Cerita rakyat dari Kluang, Sumatera Selatan menceritakan tentang empat bersaudara dari suku Atapukan yang menolong warga desa Boto yang dikepung musuh dengan meminta bala bantuan. Mereka membawa sebuah gong yang kemudian disembunyikan namun tidak dapat ditemukan kembali setelah perang berakhir.
1. FATO GONG
Cerita Rakyat Kluang/Boto, Yang Hampir Tak Diingat Lagi
(Untold Folklore)
Dahulu kala, diceriterakan oleh penutur cerita, bahwa
setelah terjadi bencana tsunami yang menenggelamkan
pulau Awalolong, orang-orang yang luput dari bencana
alam tersebut, terpencar-pencar terdampar dan kemudian
menetap di berbagai daerah pantai daratan pulau
Lomblen. Ada banyak pula orang yang karena takut terjadi
FATO
bencana susulan di sepanjang pantai pulau Lomblen, langsung menerobos hutan melintasi
padang rumput mencari tempat ketinggian, jauh memasuki pedalaman pulau.Mereka yang
disebut belakangan ini yang kemudian dikenal atau menyebu diri sebagai penduduk asli.
Ada seorang lelaki yang menjadi cikal bakal suku Atapukan (Mudaj Pukan dan Klibang Pukan)
di desa Belabaja dan Labalimut sekarang, menurut ceritera, diluputkan oleh seekor buaya, dan
didaratkan buaya tersebut di daratan pantai Gogu Waibajar, sebelah barat laut Nagawutung,
dalam wilayah Kecamatan Nubatukan. Dia kemudian menyusuri tepian pantai dan berhenti lalu
kemudian memilih menetap di daerah dataran Riangdua sekarang ini. Diceritakan bahwa
kemudian dia mengawini seorang perempuan, anak tuan tanah setempat di daerah Lewokuma,
dan kemudian beranak pinak di situ.
Puluhan tahun setelah itu, salah seorang anak perempuan turunannya bernama uto Nepa,
diambil sebagai istri oleh seorang pemuda Baololong (Baon sekarang) bernama Laba Laparen.
dari kampung Boto, lalu di bawah ke Boto. Sementara saudara-saudaranya yang lain menetap
dan beranak cucu di Riangdua. Pada.waktu itu situasi kehidupan jauh dari rasa aman. Ada
permusuhan antara antar kampung dan wilayah, saling memerangi, saling menjaga, karena
situasi permusuhan yang terjadi antara Paji dan Demong, juga adanya binatang binatang buas,
terutama celeng, dan buaya..
Pada suatu waktu terjadi perang di daerah pegunungan, belasan kilometer ke arah selatan dari
Riangdua dimana orang dari Fafrota, Lamalojo, Fujokebingi (daerah desa Udak Lewuka, dan
Atadei sekarang) mengepung daerah Boto, dengan menduduki mata-mata air utama dan
kebun-kebun, sehingga orang Boto tidak bisa keluar rumah, apalagi keluar kampung, bahkan
untuk mengambil air minum sekalipun. Diceritakan pula bahwa semua orang bahkan
membentengi rumahnya, dan hanya membuat lubang-lubang kecil untuk membuang keluar
kotoran, baik feses maupun urine, juga menjadi tempat penghni rumah mengarakna anak
2. panahnya keluar. Namun, lubang tersebut juga sering berbalik menjadi tempat musuh
mengarahkan anak panahnya untuk memanah penghuni rumah dari luar rumah.
Dalam keadaan terkepung, semakin hari mereka semakin kesulitan air dan bahan makanan.
Belum juga ditemukan jalan keluarnya. Saat itu, ibu Uto Nepa, turunan Atapukan yang kawin di
suku Baololong, meminta para tetua kampong untuk mencari jalan menyelinap ke Riangdua
untuk mendatangkan bala bantuan dari saudara-saudaranya di Riangdua yang terkenal sebagai
orang-orang perang. Usul disetujui, dan melalui sebuah upacara adat, utusan dikirim dan
berhasil menemui orang-orang di Riang dua. Permintaan itu disanggupi, dan mereka
mempersiapkan permintaan bantuan dan bersama-sama berangkat men segala sesuatunya,
untuk bersama utusan dari Boto berangkat menuju Boto.
Sebelum berangkat, mereka melakukan ritual adat baololong, memberi makan leluhur dan
meminta petunjuk. Dalam upacara itu, kepada pemimpin suku arwah leluhur meminta supaya
hanya cukup empat orang yang pergi, dan supaya mereka menghindari sejauh mungkin
pertumpahan darah yang tidak perlu. Namun apabila musuh itu ternyata terlalu banyak
jumlahnya, keempat orang itu diberi kekuasaan untuk mengerahkan pasukan bantuan dengan
cara: mengetuk bebatuan besar, dan/atau rumpun bambu liar (aur) dengan punggung parang
sambil mengatakan: : “Leluhur kami dalam tanah di Awalolong, didasar laut, maupun yang ada
di bawah tanah di Riangdua ini, kami mau pergi mengintai dan berburu. Beri kami pasukan”.
Maka seketika itu juga akan muncul ratusan orang-orang berbadan besar, tinggi, sangar dan
menyeramkan lengkap dengan peralatan perangnya dari dalam bebatuan dan pasukan yang
berkulit mulus, langsing, tinggi dan ganteng dari dalam rumpun bambu, yang akan membantu
mereka.
Juga dalam penglihatan itu, leluhur meminta ke empat orang itu membawa satu buah gong.
Gong itu hanya boleh dipalu, apabila keadaan sudah sangat gawat, dimana pasukan yang
dibawa menderita kekalahan. Tetua pemimpin upacara menanyakan apa yang terjadi kalau
gong dipalu. Arwah leluhur hanya mengatakan: “Saya tidak akan memberitahukan kamu secara
rinci. Yang pasti adalah bahwa dengan kalau gong dipalu, seluruh pasukan musuh akan
mengalami sakit kepala seperti pecah rasanya, dan saling membentak, memukul, menyerang,
dan memotong. Mereka tidak lagi mengenal musuhnya yang sebenarnya. Namun, dia akan
meminta imbalan yang bisa saja tidak mampu dipenuhi oleh pemilik dan penabuh gong.
Mungkin saja akan diminta korban jiwa orang-orang tertentu dari suku pemilik gong tersebut”.
Mendengar petunjuk itu, tetua pemimpin upacara menanyakan saudara-saudaranya,apakah
gong itu bisa dibawa serta atau tidak. Saudara-saudaranya menjawab bahwa gong itu mesti
dibawa serta , karena mereka sendiri belum mengetahui jelas keadaan nyata di medan.
3. Akhirnya gong itu dibawa serta. Namun untuk menjaga segala kemungkinan, jangan sampai
gong dipalu tidak dengan sengaja, apalagi mereka harus menembus hutan belantara, maka
yang tertua yang akan berangkat yaitu Ike menyatakan dia yang akan membawa sendiri dan
menjaga gong itu. Gong itu kemudian dibungkus dalam sebuah kantong yang terbuat dari kulit
kerbau kering yang keras, dijahit pinggirnya dengan rotan.
Pada hari yang ditentukan, berangkatlah 3 orang bersaudara: Ike, Bako dan Narek, serta
seorang pembantunya, Useng ke Boto.
Mendekati tempat orang-orang Boto, kluang, Belabaja terkepung, ke empat utusan ini
memutuskan untuk tidak akan menyelinap masuk kampong. Dengan kelihaian strateginya,
ketiga bersaudara memutuskan terlebih dahulu mengintai tempat tinggal musuh untuk
mengetahui dimana persisnya tempat pondokannya, dimana korkenya, dimana tempat tinggal
kepala perang masing-masing pasukan. Kurir penjemput disuruh memasuki kampungnya, dan
hanya menyampaikan kepada tetua kampong dan masyarakat bahwa pasukan bantuan, akan
segera menyusul.
Setelah mengetahui posisi medan tempat musuh memondok, pada suatu subuh. Ketiganya
menyelinap kea rah pohon aren (enau) yang biasanya disadap kepala perang untuk mendapat
tuak. Mereka masing-masing menjaga di bahwa sebatang pohon aren sadapan, sementara
pembantunya Useng, ditinggalkan di suatu tempat, menjaga barang bawaan dan kelengkapan
perang lainnya, termasuk gong. Ketika dua orang kepala perang pagi-pagi datang untuk
menyadap pohon arennya, mereka muncul diam-diam dan tanpa diketahui, memenggal kepala
pemimpin perang tersebut. Lalu mereka naik ke atas bukit dan berteriak: “Hai orang Fafrota,
Lamalojo, fujokebingi, dimana kepala perangmu?”, sambil mengangkat tiggi-tinggi kepala
pemimpin perang yang telah dipenggalnya. Mengetahui kepala perangnya mati dengan kepala
terpenggal, tercerai berailah para musuh dan lari menyelamatkan diri. Pada saat itu juga, kurir
utusan yang tahu bahwa pasukan bantuan sudah menyebabkan pasukan musuh tercerai berai
menyampaikan kepada tetua kampung dan masyarakat bahwa Pasukan bantuan telah
membunuh kepala perang. Tetua kampung lalu berteriak menyemangati laki-laki kampung
untuk keluar, mengejar dan menghalau musuh yang lari kocar-kacir ketakutan itu.
Setelah musuh meninggalkan tempat itu, para pendekar Atapukan dan pembantunya
memasuki kampung, disambut oleh orang Boto dengan sorak-sorai yang membahana. Orang
Boto mengadakan pesta meriah tujuh hari tujuh malam lamanya. Beberapa ekor kerbau,
kambing dan babi dipotong dalam keramaian tersebut. Gong gendang mengiringi aneka tarian
memeriahkan pesta tersebut.
4. Selama keramaian itu, Ike menitipkan gong yang ada dalam bungkusan kulit kerbau kepada
pembantunya Useng untuk dijaga, karena mereka dijamu pesta dan minuman tuak sampai
mabuk-mabuk.
Selama menjaga gong itu, tiap malam Useng bermimpi didatangi orang yang bernada
mengancan, menyuruhnya memukul gong itu, untuk turut meramaikan pesta. Kata orang itu,
gong itu memiliki bunyi paling merdu dibandingkan gong di Kampung Boto itu. Pada malam
ketiga Useng terpancing untuk mengeluarkan gong itu dan memukulnya bersama gong-gong
lain di desa itu. Namun ia masih mengendalikan diri, untuk meminta ijin dari Ike. Namun hari
itupun tak sempat, dan dalam tidur malamnya, kembali Useng didatangi dan didesak untuk
segera mengeluarkan gong itu dan memukulnya.
Di saat bersamaan, Ike yang terlalu banyak minum tuak, tidak bisa menahan kantuknya dan
tertidur di tempat duduk pesta. Dalam tidurnya, arwah leluhur mendatanginya dalam mimpi dan
memerintahkan Ike untuk mengambil gong dari Useng dan menyembunyikannya. Segera
setelah terjaga, Ike teringat mimpinya dan segera ke tempat Useng tidur dan bermaksud
mengambil gong tersebut. Sesampainya di sana, didapatinya Useng, dalam keadaan seperti
bermimpi, berguling memeluk gong itu sambil meronta-ronta dan berteriak “tidak mau..tidak
mauuu”.
Ike langsung menyadari keadaan dan dengan paksa mengambil Gong tersebut yang
dipertahankan mati-matian oleh Useng. Karena kesal, dengan sekuat tenaga Ike menampar
Useng, yang akhirnya terbangun, penuh keringat. Ketika Ike bertanya mengapa dia bergulat
demikian, Useng menceritakan mimpinya bahwa orang yang mendatanginya berusaha
merampas gong untuk memukulnya di tempat pesta. Ike teringat pesan dalam mimpinya. Ia
mengambil gong dan keluar dalam kegelapan malam membawa gong tersebut ke luar
kampung.
Ia membawa gong itu keluar kampung, berjalan cukup jauh kearah selatan, tanpa tahu ke
tempat mana dia mengarah, dan dalam kegelapan di sebah lembah berair, ia menyembunyikan
gong itu dalam semak, ditutupi dengan tanah dan rumputan yang dicabut serampangan, untuk
kemudian akan diambilnya kembali dan dibawah pulang ke Riangdua.
Setelah pesta berakhir dan para pendekar Atapukan berniat berpamit kembali ke Riangdua,
seluruh rakyat Boto meminta mereka untuk tinggal bersama di Boto, dan jangan lagi kembali ke
Riangdua. Permintaan itu dapat disetujui, namun mereka harus kembali ke Riangdua untuk
memusyawarahkannya dengan anggota Atapukan lainnya, dan melakukan ritual adat
pelepasan daerah tinggal awal, apabila semua setuju untuk pindah.
5. Ketika akan kembali, Ike keluar untuk mengambil gong yang disembunyikannya, namun dia
tidak ingat lagi kearah mana dan dimana persisnya gong itu disembunyikannya. Berempat
bersaudara terus mencari sepanjang hari, namun idak menemukannya. Karena lama tidak bisa
menemukannya, mereka memutuskan kembali ke Riangdua dan berniat akan mencarinya nanti
kalau mereka benar-benar akan meninggalkan Riangdua dan pindah ke Boto.
Setelah mereka jadi akhirnya ke Boto, dan diberi tempat mendirikan perkampungan di kompleks
dusun Kluang, desa Belabaja sekarang ini, pencarian gong kembali dilakukan, dengan terlebih
dahulu melalui upacara adat. Namun petunjuk lewat upacara itu selalu berubah-ubah dan
menyesatkan. Akhirnya keluarga Atapukan memasrahkan lenyap hilangnya gong tersebut.
Puluhan atau ratusan tahun kemudian, setelah Ike dan saudara-saudaranya, anak-anaknya
sudah tidak ada lagi. pada suatu hari, seorang ibu turunan Ike, pagi-pagi melewati setapak jalan
yang biasa dilalui untuk mencari buah mangga hutan. Ibu itu ditemani seekor anjing. Sampai di
sebuah lembah yang berair, dimana tumbuh puluhan batang mangga hutan berbuah lebat,
anjing tersebut menggali tanah disisi jalan tersebut dengan kdua kaki depannya. Ibu itu
mengusir anjing itu, tetapi anjing itu terus saja menggali tanah dengan kukunya hingga mencuat
sebuah batu dari bawah tanah tersebut. Ibu itu mengambil sepotong kayu dan melempar anjing
itu, tetapi anjing terus saja menggali, bahkan menggeram hendak mengigit tuannya. Saking
marahnya sang ibu memungut sebuah batu besar untuk melempar anjing itu. Anjing itu
menghindar, dan batu itu mengenai ujung batu yang mencuat dari galian anjing tadi. Seketika
terdengarlah bunyi nyaring melengking seperti gong. Dan saat itu juga riuh gaduhlah seluruh
hutan dengan bunyi burung-burung, musang, kucing hutan, tupai, tokek, cecak, ayam hutan
yang semuanya terkejut karena bunyi gong tersebut, lalu terbang, meloncat atau lari
berhamburan menjauh, bahkan ramai memasuki kampong Boto. Oang-orang kampong panic
dan berlari ke rumah masing-masing ketakutan, jangan sampai ada bencana alam lagi.
Beberapa saat kemudian hutan dan kali itu menjadi demikian lengang menyeramkan. Merinding
ibu itu bergegas pulang dan tidak lagi menghiraukan anjingnya yang terus saja menggali.
Sesampai di rumah, si ibu mendapati kampong sunyi senyap, semua penghuninya mengurung
diri dalam rumah masing-masing. Seketika itu juga petir menyambar, Guntur mengetarkan
seluruh desa, dan hujan lebat seperti dicurahkan dari langit mengguyuri kampung itu, selama
tiga hari tiga malam. Orang-orang desa amat takut terlebih ketika mendengar debur banjir di kali
sebelah timur kampung. Belum pernah sepanjang sejarah orang Bototinggal disitu dialami banjir
sehebat itu.
6. Pada sore hari ketiga, para tetua suku sepakat melakukan upacara adat meminta maaf dan
memohon kepada leluhur untuk menjaga dan melindungi kampung. Hujan langsung berhenti
selepas upacara.
Selama tiga hari, ibu yang bersama anjingnya ke kebun itu merasa gelisah dan memutuskan
harus menceritakan penemuannya dan bunyi batu seperti gong di kali itu, karena dia sangat
yakin, peristiwa alam yang baru menimpa kampong mereka ada kaitan erat dengan perilaku
anjing yang menemukan batu berbunyi seperti gong tersebut. Si Ibu itu juga ingat kembali
bencana tenggelamnya pulau Awalolong juga karena ulah seekor anjing.
Akhirnya ibi itu mendatangi seorang tetua kampong dan menceritakan penemuannya tersebut.
Setelah banjir mereda, orang sekampung menuju ke kali di sebelah Timur perkampungan orang
Atapukan, dan menemukan bahwa tanah sekitar batu-batu tersebut telah habis terkikis banjir,
dan diantara batu-batu besar ada sebuah batu agak kecil yang diyakini ibu itu sebagai batu
yang berbunyi seperti gong. Kepala adat membuat pamitan dan sesajen dengan memotong
seekor ayam jantan merah dan darahnya direciki pada batu itu. Kemudian, dalam suasana
hening, mencekam dan sambil menahan nafas, seorang kepala adat mengambil sebuah batu
sebesar genggaman dan memukul batu itu. Seketika itu juga nyaring terdengar bunyi gong
keluar dari batu itu, dan kembali riuh gaduhlah hutan dan lembah berair itu. Pada pukulan
kedua kalinya, suasana makin lengang, dan pada pukulan ketiga, beterbanganlah burung-burung
kembali ke pohon-pohon sekitarnya tanpa gaduh.
Batu itu diyakini sebagai gong yang dahulu disembunyikan Ike dan tidak dapat ditemukan
kembali, yang kemudian tertimbun tanah dan berubah menjadi batu.
Orang Kluang Boto menamakan batu itu FATO GONG, yang artinya Batu Gong. Batu itu masih
ada sampai sekarang, dipinggir jalan rintisan sekitar 300 meter kearah Timur dari Kluang
kampung lama sampai sekarang.
**Puluhan tahun lalu, ketika penulis masih bersekolah di SRK Boto, pada musim hujan, sering mencari
buah mangga hutan yang jatuh karena angin atau sisa2 yang dimakan burung, kalong atau musang, dan
setelah terkumpul banyak, bersama teman-teman duduk di atas batu tersebut sambil memalunya
beramai-ramai. Bunyinya mirip bunyi gong yang dipalu**
7. Pada sore hari ketiga, para tetua suku sepakat melakukan upacara adat meminta maaf dan
memohon kepada leluhur untuk menjaga dan melindungi kampung. Hujan langsung berhenti
selepas upacara.
Selama tiga hari, ibu yang bersama anjingnya ke kebun itu merasa gelisah dan memutuskan
harus menceritakan penemuannya dan bunyi batu seperti gong di kali itu, karena dia sangat
yakin, peristiwa alam yang baru menimpa kampong mereka ada kaitan erat dengan perilaku
anjing yang menemukan batu berbunyi seperti gong tersebut. Si Ibu itu juga ingat kembali
bencana tenggelamnya pulau Awalolong juga karena ulah seekor anjing.
Akhirnya ibi itu mendatangi seorang tetua kampong dan menceritakan penemuannya tersebut.
Setelah banjir mereda, orang sekampung menuju ke kali di sebelah Timur perkampungan orang
Atapukan, dan menemukan bahwa tanah sekitar batu-batu tersebut telah habis terkikis banjir,
dan diantara batu-batu besar ada sebuah batu agak kecil yang diyakini ibu itu sebagai batu
yang berbunyi seperti gong. Kepala adat membuat pamitan dan sesajen dengan memotong
seekor ayam jantan merah dan darahnya direciki pada batu itu. Kemudian, dalam suasana
hening, mencekam dan sambil menahan nafas, seorang kepala adat mengambil sebuah batu
sebesar genggaman dan memukul batu itu. Seketika itu juga nyaring terdengar bunyi gong
keluar dari batu itu, dan kembali riuh gaduhlah hutan dan lembah berair itu. Pada pukulan
kedua kalinya, suasana makin lengang, dan pada pukulan ketiga, beterbanganlah burung-burung
kembali ke pohon-pohon sekitarnya tanpa gaduh.
Batu itu diyakini sebagai gong yang dahulu disembunyikan Ike dan tidak dapat ditemukan
kembali, yang kemudian tertimbun tanah dan berubah menjadi batu.
Orang Kluang Boto menamakan batu itu FATO GONG, yang artinya Batu Gong. Batu itu masih
ada sampai sekarang, dipinggir jalan rintisan sekitar 300 meter kearah Timur dari Kluang
kampung lama sampai sekarang.
**Puluhan tahun lalu, ketika penulis masih bersekolah di SRK Boto, pada musim hujan, sering mencari
buah mangga hutan yang jatuh karena angin atau sisa2 yang dimakan burung, kalong atau musang, dan
setelah terkumpul banyak, bersama teman-teman duduk di atas batu tersebut sambil memalunya
beramai-ramai. Bunyinya mirip bunyi gong yang dipalu**