1. Masukan ELSAM terhadap RPM Kominfo tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif 1
TANGGAPAN DAN MASUKAN ELSAM TERHADAP RANCANGAN PERATURAN
MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA (KOMINFO)
TENTANG PENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIF
Diajukan kepada:
Direktorat e‐Business, Direktorat Jendral Aplikasi Informatika
Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia
Menindaklanjuti hasil kelompok diskusi terfokus (FGD) mengenai penanganan situs
internet bermuatan negatif yang diselenggarakan oleh Kementrian Komunikasi dan
Informatika (Kemkominfo), pada tanggal 3 April 2014, yang membuka kesempatan bagi
institusi yang hadir untuk memberikan masukan tertulis, bersama ini, Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat (ELSAM) menyampaikan beberapa poin masukan dan tanggapan
terhadap Rancangan Peraturan Menteri (RPM) Kominfo tentang Penanganan Situs
Internet Bermuatan Negatif (draft per 3 April 2014).
Adapun poin‐poin tanggapan dan masukan tersebut adalah sebagai berikut:
I. Penapisan dan pemblokiran (filtering and blocking) konten internet sebagai
bentuk pengurangan hak atas kebebasan berekspresi dan memperoleh
informasi warga negara:
a. Praktik penapisan dan pemblokiran (filtering and blocking) yang diatur di
dalam RPM ini merupakan bentuk pengurangan terhadap pelaksanaan hak
asasi manusia, terutama hak atas kebebasan berekspresi dan hak
memperoleh informasi yang dijamin UUD 1945.
Berdasarkan standar hukum hak asasi manusia internasional, 1 maupun
ketentuan hukum nasional, sebagaimana diatur ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD
1945, perumusan cakupan pengurangan hak, hanya dimungkinkan dilakukan
melalui pengaturan dalam Undang‐undang dan bukan peraturan teknis setingkat
peraturan pemerintah, apalagi peraturan Menteri. 2 Lebih lanjut pengaturan
tersebut juga tunduk pada keharusan merumuskan secara limitatif dan definitif
mengenai batasan pengurangan yang secara hukum dapat dibenarkan, termasuk
di dalamnya perumusan daftar yang bersifat tertutup (exhausted list), dan bukan
list dan rumusan terbuka yang setiap saat dapat di re‐intepretasikan oleh
pembuat kebijakan (dalam hal ini pemerintah). Hal ini dimaksudkan untuk
1
Lihat Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR), khususnya ketentuan Pasal 19, yang telah disahkan
Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005. Secara detail prinsip-prinsip mengenai pembatasan tersebut kemudiaan
diatur di dalam Prinsip Siracusa mengenai Pembatasan Hak-hak dalam ICCPR.
2
Lebih lanjut, diuraikan dalam ELSAM, Tata Kelola Internet yang berbasis Hak, “ Studi tentang permasalahan umum
Tata Kelola Internet dan dampaknya terhadap Perlindungan HAM” dapat diakses pada
http://www.elsam.or.id/downloads/389032_Briefing_Paper_1_TATA_KELOLA_INTERNET_dan_HAM.pdf
2. Masukan ELSAM terhadap RPM Kominfo tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif 2
mencegah penyalahgunaan kewenangan dari kekuasaan pembatasan yang
diberikan.3
Lebih jauh, dalam konteks hukum hak asasi manusia internasional, yang
dimaksud dengan penapisan/pemblokiran konten interney adalah tindakan‐
tindakan yang dilakukan untuk mencegah konten tertentu mencapai pengguna
akhir. Hal tersebut meliputi pencegahan pengguna dalam mengakses laman
khusus, Internet Protocol (IP), alamat, ekstensi nama domain, penutupan laman
dari laman server di mana mereka menempatinya, atau menggunakan teknologi
filter untuk membuang halaman‐halaman yang mengandung kata kunci tertentu
atau memblok konten tertentu agar tidak bisa muncul.4
Dalam banyak kasus, pembatasan, pengawasan, manipulasi dan sensor konten
internet telah dilakukan oleh negara tanpa dasar hukum, atau meski berdasarkan
hukum, namun aturannya terlalu luas dan ambigu. Selain itu tindakan tersebut
juga seringkali dilakukan tanpa adanya pembenaran tujuan atau dengan cara yang
jelas‐jelas tidak perlu dan/atau tidak seimbang dalam mencapai tujuan. Tindakan
sensor terhadap konten internet, dalam bentuk penapisan dan pemblokiran
dengan menggunakan teknologi tertentu adalah suatu tindakan pelanggaran
terhadap hak atas kebebasan berekspresi. Tindakan‐tindakan tersebut benar‐
benar tidak sesuai dengan kewajiban negara di bawah hukum hak asasi manusia,
dan sering menciptakan “chilling effect” atau efek ketakutan yang besar terhadap
kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Merujuk pada batasan‐batasan tersebut, jika suatu tindakan penapisan dan
pemblokiran konten diatur dalam wadah pengaturan yang tidak tepat, maka
tindakan tersebut justru masuk dalam kategori pelanggaran. Secara detail
tindakan penapisan dan pemblokiran yang dianggap sewenang‐wenang dan
termasuk pelanggaran hak asasi adalah jika kategorinya berikut ini: Pertama,
kondisi khusus yang membenarkan pemblokiran tidak terdapat dalam hukum,
atau diatur oleh hukum namun pengaturannya sangat luas dan tidak langsung,
sehingga menyebabkan pemblokiran konten secara luas dan semena‐mena;
Kedua, pemblokiran tidak dilakukan untuk memenuhi tujuan yang dijelaskan
Pasal 19 ayat (3) ICCPR, dan daftar pemblokiran secara umum dirahasiakan
sehingga sulit untuk ditentukan apakah akses ke konten yang dibatasi tersebut
dilakukan demi tujuan yang benar; Ketiga, bahkan ketika pembenaran terhadap
pemblokiran dilakukan, tindakan pemblokiran telah menciptakan alat‐alat yang
tidak perlu dan tidak sesuai untuk mencapai tujuan, karena tindakan tersebut
sering tidak mempunyai tujuan yang cukup untuk dilakukan dan menyebabkan
konten tidak bisa diakses karena dianggap ilegal; dan Keempat, pemblokiran
dilakukan tanpa adanya intervensi atau kemungkian pengujian kembali oleh
sebuah pengadilan atau badan independen.5
Oleh karena itu, apabila pemerintah hendak mengeluarkan peraturan yang
sifatnya teknis, setingkat peraturan menteri, semestinya hanya mengatur materi
yang sifatnya teknis dan bukan menentukan cakupan apa yang dilarang/dibatasi
(dimaksud dengan konten negatif dalam istilah RPM ini). Lebih lanjut,
3
Untuk kajian mengenai praktek-praktek pembatasan dan kontrol yang tidak sesuai dengan standar ini dan dampak
kerugian bagi warga negara, lebih jauh diuraikan dalam, ELSAM, Membelenggu Ekspresi: Studi kasus mengenai
praktik pemblokiran/penyaringan konten internet dan kriminalisasi pengguna internet di Indonesia, 2014, dapat diakes
pada laman
http://www.elsam.or.id/downloads/933273_Membelenggu_Ekspresi_Studi_Kasus_Penerapan_UU_ITE.pdf
4
Lihat A/HRC/17/27, paragraf 29, dapat diakses di http://www2.ohchr.org/english/bodies/hrcouncil/docs/17session/
A.HRC.17.27_en.pdf.
5
Lihat Ibid., paragraf 31.
3. Masukan ELSAM terhadap RPM Kominfo tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif 3
pembatasan dengan mendasarkan pada ketertiban umum, moral publik dan
keamanan negara tidak lagi dapat dipergunakan secara fleksibel, dalam standar
tersebut juga harus dirumuskan secara rigid, batasan dan cakupannya, yang
secara limitatif harus dirumuskan dalam Undang‐undang. Hal ini dimaksudkan
untuk menghindarkan adanya kesewenangan dari pemerintah atau badan‐badan
negara dalam mengurangi hak asasi warga negara. Secara khusus Indonesia
terikat dalam kewajiban ini dengan diratifikasinya Kovenan Internasional Hak‐
hak Sipil dan Politik melalui UU No. 12 Tahun 2005.
Rekomendasi:
(1) Menghapus Pasal 3: Ruang lingkup Peraturan Menteri ini, poin a “penentuan
situs internet bermuatan yang perlu ditangani”, karena rumusan ini
melampau kewenangan aturan pelaksanaan teknis setingkat peraturan
Menteri.
(2) Menyesuaikan rumusan cakupan peraturan Menteri dengan batasan standar
pembatasan Hak sebagaimana berlaku terkait dengan hak atas kebebasan
berekspresi dan memperoleh informasi yang diatur dalam UUD 1945 dan UU
No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.
b. Pemerintah hanya berwenang melakukan pemblokiran konten internet
yang mengandung muatan pornografi. Hal ini sebagaimana termaktub di
dalam peraturan perundang‐undangan terkait berikut ini:
Peraturan perundang‐undangan yang secara tegas memberikan kewenangan bagi
pemerintah untuk melakukan pemblokiran konten internet, adalah ketentuan
Pasal 18 UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, yang menyebutkan: “Untuk
melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pemerintah
berwenang: a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan
produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui
internet”. Sementara ketentuan perundang‐undangan yang lain, termasuk UU No.
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, tidak secara eksplisit
memberikan kewenangan bagi pemerintah untuk melakukan penapisan dam
pemblokiran konten internet, termasuk terhadap konten‐konten yang dilarang
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 27‐Pasal 29 UU ITE.
Apabila dasar yang digunakan oleh pemerintah untuk merumuskan RPM ini
adalah ketentuan Pasal 40 ayat (2) UU ITE, yang menyebutkan: “Pemerintah
melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat
penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang
mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang‐
undangan”, maka tidak tepat pula jika kewenangan pemblokiran konten internet
diperluas tidak hanya terhadap konten pornografi. Mengapa demikian? Oleh
karena peraturan perundang‐undangan yang memberikan kewenangan
pemblokiran konten bagi pemerintah hanyalah ketentuan UU Pornografi,
sementara yang lain tidak ada.
Lalu apakah terhadap konten‐konten yang dilarang lainnya, yang masuk kategori
kejahatan menurut Pasal 27‐Pasal 29 UU ITE tidak dapat dilakukan pemblokiran?
Dapat, sepanjang memenuhi kaidah prosedur pidana yang diatur UU ITE.
Terhadap konten‐konten yang dilarang sebagaimana diatur ketentuan UU ITE,
kategorinya adalah tindak pidana, yang penanganannya juga secara pidana,
bukan lagi penanganan administratif. Oleh sebab itu, jika diperlukan pemblokiran
terhadap konten‐konten dimaksud maka harus merujuk pada ketentuan Pasal 43
4. Masukan ELSAM terhadap RPM Kominfo tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif 4
UU ITE. Dalam ketentuan tersebut Penyidik PNS yang dibentuk Kemenkominfo,
salah satunya diberikan wewenang untuk “melakukan penyegelan dan penyitaan
terhadap alat dan atau sarana kegiatan Teknologi Informasi yang diduga
digunakan secara menyimpang dari ketentuan Peraturan Perundang‐undangan”.6
Artinya, jika PPNS tidak memerlukan adanya pemblokiran terhadap konten yang
menjadi sarana kejahatan, maka pemblokiran oleh pemerintah—Kemenkominfo
pun tidak bisa dilakukan. Penyegelan/penyitaan/pemblokiran tersebut sifatnya
sementara, ‘pemblokiran tetap’ hanya bisa dilakukan atas perintah dari
pengadilan, ketika pengadilan memutus bersalah subjek hukum yang melakukan
pelanggaran berdasar ketentuan UU ITE. Apabila pengadilan memutus
sebaliknya, atau PPNS melakukan penghentian penyidikan sebagaimana diatur
ketentuan Pasal 43 huruf i, maka konten yang diblokir harus segera dipulihkan
atau dalam istilah RPM dilakukan normalisasi.
Rekomendasi:
(1) Apabila RPM akan dilanjutkan proses pembahasannya untuk disahkan
menjadi Peraturan Menteri Kominfo, maka ruang lingkup kewenangan untuk
melakukan pemblokiran konten internet harus dipersempit hanya pada
konten pornografi.
(2) Apabila konten‐konten lain yang dilarang sebagaimana dimaksud UU ITE,
akan diatur, maka pengaturannya haruslah merupakan pengaturan yang
sifatnya sangat teknis, yang prosesnya merupakan turunan dari yang diatur
oleh ketentuan Pasal 43 UU ITE (permintaan dari PPNS atau perintah
pengadilan). Mekanismenya harus dibedakan dengan penanganan terhadap
konten pornografi, yang kewenangan pemblokirannya memang ada pada
pemerintah.
II. Penapisan dan pemblokiran sebagai bentuk pembatasan terhadap hak asasi
manusia semestinya menjadi wewenang negara atau perangkat negara. RPM
memberikan hak tersebut kepada masyarakat melalui beberapa pasal yakni:
a. Pemberian wewenang pada masyarakat, sebagaimana disebutkan dalam
ketentuan Pasal 7 RPM, yang menyebutkan: “Masyarakat dapat ikut serta
menyelenggarakan layanan pemblokiran dengan memuat …”.
Perumusan masyarakat sangat luas dan tidak ada penjelasan definitif lebih
lanjut siapa yang disebut sebagai masyarakat, apakah individu perorangan,
kelompok, badan usaha atau bentuk lain.
Selain itu, bila masyarakat diijinkan melalukan praktik pemblokiran mandiri,
bagaimana mekanisme kontrol dan akuntabilitasnya, khususnya bila terjadi
penyalahgunaan? Bagaimana menjamin perlindungan korban, khususnya
kelompok‐kelompok rentan dari praktik pemblokiran sepihak ini? Sebagai
contoh, kelompok‐kelompok minoritas keagamaan yang selama ini menjadi
target aksi sepihak dari kelompok intoleran, kelompok transgender, dan LBGT
yang secara hukum hak asasinya diakui, tapi dalam beberapa kasus menjadi
subjek salah blokir. Ruang ini tentu akan menjadi alat legitimasi dan legalisasi
bagi tindakan kelompok masyarakat tertentu terhadap kelompok masyarakat
yang lain untuk melakukan tindakan pemblokiran konten, dengan
mengatasnamakan penanganan konten negatif.
6
Lihat Pasal 43 huruf g UU Informasi dan Transaksi Elektronik.
5. Masukan ELSAM terhadap RPM Kominfo tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif 5
Meski terlihat demokratis dengan memberikan ruang partisipasi pada warga
negara/kelompok masyarakat, pengaturan ini secara prinsip bertentangan
dengan hak asasi manusia, khususnya ketentuan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945,
yang secara jelas merujuk pada kewenangan dan otoritas negara dan bukan
entitas privat (anggota masyarakat). Disebutkan, “Perlindungan, pemajuan,
penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara,
terutama pemerintah”.
Rekomendasi:
Pasal 7 yang memberikan kewenangan kepada masyarakat secara mandiri
untuk menyelenggarakan layanan pemblokiran dihapuskan.
b. Pemberian wewenang pemblokiran bagi Penyelenggara Jasa Akses
Internet, sebagaimana diatur ketentuan Pasal 8 ayat (2) RPM, yang
menyebutkan pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dapat
dilakukan sebagai berikut: (a) pemblokiran mandiri; (b) pemblokiran
oleh pihak lain yang menyediakan layanan pemblokiran.
Pemberian kewenangan pemblokiran kepada penyedia jasa akses internet
secara mandiri berpotensi membenarkan terjadinya pemutusan akses informasi
di luar kontrol negara. Perumusan pasal ini memberikan pembenaran hukum
pada praktik pemblokiran sepihak oleh penyedia akses tanpa proses yang
akuntabel dan transparan. Hal ini jelas tidak sesuai dengan standar Hak Asasi
Manusia yang berlaku dan dijamin dalam UU No. 39 Tahun 1999. Selain itu
praktik ini berpotensi merugikan pengguna/konsumen yang secara sepihak
mengalami pemutusan akses informasi.
Bagi penyelenggara jasa akses internet sendiri, pemberian wewenangan ini
sesungguhnya juga merugikan, terutama bila dilihat dari pertimbangan bisnis.
Tindakan pemblokiran yang dilakukan secara mandiri oleh penyelenggara jasa
akses internet akan membuka banyak celah gugatan hukum dari konsumen,
yang tentu akan memberikan banyak kerugian bagi penyelenggara jasa akses
intenter itu sendiri.
Rekomendasi:
(1) Pembatasan cakupan pemblokiran yang limitatif sesuai dengan rumusan
yang dibenarkan oleh ketentuan peraturan perundang‐undangan.
(2) Pengaturan yang lebih rinci mengenai detail prosedur
penapisan/pemblokiran yang dilakukan ISP untuk menjamin akuntabilitas
dan transparansi sebagai bagian dari perlindungan hak
konsumen/pengguna, yang merupakan turunan dari ketentuan perundang‐
undangan, baik UU Pornografi (tanpa proses pidana), maupun UU ITE
(proses pidana).
III. Sejumlah kelemahan yang terkait dengan rumusan‐rumusan ketentuan di
dalam RPM, sebagai berikut:
a. Rumusan “konten negatif”
RPM merumuskan cakupan pengaturan dengan sangat luas dan kurang spesifik.
Sebagai peraturan teknis, sebenarnya RPM ini merupakan aturan
pelaksanaan/delegasi dari UU yang mana? Bila yang dirujuk adalah UU ITE
6. Masukan ELSAM terhadap RPM Kominfo tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif 6
(sebagaimana diutarakan pihak KOMINFO dalam FGD tgl 3/4/201), tidak terdapat
rujukan ‘konten negatif’ dalam UU tersebut.
Apabila merujuk pada UU ITE maka sebagai peraturan pelaksanaan semestinya
Rancangan Permen ini merujuk pada pasal‐pasal larangan dalam UU ITE, yang
secara limitatif membatasi rumusan larangan terkait (Pasal 27‐Pasal 29 UU ITE),
atau jika merujuk pada perintah UU Pornografi, sebagaimana telah disinggung di
atas, maka RPM ini hanya mengatur konten pornografi. Pemberian kewenangan di
dalam RPM ini, bertentangan dengan prinsip umum hierarki peraturan perundang‐
undangan (UU No. 12 Tahun 2011) dimana peraturan pelaksanaan tidak boleh
melampaui kewenangan UU yang mendasarinya. Dengan rumusan tersebut,
pelaksana memiliki kekuatan yang jauh lebih besar untuk merumuskan dan
menentukan kegiatan ilegal yang kemudian disebut sebagai muatan negatif .
Rekomendasi:
Menyesuaikan/mengganti rumusan ‘muatan negatif’ dengan rumusan yang ada dan
dikenal dalam ketentuan peraturan perundang‐undangan (UU Pornografi atau UU
ITE). Sehingga RPM ini merupakan turunan prosedur dari dari prosedur yang
diatur dalam kedua undang‐undang tersebut.
b. Rumusan “kegiatan ilegal”
Terkait dengan pengaturan ‘kegiatan ilegal’ yang terdapat pada Pasal 4 ayat (1)
huruf c RPM, yang menyebutkan, mengenai “kegiatan ilegal lainnya …”, dan Pasal 4
ayat (2) RPM, rumusan tentang “kegiatan ilegal” mengandung dua kelemahan:
1. UU ITE tidak mengenal ‘kegiatan ilegal’ sebagaimana diatur dalam Rancangan
Peraturan Menteri ini. Dalam penjelasan lebih lanjut (Pasal 4 ayat (2)) kegiatan
ilegal adalah kegiatan yang pelaporannya berasal dari Kementerian atau
Lembaga Pemerintah yang berwenang. Pasal 4 huruf c RPM “kegiatan illegal
lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang‐undangan” memberikan
kewenangan dari RPM untuk menentukan cakupan dan apa yang dikategorikan
sebagai ‘bermuatan negatif’ dengan rumusan yang sangat luas dan tanpa
batasan yang jelas.
Rumusan ini justru semakin memperlebar batasan pengertian dengan
menyerahkan intepretasi kegiatan ilegal berdasarkan kementerian atau
lembaga pemerintah. Perumusan yang sedemikian fleksible dapat
meningkatkan potensi terjadinya penyalahgunaan kewenangan dengan secara
lentur melakukan intepretasi atas ‘perbuatan ilegal’ rumusan ini jelas
mempertinggi tingkat ‘ketidakpastian hukum’ khususnya bagi warga negara/
entitas pengguna internet yang menjadi subyek dari peraturan ini.
Merujuk pada FGD tgl 3/4/2014 diuraikan mengenai kebutuhan perumusan
ayat ini untuk mewadahi permintaan‐permintaan pemblokiran yang tidak
termasuk dalam dua kategori tersebut tapi dipersepsikan meresahkan
masyarakat (seperti dicontohkan dengan permintaan FPI melalui telepon
kepada pejabat yang bersangkutan untuk melakukan pemblokiran konten, yang
segera dilakukan pihak kementerian dengan alasan kemendesakan karena bila
tidak dilakukan pemblokiran, FPI akan segera mengerahkan massa untuk
melakukan tindakan sepihak). Dengan rujukan ini, ketentuan ayat ini
berpotensi untuk menjadi ayat karet sehingga menimbulkan ketidakpastian
hukum dan bahkan menjadi ancaman bagi warga negara karena dapat menjadi
7. Masukan ELSAM terhadap RPM Kominfo tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif 7
alas hukum pembenar untuk melakukan pengurangan hak akibat tekanan dari
pihak ketiga (alasannya menjadi suka dan tidak suka).
2. Secara teknis, rumusan ‘kegiatan ilegal’ bukanlah merupakan diksi yang tepat
dipergunakan dalam drafting ketentuan perundang‐undangan, apabila ingin
merujuk pada tindakan yang dilarang sebaiknya merujuk langsung pada
ketentuan hukum yang dipergunakan sebagai acuan, atau apabila merujuk pada
tindak kejahatan atau perbuatan melawan hukum juga harus mempergunakan
cakupan dan rumusan dari ketentuan UU yang dijadikan acuan.
Rekomendasi:
Oleh karena itu, ELSAM merekomendasikan menghilangkan Pasal 4 ayat (1) huruf
c “kegiatan illegal …dst”, dan menghapus Pasal 4 ayat (2) “kegiatan ilegal lainnya…”.
IV. Pengaturan mengenai “pelaporan mendesak”
RPM ini merumuskan pelaporan mendesak dengan rumusan yang sangat terbuka
dan lentur sebagai diatur dalam Pasal 10 ayat (3) huruf e. mengenai “muatan
lainnya yang berdampak negatif yang menjadi keresahan masyarakat secara luas”.
Perumusan ini memberikan ruang keluasan yang tidak terbatas pada pemegang
otoritas (unit teknis pelaksana tupoksi pemblokiran dalam Direktorat Jendral
terkait) untuk menentukan dan berdasarkan hal tersebut mengambil langkah cepat
(1X24 jam). Tanpa perumusan dan batasan yang tegas, rumusan semacam ini
memberikan ruang intepretasi dan subjektifitas yang tinggi tanpa disertai kontrol
dan mekanisme akuntabilitas yang memadai.
Rekomendasi:
(1) menyesuaian dengan batasan dan standar pembatasan sebagaimana diatur
dalam UU yang dirujuk/diacu.
(2) Menyesuaikan dengan batasan standar pembatasan Hak sebagaimana berlaku
terkait dengan hak atas kebebasan berekspresi dan mendapatkan informasi
yang diatur dalam UUD 1945 dan UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM.
(3) Menghapus rumusan Pasal 10 ayat (3) huruf e RPM, karena cakupan
kewenangan peraturan teknis melampaui rumusan dan cakupan peraturan
perundangan yang lebih tinggi hierarkinya (UU) yang dirujuk.
V. Mekanisme dan prosedur pembahasan Rancangan Peraturan Menteri
Mengingat keluasan dan dampak yang ditimbulkan dari pemberlakuan ketentuan
teknis ini terhadap warga negara, proses pembahasan semestinya melibatkan
konsultasi publik yang luas dengan pemangku kepentingan maupun subjek yang
akan terkena dampak peraturan ini.
Upaya melakukan konsultasi publik dan menjaring masukan ini tidak dapat secara
memadai dilakukan hanya dengan mencantumkan dalam website kementrian,
mengingat 70% pengguna internet hanya terkonsentrasi di lima kota besar di Jawa
dan Sumatera. Mekanisme ini jelas menutup akses yang memadai bagi warga
negara yang tidak memiliki akses internet. Sementara peraturan ini akan berlaku
bagi seluruh warga negara tanpa terkecuali, mereka dianggap tahu segera setelah
diundangkan (presumptio iures de iure).
Selain itu, proses konsultasi yang luas dan upaya menjaring masukan juga tidak
semestinya dihentikan karena dipersepsikan sebagai sesuatu yang menghambat
8. Masukan ELSAM terhadap RPM Kominfo tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif 8
proses penyelesaian pembahsan RPM ini (sebagaimana diutarakan dalam FGD
tanggal 3/4/2014). Hal ini bertentangan dengan semangat menjamin partisipasi
warga dalam proses pembuatan kebijakan sesuai dengan prinsip tata kelola
pemerintahan umum yang baik, maupun prinsip tata kelola internet itu sendiri,
yang menghendaki partisipasi multi‐pemangku kepentingan dalam setiap
perumusan kebijakan yang terkait dengan internet.
Dalam kaitan itu, ELSAM merekomendasikan keterlibatan lembaga‐lembaga dan
pemangku kepentingan dalam proses pembahasan RPM ini, antara lain: (i)
KOMNAS HAM; (ii) Komisi Informasi Pusat; (iii) Dewan Pers; (iv) Perwakilan
media, khususnya media online; dan (v) organisasi jurnalis yang akan menjadi
subjek penerima dampak dan manfaat langsung dari penerapan peraturan ini.
Demikian masukan ELSAM terhadap materi dan proses pembahasan RPM Kominfo
tentang Penanganan Konten Negatif, untuk dapat digunakan sebagaimana mestinya.
Jakarta, 5 April 2014
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM),
Indri D. Saptaningrum, S.H., LL.M.
Direktur Eksekutif
___________________________________________
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Institute for Policy Research and Advocacy),
disingkat ELSAM, adalah organisasi advokasi kebijakan, berbentuk Perkumpulan, yang
berdiri sejak Agustus 1993 di Jakarta. Tujuannya turut berpartisipasi dalam usaha
menumbuhkembangkan, memajukan dan melindungi hak‐hak sipil dan politik serta hak‐
hak asasi manusia pada umumnya—sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 dan
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Sejak awal, semangat perjuangan ELSAM
adalah membangun tatanan politik demokratis di Indonesia melalui pemberdayaan
masyarakat sipil melalui advokasi dan promosi hak asasi manusia.
Informasi lebih lanjut: ELSAM, Jl Siaga II No. 31/Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta
12510. Laman: http://elsam.or.id/, Surel: office@elsam.or.id, Twitter: @elsamnews.