SlideShare a Scribd company logo
1 of 8
Download to read offline
Masukan ELSAM terhadap RPM Kominfo tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif  1
	
	
	
TANGGAPAN	DAN	MASUKAN	ELSAM	TERHADAP	RANCANGAN	PERATURAN	
MENTERI	KOMUNIKASI	DAN	INFORMATIKA	(KOMINFO)	
TENTANG	PENANGANAN	SITUS	INTERNET	BERMUATAN	NEGATIF	
		
	
	
Diajukan	kepada:		
	
Direktorat	e‐Business,	Direktorat	Jendral	Aplikasi	Informatika	
Kementerian	Komunikasi	dan	Informatika	Republik	Indonesia		
	
	
Menindaklanjuti	 hasil	 kelompok	 diskusi	 terfokus	 (FGD)	 mengenai	 penanganan	 situs	
internet	 bermuatan	 negatif	 yang	 diselenggarakan	 oleh	 Kementrian	 Komunikasi	 dan	
Informatika	(Kemkominfo),	pada	tanggal	3	April	2014,	yang	membuka	kesempatan	bagi	
institusi	yang	hadir	untuk	memberikan	masukan	tertulis,	bersama	ini,	Lembaga	Studi	dan	
Advokasi	Masyarakat	(ELSAM)	menyampaikan	beberapa	poin	masukan	dan	tanggapan	
terhadap	 Rancangan	 Peraturan	 Menteri	 (RPM)	 Kominfo	 tentang	 Penanganan	 Situs	
Internet	Bermuatan	Negatif	(draft	per	3	April	2014).		
	
Adapun	poin‐poin	tanggapan	dan	masukan	tersebut	adalah	sebagai	berikut:		
	
I. Penapisan	dan	pemblokiran	(filtering	and	blocking)	konten	internet	sebagai	
bentuk	 pengurangan	 hak	 atas	 kebebasan	 berekspresi	 dan	 memperoleh	
informasi	warga	negara:		
	
a. Praktik	penapisan	dan	pemblokiran	(filtering	and	blocking)	yang	diatur	di	
dalam	RPM	ini	merupakan	bentuk	pengurangan	terhadap	pelaksanaan	hak	
asasi	 manusia,	 terutama	 hak	 atas	 kebebasan	 berekspresi	 dan	 hak	
memperoleh	informasi	yang	dijamin	UUD	1945.		
	
Berdasarkan	 standar	 hukum	 hak	 asasi	 manusia	 internasional, 1 	maupun	
ketentuan	hukum	nasional,	sebagaimana	diatur	ketentuan	Pasal	28J	ayat	(2)	UUD	
1945,	 perumusan	 cakupan	 pengurangan	 hak,	 hanya	 dimungkinkan	 dilakukan	
melalui	pengaturan	dalam	Undang‐undang	dan	bukan	peraturan	teknis	setingkat	
peraturan	 pemerintah,	 apalagi	 peraturan	 Menteri. 2 		 Lebih	 lanjut	 pengaturan	
tersebut	juga	tunduk	pada	keharusan	merumuskan	secara	limitatif	dan	definitif	
mengenai	batasan	pengurangan	yang	secara	hukum	dapat	dibenarkan,	termasuk	
di	dalamnya	perumusan	daftar	yang	bersifat	tertutup	(exhausted	list),	dan	bukan	
list	 dan	 rumusan	 terbuka	 yang	 setiap	 saat	 dapat	 di	 re‐intepretasikan	 oleh	
pembuat	 kebijakan	 (dalam	 hal	 ini	 pemerintah).	 Hal	 ini	 dimaksudkan	 untuk	
																																																								
1
Lihat Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR), khususnya ketentuan Pasal 19, yang telah disahkan
Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005. Secara detail prinsip-prinsip mengenai pembatasan tersebut kemudiaan
diatur di dalam Prinsip Siracusa mengenai Pembatasan Hak-hak dalam ICCPR.
2
Lebih lanjut, diuraikan dalam ELSAM, Tata Kelola Internet yang berbasis Hak, “ Studi tentang permasalahan umum
Tata Kelola Internet dan dampaknya terhadap Perlindungan HAM” dapat diakses pada
http://www.elsam.or.id/downloads/389032_Briefing_Paper_1_TATA_KELOLA_INTERNET_dan_HAM.pdf
Masukan ELSAM terhadap RPM Kominfo tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif  2
mencegah	 penyalahgunaan	 kewenangan	 dari	 kekuasaan	 pembatasan	 yang	
diberikan.3		
	
Lebih	 jauh,	 dalam	 konteks	 hukum	 hak	 asasi	 manusia	 internasional,	 yang	
dimaksud	 dengan	 penapisan/pemblokiran	 konten	 interney	 adalah	 tindakan‐
tindakan	yang	dilakukan	untuk	mencegah	konten	tertentu	mencapai	pengguna	
akhir.	 Hal	 tersebut	 meliputi	 pencegahan	 pengguna	 dalam	 mengakses	 laman	
khusus,	Internet	Protocol	(IP),	alamat,	ekstensi	nama	domain,	penutupan	laman	
dari	laman	server	di	mana	mereka	menempatinya,	atau	menggunakan	teknologi	
filter	untuk	membuang	halaman‐halaman	yang	mengandung	kata	kunci	tertentu	
atau	memblok	konten	tertentu	agar	tidak	bisa	muncul.4	
	
Dalam	banyak	kasus,	pembatasan,	pengawasan,	manipulasi	dan	sensor	konten	
internet	telah	dilakukan	oleh	negara	tanpa	dasar	hukum,	atau	meski	berdasarkan	
hukum,	namun	aturannya	terlalu	luas	dan	ambigu.	Selain	itu	tindakan	tersebut	
juga	seringkali	dilakukan	tanpa	adanya	pembenaran	tujuan	atau	dengan	cara	yang	
jelas‐jelas	tidak	perlu	dan/atau	tidak	seimbang	dalam	mencapai	tujuan.	Tindakan	
sensor	 terhadap	 konten	 internet,	 dalam	 bentuk	 penapisan	 dan	 pemblokiran	
dengan	 menggunakan	 teknologi	 tertentu	 adalah	 suatu	 tindakan	 pelanggaran	
terhadap	 hak	 atas	 kebebasan	 berekspresi.	 Tindakan‐tindakan	 tersebut	 benar‐
benar	tidak	sesuai	dengan	kewajiban	negara	di	bawah	hukum	hak	asasi	manusia,	
dan	sering	menciptakan	“chilling	effect”	atau	efek	ketakutan	yang	besar	terhadap	
kebebasan	berpendapat	dan	berekspresi.	
	
Merujuk	 pada	 batasan‐batasan	 tersebut,	 jika	 suatu	 tindakan	 penapisan	 dan	
pemblokiran	 konten	 diatur	 dalam	 wadah	 pengaturan	 yang	 tidak	 tepat,	 maka	
tindakan	 tersebut	 justru	 masuk	 dalam	 kategori	 pelanggaran.	 Secara	 detail	
tindakan	 penapisan	 dan	 pemblokiran	 yang	 dianggap	 sewenang‐wenang	 dan	
termasuk	 pelanggaran	 hak	 asasi	 adalah	 jika	 kategorinya	 berikut	 ini:	 Pertama,	
kondisi	khusus	yang	membenarkan	pemblokiran	tidak	terdapat	dalam	hukum,	
atau	diatur	oleh	hukum	namun	pengaturannya	sangat	luas	dan	tidak	langsung,	
sehingga	 menyebabkan	 pemblokiran	 konten	 secara	 luas	 dan	 semena‐mena;	
Kedua,	 pemblokiran	 tidak	 dilakukan	 untuk	 memenuhi	 tujuan	 yang	 dijelaskan	
Pasal	 19	 ayat	 (3)	 ICCPR,	 dan	 daftar	 pemblokiran	 secara	 umum	 dirahasiakan	
sehingga	sulit	untuk	ditentukan	apakah	akses	ke	konten	yang	dibatasi	tersebut	
dilakukan	demi	tujuan	yang	benar;	Ketiga,	bahkan	ketika	pembenaran	terhadap	
pemblokiran	dilakukan,	tindakan	pemblokiran	telah	menciptakan	alat‐alat	yang	
tidak	perlu	dan	tidak	sesuai	untuk	mencapai	tujuan,	karena	tindakan	tersebut	
sering	tidak	mempunyai	tujuan	yang	cukup	untuk	dilakukan	dan	menyebabkan	
konten	 tidak	 bisa	 diakses	 karena	 dianggap	 ilegal;	 dan	 Keempat,	 pemblokiran	
dilakukan	 tanpa	 adanya	 intervensi	 atau	 kemungkian	 pengujian	 kembali	 oleh	
sebuah	pengadilan	atau	badan	independen.5	
	
Oleh	 karena	 itu,	 apabila	 pemerintah	 hendak	 mengeluarkan	 peraturan	 yang	
sifatnya	teknis,	setingkat	peraturan	menteri,	semestinya	hanya	mengatur	materi	
yang	sifatnya	teknis	dan	bukan	menentukan	cakupan	apa	yang	dilarang/dibatasi	
(dimaksud	 dengan	 konten	 negatif	 dalam	 istilah	 RPM	 ini).	 Lebih	 lanjut,	
																																																								
3
Untuk kajian mengenai praktek-praktek pembatasan dan kontrol yang tidak sesuai dengan standar ini dan dampak
kerugian bagi warga negara, lebih jauh diuraikan dalam, ELSAM, Membelenggu Ekspresi: Studi kasus mengenai
praktik pemblokiran/penyaringan konten internet dan kriminalisasi pengguna internet di Indonesia, 2014, dapat diakes
pada laman
http://www.elsam.or.id/downloads/933273_Membelenggu_Ekspresi_Studi_Kasus_Penerapan_UU_ITE.pdf
4
Lihat A/HRC/17/27, paragraf 29, dapat diakses di http://www2.ohchr.org/english/bodies/hrcouncil/docs/17session/
A.HRC.17.27_en.pdf.
5
Lihat Ibid., paragraf 31.
Masukan ELSAM terhadap RPM Kominfo tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif  3
pembatasan	 dengan	 mendasarkan	 pada	 ketertiban	 umum,	 moral	 publik	 dan	
keamanan	negara	tidak	lagi	dapat	dipergunakan	secara	fleksibel,	dalam	standar	
tersebut	 juga	 harus	 dirumuskan	 secara	 rigid,	 batasan	 dan	 cakupannya,	 yang	
secara	limitatif	harus	dirumuskan	dalam	Undang‐undang.	Hal	ini	dimaksudkan	
untuk	menghindarkan	adanya	kesewenangan	dari	pemerintah	atau	badan‐badan	
negara	 dalam	 mengurangi	 hak	 asasi	 warga	 negara.	 Secara	 khusus	 Indonesia	
terikat	dalam	kewajiban	ini	dengan	diratifikasinya	Kovenan	Internasional	Hak‐
hak	Sipil	dan	Politik	melalui	UU	No.	12	Tahun	2005.		
	
Rekomendasi:		
	
(1) Menghapus	Pasal	3:	Ruang	lingkup	Peraturan	Menteri	ini,	poin	a	“penentuan	
situs	 internet	 bermuatan	 yang	 perlu	 ditangani”,	 karena	 rumusan	 ini	
melampau	 kewenangan	 aturan	 pelaksanaan	 teknis	 setingkat	 peraturan	
Menteri.		
(2) Menyesuaikan	rumusan	cakupan	peraturan	Menteri	dengan	batasan	standar	
pembatasan	Hak	sebagaimana	berlaku	terkait	dengan	hak	atas	kebebasan	
berekspresi	dan	memperoleh	informasi	yang	diatur	dalam	UUD	1945	dan	UU	
No.	39	Tahun	1999	tentang	HAM.	
	
b. Pemerintah	 hanya	 berwenang	 melakukan	 pemblokiran	 konten	 internet	
yang	mengandung	muatan	pornografi.	Hal	ini	sebagaimana	termaktub	di	
dalam	peraturan	perundang‐undangan	terkait	berikut	ini:	
	
Peraturan	perundang‐undangan	yang	secara	tegas	memberikan	kewenangan	bagi	
pemerintah	 untuk	 melakukan	 pemblokiran	 konten	 internet,	 adalah	 ketentuan	
Pasal	18	UU	No.	44	Tahun	2008	tentang	Pornografi,	yang	menyebutkan:	“Untuk	
melakukan	 pencegahan	 sebagaimana	 dimaksud	 dalam	 Pasal	 17,	 Pemerintah	
berwenang:	 a.	 melakukan	 pemutusan	 jaringan	 pembuatan	 dan	 penyebarluasan	
produk	pornografi	atau	jasa	pornografi,	termasuk	pemblokiran	pornografi	melalui	
internet”.	Sementara	ketentuan	perundang‐undangan	yang	lain,	termasuk	UU	No.	
11	Tahun	2008	tentang	Informasi	dan	Transaksi	Elektronik,	tidak	secara	eksplisit	
memberikan	 kewenangan	 bagi	 pemerintah	 untuk	 melakukan	 penapisan	 dam	
pemblokiran	konten	internet,	termasuk	terhadap	konten‐konten	yang	dilarang	
sebagaimana	diatur	dalam	ketentuan	Pasal	27‐Pasal	29	UU	ITE.	
	
Apabila	 dasar	 yang	 digunakan	 oleh	 pemerintah	 untuk	 merumuskan	 RPM	 ini	
adalah	 ketentuan	 Pasal	 40	 ayat	 (2)	 UU	 ITE,	 yang	 menyebutkan:	 “Pemerintah	
melindungi	 kepentingan	 umum	 dari	 segala	 jenis	 gangguan	 sebagai	 akibat	
penyalahgunaan	 Informasi	 Elektronik	 dan	 Transaksi	 Elektronik	 yang	
mengganggu	ketertiban	umum,	sesuai	dengan	ketentuan	Peraturan	Perundang‐
undangan”,	maka	tidak	tepat	pula	jika	kewenangan	pemblokiran	konten	internet	
diperluas	 tidak	 hanya	 terhadap	 konten	 pornografi.	 Mengapa	 demikian?	 Oleh	
karena	 peraturan	 perundang‐undangan	 yang	 memberikan	 kewenangan	
pemblokiran	 konten	 bagi	 pemerintah	 hanyalah	 ketentuan	 UU	 Pornografi,	
sementara	yang	lain	tidak	ada.	
	
Lalu	apakah	terhadap	konten‐konten	yang	dilarang	lainnya,	yang	masuk	kategori	
kejahatan	menurut	Pasal	27‐Pasal	29	UU	ITE	tidak	dapat	dilakukan	pemblokiran?	
Dapat,	 sepanjang	 memenuhi	 kaidah	 prosedur	 pidana	 yang	 diatur	 UU	 ITE.	
Terhadap	konten‐konten	yang	dilarang	sebagaimana	diatur	ketentuan	UU	ITE,	
kategorinya	 adalah	 tindak	 pidana,	 yang	 penanganannya	 juga	 secara	 pidana,	
bukan	lagi	penanganan	administratif.	Oleh	sebab	itu,	jika	diperlukan	pemblokiran	
terhadap	konten‐konten	dimaksud	maka	harus	merujuk	pada	ketentuan	Pasal	43
Masukan ELSAM terhadap RPM Kominfo tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif  4
UU	ITE.	Dalam	ketentuan	tersebut	Penyidik	PNS	yang	dibentuk	Kemenkominfo,	
salah	satunya	diberikan	wewenang	untuk	“melakukan	penyegelan	dan	penyitaan	
terhadap	 alat	 dan	 atau	 sarana	 kegiatan	 Teknologi	 Informasi	 yang	 diduga	
digunakan	secara	menyimpang	dari	ketentuan	Peraturan	Perundang‐undangan”.6	
Artinya,	jika	PPNS	tidak	memerlukan	adanya	pemblokiran	terhadap	konten	yang	
menjadi	sarana	kejahatan,	maka	pemblokiran	oleh	pemerintah—Kemenkominfo	
pun	tidak	bisa	dilakukan.	Penyegelan/penyitaan/pemblokiran	tersebut	sifatnya	
sementara,	 ‘pemblokiran	 tetap’	 hanya	 bisa	 dilakukan	 atas	 perintah	 dari	
pengadilan,	ketika	pengadilan	memutus	bersalah	subjek	hukum	yang	melakukan	
pelanggaran	 berdasar	 ketentuan	 UU	 ITE.	 Apabila	 pengadilan	 memutus	
sebaliknya,	atau	PPNS	melakukan	penghentian	penyidikan	sebagaimana	diatur	
ketentuan	Pasal	43	huruf	i,	maka	konten	yang	diblokir	harus	segera	dipulihkan	
atau	dalam	istilah	RPM	dilakukan	normalisasi.	
	
Rekomendasi:	
	
(1) Apabila	 RPM	 akan	 dilanjutkan	 proses	 pembahasannya	 untuk	 disahkan	
menjadi	Peraturan	Menteri	Kominfo,	maka	ruang	lingkup	kewenangan	untuk	
melakukan	 pemblokiran	 konten	 internet	 harus	 dipersempit	 hanya	 pada	
konten	pornografi.		
(2) Apabila	 konten‐konten	 lain	 yang	 dilarang	 sebagaimana	 dimaksud	 UU	 ITE,	
akan	 diatur,	 maka	 pengaturannya	 haruslah	 merupakan	 pengaturan	 yang	
sifatnya	sangat	teknis,	yang	prosesnya	merupakan	turunan	dari	yang	diatur	
oleh	 ketentuan	 Pasal	 43	 UU	 ITE	 (permintaan	 dari	 PPNS	 atau	 perintah	
pengadilan).	Mekanismenya	harus	dibedakan	dengan	penanganan	terhadap	
konten	 pornografi,	 yang	 kewenangan	 pemblokirannya	 memang	 ada	 pada	
pemerintah.	
	
II. Penapisan	dan	pemblokiran	sebagai	bentuk	pembatasan	terhadap	hak	asasi	
manusia	semestinya	menjadi	wewenang	negara	atau	perangkat	negara.	RPM	
memberikan	hak	tersebut	kepada	masyarakat	melalui		beberapa	pasal	yakni:		
	
a. Pemberian	wewenang	pada	masyarakat,	sebagaimana	disebutkan	dalam	
ketentuan	Pasal	7	RPM,	yang	menyebutkan:	“Masyarakat	dapat	ikut	serta	
menyelenggarakan	layanan	pemblokiran	dengan	memuat	…”.		
	
Perumusan	 masyarakat	 sangat	 luas	 dan	 tidak	 ada	 penjelasan	 definitif	 lebih	
lanjut	 siapa	 yang	 disebut	 sebagai	 masyarakat,	 apakah	 individu	 perorangan,	
kelompok,	badan	usaha	atau	bentuk	lain.		
	
Selain	itu,	bila	masyarakat	diijinkan	melalukan	praktik	pemblokiran	mandiri,	
bagaimana	 mekanisme	 kontrol	 dan	 akuntabilitasnya,	 khususnya	 bila	 terjadi	
penyalahgunaan?	 Bagaimana	 menjamin	 perlindungan	 korban,	 khususnya	
kelompok‐kelompok	 rentan	 dari	 praktik	 pemblokiran	 sepihak	 ini?	 	 Sebagai	
contoh,	 kelompok‐kelompok	 minoritas	 keagamaan	 yang	 selama	 ini	 menjadi	
target	aksi	sepihak	dari	kelompok	intoleran,	kelompok	transgender,	dan	LBGT	
yang	 secara	 hukum	 hak	 asasinya	 diakui,	 tapi	 dalam	 beberapa	 kasus	 menjadi	
subjek	salah	blokir.	Ruang	ini	tentu	akan	menjadi	alat	legitimasi	dan	legalisasi	
bagi	tindakan	kelompok	masyarakat	tertentu	terhadap	kelompok	masyarakat	
yang	 lain	 untuk	 melakukan	 tindakan	 pemblokiran	 konten,	 dengan	
mengatasnamakan	penanganan	konten	negatif.		
																																																								
6
Lihat Pasal 43 huruf g UU Informasi dan Transaksi Elektronik.
Masukan ELSAM terhadap RPM Kominfo tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif  5
Meski	terlihat	demokratis	dengan	memberikan	ruang	partisipasi	pada	warga	
negara/kelompok	 masyarakat,	 pengaturan	 ini	 secara	 prinsip	 bertentangan	
dengan	hak	asasi	manusia,	khususnya	ketentuan	Pasal	28I	ayat	(4)	UUD	1945,	
yang	 secara	 jelas	 merujuk	 pada	 kewenangan	 dan	 otoritas	 negara	 dan	 bukan	
entitas	 privat	 (anggota	 masyarakat).	 Disebutkan,	 “Perlindungan,	 pemajuan,	
penegakan,	dan	pemenuhan	hak	asasi	manusia	adalah	tanggung	jawab	negara,	
terutama	pemerintah”.	
	
Rekomendasi:		
	
Pasal	 7	 yang	 memberikan	 kewenangan	 kepada	 masyarakat	 secara	 mandiri	
untuk	menyelenggarakan	layanan	pemblokiran	dihapuskan.		
	
b. Pemberian	 wewenang	 pemblokiran	 bagi	 Penyelenggara	 Jasa	 Akses	
Internet,	 sebagaimana	 diatur	 ketentuan	 Pasal	 8	 ayat	 (2)	 RPM,	 yang	
menyebutkan	 pemblokiran	 sebagaimana	 dimaksud	 dalam	 ayat	 1	 dapat	
dilakukan	 sebagai	 berikut:	 (a)	 pemblokiran	 mandiri;	 (b)	 pemblokiran	
oleh	pihak	lain	yang	menyediakan	layanan	pemblokiran.		
	
Pemberian	 kewenangan	 pemblokiran	 kepada	 penyedia	 jasa	 akses	 internet	
secara	mandiri	berpotensi	membenarkan	terjadinya	pemutusan	akses	informasi	
di	luar	kontrol	negara.	Perumusan	pasal	ini	memberikan	pembenaran	hukum	
pada	 praktik	 pemblokiran	 sepihak	 oleh	 penyedia	 akses	 tanpa	 proses	 yang	
akuntabel	dan	transparan.	Hal	ini	jelas	tidak	sesuai	dengan	standar	Hak	Asasi	
Manusia	 yang	 berlaku	 dan	 dijamin	 dalam	 UU	 No.	 39	 Tahun	 1999.	 Selain	 itu	
praktik	 ini	 berpotensi	 merugikan	 pengguna/konsumen	 yang	 secara	 sepihak	
mengalami	pemutusan	akses	informasi.	
	
Bagi	 penyelenggara	 jasa	 akses	 internet	 sendiri,	 pemberian	 wewenangan	 ini	
sesungguhnya	juga	merugikan,	terutama	bila	dilihat	dari	pertimbangan	bisnis.	
Tindakan	pemblokiran	yang	dilakukan	secara	mandiri	oleh	penyelenggara	jasa	
akses	 internet	 akan	 membuka	 banyak	 celah	 gugatan	 hukum	 dari	 konsumen,	
yang	tentu	akan	memberikan	banyak	kerugian	bagi	penyelenggara	jasa	akses	
intenter	itu	sendiri.	
	
Rekomendasi:		
	
(1) Pembatasan	cakupan	pemblokiran	yang	limitatif	sesuai	dengan	rumusan	
yang	dibenarkan	oleh	ketentuan	peraturan	perundang‐undangan.	
(2) Pengaturan	 yang	 lebih	 rinci	 mengenai	 detail	 prosedur	
penapisan/pemblokiran	yang	dilakukan	ISP	untuk	menjamin	akuntabilitas	
dan	 transparansi	 sebagai	 bagian	 dari	 perlindungan	 hak	
konsumen/pengguna,	yang	merupakan	turunan	dari	ketentuan	perundang‐
undangan,	 baik	 UU	 Pornografi	 (tanpa	 proses	 pidana),	 maupun	 UU	 ITE	
(proses	pidana).		
	
III. Sejumlah	 kelemahan	 yang	 terkait	 dengan	 rumusan‐rumusan	 ketentuan	 di	
dalam	RPM,	sebagai	berikut:	
	
a. Rumusan	“konten	negatif”	
	
RPM	merumuskan	cakupan	pengaturan	dengan	sangat	luas	dan	kurang	spesifik.	
Sebagai	 peraturan	 teknis,	 sebenarnya	 RPM	 ini	 merupakan	 aturan	
pelaksanaan/delegasi	 dari	 UU	 yang	 mana?	 Bila	 yang	 dirujuk	 adalah	 UU	 ITE
Masukan ELSAM terhadap RPM Kominfo tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif  6
(sebagaimana	diutarakan	pihak	KOMINFO	dalam	FGD	tgl	3/4/201),	tidak	terdapat	
rujukan	‘konten	negatif’	dalam	UU	tersebut.			
	
Apabila	 merujuk	 pada	 UU	 ITE	 maka	 sebagai	 peraturan	 pelaksanaan	 semestinya	
Rancangan	 Permen	 ini	 merujuk	 pada	 pasal‐pasal	 larangan	 dalam	 UU	 ITE,	 yang	
secara	limitatif	membatasi		rumusan	larangan	terkait	(Pasal	27‐Pasal	29	UU	ITE),	
atau	jika	merujuk	pada	perintah	UU	Pornografi,	sebagaimana	telah	disinggung	di	
atas,	maka	RPM	ini	hanya	mengatur	konten	pornografi.	Pemberian	kewenangan	di	
dalam	RPM	ini,	bertentangan	dengan	prinsip	umum	hierarki	peraturan	perundang‐
undangan	 (UU	 No.	 12	 Tahun	 2011)	 dimana	 peraturan	 pelaksanaan	 tidak	 boleh	
melampaui	 kewenangan	 UU	 yang	 mendasarinya.	 Dengan	 rumusan	 tersebut,	
pelaksana	 memiliki	 kekuatan	 yang	 jauh	 lebih	 besar	 untuk	 merumuskan	 dan	
menentukan	kegiatan	ilegal	yang	kemudian	disebut	sebagai	muatan	negatif	.	
	
Rekomendasi:		
	
Menyesuaikan/mengganti	rumusan	‘muatan	negatif’	dengan	rumusan	yang	ada	dan	
dikenal	dalam	ketentuan	peraturan	perundang‐undangan	(UU	Pornografi	atau	UU	
ITE).	 Sehingga	 RPM	 ini	 merupakan	 turunan	 prosedur	 dari	 dari	 prosedur	 yang	
diatur	dalam	kedua	undang‐undang	tersebut.		
	
b. Rumusan	“kegiatan	ilegal”	
	
Terkait	dengan	pengaturan	‘kegiatan	ilegal’	yang	terdapat	pada	Pasal	4	ayat	(1)	
huruf	c	RPM,	yang	menyebutkan,	mengenai	“kegiatan	ilegal	lainnya	…”,	dan	Pasal	4	
ayat	(2)	RPM,	rumusan	tentang	“kegiatan	ilegal”	mengandung	dua	kelemahan:		
	
1. UU	ITE	tidak	mengenal	‘kegiatan	ilegal’	sebagaimana	diatur	dalam	Rancangan	
Peraturan	Menteri	ini.	Dalam	penjelasan	lebih	lanjut	(Pasal	4	ayat	(2))	kegiatan	
ilegal	 adalah	 kegiatan	 yang	 pelaporannya	 berasal	 dari	 Kementerian	 atau	
Lembaga	Pemerintah	yang	berwenang.	Pasal	4	huruf	c	RPM	“kegiatan	illegal	
lainnya	berdasarkan	ketentuan	peraturan	perundang‐undangan”	memberikan	
kewenangan	dari	RPM	untuk	menentukan	cakupan	dan	apa	yang	dikategorikan	
sebagai	 ‘bermuatan	 negatif’	 dengan	 rumusan	 yang	 sangat	 luas	 dan	 tanpa	
batasan	yang	jelas.		
	
Rumusan	 ini	 justru	 semakin	 memperlebar	 batasan	 pengertian	 dengan	
menyerahkan	 intepretasi	 kegiatan	 ilegal	 berdasarkan	 kementerian	 atau	
lembaga	 pemerintah.	 Perumusan	 yang	 sedemikian	 fleksible	 dapat	
meningkatkan	potensi	terjadinya	penyalahgunaan	kewenangan	dengan	secara	
lentur	 melakukan	 intepretasi	 atas	 ‘perbuatan	 ilegal’	 rumusan	 ini	 jelas	
mempertinggi	tingkat	‘ketidakpastian	hukum’	khususnya	bagi	warga	negara/	
entitas	pengguna	internet	yang	menjadi	subyek	dari	peraturan	ini.		
	
Merujuk	pada	FGD	tgl	3/4/2014	diuraikan	mengenai	kebutuhan	perumusan	
ayat	 ini	 untuk	 mewadahi	 permintaan‐permintaan	 pemblokiran	 yang	 tidak	
termasuk	 dalam	 dua	 kategori	 tersebut	 tapi	 dipersepsikan	 meresahkan	
masyarakat	 (seperti	 dicontohkan	 dengan	 permintaan	 FPI	 melalui	 telepon	
kepada	pejabat	yang	bersangkutan	untuk	melakukan	pemblokiran	konten,	yang	
segera	dilakukan	pihak	kementerian	dengan	alasan	kemendesakan	karena	bila	
tidak	 dilakukan	 pemblokiran,	 FPI	 akan	 segera	 mengerahkan	 massa	 untuk	
melakukan	 tindakan	 sepihak).	 Dengan	 rujukan	 ini,	 ketentuan	 ayat	 ini	
berpotensi	 untuk	 menjadi	 ayat	 karet	 sehingga	 menimbulkan	 ketidakpastian	
hukum	dan	bahkan	menjadi	ancaman	bagi	warga	negara	karena	dapat	menjadi
Masukan ELSAM terhadap RPM Kominfo tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif  7
alas	hukum	pembenar	untuk	melakukan	pengurangan	hak	akibat	tekanan	dari	
pihak	ketiga	(alasannya	menjadi	suka	dan	tidak	suka).		
2. Secara	teknis,	rumusan	‘kegiatan	ilegal’	bukanlah	merupakan	diksi	yang	tepat	
dipergunakan	 dalam	 drafting	 ketentuan	 perundang‐undangan,	 apabila	 ingin	
merujuk	 pada	 tindakan	 yang	 dilarang	 sebaiknya	 merujuk	 langsung	 pada	
ketentuan	hukum	yang	dipergunakan	sebagai	acuan,	atau	apabila	merujuk	pada	
tindak	kejahatan	atau	perbuatan	melawan	hukum	juga	harus	mempergunakan	
cakupan	dan	rumusan	dari	ketentuan	UU	yang	dijadikan	acuan.		
	
Rekomendasi:		
	
Oleh	karena	itu,	ELSAM	merekomendasikan	menghilangkan	Pasal	4	ayat	(1)	huruf	
c	“kegiatan	illegal	…dst”,	dan	menghapus	Pasal	4	ayat	(2)	“kegiatan	ilegal	lainnya…”.	
				
IV. Pengaturan	mengenai	“pelaporan	mendesak”		
	
RPM	ini	merumuskan	pelaporan	mendesak	dengan	rumusan	yang	sangat	terbuka	
dan	 lentur	 sebagai	 diatur	 dalam	 Pasal	 10	 ayat	 (3)	 huruf	 e.	 mengenai	 “muatan	
lainnya	yang	berdampak	negatif	yang	menjadi	keresahan	masyarakat	secara	luas”.	
Perumusan	ini	memberikan	ruang	keluasan	yang	tidak	terbatas	pada	pemegang	
otoritas	 (unit	 teknis	 pelaksana	 tupoksi	 pemblokiran	 dalam	 Direktorat	 Jendral	
terkait)	untuk	menentukan	dan	berdasarkan	hal	tersebut	mengambil	langkah	cepat	
(1X24	 jam).	 Tanpa	 perumusan	 dan	 batasan	 yang	 tegas,	 rumusan	 semacam	 ini	
memberikan	ruang	intepretasi	dan	subjektifitas	yang	tinggi	tanpa	disertai	kontrol	
dan	mekanisme	akuntabilitas	yang	memadai.		
	
Rekomendasi:		
	
(1) menyesuaian	 dengan	 batasan	 dan	 standar	 pembatasan	 sebagaimana	 diatur	
dalam	UU	yang	dirujuk/diacu.	
(2) Menyesuaikan	dengan	batasan	standar	pembatasan	Hak	sebagaimana	berlaku	
terkait	dengan	hak	atas	kebebasan	berekspresi	dan	mendapatkan	informasi	
yang	diatur	dalam	UUD	1945	dan	UU	No	39	Tahun	1999	tentang	HAM.	
(3) Menghapus	 rumusan	 Pasal	 10	 ayat	 (3)	 huruf	 e	 RPM,	 karena	 cakupan	
kewenangan	 peraturan	 teknis	 melampaui	 rumusan	 dan	 cakupan	 peraturan	
perundangan	yang	lebih	tinggi	hierarkinya		(UU)	yang	dirujuk.		
	
V. Mekanisme	dan	prosedur	pembahasan	Rancangan	Peraturan	Menteri			
	
Mengingat	keluasan	dan	dampak	yang	ditimbulkan	dari	pemberlakuan	ketentuan	
teknis	 ini	 terhadap	 warga	 negara,	 proses	 pembahasan	 semestinya	 melibatkan	
konsultasi	publik	yang	luas	dengan	pemangku	kepentingan	maupun	subjek	yang	
akan	terkena	dampak	peraturan	ini.		
	
Upaya	melakukan	konsultasi	publik	dan	menjaring	masukan	ini	tidak	dapat	secara	
memadai	 dilakukan	 hanya	 dengan	 mencantumkan	 dalam	 website	 kementrian,	
mengingat	70%	pengguna	internet	hanya	terkonsentrasi	di	lima	kota	besar	di	Jawa	
dan	 Sumatera.	 Mekanisme	 ini	 jelas	 menutup	 akses	 yang	 memadai	 bagi	 warga	
negara	yang	tidak	memiliki	akses	internet.	Sementara	peraturan	ini	akan	berlaku	
bagi	seluruh	warga	negara	tanpa	terkecuali,	mereka	dianggap	tahu	segera	setelah	
diundangkan	(presumptio	iures	de	iure).	
	
Selain	itu,	proses	konsultasi	yang	luas	dan	upaya	menjaring	masukan	juga	tidak	
semestinya	dihentikan	karena	dipersepsikan	sebagai	sesuatu	yang	menghambat
Masukan ELSAM terhadap RPM Kominfo tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif  8
proses	 penyelesaian	 pembahsan	 RPM	 ini	 (sebagaimana	 diutarakan	 dalam	 FGD	
tanggal	3/4/2014).	Hal	ini	bertentangan	dengan	semangat	menjamin	partisipasi	
warga	 dalam	 proses	 pembuatan	 kebijakan	 sesuai	 dengan	 prinsip	 tata	 kelola	
pemerintahan	umum	yang	baik,	maupun	prinsip	tata	kelola	internet	itu	sendiri,	
yang	 menghendaki	 partisipasi	 multi‐pemangku	 kepentingan	 dalam	 setiap	
perumusan	kebijakan	yang	terkait	dengan	internet.		
	
Dalam	kaitan	itu,	ELSAM	merekomendasikan	keterlibatan	lembaga‐lembaga	dan	
pemangku	 kepentingan	 dalam	 proses	 pembahasan	 RPM	 ini,	 antara	 lain:	 (i)	
KOMNAS	 HAM;	 (ii)	 Komisi	 Informasi	 Pusat;	 (iii)	 Dewan	 Pers;	 (iv)	 Perwakilan	
media,	 khususnya	 media	 online;	 dan	 (v)	 organisasi	 jurnalis	 yang	 akan	 menjadi	
subjek	penerima	dampak	dan	manfaat	langsung	dari	penerapan	peraturan	ini.		
	
Demikian	 masukan	 ELSAM	 terhadap	 materi	 dan	 proses	 pembahasan	 RPM	 Kominfo	
tentang	Penanganan	Konten	Negatif,	untuk	dapat	digunakan	sebagaimana	mestinya.		
	
Jakarta,	5	April	2014	
Lembaga	Studi	dan	Advokasi	Masyarakat	(ELSAM),	
	
	
	
	
Indri	D.	Saptaningrum,	S.H.,	LL.M.		
Direktur	Eksekutif		
	
	
___________________________________________	
 
Lembaga	Studi	dan	Advokasi	Masyarakat	(Institute	for	Policy	Research	and	Advocacy),	
disingkat	ELSAM,	adalah	organisasi	advokasi	kebijakan,	berbentuk	Perkumpulan,	yang	
berdiri	 sejak	 Agustus	 1993	 di	 Jakarta.	 Tujuannya	 turut	 berpartisipasi	 dalam	 usaha	
menumbuhkembangkan,	memajukan	dan	melindungi	hak‐hak	sipil	dan	politik	serta	hak‐
hak	 asasi	 manusia	 pada	 umumnya—sebagaimana	 diamanatkan	 oleh	 UUD	 1945	 dan	
Deklarasi	Universal	Hak	Asasi	 Manusia	PBB.	Sejak	awal,	semangat	perjuangan	 ELSAM	
adalah	 membangun	 tatanan	 politik	 demokratis	 di	 Indonesia	 melalui	 pemberdayaan	
masyarakat	sipil	melalui	advokasi	dan	promosi	hak	asasi	manusia.			
	
Informasi	lebih	lanjut:	 ELSAM,	Jl	Siaga	 II	No.	31/Pejaten	 Barat,	Pasar	Minggu,	Jakarta	
12510.	Laman:	http://elsam.or.id/,	Surel:	office@elsam.or.id,	Twitter:	@elsamnews.

More Related Content

What's hot

Cyber crime
Cyber crimeCyber crime
Cyber crime
tahmabsi
 
Pengelolaan dan pelayanan informasi publik
Pengelolaan dan pelayanan informasi publikPengelolaan dan pelayanan informasi publik
Pengelolaan dan pelayanan informasi publik
Rimba Raya
 
Materi sosialisasi Komisi Informasi tentang "Keterbukaan Informasi Publik" di...
Materi sosialisasi Komisi Informasi tentang "Keterbukaan Informasi Publik" di...Materi sosialisasi Komisi Informasi tentang "Keterbukaan Informasi Publik" di...
Materi sosialisasi Komisi Informasi tentang "Keterbukaan Informasi Publik" di...
infomagetan
 
Praktik pengelolaan informasi publik
Praktik pengelolaan informasi publikPraktik pengelolaan informasi publik
Praktik pengelolaan informasi publik
rsd kol abundjani
 

What's hot (20)

Tanggapan ICT Watch atas RPM OTT
Tanggapan ICT Watch atas RPM OTTTanggapan ICT Watch atas RPM OTT
Tanggapan ICT Watch atas RPM OTT
 
Isi
IsiIsi
Isi
 
Revisi UU ITE: Memerdekakan atau Membelengu
Revisi  UU ITE: Memerdekakan atau MembelenguRevisi  UU ITE: Memerdekakan atau Membelengu
Revisi UU ITE: Memerdekakan atau Membelengu
 
Digital right dan free trade_ firdaus cahyadi
Digital right dan free trade_ firdaus cahyadiDigital right dan free trade_ firdaus cahyadi
Digital right dan free trade_ firdaus cahyadi
 
Naskah Akademik RUU Perubahan Atas UU ITE
Naskah Akademik RUU Perubahan Atas UU ITENaskah Akademik RUU Perubahan Atas UU ITE
Naskah Akademik RUU Perubahan Atas UU ITE
 
Revisi UU ITE Nafas Lama
Revisi UU ITE Nafas LamaRevisi UU ITE Nafas Lama
Revisi UU ITE Nafas Lama
 
RUU Perubahan UU ITE
RUU Perubahan UU ITERUU Perubahan UU ITE
RUU Perubahan UU ITE
 
Rpm tentang situs bermuatan negatif
Rpm tentang situs bermuatan negatifRpm tentang situs bermuatan negatif
Rpm tentang situs bermuatan negatif
 
Cyber crime
Cyber crimeCyber crime
Cyber crime
 
Presentasi rpm-konten
Presentasi rpm-kontenPresentasi rpm-konten
Presentasi rpm-konten
 
Pengelolaan dan pelayanan informasi publik
Pengelolaan dan pelayanan informasi publikPengelolaan dan pelayanan informasi publik
Pengelolaan dan pelayanan informasi publik
 
Materi sosialisasi Komisi Informasi tentang "Keterbukaan Informasi Publik" di...
Materi sosialisasi Komisi Informasi tentang "Keterbukaan Informasi Publik" di...Materi sosialisasi Komisi Informasi tentang "Keterbukaan Informasi Publik" di...
Materi sosialisasi Komisi Informasi tentang "Keterbukaan Informasi Publik" di...
 
BAHAN SOSIALISASI UU KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK- LINGKUP BSN
BAHAN SOSIALISASI UU KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK- LINGKUP BSNBAHAN SOSIALISASI UU KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK- LINGKUP BSN
BAHAN SOSIALISASI UU KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK- LINGKUP BSN
 
Presentasi uu kip
Presentasi uu kipPresentasi uu kip
Presentasi uu kip
 
Buku Saku Mengenal UU Keterbukaan Informasi Publik
Buku Saku Mengenal UU Keterbukaan Informasi PublikBuku Saku Mengenal UU Keterbukaan Informasi Publik
Buku Saku Mengenal UU Keterbukaan Informasi Publik
 
Keterbukaan Informasi Publik
Keterbukaan Informasi PublikKeterbukaan Informasi Publik
Keterbukaan Informasi Publik
 
UU Keterbukaan Informasi Publik
UU Keterbukaan Informasi PublikUU Keterbukaan Informasi Publik
UU Keterbukaan Informasi Publik
 
Kebijakan Penapisan Konten (Azhar Hasyim - Dir eBusiness, Kemkominfo)
Kebijakan Penapisan Konten (Azhar Hasyim - Dir eBusiness, Kemkominfo)Kebijakan Penapisan Konten (Azhar Hasyim - Dir eBusiness, Kemkominfo)
Kebijakan Penapisan Konten (Azhar Hasyim - Dir eBusiness, Kemkominfo)
 
Cyberlaw 2
Cyberlaw 2Cyberlaw 2
Cyberlaw 2
 
Praktik pengelolaan informasi publik
Praktik pengelolaan informasi publikPraktik pengelolaan informasi publik
Praktik pengelolaan informasi publik
 

Viewers also liked

Viewers also liked (7)

Revisi ITE (RDPU DPR RI)
Revisi ITE (RDPU DPR RI)Revisi ITE (RDPU DPR RI)
Revisi ITE (RDPU DPR RI)
 
SK Menkominfo Forum Tim Panel Konten 2015
SK Menkominfo Forum Tim Panel Konten 2015SK Menkominfo Forum Tim Panel Konten 2015
SK Menkominfo Forum Tim Panel Konten 2015
 
Hasil Survei Privasi Online Indonesia 2016
Hasil Survei Privasi Online Indonesia 2016Hasil Survei Privasi Online Indonesia 2016
Hasil Survei Privasi Online Indonesia 2016
 
Master Plan ASEAN Connectivity 2025
Master Plan ASEAN Connectivity 2025Master Plan ASEAN Connectivity 2025
Master Plan ASEAN Connectivity 2025
 
Netizen Indonesia Kini (Oktober - Desember 2016)
 Netizen Indonesia Kini (Oktober - Desember 2016)  Netizen Indonesia Kini (Oktober - Desember 2016)
Netizen Indonesia Kini (Oktober - Desember 2016)
 
Handbook Internet BAIK
Handbook Internet BAIKHandbook Internet BAIK
Handbook Internet BAIK
 
Ular Tangga Internet Sehat
Ular Tangga Internet SehatUlar Tangga Internet Sehat
Ular Tangga Internet Sehat
 

Similar to Masukan Elsam terhadap RPM Konten Negatif

Catatan Ringkas Tata Kelola dan Praktik Internet Indonesia (ver. April 2014) ...
Catatan Ringkas Tata Kelola dan Praktik Internet Indonesia (ver. April 2014) ...Catatan Ringkas Tata Kelola dan Praktik Internet Indonesia (ver. April 2014) ...
Catatan Ringkas Tata Kelola dan Praktik Internet Indonesia (ver. April 2014) ...
Mahadiputra S
 
Tata Kelola dan Praktik Internet Indonesia (Caatan Ringkas)
Tata Kelola dan Praktik Internet Indonesia (Caatan Ringkas)Tata Kelola dan Praktik Internet Indonesia (Caatan Ringkas)
Tata Kelola dan Praktik Internet Indonesia (Caatan Ringkas)
ICT Watch
 
M 001 -a1-catatan rdp komisi-1 dpr-ri dengan mastel - 10 nov 2014
M 001 -a1-catatan rdp komisi-1 dpr-ri dengan mastel - 10 nov 2014M 001 -a1-catatan rdp komisi-1 dpr-ri dengan mastel - 10 nov 2014
M 001 -a1-catatan rdp komisi-1 dpr-ri dengan mastel - 10 nov 2014
fraksi balkon
 
Article 19 ict watch - navigating - bahasa
Article 19   ict watch - navigating - bahasaArticle 19   ict watch - navigating - bahasa
Article 19 ict watch - navigating - bahasa
ICT Watch
 
Menyoal pentingnya uji kegunaan dalam penyelesaian sengketa informasi publik ...
Menyoal pentingnya uji kegunaan dalam penyelesaian sengketa informasi publik ...Menyoal pentingnya uji kegunaan dalam penyelesaian sengketa informasi publik ...
Menyoal pentingnya uji kegunaan dalam penyelesaian sengketa informasi publik ...
Dyah Rijadi
 
Laporan penelitian penerapan_bantuan_timbal_balik_dalam_masalah_pidana_terhad...
Laporan penelitian penerapan_bantuan_timbal_balik_dalam_masalah_pidana_terhad...Laporan penelitian penerapan_bantuan_timbal_balik_dalam_masalah_pidana_terhad...
Laporan penelitian penerapan_bantuan_timbal_balik_dalam_masalah_pidana_terhad...
Abd Rahman
 

Similar to Masukan Elsam terhadap RPM Konten Negatif (17)

Kominfo-Content Filtering
Kominfo-Content FilteringKominfo-Content Filtering
Kominfo-Content Filtering
 
Catatan Ringkas Tata Kelola dan Praktik Internet Indonesia (ver. April 2014) ...
Catatan Ringkas Tata Kelola dan Praktik Internet Indonesia (ver. April 2014) ...Catatan Ringkas Tata Kelola dan Praktik Internet Indonesia (ver. April 2014) ...
Catatan Ringkas Tata Kelola dan Praktik Internet Indonesia (ver. April 2014) ...
 
Catatan Ringkas Tata Kelola dan Praktik Internet Indonesia (ver. April 2014)
Catatan Ringkas Tata Kelola dan Praktik Internet Indonesia (ver. April 2014)Catatan Ringkas Tata Kelola dan Praktik Internet Indonesia (ver. April 2014)
Catatan Ringkas Tata Kelola dan Praktik Internet Indonesia (ver. April 2014)
 
Tata Kelola dan Praktik Internet Indonesia (Caatan Ringkas)
Tata Kelola dan Praktik Internet Indonesia (Caatan Ringkas)Tata Kelola dan Praktik Internet Indonesia (Caatan Ringkas)
Tata Kelola dan Praktik Internet Indonesia (Caatan Ringkas)
 
M 001 -a1-catatan rdp komisi-1 dpr-ri dengan mastel - 10 nov 2014
M 001 -a1-catatan rdp komisi-1 dpr-ri dengan mastel - 10 nov 2014M 001 -a1-catatan rdp komisi-1 dpr-ri dengan mastel - 10 nov 2014
M 001 -a1-catatan rdp komisi-1 dpr-ri dengan mastel - 10 nov 2014
 
Jawaban Kemkominfo tentang Trust Positif
Jawaban Kemkominfo tentang Trust PositifJawaban Kemkominfo tentang Trust Positif
Jawaban Kemkominfo tentang Trust Positif
 
Jawaban Kemkominfo tentang Trust Positif
Jawaban Kemkominfo tentang Trust PositifJawaban Kemkominfo tentang Trust Positif
Jawaban Kemkominfo tentang Trust Positif
 
Makalah Pendaftaran Tanah_PPT FH UII_Dosen Pengampu Ricco Survival Yubaidi (1...
Makalah Pendaftaran Tanah_PPT FH UII_Dosen Pengampu Ricco Survival Yubaidi (1...Makalah Pendaftaran Tanah_PPT FH UII_Dosen Pengampu Ricco Survival Yubaidi (1...
Makalah Pendaftaran Tanah_PPT FH UII_Dosen Pengampu Ricco Survival Yubaidi (1...
 
Modul Tata Kelola Internet Berbasis Hak (ditulis oleh ELSAM)
Modul Tata Kelola Internet Berbasis Hak (ditulis oleh ELSAM)Modul Tata Kelola Internet Berbasis Hak (ditulis oleh ELSAM)
Modul Tata Kelola Internet Berbasis Hak (ditulis oleh ELSAM)
 
Article 19 ict watch - navigating - bahasa
Article 19   ict watch - navigating - bahasaArticle 19   ict watch - navigating - bahasa
Article 19 ict watch - navigating - bahasa
 
Menyoal pentingnya uji kegunaan dalam penyelesaian sengketa informasi publik ...
Menyoal pentingnya uji kegunaan dalam penyelesaian sengketa informasi publik ...Menyoal pentingnya uji kegunaan dalam penyelesaian sengketa informasi publik ...
Menyoal pentingnya uji kegunaan dalam penyelesaian sengketa informasi publik ...
 
Surat Terbuka untuk Mark Zuckerberg tentang Internet.org
Surat Terbuka untuk Mark Zuckerberg tentang Internet.orgSurat Terbuka untuk Mark Zuckerberg tentang Internet.org
Surat Terbuka untuk Mark Zuckerberg tentang Internet.org
 
Netizen Indonesia Kini (April - Juni 2016)
Netizen Indonesia Kini (April - Juni 2016)Netizen Indonesia Kini (April - Juni 2016)
Netizen Indonesia Kini (April - Juni 2016)
 
K1 risalah mp_iii_ts_10-11_risalah_rdp&rdpu_kom_i_dg_brti,_id-sirtii,_operato...
K1 risalah mp_iii_ts_10-11_risalah_rdp&rdpu_kom_i_dg_brti,_id-sirtii,_operato...K1 risalah mp_iii_ts_10-11_risalah_rdp&rdpu_kom_i_dg_brti,_id-sirtii,_operato...
K1 risalah mp_iii_ts_10-11_risalah_rdp&rdpu_kom_i_dg_brti,_id-sirtii,_operato...
 
Cybersecurity Policy - Director of Information Security
Cybersecurity Policy - Director of Information SecurityCybersecurity Policy - Director of Information Security
Cybersecurity Policy - Director of Information Security
 
Laporan penelitian penerapan_bantuan_timbal_balik_dalam_masalah_pidana_terhad...
Laporan penelitian penerapan_bantuan_timbal_balik_dalam_masalah_pidana_terhad...Laporan penelitian penerapan_bantuan_timbal_balik_dalam_masalah_pidana_terhad...
Laporan penelitian penerapan_bantuan_timbal_balik_dalam_masalah_pidana_terhad...
 
Tanggapan atas RPM KPU/USO
Tanggapan atas RPM KPU/USOTanggapan atas RPM KPU/USO
Tanggapan atas RPM KPU/USO
 

More from ICT Watch

Peta Jalan Perlindungan Anak Indonesia di Internet (Sebuah Pengantar)
Peta Jalan Perlindungan Anak Indonesia di Internet  (Sebuah Pengantar)Peta Jalan Perlindungan Anak Indonesia di Internet  (Sebuah Pengantar)
Peta Jalan Perlindungan Anak Indonesia di Internet (Sebuah Pengantar)
ICT Watch
 

More from ICT Watch (20)

Aktivasi 2FA di Media Sosial Lewat Ponsel
Aktivasi 2FA di Media Sosial Lewat PonselAktivasi 2FA di Media Sosial Lewat Ponsel
Aktivasi 2FA di Media Sosial Lewat Ponsel
 
Rancangan UU Perlindungan Data Pribadi - Final
Rancangan UU Perlindungan Data Pribadi - FinalRancangan UU Perlindungan Data Pribadi - Final
Rancangan UU Perlindungan Data Pribadi - Final
 
Melihat RUU Pelindungan Data Pribadi
Melihat RUU Pelindungan Data PribadiMelihat RUU Pelindungan Data Pribadi
Melihat RUU Pelindungan Data Pribadi
 
RUU PDP APRIL 2019
RUU PDP APRIL 2019RUU PDP APRIL 2019
RUU PDP APRIL 2019
 
Tantangan Perlindungan Privasi dan Keterbukaan Informasi
Tantangan Perlindungan Privasi dan Keterbukaan InformasiTantangan Perlindungan Privasi dan Keterbukaan Informasi
Tantangan Perlindungan Privasi dan Keterbukaan Informasi
 
Perlindungan Hak Atas Privasi di Internet
Perlindungan Hak Atas Privasi di InternetPerlindungan Hak Atas Privasi di Internet
Perlindungan Hak Atas Privasi di Internet
 
Perlindungan Data Pribadi di Indonesia
Perlindungan Data Pribadi di IndonesiaPerlindungan Data Pribadi di Indonesia
Perlindungan Data Pribadi di Indonesia
 
Privasi dan Keamanan Internet
Privasi dan Keamanan InternetPrivasi dan Keamanan Internet
Privasi dan Keamanan Internet
 
Privasi dan Perlindungan Data Pribadi
Privasi dan Perlindungan Data PribadiPrivasi dan Perlindungan Data Pribadi
Privasi dan Perlindungan Data Pribadi
 
Privasi 101 Panduan Memahami Privasi dan Perlindungan Data
Privasi 101 Panduan Memahami Privasi dan Perlindungan DataPrivasi 101 Panduan Memahami Privasi dan Perlindungan Data
Privasi 101 Panduan Memahami Privasi dan Perlindungan Data
 
Panduan 1 2 3 Menjadi Netizen Cerdas
Panduan 1 2 3 Menjadi Netizen CerdasPanduan 1 2 3 Menjadi Netizen Cerdas
Panduan 1 2 3 Menjadi Netizen Cerdas
 
Ular Tangga Internet Sehat Anak
Ular Tangga Internet Sehat AnakUlar Tangga Internet Sehat Anak
Ular Tangga Internet Sehat Anak
 
Literasi Digital ICT Watch
Literasi Digital ICT WatchLiterasi Digital ICT Watch
Literasi Digital ICT Watch
 
Penetrasi dan Perilaku Pengguna Internet Indonesia 2016
Penetrasi dan Perilaku Pengguna Internet Indonesia 2016Penetrasi dan Perilaku Pengguna Internet Indonesia 2016
Penetrasi dan Perilaku Pengguna Internet Indonesia 2016
 
Peta Jalan Perlindungan Anak Indonesia di Internet (Sebuah Pengantar)
Peta Jalan Perlindungan Anak Indonesia di Internet  (Sebuah Pengantar)Peta Jalan Perlindungan Anak Indonesia di Internet  (Sebuah Pengantar)
Peta Jalan Perlindungan Anak Indonesia di Internet (Sebuah Pengantar)
 
Usulan RT RW Net oleh ICT Watch
Usulan RT RW Net oleh ICT WatchUsulan RT RW Net oleh ICT Watch
Usulan RT RW Net oleh ICT Watch
 
UU 19 tahun 2016 - Revisi UU ITE
UU 19 tahun 2016 - Revisi UU ITEUU 19 tahun 2016 - Revisi UU ITE
UU 19 tahun 2016 - Revisi UU ITE
 
Dinamika Etika dan Regulasi Internet Indonesia Pasca Revisi UU ITE
Dinamika Etika dan Regulasi Internet Indonesia Pasca Revisi UU ITEDinamika Etika dan Regulasi Internet Indonesia Pasca Revisi UU ITE
Dinamika Etika dan Regulasi Internet Indonesia Pasca Revisi UU ITE
 
National ID-IGF Dialogue 2016 Summary
National ID-IGF Dialogue 2016 SummaryNational ID-IGF Dialogue 2016 Summary
National ID-IGF Dialogue 2016 Summary
 
Privasi Online dan Perlindungan Data Pribadi
Privasi Online dan Perlindungan Data PribadiPrivasi Online dan Perlindungan Data Pribadi
Privasi Online dan Perlindungan Data Pribadi
 

Masukan Elsam terhadap RPM Konten Negatif

  • 1. Masukan ELSAM terhadap RPM Kominfo tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif  1 TANGGAPAN DAN MASUKAN ELSAM TERHADAP RANCANGAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA (KOMINFO) TENTANG PENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIF Diajukan kepada: Direktorat e‐Business, Direktorat Jendral Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Menindaklanjuti hasil kelompok diskusi terfokus (FGD) mengenai penanganan situs internet bermuatan negatif yang diselenggarakan oleh Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), pada tanggal 3 April 2014, yang membuka kesempatan bagi institusi yang hadir untuk memberikan masukan tertulis, bersama ini, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menyampaikan beberapa poin masukan dan tanggapan terhadap Rancangan Peraturan Menteri (RPM) Kominfo tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif (draft per 3 April 2014). Adapun poin‐poin tanggapan dan masukan tersebut adalah sebagai berikut: I. Penapisan dan pemblokiran (filtering and blocking) konten internet sebagai bentuk pengurangan hak atas kebebasan berekspresi dan memperoleh informasi warga negara: a. Praktik penapisan dan pemblokiran (filtering and blocking) yang diatur di dalam RPM ini merupakan bentuk pengurangan terhadap pelaksanaan hak asasi manusia, terutama hak atas kebebasan berekspresi dan hak memperoleh informasi yang dijamin UUD 1945. Berdasarkan standar hukum hak asasi manusia internasional, 1 maupun ketentuan hukum nasional, sebagaimana diatur ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, perumusan cakupan pengurangan hak, hanya dimungkinkan dilakukan melalui pengaturan dalam Undang‐undang dan bukan peraturan teknis setingkat peraturan pemerintah, apalagi peraturan Menteri. 2 Lebih lanjut pengaturan tersebut juga tunduk pada keharusan merumuskan secara limitatif dan definitif mengenai batasan pengurangan yang secara hukum dapat dibenarkan, termasuk di dalamnya perumusan daftar yang bersifat tertutup (exhausted list), dan bukan list dan rumusan terbuka yang setiap saat dapat di re‐intepretasikan oleh pembuat kebijakan (dalam hal ini pemerintah). Hal ini dimaksudkan untuk 1 Lihat Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR), khususnya ketentuan Pasal 19, yang telah disahkan Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005. Secara detail prinsip-prinsip mengenai pembatasan tersebut kemudiaan diatur di dalam Prinsip Siracusa mengenai Pembatasan Hak-hak dalam ICCPR. 2 Lebih lanjut, diuraikan dalam ELSAM, Tata Kelola Internet yang berbasis Hak, “ Studi tentang permasalahan umum Tata Kelola Internet dan dampaknya terhadap Perlindungan HAM” dapat diakses pada http://www.elsam.or.id/downloads/389032_Briefing_Paper_1_TATA_KELOLA_INTERNET_dan_HAM.pdf
  • 2. Masukan ELSAM terhadap RPM Kominfo tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif  2 mencegah penyalahgunaan kewenangan dari kekuasaan pembatasan yang diberikan.3 Lebih jauh, dalam konteks hukum hak asasi manusia internasional, yang dimaksud dengan penapisan/pemblokiran konten interney adalah tindakan‐ tindakan yang dilakukan untuk mencegah konten tertentu mencapai pengguna akhir. Hal tersebut meliputi pencegahan pengguna dalam mengakses laman khusus, Internet Protocol (IP), alamat, ekstensi nama domain, penutupan laman dari laman server di mana mereka menempatinya, atau menggunakan teknologi filter untuk membuang halaman‐halaman yang mengandung kata kunci tertentu atau memblok konten tertentu agar tidak bisa muncul.4 Dalam banyak kasus, pembatasan, pengawasan, manipulasi dan sensor konten internet telah dilakukan oleh negara tanpa dasar hukum, atau meski berdasarkan hukum, namun aturannya terlalu luas dan ambigu. Selain itu tindakan tersebut juga seringkali dilakukan tanpa adanya pembenaran tujuan atau dengan cara yang jelas‐jelas tidak perlu dan/atau tidak seimbang dalam mencapai tujuan. Tindakan sensor terhadap konten internet, dalam bentuk penapisan dan pemblokiran dengan menggunakan teknologi tertentu adalah suatu tindakan pelanggaran terhadap hak atas kebebasan berekspresi. Tindakan‐tindakan tersebut benar‐ benar tidak sesuai dengan kewajiban negara di bawah hukum hak asasi manusia, dan sering menciptakan “chilling effect” atau efek ketakutan yang besar terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi. Merujuk pada batasan‐batasan tersebut, jika suatu tindakan penapisan dan pemblokiran konten diatur dalam wadah pengaturan yang tidak tepat, maka tindakan tersebut justru masuk dalam kategori pelanggaran. Secara detail tindakan penapisan dan pemblokiran yang dianggap sewenang‐wenang dan termasuk pelanggaran hak asasi adalah jika kategorinya berikut ini: Pertama, kondisi khusus yang membenarkan pemblokiran tidak terdapat dalam hukum, atau diatur oleh hukum namun pengaturannya sangat luas dan tidak langsung, sehingga menyebabkan pemblokiran konten secara luas dan semena‐mena; Kedua, pemblokiran tidak dilakukan untuk memenuhi tujuan yang dijelaskan Pasal 19 ayat (3) ICCPR, dan daftar pemblokiran secara umum dirahasiakan sehingga sulit untuk ditentukan apakah akses ke konten yang dibatasi tersebut dilakukan demi tujuan yang benar; Ketiga, bahkan ketika pembenaran terhadap pemblokiran dilakukan, tindakan pemblokiran telah menciptakan alat‐alat yang tidak perlu dan tidak sesuai untuk mencapai tujuan, karena tindakan tersebut sering tidak mempunyai tujuan yang cukup untuk dilakukan dan menyebabkan konten tidak bisa diakses karena dianggap ilegal; dan Keempat, pemblokiran dilakukan tanpa adanya intervensi atau kemungkian pengujian kembali oleh sebuah pengadilan atau badan independen.5 Oleh karena itu, apabila pemerintah hendak mengeluarkan peraturan yang sifatnya teknis, setingkat peraturan menteri, semestinya hanya mengatur materi yang sifatnya teknis dan bukan menentukan cakupan apa yang dilarang/dibatasi (dimaksud dengan konten negatif dalam istilah RPM ini). Lebih lanjut, 3 Untuk kajian mengenai praktek-praktek pembatasan dan kontrol yang tidak sesuai dengan standar ini dan dampak kerugian bagi warga negara, lebih jauh diuraikan dalam, ELSAM, Membelenggu Ekspresi: Studi kasus mengenai praktik pemblokiran/penyaringan konten internet dan kriminalisasi pengguna internet di Indonesia, 2014, dapat diakes pada laman http://www.elsam.or.id/downloads/933273_Membelenggu_Ekspresi_Studi_Kasus_Penerapan_UU_ITE.pdf 4 Lihat A/HRC/17/27, paragraf 29, dapat diakses di http://www2.ohchr.org/english/bodies/hrcouncil/docs/17session/ A.HRC.17.27_en.pdf. 5 Lihat Ibid., paragraf 31.
  • 3. Masukan ELSAM terhadap RPM Kominfo tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif  3 pembatasan dengan mendasarkan pada ketertiban umum, moral publik dan keamanan negara tidak lagi dapat dipergunakan secara fleksibel, dalam standar tersebut juga harus dirumuskan secara rigid, batasan dan cakupannya, yang secara limitatif harus dirumuskan dalam Undang‐undang. Hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan adanya kesewenangan dari pemerintah atau badan‐badan negara dalam mengurangi hak asasi warga negara. Secara khusus Indonesia terikat dalam kewajiban ini dengan diratifikasinya Kovenan Internasional Hak‐ hak Sipil dan Politik melalui UU No. 12 Tahun 2005. Rekomendasi: (1) Menghapus Pasal 3: Ruang lingkup Peraturan Menteri ini, poin a “penentuan situs internet bermuatan yang perlu ditangani”, karena rumusan ini melampau kewenangan aturan pelaksanaan teknis setingkat peraturan Menteri. (2) Menyesuaikan rumusan cakupan peraturan Menteri dengan batasan standar pembatasan Hak sebagaimana berlaku terkait dengan hak atas kebebasan berekspresi dan memperoleh informasi yang diatur dalam UUD 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. b. Pemerintah hanya berwenang melakukan pemblokiran konten internet yang mengandung muatan pornografi. Hal ini sebagaimana termaktub di dalam peraturan perundang‐undangan terkait berikut ini: Peraturan perundang‐undangan yang secara tegas memberikan kewenangan bagi pemerintah untuk melakukan pemblokiran konten internet, adalah ketentuan Pasal 18 UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, yang menyebutkan: “Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pemerintah berwenang: a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet”. Sementara ketentuan perundang‐undangan yang lain, termasuk UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, tidak secara eksplisit memberikan kewenangan bagi pemerintah untuk melakukan penapisan dam pemblokiran konten internet, termasuk terhadap konten‐konten yang dilarang sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 27‐Pasal 29 UU ITE. Apabila dasar yang digunakan oleh pemerintah untuk merumuskan RPM ini adalah ketentuan Pasal 40 ayat (2) UU ITE, yang menyebutkan: “Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang‐ undangan”, maka tidak tepat pula jika kewenangan pemblokiran konten internet diperluas tidak hanya terhadap konten pornografi. Mengapa demikian? Oleh karena peraturan perundang‐undangan yang memberikan kewenangan pemblokiran konten bagi pemerintah hanyalah ketentuan UU Pornografi, sementara yang lain tidak ada. Lalu apakah terhadap konten‐konten yang dilarang lainnya, yang masuk kategori kejahatan menurut Pasal 27‐Pasal 29 UU ITE tidak dapat dilakukan pemblokiran? Dapat, sepanjang memenuhi kaidah prosedur pidana yang diatur UU ITE. Terhadap konten‐konten yang dilarang sebagaimana diatur ketentuan UU ITE, kategorinya adalah tindak pidana, yang penanganannya juga secara pidana, bukan lagi penanganan administratif. Oleh sebab itu, jika diperlukan pemblokiran terhadap konten‐konten dimaksud maka harus merujuk pada ketentuan Pasal 43
  • 4. Masukan ELSAM terhadap RPM Kominfo tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif  4 UU ITE. Dalam ketentuan tersebut Penyidik PNS yang dibentuk Kemenkominfo, salah satunya diberikan wewenang untuk “melakukan penyegelan dan penyitaan terhadap alat dan atau sarana kegiatan Teknologi Informasi yang diduga digunakan secara menyimpang dari ketentuan Peraturan Perundang‐undangan”.6 Artinya, jika PPNS tidak memerlukan adanya pemblokiran terhadap konten yang menjadi sarana kejahatan, maka pemblokiran oleh pemerintah—Kemenkominfo pun tidak bisa dilakukan. Penyegelan/penyitaan/pemblokiran tersebut sifatnya sementara, ‘pemblokiran tetap’ hanya bisa dilakukan atas perintah dari pengadilan, ketika pengadilan memutus bersalah subjek hukum yang melakukan pelanggaran berdasar ketentuan UU ITE. Apabila pengadilan memutus sebaliknya, atau PPNS melakukan penghentian penyidikan sebagaimana diatur ketentuan Pasal 43 huruf i, maka konten yang diblokir harus segera dipulihkan atau dalam istilah RPM dilakukan normalisasi. Rekomendasi: (1) Apabila RPM akan dilanjutkan proses pembahasannya untuk disahkan menjadi Peraturan Menteri Kominfo, maka ruang lingkup kewenangan untuk melakukan pemblokiran konten internet harus dipersempit hanya pada konten pornografi. (2) Apabila konten‐konten lain yang dilarang sebagaimana dimaksud UU ITE, akan diatur, maka pengaturannya haruslah merupakan pengaturan yang sifatnya sangat teknis, yang prosesnya merupakan turunan dari yang diatur oleh ketentuan Pasal 43 UU ITE (permintaan dari PPNS atau perintah pengadilan). Mekanismenya harus dibedakan dengan penanganan terhadap konten pornografi, yang kewenangan pemblokirannya memang ada pada pemerintah. II. Penapisan dan pemblokiran sebagai bentuk pembatasan terhadap hak asasi manusia semestinya menjadi wewenang negara atau perangkat negara. RPM memberikan hak tersebut kepada masyarakat melalui beberapa pasal yakni: a. Pemberian wewenang pada masyarakat, sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 7 RPM, yang menyebutkan: “Masyarakat dapat ikut serta menyelenggarakan layanan pemblokiran dengan memuat …”. Perumusan masyarakat sangat luas dan tidak ada penjelasan definitif lebih lanjut siapa yang disebut sebagai masyarakat, apakah individu perorangan, kelompok, badan usaha atau bentuk lain. Selain itu, bila masyarakat diijinkan melalukan praktik pemblokiran mandiri, bagaimana mekanisme kontrol dan akuntabilitasnya, khususnya bila terjadi penyalahgunaan? Bagaimana menjamin perlindungan korban, khususnya kelompok‐kelompok rentan dari praktik pemblokiran sepihak ini? Sebagai contoh, kelompok‐kelompok minoritas keagamaan yang selama ini menjadi target aksi sepihak dari kelompok intoleran, kelompok transgender, dan LBGT yang secara hukum hak asasinya diakui, tapi dalam beberapa kasus menjadi subjek salah blokir. Ruang ini tentu akan menjadi alat legitimasi dan legalisasi bagi tindakan kelompok masyarakat tertentu terhadap kelompok masyarakat yang lain untuk melakukan tindakan pemblokiran konten, dengan mengatasnamakan penanganan konten negatif. 6 Lihat Pasal 43 huruf g UU Informasi dan Transaksi Elektronik.
  • 5. Masukan ELSAM terhadap RPM Kominfo tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif  5 Meski terlihat demokratis dengan memberikan ruang partisipasi pada warga negara/kelompok masyarakat, pengaturan ini secara prinsip bertentangan dengan hak asasi manusia, khususnya ketentuan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945, yang secara jelas merujuk pada kewenangan dan otoritas negara dan bukan entitas privat (anggota masyarakat). Disebutkan, “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”. Rekomendasi: Pasal 7 yang memberikan kewenangan kepada masyarakat secara mandiri untuk menyelenggarakan layanan pemblokiran dihapuskan. b. Pemberian wewenang pemblokiran bagi Penyelenggara Jasa Akses Internet, sebagaimana diatur ketentuan Pasal 8 ayat (2) RPM, yang menyebutkan pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dapat dilakukan sebagai berikut: (a) pemblokiran mandiri; (b) pemblokiran oleh pihak lain yang menyediakan layanan pemblokiran. Pemberian kewenangan pemblokiran kepada penyedia jasa akses internet secara mandiri berpotensi membenarkan terjadinya pemutusan akses informasi di luar kontrol negara. Perumusan pasal ini memberikan pembenaran hukum pada praktik pemblokiran sepihak oleh penyedia akses tanpa proses yang akuntabel dan transparan. Hal ini jelas tidak sesuai dengan standar Hak Asasi Manusia yang berlaku dan dijamin dalam UU No. 39 Tahun 1999. Selain itu praktik ini berpotensi merugikan pengguna/konsumen yang secara sepihak mengalami pemutusan akses informasi. Bagi penyelenggara jasa akses internet sendiri, pemberian wewenangan ini sesungguhnya juga merugikan, terutama bila dilihat dari pertimbangan bisnis. Tindakan pemblokiran yang dilakukan secara mandiri oleh penyelenggara jasa akses internet akan membuka banyak celah gugatan hukum dari konsumen, yang tentu akan memberikan banyak kerugian bagi penyelenggara jasa akses intenter itu sendiri. Rekomendasi: (1) Pembatasan cakupan pemblokiran yang limitatif sesuai dengan rumusan yang dibenarkan oleh ketentuan peraturan perundang‐undangan. (2) Pengaturan yang lebih rinci mengenai detail prosedur penapisan/pemblokiran yang dilakukan ISP untuk menjamin akuntabilitas dan transparansi sebagai bagian dari perlindungan hak konsumen/pengguna, yang merupakan turunan dari ketentuan perundang‐ undangan, baik UU Pornografi (tanpa proses pidana), maupun UU ITE (proses pidana). III. Sejumlah kelemahan yang terkait dengan rumusan‐rumusan ketentuan di dalam RPM, sebagai berikut: a. Rumusan “konten negatif” RPM merumuskan cakupan pengaturan dengan sangat luas dan kurang spesifik. Sebagai peraturan teknis, sebenarnya RPM ini merupakan aturan pelaksanaan/delegasi dari UU yang mana? Bila yang dirujuk adalah UU ITE
  • 6. Masukan ELSAM terhadap RPM Kominfo tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif  6 (sebagaimana diutarakan pihak KOMINFO dalam FGD tgl 3/4/201), tidak terdapat rujukan ‘konten negatif’ dalam UU tersebut. Apabila merujuk pada UU ITE maka sebagai peraturan pelaksanaan semestinya Rancangan Permen ini merujuk pada pasal‐pasal larangan dalam UU ITE, yang secara limitatif membatasi rumusan larangan terkait (Pasal 27‐Pasal 29 UU ITE), atau jika merujuk pada perintah UU Pornografi, sebagaimana telah disinggung di atas, maka RPM ini hanya mengatur konten pornografi. Pemberian kewenangan di dalam RPM ini, bertentangan dengan prinsip umum hierarki peraturan perundang‐ undangan (UU No. 12 Tahun 2011) dimana peraturan pelaksanaan tidak boleh melampaui kewenangan UU yang mendasarinya. Dengan rumusan tersebut, pelaksana memiliki kekuatan yang jauh lebih besar untuk merumuskan dan menentukan kegiatan ilegal yang kemudian disebut sebagai muatan negatif . Rekomendasi: Menyesuaikan/mengganti rumusan ‘muatan negatif’ dengan rumusan yang ada dan dikenal dalam ketentuan peraturan perundang‐undangan (UU Pornografi atau UU ITE). Sehingga RPM ini merupakan turunan prosedur dari dari prosedur yang diatur dalam kedua undang‐undang tersebut. b. Rumusan “kegiatan ilegal” Terkait dengan pengaturan ‘kegiatan ilegal’ yang terdapat pada Pasal 4 ayat (1) huruf c RPM, yang menyebutkan, mengenai “kegiatan ilegal lainnya …”, dan Pasal 4 ayat (2) RPM, rumusan tentang “kegiatan ilegal” mengandung dua kelemahan: 1. UU ITE tidak mengenal ‘kegiatan ilegal’ sebagaimana diatur dalam Rancangan Peraturan Menteri ini. Dalam penjelasan lebih lanjut (Pasal 4 ayat (2)) kegiatan ilegal adalah kegiatan yang pelaporannya berasal dari Kementerian atau Lembaga Pemerintah yang berwenang. Pasal 4 huruf c RPM “kegiatan illegal lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang‐undangan” memberikan kewenangan dari RPM untuk menentukan cakupan dan apa yang dikategorikan sebagai ‘bermuatan negatif’ dengan rumusan yang sangat luas dan tanpa batasan yang jelas. Rumusan ini justru semakin memperlebar batasan pengertian dengan menyerahkan intepretasi kegiatan ilegal berdasarkan kementerian atau lembaga pemerintah. Perumusan yang sedemikian fleksible dapat meningkatkan potensi terjadinya penyalahgunaan kewenangan dengan secara lentur melakukan intepretasi atas ‘perbuatan ilegal’ rumusan ini jelas mempertinggi tingkat ‘ketidakpastian hukum’ khususnya bagi warga negara/ entitas pengguna internet yang menjadi subyek dari peraturan ini. Merujuk pada FGD tgl 3/4/2014 diuraikan mengenai kebutuhan perumusan ayat ini untuk mewadahi permintaan‐permintaan pemblokiran yang tidak termasuk dalam dua kategori tersebut tapi dipersepsikan meresahkan masyarakat (seperti dicontohkan dengan permintaan FPI melalui telepon kepada pejabat yang bersangkutan untuk melakukan pemblokiran konten, yang segera dilakukan pihak kementerian dengan alasan kemendesakan karena bila tidak dilakukan pemblokiran, FPI akan segera mengerahkan massa untuk melakukan tindakan sepihak). Dengan rujukan ini, ketentuan ayat ini berpotensi untuk menjadi ayat karet sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan bahkan menjadi ancaman bagi warga negara karena dapat menjadi
  • 7. Masukan ELSAM terhadap RPM Kominfo tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif  7 alas hukum pembenar untuk melakukan pengurangan hak akibat tekanan dari pihak ketiga (alasannya menjadi suka dan tidak suka). 2. Secara teknis, rumusan ‘kegiatan ilegal’ bukanlah merupakan diksi yang tepat dipergunakan dalam drafting ketentuan perundang‐undangan, apabila ingin merujuk pada tindakan yang dilarang sebaiknya merujuk langsung pada ketentuan hukum yang dipergunakan sebagai acuan, atau apabila merujuk pada tindak kejahatan atau perbuatan melawan hukum juga harus mempergunakan cakupan dan rumusan dari ketentuan UU yang dijadikan acuan. Rekomendasi: Oleh karena itu, ELSAM merekomendasikan menghilangkan Pasal 4 ayat (1) huruf c “kegiatan illegal …dst”, dan menghapus Pasal 4 ayat (2) “kegiatan ilegal lainnya…”. IV. Pengaturan mengenai “pelaporan mendesak” RPM ini merumuskan pelaporan mendesak dengan rumusan yang sangat terbuka dan lentur sebagai diatur dalam Pasal 10 ayat (3) huruf e. mengenai “muatan lainnya yang berdampak negatif yang menjadi keresahan masyarakat secara luas”. Perumusan ini memberikan ruang keluasan yang tidak terbatas pada pemegang otoritas (unit teknis pelaksana tupoksi pemblokiran dalam Direktorat Jendral terkait) untuk menentukan dan berdasarkan hal tersebut mengambil langkah cepat (1X24 jam). Tanpa perumusan dan batasan yang tegas, rumusan semacam ini memberikan ruang intepretasi dan subjektifitas yang tinggi tanpa disertai kontrol dan mekanisme akuntabilitas yang memadai. Rekomendasi: (1) menyesuaian dengan batasan dan standar pembatasan sebagaimana diatur dalam UU yang dirujuk/diacu. (2) Menyesuaikan dengan batasan standar pembatasan Hak sebagaimana berlaku terkait dengan hak atas kebebasan berekspresi dan mendapatkan informasi yang diatur dalam UUD 1945 dan UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM. (3) Menghapus rumusan Pasal 10 ayat (3) huruf e RPM, karena cakupan kewenangan peraturan teknis melampaui rumusan dan cakupan peraturan perundangan yang lebih tinggi hierarkinya (UU) yang dirujuk. V. Mekanisme dan prosedur pembahasan Rancangan Peraturan Menteri Mengingat keluasan dan dampak yang ditimbulkan dari pemberlakuan ketentuan teknis ini terhadap warga negara, proses pembahasan semestinya melibatkan konsultasi publik yang luas dengan pemangku kepentingan maupun subjek yang akan terkena dampak peraturan ini. Upaya melakukan konsultasi publik dan menjaring masukan ini tidak dapat secara memadai dilakukan hanya dengan mencantumkan dalam website kementrian, mengingat 70% pengguna internet hanya terkonsentrasi di lima kota besar di Jawa dan Sumatera. Mekanisme ini jelas menutup akses yang memadai bagi warga negara yang tidak memiliki akses internet. Sementara peraturan ini akan berlaku bagi seluruh warga negara tanpa terkecuali, mereka dianggap tahu segera setelah diundangkan (presumptio iures de iure). Selain itu, proses konsultasi yang luas dan upaya menjaring masukan juga tidak semestinya dihentikan karena dipersepsikan sebagai sesuatu yang menghambat
  • 8. Masukan ELSAM terhadap RPM Kominfo tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif  8 proses penyelesaian pembahsan RPM ini (sebagaimana diutarakan dalam FGD tanggal 3/4/2014). Hal ini bertentangan dengan semangat menjamin partisipasi warga dalam proses pembuatan kebijakan sesuai dengan prinsip tata kelola pemerintahan umum yang baik, maupun prinsip tata kelola internet itu sendiri, yang menghendaki partisipasi multi‐pemangku kepentingan dalam setiap perumusan kebijakan yang terkait dengan internet. Dalam kaitan itu, ELSAM merekomendasikan keterlibatan lembaga‐lembaga dan pemangku kepentingan dalam proses pembahasan RPM ini, antara lain: (i) KOMNAS HAM; (ii) Komisi Informasi Pusat; (iii) Dewan Pers; (iv) Perwakilan media, khususnya media online; dan (v) organisasi jurnalis yang akan menjadi subjek penerima dampak dan manfaat langsung dari penerapan peraturan ini. Demikian masukan ELSAM terhadap materi dan proses pembahasan RPM Kominfo tentang Penanganan Konten Negatif, untuk dapat digunakan sebagaimana mestinya. Jakarta, 5 April 2014 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Indri D. Saptaningrum, S.H., LL.M. Direktur Eksekutif ___________________________________________   Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Institute for Policy Research and Advocacy), disingkat ELSAM, adalah organisasi advokasi kebijakan, berbentuk Perkumpulan, yang berdiri sejak Agustus 1993 di Jakarta. Tujuannya turut berpartisipasi dalam usaha menumbuhkembangkan, memajukan dan melindungi hak‐hak sipil dan politik serta hak‐ hak asasi manusia pada umumnya—sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Sejak awal, semangat perjuangan ELSAM adalah membangun tatanan politik demokratis di Indonesia melalui pemberdayaan masyarakat sipil melalui advokasi dan promosi hak asasi manusia. Informasi lebih lanjut: ELSAM, Jl Siaga II No. 31/Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510. Laman: http://elsam.or.id/, Surel: office@elsam.or.id, Twitter: @elsamnews.