Budaya lokal didefinisikan sebagai budaya yang dianut oleh suku bangsa tertentu, yang paling utama ditentukan oleh bahasa yang digunakan. Faktor demografi seperti wilayah administratif juga digunakan untuk mendefinisikan budaya lokal, namun definisi ini kurang relevan di era modern karena pergeseran penduduk. Budaya lokal merupakan bagian dari skema budaya yang lebih luas yang mencakup budaya regional dan nasional.
1. BUDAYA LOKAL.
Dalam wacana kebudayaan dan sosial, sulit untuk mendefinisikan dan memberikan batasan
terhadap budaya lokal atau kearifan lokal, mengingat ini akan terkait teks dan konteks, namun
secara etimologi dan keilmuan, tampaknya para pakar sudah berupaya merumuskan sebuah
definisi terhadap local culture atau local wisdom ini. Sebagai sebuah kajian, kemudian saya pun
mempelajari dan mencoba mengaitkannya pada konteks yang ada. Definisi budaya lokal yang
pertama saya ambil adalah berdasarkan visualisasi kebudayaan ditinjau dari sudut stuktur dan
tingkatannya. Berikut adalah penjelasannya :
1. Superculture, adalah kebudayaan yang berlaku bagi seluruh masyarakat. Contoh:
kebudayaan nasional;
2. Culture, lebih khusus, misalnya berdasarkan golongan etnik, profesi, wilayah atau
daerah. Contoh : Budaya Sunda;
3. Subculture, merupakan kebudyaan khusus dalam sebuah culture, namun kebudyaan ini
tidaklah bertentangan dengan kebudayaan induknya. Contoh : budaya gotong royong
4. Counter-culture, tingkatannya sama dengan sub-culture yaitu merupakan bagian
turunan dari culture, namun counter-culture ini bertentangan dengan kebudayaan
induknya. Contoh : budaya individualisme
Dilihat dari stuktur dan tingkatannya budaya lokal berada pada tingat culture. Hal ini
berdasarkan sebuah skema sosial budaya yang ada di Indonesia dimana terdiri dari masyarakat
yang bersifat manajemuk dalam stuktur sosial, budaya (multikultural) maupun ekonomi.
Jacobus Ranjabar (2006:150) mengatakan bahwa dilihat dari sifat majemuk masyarakat
Indonesia, maka harus diterima bahwa adanya tiga golongan kebudayaan yang masing-masing
mempunyai coraknya sendiri, ketiga golongan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kebudayaan suku bangsa (yang lebih dikenal secara umum di Indonesia dengan nama
kebudayaan daerah)
2. Kebudayaan umum lokal
3. Kebudayaan nasional
Dalam penjelasannya, kebudayaan suku bangsa adalah sama dengan budaya lokal atau budaya
daerah. Sedangkan kebudayaan umum lokal adalah tergantung pada aspek ruang, biasanya ini
bisa dianalisis pada ruang perkotaan dimana hadir berbagai budaya lokal atau daerah yang
dibawa oleh setiap pendatang, namun ada budaya dominan yang berkembang yaitu misalnya
budaya lokal yang ada dikota atau tempat tersebut. Sedangkan kebudayaan nasional adalah
akumulasi dari budaya-budaya daerah.
Definisi Jakobus itu seirama dengan pandangan Koentjaraningrat (2000). Koentjaraningrat
memandang budaya lokal terkait dengan istilah suku bangsa, dimana menurutnya, suku bangsa
sendiri adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan ’kesatuan
kebudayaan’. Dalam hal ini unsur bahasa adalah ciri khasnya.
2. Pandangan yang menyatakan bahwa budaya lokal adalah merupakan bagian dari sebuah skema
dari tingkatan budaya (hierakis bukan berdasarkan baik dan buruk), dikemukakan oleh
antropolog terkemuka di Indonesia yang beretnis Sunda, Judistira K. Garna.
Menurut Judistira (2008:141), kebudayaan lokal adalah melengkapi kebudayaan regional, dan
kebudayaan regional adalah bagian-bagian yang hakiki dalam bentukan kebudayaan nasional.
Lebih lanjut, mengenai budaya lokal dan budaya nasional, Judistira mengatakan bahwa dalam
pembentukannya, kebudayaan nasional memberikan peluang terhadap budaya lokal untuk
mengisinya. Adapun definisi budaya nasional yang mempunyai keterkaitan dengan budaya lokal
adalah sebagai berikut:
1. Kebudayaan kebangsaan (kebudayaan nasional) berlandaskan kepada puncak-
puncak kebudayaan daerah,
2. Kebudayaan kebangsaan ialah gabungan kebudayaan daerah dan unsur-unsur
kebudayaan asing,
3. Kebudayaan kebangsaan menurut rekayasa pendukung kebudayaan dominan
melalui kekuasaan politik dan ekonomi: dan
4. Kebudayaan kebangsaan dibentuk dari unsur-unsur kebudayaan asing yang
modern dalam mengisi kekosongan dan ketidaksepakatan dari berbagai
kebudayaan daerah (Judistira, 2008:41)
Pembatasan atau perbedaan antara budaya nasional dan budaya lokal atau budaya daerah
diatas menjadi sebuah penegasan untuk memilah mana yang disebut budaya nasional dan budaya
lokal baik dalam konteks ruang, waktu maupun masyarakat penganutnya.
Dalam pengertian yang luas, Judistira (2008:113) mengatakan bahwa kebudayaan daerah bukan
hanya terungkap dari bentuk dan pernyataan rasa keindahan melalui kesenian belaka; tetapi
termasuk segala bentuk, dan cara-cara berperilaku, bertindak, serta pola pikiran yang berada jauh
dibelakang apa yang tampak tersebut.
Wilayah administratif tertentu, menurut Judistira bisa merupakan wilayah budaya daerah, atau
wilayah budaya daerah itu meliputi beberapa wilayah administratif, ataupun disuatu wilayah
admisnistratif akan terdiri dari bagian-bagian satu budaya daerah.
Wilayah administratif atau demografi pada dasarnya menjadi batasan dari budaya lokal dalam
definisinya, namun pada perkembangannya dewasa ini, dimana arus urbanisasi dan atau
persebaran penduduk yang cenderung tidak merata, menjadi sebuah persoalan yang mengikis
definisi tersebut.
Dalam pengertian budaya lokal atau daerah yang ditinjau dalam faktor demografi dengan
polemik di dalamnya, Kuntowijoyo memandang bahwa wilayah administratif antara desa dan
kota menjadi kajian tersendiri. Dimana menurutnya, kota yang umumnya menjadi sentral dari
bercampurnya berbagai kelompok masyarakat baik lokal maupun pendatang menjadi lokasi yang
sulit didefinisikan. Sedangkan di wilayah desa, sangat memungkinkan untuk dilakukan
pengidentifikasian.
3. Dikota-kota dan di lapisan atas masyarakat sudah ada yang kebudayaan nasional, sedangkan
kebudayaan daerah dan tradisional menjadi semakin kuat bila semakin jauh dari pusat kota.
Sekalipun inisiatif dan kreatifitas kebudayaan daerah dan tradisional jatuh ke tangan orang kota,
sense of belonging orang desa terhadap tradisi jauh lebih besar. (Kuntowijoyo,2006:42)
Dalam pengkritisan definisi yang berdasarkan pada konteks demografi ini, Irwan Abdullah
memberikan pandangannya :
Etnis selain merupakan konstruksi biologis juga merupakan konstruksi sosial dan budaya yang
mendapatkan artinya dalam serangkaian interaksi sosial budaya. Berbagai etnis yang terdapat
diberbagai tempat tidak lagi berada dalam batas-batas fisik (physical boundaries) yang tegas
karena keberadaan etnis tersebut telah bercampur dengan etnis-etnis lain yang antar mereka telah
membagi wilayah secara saling bersinggungan atau bahkan berhimpitan. (Abdullah, 2006:86)
Walaupun adanya interaksi antara budaya pendatang dan masyarakat lokal, pada hakekatnya
definisi budaya lokal berdasarkan konteks wilayah atau demografis pada hakekatnya tetap masih
relevan walaupun tidak sekuat definisi pada konteks suku bangsa. Hal ini seperti yang dikatakan
Irwan Abdullah selanjutnya :
Keberadaan suatu etnis disuatu tempat memiliki sejarahnya secara tersendiri, khususnya
menyangkut status yang dimiliki suatu etnis dalam hubungannya dengan etnis lain. Sebagai suatu
etnis yang merupakan kelompok etnis pendatang dan berinteraksi dengan etnis asal yang terdapat
disuatu tempat, maka secara alami akan menempatkan pendatang pada posisi yang relatif lemah.
(Abdullah, 2006:84)
Merujuk pada beberapa pandangan sejumlah pakar budaya dan atau antropolog diatas, maka
penulis menyimpulkan bahwa budaya lokal dalam definisinya didasari oleh dua faktor utama
yakni faktor suku bangsa yang menganutnya dan yang kedua adalah faktor demografis atau
wilayah administratif.
Namun, melihat adanya polemik pada faktor demografis seiring dengan persebaran penduduk,
maka penulis akan lebih menekankan definisi budaya lokal sebagai budaya yang dianut suku
bangsa, misalnya Budaya Sunda (budaya lokal) adalah budaya yang dianut oleh Suku Bangsa
Sunda, hal ini bisa ditentukan oleh minimal bahasa yang digunakan.
Deni Andriana
Sumber Pustaka :
Abdullah, Prof. Dr Irwan. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Garna, Judistira K. 2008. Budaya Sunda : Melintasi Waktu Menantang Masa Depan.
Bandung : Lemlit Unpad.
Kuntowijoyo. 2006. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta : Tiara Wacana.
Ranjabar, Jacobus. 2006. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Bogor :Ghalia Indonesia.
4. (Artikel atau tulisan ini adalah bagian dari kajian atau makalah penelitian saya yang berjudul
“Radio Komunitas dalam Pelestarian Budaya Lokal” - Studi Kasus Terhadap Upaya
Pelestarian Budaya Lokal yang Dilakukan Oleh Radio Komunitas Pass FM, Kec. Katapang
Kabupaten Bandung)