SlideShare a Scribd company logo
1 of 36
KH. M. SHIDDIQ AL JAWI, S.Si, MSI
Islamic Business Online School
HUKUM OTOPSI DALAM
PANDANGAN SYARIAH ISLAM
1. Definisi Otopsi
2. Macam-macam Otopsi
3. Hukum Otopsi
4. Mengkritisi Fatwa MUI
POKOK
BAHASAN
DEFINISI OTOPSI
POKOK BAHASAN #1
Otopsi (bedah mayat)
adalah pemeriksaan mayat dengan
jalan pembedahan (surgery, at
tasyriih).
Pokok
Bahasan #1
DEFINISI
OTOPSI
MACAM-MACAM OTOPSI
POKOK BAHASAN #2
Ada tiga macam otopsi;
1) otopsi anatomis, yaitu otopsi yang dilakukan
mahasiswa kedokteran untuk mempelajari ilmu
anatomi.
2) otopsi klinis, yaitu otopsi untuk mengetahui
berbagai hal yang terkait dengan penyakit (misal
jenis penyakit) sebelum mayat meninggal.
3) otopsi forensik, yaitu otopsi yang dilakukan oleh
penegak hukum terhadap korban pembunuhan
atau kematian yang mencurigakan, untuk
mengetahui sebab kematian, menentukan
identitasnya, dan sebagainya.
Pokok
Bahasan #2
MACAM-
MACAM
OTOPSI
HUKUM OTOPSI
POKOK BAHASAN #3
Para ulama kontemporer berbeda pendapat
mengenai hukum otopsi di atas dalam dua pendapat.
 Pertama, membolehkan ketiga otopsi di atasan.
Aasannya, otopsi dapat mewujudkan
kemaslahatan di bidang keamanan, keadilan, dan
kesehatan.
Ini adalah pendapat sebagian ulama, seperti Syeikh
Hasanain Makhluf (ulama Mesir), Syeikh Sa’id
Ramadhan Al-Buthi (ulama Suriah), dan beberapa
lembaga fatwa seperti Majma’ Fiqih Islami OKI, Hai`ah
Kibar Ulama (Arab Saudi), dan Fatwa Lajnah Da`imah
(Arab Saudi).
Pokok
Bahasan #3
HUKUM
OTOPSI
(Lihat :
As-Sa’idani, Al-Ifadah Al-Syar’iyah fi Ba’dh Al-
Masa`il Al-Thibiyah, hlm. 172;
M. Ali As-Salus, Mausu`ah Al-Qadhaya Al-Fiqhiyah
Al-Mu’ashirah, hlm. 587;
Al-Syinqithi, Ahkam Al-Jirahah Al-Thibiyah, hlm.
170;
Al-Hazmi, Taqrib Fiqh Al-Thabib, hlm. 90).).
Pokok
Bahasan #3
HUKUM
OTOPSI
 Kedua, mengharamkan ketiga otopsi tersebut.
Alasannya, otopsi telah melanggar kehormatan
mayat.
Padahal Islam melarang melanggar kehormatan mayat
yang sepatutnya dijaga, berdasarkan sabda Nabi SAW :
‫كسر‬
‫عظم‬
‫الميت‬
‫ككسره‬
ً
‫حيا‬
“Memecahkan tulang mayat sama dengan
memecahkan tulangnya saat dia hidup.” (kasru ‘azhmi
al-mayyit ka-kasrihi hayyan). (HR Abu Dawud, no 3207,
hadits shahih; HR Ahmad, Al Musnad, no 24.783).
Pokok
Bahasan #3
HUKUM
OTOPSI
Ini adalah pendapat sebagian ulama lainnya,
seperti Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani (ulama
Palestina), Syeikh Bukhait Al-Muthi’i, dan Hasan
As-Saqaf.
(Al-Syinqithi, Ahkam Al-Jirahah Al-Thibiyah, hlm.
170; Nasyrah Soal Jawab, 2/6/1970).
Pokok
Bahasan #3
HUKUM
OTOPSI
Tarjih (Memilih Pendapat Terkuat)
Menurut kami, pendapat yang terkuat (rajih) adalah
pendapat kedua, yang mengharamkan ketiga jenis
otopsi, berdasarkan dua dalil sebagai berikut :
 Pertama, pendapat yang membolehkan dalilnya
adalah kemaslahatan, atau (Mashalih Mursalah).
Padahal Mashalah Mursalah dalam ilmu ushul
fiqih bukanlah dalil syar’i (sumber hukum) yang
kuat, atau disebut dalil syar’i yang mukhtalaf fiihi
(keabsahannya sebagai sumber hukum
diperselisihkan oleh para ulama).
Pokok
Bahasan #3
HUKUM
OTOPSI
Sumber hukum yang kuat menurut jumhur (mayoritas)
ulama, adalah yang tak diperselisihkan oleh para ulama
(muttafaq ‘alaihi), yaitu Al-Quran, As-Sunnah, Al-Ijma’,
dan Al-Qiyas.
Menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani, Mashalih
Mursalah tidak layak menjadi dalil syar’i. (Taqiyuddin
An-Nabhani, Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, 3/444);
 Kedua, terdapat hadits-hadits shahih yang melarang
melanggar kehormatan mayat, seperti mencincang,
menyayat, atau memecahkan tulangnya
sebagaimana di atas.
Pokok
Bahasan #3
HUKUM
OTOPSI
Namun, keharaman otopsi ini hanya untuk mayat
muslim. Sedang jika mayatnya non muslim, hukumnya
boleh.
(Al-Syinqithi, Ahkam Al-Jirahah Al-Thibiyah, hlm. 179;
Nashiruddin Al-Albani, Ahkam Al-Jana`iz, hlm. 299).
Sebab di samping hadits dengan lafal mutlaq (tak
disebut sifatnya, yaitu semua mayat) seperti dalam
riwayat Abu Dawud di atas, ternyata ada hadits shahih
dengan lafal muqayyad (disebut sifatnya, yaitu mayat
mu`min/muslim), yakni sabda Nabi SAW :
‫ان‬
‫كسر‬
‫عظم‬
‫المؤمن‬
‫ميتا‬
‫مثل‬
‫كسره‬
‫حيا‬
Pokok
Bahasan #3
HUKUM
OTOPSI
“Sesungguhnya memecahkan tulang mu`min yang
sudah mati, sama dengan memecahkannya saat dia
hidup.” (inna kasra ‘azhmi al-mu`min maytan mitslu
kasrihi hayyan.)
(HR Ahmad, no 24.353 & 24.730; Imam Malik, Al-
Muwathha`, 2/227, no 253; Imam Ad-Daruquthni,
Sunan Ad-Daruquthni, 8/208, no 3459; Ibnu Hajar Al-
Asqalani, Fathul Bari, 14/297; Al-Thahawi, Musykil Al-
Atsar, 3/281; Al-Albani, Shahih wa Dhaif Al-Jami’ Ash-
Shaghir, 9/353).
Pokok
Bahasan #3
HUKUM
OTOPSI
Penyimpulan hukum bahwa otopsi hanya haram untuk
mayat muslim dan boleh untuk mayat non-musim,
sejalan dengan sebuah kaidah ushuliyah (kaidah untuk
menyimpulkan hukum Islam) yang menyebutkan :
‫المطلق‬
‫يجري‬
‫على‬
‫إطالقه‬
‫ما‬
‫لم‬
‫يرد‬
‫دليل‬
‫يدل‬
‫على‬
‫التق‬
‫ييد‬
Al muthlaqu yajriy ‘alaa ithlaaqihi maa lam yarid
daliilun yadullu ‘ala at taqyiid.
(dalil yang mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama
tidak terdapat dalil yang menunjukkan adanya
batasan/muqayyad). (Wahbah Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al
Islami, Juz 1 hlm. 208)
Pokok
Bahasan #3
HUKUM
OTOPSI
Kesimpulannya;
Otopsi hukumnya haram jika
mayatnya muslim. Sedang jika
mayatnya non muslim, hukumnya
boleh.
Pokok
Bahasan #3
HUKUM
OTOPSI
MENGKRITISI FATWA MUI
TENTANG OTOPSI
POKOK BAHASAN #4
Mengkritisi Fatwa MUI Tentang Otopsi
Fatwa MUI no 6 Tahun 2009 tentang Otopsi Jenazah,
pada dasarnya mengharamkan otopsi (otopsi forensik
dan otopsi klinis), tapi kemudian membolehkan
asalkan ada kebutuhan pihak berwenang dengan
syarat-syarat tertentu.
Dalam fatwa MUI tersebut pada “Ketentuan Hukum”
nomor 1 disebutkan, ”Pada dasarnya setiap jenazah
harus dipenuhi hak-haknya, dihormati, keberadaannya
dan tidak boleh dirusak.” Ini artinya, menurut MUI
hukum asal otopsi adalah haram.
Pokok
Bahasan #4
MENGKRITISI
FATWA MUI
Kemudian pada “Ketentuan Hukum” nomor 2 pada
Fatwa MUI tersebut disebutkan, “Otopsi jenazah
dibolehkan jika ada kebutuhan yang ditetapkan oleh
pihak yang punya kewenangan untuk itu.” Ini berarti
hukum asal otopsi tersebut dikecualikan, yaitu otopsi
yang asalnya haram kemudian dibolehkan asalkan ada
kebutuhan dari pihak berwenang.
Kebolehan otopsi tersebut menurut MUI harus
memenuhi 4 (empat) syarat.
Pokok
Bahasan #4
MENGKRITISI
FATWA MUI
Dalam “Ketentuan Hukum” nomor 3 pada Fatwa MUI
tersebut, disebutkan 4 syarat tersebut, yaitu ;”
(1) otopsi jenazah didasarkan kepada kebutuhan yang
dibenarkan secara syar’i (seperti mengetahui
penyebab kematian untuk penyelidikan hukum,
penelitian kedokteran, atau pendidikan
kedokteran), ditetapkan oleh orang atau lembaga
yang berwenang dan dilakukan oleh ahlinya,
(2) otopsi merupakan jalan keluar satu-satunya dalam
memenuhi tujuan sebagaimana dimaksud pada
point,
Pokok
Bahasan #4
MENGKRITISI
FATWA MUI
(3) jenazah yang diotopsi harus segera dipenuhi hak-
haknya, seperti dimandikan, dikafani, dishalatkan,
dan dikuburkan, dan
(4) jenazah yang akan dijadikan obyek otopsi harus
memperoleh izin dari dirinya sewaktu hidup
melalui wasiat, izin dari ahli waris, dan/atau izin
dari Pemerintah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang undangan.”
(Lihat Fatwa MUI no 6 Tahun 2009 tentang Otopsi
Jenazah).
Pokok
Bahasan #4
MENGKRITISI
FATWA MUI
Fatwa MUI tentang otopsi jenazah tersebut di atas
menurut kami tidak sah dan tidak dapat diterima,
dengan 5 (lima) alasan sebagai berikut;
 Pertama, dalil syar’i yang mengecualikan haramnya
otopsi sebenarnya tidak ada. Karena tidak ada dalil
syar’i yang sah dari Al-Quran, As-Sunnah, Al-Ijma’,
dan Al-Qiyas yang mengecualikan keharaman otopsi
(yang membolehkan otopsi).
Dalam kaidah ushul fiqih (qaidah ushuliyah) ditetapkan
bahwa :
‫العام‬
‫يبقى‬
‫على‬
‫عمومه‬
‫ما‬
‫لم‬
‫يرد‬
‫دليل‬
‫التخصيص‬
Pokok
Bahasan #4
MENGKRITISI
FATWA MUI
Al-‘aam yabqaa ‘alaa ‘umummumihi maa lam yarid
dalil at-takhshiish.
Hukum yang berlaku umum tetap dalam
keumumannya, kecuali ada dalil yang mengecualikan
(mengkhususkan).”
 Kedua, dalil takshis (yang mengecualikan) haramnya
otopsi yang disebut MUI, yaitu adanya kebutuhan
(al haajat) untuk melakukan otopsi, juga tidak sah.
Karena kata “kebutuhan” dalam fatwa MUI, yang
menurut kami dapat ditafsirkan sebagai
“kemaslahatan” (al mashlahah) atau kepentingan,
adalah argumentasi (dalil) yang lemah.
Pokok
Bahasan #4
MENGKRITISI
FATWA MUI
Dalil mashlahat ini ujung-ujungnya akan kembali
kepada sumber hukum yang disebut Mashalih
Mursalah, yang kelemahannya sudah kami singgung di
atas. Karena dalil Mashalih Mursalah itu tidak
termasuk dalam dalil yang disepakati jumhur ulama,
yaitu Al-Quran, As-Sunnah, Al-Ijma’, dan Al-Qiyas.
Kalaupun menggunakan dalil Mashalih Mursalah, maka
pendapat MUI tersebut justru tidak memenuhi kriteria
maslahat dalam Mashalih Mursalah, yaitu
kemaslahatan yang kosong dari dalil, yakni
kemaslahatan yang tak ada dalil yang membatalkanya
dan tidak ada pula dalil yang mengabsahkannya.
Pokok
Bahasan #4
MENGKRITISI
FATWA MUI
Dalam ilmu ushul fiqih, kemaslahatan yang dibatalkan
dalil disebut al maslahah al mulghah. Sedang
kemaslahatan yang diabsahkan dalil disebut al
maslahah al mu’tabarah. (Lihat Muhammad Husain
Abdullah, Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqih, hlm. 150-151).
Padahal, kemaslahatan otopsi itu jelas termasuk
kemaslahatan yang dibatalkan dalil, karena sudah ada
dalil syar’i yang jelas-jelas membatalkan kemaslahatan
otopsi, yaitu hadits shahih yang melarang merusak
mayat, sesuai sabda Nabi SAW :
‫كسر‬
‫عظم‬
‫الميت‬
‫ككسره‬
ً
‫حيا‬
Pokok
Bahasan #4
MENGKRITISI
FATWA MUI
“Memecahkan tulang mayat sama dengan
memecahkan tulangnya saat dia hidup.” (HR Abu
Dawud, no 3207, hadits shahih; HR Ahmad, Al Musnad,
no 24.783).
Jika kata “kebutuhan” dalam fatwa MUI tersebut
ditafsirkan sebagai “al haajat” dalam terminologi ushul
fiqih, juga tidak sah.
Memang dalam ushul fiqih istilah “al haajat” dapat
berkedudukan sama dengan “al dhahuurat” (kondisi
darurat), seperti disebut dalam sebuah kaidah fiqih : al
haajat tanzilu manzilah al dharuurah (kebutuhan dapat
berkedudukan sebagai kondisi darurat).
Pokok
Bahasan #4
MENGKRITISI
FATWA MUI
Namun kondisi darurat ini tidak terwujud dalam kasus
otopsi. Karena pengertian darurat menurut Imam
Suyuthi dalam Al Asybah wa An Nazha`ir adalah
“sampainya seseorang pada suatu batas/kondisi yang
jika dia tidak melakukan yang dilarang, maka dia akan
mati atau mendekati mati.”
>> Arabic : wushuuluhu haddan in lam yataanawal
mamnuu’ halaka aw qaaraba.
Pokok
Bahasan #4
MENGKRITISI
FATWA MUI
 Ketiga, syarat untuk membolehkan otopsi (wasiat
saat hidup atau izin ahli waris) dalam fatwa MUI
tersebut tidak sah.
Karena wasiat saat hidup dari seseorang, hanya sah
untuk barang-barang yang dimiliki oleh yang
bersangkutan, seperti tanah, atau rumah yang menjadi
hak milik yang bersangkutan.
Adapun wasiat untuk mengotopsi tubuhnya setelah dia
mati, tidak sah. Karena setelah mati, tidak ada lagi
hubungan hukum (seperti kepemilikan) antara
seseorang dengan sesuatu yang dimilikinya pada saat
dia hidup.
Pokok
Bahasan #4
MENGKRITISI
FATWA MUI
Buktinya hartanya wajib diwaris, istrinya wajib
diceraikan, dan tubuhnya wajib dikuburkan. (Abdul
Qadim Zallum, Hukmu As Syar’i fi Al Istinsakh).
Demikian pula izin ahli waris untuk mengotopsi
jenazah, juga tidak sah. Karena ahli waris tidak punya
hak untuk mengizinkan. Sebab hak ahli waris hanya
terbatas pada benda waris (tanah, rumah, uang dll)
bukan pada jenazah pihak yang mewariskan benda
waris (al muwarrits).
Tidak sahnya wasiat untuk diotopsi, baik dari orang
yang bersangkutan atau dari ahli warisnya, diperkuat
dengan kaidah fiqih yang menyatakan :
Pokok
Bahasan #4
MENGKRITISI
FATWA MUI
‫من‬
‫ال‬
‫يملك‬
‫التصرف‬
‫ال‬
‫يملك‬
‫اإلذن‬
‫فيه‬
Man laa yamliku at-tasharrufa laa yamliku al-idzin
fiihi.
Barangsiapa tidak berhak melakukan tasharruf
[perbuatan hukum], tidak berhak pula memberikan izin
[kepada orang lain] untuk melakukan perbuatan
hukum/tasharruf tersebut.
- Az-Zarkasyi, al-Mantsur fi al-Qawa’id, 3/211;
- M. Shidqi al-Burnu, Mausu’ah al-Qawa’id al-
Fiqhiyah, 11/1081;
- Hasan Ali al-Syadzili, Hukm Naql A’dha` Al-Insan fi
Al-Fiqh al-Islami, 109).
Pokok
Bahasan #4
MENGKRITISI
FATWA MUI
 Keempat, otopsi dalam sistem pidana Islam (nizham
‘uqubat fil Islam) sebenarnya tidak dapat menjadi
bukti pembunuhan (bayyinah al qatl).
Karena pembuktian terjadinya pembunuhan dalam
sistem pidana Islam hanya sah dengan salah satu dari
dua jalan pembuktian, yaitu :
1. pengakuan (iqraar) dari pihak pembunuh.
2. kesaksian (syahaadah).
(Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 54-
55).
Pokok
Bahasan #4
MENGKRITISI
FATWA MUI
Untuk kesaksian, jumlah saksinya adalah dua saksi laki-
laki, atau jika saksinya perempuan, maka satu saksi
laki-laki setara dengan dua saksi perempuan.
Jadi saksi dalam kasus pembunuhan adalah : dua saksi
laki-laki, atau satu saksi laki-laki dan dua saksi
perempuan, atau empat saksi perempuan.
(Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 54-
55).
Pokok
Bahasan #4
MENGKRITISI
FATWA MUI
 Kelima, syarat yang disebut fatwa MUI tersebut,
yaitu otopsi merupakan satu-satunya jalan, sudah
gugur.
Karena beberapa tahun belakangan ini dalam dunia
kedokteran sudah ada PMCT (Post Mortem CT Scan),
yaitu penggunaan mesin pencitraan (CT Scan) yang
dapat digunakan mengungkap rahasia medis orang
mati.
PMCT ini dapat menggantikan tindakan pembedahan
dalam proses otopsi. Keuntungan PMCT (Post Mortem
CT Scan) di antaranya adalah diagnosisnya tidak invasif
dan dianggap tidak merusak mayat.
Pokok
Bahasan #4
MENGKRITISI
FATWA MUI
‫و‬
‫هللا‬
‫بالصواب‬ ‫أعلم‬
Wallahu a’lam bish-shawab
www.fissilmi-kaffah.com
I-BOS 0811-2399-231
Contact Us :
islamicbusinessonlineschool@gmail.com
@IslamicBusinessOnlineSchool
#EnergizingPeople
Terima Kasih…

More Related Content

Similar to 07-Otopsi.pptx

Istihsan, urf, istishab, marsalah mursalah
Istihsan, urf, istishab, marsalah mursalahIstihsan, urf, istishab, marsalah mursalah
Istihsan, urf, istishab, marsalah mursalah
risky13
 
AIK 2 KELOMPOKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK.3.pptx
AIK 2 KELOMPOKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK.3.pptxAIK 2 KELOMPOKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK.3.pptx
AIK 2 KELOMPOKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK.3.pptx
Anggita854299
 
Pengertian Ushul fiqh dan fiqh (4).pptx
Pengertian Ushul fiqh dan fiqh (4).pptxPengertian Ushul fiqh dan fiqh (4).pptx
Pengertian Ushul fiqh dan fiqh (4).pptx
mfairuz1007
 
Presentasi ushul fiqh dalil yg tidak disepakati
Presentasi ushul fiqh dalil yg tidak disepakatiPresentasi ushul fiqh dalil yg tidak disepakati
Presentasi ushul fiqh dalil yg tidak disepakati
Marhamah Saleh
 
Islam versus-liberalisme
Islam versus-liberalismeIslam versus-liberalisme
Islam versus-liberalisme
Hibatul Wafi
 
Makalah Hukum Shalat Jumat
Makalah Hukum Shalat JumatMakalah Hukum Shalat Jumat
Makalah Hukum Shalat Jumat
mujibzunari
 

Similar to 07-Otopsi.pptx (20)

Agama
AgamaAgama
Agama
 
Makalah sumber hukum islam
Makalah sumber hukum islamMakalah sumber hukum islam
Makalah sumber hukum islam
 
Al-Maqāṣid wa al-Ijtihad dalam penjelasan maqasid .pptx
Al-Maqāṣid wa al-Ijtihad dalam penjelasan maqasid .pptxAl-Maqāṣid wa al-Ijtihad dalam penjelasan maqasid .pptx
Al-Maqāṣid wa al-Ijtihad dalam penjelasan maqasid .pptx
 
Istihsan, urf, istishab, marsalah mursalah
Istihsan, urf, istishab, marsalah mursalahIstihsan, urf, istishab, marsalah mursalah
Istihsan, urf, istishab, marsalah mursalah
 
KELOMPOK 1-USHUL FIQH.pptx
KELOMPOK 1-USHUL FIQH.pptxKELOMPOK 1-USHUL FIQH.pptx
KELOMPOK 1-USHUL FIQH.pptx
 
Istihsan, urf, istishab, marsalah mursalah
Istihsan, urf, istishab, marsalah mursalahIstihsan, urf, istishab, marsalah mursalah
Istihsan, urf, istishab, marsalah mursalah
 
kelompok 3 bahan tugas mata kuliah ushul fiqh ekonomi islam
kelompok 3 bahan tugas mata kuliah ushul fiqh ekonomi islamkelompok 3 bahan tugas mata kuliah ushul fiqh ekonomi islam
kelompok 3 bahan tugas mata kuliah ushul fiqh ekonomi islam
 
contoh Silabus ilmu fiqih
contoh Silabus ilmu fiqihcontoh Silabus ilmu fiqih
contoh Silabus ilmu fiqih
 
contoh Silabus ilmu fiqih
contoh Silabus ilmu fiqihcontoh Silabus ilmu fiqih
contoh Silabus ilmu fiqih
 
Ijtihad
IjtihadIjtihad
Ijtihad
 
Makalah ijtihad
Makalah ijtihadMakalah ijtihad
Makalah ijtihad
 
AIK 2 KELOMPOKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK.3.pptx
AIK 2 KELOMPOKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK.3.pptxAIK 2 KELOMPOKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK.3.pptx
AIK 2 KELOMPOKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK.3.pptx
 
Pengertian Ushul fiqh dan fiqh (4).pptx
Pengertian Ushul fiqh dan fiqh (4).pptxPengertian Ushul fiqh dan fiqh (4).pptx
Pengertian Ushul fiqh dan fiqh (4).pptx
 
Presentasi ushul fiqh dalil yg tidak disepakati
Presentasi ushul fiqh dalil yg tidak disepakatiPresentasi ushul fiqh dalil yg tidak disepakati
Presentasi ushul fiqh dalil yg tidak disepakati
 
Islam versus-liberalisme
Islam versus-liberalismeIslam versus-liberalisme
Islam versus-liberalisme
 
PPT_USHUL_FIQH_pptx.pptx
PPT_USHUL_FIQH_pptx.pptxPPT_USHUL_FIQH_pptx.pptx
PPT_USHUL_FIQH_pptx.pptx
 
Ushul Fiqh.pptx
Ushul Fiqh.pptxUshul Fiqh.pptx
Ushul Fiqh.pptx
 
Makalah Hukum Shalat Jumat
Makalah Hukum Shalat JumatMakalah Hukum Shalat Jumat
Makalah Hukum Shalat Jumat
 
Kedudukan Dan Pengujian Otensitas Sejarah (Tarikh) Islam
Kedudukan Dan Pengujian Otensitas Sejarah (Tarikh) IslamKedudukan Dan Pengujian Otensitas Sejarah (Tarikh) Islam
Kedudukan Dan Pengujian Otensitas Sejarah (Tarikh) Islam
 
IJTIHAD SEBAGAI METODE PENGGALIAN HUKUM
 IJTIHAD SEBAGAI METODE PENGGALIAN HUKUM IJTIHAD SEBAGAI METODE PENGGALIAN HUKUM
IJTIHAD SEBAGAI METODE PENGGALIAN HUKUM
 

More from Muhammad Billah

More from Muhammad Billah (7)

Insigh – insigh terkait kendala developer property syariah sumbar.pptx
Insigh – insigh terkait kendala developer property syariah sumbar.pptxInsigh – insigh terkait kendala developer property syariah sumbar.pptx
Insigh – insigh terkait kendala developer property syariah sumbar.pptx
 
Dokter dan nakes demo untukkepentingan siapa.pptx
Dokter dan nakes demo untukkepentingan siapa.pptxDokter dan nakes demo untukkepentingan siapa.pptx
Dokter dan nakes demo untukkepentingan siapa.pptx
 
1.-islam-sebagai-aturan-hidup-kitabtsaqofah.pptx
1.-islam-sebagai-aturan-hidup-kitabtsaqofah.pptx1.-islam-sebagai-aturan-hidup-kitabtsaqofah.pptx
1.-islam-sebagai-aturan-hidup-kitabtsaqofah.pptx
 
20 Tragedi dan Perang Paska Uhud pdf.pptx
20 Tragedi dan Perang Paska Uhud pdf.pptx20 Tragedi dan Perang Paska Uhud pdf.pptx
20 Tragedi dan Perang Paska Uhud pdf.pptx
 
Kondisi Umat Islam Hari Ini.pptx
Kondisi Umat Islam Hari Ini.pptxKondisi Umat Islam Hari Ini.pptx
Kondisi Umat Islam Hari Ini.pptx
 
KARAKTERISTIK JAMAAH DAKWAH.pptx
KARAKTERISTIK JAMAAH DAKWAH.pptxKARAKTERISTIK JAMAAH DAKWAH.pptx
KARAKTERISTIK JAMAAH DAKWAH.pptx
 
Kesatuan Umat Islam Part 1.pptx
Kesatuan Umat Islam Part 1.pptxKesatuan Umat Islam Part 1.pptx
Kesatuan Umat Islam Part 1.pptx
 

07-Otopsi.pptx

  • 1. KH. M. SHIDDIQ AL JAWI, S.Si, MSI Islamic Business Online School HUKUM OTOPSI DALAM PANDANGAN SYARIAH ISLAM
  • 2. 1. Definisi Otopsi 2. Macam-macam Otopsi 3. Hukum Otopsi 4. Mengkritisi Fatwa MUI POKOK BAHASAN
  • 4. Otopsi (bedah mayat) adalah pemeriksaan mayat dengan jalan pembedahan (surgery, at tasyriih). Pokok Bahasan #1 DEFINISI OTOPSI
  • 6. Ada tiga macam otopsi; 1) otopsi anatomis, yaitu otopsi yang dilakukan mahasiswa kedokteran untuk mempelajari ilmu anatomi. 2) otopsi klinis, yaitu otopsi untuk mengetahui berbagai hal yang terkait dengan penyakit (misal jenis penyakit) sebelum mayat meninggal. 3) otopsi forensik, yaitu otopsi yang dilakukan oleh penegak hukum terhadap korban pembunuhan atau kematian yang mencurigakan, untuk mengetahui sebab kematian, menentukan identitasnya, dan sebagainya. Pokok Bahasan #2 MACAM- MACAM OTOPSI
  • 8. Para ulama kontemporer berbeda pendapat mengenai hukum otopsi di atas dalam dua pendapat.  Pertama, membolehkan ketiga otopsi di atasan. Aasannya, otopsi dapat mewujudkan kemaslahatan di bidang keamanan, keadilan, dan kesehatan. Ini adalah pendapat sebagian ulama, seperti Syeikh Hasanain Makhluf (ulama Mesir), Syeikh Sa’id Ramadhan Al-Buthi (ulama Suriah), dan beberapa lembaga fatwa seperti Majma’ Fiqih Islami OKI, Hai`ah Kibar Ulama (Arab Saudi), dan Fatwa Lajnah Da`imah (Arab Saudi). Pokok Bahasan #3 HUKUM OTOPSI
  • 9. (Lihat : As-Sa’idani, Al-Ifadah Al-Syar’iyah fi Ba’dh Al- Masa`il Al-Thibiyah, hlm. 172; M. Ali As-Salus, Mausu`ah Al-Qadhaya Al-Fiqhiyah Al-Mu’ashirah, hlm. 587; Al-Syinqithi, Ahkam Al-Jirahah Al-Thibiyah, hlm. 170; Al-Hazmi, Taqrib Fiqh Al-Thabib, hlm. 90).). Pokok Bahasan #3 HUKUM OTOPSI
  • 10.  Kedua, mengharamkan ketiga otopsi tersebut. Alasannya, otopsi telah melanggar kehormatan mayat. Padahal Islam melarang melanggar kehormatan mayat yang sepatutnya dijaga, berdasarkan sabda Nabi SAW : ‫كسر‬ ‫عظم‬ ‫الميت‬ ‫ككسره‬ ً ‫حيا‬ “Memecahkan tulang mayat sama dengan memecahkan tulangnya saat dia hidup.” (kasru ‘azhmi al-mayyit ka-kasrihi hayyan). (HR Abu Dawud, no 3207, hadits shahih; HR Ahmad, Al Musnad, no 24.783). Pokok Bahasan #3 HUKUM OTOPSI
  • 11. Ini adalah pendapat sebagian ulama lainnya, seperti Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani (ulama Palestina), Syeikh Bukhait Al-Muthi’i, dan Hasan As-Saqaf. (Al-Syinqithi, Ahkam Al-Jirahah Al-Thibiyah, hlm. 170; Nasyrah Soal Jawab, 2/6/1970). Pokok Bahasan #3 HUKUM OTOPSI
  • 12. Tarjih (Memilih Pendapat Terkuat) Menurut kami, pendapat yang terkuat (rajih) adalah pendapat kedua, yang mengharamkan ketiga jenis otopsi, berdasarkan dua dalil sebagai berikut :  Pertama, pendapat yang membolehkan dalilnya adalah kemaslahatan, atau (Mashalih Mursalah). Padahal Mashalah Mursalah dalam ilmu ushul fiqih bukanlah dalil syar’i (sumber hukum) yang kuat, atau disebut dalil syar’i yang mukhtalaf fiihi (keabsahannya sebagai sumber hukum diperselisihkan oleh para ulama). Pokok Bahasan #3 HUKUM OTOPSI
  • 13. Sumber hukum yang kuat menurut jumhur (mayoritas) ulama, adalah yang tak diperselisihkan oleh para ulama (muttafaq ‘alaihi), yaitu Al-Quran, As-Sunnah, Al-Ijma’, dan Al-Qiyas. Menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani, Mashalih Mursalah tidak layak menjadi dalil syar’i. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, 3/444);  Kedua, terdapat hadits-hadits shahih yang melarang melanggar kehormatan mayat, seperti mencincang, menyayat, atau memecahkan tulangnya sebagaimana di atas. Pokok Bahasan #3 HUKUM OTOPSI
  • 14. Namun, keharaman otopsi ini hanya untuk mayat muslim. Sedang jika mayatnya non muslim, hukumnya boleh. (Al-Syinqithi, Ahkam Al-Jirahah Al-Thibiyah, hlm. 179; Nashiruddin Al-Albani, Ahkam Al-Jana`iz, hlm. 299). Sebab di samping hadits dengan lafal mutlaq (tak disebut sifatnya, yaitu semua mayat) seperti dalam riwayat Abu Dawud di atas, ternyata ada hadits shahih dengan lafal muqayyad (disebut sifatnya, yaitu mayat mu`min/muslim), yakni sabda Nabi SAW : ‫ان‬ ‫كسر‬ ‫عظم‬ ‫المؤمن‬ ‫ميتا‬ ‫مثل‬ ‫كسره‬ ‫حيا‬ Pokok Bahasan #3 HUKUM OTOPSI
  • 15. “Sesungguhnya memecahkan tulang mu`min yang sudah mati, sama dengan memecahkannya saat dia hidup.” (inna kasra ‘azhmi al-mu`min maytan mitslu kasrihi hayyan.) (HR Ahmad, no 24.353 & 24.730; Imam Malik, Al- Muwathha`, 2/227, no 253; Imam Ad-Daruquthni, Sunan Ad-Daruquthni, 8/208, no 3459; Ibnu Hajar Al- Asqalani, Fathul Bari, 14/297; Al-Thahawi, Musykil Al- Atsar, 3/281; Al-Albani, Shahih wa Dhaif Al-Jami’ Ash- Shaghir, 9/353). Pokok Bahasan #3 HUKUM OTOPSI
  • 16. Penyimpulan hukum bahwa otopsi hanya haram untuk mayat muslim dan boleh untuk mayat non-musim, sejalan dengan sebuah kaidah ushuliyah (kaidah untuk menyimpulkan hukum Islam) yang menyebutkan : ‫المطلق‬ ‫يجري‬ ‫على‬ ‫إطالقه‬ ‫ما‬ ‫لم‬ ‫يرد‬ ‫دليل‬ ‫يدل‬ ‫على‬ ‫التق‬ ‫ييد‬ Al muthlaqu yajriy ‘alaa ithlaaqihi maa lam yarid daliilun yadullu ‘ala at taqyiid. (dalil yang mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak terdapat dalil yang menunjukkan adanya batasan/muqayyad). (Wahbah Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al Islami, Juz 1 hlm. 208) Pokok Bahasan #3 HUKUM OTOPSI
  • 17. Kesimpulannya; Otopsi hukumnya haram jika mayatnya muslim. Sedang jika mayatnya non muslim, hukumnya boleh. Pokok Bahasan #3 HUKUM OTOPSI
  • 18. MENGKRITISI FATWA MUI TENTANG OTOPSI POKOK BAHASAN #4
  • 19. Mengkritisi Fatwa MUI Tentang Otopsi Fatwa MUI no 6 Tahun 2009 tentang Otopsi Jenazah, pada dasarnya mengharamkan otopsi (otopsi forensik dan otopsi klinis), tapi kemudian membolehkan asalkan ada kebutuhan pihak berwenang dengan syarat-syarat tertentu. Dalam fatwa MUI tersebut pada “Ketentuan Hukum” nomor 1 disebutkan, ”Pada dasarnya setiap jenazah harus dipenuhi hak-haknya, dihormati, keberadaannya dan tidak boleh dirusak.” Ini artinya, menurut MUI hukum asal otopsi adalah haram. Pokok Bahasan #4 MENGKRITISI FATWA MUI
  • 20. Kemudian pada “Ketentuan Hukum” nomor 2 pada Fatwa MUI tersebut disebutkan, “Otopsi jenazah dibolehkan jika ada kebutuhan yang ditetapkan oleh pihak yang punya kewenangan untuk itu.” Ini berarti hukum asal otopsi tersebut dikecualikan, yaitu otopsi yang asalnya haram kemudian dibolehkan asalkan ada kebutuhan dari pihak berwenang. Kebolehan otopsi tersebut menurut MUI harus memenuhi 4 (empat) syarat. Pokok Bahasan #4 MENGKRITISI FATWA MUI
  • 21. Dalam “Ketentuan Hukum” nomor 3 pada Fatwa MUI tersebut, disebutkan 4 syarat tersebut, yaitu ;” (1) otopsi jenazah didasarkan kepada kebutuhan yang dibenarkan secara syar’i (seperti mengetahui penyebab kematian untuk penyelidikan hukum, penelitian kedokteran, atau pendidikan kedokteran), ditetapkan oleh orang atau lembaga yang berwenang dan dilakukan oleh ahlinya, (2) otopsi merupakan jalan keluar satu-satunya dalam memenuhi tujuan sebagaimana dimaksud pada point, Pokok Bahasan #4 MENGKRITISI FATWA MUI
  • 22. (3) jenazah yang diotopsi harus segera dipenuhi hak- haknya, seperti dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan, dan (4) jenazah yang akan dijadikan obyek otopsi harus memperoleh izin dari dirinya sewaktu hidup melalui wasiat, izin dari ahli waris, dan/atau izin dari Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.” (Lihat Fatwa MUI no 6 Tahun 2009 tentang Otopsi Jenazah). Pokok Bahasan #4 MENGKRITISI FATWA MUI
  • 23. Fatwa MUI tentang otopsi jenazah tersebut di atas menurut kami tidak sah dan tidak dapat diterima, dengan 5 (lima) alasan sebagai berikut;  Pertama, dalil syar’i yang mengecualikan haramnya otopsi sebenarnya tidak ada. Karena tidak ada dalil syar’i yang sah dari Al-Quran, As-Sunnah, Al-Ijma’, dan Al-Qiyas yang mengecualikan keharaman otopsi (yang membolehkan otopsi). Dalam kaidah ushul fiqih (qaidah ushuliyah) ditetapkan bahwa : ‫العام‬ ‫يبقى‬ ‫على‬ ‫عمومه‬ ‫ما‬ ‫لم‬ ‫يرد‬ ‫دليل‬ ‫التخصيص‬ Pokok Bahasan #4 MENGKRITISI FATWA MUI
  • 24. Al-‘aam yabqaa ‘alaa ‘umummumihi maa lam yarid dalil at-takhshiish. Hukum yang berlaku umum tetap dalam keumumannya, kecuali ada dalil yang mengecualikan (mengkhususkan).”  Kedua, dalil takshis (yang mengecualikan) haramnya otopsi yang disebut MUI, yaitu adanya kebutuhan (al haajat) untuk melakukan otopsi, juga tidak sah. Karena kata “kebutuhan” dalam fatwa MUI, yang menurut kami dapat ditafsirkan sebagai “kemaslahatan” (al mashlahah) atau kepentingan, adalah argumentasi (dalil) yang lemah. Pokok Bahasan #4 MENGKRITISI FATWA MUI
  • 25. Dalil mashlahat ini ujung-ujungnya akan kembali kepada sumber hukum yang disebut Mashalih Mursalah, yang kelemahannya sudah kami singgung di atas. Karena dalil Mashalih Mursalah itu tidak termasuk dalam dalil yang disepakati jumhur ulama, yaitu Al-Quran, As-Sunnah, Al-Ijma’, dan Al-Qiyas. Kalaupun menggunakan dalil Mashalih Mursalah, maka pendapat MUI tersebut justru tidak memenuhi kriteria maslahat dalam Mashalih Mursalah, yaitu kemaslahatan yang kosong dari dalil, yakni kemaslahatan yang tak ada dalil yang membatalkanya dan tidak ada pula dalil yang mengabsahkannya. Pokok Bahasan #4 MENGKRITISI FATWA MUI
  • 26. Dalam ilmu ushul fiqih, kemaslahatan yang dibatalkan dalil disebut al maslahah al mulghah. Sedang kemaslahatan yang diabsahkan dalil disebut al maslahah al mu’tabarah. (Lihat Muhammad Husain Abdullah, Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqih, hlm. 150-151). Padahal, kemaslahatan otopsi itu jelas termasuk kemaslahatan yang dibatalkan dalil, karena sudah ada dalil syar’i yang jelas-jelas membatalkan kemaslahatan otopsi, yaitu hadits shahih yang melarang merusak mayat, sesuai sabda Nabi SAW : ‫كسر‬ ‫عظم‬ ‫الميت‬ ‫ككسره‬ ً ‫حيا‬ Pokok Bahasan #4 MENGKRITISI FATWA MUI
  • 27. “Memecahkan tulang mayat sama dengan memecahkan tulangnya saat dia hidup.” (HR Abu Dawud, no 3207, hadits shahih; HR Ahmad, Al Musnad, no 24.783). Jika kata “kebutuhan” dalam fatwa MUI tersebut ditafsirkan sebagai “al haajat” dalam terminologi ushul fiqih, juga tidak sah. Memang dalam ushul fiqih istilah “al haajat” dapat berkedudukan sama dengan “al dhahuurat” (kondisi darurat), seperti disebut dalam sebuah kaidah fiqih : al haajat tanzilu manzilah al dharuurah (kebutuhan dapat berkedudukan sebagai kondisi darurat). Pokok Bahasan #4 MENGKRITISI FATWA MUI
  • 28. Namun kondisi darurat ini tidak terwujud dalam kasus otopsi. Karena pengertian darurat menurut Imam Suyuthi dalam Al Asybah wa An Nazha`ir adalah “sampainya seseorang pada suatu batas/kondisi yang jika dia tidak melakukan yang dilarang, maka dia akan mati atau mendekati mati.” >> Arabic : wushuuluhu haddan in lam yataanawal mamnuu’ halaka aw qaaraba. Pokok Bahasan #4 MENGKRITISI FATWA MUI
  • 29.  Ketiga, syarat untuk membolehkan otopsi (wasiat saat hidup atau izin ahli waris) dalam fatwa MUI tersebut tidak sah. Karena wasiat saat hidup dari seseorang, hanya sah untuk barang-barang yang dimiliki oleh yang bersangkutan, seperti tanah, atau rumah yang menjadi hak milik yang bersangkutan. Adapun wasiat untuk mengotopsi tubuhnya setelah dia mati, tidak sah. Karena setelah mati, tidak ada lagi hubungan hukum (seperti kepemilikan) antara seseorang dengan sesuatu yang dimilikinya pada saat dia hidup. Pokok Bahasan #4 MENGKRITISI FATWA MUI
  • 30. Buktinya hartanya wajib diwaris, istrinya wajib diceraikan, dan tubuhnya wajib dikuburkan. (Abdul Qadim Zallum, Hukmu As Syar’i fi Al Istinsakh). Demikian pula izin ahli waris untuk mengotopsi jenazah, juga tidak sah. Karena ahli waris tidak punya hak untuk mengizinkan. Sebab hak ahli waris hanya terbatas pada benda waris (tanah, rumah, uang dll) bukan pada jenazah pihak yang mewariskan benda waris (al muwarrits). Tidak sahnya wasiat untuk diotopsi, baik dari orang yang bersangkutan atau dari ahli warisnya, diperkuat dengan kaidah fiqih yang menyatakan : Pokok Bahasan #4 MENGKRITISI FATWA MUI
  • 31. ‫من‬ ‫ال‬ ‫يملك‬ ‫التصرف‬ ‫ال‬ ‫يملك‬ ‫اإلذن‬ ‫فيه‬ Man laa yamliku at-tasharrufa laa yamliku al-idzin fiihi. Barangsiapa tidak berhak melakukan tasharruf [perbuatan hukum], tidak berhak pula memberikan izin [kepada orang lain] untuk melakukan perbuatan hukum/tasharruf tersebut. - Az-Zarkasyi, al-Mantsur fi al-Qawa’id, 3/211; - M. Shidqi al-Burnu, Mausu’ah al-Qawa’id al- Fiqhiyah, 11/1081; - Hasan Ali al-Syadzili, Hukm Naql A’dha` Al-Insan fi Al-Fiqh al-Islami, 109). Pokok Bahasan #4 MENGKRITISI FATWA MUI
  • 32.  Keempat, otopsi dalam sistem pidana Islam (nizham ‘uqubat fil Islam) sebenarnya tidak dapat menjadi bukti pembunuhan (bayyinah al qatl). Karena pembuktian terjadinya pembunuhan dalam sistem pidana Islam hanya sah dengan salah satu dari dua jalan pembuktian, yaitu : 1. pengakuan (iqraar) dari pihak pembunuh. 2. kesaksian (syahaadah). (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 54- 55). Pokok Bahasan #4 MENGKRITISI FATWA MUI
  • 33. Untuk kesaksian, jumlah saksinya adalah dua saksi laki- laki, atau jika saksinya perempuan, maka satu saksi laki-laki setara dengan dua saksi perempuan. Jadi saksi dalam kasus pembunuhan adalah : dua saksi laki-laki, atau satu saksi laki-laki dan dua saksi perempuan, atau empat saksi perempuan. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 54- 55). Pokok Bahasan #4 MENGKRITISI FATWA MUI
  • 34.  Kelima, syarat yang disebut fatwa MUI tersebut, yaitu otopsi merupakan satu-satunya jalan, sudah gugur. Karena beberapa tahun belakangan ini dalam dunia kedokteran sudah ada PMCT (Post Mortem CT Scan), yaitu penggunaan mesin pencitraan (CT Scan) yang dapat digunakan mengungkap rahasia medis orang mati. PMCT ini dapat menggantikan tindakan pembedahan dalam proses otopsi. Keuntungan PMCT (Post Mortem CT Scan) di antaranya adalah diagnosisnya tidak invasif dan dianggap tidak merusak mayat. Pokok Bahasan #4 MENGKRITISI FATWA MUI
  • 36. www.fissilmi-kaffah.com I-BOS 0811-2399-231 Contact Us : islamicbusinessonlineschool@gmail.com @IslamicBusinessOnlineSchool #EnergizingPeople Terima Kasih…