Teks ini membahas tentang pentingnya memilih pemimpin yang bertakwa kepada Allah SWT dan berlandaskan syariat Islam. Teks menjelaskan bahaya pemimpin yang bodoh dan hanya mengandalkan kekuatan materi tanpa akhlak mulia. Idealnya pemimpin sejati adalah yang mampu menggabungkan kepentingan dunia dan akhirat dengan menerapkan syariat Islam dalam kepemimpinan negara. Sayangnya saat ini terpisah antara kepemimpinan
1. CARILAH PEMIMPIN BERTAQWA
Oleh H.Mas’oed Abidin
Rasulullah saw telah mengingatkan di dalam sabda beliau tentang akan
munculnya sikap ruwaibidhah, yaitu tampilnya orang orang bodoh memimpin
umat yang hanya memimpin dengan mengandalkan kekuatan materi dan citra
kebendaan atau high tech semata, dan mengabaikan sentuhan moral akhlak
mulai. Sabda Rasul menyebutkan, “Akan datang kepada manusia pada tahuntahun yg penuh dengan penipuan. Saat itu pendusta dibenarkan, sedangkan
orang jujur malah didustakan; pengkhianat dipercaya, sedangkan orang yg
amanah justru dianggap pengkhianat. Pada saat itu yang akan tampil berbicara
adalah Ruwaibidhah .” Ada yg bertanya kepada Rasulullah saw, “Apa yg
dimaksud Ruwaibidhah?” Beliau menjawab, “Orang bodoh yg turut campur dalam
urusan masyarakat luas.” (HR Ibnu Majah).
Di mana-mana sinyalemen Rasulullah SAW itu sudah mulai terjadi. Banyak
orang bodoh yg memimpin umat. Mereka bodoh karena menerapkan aturan yg
bodoh (jahiliyah) yang bertumpu kepada kekuatan materi dan mengandalkan high
tech saja. Mereka bodoh karena sudah mengerti bahwa system liberal yang
menerapkan kebebasan tanpa arah akan membawa kepada kehancuran. Mereka
bodoh karena tidak mau tunduk pada kebenaran ajaran agama wahyu dan
berpandangan secular dalam menerapkan ketentuan ketentuan agama samawi.
Mereka bodoh karena mereka adalah umat Islam tetapi tidak mau melaksanakan
ajaran Islam. Mereka bodoh karena tidak lagi mempunyai rasa malu. Sabda
Rasulullah SAW, “Malu itu perhiasan, takwa kemuliaan, kendaraan yang
paling baik kesabaran, menanti kelapangan dari Allah adalah ibadat”.
(HR. Hakim dari Jabir).
Selain bodoh, banyak pula di antara pemimpin yang terbukti berperilaku
penuh kepura-puraan dan cenderung menipu. Mereka selalu mengajak rakyat
agar selalu berbuat baik, jujur dan ikhlas. Namun sebaliknya, mereka pula yang
berperilaku khianat, ingkar janji, pendendam, hasad dan dengki serta melakukan
perbuatan tercela. Semua kepurapuraan itu, niscaya akan berakibat memiskinkan
dan menambah derita rakyat. Karena itu Rasulullah SAW mengingatkan semua
orang agar, “Apa yang tidak engkau suka di lihat orang banyak, jangan
diperbuat pada dirimu, walau engkau sendirian. (HR. Ibnu Hibban dari
Usamah bin Syuraik).
Dalam sistem demokrasi yg berasaskan sekularisme, persoalan agama bukan
persoalan yang semestinya di urus atau dipikirkan oleh pemerintah akan tetapi
dianggap persoalan pribadi. Dalam sistem seperti ini, syarat-syarat agama tidak
pernah dianggap penting, bahkan tidak akan pernah menjadi ukuran. Masalah
moral semata-mata menjadi urusan masyarakat. Padahal moralitas seakan
finishing touch yang amat berperan di dalam membentuk masyarakat yang maju.
Sayyidatina ‘Aisyah RA menyebutkan, “Budi pekerti yang baik itu sepuluh, di
1
2. bagikan oleh Allah kepada siapa yang di kehendaki-Nya memperoleh
kebahagiaan, yaitu: benar pembicaraan, teguh hati, memberi kepada
yang meminta, membalas jasa dengan perbuatan baik, memelihara
amanah, menjaga silaturahim, menjaga kehormatan tetangga, menjaga
kehormatan sejawat dan memuliakan tamu. Yang menjadi puncaknya
ialah perasaan malu. (HR.Hakim dari Siti ‘Aisyah RA.).
Imam al-Ghazali menyatakan, “Dulu di antara tradisi para ulama adalah
mengoreksi dan menjaga penguasa untuk menerapkan hukum Allah SWT. Mereka
mengikhlaskan niat. Pernyataannya pun membekas di hati. Namun, sekarang
terdapat penguasa zalim, namun para ulama hanya diam. Andaikan mereka
bicara, pernyataannya berbeda dengan perbuatannya sehingga tidak mencapai
keberhasilan. Kerusakan masyarakat itu akibat kerusakan penguasa dan
kerusakan penguasa akibat kerusakan ulama. Adapun kerusakan ulama akibat
mereka digenggam cinta harta dan jabatan. Siapapun yg digenggam cinta dunia
niscaya tidak akan mampu menguasai kerikilnya, apalagi untuk mengingatkan
para penguasa dan para pembesar.” (Al-Ghazali, Ihya`Ulumiddin, VII/92)
Bahkan Rasulullah saw. Pernah bersabda, “Siapa saja yg berdoa untuk orang zalim
agar tetap berkuasa, berarti dia menyukai orang itu bermaksiat kepada Allah SWT
di bumi-Nya.” (HR al Baihaqi).
Idealnya Pemimpin Sejati itu adalah pemimpin umat dan adalah juga pemimpin
umat. Dia sanggup menjadi imam di masjid sekaligus imam dalam urusan politik
sebagaimana Khulafaur Rasyidin dulu. Dengan itu keputusan-keputusan politik
sang pemimpin selalu dilandasi syariah agama Islam dan demi kepentingan umat.
Mereka mampu menggabungkan kepentingan dunia untuk pencapaian akhirat,
menyatukan high touch kedalam high tech atau mewarnai high tech dengan
sentuhan akhlak mulia (high touch). Nabi Muhammad SAW menggambarkan
sosok pemimpin yang memiliki karakter yang baik, diantaranya, “Ucapkan
perkataan baik, hidupkan ucapan salam, hubungkan silaturahim dan
shalatlah di waktu malam ketika orang banyak sedang tidur, sesudah itu
bersiaplah memasuki sorga dengan selamat. (HR.Ibnu Hibban dari Abu
Hurairah)
Sayangnya, di masa ini Kepemimpinan Umat dan Kepemimpinan Negara itu
terpisah. Kepemimpinan umat Islam sesungguhnya meghendaki pelaksanaan
ketentuan syariah Islam, dengan penerapan iman dan akhlak yang mulia.
“Sesempurna iman (akmalul mukminin imanan) seseorang adalah yang paling
sempurna moralitasnya (ahsanuhum khuluqan)” (HR. Thabarany dan Abu Nu’aim).
Namun, kepemimpinan Negara secular saat ini justru tidak menghendaki syariah
islam. Mereka cenderung pragmatis-kapitalistik. Akibatnya, umat selalu
dipinggirkan. Akhirnya nestapalah nasib rakyat. Di sinilah pentingnya umat ini
mengusung kepemimpinan yg mensyaratkan dua hal: kebaikan sosok pemimpin
yg tentu saja adalah yg bertakwa kepada Allah SWT dan kebaikan system
kepemimpinan yang mendasarkan kepada ketentuan syariah (aturan) agama
2
3. Allah. Kepemipinan yg bertakwa dan berlandaskan syariah Islam pasti akan
membukakan pintu keberkahan Allah SWT dari langit dan bumi (QS al-A’raf [7]:
96). Sebaliknya, jika mereka menyimpang dari aturan Allah SWT, mereka pasti
akan ditimpa kesempitan hidup (QS Thaha [20]: 123-126).
Pemimpin yg bertakwa tentu harus berkepribadian islami(imamul muttaqin) yg
jauh dari sifat-sifat amoral. Tindakan amoral tidak hanya terbatas tindakan
pornoaksi dan tindakan maksiat saja, tetapi juga menipu dan mengkhianati
rakyat, korupsi, nepotisme, penggadai sumber daya alam milik rakyat, perusak
hutan, dll.
Dalam system Islam, pemimpin yg bertakwa akan menjadi benteng (junnah)
bagi seluruh rakyat yg dipimpinnya. Dia akan mengurusi urusan rakyat (ri’ayah)
dengan penuh amanah dan berlandaskan syara’ mangato adaik mamakaikan.
Dengan cara itu, terwujudnya kesejahteraan rakyat, terjaganya harta serta jiwa
dan kehormatan rakyat menjadi terlindungi. Wallahu a’lam bis ash-hawab.
3