Pengertian Sejarah sebagai Peristiwa,Kisah,Ilmu,dan SeniTunjung Tamarin R
Â
Sejarah dapat diartikan sebagai sebuah peristiwa pada masa lampau yang berpengaruh terhadap banyak orang dan bersifat abadi.Namun,sejarah juga dapat diartikan sebagai kisah,ilmu,dan seni.Untuk lebih jelasnya,silahkan buka slideshow hasil kerja dari kelompok saya.
Hakekat dan Ruang Lingkup Sejarah
created by :
Anggraini Febraningrum
Dewi Setiyani Putri
Erwin Maulana Amran
Indri Setiyawati
Rizki Isnaningsih
Ini ppt pertama nih, dulu waktu smp belum pernah belajar bikin ppt :D
Sebuah buku foto yang berjudul Lensa Kampung Ondel-Ondelferrydmn1999
Â
Indonesia, negara kepulauan yang kaya akan keragaman budaya, suku, dan tradisi, memiliki Jakarta sebagai pusat kebudayaan yang dinamis dan unik. Salah satu kesenian tradisional yang ikonik dan identik dengan Jakarta adalah ondel-ondel, boneka raksasa yang biasanya tampil berpasangan, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Ondel-ondel awalnya dianggap sebagai simbol budaya sakral dan memainkan peran penting dalam ritual budaya masyarakat Betawi untuk menolak bala atau nasib buruk. Namun, seiring dengan bergulirnya waktu dan perubahan zaman, makna sakral ondel-ondel perlahan memudar dan berubah menjadi sesuatu yang kurang bernilai. Kini, ondel-ondel lebih sering digunakan sebagai hiasan atau sebagai sarana untuk mencari penghasilan. Buku foto Lensa Kampung Ondel-Ondel berfokus pada Keluarga Mulyadi, yang menghadapi tantangan untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel warisan leluhur di tengah keterbatasan ekonomi yang ada. Melalui foto cerita, foto feature dan foto jurnalistik buku ini menggambarkan usaha Keluarga Mulyadi untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel sambil menghadapi dilema dalam mempertahankan makna budaya di tengah perubahan makna dan keterbatasan ekonomi keluarganya. Buku foto ini dapat menggambarkan tentang bagaimana keluarga tersebut berjuang untuk menjaga warisan budaya mereka di tengah arus modernisasi.
2. Sejarah sebagai Ilmu
īŽ Ismaun (2002: 13) menguraikan tiga komponen pengertian atau
konsep tentang sejarah, yaitu: sejarah sebagai peristiwa,
sejarah sebagai kisah, dan sejarah sebagai seni.
īŽ Sejarah sebagai peristiwa ialah kejadian, kenyataan, aktualitas,
sejarah in concreto yang sebenarnya telah terjadi atau
berlangsung pada waktu yang lampau (sejarah serba objek).
RE GESTAE
īŽ Sejarah sebagai kisah adalah cerita berupa narasi yang disusun
dari memori, kesan, atau tafsiran manusia terhadap kejadian
atau peristiwa yang terjadi atau berlangsung pada waktu yang
lampau (sejarah serba subjek). HISTORIA RERUM
GESTARUM
3. Sejarah sebagai Ilmu
īŽ Sejarah sebagai ilmu atau susunan
pengetahuan tentang peristiwa dan
ceritera yang terjadi dalam masyarakat
manusia pada masa lampau yang
disusun secara sistematis dan
metodologis berdasarkan asas-asas,
prosedur, dan metode serta teknik
ilmiah yang diakui oleh para pakar
sejarah.
4. Sejarah sebagai Ilmu
īŽ Metodologi penelitian ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan
īŽ Bury (Teggart, 1960: 56) secara tegas menyatakan âHistory is
science; no less, and no moreâ.
īŽ Carr (1982: 30). yang menyatakan, bahwa âhistory is a
continous process of interaction between the historian and his
facts, and unending dialogue between the present and the pastâ
īŽ Colingwood (1973: 9) yang menegaskan bahwa: âEvery
historian would agree, I think that history is a kind of research or
inquiryâ.
īŽ menurut Carr (Dalam Sjamsuddin, 2007: 23), sejrawan
memperoleh fakta-fakta sejarah (historical fact) dari dokumenh,
inskripsi, dan dari ilmu-ilmu Bantu sejarah lainnya seperti
arkeologi, sepgarfi, numismatic, dan kronologi.
5. Pengaruh Positivisme dalam
Sejarah
īŽ Menurut Kuntowijoyo (2000), setidaknya ada tiga pengandaian
dalam ilmu-ilmu sosial positivis.
īŽ Pertama, prosedur-prosedur metodologis dari ilmu-ilmu alam
dapat langsung diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial.
īŽ Kedua, hasil-hasil penelitian dapat dirumuskan dalam bentuk
hukum-hukum seperti dalam ilmu-ilmu alam.
īŽ Ketiga, ilmu-ilmu sosial itu harus bersifat teknis, yaitu
menyediakan pengetahuan yang bersifat instrumental murni,
netral dan bebas nilai.
īŽ Dalam pengaruh filsafat positivisme abad 19, sejarah objektif
dapat direkonstruksi melalui pengamatan empiris, pengukuran,
dan deskripsi.
6. Pengaruh Positivisme dalam
Sejarah
īŽ Pengaruh kuat aliran postivis ini merasuk pada
pikiran Hempel.
īŽ Ia dalam teorinya yang dikenal dengan covering law
model (CLM), mengklaim, bahwa dalam
mengeksplanasi suatu peristiwa berarti menunjukan
suatu pernyataan yang dapat dideduksikan dari
(1) pernyataan-pernyataan tertentu tentang kondisi
yang mendahuluinya atau yang terjadi secara
bersamaan, dan
(2) hukum-hukum atau teori-teori universal tertentu
dapat diuji secara emperik. Â
7. Pengaruh Positivisme dalam
Sejarah
īŽ Salah satu tokoh pencentus aliran modern
dalam sejarah adalah Leopold von Ranke.
Ranke (1795-1886) menulis A Critique of
Modern Historical Writers.
īŽ Ranke dianggap sebagai penumbuh
historiografi modern yang menganjurkan
sejarawan menulis apa yang sebenarnya
terjadi atau wie es eigentlich gewesen ist
(Supardan, 2008), yang dikenal dengan
sejarah kritis.
8. Sejarah sebagai Humaniora
īŽ Keunikan manusia dan alam (menyadari
unsur individualitas dan pentingnya dia dalam
kehidupan)
īŽ Pencarian manusia akan nilai-nilai
īŽ Kesadaran sebagai masyaralat dalam sebuah
sistem
īŽ Mengisi kebutuhan tradisional dan
mengingatkan kepada siswa bahwa dalam
zaman mesinpun kita tetap MANUSIA
īŽ kreatifitas
9. Historia magistra Vitae
īŽ Mengajarkan kemajuan unat manusia
īŽ Semangat luhur dari jejak-jejak luhur
mas lalu
īŽ Jalinan dan hubungan antara bangsa
īŽ Ide-ide besar yang memancarkan
kemanusian
īŽ Gudang pengalaman
īŽ Identitas sosial
10. Sejarah sebagai Humaniora
īŽ Retorika mendekatkan Sejarah dengan
sastra
īŽ Sejarawan menggunakan imajinasi
bukan fantasi dalam merekonstruksi
masa lalu
11. Sejarah dan Postmodern
īŽ Hayden White dan Munslow (Sjamsuddin,
2007)
īŽ sejarah adalah sebuah narasi yang dikuasai oleh
konvensi-konvensi estetika sastra daripada ke bidang
pengetahuan
īŽ menyangkal bahwa suatu makna "lebih baik" atau â"lebih
benar" daripada makna lain.
īŽ Naratif-naratif sejarah adalah fiksi-fiksi verbal yang isinya
diciptakan atau diimajinasikan sebanyak ditemukan
sehingga dekat sastra ketimbang sains.
īŽ Konteks adalah keseluruhan, totalitas, atau latar
belakang, atau masa lalu itu sendiri.
īŽ Konteks berfungsi membuat masa lalu masuk akal, berari,
signifikan, dan berarti.
12. Sejarah dan Postmodern
īŽ Sejarawan kesulitan menemukan konteks guna
mendapatkan fakta2 sejarah yang signifikan dan bermakna
dan konteks tidak pernah secara pasti ditemukan
īŽ Konteks dikonstruksi untuk mengkontekstualkan fakta-fakta
pada akhirnya harus diimajinasikan dan diciptakan
īŽ Semua interpretasi dari masa lalu benar-benar diciptakan
(konteks) sebanyak yang ditemukan (fakta0
īŽ Karena ada unsur imajinasi dalam sejarah, maka tidak ada
sejarah yang secra harfiah faktual (seluruhnya ditemukan)
atau benar.
īŽ Karena tidak bisa menghindari kiasan, Kisah sejarah
merupakan metafora dan metahistory, puisi sejarah
13. Hayden White
īŽ Menurut White (Shuterland: 2008, 48) mengatakan bahwa
sejarah adalah sebuah narasi yang dikuasai oleh konvensi-
konvensi estetika dan lebih dekat kepada sastra daripada ke
ilmu pegetahuan.
īŽ White (Sjamsuddin, 2007), menjelaskan bahwa sejarah disebut
metahistory karena sejarah tidak bisa menolak masuknya
kiasan-kiasan dalam penulisan sejarah.
īŽ metahistory adalah karya-karya sejarah yang tujuannya bukan
untuk membuat informasi baru tentang suatu objek tertentu
tetapi menimbang informasi yang ada, mendiskusikan
interpretasi-interpretasi yang sudah ada, dan kemungkinan
mengomentari asumsi-asumsi yang telah membuat mungkin
interpretasi-interpretasi itu.
14. Hayden White
īŽ Oleh karena adanya kiasan-kiasan yang
merupakan unsur dari puisi maka sejarah
juga disebut puisi sejarah.
īŽ Puisi sejarah menurut Carrad (Sjamsudiin,
2007: 347) adalah kajian tentang aturan-
aturan, kode, prosedur yang beroperasi
disarangkaian teks tertentu.
īŽ White menolak gagasan bahwa sejarawan
atau wartawan dapat menulis tentang masa
lalu atau masa kini seperti itu benar-benar
terjadi.
15. Linguistic turn
īŽ Linguistic turn menyatakan bahwa bahasa dalam
bentuk budaya dan intelektual merupakan media
pertukaran bagi hubungan antar kekuatan dan
konstitutor terakhir dari kebenaran dalam penulisan
dan pemahaman masa lalu (Purwanto, 2006: 3).
īŽ Purwanto (2006:3-4) menjelaskan bahwa sejarah
sebagai sebuah pengetahuan sangat tergantung
pada wacana dan bentuk representasi antar teks
pada konteks sosial dan institusional yang lebih luas
di dalam atau melalui bahasa, karena realitas objek
masa lalu telah berjarak dengan sejarah sebagai
ilmu.
16. Linguistic turn
īŽ Rekonstruksi sejarah adalah produk subjektif dari
sebuah proses pemahaman intelektual yang
dilambangkan dalam simbol-simbol kebahasaan atau
naratif dan dapat berubah dari waktu-ke waktu, dari
satu tempat ketempat lain, atau dari satu orang ke
orang lain.
īŽ Sementara itu pada waktu yang sama, sastra
berhasil menampilkan citra dirinya sejajar dengan
sejarah karena mampu menghadirkan situasi faktual
dari masa lalu sebagai sebuah naratif melalui
imajinatif kebahasaan (Purwanto, 2006:3-4).
17. Sastra dalam Sejarah,
scientific?
īŽ Sastra telah membuktikan dirinya sebagai
ilmu yang bukan hanya bicara persoalan
kreativitas dan rentetan imajinasi, tetapi dapat
pula berfungsi sebagai dokumen sejarah
(Surur, 2008).
īŽ Zainuddin Fananie berpendapat, dengan
keluarnya sastra dari kreativitas imajiner ke
wilayah sejarah, maka sastra secara tidak
langsung bisa diletakkan sebagai dokumen
sejarah atau dokumen sosial yang kaya
dengan visi dan tata nilai suatu masyarakat.
18. Pendapat Bambang Purwanto
īŽ Purwanto mengungkapkan bahwa secara
umum sastra selalu dikaitkan dengan fiksi
yang imaginatif,
īŽ sedangkan sejarah tidak dapat dipisahkan
dari fakta untuk menemukan kebenaran masa
lalu
īŽ sebagai sebuah realitas yang dibayangkan,
sejarah dan sastra sering dianggap berada
dalam tataran yang sama (Purwanto, 2006:2).
19. Kuntowijoyo (1995),
īŽ sejarah itu berbeda dengan sastra dalam hal:
cara kerja, kebenaran, hasil keseluruhan, dan
kesimpulan.
īŽ Sastra adalah pekerjaan imajinasi, kebenaran
di tangan pengarang, dengan perkataan lain
bersifat subjektif.
īŽ Sastra bisa berakhir dengan pertanyaan,
sedang sejarah harus memberikan informasi
selengkap-lengkapnya.
20. Kuntowijoyo (1995),
īŽ bahasa sejarah adalah bahasa yang sederhana dan
langsung, persis seperti dalam bahasa sastra
modern.
īŽ Tidak ada bahasa yang berbunga-bunga. Tidak ada
"rambutnya bak mayang mengurai", juga tidak "hutan
itu selebat jenggot orang Arab" dan seterusnya.
īŽ Dalam sastra, teks dan maknanya menjadi otoritas
pengarang sepenuhnya.
īŽ Berbeda dengan sejarah, data-data yang ditampilkan
tidak dalam wilayah otoritas pengarang. Data-data
sejarah bermula dari pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan sejarawan.
21. Hobsbawm
īŽ terdapat perbedaan mendasar antara fakta dan fiksi
serta antara pernyataan sejarah yang didasarkan
bukti dan pernyataan literer yang tidak didasarkan
pada bukti.
īŽ Untuk menjembatani persoalan fakta dan fiksi dalam
merekonstruksi masa lalu, Hobsbawn merasa perlu
untuk membedakan apa yang ada dengan apa yang
tidak ada untuk menentukan ada tidaknya sejarah.
īŽ Representasi kenyataan masa lalu tidak hanya
ditentukan oleh bahasa karena naratif yang
merupakan produk dari bahasa hanya akan ada jika
terdapat realitas dimasa lalu.
22. Iggers
īŽ pendekatan linguistik pada pemahaman post-struktural lebih
cocok pada bagi kritik sastra daripada penulisan sejarah
meskipun faktor kultural tetap penting digunakan dalam
merekonstruksi masa lalu.
īŽ para sejarawan akan lebih setuju terhadap pendapat yang
menyatakan bahwa linguistik membedakan struktur masyarakat
dan perbedaan sosial menstrukturkan bahasa sebagai salah
satu fakta dalam sejarah umat manusia daripada pendapat
yang menyatakan bahwa realitas sejarah tidak pernah ada, dan
yang ada hanya bahasa yang berbentuk naratif sebagai
representasi masa lalu.
īŽ Sementara bagi Stone (Purwanto, 2006: 7), historisme baru
merupakan ancaman bagi tradisi pengkajian sejarah yang
konvensional karena mengesampingkan actual historical past
dalam penulisan sejarah.
23. Sastra dalam positivisme
īŽ Ilmu sejarah menurut historical establishment
saat ini adalah penulisan tentang masa lalu
yang objektif, bersih dari kepentingan politik
dan ditulis dengan kaidah ilmiah
īŽ berbeda dengan sastra yang menulis sejarah
dengan penuh gairah dan emosi, sangat
subjektif, bermuatan politik dan tidak terlalu
peduli pada kaidah ilmiah (Farid, 2008: 81).
24. Imajinasi dalam Sejarah
īŽ sejarah juga memerlukan imajinasi. Sejarawan yang meneliti
sejarah harus dapat membayangkan apa sebenarnya, apa yang
sedang terjadi, dan apa yang terjadi setelah itu
īŽ Ketika sejarawan ingin mempelajari sebuah perlawanan gerilya
di hutan, misalnya, ia harus mampu mengimajinasikan tentang
hutan, sungai, malam hari, dan seterusnya.
īŽ Dalam sejarah, tugas utama sejarawan bukanlah menghafal
fakta-fakta di luar kepala saja, akan tetapi yang lebih utama
adalah merekonstruksi fakta-fakta sejarah.
īŽ Untuk itulah akurasi (ketepatan) dan objektivitas adalah dua hal
yang harus dipenuhi dalam penulisan sejarah.
25. Pendapat Kompromi
īŽ Cara pengungkapan sejarah yang terbilang apresiatif melalui
data-data empiris dan tulisan (narasi) tidak berbeda jauh dari
pengungkapan karya sastra. Cuma yang dikhawatirkan jika
sejarah terlalu dekat dengan seni maka sejarah akan
kehilangan keakuratan dan keobjektivitasannya (Surur, 2008).
īŽ novel dijadikan sebagai sumber sejarah dalam sebuah karya
historiografi, data yang digunakan pun biasanya tidak
menyangkut soal detail mengenai keterangan tempat, waktu,
atau kronologi peristiwa (5W+1H) melainkan digunakan untuk
mendapatkan gambaran mengenai kesadaran zaman atau
semangat zaman yang sedang tumbuh pada masa itu.
26. Pendapat Kompromi
īŽ Sugito (2008) penting, bukan untuk
meneguhkan supremasi ilmu sejarah
sebagai sumber paling otoritatif mengenai
masa silam, tetapi justru untuk
(1) tidak sembrono memukul rata semua novel
sejarah bisa dijadikan sebagai sumber
sejarah atau dokumen sejarah;
(2) menempatkan novel sejarah pada
proporsinya; dan(3) tidak memberi beban
yang tidak semestinya pada novel sejarah.
27. Pendapat Kompromi
īŽ Persinggungan antara sastra dan sejarah
memang tidak bisa dielak, karena memiliki
medan yang sama,
īŽ Dalam kenyataannya sejarawan dan novelis
berbeda dalam hal cara pandang tentang
novel sejarah dan tujuannya, akan tetapi
keduanya setuju bahwa dalam menulis novel
sejarah tidak boleh mengaburkan dan
memanipulasi fakta sejarah untuk membuat
novelnya lebih menyenangkan dan laku
terjual.
28. Pendapat Kompromi
īŽ Menurut Kantor (dalam Hertz: 2008: 2),
novel sejarah itu dirasa sangat penting
karena kesadaran tentang masa lalu dapat
membantu pembaca umum untuk
1. menghadapi kebingungan dan ketakutan
akan masa sekarang dan masa yang akan
datang serta
2. pembaca akan mendapatkan pelajaran dari
masa lalu mengenai rasa sedih, sakit,
kekecewaan, kemenangan, dan mimpi.
29. Konsep Carr tentang Sastra
dalam Sejarah
īŽ fiction dan falsehood
īŽ knowledge dan imagination
īŽ Carr (1996: 75) mengungkapkan bahwa
menyamakan konsep fiction dan
falsehood adalah keliru.
īŽ Falsehood berarti tidak benar, bohong
atau secara secerhana berarti salah.
30. Konsep Carr tentang Sastra
dalam Sejarah
īŽ Sementara fiksi menurut Carr âcan be more
or less true-to-life, life-like or plausibleâ yang
berarti jika fiksi ini benar, hal tersebut berarti
fiksi mampu melukiskan realitas yang
âmungkin saja terjadiâ, walaupun kita berpikir
dan tahu bahwa mereka tidak demikian juga.
īŽ Fiksi bisa memberikan kebenaran dan secara
tidak langsung menyampaikan kondisi
manusia secara general dan melukiskan
realitas manusia dan peristiwa (Carr, 1996:
75).
31. Konsep Carr tentang Sastra
dalam Sejarah
īŽ kriteria yang membedakan antara fiksi
dengan bukan fiksi bukan karena yang fiksi
berisi sebagian besar pernyataan yang tidak
benar.
īŽ Pernyataan yang dikemukakan pengarang
fiksi bukan dimaksudkan untuk menjadi
kebenaran, dan bukan untuk untuk diambil
sebagai kebenaran, dan kenyataannya para
pembaca tidak mengganggapnya juga
sebagai sebuah kebenaran.
32. Konsep Carr tentang Sastra
dalam Sejarah
īŽ Jika karakter di dalam suatu roman menyerupai tokoh yang
nyata, dan bahkan dilukiskan orang tersebut melakukan
berbagai hal seperti tokoh nyata lakukan, kita mungkin hanya
mengatakan bahwa roman itu âberdasarkan pada kisah nyataâ
atau bahkan sesuatu cerita yang mengagumkan jika muncul
banyak kemiripan dan persamaan waktu.
īŽ Mengenai hubungan sejarah dengan fiksi sejarah, Carr
(1976:77) mengungkapkan bahwa disadari ataupun tidak
disadari, sejarawan melakukan hal yang sama dengan novelis
yaitu âimagining things as they might have beenâ dan berharap
mampu merepresentasikan seperti sebenarnya keadaan
dahulu.
33. Membedakan antara imajinasi
dan pengetahuan?
īŽ Carr (1976:77) menjelaskan bahwa kapasitas
imajinasi itu tergantung pada pengetahuan melalui
hubungan yang otomatis. Menurutnya, pengetahuan
adalah ârepresentasiâ dari pikiran yang merupakan
refleksi yang pasif terhadap kenyataan yang secara
sederhana registering and reporting what is there.
īŽ imajinasi diuraikan sebagai kapasitas untuk
memimpikan atau mengkhayalkan melalui pikiran
sehat, sesuatu yang tidak langsung hadir yang
dengannya kita bisa membayangkan sesuatu
dimana, mau jadi apa, atau hadir di suatu tempat
sebagaimana sesuatu itu benar-benar nyata (Carr,
1976: 77).
34. Imajinasi dan Sejarah
īŽ Fiksi adalah produk dari imajinasi dan
sejarahpun adalah produk dari imajinasi pula
(Carr, 1976: 77).
īŽ Sejarawan menggunakan imajinasinya tentu
saja dengan penilaian dan alasan bukan
untuk menghasilkan fiksi tetapi mencoba
menjelaskan realitas dan menghasilkan
narasi tentang sesuatu yang benar-benar
terjadi.
35. Imajinasi dan Sejarah
īŽ imajinasi.digunakan juga dalam cerita
tentang karakter, peristiwa, aksi dan
bahkan untuk melukiskan dunia yang
tidak pernah ada sekalipun (Carr, 1976:
77).
īŽ Dengan demikian, baik itu pengetahuan
maupun fiksi sama-sama memerlukan
imajinasi.
36. Imajinasi dan Sejarah
īŽ Nugiyantoro (Kalsum, 2000) mengungkapkan bahwa
fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan
manusia dalam interaksinya dengan lingkungan,
dengan sesama, dengan dirinya sendiri, serta
dengan Tuhan.
īŽ Fiksi merupakan hasil dialog, kontemplasi, dan reaksi
pengarang terhadap lingkungan dan kehidupan.
Dengan demikian, walau berupa khayalan, tidak
benar jika fiksi dianggap sebagai hasil kerja lamunan
belaka.
īŽ Sastra adalah institusi sosial yang memakai medium
bahasa untuk âmenyajikan kehidupanâ yang sebagian
besar merupakan kenyataan sosial.