SlideShare a Scribd company logo
1 of 100
Download to read offline
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir
Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan
Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
2015
ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6
Ekonomi Biru
Sumberdaya Pesisir
Editor :
Dr.-Ing. Widodo S. Pranowo
Dr. Irsan S. Brodjonegoro
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Laut dan Pesisir
Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan
Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
2015
Judul Buku :
EKONOMI BIRU SUMBERDAYA PESISIR
Editor :
Dr.-Ing. Widodo S. Pranowo
Dr. Irsan S. Brodjonegoro
Desain sampul dan Penata isi :
Sari Novita, S.T
Korektor :
Agus Hermawan, S.Sos
Dani Saepuloh, A.Md
Sari Novita, S.T
Jumlah Halaman:
93 + v halaman romawi
Seri :
Pengetahuan Sumberdaya Laut dan Pesisir No.1
Edisi/ cetakan:
Cetakan 1, Desember 2015
Sumber foto sampul:
Suhelmi IR, et al. 2013. Garam Madura, Tradisi dan Potensi Usaha Garam Rakyat.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Laut dan Pesisir, Badan Penelitian
dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Penerbit :
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Laut dan Pesisir
Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan
Komplek Bina Samudera Jl. Pasir Putih II Lantai 4, Ancol Timur,
Jakarta Utara 14430 – DKI Jakarta. www.p3sdlp.litbang.kkp.go.id
Telp. : (021) 64700755 / Fax. : (021) 64711654, Email : set.p3sdlp@gmail.com
ISBN : 978-602-9086-40-9
e- ISBN : 978-602-9086-41-6
Di cetak oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Laut dan Pesisir
@ 2015, hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang
Dilarang mengutip/memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari
penerbit
iii
KATA SAMBUTAN
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Laut dan Pesisir,
Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, telah
melakukan kajian dan riset tentang penerapan konsep ekonomi biru dibidang
kelautan dan perikanan.
Ekonomi biru merupakan prinsip yang harus dipegang untuk kemudian
dioperasional-kan dalam industrialisasi kelautan dan perikanan. Pada
dasarnya konsep ekonomi biru ini mampu menciptakan industri kelautan dan
perikanan yang ramah lingkungan serta dapat meningkatkan pendapatan
perekonomian masyarakat sekitar. Ekonomi biru ini diharapkan mampu
meningkatkan sumber daya alam yang ada tanpa mengurangi fungsi dan
kualitas itu sendiri, khususnya di daerah pesisir.
Harapan kami adalah bahwa buku seri pengetahuan ini dapat
dipergunakan dan disempurnakan lagi sehingga dapat bermanfaat bagi
masyarakat umum.
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Laut dan Pesisir,
Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan
Dr. Budi Sulistiyo, M.Sc.
iv
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas segala
berkat rahmat dan karunia Nya, sehingga Buku Ekonomi Biru Sumberdaya
Pesisir ini dapat diselesaikan.
Dalam buku ini tim penulis berusaha memberikan gambaran umum
mengenai penerapan prinsip ekonomi biru yang dapat memberikan inspirasi
bagi masyarakat sehingga pembangunan kelautan dan perikanan di Indonesia
dapat lebih terarah dan tepat sasaran.
Dijelaskan pula beberapa hasil penelitian diantaranya mengenai
pengelolaan sumberdaya kelautan secara maksimal dan menjadi lebih kreatif
di bidang industri masyarakat perikanan dan pesisir, seperti komoditi garam
dan tuna tongkol cakalang, sesuai prinsip ekonomi biru yang sedang gencar
diterapkan sejak tahun 2012. Selain itu dipaparkan juga pentingnya daya
dukung lingkungan perairan dalam menjaga keberlangsungan kegiatan
ekonomi biru. Pada edisi ini terdapat bab yang membahas tentang kualitas air
di Sungai Manggar dan Teluk Saleh, serta hasil penelitian kondisi ekologi
padang lamun dalam kapasitasnya untuk menyerap dan menyimpan karbon,
sebagai lanjutan dari studi Karbon Biru Kepulauan Derawan tahun.
Kami mengucapkan terima kasih kepada segenap pimpinan, dan
keluarga besar lingkup Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut
dan Pesisir, atas kontribusi yang diberikan dalam penyusunan buku ini.
Apresiasi dari pembaca sangat kami perlukan untuk penyempurnaaan
buku nomer berikutnya. Semoga buku ini memberikan manfaat bagi kita
semua.
Jakarta,14 Desember 2015
Tim Editor
v
Daftar Isi
Kata Sambutan ............................................................................. iii
Kata Pengantar ............................................................................. iv
Daftar Isi ........................................................................................ v
1. Kajian Pengelolaan Tambak Garam Rakyat Terpadu
Rikha Bramawanto, Sophia L. Sagala, Ifan R. Suhelmi,
Hariyanto Triwibowo.........................................................................1
2. Analisis Potensi Tuna Tongkol Cakalang (TTC) di Perairan
Sumatera Barat dan Pengelolaannya Sesuai Prinsip
Ekonomi Biru
Studi Kasus: Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bungus
Aida Heriati, Eva Mustikasari, Dini Purbani, Yulius,Hadiwijaya
L. Salim ............................................................................................20
3. Pemurnian Garam Sistem Mekanis Untuk Menghasilkan
Garam Konsumsi Sehat
Ifan R. Suhelmi dan Hariyanto Triwibowo.......................................32
4. Kualitas Air Sungai Manggar, Kota Manggar Kabupaten
Belitung Timur. Perbandingan Di Musim Hujan Dan
Kemarau.
Agustin Rustam dan Fajar Yudi Prabawa ........................................43
5. Ekosistem Karbon Biru Lamun Di Pulau-Pulau Kecil,
Kepulauan Derawan – Kalimantan Timur
Terry L. Kepel, Restu Nur Afi Ati, Agustin Rustam, Syahrial
Nur Amri, Andreas Hutahaean........................................................61
6. Kualitas Air Di Perairan Teluk Saleh, Kabupaten Sumbawa
Berdasarkan Baku Mutu Lingkungan Hidup
Yulius, M. Ramdhan, H.L. Salim, DeviD. Suryono, D.Purbani, Dan
A. Heriati...........................................................................................79
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
1
Kajian Pengelolaan Tambak Garam Rakyat Terpadu
Rikha Bramawanto, Sophia L. Sagala, Ifan R. Suhelmi, Hariyanto
Triwibowo
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Balitbang KP
Abstrak
Lahan milik rakyat untuk produksi garam yang tersebar di daerah umumnya
hanya seluas 0,5 - 5 Ha. Hal ini sering menjadi kendala bagi petambak dalam
mengoptimalkan pemanfaatan lahannya. Kemudian muncul ide untuk
menggabungkan tambak-tambak garam berukuran kecil yang berada dalam
satu hamparan untuk dikelola bersama. Setidaknya terdapat tiga konsep
pengelolaan lahan secara terpadu yang dapat diterapkan yaitu corporate
farming, collective farming dan cooperative farming. Penelitan ini bertujuan
untuk mengkaji konsep pengelolaan tambak garam rakyat secara terpadu
menggunakan analisis Strengths, Opportunities, Aspirations and Result
(SOAR). Pada penelitian ini dipilih dua konsep pengelolaan lahan terpadu:
corporate farming dan kombinasi collective-cooperative farming. Dua aspek
penting dalam analisis SOAR adalah strategic inquiry (strenght-opportunities)
dan appreciative intent (aspiration-result). Hasil analisis SOAR terhadap dua
konsep pengelolaan lahan terpadu menunjukkan bahwa strategic inquiry
konsep corporate farming memiliki ciri pengelolaan tambak yang
dikendalikan secara profesional oleh korporasi dan didukung akseptabilitas
pemilik untuk menerapkan teknologi intesif. Konsep collective-cooperative
farming lebih mengutamakan pemberdayaan petambak tradisonal secara
bergotong royong sebagai nilai kearifan lokal dengan membentuk kelompok
besar (formal/non formal) dalam mengelola tambak dan menerapkan
teknologi produksi garam yang sederhana dan berbiaya rendah. Appreciative
intent pada konsep corporate farming adalah pengelolaan produksi garam
secara profesional dalam menghasilkan garam berkualitas tinggi untuk
memenuhi kebutuhan industri. Sedangkan pada konsep collective-
cooperative farming tambak garam dikelola secara bergotong royong untuk
menghasilkan bahan baku garam konsumsi berkualitas. Maka, analisis SOAR
memperkuat justifikasi bahwa pengelolaan tambak garam terpadu
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
2
berpeluang untuk diterapkan di tambak-tambak garam rakyat dalam berbagai
alternatif.
Kata Kunci: pengelolaan tambak, garam, analisis SOAR
Pendahuluan
Proses produksi pembuatan garam yang dikenal di Indonesia adalah
sistem penguapan dengan sinar matahari (solar evaporation) menggunakan
metode kristalisasi total untuk garam rakyat dan kristalisasi bertingkat untuk
PT Garam. Beberapa daerah memproduksi garam dengan cara memasak
karena kondisi tanah yang porous seperti di provinsi Aceh dan Bali.
Produktivitas dan kualitas garam rakyat yang dihasilkan menggunakan
metode kristalisasi total masih rendah dengan kadar NaCl kurang dari 90%
dan banyak mengandung pengotor. Meskipun produksi garam nasional setiap
tahun telah mengalami peningkatan (kecuali tahun 2010 dan 2011), namun
garam tersebut hanya sesuai untuk memenuhi kebutuhan garam iodisasi
(industri garam beryodium) atau industri yang tidak membutuhkan kadar
NaCl yang cukup tinggi seperti pengasinan ikan, penyamakan kulit, dan
pembuatan es batu. Industri kimia maupun makanan dan minuman
membutuhkan kadar NaCl yang tinggi (impurities rendah). Jenis garam untuk
kebutuhan industri kimia makanan dan minuman sampai saat ini belum dapat
diproduksi di dalam negeri, sehingga seluruh pengadaannya dilakukan melalui
impor.
Produksi garam nasional tersebut diperoleh dari total luas lahan
produksi garam rakyat seluas 24.130,93 hektar. Berdasarkan hasil pemetaan
wilayah tambak yang dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan di 40
kabupaten/kota penghasil garam, sesungguhnya Indonesia memiliki lahan
potensial seluas 33,854.36 (KP3K, 2011). Lahan tersebut tersebar di sejumlah
daerah dengan kepemilikan lahan garam rakyat yang umumnya hanya
berkisar 0,5 - 5 hektar. Kecilnya luasan lahan tersebut menyulitkan petambak
garam dalam mengelola lahannya secara optimal. Sebagai perbandingan,
kolam-kolam peminihan untuk memproses penuaan brine di lahan milik PT
Garam luasnya berkisar antara 19 sampai 35 hektar. Luas lahan yang besar
memungkinkan PT Garam mengoptimalkan lahannya untuk menghasilkan
garam berkualitas.
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
3
Oleh karenanya, pemerintah terus berupaya agar pembangunan
industri garam rakyat berdaya saing tinggi dan dikembangkan secara
berkesinambungan. Setiap faktor seperti ketersediaan lahan, produktivitas
dan kualitas berfungsi untuk mendorong percepatan pembangunan industri
garam nasional serta memacu pencapaian program swasembada garam
nasional atau setidaknya meminimalkan ketergantungan pada garam impor.
Kementerian Kelautan dan Perikanan mendorong pencapaian target tersebut
dengan menginisiasi penggabungan pengelolaan tambak garam rakyat
melalui program Korporatisasi Garam. Program tersebut telah coba dilakukan
oleh Asosiasi Petambak Garam NU di wilayah Lasem, Rembang (Pemkab.
Rembang, 2014).
Penggabungan pengelolaan tambak garam mungkin dapat menjadi
salah satu terobosan dalam mencapai swasembada garam nasional. Namun
secara teknis hal tersebut tidak mudah diimplementasikan mengingat
heterogennya karakter lahan dan petambak yang terlibat dalam proses
produksi garam di Indonesia. Kajian ini ditujukan untuk memberikan opsi
rekomendasi terkait strategi penggabungan pengelolaan tambak garam
rakyat berdasarkan pendekatan yang dipergunakan dan mekanisme
penerapannnya.
Analisis SOAR
Kajian ini merupakan penelitian eksploratif yang bertujuan untuk
mencari pendekatan model yang mungkin dapat diterapkan dalam
pengelolaan tambak garam rakyat terpadu untuk mencapai swasembada
garam. Analisis SOAR (strengths, opportunities, aspirations, results) dipilih
sebagai salah satu pendekatan model. Data dan informasi terkait kondisi
eksisting, potensi dan harapan pada industri garam rakyat yang diperoleh dari
hasil wawancara dan studi literatur, dimasukkan dalam matriks SOAR
analysis.
Rencana starategis penerapan pengelolaan tambak garam rakyat
terpadu dibuat berdasarkan analisis menggunakan kerangka kerja SOAR
(Gambar 1). Kerangka kerja tersebut dipergunakan untuk memandu
pemikiran strategis dan perencanaan dengan cara mendayagunakan
kekuatan, menghimpun peluang dan menentukan cita-cita yang hendak
dicapai, serta dipergunakan untuk meningkatkan kualitas tujuan akhir
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
4
pelaksanaan pembangunan berkelanjutan dari sudut pandang sistem secara
keseluruhan (Stavros et al.,2007 and Sprangel et al., 2010). Pendekatan
Appreciative Inquiry (AI) dalam SOAR analisis memberikan banyak manfaat
dibandingkan model tradisional (SWOT). Dimulai dari perencanaan strategis
yang bersifat results-oriented dan co-constructive pada saat yang bersamaan,
dimana pada proses tersebut model tradisional justru memberikan batasan
yang berbeda antara penilaian, perencanaan, pelaksanaan, dan tahapan
kontrol. Kerangka kerja SOAR memungkinkan partisipan untuk melakukan co-
create masa depan yang diinginkan di seluruh proses melalui penyelidikan,
imajinasi, inovasi, dan inspirasi. Penyelidikan juga memuat pertanyaan
tentang faktor utama yang mempengaruhi eksistensi orgasisasi dan harapan
di masa mendatang (Stavros et al., 2007)
Gambar 1. Kerangka Kerja Appreciative Inquiry dalam SOAR
(Sumber: http://positivepsychologynews.com)
Analisis SOAR menghasilkan perencanaan strategis melalui
pendekatan Appreciative Inquiry (AI). AI merupakan transformasi dari model
SWOT (strengths, weaknesses, opportunities, threats) ke model SOAR
(strengths, opportunities, aspirations, results). Itu dilakukan agar lebih fokus
kepada hal-hal penting seperti masa depan masyarakat dan/atau organisasi.
Kemudian dibuat pertanyaan untuk menyelidiki arah proses perencanaan
strategis serta mengemukakan aspirasi dan hasil yang diharapkan. Strategi
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
5
pencapaiannya didasarkan pada kekuatan (strenghts) dan kesempatan
(opportunities) sebagai mana terlihat pada gambar 2. Hal tersebut
merupakan penyelidikan strategis (Strategic Inquiry) dengan sebuah
penghargan terhadap tujuan (Appreciative Intent).
Strategic
Inquiry
Strengths
What are our greatest
assets
Opportunities
What are the best possible
opportunities
Appreciative
Intent
Aspirations
What is our preferred
future
Results
What are the measurable
results
Gambar 2. Matriks Penyelidikan Strategis (Strategic Inquiry) dengan
sebuah penghargaan terhadap tujuan (Appreciative Intent)
(Sumber: Stavros, Cooperrider, and Kelley, 2003)
Mengadopsi konsep usaha tani dalam bentuk pengelolaan lahan
terpadu, dipilih tiga konsep yang relevan dengan pengelolaan lahan garam
rakyat yaitu corporate farming, collective farming dan cooperative farming.
Ketiga konsep tersebut diuraikan perbedaan karakternya dan divisualisasikan
skenario penerapannya di lahan. Kemudian dilakukan analisis SOAR untuk
melihat kemungkinan strategi penerapan dan menentukan peran dari
masing-masing pemangku kepentingan yang terlibat di dalamnya.
Karakteristik Pengelolaan Lahan Garam di Pulau Jawa
Beberapa sentra penghasil garam terbesar di Jawa antara lain adalah
Kabupaten Indramayu dan Cirebon di Jawa Barat serta Pati dan Rembang di
Jawa Tengah. Beberapa Kabupaten tersebut dapat dianggap representasi dari
pola pengelolaan tambak garam rakyat secara umum, setidaknya pola
pengelolaan di Pulau Jawa. Gambar 3 menunjukkan karakter pengelolaan
tambak garam yang divisualisasikan secara sederhana yaitu membandingkan
data luas tambak garam di setiap kecamatan dengan jumlah penerima
program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat pada wilayah yang sama,
sehingga diperoleh rata-rata luas pengelolaan tambak garam dengan satuan
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
6
hektar/orang. Hasilnya, rata-rata luas pengelolaan tambak garam di
Kabupaten Indramayu berkisar antara 0,44 – 0,96 ha/orang, Kabupaten
Cirebon berkisar antara 0,36 – 0,96 ha/orang, Kabupaten Pati berkisar 0,3 –
0,6 ha/orang, dan Kabupaten Rembang berkisar antara 0,3 – 0,49 ha/orang.
Gambar 3. Peta Pengelolaan Tambak Garam Rakyat di Kabupaten
Indramayu, Cirebon, Pati dan Rembang
Tambak garam yang ideal memiliki kelengkapan sistem produksi
antara lain seperti, kolam penampungan/bozeem (reservoir), kolam
peminihan (condenser), dan meja kristalisasi (crystalizer). Pola kelengkapan
sistem tambak garam rakyat sangat bervariasi, mulai dari yang tidak memiliki
reservoir atau memiliki reservoir namun berukuran kecil sampai pada kolam-
kolam yang dipergunakan sebagai peminihan dan meja kristalisasi secara
bergantian. Pada puncak musim kemarau biasanya hampir seluruh lahan
telah menjadi meja kristal, sehingga kolam untuk menyediakan pasokan air
tua (brine) yang siap dikristalkan menjadi berkurang. Cara yang dilakukan
petambak untuk mengatasi hal tersebut antara lain dengan mempercepat
waktu pemanenan ataupun mamasukkan brine dengan densitas rendah ke
dalam meja kristalisasi yang masih terdapat air sisa produksi (bittern) di
dalamnya. Hal tersebut disebabkan karena terbatasnya lahan yang dikelola
oleh petambak.
Produksi garam nasional sebagian besar dipasok dari garam rakyat.
Saputro et.al. (2011) menyatakan pasokan garam rakyat untuk produksi
garam nasional rata-rata mencapai 70% per tahun yang diperoleh dari lahan
garam seluas sekitar 24.000 hektar, sedangkan 30% berasal dari tambak
garam milik PT Garam seluas sekitar 5.000 hektar. Dari data tersebut terlihat
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
7
bahwa rata-rata produktivitas lahan garam yang dikelola PT Garam lebih
tinggi dibandingkan yang dikelola rakyat, meskipun tambak yang dikelola PT
Garam maupun rakyat rata-rata produktivitasnya belum mencapai 100
ton/ha/musim. Tambak PT Garam merupakan lahan sehamparan yang
dikelola secara intensif dengan menerapkan proses pengolahan brine secara
bertingkat. Sedangkan, tambak garam rakyat umumnya merupakan lahan
berukuran kecil milik keluarga yang dikelola sendiri, dikelola bersama dengan
penggarap atau disewakan. Proses produksi garam oleh petambak garam
rakyat dilakukan dengan cara proses penguapan air laut secara total pada
meja-meja kristalisasi. Produktivitas lahan garam seperti ini sulit ditingkatkan
karena tidak dapat menerapkan sistem produksi garam standar. Olehnya,
diperlukan penyatuan beberapa lahan sehingga tataguna lahan untuk
memproduksi garam menjadi lebih optimal.
Pengelolaan kawasan pegaraman secara terpadu
Pengelolaan kawasan pegaraman secara terpadu, intensif dan
berskala besar membutuhkan lahan yang luas, terhadap tambak garam rakyat
yang umumnya memiliki luas lahan yang kecil, pengelolaan bersama perlu
dilakukan untuk mencapai nilai ekonomis. Mengadopsi model pengelolaan
usahatani, setidaknya terdapat tiga jenis pengelolaan secara bersama-sama
yaitu: corporate farming, collective farming dan cooperative farming.
Perbandingan dari masing-masing pola tersebut tersaji pada Tabel 1.
Tabel 1. Perbandingan model pengelolaan usahatani secara terpadu
Corporate farming Collective farming Cooperative farming
Sistem Pengelolaan
-Konsolidasi fisik lahan
untuk dikelola oleh
korporasi
-Konsolidasi seluruh
aspek pengusahaan
produksi hulu-hilir
mutlak dikendalikan
oleh korporasi
-Hanya petambak
pemilik lahan dan
-Konsolidasi lahan tidak
mutlak, pengelolaan
kolektif
-Konsolidasi pada aspek
sarana, penerapan
teknologi, pelaksanaan
produksi, pascapanen dan
pemasaran
-Petambak pemilik lahan,
pemilik penggarap dan
-Tanpa konsolidasi lahan,
pengelolaan mandiri
-Konsolidasi pada aspek
sarana, penerapan
teknologi, pelaksanaan
produksi, pascapanen dan
pemasaran
-Petambak pemilik lahan,
pemilik penggarap,
penyewa penggarap dan
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
8
pemilik penggarap yang
dapat bergabung
penyewa penggarap
dapat bergabung
buruh tambak dapat
bergabung
Fokus
-Penerapan usahatani
modern untuk
memperoleh
keuntungan yang tinggi,
berorientasi pasar
-Penerapan usahatani
berbasis komunitas yang
berdaya saing, efektif dan
efisien melalui
pengelolaan secara
ekonomis, kolektif dan
partisipatif
-Penerapan usahatani
terpadu untuk
memberdayakan petani
melalui pembangunan
sosial kapital (gotong-
royong)
Kelembagaan
-Korporasi sebagai
pemegang kendali
manajemen bisnis yang
profesional dan modern
-Petambak aktif secara
kolektif (cenderung non
formal/musyawarah)
-Petambak aktif
mengendalikan
manajemen organisasi
dengan struktur lengkap
Keterlibatan Stakeholder
-Swasta sebagai
korporasi penyedia
seluruh modal dan
pengendali manajemen
-Petambak hanya
sebagai penyedia lahan
-Pemerintah sebagai
penyedia infrastruktur
publik (irigasi,
aksesibiltas), fasilitator
pembinaan, pelatihan,
monitoring dan
evaluasi.
-Swasta dapat masuk
hanya jika hanya
diperlukan tambahan
modal.
-Petambak aktif secara
kolektif dalam proses
produksi
-Pemerintah membangun
infrastruktur primer-
tersier-sekunder,
fasilitator produksi hulu-
hilir.
-Swasta sebagai mitra
investasi dan membantu
pemasaran
-Petambak bertindak
sebagai anggota sekaligus
pengelola
-Pemerintah membangun
infrastruktur primer-
tersier-sekunder,
fasilitator produksi hulu-
hilir.
Pola kebijakan
-Cenderung topdown
dan sentralistik oleh
korporasi
-bersifat horizontal antar
sesama anggota
- cenderung Bottom up dari
anggota
(Sumber: Nuryanti (2005), Setiawan (2008), Shinta (2011), Gillbert (2014))
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
9
Masing-masing model pengelolaan usahatani tersebut memiliki
keunggulan dan kekurangan. Corporate farming menjamin tercapainya
efisiensi usaha, standarisasi mutu, dan efektivitas serta efisiensi manajemen
pemanfaatan sumber daya. Selain itu, corporate farming lebih
menguntungkan bagi sebagian pemilik tanah yang lahannya memang
disewakan untuk dikelola menjadi tambak garam. Kekurangannya adalah
pemilik tanah tidak memiliki keleluasaan dalam pengelolaan lahan garam
maupun keterlibatan langsung dalam prospek bisnisnya. Menurut Setiawan
(2008) Collective farming dianggap lebih mencerminkan budaya usahatani
sebagian masyarakat Indonesia, sebagai contoh adanya sistem sambatan dan
seredan yang merupakan sistem pengelolaan lahan secara bersama di Jawa
Barat, namun pengelolaannya masih belum terintegrasi dalam suatu sistem
manajemen. Sedangkan Cooperative farming merupakan model
pemberdayaan petani, diantaranya melalui penguatan kelembagaan,
pengembangan SDM, pengembangan akses permodalan, akses pasar dan
kesepakatan penerapan teknologi. Kekurangan cooperative farming ini adalah
lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pertumbuhan kelembagaan, karena
pengendali manajemen berasal dari SDM kelompok itu sendiri yang tingkat
pengetahuannya kurang sehingga membutuhkan banyak pelatihan
manajemen dari pihak luar.
Terlepas dari keunggulan dan kekurangan dari masing-masing model,
pengelolaan secara bersama-sama diharapkan dapat merubah budaya
bertani secara tradisional dan individualis menjadi budaya pengusaha
(entepreneur) dan industrialis. Ketiga model tersebut juga menekankan
pentingnya menguasai sektor off farm (pra dan pascaproduksi), karena
selama ini ditenggarai petambak hanya menguasai sektor on farm (produksi)
semata. Penguasaan sektor off farm penting bagi petambak agar dapat
menjangkau akses permodalan dan akses pasar, sehingga dapat
meningkatkan pendapatan yang bermuara pada peningkatan kesajahteraan
petambak.
Sebagai contoh, Lokasi pada Gambar 4 merupakan hamparan tambak
garam di Losarang Indramayu. Tambak tersebut mempunyai ukuran yang
bervariasi antara 0,5 hingga 1,5 hektar. Setiap tambak terdiri dari
bozeem/reservoir berukuran kecil, kolam peminihan dan/atau meja kristal.
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
10
Gambar 4. Hamparan Tambak di daerah Losarang Indramayu
Jika pendekatan yang diterapkan adalah corporate farming, maka
diperlukan konsolidasi lahan agar dapat dikelola secara profesional dan
memenuhi prinsip-prinsip usahatani modern. Tambak akan dibagi dalam 3
bagian besar yaitu reservoir/bozeem, peminihan dan meja kristal dengan
rasio luas 29% : 43% : 28% (1 : 1,5 : 1), diadopsi dari tambak teknik ulir filter
(TUF) sebagaimana dikemukakan Bramawanto et.al. (2015) dan dilakukan
penyesuaian terhadap proporsi luasan masing-masing jenis kolam, seperti
terlihat dalam Gambar 5. Hal ini sesuai dengan alternatif pemberdayaan
petani penggarap yang dikemukakan oleh Ihsannudin (2012) melalui integrasi
bozeem terpadu meskipun terdapat perbedaan dalam implementasinya, yaitu
menerapkan 27% lahan untuk membuat bozem yang dipakai bersama. Di
samping itu, meja kristal diletakkan dekat jalan yang dapat diakses oleh
kendaraan pengangkut.
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
11
Gambar 5. Skenario pengelolaan tambak terpadu menggunakan pendekatan
corporate farming
Pada pendekatan corporate farming faktor kepemilikan tambak
garam rakyat sangat dimungkinkan akan menjadi faktor pembatas. Hasil
pengamatan di beberapa sentra garam menunjukkan bahwa sebagian besar
petambak hanyalah sebagai penyewa atau buruh dengan sistem bagi hasil
yang tidak memiliki hak penuh atas lahan garapannya. Selain itu faktor
kebiasaan atau budaya masyarakat setempat juga menentukan potensi
akseptabilitas/resistensi terhadap model pengelolaan.
Pendekatan yang mungkin dilakukan terhadap pengelolaan tambak
garam rakyat menggunakan sistem sewa atau bagi hasil adalah collective
farming. Pengelolaan bersama hanya sampai pada penyediaan brine di
reservoir, sehingga tidak merubah struktur tambak secara ekstrim, seperti
terlihat pada Gambar 6. Pengaliran brine dari reservoir ke condenser diatur
waktunya dan dikendalikan secara proporsional sehingga ketersediaan brine
untuk seluruh tambak dapat terjamin tanpa ada pihak yang merasa
kekurangan. Petakan berwarna biru pada gambar tersebut merupakan
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
12
reservoir yang saling terhubung satu dengan yang lainnya berdasarkan prinsip
bejana berhubungan. Jika memungkinkan, pengelolaan bersama dapat
dilanjutkan pada penyediaan brine yang siap dikristalisasi di condenser agar
memiliki kualitas yang sama sehingga garam yang dihasilkan diharapkan
relatif seragam kualitasnya.
Gambar 6. Skenario pengelolaan tambak terpadu menggunakan pendekatan
collective farming
Penerapan skenario pengelolaan tambak garam terpadu
menggunakan pendekatan corporate farming dan collective farming di atas
dapat berjalan selaras dengan konsep blue economy, seperti natural
resources efficiency, zero waste, social inclusiveness dan open-ended
innovation and adaptation. Natural resources efficiency hampir dipastikan
dapat tercapai melalui kedua pendekatan. Zero waste dapat dilakukan
melalui pemanenan deposit garam atau mineral-mineral selain NaCl dalam
brine dengan menerapkan proses pengolahan brine secara bertingkat. Pada
tingkat pertama CaCO3 dapat ditemui pada densitas 3,5 – 15 0
Be dan CaSO4
pada densitas 13 - 25 0
Be. Selanjutnya, NaCl sebagai produk utama diperoleh
pada densitas 25 – 30 0
Be, sedangkan MgSO4, KCl dan MgCl2 terjadi pada
densitas lebih dari 30 0
Be (Baert et. al. 2000). Dalam hal ini pendekatan
corporate farming lebih sesuai karena industri penggunanya spesifik,
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
13
sehingga hanya dapat diproduksi dan dipasarkan oleh korporasi tertentu.
Social inclusiveness lebih dapat diterapkan pada collective farming karena
memenuhi aspek self-sufficiency bagi petambak kecil, lebih banyak lapangan
kerja dan kesempatan berusaha bagi masyarakat miskin. Open-ended
innovation and adaptation yang mengedepankan prinsip hukum fisika dan
adaptasi alami dapat diiimplementasikan melalui penggabungan lahan
evaporasi, terutama pada pendekatan corporate farming, Berdasarkan
hukum fisika, laju evaporasi dapat ditingkatkan dengan cara memperluas
permukaan bidang evaporasi. Hal ini sekaligus menjamin ketersediaan brine
untuk dapat dipergunakan secara bersama-sama.
SOAR Analysis Untuk Penerapan Pengelolaan Tambak Garam Rakyat
Terpadu
Analisis SOAR dilakukan terhadap dua alternatif pengelolaan tambak
garam rakyat terpadu menggunakan pendekatan corporate farming maupun
kombinasi collective-cooperative farming. Gambar 7 menyajikan matriks
analisis SOAR terhadap pengelolaan tambak garam rakyat terpadu
menggunakan pendekatan corporate farming sedangkan gambar 8
menggunakan pendekatan kombinasi collective-cooperative farming.
Strategic
Inquiry
Strengths (Kekuatan)
- Ketersediaan lahan tambak
garam produktif (eksisting) dan
potensial
- Management produksi hulu-hilir
oleh korporasi profesional
- Pengendalian mutu produk yang
ketat
- Pekerja dikaryakan secara
profesional
- Memiliki target profit dan
berorientasi pada pasar
- Bahan baku air laut mudah
diperoleh
Opportunities (Peluang)
- Lahan produksi berada pada
hamparan-hamparan luas
- Akseptabilitas pemilik lahan dan
ketertarikan pemilik lahan sekitar
hamparan dalam hal konsolidasi
lahan
- Penerapan teknologi intensifikasi
- Segmen pasar penyerap produk
telah tersedia
- Percepatan peningkatan
produktivitas
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
14
Appreciative
Intent Aspirations (Aspirasi)
- Pengelolaan produksi garam
secara profesional
- Kontribusi dalam mewujudkan
swasembada garam nasional
- Menjadi eksportir garam
Results (Hasil)
- Produktifitas lahan garam
meningkat menjadi di atas 100
ton/ha/musim
- Memproduksi garam memenuhi
kualitas bahan baku industri
dengan mutu seragam
Gambar 7. Analisis SOAR terhadap model pengelolaan tambak garam rakyat
terpadu menggunakan pendekatan corporate farming
Strategic
Inquiry
Strengths (Kekuatan)
- Ketersediaan lahan tambak
garam produktif (eksisting) dan
potensial
- Pengalaman (turun-temurun)
SDM pembuat garam
- Tata nilai sosial (gotong-royong)
- Bahan baku air laut mudah
diperoleh
Opportunities (Peluang)
- Lahan produksi berada pada
hamparan-hamparan luas
- Ketersediaan teknologi
intensifikasi sederhana berbiaya
murah.
- Penguatan organisasi melalui
kelompok-kelompok dalam
program PUGAR
- Adanya dukungan dari pemerintah
dan swasta
Appreciative
Intent
Aspirations (Aspirasi)
- Pengelolaan produksi garam
secara terpadu
- Kontribusi dalam mewujudkan
swasembada garam nasional
- Menjadi eksportir garam
Results (Hasil)
- Produktifitas lahan garam
meningkat menjadi di atas 100
ton/ha/musim
- Memproduksi garam memenuhi
kualitas bahan baku konsumsi
Gambar 8. Analisis SOAR terhadap model pengelolaan tambak garam rakyat
terpadu menggunakan pendekatan collective-cooperative
farming
Pada aspek Strategic Inquiry ketersediaan lahan yang berada dalam
hamparan-hamparan luas menjadi kekuatan sekaligus peluang untuk dikelola
secara terpadu, intensif/semi-intensif dan berskala besar. Lahan dapat
dikelola secara profesional melalui pendekatan corporate farming maupun
secara bergotong-royong melalui kombinasi pendekatan collective-
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
15
cooperative farming. Kekuatan lain pada pendekatan corporate farming
adalah dilakukannya pengendalian mutu produk yang ketat, SDM
dipekerjakan secara profesional, memiliki target profit dan berorientasi pada
pasar. Sedangkan pada pendekatan collective-cooprative farming
kekuatannya terdapat pada SDM yang berpengalaman secara turun-temurun
dan lebih mengutamakan tata nilai sosial berupa gotong-royong dalam
mengelola lahan. Peluang pada pendekatan corporate farming antara lain
adalah akseptabilitas dan ketertarikan pemilik lahan sekitar hamparan untuk
mengkonsolidasikan lahannya, percepatan peningkatan produktivitas melalui
penerapan teknologi dan jaminan penyerapan produk. Sedangkan pada
pendekatan collective-cooperative farming peluangnya terletak pada
keberadaan teknologi intensifikasi yang mudah diterapkan dan berbiaya
murah bagi petambak kecil, serta pemanfaatan dari terbentuknya kelompok
usaha bersama (KUB) untuk mempermudah koordinasi dan pengorganisasian
antar kelompok.
Pada aspek Appreciative Intent terdapat sedikit perbedaan pada
aspirasi pengelolaan dan target hasil produksi. Aspirasi pada pendekatan
corporate farming, lahan dikelola secara profesional sedangkan pada
pendekatan collective-cooperative farming lahan dikelola secara bergotong-
royong. Hasil produksi yang diharapkan menggunakan pendekatan corporate
farming adalah kualitas untuk memenuhi kebutuhan industri dengan kualitas
seragam, sementara hasil produksi yang diharapkan menggunakan
pendekatan collective-cooprate farming adalah kualitas bahan baku konsumsi
rumah tangga.
Berdasarkan hasil analisis tersebut dibuat rekomendasi penguatan
peran dari setiap stakeholder untuk mendukung implementasi pengelolaan
tambak garam terpadu, baik dengan pendekatan corporate faming maupun
kombinasi collective-cooprative farming. Penguatan peran stakeholder
tersebut diharapkan mampu mencapai target swasembada garam nasional
yang meliputi kebutuhan konsumsi rumah tangga dan kebutuhan industri.
Adapun peran pemangku kepentingan dapat diperkuat melalui aksi-aksi
seperti yang tersaji dalam tabel 2 berikut ini:
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
16
Tabel 2. Peran dan aksi pemangku kepentingan dalam mendukung program
swasembada garam
Stakeholder Peran dan Aksi
Petambak - Pemiliki lahan bersedia mengkonsolidasiakan lahannya secara
utuh maupun sebagian.
- Aktif dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian
produksi sesuai kapasitas dan kapabilitas masing-masing
SDM.
- Membangun kelembagaan ekonomi berbasis komunitas yang
mengarah pada kemandirian.
- Terbuka terhadap inovasi teknologi dalam rangka intensifikasi
produksi dan peningkatan mutu produk.
Pemerintah - Sebagai fasilitator penyerapan produksi garam rakyat untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi dan industri nasional.
- KKP memfasilitasi interlink distribusi garam untuk kebutuhan
produk perikanan pascapanen seperti pengasinan ikan dan
produk olahan berbahan baku ikan.
- memberikan penyuluhan, bantuan dan insentif pada para
pemilik tambak dalam satu kawasan yang bersedia
menerapkan pengelolaan tambak secara berkelompok.
- Pemerintah daerah memonitor produksi, distribusi dan stok
garam di wilayahnya.
Univ/Lemlitbang - Sebagai sumber informasi ilmiah, baik bersifat kajian maupun
penerapan yang berkaitan dengan industri garam.
- Melakukan kajian terhadap efisiensi produktivitas SDM dan
tambak garam rakyat.
- Melakukan kajian pemetaan kebutuhan garam nasional dan
diversifikasi produk berdasarkan spesifikasi yang dibutuhkan.
- Menciptakan inovasi teknologi dalam rangka intensifikasi
lahan dan peningkatan mutu produk sesuai kebutuhan pasar.
- Membuat sistem informasi online terkait jumlah dan kualitas
produksi, luas lahan produksi, distribusi pemasaran, stok
garam nasional dan kondisi cuaca.
Swasta/BUMN - BUMN (PT Garam) hanya memproduksi garam berkualitas
dan fokus pada pemenuhan garam kebutuhan industri dan
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
17
garam konsumsi khusus (diet).
- BUMN atau BUMD sebagai penyangga pemasaran garam
untuk mengendalikan harga.
- BUMN dan swasta mendorong petambak untuk
memproduksi garam berkualitas dengan jaminan penyerapan
produk pascapanen.
- BUMN, Perusahaan swasta besar pengolah garam dan
industri pengguna garam dapat memberikan bantuan dalam
bentuk CSR kepada petambak.
Rekomendasi
Optimalisasi pengelolaan tambak garam menjadi penting dalam
rangka meningkatkan produktivitas (kuantitas/kualitas) garam rakyat. Salah
satu langkah yang dapat diambil untuk mengoptimalkan fungsi tambak garam
adalah dengan cara melakukan pengelolaan lahan secara terpadu.
Pengelolaan tambak garam terpadu selaras dengan prinsip-prinsip natural
resources efficiency, zero waste, social inclusiveness serta open-ended
innovation and adaptation yang merupakan konsep blue economy.
Karakteristik pengelolaan tambak garam yang tercermin dalam strenghts dan
opportunities serta harapan dan cita-cita yang diterjemahkan dalam
aspirations dan results mengunakan analisis SOAR memperkuat justifikasi
bahwa pengelolaan tambak garam terpadu sangat berpeluang untuk
diterapkan di tambak-tambak garam rakyat, didukung penguatan peran
seluruh stakeholder industri garam rakyat. Hambatan yang ada dapat diatasi
melalui penerapan alternatif solusi dengan memperhatikan pola pengelolaan
tambak garam, dan kondisi sosial, ekonomi, budaya masyarakat setempat.
Persantunan
Karya tulis ini adalah hasil penelitian ini dari Kajian Pengembangan
Klaster Industri Garam Rakyat pada Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Laut dan Pesisir Balitbang Kelautan dan Perikanan, Kementerian
Kelautan dan Perikanan, yang didanai oleh APBN DIPA P3SDLP TA 2015.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Dr. Budi Sulistiyo selaku Kepala
P3SDLP atas dorongannnya dalam penyelesaian tulisan ini.
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
18
Daftar Pustaka
Baert, P., T. Bosteels and P. Sorgeloos. 2000. Manual on the Production and
Use of Live Food for Aquaculture : 4.5. Pond Production. FAO Corporate
Document Repository. Laboratory of Aquaculture & Artemia Reference
Center University of Gent, Belgium
Bramawanto R., S.L. Sagala, I.R. Suhelmi, H. Prihatno. 2015. Struktur dan
Komposisi Tambak Teknologi Ulir Filter untuk Peningkatan Produksi
Garam Rakyat. J. Segara Vol. 11 No. 1 Agustus 2015: 1-11.
Gillbert F. 2014. Cooperative Farming. Frameworks for Farming Together. A
Greenhorns Guidebook. Northeast Sustainable Agriculture Research
and Education Publ. Pp 54.
Home A. 2010. SOAR–Workshop Review. http://positivepsychologynews.
com/ppnd_wp/wpcontent/uploads/ 2010/08/SOAR-picture.jpg, diakses
tanggal 2 Maret 2015.
Ihsannudin. 2012. Pemberdayaan Petani Penggarap Garam Melalui Kebijakan
Berbasis Pertanahan. ACTIVITA, Jurnal Pemberdayaan Mahasiswa dan
Masyarakat, LPPM Universitas Sebelas Maret Surakarta Vol. 2 No. 1
Edisi Februari 2012: 1-11.
Nuryanti S. 2005. Pemberdayaan Petani dengan model Cooperative Farming.
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 3 No. 2: 152-158.
Pemerintah Kabupaten Rembang. 2014. Mulai 2015 Pengelolaan Usaha
Garam Rakyat Dengan Sistem Korporatisasi
http://www.rembangkab.go.id/index.php/news/259-mulai-2015-
pengelolaan-usaha-garam-rakyat-dengan-sistem-korporatisasi, diakses
tanggal 13 Februari 2015.
Saputro G.B., S. Hartini, I.E. Setyawan, F.S.C. Rosaji, G. Adzan, W. Handayani,
F Nurhidayat, D.M. Yuwono. 2011. Informasi Geospasial Lahan Garam
Indonesia. Bakosurtanal. 91 halaman.
Sekretariat Pugar, 2011. Laporan Akhir Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat
Tahun 2012. Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Setiawan I. 2008. Laporan Penelitian. Collective Farming Sebagai Alternatif
Strategi Pemberdayaan Petani (Suatu Kasus di Desa Rancakasumba
Kabupaten Bandung). Fakultas Pertanian UNPAD. 40 halaman.
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
19
Shinta A., 2011. Ilmu Usahatani. Buku, cetakan pertama April 2011.
Universitas Brawijaya Press. 164 halaman.
Sprangel, J., Stavros, J., and Cole, M. 2010. Creating Sustainable Relationships
Using The Strengths, Opportunities, Aspirations and Results
Framework, Trust, And Environmentalism: A Research-Based Case
Study. International Journal of Training and Development. Vol. 15 Issue
1 March 2011: 39-57.
Stavros J.,D. Cooperrider and D.L. Kelley. 2003. Strategic inquiry appreciative
intent: inspiration to SOAR, a new framework for strategic planning. AI
Practitioner Volume, November, 2003
https://design.umn.edu/about/intranet/documents/Strategic_Inquiry_
Appreciative_Intent. pdf, diakses tanggal 20 Februari 2015.
Stavros J.,D. Cooperrider and D.L. Kelley. 2007, SOAR: A new Approach to
Strategic Planning ,in P. Holman, T. Devane and S. Cady (eds), The
Change Handbook: The Definitive Resource on Today’s Best Methods
for Engaging Whole Sistems, 2nd edition (San Francisco, CA: Berrett-
Koehler Publishers, Inc.), pp. 733.
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
20
Analisis Potensi Tuna Tongkol Cakalang (TTC) Di Perairan
Sumatera Barat dan Pengelolaannya Sesuai Prinsip
Ekonomi Biru
STUDI KASUS: PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA (PPS) BUNGUS
Aida Heriati, Eva Mustikasari, Dini Purbani, Yulius, Hadiwijaya L.
Salim
Pusat Pengembangan dan Penelitian Sumber Daya Laut dan Pesisir, Balitbang KP
Abstrak
Merujuk pada pernyataan Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono pada tahun
2006 yang menetapkan Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bungus sebagai
sentra ikan tuna di kawasan Indonesia bagian barat, maka perlu dikaji lebih
dalam penelitian tentang potensi sumber daya perikanan khususnya TTC
dilokasi tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui potensi dari
sumberdaya perikanan TTC dengan menggunakan metoda Location Quotient
(LQ) dan melakukan analisis deskriptif dalam pengelolaannya sesuai dengan
prinsip ekonomi biru di PPS Bungus. Hasil pengolahan data selama 5 tahun
pengamatan, potensi terbesar terjadi pada tahun 2010 dengan besar indeks
LQ 3.9 dan terendah di tahun 2009 dengan nilai indeks LQ sebesar 3.7. Nilai
indeks LQ lebih dari 3 menandakan tingginya potensi produksi TTC di
kawasan Indonesia bagian barat terhadap produksi ikan nasional.
Peningkatan teknologi dan inovasi sarana penangkapan, pemanfaatan
limbah, metoda penangkapan TTC, peningkatan pengetahuan serta
kemampuan para nelayan memicu aktifitas ekonomi di kota Padang. Aktifitas
ekonomi juga perlu didukung dengan adanya pengendalian dalam sistem
penangkapan melalui kebijakan penangkapan baby tuna, penertiban log book
kapal, pengaturan single set band radio/transmitter serta pemberdayaan
masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam industri perikanan. Prinsip
ekonomi biru yang diterapkan dalam pengelolaan PPS Bungus akan
menjadikan PPS Bungus sebagai sentra tuna terbaik di kawasan Indonesia
bagian barat dimasa mendatang.
Kata Kunci : Ekonomi biru, TTC, analisis deskriptif, PPS Bungus.
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
21
Pendahuluan
Potensi sumberdaya alam yang dimiliki oleh negara kita sangat
berlimpah, namun pengelolaannya harus selalu diperhatikan agar
kelestariannya tetap terjaga. Prinsip ekonomi biru telah memberikan
dorongan kepada kita untuk lebih mengutamakan sistem keberlangsungan
hidup sejalan dengan pemanfaatan sumberdaya alam yang ada sesuai asas
Sustainable Development. Diharapkan dengan adanya prinsip
keberlangsungan ini, pemanfaatan sumberdaya yang ada dapat dilakukan
dengan bijak dimasa mendatang.
Pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan yang berkelanjutan
ini telah menjadi salah satu grand strategy dalam usulan program kegiatan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Pesisir dan Laut (P3SDLP)
sebagai bentuk kepedulian akan kelestarian sumberdaya perikanan dan
kelautan yang dimiliki oleh negara kita. Program ini dilakukan dalam bentuk
kegiatan “Penerapan Kebijakan Ekonomi Biru dengan Pendekatan Daya
Dukung Perairan di Sumatera Barat sebagai Sentra Tuna”. Daerah sentra tuna
ini diusung berdasarkan pernyataan Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono
pada tahun 2006 yang menetapkan Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS)
Bungus sebagai sentra ikan tuna di kawasan Indonesia bagian barat.
Kerangka kerja dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1 dimana
prinsip dari ekonomi biru yang diusung oleh Gunter Pauli dijadikan bahan
analisis untuk melihat potensi, strategi pengelolaan, regulasi serta penciri
ekonomi biru terkait dengan sumberdaya TTC di PPS Bungus. Makalah ini
dititikberatkan pada analisis produksi TTC dan pengelolaannya di PPS Bungus
disesuaikan dengan prinsip ekonomi biru yaitu zero waste, nature’s efficiency,
innovation and adaptation, social inclusiveness, multiple economic effects,
generation to generation, balancing production and consumption dapat
terpenuhi (Pauli, 2010).
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
22
Gambar 1. Kerangka Kerja Penelitian
Makalah ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam
pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan di Indonesia dengan
menerapkan prinsip ekonomi biru dalam pengelolaannya khususnya di PPS
Bungus sebagai lokasi studi kasus penelitian ini. Tujuan penelitian ini adalah
mengetahui potensi sumberdaya perikanan TTC dengan menggunakan
metoda LQ dan melakukan analisis deskriptif dalam pengelolaannya sesuai
dengan prinsip ekonomi biru di PPS Bungus.
Analisis Location Quotient
Metode yang digunakan adalah metode LQ yang digunakan dalam
teori pertumbuhan kota. Pendekatan LQ dilakukan berdasarkan data yang
diperoleh dari hasil survei dan hasil dari perhitungan indeks LQ ini dapat
digunakan untuk menentukan potensi sumberdaya suatu daerah terhadap
kondisi ekonomi dalam skalanya yang lebih luas. Persamaan dari LQ ini adalah
sebagai berikut:
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
23
i
t
i
t
v
v
LQ
V
V

dimana: LQ : indeks Location Quotient
vi : Produksi TTC kota Padang
vt : Total Produksi TTC kota Padang
Vi: Produksi TTC perikanan Nasional
Vt : Total Produksi TTC Nasional
Apabila hasil dari LQ adalah:
LQ > 1 : maka sektor tersebut memiliki potensi yang cukup besar sehingga
hasil sektor tersebut dapat diberikan untuk memenuhi kebutuhan
di daerah lain dan ikut mendukung perekonomian dalam tingkat
yang lebih tinggi.
LQ < 1 : maka daerah tersebut tidak memiliki potensi yang cukup dalam
sektor tersebut.
LQ = 1 : maka sektor tersebut hanya dapat memenuhi kebutuhan untuk
daerahnya sendiri.
Selain itu, metode deskriptif analisis dilakukan untuk membahas
pengelolaan PPS Bungus kaitannya dengan penerapan prinsip ekonomi biru.
Lokasi penelitian ini berada di Sumatera Barat tepatnya di PPS Bungus
Padang, penelitian dilakukan pada tahun anggaran kegiatan 2013. Penelitian
dilaksanakan dari bulan Maret hingga September 2013. Rincian aktifitas
kegiatan yaitu terdiri dari pelaksanaan Konsultasi Publik yang diadakan di
Loka Penelitian Sumberdaya dan Kerentanan Pesisir (LPSDKP) Bungus Tanjung
Kabung Kota Padang yang diadakan pada tanggal 27 Mei 2013 dengan
menghadirkan para pakar dari instansi PPS Bungus, Dinas Kelautan dan
Perikanan Kota Padang, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera
Barat, Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD), serta tokoh
nelayan. Dalam acara temu pakar membahas masalah yang terjadi dalam
aktivitas pengelolaan perikanan tangkap dan mengatasi solusi sehingga
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
24
tercipta mekanisme penangkapan ikan yang kondusif. Dari hasil survei
diperoleh data-data seperti terlihat pada Tabel 1. Sebagai berikut.
Tabel 1. Tabel Pengumpulan Data
Kegiatan
Pengumpulan Data
Informasi yang diperoleh
Badan Pusat Statistik
Kota Padang
Data ikan untuk jenis ikan Tuna, Cakalang dan Tongkol
pada tahun 2007-2011.
Wawancara dengan
pihak terkait
(Pemerintah Propinsi,
Pemerintah Kota dan
tokoh nelayan)
Informasi mengenai kondisi sebenarnya di lapangan dalam
hal produksi, sarana prasarana dan pengelolaan
sumberdaya tuna di daerah kajian.
Studi Literatur
- Buku Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2011 yang
diterbitkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan.
- Publikasi penelitian dan kondisi yang ada di daerah kajian
terkait dengan ekonomi biru.
Observasi Lapangan
Kondisi terkini dan sebenarnya di lapangan dalam hal
pengelolaan sarana dan prasarana pemberdayaan TTC
Analisa Potensi TTC di PPS Bungus
Hasil perhitungan diperoleh nilai indeks LQ lebih dari 3 untuk setiap
tahun pengamatan. Hal ini menunjukkan bahwa potensi sektor perikanan
dalam hal ini ikan yang berjenis TTC memiliki potensi yang sangat baik di kota
Padang. Hasil ini secara tidak langsung dapat membantu kondisi
perekonomian dalam skala nasional, sehingga program pengembangan
sentra tuna yang akan dilakukan di PPS Bungus ini memiliki potensi yang baik
dan menjanjikan dimasa mendatang.
Dari hasil pengolahan data selama 5 tahun pengamatan, potensi
terbesar terjadi pada tahun 2010 dengan besar indeks LQ 3.9 dan terendah di
tahun 2009 dengan nilai indeks LQ sebesar 3.7. Nilai indeks LQ selama waktu
pengamatan dapat dilihat pada tabel Tabel 2 dan grafik pada Gambar 2
sebagai berikut.
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
25
Tabel 2. Tabel Indeks LQ Produksi Ikan TTC di Kota Padang
Tahun Indeks LQ
2007 3.860
2008 3.833
2009 3.701
2010 3.895
2011 3.817
(Sumber: Pengolahan Data, 2013)
Gambar 2. Grafik Indeks Location Quotient Produksi Ikan TCT di Kota Padang
2007-2011 (Sumber: Pengolahan Data, 2013)
Analisa Pengelolaan PPS Bungus dan TPI Muara Anai
Dari hasil diskusi dengan pihak-pihak terkait baik dari pemerintah
setempat maupun tokoh nelayan yang ada di kota Padang diperoleh
gambaran mengenai pengelolaan yang telah dilakukan selama ini.
Berdasarkan pemaparan Prof. Dr. Tridoyo Kusumastanto yang disampaikan
dalam rapat kerja Balitbang-KKP tahun 2013 di Manado dan hasil wawancara
serta observasi lapangan yang dilakukan maka skema dari Pengembangan
ekomoni biru sektor perikanan di PPS Bungus dapat dilihat pada Gambar 3
dibawah.
Indeks LQ
3.6
3.65
3.7
3.75
3.8
3.85
3.9
3.95
2007 2008 2009 2010 2011
Tahun
Indeks
LQ
Indeks LQ
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
26
Gambar 3. Skema Ekonomi Biru Sektor Perikanan PPS Bungus (Sumber:
Pengolahan Data, 2013)
Keterangan Gambar:
= Variabel-variabel yang mempengaruhi hasil tangkapan ikan
(memerlukan teknologi dan inovasi)
= Situasi yang belum ada dan perlu untuk dikembangkan
= Variabel utama
= Kegiatan yang sudah ada sekarang
= Kondisi sebenarnya dan kendala yang dihadapi
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
27
Skema pengembangan Ekonomi Biru sektor perikanan di PPS Bungus
ini menggambarkan beberapa variabel yang memerlukan perhatian khusus
dari para pihak terkait agar prinsip dari ekonomi biru dapat diterapkan.
Variabel-variabel yang perlu diperhatikan disini adalah variabel yang
mempengaruhi hasil tangkapan ikan (kotak hijau), variabel yang belum ada
dan perlu dikembangkan (kotak biru), kondisi yang ada saat ini dan kendala
yang dihadapi (kotak abu-abu).
Dari hasil observasi lapangan Variabel yang mempengaruhi
tangkapan ikan diantaranya adalah ketersediaan umpan, sarana
penangkapan, lingkungan, dan regulasi. Umpan yang digunakan saat ini
terdiri dari dua jenis yaitu umpan imitasi yang terbuat dari bulu-bulu plastik
dan umpan hidup dari ikan bandeng. Sarana yang tersedia saat ini
diantaranya armada, alat tangkap dan cold storage. Disamping umpan dan
sarana penangkapan, faktor lingkungan seperti kondisi cuaca, sumberdaya
ikan dan kondisi perairan berpengaruh besar terhadap hasil tangkapan, oleh
karena itu pengetahuan para nelayan mengenai kondisi cuaca, kondisi
perairan dan sumberdaya ikan yang adapun perlu dimiliki agar proses
penangkapan ikan dapat dilakukan dengan maksimal. Berdasarkan hal
tersebut maka, sumber daya manusia yang ada perlu dibekali dengan ilmu
pengetahuan dan keterampilan yang memadai. Dalam hal regulasi, perlu
adanya kebijakan yang mengatur pelestarian baby tuna, apabila para nelayan
dibiarkan untuk terus menangkap baby tuna maka akan mengancam
kelangsungan hidup ikan tuna dimasa mendatang, karena baby tuna
berpotensi untuk terus berkembang menjadi tuna besar dan memiliki nilai
ekonomis yang lebih.
Para nelayan dalam pengoperasian penangkapan ikan tuna diwajibkan
mencatat lokasi tangkapan di log book. Dalam pelaksanaan dimana para
nelayan kadang mengabaikan penulisan di log book kapal, sehingga perlu
ditertibkan pencatatan log book kapal karena mengingat pentingnya data
mengenai produksi ikan untuk bahan penelitian dalam rangka peningkatan
produksi ikan, sehingga perlu diberikan sanksi kepada kapal yang tidak
melakukan pendataan dengan baik. Agar peraturan tersebut dapat berjalan
perlu kiranya dilakukan kebijakan yang mengatur hal tersebut.
Kebijakan lain yang perlu diperhatikan dalam hal penggunaan single
set band radio/transmitter akan lebih baik dilakukan untuk mempermudah
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
28
komunikasi antar kapal dibeberapa lokasi dalam melakukan aktifitas
pengawasan tangkapan. Penggunaan single band diperlukan sebagai sarana
komunikasi antar nelayan dengan syahbandar di PPS Bungus maupun ke
antar penangkapan ikan untuk memberikan laporan terkait aktivitas kapal
selama di pelayaran seperti posisi kapal, kondisi cuaca, banyaknya hasil
tangkapan berikut jenis tangkapan. Namun saat ini mengalami kendala,
karena penggunaan komunikasi single band masa aktif sudah ada yang habis
ada yang masih aktif. Untuk yang sudah habis masa aktif perlu diperpanjang,
dimana pengurusan perpanjangan tidak lagi diurus dalam kelompok tapi
perorangan.
Teknologi dan inovasi dari seluruh variabel yang mempengaruhi
tangkapan tersebut dikembangkan untuk meningkatkan hasil tangkapan ikan
menuju pengelolaan yang lebih baik. Pengembangan teknologi salah satunya
dapat diusung dengan mengangkat prinsip zero waste dari ekonomi biru,
seperti penggunaan kapal yang menggunakan Bahan Bakar Motor (BBM)
harus dikurangi penggunaannya agar asas ramah lingkungan dapat tercapai,
untuk itu teknologi dalam hal penggunaan kapal ber-BBM perlu adanya
pengkajian lebih lanjut misalnya dengan penggunaan kapal hybrid yang
menggunakan sumberdaya laut (gelombang dan arus) sebagai daya
penggerak kapal. Dalam hal inovasi pengelolaan produk olahan ikan serta
limbah sirip tuna yang selama ini belum termanfaatkan akan lebih baik bila
mulai dikaji pengolahannya seperti pemanfaatan limbah ikan untuk dijadikan
bahan umpan sehingga prinsip zero waste dari ekonomi biru dapat terpenuhi.
Teknologi dan inovasi dari variable-variabel tersebut di atas sangat
mempengaruhi mutu hasil tangkapan. Selain teknologi dan inovasi, kondisi
lingkungan juga sangat berpengaruh. Salah satu cara menjaga mutu hasil
tangkapan dengan memperhatikan kondisi lingkungan adalah melakukan
pendaratan dan pembongkaran muatan pada dini hari setelah pendaratan
ikan yang biasa dilakukan jam 02.00 WIB karena mutu ikan dapat terjaga.
Karena ikan tuna dengan bobot diatas 35 kg akan dieksport ke Jepang dalam
keadaan segar, sehingga harus dilakukan dini hari. Sebelum dieksport ke
Jepang ikan tuna hasil tangkapan diperiksa oleh petugas yang disebut sebagai
‘checker’ dimana penentuan mutu ini didasarkan pada kondisi ikan tuna
tersebut. Ikan yang bermutu baik kondisinya akan langsung dikemas dan
diekspor ke Jepang dan dikategorikan sebagai mutu 1, sedangkan mutu 2
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
29
adalah ikan tuna olahan yang diolah menjadi berbagai bentuk produk tuna
seperti loin, nugget, steak dan lain sebagainya yang dieksport ke Florida.
Sedangkan kategori mutu 3 adalah ikan tuna yang langsung dijual ke pasar
lokal. Penentuan mutu berdasarkan berat ikan dimana mutu 1 berat diatas 35
kg, mutu 2 berat antara 30-35 kg dan mutu 3 berat dibawah 30 kg. Penentuan
mutu ikan bersifat lokal belum ada ketentuan resmi mutu ikan, hal ini perlu
diperhatikan mengingat pentingnya kategori mutu ini untuk meningkatkan
nilai ekonomi ikan tuna.
Walaupun perairan barat ini ditetapkan sebagai sentra tuna namun
upaya pemerintah daerah dalam meningkatkan hasil tangkapan serta nilai
jual tuna belum maksimal, masih banyak kendala. Budaya yang sudah
mengakar kuat merupakan salah satu kemungkinan penyebab kendala ini,
seperti kurangnya minat para nelayan untuk melakukan pelayaran yang
memerlukan waktu yang lebih dari 1 minggu. Umumnya para nelayan
tradisional melaut bersifat one day trip.
Perusahaan pengolahan ikan tuna PT Dempo yang ada di PPS Bungus
Tanjung Kabung kota Padang memiliki kendala kurangnya minat masyakarat
asli untuk bekerja sebagai buruh pabrik, umumnya buruh berasal dari luar
Pulau Sumatera. Hal ini disebabkan budaya masyarakat Minang tidak
berminat menjadi buruh mereka lebih suka sebagai pemilik. Dalam
mengantisipasi perlu dilakukan peningkatan sumberdaya manusia dan
penguatan pemahaman kepada masyarakat akan pentingnya ikut
berpartisipasi untuk memiliki usaha di bidang kelautan dan perikanan
mengingat potensi perikanan yang besar yang dimiliki oleh perairan Sumatera
Barat. Disamping peningkatan sumberdaya manusia juga peningkatan sarana
seperti ketersediaan air, BBM, listrik dan cold storage sarana tersebut
dibutuhkan keberadaannya di setiap pelabuhan. Dalam pengoperasin PPS
Bungus diperlukan BBM 600 liter, kondisi sekarang 154 liter, listrik yang ideal
200 kpa, keadaan di lokasi 66 kpa, kebutuhan air 7500 m3/ltr keadaan di
lokasi 40 m3/ltr. Memperhatikan keadaan tersebut perlu adanya perbaikan
sarana pelabuhan. Disamping sarana tersebut perlu juga dilengkapi dengan
dry ice, cold storage dan docking.
Secara keseluruhan dengan melihat proses pengelolaan di PPS
Bungus, maka prinsip ekonomi biru sudah dapat ditetapkan di lokasi
tersebut. Inovasi dan adaptasi sangat kita perlukan untuk mendukung
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
30
variabel-variabel yang mempengaruhi hasil tangkapan TTC. Pemberdayaan
masyarakat dan peningkatan pemahaman masyarakat akan industri
perikanan yang memiliki potensi yang besar dapat meningkatkan kondisi
ekonomi didaerah tersebut sesuai dengan prinsip ekonomi biru dalam hal
social inclusiveness. Peningkatan industri perikanan yang pada akhirnya dapat
menambah aktifitas perekonomian di kota Padang dan pada akhirnya dapat
meningkatkan kondisi ekonomi baik secara lokal maupun nasional memiliki
multiple economic effects. Dengan adanya pengelolaan yang baik di wilayah
sentra tuna PPS Bungus diharapkan kegiatan pengelolaan dapat dilakukan
secara berkesinambungan agar terjadi keseimbangan dalam hal produksi dan
pemanfaatannya (generation to generation serta balancing production and
consumption).
Rekomendasi
Sumberdaya perikanan khususnya ikan TTC di Sumatera Barat
memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan dilihat dari indeks LQ hasil
perhitungan yang menunjukkan nilai lebih dari 3. Hasil dari produksi
perikanan di kota Padang khususnya untuk jenis TTC memberikan kontribusi
yang lebih bagi sektor perikanan dalam skala nasional, karena itu
pengembangan industri/bisnis di sektor perikanan di kota Padang harus
dilakukan untuk menambah aktifitas ekonomi baik skala regional maupun
nasional.
Peningkatan teknologi dan inovasi dalam hal penggunaan umpan,
armada kapal, alat pancing, pemanfaatan limbah, metode penangkapan tuna
dan peningkatan pengetahuan serta kemampuan para nelayan sangat
penting dilakukan untuk meningkatkan hasil tangkapan TTC. Pemanfaatan
sumberdaya perikanan harus sejalan dengan pengelolaan serta perlu adanya
sistem kendali dalam sistem penangkapannya. Sistem kendali dilakukan
dengan adanya kebijakan penangkapan jenis ikan tuna khususnya baby tuna,
penertiban log book kapal dan pengaturan single set band radio/transmitter.
Pemberdayaan masyarakat sekitar dapat dilakukan dengan mengajak
masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam industri perikanan sehingga
memicu aktifitas ekonomi di kota Padang. Prinsip ekonomi biru yang
diterapkan dalam pengelolaan PPS Bungus akan menjadikan PPS Bungus
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
31
sebagai sentra tuna yang baik untuk bagian Barat Indonesia dimasa
mendatang.
Persantunan
Penulis mengucapkan banyak terima kasih pihak-pihak yang telah
banyak membantu dalam penulisan karya tulis ini seperti PPS Bungus, Dinas
Kelautan dan Perikanan Kota Padang serta Provinsi Sumatera Barat, Bapak Edi
Pono, Bapak Enjang dan Bapak Awaludin sebagai wakil dari tokoh nelayan.
Pembiayaan data lapangan diperoleh dari DIPA tahun 2013 kegiatan Pusat
Pengembangan dan Penelitian Sumber Daya Laut dan Pesisir (P3SDLP)-
Kementerian Kelautan dan Perikanan
Daftar Pustaka
Anonim, 2012, “Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2011”, Direktorat
Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan,
Jakarta.
Pauli, 2010, “The Blue Economy 10 Years 100 Innovations 100 million Jobs”,
Paradigm Publications Taos New Mexico, USA.
Padang dalam Angka 2007-2010, Badan Pusat Statistik, Kota Padang
Wiyadi, Trisnawati, R., 2002, “Analisis Potensi Daerah untuk Mengembangkan
Wilayah di Eks-Karesidenan Surakarta Menggunakan Teori Pusat
Pertumbuhan”, Fakultas Ekonomi Universitas Muh. Surakarta.
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
32
Pemurnian Garam Sistem Mekanis untuk Menghasilkan
Garam Konsumsi Sehat
Ifan R. Suhelmi dan Hariyanto Triwibowo
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Balitbang KP
Abstrak
Alat pemurnian garam telah diterapkan sejak tahun 2009 sebagai IPTEK
untuk Masyarakat atau lebih dikenal sebagai IPTEKMAS Garam di 18 (delapan
belas) lokasi kelompok penerima tersebar di Indramayu, Cirebon, Pati,
Rembang, Tuban, Lamongan, Tuban, Gresik, Surabaya, Sampang, Pamekasan
dan Sumenep. Pada tahun 2012 paket teknologi telah mengalami
penyempurnaan. Paket yang diterapkan tidak hanya proses pemurnian,
namun juga telah dilengkapi dengan peralatan iodisasi dan pengemasan.
Proses pencucian garam dimulai dengan unit proses pencucian dan
pelembutan, proses pencucian menggunakan air cuci dengan kadar
kepekatan tertentu. Pelembutan menggunakan mesin pelembut berjenis
diskmill. Proses pencucian dan pelembutan ini berjalan secara simultan.
Setelah dicuci dan dilembutkan, proses selanjutnya adalah proses penirisan
(Spinner). Proses ini bertujuan untuk menghilangkan kandungan air yang
masih cukup banyak terkandung di dalam garam. Prinsip kerja dari unit
proses ini adalah dengan memanfaatkan gaya sentrifugal sehingga air yang
terjebak di dalam padatan garam dapat terlepas. Air yang dapat dipisahkan
tersebut merupakan air tua (brine) dan dikembalikan ke bak pencuci.
Selanjutnya dikeringkan dalam Unit Proses Pengeringan. Unit proses ini
bertujuan untuk mengeringkan garam jadi sehingga kandungan air (moisture
content) di dalam garam menjadi turun sesuai standar. Unit proses ini
menggunakan alat rotary dryer dan aspek neraca energi sangat ditekankan
disini karena unit ini mengonsumsi bahan bakar. Media pemanas yang
digunakan adalah burner dengan bahan bakar berupa LPG. Kemampuan
produksi rata-rata dapat mencapai 2 ton per hari dan menyerap 3 hingga 5
tenaga kerja.
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
33
Inovasi sederhana dalam pengolahan garam krosok yang disiapkan menjadi
garam konsumsi rumah tangga telah berhasil memberikan nilai tambah 200 –
1000 rupiah per kilonya.
Kata kunci : Pemurni garam sistem mekanis, iptekmas, garam krosok, garam
halus
Pendahuluan
Garam merupakan salah satu komoditas yang dihasilkan dari
pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Indonesia sebagai negara
kepulauan memiliki garis pantai yang sangat panjang dan beberapa lokasi
diantaranya sangat berpotensi untuk dikembangkan menjadi lahan tambak
garam. Garam Kebutuhan akan garam kian hari makin meningkat seiring
bertambahnya jumlah penduduk dan berkembangnya berbagai industri, baik
di dalam maupun luar negeri. Kebutuhan garam khususnya untuk industri
masih disupai dari garam impor. Sedangkan untuk garam konsumsi telah
dapat dipenuhi seluruhnya dari hasil produksi garam rakyat sejak tahun 2012
(KP3K, 2013). Pemerintah mentargetkan terpenuhi seluruh kebutuhan garam,
baik untuk konsumsi dan industri pada tahun 2017.
Amerika Serikat dan Cina merupakan dua produsen garam terbesar
dunia dengan gabungan produksi sebesar 40% dari total produksi tahunan
dunia yang sebesar seperempat miliar ton garam, seperti terlihat pada
Gambar 1 (P3SDLP, 2010)
Gambar 1. Produsen garam dunia (dalam juta ton). (Sumber: Salt Institute)
0
10
20
30
40
50
60
70
China United
States
Germany India Canada Australia Mexico Brazil France United
Kingdom
All Other
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
34
Pemanfaatan garam untuk kebutuhan selain konsumsi sangat beragam, mulai
dari industri farmasi, CAP, perminyakan sampai dengan industri kaca.
Pemanfaatan garam untuk kebutuhan industri seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. kelas-kelas ukuran butir garam dan penggunaannya untuk industri
No. Grade Penggunaan
1 Pure Salt
Textile / Hosiery Dying / Pharma Industries/Medicines / Paints
/ Destemper / Dyes And Chemical Inustries / U V Fluids.
2 Crystaline
Textile / Hosiery Dying / Paints Destemper/ Dyes And
Chemical Inustries
3 Medium
Textile / Hosiery Dying Paints Destemper/ Dyes And Chemical
Inustries / Sea Food Aand Frozen Food Etc.
4 30 Mesh Detergent and Washinf Powder
5 Super Fine
Soaps / Detergent and Washinf Powder / Edible / Foods /
Dyes / Chemicals
6 Over Size Explossives / Chemicals
Sedangkan garam konsumsi didefinisikan sebagai garam dengan kadar
Natrium Chlorida minimum 94,7% atas dasar berat kering (dry basis), dengan
kandungan impuritis Sulfat, Magnesium dan Kalsium maksimum 2 % dan
sisanya adalah kotoran/insoluble matter (lumpur, pasir). Kadar air maksimal
7% (BSN, 2014)
Pembuatan garam rakyat umumnya dibuat dengan cara menimba air
laut, kemudian dimasukkan ke dalam ladang penguapan sehingga langsung
dihasilkan kristal garam. Pada usaha garam rakyat (tradisional) yang
memanfaatkan model terasering bertingkat kadar garam tertinggi yang dapat
dihasilkan relatif jarang mencapai 90 %, sehingga diperlukan perlakuan-
perlakuan khusus agar dihasilkan garam dengan kualitas tinggi. Penelitian
yang sudah pernah dilakukan untuk meningkatkan mutu garam rakyat
dilakukan dengan system pencucian. Sistem pencucian garam hasil usaha
pegaraman rakyat dihasilkan garam dengan NaCl 97%, kebasahan <2%,
kotoran < 1%, dengan kelas butiran medium dan superfine yang dapat
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
35
digunakan sebagai bahan pendukung proses produksi atau bahan baku
industri.
Untuk meningkatkan kadar NaCl dalam garam yang dihasilkan oleh
rakyat, perlu dilakukan proses pencucian untuk memurnikan kadar NaCl
dalam garam. Diharapkan melalui penerapan hasil penelitian dan
pengembangan berupa teknologi sederhana proses pemurnian garam sistim
mekanis ini diperoleh garam dengan kadar NaCl yang tinggi sehingga
memberikan nilai tambah kepada petani garam.
Proses pemurnian garam melalui 5 langkah tahapan. Langkah pertama
untuk memurnikan kadar NaCl dalam garam krosok adalah dengan
melakukan pelembutan. Proses pelembutan ini dilakukan untuk memecahkan
butiran garam sehingga rongga-rongga yang ada hancur dan butiran garam
menjadi halus. Proses pelembutan ini sekaligus dilakukan proses pencucian.
Setelah proses pencucian dan penggilingan, dilakukan proses pematusan
untuk mempercepat proses pengeringan, hal ini dilakukan untuk
menghasilkan garam dengan kadar air yang rendah. Hasil garam proses
pematusan, dilakukan proses pengeringan. Setelah garam dikeringkan,
selanjutnya garam diberikan Iodium dan dikemas dalam ukuran tertentu.
Proses pengolahan garam krosok
Lokasi pelaksanaan iptekmas terdapat di 18 (delapan belas) titik.
Adapun perincian lokasi per kabupaten sebagai berikut, 1 (satu) titik lokasi di
Kabupaten Indramayu, 2 (dua) titik lokasi di Kabupaten Cirebon, 2 (dua) titik
lokasi di Kabupaten Pati, 1 (satu) titik di Kabupaten Rembang, 3 (tiga) titik di
Kabupaten Tuban, 1 (satu) di Kabupaten Lamongan, 2 (dua) di Kabupaten
Gresik, 1 (satu) di Kota Surabaya, 1 (satu) di Kabupaten Sampang, 3 (tiga) di
Kabupaten Pamekasan dan 1 (satu) di Kabupaten Sumenep. Kesemua lokasi
ada di sentra garam nasional.
Kajian dimulai dengan penyusunan desain teknis, perakitan dan
implementasi. Desain teknis peralatan. Perancangan pabrik pencucian garam
baik dasar proses pengolahan garam hingga pemilihan material menggunakan
pedoman yang disusun oleh Dale. W. Kaufmann (1960). Sedangkan untuk
detail kalkulasi spesifikasi alat, referensi yang digunakan ialah “Perry’s
Chemical Engineers’ Handbook” yang disusun oleh Don, dkk (2008).
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
36
Perhitungan panas yang digunakan untuk proses pengeringan berdasarkan
perhitungan dalam www.theengineeringtollbox.com
Paket teknologi ini terdiri dari 5 sub-sistem utama, yakni (a)
penghancuran butiran garam krosok, (b) pencucian, (c) pengeringan, (d)
penambahan unsur yodium dan (e) pengemasan menjadi garam meja seperti
terlihat pada Gambar 2. Pegolahan garam dengan teknologi pemurnian
garam dimulai dengan penghancuran butiran-butiran garam krosok menjadi
garam lembut dengan ukuran partikel 2 mm. Butiran-butiran ini selanjutnya
dicuci dengan air yang telah dituakan pada 20 o
Be. Proses pencucian ini pada
intinya memisahkan kotoran ikutan garam krosok melalui pencucian dan
penyaringan.
Gambar 2. Tahapan proses pemurnian
Proses pengeringan hasil cucian dilakukan dengan mesin peniris,
sebuah alat yang bekerja secara berputar sentrifugal. Garam cucian diputar
dengan alat ini untuk mengurangi kandungan air, sebelum diproses lebih
lanjut dengan mesin pengering. Butiran garam kering selanjutnya diproses
dalam mesin penyemprot yodium. Proses iodinisasi ini menjadi salah satu
syarat produk garam olahan menjadi garam meja untuk keperluan masak.
Tahapan akhir pengolahan garam adalah pengemasan. Garam meja dikemas
dalam bungkusan 200 gr yang siap didisutribusikan ke pasar.
Paket teknologi pemurnian garam merupakan salah satu langkah awal
mempersiapkan langkah industrialisasi garam rakyat, mengolah garam krosok
Pengeringan
Iodisasi dan pengemasan
Garam krosok
Garam halus beryodium
Penghalusan dan pencucian
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
37
menjadi garam meja. Pengolahan ini membuka kesempatan baru bagi para
petambak garam yang semula mengandalkan produksi garam krosok dengan
harga yang rendah untuk memperoleh nilai tambah dengan mengolah
garamnya menjadi garam meja. Diharapkan ke depan peningkatan kualitas
garam lebih tinggi lagi sehingga mampu mencapai kualitas garam industri.
Nilai tambah yang diperoleh berarti pula peningkatan kesejahteraan bagi
petambak garam.
Gambar 3. Proses pencucian garam sistem mekanis model 1
Gambar 4. Proses pencucian garam sistem mekanis model 2
Pengembangan alat pencuci garam sistem mekanis dimulai pada tahun
2009, hingga dengan tahun 2013 terdapat 2 (dua) model proses pencucian.
Pembeda model pencucian 1 dan model pencucian 2 terdapat pada beberapa
alat yang digunakan, namun secara garis besar tahapan yang dilalui sama.
Pada gambar 3 dan Gambar 4 menunjukkan alur proses pencucian garam
sistem mekanis.
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
38
Perbedaaan antara model 1 dan model 2 terletak pada titik pematusan
dan proses pengeringan. Pada model 1 penggunaan alat pematusan (spinner)
menggunakan model spinner vertikal sedangkan model 2 menggunakan
spinner horizontal. Berdasarkan hasil pengamatan, spinner vertikal memiliki
beberapa kelemahan antara lain masalah kapasitas, pemeliharaan dan
penggunaan. Dengan menggunakan spinner horizontal, kapasitas dapat
ditingkatkan karena motor yang digunakan mampu menggerakkan 2 (dua)
alat pematus secara simultan dengan motor penggerak yang ada.
Perbedaan kedua terletak pada alat pengeringan, pada model 1
menggunakan rotary drier dan pada model 2 menggunakan sistem oven.
Perbedaan alat ini disesuaikan dengan produk akhir yang dihasilkan. Untuk
pengering dengan rotary drier ditujukan untuk menghasilkan garam curah
dan garam kemasan dalam bentuk butiran. Sedangkan pengering berbentuk
oven digunakan untuk menghasilkan garam dalam bentuk briket.
Berdasarkan hasil pengamatan, paket teknologi ini mampu
meningkatkan kandungan NaCl yang terdapat pada garam krosok dengan
kisaran nilai 88%, diolah menjadi garam halus dengan tingkat kelembutan
butiran garam 2 mm serta kandungan NaCl lebih dari 94%. Kemampuan
produksi peralatan ini dapat mencapai 2 ton per hari. Kelompok pengolah
garam yang mengoperasikan peralatan ini dapat menyerap 3 – 5 tenaga kerja
dan mendapatkan nilai tambah 200 – 1.000 rupiah per kilogramnya.
Kegiatan Iptekmas garam telah berlangsung sejak tahun 2009, hingga
saat ini telah tersebar pada 18 (delapan belas) titik lokasi Iptekmas Garam.
Penerima Iptekmas sangat beragam seperti koperasi wanita, LSM sampai
Sekolah Menengah Kejuruan seperti terlihat pada Tabel 2. Masing-masing
lokasi telah memproduksi garam kemasan 250 gram dengan merek tersendiri
dengan kapasitas produksi 1 – 2 ton per hari.
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
39
Table 2. Nama dan Lokasi Penerima Iptekmas
NO Nama Kelompok Alamat Merek Dagang
1 2 3 4
1 Sumber Hasil
Ds. Karang Anyar, Kalianget,
Sumenep
Segoro Madu
2 Puspa Marina
Ds. Padelegan, Pademawu,
Pamekasan
Nusantara
3 Cempaka Ds. Lembung, Galis, Pamekasan Nifana
4 IKM Biru Laut
Ds. Padelegan, Pademawu,
Pamekasan
Sari Madura
5 Kel. Tani Alhidayah
Ds. Ragung, Pengarengan,
Sampang
Taman Garam
6 Buran Ds. Dukuh, Pakal, Surabaya Suramadu
7 LSM Semar Ds. Banyu Urip, Panceng, Gresik Salinita
8 KUB Redjodadi Ds. Campurejo, Panceng, Gresik GR
9 SMK Sundra Ds. Banjarwati, Paciran, Lamongan Samudera
10 KUB Garuk 1 Ds. Ketambul, Palang, Tuban Raja Beruang
11 Kopwan Ibu Pertiwi Ds. Leran Kulon, Palang, Tuban Pertiwi
12 Kugar Ronggolawe V Ds. Dasin, Tambakboyo, Tuban Penyu
13 Apel Merah Ds. Purworejo, Kaliori, Rembang Apel Merah
14
Mutiara Laut
Mandiri
Ds. Ketintang Wetan, Pati MLM
15
Srikandi Mangun
Sejahtera
Ds. Mangunan , Pati Srikandi
16
KUB Dhuha Angger
Sejahtera
Ds. Pengarengan, Pangenan,
Cirebon
PAS
17 KSU Bina Usaha
Ds. Pengarengan, Pangenan,
Cirebon
Keong Mas
18 Kop Segoro Madu Ds. Santing, Losarang, Indramayu Bintang Timur
Para penerima paket teknologi telah menyiapkan merk dagang dari
garam yang dihasilkan. Namun untuk melengkapi aspek legal dalam usaha
garam ini masih diperlukan dukungan pengurusan perijinan. Perijinan
beragam, mulai dari perijinan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah
seperti ijin usaha, ijin gangguan, ijin mendirikan bangunan. Juga perijinan
yang dikeluarkan oleh institusi vertikal seperti paten merk dari Kementerian
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
40
Hukum dan HAM, sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia, sertifikat SNI
dari Badan Pengawas Obat dan Makanan, sertifikat keamanan pangan dari
Kementerian Kesehatan. Permasalahan perijinan tersebut menjadi
permasalahan yang mengakibatkan pemasaran produk menjadi terkendala.
Untuk memenuhi seluruh perijinan tersebut memerlukan dukungan sumber
dana yang tidak sedikit, sehingga dukungan dari pemerintah yang
berhubungan dengan semua proses menjadi penting.
Untuk mendukung keberhasilan program iptek untuk masyarakat
diperlukan pendampingan yang kontinyu. Pendampingan tidak hanya dalam
proses produksi, namun juga dalam proses pemasaran dan kelembagaan.
Pembentukan lembaga sebagai wadah dalam kelompok perlu ditingkatkan
statusnya. Pendampingan pemasaran juga meliputi permasalahan perijinan
yang telah diungkapkan diatas.
Gambar 5. Berbagai merek dagang yang telah dimiliki oleh penerima
Iptekmas
Meskipun merek dagang sudah didesain oleh masing-masing kelompok
seperti terlihat pada Gambar 5, namun secara legal formal belum semua
lokasi didaftarkan sebagai paten merk. Yang lebih memprihatinkan lagi,
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
41
hingga saat ini semua lokasi penerima Iptekmas belum ada merek dagang
yang dilengkapi dengan SNI dan BPOM. Untuk memenuhi persyaratan
produksi dan distribusi garam kemasan sangat diperlukan penguatan
pendampingan teknis dan bisnis agar aspek legal dalam memproduksi dan
menjual garam dapat dipenuhi. Untuk memperoleh hasil yang maksimal,
perlu dilakukan pendampingan berupa dorongan untuk mendaftarkan merek
dan memperoleh semua perijinan pengolahan garam.
Rekomendasi
Berdasarkan kajian diatas dapat direkomendasikan beberapa hal sebagai
berikut:
1. Paket teknologi pengolah garam yang dikembangkan oleh Puslitbang
Sumberdaya Laut dan Pesisir mampu meningkatkan kadar kandungan
NaCL sebesar 10% dengan butiran kecil dengan ukuran seragam,
berwarna putih dan tingkat kekeringan dibawah 3%.
2. Salah satu permasalahan yang harus segera dipecahkan agar usaha
pengolahan garam dapat berjalan adalah dengan melengkapi seluruh
perijinan yang diperlukan. Untuk memenuhi hal tersebut diperlukan
dukungan secara nyata dari pemerintah.
Persantunan
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kelautan dan Perikanan atas dukungan dalam kajian ini dan
kepada Tim Universitas Hang Tuah Surabaya yang telah bayak membantu
terlaksananya kegiatan paket teknologi pengolah garam.
Daftar Pustaka
Badan Standarisasi Nasional. 2014. Standar Nasional Garam Konsumsi. SNI
01-3556-2000/Rev.9
Dale W. Kaufmann (ed). 1960. Sodium Chloride. The Production and
Properties of Salt and Brine. Hardcover – January 1, 1960
Don W. Green, Robert H. Perry. 2008. Perry's Chemical Engineers' Handbook,
Eighth Edition. McGraw-Hill: New York, Chicago, San Francisco,
Lisbon, London, Madrid, Mexico City, Milan, New Delhi, San Juan,
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
42
Seoul, Singapore, Sydney, Toronto ISBN: 9780071422949.
http://accessengineeringlibrary.com/browse/perrys-chemical-
engineers-handbook-eighth-edition [diakses 25 Agustus 2014]
KP3K, 2013, Laporan Akhir Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR)
Tahun 2013, Sekretariat PUGAR, Direktorat Jenderal Kelautan,
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
P3SDLP (Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir).
2010. Laporan Kegiatan IPTEKMAS 2010. Puslitbang SDLP, Balitbang
KP KKP. Jakarta
TheEngineeringToolBox.com. Gross heating and net heating value for some
common gases as hydrogen, methane and more , 2013,
http://www.engineeringtoolbox.com/gross-net-heating-values-
d_420.html [diakses 20 Agustus 2014]
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
43
Kualitas Air Sungai Manggar, Kota Manggar Kabupaten
Belitung Timur. Perbandingan di Musim Hujan dan
Kemarau.
Agustin Rustam dan Fajar Yudi Prabawa
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Balitbang KP
Abstrak
Sungai Manggar terletak di Kota Manggar, ibukota Kabupaten Belitung Timur
yang sedang giatnya meengembangkan diri untuk membangun, untuk itu
dibutuhkan perencanaan ruang dan program pengisinya. Tim melakukan riset
identifikasi perairan Sungai Manggar, bertepatan misi dengan program
Pemerintah Daerah yang berencana memanfaatkan Sungai Manggar untuk
budidaya ikan KJA, terlebih adanya calon investor asing.
Hasil pengukuran parameter dipilah menjadi aspek fisika dan kimia
berupa: pH, DO, Salinitas, Sigma t, Konduktifitas, Densitas, TDS dan
Temperatur. Pengukuran dilakukan bulan Maret saat musim hujan dan pada
bulan Oktober telah berlangsung lama musim kemarau untuk mendapatkan
data kemudian dibandingkan kondisi parameter airnya. Penentuan waktu
menurut musim ini Tim tentukan dari hasil pengukuran awal pada bulan
Maret dimana kondisi air sungainya beranomali cukup parah. Umumnya pH di
90% area sungai hulu hingga muara sebesar 4-6 dan rerata salinitas rendah.
Hipotesa Tim: ini disebabkan faktor kondisi eksisting lokasi yang dikelilingi
tambang timah dan kaolin sebagai sumber kontaminan yang pengaruhi
kondisi air sungai dan musim hujan sebagai media transportnya ke sungai.
Kata kunci: kualitas air, Sungai Manggar, Geologi Lingkungan, penelitian dua
musim.
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
44
Pendahuluan
Kabupaten Belitung Timur dikelilingi zona pesisir, secara geografis terletak
antara 107o
45’ BT sampai 108o
18’ BT dan 02o
30’ LS sampai 03o
15’ LS
ditambah jejaring sungai memenuhi sebagian wilayahnya dengan akses akhir
beberapa muara sungai besar di pesisir. Kota Manggar adalah ibukota
kabupaten, terletak di pesisir sekaligus muara Sungai Manggar. Masih sedikit
data karena belum banyak kegiatan riset di lokasi ini, Tim melakukan
identifikasi lingkungan alam area sungai dan muara sungai Manggar dengan
aspek: pengukuran parameter fisik air sungai dan perairan darat. Ini karena
lokasi Belitung yang dikenal sebagai “Pulau Logam” penuh dengan kegiatan
penambangan sehingga tentu amat mempengaruhi kualitas air sungainya.
Gambar 1. Peta Geologi Lingkungan Pulau Belitung dan Zonasi Sungai di
Belitung Tmur
Secara Geologi Lingkungan, genesa terjadinya Pulau Belitung adalah pulau
vulkanik, wilayahnya didominasi batuan asal aktifitas gunung berapi di masa
lampau. Saat ini gunung sudah mati, dan isinya yang kaya akan bahan
tambang logam terus tererosi memenuhi ruang sekitar hingga tertransport ke
Manggar
Pulau
Belitung
Manggar
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
45
laut dan tersebar oleh arus laut. Membahas kualitas dan kandungan isi sungai
tak lepas dari sumbernya yaitu daratan. Oleh sebab itu maka perlunya
dilakukan pendataan dan sampling air di kawasan yang diduga sebagai
sumber terdekatnya.
Lokasi khususnya diduga kuat mengandung logam berat skala besar
karena sepanjang hulu sungai dikelilingi tambang timah dan kaolin dapat
dilihat dari hasil pengukuran air pada lokasi tambang di sekitar hulu dan
pinggiran sungai Manggar yang ekstrim anomalinya. Sejak jaman penjajahan
Belanda adalah sumber tambang Timah, disamping mempunyai pula
cadangan besi (Fe) serta logam lain yang berasosiasi dengannya seperti
Tembaga Cu), Seng (Zc), Timbal (Pb) dsb. Kandungan air sungai amat terkait
kandungan dari darat, kemudian kandungan logam berat di darat jauh lebih
banyak tertransport air hujan ke sungai dibanding di musim kemarau.
Principal Component Analysis
Data-data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data-data sebagai
berikut:
1. Data spasial
Data spasial yang dikumpulkan untuk mendukung penelitian ini adalah:
Citra Satelit Landsat, peta RTRW Kota Manggar
Peta Geologi Lingkungan Skala 1:25.000 / 1:50.000 (Puslitbang Geologi
Lingkungan)
Peta Geologi Regional Skala 1 : 100.000 / 1 :250.000 (Puslitbang
Geologi)
2. Data Sekunder
Data sekunder yang diperoleh dari berbagai instansi BLHD,
Balitbang KKP
3. Data Lapangan
Data Lapangan merupakan data primer, yang langsung diambil di
lokasi penelitian meliputi pengukuran parameter air dan
pengambilan sampel air sungai, danau di perairan darat dan
sampel biota.
Metode pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling yang
diharapkan dapat mewakili lokasi penelitian yang berdasarkan data hasil
wawancara dengan penangkap kepiting merupakan lokasi tempat
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
46
penangkapan kepiting (kode lokasi S), lokasi dengan kualitas air bagus (kode
lokasi K), gradasi salinitas dari hulu ke hilir (kode lokasi H) serta aktifitas yang
ada di sungai. Lokasi penelitian dilakukan di Pantai kawasan mangrove
Manggar (Gambar 1). Pengukuran kualitas perairan yang dilakukan dengan
menggunakan alat multiparameter sejauh kurang lebih 10 km menyusuri
sungai dari hulu ke hilir Sungai Manggar serta percabangan dari sungai
Manggar di kawasan mangrove Manggar.
Deskripsi stasiun pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa untuk stasiun
yang dimulai dari hulu sungai kearah hilir sampai ke laut dikodekan dengan
H1 sampai dengan H18, kemudian kode stasiun, sedangkan daerah yang
merupakan rencana adanya suatu usaha budidaya keramba jaring apung
disimbolkan dengan huruf K1 sampai dengan K9.
Parameter yang terukur dengan alat multiparameter (Gambar 2) ini
berjumlah 7 parameter. Parameter tersebut adalah pH, DO (Dissolved
Oxygen), konduktivitas, turbiditas, temperatur, salinitas dan sigma-t yang
diukur pada kedalaman permukaan yaitu 0,2 -0,8 meter. Parameter ini akan
dibagi menjadi parameter fisika (suhu, konduktivitas dan turbiditas) dan
parameter kimia (pH, salinitas, sigma-t dan DO).
Analisis data secara umum dilakukan secara deskriptif dengan MS
Excell 2007 untuk dapat menggambarkan kondisi eksisting kualitas perairan.
Untuk menentukan variasi parameter fisika-kimia dan biologi perairan antar
stasiun penelitian digunakan pendekatan analisis statistik peubah ganda yang
didasarkan pada Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis,
PCA) (Legendre dan Legendre, 1983; Ludwig dan Reynolds, 1988; Digby dan
Kempton, 1988). Analisis Komponen Utama (AKU) merupakan metode
statistik deskriptif yang bertujuan untuk menampilkan data dalam bentuk
grafik dan informasi maksimum yang terdapat dalam suatu matriks data.
Matriks data terdiri dari stasiun penelitian sebagai individu statistik (baris)
dan parameter lingkungan (fisik-kimia perairan) yang kuantitatif (kolom).
Analisis ini juga digunakan untuk mereduksi suatu gugus parameter yang
berukuran besar dan saling berkorelasi, menguji kesamaan tempat dalam
ruang jenis dan parameter lingkungan dengan cara menentukan aksis
ortogonal melalui pemaksimalan keragaman.
Data parameter fisika-kimia perairan yang diperoleh tidak memiliki
unit pengukuran yang sama, maka sebelum dilakukan AKU, data tersebut
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
47
perlu dinormalisasikan terlebih dahulu melalui pemusatan dan pereduksian.
Jadi, apabila Xij adalah nilai data awal dan X.j adalah rata-rata, serta Sj adalah
simpangan baku, maka pemusatan dari Xij ke Yij dapat diperoleh dari
hubungan : Yij = (Xij - X.j), dan pereduksian dari Xij ke Yij ditrasformasikan
dengan rumus Yij = (Xij - X.j)/Sj. Dengan demikian setiap parameter
mempunyai unit keragaman. Dari nilai pemusatan dan pereduksian akan
terbentuk matriks baru ASxN yang merupakan pembentukan dari komponen-
komponen aij. Untuk menentukan hubungan antara dua parameter
digunakan pendekatan matriks korelasi yang dihitung dari indeks sintetik
(Ludwig dan Reynolds, 1988), yaitu :
RSxS = ASxN At
NxS
sedangkan,
RSxS = matriks korelasi rij
ASxN = matriks indeks sintetik Yij
At
SxN = matriks transpose(pertukaran baris dan kolom) dari matriks A
Korelasi linier antara dua parameter yang dihitung dari indeks
sintetiknya merupakan peragam dari dua parameter tersebut yang telah
dinormalisasikan. Tahapan ini sebenarnya merupakan suatu usaha untuk
mentransformasikan p parameter kuantitatif awal (inisial), yang kurang lebih
saling berkorelasi, ke dalam p parameter kuantitatif baru yang disebut
komponen utama. Dengan demikian hasil dari analisis ini tidak berasal dari
parameter-parameter awal (inisial) tetapi dari indeks sintetik yang diperoleh
dari kombinasi linier parameter-parameter asal. Di antara semua indeks
sintetik yang mungkin, analisis ini mencari terlebih dahulu indeks yang
menunjukkan ragam individu yang maksimum. Indeks ini disebut komponen
utama ke-1 atau sumbu (axis) utama ke-1, yaitu suatu proporsi tertentu dari
ragam total stasiun/lokasi yang dijelaskan oleh komponen utama ini.
Selanjutnya dicari komponen utama ke-2 dengan syarat berkorelasi linier nihil
dengan yang pertama dan memiliki ragam individu terbesar. Komponen
utama ke-2 ini memberikan informasi terbesar sebagai pelengkap komponen
utama pertama. Proses ini berlanjut terus sehingga diperoleh komponen
utama ke-p, dimana bagian informasi yang dapat dijelaskan semakin kecil.
Analisis statitik ini dilakukan dengan menggunakan XLStat 2012 (evaluation).
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
48
Litologi kawasan Belitung Timur yang mengandung pasir timah (Sr),
kandungan Hg, pasir besi (Fe), tembaga (Cu) dan kaolin (Ca) pengaruhi
kandungan pada substrat tanah. Kandungan logam ini mempengaruhi
perairan darat sekitar dan juga tertransport ke sungai. Ini menjadi potensi
kontaminasi logam berat yang patut diwaspadai. Maka diadakanlah riset
untuk antisipasi dampak pada masyarakat
Gambar 2. Peta Plotting Stasiun Pengukuran Parameter Air Sungai Manggar,
2013
Variabel data tersebut dipilih karena perannya penting dalam
mengidentifikasi berbagai parameter air sungai, dan biota di dalamnya. Serta
dalam penentuan titik sampling berdasar jenis litologi di daratan sumber dan
kesesuaian lahan.
Stasiun K
Stasiun H
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
49
Kualitas Perairan Sungai Manggar Musim Barat dan Musim Timur
Hasil pemantauan kualitas air sungai yang dilakukan Kantor
Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kabupaten Belitung Timur pada Sungai
Manggar tahun 2012 menunjukkan parameter DO pada pengambilan musim
peralihan dari musim barat ke musim timur menunjukkan nilai Do untuk
seluruh bagian sungai dari hulu ke hilir dibawah buku mutu 4 mg/L yaitu
sebesar 3 mg/L. Penelitian mengenai kondisi eksisting (kualitas perairan)
kawasan Sungai Manggar perlu dilakukan. Selain itu keberadaan biota di
perairan sungai dan muara serta kandungan proksimat terkait erat dengan
bioakumulasi biota terhadap suatu unsur seperti logam berat perlu dianalisa.
Kemudian ditindaklanjuti dengan daya dukung perairan tersebut dalam
mengakomodir kegiatan yang berbasis ekosistem berkelanjutan yang akan
dilakukan serta terkait erat dengan kesehatan masyarakat.
Pengukuran Parameter Fisik Air Sungai Manggar ( survei Maret 2013)
Tabel 1. Hasil statistik deskriptif Sungai Manggar bulan Maret 2013 (data in
situ)
Parameter Minimum Maksimum Rata-rata Standart deviasi
pH 4.57 8.093333 5.737056 1.147558
DO (mg/L) 3.883333 6.57 5.295556 0.565403
Konduktifitas (mS/m) 0.102 38.76667 9.817398 11.77315
Turbiditas (NTU) 0 24.63333 11.44407 5.796755
Temperatur (⁰C) 26.6 30.6 27.87963 1.179517
Salinitas (PSU) 0 28.86667 5.002778 9.401311
Sigma-t 0 16.93333 2.268519 5.566032
TDS (g/L) 0 0 0 0
Klorofil-a (µg/L) 0 0.6 0.035185 0.141177
Kecerahan 0.2 1.2 0.523333 0.265159
Kedalaman 1 5.5 2.538462 1.298421
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
50
Pengukuran Parameter Fisik Air Sungai Manggar (survei Oktober
2013).
Tabel 2. Hasil analisa statistik deskriptif Sungai Manggar Oktober 2013 (data
in situ)
Parameter Minimum Maksimum Rerata Standar deviasi
pH
7 7,5 7,072609 0,099919
DO (mg/L)
4,64 6,99 5,818261 0,60911
Konduktifitas (mS/m)
3,48 22,7 5,183043 3,826389
Turbiditas (NTU)
7 18,3 10,06957 2,767742
Temperatur ( C)
30 32 31,07391 0,544574
Salinitas (PSU)
0,1 32 27,83913 6,508019
Sigma t
0 17,8 16,20435 3,833285
Tabel 1 dan 2 memperlihatkan sebaran nilai secara deskriftif rerata
dari 23 stasiun pengamatan. Nilai parameter yang terukur umumnya memiliki
nilai standar deviasi yang bervariasi dikarenakan dua waktu pengambilan
yang berbeda yaitu musim peralihan I yaitu dari musim barat ke musim timur
(Maret 2013) dan musim peralihan II yaitu dari musim timur ke musim barat
(Oktober 2013).
Nilai standar deviasi yang cukup signifikan terlihat memiliki nilai besar
pada parameter konduktivitas bulan Maret. Ini menunjukkan ada nilai
pengukuran pada satu atau beberapa stasiun yang yang berbeda atau tidak
seragam (pencilan), dapat dilihat rentangan nilai yang cukup jauh antara nilai
minimum dan nilai maksimum dari parameter tersebut.
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
51
Gambar 3. Peta plot titik survei sungai Manggar 2013 dan perairan darat sekitar serta arah aliran dari sumber material pengisi Sungai manggar dan sekitar
Area
Tamban
g
Area
Muara/
Estuari
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
52
Pengukuran Parameter Fisik Air Sungai Manggar Kompilasi Hasil Ukur
pada bulan Maret dan Oktober 2013.
Kualitas perairan fisika
Kualitas perairan fisika yang terukur dijelaskan satu persatu sebagai
berikut :
Temperatur
Suhu merupakan salah satu faktor pembatas bagi ekosistem dan biota laut,
perubahan suhu dapat mempengaruhi proses fisika, kimia dan biologi di
badan air. Peningkatan suhu perairan dari suhu alami dapat menyebabkan
penurunan kelarutan gas dalam air seperti O2 dan terjadi peningkatan
kelarutan untuk gas CO2, N2 dan CH4 (Sanusi, 2006).
Maret 2013.
Suhu alami perairan pada lokasi penelitian di kawasan mangrove Manggar
berkisar antara 26.6 – 33.9 ˚C dengan rata-rata pada semua 37 sampel dibagi:
untuk spot kepiting 30.344±1.88˚C, Lokasi budidaya 30.807±0.55˚C dan suhu
permukaan dari mulai hulu sungai Manggar sampai ke laut rata-rata
27.880±1.18˚C.
Gambar 4. Sebaran temperatur di stasiun pengamatan bulan Maret
2013 (panel kiri) dan Oktober 2013 (panel kanan)
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
53
Oktober 2015.
Secara keseluruhan temperatur pada bulan Oktober 2013 berkisar antara 30 –
32⁰C dengan rerata 31,074±0,549 ⁰C. Sebaran temperatur perstasiun pada
bulan Oktober 2013 dapat dilihat pada Gambar 4 bagian kanan.
Gambar 5. Peta Sebaran Temperatur Air Sungai Manggar bulan Maret (kiri)
dan bulan Oktober (kanan)
Turbiditas
Maret 2013.
Nilai kekeruhan atau turbiditas yang terukur pada lokasi penelitian berkisar 0
(nol) di stasiun K2 hingga 25 pada titik survei S5. Pada Gambar 6 terlihat lokasi
tertinggi tingkat kekeruhan ini terletak di sekitar pelabuhan Kaolin. Hipotesa
kami penyebabnya karena larutan sedimen lepas Kaolin dan kandungan
sedimen darat yang tertransport air hujan lalu bercampur di lokasi ini. Lokasi
memang pertemuan beberapa sungai.
Oktober 2013.
Nilai kecerahan yang terukur pada lokasi penelitian dapat dilihat pada
Gambar 6, pada bulan Oktober titik terendah angka Turbiditas: 7 pd stasiun
H7 dan tertinggi 18 pada stasiun K7. Nilai kecerahan suatu perairan terkait
erat dengan faktor intensitas cahaya yang masuk dan banyak sedikitnya
partikel/padatan tersuspensi (TSS) yang berada di badan air. Kecerahan
perairan berhubungan erat dengan kemampuan produsen di perairan seperti
fitoplankton, ataupun tumbuhan makro yang berada di kolom air seperti
makro alga dan lamun untuk melakukan fotosintesis.
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
54
Gambar 6. Grafik Turbiditas air
Kualitas perairan kimia
Kualitas perairan kimia yang terukur adalah pH, salinitas, DO dan
sigma t. Penjelasan nilai parameter kimia terkait erat dengan kondisi eksisting
dan kualiats air sungai tersebut dijelaskan satu persatu di bawah ini.
Derajat keasaman (pH)
Kualitas air kolong secara fisika dan kimia. Pengukuran pH dilakukan pada
beberapa aliran asam tambang dari tambang aktif, yang mempengaruhi pH
air beberapa kolong. Pada Gambar 7 ditampilkan hasil pengelompokan kolong
dan aliran asam tambang (Acid Mine Drainage (AMD)) berdasarkan pH
menggunakan analisis statistik Principle Component Analyses (PCA). Hasil
pengukuran, aliran asam tambang yang merupakan air buangan tambang
mempunyai kisaran pH 2–3, terutama pada area yang didominasi oleh
mineral pirit. Kolong muda di area yang didominasi oleh mineral pirit/mineral
sulfida lainnya mempunyai air dengan nilai pH sangat rendah (2–3), sedang
kolong muda di area yang didominasi oleh mineral kaolin nilai pH lebih tinggi
(4,5 – 6).
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tidak semua kolong muda
mempunyai pH < 4 dan tidak semua kolong tua mempunyai pH >5. Namun
demikian, persentase kolong tua dengan pH>5 tetap lebih besar dibandingkan
kolong-kolong baru.
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
55
Gambar 7. Grafik pH titik air
Kolong-kolong yang diteliti pada penelitian ini umumnya mempunyai kisaran
pH 5 – 6 terutama untuk kolong yang sudah berumur >10 tahun. Kolong yang
mempunyai pH < 5 umumnya kolong muda dan sebagian kecil dari kolong
yang sudah tua (> 20 tahun).
Diketahui bahwa tipe mineral dominan area penambangan
merupakan salah satu faktor penentu pH air buangan tambang atau air danau
bekas tambang. Berdasarkan hasil survei hampir semua area mempunyai tipe
tanah dasar pasir yang dominan bercampur dengan mineral ikutan. Mineral
dominan seperti pirit (FeS2).
Gambar 8. Peta Sebaran PH Air Sungai Manggar bulan Maret (kiri) dan bulan
Oktober (kanan)
Kelas 1, 2,
3 dan 4
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
56
Salinitas
Salinitas air sungai Manggar pada bulan Oktober relatif stabil dan reratanya
tidak ekstrim, pada kisaran 30 dengan nilai terendah 22 dan tertinggi 32.
Gambar 9. Grafik Salinitas air
Pada bulan Maret salinitas di stasiun pengamatan amat bervariasi, mulai
mayoritas 0 hingga 29, sementara pada bulan Oktober stabil pada kisaran 22-
33. Ini dimungkinkan oleh musim hujan pada bulan Maret yang menurunkan
kadar garam air sungai Manggar.
Gambar 10. Peta Sebaran Salinitas Air Sungai Manggar bulan Maret(kiri) dan
bulan Oktober(kanan)
Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6)
57
Dissolved Oxygen (DO)
Gambar 11. Grafik DO titik air
Oksigen terlarut atau DO adalah berapa besar gas oksigen yang
terlarut dalam badan air. Sanusi (2006) mengatakan bahwa gas-gas yang
masuk ke dalam air laut secara difusi berdasarkan perbedaan tekanan parsial
gas terbagi atas dua kelompok, yaitu kelompok gas-gas yang bersifat reaktif
atau non konservatif dan kelompok gas-gas yang bersifat non reaktif atau
konservatif. Gas oksigen (O2) merupakan kelompok gas-gas reaktif bersama
dengan gas CO2, N2, CH4, H2S dan NH3. Gas-gas reaktif utama yang terlibat
dalam proses biologi maupun siklus biogeokimia ada tiga yaitu O2, CO2 dan N2.
Kualitas perairan dengan logam terlarut
Logam terlarut yang dianalisa di laboratorium adalah merkuri (Hg),
Arsen (As), tembaga (Cu) dan Timbal (Pb). Keberadaan logam berat ini dalam
perairan di lokasi penelitian Sungai Manggar konsentrasinya memiliki nilai
ambang batas untuk biota yang hidup di dalamnya sesuai dengan Kepmenneg
LH no 82 tahun 2001. Logam berat dari lima jenis di atas adalah termasuk
golongan logam inorganik yang keberadaannya secara alami sangat rendah
(trace metal). Dimana terbagi atas kelompok logam berat yang bersifat
esensial (yang dibutuhkan biota) yaitu Cu dan non esensial Hg, As, Cd dan Pb.
Elemen esensial maupun non esensial dalam perairan perlu diketahui karena
jika terjadi peningkatan konsentrasinya dalam perairan dapat bersifat toksin
bagi biota bahkan manusia.
Kelas 2
Kelas 1
Ekonomi_Biru_Sumber_Daya_Pesisir.pdf
Ekonomi_Biru_Sumber_Daya_Pesisir.pdf
Ekonomi_Biru_Sumber_Daya_Pesisir.pdf
Ekonomi_Biru_Sumber_Daya_Pesisir.pdf
Ekonomi_Biru_Sumber_Daya_Pesisir.pdf
Ekonomi_Biru_Sumber_Daya_Pesisir.pdf
Ekonomi_Biru_Sumber_Daya_Pesisir.pdf
Ekonomi_Biru_Sumber_Daya_Pesisir.pdf
Ekonomi_Biru_Sumber_Daya_Pesisir.pdf
Ekonomi_Biru_Sumber_Daya_Pesisir.pdf
Ekonomi_Biru_Sumber_Daya_Pesisir.pdf
Ekonomi_Biru_Sumber_Daya_Pesisir.pdf
Ekonomi_Biru_Sumber_Daya_Pesisir.pdf
Ekonomi_Biru_Sumber_Daya_Pesisir.pdf
Ekonomi_Biru_Sumber_Daya_Pesisir.pdf
Ekonomi_Biru_Sumber_Daya_Pesisir.pdf
Ekonomi_Biru_Sumber_Daya_Pesisir.pdf
Ekonomi_Biru_Sumber_Daya_Pesisir.pdf
Ekonomi_Biru_Sumber_Daya_Pesisir.pdf
Ekonomi_Biru_Sumber_Daya_Pesisir.pdf
Ekonomi_Biru_Sumber_Daya_Pesisir.pdf
Ekonomi_Biru_Sumber_Daya_Pesisir.pdf
Ekonomi_Biru_Sumber_Daya_Pesisir.pdf
Ekonomi_Biru_Sumber_Daya_Pesisir.pdf
Ekonomi_Biru_Sumber_Daya_Pesisir.pdf
Ekonomi_Biru_Sumber_Daya_Pesisir.pdf
Ekonomi_Biru_Sumber_Daya_Pesisir.pdf
Ekonomi_Biru_Sumber_Daya_Pesisir.pdf
Ekonomi_Biru_Sumber_Daya_Pesisir.pdf
Ekonomi_Biru_Sumber_Daya_Pesisir.pdf
Ekonomi_Biru_Sumber_Daya_Pesisir.pdf
Ekonomi_Biru_Sumber_Daya_Pesisir.pdf
Ekonomi_Biru_Sumber_Daya_Pesisir.pdf
Ekonomi_Biru_Sumber_Daya_Pesisir.pdf
Ekonomi_Biru_Sumber_Daya_Pesisir.pdf
Ekonomi_Biru_Sumber_Daya_Pesisir.pdf
Ekonomi_Biru_Sumber_Daya_Pesisir.pdf

More Related Content

What's hot

Materi kadis rapat kementerian daerah tertinggal jakarta-27-29_mei_2013
Materi kadis rapat kementerian daerah tertinggal jakarta-27-29_mei_2013Materi kadis rapat kementerian daerah tertinggal jakarta-27-29_mei_2013
Materi kadis rapat kementerian daerah tertinggal jakarta-27-29_mei_2013KPDT
 
Ujian terbuka new
Ujian terbuka newUjian terbuka new
Ujian terbuka newEddy Hamka
 
PROPOSAL PROGRAM KREATIFITAS MAHASISWA BUDIDAYA LELE ORGANIK MEDIA TERPAL UNT...
PROPOSAL PROGRAM KREATIFITAS MAHASISWA BUDIDAYA LELE ORGANIK MEDIA TERPAL UNT...PROPOSAL PROGRAM KREATIFITAS MAHASISWA BUDIDAYA LELE ORGANIK MEDIA TERPAL UNT...
PROPOSAL PROGRAM KREATIFITAS MAHASISWA BUDIDAYA LELE ORGANIK MEDIA TERPAL UNT...Herry Rachmat Safi'i
 
Industrialisasi kp feb 1012
Industrialisasi kp feb 1012Industrialisasi kp feb 1012
Industrialisasi kp feb 1012Sunoto Mes
 
Tugas Besar Simulasi Industri - Studi Kasus Model Rantai Pasokan Ikan tangkap...
Tugas Besar Simulasi Industri - Studi Kasus Model Rantai Pasokan Ikan tangkap...Tugas Besar Simulasi Industri - Studi Kasus Model Rantai Pasokan Ikan tangkap...
Tugas Besar Simulasi Industri - Studi Kasus Model Rantai Pasokan Ikan tangkap...Arry Rahmawan
 
Paparan staf ahli_menteri_bidang_kemasyarakatan_dan_hubungan_antar_lembaga
Paparan staf ahli_menteri_bidang_kemasyarakatan_dan_hubungan_antar_lembagaPaparan staf ahli_menteri_bidang_kemasyarakatan_dan_hubungan_antar_lembaga
Paparan staf ahli_menteri_bidang_kemasyarakatan_dan_hubungan_antar_lembagaudinbelang1
 
Laporan budidaya laut
Laporan budidaya lautLaporan budidaya laut
Laporan budidaya lautIbnu Riyadi
 
Pembangunan Ekonomi Berbasis Kelautan untuk Mewujudkan Visi Indonesia Sebagai...
Pembangunan Ekonomi Berbasis Kelautan untuk Mewujudkan Visi Indonesia Sebagai...Pembangunan Ekonomi Berbasis Kelautan untuk Mewujudkan Visi Indonesia Sebagai...
Pembangunan Ekonomi Berbasis Kelautan untuk Mewujudkan Visi Indonesia Sebagai...Ari Purbayanto
 
Proposal usaha Pembesaran bibit ikan lele unggul
Proposal usaha Pembesaran bibit ikan lele unggulProposal usaha Pembesaran bibit ikan lele unggul
Proposal usaha Pembesaran bibit ikan lele unggulBung HaFied
 
Pengembangan sarana dan prasarana di kawasan minapolitan kkp
Pengembangan sarana dan prasarana di kawasan minapolitan kkpPengembangan sarana dan prasarana di kawasan minapolitan kkp
Pengembangan sarana dan prasarana di kawasan minapolitan kkpagus_ibnu_hasan
 
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PEMBUDIDAYAAN IKAN TAWAR OLEH DINAS KELAUTAN
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PEMBUDIDAYAAN IKAN TAWAR OLEH DINAS KELAUTANPEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PEMBUDIDAYAAN IKAN TAWAR OLEH DINAS KELAUTAN
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PEMBUDIDAYAAN IKAN TAWAR OLEH DINAS KELAUTAN93220872
 
Lap. industri jasa kelautan pdf
Lap. industri jasa kelautan pdfLap. industri jasa kelautan pdf
Lap. industri jasa kelautan pdfrozidagual
 
Praktek Kerja Lapang pada Usaha Pembesaran Ikan Nila (Oreochromis niloticus) ...
Praktek Kerja Lapang pada Usaha Pembesaran Ikan Nila (Oreochromis niloticus) ...Praktek Kerja Lapang pada Usaha Pembesaran Ikan Nila (Oreochromis niloticus) ...
Praktek Kerja Lapang pada Usaha Pembesaran Ikan Nila (Oreochromis niloticus) ...Fathur Fathur
 
Jasa lingkungan laut
Jasa lingkungan lautJasa lingkungan laut
Jasa lingkungan lautDoi Selviani
 

What's hot (16)

Materi kadis rapat kementerian daerah tertinggal jakarta-27-29_mei_2013
Materi kadis rapat kementerian daerah tertinggal jakarta-27-29_mei_2013Materi kadis rapat kementerian daerah tertinggal jakarta-27-29_mei_2013
Materi kadis rapat kementerian daerah tertinggal jakarta-27-29_mei_2013
 
Proposal budidaya lele kabupaten muna (pure)
Proposal budidaya lele kabupaten muna (pure)Proposal budidaya lele kabupaten muna (pure)
Proposal budidaya lele kabupaten muna (pure)
 
Ujian terbuka new
Ujian terbuka newUjian terbuka new
Ujian terbuka new
 
PROPOSAL PROGRAM KREATIFITAS MAHASISWA BUDIDAYA LELE ORGANIK MEDIA TERPAL UNT...
PROPOSAL PROGRAM KREATIFITAS MAHASISWA BUDIDAYA LELE ORGANIK MEDIA TERPAL UNT...PROPOSAL PROGRAM KREATIFITAS MAHASISWA BUDIDAYA LELE ORGANIK MEDIA TERPAL UNT...
PROPOSAL PROGRAM KREATIFITAS MAHASISWA BUDIDAYA LELE ORGANIK MEDIA TERPAL UNT...
 
Industrialisasi kp feb 1012
Industrialisasi kp feb 1012Industrialisasi kp feb 1012
Industrialisasi kp feb 1012
 
Industrialisasi perikanan budidaya kepulauan riau melalui penerapan konsep
Industrialisasi perikanan budidaya kepulauan riau melalui penerapan konsepIndustrialisasi perikanan budidaya kepulauan riau melalui penerapan konsep
Industrialisasi perikanan budidaya kepulauan riau melalui penerapan konsep
 
Tugas Besar Simulasi Industri - Studi Kasus Model Rantai Pasokan Ikan tangkap...
Tugas Besar Simulasi Industri - Studi Kasus Model Rantai Pasokan Ikan tangkap...Tugas Besar Simulasi Industri - Studi Kasus Model Rantai Pasokan Ikan tangkap...
Tugas Besar Simulasi Industri - Studi Kasus Model Rantai Pasokan Ikan tangkap...
 
Paparan staf ahli_menteri_bidang_kemasyarakatan_dan_hubungan_antar_lembaga
Paparan staf ahli_menteri_bidang_kemasyarakatan_dan_hubungan_antar_lembagaPaparan staf ahli_menteri_bidang_kemasyarakatan_dan_hubungan_antar_lembaga
Paparan staf ahli_menteri_bidang_kemasyarakatan_dan_hubungan_antar_lembaga
 
Laporan budidaya laut
Laporan budidaya lautLaporan budidaya laut
Laporan budidaya laut
 
Pembangunan Ekonomi Berbasis Kelautan untuk Mewujudkan Visi Indonesia Sebagai...
Pembangunan Ekonomi Berbasis Kelautan untuk Mewujudkan Visi Indonesia Sebagai...Pembangunan Ekonomi Berbasis Kelautan untuk Mewujudkan Visi Indonesia Sebagai...
Pembangunan Ekonomi Berbasis Kelautan untuk Mewujudkan Visi Indonesia Sebagai...
 
Proposal usaha Pembesaran bibit ikan lele unggul
Proposal usaha Pembesaran bibit ikan lele unggulProposal usaha Pembesaran bibit ikan lele unggul
Proposal usaha Pembesaran bibit ikan lele unggul
 
Pengembangan sarana dan prasarana di kawasan minapolitan kkp
Pengembangan sarana dan prasarana di kawasan minapolitan kkpPengembangan sarana dan prasarana di kawasan minapolitan kkp
Pengembangan sarana dan prasarana di kawasan minapolitan kkp
 
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PEMBUDIDAYAAN IKAN TAWAR OLEH DINAS KELAUTAN
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PEMBUDIDAYAAN IKAN TAWAR OLEH DINAS KELAUTANPEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PEMBUDIDAYAAN IKAN TAWAR OLEH DINAS KELAUTAN
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PEMBUDIDAYAAN IKAN TAWAR OLEH DINAS KELAUTAN
 
Lap. industri jasa kelautan pdf
Lap. industri jasa kelautan pdfLap. industri jasa kelautan pdf
Lap. industri jasa kelautan pdf
 
Praktek Kerja Lapang pada Usaha Pembesaran Ikan Nila (Oreochromis niloticus) ...
Praktek Kerja Lapang pada Usaha Pembesaran Ikan Nila (Oreochromis niloticus) ...Praktek Kerja Lapang pada Usaha Pembesaran Ikan Nila (Oreochromis niloticus) ...
Praktek Kerja Lapang pada Usaha Pembesaran Ikan Nila (Oreochromis niloticus) ...
 
Jasa lingkungan laut
Jasa lingkungan lautJasa lingkungan laut
Jasa lingkungan laut
 

Similar to Ekonomi_Biru_Sumber_Daya_Pesisir.pdf

3401411182pengembanganwirausahadonesarumputlautuntukmeningkatkanekonomidanpot...
3401411182pengembanganwirausahadonesarumputlautuntukmeningkatkanekonomidanpot...3401411182pengembanganwirausahadonesarumputlautuntukmeningkatkanekonomidanpot...
3401411182pengembanganwirausahadonesarumputlautuntukmeningkatkanekonomidanpot...Cgates Agoeng Pratities
 
3 Roren KKP - Renstra KKP 2020-2024.pdf
3 Roren KKP - Renstra KKP 2020-2024.pdf3 Roren KKP - Renstra KKP 2020-2024.pdf
3 Roren KKP - Renstra KKP 2020-2024.pdfGusRaja1
 
Budidaya Rumput Laut (Kappaphycus alvarezii) menggunakan Bibit Hasil Kultur J...
Budidaya Rumput Laut (Kappaphycus alvarezii) menggunakan Bibit Hasil Kultur J...Budidaya Rumput Laut (Kappaphycus alvarezii) menggunakan Bibit Hasil Kultur J...
Budidaya Rumput Laut (Kappaphycus alvarezii) menggunakan Bibit Hasil Kultur J...Andinursaban
 
Makalah Rizky Juanda.Pdf
Makalah Rizky Juanda.PdfMakalah Rizky Juanda.Pdf
Makalah Rizky Juanda.PdfSyahdikin20
 
Kearifan lokal dalam pemanfaatan sumber daya alam
Kearifan lokal dalam pemanfaatan sumber daya alamKearifan lokal dalam pemanfaatan sumber daya alam
Kearifan lokal dalam pemanfaatan sumber daya alamdeviarsel
 
Makalah dpi penangkapan ikaan dengan jaring
Makalah dpi penangkapan ikaan dengan jaringMakalah dpi penangkapan ikaan dengan jaring
Makalah dpi penangkapan ikaan dengan jaringPT. SASA
 
Strategi Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Secara...
Strategi Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Secara...Strategi Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Secara...
Strategi Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Secara...Abida Muttaqiena
 
Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii (Doty) Doty ex Silva (Rhodophyta, ...
Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii (Doty) Doty ex Silva (Rhodophyta, ...Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii (Doty) Doty ex Silva (Rhodophyta, ...
Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii (Doty) Doty ex Silva (Rhodophyta, ...rama bdpuho
 
Budidaya Rumput Laut Jenis Kappaphycus alvarezii Menggunakan Bibit (Rhodophyt...
Budidaya Rumput Laut Jenis Kappaphycus alvarezii Menggunakan Bibit (Rhodophyt...Budidaya Rumput Laut Jenis Kappaphycus alvarezii Menggunakan Bibit (Rhodophyt...
Budidaya Rumput Laut Jenis Kappaphycus alvarezii Menggunakan Bibit (Rhodophyt...Dewi yanti mochtar
 
Laporan pkl ari saputra
Laporan pkl ari saputraLaporan pkl ari saputra
Laporan pkl ari saputraAndi Asfian
 
Makalah pemuda pelopor pangan
Makalah pemuda pelopor panganMakalah pemuda pelopor pangan
Makalah pemuda pelopor panganMakrus Kusnan
 
Final report eafm_alor_fix 1
Final report eafm_alor_fix 1Final report eafm_alor_fix 1
Final report eafm_alor_fix 1Ed Plaimo
 
Manajemen pemasaran
Manajemen pemasaranManajemen pemasaran
Manajemen pemasarankakkang
 
Peran Laut Sebagai Rekreasi
Peran Laut Sebagai RekreasiPeran Laut Sebagai Rekreasi
Peran Laut Sebagai RekreasiFikri Azhari
 

Similar to Ekonomi_Biru_Sumber_Daya_Pesisir.pdf (20)

3401411182pengembanganwirausahadonesarumputlautuntukmeningkatkanekonomidanpot...
3401411182pengembanganwirausahadonesarumputlautuntukmeningkatkanekonomidanpot...3401411182pengembanganwirausahadonesarumputlautuntukmeningkatkanekonomidanpot...
3401411182pengembanganwirausahadonesarumputlautuntukmeningkatkanekonomidanpot...
 
Cindy group2
Cindy group2Cindy group2
Cindy group2
 
3 Roren KKP - Renstra KKP 2020-2024.pdf
3 Roren KKP - Renstra KKP 2020-2024.pdf3 Roren KKP - Renstra KKP 2020-2024.pdf
3 Roren KKP - Renstra KKP 2020-2024.pdf
 
Budidaya Rumput Laut (Kappaphycus alvarezii) menggunakan Bibit Hasil Kultur J...
Budidaya Rumput Laut (Kappaphycus alvarezii) menggunakan Bibit Hasil Kultur J...Budidaya Rumput Laut (Kappaphycus alvarezii) menggunakan Bibit Hasil Kultur J...
Budidaya Rumput Laut (Kappaphycus alvarezii) menggunakan Bibit Hasil Kultur J...
 
Pkm Gt
Pkm GtPkm Gt
Pkm Gt
 
Makalah Rizky Juanda.Pdf
Makalah Rizky Juanda.PdfMakalah Rizky Juanda.Pdf
Makalah Rizky Juanda.Pdf
 
Proposal bata laiworu
Proposal bata laiworuProposal bata laiworu
Proposal bata laiworu
 
Cindy group3
Cindy group3Cindy group3
Cindy group3
 
Kearifan lokal dalam pemanfaatan sumber daya alam
Kearifan lokal dalam pemanfaatan sumber daya alamKearifan lokal dalam pemanfaatan sumber daya alam
Kearifan lokal dalam pemanfaatan sumber daya alam
 
Makalah dpi penangkapan ikaan dengan jaring
Makalah dpi penangkapan ikaan dengan jaringMakalah dpi penangkapan ikaan dengan jaring
Makalah dpi penangkapan ikaan dengan jaring
 
Strategi Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Secara...
Strategi Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Secara...Strategi Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Secara...
Strategi Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Secara...
 
Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii (Doty) Doty ex Silva (Rhodophyta, ...
Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii (Doty) Doty ex Silva (Rhodophyta, ...Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii (Doty) Doty ex Silva (Rhodophyta, ...
Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii (Doty) Doty ex Silva (Rhodophyta, ...
 
Budidaya Rumput Laut Jenis Kappaphycus alvarezii Menggunakan Bibit (Rhodophyt...
Budidaya Rumput Laut Jenis Kappaphycus alvarezii Menggunakan Bibit (Rhodophyt...Budidaya Rumput Laut Jenis Kappaphycus alvarezii Menggunakan Bibit (Rhodophyt...
Budidaya Rumput Laut Jenis Kappaphycus alvarezii Menggunakan Bibit (Rhodophyt...
 
Laporan pkl ari saputra
Laporan pkl ari saputraLaporan pkl ari saputra
Laporan pkl ari saputra
 
Makalah pemuda pelopor pangan
Makalah pemuda pelopor panganMakalah pemuda pelopor pangan
Makalah pemuda pelopor pangan
 
Final report eafm_alor_fix 1
Final report eafm_alor_fix 1Final report eafm_alor_fix 1
Final report eafm_alor_fix 1
 
USAHA BUDIDAYA IKAN PATIN (Pangasius pangasius) DI KERAMBA JARING APUNG (KJA)
USAHA BUDIDAYA IKAN PATIN (Pangasius pangasius)  DI KERAMBA JARING APUNG (KJA)  USAHA BUDIDAYA IKAN PATIN (Pangasius pangasius)  DI KERAMBA JARING APUNG (KJA)
USAHA BUDIDAYA IKAN PATIN (Pangasius pangasius) DI KERAMBA JARING APUNG (KJA)
 
Manajemen pemasaran
Manajemen pemasaranManajemen pemasaran
Manajemen pemasaran
 
Peran Laut Sebagai Rekreasi
Peran Laut Sebagai RekreasiPeran Laut Sebagai Rekreasi
Peran Laut Sebagai Rekreasi
 
Pengantar ilmu perikanan
Pengantar ilmu perikananPengantar ilmu perikanan
Pengantar ilmu perikanan
 

Ekonomi_Biru_Sumber_Daya_Pesisir.pdf

  • 1. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia 2015 ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6
  • 2. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir Editor : Dr.-Ing. Widodo S. Pranowo Dr. Irsan S. Brodjonegoro Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Laut dan Pesisir Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia 2015
  • 3. Judul Buku : EKONOMI BIRU SUMBERDAYA PESISIR Editor : Dr.-Ing. Widodo S. Pranowo Dr. Irsan S. Brodjonegoro Desain sampul dan Penata isi : Sari Novita, S.T Korektor : Agus Hermawan, S.Sos Dani Saepuloh, A.Md Sari Novita, S.T Jumlah Halaman: 93 + v halaman romawi Seri : Pengetahuan Sumberdaya Laut dan Pesisir No.1 Edisi/ cetakan: Cetakan 1, Desember 2015 Sumber foto sampul: Suhelmi IR, et al. 2013. Garam Madura, Tradisi dan Potensi Usaha Garam Rakyat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Laut dan Pesisir, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Penerbit : Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Laut dan Pesisir Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Komplek Bina Samudera Jl. Pasir Putih II Lantai 4, Ancol Timur, Jakarta Utara 14430 – DKI Jakarta. www.p3sdlp.litbang.kkp.go.id Telp. : (021) 64700755 / Fax. : (021) 64711654, Email : set.p3sdlp@gmail.com ISBN : 978-602-9086-40-9 e- ISBN : 978-602-9086-41-6 Di cetak oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Laut dan Pesisir @ 2015, hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang Dilarang mengutip/memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari penerbit
  • 4. iii KATA SAMBUTAN Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Laut dan Pesisir, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, telah melakukan kajian dan riset tentang penerapan konsep ekonomi biru dibidang kelautan dan perikanan. Ekonomi biru merupakan prinsip yang harus dipegang untuk kemudian dioperasional-kan dalam industrialisasi kelautan dan perikanan. Pada dasarnya konsep ekonomi biru ini mampu menciptakan industri kelautan dan perikanan yang ramah lingkungan serta dapat meningkatkan pendapatan perekonomian masyarakat sekitar. Ekonomi biru ini diharapkan mampu meningkatkan sumber daya alam yang ada tanpa mengurangi fungsi dan kualitas itu sendiri, khususnya di daerah pesisir. Harapan kami adalah bahwa buku seri pengetahuan ini dapat dipergunakan dan disempurnakan lagi sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat umum. Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Laut dan Pesisir, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Dr. Budi Sulistiyo, M.Sc.
  • 5. iv KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkat rahmat dan karunia Nya, sehingga Buku Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir ini dapat diselesaikan. Dalam buku ini tim penulis berusaha memberikan gambaran umum mengenai penerapan prinsip ekonomi biru yang dapat memberikan inspirasi bagi masyarakat sehingga pembangunan kelautan dan perikanan di Indonesia dapat lebih terarah dan tepat sasaran. Dijelaskan pula beberapa hasil penelitian diantaranya mengenai pengelolaan sumberdaya kelautan secara maksimal dan menjadi lebih kreatif di bidang industri masyarakat perikanan dan pesisir, seperti komoditi garam dan tuna tongkol cakalang, sesuai prinsip ekonomi biru yang sedang gencar diterapkan sejak tahun 2012. Selain itu dipaparkan juga pentingnya daya dukung lingkungan perairan dalam menjaga keberlangsungan kegiatan ekonomi biru. Pada edisi ini terdapat bab yang membahas tentang kualitas air di Sungai Manggar dan Teluk Saleh, serta hasil penelitian kondisi ekologi padang lamun dalam kapasitasnya untuk menyerap dan menyimpan karbon, sebagai lanjutan dari studi Karbon Biru Kepulauan Derawan tahun. Kami mengucapkan terima kasih kepada segenap pimpinan, dan keluarga besar lingkup Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, atas kontribusi yang diberikan dalam penyusunan buku ini. Apresiasi dari pembaca sangat kami perlukan untuk penyempurnaaan buku nomer berikutnya. Semoga buku ini memberikan manfaat bagi kita semua. Jakarta,14 Desember 2015 Tim Editor
  • 6. v Daftar Isi Kata Sambutan ............................................................................. iii Kata Pengantar ............................................................................. iv Daftar Isi ........................................................................................ v 1. Kajian Pengelolaan Tambak Garam Rakyat Terpadu Rikha Bramawanto, Sophia L. Sagala, Ifan R. Suhelmi, Hariyanto Triwibowo.........................................................................1 2. Analisis Potensi Tuna Tongkol Cakalang (TTC) di Perairan Sumatera Barat dan Pengelolaannya Sesuai Prinsip Ekonomi Biru Studi Kasus: Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bungus Aida Heriati, Eva Mustikasari, Dini Purbani, Yulius,Hadiwijaya L. Salim ............................................................................................20 3. Pemurnian Garam Sistem Mekanis Untuk Menghasilkan Garam Konsumsi Sehat Ifan R. Suhelmi dan Hariyanto Triwibowo.......................................32 4. Kualitas Air Sungai Manggar, Kota Manggar Kabupaten Belitung Timur. Perbandingan Di Musim Hujan Dan Kemarau. Agustin Rustam dan Fajar Yudi Prabawa ........................................43 5. Ekosistem Karbon Biru Lamun Di Pulau-Pulau Kecil, Kepulauan Derawan – Kalimantan Timur Terry L. Kepel, Restu Nur Afi Ati, Agustin Rustam, Syahrial Nur Amri, Andreas Hutahaean........................................................61 6. Kualitas Air Di Perairan Teluk Saleh, Kabupaten Sumbawa Berdasarkan Baku Mutu Lingkungan Hidup Yulius, M. Ramdhan, H.L. Salim, DeviD. Suryono, D.Purbani, Dan A. Heriati...........................................................................................79
  • 7. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 1 Kajian Pengelolaan Tambak Garam Rakyat Terpadu Rikha Bramawanto, Sophia L. Sagala, Ifan R. Suhelmi, Hariyanto Triwibowo Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Balitbang KP Abstrak Lahan milik rakyat untuk produksi garam yang tersebar di daerah umumnya hanya seluas 0,5 - 5 Ha. Hal ini sering menjadi kendala bagi petambak dalam mengoptimalkan pemanfaatan lahannya. Kemudian muncul ide untuk menggabungkan tambak-tambak garam berukuran kecil yang berada dalam satu hamparan untuk dikelola bersama. Setidaknya terdapat tiga konsep pengelolaan lahan secara terpadu yang dapat diterapkan yaitu corporate farming, collective farming dan cooperative farming. Penelitan ini bertujuan untuk mengkaji konsep pengelolaan tambak garam rakyat secara terpadu menggunakan analisis Strengths, Opportunities, Aspirations and Result (SOAR). Pada penelitian ini dipilih dua konsep pengelolaan lahan terpadu: corporate farming dan kombinasi collective-cooperative farming. Dua aspek penting dalam analisis SOAR adalah strategic inquiry (strenght-opportunities) dan appreciative intent (aspiration-result). Hasil analisis SOAR terhadap dua konsep pengelolaan lahan terpadu menunjukkan bahwa strategic inquiry konsep corporate farming memiliki ciri pengelolaan tambak yang dikendalikan secara profesional oleh korporasi dan didukung akseptabilitas pemilik untuk menerapkan teknologi intesif. Konsep collective-cooperative farming lebih mengutamakan pemberdayaan petambak tradisonal secara bergotong royong sebagai nilai kearifan lokal dengan membentuk kelompok besar (formal/non formal) dalam mengelola tambak dan menerapkan teknologi produksi garam yang sederhana dan berbiaya rendah. Appreciative intent pada konsep corporate farming adalah pengelolaan produksi garam secara profesional dalam menghasilkan garam berkualitas tinggi untuk memenuhi kebutuhan industri. Sedangkan pada konsep collective- cooperative farming tambak garam dikelola secara bergotong royong untuk menghasilkan bahan baku garam konsumsi berkualitas. Maka, analisis SOAR memperkuat justifikasi bahwa pengelolaan tambak garam terpadu
  • 8. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 2 berpeluang untuk diterapkan di tambak-tambak garam rakyat dalam berbagai alternatif. Kata Kunci: pengelolaan tambak, garam, analisis SOAR Pendahuluan Proses produksi pembuatan garam yang dikenal di Indonesia adalah sistem penguapan dengan sinar matahari (solar evaporation) menggunakan metode kristalisasi total untuk garam rakyat dan kristalisasi bertingkat untuk PT Garam. Beberapa daerah memproduksi garam dengan cara memasak karena kondisi tanah yang porous seperti di provinsi Aceh dan Bali. Produktivitas dan kualitas garam rakyat yang dihasilkan menggunakan metode kristalisasi total masih rendah dengan kadar NaCl kurang dari 90% dan banyak mengandung pengotor. Meskipun produksi garam nasional setiap tahun telah mengalami peningkatan (kecuali tahun 2010 dan 2011), namun garam tersebut hanya sesuai untuk memenuhi kebutuhan garam iodisasi (industri garam beryodium) atau industri yang tidak membutuhkan kadar NaCl yang cukup tinggi seperti pengasinan ikan, penyamakan kulit, dan pembuatan es batu. Industri kimia maupun makanan dan minuman membutuhkan kadar NaCl yang tinggi (impurities rendah). Jenis garam untuk kebutuhan industri kimia makanan dan minuman sampai saat ini belum dapat diproduksi di dalam negeri, sehingga seluruh pengadaannya dilakukan melalui impor. Produksi garam nasional tersebut diperoleh dari total luas lahan produksi garam rakyat seluas 24.130,93 hektar. Berdasarkan hasil pemetaan wilayah tambak yang dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan di 40 kabupaten/kota penghasil garam, sesungguhnya Indonesia memiliki lahan potensial seluas 33,854.36 (KP3K, 2011). Lahan tersebut tersebar di sejumlah daerah dengan kepemilikan lahan garam rakyat yang umumnya hanya berkisar 0,5 - 5 hektar. Kecilnya luasan lahan tersebut menyulitkan petambak garam dalam mengelola lahannya secara optimal. Sebagai perbandingan, kolam-kolam peminihan untuk memproses penuaan brine di lahan milik PT Garam luasnya berkisar antara 19 sampai 35 hektar. Luas lahan yang besar memungkinkan PT Garam mengoptimalkan lahannya untuk menghasilkan garam berkualitas.
  • 9. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 3 Oleh karenanya, pemerintah terus berupaya agar pembangunan industri garam rakyat berdaya saing tinggi dan dikembangkan secara berkesinambungan. Setiap faktor seperti ketersediaan lahan, produktivitas dan kualitas berfungsi untuk mendorong percepatan pembangunan industri garam nasional serta memacu pencapaian program swasembada garam nasional atau setidaknya meminimalkan ketergantungan pada garam impor. Kementerian Kelautan dan Perikanan mendorong pencapaian target tersebut dengan menginisiasi penggabungan pengelolaan tambak garam rakyat melalui program Korporatisasi Garam. Program tersebut telah coba dilakukan oleh Asosiasi Petambak Garam NU di wilayah Lasem, Rembang (Pemkab. Rembang, 2014). Penggabungan pengelolaan tambak garam mungkin dapat menjadi salah satu terobosan dalam mencapai swasembada garam nasional. Namun secara teknis hal tersebut tidak mudah diimplementasikan mengingat heterogennya karakter lahan dan petambak yang terlibat dalam proses produksi garam di Indonesia. Kajian ini ditujukan untuk memberikan opsi rekomendasi terkait strategi penggabungan pengelolaan tambak garam rakyat berdasarkan pendekatan yang dipergunakan dan mekanisme penerapannnya. Analisis SOAR Kajian ini merupakan penelitian eksploratif yang bertujuan untuk mencari pendekatan model yang mungkin dapat diterapkan dalam pengelolaan tambak garam rakyat terpadu untuk mencapai swasembada garam. Analisis SOAR (strengths, opportunities, aspirations, results) dipilih sebagai salah satu pendekatan model. Data dan informasi terkait kondisi eksisting, potensi dan harapan pada industri garam rakyat yang diperoleh dari hasil wawancara dan studi literatur, dimasukkan dalam matriks SOAR analysis. Rencana starategis penerapan pengelolaan tambak garam rakyat terpadu dibuat berdasarkan analisis menggunakan kerangka kerja SOAR (Gambar 1). Kerangka kerja tersebut dipergunakan untuk memandu pemikiran strategis dan perencanaan dengan cara mendayagunakan kekuatan, menghimpun peluang dan menentukan cita-cita yang hendak dicapai, serta dipergunakan untuk meningkatkan kualitas tujuan akhir
  • 10. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 4 pelaksanaan pembangunan berkelanjutan dari sudut pandang sistem secara keseluruhan (Stavros et al.,2007 and Sprangel et al., 2010). Pendekatan Appreciative Inquiry (AI) dalam SOAR analisis memberikan banyak manfaat dibandingkan model tradisional (SWOT). Dimulai dari perencanaan strategis yang bersifat results-oriented dan co-constructive pada saat yang bersamaan, dimana pada proses tersebut model tradisional justru memberikan batasan yang berbeda antara penilaian, perencanaan, pelaksanaan, dan tahapan kontrol. Kerangka kerja SOAR memungkinkan partisipan untuk melakukan co- create masa depan yang diinginkan di seluruh proses melalui penyelidikan, imajinasi, inovasi, dan inspirasi. Penyelidikan juga memuat pertanyaan tentang faktor utama yang mempengaruhi eksistensi orgasisasi dan harapan di masa mendatang (Stavros et al., 2007) Gambar 1. Kerangka Kerja Appreciative Inquiry dalam SOAR (Sumber: http://positivepsychologynews.com) Analisis SOAR menghasilkan perencanaan strategis melalui pendekatan Appreciative Inquiry (AI). AI merupakan transformasi dari model SWOT (strengths, weaknesses, opportunities, threats) ke model SOAR (strengths, opportunities, aspirations, results). Itu dilakukan agar lebih fokus kepada hal-hal penting seperti masa depan masyarakat dan/atau organisasi. Kemudian dibuat pertanyaan untuk menyelidiki arah proses perencanaan strategis serta mengemukakan aspirasi dan hasil yang diharapkan. Strategi
  • 11. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 5 pencapaiannya didasarkan pada kekuatan (strenghts) dan kesempatan (opportunities) sebagai mana terlihat pada gambar 2. Hal tersebut merupakan penyelidikan strategis (Strategic Inquiry) dengan sebuah penghargan terhadap tujuan (Appreciative Intent). Strategic Inquiry Strengths What are our greatest assets Opportunities What are the best possible opportunities Appreciative Intent Aspirations What is our preferred future Results What are the measurable results Gambar 2. Matriks Penyelidikan Strategis (Strategic Inquiry) dengan sebuah penghargaan terhadap tujuan (Appreciative Intent) (Sumber: Stavros, Cooperrider, and Kelley, 2003) Mengadopsi konsep usaha tani dalam bentuk pengelolaan lahan terpadu, dipilih tiga konsep yang relevan dengan pengelolaan lahan garam rakyat yaitu corporate farming, collective farming dan cooperative farming. Ketiga konsep tersebut diuraikan perbedaan karakternya dan divisualisasikan skenario penerapannya di lahan. Kemudian dilakukan analisis SOAR untuk melihat kemungkinan strategi penerapan dan menentukan peran dari masing-masing pemangku kepentingan yang terlibat di dalamnya. Karakteristik Pengelolaan Lahan Garam di Pulau Jawa Beberapa sentra penghasil garam terbesar di Jawa antara lain adalah Kabupaten Indramayu dan Cirebon di Jawa Barat serta Pati dan Rembang di Jawa Tengah. Beberapa Kabupaten tersebut dapat dianggap representasi dari pola pengelolaan tambak garam rakyat secara umum, setidaknya pola pengelolaan di Pulau Jawa. Gambar 3 menunjukkan karakter pengelolaan tambak garam yang divisualisasikan secara sederhana yaitu membandingkan data luas tambak garam di setiap kecamatan dengan jumlah penerima program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat pada wilayah yang sama, sehingga diperoleh rata-rata luas pengelolaan tambak garam dengan satuan
  • 12. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 6 hektar/orang. Hasilnya, rata-rata luas pengelolaan tambak garam di Kabupaten Indramayu berkisar antara 0,44 – 0,96 ha/orang, Kabupaten Cirebon berkisar antara 0,36 – 0,96 ha/orang, Kabupaten Pati berkisar 0,3 – 0,6 ha/orang, dan Kabupaten Rembang berkisar antara 0,3 – 0,49 ha/orang. Gambar 3. Peta Pengelolaan Tambak Garam Rakyat di Kabupaten Indramayu, Cirebon, Pati dan Rembang Tambak garam yang ideal memiliki kelengkapan sistem produksi antara lain seperti, kolam penampungan/bozeem (reservoir), kolam peminihan (condenser), dan meja kristalisasi (crystalizer). Pola kelengkapan sistem tambak garam rakyat sangat bervariasi, mulai dari yang tidak memiliki reservoir atau memiliki reservoir namun berukuran kecil sampai pada kolam- kolam yang dipergunakan sebagai peminihan dan meja kristalisasi secara bergantian. Pada puncak musim kemarau biasanya hampir seluruh lahan telah menjadi meja kristal, sehingga kolam untuk menyediakan pasokan air tua (brine) yang siap dikristalkan menjadi berkurang. Cara yang dilakukan petambak untuk mengatasi hal tersebut antara lain dengan mempercepat waktu pemanenan ataupun mamasukkan brine dengan densitas rendah ke dalam meja kristalisasi yang masih terdapat air sisa produksi (bittern) di dalamnya. Hal tersebut disebabkan karena terbatasnya lahan yang dikelola oleh petambak. Produksi garam nasional sebagian besar dipasok dari garam rakyat. Saputro et.al. (2011) menyatakan pasokan garam rakyat untuk produksi garam nasional rata-rata mencapai 70% per tahun yang diperoleh dari lahan garam seluas sekitar 24.000 hektar, sedangkan 30% berasal dari tambak garam milik PT Garam seluas sekitar 5.000 hektar. Dari data tersebut terlihat
  • 13. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 7 bahwa rata-rata produktivitas lahan garam yang dikelola PT Garam lebih tinggi dibandingkan yang dikelola rakyat, meskipun tambak yang dikelola PT Garam maupun rakyat rata-rata produktivitasnya belum mencapai 100 ton/ha/musim. Tambak PT Garam merupakan lahan sehamparan yang dikelola secara intensif dengan menerapkan proses pengolahan brine secara bertingkat. Sedangkan, tambak garam rakyat umumnya merupakan lahan berukuran kecil milik keluarga yang dikelola sendiri, dikelola bersama dengan penggarap atau disewakan. Proses produksi garam oleh petambak garam rakyat dilakukan dengan cara proses penguapan air laut secara total pada meja-meja kristalisasi. Produktivitas lahan garam seperti ini sulit ditingkatkan karena tidak dapat menerapkan sistem produksi garam standar. Olehnya, diperlukan penyatuan beberapa lahan sehingga tataguna lahan untuk memproduksi garam menjadi lebih optimal. Pengelolaan kawasan pegaraman secara terpadu Pengelolaan kawasan pegaraman secara terpadu, intensif dan berskala besar membutuhkan lahan yang luas, terhadap tambak garam rakyat yang umumnya memiliki luas lahan yang kecil, pengelolaan bersama perlu dilakukan untuk mencapai nilai ekonomis. Mengadopsi model pengelolaan usahatani, setidaknya terdapat tiga jenis pengelolaan secara bersama-sama yaitu: corporate farming, collective farming dan cooperative farming. Perbandingan dari masing-masing pola tersebut tersaji pada Tabel 1. Tabel 1. Perbandingan model pengelolaan usahatani secara terpadu Corporate farming Collective farming Cooperative farming Sistem Pengelolaan -Konsolidasi fisik lahan untuk dikelola oleh korporasi -Konsolidasi seluruh aspek pengusahaan produksi hulu-hilir mutlak dikendalikan oleh korporasi -Hanya petambak pemilik lahan dan -Konsolidasi lahan tidak mutlak, pengelolaan kolektif -Konsolidasi pada aspek sarana, penerapan teknologi, pelaksanaan produksi, pascapanen dan pemasaran -Petambak pemilik lahan, pemilik penggarap dan -Tanpa konsolidasi lahan, pengelolaan mandiri -Konsolidasi pada aspek sarana, penerapan teknologi, pelaksanaan produksi, pascapanen dan pemasaran -Petambak pemilik lahan, pemilik penggarap, penyewa penggarap dan
  • 14. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 8 pemilik penggarap yang dapat bergabung penyewa penggarap dapat bergabung buruh tambak dapat bergabung Fokus -Penerapan usahatani modern untuk memperoleh keuntungan yang tinggi, berorientasi pasar -Penerapan usahatani berbasis komunitas yang berdaya saing, efektif dan efisien melalui pengelolaan secara ekonomis, kolektif dan partisipatif -Penerapan usahatani terpadu untuk memberdayakan petani melalui pembangunan sosial kapital (gotong- royong) Kelembagaan -Korporasi sebagai pemegang kendali manajemen bisnis yang profesional dan modern -Petambak aktif secara kolektif (cenderung non formal/musyawarah) -Petambak aktif mengendalikan manajemen organisasi dengan struktur lengkap Keterlibatan Stakeholder -Swasta sebagai korporasi penyedia seluruh modal dan pengendali manajemen -Petambak hanya sebagai penyedia lahan -Pemerintah sebagai penyedia infrastruktur publik (irigasi, aksesibiltas), fasilitator pembinaan, pelatihan, monitoring dan evaluasi. -Swasta dapat masuk hanya jika hanya diperlukan tambahan modal. -Petambak aktif secara kolektif dalam proses produksi -Pemerintah membangun infrastruktur primer- tersier-sekunder, fasilitator produksi hulu- hilir. -Swasta sebagai mitra investasi dan membantu pemasaran -Petambak bertindak sebagai anggota sekaligus pengelola -Pemerintah membangun infrastruktur primer- tersier-sekunder, fasilitator produksi hulu- hilir. Pola kebijakan -Cenderung topdown dan sentralistik oleh korporasi -bersifat horizontal antar sesama anggota - cenderung Bottom up dari anggota (Sumber: Nuryanti (2005), Setiawan (2008), Shinta (2011), Gillbert (2014))
  • 15. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 9 Masing-masing model pengelolaan usahatani tersebut memiliki keunggulan dan kekurangan. Corporate farming menjamin tercapainya efisiensi usaha, standarisasi mutu, dan efektivitas serta efisiensi manajemen pemanfaatan sumber daya. Selain itu, corporate farming lebih menguntungkan bagi sebagian pemilik tanah yang lahannya memang disewakan untuk dikelola menjadi tambak garam. Kekurangannya adalah pemilik tanah tidak memiliki keleluasaan dalam pengelolaan lahan garam maupun keterlibatan langsung dalam prospek bisnisnya. Menurut Setiawan (2008) Collective farming dianggap lebih mencerminkan budaya usahatani sebagian masyarakat Indonesia, sebagai contoh adanya sistem sambatan dan seredan yang merupakan sistem pengelolaan lahan secara bersama di Jawa Barat, namun pengelolaannya masih belum terintegrasi dalam suatu sistem manajemen. Sedangkan Cooperative farming merupakan model pemberdayaan petani, diantaranya melalui penguatan kelembagaan, pengembangan SDM, pengembangan akses permodalan, akses pasar dan kesepakatan penerapan teknologi. Kekurangan cooperative farming ini adalah lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pertumbuhan kelembagaan, karena pengendali manajemen berasal dari SDM kelompok itu sendiri yang tingkat pengetahuannya kurang sehingga membutuhkan banyak pelatihan manajemen dari pihak luar. Terlepas dari keunggulan dan kekurangan dari masing-masing model, pengelolaan secara bersama-sama diharapkan dapat merubah budaya bertani secara tradisional dan individualis menjadi budaya pengusaha (entepreneur) dan industrialis. Ketiga model tersebut juga menekankan pentingnya menguasai sektor off farm (pra dan pascaproduksi), karena selama ini ditenggarai petambak hanya menguasai sektor on farm (produksi) semata. Penguasaan sektor off farm penting bagi petambak agar dapat menjangkau akses permodalan dan akses pasar, sehingga dapat meningkatkan pendapatan yang bermuara pada peningkatan kesajahteraan petambak. Sebagai contoh, Lokasi pada Gambar 4 merupakan hamparan tambak garam di Losarang Indramayu. Tambak tersebut mempunyai ukuran yang bervariasi antara 0,5 hingga 1,5 hektar. Setiap tambak terdiri dari bozeem/reservoir berukuran kecil, kolam peminihan dan/atau meja kristal.
  • 16. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 10 Gambar 4. Hamparan Tambak di daerah Losarang Indramayu Jika pendekatan yang diterapkan adalah corporate farming, maka diperlukan konsolidasi lahan agar dapat dikelola secara profesional dan memenuhi prinsip-prinsip usahatani modern. Tambak akan dibagi dalam 3 bagian besar yaitu reservoir/bozeem, peminihan dan meja kristal dengan rasio luas 29% : 43% : 28% (1 : 1,5 : 1), diadopsi dari tambak teknik ulir filter (TUF) sebagaimana dikemukakan Bramawanto et.al. (2015) dan dilakukan penyesuaian terhadap proporsi luasan masing-masing jenis kolam, seperti terlihat dalam Gambar 5. Hal ini sesuai dengan alternatif pemberdayaan petani penggarap yang dikemukakan oleh Ihsannudin (2012) melalui integrasi bozeem terpadu meskipun terdapat perbedaan dalam implementasinya, yaitu menerapkan 27% lahan untuk membuat bozem yang dipakai bersama. Di samping itu, meja kristal diletakkan dekat jalan yang dapat diakses oleh kendaraan pengangkut.
  • 17. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 11 Gambar 5. Skenario pengelolaan tambak terpadu menggunakan pendekatan corporate farming Pada pendekatan corporate farming faktor kepemilikan tambak garam rakyat sangat dimungkinkan akan menjadi faktor pembatas. Hasil pengamatan di beberapa sentra garam menunjukkan bahwa sebagian besar petambak hanyalah sebagai penyewa atau buruh dengan sistem bagi hasil yang tidak memiliki hak penuh atas lahan garapannya. Selain itu faktor kebiasaan atau budaya masyarakat setempat juga menentukan potensi akseptabilitas/resistensi terhadap model pengelolaan. Pendekatan yang mungkin dilakukan terhadap pengelolaan tambak garam rakyat menggunakan sistem sewa atau bagi hasil adalah collective farming. Pengelolaan bersama hanya sampai pada penyediaan brine di reservoir, sehingga tidak merubah struktur tambak secara ekstrim, seperti terlihat pada Gambar 6. Pengaliran brine dari reservoir ke condenser diatur waktunya dan dikendalikan secara proporsional sehingga ketersediaan brine untuk seluruh tambak dapat terjamin tanpa ada pihak yang merasa kekurangan. Petakan berwarna biru pada gambar tersebut merupakan
  • 18. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 12 reservoir yang saling terhubung satu dengan yang lainnya berdasarkan prinsip bejana berhubungan. Jika memungkinkan, pengelolaan bersama dapat dilanjutkan pada penyediaan brine yang siap dikristalisasi di condenser agar memiliki kualitas yang sama sehingga garam yang dihasilkan diharapkan relatif seragam kualitasnya. Gambar 6. Skenario pengelolaan tambak terpadu menggunakan pendekatan collective farming Penerapan skenario pengelolaan tambak garam terpadu menggunakan pendekatan corporate farming dan collective farming di atas dapat berjalan selaras dengan konsep blue economy, seperti natural resources efficiency, zero waste, social inclusiveness dan open-ended innovation and adaptation. Natural resources efficiency hampir dipastikan dapat tercapai melalui kedua pendekatan. Zero waste dapat dilakukan melalui pemanenan deposit garam atau mineral-mineral selain NaCl dalam brine dengan menerapkan proses pengolahan brine secara bertingkat. Pada tingkat pertama CaCO3 dapat ditemui pada densitas 3,5 – 15 0 Be dan CaSO4 pada densitas 13 - 25 0 Be. Selanjutnya, NaCl sebagai produk utama diperoleh pada densitas 25 – 30 0 Be, sedangkan MgSO4, KCl dan MgCl2 terjadi pada densitas lebih dari 30 0 Be (Baert et. al. 2000). Dalam hal ini pendekatan corporate farming lebih sesuai karena industri penggunanya spesifik,
  • 19. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 13 sehingga hanya dapat diproduksi dan dipasarkan oleh korporasi tertentu. Social inclusiveness lebih dapat diterapkan pada collective farming karena memenuhi aspek self-sufficiency bagi petambak kecil, lebih banyak lapangan kerja dan kesempatan berusaha bagi masyarakat miskin. Open-ended innovation and adaptation yang mengedepankan prinsip hukum fisika dan adaptasi alami dapat diiimplementasikan melalui penggabungan lahan evaporasi, terutama pada pendekatan corporate farming, Berdasarkan hukum fisika, laju evaporasi dapat ditingkatkan dengan cara memperluas permukaan bidang evaporasi. Hal ini sekaligus menjamin ketersediaan brine untuk dapat dipergunakan secara bersama-sama. SOAR Analysis Untuk Penerapan Pengelolaan Tambak Garam Rakyat Terpadu Analisis SOAR dilakukan terhadap dua alternatif pengelolaan tambak garam rakyat terpadu menggunakan pendekatan corporate farming maupun kombinasi collective-cooperative farming. Gambar 7 menyajikan matriks analisis SOAR terhadap pengelolaan tambak garam rakyat terpadu menggunakan pendekatan corporate farming sedangkan gambar 8 menggunakan pendekatan kombinasi collective-cooperative farming. Strategic Inquiry Strengths (Kekuatan) - Ketersediaan lahan tambak garam produktif (eksisting) dan potensial - Management produksi hulu-hilir oleh korporasi profesional - Pengendalian mutu produk yang ketat - Pekerja dikaryakan secara profesional - Memiliki target profit dan berorientasi pada pasar - Bahan baku air laut mudah diperoleh Opportunities (Peluang) - Lahan produksi berada pada hamparan-hamparan luas - Akseptabilitas pemilik lahan dan ketertarikan pemilik lahan sekitar hamparan dalam hal konsolidasi lahan - Penerapan teknologi intensifikasi - Segmen pasar penyerap produk telah tersedia - Percepatan peningkatan produktivitas
  • 20. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 14 Appreciative Intent Aspirations (Aspirasi) - Pengelolaan produksi garam secara profesional - Kontribusi dalam mewujudkan swasembada garam nasional - Menjadi eksportir garam Results (Hasil) - Produktifitas lahan garam meningkat menjadi di atas 100 ton/ha/musim - Memproduksi garam memenuhi kualitas bahan baku industri dengan mutu seragam Gambar 7. Analisis SOAR terhadap model pengelolaan tambak garam rakyat terpadu menggunakan pendekatan corporate farming Strategic Inquiry Strengths (Kekuatan) - Ketersediaan lahan tambak garam produktif (eksisting) dan potensial - Pengalaman (turun-temurun) SDM pembuat garam - Tata nilai sosial (gotong-royong) - Bahan baku air laut mudah diperoleh Opportunities (Peluang) - Lahan produksi berada pada hamparan-hamparan luas - Ketersediaan teknologi intensifikasi sederhana berbiaya murah. - Penguatan organisasi melalui kelompok-kelompok dalam program PUGAR - Adanya dukungan dari pemerintah dan swasta Appreciative Intent Aspirations (Aspirasi) - Pengelolaan produksi garam secara terpadu - Kontribusi dalam mewujudkan swasembada garam nasional - Menjadi eksportir garam Results (Hasil) - Produktifitas lahan garam meningkat menjadi di atas 100 ton/ha/musim - Memproduksi garam memenuhi kualitas bahan baku konsumsi Gambar 8. Analisis SOAR terhadap model pengelolaan tambak garam rakyat terpadu menggunakan pendekatan collective-cooperative farming Pada aspek Strategic Inquiry ketersediaan lahan yang berada dalam hamparan-hamparan luas menjadi kekuatan sekaligus peluang untuk dikelola secara terpadu, intensif/semi-intensif dan berskala besar. Lahan dapat dikelola secara profesional melalui pendekatan corporate farming maupun secara bergotong-royong melalui kombinasi pendekatan collective-
  • 21. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 15 cooperative farming. Kekuatan lain pada pendekatan corporate farming adalah dilakukannya pengendalian mutu produk yang ketat, SDM dipekerjakan secara profesional, memiliki target profit dan berorientasi pada pasar. Sedangkan pada pendekatan collective-cooprative farming kekuatannya terdapat pada SDM yang berpengalaman secara turun-temurun dan lebih mengutamakan tata nilai sosial berupa gotong-royong dalam mengelola lahan. Peluang pada pendekatan corporate farming antara lain adalah akseptabilitas dan ketertarikan pemilik lahan sekitar hamparan untuk mengkonsolidasikan lahannya, percepatan peningkatan produktivitas melalui penerapan teknologi dan jaminan penyerapan produk. Sedangkan pada pendekatan collective-cooperative farming peluangnya terletak pada keberadaan teknologi intensifikasi yang mudah diterapkan dan berbiaya murah bagi petambak kecil, serta pemanfaatan dari terbentuknya kelompok usaha bersama (KUB) untuk mempermudah koordinasi dan pengorganisasian antar kelompok. Pada aspek Appreciative Intent terdapat sedikit perbedaan pada aspirasi pengelolaan dan target hasil produksi. Aspirasi pada pendekatan corporate farming, lahan dikelola secara profesional sedangkan pada pendekatan collective-cooperative farming lahan dikelola secara bergotong- royong. Hasil produksi yang diharapkan menggunakan pendekatan corporate farming adalah kualitas untuk memenuhi kebutuhan industri dengan kualitas seragam, sementara hasil produksi yang diharapkan menggunakan pendekatan collective-cooprate farming adalah kualitas bahan baku konsumsi rumah tangga. Berdasarkan hasil analisis tersebut dibuat rekomendasi penguatan peran dari setiap stakeholder untuk mendukung implementasi pengelolaan tambak garam terpadu, baik dengan pendekatan corporate faming maupun kombinasi collective-cooprative farming. Penguatan peran stakeholder tersebut diharapkan mampu mencapai target swasembada garam nasional yang meliputi kebutuhan konsumsi rumah tangga dan kebutuhan industri. Adapun peran pemangku kepentingan dapat diperkuat melalui aksi-aksi seperti yang tersaji dalam tabel 2 berikut ini:
  • 22. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 16 Tabel 2. Peran dan aksi pemangku kepentingan dalam mendukung program swasembada garam Stakeholder Peran dan Aksi Petambak - Pemiliki lahan bersedia mengkonsolidasiakan lahannya secara utuh maupun sebagian. - Aktif dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian produksi sesuai kapasitas dan kapabilitas masing-masing SDM. - Membangun kelembagaan ekonomi berbasis komunitas yang mengarah pada kemandirian. - Terbuka terhadap inovasi teknologi dalam rangka intensifikasi produksi dan peningkatan mutu produk. Pemerintah - Sebagai fasilitator penyerapan produksi garam rakyat untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan industri nasional. - KKP memfasilitasi interlink distribusi garam untuk kebutuhan produk perikanan pascapanen seperti pengasinan ikan dan produk olahan berbahan baku ikan. - memberikan penyuluhan, bantuan dan insentif pada para pemilik tambak dalam satu kawasan yang bersedia menerapkan pengelolaan tambak secara berkelompok. - Pemerintah daerah memonitor produksi, distribusi dan stok garam di wilayahnya. Univ/Lemlitbang - Sebagai sumber informasi ilmiah, baik bersifat kajian maupun penerapan yang berkaitan dengan industri garam. - Melakukan kajian terhadap efisiensi produktivitas SDM dan tambak garam rakyat. - Melakukan kajian pemetaan kebutuhan garam nasional dan diversifikasi produk berdasarkan spesifikasi yang dibutuhkan. - Menciptakan inovasi teknologi dalam rangka intensifikasi lahan dan peningkatan mutu produk sesuai kebutuhan pasar. - Membuat sistem informasi online terkait jumlah dan kualitas produksi, luas lahan produksi, distribusi pemasaran, stok garam nasional dan kondisi cuaca. Swasta/BUMN - BUMN (PT Garam) hanya memproduksi garam berkualitas dan fokus pada pemenuhan garam kebutuhan industri dan
  • 23. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 17 garam konsumsi khusus (diet). - BUMN atau BUMD sebagai penyangga pemasaran garam untuk mengendalikan harga. - BUMN dan swasta mendorong petambak untuk memproduksi garam berkualitas dengan jaminan penyerapan produk pascapanen. - BUMN, Perusahaan swasta besar pengolah garam dan industri pengguna garam dapat memberikan bantuan dalam bentuk CSR kepada petambak. Rekomendasi Optimalisasi pengelolaan tambak garam menjadi penting dalam rangka meningkatkan produktivitas (kuantitas/kualitas) garam rakyat. Salah satu langkah yang dapat diambil untuk mengoptimalkan fungsi tambak garam adalah dengan cara melakukan pengelolaan lahan secara terpadu. Pengelolaan tambak garam terpadu selaras dengan prinsip-prinsip natural resources efficiency, zero waste, social inclusiveness serta open-ended innovation and adaptation yang merupakan konsep blue economy. Karakteristik pengelolaan tambak garam yang tercermin dalam strenghts dan opportunities serta harapan dan cita-cita yang diterjemahkan dalam aspirations dan results mengunakan analisis SOAR memperkuat justifikasi bahwa pengelolaan tambak garam terpadu sangat berpeluang untuk diterapkan di tambak-tambak garam rakyat, didukung penguatan peran seluruh stakeholder industri garam rakyat. Hambatan yang ada dapat diatasi melalui penerapan alternatif solusi dengan memperhatikan pola pengelolaan tambak garam, dan kondisi sosial, ekonomi, budaya masyarakat setempat. Persantunan Karya tulis ini adalah hasil penelitian ini dari Kajian Pengembangan Klaster Industri Garam Rakyat pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir Balitbang Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, yang didanai oleh APBN DIPA P3SDLP TA 2015. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Dr. Budi Sulistiyo selaku Kepala P3SDLP atas dorongannnya dalam penyelesaian tulisan ini.
  • 24. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 18 Daftar Pustaka Baert, P., T. Bosteels and P. Sorgeloos. 2000. Manual on the Production and Use of Live Food for Aquaculture : 4.5. Pond Production. FAO Corporate Document Repository. Laboratory of Aquaculture & Artemia Reference Center University of Gent, Belgium Bramawanto R., S.L. Sagala, I.R. Suhelmi, H. Prihatno. 2015. Struktur dan Komposisi Tambak Teknologi Ulir Filter untuk Peningkatan Produksi Garam Rakyat. J. Segara Vol. 11 No. 1 Agustus 2015: 1-11. Gillbert F. 2014. Cooperative Farming. Frameworks for Farming Together. A Greenhorns Guidebook. Northeast Sustainable Agriculture Research and Education Publ. Pp 54. Home A. 2010. SOAR–Workshop Review. http://positivepsychologynews. com/ppnd_wp/wpcontent/uploads/ 2010/08/SOAR-picture.jpg, diakses tanggal 2 Maret 2015. Ihsannudin. 2012. Pemberdayaan Petani Penggarap Garam Melalui Kebijakan Berbasis Pertanahan. ACTIVITA, Jurnal Pemberdayaan Mahasiswa dan Masyarakat, LPPM Universitas Sebelas Maret Surakarta Vol. 2 No. 1 Edisi Februari 2012: 1-11. Nuryanti S. 2005. Pemberdayaan Petani dengan model Cooperative Farming. Analisis Kebijakan Pertanian Vol 3 No. 2: 152-158. Pemerintah Kabupaten Rembang. 2014. Mulai 2015 Pengelolaan Usaha Garam Rakyat Dengan Sistem Korporatisasi http://www.rembangkab.go.id/index.php/news/259-mulai-2015- pengelolaan-usaha-garam-rakyat-dengan-sistem-korporatisasi, diakses tanggal 13 Februari 2015. Saputro G.B., S. Hartini, I.E. Setyawan, F.S.C. Rosaji, G. Adzan, W. Handayani, F Nurhidayat, D.M. Yuwono. 2011. Informasi Geospasial Lahan Garam Indonesia. Bakosurtanal. 91 halaman. Sekretariat Pugar, 2011. Laporan Akhir Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat Tahun 2012. Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Setiawan I. 2008. Laporan Penelitian. Collective Farming Sebagai Alternatif Strategi Pemberdayaan Petani (Suatu Kasus di Desa Rancakasumba Kabupaten Bandung). Fakultas Pertanian UNPAD. 40 halaman.
  • 25. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 19 Shinta A., 2011. Ilmu Usahatani. Buku, cetakan pertama April 2011. Universitas Brawijaya Press. 164 halaman. Sprangel, J., Stavros, J., and Cole, M. 2010. Creating Sustainable Relationships Using The Strengths, Opportunities, Aspirations and Results Framework, Trust, And Environmentalism: A Research-Based Case Study. International Journal of Training and Development. Vol. 15 Issue 1 March 2011: 39-57. Stavros J.,D. Cooperrider and D.L. Kelley. 2003. Strategic inquiry appreciative intent: inspiration to SOAR, a new framework for strategic planning. AI Practitioner Volume, November, 2003 https://design.umn.edu/about/intranet/documents/Strategic_Inquiry_ Appreciative_Intent. pdf, diakses tanggal 20 Februari 2015. Stavros J.,D. Cooperrider and D.L. Kelley. 2007, SOAR: A new Approach to Strategic Planning ,in P. Holman, T. Devane and S. Cady (eds), The Change Handbook: The Definitive Resource on Today’s Best Methods for Engaging Whole Sistems, 2nd edition (San Francisco, CA: Berrett- Koehler Publishers, Inc.), pp. 733.
  • 26. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 20 Analisis Potensi Tuna Tongkol Cakalang (TTC) Di Perairan Sumatera Barat dan Pengelolaannya Sesuai Prinsip Ekonomi Biru STUDI KASUS: PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA (PPS) BUNGUS Aida Heriati, Eva Mustikasari, Dini Purbani, Yulius, Hadiwijaya L. Salim Pusat Pengembangan dan Penelitian Sumber Daya Laut dan Pesisir, Balitbang KP Abstrak Merujuk pada pernyataan Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono pada tahun 2006 yang menetapkan Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bungus sebagai sentra ikan tuna di kawasan Indonesia bagian barat, maka perlu dikaji lebih dalam penelitian tentang potensi sumber daya perikanan khususnya TTC dilokasi tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui potensi dari sumberdaya perikanan TTC dengan menggunakan metoda Location Quotient (LQ) dan melakukan analisis deskriptif dalam pengelolaannya sesuai dengan prinsip ekonomi biru di PPS Bungus. Hasil pengolahan data selama 5 tahun pengamatan, potensi terbesar terjadi pada tahun 2010 dengan besar indeks LQ 3.9 dan terendah di tahun 2009 dengan nilai indeks LQ sebesar 3.7. Nilai indeks LQ lebih dari 3 menandakan tingginya potensi produksi TTC di kawasan Indonesia bagian barat terhadap produksi ikan nasional. Peningkatan teknologi dan inovasi sarana penangkapan, pemanfaatan limbah, metoda penangkapan TTC, peningkatan pengetahuan serta kemampuan para nelayan memicu aktifitas ekonomi di kota Padang. Aktifitas ekonomi juga perlu didukung dengan adanya pengendalian dalam sistem penangkapan melalui kebijakan penangkapan baby tuna, penertiban log book kapal, pengaturan single set band radio/transmitter serta pemberdayaan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam industri perikanan. Prinsip ekonomi biru yang diterapkan dalam pengelolaan PPS Bungus akan menjadikan PPS Bungus sebagai sentra tuna terbaik di kawasan Indonesia bagian barat dimasa mendatang. Kata Kunci : Ekonomi biru, TTC, analisis deskriptif, PPS Bungus.
  • 27. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 21 Pendahuluan Potensi sumberdaya alam yang dimiliki oleh negara kita sangat berlimpah, namun pengelolaannya harus selalu diperhatikan agar kelestariannya tetap terjaga. Prinsip ekonomi biru telah memberikan dorongan kepada kita untuk lebih mengutamakan sistem keberlangsungan hidup sejalan dengan pemanfaatan sumberdaya alam yang ada sesuai asas Sustainable Development. Diharapkan dengan adanya prinsip keberlangsungan ini, pemanfaatan sumberdaya yang ada dapat dilakukan dengan bijak dimasa mendatang. Pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan yang berkelanjutan ini telah menjadi salah satu grand strategy dalam usulan program kegiatan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Pesisir dan Laut (P3SDLP) sebagai bentuk kepedulian akan kelestarian sumberdaya perikanan dan kelautan yang dimiliki oleh negara kita. Program ini dilakukan dalam bentuk kegiatan “Penerapan Kebijakan Ekonomi Biru dengan Pendekatan Daya Dukung Perairan di Sumatera Barat sebagai Sentra Tuna”. Daerah sentra tuna ini diusung berdasarkan pernyataan Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono pada tahun 2006 yang menetapkan Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bungus sebagai sentra ikan tuna di kawasan Indonesia bagian barat. Kerangka kerja dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1 dimana prinsip dari ekonomi biru yang diusung oleh Gunter Pauli dijadikan bahan analisis untuk melihat potensi, strategi pengelolaan, regulasi serta penciri ekonomi biru terkait dengan sumberdaya TTC di PPS Bungus. Makalah ini dititikberatkan pada analisis produksi TTC dan pengelolaannya di PPS Bungus disesuaikan dengan prinsip ekonomi biru yaitu zero waste, nature’s efficiency, innovation and adaptation, social inclusiveness, multiple economic effects, generation to generation, balancing production and consumption dapat terpenuhi (Pauli, 2010).
  • 28. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 22 Gambar 1. Kerangka Kerja Penelitian Makalah ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan di Indonesia dengan menerapkan prinsip ekonomi biru dalam pengelolaannya khususnya di PPS Bungus sebagai lokasi studi kasus penelitian ini. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui potensi sumberdaya perikanan TTC dengan menggunakan metoda LQ dan melakukan analisis deskriptif dalam pengelolaannya sesuai dengan prinsip ekonomi biru di PPS Bungus. Analisis Location Quotient Metode yang digunakan adalah metode LQ yang digunakan dalam teori pertumbuhan kota. Pendekatan LQ dilakukan berdasarkan data yang diperoleh dari hasil survei dan hasil dari perhitungan indeks LQ ini dapat digunakan untuk menentukan potensi sumberdaya suatu daerah terhadap kondisi ekonomi dalam skalanya yang lebih luas. Persamaan dari LQ ini adalah sebagai berikut:
  • 29. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 23 i t i t v v LQ V V  dimana: LQ : indeks Location Quotient vi : Produksi TTC kota Padang vt : Total Produksi TTC kota Padang Vi: Produksi TTC perikanan Nasional Vt : Total Produksi TTC Nasional Apabila hasil dari LQ adalah: LQ > 1 : maka sektor tersebut memiliki potensi yang cukup besar sehingga hasil sektor tersebut dapat diberikan untuk memenuhi kebutuhan di daerah lain dan ikut mendukung perekonomian dalam tingkat yang lebih tinggi. LQ < 1 : maka daerah tersebut tidak memiliki potensi yang cukup dalam sektor tersebut. LQ = 1 : maka sektor tersebut hanya dapat memenuhi kebutuhan untuk daerahnya sendiri. Selain itu, metode deskriptif analisis dilakukan untuk membahas pengelolaan PPS Bungus kaitannya dengan penerapan prinsip ekonomi biru. Lokasi penelitian ini berada di Sumatera Barat tepatnya di PPS Bungus Padang, penelitian dilakukan pada tahun anggaran kegiatan 2013. Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret hingga September 2013. Rincian aktifitas kegiatan yaitu terdiri dari pelaksanaan Konsultasi Publik yang diadakan di Loka Penelitian Sumberdaya dan Kerentanan Pesisir (LPSDKP) Bungus Tanjung Kabung Kota Padang yang diadakan pada tanggal 27 Mei 2013 dengan menghadirkan para pakar dari instansi PPS Bungus, Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Padang, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Barat, Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD), serta tokoh nelayan. Dalam acara temu pakar membahas masalah yang terjadi dalam aktivitas pengelolaan perikanan tangkap dan mengatasi solusi sehingga
  • 30. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 24 tercipta mekanisme penangkapan ikan yang kondusif. Dari hasil survei diperoleh data-data seperti terlihat pada Tabel 1. Sebagai berikut. Tabel 1. Tabel Pengumpulan Data Kegiatan Pengumpulan Data Informasi yang diperoleh Badan Pusat Statistik Kota Padang Data ikan untuk jenis ikan Tuna, Cakalang dan Tongkol pada tahun 2007-2011. Wawancara dengan pihak terkait (Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kota dan tokoh nelayan) Informasi mengenai kondisi sebenarnya di lapangan dalam hal produksi, sarana prasarana dan pengelolaan sumberdaya tuna di daerah kajian. Studi Literatur - Buku Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2011 yang diterbitkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. - Publikasi penelitian dan kondisi yang ada di daerah kajian terkait dengan ekonomi biru. Observasi Lapangan Kondisi terkini dan sebenarnya di lapangan dalam hal pengelolaan sarana dan prasarana pemberdayaan TTC Analisa Potensi TTC di PPS Bungus Hasil perhitungan diperoleh nilai indeks LQ lebih dari 3 untuk setiap tahun pengamatan. Hal ini menunjukkan bahwa potensi sektor perikanan dalam hal ini ikan yang berjenis TTC memiliki potensi yang sangat baik di kota Padang. Hasil ini secara tidak langsung dapat membantu kondisi perekonomian dalam skala nasional, sehingga program pengembangan sentra tuna yang akan dilakukan di PPS Bungus ini memiliki potensi yang baik dan menjanjikan dimasa mendatang. Dari hasil pengolahan data selama 5 tahun pengamatan, potensi terbesar terjadi pada tahun 2010 dengan besar indeks LQ 3.9 dan terendah di tahun 2009 dengan nilai indeks LQ sebesar 3.7. Nilai indeks LQ selama waktu pengamatan dapat dilihat pada tabel Tabel 2 dan grafik pada Gambar 2 sebagai berikut.
  • 31. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 25 Tabel 2. Tabel Indeks LQ Produksi Ikan TTC di Kota Padang Tahun Indeks LQ 2007 3.860 2008 3.833 2009 3.701 2010 3.895 2011 3.817 (Sumber: Pengolahan Data, 2013) Gambar 2. Grafik Indeks Location Quotient Produksi Ikan TCT di Kota Padang 2007-2011 (Sumber: Pengolahan Data, 2013) Analisa Pengelolaan PPS Bungus dan TPI Muara Anai Dari hasil diskusi dengan pihak-pihak terkait baik dari pemerintah setempat maupun tokoh nelayan yang ada di kota Padang diperoleh gambaran mengenai pengelolaan yang telah dilakukan selama ini. Berdasarkan pemaparan Prof. Dr. Tridoyo Kusumastanto yang disampaikan dalam rapat kerja Balitbang-KKP tahun 2013 di Manado dan hasil wawancara serta observasi lapangan yang dilakukan maka skema dari Pengembangan ekomoni biru sektor perikanan di PPS Bungus dapat dilihat pada Gambar 3 dibawah. Indeks LQ 3.6 3.65 3.7 3.75 3.8 3.85 3.9 3.95 2007 2008 2009 2010 2011 Tahun Indeks LQ Indeks LQ
  • 32. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 26 Gambar 3. Skema Ekonomi Biru Sektor Perikanan PPS Bungus (Sumber: Pengolahan Data, 2013) Keterangan Gambar: = Variabel-variabel yang mempengaruhi hasil tangkapan ikan (memerlukan teknologi dan inovasi) = Situasi yang belum ada dan perlu untuk dikembangkan = Variabel utama = Kegiatan yang sudah ada sekarang = Kondisi sebenarnya dan kendala yang dihadapi
  • 33. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 27 Skema pengembangan Ekonomi Biru sektor perikanan di PPS Bungus ini menggambarkan beberapa variabel yang memerlukan perhatian khusus dari para pihak terkait agar prinsip dari ekonomi biru dapat diterapkan. Variabel-variabel yang perlu diperhatikan disini adalah variabel yang mempengaruhi hasil tangkapan ikan (kotak hijau), variabel yang belum ada dan perlu dikembangkan (kotak biru), kondisi yang ada saat ini dan kendala yang dihadapi (kotak abu-abu). Dari hasil observasi lapangan Variabel yang mempengaruhi tangkapan ikan diantaranya adalah ketersediaan umpan, sarana penangkapan, lingkungan, dan regulasi. Umpan yang digunakan saat ini terdiri dari dua jenis yaitu umpan imitasi yang terbuat dari bulu-bulu plastik dan umpan hidup dari ikan bandeng. Sarana yang tersedia saat ini diantaranya armada, alat tangkap dan cold storage. Disamping umpan dan sarana penangkapan, faktor lingkungan seperti kondisi cuaca, sumberdaya ikan dan kondisi perairan berpengaruh besar terhadap hasil tangkapan, oleh karena itu pengetahuan para nelayan mengenai kondisi cuaca, kondisi perairan dan sumberdaya ikan yang adapun perlu dimiliki agar proses penangkapan ikan dapat dilakukan dengan maksimal. Berdasarkan hal tersebut maka, sumber daya manusia yang ada perlu dibekali dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang memadai. Dalam hal regulasi, perlu adanya kebijakan yang mengatur pelestarian baby tuna, apabila para nelayan dibiarkan untuk terus menangkap baby tuna maka akan mengancam kelangsungan hidup ikan tuna dimasa mendatang, karena baby tuna berpotensi untuk terus berkembang menjadi tuna besar dan memiliki nilai ekonomis yang lebih. Para nelayan dalam pengoperasian penangkapan ikan tuna diwajibkan mencatat lokasi tangkapan di log book. Dalam pelaksanaan dimana para nelayan kadang mengabaikan penulisan di log book kapal, sehingga perlu ditertibkan pencatatan log book kapal karena mengingat pentingnya data mengenai produksi ikan untuk bahan penelitian dalam rangka peningkatan produksi ikan, sehingga perlu diberikan sanksi kepada kapal yang tidak melakukan pendataan dengan baik. Agar peraturan tersebut dapat berjalan perlu kiranya dilakukan kebijakan yang mengatur hal tersebut. Kebijakan lain yang perlu diperhatikan dalam hal penggunaan single set band radio/transmitter akan lebih baik dilakukan untuk mempermudah
  • 34. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 28 komunikasi antar kapal dibeberapa lokasi dalam melakukan aktifitas pengawasan tangkapan. Penggunaan single band diperlukan sebagai sarana komunikasi antar nelayan dengan syahbandar di PPS Bungus maupun ke antar penangkapan ikan untuk memberikan laporan terkait aktivitas kapal selama di pelayaran seperti posisi kapal, kondisi cuaca, banyaknya hasil tangkapan berikut jenis tangkapan. Namun saat ini mengalami kendala, karena penggunaan komunikasi single band masa aktif sudah ada yang habis ada yang masih aktif. Untuk yang sudah habis masa aktif perlu diperpanjang, dimana pengurusan perpanjangan tidak lagi diurus dalam kelompok tapi perorangan. Teknologi dan inovasi dari seluruh variabel yang mempengaruhi tangkapan tersebut dikembangkan untuk meningkatkan hasil tangkapan ikan menuju pengelolaan yang lebih baik. Pengembangan teknologi salah satunya dapat diusung dengan mengangkat prinsip zero waste dari ekonomi biru, seperti penggunaan kapal yang menggunakan Bahan Bakar Motor (BBM) harus dikurangi penggunaannya agar asas ramah lingkungan dapat tercapai, untuk itu teknologi dalam hal penggunaan kapal ber-BBM perlu adanya pengkajian lebih lanjut misalnya dengan penggunaan kapal hybrid yang menggunakan sumberdaya laut (gelombang dan arus) sebagai daya penggerak kapal. Dalam hal inovasi pengelolaan produk olahan ikan serta limbah sirip tuna yang selama ini belum termanfaatkan akan lebih baik bila mulai dikaji pengolahannya seperti pemanfaatan limbah ikan untuk dijadikan bahan umpan sehingga prinsip zero waste dari ekonomi biru dapat terpenuhi. Teknologi dan inovasi dari variable-variabel tersebut di atas sangat mempengaruhi mutu hasil tangkapan. Selain teknologi dan inovasi, kondisi lingkungan juga sangat berpengaruh. Salah satu cara menjaga mutu hasil tangkapan dengan memperhatikan kondisi lingkungan adalah melakukan pendaratan dan pembongkaran muatan pada dini hari setelah pendaratan ikan yang biasa dilakukan jam 02.00 WIB karena mutu ikan dapat terjaga. Karena ikan tuna dengan bobot diatas 35 kg akan dieksport ke Jepang dalam keadaan segar, sehingga harus dilakukan dini hari. Sebelum dieksport ke Jepang ikan tuna hasil tangkapan diperiksa oleh petugas yang disebut sebagai ‘checker’ dimana penentuan mutu ini didasarkan pada kondisi ikan tuna tersebut. Ikan yang bermutu baik kondisinya akan langsung dikemas dan diekspor ke Jepang dan dikategorikan sebagai mutu 1, sedangkan mutu 2
  • 35. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 29 adalah ikan tuna olahan yang diolah menjadi berbagai bentuk produk tuna seperti loin, nugget, steak dan lain sebagainya yang dieksport ke Florida. Sedangkan kategori mutu 3 adalah ikan tuna yang langsung dijual ke pasar lokal. Penentuan mutu berdasarkan berat ikan dimana mutu 1 berat diatas 35 kg, mutu 2 berat antara 30-35 kg dan mutu 3 berat dibawah 30 kg. Penentuan mutu ikan bersifat lokal belum ada ketentuan resmi mutu ikan, hal ini perlu diperhatikan mengingat pentingnya kategori mutu ini untuk meningkatkan nilai ekonomi ikan tuna. Walaupun perairan barat ini ditetapkan sebagai sentra tuna namun upaya pemerintah daerah dalam meningkatkan hasil tangkapan serta nilai jual tuna belum maksimal, masih banyak kendala. Budaya yang sudah mengakar kuat merupakan salah satu kemungkinan penyebab kendala ini, seperti kurangnya minat para nelayan untuk melakukan pelayaran yang memerlukan waktu yang lebih dari 1 minggu. Umumnya para nelayan tradisional melaut bersifat one day trip. Perusahaan pengolahan ikan tuna PT Dempo yang ada di PPS Bungus Tanjung Kabung kota Padang memiliki kendala kurangnya minat masyakarat asli untuk bekerja sebagai buruh pabrik, umumnya buruh berasal dari luar Pulau Sumatera. Hal ini disebabkan budaya masyarakat Minang tidak berminat menjadi buruh mereka lebih suka sebagai pemilik. Dalam mengantisipasi perlu dilakukan peningkatan sumberdaya manusia dan penguatan pemahaman kepada masyarakat akan pentingnya ikut berpartisipasi untuk memiliki usaha di bidang kelautan dan perikanan mengingat potensi perikanan yang besar yang dimiliki oleh perairan Sumatera Barat. Disamping peningkatan sumberdaya manusia juga peningkatan sarana seperti ketersediaan air, BBM, listrik dan cold storage sarana tersebut dibutuhkan keberadaannya di setiap pelabuhan. Dalam pengoperasin PPS Bungus diperlukan BBM 600 liter, kondisi sekarang 154 liter, listrik yang ideal 200 kpa, keadaan di lokasi 66 kpa, kebutuhan air 7500 m3/ltr keadaan di lokasi 40 m3/ltr. Memperhatikan keadaan tersebut perlu adanya perbaikan sarana pelabuhan. Disamping sarana tersebut perlu juga dilengkapi dengan dry ice, cold storage dan docking. Secara keseluruhan dengan melihat proses pengelolaan di PPS Bungus, maka prinsip ekonomi biru sudah dapat ditetapkan di lokasi tersebut. Inovasi dan adaptasi sangat kita perlukan untuk mendukung
  • 36. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 30 variabel-variabel yang mempengaruhi hasil tangkapan TTC. Pemberdayaan masyarakat dan peningkatan pemahaman masyarakat akan industri perikanan yang memiliki potensi yang besar dapat meningkatkan kondisi ekonomi didaerah tersebut sesuai dengan prinsip ekonomi biru dalam hal social inclusiveness. Peningkatan industri perikanan yang pada akhirnya dapat menambah aktifitas perekonomian di kota Padang dan pada akhirnya dapat meningkatkan kondisi ekonomi baik secara lokal maupun nasional memiliki multiple economic effects. Dengan adanya pengelolaan yang baik di wilayah sentra tuna PPS Bungus diharapkan kegiatan pengelolaan dapat dilakukan secara berkesinambungan agar terjadi keseimbangan dalam hal produksi dan pemanfaatannya (generation to generation serta balancing production and consumption). Rekomendasi Sumberdaya perikanan khususnya ikan TTC di Sumatera Barat memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan dilihat dari indeks LQ hasil perhitungan yang menunjukkan nilai lebih dari 3. Hasil dari produksi perikanan di kota Padang khususnya untuk jenis TTC memberikan kontribusi yang lebih bagi sektor perikanan dalam skala nasional, karena itu pengembangan industri/bisnis di sektor perikanan di kota Padang harus dilakukan untuk menambah aktifitas ekonomi baik skala regional maupun nasional. Peningkatan teknologi dan inovasi dalam hal penggunaan umpan, armada kapal, alat pancing, pemanfaatan limbah, metode penangkapan tuna dan peningkatan pengetahuan serta kemampuan para nelayan sangat penting dilakukan untuk meningkatkan hasil tangkapan TTC. Pemanfaatan sumberdaya perikanan harus sejalan dengan pengelolaan serta perlu adanya sistem kendali dalam sistem penangkapannya. Sistem kendali dilakukan dengan adanya kebijakan penangkapan jenis ikan tuna khususnya baby tuna, penertiban log book kapal dan pengaturan single set band radio/transmitter. Pemberdayaan masyarakat sekitar dapat dilakukan dengan mengajak masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam industri perikanan sehingga memicu aktifitas ekonomi di kota Padang. Prinsip ekonomi biru yang diterapkan dalam pengelolaan PPS Bungus akan menjadikan PPS Bungus
  • 37. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 31 sebagai sentra tuna yang baik untuk bagian Barat Indonesia dimasa mendatang. Persantunan Penulis mengucapkan banyak terima kasih pihak-pihak yang telah banyak membantu dalam penulisan karya tulis ini seperti PPS Bungus, Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Padang serta Provinsi Sumatera Barat, Bapak Edi Pono, Bapak Enjang dan Bapak Awaludin sebagai wakil dari tokoh nelayan. Pembiayaan data lapangan diperoleh dari DIPA tahun 2013 kegiatan Pusat Pengembangan dan Penelitian Sumber Daya Laut dan Pesisir (P3SDLP)- Kementerian Kelautan dan Perikanan Daftar Pustaka Anonim, 2012, “Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2011”, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Pauli, 2010, “The Blue Economy 10 Years 100 Innovations 100 million Jobs”, Paradigm Publications Taos New Mexico, USA. Padang dalam Angka 2007-2010, Badan Pusat Statistik, Kota Padang Wiyadi, Trisnawati, R., 2002, “Analisis Potensi Daerah untuk Mengembangkan Wilayah di Eks-Karesidenan Surakarta Menggunakan Teori Pusat Pertumbuhan”, Fakultas Ekonomi Universitas Muh. Surakarta.
  • 38. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 32 Pemurnian Garam Sistem Mekanis untuk Menghasilkan Garam Konsumsi Sehat Ifan R. Suhelmi dan Hariyanto Triwibowo Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Balitbang KP Abstrak Alat pemurnian garam telah diterapkan sejak tahun 2009 sebagai IPTEK untuk Masyarakat atau lebih dikenal sebagai IPTEKMAS Garam di 18 (delapan belas) lokasi kelompok penerima tersebar di Indramayu, Cirebon, Pati, Rembang, Tuban, Lamongan, Tuban, Gresik, Surabaya, Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Pada tahun 2012 paket teknologi telah mengalami penyempurnaan. Paket yang diterapkan tidak hanya proses pemurnian, namun juga telah dilengkapi dengan peralatan iodisasi dan pengemasan. Proses pencucian garam dimulai dengan unit proses pencucian dan pelembutan, proses pencucian menggunakan air cuci dengan kadar kepekatan tertentu. Pelembutan menggunakan mesin pelembut berjenis diskmill. Proses pencucian dan pelembutan ini berjalan secara simultan. Setelah dicuci dan dilembutkan, proses selanjutnya adalah proses penirisan (Spinner). Proses ini bertujuan untuk menghilangkan kandungan air yang masih cukup banyak terkandung di dalam garam. Prinsip kerja dari unit proses ini adalah dengan memanfaatkan gaya sentrifugal sehingga air yang terjebak di dalam padatan garam dapat terlepas. Air yang dapat dipisahkan tersebut merupakan air tua (brine) dan dikembalikan ke bak pencuci. Selanjutnya dikeringkan dalam Unit Proses Pengeringan. Unit proses ini bertujuan untuk mengeringkan garam jadi sehingga kandungan air (moisture content) di dalam garam menjadi turun sesuai standar. Unit proses ini menggunakan alat rotary dryer dan aspek neraca energi sangat ditekankan disini karena unit ini mengonsumsi bahan bakar. Media pemanas yang digunakan adalah burner dengan bahan bakar berupa LPG. Kemampuan produksi rata-rata dapat mencapai 2 ton per hari dan menyerap 3 hingga 5 tenaga kerja.
  • 39. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 33 Inovasi sederhana dalam pengolahan garam krosok yang disiapkan menjadi garam konsumsi rumah tangga telah berhasil memberikan nilai tambah 200 – 1000 rupiah per kilonya. Kata kunci : Pemurni garam sistem mekanis, iptekmas, garam krosok, garam halus Pendahuluan Garam merupakan salah satu komoditas yang dihasilkan dari pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki garis pantai yang sangat panjang dan beberapa lokasi diantaranya sangat berpotensi untuk dikembangkan menjadi lahan tambak garam. Garam Kebutuhan akan garam kian hari makin meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk dan berkembangnya berbagai industri, baik di dalam maupun luar negeri. Kebutuhan garam khususnya untuk industri masih disupai dari garam impor. Sedangkan untuk garam konsumsi telah dapat dipenuhi seluruhnya dari hasil produksi garam rakyat sejak tahun 2012 (KP3K, 2013). Pemerintah mentargetkan terpenuhi seluruh kebutuhan garam, baik untuk konsumsi dan industri pada tahun 2017. Amerika Serikat dan Cina merupakan dua produsen garam terbesar dunia dengan gabungan produksi sebesar 40% dari total produksi tahunan dunia yang sebesar seperempat miliar ton garam, seperti terlihat pada Gambar 1 (P3SDLP, 2010) Gambar 1. Produsen garam dunia (dalam juta ton). (Sumber: Salt Institute) 0 10 20 30 40 50 60 70 China United States Germany India Canada Australia Mexico Brazil France United Kingdom All Other
  • 40. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 34 Pemanfaatan garam untuk kebutuhan selain konsumsi sangat beragam, mulai dari industri farmasi, CAP, perminyakan sampai dengan industri kaca. Pemanfaatan garam untuk kebutuhan industri seperti terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. kelas-kelas ukuran butir garam dan penggunaannya untuk industri No. Grade Penggunaan 1 Pure Salt Textile / Hosiery Dying / Pharma Industries/Medicines / Paints / Destemper / Dyes And Chemical Inustries / U V Fluids. 2 Crystaline Textile / Hosiery Dying / Paints Destemper/ Dyes And Chemical Inustries 3 Medium Textile / Hosiery Dying Paints Destemper/ Dyes And Chemical Inustries / Sea Food Aand Frozen Food Etc. 4 30 Mesh Detergent and Washinf Powder 5 Super Fine Soaps / Detergent and Washinf Powder / Edible / Foods / Dyes / Chemicals 6 Over Size Explossives / Chemicals Sedangkan garam konsumsi didefinisikan sebagai garam dengan kadar Natrium Chlorida minimum 94,7% atas dasar berat kering (dry basis), dengan kandungan impuritis Sulfat, Magnesium dan Kalsium maksimum 2 % dan sisanya adalah kotoran/insoluble matter (lumpur, pasir). Kadar air maksimal 7% (BSN, 2014) Pembuatan garam rakyat umumnya dibuat dengan cara menimba air laut, kemudian dimasukkan ke dalam ladang penguapan sehingga langsung dihasilkan kristal garam. Pada usaha garam rakyat (tradisional) yang memanfaatkan model terasering bertingkat kadar garam tertinggi yang dapat dihasilkan relatif jarang mencapai 90 %, sehingga diperlukan perlakuan- perlakuan khusus agar dihasilkan garam dengan kualitas tinggi. Penelitian yang sudah pernah dilakukan untuk meningkatkan mutu garam rakyat dilakukan dengan system pencucian. Sistem pencucian garam hasil usaha pegaraman rakyat dihasilkan garam dengan NaCl 97%, kebasahan <2%, kotoran < 1%, dengan kelas butiran medium dan superfine yang dapat
  • 41. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 35 digunakan sebagai bahan pendukung proses produksi atau bahan baku industri. Untuk meningkatkan kadar NaCl dalam garam yang dihasilkan oleh rakyat, perlu dilakukan proses pencucian untuk memurnikan kadar NaCl dalam garam. Diharapkan melalui penerapan hasil penelitian dan pengembangan berupa teknologi sederhana proses pemurnian garam sistim mekanis ini diperoleh garam dengan kadar NaCl yang tinggi sehingga memberikan nilai tambah kepada petani garam. Proses pemurnian garam melalui 5 langkah tahapan. Langkah pertama untuk memurnikan kadar NaCl dalam garam krosok adalah dengan melakukan pelembutan. Proses pelembutan ini dilakukan untuk memecahkan butiran garam sehingga rongga-rongga yang ada hancur dan butiran garam menjadi halus. Proses pelembutan ini sekaligus dilakukan proses pencucian. Setelah proses pencucian dan penggilingan, dilakukan proses pematusan untuk mempercepat proses pengeringan, hal ini dilakukan untuk menghasilkan garam dengan kadar air yang rendah. Hasil garam proses pematusan, dilakukan proses pengeringan. Setelah garam dikeringkan, selanjutnya garam diberikan Iodium dan dikemas dalam ukuran tertentu. Proses pengolahan garam krosok Lokasi pelaksanaan iptekmas terdapat di 18 (delapan belas) titik. Adapun perincian lokasi per kabupaten sebagai berikut, 1 (satu) titik lokasi di Kabupaten Indramayu, 2 (dua) titik lokasi di Kabupaten Cirebon, 2 (dua) titik lokasi di Kabupaten Pati, 1 (satu) titik di Kabupaten Rembang, 3 (tiga) titik di Kabupaten Tuban, 1 (satu) di Kabupaten Lamongan, 2 (dua) di Kabupaten Gresik, 1 (satu) di Kota Surabaya, 1 (satu) di Kabupaten Sampang, 3 (tiga) di Kabupaten Pamekasan dan 1 (satu) di Kabupaten Sumenep. Kesemua lokasi ada di sentra garam nasional. Kajian dimulai dengan penyusunan desain teknis, perakitan dan implementasi. Desain teknis peralatan. Perancangan pabrik pencucian garam baik dasar proses pengolahan garam hingga pemilihan material menggunakan pedoman yang disusun oleh Dale. W. Kaufmann (1960). Sedangkan untuk detail kalkulasi spesifikasi alat, referensi yang digunakan ialah “Perry’s Chemical Engineers’ Handbook” yang disusun oleh Don, dkk (2008).
  • 42. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 36 Perhitungan panas yang digunakan untuk proses pengeringan berdasarkan perhitungan dalam www.theengineeringtollbox.com Paket teknologi ini terdiri dari 5 sub-sistem utama, yakni (a) penghancuran butiran garam krosok, (b) pencucian, (c) pengeringan, (d) penambahan unsur yodium dan (e) pengemasan menjadi garam meja seperti terlihat pada Gambar 2. Pegolahan garam dengan teknologi pemurnian garam dimulai dengan penghancuran butiran-butiran garam krosok menjadi garam lembut dengan ukuran partikel 2 mm. Butiran-butiran ini selanjutnya dicuci dengan air yang telah dituakan pada 20 o Be. Proses pencucian ini pada intinya memisahkan kotoran ikutan garam krosok melalui pencucian dan penyaringan. Gambar 2. Tahapan proses pemurnian Proses pengeringan hasil cucian dilakukan dengan mesin peniris, sebuah alat yang bekerja secara berputar sentrifugal. Garam cucian diputar dengan alat ini untuk mengurangi kandungan air, sebelum diproses lebih lanjut dengan mesin pengering. Butiran garam kering selanjutnya diproses dalam mesin penyemprot yodium. Proses iodinisasi ini menjadi salah satu syarat produk garam olahan menjadi garam meja untuk keperluan masak. Tahapan akhir pengolahan garam adalah pengemasan. Garam meja dikemas dalam bungkusan 200 gr yang siap didisutribusikan ke pasar. Paket teknologi pemurnian garam merupakan salah satu langkah awal mempersiapkan langkah industrialisasi garam rakyat, mengolah garam krosok Pengeringan Iodisasi dan pengemasan Garam krosok Garam halus beryodium Penghalusan dan pencucian
  • 43. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 37 menjadi garam meja. Pengolahan ini membuka kesempatan baru bagi para petambak garam yang semula mengandalkan produksi garam krosok dengan harga yang rendah untuk memperoleh nilai tambah dengan mengolah garamnya menjadi garam meja. Diharapkan ke depan peningkatan kualitas garam lebih tinggi lagi sehingga mampu mencapai kualitas garam industri. Nilai tambah yang diperoleh berarti pula peningkatan kesejahteraan bagi petambak garam. Gambar 3. Proses pencucian garam sistem mekanis model 1 Gambar 4. Proses pencucian garam sistem mekanis model 2 Pengembangan alat pencuci garam sistem mekanis dimulai pada tahun 2009, hingga dengan tahun 2013 terdapat 2 (dua) model proses pencucian. Pembeda model pencucian 1 dan model pencucian 2 terdapat pada beberapa alat yang digunakan, namun secara garis besar tahapan yang dilalui sama. Pada gambar 3 dan Gambar 4 menunjukkan alur proses pencucian garam sistem mekanis.
  • 44. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 38 Perbedaaan antara model 1 dan model 2 terletak pada titik pematusan dan proses pengeringan. Pada model 1 penggunaan alat pematusan (spinner) menggunakan model spinner vertikal sedangkan model 2 menggunakan spinner horizontal. Berdasarkan hasil pengamatan, spinner vertikal memiliki beberapa kelemahan antara lain masalah kapasitas, pemeliharaan dan penggunaan. Dengan menggunakan spinner horizontal, kapasitas dapat ditingkatkan karena motor yang digunakan mampu menggerakkan 2 (dua) alat pematus secara simultan dengan motor penggerak yang ada. Perbedaan kedua terletak pada alat pengeringan, pada model 1 menggunakan rotary drier dan pada model 2 menggunakan sistem oven. Perbedaan alat ini disesuaikan dengan produk akhir yang dihasilkan. Untuk pengering dengan rotary drier ditujukan untuk menghasilkan garam curah dan garam kemasan dalam bentuk butiran. Sedangkan pengering berbentuk oven digunakan untuk menghasilkan garam dalam bentuk briket. Berdasarkan hasil pengamatan, paket teknologi ini mampu meningkatkan kandungan NaCl yang terdapat pada garam krosok dengan kisaran nilai 88%, diolah menjadi garam halus dengan tingkat kelembutan butiran garam 2 mm serta kandungan NaCl lebih dari 94%. Kemampuan produksi peralatan ini dapat mencapai 2 ton per hari. Kelompok pengolah garam yang mengoperasikan peralatan ini dapat menyerap 3 – 5 tenaga kerja dan mendapatkan nilai tambah 200 – 1.000 rupiah per kilogramnya. Kegiatan Iptekmas garam telah berlangsung sejak tahun 2009, hingga saat ini telah tersebar pada 18 (delapan belas) titik lokasi Iptekmas Garam. Penerima Iptekmas sangat beragam seperti koperasi wanita, LSM sampai Sekolah Menengah Kejuruan seperti terlihat pada Tabel 2. Masing-masing lokasi telah memproduksi garam kemasan 250 gram dengan merek tersendiri dengan kapasitas produksi 1 – 2 ton per hari.
  • 45. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 39 Table 2. Nama dan Lokasi Penerima Iptekmas NO Nama Kelompok Alamat Merek Dagang 1 2 3 4 1 Sumber Hasil Ds. Karang Anyar, Kalianget, Sumenep Segoro Madu 2 Puspa Marina Ds. Padelegan, Pademawu, Pamekasan Nusantara 3 Cempaka Ds. Lembung, Galis, Pamekasan Nifana 4 IKM Biru Laut Ds. Padelegan, Pademawu, Pamekasan Sari Madura 5 Kel. Tani Alhidayah Ds. Ragung, Pengarengan, Sampang Taman Garam 6 Buran Ds. Dukuh, Pakal, Surabaya Suramadu 7 LSM Semar Ds. Banyu Urip, Panceng, Gresik Salinita 8 KUB Redjodadi Ds. Campurejo, Panceng, Gresik GR 9 SMK Sundra Ds. Banjarwati, Paciran, Lamongan Samudera 10 KUB Garuk 1 Ds. Ketambul, Palang, Tuban Raja Beruang 11 Kopwan Ibu Pertiwi Ds. Leran Kulon, Palang, Tuban Pertiwi 12 Kugar Ronggolawe V Ds. Dasin, Tambakboyo, Tuban Penyu 13 Apel Merah Ds. Purworejo, Kaliori, Rembang Apel Merah 14 Mutiara Laut Mandiri Ds. Ketintang Wetan, Pati MLM 15 Srikandi Mangun Sejahtera Ds. Mangunan , Pati Srikandi 16 KUB Dhuha Angger Sejahtera Ds. Pengarengan, Pangenan, Cirebon PAS 17 KSU Bina Usaha Ds. Pengarengan, Pangenan, Cirebon Keong Mas 18 Kop Segoro Madu Ds. Santing, Losarang, Indramayu Bintang Timur Para penerima paket teknologi telah menyiapkan merk dagang dari garam yang dihasilkan. Namun untuk melengkapi aspek legal dalam usaha garam ini masih diperlukan dukungan pengurusan perijinan. Perijinan beragam, mulai dari perijinan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah seperti ijin usaha, ijin gangguan, ijin mendirikan bangunan. Juga perijinan yang dikeluarkan oleh institusi vertikal seperti paten merk dari Kementerian
  • 46. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 40 Hukum dan HAM, sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia, sertifikat SNI dari Badan Pengawas Obat dan Makanan, sertifikat keamanan pangan dari Kementerian Kesehatan. Permasalahan perijinan tersebut menjadi permasalahan yang mengakibatkan pemasaran produk menjadi terkendala. Untuk memenuhi seluruh perijinan tersebut memerlukan dukungan sumber dana yang tidak sedikit, sehingga dukungan dari pemerintah yang berhubungan dengan semua proses menjadi penting. Untuk mendukung keberhasilan program iptek untuk masyarakat diperlukan pendampingan yang kontinyu. Pendampingan tidak hanya dalam proses produksi, namun juga dalam proses pemasaran dan kelembagaan. Pembentukan lembaga sebagai wadah dalam kelompok perlu ditingkatkan statusnya. Pendampingan pemasaran juga meliputi permasalahan perijinan yang telah diungkapkan diatas. Gambar 5. Berbagai merek dagang yang telah dimiliki oleh penerima Iptekmas Meskipun merek dagang sudah didesain oleh masing-masing kelompok seperti terlihat pada Gambar 5, namun secara legal formal belum semua lokasi didaftarkan sebagai paten merk. Yang lebih memprihatinkan lagi,
  • 47. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 41 hingga saat ini semua lokasi penerima Iptekmas belum ada merek dagang yang dilengkapi dengan SNI dan BPOM. Untuk memenuhi persyaratan produksi dan distribusi garam kemasan sangat diperlukan penguatan pendampingan teknis dan bisnis agar aspek legal dalam memproduksi dan menjual garam dapat dipenuhi. Untuk memperoleh hasil yang maksimal, perlu dilakukan pendampingan berupa dorongan untuk mendaftarkan merek dan memperoleh semua perijinan pengolahan garam. Rekomendasi Berdasarkan kajian diatas dapat direkomendasikan beberapa hal sebagai berikut: 1. Paket teknologi pengolah garam yang dikembangkan oleh Puslitbang Sumberdaya Laut dan Pesisir mampu meningkatkan kadar kandungan NaCL sebesar 10% dengan butiran kecil dengan ukuran seragam, berwarna putih dan tingkat kekeringan dibawah 3%. 2. Salah satu permasalahan yang harus segera dipecahkan agar usaha pengolahan garam dapat berjalan adalah dengan melengkapi seluruh perijinan yang diperlukan. Untuk memenuhi hal tersebut diperlukan dukungan secara nyata dari pemerintah. Persantunan Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan atas dukungan dalam kajian ini dan kepada Tim Universitas Hang Tuah Surabaya yang telah bayak membantu terlaksananya kegiatan paket teknologi pengolah garam. Daftar Pustaka Badan Standarisasi Nasional. 2014. Standar Nasional Garam Konsumsi. SNI 01-3556-2000/Rev.9 Dale W. Kaufmann (ed). 1960. Sodium Chloride. The Production and Properties of Salt and Brine. Hardcover – January 1, 1960 Don W. Green, Robert H. Perry. 2008. Perry's Chemical Engineers' Handbook, Eighth Edition. McGraw-Hill: New York, Chicago, San Francisco, Lisbon, London, Madrid, Mexico City, Milan, New Delhi, San Juan,
  • 48. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 42 Seoul, Singapore, Sydney, Toronto ISBN: 9780071422949. http://accessengineeringlibrary.com/browse/perrys-chemical- engineers-handbook-eighth-edition [diakses 25 Agustus 2014] KP3K, 2013, Laporan Akhir Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR) Tahun 2013, Sekretariat PUGAR, Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil P3SDLP (Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir). 2010. Laporan Kegiatan IPTEKMAS 2010. Puslitbang SDLP, Balitbang KP KKP. Jakarta TheEngineeringToolBox.com. Gross heating and net heating value for some common gases as hydrogen, methane and more , 2013, http://www.engineeringtoolbox.com/gross-net-heating-values- d_420.html [diakses 20 Agustus 2014]
  • 49. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 43 Kualitas Air Sungai Manggar, Kota Manggar Kabupaten Belitung Timur. Perbandingan di Musim Hujan dan Kemarau. Agustin Rustam dan Fajar Yudi Prabawa Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Balitbang KP Abstrak Sungai Manggar terletak di Kota Manggar, ibukota Kabupaten Belitung Timur yang sedang giatnya meengembangkan diri untuk membangun, untuk itu dibutuhkan perencanaan ruang dan program pengisinya. Tim melakukan riset identifikasi perairan Sungai Manggar, bertepatan misi dengan program Pemerintah Daerah yang berencana memanfaatkan Sungai Manggar untuk budidaya ikan KJA, terlebih adanya calon investor asing. Hasil pengukuran parameter dipilah menjadi aspek fisika dan kimia berupa: pH, DO, Salinitas, Sigma t, Konduktifitas, Densitas, TDS dan Temperatur. Pengukuran dilakukan bulan Maret saat musim hujan dan pada bulan Oktober telah berlangsung lama musim kemarau untuk mendapatkan data kemudian dibandingkan kondisi parameter airnya. Penentuan waktu menurut musim ini Tim tentukan dari hasil pengukuran awal pada bulan Maret dimana kondisi air sungainya beranomali cukup parah. Umumnya pH di 90% area sungai hulu hingga muara sebesar 4-6 dan rerata salinitas rendah. Hipotesa Tim: ini disebabkan faktor kondisi eksisting lokasi yang dikelilingi tambang timah dan kaolin sebagai sumber kontaminan yang pengaruhi kondisi air sungai dan musim hujan sebagai media transportnya ke sungai. Kata kunci: kualitas air, Sungai Manggar, Geologi Lingkungan, penelitian dua musim.
  • 50. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 44 Pendahuluan Kabupaten Belitung Timur dikelilingi zona pesisir, secara geografis terletak antara 107o 45’ BT sampai 108o 18’ BT dan 02o 30’ LS sampai 03o 15’ LS ditambah jejaring sungai memenuhi sebagian wilayahnya dengan akses akhir beberapa muara sungai besar di pesisir. Kota Manggar adalah ibukota kabupaten, terletak di pesisir sekaligus muara Sungai Manggar. Masih sedikit data karena belum banyak kegiatan riset di lokasi ini, Tim melakukan identifikasi lingkungan alam area sungai dan muara sungai Manggar dengan aspek: pengukuran parameter fisik air sungai dan perairan darat. Ini karena lokasi Belitung yang dikenal sebagai “Pulau Logam” penuh dengan kegiatan penambangan sehingga tentu amat mempengaruhi kualitas air sungainya. Gambar 1. Peta Geologi Lingkungan Pulau Belitung dan Zonasi Sungai di Belitung Tmur Secara Geologi Lingkungan, genesa terjadinya Pulau Belitung adalah pulau vulkanik, wilayahnya didominasi batuan asal aktifitas gunung berapi di masa lampau. Saat ini gunung sudah mati, dan isinya yang kaya akan bahan tambang logam terus tererosi memenuhi ruang sekitar hingga tertransport ke Manggar Pulau Belitung Manggar
  • 51. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 45 laut dan tersebar oleh arus laut. Membahas kualitas dan kandungan isi sungai tak lepas dari sumbernya yaitu daratan. Oleh sebab itu maka perlunya dilakukan pendataan dan sampling air di kawasan yang diduga sebagai sumber terdekatnya. Lokasi khususnya diduga kuat mengandung logam berat skala besar karena sepanjang hulu sungai dikelilingi tambang timah dan kaolin dapat dilihat dari hasil pengukuran air pada lokasi tambang di sekitar hulu dan pinggiran sungai Manggar yang ekstrim anomalinya. Sejak jaman penjajahan Belanda adalah sumber tambang Timah, disamping mempunyai pula cadangan besi (Fe) serta logam lain yang berasosiasi dengannya seperti Tembaga Cu), Seng (Zc), Timbal (Pb) dsb. Kandungan air sungai amat terkait kandungan dari darat, kemudian kandungan logam berat di darat jauh lebih banyak tertransport air hujan ke sungai dibanding di musim kemarau. Principal Component Analysis Data-data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data-data sebagai berikut: 1. Data spasial Data spasial yang dikumpulkan untuk mendukung penelitian ini adalah: Citra Satelit Landsat, peta RTRW Kota Manggar Peta Geologi Lingkungan Skala 1:25.000 / 1:50.000 (Puslitbang Geologi Lingkungan) Peta Geologi Regional Skala 1 : 100.000 / 1 :250.000 (Puslitbang Geologi) 2. Data Sekunder Data sekunder yang diperoleh dari berbagai instansi BLHD, Balitbang KKP 3. Data Lapangan Data Lapangan merupakan data primer, yang langsung diambil di lokasi penelitian meliputi pengukuran parameter air dan pengambilan sampel air sungai, danau di perairan darat dan sampel biota. Metode pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling yang diharapkan dapat mewakili lokasi penelitian yang berdasarkan data hasil wawancara dengan penangkap kepiting merupakan lokasi tempat
  • 52. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 46 penangkapan kepiting (kode lokasi S), lokasi dengan kualitas air bagus (kode lokasi K), gradasi salinitas dari hulu ke hilir (kode lokasi H) serta aktifitas yang ada di sungai. Lokasi penelitian dilakukan di Pantai kawasan mangrove Manggar (Gambar 1). Pengukuran kualitas perairan yang dilakukan dengan menggunakan alat multiparameter sejauh kurang lebih 10 km menyusuri sungai dari hulu ke hilir Sungai Manggar serta percabangan dari sungai Manggar di kawasan mangrove Manggar. Deskripsi stasiun pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa untuk stasiun yang dimulai dari hulu sungai kearah hilir sampai ke laut dikodekan dengan H1 sampai dengan H18, kemudian kode stasiun, sedangkan daerah yang merupakan rencana adanya suatu usaha budidaya keramba jaring apung disimbolkan dengan huruf K1 sampai dengan K9. Parameter yang terukur dengan alat multiparameter (Gambar 2) ini berjumlah 7 parameter. Parameter tersebut adalah pH, DO (Dissolved Oxygen), konduktivitas, turbiditas, temperatur, salinitas dan sigma-t yang diukur pada kedalaman permukaan yaitu 0,2 -0,8 meter. Parameter ini akan dibagi menjadi parameter fisika (suhu, konduktivitas dan turbiditas) dan parameter kimia (pH, salinitas, sigma-t dan DO). Analisis data secara umum dilakukan secara deskriptif dengan MS Excell 2007 untuk dapat menggambarkan kondisi eksisting kualitas perairan. Untuk menentukan variasi parameter fisika-kimia dan biologi perairan antar stasiun penelitian digunakan pendekatan analisis statistik peubah ganda yang didasarkan pada Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis, PCA) (Legendre dan Legendre, 1983; Ludwig dan Reynolds, 1988; Digby dan Kempton, 1988). Analisis Komponen Utama (AKU) merupakan metode statistik deskriptif yang bertujuan untuk menampilkan data dalam bentuk grafik dan informasi maksimum yang terdapat dalam suatu matriks data. Matriks data terdiri dari stasiun penelitian sebagai individu statistik (baris) dan parameter lingkungan (fisik-kimia perairan) yang kuantitatif (kolom). Analisis ini juga digunakan untuk mereduksi suatu gugus parameter yang berukuran besar dan saling berkorelasi, menguji kesamaan tempat dalam ruang jenis dan parameter lingkungan dengan cara menentukan aksis ortogonal melalui pemaksimalan keragaman. Data parameter fisika-kimia perairan yang diperoleh tidak memiliki unit pengukuran yang sama, maka sebelum dilakukan AKU, data tersebut
  • 53. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 47 perlu dinormalisasikan terlebih dahulu melalui pemusatan dan pereduksian. Jadi, apabila Xij adalah nilai data awal dan X.j adalah rata-rata, serta Sj adalah simpangan baku, maka pemusatan dari Xij ke Yij dapat diperoleh dari hubungan : Yij = (Xij - X.j), dan pereduksian dari Xij ke Yij ditrasformasikan dengan rumus Yij = (Xij - X.j)/Sj. Dengan demikian setiap parameter mempunyai unit keragaman. Dari nilai pemusatan dan pereduksian akan terbentuk matriks baru ASxN yang merupakan pembentukan dari komponen- komponen aij. Untuk menentukan hubungan antara dua parameter digunakan pendekatan matriks korelasi yang dihitung dari indeks sintetik (Ludwig dan Reynolds, 1988), yaitu : RSxS = ASxN At NxS sedangkan, RSxS = matriks korelasi rij ASxN = matriks indeks sintetik Yij At SxN = matriks transpose(pertukaran baris dan kolom) dari matriks A Korelasi linier antara dua parameter yang dihitung dari indeks sintetiknya merupakan peragam dari dua parameter tersebut yang telah dinormalisasikan. Tahapan ini sebenarnya merupakan suatu usaha untuk mentransformasikan p parameter kuantitatif awal (inisial), yang kurang lebih saling berkorelasi, ke dalam p parameter kuantitatif baru yang disebut komponen utama. Dengan demikian hasil dari analisis ini tidak berasal dari parameter-parameter awal (inisial) tetapi dari indeks sintetik yang diperoleh dari kombinasi linier parameter-parameter asal. Di antara semua indeks sintetik yang mungkin, analisis ini mencari terlebih dahulu indeks yang menunjukkan ragam individu yang maksimum. Indeks ini disebut komponen utama ke-1 atau sumbu (axis) utama ke-1, yaitu suatu proporsi tertentu dari ragam total stasiun/lokasi yang dijelaskan oleh komponen utama ini. Selanjutnya dicari komponen utama ke-2 dengan syarat berkorelasi linier nihil dengan yang pertama dan memiliki ragam individu terbesar. Komponen utama ke-2 ini memberikan informasi terbesar sebagai pelengkap komponen utama pertama. Proses ini berlanjut terus sehingga diperoleh komponen utama ke-p, dimana bagian informasi yang dapat dijelaskan semakin kecil. Analisis statitik ini dilakukan dengan menggunakan XLStat 2012 (evaluation).
  • 54. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 48 Litologi kawasan Belitung Timur yang mengandung pasir timah (Sr), kandungan Hg, pasir besi (Fe), tembaga (Cu) dan kaolin (Ca) pengaruhi kandungan pada substrat tanah. Kandungan logam ini mempengaruhi perairan darat sekitar dan juga tertransport ke sungai. Ini menjadi potensi kontaminasi logam berat yang patut diwaspadai. Maka diadakanlah riset untuk antisipasi dampak pada masyarakat Gambar 2. Peta Plotting Stasiun Pengukuran Parameter Air Sungai Manggar, 2013 Variabel data tersebut dipilih karena perannya penting dalam mengidentifikasi berbagai parameter air sungai, dan biota di dalamnya. Serta dalam penentuan titik sampling berdasar jenis litologi di daratan sumber dan kesesuaian lahan. Stasiun K Stasiun H
  • 55. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 49 Kualitas Perairan Sungai Manggar Musim Barat dan Musim Timur Hasil pemantauan kualitas air sungai yang dilakukan Kantor Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kabupaten Belitung Timur pada Sungai Manggar tahun 2012 menunjukkan parameter DO pada pengambilan musim peralihan dari musim barat ke musim timur menunjukkan nilai Do untuk seluruh bagian sungai dari hulu ke hilir dibawah buku mutu 4 mg/L yaitu sebesar 3 mg/L. Penelitian mengenai kondisi eksisting (kualitas perairan) kawasan Sungai Manggar perlu dilakukan. Selain itu keberadaan biota di perairan sungai dan muara serta kandungan proksimat terkait erat dengan bioakumulasi biota terhadap suatu unsur seperti logam berat perlu dianalisa. Kemudian ditindaklanjuti dengan daya dukung perairan tersebut dalam mengakomodir kegiatan yang berbasis ekosistem berkelanjutan yang akan dilakukan serta terkait erat dengan kesehatan masyarakat. Pengukuran Parameter Fisik Air Sungai Manggar ( survei Maret 2013) Tabel 1. Hasil statistik deskriptif Sungai Manggar bulan Maret 2013 (data in situ) Parameter Minimum Maksimum Rata-rata Standart deviasi pH 4.57 8.093333 5.737056 1.147558 DO (mg/L) 3.883333 6.57 5.295556 0.565403 Konduktifitas (mS/m) 0.102 38.76667 9.817398 11.77315 Turbiditas (NTU) 0 24.63333 11.44407 5.796755 Temperatur (⁰C) 26.6 30.6 27.87963 1.179517 Salinitas (PSU) 0 28.86667 5.002778 9.401311 Sigma-t 0 16.93333 2.268519 5.566032 TDS (g/L) 0 0 0 0 Klorofil-a (µg/L) 0 0.6 0.035185 0.141177 Kecerahan 0.2 1.2 0.523333 0.265159 Kedalaman 1 5.5 2.538462 1.298421
  • 56. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 50 Pengukuran Parameter Fisik Air Sungai Manggar (survei Oktober 2013). Tabel 2. Hasil analisa statistik deskriptif Sungai Manggar Oktober 2013 (data in situ) Parameter Minimum Maksimum Rerata Standar deviasi pH 7 7,5 7,072609 0,099919 DO (mg/L) 4,64 6,99 5,818261 0,60911 Konduktifitas (mS/m) 3,48 22,7 5,183043 3,826389 Turbiditas (NTU) 7 18,3 10,06957 2,767742 Temperatur ( C) 30 32 31,07391 0,544574 Salinitas (PSU) 0,1 32 27,83913 6,508019 Sigma t 0 17,8 16,20435 3,833285 Tabel 1 dan 2 memperlihatkan sebaran nilai secara deskriftif rerata dari 23 stasiun pengamatan. Nilai parameter yang terukur umumnya memiliki nilai standar deviasi yang bervariasi dikarenakan dua waktu pengambilan yang berbeda yaitu musim peralihan I yaitu dari musim barat ke musim timur (Maret 2013) dan musim peralihan II yaitu dari musim timur ke musim barat (Oktober 2013). Nilai standar deviasi yang cukup signifikan terlihat memiliki nilai besar pada parameter konduktivitas bulan Maret. Ini menunjukkan ada nilai pengukuran pada satu atau beberapa stasiun yang yang berbeda atau tidak seragam (pencilan), dapat dilihat rentangan nilai yang cukup jauh antara nilai minimum dan nilai maksimum dari parameter tersebut.
  • 57. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 51 Gambar 3. Peta plot titik survei sungai Manggar 2013 dan perairan darat sekitar serta arah aliran dari sumber material pengisi Sungai manggar dan sekitar Area Tamban g Area Muara/ Estuari
  • 58. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 52 Pengukuran Parameter Fisik Air Sungai Manggar Kompilasi Hasil Ukur pada bulan Maret dan Oktober 2013. Kualitas perairan fisika Kualitas perairan fisika yang terukur dijelaskan satu persatu sebagai berikut : Temperatur Suhu merupakan salah satu faktor pembatas bagi ekosistem dan biota laut, perubahan suhu dapat mempengaruhi proses fisika, kimia dan biologi di badan air. Peningkatan suhu perairan dari suhu alami dapat menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air seperti O2 dan terjadi peningkatan kelarutan untuk gas CO2, N2 dan CH4 (Sanusi, 2006). Maret 2013. Suhu alami perairan pada lokasi penelitian di kawasan mangrove Manggar berkisar antara 26.6 – 33.9 ˚C dengan rata-rata pada semua 37 sampel dibagi: untuk spot kepiting 30.344±1.88˚C, Lokasi budidaya 30.807±0.55˚C dan suhu permukaan dari mulai hulu sungai Manggar sampai ke laut rata-rata 27.880±1.18˚C. Gambar 4. Sebaran temperatur di stasiun pengamatan bulan Maret 2013 (panel kiri) dan Oktober 2013 (panel kanan)
  • 59. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 53 Oktober 2015. Secara keseluruhan temperatur pada bulan Oktober 2013 berkisar antara 30 – 32⁰C dengan rerata 31,074±0,549 ⁰C. Sebaran temperatur perstasiun pada bulan Oktober 2013 dapat dilihat pada Gambar 4 bagian kanan. Gambar 5. Peta Sebaran Temperatur Air Sungai Manggar bulan Maret (kiri) dan bulan Oktober (kanan) Turbiditas Maret 2013. Nilai kekeruhan atau turbiditas yang terukur pada lokasi penelitian berkisar 0 (nol) di stasiun K2 hingga 25 pada titik survei S5. Pada Gambar 6 terlihat lokasi tertinggi tingkat kekeruhan ini terletak di sekitar pelabuhan Kaolin. Hipotesa kami penyebabnya karena larutan sedimen lepas Kaolin dan kandungan sedimen darat yang tertransport air hujan lalu bercampur di lokasi ini. Lokasi memang pertemuan beberapa sungai. Oktober 2013. Nilai kecerahan yang terukur pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 6, pada bulan Oktober titik terendah angka Turbiditas: 7 pd stasiun H7 dan tertinggi 18 pada stasiun K7. Nilai kecerahan suatu perairan terkait erat dengan faktor intensitas cahaya yang masuk dan banyak sedikitnya partikel/padatan tersuspensi (TSS) yang berada di badan air. Kecerahan perairan berhubungan erat dengan kemampuan produsen di perairan seperti fitoplankton, ataupun tumbuhan makro yang berada di kolom air seperti makro alga dan lamun untuk melakukan fotosintesis.
  • 60. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 54 Gambar 6. Grafik Turbiditas air Kualitas perairan kimia Kualitas perairan kimia yang terukur adalah pH, salinitas, DO dan sigma t. Penjelasan nilai parameter kimia terkait erat dengan kondisi eksisting dan kualiats air sungai tersebut dijelaskan satu persatu di bawah ini. Derajat keasaman (pH) Kualitas air kolong secara fisika dan kimia. Pengukuran pH dilakukan pada beberapa aliran asam tambang dari tambang aktif, yang mempengaruhi pH air beberapa kolong. Pada Gambar 7 ditampilkan hasil pengelompokan kolong dan aliran asam tambang (Acid Mine Drainage (AMD)) berdasarkan pH menggunakan analisis statistik Principle Component Analyses (PCA). Hasil pengukuran, aliran asam tambang yang merupakan air buangan tambang mempunyai kisaran pH 2–3, terutama pada area yang didominasi oleh mineral pirit. Kolong muda di area yang didominasi oleh mineral pirit/mineral sulfida lainnya mempunyai air dengan nilai pH sangat rendah (2–3), sedang kolong muda di area yang didominasi oleh mineral kaolin nilai pH lebih tinggi (4,5 – 6). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tidak semua kolong muda mempunyai pH < 4 dan tidak semua kolong tua mempunyai pH >5. Namun demikian, persentase kolong tua dengan pH>5 tetap lebih besar dibandingkan kolong-kolong baru.
  • 61. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 55 Gambar 7. Grafik pH titik air Kolong-kolong yang diteliti pada penelitian ini umumnya mempunyai kisaran pH 5 – 6 terutama untuk kolong yang sudah berumur >10 tahun. Kolong yang mempunyai pH < 5 umumnya kolong muda dan sebagian kecil dari kolong yang sudah tua (> 20 tahun). Diketahui bahwa tipe mineral dominan area penambangan merupakan salah satu faktor penentu pH air buangan tambang atau air danau bekas tambang. Berdasarkan hasil survei hampir semua area mempunyai tipe tanah dasar pasir yang dominan bercampur dengan mineral ikutan. Mineral dominan seperti pirit (FeS2). Gambar 8. Peta Sebaran PH Air Sungai Manggar bulan Maret (kiri) dan bulan Oktober (kanan) Kelas 1, 2, 3 dan 4
  • 62. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 56 Salinitas Salinitas air sungai Manggar pada bulan Oktober relatif stabil dan reratanya tidak ekstrim, pada kisaran 30 dengan nilai terendah 22 dan tertinggi 32. Gambar 9. Grafik Salinitas air Pada bulan Maret salinitas di stasiun pengamatan amat bervariasi, mulai mayoritas 0 hingga 29, sementara pada bulan Oktober stabil pada kisaran 22- 33. Ini dimungkinkan oleh musim hujan pada bulan Maret yang menurunkan kadar garam air sungai Manggar. Gambar 10. Peta Sebaran Salinitas Air Sungai Manggar bulan Maret(kiri) dan bulan Oktober(kanan)
  • 63. Ekonomi Biru Sumberdaya Pesisir (ISBN 978-602-9086-40-9/e-ISBN 978-602-9086-41-6) 57 Dissolved Oxygen (DO) Gambar 11. Grafik DO titik air Oksigen terlarut atau DO adalah berapa besar gas oksigen yang terlarut dalam badan air. Sanusi (2006) mengatakan bahwa gas-gas yang masuk ke dalam air laut secara difusi berdasarkan perbedaan tekanan parsial gas terbagi atas dua kelompok, yaitu kelompok gas-gas yang bersifat reaktif atau non konservatif dan kelompok gas-gas yang bersifat non reaktif atau konservatif. Gas oksigen (O2) merupakan kelompok gas-gas reaktif bersama dengan gas CO2, N2, CH4, H2S dan NH3. Gas-gas reaktif utama yang terlibat dalam proses biologi maupun siklus biogeokimia ada tiga yaitu O2, CO2 dan N2. Kualitas perairan dengan logam terlarut Logam terlarut yang dianalisa di laboratorium adalah merkuri (Hg), Arsen (As), tembaga (Cu) dan Timbal (Pb). Keberadaan logam berat ini dalam perairan di lokasi penelitian Sungai Manggar konsentrasinya memiliki nilai ambang batas untuk biota yang hidup di dalamnya sesuai dengan Kepmenneg LH no 82 tahun 2001. Logam berat dari lima jenis di atas adalah termasuk golongan logam inorganik yang keberadaannya secara alami sangat rendah (trace metal). Dimana terbagi atas kelompok logam berat yang bersifat esensial (yang dibutuhkan biota) yaitu Cu dan non esensial Hg, As, Cd dan Pb. Elemen esensial maupun non esensial dalam perairan perlu diketahui karena jika terjadi peningkatan konsentrasinya dalam perairan dapat bersifat toksin bagi biota bahkan manusia. Kelas 2 Kelas 1