Perjanjian kartel adalah kolusi antara produsen untuk mengendalikan produksi, harga dan pangsa pasar guna memperoleh keuntungan melalui praktik monopoli. Kartel dapat merugikan konsumen dan ekonomi dengan menaikkan biaya produksi dan harga. Contoh kasus di Indonesia adalah kolusi beberapa perusahaan garam untuk mengontrol pasokan dan harga di Sumatera Utara.
1. Aspek-aspek
Perjanjian Kartel
Muhammad Fathur Ramadhan - 6032001207
Revito Ebenezer Manullang - 6032001241
Rezy Ardava Dizarzi - 6032001257
Muhammad Dzaky Ramadhan – 6032001259
Erlangga Bakti P - 6032001287
2. Pengertian Perjanjian
Kartel
Dalam buku Black's Law Dictionary (kamus hukum dasar yang berlaku di
Amerika Serikat), praktik kartel (cartel) didefinisikan, “A combination of
producer of any product joined together to control its productions its
productions, sale and price, so as to obtain a monopoly and restrict
competition in any particular industry or commodity”. Artinya, kartel
merupakan kombinasi di antara berbagai kalangan produsen yang bergabung
bersama-sama untuk mengendalikan produksinya, harga penjualan,
setidaknya mewujudkan perilaku monopoli, dan membatasi adanya persaingan
di berbagai kelompok industri. Dari definisi tersebut, praktik kartel bisa
dilakukan oleh kalangan produsen mana pun atau untuk produk apa pun, mulai
dari kebutuhan pokok (primer) hingga barang kebutuhan tersier.
3. Pengertian Perjanjian
Kartel
Kartel akan merugikan perekonomian, karena para pelaku usaha anggota
kartel akan setuju untuk melakukan kegiatan yang berdampak pada
pengendalian harga, seperti pembatasan jumlah produksi, yang akan
menyebabkan inefisiensi alokasi. Kartel juga dapat menyebabkan inefisiensi
dalam produksi ketika mereka melindungi pabrik yang tidak efisien, sehingga
menaikkan biaya rata-rata produksi suatu barang atau jasa dalam suatu
industri.
5. Karakteristik Kartel
1. Terdapat konspirasi (persekongkolan) di antara pelaku usaha.
2. Melibatkan peran dari senior perusahaan atau jabatan eksekutif perusahaan.
3. Biasanya menggunakan asosiasi untuk menutupi persekongkolan tadi.
4. Melakukan price fixing atau tindakan untuk melakukan penetapan harga, termasuk
pula penetapan kuota produksi.
5. Adanya ancaman atau sanksi bagi anggota-anggotanya yang melanggar
kesepakatan atau perjanjian.
6. Adanya distribusi informasi ke seluruh anggota kartel. Informasi yang dimaksudkan
berupa laporan keuangan, laporan penjualan, ataupun laporan produksi.
7. Adanya mekanisme kompensasi bagi mereka para anggota yang memiliki produksi
lebih besar atau melebihi kuota yang telah ditetapkan bersama. Kompensasi tersebut dapat
berupa uang, saham, pembagian bunga deviden yang lebih besar, ataupun bentuk kemitraan
6. Jenis - Jenis Perjanjian
Kartel
1. Kartel Harga
2. Kartel Syarat
3. Kartel Rayon
4. Kartel Kontingentering
5. Kartel Penjualan
6. Kartel Pool
8. Perjanjian Kartel Di Indonesia
Prinsip dasar dari perilaku kartel adalah bentuk monopoli dan perilaku
monopoli. Dua kondisi tersebut sudah ada sejak berdirinya republik ini. Praktik
kartel tersebut merupakan warisan dari kongsi-kongsi perkebunan dan dagang
di era pemerintahan Hindia Belanda. Praktik monopoli ini pun sesungguhnya
telah tercantum di dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 berupa
penguasaan sumber-sumber perekonomian yang menguasai hajat hidup orang
banyak. Sementara itu, negara NKRI terbentuk dan berkembang bersamaan
dengan berkembangnya wacana dan studi tentang persaingan dan monopoli di
dunia. Di Amerika Serikat sendiri, praktik kartel, trust, dan monopoli barulah
mulai disoroti sekitar dekade 1960-an. Mengingat di masa setelah
kemerdekaan hingga 1960-an belum banyak perusahaan-perusahaan swasta,
praktis perilaku kartel, trust, dan monopoli belum terlihat.
9. Perjanjian Kartel Di Indonesia
Perkembangan perilaku monopoli baru mulai terlihat setelah memasuki era
Orde Baru. Di awal dekade 1970-an, pemerintah mulai memberikan perhatian
kepada pihak swasta untuk didorong agar dapat memenuhi target pencapaian
substitusi impor. Dengan melibatkan modal asing ataupun investor asing,
pencapaian substitusi impor tidak terlalu lama bisa diwujudkan. Praktik kartel
dan monopoli di kalangan swasta semakin mulai terlihat pada dekade 1980-an.
Diduga praktik kartel dan monopoli tersebut merupakan bentuk kesepakatan
di antara pemerintah dan kalangan investor (produsen), terutama kalangan
investor asing yang melibatkan kalangan produsen di dalam negeri. Apalagi
sektor ekonomi yang digarap oleh kalangan swasta tersebut membutuhkan
biaya investasi yang cukup besar. Pemerintah hanya bisa memberikan insentif
atau perlakuan khusus kepada hanya beberapa produsen di dalam negeri.
10. Contoh Kasus
Penguasaan pemasaran garam bahan baku oleh G3 dan G4 di Sumatera Utara
mencerminkan struktur pasar yang bersifat oligopolistik dimana terjadi
koordinasi antara PT G, PT B, dan PT GA dengan PT GR, PT SP, UD JW, dan UD
SS untuk bersama-sama melakukan pengontrolan pasokan dan pemasaran
garam bahan baku di Sumatera Utara. Hal ini tercermin dari:
1. Persaingan semu diantara G3 dalam bentuk pengontrolan jumlah pasokan
dan kebijakan penetapan harga jual garam bahan baku.
2. Sistem pemasaran yang menciptakan hambatan bagi pelaku usaha selain G3.
3. Konsumen harus menanggung harga yang relatif tinggi dan tidak wajar
karena sistem pemasaran dimana jumlah pasokan garam belum tentu sama
dengan permintaan konsumen.
11. Contoh Kasus
Berdasarkan bukti-bukti tersebut, maka para terlapor dinyatakan secara sah
dan meyakinkan melanggar UU Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, diantaranya terbukti
melanggar Pasal 11 UU Nomor 5 tahun 1999 yang dikenakan kepada PT G, PT
B, PT GA. Para terlapor ini seperti dinyatakan oleh KPPU adalah merupakan
pelaku usaha yang menguasai pasokan dan pemasaran garam di Sumatera
Utara dan terbukti telah mengontrol pasokan dan pemasaran garam bahan
baku di Sumatera Utara.
12. Contoh Kasus
Suatu kartel sebagaimana diatur dalam Pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 1999 juga
dapat terjadi apabila beberapa perusahaan A, B, C, D, E dan F yang
memproduksi suatu barang atau jasa yang sama mengadakan konspirasi dan
membentuk suatu kartel. Para pegawai senior atau pimpinan perusahaan A, B,
C, D dan E secara rutin mengadakan pertemuan dan menetapkan kuota
produksi atau banyaknya produksi dari masing-masing perusahaan. Kuota
produksi ini disepakati dapat berubah-ubah sesuai dengan kesepakatan
diantara mereka. Produksi selalu disesuaikan dengan permintaan pasar dan
produksi oleh pelaku usaha yang bukan anggota dari Kartel. Secara
keseluruhan pangsa pasar dari semua anggota kartel adalah diatas 60%,
sehingga mempunyai kekuatan untuk mengatur jumlah produksi dan harga.
Sebagai akibat dari kartel ini, maka harga barang di pasar bisa diatur oleh
kartel sesuai dengan besarnya keuntungan yang akan mereka peroleh.
1. Kolusi eksplisit
Dimana para anggota mengkomunikasikan kesepakatan mereka secara langsung yang dapat dibuktikan dengan adanya dokumen perjanjian, data mengenai audit bersama, kepengurusan kartel, kebijakan - kebijakan tertulis, data penjualan dan data-data lainnya.
2. Kolusi diam-diam
Dimana pelaku usaha anggota kartel tidak berkomunikasi secara langsung, pertemuan-pertemuan juga diadakan secara rahasia. Biasanya yang dipakai sebagai media adalah asosiasi industri, sehingga pertemuan-pertemuan anggota kartel dikamuflasekan dengan pertemuan - pertemuan yang legal seperti pertemuan asosiasi. Bentuk kolusi yang kedua ini sangat sulit untuk dideteksi oleh penegak hukum. Namun pengalaman dari berbagai negara membuktikan bahwa setidaknya 30% kartel adalah melibatkan asosiasi.
1. Kartel Harga
Kartel harga adalah kartel yang dilakukan untuk menetapkan suatu harga pokok produk yang dihasilkan oleh para produsen yang tergabung dalam suatu kartel. Umumnya, ketentuan harga yang ditentukan adalah harga jual minimal pada suatu produk.
2. Kartel Syarat
Kartel syarat adalah kartel yang erat hubungannya dengan penetapan suatu persyaratan tertentu dalam suatu kegiatan perdagangan maupun bisnis, seperti persyaratan penjualan, standar kualitas suatu barang, standar keemasan, dan juga standar pengiriman barang.
Pada dasarnya, jenis kartel ini dilakukan untuk menghadirkan variasi produk dan atributnya demi menghindari persaingan yang terjadi antar tiap produsen.
3. Kartel Rayon
Kartel rayon adalah kartel yang dilakukan dengan membagi wilayah penjualan pada setiap anggota kartel. Dalam hal ini, masing-masing anggota kartel mempunyai daerah tertentu untuk menjual produknya dengan penetapan harga yang sudah ditetapkan pada masing-masing daerah
Dengan hadirnya kesepakatan seperti ini, maka setiap anggota kartel dilarang untuk menjual produknya ke wilayah lainnya.
4. Kartel Kontingentering
kartel kontingentering adalah suatu penetapan atas volume produksi yang dilakukan guna menguasai ketersediaan produk di pasar. Dalam pelaksanaannya, masing-masing anggota kartel akan diizinkan untuk membuat barang dalam jumlah tertentu.
Jika ada anggota kartel yang membuat atau memproduksi produk lebih sedikit daripada jatah yang sudah ditetapkan, maka mereka akan mendapatkan suatu hadiahnya. Sebaliknya, jika ada anggota kartel yang meningkatkan jumlah produksi lebih dari yang sudah ditetapkan, maka mereka akan mendapatkan sanksi denda.
5. Kartel Penjualan
Kartel penjualan adalah suatu penetapan kantor penjualan yang sifatnya terpusat. Artinya, setiap masing-masing anggota kartel hanya diperbolehkan untuk menjual produknya melalui kantor penjualan tunggal, sehingga tidak akan ada persaingan pada tiap anggota.
6. Kartel Pool
Kartel pool atau kartel pembagian keuntungan adalah jenis kartel yang ada pada kesepakatan tentang pembagian laba dan pendapatan. Dalam pelaksanaanya, setiap anggota kartel akan menghimpun laba kotor yang diperoleh dari kas bersama. Lalu, laba bersih yang diperoleh akan dibagikan ke seluruh anggota kartel sesuai kesepakatan.
1. Kerugian bagi Perekonomian Suatu Negara
a. Dapat mengakibatkan terjadinya inefisiensi alokasi.
b. Dapat mengakibatkan terjadinya inefisiensi produksi.
c. Dapat menghambat inovasi dan penemuan teknologi baru.
d. Menghambat masuknya investor baru.
e. Dapat menyebabkan kondisi perekonomian negara yang bersangkutan tidak kondusif dan kurang kompetitif dibandingkan dengan negara[1]negara lain yang menerapkan sistem persaingan usaha yang sehat.
2. Kerugian bagi konsumen
a. Konsumen membayar harga suatu barang atau jasa lebih mahal daripada harga pada pasar yang kompetitif.
b. Barang atau jasa yang diproduksi dapat terbatas baik dari sisi jumlah dan atau mutu daripada kalau terjadi persaingan yang sehat diantara para pelaku usaha.
c. Terbatasnya pilihan pelaku usaha.