Dokumen tersebut memperkenalkan anggota koalisi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia yang tersebar di seluruh Indonesia. Dokumen tersebut memberikan profil singkat dua anggota koalisi yaitu Bojonegoro Institute yang berfokus pada transparansi pendapatan dari sektor migas di Bojonegoro, dan Pokja 30 yang berupaya mendorong transparansi pengelolaan sumber daya alam di Kalimantan Timur.
Legal Framework of Contract Disclosure of Oil and Gas, Mineral and Coal Secto...
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transparansi Ekstraktif
1. Indonesia
Koalisi Masyarakat Sipil
untuk Transparansi & Akuntabilitas Tatakelola Sumberdaya Ekstraktif (Migas dan Pertambangan)
Profil Anggota Koalisi PWYP Indonesia
J
aringan koalisi Publish What You Pay
(PWYP) Indonesia
memiliki potensi yang
bisa menjadi modal
gerakan untuk mendorong transparansi
di sektor ekstraktif.
Anggota koalisi ini
tersebar di seluruh Indonesia yang terdiri
dari 4 simpul wilayah
yaitu, Jawa, Sumatera, Kalimantan dan
Papua. Mereka memiliki keragaman pengetahuan dan keahlian serta kapasitas
lembaga.
Di simpul Jawa terdiri
dari
Seknas
FITRA, PATTIRO, Yayasan Samdhana, IDEA Yogyakarta, IESR, PCC Tuban, LPAW Blora, Transparency
Internasional Indonesia,
ICW,
IPC dan Bojonegoro Institute, Di simpul
Sumatera, ada Mata dan GERAK Aceh, FKPMR, LPAD Riau, Sedangkan di simpul
Kalimantan, ada Pokja 30 Samarinda, PADI Indonesia, YCHI Banjarbaru,dan
C-Force. Simpul Papua dikawal oleh Foker LSM Papua, Jasoil, Kipra Papua dan
Perdu Manokwari (Papua Barat). Meski tidak merata dalam konteks sebaran
propinsi, namun secara garis besar jaringan koalisi ini sudah mewakili dari ujung
Sumatera sampai ujung Papua.
Dengan keragaman anggota PWYP -Indonesia memiliki tujuan dan fokus kegiatan
masing-masing baik dalam hal gerakan advokasi, pemberdayaan masyarakat
maupun mendorong transparansi dalam pengelolaan pendapatan dari sektor
ektraktif. Hal ini mengakibatkan beragamnya proyek-proyek kegiatan yang telah
dilaksanakan oleh masing-masing anggota koalisi. Berikut profil anggota PWYP
yang mewakili simpul Jawa dan Kalimantan: Bojonegoro Institut dan Pokja
30.1
Sekretariat: PWYP - Indonesia Gdg Jiwasraya, Lt 3, Jl.. RP Seoroso No.41, Gondangdia - Menteng, Jakarta Pusat,
INDONESIA Tel +62 21 3939022 Fax +62 21 3909917, Kode Pos 10350
2. Bojonegoro Institute
Mandat Bojonegoro Institute (disingkat BI)
adalah mengawal regulasi dan pembaharuan
tata pemerintahan lokal secara berkelanjutan
yang berbasis masyarakat, dalam kerangka
demokratisasi dan desentralisasi, menuju
relasi antara negara dan masyarakat yang kuat
dan bermakna, serta kehidupan masyarakat
sipil yang tangguh, semarak, dinamis dan
partisipatif.
Karena itu, BI bersama lembaga lain berusaha
untuk melakukan proses fasilitasi dalam upaya
untuk mendorong pemerintah daerah dan
stakeholder menuju pembangunan ekonomi
dan sosial yang lebih baik. Salah satunya upaya
untuk mencegah terjadinya kutukan sumber
daya alam dan mendorong upaya mengubah
sumber daya migas yang melimpah tersebut
dapat memberikan kemakmuran sebesarbesarnya bagi masyarakat di kabupaten Blora
dan Bojonegoro.
Untuk mewujudkan itu, BI pernah menggelar
Lokakarya “Pengembangan Sosial Ekonomi
Daerah Berbasis Transparansi Pendapatan Dari
Minyak dan Gas Bumi” di Bojonegoro pada
11 Juni 2009. Lokakarya itu diikuti aktivis
organisasi masyarakat sipil (OMS) setempat,
tokoh masyarakat dan agama, serta jajaran
pemerintah kabupaten Bojonegoro dan Blora.
Program ini bertujuan untuk membantu daerah
Blora dan Bojonegoro sebagai penghasil migas,
melepaskan diri dari kemiskinan.
Dengan keberadaan tambang migas Lapangan
Banyu urip-Jambaran, Blok Cepu, masyarakat
Blora dan Bojonegoro dioharapkan bisa
menikmati pembangunan ekonomi, sosial
dan kesehatan. Karena itu perlu peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam
perencanaan dan pengelolaan pembangunan
daerah dan bantuan teknis serta memperkuat
partisipasi publik. Lembaga ini juga mengadakan
dialog seputar pengelolaan pertambangan
minyak pada 30 Mei 2008. Bekerja sama dengan
Pemkab Bojonegoro, lembaga ini juga pernah
mengadakan pelatihan cara menghitung dana
bagi hasil migas, khususnya dana bagi hasil
yang harus diterima daerah penghasil.
Pokja 30
Pokja 30, merupakan OMS yang berkedudukan
di Samarinda, Kalimantan Timur yang menaruh
perhatian pada kebijakan pengelolaan dan
transparansi anggaran dari sektor ekstraktif.
Keberadaannya sangat relevan mengingat
wilayah ini adalah salah satu provinsi di
Kalimantan yang kaya dengan sumber alam.
Indutri ekstraktif tumbuh bak cendawan di
Area pertambangan di Kaltim Prima Coal
(www.otraco.com.)
musim hujan terutama pasca diberlakukannya
otonomi daerah pada 2002. Selain migas, emas
dan kayu, batu bara juga menjadi primadona
guna memenuhi pundi-pundi PAD dan PDB
nasional.
Meski pendapatan Kaltim cukup besar,
seperti APBD Kabupaten Kutai Kertanegara
mencapai sekitar Rp. 5,5 Trilyun, namun
mayoritas masyarakat di sana masih hidup
miskin. Realitasnya menunjukan peningkatan pendapatan daerah dari sumberdaya
alam ekstraktif tidak menunjukkan korelasi
positif dengan peningkatan pelayanan publik,
maupun kesejahteraan masyarakat setempat.
Hal ini diduga karena terjadinya korupsi dan
pola belanja pemerintah daerah yang tidak
semestinya. Kurangnya transparansi telah
memfasilitasi korupsi.
Ketika perusahaan migas dan pertambangan
tidak mempublikasikan pembayaran yang
mereka lakukan kepada pemerintah, menjadi
lebih mudah bagi aparat pemerintah untuk
menggelapkan dana-dana itu dan lebih sulit
bagi warga negara untuk mengontrolnya.
Karena itu, Pokja 30 berupaya mendorong
transparansi dan partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan sektor ekstraktif, serta menggagas arah kebijakan dan aksi strategis untuk
mendorong transparansi, partisipasi dan tata
kelola pertambangan yang baik di Kaltim.
Pokja 30 telah menggelar semiloka tentang
“Transparansi Pendapatan Industri Ekstraktif”
di Kalimantan Timur di Samarinda pada
23-25 Maret 2009. Ada dua masalah yang
disorot terkait dengan tata kelola industri
ekstraktif yaitu lemahnya dalam regulasi
dan pelaksanaan di lapangan. Tidak ada
data yang sama dan singkron antar lembaga
pemerintah selama ini baik dari Dispenda,
Dinas Pertambangan dan Energi dan instansi
pemerintah lainnya. Kesimpangsiuran data
tersebut menegaskan betapa tidak terurusnya
aspek manajemen data pemerintah yang
berpotensi bagi korupsi.1