6. Ada tiga macam otopsi;
1) otopsi anatomis, yaitu otopsi yang dilakukan
mahasiswa kedokteran untuk mempelajari ilmu
anatomi.
2) otopsi klinis, yaitu otopsi untuk mengetahui
berbagai hal yang terkait dengan penyakit (misal
jenis penyakit) sebelum mayat meninggal.
3) otopsi forensik, yaitu otopsi yang dilakukan oleh
penegak hukum terhadap korban pembunuhan
atau kematian yang mencurigakan, untuk
mengetahui sebab kematian, menentukan
identitasnya, dan sebagainya.
Pokok
Bahasan #2
MACAM-
MACAM
OTOPSI
8. Para ulama kontemporer berbeda pendapat
mengenai hukum otopsi di atas dalam dua pendapat.
Pertama, membolehkan ketiga otopsi di atasan.
Aasannya, otopsi dapat mewujudkan
kemaslahatan di bidang keamanan, keadilan, dan
kesehatan.
Ini adalah pendapat sebagian ulama, seperti Syeikh
Hasanain Makhluf (ulama Mesir), Syeikh Sa’id
Ramadhan Al-Buthi (ulama Suriah), dan beberapa
lembaga fatwa seperti Majma’ Fiqih Islami OKI, Hai`ah
Kibar Ulama (Arab Saudi), dan Fatwa Lajnah Da`imah
(Arab Saudi).
Pokok
Bahasan #3
HUKUM
OTOPSI
9. (Lihat :
As-Sa’idani, Al-Ifadah Al-Syar’iyah fi Ba’dh Al-
Masa`il Al-Thibiyah, hlm. 172;
M. Ali As-Salus, Mausu`ah Al-Qadhaya Al-Fiqhiyah
Al-Mu’ashirah, hlm. 587;
Al-Syinqithi, Ahkam Al-Jirahah Al-Thibiyah, hlm.
170;
Al-Hazmi, Taqrib Fiqh Al-Thabib, hlm. 90).).
Pokok
Bahasan #3
HUKUM
OTOPSI
10. Kedua, mengharamkan ketiga otopsi tersebut.
Alasannya, otopsi telah melanggar kehormatan
mayat.
Padahal Islam melarang melanggar kehormatan mayat
yang sepatutnya dijaga, berdasarkan sabda Nabi SAW :
كسر
عظم
الميت
ككسره
ً
حيا
“Memecahkan tulang mayat sama dengan
memecahkan tulangnya saat dia hidup.” (kasru ‘azhmi
al-mayyit ka-kasrihi hayyan). (HR Abu Dawud, no 3207,
hadits shahih; HR Ahmad, Al Musnad, no 24.783).
Pokok
Bahasan #3
HUKUM
OTOPSI
11. Ini adalah pendapat sebagian ulama lainnya,
seperti Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani (ulama
Palestina), Syeikh Bukhait Al-Muthi’i, dan Hasan
As-Saqaf.
(Al-Syinqithi, Ahkam Al-Jirahah Al-Thibiyah, hlm.
170; Nasyrah Soal Jawab, 2/6/1970).
Pokok
Bahasan #3
HUKUM
OTOPSI
12. Tarjih (Memilih Pendapat Terkuat)
Menurut kami, pendapat yang terkuat (rajih) adalah
pendapat kedua, yang mengharamkan ketiga jenis
otopsi, berdasarkan dua dalil sebagai berikut :
Pertama, pendapat yang membolehkan dalilnya
adalah kemaslahatan, atau (Mashalih Mursalah).
Padahal Mashalah Mursalah dalam ilmu ushul
fiqih bukanlah dalil syar’i (sumber hukum) yang
kuat, atau disebut dalil syar’i yang mukhtalaf fiihi
(keabsahannya sebagai sumber hukum
diperselisihkan oleh para ulama).
Pokok
Bahasan #3
HUKUM
OTOPSI
13. Sumber hukum yang kuat menurut jumhur (mayoritas)
ulama, adalah yang tak diperselisihkan oleh para ulama
(muttafaq ‘alaihi), yaitu Al-Quran, As-Sunnah, Al-Ijma’,
dan Al-Qiyas.
Menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani, Mashalih
Mursalah tidak layak menjadi dalil syar’i. (Taqiyuddin
An-Nabhani, Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, 3/444);
Kedua, terdapat hadits-hadits shahih yang melarang
melanggar kehormatan mayat, seperti mencincang,
menyayat, atau memecahkan tulangnya
sebagaimana di atas.
Pokok
Bahasan #3
HUKUM
OTOPSI
14. Namun, keharaman otopsi ini hanya untuk mayat
muslim. Sedang jika mayatnya non muslim, hukumnya
boleh.
(Al-Syinqithi, Ahkam Al-Jirahah Al-Thibiyah, hlm. 179;
Nashiruddin Al-Albani, Ahkam Al-Jana`iz, hlm. 299).
Sebab di samping hadits dengan lafal mutlaq (tak
disebut sifatnya, yaitu semua mayat) seperti dalam
riwayat Abu Dawud di atas, ternyata ada hadits shahih
dengan lafal muqayyad (disebut sifatnya, yaitu mayat
mu`min/muslim), yakni sabda Nabi SAW :
ان
كسر
عظم
المؤمن
ميتا
مثل
كسره
حيا
Pokok
Bahasan #3
HUKUM
OTOPSI
15. “Sesungguhnya memecahkan tulang mu`min yang
sudah mati, sama dengan memecahkannya saat dia
hidup.” (inna kasra ‘azhmi al-mu`min maytan mitslu
kasrihi hayyan.)
(HR Ahmad, no 24.353 & 24.730; Imam Malik, Al-
Muwathha`, 2/227, no 253; Imam Ad-Daruquthni,
Sunan Ad-Daruquthni, 8/208, no 3459; Ibnu Hajar Al-
Asqalani, Fathul Bari, 14/297; Al-Thahawi, Musykil Al-
Atsar, 3/281; Al-Albani, Shahih wa Dhaif Al-Jami’ Ash-
Shaghir, 9/353).
Pokok
Bahasan #3
HUKUM
OTOPSI
16. Penyimpulan hukum bahwa otopsi hanya haram untuk
mayat muslim dan boleh untuk mayat non-musim,
sejalan dengan sebuah kaidah ushuliyah (kaidah untuk
menyimpulkan hukum Islam) yang menyebutkan :
المطلق
يجري
على
إطالقه
ما
لم
يرد
دليل
يدل
على
التق
ييد
Al muthlaqu yajriy ‘alaa ithlaaqihi maa lam yarid
daliilun yadullu ‘ala at taqyiid.
(dalil yang mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama
tidak terdapat dalil yang menunjukkan adanya
batasan/muqayyad). (Wahbah Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al
Islami, Juz 1 hlm. 208)
Pokok
Bahasan #3
HUKUM
OTOPSI
19. Mengkritisi Fatwa MUI Tentang Otopsi
Fatwa MUI no 6 Tahun 2009 tentang Otopsi Jenazah,
pada dasarnya mengharamkan otopsi (otopsi forensik
dan otopsi klinis), tapi kemudian membolehkan
asalkan ada kebutuhan pihak berwenang dengan
syarat-syarat tertentu.
Dalam fatwa MUI tersebut pada “Ketentuan Hukum”
nomor 1 disebutkan, ”Pada dasarnya setiap jenazah
harus dipenuhi hak-haknya, dihormati, keberadaannya
dan tidak boleh dirusak.” Ini artinya, menurut MUI
hukum asal otopsi adalah haram.
Pokok
Bahasan #4
MENGKRITISI
FATWA MUI
20. Kemudian pada “Ketentuan Hukum” nomor 2 pada
Fatwa MUI tersebut disebutkan, “Otopsi jenazah
dibolehkan jika ada kebutuhan yang ditetapkan oleh
pihak yang punya kewenangan untuk itu.” Ini berarti
hukum asal otopsi tersebut dikecualikan, yaitu otopsi
yang asalnya haram kemudian dibolehkan asalkan ada
kebutuhan dari pihak berwenang.
Kebolehan otopsi tersebut menurut MUI harus
memenuhi 4 (empat) syarat.
Pokok
Bahasan #4
MENGKRITISI
FATWA MUI
21. Dalam “Ketentuan Hukum” nomor 3 pada Fatwa MUI
tersebut, disebutkan 4 syarat tersebut, yaitu ;”
(1) otopsi jenazah didasarkan kepada kebutuhan yang
dibenarkan secara syar’i (seperti mengetahui
penyebab kematian untuk penyelidikan hukum,
penelitian kedokteran, atau pendidikan
kedokteran), ditetapkan oleh orang atau lembaga
yang berwenang dan dilakukan oleh ahlinya,
(2) otopsi merupakan jalan keluar satu-satunya dalam
memenuhi tujuan sebagaimana dimaksud pada
point,
Pokok
Bahasan #4
MENGKRITISI
FATWA MUI
22. (3) jenazah yang diotopsi harus segera dipenuhi hak-
haknya, seperti dimandikan, dikafani, dishalatkan,
dan dikuburkan, dan
(4) jenazah yang akan dijadikan obyek otopsi harus
memperoleh izin dari dirinya sewaktu hidup
melalui wasiat, izin dari ahli waris, dan/atau izin
dari Pemerintah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang undangan.”
(Lihat Fatwa MUI no 6 Tahun 2009 tentang Otopsi
Jenazah).
Pokok
Bahasan #4
MENGKRITISI
FATWA MUI
23. Fatwa MUI tentang otopsi jenazah tersebut di atas
menurut kami tidak sah dan tidak dapat diterima,
dengan 5 (lima) alasan sebagai berikut;
Pertama, dalil syar’i yang mengecualikan haramnya
otopsi sebenarnya tidak ada. Karena tidak ada dalil
syar’i yang sah dari Al-Quran, As-Sunnah, Al-Ijma’,
dan Al-Qiyas yang mengecualikan keharaman otopsi
(yang membolehkan otopsi).
Dalam kaidah ushul fiqih (qaidah ushuliyah) ditetapkan
bahwa :
العام
يبقى
على
عمومه
ما
لم
يرد
دليل
التخصيص
Pokok
Bahasan #4
MENGKRITISI
FATWA MUI
24. Al-‘aam yabqaa ‘alaa ‘umummumihi maa lam yarid
dalil at-takhshiish.
Hukum yang berlaku umum tetap dalam
keumumannya, kecuali ada dalil yang mengecualikan
(mengkhususkan).”
Kedua, dalil takshis (yang mengecualikan) haramnya
otopsi yang disebut MUI, yaitu adanya kebutuhan
(al haajat) untuk melakukan otopsi, juga tidak sah.
Karena kata “kebutuhan” dalam fatwa MUI, yang
menurut kami dapat ditafsirkan sebagai
“kemaslahatan” (al mashlahah) atau kepentingan,
adalah argumentasi (dalil) yang lemah.
Pokok
Bahasan #4
MENGKRITISI
FATWA MUI
25. Dalil mashlahat ini ujung-ujungnya akan kembali
kepada sumber hukum yang disebut Mashalih
Mursalah, yang kelemahannya sudah kami singgung di
atas. Karena dalil Mashalih Mursalah itu tidak
termasuk dalam dalil yang disepakati jumhur ulama,
yaitu Al-Quran, As-Sunnah, Al-Ijma’, dan Al-Qiyas.
Kalaupun menggunakan dalil Mashalih Mursalah, maka
pendapat MUI tersebut justru tidak memenuhi kriteria
maslahat dalam Mashalih Mursalah, yaitu
kemaslahatan yang kosong dari dalil, yakni
kemaslahatan yang tak ada dalil yang membatalkanya
dan tidak ada pula dalil yang mengabsahkannya.
Pokok
Bahasan #4
MENGKRITISI
FATWA MUI
26. Dalam ilmu ushul fiqih, kemaslahatan yang dibatalkan
dalil disebut al maslahah al mulghah. Sedang
kemaslahatan yang diabsahkan dalil disebut al
maslahah al mu’tabarah. (Lihat Muhammad Husain
Abdullah, Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqih, hlm. 150-151).
Padahal, kemaslahatan otopsi itu jelas termasuk
kemaslahatan yang dibatalkan dalil, karena sudah ada
dalil syar’i yang jelas-jelas membatalkan kemaslahatan
otopsi, yaitu hadits shahih yang melarang merusak
mayat, sesuai sabda Nabi SAW :
كسر
عظم
الميت
ككسره
ً
حيا
Pokok
Bahasan #4
MENGKRITISI
FATWA MUI
27. “Memecahkan tulang mayat sama dengan
memecahkan tulangnya saat dia hidup.” (HR Abu
Dawud, no 3207, hadits shahih; HR Ahmad, Al Musnad,
no 24.783).
Jika kata “kebutuhan” dalam fatwa MUI tersebut
ditafsirkan sebagai “al haajat” dalam terminologi ushul
fiqih, juga tidak sah.
Memang dalam ushul fiqih istilah “al haajat” dapat
berkedudukan sama dengan “al dhahuurat” (kondisi
darurat), seperti disebut dalam sebuah kaidah fiqih : al
haajat tanzilu manzilah al dharuurah (kebutuhan dapat
berkedudukan sebagai kondisi darurat).
Pokok
Bahasan #4
MENGKRITISI
FATWA MUI
28. Namun kondisi darurat ini tidak terwujud dalam kasus
otopsi. Karena pengertian darurat menurut Imam
Suyuthi dalam Al Asybah wa An Nazha`ir adalah
“sampainya seseorang pada suatu batas/kondisi yang
jika dia tidak melakukan yang dilarang, maka dia akan
mati atau mendekati mati.”
>> Arabic : wushuuluhu haddan in lam yataanawal
mamnuu’ halaka aw qaaraba.
Pokok
Bahasan #4
MENGKRITISI
FATWA MUI
29. Ketiga, syarat untuk membolehkan otopsi (wasiat
saat hidup atau izin ahli waris) dalam fatwa MUI
tersebut tidak sah.
Karena wasiat saat hidup dari seseorang, hanya sah
untuk barang-barang yang dimiliki oleh yang
bersangkutan, seperti tanah, atau rumah yang menjadi
hak milik yang bersangkutan.
Adapun wasiat untuk mengotopsi tubuhnya setelah dia
mati, tidak sah. Karena setelah mati, tidak ada lagi
hubungan hukum (seperti kepemilikan) antara
seseorang dengan sesuatu yang dimilikinya pada saat
dia hidup.
Pokok
Bahasan #4
MENGKRITISI
FATWA MUI
30. Buktinya hartanya wajib diwaris, istrinya wajib
diceraikan, dan tubuhnya wajib dikuburkan. (Abdul
Qadim Zallum, Hukmu As Syar’i fi Al Istinsakh).
Demikian pula izin ahli waris untuk mengotopsi
jenazah, juga tidak sah. Karena ahli waris tidak punya
hak untuk mengizinkan. Sebab hak ahli waris hanya
terbatas pada benda waris (tanah, rumah, uang dll)
bukan pada jenazah pihak yang mewariskan benda
waris (al muwarrits).
Tidak sahnya wasiat untuk diotopsi, baik dari orang
yang bersangkutan atau dari ahli warisnya, diperkuat
dengan kaidah fiqih yang menyatakan :
Pokok
Bahasan #4
MENGKRITISI
FATWA MUI
31. من
ال
يملك
التصرف
ال
يملك
اإلذن
فيه
Man laa yamliku at-tasharrufa laa yamliku al-idzin
fiihi.
Barangsiapa tidak berhak melakukan tasharruf
[perbuatan hukum], tidak berhak pula memberikan izin
[kepada orang lain] untuk melakukan perbuatan
hukum/tasharruf tersebut.
- Az-Zarkasyi, al-Mantsur fi al-Qawa’id, 3/211;
- M. Shidqi al-Burnu, Mausu’ah al-Qawa’id al-
Fiqhiyah, 11/1081;
- Hasan Ali al-Syadzili, Hukm Naql A’dha` Al-Insan fi
Al-Fiqh al-Islami, 109).
Pokok
Bahasan #4
MENGKRITISI
FATWA MUI
32. Keempat, otopsi dalam sistem pidana Islam (nizham
‘uqubat fil Islam) sebenarnya tidak dapat menjadi
bukti pembunuhan (bayyinah al qatl).
Karena pembuktian terjadinya pembunuhan dalam
sistem pidana Islam hanya sah dengan salah satu dari
dua jalan pembuktian, yaitu :
1. pengakuan (iqraar) dari pihak pembunuh.
2. kesaksian (syahaadah).
(Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 54-
55).
Pokok
Bahasan #4
MENGKRITISI
FATWA MUI
33. Untuk kesaksian, jumlah saksinya adalah dua saksi laki-
laki, atau jika saksinya perempuan, maka satu saksi
laki-laki setara dengan dua saksi perempuan.
Jadi saksi dalam kasus pembunuhan adalah : dua saksi
laki-laki, atau satu saksi laki-laki dan dua saksi
perempuan, atau empat saksi perempuan.
(Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 54-
55).
Pokok
Bahasan #4
MENGKRITISI
FATWA MUI
34. Kelima, syarat yang disebut fatwa MUI tersebut,
yaitu otopsi merupakan satu-satunya jalan, sudah
gugur.
Karena beberapa tahun belakangan ini dalam dunia
kedokteran sudah ada PMCT (Post Mortem CT Scan),
yaitu penggunaan mesin pencitraan (CT Scan) yang
dapat digunakan mengungkap rahasia medis orang
mati.
PMCT ini dapat menggantikan tindakan pembedahan
dalam proses otopsi. Keuntungan PMCT (Post Mortem
CT Scan) di antaranya adalah diagnosisnya tidak invasif
dan dianggap tidak merusak mayat.
Pokok
Bahasan #4
MENGKRITISI
FATWA MUI