Cerita ini menceritakan pertengkaran antara seorang penulis, tokoh ciptaannya yaitu seorang pengamen, dan inspirasi sang penulis yaitu Mang Inspirasi. Mereka bertengkar karena berbeda pendapat dalam menentukan kata kunci untuk cerita, antara "khayalan" dan "obsesi". Pertengkaran ini mengganggu Mbah Jingan dan sang hati. Cerita berakhir dengan pesan untuk saling menghargai dan mengapresiasi hasil kerja
1. Isi Batok Kepala Bertengkar
Cerpen Karangan: Andriyana
Seorang pengamen duduk di sisi trotoar perumahan sejenak melepas lelah setelah berteriak
‘menyanyi’ mencari selogam dua logam rupiah. Dipeluknya gitar dengan kedua lengannya,
sebatang korek api terselip di sudut mulutnya. Matanya mendongak ke langit menatap terik,
sejenak lalu dia membuang tatapan dan mukanya ke hamparan jalan. Dia tercenung …
Syair dan lirik lagu-lagu yang aku nyanyikan bukanlah syair dan lirik sembarangan. Ia kucipta dari
khayalan …
Sesaat sang penulis berhenti menuliskan kata … mencari kata yang pas. Khayalan … obsesi …
khayalan … obsesi … khayalan … obsesi …
“Khayalan, Bos, khayalan lebih pas untuk topik juga alur cerita ini.” kata sang pengamen.
“Eh … eh, kamu diam saja ya, jangan ikut-ikutan kasih saran. Bagaimana watakmu, gambaran
dirimu, pokoknya, ‘semua’-mu, aku yang pastiin, sebab aku penulisnya.” tandas sang penulis
menolak saran dari sang tokoh ‘sang pengamen’.
“Lho? Kenapa nggak boleh aku kasih saran, Bos? Tokoh pengamen itu nggak layak berobsesi
meski untuk karya syair-lirik lagu-lagunya. Toh itu lirik cuma keluar dari mulut pengamen dan
dihargai selogam dua logam rupiah doang, kok,” kata sang pengamen berargumen, “bahkan
obsesi untuk syair-liriknya sekadar dihargai, diapresiasi, juga adalah khayalan.”
“Diaaaam! Jangan gunakan kata ‘aku’! Kata ‘aku’ itu adalah hak ke-egoanku sebagai pencipta
kamu! Kamu tokoh ciptaanku! Kalau aku mau, kamu punya obsesi dalam cerita ini, apa kamu bisa
menolak? Jawab!” Tinggi nada sang penulis berkata, membantah ucapan konyol sang pengamen.
Dan, dari kejauhan ufuk imajinasi, melesat Mang Inspirasi datang demi mendengar pertengkaran
mereka berdua. Sepandang sekerlingan ia memperhatikan wajah dua sosok yang sedang berbeda
ego itu.
“Ada apa sih ribut-ribut? Suara kalian berdua itu terdengar hingga ke pelosok imajinasi. Aku
sedang asyik mancing dengan kail mencari ikan jadi terganggu akibat perdebatan kalian berdua.
Ada apa ini?” Ucapan Mang Inspirasi bernada sedikit emosi bercampur harapan dapat
menyelesaikan perdebatan mereka berdua. Tujuannya, supaya ikan-ikan yang sedang
dipancingnya mau memakan umpannya dan tak terganggu. Sebab ikan-ikan itu tak betah dengan
2. kegaduhan. Jika gaduh, mereka enggan makan dan lebih memilih berlindung di balik kesunyian
lumpur sungai.
“Aku penulis, berhak menentukan tokoh cerita.”
“Hei, meski aku tokoh ciptaanmu, aku juga boleh dong kasih saran terbaik buat kamu. Khayalan
lebih masuk akal daripada obsesi untuk watak dan penokohan karakter aku ‘sang pengamen’.”
“Kamu tuli ya? Sudah aku bilang, ‘aku’ itu hanya untuk aku, … bukan kamu! Dengar itu …”
“Sudah, sudah, sudah! Tak usah diperpanjang. Kalian berdua harusnya bisa saling berdiskusi dan
tidak bertengkar, berdebat seperti ini.” kata Mang Inspirasi, berusaha menengahi.
“Bagaimana aku tidak emosi, aku penulisnya, dia tokoh ciptaanku. Dia harusnya yang menurut
apa kata inspirasiku.”
Mendengar itu, Mang Inspirasi tersenyum, dan berkata, “Hei, sang penulis, tidak sadarkah kamu
dengan ucapanmu? Aku-lah inspirasi … Mang Inspirasi.”
Sang pengamen tertawa-tawa sambil menutup mulutnya setelah mendengar ucapan bodoh sang
penulis. Dasar tukang khayal …
“Ya, Mang memang benar inspirasi. Tapppiii … jangan sekali-kali mengatakan: ‘aku’ di hadapan
aku. Sebab kata ‘aku’ hanyalah untuk aku, sang penulis.”
“Ckckckck, kamu begitu egois sekali dengan kepemilikan satu kata itu. Kamu nggak sadar ya,
‘aku’-mu itu nggak ada apa-apanya, nggak bakal ada artinya tanpa aku, tahu!.” Terpancing emosi
Mang Inspirasi, melepas kail pancingannya dan melangkah mendekati sosok sang penulis.
“Stop!” Mbah Jingan berkata tegas, “Tidak perlu beradu lengan untuk hal sepele tentang ‘aku
penulis’, ‘aku pengamen’, ‘aku inspirasi’.” (Siapa Mbah Jingan? Baca ini:
rbdungaran.blogspot.com/2016/05/mey-mey-oh-mey-mey.html)
Ketiganya lalu terdiam. Mang Inspirasi mengurungkan niat dan lengannya berantuk dengan tulang
wajah sang penulis penuh “keakuan” konyol.
Seketika itu pula, … sang batok kepala berteriak keras, keras sekali. “Tak bisakah kalian berhenti
membuat pening, bikin hati bening menjadi pengeng?” lalu berkata lagi, “kadang aku lelah terisi
oleh kalian semua! Akurlah, cingcay, 86 atau apalah istilahnya.”
3. Sang hati yang mulai genting hampir pecah pula mendengar kegaduhan di dalam sang batok
kepala. Ia ikut ambil bagian dan mengambil bagiannya dengan urun kata, “Ya, begitulah kalian …
begitulah kalian. Hanya untuk dua kata saja, kalian bisa sampai berjam-jam, berhari-hari,
berminggu bahkan berbulan-bulan untuk menentukan mana kata yang paling pas untuk satu
cerita.”
Ibrah: Hargailah, apresiasilah hasil keakuran “mereka” yang sering “bertengkar” di dalam batok
kepalanya.