Seminar membahas dampak gempa bumi terhadap bangunan. Transformasi sosial ekonomi masyarakat dari rumah tradisional ke rumah modern tidak diimbangi dengan pengetahuan teknologi bangunan, sehingga meningkatkan kerentanan bangunan terhadap gempa. Bencana alam dapat dijadikan pelajaran untuk membangun ketahanan bangunan di masa depan.
Obat Aborsi Sungai Penuh 082223109953 Jual Cytotec Asli Di Sungai Penuh
Aspek kebencanaan,dampak dan antisipasinya pada bangunan gedung
1. *)Seminar Sehari Penyebarluasan Informasi Bidang Penataan Bangunan dan Lingkungan Dinas PU-NTT, 5
Desember 2013
**) Staf Dosen Jurusan Teknik Sipil UNWIRA Kupang
1
Aspek Kebencanaan, Dampak dan Antisipasinya
pada Bangunan Gedung*)
Rani Hendrikus**)
1. U m u m
Menurut UU no. 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana, benacana alam defenisikan
sebagai korban jiwa dan kerugian harta benda (bencana)
yang diakibatkan ole peristiwa atau serangkaian peristiwa
yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi,
tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan,
dan tanah longsor. Defenisi ini mengungkapkan secara jelas
dan pasti bahwa faktor utama penyebab bencana adalah
alam. Peran manusia terutama pengambil kebijakan berada
diluar tanggung jawab tersebut. Apa yang kita lihat dari
defenisi tersebut adalah manusia ditempatkan sebagai
korban semata berhadapan dengan alam sebagai
penyebabnya. Defenisi ini memang mediskripsikan fakta empirik, namun kurang
mengungkapkan akar masalahnya.
Dalam diskusi kelompok tentang akar masalah bencana alam yang diselenggarakan di
dalam kegiatan perkuliahan Mitigasi Bencana Alam di Jurusan Teknik Sipil UNWIRA beberapa
tahun yang silam saya dan para mahasiswa menyimpulkan bahwa faktor pemicu bencana
(bencana alam) adalah hazards (kejadian alam), Vulnerabiliy (kerentanan), dan Exposure
(keterbukaan). Ketiganya membangun diagram venn (lihat gambar-01), di mana bencana hanya
akan terjadi bila ketiganya timbul pada waktu dan tempat yang sama. Berdasarkan fakta
tersebut maka bencana alam didefenisikan (oleh peserta diskusi) sebagai kegagalan
pembangunan yang muncul dipermukaan dalam bentuk korban jiwa dan kerugian harta benda
pada saat peristiwa alam ekstrim terjadi. Defenisi ini memang tetap memberikan tempat central
pada peristiwa alam dan korban jiwa serta kerugian harta benda sebagai para meter bencana,
namun dalam defenisi ini tersirat aktor penting dibelakang layar peristiwa bencana tersebut,
Dari 3 faktor pemicuh
bencana (alam), hanya
faktor hazard (kejadian alam
ekstrim) yang tidak dapat
dikendalikan. Vulnerability
dan exposure pada dasarnya
dapat dikelola. Disini
pentingnya kebijakan
pembangunan berkelanjutan
dalam mengatasi masalah
bencana
2. *)Seminar Sehari Penyebarluasan Informasi Bidang Penataan Bangunan dan Lingkungan Dinas PU-NTT, 5
Desember 2013
**) Staf Dosen Jurusan Teknik Sipil UNWIRA Kupang
2
yakni para pelaku pembangunan (manusia) yang juga harus bertanggung jawab, lihat skema
analisis akar masalah kerusakan bangunan kerusakan bangunan gambar – 02. Gambar ini
menegaskan bahwa akar dari rusaknya rumah penduduk (diambil dari gempa Alor 2004) tersbut
merupakan pucuk pohon dari hutan masalah yang berada diseputar kebijakan pembangunan
suatu komunitas.
Gbr. – 01 Venn diagram dari bencana alam
Gbr.02 Skema akar masalah kerusakan bangunan
Karena itu, dari aspek mitigasi bencana, defenisi yang disebutkan terakhir lebih
prospektif untuk menyelesaikan masalah. Karena, kita dapat melihat dengan jelas bahwa, dari
ketiga aspek tersebut hanya aspek hazard saja yang sulit atau tidak dapat
VULNERABILITY
HAZARDS
EXPOSURE
DISASTER
Alamiah, tidak dapat
dikendalikan:
- Gempa Bumi
- Badai
- Tsunami
Keberadaan prsaran,
manusia di daerah rawan
bencana
BISA BERSUMBER DARI
KEBIJAKAN MAKRO
SPATIAL YG SALAH
Sesuatu yang melekat
pada, prasarana,
komunitas, perorangan
yang rentan terhadap
ancaman bencana
MASALAH STRATEGI
PEMBANGUNAN
Akumulai
masalah
3. *)Seminar Sehari Penyebarluasan Informasi Bidang Penataan Bangunan dan Lingkungan Dinas PU-NTT, 5
Desember 2013
**) Staf Dosen Jurusan Teknik Sipil UNWIRA Kupang
3
dikelola/dikendalikan, sedangkan aspek vulnerability dan exposure secara teoriris dapat dikelola
melalui menejemen pembangunan. Karena alasan ini juga, secara konseptual penanganan
bencana pada dasarnya merupakan rangkaian upaya terrencana guna menekan kerentanan
serta menekan sifat eksposure dari masyarakat maupun sarana dan prasara fisik di lingkungan
komunitasnya. Secara umum kerentanan dapat ditekan melalui kebijakan pembangunan,
sedangkan exposure dapat ditekan melalui kebijakan kebijakan penataan ruang maupun tata
bangunan dan lingkungan. Aplikasi konsep pembangunan berkelanjutan menjadi pilihan yang
tidak dapat dielahkan.
2. Karakteristik Bencana dan Ketimpangan Tranformasi Teknologi
Bangunan
Sejarah bencana alam menunjukan dengan jelas
bahwa, bencana selalu menyerang bagian terlemah dari
suatu komunitas atau suatu wialayah. Fenomena ini dapat
dilihat dengan jelas dari catatan riwayat bencana, seperti
yang diperlihatkan dalam gamba-03. Gambar tersebut
memperlihatkan secara grafis jumlah dan distribusi korban
jiwa akibat dari berbagai bencana yang terjadi antara kurun
waktu 1972 sampai 2002 (± 30 tahun). Di mana lebih dari
94% korban jiwa terjadi di wilayah miskin, yaitu wilayah yang
dihuni masyarakat berpengahsilan menengah kebawah
sampai dengan rendah, sedangkan sisanya (± 6%) terjadi di
wilayah berpenghasilan menengah ke atas dan tinggi.
Hal yang sama juga terjadi pada kasus bencana
akibat gempa bumi. Kejadian gempa di berbagai belahan
dunia seperti di Afganistan, Pakistan, Iran, India, Guatamala,
Philipina dan juga di Indonesia menunjukan bahwa kawasan yang dihuni oleh masyarakat
berpengasilan rendah dan menengah merupakan kawasan yang paling banyak mengalami
kerusakan dan korban jiwa dibandingkan dengan kerusakan ataupun korban jiwa yang terjadi di
kawasan yang dihuni oleh kelompok masyarakat yang berpenghasilan menegah ke atas.
Bila dicermati pada segmen menengah ke bawah, pada kasus gempa bumi terjadi
fenomena yang menarik di mana jumlah korban jiwa yang terjadi di masyarakat berpenghasilan
Meningkatnya kemampuan
ekonomi dan akses
informasi, memungkinkan
masyarakat berpenghasilan
menengah meniru
model/gaya bangunan dari
bebagai media.
Kecenderungan ini menjadi
ancaman terbesar
keamanan dan keselamatan
bangunan, karena
transformasi sosial-budaya
tersebut tidak diimbangi
dengan trasformasi
terknologi .
4. *)Seminar Sehari Penyebarluasan Informasi Bidang Penataan Bangunan dan Lingkungan Dinas PU-NTT, 5
Desember 2013
**) Staf Dosen Jurusan Teknik Sipil UNWIRA Kupang
4
menengah lebih tinggi dibandingkan dengan korban jiwa yang terjadi pada masyarakat
berpenghasilan rendah (lihat gambar-03). Kasus ini sejalan dengan hasil pengamatan Rani
Hendrikus dkk (Tim Peneliti UNWIRA dalam Laporan Gempa Flores 1992) bahwa kerusakan
rumah tinggal tertingi terjadi pada rumah-rumah di daerah perkotaan, pinggiran kota dan kota
kecamatan di banding kerusakan rumah tinggal yang terjadi di kampung-kampung. Hal ini
disebabkan karena rumah yang berada di kampung-kampung (masyarakat ekonomi rendah)
umumnya menggunakan bahan local (kayu, bambu, atap alang-alang, dimensi kecil dan
berkonfigurasi sederhana), sedangkan rumah masyarakat perkotaan dan pinggir kota
(masyarakat ekonomi menengah) umumnya sudah menggunakan bahan bangunan moderen
(rumah tembok). Hal ini terjadi karena masyarakat kota memiliki akses informasi dan kondisi
ekonomi yang lebih baik dari pada masyarakat yang ada di kampung-kampung.
Gbr.-03 Jumlah kematian akibat berbagai kejadian bencana antara tahun1972 - 2002
Fenomena di atas dapat dijelakan dengan perkembangan type rumah yang digunakan
masyarak di kampung Nuaulu, Kecamatan Wolowaru, Kapupaten Ende (gambar-04) serta
kerusakannya akibat gempa Flores 1992. Di kampung ini kerusakan rumah masyarakat akibat
gempa Flores 1992 tergolong sangat kecil karena sebagian besar masyarakat masih
menggunakan rumah regel dengan bahan utamanya dari kayu dan bambu. Sedangkan tidak
jauh dari kampung ini, yakni di kota kecamatan (Wolowaru), di mana sebagian besar warganya
terdiri dari para guru, pengawai negeri dan polisi, yang rumah-rumahnya sudah beralih dari
rumah regel berbahan local ke rumah tembok, banyak ditemukan kerusakan. Dari pengamatan
5. *)Seminar Sehari Penyebarluasan Informasi Bidang Penataan Bangunan dan Lingkungan Dinas PU-NTT, 5
Desember 2013
**) Staf Dosen Jurusan Teknik Sipil UNWIRA Kupang
5
terhadap reruntuhan bangunan diketahui bahwa rumah tembok tersebut sebagian besar
menggunakan batu cetak (padat) sebagai bahan untuk pasangan dinding. Selain itu
sebagianrumah juga tidak menggunakan rangka beton bertulang sebagai pengaku bidang
tembok.
Gbr-04 Trasformasi Sosial dan Tyipe Rumah
Peralihan dari rumah panggung dan rumah regel ke rumah tembok umumnya berjalan
seiring dengan perbaikan ekonomi yang dialami masyarakat. Karena itu peralihan ini menjadi
Sao Ria (Rumah Adat)
tempat tinggal mosa-laki untuk upacara adat, tetap/masih eksis sampai
dengan saat ini, tapi fungsinya hanya untuk kegiatan adat. Pada saat gempa
1992 terdapat 3 buah rumah dan tidak mengalami kerusakan
Rumah Panggung (rumah tinggal masyarakat kebanyakan)
thn 60'an - 90'an type rumah ini sangat dominan. Saat ini sudah punah.
Masyarakat beranggapan kemajuan ditandai dengan meninggalkan rumah
panggu dan beralih ke rumah regel/tembok. Pada saat gempa 1992
masyarakat masih banyak yangmenggunakan rumah type ini, dan tidak
terjadi kerusakan berarti pada saat gempa tersebut
Rumah Regel (awalnya rumah tinggal guru/pegawai)
type ini mulai berkembang tahun 70'an, seiring dengan berkembangnya
penggunaan kursi dan meja untuk tamu. Pada thn 60'arumah ini hanya
untuk guru dan pemimpin kampung. Pada saat gempa 1992, type ini sudah
banyak digunakan. Secara umum bangunan type ini suevive selama gempa
Flores 1992.
Rumah Tembok
type ini mulai berkembang pada tahun 80'an, seiring dengan perbaikan
ekonomi masyarakat. Bagi masyarakat type rumah ini menjadi simbol
kemajuan dan sekaligus tanda status sosial tertentu. Saat ini , rumah
tembok merupakan type yang dominan. Pada saat gempa 1992 hanya
terdapat 3 buah rumah di kampung ini, dan mengalami kerusakan parah
akibat gempa tersebut
6. *)Seminar Sehari Penyebarluasan Informasi Bidang Penataan Bangunan dan Lingkungan Dinas PU-NTT, 5
Desember 2013
**) Staf Dosen Jurusan Teknik Sipil UNWIRA Kupang
6
Bencana alam
merupakan
laboratorim lapangan
terbesar yang dapat
dijadikan media
belajar. Tiga gempa
besar di wilayah NTT
dalam kurun waktu 25
terakhi, memberikan
informasi teknis yang
memadahi agar kita
lebih survive pada
gempa mendatang
cita-cita yang terus diupayakan dalam rangka perbaikan derajad atau kualitas hidup. Peralihan
ini juga tidak jarang dimaknai sebagi tanda perbaikan status sosial, di mana rumah panggung
dianggap sebagaii symbol para petani atau kelompok masyarakat tidak terdidik, sedangkan
rumah tembok dianggap sebagai symbol masyarakat terdidik atau kelompok para pegawai.
Makna simbolik yang tersirat ini cendrung mempercepat transfomasi sosial, dan menciptakan
jarak yang semakin lebar antara keinginan membangun rumah tembok dengan kemampuan
teknis menangani teknologi rumah tembok. Dengan kondisi demikian, rumah-rumah tembok
yang dibangunan oleh kelompok masyarakat yang berpengasilal menengah menjadi sangat
rentan terhadap ancaman bencana. Akibatnya kegagalan bangunan seperti yang dialam pada
gempa Flores 1992 tidak dapat dielahkan. Alasan ini yang dapat menjelaskan feomena unik
yang diperlihatkan pada gambar-03 di atas.
3. Bencana Sebagai Media Belajar
3.1. Faktor pengaruh kerusakan bangunan akibat gempa
Gempa bumi datang dalam bentuk gelombang gempa
yaitu body-wave dan Surface Wave. Ketika gelombang tersebut
merambah suatu kawasan, manusia akan meraksanya sebagai
guncangan yang bersifat acak dalam arah horizontal dan vertical.
Besarnya guncangan yang terjadi tergantung dari beberapa
factor seperti: besarnya energy gempa yang dilepaskan pada
pusat gempa (magnitude), mekanisme pelepasan energy pada
pusat gempa, jarak site dari pusat gempa (semakin dekat
semakin besar intesitas guncangan), kondisi geologis yang ada
antara site dengan pusat gempa, dan kondisi tanah di bawah
site. Besaran guncangan ini biasanya diukur dengan
menggunakan skala intensitas, baik dalam bentuk kualitatip
seperti yang umumnya dikenal dengan skala MMI, ataupun kuantitatip seperti percepatan
gempa yang diukur dengan strong motion accelerograph. Guncangan inilah yang menimbulkan
kerusakan pada lingkungan fisik buatan (bangunan gedung), dan lingkungan fisik alamiah,
seperti lereng atau tebing alam..
Pengelaman dari berbagai peristiwa bencana gempa bumi menunjukan bahwa
kerusakan bangunan selalu berkaitan dengan 2 faktor utama yakni :
7. *)Seminar Sehari Penyebarluasan Informasi Bidang Penataan Bangunan dan Lingkungan Dinas PU-NTT, 5
Desember 2013
**) Staf Dosen Jurusan Teknik Sipil UNWIRA Kupang
7
a) Intensitas gempa, yakni percepatan gempa yang dialami muka tanah di mana
bangunan berada. Semakin besar percepatan gempa, semakin besar gaya yang
bekerja pada bangunan, selanjutnaya semakin besar pula resiko kerusakan
bangunan. Relasi ini berhubungan dengan hukum Newton II, ̈, di mana
merupakan besar gaya yang bekerja pada bangunan, adalah massa bangunan,
dan ̈ adalah percepatan gempa.
b) Faktor internal bangunan seperti kompleksitas bangunan, kekakuan, kekuatan,
daktailitas dan rendudansi bangunan.
Faktor pertama (intensitas guncangan gempa) bersifat alamiah dan tidak dapat
dikendalikan, kecuali dilakukan rekayasa pada massa bangunan ( ) dan penerapan sistem
damping sehingga nilai ̈ dapat ditekan. Faktor kedua (kondisi internal bangunan) merupakan
bagian yang dapat direkayasa, sehingga faktor ini menjadi tanggung jawab para pelakuk
rekayasa (arsitek dan ahli struktur). Karena inilah banyak pihak berpendapat bahwa kerja sama
sejak dini dan intensif antara kedua bidang keahlian tersebut, sangat penting.
Wilayah administratip NTT telah mengalami beberapa kali gempa besar dalam kurun
waktu 25 tahun terakhir. Beberapa peristiwa gempa kuat yang dapat dijadikan referensi seperti
gempa Pantar-Alor 1987, gempa Flores 1992 dan Gempa Alor 2004. Ketiga peristiwa gempa
tersebut telah menimbulkan korban jiwa, kerugian ekonomi maupun social yang sangat besar
bagi pemerintah dan masyarakat NTT, khususnya masyarakat di daerah bencana, Berusaha
belajar dari peristiwa tersebut, khususnya berupaya untuk mengetahui dan memahami pola dan
penyebab kerusakannya, menjadi keharusan yang tidak terelahkan bagi para ahli bangunan di
daerah ini. Karena jenis-jenis kerusakan yang ada pada dasarnya berbicara tentang kelemahan
dan kekurangan kita (para ahli bangunan) dalam menyiasati dan mengatasi aksi beban gempa.
3.2. Pola kerusakan pada bangunan bertingkat
Gempa Flores 1992 menimbulkan banyak kerusakan pada bangunan bertingkat.
Beberapa yang menarik untuk diamati adalah:
1. Soft Story Effect. Keruntuhan salah satu toko di kota Maumere akibat gempa
Flores 1992 seperti yang ditunjukan pada gambar-05 diperkirakan akibat soft
story effect yakni bentuk kegagalan akibat kekakuan kolom lantai dasar jauh
lebih kecil dari pada kekakuan kolom pada lantai-lantai yang verada di atasnya.
Bangunan ini merupakan bangunan 3 lantai. Lantai 2 dan 3 berfungsi sebagai
tempat tinggal, sedangkan lantai dasar berfungsi sebagai toko. Karena
8. *)Seminar Sehari Penyebarluasan Informasi Bidang Penataan Bangunan dan Lingkungan Dinas PU-NTT, 5
Desember 2013
**) Staf Dosen Jurusan Teknik Sipil UNWIRA Kupang
8
berfungsi sebagai tempat tinggal, lantai 2 dan lantai 3 memiliki banyak bidang
dinding yang berfungsi sebagai pemisah ruang. Dinding-dinding ini biasanya
dipasang menempel atau menyatu dengan elemen kolom. Akibatnya kolom
mengalami jepitan lateral sepanjang tingginya. Akibat jepitan ini kekakuan kolom
meningkat, sehingga secara otomatis meningkatkan kekakuan bangunan pada
lantai bersangkutan. Sedangkan pada lantai dasar, karena fungsinya sebagai
toko, lantai ini memerlukan ruang terbuka yang besar. Karena itu pada lantai ini
tidak dipasang bidang dinding kecuali pada sisi luar bangunan saja. Karena itu
kontribusi bidang dinding terhadap kakauan bangunan lantai dasar, relati kecil.
Sehingga kekakuan bangunan pada lantai dasar lebih kecil dibandingkan
kekakuan bangunan pada lantai 2 dan lantai 3. Karena kekakuan lantai dasar
jauh lebih kecil dibandingkan kekakuan bangunan lantai 2 dan 3 maka, maka
deformasi lateral akan berpusat pada ujung atas kolom lantai dasar. Dan hal ini
menimbulkan yang memperbesar nilai momen yang bekerja pada
kolom lantai dasar.
Gbr-05 Kegagalan kolom lantai dasar sebagai akibat soft soty effect
2. Torsional Effect. Keruntuhan gedung perpustakaan Seminari Tinggi Ledalero,
menjadi salah satu contoh menarik dari pengauh negatip konfigurasi bangunan
terhadap respon struktur. Perputakaan merupakan bangunan berlantai dua,
yang salah satu sisinnya bersambungan dengan bangunan Aula, lihat gambar-
9. *)Seminar Sehari Penyebarluasan Informasi Bidang Penataan Bangunan dan Lingkungan Dinas PU-NTT, 5
Desember 2013
**) Staf Dosen Jurusan Teknik Sipil UNWIRA Kupang
9
06. Sedangkan Aula merupakan bangunan tidak bertingkat yang lantai dasarnya
berada pada level yang sama dengan lantai 2 bangunan perpustakaan. Dengan
konfigurasi demikian, maka sisi perpustakaan yang menyatuh dengan Aula
menjadi jauh lebih kaku dari sisi perpustakaan yang lainnya. Akibatnya pada
saat terjadi gempa bangunan akan mengalami gaya torsi yang besar. Gaya torsi
inilah yang menyebabkan kerusakan kolom pada daerah tonjolan seperti yang
diperlihatkan pada gambar-06.
Gbr-06 Denah Bangunan Perputakaan Seminari Tinggi Ledalero
PERPUSTAKAAN
(2 Lantai)
AULA
(1 lantai)
`
Daerah kolom
yang mengalami
kerusakan parah
Contoh kerusakan
lihat foto
10. *)Seminar Sehari Penyebarluasan Informasi Bidang Penataan Bangunan dan Lingkungan Dinas PU-NTT, 5
Desember 2013
**) Staf Dosen Jurusan Teknik Sipil UNWIRA Kupang
10
Gbr-07 Kolom sudu yang mengalami gagal geser
3. Pengaruh tangga pada bangunan bertingkat. Kegagalan kolom pada daerah
tangga asrama seminari tinggi Ritapiret merupaka sala satu contoh efek negatip
dari pengecoran pelat tangga yang menyatu dengan elemen struktur yang
lainnya. Kehadiran elemen tangga yang menyatuh dengan elemen kolom dan
pelat lantai menyebakan pergerakan relatip antar lantai menjadi terganggu.
Gaya lateral yang biasanya disalurkan melalui pelat lantai ke elemen-elemen
kolom melalui mekanisme distribusi momen dan gaya geser pada ujung-ujung
kolom mengalami perubahan dengan kehadiran elemen tangga. Pada elemen
kolom yang memikul bordes, sebagian gaya lateral diterima melalui proses
distribusi gaya di daerah join kolom dengan pelat bodes. Gaya lateral yang
bekerja pada lantai bangunan disalurkan melalui elemen tangga dalam bentuk
gaya normal dan selanjutnya ditranfer ke elemen kolom . Hal ini menyebabkan
kolom pemikul bordes selain menerima beban melalui ujung-ujung kolomnya
juga menerima beban pada tengah-tengah tinggi kolom tersebut baik berupa
gaya geser maupun momen lentur. Gambar-08 berikut menunjukan kerusakan
elemen kolom akibat kehadiran tangga tersebut.
Gbr-08 Kolom pemikul pelat tangga hancur (Asrama Seminari Tinggi Retapiret
11. *)Seminar Sehari Penyebarluasan Informasi Bidang Penataan Bangunan dan Lingkungan Dinas PU-NTT, 5
Desember 2013
**) Staf Dosen Jurusan Teknik Sipil UNWIRA Kupang
11
4. Sort Column Effect (efek kolom pendek). Pada peristiwa gempa Flores 1992
ditemukan beberapa kasus kerusakan yang diindikasikan sebagai akibat efek
kolom pendek. Gambar-09 dan gambar-10 berikut meperlihatkan pola
kerusakan yang dimaksud. Akibat adanya pasang tembok tidak penuh yang
menyatuh dengan kolom seperti pada pada kedua gambar tesebut,
menyebakan panjang kolom efektip berkuangan.Dalam kasus gambar-09 tinggi
kolom beban (efektip) , sedangkan dalam kasus gembar-10 tinggi kolom
efektip . Dengan panjang kolom yang berkurang, sedangkan momen
ujung kolom relatip tetap, menyebabkan gaya geser yang terjadi pada kedua
kolom meningkat secara tajam. Dalam kasus ini, gaya geser pada kolom
gambar-09 akan meningkat sedangkan gaya geser pada kolom
gambar-10 akan meningkat .
Gbr.-09 Gagal geser pada kolom akibat efek kolom
pendek
Gbr.-10 Gagal geser pada salah satu kolom akibat
efek kolom pendek
5. Beam-Column Joint Failure (gagal join kolom-balok). Gagal join kolom-balok
ditemui pada beberapa kasus keruskan bangunan seperti pada daerah tangga
asrama St. Fransiskus Assisi, Seminari Tinggi Ledalero. Daerah join merupakan
12. *)Seminar Sehari Penyebarluasan Informasi Bidang Penataan Bangunan dan Lingkungan Dinas PU-NTT, 5
Desember 2013
**) Staf Dosen Jurusan Teknik Sipil UNWIRA Kupang
12
salah satu bagian terlemah dari system rangka beton bertulang, karena disana
terjadi penumpukan tulangan. Daerah ini juga merupakan tempat kosentrasi
beban, di mana gaya pada elemen kolom dan balok membangun
keseimbangan. Karena itu daerah ini biasanya mendapat perhatian khusus baik
pada saat disain maupun saat pelaksanaan lapangan. Dari gambar-11 dapat
dilihat bahwa, seluruh beton pada daerah join hancur dan lepas.Hal ini
menunjukan bahwa join telah mengalami gaya geser yang sangat besar, jauh
melampaui kapasitas pikulnya. Kondisi ini diperburuk dengan tidak dipasangnya
sengakang di daerah tersebut, sehingga beton yang berada di dalam daerah
join tidak memiliki kekangan dari arah samping secara berarti.
Gbr-011 Gagal Join pada bangunan Asrama St Fransiskus Assisi Ledalero
6. Pounding Effect (efek benturan). Benturan antar bangunan sering terjadi pada
saat gempa, terutama antara bangunan yang berdekatan. Efek benturan ini
sangat berbahaya bila terjadi pada bangunan tinggi dengan tinggi antara
bangunan yang berdekatan berbeda secara berati. Pada bangunan rendah efek
benturan umumnya tidak menimbulkan kerusakan berarti. Gambar-13
menunjuka kerusakan yang terjadi pada daerah join kedua banguna akibat effek
bentur di atas.
13. *)Seminar Sehari Penyebarluasan Informasi Bidang Penataan Bangunan dan Lingkungan Dinas PU-NTT, 5
Desember 2013
**) Staf Dosen Jurusan Teknik Sipil UNWIRA Kupang
13
Gbr-12 Kerusakan daerah pertemuan kedua bangunan akibat efek bentur
3.3. Pola kerusakan pada bangunan tidak bertingkat
Kerusakan bangunan tidak bertingkat akibat gempa umumnya terjadi pada bagian
tembok, dan dalam beberapa kasus terjadi juga pada rangka beton bertulang, khususnya pada
daerah-daerah join. Banyak kasus kerusakan yang terjadi selama gempa Pantar 1987, gempa
Flores 1992 dan gempa Alor 2004 dapat dijadikanpelajaran agar kejadian serupa dapat
dihindari atau sekurang-kurannya diminimalisir.
1. Kerusakan bidang tembok akibat adanya bukaan jendela atau pintu. Bukaan
jendela, bouven dan pintu menjadi titik lemah bidang tembok pada saat
menerima beban gempa. Sebagian besar kejadian kerusakan tembok umumnn
berkaitan dengan kehadiran elemen bangunan ini. Gambar-13 dan 14
menunjukan bentuk kerusakan yang dimaksud. Penyatuan dua elemen
bangunan yang memiliki karakter berbeda (tembok dengan rangka jendela),
merupakan pangkal kerusakan bidang tembok pada saat mengalami guncangan
gempa. Retakan biasanya berawal dari ketidak selarasan deformasi pada sudut-
sudut jendela, atau bouven, atau pintu, dan ketika bidang tembok berdeformasi
· Retak akibat
benturan antar
bangun, tidak
membahayakan
bangunan.
· Pada bangunan
dengan tinggi tidak
sama, potensi
kegagalan menjadi
jauh lebih tinggi
14. *)Seminar Sehari Penyebarluasan Informasi Bidang Penataan Bangunan dan Lingkungan Dinas PU-NTT, 5
Desember 2013
**) Staf Dosen Jurusan Teknik Sipil UNWIRA Kupang
14
dalam arah bidangnya, maka retakan tersebut semakin membesar dan
menyambung dengan retatakan tang terbentuk pada sudut sudut bidang
tembok, sehingga membentuk garis diagonal.
r
Gbr-13 Retakan pada bidang tembok akibat adanya bukaan jendela
tidak ada
rangka pengaku
bukaan
tidak ada
angkur
mudah runtu
pola retak
membentuk
garis diagonal
Pada bidang
tembok yang
berkualitas
rendah, pola retak
cenderung acak,
karena pias
retakan mudah
remuk
15. *)Seminar Sehari Penyebarluasan Informasi Bidang Penataan Bangunan dan Lingkungan Dinas PU-NTT, 5
Desember 2013
**) Staf Dosen Jurusan Teknik Sipil UNWIRA Kupang
15
Gbr-14 Retakan pada bidang tembok akibat adanya bukaan jendela
2. Kerusakan akibat akibat ikatan bidang tembok yang tidak sempurna. Pola
kerusakan ini umumnya terjadi pada bidang tembok pemisah/pembatas ruang
kelas. Faktor penyebabnya adalah: (1) tidak ada ring balok, kalaupun ada, join
antara ring balok dengan kolom tidak dikerjakan dengan benar. (2) tidak angkur
antara bidang tembok dengan kolom-kolom tepih sehingga kolom tepih tidak
mampu memegang/mengikat bidang tembok dengan sempurna. (3) Dalam
beberapa kasus dimensi kolom, khusunya kolom tengah terlalu kecil, di mana
ukuran kolom disesuaikan dengan tebal bidang tembok. Gambar-15menunjukan
pola kerusakan yang dimaksud.
Gbr-15 Bidang tembok pembatas ruang rubuh secara menyeluruh
3. Gagal pada konstruksi gewel. Konstruksi gewel banyak digunakan pada
bangunan sekolah, khususnya pada tembok yang berada di ujung-ujung
bangunan. Kostruksi ini banyak mengalami kegagalan baik pada gempa Pantar
1987, gempa Flores 1992, maupun gempa Alor 2004. Dalam praktek konstruksi
gewel selain sebagai dinding bangunan juga berfungsi sebagai struktur pemikul
beban atap. Karena itu gewel selain menerima gaya geser (sejajar bidang
tembok) juga menerima beban muka (face load) yang bekerja tegak lurus
16. *)Seminar Sehari Penyebarluasan Informasi Bidang Penataan Bangunan dan Lingkungan Dinas PU-NTT, 5
Desember 2013
**) Staf Dosen Jurusan Teknik Sipil UNWIRA Kupang
16
bidang tembok. Gaya beban muka berasal dari massa atap bangunan yang
mengalami percepatan dalam arah sumbu memanjang bangunan. Beban inilah
yang umumnya melahirkan kerusakan pada bidang gewel. Bentuk kerusakan
yang umumditemui seperti yang diperlihatkan pada gambar-16.
Gbr-16 Kerusakan gewel pada bangunan sekolah
4. Lemahnya ikatan antara tembok dengan elemen kolom. Jika konstruksi kolom
dari bahan kayu atau baja maka ikatan antara tembok dan kolom tersebut
sangat lemah, sehingga mudah rusak pada saat mengalami beban gempa.
Kerusakan pada rumah masyarakat yang menggunakan rangka serta rumah-
rumah guru yang menggunakan rangka baja menjadi contoh dari kasus ini.
Gambar-18 menunjukan runtuknya tembok yang konstruksi kolomnya dari baja
sedangkan gambar-19 memperlihatkan keruntuhan pada bidang tembok yang
konstruksi kolomnya dari bahan kayu. Faktor penyebab kerusakannya adalah
karena lemahnya ikatan antara kedua bahan tersebut (tembok dengan kayu
anatpun tembok dengan baja).
17. *)Seminar Sehari Penyebarluasan Informasi Bidang Penataan Bangunan dan Lingkungan Dinas PU-NTT, 5
Desember 2013
**) Staf Dosen Jurusan Teknik Sipil UNWIRA Kupang
17
Gbr-17 Kerusakan bidang tembok akibat ikatan yang lemah antara tembok dengan baja
Gbr-18 Kerusakan bidang tembok akibat ikatan yang lemah antara tembok dengan kayu
5. Kerusakan pada konstruksi kanopy. Kanopy pada rumah tinggal maupun kantor
merupakan ruang terbuka yang berfungsi sebagi entrance, biasanya diberi atap,
tanpa dinding, dan menonjol ke arah luar bangunan. Mengingat beban
(gravitasi) atap kanopy relatip kecil,maka dimensi kolom yang digunakan juga
kecil. Dengan konfigurasi demikian maka parameter dinamis (terutama
kekakuan) kanopy berbeda dengan parameter dinamis bangunan induknya.
Umunya bangunan induk jauk lebih kaku dibandingkan dengan bangunan
`
Ikatan kolom
dengan dinding
lemah karena
tidak dipasang
ANGKUR PENGIKAT
antara kolom
dengan dinding
kalom dari
kayu
18. *)Seminar Sehari Penyebarluasan Informasi Bidang Penataan Bangunan dan Lingkungan Dinas PU-NTT, 5
Desember 2013
**) Staf Dosen Jurusan Teknik Sipil UNWIRA Kupang
18
kanopy. Akibatnya respon dinamis (deformasi lateral) bangunan induk berbeda
dengan respon dinamis kanopy baik dalam hal besaran maupun arahnya. Hal ini
menyebakan distrorsi deformasi maupun gaya pada bagian pertemuan antara
bangunan kanopy dengan bangunan induknya. Hal inilah yang menyebabkan
kerusakan atau runtuhnya kanopy pada bangunan yang ditunjukan pada
gambar-19 dan 20 berikut ini.
Gbr-19 Kerusakan kanopy rumah tinggal akibat gempa
Gbr-19 Kerusakan kanopy kantor akibat gempa
CANOPY
CANOPY
19. *)Seminar Sehari Penyebarluasan Informasi Bidang Penataan Bangunan dan Lingkungan Dinas PU-NTT, 5
Desember 2013
**) Staf Dosen Jurusan Teknik Sipil UNWIRA Kupang
19
Antisipasi terhadap ancaman
bencana pada dasarnya
merupakan tidakan mitigasi.
Langkah strategi:
1. Menekan sifat exposure
melalui penataan ruang.
2. Menekan kerentanan
melalui : penyempurnaan
regulasi, peningkatan
kapasitas SDM, dan
perkaikan kultur
penyelenggara bangunan.
4. Strategi Mitigasi
4.1.Menekan Sifat Exposure
Strategi mitigasi atau strategi antisipasi harus
dimulai dari pendekatan dasar yang telah disampaikan
di atas, yakni mitigasi merupakan upaya menekan
kerentanan dan menekan sifat exposure. Jika bertolak
dari krangka ini maka dengan mudah dilihat langkah-
langkah yang harus dilakukan dalam me-mitigasi
bencana, khususnya menekan kerusakan bangunan
gedung akibat gempa bumi.
Menekan sifat exposure dilakukan melalui
penataan ruang. Yakni dengan menerapkan konsep
tata ruang yang berbasis mitigasi bencana. Walau
demikian penataan ruang tidak otomatis
menghilangkan sifat exposure terahadap ancaman
gempa sepenuhnya, karena gempa bumi memiliki
wilayah pengaruh yang sangat luas. Yang dapat dilakukan adalah menekan secara terbatas.
Artinya hanya untuk ancaman-ancaman tertentu saja. Misalnya menghilangkan ancaman
bencana tsunami atau tanah longsor, dengan cara memindahkan penghuni dari kawasan
tertentu, yang memiliki resiko terjadi tsunami atau tanah longsor bila terjadi gempai.
Saat ini studi-studi tata ruang sudah memasukan aspek kebencanaan di dalam proses
analisis dan perancangannya. Namun yang masih menjadi masalah adalah menyangkut:
kedalaman, ketercakupan kajian, serta konsitensi penerapan di lapangan. Halangan utama
dalam mecapai kedalaman dan ketercakupan adalah pada ketersediaan data dan SDM untuk
melakukan kajian tersebut. Sedangan konsistensi penerapan dilapangan tergantung kualitas
produk dan komitmen para pengelola. Tidak jarang kita temui suatu produk tata ruang tidak
dapat diaplikasikan karena biaya sosial yang terlalu tinggi, yang sebelumnya tidak terdeteksi
atau tidak dipikirkan.
Di NTT, kita memiliki contoh kasus yang menarik yakni kembalinya warga mendiami
kawasan Wuring dan sekitarnya seperti sebelum gempa Flores 1992. Kembalinya warga
Wuring ini apakah karena telah ditemukan cara/solusi terhadap ancaman tsunami, atau hanya
karena “lupa” atau mungkin karena ketidak konsistenan dalam melakukan kajian dan atau
mengaplikasikannya di lapangan.
20. *)Seminar Sehari Penyebarluasan Informasi Bidang Penataan Bangunan dan Lingkungan Dinas PU-NTT, 5
Desember 2013
**) Staf Dosen Jurusan Teknik Sipil UNWIRA Kupang
20
4.2.Menekan Kerentanan
Menekan kerentan bangunan terhadap ancaman bencana gempa bumi dapat dilakukan
melalui pendekatan secara langsung terhadap obyek bangunan itu sendiri, yakni bangunan
existing (yang telah berdiri) dan bangunan baru (yang baru akan didirikan dikemudian hari).
Karena kondisinya berbeda, perlakuan terhadap kedua obyek bangunan tersebut juga berbeda.
Gbr-20 Kategori bangunan berdasarkan standar/pedoman yang digunakan
Pada bangunan eksisting kerentannya bersifat nyata dan melekat pada fifsik bangunan
itu sendiri. Pada kelompok bangunan ini sumber kerentanannya dapat ditelusuri dari data
Bangunan yang didirikan sebelum tahun 1955
•pedoman dan standar peninggalan Belanda
•beton bertulangdengan tulangan minimal
•dinding pasangan batu alam dengan tebal > 20 CM
Bangunan yang didirikan antara tahun 1955-1977
•Menggunakan PBI-1955, Pengaruh gempa belum diipertimbangkan
•Untuk bebanmenggunakan PMI, termasuk untuk beban gempa
Bangunan yang didirikan antara tahun 1977 - 1990
•Menggunakan PBI-1971, Walaupun pengaruh gempa sudah
dipertimbangkan namun pendetailan tulangan masih terbatas
•Peraturan Gempa: Campuran pengaruh Jepang, New-Zealand, Amerika
Bangunan yang didirikan antara tahun 1990-2002
•Beton PBI-1990, pengaruh gempa sudah diperhitungkan secara penuh
termasuk aspek pendetailannya
•Gempa : SNI 03-1734-1989
Bangunan yang didirikan di atas tahun 2002
•Beton SNI 03-2487-2002
•Gempa: SNI 03-1726-2002
21. *)Seminar Sehari Penyebarluasan Informasi Bidang Penataan Bangunan dan Lingkungan Dinas PU-NTT, 5
Desember 2013
**) Staf Dosen Jurusan Teknik Sipil UNWIRA Kupang
21
bangunan dan periode/tahun di manan tersebut didirikan. Dengan informasi tahun pendirian,
gambaran mengenai teknologinya, bahannya, dan standar atau pedoman yang digunakan
dapat diketahui, lihat model informasi dalam gambar-20. Sedangkan pada bangunan yang baru
akan didirikan, kerentanannya masih bersifat potensial. Aspek yang perlu mendapat perhatian
pada kelompok bangunan ini adalah: bagaima membangun standart/pedoman teknis bangunan,
bagaimana menyiapkan SDM (pelaku pembangunan) dan bagaiman membangun kultur para
pelakunya terutama sikap konsisten dank omit terhadap regulasi yang ada. Karena itu strategi
membangun ketahanan (resilience) pada kedua kelompok bangunan ini tidak sama. Gambar-21
menunjuka skema strategi membangun ketahanan bangunan terhadap ancaman gempa bumi.
Gbr-21 Strategi menekan kerentanan
4.3.Pengendalian Mutu Bangunan
Peraturan menteri Pekerjaan Umum nomor 24/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis
Izin Mendirikan Bangunan secara jelas mengatur proses penyelenggaraan bangunan gedung
mulai dari tahap studi/perencanaan sampai dengan tahab pembongkaran. Alur kegiatan
tersebut secara skematik diperlihatkan pada gambar-22. Dari rangkaian kegiatan tersebut,
sekurang-kurang terdapat 3 titik control utama yang jika diterapkan secara konsisten dapat
menjamin keamanan dan keselamatan banguan. Ke-tiga titik control tersebut adalah: AMDAL
(análisis dampak lingkungan), IMB (izin mendirikan bangunan) dan SLF (sertifikat laik fungsi).
AMDAL merupakan pintu awal pemerintah dan masyarakat umum melakukan kontrol
terhadap obyek bangunan yang akan didirikan. Saat ini dengan adanya UU Lingkungan, hampir
semua usaha/kegiat yang perpeluang memberikan dampak besar harus melalui AMDAL atau
strengthening
aplikasi bang.
tahan gempa
evaluasi
perkuatan
regulasi/standar/
pedoman
SDM
pengendalian
rencana
existing
RESILIANCE
strategi
mitigasi
22. *)Seminar Sehari Penyebarluasan Informasi Bidang Penataan Bangunan dan Lingkungan Dinas PU-NTT, 5
Desember 2013
**) Staf Dosen Jurusan Teknik Sipil UNWIRA Kupang
22
sekurang-kurangnya UKL/UPL. Dengan demikian resiko ancaman lingkungan seperti gempa
bumi sudah menjadi perhatian sejak awal.
Jika AMDAL hanya melakukan evalusi makro, sebaliknya tahap IMB merupakan tahap
evaluasi mikro dan mendalam. Obyek yang dievaluasi hanya berkaitan dengan pesyaratan
adminstrasi dan persyartan teknis. Karena itu IMB pada dasarnya merupakan surat jaminan dari
otoritas setempat (Bupati/Walikota) bahwa bangunan yang diberikan IMB tersebut, sudah
dirancang sesuai dengan regulasi yang ada dan handal terhadap berbagai ancaman beban
rencana, termasuk ancaman gempa bumi.
Gbr-22 Bagan alir proses penyelenggaraan bangunan
Sertifikat IMB memberikan jaminan atas rancangan yang diajukan, sedangkan sertifikat
laik fungsi (SLF) memberikan jaminan keamanan atas obyek bangunan yang telah berdiri.
Sertifikat ini juga dikeluarkan oleh otoritas setempat setela melakukan evaluasi menyeluruh dan
mendalam terhadap data perencanan dan data pelaksanaan fisik bangunan termasuk hasil
ujinya. Dengan sertifikat ini keamanan bangunan terasuk keamanan pemilik dan pengguna
bangunan dijamin.
23. *)Seminar Sehari Penyebarluasan Informasi Bidang Penataan Bangunan dan Lingkungan Dinas PU-NTT, 5
Desember 2013
**) Staf Dosen Jurusan Teknik Sipil UNWIRA Kupang
23
Jika rangkai kendali produk bangunan ini diterapkan secara konsistem maka tingkat
kerugian harta benda dan korban jiwa akibat gempa dapat ditekan serendah mungkin.
Konsistensi inilah merupakan sala satu alasan mengapa tingkat korban jiwa akibat bencana
(gempa) pada negara-negara berpenghasilan menengah ke atas jauh lebih rendah dari apa
yang terjadi di negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah.
5. Penutup
Paper yang agak panjang ini merupakan bentuk perhargaan saya kepada institusi PU
yang sedang merayakan hari jadinya, sekaligus juga sebagai bentuk harapan saya kepada
instansi ini agar lebih keras lagi bekerja guna menciptakan banguan gedung di Indonesia yang
aman terhadap ancaman gempa bumi.
Kita sadari bahwa tidak ada lingkungan fisik buatan yang 100% aman. Namun dengan
nurani dan akal sehat kita, kita dapat menciptakan suatu bangunan yang layak dibangunan
karena cukup ekonomis dan layak dihuni karena tingkat keamanannya terjamin.
Resiko kegaglan bangunan termasuk pada bangunan-bangunan yang telah
direncanakan dengan baik selalu ada. Engineers harus memastikan bahwa jenis kegagalan
yang terjadi adalah kegagalan yang terkendali dan tidak menimbulkan korban jiwa.
Bangunan dengan ciri demikian hanya dapat dicapai melalui pendetailan yang benar
dan dilaksankan dengan tepat dilapangan. Ketelitian perhitungan termasuk dengan
menggunakan komputer sekalipun, bukanlah jaminan jika kedua hal ini tidak dikejakan dengan
baik.
Siapakah yang dapat memberikan kepastian akan jaminan keamanan ini. Tidak lain
tidak bukan, kita semua para aktor penyelenggara bangunan.
24. *)Seminar Sehari Penyebarluasan Informasi Bidang Penataan Bangunan dan Lingkungan Dinas PU-NTT, 5
Desember 2013
**) Staf Dosen Jurusan Teknik Sipil UNWIRA Kupang
24
Referensi:
1. UU Republik Indonesia No 28 Tahun 2002 Tentang BangunanGedung
2. PP Republik Indonesia Nomor 36Tetang Perturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2002 Tetang Bangunan Gedung
3. Peraturan Menteri PU Nomor: 29/PRT/M/2006 Tentang PErsyaratan Teknis Bangunan
Gedung
4. Peraturan Mentrei PU Nomor: 24/PRT/M/2007 Tentang Pedoman Ijin Mendirikan
Bangunan
5. Peraturan Menteri PU Nomor: 25/PRT/M/2007 Tentang Sertifikat Laik Fngsi Bangunan
Gedung
6. Peraturan MenteriPU Nomor: 26/PRT/M/2007 Tentang Pedoman Tim Ahli Bangunan
7. Joe Chung; “Presentation on Disaster Risk Reduction and Implementation of Hyogo
Framework for Action 2005 – 2015: Building the Resilience of Nation and Communities
to Disasters” ; Regional Conference on Natural and Human-Induced Environmental
Hazards and Disasters, 18-20 Sep 206, Kuala Lumpur, Malaysia.
8. Rani Hendrikus; Pengurangan Resiko Bencana Gempa Bumi Berbasis Komunitas di
Wilayah Propinsi NTT, antara Harapan dan Kenyataan; disampaikan pada Konferensi
Nasional Pengelolaan Resiko Bencana Berbasis Komunitas, Kupang 5-8 September
2012
9. Rani Hendrikus; Bencana Alam Versus Bencana Kebijakan; Disampaikan dalam Diskusi
sehari FKDM-LINMAS Propinsi NTT, 2009
10. Rani Hendrikus dan Kotan Y Stefanus; Naskah Akademik Perturan Daerah Kabupaten
Sikka Tentang Bangunan Gedung Bebasis Mitigasi Bencana”; Proyek Kerja Sama
UNDP – BAPPENAS – SCDRR-NTT Tahun 2011
11. An Overview of Disaster Management; Disaster Management Training Program – UNDP
1992
12. Living With Risk A Global Review of Disaster Reduction Initiatives; International strategy
on Disaster Risk Reduction (ISDRR), United Nations (UN) – ISDRR
13. Teddy Boen; Constructing Seismic Resistant Masonry House in Indonesia; United
Nations Center for Regional Development (UNCRD), 2009
14. Hugo Bachmann; Seismic Conceptual Design of Building – Basic Principles for
Engineers, Architects, Building Owners an Authorities; Swiss Agency for Development
and Cooperation, 2003
15. Andrew Charleson; Seismic Design for Architects; Architectural Press, 2008
16. Marco Mezzi, Alberto Parducci, Paolo Verdicci; Architectural and Structural
Configurations of Buildings With Innovative Aseismic System; 13th
World Conference on
Earthquake Engineering, Vancouver, B.B., Canada, August 1-6, 2004