Tiga kalimat ringkasan dari dokumen tersebut adalah:
Dokumen tersebut membahas tentang kebangkrutan maskapai penerbangan nasional Merpati Nusantara Airlines yang disebabkan oleh ketidakjelasan peran dan orientasi maskapai-maskapai penerbangan nasional, lemahnya pengawasan pemerintah terhadap industri penerbangan, serta persaingan yang kurang sehat antar maskapai.
1. Nama : Jihan Paquita
NPM : 16 11 058
Kelas : Manajemen A.2.1
Mata Kuliah : Pengantar Manajemen
Di Balik Kebangkrutan Merpati
Chappy Hakim ; Mantan Kepala Staf TNI AU
KOMPAS, 18 Februari 2014
Salah sau berita paling menarik belakangan ini adalah mengenai kebangkrutan maskapai
penerbangan perintis Merpati Nusantara Airlines.
Banyak sekali pertanyaan tentang bagaimana hal itu bisa terjadi? Perusahaan negara yang
banyak memperoleh kemudahan dan bersubsidi bisa gagal total dalam berkiprah di
lapangannya sendiri. Untuk dapat sampai kepada jawaban yang ”agak mendekati” kebenaran,
kiranya perlu melihat lebih dahulu bagaimana peta dunia penerbangan kita secara
keseluruhan hingga saat ini.
Dulu, orang dapat melihat dengan jelas Garuda adalah maskapai ”Sang Pembawa Bendera”
NKRI, duta bangsa yang menghubungkan kota-kota besar di dalam dan luar negeri. Dengan
demikian, terlihat jelas bahwa Garuda memang mengoperasikan pesawat terbang yang relatif
besar ukurannya. Di sisi lain Merpati Nusantara Airlines (MNA) adalah maskapai yang
menerbangi rute-rute terpencil di banyak daerah yang terisolasi di pelosok negeri ini dan
tentu saja harus menggunakan pesawat berukuran kecil. Kedua maskapai dengan tugas yang
sangat berbeda berkiprah dengan misi yang sangat mulia, yaitu menjaga keutuhan NKRI
dengan jalan merajut jaring-jaring persatuan bangsa dengan menyelenggarakan fungsi
pemerintahan di sektor jasa angkutan udara.
2. Bergeser dari Misi
Kini, kita menyaksikan bagaimana Garuda yang telah go public mulai membeli pesawat
terbang kecil untuk juga masuk ke rute-rute penerbangan ”perintis”. Sementara ”Sang Burung
Merpati”, MNA ternyata sudah pula memiliki pesawat terbang berukuran relatif besar dan
bahkan menerbangi rute penerbangan sampai jauh ke luar negeri. Merpati seolah telah
meninggalkan daerah-daerah kumuh terpencil di pelosok negeri yang sangat
menggantungkan kelangsungan hidupnya dari sektor jasa perhubungan udara.
Sampai di sini kelihatan bahwa orientasi Garuda dan Merpati telah cukup jauh bergeser.
Sudah menjadi rancu siapa yang berperan sebagai The Flag Carrier, duta bangsa, dan siapa
pula yang seharusnya berperan sebagai ujung tombak ”pahlawan” penembus daerah terpencil
di pelosok negeri kepulauan terbesar di dunia ini.
Di sisi lain, ada hal sangat menarik dalam kancah dunia penerbangan nasional, yaitu untuk
pertama kali dalam sejarah Republik, Garuda sudah ”dilewati” atau kalau tidak ”dikalahkan”
oleh maskapai swasta, baik dari segi jumlah kepemilikan pesawat maupun jumlah
penerbangan. Garuda—maskapai penerbangan milik pemerintah yang dapat banyak
kemudahan dan subsidi serta telah meraih berbagai penghargaan sebagai indikasi berkualitas
standar internasional dengan usia ”beda tipis” dengan usia pemerintahan RI—dikalahkan oleh
maskapai yang baru lahir kemarin sore.
Di balik tumbangnya banyak maskapai pemain lama, muncul pemain-pemain baru yang
membawa darah segar dalam industri penerbangan nasional. Tak semua pemain baru cukup
”lihai” berakrobat dalam bisnis penerbangan yang terlihat glamor, mewah, dan seksi itu.
Persaingan yang menjurus ke hal kurang sehat tak dapat dihindarkan sebagai akibat dari
terbatasnya pengetahuan tentang dunia penerbangan, terutama masalah teknis para
pengelolanya. Dari ”pergumulan” sepanjang 1-2 dekade terakhir, hasil akhir sementara
adalah di sektor penerbangan perintis sudah tidak terlihat lagi MNA. Di rute-rute gemuk
terlihat satu-dua maskapai yang sanggup tampil dengan gagah perkasa. Dan yang paling
menonjol adalah ”prestasi” satu maskapai yang ternyata memperoleh izin agak istimewa
untuk dapat mengelola tiga perusahaan penerbangan sekaligus yang dapat bermain di
penerbangan perintis, penerbangan berbiaya murah, dan penerbangan premium yangtadinya
seolah hanya milik Garuda.
3. Meski demikian, seiring dengan itu, prestasi ini memunculkan banyak pertanyaan di media
dan kalangan anggota DPR, terutama Komisi V, terkait dengan ”keberpihakan” dan pilih
kasih pemerintah sebagai regulator kepada maskapai ini. Muncul kesan—mudah-mudahan
jauh dari kebenaran—bahwa operator sudah bisa mengatur regulator. Apa sebenarnya yang
terjadi dalam hubungan itu, kita tidak tahu.
Ada yang Salah
Januari 2014, kita semua juga menyaksikan keramaian baru, yaitu diresmikannya kembali
Pangkalan Udara TNI AU Halim Perdanakusuma—yang hanya memiliki satu runway dan tak
memiliki taxiway—untuk melayani penerbangan komersial. Hal ini akibat Bandara
Internasional Soekarno-Hatta kewalahan karena penerbangan di sana sudah tiga kali lipat dari
kapasitas tampungnya. Seiring dengan itu, keluhan pemakai jasa penerbangan meningkat luar
biasa akibat keterlambatan pesawat yang sudah lebih dari delapan jam.
Selain itu, kinerja air traffic control (ATC) kita juga banyak bermasalah. Mulai dari peralatan
di Jakarta yang sudah ketinggalan zaman, bahkan lebih tua dari peralatan yang sudah
beroperasi di Makassar, hingga kualitas, jumlah, dan kesejahteraan SDM yang tak standar
karena baru saja ada penggabungan dari berbagai institusi yang terpecah menjadi satu
organisasi. Tidak itu saja, sudah jadi rahasia umum, dunia penerbangan Indonesia saat ini
sedang menghadapi masalah serius, yakni kekurangan pilot. Bukan hanya penumpang, para
pilot dan controller ATC yang bertugas di Jakarta kini merasakan beban kerja cukup berat.
Faktor keamanan terbang sudah sangat perlu perhatian serius untuk ditangani ”segera”.
Lampu kuning dalam proses menuju lampu merah.
Dari keseluruhan uraian tadi, sangat jelas ada yang ”salah” dalam manajemen penerbangan
nasional. Penataan maskapai tak konsisten sehingga orientasi misi jadi tidak jelas, mana
perintis dan mana yang untuk kota besar. Faktor pengawasan juga sangat lemah sehingga
Bandara Soekarno-Hatta bisa bablas melayani sampai tiga kali lipat kapasitas dan pembinaan
ATC jauh tertinggal dari perkembangan jumlah penerbangan.
Dengan pengawasan regulator (Kementerian Perhubungan) terhadap operator (manajemen
bandara dan maskapai) lemah, sulit berharap pengawasan internal di manajemen bandara dan
maskapai dapat berjalan baik. Di sini sistem tak terbangun, apalagi berjalan. Pengalaman
4. memperlihatkan, dalam operasi penerbangan, jika sistem tak berjalan, kesemrawutan akan
sangat mudah terjadi. Kelebihan kapasitas dan keterlambatan terbang yang parah adalah
contoh sederhana yang terlihat di permukaan.
Dari gambaran itu, tidak sulit menebak penyebab bangkrutnya MNA. Penataan maskapai
yang tak konsisten di tingkat pusat dan pengawasan yang lemah dihadapkan dengan medan
juang MNA, yang notabene daerah terpencil (remote area). Tuntutan yang tinggi dari pasar
angkutan udara berhadapan langsung dengan rendahnya pelayanan yang dapat di
selenggarakan, mau tak mau telah membuka banyak peluang terjadinya salah urus.
Semua itu mengakibatkan manajemen di tingkat pusat sulit dapat informasi yang benar
tentang apa yang sebenarnya terjadi di lapangan, nun jauh di daerah terpencil. Bagaimana
hubungan dan mekanisme kerja antara pilot dengan stasiun dan distrik manajer; hubungan
antara para manajer di daerah terpencil dengan para calo barang dan penumpang. Pergantian
yang begitu sering terjadi di jajaran direksi MNA 2-3 tahun terakhir, kapabilitas dan
kompetensi para personelnya, paling tidak merefleksikan realita di lapangan.
Ditambah lagi persaingan antarmaskapai yang tak hanya memperebutkan pasar, tetapi juga
izin rute penerbangan terkait padatnya traffic. Tak sederhana memang masalah penerbangan
nasional dan masalah yang dihadapi MNA. Sudah waktunya semua pemangku kepentingan
lebih transparan dan duduk bersama mencari solusi tuntas. Mudah-mudahan tak ada korban
lagi hanya karena salah urus.
Sumber : http://budisansblog.blogspot.co.id/2014/02/di-balik-kebangkrutan-merpati.html.