum”. Teuku M. Radhie (2005) mengatakan
bahwa politik Hukum merupakan kehendak penguasa mengenai hukum yang berlaku di
wilayahnya, dan mengenai arah politik hukum Indonesia, maka hal ini dapat dilihat di dalam
UUD 1945, baik secara tersirat maupun tersurat. Dengan demikian kedudukan dan peranan
hukum di Indonesia sebenarnya bisa dikenali di UUD 1945 baik secara tersirat maupun tersurat.
Dalam UUD 1945 secara tegas dikatakan bahwa Indonesia adalah Negara hukum. Negara
Hukum artinya Negara yang dikelola berdasarkan aturan –aturan hukum, bukan berdasarkan
kekuasaan. Konsekuensi sebagai Negara hukum, maka dalam bernegara hukum mestinya
dijadikan sebagi panglima dalam kehidupan. Hukum berkedudukan sebagi instrument terpenting
dalam proses penyelenggaraan kehidupan bernegara. Siapapun orang, baik warga masyarakat
biasa, pejabat penguasa maupun pengusaha kaya, haruslah tunduk dan taat pada aturan hukum
yang berlaku dalam Negara.
Dalam suatu Negara, hukum dapat diartikan sebagai banteng terakhir penjaga dan
pemelihara “ketertiban sosial”. Jika banteng terakhir itu rapuh, maka dapat dipastikan kehidupan
sosial suatu Negara akan mengalami kekacauan. Munir Fuady(2005) mengatakan bahwa
kehidupan dalam masyarakat akan menjadi kacau bilamana hukum tidak berfungsi atau kurang
berfungsi. Pandangan itu dapat dicermati dari makna peranan hukum. Peranan utama hukum
adalah mewujudkan keteraturan, ketertiban dan keadilan dalam masyarakat. Peranan lainnya yang
juga ingin diwujudkan hukum adalah suasana kehidupan masyarakat yang aman, damai dan
sejahtera.
Jika banteng terakhir penjaga dan pemelihara ketertiban sosial tidak mampu menjalankan
fungsinya dengan baik, maka dapat disimpulkan bahwa dalam Negara tersebut akan terjadi
ketidak harmonisan kehidupan. Dalam bahasa yang ekstrim, akan berlaku hukum rimba, siapa
yang kuat itu yang menang dan yang lemah akan menderita sepanjang hayat. Suasana yang
demikian tentunya akan membuat kehidupan masyarakat tidak akan mencapai tujuan hidupnya.
Pertanyaan yang menarik dari pembahasan tersebut adalah, apakah Negara ini (seluruh
komponen bangsa) sudah benar-benar menjadi hukum sebagai panglima dalam kehidupan?
Apakah hukum yang dijalankan di Negara yang tercinta ini sudah memberikan rasa kepuasan dan
keadilan bagi masyarakat secara umum? Bagaimankah pandangan masyarakat terhadap kinerja
penegak hukum di Indonesia? Seperti apakah gambaran yang bagus dan ideal?
50. Pertanyaan –pertanyaan diatas tentunya akan menimbulkan variasi jawaban tentang citra
hukum di negara ini. Sudah barang tentu akan banyak pandangan yang berbeda dalam menjawab
pertanyaan tersebut. Pandangan ini dapat dipenagaruhi oleh ragam latar belakang masyarakat,
orientasi kepentingan baik yang bersifat politik, ekonomi, sosial budaya maupun pertahanan
keamanan. Terlepas dari semua itu yang terpenting adalah bagaimana menjadikan Indonesia
sebagai Negara hukum dalam arti yang sesungguhnya, sehingga kehidupan bangsa ini dapat
semakin lebih baik dimasa yang akan datang. Semua hal itu terpulang pada bangsa ini pada ada
tidaknya komitmen dalam melakukan penataan hukum.
D. Implementasi Hukum Dalam Kehidupan Bernegara
Implimentasi hukum dalam kehidupan, berarti mencermati bagaimana hukum dalam
prakteknya. Apakah hukum di Indonesia pada kenyataannya sudah sesuai dengan apa yang ingin
dicita-citakan dalam kehidupan bernegara. Jika pada kenyataannya hukum sudah sesuai dengan
apa yang diharapkan, berarti kedudukan dan peranan hukum di Indonesia telah terlaksana dengan
baik. Sebaliknya jika mash belum sesuai berarti ada banyak problem yang terkait dengan
implementasi hukum.
Deskripsi tentang implementasi hukum tidaklah mungkin bisa dikupas tuntas dalam ruang
yang terbaik pada tulisan ini, namun demikian pada paparan secara umum barang kali dapat
mencerminkan gambaran kenyataan hukum dalam kehidupan sehari-hari. Banyak ungkapan yang
kemukakan melalui berbagai media seperti; hukum di Indonesia belum memperhatikan rasa
keadilan, hukum bisa diperjual belikan, hukum hanya efektif bagi orang miskin dan warga awam,
sedangkan bagi pengusaha dan penguasa hukum menjadi mandul diterapkan.
Hukum dalam implementasi tidak memberikan rasa kepuasan bagi masyarakat yang
menginginkan keadilan. Masyarakat kecewa, marah dan mengamuk dalam ruang persidangan,
merusak atribut-atribut lembaga hukum, main hakim sendiri; merupakan fenomena-fenomena di
seputar masalah hukum yang dapat menggambarkan citra penegakan hukum di negeri ini masih
sangat memprihatinkan. Sungguh sangat tidak diharapkan masalah seperti itu terjadi, karena
Indonesia merupakan Negara hukum yang seharusnya hukum dijadikan panglima dalam
kehidupan, penjaga dan pemeliahara keamanan, ketertiban dan keadilan dalam masyarakat.
Pertanyaan yang patut diangkat atas fenomena hukum yang seperti disebutkan di atas
adalah, apa yang menyebabkan hal itu bisa terjadi dan akankah fenomena tersebut itu bisa
51. diminimalkan? Pertanyaan tersebut memerlukan jawaban yang harus hati-hati dalam
menganalisanya, karena banyak aspek yang saling berkaitan satu sama lain dan dapat
mempengaruhi pada terjadinya fenomena hukum seperti dijelaskan diatas.
Dalam pandangan teori hukum sebagimana disebutkan sebelumnya bahwa hukum sebagai
suatu sistem di dalamnya terdapat bagian-bagian yang saling terkait, dan bagian –bagian itu
adalah (1) aturan hukum (2) aparat penegak hukum (3) sarana dan prasarana hukum dan (4)
lingkungan dimana hukum itu diberlakukan. Berdasarkan pandangan teori hukum tersebut, maka
penyebab terjadinya fenomena hukum di Indonesia bila dianalisa bisa terjadi oleh salah satu, atau
semua faktor diatas secara kumulatif menciptakan persoalan hukum yang mengemuka seperti
dipaparkan sebelumnya. Oleh karena itu untuk mengetahui keadaan yang sesungguhnya harus
mencermati dan menganalisa keempat faktor tersebut. Bagaimankah gambaran yang
sesungguhnya tentang keadaan keempat faktor tersebut. Uraian berikut ini akan mencoba
mendeskripsikan tentang keadaan hukum di Indonesia, baik dari segi kondisi aturan hukum,
aparat penegak hukum, sarana dan prasarana serta lingkungan dimana hukum itu diberlakukan.
1. Aturan Hukum
Dalam arti praktis, hukum adalah peraturan yang menentukan bagaimana seharusnya
tingkah laku seseorang dalam masyarakat. Dalam arti ini, hukum sama artinya dengan
undang-undang atau peraturan yang di buat oleh penguasa dan pelanggaran atasnya akan
ditindak penguasa yang sah. Inilah hukum posistif yang ditetapkan secara sah oleh Negara
(pemerintah).
Manullang (2007) menyatakan keabsahan hukum merupakan syarat mutlak, namun
belum merupakan syarat mencukupi bagi status keberadaannya. Agar hukum memadai, isi
hukum juga harus benar, tepat dan adil. Dengan demikian aspek materi hukum menjadi isu
yang strategis dalam menentukan apakah suatu aturan hukum yang diberlakukan itu baik atau
sebaliknya.
Tidak dapat disangkal bahwa aturan hukum di Indonesia bila dicermati dari isi (materi
hukum) sebagian masih terdapat aturan-aturan lama peninggalan masa lalu dan demikian juga
terdapat aturan-aturan yang dibuat oleh bangsa sendiri namun banyak yang sudah cukup lama
usianya, tetapi tidak dilakukan perubahan-perubahan. Suatu peraturan hukum biasanya dibuat
52. dalam konteks zamannya, sehingga bila sudah terjadi perubahan-perubahan dalam
masyarakat bisa jadi aturan hukum itu tidak lagi sesuai dengan tuntutan masyarakat.
Beberapa aturan hukum yang merupakan produk masa lalu seperti Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) yang
tetap diberlakukan saat ini. Di samping produk yang dibuat masa kolonial, juga terdapat
banyak aturan hukum yang dibuat oleh bangsa sendiri yang usianya sudah melebihi 25 tahun,
dan keadaan demikian dirasakan sudah tidak berkesuaian dengan konteks zaman.
Kondisis aturan hukum yang sudah banyak tidak sesuai dengan konteks zaman
merupakan salah satu penyebab terjadinya fenomena hukum dalam kehidupan bernegara,
seperti masyarakat merasa tidak adanya keadilan dalam implementasi hukum. Fenomena
terdapatnya aturan hukum yang sudah ketinggalan zaman, seyogyanya direpon secara cepat
dan tepat oleh lembaga pembuat hukum untuk segera melakukan perubahan-perubahan. Ini
berarti kata kuncinya amat tergantung pada adanya komitmen lembaga politik yang ada untuk
segera melakukan amandemen berbagai peraturan yang ada yang dirasa sudah tidak lagi
sesuai dengan tuntutan zaman.
2. Aparat Penegak Hukum
Suatau aturan hukum yang materi isinya sudah cukup baik dan berorientai pada
keadilan, belum menjadi suatu jaminan bahwa hukum itu akan juga baik dalam berkeadilan
dalam implementasinya. Hal ini dikarenakan implementasi hukum akan berhadapan dengan
aparat penegak hukum ( manusia yang diberikan kewenangan) dalam mempertahankan dan
menegakkan hukum. Dalam hubunganya dengan implementasi hukum, aparat penegak
hukum menjadi faktor penetu adil tidaknya hukum.
Banyak tulisan dan perbincangan yang dikemukakan masyarakat terhadap bagaimana
kinerja aparat penegak hukum, baik Polisi, Jaksa, Hakim dan juga elemen-elemen terkait
lainnya seperti Pengacara. Dari berbagai ungkapan yag dikemukakan oleh masyarakat itu
juga dirumuskan dalam suatu ungkapan maka implementasi hukum di Indonesia “laksana jala
yang dilempar ke laut” dan yang tertangkap adalah hanya ikan-ikan kecil, bilamana ikan
besar ikut terjaring dalam jala, maka bukan ikan itu yang didapat tetapi jalanya yang akan
hancur. Ungkapan itu menggambarkan bahwa sebenarnya aturan hukum yang ada sudah
mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat, tetapi tidak bisa efektif
bilamana
53. berhadapan dengan orang-orang yang berbeda pada lapisan yang kuat, yang berkuasa, yang
kaya dan setaranya. Hukum secara efektif pada kelompok masyarakat kecil dan orang-orang
awam. Ini berarti adanya perlakuan diskriminasi implementasi hukum dalam kehidupan
masyarakat. Kenyataan implementasi hukum seperti itu terus berlangsung, dan kita tidak bisa
menerka kapan hal itu akan berakhir. Sampai saat ini proses pembiaran terhadap ketidak
tertiban berjalan melenggang dengan leluasa. Keadilan seakan ditaruh ditempat yang sangat
tinggi dan para pencari keadilan diharuskan menengadah tanpa bisa menjangkaunya. Para
pencari keadilan itu pada dasarnya adalah orang-orang yang lemah, orang-orang kecil yang
tak berdaya dengan semampunya tetapi tetap tidak dapat memperoleh keadilan. Jadi
realisasinya akan mengatakan bahwa keadilan tertinggi itu pada dasarnya adalah
ketidakadilan.
Fenomena yang dikemukakan diatas merupakn persoalan hukum yang banyak berkait
dengan aparat penegak hukum, khususnya tentang kinerjanya (aspek kualitas moral dan
komitmen tugas) yang masih kurang. Di samping aspek kualitatif, aspek kuantitatif, aspek
kuntitatif aparat penegak hukum juga turut berpengaruh dalam implementasi penegak hukum,
karena penegak hukum pada hakekatnya dapat dibagi dalam dua bagian, Abdul Halim
Barkatullah (2007); pertama penegakan hukum secara preventif, dan kedua penegakan hukum
secara refresif. Dengan demikan bidang aparat penegak hukum sebenarnya cupkup luas dan
bila tidak didukung dengan jumlah yang memadai serta kualitas moral dan komitmen yang
kuat, maka implementasi penegakan hukum akan banyak menimbulkan permasalahan,
keadaan tersebut tampaknya menjadi salah satu penyebab adanya fenomena implementasi
hukum di negeri ini dirasakan belum memberikan rasa kepuasan masyarakat.
3. Fasilitas (Sarana dan prasarana)
Fasilitas sarana dan prasarana merupakan salah satu faktor yang turut berpengaruh
dalam implementasi penegakan hukum. Aturan hukum yang baik, dan aparatur penegak
hukum yang cukup baik secara kualitas maupun kuantitas, belumlah dapat menjamin
implementasi penegak hukum dapat berjalan dengan baik dan lancar tidak didukung dengan
fasilitas, sarana dan prasarana yang cukup. Sarana itu bisa berwujud berbagai alat yang
dibutuhkan yang berhubungan dengan bangunan perkantoran ruang kerja, alat-alat kerja, alatalat transportasi, alat-alat komonikasi, sedangkan prasarana merupakan dukungan-dukungan
54. dalam bentuk perangkat lunak seperti dukungan kebijakan pimpinan instansi, pemerintah
daerah, dll.
Harus diakui bahwa fasilitas, sarana dan prasarana dalam rangka implementasi
penegakan hukum di Indonesia memang dirasakan masih sangat kurang baik secara kuantitas
maupun kuntitas, terlebih lagi jika dikaitkan dengan wilayah hukum Indonesia yang begitu
luas, sehingga dirasakan sekali berdampak pada implementasi penegakan hukum. Oleh
karena itu persoalan implementasi penegakan hukum di Indonesia jika harus dilakukan
pembenaran, maka penangananya dilakukan secara komprehensif, tidak hanya aturan hukum,
aparat penegak hukum, tetapi juga persoalan fasilitas, sarana dan prasarana mesti dilakukan
penanganan secara memadai untuk mendukung kinerja penegahan hukum yang dilakukan
oleh aparat.
4. Lingkungan Sosial Budaya
Implementasi penegakan hukum dalam prakteknya akan banyak terkait dengan
wilayah (lingkungan) di mana hukum itu diberlakukan, dan dalam hal ini aspek sosial budaya
pada “tempat” di mana hukum dilaksanakan menjadi faktor penentunya. Secara logika, jika
aspek sosial budaya sifatnya mendukung, maka implementasi penegakan hukum akan dapat
berjalan dengan baik.
Di antara aspek sosial budaya yang cukup memprihatinkan kondisinya saat ini dalam
implementasi penegakan hukum adalah “masalah rendahnya kesadaran hukum masyarakat”.
Kesadaran hukum masyarakat Indonesia sekarang ini memang dirasakan masih kurang, hal
ini dapat dicemati dari fenomena hukum yang ada, seperti; kepatuhan pada hukum yang
masih rendah (kecenderungan suka melanggar hukum), tidak menjadikan hukum sebagai
wahana penyelesaian sendiri yang akhirnya bersifat “ main hakim sendiri”, dll.
Fenomena masih rendahnya kesadaran hukum ini merupakan salah satu penyebab
implementasi penegakan hukum di Indonesia masih belum optimal. Kesadaran hukum yang
tinggi dalam perwujudannya akan terlihat pada sikap dan tindakan seseorang dalam
kehidupan yang mengedepankan hukum sebagai dasar tindakan dan berprilaku, bahkan dalam
arti psikologis kesadaran hukum itu mewujud keadaan sikap yang cenderung rasa memiliki
dalam aturan hukum, sebagai pedoman hidup dan sebagai orientasi dalam prinsip kehidupan.
Jika seseorang sudah sampai pada tingkat “rasa memiliki” akan suatu aturan, maka di
55. manapun, kapanpun dan dalam situasi apapun orang itu akan selalu mematuhi dan tunduk
pada aturan hukum. Kepatuhan pada hukum tidak bersifat semu, dalam arti patuh jika ada
petugas hukum atau patuh jika diberi teguran oleh aparat hukum. Singkatnya kesadaran
hukum yang kuat akan mendorong pada kepatuhan dan ketaatan pada aturan hukum.
Fenomena masih rendahnya kesadaran hukum ini, disebabkan oleh banyak faktor.
Kesadaran akan bisa terwujud manakala seseorang telah mengetahui dan memahami aturan
hukum yang ada. Tahu dan faham merupakan dua hal yang secara prinsipil berbeda. Tahu
lebih bersifat harfiah, sedangkan faham lebih bersifat psikologis dan lebih mendalam
sifatnya.
Kesadaran yang rendah terhadap hukum tampaknya memang dikarenakan oleh
banyaknya masyarakat kita yang tidak begitu tahu tentang aturan-aturan hukum, bahwa
sesuatu itu sudah ada aturan hukumnya. Akibat ketidak tahuan tentang adanya aturan hukum,
maka ada banyak orang bertindak menurut pandangan sendiri yang menurut dia benar dan
baik, akibat banyak tidaknya seseorang yang bertentangan dengan hukum, dan bila hal ini
terjadi pada orang yang sedang duduk dalam suatu kursi jabatan dikesankan sebagai tindakan
arogan, padahal lebih dikarenakan ketidak tahuan dengan aturan hukum yang ada. Suatu
contoh dalam hukum disebutkan bahwa hukum itu bersifat “hirarkis”, artinya aturan yang ada
di bawah tidak boleh bertentangan dengan aturan di atasnya. Ini berarti suatu “keputusan
pejabat politik” tidak boleh bertentangan dengan keputusan yang ada di atasnya (contoh ini
dalam ranah hukum administrasi). Pada kenyataannya banyak terjadi pelanggaran kasus
seperti di atas, tetapi masyarakat kita cenderung tidak pernah menggubrisnya, bahkan tidak
bersifat menaati saja keputusan pejabat publik tersebut, padahal secara hukum keputusan itu
menyalahi aturan.
Contoh pelanggaran hukum yang berupa terjadinya “sengketa hukum” tersebut
sebenarnya bisa diselesaikan melalui prosedur hukum yang ada, dan kita sebenarnya dituntut
untuk bersikap positif dalam menghadapi kenyataan seperti itu. Seyogyanya, penyelesaiannya
bisa melalui jalur administrasi dan atau juga tidak bisa diselesaikan melalui administrasi
maka masalah hukum itu dapat diselesaikan melalui lembaga peradilan yaitu Peradilan Tata
Uasa Negara. Lembaga penyelesaiannya sudah disediakan, tetapi masyarakat kita umumnya
tidak memanfaatkan itu karena ketidaktahuan dan ketidakfahamannya pada aturan hukum
yang ada.
56. Dari penjelasan tentang implementasi penegakan hukum, dapat disimpulkan bahwa
problem hukum yang dihadapi oleh bangsa Indonesia memang cukup kompleks. Dalam
konteks penegakan hukum yang memberikan rasa kepuasan masyarakat dan rasa berkeadilan,
ada banyak faktor yang mempengaruhi dan bersifat saling terkait satu sama lain. Faktorfaktor dimaksud adalah: 1) kadaan aturan hukum, 2) aparat penegak hukum, 3) fasilitas
(sarana dan prasarana ) dalam penegakan hukum, dan 4) lingkungan sosial budaya di mana
hukum itu diberlakukan. Oleh karena itu dalam mencermati masalah hukum di Indonesia
seyogyanya memperhatikan semua aspek itu secara komprehensif, dan tidak boleh hanya
melibatkan secara parsial, karena itu bisa menimbulkan pemahaman yang menyesatkan.
BAB V
SOSIAL BUDAYA
Pembahasa aspek social budaya cakupannya demikian luas. Dalam tulisan ini akan dibatasi pada :
(1) Hakekat Manusia, (2) Manusia dan Budaya, (3) Teori Kebudayaan,(4) Teori Masyarakat, dan (5)
Perubahan Sosial Budaya.
A. Hakekat Manusia
1. Manusia sebagai Makhluk Bio Kultural
Manusia sebagai makhluk biologi, ia mempelajari manusia dari sudut pandang
jasmaninya, dalam arti seluas-luasnya. Hal yang diselidiki adalah asal usul manusia,
perkembangan evologi organic, struktur tubuh dan kelompok manusia yang kita sebut ras. Dilihat
dari asal usul misalnya, agama besar, seperti agama Nasrani mengatakan bahwa, manusia
diciptakan oleh Tuhan, dan umat manusia dewasa ini merupakan keturunan manusia pertama
yaitu Adam dan Hawa. Dalam konteks ini, manusia berbeda dalam hakekat, secara prinsip dengan
hewan.
Manusia sebagai makhluk biologis mmpunyai kebutuhan-kebutuhan dasar yang bersifat
universal. Maslow (1984) menyebutkan ada lima kebutuhan dasar manusia yang universal yaitu,
57. (1) Kebutuhan fisikologis, (2) Kebutuhan akan kesehatan, (3) Kebutuhan akan rasa memiliki dan
rasa cinta, (4)Kebutuhan akan harga diri, (5) Kebutuhan akan perwujudan diri.
Sementara menurut Malinowski yang ada dalam diri manusia adalah kebutuhan-kebutuhan
biologisnya. Ia menyebutkan ada tujuh kebutuhan dasar manusia, yakni makan, reproduksi,
kenyamanan tubuh, keamanan, kebutuhan gerak dan kebutuhan untuk tumbuh. Untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan tersebut manusia menyesuaikan diri dengan keadaan atau lingkungan.
Manusia sebagi makhluk biologis, memiliki intelegensi dan kehendak bebas. Pada
awalnya, manusia berkembang dengan alami sesuai dengan hukum-hukum alam. Kemudian,
perkembangan alami manusia menjadi jauh melampaui perkembangan makhluk lainnya, melalui
intervensi inilah menjadikan manusia sebagi makhluk kultural atau budaya.
Budaya diciptakan manusia secara terus- menerus sepanjang hidupnya, karena wujud
kebudayaan itu dapat dipelajari, maka selanjutnya kebudayaan itu diturunkan kepada generasigenerasi selanjutnya. Sementara kebudayaan yang tidak diturunkan akan musnah atau mati.
Sebenarnya, kebudayaan yang sifatnya turun-menurun ini merupakan usaha manusia untuk
bertahan dan survive dalam kehidupannya. Misalnya manusia harus berpikir, beraktivitas dan
menghasilkan suatu hasil karya untuk mencari makan, memelihara lingkungan hidup dan
sebagainya.
2. Manusia sebagai makhluk sosial
Sejak dalam kandungan ibu, bayi sudah membutuhkan bantuan orang lain untuk
memenuhi kebutuhan biologisnya, yaitu makan dan minum melalui ibunya sehingga ia bisa terus
hidup. Hubungan bayi ini tidak terbatas hanya pada pemenuhan biologisnya saja, melainkan
perkembangan hubungan psikis, misalnya bayi menangis untuk meminta perhatian.
Begitu dewasa manusia tidak mungkin bisa hidup tanpa manusia lainnya. Pada dasarnya
manusia tidak sanggup hidup seorang diri tanpa bantuan orang lain atau lingkunganya. Contoh
sederhana, jika manusia sakit tidak bisa makan dan minum tanpa ditemui atau dibantu orang lain.
Singkatnya manusia tidak bisa berkembang dengan sempurna, utuh atau perkembangan
kepribadiannya terhambat tanpa bantuan orang lain.
Jadi manusia sebagai makhluk sosial ia hidup membutuhkan bantuan orang lain atau
lingkungannya. Kepribadian manusia berkembang melalui interaksi dengan manusia lain.
Manusia akan melihat pandangan nilai, prinsip hidup, pola ingkah laku orang lain yang berbeda