Utsman bin Affan diakui sebagai sosok sufi oleh kaum Ahlussunnah karena keuletan dalam ibadah, ketakutan akan siksaan Tuhan, dan kesabaran luar biasa saat dia dibunuh secara zalim. Peristiwa kematiannya menginspirasi sifat sufi Al-Hallaj yang tidak merintih saat disiksa meski anggota tubuhnya dipotong. Kedua tokoh ini memiliki cinta kepada Allah yang begitu kuat sehingga tid
1. Nilai2 kesufian pada masa sahabat
Utsman bin affan,sepintas agak aneh memasukkan utsman bin affan ini sebagai salah seorang figur
sufi,di tengah2 kontroversi mengenai pola hidupnya. Akan tetapi,menurut al-ashfahaniy, kamu sufi
ahlussunnah telah mengakuinya. Mereka berkata mengenai dirinya: “tokoh ketiga,yang ahli
ibadah,pemilik dua cahaya,yang takut akan siksa,pemilik dua hijrah,yang sholat menghadap dua
kiblat,sebagian besar ahwalnya adalah al sakaha’ dan al ahya’,khauf dan raja’,di siang hari berpuasa,di
malam hari beribadah,digembirakan dengan ujian dan dilimpahi nikmat. Ia memiliki dua hal yang tidak
di miliki oleh abu bakar dan umar, yaitu kesabaran yang luar biasa,sehingga ia terbunuh secara dzalim
dan pengintegrasi umat ke dalam satu mushhaf”.
Di samping itu,dikemudian hari kaum sufi menganggapnya sebagai sosok yang berhak atas maqam
tertinggi ahli hakekat. Hal ini di tujukan oleh suatu riwayat yang menunjukan bahwa pada hari ia di
bunuh,ia tidak beranjak dari tempatnya,tidak mengijinkan seseorang pun untuk berperang (balas
dendam) dan tidak meletakkan mushhaf dari pangkuanya.darahnya pun mengalir membasahi mushhaf
dan tepat mengenai ayat:”maka allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan dialah yang maha
mendengar lagi maha mengetahui”.peristiwa ini kemudian berulang pada diri al-hallaj,sufi syahid
pertama,yang dibunuh oleh fuqaha’dan pejabat2 pemerintah pada tahun 309 h di kisahkan bahwa di
tengah2 siksaan atas dirinya,ia tidak merintih dan tidak berubah mimiknya ketika mereka memotong
kedua tangan dan kakinya.hanya ungkapan “ahad,ahad” yang keluar dari mulutnya, tidak lebih. Tidak
meragukan lagi, bahwa cinta kepada allah dan iman akan keessaan-Nya telah meniggalkan kesan
psikologis yang mendalam pada kedua tokoh ini, sehingga tidak merasakan sakit karena kuatnya fana’ fi
allah pada diri keduanya.