SlideShare a Scribd company logo
Riau Pos 
Minggu, 13 Januari 2008 
Anggang dari Laut 
Cerpen: Pinto Anugrah 
"Pergilah! Ikuti aliran batang Kuantan itu, kelak kau akan bertemu ujungnya, di mana air 
akan terasa asin di lidahmu. Muara dengan riak ombak yang mendesir, nyanyian yang 
mendayu-dayu, yang membuat hati pilu dan layu. Ya, di sanalah tanah Melayu. Carilah 
ayahmu! Ia berdiam di laut yang sedidih hingga teratak berair hitam, tempat buaya putih 
tengkuk. Anggang, itulah nama ayahmu, terkenal dengan julukan ‘Anggang dari Laut’!" 
Mengiang, kata-kata itu mengiang. Tertanam di tubuhku yang paling dalam. Masuk ke 
darah, mengalir, setiap persendian, ngilu, dan pilu. Menjadi dayung setiap pelayaranku. 
"Ingat, Buyuang! Kau bukan lagi anak dari seorang putri raja dengan ibu bernama Puti 
Jamilan. Kini, kau hanya seorang anak rantau yang mencari penghidupan baru di tanah 
seberang. Layarilah penghidupanmu, kini kau punya kapal sendiri yang bebas kau kayuh ke 
samudra manapun." 
Sebuah kapal dagang baru saja melempar jangkar. Petang di bandar Malaka tak 
menyurutkan hiruk-pikuknya sebagai bandar dagang yang sangat ramai. Kapal-kapal silih 
berganti menurunkan dan menaikkan jangkarnya. Barang-barang dagang tak habis-habisnya 
turun dan naik dari kapal-kapal. 
"Apa yang kau lamunkan, Bujang?" 
Aku tak menyangka ia akan menyapaku juga. Sedari tadi kuperhatikan ia sibuk 
menyelesaikan pekerjaannya; mengangkuti peti-peti lada yang hendak diperdagangkan. Ia 
seorang kuli angkut di bandar ini, aku mengenalnya pagi tadi di kedai kopi sudut bandar. 
"Saya hendak sangat berlayar." 
Ia tertawa, lepas, keras sekali. Hingga orang-orang pun menoleh, kami jadi pusat perhatian. 
"Ke mana kau akan berlayar, Bujang?" 
"Entahlah. Ke mana gelombang akan membawa." 
"Kau masih terlalu mentah. Kau tahu, di laut lepas sana lanun-lanun berkeliaran. 
Membidikkan meriamnya ke setiap kapal dagang yang lewat. Sanggup kau 
menghadapinya?" 
Aku tercenung, kemudian mengangkat kepala kembali. "Boleh saya tanya sesuatu." 
"Apa yang hendak kau tanyakan?" 
"Kau tahu di mana letaknya laut yang sedidih?" 
Ia terkesiap, seketika ia hentikan pekerjaannya. Dan langsung berlari, menghilang di balik 
kerumunan orang. Bandar sangat ramai, aku tak dapat melihat ke arah mana ia lari. Tinggal 
rasa heranku. 
Kembali aku termenung di ujung bandar, menatap laut lepas, dan sesekali pikiranku
melayang entah ke mana. Tak lama ia kembali, namun kali ini ia tak sendiri. Di 
belakangnya seorang tua mengikuti. Air mukanya jernih. Bawaannya sangat tenang. 
Tampaknya ia seorang tua yang sangat dihormati dan jadi kaul tempat bertanya. Ia 
menghampiriku, sangat dekat, memandang lekat-lekat. 
Ia berkata setengah berbisik, "Siapa yang kau cari, anak dagang?" 
Aku memandang wajahnya yang teduh itu. "Anggang!" 
Tampak ia terkejut, namun keterkejutannya itu dapat ia redam dengan bijak sebagai 
seorang tua. "Dari mana kau tahu keberadaan Anggang? Hanya orang-orang yang telah 
lama berlayar dan lanun-lanun yang tahu akan keberadaan Anggang." 
"Aku anak Anggang!" 
Kali ini keterkejutannya tak dapat ia sembunyikan. Ia terdiam, beberapa saat. 
"Sebaiknya kau, anak dagang, cepat pergi dari sini! Jika Syahbandar tahu, kau bisa 
dirantai." 
Kawanku, kuli angkut, turut mengangguk. Mengiyakan. Meyakinkanku. 
Dan orang tua itu tampak memandang lurus ke depan, seolah pandangannya dapat 
menembus luas lautan. "Datang juga masa itu!" 
*** 
Ruang ini gelap sekali, tak ada cahaya masuk sedikit pun. Aku tersandar di dinding batu 
yang lembab dengan kaki terantai dan terpasung ke dinding. Kepalaku terasa berat, tak lagi 
berasa apa-apa. Hanya darah dingin yang mulai membeku terasa di bibirku yang sembab. 
"Asin," umpatku, "Seasin air laut..." 
Tak dapat kuingat dengan jelas, kejadian itu berlalu begitu cepat. Menghantamku, membuat 
segala yang ada di sekitarku mengelam. Kelam. 
Tiba-tiba saja ia telah berada di belakangku dengan para hulubalangnya. Mereka langsung 
menyekap dan merantaiku. Kawanku—kuli angkut itu, tak dapat berbuat apa-apa, hanya 
memandang nanar ke arahku. Sedangkan orang tua itu, ia tersenyum, senyum yang lepas, 
"tidak apa, ikuti saja mereka! Itulah jalan untuk bertemu ayahmu!" Kemudian ia 
menghilang di antara kerumunan orang yang menonton. 
Aku dibawa ke sudut bandar, seperti sebuah gudang, tapi aku yakin ini bukanlah sebuah 
gudang. Di dalam gelap, hanya bayangan garis wajah mereka yang dapat kutangkap dengan 
mata. 
"Kau dari mana?" 
"Siak!" 
Sesuatu mendarat di kepalaku. Begitu keras. Membuat pandanganku mengabur. Dan benar-benar 
kelam. 
***
"Tukar kebebasanmu dengan Pedang Sijanawi!" 
Ia duduk berhadap-hadapan denganku. Sebuah meja Turki memisahkan. Tampangnya 
begitu dingin, walau airmukanya kelihatan bersih. Aku tak mengenalnya. 
"Aku tidak tahu pedang apa itu, lagipula aku tidak punya pedang satu pun apalagi pedang 
yang kau sebutkan tadi." 
Tawanya langsung meledak seperti muncung meriam. Aku tak mengerti apa yang 
ditertawakannya. "Bodoh! Aku tidak menyangka ia punya anak sebodoh ini." 
Orang-orang yang berdiri di sudut ruangan itu pun ikut tertawa. 
"Tidak perlu kau tahu pedang apa itu, cukup kau beritahu di mana keberadaan ayahmu, 
maka kau bebas!" 
"Di laut yang sedidih." Aku menjawabnya cepat. 
Ia lalu mengambil sebuah peti dan meletakkannya di atas meja Turki itu. Dikeluarkannya 
sebuah peta yang tampak sudah usang dan dikembangkannya seperti mengembangkan layar 
kapal ke hadapanku. 
"Tunjukkan! Di mana laut yang sedidih itu!" 
Aku sama sekali tak mengerti membaca peta. Yang kulihat hanya garis-garis hitam yang 
tebal dan pada bagian tertentu terdapat garis tipis mengiris. Dan tulisan, tulisan Arab tanpa 
baris, aku dapat membacanya sedikit-sedikit walau masih terbata-bata. Kutelusuri tulisan 
itu dengan berusaha membacanya satu persatu. 
"Inuk." Kutunjuk sebuah tempat yang dengan mudah dapat kubaca di peta. 
Ia langsung tercenung, semua tercenung. 
"Inuk?" 
"Bukankah Inuk wilayah kekuasaan raja-raja Bugis di Lingga?" 
"Kita tidak bisa masuk ke dalamnya." 
"Jika tetap masuk kita akan berperang dengan Bugis-bugis itu." 
"Saya tidak percaya Anggang berada di Inuk, Syahbandar." 
"Kenapa kau tidak percaya?" 
"Kita lupa, ia itu Raja Lanun yang diburu muncung meriam raja-raja Melayu dan dibenci 
oleh raja-raja Bugis. Tidak mungkin dengan mudahnya ia memberitahukan keberadaannya 
pada orang-orang, bahkan kepada anak dan istrinya sekalipun." 
Syahbandar langsung memukul meja di hadapanku. 
"Budak ini mencoba menipu kita!" 
Sebuah benda keras lagi-lagi dihantamkannya ke kepalaku. Membuatku tersungkur ke
meja, darah segar langsung keluar mengalir dengan deras menggenangi meja buatan Turki 
itu, membentuk lautku sendiri. Tiba-tiba aku seperti tersadar, inikah laut yang sedidih itu? 
Mana mungkin, aku menepis pikiran itu. 
Samar-samar aku masih mendengar amarah mereka. 
"Buang budak ini ke air, biar muara Kampar menguliti tubuhnya, dicabik-cabik buaya. 
Tidak ada gunanya budak ini di atas kapal kita." 
"Huh, Anggang, Raja Lanun yang menyimpan pusaka segala lanun yang benar-benar licik 
dan licin. Tidak salah ia dinamakan dengan Anggang, mendengarnya saja sudah bikin gatal 
seluruh badan apalagi kalau menyentuhnya." 
*** 
"Bangun! Bangunlah, Anakku!" 
"Kaukah itu Ayahku? Kaukah itu Anggang?" 
"Ya, inilah bentuk wujudku. Ternyata kau sudah besar, Buyuang. Tanggalkanlah nama 
kecilmu itu! Sekarang kau bernama Tun Bujang yang akan mewarisi segalanya dariku." 
"Di mana? Di mana kau, Ayah?" 
"Ada di hatimu." 
"Hatiku jauh kutinggalkan bersama Ibu, sebagai kawan sepinya untuk bersenandung." 
"Telah kujemput dengan pusakamu Yamtuan Raja Kecik dan pedang Sapu Rajab, serta cap 
kuasa atas segala selat dan pesisiran." 
"Kita pernah bertemu. Bukankah kau yang di bandar tempo hari?" 
"Ya, bentuk lain dari penyamaranku." 
"Di mana aku saat ini?" 
"Ada dalam dirimu." 
"Seperti kabut kau buat segalanya kabur. Tidakkah aku sekarang berada di laut yang 
sedidih hingga teratak berair hitam, tempat buaya putih tengkuk?" 
"Tidak. Itupun lebih dikaburkan. Kenapa kau datang ingin menemuiku?" 
"Ibu sudah sangat rindu kepadamu. Aku ingin membawamu menemui Ibu." 
"Laut telah mengikatku!" 
"Ayah!" 
"Dan suatu saat kau pun akan diikat laut!" 
"Ayah!"
"Sudah takdirmu kau akan menjadi Raja Lanun dan memegang pusaka pedang Sijanawi!" 
"Ayah!" 
"Salamku untuk ibumu!" 
"Ayah!" 
"Bangun! Bangunlah, anakku! 
"Oh, di mana aku?" 
"Di rumah. Kau terbawa arus sungai, untung tersangkut akar bakau, kalau tidak mungkin 
kau akan digulung arus bendungan dan pulang namanya saja." 
"Ayah! Di mana Ayah? Ayah!" 
"Ayahmu belum pulang menangkap ikan sejak pagi." 
"Bagaimana aku menyusuri Kampar, Ibu? Batang Kampar telah dibendung, air 
menggenang membuat danau. Bagaimana caranya aku sampai ke laut. Dan Ayah, 
bagaimana dengan Ayah?" 
"Kau bicara apa?" 
"Laut yang sedidih hingga teratak berair hitam, tempat buaya putih tengkuk. Di mana itu, 
Ibu?" 
"Bangunlah, Buyuang! Sadarlah!" 
"Anggang, ya, Anggang. Itukah nama Ayah, Bu?" 
"Rupanya benturan di kepalamu cukup keras, hingga kau menceracau tidak karuan!" 
"Ayah! Kita tidak akan ketemu Ayah lagi, Bu!"*** 
Kandangpadati, 0705 – 09
"Sudah takdirmu kau akan menjadi Raja Lanun dan memegang pusaka pedang Sijanawi!" 
"Ayah!" 
"Salamku untuk ibumu!" 
"Ayah!" 
"Bangun! Bangunlah, anakku! 
"Oh, di mana aku?" 
"Di rumah. Kau terbawa arus sungai, untung tersangkut akar bakau, kalau tidak mungkin 
kau akan digulung arus bendungan dan pulang namanya saja." 
"Ayah! Di mana Ayah? Ayah!" 
"Ayahmu belum pulang menangkap ikan sejak pagi." 
"Bagaimana aku menyusuri Kampar, Ibu? Batang Kampar telah dibendung, air 
menggenang membuat danau. Bagaimana caranya aku sampai ke laut. Dan Ayah, 
bagaimana dengan Ayah?" 
"Kau bicara apa?" 
"Laut yang sedidih hingga teratak berair hitam, tempat buaya putih tengkuk. Di mana itu, 
Ibu?" 
"Bangunlah, Buyuang! Sadarlah!" 
"Anggang, ya, Anggang. Itukah nama Ayah, Bu?" 
"Rupanya benturan di kepalamu cukup keras, hingga kau menceracau tidak karuan!" 
"Ayah! Kita tidak akan ketemu Ayah lagi, Bu!"*** 
Kandangpadati, 0705 – 09

More Related Content

What's hot

Seorang ibu menunggu (an. ismanto)
Seorang ibu menunggu (an. ismanto)Seorang ibu menunggu (an. ismanto)
Seorang ibu menunggu (an. ismanto)
Arvinoor Siregar SH MH
 
Doa emak untuk asa
Doa emak untuk asaDoa emak untuk asa
Doa emak untuk asa
BPBD Provonsi DKI Jakarta
 
Kisah 1001 malam abu nawas sang penggeli hati
Kisah 1001 malam   abu nawas sang penggeli hatiKisah 1001 malam   abu nawas sang penggeli hati
Kisah 1001 malam abu nawas sang penggeli hatiBernadi Mubarok
 
Cerita ABU NAWAS
Cerita ABU NAWASCerita ABU NAWAS
Cerita ABU NAWAS
kang gustaman
 
Kisah abu nawas
Kisah abu nawasKisah abu nawas
Kisah abu nawasmayalla
 
Sultan hb ix ditilang
Sultan hb ix ditilangSultan hb ix ditilang
Sultan hb ix ditilang
Achmad Pradana
 
Jaka tarub
Jaka tarubJaka tarub
Jaka tarub
ripto atmaja
 
Contoh hikayat beserta unsur intrinsik dan ekstrinsik
Contoh hikayat beserta unsur intrinsik dan ekstrinsikContoh hikayat beserta unsur intrinsik dan ekstrinsik
Contoh hikayat beserta unsur intrinsik dan ekstrinsikFreddy Then
 
Cerpen "Permberian Terindah Dari Tuhan"
Cerpen "Permberian Terindah Dari Tuhan" Cerpen "Permberian Terindah Dari Tuhan"
Cerpen "Permberian Terindah Dari Tuhan"
Syifa Sahaliya
 
Tika, puspa, nailin, dan ana
Tika, puspa, nailin, dan anaTika, puspa, nailin, dan ana
Tika, puspa, nailin, dan ana
PuspaNidia
 
Bu Kek Siansu Jilid 20
Bu Kek Siansu Jilid 20Bu Kek Siansu Jilid 20
Bu Kek Siansu Jilid 20
Wibowo Kusuma
 
Hikayat
HikayatHikayat
Hikayat
Andini Nurul
 

What's hot (14)

Seorang ibu menunggu (an. ismanto)
Seorang ibu menunggu (an. ismanto)Seorang ibu menunggu (an. ismanto)
Seorang ibu menunggu (an. ismanto)
 
Doa emak untuk asa
Doa emak untuk asaDoa emak untuk asa
Doa emak untuk asa
 
Kisah 1001 malam abu nawas sang penggeli hati
Kisah 1001 malam   abu nawas sang penggeli hatiKisah 1001 malam   abu nawas sang penggeli hati
Kisah 1001 malam abu nawas sang penggeli hati
 
Cerita ABU NAWAS
Cerita ABU NAWASCerita ABU NAWAS
Cerita ABU NAWAS
 
Enam prajurit ciliwung
Enam prajurit ciliwungEnam prajurit ciliwung
Enam prajurit ciliwung
 
Kisah abu nawas
Kisah abu nawasKisah abu nawas
Kisah abu nawas
 
Sultan hb ix ditilang
Sultan hb ix ditilangSultan hb ix ditilang
Sultan hb ix ditilang
 
Jaka tarub
Jaka tarubJaka tarub
Jaka tarub
 
Contoh hikayat beserta unsur intrinsik dan ekstrinsik
Contoh hikayat beserta unsur intrinsik dan ekstrinsikContoh hikayat beserta unsur intrinsik dan ekstrinsik
Contoh hikayat beserta unsur intrinsik dan ekstrinsik
 
Cerpen "Permberian Terindah Dari Tuhan"
Cerpen "Permberian Terindah Dari Tuhan" Cerpen "Permberian Terindah Dari Tuhan"
Cerpen "Permberian Terindah Dari Tuhan"
 
Tika, puspa, nailin, dan ana
Tika, puspa, nailin, dan anaTika, puspa, nailin, dan ana
Tika, puspa, nailin, dan ana
 
Bu Kek Siansu Jilid 20
Bu Kek Siansu Jilid 20Bu Kek Siansu Jilid 20
Bu Kek Siansu Jilid 20
 
Hikayat
HikayatHikayat
Hikayat
 
Likaliku hati
Likaliku hatiLikaliku hati
Likaliku hati
 

Viewers also liked

Ibu tahu rahasiaku (puthut ea)
Ibu tahu rahasiaku (puthut ea)Ibu tahu rahasiaku (puthut ea)
Ibu tahu rahasiaku (puthut ea)
Arvinoor Siregar SH MH
 
Hujan februari (tary)
Hujan februari (tary)Hujan februari (tary)
Hujan februari (tary)
Arvinoor Siregar SH MH
 
Pasangan muda (ni komang ariani)
Pasangan muda (ni komang ariani)Pasangan muda (ni komang ariani)
Pasangan muda (ni komang ariani)
Arvinoor Siregar SH MH
 
Perut (yanusa nugroho)
Perut (yanusa nugroho)Perut (yanusa nugroho)
Perut (yanusa nugroho)
Arvinoor Siregar SH MH
 
Aryati (dodiek adyttya dwiwanto)
Aryati (dodiek adyttya dwiwanto)Aryati (dodiek adyttya dwiwanto)
Aryati (dodiek adyttya dwiwanto)
Arvinoor Siregar SH MH
 
Hujan pagi (dwicipta)
Hujan pagi (dwicipta)Hujan pagi (dwicipta)
Hujan pagi (dwicipta)
Arvinoor Siregar SH MH
 
Badai bunga (triyanto triwikromo)
Badai bunga (triyanto triwikromo)Badai bunga (triyanto triwikromo)
Badai bunga (triyanto triwikromo)
Arvinoor Siregar SH MH
 
Penyair muda, istri muda (leo kelana)
Penyair muda, istri muda (leo kelana)Penyair muda, istri muda (leo kelana)
Penyair muda, istri muda (leo kelana)
Arvinoor Siregar SH MH
 
Dongeng untuk anjeli (willy hangguman)
Dongeng untuk anjeli (willy hangguman)Dongeng untuk anjeli (willy hangguman)
Dongeng untuk anjeli (willy hangguman)
Arvinoor Siregar SH MH
 
Sepasang mata yang menyimpan duka (noer mursidi)
Sepasang mata yang menyimpan duka (noer mursidi)Sepasang mata yang menyimpan duka (noer mursidi)
Sepasang mata yang menyimpan duka (noer mursidi)
Arvinoor Siregar SH MH
 
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)
Arvinoor Siregar SH MH
 
Perempuan petelur (iggoy el fitra)
Perempuan petelur (iggoy el fitra)Perempuan petelur (iggoy el fitra)
Perempuan petelur (iggoy el fitra)
Arvinoor Siregar SH MH
 

Viewers also liked (12)

Ibu tahu rahasiaku (puthut ea)
Ibu tahu rahasiaku (puthut ea)Ibu tahu rahasiaku (puthut ea)
Ibu tahu rahasiaku (puthut ea)
 
Hujan februari (tary)
Hujan februari (tary)Hujan februari (tary)
Hujan februari (tary)
 
Pasangan muda (ni komang ariani)
Pasangan muda (ni komang ariani)Pasangan muda (ni komang ariani)
Pasangan muda (ni komang ariani)
 
Perut (yanusa nugroho)
Perut (yanusa nugroho)Perut (yanusa nugroho)
Perut (yanusa nugroho)
 
Aryati (dodiek adyttya dwiwanto)
Aryati (dodiek adyttya dwiwanto)Aryati (dodiek adyttya dwiwanto)
Aryati (dodiek adyttya dwiwanto)
 
Hujan pagi (dwicipta)
Hujan pagi (dwicipta)Hujan pagi (dwicipta)
Hujan pagi (dwicipta)
 
Badai bunga (triyanto triwikromo)
Badai bunga (triyanto triwikromo)Badai bunga (triyanto triwikromo)
Badai bunga (triyanto triwikromo)
 
Penyair muda, istri muda (leo kelana)
Penyair muda, istri muda (leo kelana)Penyair muda, istri muda (leo kelana)
Penyair muda, istri muda (leo kelana)
 
Dongeng untuk anjeli (willy hangguman)
Dongeng untuk anjeli (willy hangguman)Dongeng untuk anjeli (willy hangguman)
Dongeng untuk anjeli (willy hangguman)
 
Sepasang mata yang menyimpan duka (noer mursidi)
Sepasang mata yang menyimpan duka (noer mursidi)Sepasang mata yang menyimpan duka (noer mursidi)
Sepasang mata yang menyimpan duka (noer mursidi)
 
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)
 
Perempuan petelur (iggoy el fitra)
Perempuan petelur (iggoy el fitra)Perempuan petelur (iggoy el fitra)
Perempuan petelur (iggoy el fitra)
 

Similar to Anggang dari laut (pinto anugrah)

Anggang dari laut (pinto anugrah)
Anggang dari laut (pinto anugrah)Anggang dari laut (pinto anugrah)
Anggang dari laut (pinto anugrah)
arvin2014
 
Dilarang menjala ikan di hari sabtu (denny prabowo)
Dilarang menjala ikan di hari sabtu (denny prabowo)Dilarang menjala ikan di hari sabtu (denny prabowo)
Dilarang menjala ikan di hari sabtu (denny prabowo)
Andri Goodwood
 
Dilarang menjala ikan di hari sabtu (denny prabowo)
Dilarang menjala ikan di hari sabtu (denny prabowo)Dilarang menjala ikan di hari sabtu (denny prabowo)
Dilarang menjala ikan di hari sabtu (denny prabowo)
arvin2014
 
Dilarang menjala ikan di hari sabtu (denny prabowo)
Dilarang menjala ikan di hari sabtu (denny prabowo)Dilarang menjala ikan di hari sabtu (denny prabowo)
Dilarang menjala ikan di hari sabtu (denny prabowo)
Arvinoor Siregar SH MH
 
Dermaga (lan fang)
Dermaga (lan fang)Dermaga (lan fang)
Dermaga (lan fang)
Arvinoor Siregar SH MH
 
Dermaga (lan fang)
Dermaga (lan fang)Dermaga (lan fang)
Dermaga (lan fang)
arvin2014
 
Dermaga (lan fang)
Dermaga (lan fang)Dermaga (lan fang)
Dermaga (lan fang)
Andri Goodwood
 
Novel tenggelamnya kapal vander wick
Novel tenggelamnya kapal vander wickNovel tenggelamnya kapal vander wick
Novel tenggelamnya kapal vander wickAmir Haruna
 
Tenggelamnya kapal van der wijck hamka
Tenggelamnya kapal van der wijck hamkaTenggelamnya kapal van der wijck hamka
Tenggelamnya kapal van der wijck hamka
Syamsul Noor
 
Hamka - Tenggelamnya Kapal van der Wijck(2).pdf
Hamka - Tenggelamnya Kapal van der Wijck(2).pdfHamka - Tenggelamnya Kapal van der Wijck(2).pdf
Hamka - Tenggelamnya Kapal van der Wijck(2).pdf
muhammadrakaaknar
 
Arnab dengan buaya
Arnab dengan buayaArnab dengan buaya
Arnab dengan buaya
Gaya Mahmud
 
Chairil anwar
Chairil anwarChairil anwar
Chairil anwar
Agung Cahyo
 
6.harta karunjenghiskhan.pkh
6.harta karunjenghiskhan.pkh6.harta karunjenghiskhan.pkh
6.harta karunjenghiskhan.pkh
Nazil Iqdami
 
Syair perahu
Syair perahuSyair perahu
Syair perahu
dizzna
 
Cerpen Kehidupan.pdf
Cerpen Kehidupan.pdfCerpen Kehidupan.pdf
Cerpen Kehidupan.pdf
LidyaMutiara
 
Asal mula bunga teratai
Asal mula bunga terataiAsal mula bunga teratai
Asal mula bunga teratai
Gandis Indah
 
Bu Kek Siansu Jilid 7
Bu Kek Siansu Jilid 7Bu Kek Siansu Jilid 7
Bu Kek Siansu Jilid 7
Wibowo Kusuma
 
Sulaiman Pergi Ke Tanjung Cina
Sulaiman Pergi Ke Tanjung CinaSulaiman Pergi Ke Tanjung Cina
Sulaiman Pergi Ke Tanjung Cinaelenapus
 
Skrip cerita tahap 11
Skrip cerita tahap 11Skrip cerita tahap 11
Skrip cerita tahap 11zahorien
 

Similar to Anggang dari laut (pinto anugrah) (20)

Anggang dari laut (pinto anugrah)
Anggang dari laut (pinto anugrah)Anggang dari laut (pinto anugrah)
Anggang dari laut (pinto anugrah)
 
Dilarang menjala ikan di hari sabtu (denny prabowo)
Dilarang menjala ikan di hari sabtu (denny prabowo)Dilarang menjala ikan di hari sabtu (denny prabowo)
Dilarang menjala ikan di hari sabtu (denny prabowo)
 
Dilarang menjala ikan di hari sabtu (denny prabowo)
Dilarang menjala ikan di hari sabtu (denny prabowo)Dilarang menjala ikan di hari sabtu (denny prabowo)
Dilarang menjala ikan di hari sabtu (denny prabowo)
 
Dilarang menjala ikan di hari sabtu (denny prabowo)
Dilarang menjala ikan di hari sabtu (denny prabowo)Dilarang menjala ikan di hari sabtu (denny prabowo)
Dilarang menjala ikan di hari sabtu (denny prabowo)
 
Dermaga (lan fang)
Dermaga (lan fang)Dermaga (lan fang)
Dermaga (lan fang)
 
Dermaga (lan fang)
Dermaga (lan fang)Dermaga (lan fang)
Dermaga (lan fang)
 
Dermaga (lan fang)
Dermaga (lan fang)Dermaga (lan fang)
Dermaga (lan fang)
 
Novel tenggelamnya kapal vander wick
Novel tenggelamnya kapal vander wickNovel tenggelamnya kapal vander wick
Novel tenggelamnya kapal vander wick
 
Tenggelamnya kapal van der wijck hamka
Tenggelamnya kapal van der wijck hamkaTenggelamnya kapal van der wijck hamka
Tenggelamnya kapal van der wijck hamka
 
Bertujuh
BertujuhBertujuh
Bertujuh
 
Hamka - Tenggelamnya Kapal van der Wijck(2).pdf
Hamka - Tenggelamnya Kapal van der Wijck(2).pdfHamka - Tenggelamnya Kapal van der Wijck(2).pdf
Hamka - Tenggelamnya Kapal van der Wijck(2).pdf
 
Arnab dengan buaya
Arnab dengan buayaArnab dengan buaya
Arnab dengan buaya
 
Chairil anwar
Chairil anwarChairil anwar
Chairil anwar
 
6.harta karunjenghiskhan.pkh
6.harta karunjenghiskhan.pkh6.harta karunjenghiskhan.pkh
6.harta karunjenghiskhan.pkh
 
Syair perahu
Syair perahuSyair perahu
Syair perahu
 
Cerpen Kehidupan.pdf
Cerpen Kehidupan.pdfCerpen Kehidupan.pdf
Cerpen Kehidupan.pdf
 
Asal mula bunga teratai
Asal mula bunga terataiAsal mula bunga teratai
Asal mula bunga teratai
 
Bu Kek Siansu Jilid 7
Bu Kek Siansu Jilid 7Bu Kek Siansu Jilid 7
Bu Kek Siansu Jilid 7
 
Sulaiman Pergi Ke Tanjung Cina
Sulaiman Pergi Ke Tanjung CinaSulaiman Pergi Ke Tanjung Cina
Sulaiman Pergi Ke Tanjung Cina
 
Skrip cerita tahap 11
Skrip cerita tahap 11Skrip cerita tahap 11
Skrip cerita tahap 11
 

More from Arvinoor Siregar SH MH

Unschooling your-child-212
Unschooling your-child-212Unschooling your-child-212
Unschooling your-child-212
Arvinoor Siregar SH MH
 
Montessori homeschooling-223
Montessori homeschooling-223Montessori homeschooling-223
Montessori homeschooling-223
Arvinoor Siregar SH MH
 
Homeschooling the-darker-side-501
Homeschooling the-darker-side-501Homeschooling the-darker-side-501
Homeschooling the-darker-side-501
Arvinoor Siregar SH MH
 
Homeschooling the teenager-225
Homeschooling the teenager-225Homeschooling the teenager-225
Homeschooling the teenager-225
Arvinoor Siregar SH MH
 
Homeschooling methods-572
Homeschooling methods-572Homeschooling methods-572
Homeschooling methods-572
Arvinoor Siregar SH MH
 
Homeschooling and-college-223
Homeschooling and-college-223Homeschooling and-college-223
Homeschooling and-college-223
Arvinoor Siregar SH MH
 
Homeschool field-trips-184
Homeschool field-trips-184Homeschool field-trips-184
Homeschool field-trips-184
Arvinoor Siregar SH MH
 
Homeschool burnout-223
Homeschool burnout-223Homeschool burnout-223
Homeschool burnout-223
Arvinoor Siregar SH MH
 
Financing homeschooling-433
Financing homeschooling-433Financing homeschooling-433
Financing homeschooling-433
Arvinoor Siregar SH MH
 
Thurgood marshall
Thurgood marshallThurgood marshall
Thurgood marshall
Arvinoor Siregar SH MH
 
The rainbow coalition
The rainbow coalitionThe rainbow coalition
The rainbow coalition
Arvinoor Siregar SH MH
 
The halls of power
The halls of powerThe halls of power
The halls of power
Arvinoor Siregar SH MH
 
The dred scott decision
The dred scott decisionThe dred scott decision
The dred scott decision
Arvinoor Siregar SH MH
 
Slavery
SlaverySlavery
Rosa parks
Rosa parksRosa parks
Martin luther king's dream
Martin luther king's dreamMartin luther king's dream
Martin luther king's dream
Arvinoor Siregar SH MH
 
Martin luther king, jr.
Martin luther king, jr.Martin luther king, jr.
Martin luther king, jr.
Arvinoor Siregar SH MH
 
Jordon and ali
Jordon and aliJordon and ali
Jordon and ali
Arvinoor Siregar SH MH
 
Jackie robinson
Jackie robinsonJackie robinson
Jackie robinson
Arvinoor Siregar SH MH
 
Harriet tubman
Harriet tubmanHarriet tubman
Harriet tubman
Arvinoor Siregar SH MH
 

More from Arvinoor Siregar SH MH (20)

Unschooling your-child-212
Unschooling your-child-212Unschooling your-child-212
Unschooling your-child-212
 
Montessori homeschooling-223
Montessori homeschooling-223Montessori homeschooling-223
Montessori homeschooling-223
 
Homeschooling the-darker-side-501
Homeschooling the-darker-side-501Homeschooling the-darker-side-501
Homeschooling the-darker-side-501
 
Homeschooling the teenager-225
Homeschooling the teenager-225Homeschooling the teenager-225
Homeschooling the teenager-225
 
Homeschooling methods-572
Homeschooling methods-572Homeschooling methods-572
Homeschooling methods-572
 
Homeschooling and-college-223
Homeschooling and-college-223Homeschooling and-college-223
Homeschooling and-college-223
 
Homeschool field-trips-184
Homeschool field-trips-184Homeschool field-trips-184
Homeschool field-trips-184
 
Homeschool burnout-223
Homeschool burnout-223Homeschool burnout-223
Homeschool burnout-223
 
Financing homeschooling-433
Financing homeschooling-433Financing homeschooling-433
Financing homeschooling-433
 
Thurgood marshall
Thurgood marshallThurgood marshall
Thurgood marshall
 
The rainbow coalition
The rainbow coalitionThe rainbow coalition
The rainbow coalition
 
The halls of power
The halls of powerThe halls of power
The halls of power
 
The dred scott decision
The dred scott decisionThe dred scott decision
The dred scott decision
 
Slavery
SlaverySlavery
Slavery
 
Rosa parks
Rosa parksRosa parks
Rosa parks
 
Martin luther king's dream
Martin luther king's dreamMartin luther king's dream
Martin luther king's dream
 
Martin luther king, jr.
Martin luther king, jr.Martin luther king, jr.
Martin luther king, jr.
 
Jordon and ali
Jordon and aliJordon and ali
Jordon and ali
 
Jackie robinson
Jackie robinsonJackie robinson
Jackie robinson
 
Harriet tubman
Harriet tubmanHarriet tubman
Harriet tubman
 

Anggang dari laut (pinto anugrah)

  • 1. Riau Pos Minggu, 13 Januari 2008 Anggang dari Laut Cerpen: Pinto Anugrah "Pergilah! Ikuti aliran batang Kuantan itu, kelak kau akan bertemu ujungnya, di mana air akan terasa asin di lidahmu. Muara dengan riak ombak yang mendesir, nyanyian yang mendayu-dayu, yang membuat hati pilu dan layu. Ya, di sanalah tanah Melayu. Carilah ayahmu! Ia berdiam di laut yang sedidih hingga teratak berair hitam, tempat buaya putih tengkuk. Anggang, itulah nama ayahmu, terkenal dengan julukan ‘Anggang dari Laut’!" Mengiang, kata-kata itu mengiang. Tertanam di tubuhku yang paling dalam. Masuk ke darah, mengalir, setiap persendian, ngilu, dan pilu. Menjadi dayung setiap pelayaranku. "Ingat, Buyuang! Kau bukan lagi anak dari seorang putri raja dengan ibu bernama Puti Jamilan. Kini, kau hanya seorang anak rantau yang mencari penghidupan baru di tanah seberang. Layarilah penghidupanmu, kini kau punya kapal sendiri yang bebas kau kayuh ke samudra manapun." Sebuah kapal dagang baru saja melempar jangkar. Petang di bandar Malaka tak menyurutkan hiruk-pikuknya sebagai bandar dagang yang sangat ramai. Kapal-kapal silih berganti menurunkan dan menaikkan jangkarnya. Barang-barang dagang tak habis-habisnya turun dan naik dari kapal-kapal. "Apa yang kau lamunkan, Bujang?" Aku tak menyangka ia akan menyapaku juga. Sedari tadi kuperhatikan ia sibuk menyelesaikan pekerjaannya; mengangkuti peti-peti lada yang hendak diperdagangkan. Ia seorang kuli angkut di bandar ini, aku mengenalnya pagi tadi di kedai kopi sudut bandar. "Saya hendak sangat berlayar." Ia tertawa, lepas, keras sekali. Hingga orang-orang pun menoleh, kami jadi pusat perhatian. "Ke mana kau akan berlayar, Bujang?" "Entahlah. Ke mana gelombang akan membawa." "Kau masih terlalu mentah. Kau tahu, di laut lepas sana lanun-lanun berkeliaran. Membidikkan meriamnya ke setiap kapal dagang yang lewat. Sanggup kau menghadapinya?" Aku tercenung, kemudian mengangkat kepala kembali. "Boleh saya tanya sesuatu." "Apa yang hendak kau tanyakan?" "Kau tahu di mana letaknya laut yang sedidih?" Ia terkesiap, seketika ia hentikan pekerjaannya. Dan langsung berlari, menghilang di balik kerumunan orang. Bandar sangat ramai, aku tak dapat melihat ke arah mana ia lari. Tinggal rasa heranku. Kembali aku termenung di ujung bandar, menatap laut lepas, dan sesekali pikiranku
  • 2. melayang entah ke mana. Tak lama ia kembali, namun kali ini ia tak sendiri. Di belakangnya seorang tua mengikuti. Air mukanya jernih. Bawaannya sangat tenang. Tampaknya ia seorang tua yang sangat dihormati dan jadi kaul tempat bertanya. Ia menghampiriku, sangat dekat, memandang lekat-lekat. Ia berkata setengah berbisik, "Siapa yang kau cari, anak dagang?" Aku memandang wajahnya yang teduh itu. "Anggang!" Tampak ia terkejut, namun keterkejutannya itu dapat ia redam dengan bijak sebagai seorang tua. "Dari mana kau tahu keberadaan Anggang? Hanya orang-orang yang telah lama berlayar dan lanun-lanun yang tahu akan keberadaan Anggang." "Aku anak Anggang!" Kali ini keterkejutannya tak dapat ia sembunyikan. Ia terdiam, beberapa saat. "Sebaiknya kau, anak dagang, cepat pergi dari sini! Jika Syahbandar tahu, kau bisa dirantai." Kawanku, kuli angkut, turut mengangguk. Mengiyakan. Meyakinkanku. Dan orang tua itu tampak memandang lurus ke depan, seolah pandangannya dapat menembus luas lautan. "Datang juga masa itu!" *** Ruang ini gelap sekali, tak ada cahaya masuk sedikit pun. Aku tersandar di dinding batu yang lembab dengan kaki terantai dan terpasung ke dinding. Kepalaku terasa berat, tak lagi berasa apa-apa. Hanya darah dingin yang mulai membeku terasa di bibirku yang sembab. "Asin," umpatku, "Seasin air laut..." Tak dapat kuingat dengan jelas, kejadian itu berlalu begitu cepat. Menghantamku, membuat segala yang ada di sekitarku mengelam. Kelam. Tiba-tiba saja ia telah berada di belakangku dengan para hulubalangnya. Mereka langsung menyekap dan merantaiku. Kawanku—kuli angkut itu, tak dapat berbuat apa-apa, hanya memandang nanar ke arahku. Sedangkan orang tua itu, ia tersenyum, senyum yang lepas, "tidak apa, ikuti saja mereka! Itulah jalan untuk bertemu ayahmu!" Kemudian ia menghilang di antara kerumunan orang yang menonton. Aku dibawa ke sudut bandar, seperti sebuah gudang, tapi aku yakin ini bukanlah sebuah gudang. Di dalam gelap, hanya bayangan garis wajah mereka yang dapat kutangkap dengan mata. "Kau dari mana?" "Siak!" Sesuatu mendarat di kepalaku. Begitu keras. Membuat pandanganku mengabur. Dan benar-benar kelam. ***
  • 3. "Tukar kebebasanmu dengan Pedang Sijanawi!" Ia duduk berhadap-hadapan denganku. Sebuah meja Turki memisahkan. Tampangnya begitu dingin, walau airmukanya kelihatan bersih. Aku tak mengenalnya. "Aku tidak tahu pedang apa itu, lagipula aku tidak punya pedang satu pun apalagi pedang yang kau sebutkan tadi." Tawanya langsung meledak seperti muncung meriam. Aku tak mengerti apa yang ditertawakannya. "Bodoh! Aku tidak menyangka ia punya anak sebodoh ini." Orang-orang yang berdiri di sudut ruangan itu pun ikut tertawa. "Tidak perlu kau tahu pedang apa itu, cukup kau beritahu di mana keberadaan ayahmu, maka kau bebas!" "Di laut yang sedidih." Aku menjawabnya cepat. Ia lalu mengambil sebuah peti dan meletakkannya di atas meja Turki itu. Dikeluarkannya sebuah peta yang tampak sudah usang dan dikembangkannya seperti mengembangkan layar kapal ke hadapanku. "Tunjukkan! Di mana laut yang sedidih itu!" Aku sama sekali tak mengerti membaca peta. Yang kulihat hanya garis-garis hitam yang tebal dan pada bagian tertentu terdapat garis tipis mengiris. Dan tulisan, tulisan Arab tanpa baris, aku dapat membacanya sedikit-sedikit walau masih terbata-bata. Kutelusuri tulisan itu dengan berusaha membacanya satu persatu. "Inuk." Kutunjuk sebuah tempat yang dengan mudah dapat kubaca di peta. Ia langsung tercenung, semua tercenung. "Inuk?" "Bukankah Inuk wilayah kekuasaan raja-raja Bugis di Lingga?" "Kita tidak bisa masuk ke dalamnya." "Jika tetap masuk kita akan berperang dengan Bugis-bugis itu." "Saya tidak percaya Anggang berada di Inuk, Syahbandar." "Kenapa kau tidak percaya?" "Kita lupa, ia itu Raja Lanun yang diburu muncung meriam raja-raja Melayu dan dibenci oleh raja-raja Bugis. Tidak mungkin dengan mudahnya ia memberitahukan keberadaannya pada orang-orang, bahkan kepada anak dan istrinya sekalipun." Syahbandar langsung memukul meja di hadapanku. "Budak ini mencoba menipu kita!" Sebuah benda keras lagi-lagi dihantamkannya ke kepalaku. Membuatku tersungkur ke
  • 4. meja, darah segar langsung keluar mengalir dengan deras menggenangi meja buatan Turki itu, membentuk lautku sendiri. Tiba-tiba aku seperti tersadar, inikah laut yang sedidih itu? Mana mungkin, aku menepis pikiran itu. Samar-samar aku masih mendengar amarah mereka. "Buang budak ini ke air, biar muara Kampar menguliti tubuhnya, dicabik-cabik buaya. Tidak ada gunanya budak ini di atas kapal kita." "Huh, Anggang, Raja Lanun yang menyimpan pusaka segala lanun yang benar-benar licik dan licin. Tidak salah ia dinamakan dengan Anggang, mendengarnya saja sudah bikin gatal seluruh badan apalagi kalau menyentuhnya." *** "Bangun! Bangunlah, Anakku!" "Kaukah itu Ayahku? Kaukah itu Anggang?" "Ya, inilah bentuk wujudku. Ternyata kau sudah besar, Buyuang. Tanggalkanlah nama kecilmu itu! Sekarang kau bernama Tun Bujang yang akan mewarisi segalanya dariku." "Di mana? Di mana kau, Ayah?" "Ada di hatimu." "Hatiku jauh kutinggalkan bersama Ibu, sebagai kawan sepinya untuk bersenandung." "Telah kujemput dengan pusakamu Yamtuan Raja Kecik dan pedang Sapu Rajab, serta cap kuasa atas segala selat dan pesisiran." "Kita pernah bertemu. Bukankah kau yang di bandar tempo hari?" "Ya, bentuk lain dari penyamaranku." "Di mana aku saat ini?" "Ada dalam dirimu." "Seperti kabut kau buat segalanya kabur. Tidakkah aku sekarang berada di laut yang sedidih hingga teratak berair hitam, tempat buaya putih tengkuk?" "Tidak. Itupun lebih dikaburkan. Kenapa kau datang ingin menemuiku?" "Ibu sudah sangat rindu kepadamu. Aku ingin membawamu menemui Ibu." "Laut telah mengikatku!" "Ayah!" "Dan suatu saat kau pun akan diikat laut!" "Ayah!"
  • 5. "Sudah takdirmu kau akan menjadi Raja Lanun dan memegang pusaka pedang Sijanawi!" "Ayah!" "Salamku untuk ibumu!" "Ayah!" "Bangun! Bangunlah, anakku! "Oh, di mana aku?" "Di rumah. Kau terbawa arus sungai, untung tersangkut akar bakau, kalau tidak mungkin kau akan digulung arus bendungan dan pulang namanya saja." "Ayah! Di mana Ayah? Ayah!" "Ayahmu belum pulang menangkap ikan sejak pagi." "Bagaimana aku menyusuri Kampar, Ibu? Batang Kampar telah dibendung, air menggenang membuat danau. Bagaimana caranya aku sampai ke laut. Dan Ayah, bagaimana dengan Ayah?" "Kau bicara apa?" "Laut yang sedidih hingga teratak berair hitam, tempat buaya putih tengkuk. Di mana itu, Ibu?" "Bangunlah, Buyuang! Sadarlah!" "Anggang, ya, Anggang. Itukah nama Ayah, Bu?" "Rupanya benturan di kepalamu cukup keras, hingga kau menceracau tidak karuan!" "Ayah! Kita tidak akan ketemu Ayah lagi, Bu!"*** Kandangpadati, 0705 – 09
  • 6. "Sudah takdirmu kau akan menjadi Raja Lanun dan memegang pusaka pedang Sijanawi!" "Ayah!" "Salamku untuk ibumu!" "Ayah!" "Bangun! Bangunlah, anakku! "Oh, di mana aku?" "Di rumah. Kau terbawa arus sungai, untung tersangkut akar bakau, kalau tidak mungkin kau akan digulung arus bendungan dan pulang namanya saja." "Ayah! Di mana Ayah? Ayah!" "Ayahmu belum pulang menangkap ikan sejak pagi." "Bagaimana aku menyusuri Kampar, Ibu? Batang Kampar telah dibendung, air menggenang membuat danau. Bagaimana caranya aku sampai ke laut. Dan Ayah, bagaimana dengan Ayah?" "Kau bicara apa?" "Laut yang sedidih hingga teratak berair hitam, tempat buaya putih tengkuk. Di mana itu, Ibu?" "Bangunlah, Buyuang! Sadarlah!" "Anggang, ya, Anggang. Itukah nama Ayah, Bu?" "Rupanya benturan di kepalamu cukup keras, hingga kau menceracau tidak karuan!" "Ayah! Kita tidak akan ketemu Ayah lagi, Bu!"*** Kandangpadati, 0705 – 09