1. ASUHAN KEPERAWATAN PENYAKIT
HIV / AIDS
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah KEPERAWATAN MEDIKAL
BEDAH
Di susun Oleh Kelompok 9
Eka Sri Wardani
Nina Erlina Yulianti
Riswan Herdiana
PROGRAM STUDI SI KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN DHARMA HUSADA
BANDUNG TAHUN 2023-2024
2. A. KONSEP PENYAKIT
1. DEFINISI
Human Immunideficiency Virus (HIV) ialah epidemi yang mengakibatkan infeksi
HIV, HIV dapat menyebabkan AIDS jika tidak diobati. Jika seseorang telah terinfeksi HI,
virus tersebut akan tinggal di dalam tubuh selamanya. HIV menyerang sistem kekebalan,
yaitu sel CD4 (sel T) yang membantu perangkat kekebalan melawan kontaminasi. Jika
tidak diobati, akan mengurangi kisaran sel CD4 (sel T) dalam tubuh dan akan
menyebabkan infeksi lain (Haryono, R. & Utami, 2018).
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah endemik yang merusak perangkat
kekebalan dengan bantuan menghancurkan sel darah putih penangkal infeksi tertentu.
Sementara itu, didapatkan Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah tingkat akhir dari
infeksi HIV (Ermawan, 2019).
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah infeksi yang menyerang sistem
kekebalan tubuh, khususnya sel darah putih, yaitu sel CD4. HIV menghancurkan sel CD4
tersebut, memperkuat kekebalan terhadap infeksi oportunistik, seperti tuberkulosis dan
infeksi jamur, infeksi berlebihan dan beberapa jenis kanker (WHO, 2021).
2. ETILOGI
Infeksi HIV adalah infeksi virus yang secara progresif menghancurkan sel-sel darah
putih infeksi oleh HIV biasanya berakibat pada kerusakan sistem kekebalan tubuh secara
progresif,menyebabkan terjadinya infeksi oportunistik dan kanker tertentu (terutama
pada orang dewasa) (Bararah dan Jauhar. 2013).
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu kumpulan kondisi klinis
tertentu yangmerupakan hasil akhir dari infeksi oleh HIV (Sylvia & Lorraine, 2012).
Penyebab penyakit HIV adalah organisasi retro virus yang sering dikatakan Human
Immunodeficiency Virus (HIV).
HIV pertama kali diamati pada tahun 1983 sebagai retrovirus dan dianggap sebagai
HIV-1. Pada tahun 1986, retrovirus baru lainnya ditemukan di Afrika, kemudian diberi
nama HIV-2. HIV- dikatakan sebagai virus yang jauh lebih sedikit patogen daripada
penggunaan HIV-1. Dalam upaya untuk membuatnya lebih mudah bagi mereka untuk
mengatakan HIV. Virus HIV merupakan bentuk virus yang mematikan jika penderitanya
tidak melakukan pengobatan.
Virus HIV yang sudah masuk ke dalam tubuh manusia akan meningkatkan dan
melumpuhkan alat kekebalan tubuh. Virus HIV menggunakan enzim transkripsi balik
untuk memprogram ulang kain genetik sel T4 yang terinfeksi untuk membentuk DNA
untai ganda. DNA di dalam kerangka manusia akan dimasukkan ke dalam nukleus T4
mobile sebagai provirus, kemudian akan timbul infeksi permanen. Enzim tersebut akan
membentuk T4 helper setl yang tidak dapat menangkap virus HIV sebagai antigen,
sehingga virus tidak dapat diidentifikasi dengan menggunakan sel T4 helper. Sementara
fitur sel T4 terganggu, mikroorganisme yang biasanya tidak menyebabkan gangguan
3. dapat menyebabkan infeksi serius. Ketika sel T4 berkurang, perangkat kekebalan seluler
semakin lemah. Hal ini dapat diamati melalui penurunan sifat sel B, makrofag, dan
penurunan sifat sel T helper (Haryono, R. & Utami, 2018).
3. MANIFESTASI KLINIS
Penderita yang terinfeksi HIV dapat dikelompokkan menjadi 4 golongan, yaitu:
a) Penderita asimtomatik tanpa gejala yang terjadi pada masa inkubasi yang
berlangsung antara 7 bulan sampai 7 tahun lamanya.
b) Persistent generalized lymphadenophaty (PGL) dengan gejala limfadenopati umum.
c) AIDS Related Complex (ARC) dengan gejala lelah, demam, dan gangguansistem
imun atau kekebalan.
d) Full Blown AIDS merupakan fase akhir AIDS dengan gejala klinis yang beratberupa
diare kronis, pneumonitis interstisial, hepatomegali, splenomegali, dankandidiasis oral
yang disebabkan oleh infeksi oportunistik dan neoplasia misalnya sarcoma kaposi.
Penderita akhirnya meninggal dunia akibatkomplikasi penyakit infeksi sekunder.
Tahapan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) :
a) Tahap infeksi akut
Dalam 2 sampai 6 minggu sesudah terinfeksi HIV, seseorang mungkin mengalami
penyakit mirip flu, yang bisa berlangsung selama beberapa minggu. Ini merupakan
respon alami tubuh terhadap infeksi. Setelah HIV menginfeksi sel target, yangg terjadi
adalah proses replikasi yang membentuk berjuta-juta virus baru (virion), terjadi
viremia yang memicu sindrom infeksi akut menggunakan gejala yang mirip sindrom
semacam flu gejala yang terjadi bisa berupa demam, nyeri menelan, pembengkakan
kelenjar getah bening, ruam, diare, nyeri otot, serta sendiatau batuk.
b) Tahap infeksi laten
Infeksi asimtomatik (tanpa gejala) biasanya berlangsung selama 8- 10 tahun.
Pembentukan respon imun spesifik HIV serta terperangkapnyavirus pada sel dendritik
folikuler pada sentra germinativum kelenjar limfe menyebabkan virion bisa
dikendalikan, tanda-tanda hilang danmulai memasuki fase laten. Meskipun di fase ini
virion pada plasma menurun, replikasi permanen terjadi di pada kelenjar limfe dan
jumlah limfosit T-CD4 perlahan menurun walaupun belum membagikan gejala
(asimtomatis). Beberapa pasien bisa menderita sarkoma kaposi’s, herpes zoster, herpes
simpleks, sinusitis bakterial, atau pneumonia yg mungkin tak berlangsung using.
c) Tahapan infeksi kronis
Sekelompok orang bisa memberikan perjalanan penyakit amat cepat pada dua
tahun, dan terdapat juga yang perjalanannya lambat (non progressor). Dampak
replikasi virus yang diikuti kerusakan serta kematian sel dendritik folikuler karena
banyaknya virus, fungsi kelenjarlimfe sebagai perangkap virus menurun serta virus
dicurahkan ke dalamdarah. ketika ini terjadi, respons imun sudah tidak bisa meredam
jumlahvirion yang berlebihan tersebut. Limfosit T-CD4 semakin tertekan oleh sebab
4. intervensi HIV yang semakin poly, serta jumlahnya bisa menurunsampai pada bawah
200 sel/mm3. Penurunan limfosit T ini menyebabkan sistem imun menurun dan pasien
semakin rentan terhadap berbagai penyakit infeksi sekunder, serta akhirnya pasien
jatuh pada kondisi AIDS (Hidayat, A.N, 2019).
4. PATIFISIOLOGI
Mekanisme utama infeksi HIV dimulai setelah virus masuk kedalam tubuh pejamu,
HIV menyerang sel darah putih (Limfosit Th) yang merupakan sumber kekebalan tubuh
untuk menangkal berbagai penyakit infeksi. Dengan memasuki Limfosit Th virus
memaksa Limfosit Th untuk memperbanyak dirinya sehingga hal itu menyebabkan
kematian Limfosit Th. Kematian Limfosit Th membuat daya tahan tubuh berkurang,
sehingga membat daya tahan tubuh berkurang, sehingga membuat infeksi dari luar (baik
virus lain, bakteri, jamur atau parasit) sehinggahal ini menyebabkan kematian pada
orang dengan HIV/AIDS. Selain menyerang Limfosit Th virus HIV juga memasuki
kedalam sel tubuh yang lain, organ yang sering terkena adalah otak dan susunan saraf
lainnya. Virus HIV diliputi oleh selubung protein yang sifatnya toksik (racun) terhadap
sel, khususnya sel otak serta susunan saraf pusat dan tepi lainnya. Sehingga terjadinya
kematian sel otak (Kumalasari and Andhyantoro 2012).
Menurut Robbins, Dkk (2011) Perjalanan infeksi HIV paling baik dipahami dengan
menggunakan kaidah saling memengaruhi antara HIV dan sistem imun.Ada tiga tahap
yang dikenali yang mencerminkan dinamika interaksi antara virus dan penjamu. (1) fase
akut pada tahap awal; (2) fase kronis pada tahap menengah; dan (3) fase krisis, pada tahap
akhir.
Fase akut menggambarkan respon awal seseorang dewasa yang imunokompeten
terhadap infeksi HIV. Secara klinis, hal yang secara khasmerupakan penyakit yang
sembuh sendiri yang terjadi pada 50% hingga 70% dari orang deawasa selama 3-6
minggu setelah infeksi; fase ini ditandai dengan gejala nonspesifik yaitu nyeri
tenggorokan, mialgia, demam, ruam, dan kadang-kadang meningitis aseptik. Fase ini juga
ditandai dengan produksi virusdalam jumlah yang besar, viremia dan persemaian yang
luas pada jaringan limfoid perifer, yang secara khas disertai dengan berkurangnya sel T
CD4+. Namum segera setelah hal itu terjadi, akan muncul respon imun yang spesifik
terhadap virus, yang dibuktikan melalui serokonversi (biasanya dalam rentang waktu 3
hingga 17 minggu etelah pejanan) dan muali munculnya sel T sitoksik CD8+ yang
spesifik terhadap virus. Setelah viremia mereda, sel T CD4+ kembali mendekati jumlah
normal. Namun, berkurangnya virus dalam plasma bukan merupakan penanda
berakhirnya replikasi virus, yang akan terus berlanjut di dalam makrofag dan sel T CD
4+ jaringan.
Fase kronis, pada tahap menengah, menunjukkan tahap penahanan relatif virus.Pada
fase ini, sebagian besar sistem imun masih utuh, tetapi replikasi virus berlanjut hingga
beberapa tahun. Pada pasien tidak menunjukkan gejala ataupun menderita limfadenopati
persisten, dan banyak penderita yangmengalami infeksi oportunistik “ringan” seperti
ariawan (Candida) atau harpes zoster selama fase ini replikasi virus dalam jaringan
limfoid terus berlanjut. Pergantian virus yang meluas akan disertai dengan kehilangan sel
CD4+ yang berlanjut. Namun, karena kemampuan regenerasi sistem imun besar, sel
CD4+ akan tergantikan dalam jumlah yang besar. Oleh karena itu penurunan sel
CD4+ dalam darah perifer hanyalah hal yang sederhana. Setelah melewati periode yang
5. panjang dan beragam, pertahanan penjamu mulai berkurang,jumlah sel CD4+ mulai
menurun, dan jumlah sel CD4+ hidup yang terinfeksi oleh HIV semakin meningkat.
Limfadenopati persisten yang disertai dengan kemunculan gejala konstitusional yang
bermakna (demam, ruam, mudah lelah) mencerminkan onset adanya dekompensasi
sistem imun, peningkatan replikasi virus, dan onset fase “krisis”.
Tahap terakhir, fase krisis, ditandai dengan kehancuran ppertahanan penjamu yang
sangat merugikan peningkatan viremia yang nyata, serta penyakit klinis. Para pasien
khasnya akan mengalami demam lebih dari 1 bulan, mudah lelah, penurunan berat badan,
dan diare. Jumlah sel CD4+ menurun dibawah 500 sel/μL. Setelah adanya interval yang
berubah-ubah, para pasien mengalami infeksi oportunistik yang serius, neoplasma
sekunder, dan atau manifestasineurologis (disebut dengan kondisi yang menentukan
AIDS), dan pasien yang bersangkutan dikatakan telah menderita AIDS yang
sesungguhnya. Bahkan jika kondisi lazim yang menentukan AIDS tidak muncul,
pedoman CDC yangdigunakan saat ini menentukan bahwa seseorang yang terinfeksi HIV
dengan jumlah sel CD4+ kurang atau sama dengan 200/μL sebagai pengidap AIDS.
HIV secara khusus menginfeksi limfosit dengan antigen permukaan CD4, yang
bekerja sebagai reseptor viral.Subset limfosit ini, yang mencakup limfosit penolong
dengan peran kritis dalam mempertahankan responsivitas imun, juga memperlihatkan
pengurangan bertahap bersamaan dengan perkembangan penyakit.
Penyakit HIV dimulai dengan infeksi akut yang tidak dapat diatasi sempurna oleh
respons imun adaptif, dan berlanjut menjadi infeksi jaringan limfoid perifer yang
kronikdan progresif. Perjalanan penyakit HIV dapat diikuti dengan memerikssa jumlah
virus diplasma dan jumlah sel CD4+ dalam darah (price,2012).
Infeksi primer terjadi bila virion HIV dalam darah,semen,atau cairan tubuh lainnya
dari seeorang masuk kedalam sel orang lain melalui fusi yang diperantarai oleh reseptor
gp120 atau gp41. Tergantung dari tempat masuknya virus,sel T CD4+ dan monosit di
darah, atau sel T CD4+ dan makrofag di jaringan mukosa merupakan sel yang pertama
tekena. Sel dendrit di epitel tempat masuknya virus akan menangkap virus kemudian
bermigrasi ke kelenjar getah bening. Sel dendrit mengekspresikan protein yang berperan
dalam peningkatan envelope HIV, sehingga sel dendritberperan besar dalam penyebaran
HIV ke jaringan limfoid. Dijaringan limfoid, sel dendrit dapat menularkan HIV ke sel T
CD4+ melalui kontak langsung antar sel (Price,2012).
Beberapa hari setelah paparan dengan HIV, replikasi virus dalam jumlah banyak dapat
dideteksi di kelenjar getah bening. Replikasiini menyebabkan viremia disertai dengan
sindrom HIV akut (gejala dan tanda nonspesifik seperti infeksi virus lainnya). Virus
menyebarke seluruh tubuh dan menginfeksi sel T subset CD4 atau T helper, makrofag,
dan sel dendrit di jaringan limfoid perifer. Setelah penyebaran infeksi HIV, terjadi
respons imun adaptif baik humoral maupun selular terhadap antigen virus. Respons imun
dapat mengontrol sebagian dari infeksi dan produksi virus, yang menyebabkan
berkurangnya viremia dalam 12 minggu setelah paparan pertama. Setelah infeksi akut,
terjadi fase dimana kelenjar getah bening dan limpa menjadi tempat replikasi HIV dan
destruksi sel. Pada tahap ini, sistem imun masih kompeten mengatasi infeksi mikroba
oportunistik dan belum muncul manifestasi klinis infeksi HIV, sehingga fase ini disebut
juga masa laten klinis (clinical latency period). Pada fase ini jumlah virus rendah dan
sebagian besar sel T perifer tidak mengandung HIV. Kendali demikian, penghancuran sel
6. T CD4+ dalam jaringan limfoid terus berlangsung dan jumlah sel T CD4+ yang
bersirkulasi semakin berkurang. Pada awal penyakit, tubuh dapat menggantikan sel T
CD4+ yang hancur dengan yang baru.namun setelah beberapa tahun, sirkulasi infeksi
virus, kematian sel T , dan infeksi baru berjalan terus sehingga akhirnya menyebabkan
penurunan jumlah sel T CD4+ di jaringan limfoid dan sirkulasi (price,2012).
Pada fase kronik progresif, pasien rentan terhadap infeksi lain,dan respons imun
terhadap infeksi tersebut akan menstimulasi produksi HIV dan destruksi jaringan limfoid.
Transkripsi gen HIV dapatditingkatkan oleh stimulus yang mengaktivasi sel T, seperti
antigen dan sitokin. Sitokin (misalnya TNF) yang diproduksi sistem imun alamiah
sebagai respons terhadap infeksi mikroba, sangat efektif untuk memacu produksi HIV.
Jadi, pada saat sistem imun berusaha menghancurkan mikroba lain, terjadi pula kerusakan
terhadap sistem imun oleh HIV (Price,2012).
Penyakit HIV berjalan terus ke fase akhir dan laten yang disebut AIDS dimana terjadi
destruksi seluruh jaringan limfoid perifer, jumlah sel T CD4+ dalam darah kurang, dan
viremia HIV meningkat drastis. Pasien AIDS menderita infeksi oportunistik, neoplasma,
kaheksia (HIV wasting syndrome), gagal ginjal (nefropati HIV), dan degenerasi susunan
saraf pusat (ensefalopati HIV) (Price,2012).
Sesudah HIV memasuki tubuh seseorang, maka tubuh akan terinfeksi dan virus mulai
mereplikasi diri dalam sel orang tersebut (terutama sel limfosit T CD4dan makrofag).
Virus HIV akan mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dengan menghasilkan antibodi
untuk HIV. Masa antara masuknya infeksi dan terbentuknya antibody yang dapat
dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium adalah selama 2-12 minggu dan disebut masa
jendela (window period). Selama masa jendela, pasien sangat infeksius, mudah
menularkan kepada orang lain,meski hasil pemeriksaan laboratoriumnya masih negatif.
Hampir 30-50% orang mengalami masa infeksi akut pada masa infeksius ini, di mana
gejala dan tanda yang biasanya timbul adalah: demam, pembesaran kelenjar getah
bening, keringat malam, ruam kulit, sakit kepala dan batuk.
Orang yang terinfeksi HIV dapat tetap tanpa gejala dan tanda (asimtomatik) untuk
jangka waktu cukup panjang bahkan sampai 10 tahun atau lebih. Namun orang tersebut
dapat menularkan infeksinya kepada orang lain. Kita hanya dapat mengetahui bahwa
orang tersebut terinfeksi HIV dari pemeriksaan laboratorium antibody HIV serum.
Sesudah jangka waktu tertentu, yang bervariasi dari orang ke orang, virus memperbanyak
diri secara cepat dan diikuti dengan perusakan sel limfosit T CD4 dan sel kekebalan
lainnya sehingga terjadilah gejala berkurangnya daya tahan tubuh yang progresif.
Progresivitas tergantung pada beberapa faktor seperti: usia kurang dari 5 tahun atau di
atas 40 tahun, infeksi lainnya, dan faktor genetik.
Infeksi, penyakit, dan keganasan dapat terjadi pada individu yang terinfeksi HIV.
Penyakit yang berkaitan dengan menurunnya daya tahan tubuh pada orang yang terinfeksi
HIV, misalnya infeksi tuberculosis (TB), herpes zoster (HSV), oral hairy cell
leukoplakia (OHL), oral candidiasis (OC), papular pruritic eruption (PPE), Pneumocystis
carinii pneumonia (PCP), cryptococcal meningitis (CM), retinitis Cytomegalovirus
(CMV), dan Mycobacterium avium (MAC) (Kementerian Kesehatan RI 2012).
Menurut (Kumalasari and Andhyantoro 2012), orang yang sudah terinfeksi HIV
biasanya sulit dibedakan dengan orang yang sehat dimasyarakat. Mereka masih dapat
7. melakukan aktivitas seperti biasa, badan terlihat sehat dan masih dapat bekerja dengan
baik. untuk sampai pada fase AIDS seseorang yang terinfeksi HIV akan melalui beberapa
fase yaitu:
a. Fase pertama: Masa Jendela/ Window Periode
Pada awal seorang terinfeksi HIV belum terlihat adanya ciri-ciri meskipun dia
melakukan tes darah. Karena pada fase ini sistem antibodi terhadap HIV belum
terbentuk, tetapi yang bersangkutan sudah dapat menulari orang lain. Masa ini biasanya
dialami 1-6 bulan.
b. Fase Kedua
Terjadi setelah 2-10 tahun setelah terinfeksi. Pada fase ini individu sudah positiv
HIV, tetapi belum menampakkan gejala sakit. Pada tahap ini individu sudah dapat
menularkan kepada orang lain. Kemungkinan mengalami gejala ringan seperti flu
(biasanya 2-3 hari dan akan sembuh sendiri).
c. Fase Ketiga
Pada fase ini akan muncul gejala-gejala awal penyakit. Namun, belum dapatdisebut
sebagai penyakit AIDS. Pada fase ketiga ini sistem kekebalan tubuh mulaiberkurang.
Gejala yang berkaitan dengan HIV antara lain:
Keringat yang berlebih pada waktu malam hari,
Diare terus menerus,
Pembengkakan kelenjar getah bening,
Flu tidak sembuh-sembuh,
Nafsu makan berkurang dan lemah,
Berat badan terus berkurang.
d. Fase Keempat
Fase ini sudah masuk pada tahap AIDS. AIDS baru dapat terdiagnosa setelah
kekebalan tubuh sangat berkurang dilihat dari jumlah sel T yang turun hingga di bawah
2.001 mikroliter dan timbul penyakit tertentu yang disebut dengan infeksi oportunistik
yang merupakan penyakit-penyakit yang muncul padamasa AIDS, yaitu:
Kanker khususnya kanker kulit yang disebut sarcoma Kaposi,
Infeksi paru-paru yang menyebabkan radang paru-paru dan kesulitan bernafas,
Infeksi khusus yang menyebabkan diare parah selama berminggu-minggu,
Infeksi otak yang dapat menyebabkan kekacauan mental, sakit kepala dan
sariawan.
5. KOMPLIKASI
Menurut Burnner dan Suddarth (2013) Manifestasi klinis penyakit AIDS menyebar
luas dan pada dasarnya dapat mengenai setiap sistem organ. Penyakit yang berkaitan
dengan infeksi HIV dan penyakit AIDS terjadi akibat infeksi, malignasi dan atau efek
langsung HIV pada jaringan tubuh, pembahasan berikutini dibatasi pada manifestasi
klinis dan akibat infeksi HIV berat yang paling sering ditemukan.
8. a. Respiratori
Pneumonia Pneumocytis carini. Gejala nafas yang pendek, sesak nafas(dispnea),
batuk-batuk, nyeri dada dan demam akan menyertai berbagai infeksi oportunistik seperti
yang disebabkan oleh Mycobacterium avium intracellulare (MAI), sitomegalovirus
(CMV) dan Legionella. Walaupun begitu, infeksi yang paling sering ditemukan pada
penderita AIDS adalah Pneumonia Pneumocytis Carinii (PCP) yang merupakan penyakit
oportunistik pertama yang dideskripsikan berkaitan dengan AIDS.
Gambaran klinik PCP pada pasien AIDS umumnya tidak begitu akut bila
dibandingkan dengan pasien gangguan kekebalan karena keadaan lain. Periode waktu
antara awitan gejala dan penegakan diagnosis yang benar bisa beberapa minggu hingga
beberapa bulan. Penderita AIDS pada mulanya hanya memperlihatkan tanda-tanda dan
gejala yang tidak khas seperti demam, menggigil, batuk non produktif, nafas pendek,
dispnea dan kadang-kadang nyeri dada. Konsentrasi oksigen dalam darah arterial pada
pasien yang bernafas dengan udara ruangan dapat mengalami penurunan yang ringan;
keadaan ini menunjukkan keadaan hipoksemia minimal. Bila tidak diatasi, PCP akan
berlanjut dengan menimbulkan kelainan paru yang signifikan dan pada akhirnya,
kegagalan pernafasan.
Penyakit kompleks Kompleks Mycobacterium avium (MAC;Mycobacterium avium
Complex) yaitu suatu kelompok baksil tahan asam, biasanya menyebabkan infeksi
pernafasan kendati juga sering dijumpai dalam traktus gastrointerstinal, nodus limfatik
dan sumsum tulang.Sebagian pasien AIDS sudah menderita penyakit yang menyebar
luas ketika diagnosis ditegakkan dan biasanya dengan keadaan umum yang buruk.
Berbeda dengan infeksi oportunistik lainnya, penyakit tuberkulosis (TB) cenderung
terjadi secara dini dalam perjalanan infeksi HIV dan biasanya mendahului diagnosa
AIDS. Dalam stadium infeksi HIV yang lanjut, penyakit TB disertai dengan penyebaran
ke tempat-tempat ekstrapulmoner seperti sistem saraf pusat, tulang, perikardium,
lambung, peritoneum dan skrotum.
b. Gastrointerstinal
Manifestasi gastrointerstinal penyakit AIDS mencangkup hilangnya selera makan,
mual, vomitus, kondisiasis oral, serta esofagus, dan diare kronis. Bagi pasien AIDS, diare
dapat membawa akibat yang serius sehubungan dengan terjadinya penurunan berat badan
yang nyata (lebih dari 10% berat badan), gangguan keseimbnagan cairan dan elektrolit,
ekskoriasis kulit perianal, kelemahan dan ketidakmampuan untuk melaksanakan kegiatan
yang biasa dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
c. Kanker
Sarkoma Kaposi yaitu kelainan malignasi yang berkaitan dengan HIV yangpaling
sering ditemukan merupakan penyakit yang melibatkan lapisan endotel pembuluh darah
dan limfe.Kaposi yang berhubungan dengan AIDS memperlihatkan penyakit yang lebih
agresif dan beragam yang berkisar mulai dari lesi kutaneus setempat hingga kelainan yang
menyebar danmengenai lebih dari satu sistem organ. Lesi Kutaneus yang dapat timbul
pada setiap bagian tubuh biasanya bewarna merah mudah kecoklatan hingga ungu gelap.
Lesi dapat datar atau menonjol dan dikelilingi oleh ekimosis (bercak-bercak perdarahan)
serta edema. Lokasi dan ukuran beberapa lesi dapat menimbulkan statis aliran vena,
9. limfadema serta rasa nyeri. Lesi ulserasi akan merusak integritas kulit dan meninggalkan
ketidaknyamanan pasien serta kerentanannya terhadapinfeksi.
Limfoma Sel-B merupakan malignansi paling sering kedua yang terjadi diantara
pasien-pasien AIDS. Limfoma yang berhubungan dengan AIDS cenderung berkembang
diluar kelenjer limfe; limfoma ini paling seringdijumpai pada otak, sumsum tulang dan
traktus gastrointerstinal.
d. Neurologik
Ensefalopati HIV disebut juga sebagai kompleks demensia AIDS. Hiv ditemukan
dengan jumlah yang besar dalam otak maupun cairan serebrospinal pasien-pasien ADC
(AIDS dementia complex). Sel-sel otak yang terinfeksi HIV didominasi olehsel-sel CD4
+ yang berasal dari monosit/magrofag. Infeksi HIV diyakini akan memicu toksin atau
limfokin yang mengakibatkan disfungsi seluler atau yang mengganggu atau yang
mengganggu fungsi neurotransmiter ketimbang menyebabkan kerusakanseluler. Keadaan
ini berupa sindrom klinis yang ditandai oleh penurunan progresif pada fungsi kognitif,
prilaku dan motorik. Tanda tanda dan gejalanya yang samar-samar serta sulit dibedakan
dan kelelahan, depresi atau efek terapi yang merugikan terhadap infeksi dan malignansi.
Manifestasi dini mencangkup gangguan daya ingat, sakit kepala, kesulitan
berkonsentrasi, konfusi progresif, pelambatan psikomotorik, apatis dan ataksia. Stadium
lanju tmencangkup ganggua kognitif global kelambatan dalam respon verbal, gagguan
afektif seperti pandangan yang kosong,hiperrefleksi paraparesis spastik, psikologis,
halusiansi, tremor, inkontenensia, serangan kejang, mutisme dan kematian.Infeksi jamur
Criptococcus neoformans merupakan infeksi opotunistik paling sering keempat yang
terdapat di antara pasien-pasien AIDS dan penyebab infeksi paling sering ketiga yang
menyebabkan kelainan neurologik. Meningitis kriptokokus ditandai dengan gejala seperti
demam/panas, sakit kepala, keadaan tidak enak badan (melaise), kaku kuduk, mual,
vormitus, perubahan status mental, dan kejang-kenjang.
Leukoensefalopati Multifokal Progresif (PML) merupakan kelainan sistem saraf pusat
dengan demielinisasi yang disebabkan oleh virus J.C. Manifestasi klinis dapat dimulai
dengan konfusi mental dan mengalami perkembangan cepat yang akhirnya mencakup
gejala kebutaan, afasia, paresis, (paraliasis ringan) serta kematian.
Kelemahan neurologik lainnya berupa neuropati perifer yang berhubungan dengan
HIV diperkirakan merupakan kelainan demielinisasi dengandisertai rasa nyeri serta
patirasa pada ekstremitas, kelemahan, penurunan rekfleks tendon yang dalam, hipotensi
ortostatik dan impontensi.
e. Struktur integrumen
Manifestasi kulit menyertai infeksi HIV dan infeksi oportunistik serta malignansi yang
mendampinginya, Infeksi oportunistik seperti harpes zoster dan harpes simpleks akan
disertai dengan pembentukan vesikel yang nyeri yang merusak integritas kulit. Moloskum
kontagiosum merupakan infeksi virus yang ditandai oleh pembentukan plak yang disertai
deformitas.Dermatitis seboreika akan disertai ruam yang difus, bersisik dengan indurasi
yang mengenai kulit kepala serta wajah. Penderita AIDS juga dapat memperlihatkan
folokulasi menyeluruh yang disertai dengan kulit yang kering dan mengelupas atau
dengan dermatitis atropik seperti ekzema atau psoriasis. Hingga 60% enderita yang
diobati dengan trimetroprimsulfametoksazol (TMP/SMZ) untuk mengatasi pneumonia
10. pneumocytis carinii akan mengalami ruam yang berkaitan dengan obat dan berupa
preuritus yang disertai pembentukan papula serta makula bewarna merah muda. Terlepas
dari penyebab ruam ini pasien akan mengalami ganggua rasa nyaman dan menghadapi
peningkatan resiko untuk menderita infeksi tambahan, akibat rusaknya keutuhan kulit.
B. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. PERSIAPAN PEMERIKSAAN
Stadium pada HIV terdiri atas beberapa stadium namun pada stadium 3 biasanya
pasien akan terinfeksi penyakit oportunistik lainnya seperti TB paru. Untuk penegakan
diagnosis TB paru sangatlah beragam gold standaruntuk penegakan TB paru bisa
berupa pemeriksaan sputum SPS
Pada pada pemeriksaan rontgen thorax untuk mendeteksi adanya penyakit pulmoner
yang biasanya menyertai fase keempat yaitu fase AIDS.2 Selain itu, pasien disarankan
untuk menjalani pemeriksaan serum antiHIV untuk memastikan, yang dilakukan melalui
3x pemeriksaan. Terdapat dua uji khas yang digunakan untuk mendeteksi antibodi
terhadap HIV, yaitu Gita dan Agustyas ,Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA),
dan Western Blot. Pemeriksaan CD4 digunakan untuk mengetahui prognosis dan dosis
obat ARV pada awal terapi.
2. PROSEDUR PEMERIKSAAN
Seseorang yang ingin menjalani tes HIV/AIDS untuk keperluan diagnosis harus
mendapatkan konseling pra tes. Hal ini harus dilakukan agar ia dapat mendapat informasi
sejelas-jelasnya mengenai infeksi HIV/AIDS sehingga dapat mengambil keputusan yang
terbaik untuk dirinya serta lebih siap menerima apapun hasil tesnya nanti.
3. PERAWATAN PASKA PEMERIKSAAN
Untuk memberitahu hasil tes juga diperlukan konseling pasca tes, baik hasil positif
maupun negatif. Jika hasilnya positif akan diberikan informasi mengenai pengobatan
untuk memperpanjang masa tanpa gejala serta cara pencegahan penularan. Jika hasilnya
negatif, konseling tetap perlu dilakukan untuk memberikan informasi bagaimana
mempertahankan perilaku yang tidak berisiko.
C. PENATALAKSANAAN PENYAKIT
1. FARMAKOLOGIS
a) Obat-obat untuk infeksi yang berhubungan dengan HIV infeksi
Infeksi umum trimetroprime-sulfametokazol, yang disebut pula TMP- SMZ
(Bactrim,septra), merupakan preparat antibakteri untuk mengatasi berbagai
mikroorganisme yang menyebabkan infeksi. Pemberian secara IVkepada pasien-pasien
11. dengan fungsi gastrointerstinal yang normal tidak memberikan keuntungan apapun.
Penderita AIDS yang diobati denganTMP-SMZ dapat mengalami efekyang merugikan
dengan insiden tinggi yang tidak lazim terjadi, seperti demam, ruam, leukopenia,
trombositopenia dengan ganggua fungsi renal.
Pentamidin, suatu obat anti protozoa, digunakan sebagai preparat alternatif untuk
melawan PCP. Jika terjadi efek yang merugikan atau jika pasien tidak memperlihatkan
perbaikan klinis ketika diobati dengan TMP-SMZ, petugas kesehatan dapat
merekomendasikan pentamidin.
Kompleks Mycobacterium avium, terapi kompleks Mycobacterium avium complex
(MAC) masih belum ditentukan dengan jelas dan meliputi penggunaan lebih dari satu
macam obat selam periode waktu yang lama.
Meningitis, Terpi primer yang muthakhir untuk meningitis kriptokokus adalah
amfoterisin B IV dengan atau tanpa flusitosin atau flukonazol (Diflucan). Keadaan pasien
harus dipantau untuk endeteksi efek yang potensial merugikan dan serius dari amfoterisin
B yang mencangkup reaksi anafilaksik, gangguan renal serta hepar, gangguan
keseimbangan elektrolit, anemia, panas dan menggigil.
Retinitis Sitomegalovirus, Retinitis yang disebabkan oleh sitomegalovirus
(CMV;cytomegalovirus) merupan penyebab utama kebutaan pada penderita penyakit
AIDS.
Foskarnet (Foscavir), yaitu peparat lain yang digunakan mengobati retinitis CMV,
disuntikkan intravena setiap 8 jam sekali selama 2 hingga 3minggu. Reaksi merugikan
yang lazim terjadi pada pemberian foskarnet adalah nefrotoksisitas yang mencangkup
gagal ginjal akut dan gangguan keseimbangan elektrolit yang mencangkup
hipokalasemia, hiperfosfatemia serta hipomagnesemia. Semua keadaan ini dapat
membawa kematian. Efek merugikan lainnya yang lazim dijumpai adaah serangan
kejang-kejang, gangguan gastrointerstinal, anemia, flebitis, pada tempat infus dan nyeri
punggung bawah.
Keadaan lain, Asiklovir dan foskarnat kini digunakan untuk mengobati infeksi
ensefalitis yang disebabkan oleh harpes simpleks atau harpes zoster. Pirimetamin
(Daraprim) dan Sulfadiazin atau klindamisin (Cleosin HCL) digunakan untuk pengobatan
maupun terapi supresif seumur hidup bagiinfeksi Toxoplasmosis gondi. Infeksi kronis
yang membandel olehkondendidasi (trush) atau lesi esofagus diobati dengan Ketokonazol
atau flukonazol.
b) Penatalaksanaan Diare Kronik
Terapi dengan oktreotid asetat (sandostain), yaitu suatu analog sintetik somatostatin,
ternyata efektif untuk mengatasi diare yang berat dan kronik. Konsentrasi reseptor
somatosin yang tinggi ditemukan dalam traktus gastrointerstinal maupun jaringan
lainnya. Somatostain akan menghambat banyak fungsi fisologis yang mencangkup
motalisis gastrointerstinal dan sekresi-interstinal air serta elektrolit.
c) Penatalaksanaan Sindrom Pelisutan
Penatalaksanaan sindrom pelisutan mencangkup penanganan penyebab yang
mendasari infeksi oportunitis sistematik maupun gastrointerstinal. Malnutrsisendiri akan
memperbesar resiko infeksi dan dapat pula meningkatkan insiden infeksi oportunistis.
12. Terapi nutrisi bisa dilakukan mulai dari diet oraldan pemberian makan lewat sonde (terapi
nutriasi enternal) hinggadukungan nutrisi parenteral jika diperlukan.
d) Penanganan keganasan
Penatalaksanaan sarkoma Kaposi biasanya sulit karena sangat beragamnya gejala dan
sistem organ yang terkena.Tujuan terapinya adalah untuk mengurangi gejala dengan
memperkecil ukuranlesi pada kulit, mengurangi gangguan rasa nyaman yang berkaitan
dengan edema serta ulserasi, dan mengendalikan gejala yang berhubungan dengan lesi
mukosa serta organ viseral. Hinngga saat ini, kemoterapi yang paling efektif tampaknya
berupa ABV (Adriamisin, Bleomisin, dan Vinkristin).
e) Terapi Antiretrovirus
Saat ini terdapat empat preparat antiretrovirus yang sudah disetujui oleh FDA untuk
pengobatan HIV, keempat preparat tersebut adalah; Zidovudin, Dideoksinosin ,
dideoksisitidin dan Stavudin. Semua obat ini menghambat kerja enzim reserve
transcriptase virus dan mencegah virus reproduksi virusHIV dengan cara meniru salah
satu substansi molekuler yang digunakan
virus tersebut untuk membangun DNA bagi partikel-partikel virus baru.Dengan
mengubah komponen struktural rantai DNA, produksi virus yang baru akan dihambat.
f) Inhibitor Protase
Inhibitor protase merupakan obat yang menghambat kerja enzim protase, yaitu enzim
yang dibutuhkan untuk replikasi virus HIV dan produksi virion yang menular. Inhibisi
protase HIV-1 akan menghasilkan partikel virusnoninfeksius dengan penurunan aktivitas
enzim reserve transcriptase.
2. NON FARMAKOLOGIS
Pasien yang menjadi lemah dan memiliki keadaan umum yang menurunsebagai akibat
dari sakit kronik yang berkaitan dengan HIV memerlukan banyak macam perawatan
suportif. Dukungan nutrisi mungkin merupakan tindakan sederhana seperti membantu
pasien dalam mendapatkan atau mempersiapkan makanannya. Untuk pasien dengan
gangguan nutrisi yang lanjut karena penurunan asupan makanan, sindrome perlisutan atau
malabsobsi saluran cerna yang berkaitan dengan diare, mungkin diperlukan dalam
pemberian makan lewat pembuluh darah seperti nutrisi parenteral total. Gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit yang terjadiakibat mual,Vomitus dan diare hebat
kerapkali memerlukan terapi pengganti yang berupa infus cairan serta elektrolit. Lesi
pada kulit yang berkaitan dengan sarkoma kaposi, ekskoriasi kulit perianal dan
imobilisasi ditangani dengan perawatan kulit yang seksama dan rajin; perawatan ini
mencangkup tindakan membalikkan tubuh pasien secara teratur, membersihkan dan
mengoleskan salep obat serta menutup lesi dengan kasa steril.
Gejala paru seperti dispnea dan napas pendek mungkin berhubungan denganinfeksi,
sarkoma kaporsi serta keadaan mudah letih. Pasien-pasien ini mungkin memerlukan
terapi oksigen, pelatihan relaksasi dan teknik menghemat tenaga. Pasien dengan
ganggguan fungsi pernafasan yang berat
pernafasan yang berat dapat membutuhkan tindakan ventilasi mekanis. Rasanyeri yang
menyertai lesi kulit, kram perut, neuropati perifer atau sarkoma kaposi dapat diatasi
dengan preparat analgetik yang diberikan secara teratur selama 24 jam. Teknik relaksasi
13. dan guded imagery (terapi psikologi dengan cara imajinasi yang terarah) dapat membantu
mengurangi rasa nyeri dan kecemasan pada sebagian pasien.
3. TERAPI DIET
Pasien yang menjadi lemah dan memiliki keadaan umum yang menurunsebagai akibat
dari sakit kronik yang berkaitan dengan HIV memerlukan banyak macam perawatan
suportif. Dukungan nutrisi mungkin merupakan tindakan sederhana seperti membantu
pasien dalam mendapatkan atau mempersiapkan makanannya. Untuk pasien dengan
gangguan nutrisi yang lanjut karena penurunan asupan makanan, sindrome perlisutan atau
malabsobsi saluran cerna yang berkaitan dengan diare, mungkin diperlukan dalam
pemberian makan lewat pembuluh darah seperti nutrisi parenteral total. Gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit yang terjadiakibat mual,Vomitus dan diare hebat
kerapkali memerlukan terapi pengganti yang berupa infus cairan serta elektrolit. Lesi
pada kulit yang berkaitan dengan sarkoma kaposi, ekskoriasi kulit perianal dan
imobilisasi ditangani dengan perawatan kulit yang seksama dan rajin; perawatan ini
mencangkup tindakan membalikkan tubuh pasien secara teratur, membersihkan dan
mengoleskan salep obat serta menutup lesi dengan kasa steril.
Gejala paru seperti dispnea dan napas pendek mungkin berhubungan denganinfeksi,
sarkoma kaporsi serta keadaan mudah letih. Pasien-pasien ini mungkin memerlukan
terapi oksigen, pelatihan relaksasi dan teknik menghemat tenaga. Pasien dengan
ganggguan fungsi pernafasan yang berat.
Pernafasan yang berat dapat membutuhkan tindakan ventilasi mekanis. Rasanyeri
yang menyertai lesi kulit, kram perut, neuropati perifer atau sarkoma kaposi dapat diatasi
dengan preparat analgetik yang diberikan secara teratur selama 24 jam. Teknik relaksasi
dan guded imagery (terapi psikologi dengan cara imajinasi yang terarah) dapat membantu
mengurangi rasa nyeri dan kecemasan pada sebagian pasien.
4 .PENCEGAHAN PENYAKIT BAIK PENCEGAHAN PRIMER ,SEKUNDER
ATAUPUN TERSIER
Menurut Setyoadi dan Endang (2012) pencegahan penyakit dilakukan menggunakan
pendekatan tiga tingkat pencegahan yaitu pencegahan primer, pencegahan sekunder dan
pencegahan tersier. Pencegahan primer berfokus pada upaya pencegahan faktor resiko
sebelum proses penyakit dimulai. Bentuk kegiatan yang dapat dilakukan adalah
memberikan pendidikan kesehatan tentang HIV/AIDS, cara penularan dan cara
pencegahan, meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya perilaku yang lebih
sehat dengan cara menghindari narkoba, setia pada pasangan dan menghindari hubungan
seksual sebelum waktunya. Menurut Khan (2010) merekomendasikan beberapa upaya
pencegahan HIV dan AIDS sebagai berikut: peningkatan pengetahuan tentang HIV dan
AIDS, program perubahan perilaku khususnya pada remaja yang berisiko HIV dan pada
orang yang terinfeksi AIDS, promosi penggunaan kondom pada laki-laki maupun wanita,
tes HIV dan AIDS secara sukarela, pencegahan pada wanita hamil, pencegahan penularan
dari ibu ke anak, bahaya penggunaan jarum suntik bersama, pendidikan masyarakat,
perubahan dalam bidang hukum dan kebijakan untuk melawan stigma, peningkatan
14. ekonomi masyarakat Pada hasil penelitian menunjukan analisa bivariat antara hubungan
tangka
Menurut Kemenkes RI (2015), Langkah dini yang paling efektif untuk mencegah
terjadinya penularan HIV pada bayi adalah dengan mencegah perempuan usia reproduksi
tertular HIV. Komponen ini dapat juga dinamakan pencegahan primer. Pendekatan
pencegahan primer bertujuan untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi secara dini,
bahkan sebelum terjadi hubungan seksual. Hal ini berarti mencegah perempuan muda
pada usia reproduksi, ibu hamil dan pasangannya untuk tidak terinfeksi HIV. Dengan
demikian, penularanHIV dari ibu ke bayi dijamin bisa dicegah.
Untuk menghindari penularan HIV, dikenal konsep “ABCDE” sebagai berikut.
• A (Abstinence): artinya tidak melakukan hubungan seks bagiyang belum
• B (Be faithful) : artinya bersikap saling setia kepada satupasangan seks (tidak
berganti-ganti pasangan)
• C(Condom): artinya cegah penularan HIV melalui hubungan seksual dengan
menggunakan kondom
• D (Drug) : artinya dilarang menggunakan narkoba
• E (Education): artinya pemberian edukasi dan informasi yangbenar mengenai HIV,
cara penularan, pencegahan dan pengobatannya.
Menurut Setyoadi dan Endang (2012) pencegahan penyakit dilakukan menggunakan
pendekatan tiga tingkat pencegahan yaitu pencegahan primer, pencegahan sekunder dan
pencegahan tersier. Pencegahan primer berfokus pada upaya pencegahan faktor resiko
sebelum proses penyakit dimulai. Bentuk kegiatan yang dapat dilakukan adalah
memberikan pendidikan kesehatan tentang HIV/AIDS, cara penularan dan cara
pencegahan, meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya perilaku yang lebih
sehat dengan cara menghindari narkoba, setia pada pasangan dan menghindari hubungan
seksual sebelum waktunya. Menurut Khan (2010) merekomendasikan beberapa upaya
pencegahan HIV dan AIDS sebagai berikut: peningkatan pengetahuan tentang HIV dan
AIDS, program perubahan perilaku khususnya pada remaja yang berisiko HIV dan pada
orang yang terinfeksi AIDS, promosi penggunaan kondom pada laki-laki maupun wanita,
tes HIV dan AIDS secara sukarela, pencegahan pada wanita hamil, pencegahan penularan
dari ibu ke anak, bahaya penggunaan jarum suntik bersama, pendidikan masyarakat,
perubahan dalam bidang hukum dan kebijakan untuk melawan stigma, peningkatan
ekonomi masyarakat Pada hasil penelitian menunjukan analisa bivariat antara hubungan
tingkat
15. D. ASUHAN KEPERAWATAN
Asuhan keperawatan bagi penderita penyakit AIDS merupakan tantangan yang besar
bagi perawat karena setiap sistem organ berpotensi untuk menjadi sasaran infeksi ataupun
kanker. Disamping itu, penyakit ini akan dipersulit oleh komplikasi masalah emosional,
sosial dan etika. Rencana keperawatan bagi penderita AIDS harus disusun secara
individual untuk memenuhi kebutuhan masing-masing pasien (Burnner & Suddarth,
2013).
1. PENGKAJIAN
Pengkajian pada pasien HIV AIDS meliputi :
1) Identitas Klien
Meliputi : nama, tempat/ tanggal lahir, jenis kelamin, status kawin, agama,
pendidikan, pekerjaan, alamat, diagnosa medis, No. MR
2) Keluhan utama
Dapat ditemukan pada pasien AIDS dengan manifestasi respiratori ditemuikeluhan
utama sesak nafas. Keluhan utama lainnya ditemui pada pasien HIV AIDS yaitu,
demam yang berkepanjangan (lebih dari 3 bulan), diare kronis lebih dari satu bulan
berulang maupun terus menerus, penurunan berat badan lebih dari 10%, batuk
kronis lebih dari 1 bulan, infeksi pada mulut dan tenggorokan disebabkan oleh
jamur Candida Albicans, pembengkakan kelenjer getah bening diseluruh tubuh,
munculnya Harpes zoster berulang dan bercak-bercak gatal diseluruh tubuh.
3) Riwayat kesehatan sekarang
Dapat ditemukan keluhan yang biasanya disampaikan pasien HIV AIDS adalah :
pasien akan mengeluhkan napas sesak (dispnea) bagi pasien yang memiliki
manifestasi respiratori, batuk-batuk, nyeri dada dan demam, pasien akan
mengeluhkan mual, dan diare serta penurunan berat badan drastis.
4) Riwayat kesehatan dahulu
Biasanya pasien pernah dirawat karena penyakit yang sama. Adanya riwayat
penggunaan narkotika suntik, hubungan seks bebas atau berhubungan seks dengan
penderita HIV/AIDS, terkena cairan tubuh penderita HIV/AIDS.
5) Riwayat kesehatan keluarga
Biasanya pada pasien HIV AIDS adanya anggota keluarga yang menderitapenyakit
HIV/AIDS. Kemungkinan dengan adanya orang tua yang terinfeksi HIV.
Pengkajian lebih lanjut juga dilakukan pada riwayat pekerjaan keluarga, adanya
keluarga bekerja di tempat hiburan malam, bekerja sebagai PSK (Pekerja Seks
Komersial).
2. POLA AKTIFITAS SEHARI-HARI (ADL)
1) Pola presepsi dan tata laksanaan hidup sehat
Biasanya pada pasien HIV/AIDS akan menglami perubahan ataugangguan pada
personal hygiene, misalnya kebiasaan mandi, ganti pakaian, BAB dan BAK
16. dikarenakan kondisi tubuh yang lemah, pasien kesulitan melakukan kegiatan
tersebut dan pasien biasanya cenderung dibantu oleh keluarga atau perawat.
2) Pola Nutrisi
Biasanya pasien dengan HIV/AIDS mengalami penurunan nafsu makan, mual,
muntah, nyeri menelan, dan juga pasien akan mengalami penurunanBB yang cukup
drastis dalam waktu singkat (terkadang lebih dari 10% BB).
3) Pola Eliminasi
Biasanya pasien mengalami diare, fases encer, disertai mucus berdarah.
4) Pola Istirahat dan tidur
Biasanya pasien dengan HIV/AIDS pola istirahat dan tidur mengalami gangguan
karena adanya gejala seperi demam dan keringat pada malam hari yang berulang.
Selain itu juga didukung oleh perasaan cemas dan depresi pasien terhadap
penyakitnya.
5) Pola aktivitas dan latihan
Biasanya pada pasien HIV/AIDS aktivitas dan latihan mengalamiperubahan.
Ada beberapa orang tidak dapat melakukan aktifitasnya seperti bekerja. Hal ini
disebabkan mereka yang menarik diri dari lingkungan masyarakat maupun
lingkungan kerja, karena depresi terkait penyakitnya ataupun karena kondisi tubuh
yang lemah.
6) Pola presepsi dan konsep diri
Pada pasien HIV/AIDS biasanya mengalami perasaan marah, cemas, depresi,
dan stres.
7) Pola sensori kognitif
Pada pasien HIV/AIDS biasanya mengalami penurunan pengecapan, dan
gangguan penglihatan. Pasien juga biasanya mengalami penurunan daya ingat,
kesulitan berkonsentrasi, kesulitan dalam respon verbal. Gangguan kognitif lain
yang terganggu yaitu bisa mengalami halusinasi.
8) Pola hubungan peran
Biasanya pada pasien HIV/AIDS akan terjadi perubahan peran yang dapat
mengganggu hubungan interpersonal yaitu pasien merasa malu atau harga diri
rendah.
9) Pola penanggulangan stres
Pada pasien HIV AIDS biasanya pasien akan mengalami cemas, gelisah dan
depresi karena penyakit yang dideritanya. Lamanya waktu perawatan,perjalanan
penyakit, yang kronik, perasaan tidak berdaya karena ketergantungan menyebabkan
reaksi psikologis yang negatif berupa marah, kecemasan, mudah tersinggung dan
lain-lain, dapat menyebabkan penderita tidak mampu menggunakan mekanisme
koping yang kontruksif dan adaptif.
10) Pola reproduksi seksual
Pada pasaaien HIV AIDS pola reproduksi seksualitas nya terganggu karena
penyebab utama penularan penyakit adalah melalui hubungan seksual.
17. 11) Pola tata nilai dan kepercayaan
Pada pasien HIV AIDS tata nilai keyakinan pasien awal nya akan berubah,
karena mereka menggap hal menimpa mereka sebagai balasan akan perbuatan
mereka. Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh
mempengaruhi nilai dan kepercayaan pasien dalam kehidupan pasien, dan agama
merupakan hal penting dalam hidup pasien.
3. PEMERIKSAAN FISIK
1) Gambaran Umum : ditemukan pasien tampak lemah.
2) Kesadaran pasien : Compos mentis cooperatif, sampai terjadi penurunan
tingkat kesadaran, apatis, samnolen, stupor bahkan coma.
3) Vital sign :
TD : Biasanya ditemukan dalam batas normal
Nadi : Terkadang ditemukan frekuensi nadi meningkat
Pernafasan : Biasanya ditemukan frekuensi pernafasan meningkat
Suhu : Biasanya ditemukan Suhu tubuh menigkat karenademam.
4) BB : Biasanya mengalami penurunan (bahkan hingga 10% BB)
5) TB : Biasanya tidak mengalami peningkatan (tinggi badan tetap)
6) Kepala : Biasanya ditemukan kulit kepala kering karena dermatitisseboreika
7) Mata : Biasanya ditemukan konjungtiva anemis, sclera tidak ikhterik,pupil
isokor, reflek pupil terganggu,
8) Hidung : Biasanya ditemukan adanya pernafasan cuping hidung.
9) Gigi dan Mulut: Biasanya ditemukan ulserasi dan adanya bercak-bercak putih
seperti krim yang menunjukkan kandidiasi.
10) Leher : kaku kuduk ( penyebab kelainan neurologic karena infeksi jamur
Cryptococcus neoformans), biasanya ada pembesaran kelenjer getah bening,
11) Jantung : Biasanya tidak ditemukan kelainan
12) Paru-paru : Biasanya terdapat yeri dada, terdapat retraksi dinding dada pada
pasien AIDS yang disertai dengan TB, Napas pendek (cusmaul), sesak nafas
(dipsnea).
13) Abdomen : Biasanya terdengar bising usus yang Hiperaktif
14) Kulit : Biasanya ditemukan turgor kulit jelek, terdapatnya tanda-tandalesi
(lesi sarkoma kaposi).
15) Ekstremitas : Biasanya terjadi kelemahan otot, tonus otot menurun, akraldingin.
4. ANALISIS DATA/DIAGNOSIS
1) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penyakit paru
obstruksi kronis
2) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kerusakan neorologis,
ansietas, nyeri, keletihan
3) Diare berhubungan dengan infeksi
4) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif
5) Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume
18. cairan aktif, kehilangan berlebihan melalui diare, berat badan ekstrem, faktor
yang mempengaruhi kebutuhan status cairan: hipermetabolik,
6) Ketidak seimbangan cairan elektrolit berhubungan dengan diare
7) Resiko ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan diare, muntah
8) Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungandengan
faktor biologis, ketidak mampuan menelan.
9) Nyeri kronis berhubungan dengan agen cedera;bilogis
10) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera; biologis
11) Hipertermi berhubungan dengan penyakit, peningkatan laju metabolisme
12) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status cairan,
perubahan pigmentasi, perubahan turgor, kondisi ketidak seimbangan nutrisi,
penurunan imunologis
13) Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan pigmentasi,
perubahan turgor kulit, kondisi ketidak seimbangan nutrisi, faktor imunologi
14) Resiko infeksi berhubungan dengan, imunosupresi, malnutrisi, kerusakan
integritas kulit.
15) Keletihan berhubungan dengan status penyakit, peningkatan kelelahan fisik,
malnutrisi, ansitas, depresi, stres
16) Kelelahan berhubungan dengan proses penyakit
17) Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan gejala terkaiit penyakit
18) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan biofisik
19) Harga diri rendah situasional berhubungan dengan gangguan citra tubuh
20) Isolasi sosial berhubungan dengan stigma, gangguan harga diri. (Nanda
Internasional, 2014)
5. INTERVENSI
Perencanaa keperawatan atau intervensi yang di temukan pada pasien dengan
HIV AIDS sebagai berikut.
Tabel Diagnosa dan Intervensi Pada Pasien dengan HIV AIDS
No Diagnosa
Keperawatan
Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
1 Ketidakefektifan bersihan jalan
nafas
Definisi : ketidakmampuan untuk
membersihkan sekresi atau
obstruksi dari saluran nafas untuk
mempertahankan bersihan jalan
nafas
Batasan Karakteristik:
1) Suara nafas tambahan
2) Perubahan frekuensi nafasan
3) Perubahan iraman nafas
4) Penurunan bunyi nafas
5) Sputum dalam jumlah
berlebihan
6) Batuk tidak efektif
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan status
pernafasan tidak terganggu dengan
kriteria hasil :
1) Deviasi ringan dari kisaran
normal frekuensi pernafasan
2) Deviasi ringan dari kisaran
normal Irama pernafasan
3) Deviasi ringan dari kisaran
normal suara auskultasi nafas
4) Deviasi ringan dari kisaran
normal kepatenan jalan nafas
5) Deviasi ringan dari kisaran
normal saturasi oksigen
6) Tidak ada retraksi dinding dada
Menajemen jalan nafas
1) Posisikan pasien untuk
memaksimalkan ventilasi
2) Buang secret dengan memotivasi
pasien untuk melakukan batuk atau
menyedot lendir
3) Motifasi pasien untuk bernafas
pelan, dalam, berputar dan batuk
4) Instruksikan bagaimana agar bisa
melakukan batuk efektif
5) Auskultasi suara nafas, catat area
yang ventilasinya menurun
atautidak dan adanya suara nafas
tambahan
6) Monitor status pernafasan dan
oksigenisasi sebagaimana mestinya
Fisioterapi dada
1) Jelaskan tujuan dan prosedur
fisioterapi dada kepada pasien
2) Monitor status respirasi dan
kardioloogi (misalnya, denyut dan
19. suara irama nadi, suara dan
kedalaman nafas
3) Monitor jumlah dan karakteristik
sputum
4) Instruksikan pasien untuk
mengeluarkan nafas dengan teknik
nafas dalam
Terapi Oksigen
1) Bersihkan mulut, hidung dan
sekresi trakea dengan tepat
2) Siapkan peralatan oksigen dan
berikan melalui sistem hemodifier
3) Monitor aliran oksigen
4) Monitor efektifitas terapi oksigen
5) Pastikan penggantian masker
oksigen/ kanul nasal setiap kali
pernagkat diganti
Monitor Pernafasan
1) Monitor pola nafas (misalnya,
bradipneu)
2) Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
3) Auskultasi suara nafas
4) Kaji perlunya penyedotan pada
jalan nafas dengan auskultasi suara
nafas ronci di paru
5) Auskultasi suara nafas setelah
tindakan, untuk dicatat
6) Monitor kemampuan batuk efektif
pasien
2 Ketidakefektifan Pola Nafas
Definisi : Inspirasi dan atau
ekspirasi yang tidak memberi
ventilasi adekuat
Faktor Resiko :
1) Perubahan kedalamam
pernafasan
2) Bradipneu
3) Dipsnea
4) Pernafasan cuping hidung
5) Takipnea
Faktor yang berhubungan :
1)Kerusakan Neurologis
2)Imunitas Neurologis
Setelah dilakukan asuhan
keperawatan diharapkan status
pernafasan tidak terganggu dengan
kriteria hasil :
1) Frekuensi pernafasan Tidak ada
deviasi dari kisaran normal
2) Irama pernafasan Tidak ada
deviasi dari kisaran normal
3) Suara Auskultasi nafas Tidak ada
deviasi dari kisaran normal
4) Saturasi oksigen Tidak ada
deviasi dari kisaran normal
5) Tidak ada retraksi dinding dada
6) Tidak ada suara nafas tambahan
7) Tidak ada pernafasan cuping
hidung
Menajemen Jalan Nafas :
1) Posisikan pasien untuk
memaksimalkan ventilasi
2) Lakukan fisioterapi dada,
sebagimana semestinya
3) Buang secret dengan memotivasi
klien untuk melakukan batuk atau
menyedot lendir
4) Motivasi pasien untuk bernafas
pelan, dalam, berputar dan batuk.
5) Auskutasi suara nafas, catat area
yang ventilasinya menurun atau
tidak ada dan adanya suara nafas
tambahan
6) Kelola nebulizer ultrasonik,
sebgaimana mestinya
7) Posisikan untuk meringankan sesak
nafas
8) Monito status pernafasan dan
oksigen, sebagaimana mestinya
Pemberian Obat :
1) Pertahankan aturan dan prosedur
yang sesuai dengan keakuratan dan
keamanan pemberian obat-obatan
2) Ikuti prosedur limabenar dalam
pemberian obat
3) Beritahu klien mengenai jenis obat,
alasan pemberian obat, hasil yang
diharapkan, dan efek lanjutan yang
akan terjadi sebelum pemberian
obat.
4) Bantu klien dalam pemberian obat
Terapi Oksigen :
1) Bersihkan mulut, hidung, dan
sekresi trakea dengan tepat
2) Berikan oksigen tambahan seperti
yang diperintahkan
3) Monitor aliran oksigen
20. 4) Periksa perangkat (alat) pemberian
oksigen secara berkala untuk
mmastikan bahwa konsentrasi
(yang telah) ditentukan sedang
diberikan
Monitor Pernafasan :
1) Monitor kecepatan, irama,
kedalaman dan kesulitan bernafas
2) Catat pergerakan dada, catat
ketidaksimetrisan, penggunaan
otot-otot bantu nafas
3) Palpasi kesimetrisan ekstensi paru
4) Auskultasi suara nafas, catat area
dimana terjadinya penurunan atau
tidak adanya ventilasi dan
keberadaan suara nafas tambahan
5) Auskultasi suara nafas setelah
tindakan untuk dicatat
6) Monitor sekresi pernafasan pasien
7) Berikan bantuan terapi nafas jika
diperlukan (misalnya nebulizer)
Monitor tanda-tanda vital :
1) Monitor tekanan darah, Nadi, Suhu,
dan status pernafasan dengan tepat
2) Monitor suara paru-paru
3) Monitor warna kulit, suhu dan
kelembaban
3 Diare
Definisi : Pasase fases yang lunak
dan tidak berbentuk
Batasan Karakteristik :
1) Nyeri abdomen
2) Sedikitnya tiga kali defekasi
per hari
3) Bising usus hiperaktif
Situasional :
1) Penyalahguna an alkohol
Fisiologis
1) Proses Infeksi
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan eliminasi
usus tidak terganggu dengan
kriteria hasil :
1) Pola eliminasi tidak terganggu
2) Suara bising usus tidak
terganggu
3) Diare tidak ada
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan tidak
terjadi keparahan infeksi dengan
kriteria hasil :
1) Malaise tidak ada
2) Nyeri tidak ada
3) Depresi jumlah sel darh putih
Menajemen Saluran Cerna
1) Monitor buang air besar termasuk
frekuensi, konsistensi, bentuk,
volume dan warna, dengan cara
yang tepat
2) Monitor bising usus
Menajemen Diare
1) Tentukan riwayat diare
2) Ambil tinja untuk pemeriksaan
kultur dan sensitifitas bila diare
berlanjut
3) Instruksikan pasien atau anggota
keluarga utuk mencatat warna,
volume, frekuensi, dan konsistensi
tinja
4) Identivikasi faktor yang bisa
menyebabkan diare (misalnya
medikasi, bakteri, dan pemberian
makan lewat selang)
5) Amati turgor kulit secara berkala
6) Monitor kulit perineum terhadap
adanya iritasi dan ulserasi
7) Konsultasikan dengan dokter jika
tanda dan gejala diare menetap
Pemasangan Infus
1) Verivikasi instruksi untuk terapi IV
2) Beritau pasien mengenai prosedur
3) Pertahankan teknik aseptik secara
seksama
4) Pilih vena yang sesuai dengan
penusukan vena, pertimbangkan
prevelansi pasien, pengalaman
masa lalu dengan infus, dan tangan
non dominan
5) Berikan label pada pembalut IV
dengan tanggal, ukuran, dan inisiasi
sesuai protokol lembaga
Terapi Intravena (IV)
1) Verivikasi perintah untuk terapi
intravena
2) Instruksikan pasien tentang
prosedur
21. 3) Periksa tipe cairan, jumlah,
kadaluarsa, karakterisktik dari
cairan dan tingkat merusak pada
kontainer
4) Laukuan (prinsip) lima benar
sebelum memulai infus atau
pemberian pengobatan (misalnya,
benar obat, dosis, pasien, cara, dan
frekuensi)
5) Monitor kecepatan IV, seblum
memberikan pengobatan IV
6) Monitor tanda vital
7) Dokumentasikan terapi yang
diberikan, sesuai protokol dan
institusi
4 Kekurangan Volume Cairan
Definisi : peurunan cairan
intravaskuler, interstisial, dan/atau
intra seluler. Ini mengacu pada
dehidrasi, kehilangan cairan saja
tampa perubahan pada natrium
Batasan Karakteristik :
1) Penurunan tekanan darah
2) Penurunan tekanan nadi
3) Penurunan turgor kulit
4) Kulit kering
5) Penurunan frekuensi nadi
6) Penurnan berat badan tiba-
tiba
7) Kelemahan
Faktor yang berhubungan :
1) Kehilangan cairan aktif
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan
keseimbangan cairan tidak
terganggu dengan kriteria hasil :
1) Tekanan darah tidak terganggu
2) Keseimbangan intake dan
output dalam 24 jam tidak
terganggu
3) Berat badan stabil tidak
terganggu
4) Turgor kulit tidak terganggu
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan hidrasi
tidak terganggu dengan kriteria
hasil :
1) Turgor kulit tidak terganggu
2) Membran mukosa lembab
tidak terganggu
3) Intake cairan tidak terganggu
4) Output cairan tidak terganggu
5) Perfusi Jaringan tidak
terganggu
6) Tidak ada nadi cepat dan
lemah
7) Tidak ada kehilangan berat
badan
Menajemen Cairan :
1) Timbang berat badan setiap hari
dan monitor status pasien
2) Jaga Intake/ asupan yang akurat
dan catat output pasien
3) Monitor status hidrasi (misalmya,
membran mukosa lembab, denyut
nadi adekuat, dan tekanan darah
ortostatik)
4) Monitor hasil laboratorium yang
relevan dengan retensi cairan
(misalnya, peningkatan berat
jenis, peningkatan BUN,
penurunan hematokrit, dan
peningkatan kadar osmolitas
urin)
5) Monitor status hemodinamika
CVP, MAP, PAP, dan PCWP,
jika ada)
6) Monitor tanda-tanda vital
7) Beri terapi IV, seperti yang
ditentukan
8) Berikan cairan dengan tepat
9) Berikan diuretik yang diresepkan
10) Distribusi asupan cairan selama
24 jam
Monitor Cairan :
1) Tentukan jumlah dan jenis
Intake/asupan cairan serta
kebiasaan eliminasi
2) Tentukan faktor-faktor yang
menyebabkan ketidakseimbangan
cairan
3) Periksa isi kulang kapiler
4) Periksa turgor kulit
5) Monitor berat badan
6) Monitor nilai kadar serum dan
elektrolit urin
7) Monitor kadar serum albumin
dan protein total
8) Monitor tekanan darah, denyut
jantung, dan status pernafasan
9) Monitor membran mukosa,
turgor kulit, dan respon haus
5 Ketidak seimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh
Definisi : asuhan kebutuhan tubuh
tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan metabolik metabolik
Batasan karekteristik :
1) Nyeri abdomen
2) Menghindari makan
3) Berat badan 20% atau lebih
dibawah berat baadan ideal
4) Diare
5) Bising usus hiperaktif
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan status
nutrisi dapat ditingkatkan dengan
kriteria hasil:
1) Asupan Nutrisi tidak menyimpang
dari rentang normal
2) Asupan makanan tidak
menyimpang dari rentang normal
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan Status
nutrisi : Asupan nutrisi dapat
ditingkatkan dengan kriteria hasil :
1) Asupan kalori sebagian besar
adekuat
Menajemen Nutrisi
1) Identifikasi adanya alergi atau
intolerasi akanan yang dimiliki
pasien
Terapi nutrisi
1) Kaji kebutahan nutrisi parenteral
2) Berikan nutrisi enteral, sesuai
kebutuhan
3) Berikan nutrisi enteral
4) Hentikan pemberian makanan
melalui selang makan begitu pasien
mampu mentoleransi asupan
(makanan) melalui oral
22. 6) Penurunan berat badan
dengan asupan yang adekuat
7) Membran mukosa pucat
8) Ketidak mampuan memakan
makanan
9) Tonus otot menurun
10) Sariawan rongga mulut
11) Kelemahan otot untuk
menelan
Faktor Berhubungan :
1) Faktor biologis
2) Ketidak mampuan untuk
mengabsorbsi nutrien
3) Ketidak mampuan untuk
mencerna makanan
4) Ketidak mampuan menelan
makan
2) Asupan protein sebagian besar
adekuat
3) Asupan lemak sebagian besar
adekuat
4) Asupan karbohidrat sebagian besar
adekuat
5) Asupan vitamin sebagian besar
adekuat
6) Asupan mineral sebagian besar
adekuat
Setelah dialkukan tindakan
keperawatan diharapkan terjadi
peningkatan nafsu makan dengan
kriteria hasil :
1.Intake makanan tidak terganggu
2.Intake nutrisi tidak terganggu
3.Intake cairan tidak terganggu
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan terjadi
peningkatan
status nutrisi : asupan makanan
dan cairan dengan kriteri hasil :
1)Asuhan makanan secara oral
sebagian besar adekuat
2)Asupan cairan intravena
sepenuhnyaa kuat
3)Asupan nutrisi parenteral
sepenuhnya kuat
5) Berikan nutrisi yang dibutuhkan
sesuai batas diet yang dianjurkan
Pemberian Nutrisi Total Parenteral
(TPN)
1) Pastikan isersi intravena cukup
paten untuk pemberian nutrisi
intravena
2) Pertahankan kecepatan aliran yang
konstan
3) Monitor kebocoran, infeksi dan
komplikasi metabolik
4) Monitor masukan dan output cairan
5) Monitor kadar albumin, protein
total, elektrolit, profil lipid, glukosa
darah dan kimia darah
6) Monitor tanda-tanda vital
6 Nyeri akut
Definisi : pengalaman sensori dan
emosional yang tidak
menyenangkan yang muncul akibat
kerusakan jaringan yang aktual
atau potensial atau di gambarkan
dalam hal kerusakan sedemikian
rupa (International Association for
the Study of Paint); awitan yang
tiba – tiba atau lambat dari
intensitas ringan hingga berat
dengan akhir yang dapat di
antisipasi atau diprediksi dan
berlangsung < 6 bulan
Batasan Karakteristik :
1) Perubahan selera makan
2) Perubahan tekanan darah
3) Perubahan frekuensi jantung
4) Perubahan frekuensi
pernafasan
5) Laporan isyarat
6) Diaforesis
7) Perilakuditraksi (mis; berjalan
mondar mandir, mencari orang
lain dan/ atau aktifitas lain,
aktivitas yang berulang)
8) Mengekpresik an prilaku
(misal gelisah merengek,
menangis, waspada, iritabilitas,
mendesah)
9) Masker wajah (mis; mata
kurang bercahaya, tampak
kacau, gerakan mata berpancar
atau tetap pada satu fokus,
meringis)
10) Sikap melindungi area nyeri
11) Gangguan presepsi nyeri,
hambatan proses berfikir,
penurunan interaksi dengan
orang dan lingkungan)
12) Indikasi nyeri yang dapat
diamati
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan kontrol
nyeri dapat dipertahankan dengan
kriteria hasil:
1) Secara konsisten menunjukkan
menggunakan tindakan
pengurangan (nyeri) tanpa
analgesik
2) Secara konsisten menunjukkan
Menggunakan analgesik yang
direkomendasikan
3) Melaporkan nyeri terkontrol
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan tingkat nyeri dapat
diatasi:
1) Nyeri yang dilaporkan tidak ada
2) Mengerang dan meringis tidak
ada
3) Menyeringit tidak ada
4) Ketegangan otot tidak ada
5) Tanda –tanda vital tidak
mengalami devisiasi
Pemberian analgesik :
1) Tentukan lokasi, karakteristik,
kualitas dan keparahan nyeri
sebelum mengobati pasien
2) Cek perintah pengobatan meliputi
obat, dosis, dan frekuensi obat
analgesik yang diresepkan
3) Cek adanya riwayat alergi obat
4) Pilih analgesik atau kombinasi
lebih dari satu diberikan
Menajemen nyeri :
1) Lakukan pengkajian nyeri
komprehensif yang meliputi lokasi,
karakteristik, onset/durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas atau
beratnya nyeri dan faktor pencetus
2) Observasi adanya petunjuk
nonverbal mengenai
ketidaknyamanan
3) Gunakan strategi komunikasi
terapeutik untuk mengetahui
pengalaman nyeri dan sampaikan
penerimaan pasien terhadap nyeri
4) Kaji bersama pasien faktorfaktor
yang dapat menurunkan atau
memberatkan nyeri
5) Ajarkan penggunaan teknik non
farmakologilan nyeri
6) Evaluasi keefektifan dari tindakan
pengontrolan
7) Mendukung istirahat tidur
8) Memberikan informasi terkait
dengan diagnosa dan keperawatan
9) Mendorong keluarga menemani
pasien
10) Kaji tanda verbal dan non verbal
dari ketidak nyamanan
Monitor tanda tanda vital :
1) Monitor tekanan darah, nadi, suhu,
dan status pernafasan dengan tepat
23. 13) Perubahan posisi untuk
menghindari nyeri
14) Sikap tubuh melindungi
15) Dilatasi pupil
16) Melaporkan nyeri secara
verbal
17) Fokus pada diri sendiri
18) Gangguan tidur
Faktor yang berhubungan :
Agen cedera (mis, biologis, zat
kimia, fisik, psikologis)
7 Resiko kerusakan integritas kulit
Definisi : beresiko mengalami
perubahan kulit yang uruk
Faktor Resiko Eksternal
1) Zat kimia
2) Ekskresi
3) Usia yang ekstream
4) Hipertermia
5) Hipotermia
6) Humiditas
7) Faktor mekanik (mis, gaya
gunting, tekanan,
pengekangan)
8) Lembab
9) Imobilisasi fisik
10) Radiasi
11) Sekresi Internal
1) Perubahan pigmentasi
2) Perubahan turgor kulit
3) Faaktor perkembangan
4) Kondisi ketidak seimbangan
nutrisi ( obesitas, emasiasi/
kurus kerempeng)
5) Gangguan sirkulasi
6) Gangguan kondisi metabolik
7) Faktro imunologi
8) Medikasi
9) Faktor psikogenik
10) Tonjolan
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan integritas
jaringan kulit dan
membranmukosa dapat
ditingkatkan :
1. Suhu kulit tidak terganggu
2. Tekstur kulit tidak terganggu
3. Integritas kulit tidak terganggu
4. Pigmentasi abnormal ringan
5. Lesi mukosa ringan
6. Kanker kulit tidak ada
Pemberian obat kulit:
1) Ikuti prinsip 5 benar pemberian
2) Catat riwayat medis pasien dan
riwayat alergi
3) Tentukan pengetahuan pasien
mengenai medikasi dan
pemahaman pasien mengenai
metode pemberian obat
Pengecekan kulit :
1) Amati warna, kehangatan, bengkak,
pulsasi, tekstur, edema, dan ulserasi
pada ekstremitas
2) Monitor warna dan suhu kulit
3) Monitor kulit dan selaput lendir
terhadap area perubahan warna,
memar, dan pecah
4) Monitor kulit untuk adanya ruam
dan lecet
8 Harga diri rendah situasional
Definisi : perkembangan presepsi
negatif tentang harga diri sebagai
respon terhadap situasi saat ini
(sebutkan)
Batasan Karakteristik :
1) Evaluasi diri bahwa individu
tidak mampu menghadapi
peristiwa
2) Evaluasi diri bahwa individu
tidak mampu menghadapi
situasi
3) Perilaku bimbang
4) Perilaku tidak asertif
5) Secara verbal melaporkan
tentang situasional saat ini
terhadap harga diri
6) Ekspresi ketidakberdaya an
7) Ekspresi ketidak bergunaan
8) Verbalisasi meniadakan diri
Faktor Berhubungan :
1) Perilaku tidak selaras dengan
nilai
2) Perubahan perkembangan
3) Gangguan citra tubuh
4) Kegagalan
5) Gangguan fungsional
6) Kurang penghargaan
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan terjadi
peningkatan harga diri dengan
kriteria hasil :
1) Verbalisasi penerimaan diri
2) Penerimaan terhadap
keterbatasan diri
3) Mempertahankan posisi tegak
4) Mempertahankan kontak mata
5) Komunikasi terbuka
Peningkatan citra tubuh
1)Tentukan harapan citra diri pasien
didasarkan pada tahap
perkembangan
2)Tentukan perubahan fisik saat ini
apakah berkontribusi pada cita diri
pasien
3)Bantu pasien untuk mendiskusikan
perubahan - perubahan (bagian
tubuh) disebabkan adanya penyakit
dengan cara yang tepat
4)Monitor frekuensi dari pernyataan
mengkritisi diri
5)Monitor pernyataan yang
mengidentifikasi citra tubuh
mengenai ukuran dan berat badan
Peningkatan koping :
1)Gunakan pendekatan yang tenang
dan memberikan jaminan
2)Berikan suasana penerimaan
3)Sediakan informasi aktual
mengenai diagnosis, penanganan
dan prognosis
Peningkatan harga diri :
1)Monitor penerimaan pasien
mengenai harga diri
2)Jangan mengkritisi pasien secara
negatif
24. 7) Kehilangan penghargaan
8) Kehilangan
9) Penilakan
10) Perubahan peran sosial
9 Ansietas
Definisi : perasaan tidak nyaman
atau kekhawatiran yang samar
disertai respon autonom (sumber
sering kali tidak spesifik atau tidak
diketahui oleh individu); perasaan
takut yang disebabkan oleh
antisipasi terhadap bahaya. Hal ini
merupakan siyarat kewaspadaan
yang memperingatkan individu
akan adanya bahaya dan
memampukan individu untuk
bertindak menghadapi ancaman
Batasan karakteristik : Prilaku
1) Penurunan produktivita
2) Gerakan irelevan
3) Gelisah
4) Melihat sepintas
5) Insomnia
6) Kontak mata yang buruk
7) Mengekspresi kan
kekhawatiran karena
peruahan dalam peristiwa
hidup
8) Agitasi
9) Mengintai
10) Tampak waspada
Afektif
1) Gelisah
2) Kesedihan yang mendalam
3) Distres
4) Ketakutan
5) Perasaan tidak adekuat
6) Berfokus pada diri sendiri
7) Peningkatan kewaspadaan
8) Iritabilitas
9) Gugup
10) Senang berlebihan
11) Rasa nyeri yang
meningkat ketidak
berdayaan
12) Peningkatan rasa ketidak
berdayaan yang persisten
13) Bingung
14) Menyesal
15) Ragu/ tidak percaya diri
16) Khawatir
17) Fisiologis
1) Wajah tegang
2) Tremor tangan
3) Peningkatan keringat
4) Gemetar
5) Tremor
6) Suara bergetar
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan tingkat
kecemasan tidak terganggu dengan
kriteria hasil :
1) Tidak ada wajah tegang
2) Tidak ada rasa takut yang
disampaikan secara lisan
3) Tidak ada rasa cemas yang di
sampaikan secara lisan
4) Tidak ada peningkatan tekan
darah
5) Tidak ada peningkatan tekanan
nadi
6) Tidak ada peningkatan frekuensi
pernafasan
7) Tidak ada menarik diri
8) Tidak ada gangguan pola tidur
Bimbingan antisipatif :
1) Bantu klien mengidentifikasi
kemungkinan perkembangan situasi
krisis yang akan terjadi dan efek
dari krisis yang bisa berdampak
pada klien dan keluarga
2) Gunakan contoh kasus untuk
meningkatkan kemampuan
pemecahan masalah klien dengan
cara yang tepat
3) Libatkan keluarga maupun orang
orang terdekat klien jika
memungkinkan
Pengurangan kecemasan :
1) Gunakan pendekan yang tenang
dan menyakinkan
2) Nyaktakan dengan jelas harapan
terhadap prilaku klien
3) Berikan informasi faktual terkait
diagnosis, perawatan dan progosis
4) Dorong keluarga untuk
mendampingi pasien dengan cara
yang tepat
5) Puji kekuatan prilaku yang baik
secara tepat
6) Dengarkan klien
7) Identifikasi pada saat terjadi
perubahan kecemasan
8) Instruksikan pasien untuk
menggunakan teknik relaksasi
9) Kaji untuk tanda verbal dan
nonverbal keceemasan
25. 6. IMPLEMENTASI
Implementasi dilakukan berdasarkan pengkajian diagnosa keperawatan dan
intervensi keperawatan,contoh implementasi:
Diagnosa
Keperawatan
Tindakan Keperawatan Paraf
Ketidakefektifan bersihan
jalan napas berhubungan
dengan sekresi yang
tertahan
1. Posisikan pasien untuk
memaksimalkan ventilasi
2. Instruksikan bagaimana agaar bisamelakukan
batuk efektif
3. Posisikan untuk meringankansesak
nafas
4. Monitor kecepatan, irama, kedalaman dan
kesulitan bernafas
5. Monitor kemampuan batuk efektifpasien
6. Monitor keluhan sesak nafas pasien,
termasuk kegiatan yang meningkatkan atau
mempeburuksesak nafas tersebut
Nyeri akut berhubungan
dengan agen cedera
biologis(infeksi)
1. Melakukan pengkajian nyeri
komprehensif
2. Kurangi atau eliminasi faktor- faktor yang
dapat mntuskan ataumeningkatkan nyeri
3. Ajarkan prinsip-prinsip manajmennyeri
Ketidakseimbangan nutisi
kurang dari kebutuhan
tubuh berhubungan dengan
faktor biologis
1. Menentukan status gizi
2. Menentukan IMT
3. Monitor penurunan berat badan
4. Monitor turgor kulit
5. Monitor adanya mual muntah
6. Mengidentifikasi penurrunan nafsumakan
7. Mengidentifikasi rongga mulut
8. Monitor tanda-tanda vital
7. EVALUASI
Evaluasi dilakukan berdasarkan pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi
keperawatan dan implementasi keperawatan yang dilihat dari hasil perkembangan
klien selama melakukan keperawatan,contoh evaluasi:
Diagnosa Keperawatan Evaluasi Keperawatan Paraf
26. Ketidakefektifan bersihan
jalan napas berhubungan
dengan sekresi yang
tertahan
S:
- Pasien mengatakan batuk
berdahak namun sulit untuk
mengeluarkan dahak
- Pasien mengatakaan sesak nafas
O:
- Pasien tampak sesak
- Tekanan darah 120/70 mmHg
- Nadi 96 x/menit
- Suhu 36,80
C
- Pernafasan 24 x/menit
- Pasien tampak sering batuk-batukA:
Masalah belum teratasi
P: Intevensi dilanjutkan
- Posisikan untuk meringankansesak
nafas
Nyeri akut berhubungan
denganagen cedera biologis
(infeksi)
S:
- Pasien mnegatakan daad terasanyeri
saat batuk
- Pasein mengtakaan nyeri hilangtimbul
- Pasien mengatakan rasa nyeri
menyesak dada
- Pasien mengatakan skala nyeri 3
- Pasien mengatakan neyri hilangsaat
berubah posisi
O:
- Pasien tampak gelisah
- Pasien sesekali tampak meringis
- Nadi 96 x/menit A:
Masalah belum
teratasiP: Intervensi
dilanjutkan
- Ajarkan prinsip-prinsip manajmennyeri