Tulisan ini membahas pentingnya reformasi manajemen keuangan pemerintah Indonesia. Beberapa masalah yang dihadapi antara lain rendahnya akuntabilitas dan efisiensi penggunaan anggaran, tidak adanya prioritas kegiatan, banyaknya kebocoran anggaran akibat korupsi. Tulisan ini mendukung pembagian kewenangan antara instansi pemerintah dan Kementerian Keuangan, serta perlunya penguatan lembaga pengawas keuangan negara sepert
Pengawasan keuangan daerah merupakan suatu dimensi penting dalam pengelolaan keuangan daerah. Hal ini penting karena anggaran publik yang tercermin dalam APBD merupakan kumpulan dana masyrakat yang membutuhkan pengelolaan secara akuntabel dan amanah
Pengawasan keuangan daerah merupakan suatu dimensi penting dalam pengelolaan keuangan daerah. Hal ini penting karena anggaran publik yang tercermin dalam APBD merupakan kumpulan dana masyrakat yang membutuhkan pengelolaan secara akuntabel dan amanah
Tugas Akuntansi sektor publik
Karya Ilmiah (Analisis Penerapan SAP Berbasis Akrual pada Faktor-faktor yang Mempengaruhi pertanian di Bogor)
Disusun Oleh
1. Rizkya Rahmah
2. Ayu Cahya N
3. Gaby Angelina G
4. Nurlisa H
5. Dede Shintia A
Kelas 4C-Akuntansi
FE-Unpak
Laporan keuangan yang lengkap biasanya meliputi :
• Neraca
• Laporan laba rugi
• Laporan perubahan ekuitas
• Laporan perubahan posisi keuangan yang dapat disajikan berupa laporan arus kas atau laporan arus dana
• Catatan dan laporan lain serta materi penjelasan yang merupakan bagian integral dari laporan keuangan
Tugas Akuntansi sektor publik
Karya Ilmiah (Analisis Penerapan SAP Berbasis Akrual pada Faktor-faktor yang Mempengaruhi pertanian di Bogor)
Disusun Oleh
1. Rizkya Rahmah
2. Ayu Cahya N
3. Gaby Angelina G
4. Nurlisa H
5. Dede Shintia A
Kelas 4C-Akuntansi
FE-Unpak
Laporan keuangan yang lengkap biasanya meliputi :
• Neraca
• Laporan laba rugi
• Laporan perubahan ekuitas
• Laporan perubahan posisi keuangan yang dapat disajikan berupa laporan arus kas atau laporan arus dana
• Catatan dan laporan lain serta materi penjelasan yang merupakan bagian integral dari laporan keuangan
Badan Layanan Umum (BLU) adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatarnya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.
Konstitusi mengamanatkan Presiden sebagai
pemegang kekuasaan pemerintahan menurut
UUD (Pasal 4 UUD 1945). Dalam menjalankan
tugas tersebut, Presiden dibantu oleh menteri-
menteri negara yang membidangi urusan
tertentu di bidang pemerintahan (UU Nomor 39
Tahun 2008 tentang Kementerian Negara).
Pada dasarnya pembentukan kabinet adalah
dalam rangka mewujudkan visi, misi dan tujuan
bernegara sebagaimana diamanatkan dalam
Pembukaan UUD 1945. Meskipun
pembentukan kementerian atau kabinet
merupakan prerogatif Presiden sebagaimana
amanat UU Nomor 39 Tahun 2008 Pasal 11,
akan tetapi tetap harus mengacu pada amanat
konstitusi dan menganut prinsip right size,
efisiensi dan efektivitas. Dalam rangka
memberikan sumbang saran bagi
pemerintahan baru yang akan dibentuk, Tim
Pusat Inovasi Kelembagaan dan SDA, LAN
mencoba menawarkan satu usulan Arsitektur
Kabinet 2014-2019 yang bisa dijadikan sebagai
referensi untuk pembentukan Kabinet 2014-
2019.
Tugas Paper Akuntansi Sektor Publik "Analisis Penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan Pada Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Sebagai Badan Layanan Umum Daerah."
Laporan Keuangan adalah informasi keuangan yang disajikan dan disiapkan oleh manajemen dari suatu perusahaan kepada pihak internal dan eksternal, yang berisi seluruh kegiatan bisnis dari satu kesatuan usaha yang merupakan salah satu alat pertanggungjawaban dan komunikasi manajemen kepada pihak-pihak yang membutuhkannya.
Untuk lebih lengkap lagi temukan di sini http://adf.ly/di0gF
Implikasi Adanya Paket Undang Undang Keuangan Negara >Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara >>Salah satu implikasi penetapan UU Nomor 17 Tahun 2003 adalah mulai diterapkannya anggaran berbasis kinerja (performance-based budgeting). Pendekatan ini diterapkan secara bertahap mulai tahun anggaran 2005. Penganggaran bebasis kinerja merupakan sistem perencanaan, penganggaran, dan evaluasi yang dilakukan dengan mempertimbangkan keterkaitan antara pendanaan dengan keluaran dan hasil yang diharapkan. Pengukuran kinerja digunakan untuk menilai keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan kegiatan/program/kebijakan sesuai dengan sasaran dan tugas yang telah ditetapkan dalam rangka mewujudkan visi dan misi Pemerintah Daerah. Salah satu aspek yang diukur dalam penilaian kinerja keuanganpemerintah adalah aspek keuangan berupa Anggaran Berbasis Kinerja (ABK). >Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara >>·diatur prinsip-prinsip yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi-fungsi pengelolaan kas, perencanaan penerimaan dan pengeluaran, pengelolaan utang piutang dan investasi serta barang milik negara/daerah yang selama ini belum mendapat perhatian yang memadai. ·Untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara, laporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah perlu disampaikan secara tepat waktu dan disusun mengikuti standar akuntansi pemerintahan. Karena, Pada saat ini laporan keuangan pemerintah dirasakan masih kurang transparan dan akuntabel karena belum sepenuhnya disusun mengikuti standar akuntansi pemerintahan yang sejalan dengan standar akuntansi sektor publik yang diterima secara internasional. Pada saat ini laporan keuangan pemerintah dirasakan masih kurang transparan dan akuntabel karena belum sepenuhnya disusun mengikuti standar akuntansi pemerintahan yang sejalan dengan standar akuntansi sektor publik yang diterima secara internasional. >Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. >>yaitu, adanya wewenang BPK untuk memeriksa atas pengelolaan dan tanggung jawab mengenai keuangan negara, selain itu BPK memiliki kebebasan dan kemandirian dalam ketiga tahap pemeriksaan, yakni perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan hasil pemeriksaan. Kebebasan dalam tahap perencanaan mencakup kebebasan dalam menentukan obyek yang akan diperiksa, kecuali pemeriksaan yang obyeknya telah diatur tersendiridalam undang-undang, atau pemeriksaan berdasarkan permintaan khusus dari lembaga perwakilan, serta BPK dapat menerbitkan surat keputusan penetapan batas waktu pertanggungjawaban bendahara atas kekurangan kas/barang yang terjadi, setelah mengetahui adakekurangan kas/barang dalam persediaan yang merugikan keuangan negara/daerah.
1. REFORMASI MANAJEMEN KEUANGAN PEMERINTAH :
SEBUAH TINJAUAN
Awan Setiawan *)
Pengantar
Tulisan ini diharapakan dapat menjadi input bagi para perencana di
Bappenas khususnya dalam pelaksanaan 3 (tiga) agenda Repenas Transisi, yang
salah satunya adalah “mempercepat reformasi”, yang dalam tulisan ini fokus pada
manajemen keuangan pemerintah. Walapun informasi yang disampaikan tidak
cukup komprehensif, namun menurut hemat kami isu tersebut masih cukup aktual,
terutama mendorong Reposisi Bappenas dan kembali kepada track yang benar.
Pendahuluan
Manajemen keuangan pemerintah merupakan salah satu kunci penentu
keberhasilan pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan dalam kerangka
nation and state building. Adanya manajemen keuangan pemerintah yang baik akan
menjamin tercapainya tujuan pembangunan secara khusus, dan tujuan berbangsa
dan bernegara secara umum. Karenanya, langkah-langkah strategis dalam konteks
penciptaan, pengembangan, dan penegakan sistem manajemen keuangan yang baik
merupakan tuntutan sekaligus kebutuhan yang semakin tak terelakkan dalam
dinamika pemerintahan dan pembangunan.
Munculnya perhatian yang besar akan pentingnya manajemen keuangan
pemerintah dilatarbelakangi oleh banyaknya tuntutan, kebutuhan atau aspirasi yang
harus diakomodasi di satu sisi, dan terbatasnya sumberdaya keuangan pemerintah di
sisi lain. Dengan demikian, pencapaian efektivitas dan efisiensi keuangan
pemerintah semakin mengemuka untuk diperjuangkan perwujudnya.
Dalam upaya perwujudan manajemen keuangan pemerintah yang baik,
terdapat pula tuntutan yang semakin aksentuatif untuk mengakomodasi,
menginkorporasi, bahkan mengedepankan nilai-nilai good governance. Beberapa
nilai yang relevan dan urgen untuk diperjuangkan adalah antara lain transparansi,
akuntabilitas, serta partisipasi masyarakat dalam proses pengelolaan keuangan
dimaksud, disamping nilai-nilai efektivitas dan efisiensi tentu saja. Dalam konteks
yang lebih visioner, manajemen keuangan pemerintah tidak saja harus didasarkan
pada prinsip-prinsip good governance, tetapi harus diarahkan untuk mewujudkan
nilai-nilai dimaksud.
*
)
Awan Setiawan, SE, MM adalah Kepala Seksi di Direktorat Kerjasama Pembangunan Sektoral
dan Daerah Kantor Meneg PPN/Bapppenas & Mahasiswa Program Pasca Sarjana MPKP Universitas
Indonesia (UI)-red
2. Sebagaimana dibahas dalam artikel Mulia P. Nasution berjudul “Reformasi
Manajemen Keuangan Pemerintah” (Jurnal Forum Inovasi, Desember – Februari
2003), pemerintah Indonesia sebenarnya sudah memberi perhatian yang sungguhsungguh untuk mengakomodasi dan mewujudkan harapan dan tuntutan di atas.
Upaya mewujudkan manajemen keuangan pemerintah yang baik, antara lain,
diperjuangkan dengan memperhatikan prinsip dan nilai-nilai good governance.
Yang selama ini sudah dilakukan adalah dengan membahas RUU Keuangan Negara
yang sudah diundangkan DPR pada tanggal 9 Maret 2003 lalu (jadi setelah artikel
ini ditulis) menjadi UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Terdapat
4 prinsip dasar pengelolaan keuangan negara yang menjadi fokus perhatian utama
dalam UU ini, yaitu (1) akuntabilitas berdasarkan hasil atau kinerja, sehingga
muncul kerangka kerja baru dengan nama “Anggaran Berbasis Kinerja
(Performance Budget)” yang pada saat ini sedang diujicobakan pelaksasanaannya
dan diharapkan dimulai pada tahun anggaran 2005; (2) keterbukaan dan setiap
transaksi keuangan pemerintah; (3) pemberdayaan manajer profesional; dan (4)
adanya lembaga pemeriksa eksternal yang kuat, profesional, dan mandiri serta
dihindarinya duplikasi dalam pelaksanaan pemeriksaan (double accounting).
Berdasarkan keempat prinsip tersebut, maka artikel ini menempatkan reformasi
perbendaharaan dan reformasi di bidang auditing sebagai agenda yang mendesak.
Urgensi
Pentingnya reformasi keuangan pemerintah dengan beberapa bidang di atas
sebagai fokusnya, dalam penilaian penulis ini, dilatarbelakangi oleh beberapa
pertimbangan strategis yang terutama diwakili oleh luasnya skala persoalan yang
harus diatasi. Persoalan-persoalan dimaksud antara lain :
Pertama, rendahnya efektivitas dan efisiensi penggunaan keuangan
pemerintah akibat maraknya irasionalitas pembiayaan kegiatan negara. Kondisi ini
disertai oleh rendahnya akuntabilitas para pejabat pemerintah dalam mengelola
keuangan publik. Karenanya, muncul tuntutan yang meluas untuk menerapkan
sistem anggaran berbasis kinerja.
Kedua, tidak adanya skala prioritas yang terumuskan secara tegas dalam
proses pengelolaan keuangan negara yang menimbulkan pemborosan sumber daya
publik. Selama ini, hampir tidak ada upaya untuk menetapkan skala prioritas
anggaran di mana ada keterpaduan antara rencana kegiatan dengan kapasitas
sumber daya yang dimiliki. Juga harus dilakukan analisis biaya-manfaat (cost and
benefit analysis) sehingga kegiatan yang dijalankan tidak saja sesuai dengan skala
prioritas tetapi juga mendatangkan tingkat keuntungan atau manfaat tertentu bagi
publik.
Persoalan ketiga yang menuntut dilakukannya reformasi manajemen
keuangan pemerintah adalah terjadinya begitu banyak kebocoran dan
penyimpangan, misalnya sebagai akibat adanya praktek KKN.
3. Keempat dan terakhir adalah rendahnya profesionalisme aparat pemerintah
dalam mengelola anggaran publik. Inilah merupakan sindrom klasik yang
senantiasa menggerogoti negara-negara yang ditandai oleh superioritas pemerintah.
Dinamika pemerintah, termasuk pengelolaan keuangan di dalamnya, tidak dikelola
secara profesional sebagaimana dijumpai dalam manajemen sektor swasta. Jarang
ditemukan ada manajer yang profesional dalam sektor publik. Bahkan terdapat
negasi yang tegas untuk memasukkan kerangka kerja sektor swasta ke dalam sektor
publik di mana nilai-nilai akuntabilitas, profesionalisme, transparansi, dan
economic of scale menjadi kerangka kerja utamanya.
Dengan memperhatikan beberapa patologi tersebut, artikel ini sampai pada
beberapa rekomendasi strategis yang pada intinya ingin mengembalikan manajemen
keuangan pemerintah dalam bentuk anggaran sebagai alat akuntabilitas, manajemen
dan kebijakan ekonomi yang sehat.
Menarik dari pembahasan penulis ini adalah adanya upaya untuk
memisahkan secara tegas antara kewenangan administratif dan kewenangan
kebendaharaan. Dalam penilaian penulis ini kewenangan administratif seyogyanya
berada dan diatur oleh masing-masing departemen/lembaga pemerintah, sementara
kewenangan kebendaharaan berada di tangan Menteri Keuangan. Kewenangan
administratif meliputi otoritas untuk melakukan perikatan (kontrak) atau tindakantindakan lain yang mengakibatkan terjadinya penerimaan atau pengeluaran negara
serta perintah untuk melakukan pembayaran atau menagih penerimaan yang timbul
sebagai konsekuensi dari suatu perikatan. Sedangkan kewenangan kebendaharaan
meliputi tidak boleh secara sempit ditafsirkan sebagai sekedar fungsi kasir untuk
membayarkan tagihan atau mengelola penerimaan, tetapi juga meliputi otoritas
untuk meneliti kebenaran penerimaan dan pengeluaran tersebut. Dalam konteks ini,
Menteri Keuangan bertindak sebagai kasir, pengawas, sekaligus sebagai fund
manager.
Pembagian yang demikian sangat menarik untuk dibahas sejalan dengan
munculnya kontroversi yang luas pasca diundangkannya UU Nomor 17 Tahun
2003. Bagi mereka yang pro dengan UU tersebut, Menteri Keuangan dan
Departemen Keuangan sudah saaatnya diberi kewenangan yang lebih luas, tidak
saja untuk mengelola keuangan negara an sich tetapi juga melakukan verifikasi atas
penerimaan dan pengeluaran tersebut serta otoritas di bidang perencanaan yang
secara langsung maupun tidak langsung akan menghapus – atau tepatnya
mengurangi – peran dan fungsi Bappenas serta keberadaan BUMN lainnya
(Kontan, 24 Maret 2003, Republika, 15 April 2003, Koran Tempo 27 Maret 2003).
Argumentasi yang demikian dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa badan yang
mengelola anggaran seharusnya dilibatkan secara aktif untuk turut menentukan
perencanaan pembangunan. Dengan demikian, ada sinergi dan rasionalitas yang
tinggi antara rencana kegiatan yang diusulkan dengan kapasitas anggaran yang
tersedia.
4. Sementara itu muncul juga kelompok kedua yang menentang
diberlakukannya UU ini. Bagi mereka, mendelegasikan wewenang penganggaran
dan perencanaan yang begitu besar kepada Departemen Keuangan sama halnya
dengan memberi “cek kosong” kepada lembaga tersebut. Argumentasi ini
dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa, pertama, penyerahan mandat absolut
kepada Departemen Keuangan jelas sangat bertentangan dengan prinsip
pemerintahan yang baik (good governance), terutama transparansi dan
akuntabilitas. Adanya wewenang perencanaan dan penganggaran pada satu lembaga
akan menyebabkan tidak bekerjanya mekanisme check and balance, dan kedua, UU
tersebut secara langsung telah mempreteli hak prerogatif presiden dalam
melakukan reorganisasi dan restrukturisasi Kementerian Negara; dan ketiga,
Departemen Keuangan diidentifikasi sebagai salah satu pusat masalah dalam
pengelolaan anggaran di Indonesia sehingga sangat tidak bijak untuk
mendelegasikan wewenang yang besar kepada sebuah lembaga yang memang
bermasalah (Forum Indonesia Raya, 2003).
Terlepas dari pro dan kontra di atas, UU tersebut sebenarnya ingin
mengintroduksi sebuah kerangka kerja baru yang bersemangatkan nilai-nilai good
governance, terutama efektivitas dan efisiensi walaupun kurang memberikan
garansi bagi terwujudnya akuntabilitas dan transparansi karena absennya
mekanisme check and balance. UU ini berusaha mendorong terwujudnya suatu
kerangka hukum yang jelas tentang tata cara pengelolaan keuangan negara yang
bersih dari korupsi, penyelewengan, atau penyimpangan. Misalnya ada ketentuan
untuk membatasi defisit anggaran sebesar maksimum 60% dari PDB dan dalam
penyusunan APBD, defisit anggaran tidak boleh melebihi 3% dan utang tidak boleh
melebihi 60% dari PDRB. UU tersebut sekaligus mengganti pedoman pelaksanaan
keuangan negara yang masih merupakan warisan Hindia Belanda, yaitu ICW Stbl
1925 Nomor 448.
Semangat baru yang dikedepankan oleh UU ini adalah adanya pengawasan
yang semakin meningkat dimana diamanatkan bahwa laporan kepada badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) harus diajukan selambat-lambatnya 6 bulan setelah
tahun anggaran berakhir. Demikian juga, para pejabat maupun publik yang terbukti
merugikan keuangan negara diwajibkan untuk mengganti kerugian dimaksud (Pasal
35 Ayat 1). Demikian halnya dengan kemungkinan untuk menuntut bendahara
negara secara pribadi yang terbukti melakukan kelalaian, penyelewengan, atau
korupsi termasuk kewajiban untuk mengganti kerugian atas keuangan negara (Sinar
Harapan, 6 Mei 2003).
Selain nilai-nilai yang diperjuangkan melalui UU di atas, ada juga langkah
maju – walaupun masih pada tataran wacana – yang sedang diupayakan dan
menjadi kesepakatan semua pihak, yaitu perlunya upaya untuk mengefektifkan
fungsi pengawasan dan pemeriksaan pengelolaan keuangan negara. Selama ini,
fungsi tersebut dijalankan oleh BPKP sebagai state auditor. Lembaga ini diberi
kewenangan untuk melakukan verifikasi atas semua pos penerimaan dan
pengeluaran pembangunan negara yang dilakukan setiap akhir tahun anggaran.
5. Banyak temuan yang berhasil menyelamatkan sumberdaya negara, walaupun tidak
sedikit juga yang luput dari pengawasan. Pembenahan internal dalam tubuh BPKP
mutlak dilakukan karena lembaga yang dianggapa sebagai benteng terakhir dalam
manajemen keuangan negara ini juga tidak lepas dari masalah. Muncul penilaian
bahwa BPKP adalah bagian dari masalah (a part of the problem). Lembaga itu tidak
jarang terlibat dalam konspirasi dengan pihak kedua yang sangat merugikan
keuangan negara.
Jika BPKP sebagai state auditor masih terbelit pada berbagai masalah,
maka salah satu alternatif yang bisa ditempuh adalah dengan mendayagunakan
independent external auditor. Ini merupakan lembaga pemeriksa independen yang
berasal dari luar pemerintah semisal konsultan-konsultan akuntansi publik yang kini
banyak berkembang. Banyak contoh yang memperlihatkan bagaimana kiprah dan
kontribusi positif lembaga-lembaga tersebut dalam menyelematkan keuangan
negara. Sebut saja apa yang dilakukan Anderson Counsultant, sebuah perusahaan
konsultan internasional, yang berhasil membongkar kroni Soeharto. Lembagalembaga semacam itu bisa dipekerjakan untuk menopangan kinerja keuangan
pemerintah.
Apa yang telah dipaparkan di atas tidak hanya menjadi pekerjaan rumah
pemerintah pusat. Bersamaan implementasi otonomi daerah, reformasi manajemen
keuangan pemerintah perlu juga dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Bahkan
reformasi keuangan pemerintah daerah semakin mendesak dilakukan mengingat
masih terbatasnya kemampuan manajemen keuangan di kalangan pemerintah
daerah di satu sisi, dan semakin banyaknya anggaran pembangunan dan pelayanan
publik yang mengalir ke daerah menyusul implementasi otonomi daerah di sisi lain.
Gejala-gejala KKN dalam manajemen keuangan daerah, proses tender yang tidak
terbuka, dan parktek-praktek manipulatif lainnya kini sudah semakin merebak di
daerah. Muncul pula keluhan bahwa implementasi otonomi daerah hanya
memindahkan borok permasalah dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
justru ketika masyaraklat semakin mengharapkan kondisi kehidupan dan
kesejahteraan yang semakin baik. Fasilitasi yang dilakukan oleh World Bank
bekerjasama dengan Bappenas, Departemen Dalam Negeri, dan Departemen
Keuangan RI dalam skema program Initiatives for Local Governance Reform
(ILGR) adalah dalam kerangka penegakan transparansi dan akuntabilitas
pengelolaan keuangan negara itu.
Di atas semua itu, tulisan singkat ini juga memberikan perhatian khusus
pada penegakan integritas dan profesionalisme SDM aparat pelaksana.
Bagaimanapun idealnya sebuah aransemen kebijakan, jika tidak didukung oleh
kapasitas dan moral pejabat yang baik maka kebijakan tersebut tidak akan banyak
bermanfaat. Langkah-langkah capacity building untuk peningkatan profesionalisme
aparat pelaksana, baik yang berwenang mengelola keuangan negara maupun pejabat
yang menggunakannya, sangat mendesak dilakukan karena diidentifikasi bahwa
salah satu persoalan yang menimbulkan kesemrawutan pengelolaan keuangan
pemerintah terletak pada rendahnya kapasitas aparat. Pemberdayaan kapasitas
6. aparat tersebut, sekali lagi, tidak hanya terbatas pada aparat di pusat tetapi juga
aparat daerah. Hanya jika terdapat SDM yang memiliki integritas dan moral yang
tinggi serta kemampuan manajerial dan operasional yang tinggi baru langkahlangkah reformasi keuangan pemerintah yang telah dirumuskan dalam berbagai
paket kebijakan tersebut berhasil diimplementasikan.
Kesimpulan
Dari beberapa poin yang disampaikan di atas, dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut.
Pertama, langkah-langkah reformasi keuangan pemerintah sangat
diperlukan mengingat banyaknya persoalan yang berkembang pada sektor itu
seperti rendahnya tingkat efektivitas dan efisiensi pemanfaatan anggaran,
irasionalitas dalam pengelolaan, serta banyaknya penyimpangan atau
penyalahgunaan.
Kedua, langkah-langkah reformasi keuangan pemerintah harus dituntun oleh
dan diarahkan menuju terwujudnya nilai-nilai good governance yang dilakukan
secara serentak baik di pusat maupun daerah.
Ketiga, mengingat masalah kebendaharaan dan auditing dilihat sebagai dua
titik terlemah dalam manajemen keuangan pemerintah, maka langkah-langkah
reformasi harus diarahkan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Untuk masalah
kebendaharaan, langkah reformasi bisa dilakukan dengan menegakkan sistem check
and balance di mana ada pembagian peran yang jelas antara Departemen Keuangan
dan departemen teknis lainnya. Pembagian kerja dimaksud tetap harus diarahkan
pada perwujudan efisiensi dan efektivitas pengelolaan anggaran di samping adanya
jaminan transparansi dan akuntabilitas.
Keempat, di luar berbagai paket kebijakan yang sudah bagus, diperlukan
satu langkah lagi yang sangat menentukan yaitu peningkatan kapasitas aparat, baik
yang berhubungan langsung dengan pengelolaan anggaran maupun tidak langsung.
Kunci keberhasilan reformasi manajemen keuangan daerah tidak hanya terletak
pada kebijakan yang didesain dengan baik tetapi juga pada SDM yang akan
mengimplementasikan•