More Related Content Similar to Abdullahi ahmed an na'im ch4
Similar to Abdullahi ahmed an na'im ch4 (20) Abdullahi ahmed an na'im ch41. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im
4. Negosiasi Kontekstual Sekularisme dalam Perspektif Komparatif
Tujuan utama bab ini adalah untuk menunjukkan bahwa sekularisme tidak selalu
bermakna menyisihkan agama dari ruang publik masyarakat karena pengertian
sekularisme yang seperti inilah yang justru cenderung dimusuhi ummat Islam. Tentu
boleh-boleh saja mendefinisikan sekularisme secara hipotetik sebagai pemisahan semua
aspek hubungan agama dan negara secara ketat dan sistematis dan kemudian
menggunakan definisi yang sempit dan realisitis itu untuk menolak semua regulasi
yang berkaitan dengan hubungan tersebut. Namun, definisi yang polemis dan hanya
bersifat teoritis tersebut ternyata tidak valid bahkan untuk diterapkan pada negara-
negara Barat yang biasa dianggap sekuler. Penelitian Rajeev Bhargava di India
membuktikan bahwa penting untuk mulai menepis miskonsepsi mengenai adanya
model pemisahan negara dan agama yang unik dan tidak kompleks di seluruh negara-
negara Barat.1 Daripada mencari-cari konsep-konsep yang ilusif seperti itu, nampaknya
lebih produktif bila kita mendiskusikan sekularisme sebagaimana difahami dan
dipraktikkan oleh berbagai masyarakat dalam konteksnya masing-masing. Ketika kita
menguji pengalaman berbagai masyarakat dengan perspektif ini, jelaslah bahwa semua
masyarakat sebetulnya selalu berada dalam kondisi menegosiasikan hubungan antara
negara dan agama, daripada sedang menerapkan definisi sekularisme yang rigid dan
spesifik.
Pertanyaan yang saya ajukan dalam bab ini adalah bagaimana memahami proses
negosiasi tersebut melalui analisis komparatif sehingga setiap masyarakat bisa
mengambil manfaat dari pengalaman masyarakat lain tanpa perlu berusaha menjiplak
atau menirunya karena memang hal yang demikian itu tidak perlu dan tidak pula
diinginkan. Saya akan mulai dengan review singkat pengalaman sejarah beberapa
negara Barat untuk memperlihatkan bahwa teori dan praktik sekularisme itu berubah-
ubah, sarat perdebatan dan sangat kontekstual. Review ini akan memperlihatkan bahwa
hubungan antara agama dan negara bukan hasil akhir pergumulan sejarah dan budaya
1
Rajeev Bhargava, “Introduction,” dalam Rajeev Bhargava (ed.), Secularism and Its Critics (New Delhi,
Oxford University Press, 1999), hlm. 2-3.
2. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im
sebuah masyarakat, tetapi juga harus terus terbuka terhadap proses reformulasi dan
revisi.
Pada bagian dua bab ini, saya akan mengutamakan pemahaman terhadap pengalaman
negara-negara Barat tersebut dalam kerangka posisi masing-masing negara terhadap
berbagai isu, bukan mengklasifikasikan mereka ke dalam kategori-kategori tertentu
yang sudah jelas. setiap negara, memang, mengambil sikap yang berbeda dalam
merespon aspek-aspek tertentu dalam hubungan agama dan negara dan tidak ada
satupun yang mengikuti satu pemahaman sekularisme dalam menyikapi semua isu.
Lagipula, selalu ada saja perdebatan mengenai bagaimana aspek tertentu dalam
sekularisme harus diperlakukan sehingga kebijakan apapun yang diambil oleh negara
akan selalu mendapatkan perlawanan dari pihak yang lain. Misalnya apakah negara
boleh membiayai pendidikan agama, atau menyediakan fasilitas keuangan atau lainnya
kepada institusi keagamaan, atau bahkan mengatur pilihan moral rakyatnya seperti
yang terlihat dalam debat mengenai aborsi, kontrol kelahiran dan perceraian.
Namun demikian, masalah terpenting dalam buku ini sebetulnya adalah bagaimana
proses negosiasi itu diorganisasi dan difasilitasi melalui kerangka yang akan saya
diskusikan pada bagian tiga bab ini. Pada bagian tersebut, saya menjelaskan bahwa
ketegangan permanen dalam hubungan antara agama dan negara harus dimediasi
melalui kerangka “public reason’ yang sudah diungkapkan dalam bab 1. Kerangka public
reason ini juga harus diamankan dengan prinsip-prinsip dan institusi-institusi
konstitusionalisme, HAM, dan kewarganegaraan seperti yang sudah kita diskusikan
dalam bab 3. Dengan demikian, pada bagian ini saya akan menggunakan review dan
diskusi mengenai pengalaman Barat pada bagian satu guna mengklarifikasi kerangka
yang diperlukan untuk melakukan negosiasi makna dan implikasi sekularisme dalam
konteks masyarakat Islam. Saya akan melanjutkan perbincangan ini pada 3 bab
berikutnya untuk melihat penerapan kerangka tersebut di India, Turki dan Indonesia.
Dengan memahami sekularisme melalui pengalaman negosiasi kontekstual masing-
masing masyarakat bukan berarti bahwa tidak ada prinsip-prinsip yang menyatukan
3. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im
pengalaman yang berbeda itu, atau makna dan implikasi konsep itu akan selalu relatif
bagi setiap masyarakat. Malah sebaliknya, mengembangkan pemahaman spesifik
mengenai makna sekularisme dan implikasinya melalui analisis komparatif merupakan
hal yang mungkin dan perlu. Namun, kita tidak boleh memaksakan satu definisi atau
meneguhkan satu implikasi hanya melalui perspektif teoritis yang abstrak belaka.
Dengan demikian, pertanyaan utama bab ini adalah bagaimana pengalaman Barat bisa
berguna untuk menegosiasikan hubungan antara agama dan negara dalam masyarakat
Islam?
I. Pengalaman Negeri-Negeri Barat
Saya tidak mungkin menjelaskan pengalaman semua negeri Barat atau menawarkan
sebuah diskusi komprehensif mengenai situasi mereka dalam bab ini. Saya memutuskan
untuk memilih beberapa di antara mereka untuk mendiskusikan pengalaman
sekularisme di beberapa negara yang memiliki kondisi, tradisi keagamaan dan rezim
politik atau konstitusi yang berbeda. Meskipun demikian, beberapa negara di Eropa
maupun di Amerika Utara bisa juga didiskusikan dengan cara yang sama untuk
menunjukkan bahwa posisi Agama dalam konsepsi dan pengalaman Barat tidak identik
ataupun ekslusif dari domain kebijakan publik dan undang-undang.
Inggris
Karena Inggris hanya sedikit dari negara yang tetap mempertahankan lembaga Gereja
resmi (nasional), penting kiranya untuk membicarakan pengalaman mereka dalam bab
ini, meskipun diskusi dalam bagian ini juga tidak berpretensi untuk membahas semua
daerah yang ada di Inggris. Istilah gereja resmi (established church), dan sejumlah istilah
yang berkaitan dengannya, digunakan dalam bab ini untuk menunjukkan adanya
agama atau sekte (denomination) tertentu yang diakui atau diresmikan sebagai agama
resmi negara. Meskipun kedekatan hubungan antara Gereja Inggris (The Curch of
England) dengan negara semakin berkurang, namun hubungan itu masih tetap kukuh. 2
Dimulainya sistem hubungan gereja-negara yang modern di Inggris bisa ditelusuri dari
asal-usul lahirnya Gereja Inggris (The Curch of England) pada abad ke-16 di masa
2
S. V. Monsma and J.C. Soper, “England: Partial Establishment.” The Challenge of Pluralism: Church and
State in Five Democracies (Lanham, MD: Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 1997), hlm. 121.
4. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im
pemerintahan Henry VIII. Henry memutuskan untuk mengambil alih kontrol terhadap
gereja-gereja di Inggris dari kekuasaan Paus, karena Paus menolak untuk merestui
pernikahannya dengan Catherine dari Aragon.3 Dengan mengeluarkan “Act of
Supremacy” tahun 1534, Gereja Inggris memisahkan diri dari otoritas Paus.4 Henry VIII
juga mengambil alih kontrol Paus terhadap kekayaan, tanah dan kuil milik gereja.
Karena keputusan ini, lembaga biara menjadi tidak ada dan para biarawan tidak lagi
menjadi anggota lembaga the House of Lord (satu dari 2 lembaga parlemen Inggris).
Hanya sebagian kecil uskup dan beberapa pendeta yang menjadi anggota lembaga itu.5
Setelah Henry meninggal, penduduk Inggris terbagi menjadi simpatisan Katolik dan
Protestan, sampai akhirnya Elizabeth I memutuskan untuk menetapkan gereja Protestan
sebagai gereja resmi negara pada tahun 1959 dengan mengeluarkan “Act of Supremacy”
kedua yang sekaligus mengukuhkan posisi gereja di bawah otoritas kerajaan.
Meskipun gereja resmi memiliki peran penting dalam kehidupan sosial dan politik
Inggris, namun keputusan Henry VIII untuk memisahkan gereja Inggris dengan Roma
merupakan satu proses sekularisasi kultural. Selama kekuasaan Edward VI dan
Elizabeth I, kebiasaan ummat Katolik memproduksi benda-benda dan karya seni suci
menurun. Para seniman menemukan tema-tema non religius untuk mereka tampilkan;
dan bentuk lukisan barupun berkembang, seperti lukisan benda dan potret. Dan ketika
negara mulai mengawasi dan melarang pertunjukan drama religius, termasuk drama-
drama misteri abad pertengahan, drama Elizabethan yang sekuler pun berkembang
menggantikan posisi tradisi lama.6
Selama berabad-abad, gereja resmi di Inggris telah memperkuat sekaligus diperkuat
oleh kekuasaan negara. Hubungan gereja Inggris dan negara menguat pada abad ke-17,
ketika mazhab Kristen Inggris (Anglican) disponsori dan diperkuat oleh negara
sementara Katolik Roma dan mazhab lainnya ditindas. “The Corporation Act” tahun 1661
3
Monsma and Soper, hlm. 124
4
David McClean, “State and Church in the United Kingdom” State and Church in the European Union.
Ed. Gerhard Robbers (Baden-Baden: Nomos Verlagsgesellschaft, 1996), hlm. 310.
5
C. John Sommerville, The Secularization of Early Modern England: From Religious Culture to Religious
Faith (Oxford: Oxford University Press, 1992), hlm. 13-14
6
Sommerville, hlm. 87, 93-94
5. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im
dan “The Test Act” tahun 1673 melarang orang-orang yang tidak mengikuti Kristen
Anglikan untuk berpartisipasi dalam arena politik dan masuk universitas. Baru pada
abad ke-18-lah, posisi istimewa gereja resmi ini mulai menurun. Penganut Protestan
yang tidak tunduk pada negara diberikan hak untuk melakukan ibadah pada tahun
1689, namun mereka tetap tidak diberikan hak-hak politik kecuali sampai 1824. orang-
orang Katolik dan Yahudi mulai diperbolehkan berpartisipasi dalam politik beberapa
dekade setelah itu. Tahun 1871, pemerintah Inggris menetapkan tes agama untuk masuk
universitas. Namun di akhir abad 19, bibit-bibit toleransi mulai tumbuh.7
Pemberian hak politik kepada penduduk yang tidak menganut kristen Anglikan
merupakan sebuah pengakuan bahwa negara tidak bisa memaksakan keseragaman
agama pada warga negaranya. Selama abad 19, beberapa kelompok diorganisasi untuk
memisahkan gereja dari negara, namun mereka tidak mendapatkan dukungan politik
yang memadai. Pada awal abad ke-20, pengaruh kelompok-kelompok separatis itu
mulai menurun, mungkin karena secara politis, kekuasaan gereja juga tidak lagi
penting. Gereja Inggris tetap menjadi Gereja resmi negara, namun ikatan formalnya
kepada negara berangsur-angsur mengendur dan lebih bersifar seremonial. Di akhir
abad ke-20 atau permulaan abad ke-21, gereja Inggris mulai berusaha mempromosikan
sikap yang lebih toleran dan mempertahankan fungsi ekumenisnya dengan mendukung
pengakuan pemerintah terhadap sekte lain. Pada saat ini, negara juga tidak lagi
mempromosikan gereja Anglikan secara agresif dan membatasi kegiatan kelompok-
kelompok agama lain. Kebijakan negara semakin mengarah pada pemberian dukungan
kepada semua agama, daripada hanya kepada satu kelompok.8
Meskipun sikap negara terhadap agama semakin plural, beberapa implikasi legal dan
kultural model negara tradisional masih terlihat. Sebagai contoh, kerajaan, dengan saran
dari Perdana Menteri, menunjuk para uskup dari calon yang dinominasikan oleh gereja.
Sementara itu, Uskup Agung serta anggota senior lembaga keuskupan tetap menjadi
anggota The House of Lords. Hukum negara yang mengatur penghinaan agama
(blasphemy) merupakan upaya untuk melindungi doktrin-doktrin gereja Anglikan, tapi
7
Monsma and Soper, hlm. 124
8
Monsma and Soper, hlm. 124-132
6. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im
tidak untuk doktrin agama lain.9 Hukum Gereja Anglikan (eclesiastical law atau canon
law) masih menjadi bagian Hukum Inggris dan memiliki kekuatan yang sama dengan
common law di pengadilan. Parlemen mempunyai kekuasaan untuk membuat hukum
yang berkaitan dengan gereja, meskipun akhirnya kekuasaan ini diberikan kepada
Majelis Umum Gereja-Gereja (the General Synod of the Church) pada abad ke-20. Gereja
Inggris masih mempunyai hak istimewa untuk mengeluarkan aturan-aturan yang
berkaitan dengan gereja-gereja lain, aturan ini kemudian diajukan ke parlemen untuk
mendapatkan persetujuan sehingga memiliki kekuatan hukum seperti ketetapan
parlemen lainnya. Namun dalam praktiknya, parlemen jarang menolak aturan-aturan
itu dan bahkan mungkin tidak mengamandemen teksnya.10 Posisi Gereja Inggris saat ini
merefleksikan apa yang disebut partial establishment sebagai bentuk kerjasama antara
negara dan gereja untuk melindungi peran publik agama. Adanya otoritas keagamaan
ini merupakan pengakuan negara terhadap peran publik sebuah kepercayaan agama”.11
Meskipun mendapatkan dukungan yang luas, sistem “partial establishment” ini
menghadapi beberapa tantangan dalam masyarakat kontemporer, seperti dalam kasus
pendidikan agama. Negara mempertahankan sikap setengah netral dalam persoalan
agama dengan, misalnya, dengan memasukkan pendidikan agama sekte lain dalam
kurikulum nasional. Namun, Gereja Inggris tetap memiliki hak veto untuk merubah
silabus pelajaran yang penyusunannya melibatkan komite lokal meskipun Education
Reform Act (Undang-Undang Reformasi Pendidikan) tahun 1988 melarang komite
tersebut untuk membuat kurikulum yang memperlihatkan kecenderungan pada salah
satu sekte keagamaan.12 Selain itu, dana fasilitas pendidikan juga lebih diutamakan
untuk diberikan kepada sekolah-sekolah Anglikan atau Katolik, meskipun sekolah-
sekolah Protestan dan Yahudi juga mendapatkan sejumlah dana.13 Pihak yang tidak
setuju terhadap kebijakan pemberian dana untuk sekolah-sekolah agama mengklaim
bahwa lembaga-lembaga seperti itu memecah belah kohesi sosial, karena memisahkan
9
Monsma and Soper, hlm. 129-130
10
McClean, hlm. 311-312
11
Monsma and Soper, hlm. 148
12
McClean, hlm. 316
13
Monsma and Soper, hlm. 137
7. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im
anak-anak berdasarkan agama.14
Kesulitan yang muncul dalam kebijakan pendidikan agama di atas memperlihatkan
keterbatasan sistem “partial establishment” yang berlaku Inggris. Karena Inggris tidak
mempunyai bill of rights tertulis, maka tidak ada jaminan formal untuk kebebasan
beragama atau harapan bagi terciptanya kesetaraan beragama. Negara, dengan
demikian, hanya mengakomodasi kepentingan minoritas jika kepentingan itu masih
dalam batasan yang bisa diterima.15 Meskipun kombinasi kebijakan “partial
establishment” dan toleransi terhadap minoritas secara umum bisa diterima oleh rakyat
Inggris, namun nampaknya kebijakan ini mulai mendapatkan tekanan dari kalangan
minoritas yang menuntut adanya pernyataan yang lebih jelas tentang kesamaan status
mereka. Sementara di pihak lain, kalangan tradisionalis Inggris masih ingin
mempertahankan hak sosial dan politik istimewa yang dimiliki oleh Gereja Anglikan.
Swedia
Sejarah pemberlakuan agama resmi di Swedia dimulai sejak abad ke-16 ketika desakan
untuk menyatukan negara di bawah kepercayaan Lutheran semakin menguat dan bisa
dicapai melalui kepemimpinan para pendeta dan dukungan massa terhadap adanya
gereja Protestan. Tahun 1953, untuk mengantisipasi gerakan kontra reformasi, yang juga
berkompetisi untuk mendapatkan tahta kerajaan, Majelis Gereja Lutheran pun dilantik
di Uppsala. Lebih dari 300 lembaga kependataan Lutheran hadir dan Gereja Evangelis
Lutheran ditetapkan menjadi Gereja Nasional Swedia dengan deklarasi bahwa Swedia
telah disatukan dengan Satu Raja dan Satu Tuhan.16
Abad-abad berikutnya, kebijakan penyeragaman identitas keagamaan ini juga
diberlakukan untuk menyatukan perbedaan etnik dan bahasa di Swedia yang muncul
kemudian. Tahun 1634 “the Instrument of Government” (peraturan pemerintah)
menyatakan dengan jelas bahwa Kristen Lutheran adalah agama resmi negara sekaligus
14
Monsma and Soper, hlm. 139
15
McClean, hlm. 311, dan Monsma and Soper, hlm. 148-149
16
Jonas Alwall, “Religious Liberty in Sweden: An Overview.” Journal of Church and State. Ed. Davis, D.
42:1 (2000), hlm. 147, 148.
8. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im
mengungkapkan prinsip kesatuan dalam beragama bagi rakyat Swedia.17 Pada tahun
1686, ketetapan gereja menyebutkan bahwa Swedia adalah negara Evangelis dan
dengan demikian rakyat Swedia harus menganut Agama Evangelis”, sehingga jika ada
orang Swedia meninggalkan Gereja resminya, ia kehilangan status warga negaranya.18
Sekitar tahun 1800, sejumlah provinsi di Swedia mulai hilang dan Swedia menjadi
negara yang lebih homogen secara etnik dan budaya. Namun, toleransi terhadap praktik
agama lain tidak pernah muncul sampai akhir abad 18. itupun hanya berlaku bagi para
imigran, tidak bagi orang Swedia asli. Perubahan mulai terjadi selama abad 19
bersamaan dengan meningkatnya industrialisasi, urbanisasi dan tumbuhnya pengaruh
gerakan kaum sosialis dan liberal. Peraturan pemerintah tahun 1809 akhirnya mengakui
hak rakyat Swedia untuk meninggalkan gereja dan membentuk jemaah ibadah sendiri,
namun kebijakan ini baru berlaku setelah the Dissenter Act (undang-undang tentang
sekte gereja) dikeluarkan tahun 1860. Selain itu, jemaah ibadah yang didirikan pun
harus tetap berdasarkan agama Kristen dan mendapatkan persetujuan kerajaan.19
Langkah lebih maju menuju pluralisme (untuk tidak menyebut semakin goyahnya
kekuatan Gereja Nasional) muncul pada abad 20. Religious Liberty Act (undang-undang
tentang kemerdekaan beragama) tahun 1951 yang mengatur kebebasan praktik
beragama melarang seseorang untuk menganggu kedamaian atau menganggu
ketentraman publik. Peraturan Pemerintah tahun 1974 memasukkan kebebasan
beragama dalam Undang-Undang Dasar Swedia sedangkan Amandemen Konstitusi
tahun 1974 menegaskan bahwa tidak boleh ada perbuatan yang dilarang atau dibatasi
oleh hukum hanya karena alasan-alasan keagamaan.20 Tahun 1996, keanggotaan gereja
didefinisikan ulang sehingga setiap bayi yang baru harus dibaptis meskipun
orangtuanya anggota Gereja Nasional Swedia, karena mereka tidak bisa serta merta
menjadi anggota hanya karena orangtuanya.21
17
Alwall, hlm. 148
18
Robert Schött, “State and Church in Sweden.” State and Church in the European Union. Ed. Gerhard
Robbers (Baden-Baden: Nomos Verlagsgesellschaft, 1996), hlm. 298.
19
Alwall, hlm. 149, 151
20
Alwall, hlm. 152
21
Alwall, hlm. 168
9. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Sampai akhir abad 20, sebagai gereja resmi negara, Gereja Swedia berhubungan sangat
erat dengan negara. Raja menjadi kepala Gereja Swedia yang menunjuk Uskup Agung
dan para uskup. Pajak yang dikumpulkan negara juga digunakan untuk membayar gaji
para pendeta, hingga kontribusi rakyat secara langsung kepada gereja hampir tidak ada.
Sebagai pegawai negara, pendeta menempati statistik yang cukup vital dalam negara
dan berfungsi seperti pegawai pemerintahan yang lain. Parlemen Swedia yang
mempunyai otoritas membuat hukum, juga merumuskan dan menetapkan hukum yang
berlaku bagi Gereja Swedia. Hubungan ini memang membuat Gereja Lutheran
mempunyai pengaruh besar di Swedia, tetapi juga membuat otonominya terbatas. tidak
seperti di Itali atau Spanyol dimana negara tunduk pada Gereja, di Swedia, gereja
nampaknya lebih tunduk pada negara.22
Berbagai usulan perubahan hubungan agama dan negara diajukan pada tahun 1970-an,
tapi tak satupun yang diadopsi. Baru pada tahun 1990-an, perubahan besar dimulai.
Pada tahun 1991, sistem registrasi nasional dialihkan dari gereja ke otoritas pajak.23
Komisi yang dibentuk tahun 1994 untuk mengevaluasi hubungan gereja dan negara
menyimpulkan bahwa meskipun agama mempunyai fungsi sosial yang amat berguna,
namun negara harus tetap bersikap netral terhadap seluruh sekte dengan tidak
memperlihatkan kecondongan pada salah satu diantaranya. Rekomendasi yang dibuat
oleh komisi menghasilkan perubahan besar dalam tata hubungan gereja dan negara di
24
Swedia, yang puncaknya terjadi pada tanggal 1 Januari 2000. Secara umum
rekomendasi yang diajukan oleh komite adalah Gereja Nasional Swedia harus diberikan
status independen dari pemerintah lokal maupun nasional, dan seluruh sekte harus
diperlakukan sama. Komisi ini juga merekomendasikan agar setiap sekte mendapatkan
hak yang sama untuk mempunyai status hukum, sedangkan pajak yang diberikan
kepada keuskupan diganti dengan biaya pelayanan yang harus dibayarkan oleh
anggota sekte kepada sektenya.25
22
R. Stark and L. R. Iannaccone. “A Supply-Side Reinterpretation of the ‘Secularization’ of Europe.”
Journal for the Scientific Study of Religion. 33:3, 1994: 238.
23
Alwall, hlm. 167
24
Lars Friedner, “Church and State in Sweden in 2000.” European Journal of Church State Research. Ed.
R. Torfs. v.8 (2001), hlm. 255.
25
Schött, hlm. 301
10. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Rencana yang dirancang oleh komisi tetap mempertahankan perlakuan khusus bagi
gereja nasional Swedia, tetapi perlakukan khusus ini diberikan dalam posisinya sebagai
salah satu institusi keagamaan dalam masyarakat yang plural. Salah satu perlakuan
istimewa yang dinikmati oleh gereja nasional Swedia adalah pemberian dana
pemerintah untuk pemeliharaan bangunan gereja yang dianggap sebagai salah satu
khazanah budaya penting di Swedia. Selain itu, Gereja Swedia masih diberikan
tanggung jawab untuk mengurus layanan pengebumian dan pemakaman umum.
Meskipun ada beberapa keberatan mengenai hal ini, namun baik Gereja maupun negara
dapat menerimanya.26
Pemisahan Gereja Swedia dari Negara secara hukum dilaksanakan melalui
dihilangkannya Hukum gereja dari Hukum Negara Swedia dan dihapuskannya Church
of Sweden Act (ketetapan Gereja Swedia) yang menetapkan struktur gereja dan Majelis
Umum Lutheran sebagai otoritas hukum utama.27 Ketetapan inilah yang memberikan
Gereja Swedia status hukum istimewa yang diperkuat dengan aturan undang-undang
khusus.28 Setelah proses ini, Gereja membuat Ordinansi Gereja sendiri sebagai kerangka
hukum yang terpisah dari hukum nasional. Ordinansi ini memuat Hukum Gereja yang
dulu. Karena perubahan ini, Uskup tidak lagi dipilih dari 3 orang kandidat yang
diajukan gereja kepada pemerintah melainkan melalui pemilihan langsung dalam
Gereja.29
Penting untuk dicatat, meskipun dilakukan dengan cara dan perangkat yang berbeda,
Inggris dan Swedia telah menempuh pola yang sama untuk meningkatkan pengakuan
mereka atas pluralisme agama. Inggris masih mempertahankan status Gerejanya
sebagai gereja resmi, namun hanya memberikan peran moderat bagi mereka. Sedangkan
Swedia telah melangkah lebih jauh dengan pemisahan legal antara negara dan agama.
Meskipun demikian, kedua negara ini dianggap negara sekuler yang secara subtstansial
26
Friedner, hlm. 257; Alwall, hlm. 168, 169
27
Friedner, hlm. 256
28
Alwall, hlm. 169
29
Friedner, hlm. 257
11. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im
menjaga netralitas agama sebagaimana yang saya ajukan dalam proposal saya untuk
masyarakat Islam.
Rusia
Sejarah hubungan gereja dan negara di Rusia telah berubah sejak abad lalu. Selagi masih
dalam kekuasaan monarki, Gereja Kristen Ortodoks Rusia adalah agama resmi negara
yang diberikan hak untuk menyelenggarakan pendidikan, pencatatan nikah dan
kematian. Sedangkan agama-agama Rusia lain dibatasi hak-hak dan fasilitas
istimewanya. Namun sejak revolusi 1917, Dewan Rakyat (the Council of People’s
Commisars) mengambil alih semua hak milik gereja dan tempat ibadah agama lain serta
mencabut status hukum seluruh organisasi keagamaan. Pada beberapa saat di masa
Perang Dunia II, Gereja Ortodoks Rusia pernah muncul kembali dan gereja-gereja
kembali dibuka untuk menumbuhkan semangat patriotisme. Namun, satu dekade
setelah perang pecah, gereja-geraja yang pernah dibuka lagi itu ditutup kembali dan
praktik-praktik keagamaan mulai menurun.30
Ketika federasi Rusia terbentuk setelah jatuhnya Uni Soviet, hubungan antara negara
dan agama ditata ulang baik melalui undang-undang dasar maupun undang-undang.
Pasal 14 Undang-Undang Dasar Federasi menyatakan Rusia sebagai negara sekuler
sehingga tidak akan ada negara yang dibangun berdasarkan satu agama tertentu.
Undang-Undang dasar juga menyebutkan bahwa semua asosiasi keagamaan memiliki
posisi setara di depan hukum. Sementara itu, bebas dari diskriminasi atas nama agama
dijamin oleh Pasal 19 dan hak untuk bebas dari wajib militer karena alasan moral atau
keagamaan untuk kemudian melakukan pelayanan publik lain sebagai alternatif
dijamin oleh pasal 59. Bahkan, pasal 28 undang-undang dasar juga dengan jelas
melindungi hak untuk tidak menganut satu agama pun.
Perubahan-perubahan undang-undang dasar ini sudah dielaborasi, diklarifikasi bahkan
mungkin dibatasi oleh undang-undang yang mengatur hubungan antara gereja dan
negara. Setelah kebijakan “Perestroika” Gorbachev, hubungan antara negara dan sekte-
30
Lev Simkin, “Church and State in Russia” dalam Law and Religion in Post-Communist
Europe. Eds. Silvio Ferrari, W. C. Durham, Jr. (Leuven, Belgium: Peeters 2003), hlm. 261, 262.
12. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im
sekte keagamaan dinormalisasikan kembali oleh Undang-Undang (law) tahun 1990
tentang “kebebasan beragama”. Pada dekade inilah, jumlah organisasi agama yang
terdaftar naik sampai 20.000. Hanya setengah diantara organisasi-organisasi tersebut
yang merupakan organisasi Kristen Ortodoks Rusia, yang berarti bahwa jumlah agama
minoritas telah berkembang selama masa itu. Organisasi-organisasi tersebut kini
diperbolehkan untuk mengorganisasi massa, dan boleh terlibat dalam kegiatan missi
keagamaan dan sosial. Kepercayaan terhadap agama naik, dari kira-kira 20% pada
tahun 1980 menjadi 48% pada akhir tahun 90-an.31
Pada tahun 1997, negara membatasi kebijakan liberal ini dengan menetapkan Undang-
Undang tentang “Kebebasan memeluk kepercayaan dan mendirikan asosiasi
keagamaan” untuk mengatur hubungan gereja dan negara. Di bawah ketentuan UU ini,
organisasi keagamaan harus mendaftarkan diri mereka kembali sebelum tahun 2000,
namun hanya mereka yang sudah berdiri di Rusia selama 13 tahun yang berhak
menyandang status sebagai organisasi keagamaan. Ketentuan ini dengan demikian
hanya memberikan hak-hak yang tersebut diatas kepada organisasi keagamaan yang
terdaftar dan tidak pada mereka yang tidak terdaftar. Artikel 11, 18, dan 23 UU ini
menyatakan bahwa “hanya organisasi keagamaanlah yang bisa “mendirikan dan
memelihara bangunan-bangunan keagamaan, memiliki akses terhadap rumah sakit dan
penjara, menyelenggarakan pelajaran tambahan di sekolah-sekolah negeri, mendirikan
struktur organisasi sosial, dan terlibat dalam kegiatan bisnis”.32 Organisasi keagamaan
juga dibebaskan dari kewajiban membayar pajak penghasilan yang didapatnya dari
aktivitas keagamaan atau penjualan barang-barang keagamaan. Jika bangunan ibadah
yang mereka miliki dilindungi sebagai monumen budaya dan sejarah, maka mereka
betul-betul dibebaskan dari kewajiban membayar pajak tanah.33
Pembukaan Undang-Undang tahun 1997 mengakui pentingnya peran sejarah Gereja
Ortodoks di Rusia, namun ia tidak memberikan gereja ini status hukum khusus. Namun
31
Simkin, hlm. 263
32
Vsevolod Chaplin, “Law and Church-State Relations in Russia: Position of the Orthodox Church, Public
Discussion and the Impact of Foreign Experience.” Law and Religion in Post-Communist Europe. Eds.
Silvio Ferrari, W. C. Durham, Jr. (Leuven, Belgium: Peeters, 2003), hlm. 282
33
Simkin, hlm. 278, 279
13. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im
demikian, motif utama pembuatan UU ini sebetulnya adalah untuk melindungi Gereja
Ortodoks. Beberapa pembuat UU memperlihatkan keinginan mereka untuk melindungi
Gereja ini dari invasi sekte-sekte keagamaan lain. Salah satu efek penting disahkannya
UU 1997 ini adalah pengalihan kepemilikan properti dan bangunan yang digunakan
untuk tujuan-tujuan keagamaan dari negara ke gereja. Pengalihan ini merupakan usaha
untuk menebus pengambilalihan yang pernah dilakukan oleh negara pada permulaan
era komunis terhadap properti milik gereja.34
Meskipun UU 1997 dan perundang-undangan yang lain mengenai pendidikan, militer
dan pajak jelas-jelas melindungi status Gereja Ortodoks Rusia, namun UU itu juga berisi
mengindikasikan karakter negara sekuler. Secara keseluruhan, UU ini meminta negara
untuk tidak mempercayakan fungsinya pada asosiasi keagamaan, begitupun negara dan
otoritas lokal tidak boleh memasukkan perayaan keagamaan apapun dalam
aktivitasnya. Negara tidak boleh mencampuri urusan agama dalam mengasuh anak dan
tetap harus menjamin bahwa pendidikan negeri tetap bersifat sekuler. Hanya sertifikat
pernikahan yang disahkan oleh catatan sipil yang dianggap sah, sedangkan perayaan
pernikahan yang dilaksanakan di gereja tidak memiliki efek hukum apapun. Asosiasi
keagamaan diperbolehkan untuk menjalankan urusannya sesuai dengan aturannya
sendiri, tetapi mereka tidak bisa berpartisipasi dalam pemilihan, gerakan dan aktivitas
partai politik, atau memberikan bantuan material kepada mereka.35
Bertingkatnya UU yang dikeluarkan oleh pemerintah Rusia mengenai hubungan antara
agama dan negara berakhir pada banyaknya kontradiksi. Misalnya UU 1996 tentang
pendidikan melarang aktivitas lembaga keagamaan di sekolah, tetapi UU 1997
mengizinkan pendidikan agama di sekolah-sekolah negeri. Kontradiksi ini kemudian
diselesaikan dengan cara-cara berikut ini: administrasi sekolah memang tidak
diperbolehkan untuk memasukkan pendidikan agama ke dalam kurikulum standar,
tetapi mereka dapat menyetujui permintaan orang tua atau keinginan anak untuk
mengizinkan organisasi keagamaan mengajarkan agama kepada mereka diluar
kurikulum. Setelah umur 14, anak-anak boleh memilih sendiri apakah mereka ingin
34
Simkin, hlm. 261-277
35
Simkin, hlm. 269
14. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im
menerima pendidikan agama atau tidak, namun izin orangtua tetap disyaratkan sampai
anak mencapai umur ini.36
Kontradiksi ini menunjukkan adanya ketidasepakatan di Rusia mengenai karakter dan
tingkat hubungan antara gereja dan negara yang tepat. Misalnya, pemisahan antara
agama dan negara dibatasi dengan perundang-undangan yang memperbolehkan negara
untuk membatasi kebebasan beragama jika dibutuhkan untuk melindungi struktur
konstitusi, moralitas, kesehatan, hak asasi manusia, dan kepentingan hukum seseorang
dan untuk menjamin pertahanan dan kemanan negara”.37 Perundang-undangan lain
yang dianggap memihak Gereja Ortodoks Rusia adalah UU yang memperbolehkan hak
kepada otoritas lokal untuk mengeluarkan organisasi keagamaan yang tidak diterima
dari daerahnya.38
Kebangkitan kesadaran keagamaan di Rusia sejak jatuhya Uni Soviet berakhir pada
lahirnya sejumlah pendapat berbeda mengenai hubungan agama dan negara. Meskipun
sulit untuk mengidentifikasi model spesifik yang bisa langsung diterapkan dalam
konteks Rusia sekarang, pandangan tradisional Eropa yang lebih memberikan ruang
bagi terjadinya kerjasama yang lebih dekat antara agama dan negara nampaknya lebih
mungkin diterima disana daripada model Amerika atau Perancis yang cenderung
mendukung pemisahan yang lebih besar dan menuntut adanya “buffer zone” antara
keduanya.39 Namun, pengalaman masyarakat Rusia juga berbeda dengan masyarakat
Eropa seperti Inggris dan Swedia yang sudah berusaha untuk mengendurkan ikatan
mereka dengan Gereja resmi. Rusia, yang secara hukum dan sosial sudah lama menjadi
negara sekuler, belakangan ini malah mengizinkan, bahkan mendorong, pengakuan
Gereja Ortodoks Rusia sebagai geraja negara, meskipun tidak melalui instrumen
hukum.
Perancis
36
Simkin, hlm. 275
37
Simkin, hlm. 266
38
Simkin, hlm. 267
39
Chaplin, hlm. 292
15. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Tidak seperti negara-negara Eropa lain yang mengalami dominasi Gereja Katolik,
Perancis memiliki tradisi pemisahan antara negara dan gereja yang cukup tua yaitu
sejak masa Revolusi Perancis. Pendekatan perancis terhadap sekulerarisme ditandai
dengan adanya istilah laicite. Sebuah kata yang tidak hanya bermakna netralitas negara
terhadap agama, tetapi juga menandakan adanya komitmen yang kuat untuk
menyebarluaskan seperangkat nilai-nilai sipil dan nasional. Pasal 10 Declaration of the
Rights of Man and Citizen (Deklarasi Hak-Hak Manusia dan Warga Negara) tahun 1789
memproklamirkan kebebasan untuk menganut kepercayaan, dan Bab I Undang-Undang
Dasar 1791 menjamin kebebasan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban agama.
Meskipun para pembuat dokumen itu pada awalnya hanya bermaksud
mensubordinasikan posisi gereja dari kekuasaan sipil, kebijakan ini, terutama pada
masa teror, kemudian beralih menjadi kebijakan yang secara sistematis berusaha untuk
memerangi agama Kristen.40 Keputusan pemerintah tahun 1795 menjadi landasan bagi
pemisahan ketat antara gereja dan agama dan melarang negara membiayai agama
ataupun mengakui keberadaan kementrian agama.
Concordat∗ tahun 1801, keputusan unilateral yang dibuat oleh Perancis namun tidak
diterima oleh Vatican, dibuat untuk meredakan ketegangan dan mengklarifikasi
hubungan antara negara dan agama di Perancis. Dokumen ini memungkinkan otoritas
sipil untuk mengontrol kementrian agama dan kehidupan keagamaan di sana. Beberapa
waktu kemudian, instrumen hukum yang sama diberlakukan untuk memberikan
kekuasaan kepada negara untuk mengontrol Gereja Protestan Lutheran, Gereja
Reformasi dan Agama Yahudi. Namun demikian, empat lembaga keagamaan yang
diakui ini bisa mempertahankan status istimewa seperti jaminan hukum atas posisi
menteri agama, gaji dan status hukum properti, selama abad 19. Tetapi, selama abad ini
pula, banyak perdebatan mengenai hubungan antara agama dan negara yang muncul.
Ada pihak yang berusaha menghidupkan kembali “rezim lama” dan mendukung
kekuasaan pemuka agama, tetapi ada pula pihak yang mendukung perubahan yang
40
Brigitte Basdevant-Gaudemet, “State and Church in France.” State and Church in the European Union.
Ed. G. Robbers (Baden-Baden: Nomos Verlagsgesellschaft, 1996), hlm. 120
E
Concordat adalah kesepakatan yang dibuat oleh Vatikan dan salah satu Negara sekuler (catatan dari pen.)
16. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im
telah dibuat sejak tahun 1789 dan menentang gereja Katolik.41 Dalam konteks
antagonisme politik seperti itulah, dua pandangan mengenai laicite lazim berlaku, yang
satu anti pemuka agama sementara yang lain mendukung adanya pemisahan antara
agama dan negara yang menguntungkan kedua belah pihak dan menghormati semua
kepercayaan agama. pada akhir abad 19, pemahaman yang pertama dan radikal
memenangkan perdebatan.
Pada tahun 1905, setelah partai politik mendukung gerakan anti-pemuka agama
berkuasa selama dua dekade dan setelah timbulnya perdebatan hangat tentang
hubungan agama dan negara di Perancis, pemerintah memutuskan hubungan dengan
Paus dan mengeluarkan Undang-Undang yang menegaskan pemisahan antara gereja
dan negara, yang ternyata masih berlaku sampai sekarang. Di bawah aturan baru ini,
negara menjamin kebebasan publik untuk beribadah namun mengakhiri keberadaan
“Agama yang Diakui”. Gereja bukan lagi institusi publik dan menjadi bagian dari sektor
privat. Sesuai dengan pasal 4 UU tahun 1905, kelompok keagamaan (religious assocaition)
lama bisa membentuk “asosiasi kultural” (cultural association) yang menerima
pengalihan kepemilikan tanah gereja. Meskipun sektor privat bisa mendapatkan dana
dari negara, tetapi gereja tidak bisa mendapatkan dana tersebut kecuali untuk
membiayai bangunan-bangunan keagamaan yang dianggap monumen.42 Paus
mengutuk Undang-Undang tahun 1905 itu dan Gereja Katolik Perancis menolak untuk
menerima perubahan statusnya karena takut kehilangan otoritas kepausan yang
dimilikinya atas gereja-gereja katolik lain di Perancis. Gereja-gereja Katolik menolak
untuk mendaftarkan diri sebagai “asosiasi kultural” dan lebih suka mengorganisasi diri
dengan aturan mengenai kebebasan untuk membuat majelis publik atau kebebasan
untuk membuat asosiasi.
Di bawah aturan UU tahun 1905, negara tetap memiliki kewajiban untuk melindungi
kebebasan menganut kepercayaan dan melakukan ibadah serta tetap berkomitmen
untuk menyediakan kemungkinan bagi para penganut agama untuk menghadiri
perayaan keagamaan dan menerima instruksi keagamaan. Ini berarti bahwa negara
41
Basdevant-Gaudemet, hlm. 121-122
42
Basdevant-Gaudemet, hlm. 122-125
17. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im
tetap membolehkan adanya asistensi spiritual di tempat-tempat yang dibutuhkan orang
seperti rumah sakit, penjara, militer, dan bahkan sekolah, dalam tahap tertentu.43
Meskipun pada prinsipnya undang-undang tidak memberikan status istimewa pada
agama apapun, namun negara bisa mengeluarkan peraturan-peraturan lain yang
memberikan keuntungan pada salah satu agama.
Setelah Perang Dunia I, hubungan diplomatik antara Perancis dan Paus dibangun
kembali. Pada tahun 1924 disepakati bahwa Gereja Katolik bisa mendirikan asosiasi
keagamaan mereka menurut aturan khusus. Asosiasi-asosiasi itu akan bekerja di bawah
otoritas uskup yang berada dalam komuni Paus dan harus sesuai dengan Undang-
Undang Gereja Katolik.44 Kelompok keagamaan lain memiliki hak implisit yang tertera
dalam “kebebasan beragama dan memeluk kepercayaan”, namun hak-hak tersebut
tidak diberikan kepada kelompok-kelompok yang memiliki tujuan terlarang yang
bertentangan dengan hukum dan moral”. Kelompok-kelompok yang termasuk dalam
kategori terakhir ini tidak bisa menerima dana dari pemerintah kecuali dari donasi
individu. 45
Kebijakan laicite pemerintah Perancis telah menimbulkan persoalan yang berkaitan
dengan pendidikan, pekerjaan dan hukum keluarga. Contohnya, kebebasan untuk
mendapatkan pendidikan di Perancis adalah prinsip konstitusi yang telah dibentuk dan
diterapkan melalui berbagai hukum pada abad 19. padahal, mayoritas siswa yang
belajar di sekolah swasta masuk di sekolah Katolik. Sekolah Negeri menerima siswa
tanpa mementingkan persoalan agama dan tidak menjadikan instruksi keagamaan
sebagai kewajiban yang harus dilakukan oleh siswa. Pada pendidikan tingkat dasar,
orang tua boleh mengatur pendidikan agama di luar sekolah semingu sekali untuk
anak-anaknya. Sekolah tingkat menengah, dulu boleh menunjuk seorang guru dari
gereja untuk mengajar para siswa, namun penunjukkan ini harus berdasarkan
permintaan orang tua dan harus dibiayai sepenuhnya oleh mereka, meskipun bisa jadi
sebagian biayanya juga ditanggung oleh pihak gereja. Kelompok keagamaan yang
43
Basdevant-Gaudemet, hlm. 140
44
Basdevant-Gaudemet, hlm. 126
45
Basdevant-Gaudemet, hlm. 129
18. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im
diminta oleh sekolah bisa menominasikan kandidatnya yang kemudian akan ditunjuk
oleh kepala sekolah.46
Dalam bidang pekerjaan, Undang-Undang Dasar Perancis melarang diskriminasi dalam
pekerjaan karena alasan latar belakang suku, pendapat, atau kepercayaan. Klausul ini
memiliki efek berbeda dalam konteks keagamaan tergantung bagaimana seseorang
diperlakukan di tempat pekerjaannya; sebagai pemuka agama atau orang biasa.
Mempekerjakan seorang menteri untuk memegang jabatan pastoral, dan ia digaji untuk
pekerjaannya itu, tidak bisa mempergunakan undang-undang sekuler karena tidak ada
kontrak kerja resmi. Pengadilan negeri tidak akan mereview keputusan uskup untuk
mengangkat atau memecat seorang pastur. Menteri-menteri yang bekerja di penjara,
rumah sakit, atau sekolah swasta yang memiliki hubungan kontrak dengan negara
seperti yang diatur oleh UU tahun 1959 digaji oleh negara. Uang diberikan oleh negara
untuk pembangunan tempat peribadatan baru, dan orang yang memberikan
sumbangan untuk organisasi keagamaan mendapatkan keringanan untuk membayar
pajak sampai jumlah tertentu. Pendeta protestan dan Rabi Yahudi memperoleh asuransi
sosial dari negara sejak 1945. Pastor-Pastor Katolik berada di bawah sistem yang lebih
kecil selama beberapa dekade, tetapi sejak tahun 1978, mereka telah berada di bawah
otoritas asuransi sosial meskipun masih berada dalam rezim yang terbatas. Aturan bagi
orang biasa (bukan pemuka agama) yang bekerja di gereja lebih kompleks lagi, apalagi
karena gereja lokal memang tidak mendapatkan tempat dalam aturan hukum Perancis,
sehingga hanya mereka yang bekerja pada organisasi-organisasi keagamaan besar yang
dianggap valid. Pengecualian menarik lain yang dikeluarkan oleh pengadilan-
pengadilan Perancis sebagai bentuk ketundukkan pada aturan gereja adalah
memberikan keputusan sah pada pemecatan guru-guru Katolik yang bercerai dan
menikah lagi.47
Tantangan yang dihadapi konsep laicite di Perancis adalah desakan pluralisme
keagamaan di negera itu. Ada sejumlah 750.000 orang penganut Protestan di Perancis
dan mereka mengorganisasi diri di bawah Federation Protestante de France sejak tahun
46
Basdevant-Gaudemet, hlm. 132-133
47
Basdevant-Gaudemet, hlm. 136-140
19. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im
1901. Penganut Yahudi juga memiliki pemikiran yang sama. Mereka memiliki majelis
Sinagog pusat yang menghimpun semua badan keagamaan Yahudi di Perancis dan
memilih Pimpinan Rabi sebagai wakil mereka untuk negara. Jumlah orang Islam di
Perancis juga terus bertambah (diperkirakan ada sekitar 4 juta muslim saat ini) dan saat
ini mereka adalah kelompok agama terbesar kedua di Perancis setelah Katolik. Namun
demikian, sampai saat ini umat Islam di Perancis tidak memiliki organisasi yang
terpusat di Perancis dan kegiatan ibadah lebih banyak dilakukan di masjid-masjid
sementara.48
Tidak seperti negara-negara Eropa lain yang berusaha memberlakukan kebijakan
ekumenikalisme dan pluralisme, negara Perancis merespon ketegangan hubungan
agama dan negara dengan memberlakukan sekularisme yang sungguh-sungguh
memisahkan agama dan negara secara ketat. Namun penting untuk dicatat, sepanjang
sejarah Perancis, pemahaman mengenai konsep sekularisme selalu berbeda-beda
sehingga memberikan kemungkinan bagi terjadinya perubahan di masa yang akan
datang. Bahkan, perbedaan pemahaman terhadap konsep sekularisme ini terus
berperan dalam pembuatan keputusan politik di Perancis hingga saat ini.49 Untuk tujuan
pembicaraan kita dalam buku ini, saya menyimpulkan bahwa pandangan Perancis
tentang sekularisme bukanlah satu-satunya pandangan yang muncul di Eropa Barat,
namun ide ini pun tetap diperdebatkan dan berkembang dalam konteks Perancis
sendiri.
Italia
Model hubungan gereja dan negara di Italia yang berlaku saat ini bisa dirunut
permulaannya pada proses unifikasi negara pada tahun 1870 yang ditandai dengan
aneksasi Gereja Romawi dan penyerahan tanah kepausan kepada negara Italia baru.
Akibat dari kejadian itu dan hilangnya kekuasaan sekuler Paus, proses unifikasi Itali
menimbulkan krisis dalam hubungan antara negara dan gereja Katolik di sana. Kovenan
Lateran tahun 1929 berusaha untuk membangun rekonsiliasi antara keduanya dengan
menjawab persoalan-pesoalan seputar kepemilikan teritori Gereja Katolik Roma di Itali,
48
Basdevant-Gaudemet, hlm. 120
49
Troper, Michel, “French Secularism, or Laicité,” Cardoza Law Review, 21 (1999-2000), hlm. 1276-1281
20. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im
posisi Vatican City di kota Roma dan peran Gereja Katolik di Italia secara umum. UU
No. 1159 juga dikeluarkan pada saat yang sama untuk memberikan kesempatan kepada
kelompok-kelompok keagamaan untuk mendapatkan kapasitas hukum. Di bawah
aturan UU tersebut, kelompok-kelompok tersebut memperoleh pembebasan pajak dan
hak-hak lain yang berkaitan dengan lembaga-lembaga pendidikan dan kesejahteraan
sosial yang dimilikinya. Namun, UU ini juga memberikan batasan tertentu pada
mereka.
Kesepakatan tahun 1929 menegaskan Kristen Katolik Roma sebagai satu-satunya agama
yang diakui di Italia, sebuah posisi yang secara prinsipil bertentangan dengan, namun
tak pernah dihapus oleh, Undang-Undang Dasar tahun 1948 yang berisi prinsip-prinsip
negara sekuler, kesetaraan warga negara di hadapan hukum, dan kebebasan memeluk
agama dan kepercayaan.50 Beberapa aturan hukum gereja yang, ternyata, ditemukan
dalam Undang-Undang Dasar dimaksudkan sebaga upaya untuk menyeimbangkan
perlindungan kebebasan dan persamaan hak individu dan jaminan sistem kerjasama
negara dan sekte-sekte keagamaan. Undang-Undang Dasar juga menjamin kesamaan
status sekte-sekte tersebut di hadapan hukum. Tapi, Pasal 7 Undang-Undang Dasar
tahun 1948 memberikan ketentuan khusus pada Gereja Katolik Roma dengan
menegaskan “Negara dan Gereja Katolik Roma adalah dua institusi yang independen
dan berdaulat. Hubungan mereka diatur oleh Perjanjian Lateran. Amandemen apapun
yang dilakukan atas perjanjian itu harus disepakati oleh kedua belah pihak dan tidak
harus mengikuti prosedur yang harus dilalui oleh lazimnya amendemen konstitusi yang
lain”.51
Pada tahun 1984, pemerintah Itali dan Vatikan menandatangani revisi kesepakatan
tahun 1929 yang kemudian menjadi undang-undang Itali setelah diratifikasi oleh
parlemen Itali pada Maret 1985. Amandemen undang-undang tahun 1985 meneguhkan
prinsip pemisahan negara dan agama (gereja yang bebas di negara yang bebas pula) dan
memberikan preseden akan kemungkinan penandatanganan kesepakatan istimewa
50
Mauro Giovannelli, “The 1984 Covenant between the Republic of Italy and the Vatican: A Retrospective
Analysis after Fifteen Years.” Journal of Church and State (2000), hlm. 531.
51
Silvio Ferrari, “State and Church in Italy.” State and Church in the European Union. Ed. G. Robbers
(Baden-Baden: Nomos Verlagsgesellschaft, 1996), hlm. 172.
21. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im
antara negara dengan, tidak hanya dengan Gereja Katolik Roma, tetapi juga dengan
komunitas keagamaan apapun di Itali. Sejak saat itu, negara telah menandatangani
sejumlah kesepakatan dengan berbagai komunitas agama untuk mengatur status
hukum mereka, sekaligus mengakui pernikahan agama dan aktivitas sosial yang
dilakukannya.52
Sistem kesepakatan negara Itali dengan sejumlah sekte keagamaan membentuk tiga
level sistem. Posisi hukum paling tinggi dinikmati oleh Gereja Katolik Roma yang
diperlakukan seperti negara berdaulat di bawah aturan hukum Itali. Komunitas agama
lain yang memiliki kesepakatan dengan negara seperti beberapa sekte Kristen Protestan
dan Yahudi menempati posisi kedua. Karena kelompok-kelompok ini telah
menandatangani kesepakatan dengan negara Itali, keberadaan mereka tidak lagi diatur
oleh UU tahun 1929. Kesepakatan yang mereka tandatangani memberikan mereka
fasilitas-fasilitas istimewa berkaitan dengan keuangan, pendidikan agama dan
pelayanan lembaga pastoral yang tidak dimiliki oleh komunitas agama level ketiga.
Komunitas keagamaan ketiga ini adalah komunitas agama yang relatif baru berdiri di
Perancis seperti umat Islam dan saksi Yehovah. Mereka diatur oleh UU No. 1159 tahun
1929 dan undang-undang umum tentang asosiasi yang berarti mereka tidak
mendapatkan hak-hak istimewa seperti yang diperoleh dua level komunitas lainnya.53
Karena keberadaan sistem tiga level inilah, tidak ada ketentuan dalam hukum Itali yang
berlaku bagi semua komunitas keagamaan untuk hal-hal seperti posisi lembaga
pastoral, pembiayaan lembaga keagamaan, pelayanan pastoral, pendidikan agama dan
hukum perkawinan.54 Selain itu, hukum gereja Itali memberikan wewenang besar
kepada otoritas publik untuk menerima atau menolak permohonan negosiasi sekte
agama apapun untuk menghentikan kesepakatan dengan negara; dan tidak ada kriteria
objektif yang mengatur keputusan itu. Situasi hukum yang ad hoc ini telah melahirkan
perdebatan mengenai hubungan agama dan negara. Status istimewa pastur di Itali
menyebabkan lahirnya perlakuan khusus pada mereka, misalnya tindak kejahatan yang
52
Giovannelli, hlm. 531
53
Ferrari, hlm. 172-176
54
Ferrari, hlm. 174
22. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im
menimpa mereka diperlakukan lebih serius. Sementara itu, undang-undang
menganggap pastor tidak memiliki kapasitas hukum sehingga mereka dilarang untuk
memegang jabatan publik seperti walikota, hakim, notaris, pengacara atau petugas
pajak.55
Isu kontoversi lain berkaitan dengan pengajaran agama Katolik di sekolah-sekolah
Negeri Itali. Pasal 9 kesepakatan tahun 1985 mengharuskan pemerintah untuk
menjamin adanya pengajaran agama Katolik dalam sistem pendidikan sekolah-sekolah
negeri selain universitas. Komunitas keagamaan lain yang memiliki kesepakatan
dengan pemerintah bisa mengirim guru mereka ke sekolah, bila murid atau orang
tuanya telah mendaftarkan diri untuk mendapatkan pengajaran agama. Tapi
pembiayaannya dibebankan kepada institusi agama bersangkutan dan bukan menjadi
tanggung jawab negara. Masalahnya kemudian, apakah kelas pendidikan agama
diselenggarakan pada jam-jam sekolah atau diluarnya. Pengadilan konstitusi
berkeyakinan bahwa kelas tidak bisa diselenggarakan bila jadwalnya bertabrakan
dengan mata pelajaran wajib dan siswa yang tidak mengikuti kelas pelajaran agama bisa
datang ke sekolah lebih awal atau lebih akhir.56 Tapi peraturan ini tidak berlaku bagi
kelompok-kelompok agama yang tidak memiliki kesepakatan dengan pemerintah
seperti umat Islam. Mereka tidak mempunyai hak untuk mengirimkan guru agama
mereka ke sekolah.
Setelah kesepakatan tahun 1985, sistem pembiayaan dan perpajakan untuk gereja dan
lembaga keagamaan lain juga berubah. Masalah perpajakan muncul karena pemerintah
mengakui kerja-kerja sosial yang dilakukan oleh pihak gereja. Keinginan pemerintah
Itali untuk mendukung kontribusi sosial gereja Katolik ini harus diharmonisasikan
dengan aturan undang-undang dasar yang mengakui kesetaraan posisi semua agama
dan individu, tak peduli apapun agamanya.57 Keinginan ini kemudian mewujud dalam
dua sistem pembiayaan bagi organisasi keagamaan. Pertama, berasal dari kuota pajak
penghasilan. Di Itali, orang bisa memberikan sebagian penghasilannya kepada salah
55
Ferrari, hlm. 186
56
Giovannelli, hlm. 532
57
Giovannelli, hlm. 536
23. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im
satu dari 3 lembaga ini: kegiatan sosial yang difungsikan oleh negara, Gereja Katolik
Roma, atau sekte-sekte keagamaan yang menjalin kesepakatan dengan negara. Kedua
berasal dari potongan langsung penghasilan para anggota Gereja Katolik atau sekte
yang mempunyai kesepakatan dengan negara.58 Kebijakan ini merupakan salah satu
cara untuk mempertahankan tradisi hukum dan sejarah negara Italia yang memang
harus memenuhi kebutuhan gereja. Kebijakan kompromistis ini juga bisa dilihat sebagai
bentuk pengembalian aset gereja yang pernah diambil negara pada abad ke-18 dan 19.59
Selain sistem pajak, hubungan keuangan negara dan gereja juga berlaku untuk masalah
pelayanan pastoral. Kesepakatan tahun 1985 menyatakan bahwa pelayanan pastoral
untuk para tentara, tahanan dan pasien rumah sakit dan klinik merupakan tanggung
jawab pemuka agama Katolik yang ditunjuk oleh otoritas negara yang kompeten namun
berdasarkan ajuan dari otoritas gereja. Pastor-pastor katolik yang memberikan
pelayanan pastoral di institusi-institusi negara mendapatkan gaji dari negara. Sekte-
sekte keagamaan yang menjalin kesepakatan dengan negara telah menegosiasikan hak
mereka untuk memberikan pelayanan keagamaan yang sama di penjara, lembaga
militer dan rumah sakit, namun gaji pemuka agama yang mereka utus menjadi
tanggung jawab komunitas agamanya.60 Sekte-sekte agama yang tidak memiliki
kesepakatan dengan negara tetapi diikat oleh UU No. 1159 juga bisa mendapatkan akses
yang sama ke penjara, lembaga militer dan rumah sakit.61
Spanyol
Seperti Itali, hubungan negara Spanyol dengan Gereja Katolik diatur oleh berbagai
perjanjian atau kesepakatan. Pasca terjadinya gerakan reformasi dan kontra reformasi,
banyak terjadi fusi antara kekuasaan politik dan agama di negara ini. Namun tak seperti
di negara-negara Eropa yang Protestan, Kerajaan Spanyol tidak mengklaim kekuasaan
keagamaan untuk dirinya sendiri, karena otoritas itu terletak pada kekuasaan Paus.
Sebagai gantinya, Kerajaan mengembangkan dan menggunakan teknik-teknik
58
Ferrari, hlm. 182, 183
59
Giovannelli, hlm. 536, 537
60
Ferrari, hlm. 184, 185
61
Giovannelli, hlm. 537
24. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im
intervensi untuk memperlihatkan pengaruhnya pada urusan-urusan Gereja Katolik di
sana.62 Hubungan intim antara negara dan kerajaan serta meluasnya asumsi bahwa
Spanyol adalah negara Katolik akhirnya berakhir pada masa dikeluarkannya Undang-
Undang Dasar Republik Kedua tahun 1931 yang menyatakan bahwa Spanyol tidak
memiliki agama resmi. Namun setelah Perang Sipil (1936-1939), fusi gereja dan negara
ini dipulihkan kembali oleh Franco dan berpuncak pada kesepakatan tahun 1953.
Di tahun meningalnya Franco (1975), Gereja Katolik mendapatkan fasilitas hukum dan
keuangan yang luar biasa. Gereja mendapatkan dana dari negara untuk menggaji
pastor, memberikan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri dan menerima dana
dari sekolah yang dikelolanya. Selain itu, perundang-undangan yang berkaitan dengan
moralitas publik merefleksikan pengaruh gereja.63 Namun, pandangan ini semakin sulit
untuk dipertahankan karena dukungan massa terhadapnya semakin menurun ketika
pesatnya perkembangan ekonomi di tahun 60-an mempromosikan masyarakat sekuler
yang tidak lagi rela untuk menerima ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam
kesepakatan tahun 1953 antara negara dan Gereja Katolik.64 Kebutuhan akan reformasi
ini juga disadari oleh para petinggi gereja Katolik Spanyol. Kardinal Tarancon, Uskup
Agung Madrid dan Ketua Konferensi Keuskupan Spanyol, dalam pentahbisan Raja Juan
Carlos I pada November 1975, misalnya menyatakan bahwa Gereja Katolik mendukung
perubahan politik yang akan memberikan kesempatan kepada warga negara untuk
berpartisipasi secara bebas dan aktif dalam kehidupan negara. Ia juga mengatakan
bahwa Gereja hanya ingin mempertahankan haknya untuk menyampaikan pesan-pesan
keagamaan. Sikap kompromis gereja ini bukan merupakan persetujuan atas pemisahan
ketat antara negara dan gereja, tetapi merupakan sebuah usaha untuk menghindari
penyelesaian unilateral yang dipaksakan negara kepada gereja.65
Periode transisi antara kematian Franco pada tahun 1975 dan terbentuknya demokrasi
62
Ivan C. Ibán, “State and Church in Spain.” State and Church in the European Union. Ed. G. Robbers
(Baden-Baden: Nomos Verlagsgesellschaft, 1996), hlm. 94.
63
William J. Callahan, “Church and State in Spain, 1976-1991.” Journal of Church and State 34.3 (1992):
504.
64
Ibán 96
65
Callahan 503, 505
25. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im
sekuler pada tahun 1978 mendorong pemilihan umum dan pembuatan undang-undang
dasar oleh konsensus partai politik saat itu. Perubahan yang terjadi, termasuk
menghentikan fasilitas-fasilitas yang dinikmati oleh gereja sebagai cara untuk
memperjelas hak-haknya. Sampai saat itu, sejumlah perjanjian dilakukan pemerintah
Spanyol dengan Vatikan untuk mengganti kesepakatan tahun 1953. Negara mengakhiri
“hak patronase tradisionalnya terhadap keputusan sidang para uskup dan mengakui
hak Gereja Katolik untuk menyelenggarakan urusan-urusan keagamaan dan
administratifnya, bebas dari intervensi negara. Sebaliknya, gereja juga mengakui
pluralitas masyarakat Spanyol termasuk hak warga negara untuk mendapat kebebasan
agama penuh”.66 Undang-undang dasar ini diperkuat oleh sejumlah undang-undang
yang dibuat secara unilateral oleh negara termasuk undang-undang tahun 1980 tentang
kebebasan beragama dan UU tahun 1981 tentang kebolehan perceraian.67
Kesuksesan partai sosialis (PSOE) pada pemilihan tahun 1982 menghasilkan
pemerintahan mayoritas dan perdana menteri yang sosialis. Kepemimpinan PSOE yang
sebelumnya dikenal sangat anti-pemuka agama, berusaha untuk tapi memberikan rasa
aman kepada Gereja Katolik ketika mereka menjalankan pemerintahan pada pemilihan
1982. Pemerintahan saat itu menerima sejumlah perjanjian yang dibuat dengan Vatikan
dan statusnya sebagai perjanjian internasional termasuk kesepakatan mengenai
kewajiban negara untuk tetap membiayai sekolah-sekolah gereja.
Namun, pemerintahan sosialis ini juga berbeda pendapat dalam beberapa hal dengan
pihak Gereja, seperti dalam masalah moralitas publik. Meskipun para pemuka gereja
mendukung perubahan konstitusi yang mempromosikan demokrasi dan pluralisme,
mereka masih mengungkapkan pandangan tentang harusnya konstitusi memasukkan
beberapa nilai kepercayaan Katolik dalam hal-hal semisal pernikahan, pendidikan, dan
penghormatan kepada sesama manusia.68
Masalah yang nampaknya paling sering diperdebatkan dalam konteks hubungan agama
66
Callahan 506 (quoting “Textos oficiales,” Acuerdos entre la Iglesia y Espana, 778-81, 785-90)
67
Ibán 97
68
Callahan 512
26. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im
dan negara adalah masalah pendidikan. Undang-Undang Dasar dan undang-undang
lainnya mengungkapkan bahwa negara menghormati hak orang tua untuk menentukan
pendidikan moral dan agama anak-anaknya, dan menjamin tetapnya penghormatan
terhadap nilai-nilai Kristen dalam proses pengajaran di sekolah-sekolah negeri. Negara
juga sepakat bahwa pendidikan agama harus tetap dilanjutkan di sekolah-sekolah
negeri meskipun menghadirinya bukan lagi merupakan satu kewajiban. Hak untuk
mendirikan lembaga pendidikan swasta dan hak orang tua untuk memilih sekolah
swasta diberlakukan. Negara juga setuju untuk tetap membiayai sekolah-sekolah gereja
sampai gereja itu dapat mengembangkan sistem pendanaan sendiri. Pada Februari
tahun 1983, pemerintah mengumumkan rencana reformasi organisasi pendidikan dan
keuangannya. Kontroversi yang muncul seputar rencana tersebut adalah seberapa
banyak dan besar kontrol pemerintah pada sekolah-sekolah gereja. Pemerintah ingin
memaksakan suatu kondisi agar ia dapat terus membiayai sekolah-sekolah gereja
seperti dengan mengharuskan sekolah untuk menerima kesepakatan kontrak dengan
pemerintah, dan menyerahkan seluruh aspek administrasi pada majelis yang sudah
dipilih. Selain itu, sekolah juga diharuskan untuk mengakui kebebasan akademik guru
dan kebebasan staf dan siswa untuk mengikuti keyakinan yang dipercayainya dan
untuk tidak mengharuskan orang untuk menghadiri pelayanan-pelayanan keagamaan.69
Pemerintah juga mengusulkan agar karakter institusi-institusi keagamaan harus
disetujui oleh otoritas publik, namun usulan ini dianggap inkonstitusional oleh
Pengadilan Konstitusi berdasarkan kesepakatan antara gereja dan negara yang sudah
dibuat lebih dulu. Usulan ini menimbulkan ketakutan akan terancamnya identitas
sekolah-sekolah Katolik yang akhirnya memicu protes sekitar 250.000 orang pada saat
pemutusan suara terakhir. Perundang-undangan lain mengenai pendidikan yang
memicu ketegangan adalah Rancangan Undang-Undang mengenai kurikulum yang
menganggap kurang pentingnya pelajaran agama dan menghapusnya dari daftar
bidang studi yang menentukan penerimaan seseorang di universitas. Selain itu, pada
tahun 1988 pemerintah juga memutuskan untuk mulai menerapkan skema aturan swa-
pembiayaan gereja yang sudah dirancang dalam kesepakatan tahun 1979. Meskipun
69
Callahan 507-515
27. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im
ketegangan mengenai masalah pendidikan ini terus muncul, namun pemerintah tetap
menjalankan kewajibannya kepada gereja dan menggaji para pemuka agama.70
Selama dekade 80-an, sayap konservatif Gereja Katolik memperparah pemisahan moral
antara negara dan gereja. Dalam Surat Pastor tahun 1990 tentang “kondisi moral
bangsa”, para uskup berpendapat bahwa mental moral masyarakat Spanyol lemah dan
mereka menyalahkan negara atas hal ini. Surat tersebut menyatakan keberatan atas
bebasnya propaganda ideologi yang kerap bertentangan dengan agama dan banyak
digunakan untuk meniadakan atau mengolok-olok “apa yang dimaksud dengan
Katolik”. Partai Sosialis menganggap surat tersebut bertentangan dengan demokrasi,
sedangkan pemerintah menolaknya karena menganggap surat itu keliru sekaligus
menolak pernyataan dalam surat itu tentang keinginan negara untuk mengeliminasi
agama Kristen dari Spanyol. 71
Meski terjadi ketegangan antara negara dan gereja mengenai masalah pendidikan dan
moral, ide hubungan antara keduanya di Spanyol masih bisa dideskripsikan sebagai ide
yang melindungi kebebasan beragama dan mendukung praktik-praktik agama yang
sudah terlembagakan dan tetap melindungi mereka yang tidak beragama atau mereka
yang cenderung mengikuti pandangan keagamaan yang tidak konvensional, termasuk
mereka yang meremehkan agama. Fasilitas istimewa yang diberikan pemerintah kepada
Gereja Katolik sangat jelas dalam masalah pemberian dana dan pajak. Gereja Katoliklah
satu-satunya kelompok agama yang mendapatkan dana dari pemerintah. Seperti di Itali,
meskipun sistem ini mengatur agar Gereja Katolik mendapatkan uang seperti dalam
sistem pajak gereja, sebenarnya sistem ini merupakan bagian dari sistem perpajakan
negara secara keseluruhan. Pembayar pajak bisa mengalihkan prosentase pajak
penghasilan mereka kepada Gereja Katolik atau untuk tujuan-tujuan sosial lain. Jumlah
ini mengurangi atau menambah beban pajak yang harus dibayar, tapi merupakan
pengurangan dari pajak yang seharusnya dibayar. Pengurangan pajak seperti ini hanya
berlaku bagi donasi kepada Gereja Katolik atau kepada sekte keagamaan yang memiliki
perjanjian dengan negara. Selain pemasukan dari pajak, negara masih membayar gaji
70
Callahan 515, 517
71
Callahan 517,518
28. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im
untuk guru-guru agama, pastur yang bekerja di militer dan penjara, bantuan keuangan
untuk institusi sosial dan kesehatan milik Katolik. Sayangnya, semua fasilitas ini tidak
berlaku bagi komunitas agama lain.72
Amerika Serikat
Usaha untuk memperjelas hubungan antara gereja dan negara di Amerika Serikat terjadi
dalam kerangka konsensus yang dicapai pada masa Revolusi Amerika. Walaupun para
pemimpin revolusi memiliki beragam kepercayaan, mereka hampir sepenuhnya sepakat
pada sejumlah prinsip termasuk hak individu untuk memeluk suatu agama dan
melaksanakan kewajibannya tanpa paksaan dari negara. Mereka percaya bahwa tidak
boleh ada gereja resmi, tidak ada test keagamaan untuk pegawai negeri, dan pentingnya
kebebasan untuk mempraktikkan agama. Ide-ide ini diungkapkan melalui Konstitusi
dan Bill of Rights Amerika terutama dalam Amandemen Pertama (First Amandemen)
yang menjamin dua elemen penting dalam apa yang disebut “Model Amerika” (The
American Model) yaitu pemisahan gereja dan negara, di satu pihak, dan kebebasan untuk
beragama, di pihak lain. Dokumen-dokumen dasar itu berusaha untuk melindungi
pemerintah dari agama dan melindungi agama dari pemerintah secara simultan.73
Keputusan untuk memisahkan agama dari negara, dengan demikian, disertai dengan
penghargaan yang sama kepada agama sebagai sumber yang penting bagi kehidupan
etis yang mendukung bentuk pemerintahan republik.74 Agama jelas berperan besar
dalam Revolusi Amerika, karena bahasa dan simbol keagamaan digunakan oleh para
patriot revolusi untuk memperoleh dukungan dari masyarakat dalam meraih
kemerdekaan. Selain Puritanisme yang lazim dianut oleh koloni Amerika awal,
kebangkitan kesadaran keagamaan yang dikenal sebagai “Great Awakening” dan doktrin
agama rasional ikut berperan besar dalam membangun alasan keagamaan Revolusi dan
kemudian mempengaruhi perkembangan politik pada masa berikutnya.75 De
72
Ibán 102-109
73
Susan Jacoby. Freethinkers: A History of American Secularism (New York: Metropolitan Books, 2004),
hlm. 26-28.
74
Corbett, M. and J. Mitchell. Politics and Religion in the United States. New York: Garland Publishing,
Inc., 1999, hlm. 83 – 84
75
Corbett and Mitchell, hlm. 48
29. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Tocqueville, pengamat masa pembentukan Amerika Serikat dari Perancis, mengatakan
bahwa “Kristen di Amerika adalah sebuah institusi politik yang benar-benar berperan
besar dalam mempertahankan bentuk pemerintahan republik di Amerika” dengan
menyediakan konsensus moral yang kuat di tengah perubahan politik yang terus
menerus terjadi.76
Tidak adanya gereja resmi dan kesamaan status semua agama melahirkan konsekuensi
penting bagi kehidupan politik dan keagamaan di negara ini. Karena tidak ada
dukungan resmi dari negara, gereja-gereja harus tergantung pada keanggotaan dan
dukungan keuangan yang bersifat sukarela. Namun kondisi seperti ini membuat gereja-
gereja di Amerika tidak terlalu formal dalam menjalankan peribadatan, lebih
demokratis, bersifat lokal dan lebih praktis dalam menetapkan tujuan-tujuan
organisasinya. Para komentator masalah Agama Amerika selalu menggarisbawahi
tendensi pragmatisme politik dan ekonomi yang cenderung bersifat duniawi sejak awal
abad 19, “…lebih aktif, moralis, dan sosial daripada kontemplatif, teologis dan
spiritual”.77
Beragamnya sekte keagamaan di Amerika dan adanya prinsip konstitusional tentang
pemisahan agama dan negara menjadikan pluralisme agama sebagai nilai politik dan
budaya yang dianut luas disana dan membuka kemungkinan bagi berkembangnya
gereja-gereja yang independen.78 Pandangan terhadap agama Kristen yang inklusif
seperti ini dan patriotisme yang menyertai perkembangan gereja-gereja independen
pasca periode Revolusi telah membukakan jalan bagi lahirnya apa yang disebut sebagai
“Agama Sipil Amerika” (American Civil Religion). Tidak seperti Revolusi Perancis yang
berusaha membangun agama sipil untuk menggantikan posisi gereja, agama sipil
Amerika tidak pernah bersikap keras kepada pemuka agama atau pada pendukung
sekularisme. Malah, agama sipil Amerika meminjam berbagai tradisi agama dengan
cara tertentu hingga rata-rata orang Amerika tidak melihat adanya konflik antara agama
dan negara. Bentuk agama sipil Amerika “mampu membangun solidaritas nasional,
76
Robert N. Bellah, “Civil Religion in America.” Daedalus 96 (1967), hlm. 12
77
Bellah, hlm. 12
78
Corbett and Mitchell, hlm. 106 – 107
30. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im
tanpa perlu bersaing keras dengan simbol gereja, dan memobilisasi motivasi personal
yang kuat untuk meraih tujuan-tujuan nasional”.79 Bentuk ini direfleksikan dengan
memasukkan referensi keagaman dalam dokumen-dokumen negara, lagu kebangsaan,
deklarasi dan proses pelantikan presiden serta pengakuan negara terhadap hari libur
keagamaan.
Kesatuan agama dan nasionalisme, yang tetap menjadi kekuatan potensial dalam
kehidupan politik dan sipil Amerika hingga hari ini, menyebabkan terbangunnya
hegemoni agama Kristen Protestan di negara itu. Kemampuan pengadilan-pengadilan
untuk menentang pembentukan agama resmi di Amerika, sebagiannya, karena
kehadiran hegemoni informal satu agama. Gereja-gereja besar hanya membutuhkan
sedikit dukungan karena mereka memiliki telah kekuasaan dan pengaruh informal.80
Selain terbentuknya agama sipil Amerika, Protestan Evangelis tetap menjadi kekuatan
inspiratif dalam kehidupan politik Amerika. Ia telah menjadi faktor yang signifikan
untuk menumbuhkan semangat anti perbudakan di bagian utara Amerika menjelang
pecahnya perang Sipil, namun ironisnya juga memperkuat komitmen penduduk di
bagian selatan untuk mempertahankan ekonomi perbudakan.81 Para periode antara
Perang Sipil dan Perang Dunia I, Protestan Evangelis memberikan dukungan yang
berarti kepada sejumlah gerakan yang menginginkan adanya purifikasi moral dan
budaya dalam kehidupan sipil dan politik di Amerika, termasuk larangan
mengkonsumsi alkohol dan memberikan hak politik pada perempuan. 82 Gereja-gereja
juga telah menjadi partisipan aktif dalam pembuatan kebijakan publik mengenai isu-isu
yang lebih luas seperti reformasi mata uang, kompensasi dari pelanggaran perusahaan,
arbitrasi konflik internasional, dan berpartisipasi dalam proses demokrasi langsung
melalui proses pemilihan inisiatif, referendum dan pemilihan ulang.
Kekuasaan informal agama resmi ini mulai terancam setelah Perang Dunia I ketika
materialisme, ilmu pengetahuan dan sejumlah doktrin sekuler lain mulai melemahkan
79
Bellah, hlm. 13
80
N. J Demerath and R. H. Williams. “A Mythical Past and Uncertain Future.” Society 21.4 (1984), hlm. 5.
81
Kenneth Wald, Religion and Politics in the United States. (New York: St. Martin’s
Press, 1987), hlm. 183.
82
Wald, hlm. 142
31. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im
peran agama Kristen, khususnya protestan Evangelis, sebagai “prinsip nasional de
facto”.83 Dalam debat-debat yang muncul seperti dalam pengajaran teori evolusi di
sekolah, tradisi berfikir bebas yang sudah ada pada mayoritas penganut Protestan
menemukan kembali kebaruannya. Meskipun terdapat sejumlah pandangan politik
yang berbeda, “ada satu pandangan politik yang menyatukan semua pemikir bebas itu
yaitu dukungan mereka pada pemisahan absolut negara dan agama yang diterjemahkan
ke dalam tindakan menentang pemberian dukungan keuangan untuk lembaga-lembaga
keagamaan khususnya sekolah-sekolah paroki”.84
Sejak Perang Dunia II, hubungan agama dan negara terus diwarnai ketidaksepakatan
mengenai peran dan wilayah agama dalam kehidupan publik dan politik. Dalam
banyak hal, keputusan Mahkamah Agung selama paruh kedua abad 20 telah
memperdalam pemisahan antara agama dan gereja dengan tidak memasukkan aktivitas
agama dalam ruang, waktu dan anggaran publik terutama dalam masalah pendidikan
dan sekolah negeri, seperti yang tercermin dalam keputusan mengenai misa sekolah.85
Kalangan Kristen konservatif merespon kecendrungan ini dengan melakukan banding
di pengadilan dan kampanye untuk mempengaruhi politik. Kampanye banyak
dilakukan untuk mendukung adanya misa di sekolah, program voucher yang
memberikan kebebasan pada orang tua untuk memilih sekolah untuk anak-anaknya
dan kebebasan sekolah Kristen untuk beroperasi dengan intervensi yang kecil dari
pemerintah. Kristen konservatif juga berusaha untuk mempertahankan ikatan keluarga
tradisional, agama ortodoks, dan pendekatan puritan terhadap moral yang menekankan
kelurusan moral individu.
Seperti yang sudah diperkirakan, trend tersebut juga tercermin dalam sejumlah
pandangan partai politik dan kampanye mereka tentang beberapa isu. Kampanye untuk
menentang buku-buku sekolah yang “cabul”, hak-hak kaum gay, dan kesetaraan hak
perempuan, mampu menarik banyak pendukung terutama dari kalangan penganut
Protestan Evangelis yang memahami keterlibatan mereka dalam isu-isu tersebut sebagai
83
Demerath and Williams, hlm. 4
84
Jacoby, hlm. 153
85
Demerath and Williams, hlm. 4, 5
32. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im
jihad untuk membela nilai-nilai dan lembaga Kristen tradisional. 86 Namun, aktivisme
politik yang terorganisir semacam itu tidak hanya terjadi kalangan Protestan. Gereja-
gereja yang berasal dari politik sayap kiri juga memiliki sejarah lobi politik yang sama
baik mengatasnamakan isu hubungan etnis, perang terhadap kemiskinan, atau
mengakhiri perang Vietnam. Mereka juga berusaha untuk mempengaruhi kebijakan
luar negeri Amerika sesuai dengan pandangan mereka. Aktivisme sosial dari sayap kiri
biasanya muncul dari sekte-sekte utama Kristen Protestan, gereja Afrika Amerika, dan
Yahudi. Gereja Katolik juga ikut terlibat dalam mempengaruhi kebijakan luar negeri,
masalah-masalah ekonomi dan mempertanyakan kebijakan seperti aborsi dan
homoseks.87
Komitmen negara Amerika untuk tidak cenderung pada salah satu sekte keagamaan
telah teruji dalam beberapa dekade ini dalam kasus-kasus yang melibatkan kelompok-
kelompok seperti Gereja Scientology, International Society untuk Krishna, dan Gereja
Unifikasi yang menuntut kesamaan status di hadapan hukum. Larangan konstitusi
untuk memihak pada salah satu komunitas agama diperkuat lagi oleh Mahkamah
Agung sebagai prinsip yang penting untuk menjaga vitalitas konsep kebebasan
beragama.88 Namun isu-isu tertentu masih terus berdatangan ke pengadilan seperti isu
yang berkaitan dengan bahasa agama yang digunakan dalam sumpah kesetiaan, dan
keberadaan monumen-monumen keagamaan di ruang-ruang publik. Bagaimana
lembaga ini menyelesaikan isu-isu tersebut secara legal maupun politik, akan kita lihat
nanti. Dengan demikian, jelas bahwa pemisahan hukum antara agama dan negara tidak
bisa menyelesaikan masalah status agama dalam kehidupan politik dan publik negara
ini secara permanen melalui formula yang sederhana dan ketat.89
Sebagai kesimpulan atas review ini, jelaslah bahwa konsepsi dan pengalaman
sekularisme Barat itu tidak mengidentikkan ataupun menarik agama dari ruang
kebijakan publik dan undang-undang. Perkembangan kontekstual sejarah sekularisme
86
Wald, hlm. 188
87
Corbett and Mitchell, hlm. 124-6
88
James Wood, “Abridging the Free Exercise Clause.” Journal of Church & State 32 (1990), hlm. 742
89
Corbett and Mitchell, hlm. 23
33. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im
dan kontroversi mengenai makna dan implikasinya dalam praktik terus bergulir sampai
hari ini di semua negara Barat. Kesimpulan ini juga muncul ketika kita mereview
pengalaman negara lain yang relevan seperti Jerman90 dan Belanda91. Namun yang
terpenting bagi bagi saya adalah bagaimana review pengalaman ini relevan untuk
kondisi masyarakat Islam saat ini. Selain itu, pengalaman sekularisme masyarakat Barat
dan implikasinya juga sangat berguna untuk memahami proses-proses yang terjadi
berikutnya di tengah-tengah masyarakat mereka.
II. Upaya Kontekstual untuk Memediasi Ketegangan
Karena setiap masyarakat perlu menegosiasikan hubungan antara agama dan negara
dalam konteksnya sendiri, maka tidaklah mungkin dan tidak pula diperlukan untuk
memprediksi hasil kebijakan berdasarkan sebuah pra-konsepsi tentang hubungan ini.
Malah, kita harus mencoba untuk mengidentifikasi faktor dan aktor yang relevan dalam
proses ini dan mengatur proses interaksi mereka untuk meningkatkan prospek
netralitas negara yang genuine dan berkelanjutan. “Netralitas negara tidak boleh dilihat
sebagai cara yang abstrak, melainkan sebuah proses dialog yang berkelanjutan dengan
identitas dan kebebasan beragama individu”.92 Di Amerika misalnya debat politik dan
tuntutan hukum seputar peran agama dan kebijakan publik terjadi dalam konteks debat
politik dan budaya yang lebih luas mengenai masalah-masalah seperti makna nilai-nilai
tradisional dan nilai-nilai keluarga, kebebasan beragama, otonomi personal dan
kebebasan untuk memilih. Dengan demikian, dalam kontroversi mengenai aborsi,
contohnya, mereka yang setuju bisa mengklaim bahwa aborsi adalah persoalan otonomi
perempuan, namun mereka yang tidak setuju juga bisa menyatakan bahwa negara
harus melindungi kehidupan sebuah janin. Keduanya bisa menggunakan justifikasi
keagamaan untuk memperkuat posisinya, baik argumen itu diungkapkan dengan jelas
atau tidak. Negara harus menyelesaikan kontroversi ini dengan mengambil salah satu
pendapat sebagai kebijakan atau undang-undang resmi. Tapi, pilihan apapun yang
90
Richard Puza “The Development of the Relationship between the Church and State in Germany in
2001.” European Journal for Church and State Research 2002 (9): 11.
91
Sohpie Van Bijsterveld, “State and Church in the Netherlands.” State and Church in the European
Union, Ed. G. Robbers. Baden-Baden: Nomos Verlagsgesellschaft, 1996, hlm. 209.
92
Rik Torfs, “New Liberties and Church-State Relationships: Synthesis.” “New Liberties” and Church
and State Relationships in Europe (European Consortium for Church-State Research, Milan: Dott A
Giuffre Editore, 1998), hlm. 10.
34. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im
diambil, pilihan tersebut pasti ditentang oleh pilihan lain yang tidak diadopsi oleh
negara. Saya akan mendiskusikan proses ini lebih lanjut dalam bagian lain, namun
berikut beberapa refleksi mengenai bagaimana memahami sesuatu di balik ketegangan
permanen ini.
Ketegangan yang mendasari negosisasi itu adalah mengenai bagaimana dan seberapa
besar otonomi otoritas keagamaan dari otoritas hukum dan politik negara. Di satu sisi,
negara harus mengontrol institusi kegamaan untuk memenuhi kewajibannya dalam
menjaga perdamaian, mempertahankan stabilitas politik, dan mencapai perkembangan
ekonomi dan sosial. Seperti yang sudah dicatat tadi, negara harus bisa memiliki kontrol
atas teritori dan warga negaranya agar bisa memediasi dan menyelesaikan pilihan-
pilihan kebijakan publik yang berlawanan. Paradoksnya, negara tidak bisa
mempertahankan netralitasnya terhadap agama tanpa melakukan kontrol terhadap
aktivitas keagamaan warga negaranya. Di pihak lain, institusi-institusi keagamaan
harus mempertahankan otonomi mereka dari kekuasaan kursif negara guna menjaga
legitimasi doktrin dan praktik keagamaan mereka. Hal-hal seperti itu harus diatur
sesuai dengan kerangka referensi internal dan otoritas institusi keagamaan yang
independen tanpa campur tangan pejabat pemerintah yang akan cenderung
memaksakan pandangan mereka. Dengan demikian saya akan memfokuskan diri pada
cara untuk memediasi ketegangan hubungan antara negara dan agama yang inheren
dan permanen ini.
Breyy Scharffs, misalnya, menyarankan agar hubungan ini difahami dengan istilah
independen, interdependen dan inter-independen.93 Menurutnya, otonomi independen
antara negara dan agama berarti menerapkan sistem pemisahan antara keduanya,
sedangkan otonomi interdependen bisa menjadi dasar yang digunakan untuk mengatur
kerjasama antara keduanya, dan otonomi inter-independen (yang nanti akan saya sebut
sebagai “intermediate” untuk memudahkan pengistilahan) menghasilkan sistem yang
mengatur akomodasi mereka.94 Ditinjau dari berbagai hal, pendekatan ini bisa konsisten
93
Brett Scharffs, “The Autonomy of Church and State.” Brigham Young University Law Review (2004),
hlm. 1248.
94
Scharffs, hlm. 1220
35. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im
dengan ide mengenai sekularisme sebagai proses negosisasi yang konstan, karena
pendekatan ini bisa memotret sisi yang berbeda dalam satu rangkaian yang sama,
bukan menganggapnya sebagai kategori-kategori yang berbeda.
Negara apapun dapat mengadopsi posisi yang berbeda untuk menyelesaikan isu yang
berbeda. Dalam beberapa isu, negara bisa mengadopsi posisi yang lebih dekat pada
independen, tapi dalam isu yang lain posisinya bisa lebih dekat ke interdependen atau
dalam posisi di antara keduanya. Bahkan ketika kita hanya menyebut sebuah posisi
lebih dekat pada posisi ini atau itu, kita harus mengakui bahwa ada posisi yang tidak
bisa masuk pada deksripsi umum. Dengan demikian, pilihan posisi negara bukan cuma
satu, tetapi beragam dan pilihan-pilihan lain masih sangat terbuka dan bisa menjadi
pilihan kebijakan pada masa yang akan datang. Inilah yang saya maksud dengan
mengatakan bahwa sekulerisme sangat tergantung kondisi dan selalu diperdebatkan
dimana pun. Paparan mengenai pilihan kebijakan yang akan dikemukakan berikut ini
saya tempatkan dalam konteks 3 rangkaian kemungkinan ini, bukan dalam kerangka
klasifikasi yang ketat.
1. Pandangan Independen
Salah satu ujung rangkaian ini adalah ketika negara menerima independensi otoritas
dan praktik keagamaan dengan tidak mendukung atau mencampuri urusannya.
Dengan demikian, negara tidak akan menyediakan pendanaan langsung atau tidak
langsung pada badan-badan keagamaan, dan tidak akan mencampuri urusan pengurus
gereja, pendidikan agama, atau hukum dan undang-undang keagamaan. Tidak ada satu
negara pun yang bisa dikategorikan memenuhi posisi ini, namun beberapa negara telah
mengambil posisi seperti ini pada beberapa waktu untuk menyelesaikan beberapa
persoalan. Ini bisa dilihat dari beberapa pengalaman Perancis, Amerika dan Swedia.
Seperti yang sudah dicatat tadi, beberapa pandangan mengenai laicite yang berkaitan
dengan interaksi antara negara dan agama, bermunculan di Perancis sejak Revolusi
Perancis terjadi. Karena ketegangan antara Gereja Katolik dengan pemerintah dalam
beberapa isu seperti pendidikan dan bahasa pengantar pelajaran agama terus
36. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im
memuncak, interpretasi yang ketat terhadap sekularisme pun diadopsi oleh Perancis
pada akhir abad ke-19. Kebijakan ini terrefleksikan dalam Undang-Undag 1902 yang
secara resmi memisahkan agama dan negara. Undang-undang ini menyatakan
ketiadaan hubungan antara negara dan institusi-institusi keagamaan, dan agama
dianggap telah kehilangan fungsinya dalam sosialisasi kenegaraan. Undang-undang
dan konstitusi setelahnya berusaha untuk membuat agama dan negara semakin
independen satu dari yang lain.
Realitas pemisahan agama dan negara di Perancis ternyata tidak seketat dalam teori,
karena negara sering memberikan dukungan kepada gereja. Sejak 1959, pemerintah
Perancis selalu membayar gaji guru-guru yang mengajar di sekolah swasta, yang
kebanyakan adalah sekolah-sekolah agama, dan memberikan ketentuan-ketentuan
tertentu kepada mereka. Gereja, kuil dan sinagog yang dibangun di Perancis sebelum
1905 adalah milik negara dan diurus oleh negara, tetapi digunakan gratis oleh para
pemuka agama.95 Kebijakan negara untuk membiayai Masjid Paris nampaknya
merefleksikan fleksibilitas pemerintah Perancis dalam menginterpretasikan konsep
pemisahan antara agama dan negara. Beberapa peristiwa dalam sejarah Perancis yang
memperlihatkan baik penolakan dan kerelaan negara untuk mendukung pendidikan
dan institusi agama telah diterima sebagai sebuah penafsiran yang cocok dengan konsep
laicite.96
Pandangan terhadap sekularisme yang pragmatis itu baru-baru ini telah diuji
kelayakannya dalam kasus ‘jilbab”. Pemerintah Perancis melarang siswi muslim
menggunakan jilbab di sekolah-sekolah negeri, bahkan sebagian dari mereka
dikeluarkan dari sekolah karenanya. Setelah debat publik yang intens terjadi selama
berminggu-minggu, parlemen memutuskan untuk melarang penggunaan semua simbol
keagamaan yang mudah dikenali di sekolah-sekolah negeri. Aturan ini harus diterapkan
pada semua agama, seperti kopiah Yahudi dan turban penganut Sikh, hingga
memenuhi aturan kesetaraan formal yang dianut konstitusi Perancis. Tah peduli
95
Dominique Decherf, “French Views of Religious Freedom.” US-France Analysis.
(http://www.brookings.edu/fp/cuse/analysis/relfreedom.htm), 2.
96
Troper, hlm. 1277
37. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im
apapun yang orang fikirkan tentang hal itu. Penentang kebijakan ini berargumen bahwa
mentolerir ekspresi keagamaan para siswa tidak bertentangan dengan laicite, malah
merupakan satu hal yang harus dipenuhi oleh negara sebagai tanda komitmennya
terhadap netralitas dan kebebasan beragama.97 Tapi sebaliknya, pemerintah
menyatakan bahwa tanggung jawabnya untuk menjaga netralitas agama dalam ruang
publik harus diperlihatkan dengan menjaga pemisahan yang ketat antara agama dan
negara.98 Namun ada juga pendapat yang menyatakan bahwa kontroversi mengenai
jilbab sebetulnya lebih mewakili persoalan integrasi imigran pada budaya dan
kewarganegaraan Perancis yang menekankan loyalitas individu terhadap negara
daripada persoalan pemisahan antara agama dan negara. Namun, negara Perancis terus
mempertahankan dukungan pragmatisnya terhadap agama seperti dalam pendidikan
dan masalah keuangan, meskipun tetap mempertahankan pemisahan yang ketat dalam
masalah lain.
Pembuatan klausul dalam Amandemen Pertama Konstitusi Amerika bisa dipahami
dalam kerangka pemisahan antara negara dan agama yang independen. Namun, meski
posisi ini yang diambil, ketegangan antara keduanya masih tetap ada karena pilihan
untuk menghapus agama dari pemerintahan dianggap penting “meskipun ada
keyakinan yang luas bahwa ajaran dan praktik agama merupakan komponen yang
krusial dalam ruang publik”.99 Ide pemisahan negara dan agama biasanya diekspresikan
dalam makna dan implikasi yang disebut oleh Thomas Jefferson sebagai “wall of
separation”. Dari pandangan ini, wilayah agama dan negara dipisahkan sehingga
masing-masing tidak dapat mencampuri urusan yang lainnya, karena prinsip otonomi
negara dan otonomi gereja mengharuskan adanya independensi masing-masing dari
yang lain.100
Pengaruh dan ketegangan yang muncul dari sikap independen ini bisa dilihat dari
97
Troper, hlm. 1280
98
Jonathan Laurence, “Islam in France: A Contest between the Wind and the Sun.” New Europe Review
(2004), 13.
99
Kent Greenawalt, “Comment: Separation and Schools.” Cardozo Law Review 21
(1999), 1289.
100
Scharffs 1234-1235
38. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im
sejumlah keputusan pengadilan berkaitan dengan hubungan agama dan negara.
Contohnya, perbedaan pendapat mengenai pemasangan monumen keagamaan di ruang
publik seperti di ruang pengadilan mencerminkan interpretasi yang berbeda terhadap
Amendemen Pertama Konstitusi Amerika. Ketegangan tercermin dari dua kelompok
yang memiliki pendapat berbeda mengenai masalah tersebut. Kelompok yang disebut
sebagai “kelompok Steven” (Hakim Steven, Souter dan Ginsberg) yang mendukung ide
pemisahan menganggap pemasangan itu sebagai inkonstitusional. “Bagi mereka,
pemerintah harus tetap jauh dari pesan-pesan apapun yang akan mendorongnya untuk
menganut satu agama”.101 Dari sudut pandang ini, kegagalan untuk melaksanakan
pemisahan yang ketat antara negara dan agama merupakan hal berbahaya bagi
pemerintah dan agama. Sebaliknya, kelompok Rehnquist (hakim Rehnquist, Kennedy,
Scalia, dan Thomas) berpendapat bahwa pengakuan pentingnya agama dalam
kehidupan Amerika tetap sah secara konstitusional. Bagi kelompok ini, batas
pelanggaran aparatur pemerintah adalah “ketika mereka menekan individu untuk
menerima atau menolak satu agama atau memberikan dukungan berlebih pada agama
tertentu sehingga pemerintah bisa dituduh mempromosikan kepercayaan agama ini”.102
Perbedaan pendapat juga terlihat dalam keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat
baru-baru ini mengenai dua kasus yaitu Van Orden v. Perry dan McCreary v. American
Civil Liberties Union of Kentucky, yang mempermasalahkan pameran “Ten
Commandements” yang disponsori oleh pemerintah. Mereka yang menentang pameran
itu berpendapat bahwa pemerintah mengakui pesan-pesan keagamaan Ten
Commandement, yang berarti melanggar Klausul Amendemen Pertama. Sebaliknya
mereka yang mendukung pameran Ten Commendement berpendapat bahwa penayangan
itu merupakan bukti pengakuan resmi pemerintah terhadap signifikannya peran Ten
Commandement dalam pengembangan hukum dan pemerintahan di Amerika.
Pada tanggal 27 juni 2005, suara Mahkamah Agung yang terpecah ini akhirnya
mengeluarkan dua keputusan mengenai legalitas pameran Ten Commandements di
101
The Pew Forum on Religion & Public Life, A Monumental Decision: Supreme Court Considers
Constitutionality of Ten Commandments Display on Public Property, www.pewforum.org (2005), 6.
102
Pew Forum, 7
39. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im
bangunan atau benda-benda publik. Mahkamah Agung menganggap pemasangan
monumen Ten Commandements di halaman gedung pemerintah di Texas sebagai
konstitusional, tetapi tidak di dua ruang sidang di Kentucky. Dua keputusan itu
nampaknya membenarkan strategi Mahkamah Agung untuk membuat keputusan
mengenai isu ini berdasarkan kasus per kasus. Yang penting untuk pembicaraan kita
saat ini adalah bahwa isu-isu yang berkaitan dengan makna dan implikasi pemisahan
gereja dan negara atau netralitas negara terhadap agama ternyata masih menjadi bahan
kontroversi dalam negosiasi politik dan hukum di Amerika.
Seperti yang sudah dijelaskan secara singkat tadi, hubungan agama dan negara di
Swedia terus berkembang pesat, karena dalam dua dua abad terakhir ini negara tersebut
telah mengubah pandangannya yang kuat mengenai pentingnya keberadaan gereja
resmi.103 Trend terbaru seperti imigrasi dan sekularisasi kultural telah menggerakkan
pemisahan gereja dan negara selama tahun 90-an, seperti yang terlihat dalam
pemindahan registrasi penduduk dari gereja ke otoritas pajak dan reformasi
administratif lainnya. Perubahan-perubahan tersebut mencapai puncaknya pada
pemisahan resmi negara dan agama pada tahun 2000, yang bisa difahami sebagai model
hubungan negara dan agama yang independen. Namun, kenyataan bahwa Swedia tetap
memberikan dana kepada organisasi-organisasi keagamaan, baik secara langsung
maupun tidak, mengindikasikan bahwa ada usaha yang terus menerus untuk
menegosiasikan makna dan istilah pemisahan ini.
Swedia mungkin merupakan contoh peralihan menuju model independen yang paling
nyata dan baru, meskipun pendekatan ini juga bisa dilihat dalam debat dan
perkembangan negara-negara Eropa lain. Sat ini kampanye untuk menuntut pemisahan
yang lebih jelas sedang berlangsung di Inggris, pun kampanye mengenai hubungan
agama dan negara di Spanyol selama masa republik kedua, atau hubungan resmi
antara agama dan negara di Rusia. Hal yang penting untuk kita catat adalah proses
yang terus berlanjut adalah negosiasi sekularisme, bukan penerapan sebuah model yang
tetap di sebuah tempat. Berdasarkan perspektif inilah, saya akan melihat kemungkinan
103
Alwall, hlm. 391
40. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im
hubungan negara dan agama di negara-negara Barat di masa yang akan datang
berdasarkan pengalaman mereka saat ini.
2. Pandangan Interdependen
Ujung lain dari rangkaian posisi hubungan negara dan agama yang umum berlaku di
negara-negara Eropa adalah otonomi yang berdasarkan interdependensi atau
kooperasi.104 Pada posisi ini, berarti ada kerjasama dan interaksi tertentu antara negara
dan agama, walaupun agama tidak menjadi bagian resmi dari negara. Contoh posisi
interdependen ini termasuk pembiayaan negara terhadap asosiasi-asosiasi keagamaan
baik secara langsung atau tidak langsung, kerjasama dalam pendidikan agama, negara
yang bertindak atas nama gereja, atau campur tangan negara terhadap urusan-urusan
gereja. Kenyataan bahwa negara menyetujui, mendukung dan memberikan perlakuan
khusus kepada gereja tertentu nampaknya tidak konsisten atau mendukung prinsip
otonomi negara dan gereja.105 Karena itulah logika untuk memahaminya adalah kita
tidak harus menyetujui atau menolak model seperti itu karena merupakan proses
negosiasi yang terjadi terus menerus dalam sebuah masyarakat.
Menjelang revolusi periode modern yang demokratis, hubungan antara gereja dan
negara di beberapa negara Eropa merefleksikan adanya hubungan yang intim antara
kerajaan dan agama mayoritas. Pada masa pra-Revolusi Perancis dan pasca-Reformasi
Spanyol, misalnya, kerajaan dan gereja Katolik bekerja sama untuk melegitimasi
kekuasaan negara dan menjaga agama Katolik dari serangan Kristen Protestan. Model
kerjasama seperti ini menyebabkan hubungan antara keduanya stabil dan saling
menguntungkan dalam konteks historis saat itu, sampai kemudian lambat-laun terus
berubah. Hubungan dekat semacam itu juga terjadi di negara-negara Kristen Protestan
seperti Inggris dan Swedia, yang pada tingkat tertentu masih berlanjut sampai sekarang.
Contohnya, di bawah Act of Supremacy tahun 1558, yang masih menjadi bagian
undang-undang Inggris, penguasa kerajaan adalah “supreme governor” bagi Gereja
104
Roland Minnerath, “Church Autonomy in Europe.” Church Autonomy: A Comparative Survey. Ed.
Gerhard Robbers (Frankfurt: Peter Lang, 2001), hlm. 381.
105
Scharffs, hlm. 1260
41. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Anglikan dan mengucapkan janji suci untuk mempertahankannya.106 Seperti yang
dicatat di bagian lalu, kerajaan menunjuk Uskup Agung dan pejabat gereja lain dan
memberikan kursi kepada Lords of Spiritual di House of Lords. Selain itu, hukum gereja
juga masih menjadi bagian dari Common Law Inggris, dan aturan-aturan yang dibuat
gereja harus diproses, disetujui dan diberikan status hukum resmi oleh Parlemen.
Kontekstualitas proses ini terlihat dari “tetap dipertahankannya bentuk lahiriah
konstitusi Inggris, namun pelaksanaannya terus berkembang sesuai dengan konvensi—
dalam kasus ini berarti menuju gereja yang benar-benar lebih independen”.107 Dengan
demikian, pengakuan negara atas Gereja Anglikan sebagai gereja resmi terus
berlangsung meskipun keduanya memiliki tingkat independensi tertentu dari yang lain
dan masih bekerja sama dan saling mendukung dalam hal-hal yang menguntungkan
kedua belah pihak. Fleksibitas seperti ini bertujuan untuk memperkuat penerimaan
sosial dan legal terhadap sekularisme dan pluralisme agama dengan tetap
mempertahankan peran tradisional Gereja Anglikan sebagai rekan spiritual dan moral
pemerintah.
Rancangan interdependen ini juga dapat ditemukan di negara-negara Eropa lain, tapi
saya akan mengulang secara singkat pengalaman negara-negara yang sudah saya
kemukakan tadi. Model interdependen lebih jelas terlihat dari pengalaman-pengalaman
negara yang berbasis Katolik seperti Spanyol dan Itali. Pada beberapa penggal sejarah
mereka, hubungan negara dan gereja di kedua negara itu mengalami fluktuasi antara
pemisahan yang kuat dan hubungan interdependen antara gereja dan negara. Sistem
kesepakatan yang dibuat oleh negara dan gereja mengakui keberadaan keduanya
sebagai pihak yang otonom, meskipun kesepakatan itu tetap memberikan kesempatan
kepada gereja untuk mencampuri urusan-urusan negara, dan memberikan gereja
fasilitas-fasilitas istimewa. Secara umum di Eropa, baik di negara-negara Katolik
maupun Protestan, keberadaan gereja resmi telah direkonsiliasikan dengan pengakuan
terhadap keragaman agama dan hadir bersamaan dengan sekularisasi kehidupan sosial
dan budaya yang sedang meluas.
106
Vernon Bogdanor, The Monarchy and the Constitution (Oxford, Oxford University Press, 1995), hlm.
216.
107
Cheryl Saunders, “Comment: Religion and the State.” Cardozo Law Review 21 (1999).
42. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Model otonomi interdependen seperti ini juga bisa dilihat di Rusia yang secara resmi
mengakui pemisahan agama dan negara tetapi masih membangun kooperasi dengan
gereja ortodoks. Setelah perubahan drastis yang terjadi pada tahun 90-an dan runtuhnya
Uni Soviet, ada interdependensi yang terus tumbuh antara negara dan gereja; dimana
kekuasaan simbolis gereja dikendalikan oleh negara sebagai kompensasi atas
perlindungan dan keuntungan yang diberikan negara kepadanya. Pengalaman Rusia
yang terbaru menunjukkan bagaimana masyarakat yang telah tersekulerkan selama
masa berdirinya Uni Soviet, sekarang nampak mulai kembali menganut pandangan
Eropa yang tradisional mengenai hubungan agama dan gereja.
Model interdependen ini bisa juga tumbuh di negara yang lebih dekat ke model
independen. Contohnya, daerah Alsace Lorraine di Perancis yang digabungkan ke
Jerman setelah kekalahan Perancis pada tahun 1871 dan masih berada di bawah kontrol
Jerman ketika undang-undang 1905 tentang pemisahan negara dan gereja diberlakukan
di Perancis. Setelah PD I, ketika daerah itu dikembalikan ke Perancis, sistem
kesepakatan gereja dan negara masih dipertahankan. Di Alsace Lorraine pemuka agama
menerima gaji dari negara dan Uskup ditunjuk oleh Presiden, padahal di daerah
Perancis lain, hal itu tidak terjadi.108 Dengan demikian model interdependensi antara
gereja dan negara Perancis masih berlanjut di daerah tertentu, meskipun tidak di daerah
lain. Begitupun di Jerman, ukuran interdependensi antara negara dan gereja berbeda-
beda di beberapa daerah. Di daerah daerah bekas Jerman Timur dan di negara seperti
Berlin, pemisahan antara gereja dan negara merupakan hal substansial dalam beberapa
hal, seperti dalam masalah pendidikan. Sementara di daerah lain seperti di daerah yang
dikuasai oleh Katolik Bavaria, hubungan antara gereja dan negara terlihat lebih kuat.
3. Level Intermediate
Di antara posisi independen dan interdependen, terdapat kemungkinan yang amat luas
bagi terjadinya kombinasi antara dua posisi itu, dimana negara dan gereja dapat
mempertahankan independensinya masing-masing, namun negara diharapkan untuk
108
Troper 1278-9
43. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im
membuat aturan-aturan tertentu untuk memberdayakan gereja dan memfasilitasi
perannya dalam masyarakat. Berlawanan dengan asumsi yang kaku mengenai
independensi dua lembaga ini, posisi intermediate mengakui keberadaan manusia
sebagai makhluk yang lahir dan tumbuh dalam konteks sosial tertentu sebagai anggota
keluarga dan komunitas.109 Pada saat yang sama, posisi ini juga mengakui bahwa
otonomi merupakan hal yang tidak mungkin, jika negara memberi perlakuan khusus
kepada agama tertentu atau berusaha memaksa individu untuk mempraktikkan ajaran
agama tertentu. Komitmen untuk menghargai ruang dimana individu memiliki
kebebasan untuk mengarahkan kehidupan mereka tanpa paksaan atau manipulasi,
mengandaikan adanya pembedaan antara kehidupan publik dan privat, walaupun
dengan tetap menyadari kemungkinan akan terjadinya persinggungan dan pengaruh
yang saling menguntungkan keduanya”.110 Mengakomodasi agama untuk memainkan
peran aktif dalam kehidupan politik dan sosial sebuah komunitas harus diupayakan
menjadi sebuah usaha untuk menyeimbangkan realitas interdependensi dan sikap
saling menghormati di kalangan agen otonom.111
Posisi Rehnquist, salah seorang hakim Mahkamah Agung AS yang sudah saya sebutkan
tadi bisa menjadi contoh pendekatan intermediate. Posisi ini bisa difahami sebagai
sebuah interpretasi terhadap prinsip pemisahan antara negara dan agama yang berpijak
pada adanya hubungan moral dan sejarah yang mendalam antara keduanya. Untuk
mempertahankan netralitas negara terhadap agama, hakim-hakim ini tidak akan
mengharuskan proses peminggiran agama dari seluruh aspek kehidupan publik.
Melalui perspektif ini, negara masih tetap bisa memberikan bantuan kepada institusi-
institusi keagamaan, yang memang sudah dilakukan, tanpa diskriminasi. Belanda bisa
menjadi contoh untuk memperlihatkan hubungan agama dan negara model ini, dimana
negara tidak memberlakukan pemisahan yang ketat dan memberikan dukungan
keuangan dan dukungan lain kepada komunitas-komunitas keagamaan utama tanpa
mengistimewakan salah satunya.112 Pada saat yang sama, nampaknya pemerintah
109
Scharffs, hlm. 1254
110
Scharffs hlm. 1255
111
Scharffs hlm. 1256
112
Van Bijsterveld, hlm. 220-24
44. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Belanda tidak tergantung pada agama untuk mendapatkan legitimasi bagi
pemerintahannya seperti negara-negara yang memiliki gereja resmi. Posisi tengah ini
bisa diterapkan saat ini, di negara-negara seperti Itali dan Spanyol yang secara resmi
sekuler, tetapi tetap mendukung peran gereja sebagai agen sosial yang penting.
4. Hubungan Faktor Internal dan Eksternal
Di samping peran historis dan kontemporer faktor-faktor internal dan eksternal,
negosiasi sekularisme di negara-negara Eropa Barat juga dipengaruhi oleh kerangka
pikir Uni-Eropa dan Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa. Semua anggota Uni-Eropa
adalah anggota Dewan Eropa, namun beberapa anggota Dewan, seperti Turki, bukanlah
anggota Uni Eropa. Tugas utama Dewan Eropa adalah untuk melindungi Hak Asasi
Manusia di Eropa sementara Uni Eropa yang awalnya hanya organisasi ekonomi
berkembang menjadi organisasi yang juga mengurusi persoalan politik dan sosial.
Kedua sistem ini mempengaruhi hubungan negara dan agama di negara-negara
anggotanya.113 Kebijakan dan peraturan regional mengenai agama berusaha untuk
menyeimbangkan pluralisme dan kebebasan beragama dengan tetap mengakui
keberadaan gereja resmi dan pandangan yang berbeda mengenai hubungan agama dan
di kalangan negara-negara anggotanya. Negosiasi mengenai makna dan implikasi
netralitas negara terhadap otonomi gereja di dalam negeri kini dipengaruhi oleh
perkembangan regional.
Salah satu aspek utama faktor regional ini adalah Keputusan Pengadilan Hak Asasi
Manusia Eropa yang berada di bawah aturan Konvensi HAM Eropa. Keputusan
pengadilan itu merefleksikan penerimaannya yang sudah lama terhadap keberadaan
gereja resmi negara. Dengan demikian, berdasarkan deksripsi di bagian lalu, pengadilan
ini mengadopsi pandangan interdependen. Pandangan ini terbukti dalam kasus Darby
melawan pemerintah Swedia (1990). Pengadilan bependapat bahwa gereja resmi boleh saja
berdiri, tetapi ia tidak bisa memaksa orang untuk menjadi anggotanya atau
menghalangi mereka meninggalkan gereja. Pengadilan juga menyatakan bahwa negara
boleh-boleh saja bekerjasama, mendukung atau memberi perlakuan istimewa pada
113
Rivers, hlm. 45