Mengacu pada ajakan untuk menyampaikan tanggapan atas Rancangan Peraturan Menteri (RPM) tentang Penyediaan Layanan Aplikasi dan/atau Konten Melalui Internet , yang untuk selanjutnya disebut sebagai RPM Over-the-Top (OTT), maka bersama ini kami dari ICT Watch menyampaikan 7 (tujuh) butir tanggapan sebagai berikut:
1) Deskripsi yang tertulis pada RPM OTT dapat mengakibatkan over-generalized dan over-regulated pada implementasinya.
2) RPM OTT rentan mengulang permasalahan yang sama dengan keberadaan RPM Konten Multimedia yang kontroversial.
3) RPM OTT memberi tugas (beban – Red.) kepada BRTI melebihi dari kapasitas, kompetensi dan kewenangannya.
4) Indonesia belum memiliki regulasi yang komprehensif untuk jaminan hak privasi dan/atau perlindungan data pribadi, sebagaimana disyaratkan di RPM OTT.
5) Pelaku startup digital, teknoprenuer dan pengusaha UMKM online lokal, dapat menjadi target pembebanan pungutan PNBP, menurut RPM OTT.
6) RPM OTT ini memiliki kecenderungan ingin memiliki fungsi penyensoran dan diskriminasi (trafik) konten.
7) Perlu tertulis ada perlindungan atas hak konsumen yang kuat dan persaingan usaha yang sehat dalam RPM OTT.
Silakan unduh dan baca dokumen selengkapnya.
Indonesia Internet Sehat on Child Online Protection
Tanggapan ICT Watch atas RPM OTT
1. ICT Watch – Perkumpulan Mitra TIK Indonesia (Indonesian ICT Partnership)
Jl. Tebet Barat Dalam 6H no.16A, Jakarta 12810, Indonesia
P: (021) 98495770 | F: (021) 8292428 | E: info@ictwatch.id | W: ictwatch.id
Internet Safety | Internet Rights | Internet Governance
Kepada Jakarta, 23 Mei 2016
Yth. Menteri Komunikasi dan Informatika
Bapak Rudiantara
di Jakarta
Mengacu pada ajakan untuk menyampaikan tanggapan1
atas Rancangan Peraturan Menteri (RPM)
tentang Penyediaan Layanan Aplikasi dan/atau Konten Melalui Internet2
, yang untuk selanjutnya
disebut sebagai RPM Over-the-Top (OTT), maka bersama ini kami dari ICT Watch menyampaikan 7
(tujuh) butir tanggapan sebagai berikut:
1) Deskripsi yang tertulis pada RPM OTT dapat mengakibatkan over-generalized
dan over-regulated pada implementasinya.
2) RPM OTT rentan mengulang permasalahan yang sama dengan keberadaan RPM
Konten Multimedia yang kontroversial.
3) RPM OTT memberi tugas (beban – Red.) kepada BRTI melebihi dari kapasitas,
kompetensi dan kewenangannya.
4) Indonesia belum memiliki regulasi yang komprehensif untuk jaminan hak privasi
dan/atau perlindungan data pribadi, sebagaimana disyaratkan di RPM OTT.
5) Pelaku startup digital, teknoprenuer dan pengusaha UMKM online lokal, dapat
menjadi target pembebanan pungutan PNBP, menurut RPM OTT.
6) RPM OTT ini memiliki kecenderungan ingin memiliki fungsi penyensoran dan
diskriminasi (trafik) konten.
7) Perlu tertulis ada perlindungan atas hak konsumen yang kuat dan persaingan
usaha yang sehat dalam RPM OTT.
Adapun penjelasan lebih lengkap berikut dengan saran terkait, adalah sebagai berikut:
1. Deskripsi yang tertulis pada RPM OTT dapat mengakibatkan over-generalized dan
over-regulated pada implementasinya.
Tertulis dalam pasal 1 RPM OTT, ada 3 (tiga) kategori layanan: 1). layanan aplikasi
melalui Internet, 2). layanan konten melalui Internet dan 3). layanan over-the-top (OTT).
Adapun layanan over-the-top, sebagaimana dideskripsikan, berupa layanan aplikasi
melalui Internet dan/atau layanan konten melalui Internet. Namun demikian, karena
memang keterbaruan dari perkembangan teknologi, kategorisasi ketiga layanan tersebut
belum ada dalam regulasi terkait, semisal pada Undang-undang (UU) no 36 tahun 1999
tentang “Telekomunikasi”3
dan peraturan-peraturan turunannya.
1
https://kominfo.go.id/content/detail/7398/siaran-pers-nomor-35pihkominfo42016-tentang-uji-publik-rpm-penyediaan-
layanan-aplikasi-danatau-konten-melalui-internet/0/siaran_pers
2
https://web.kominfo.go.id/sites/default/files/users/4761/Draft%20Uji%20PUblik%20Rancangan%20Permen%20Kominfo
%20tentang%20Penyediaan%20Layanan%20Aplikasi.pdf
3
http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_1999_36.pdf
2. ICT Watch – Perkumpulan Mitra TIK Indonesia (Indonesian ICT Partnership)
Jl. Tebet Barat Dalam 6H no.16A, Jakarta 12810, Indonesia
P: (021) 98495770 | F: (021) 8292428 | E: info@ictwatch.id | W: ictwatch.id
Internet Safety | Internet Rights | Internet Governance
Kategorisasi penyelenggara telekomunikasi berdasarkan UU 36/1999 ada 3 (tiga), yaitu:
1). penyelenggara jaringan telekomunikasi, 2). penyelenggara jasa telekomunikasi dan
3). penyelenggara telekomunikasi khusus. Adapun yang disebut penyelenggara jasa
telekomunikasi berdasarkan PP 52/2000 tentang “Penyelenggaraan Telekomunikasi”4
dibagi lagi menjadi 3 (tiga) yaitu: 1). penyelenggara jasa teleponi dasar, 2).
penyelenggara jasa nilai tambah telepon dan 3). penyelenggara jasa multimedia.
Lantas yang dimaksud dengan penyelenggara jasa multimedia berdasarkan Kepmenhub
21/2001 tentang “Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi”5
dan perubahannya, terdiri
atas 4 (empat) jenis, yaitu: 1). jasa akses Internet (ISP), 2). jasa interkoneksi Internet
(NAP), 3). jasa Internet teleponi untuk keperluan publik dan 4). jasa sistem komunikasi
data. Adapun penyelenggara jasa multimedia selain sebagaimana 4 jenis di atas, tertulis
(akan) ditetapkan oleh Direktur Jenderal.
Memang pada Kepmenhub 21/2001 yang belum diubah, penyelenggara jasa
multimedia terdiri atas 9 (sembilan) jenis, yaitu: 1). jasa televisi berbayar, 2). jasa akses
Internet (ISP), 3). jasa interkoneksi Internet (NAP), 4). jasa Internet teleponi untuk
keperluan publik, 5). jasa wireless access protocol, 6). jasa portal, 7). jasa small office
home office (SOHO), 8). jasa transaksi online dan 9). jasa aplikasi packet-switched.
Tampaknya RPM OTT tersebut mencoba melakukan pendekatan dengan memasukkan
layanan over-the-top dalam kategori penyelenggaraan jasa telekomunikasi, khususnya
penyelenggaraan jasa multimedia. Dan jika sejenak mengacu pada Kepmenhub yang
belum diubah tersebut, “layanan aplikasi melalui Internet” pada RPM OTT dapat
disetarakan sebagai “jasa transaksi online” sedangkan “layanan konten melalui Internet”
dapat disetarakan sebagai “jasa portal”.
Jika OTT tidak didefinisikan secara jelas dan memadai, maka akan terjadi generalisasi
berlebihan (over-generalized) dan pengaturan berlebihan (over-regulated), sehingga
segala yang ada di Internet dapat dianggap OTT dan dapat menjadi obyek (rencana)
keberadaan regulasi khusus OTT ini.
Saran:
Ketiga kategori layanan dan deskripsi yang tertulis pada RPM OTT sebaiknya lebih
dijelaskan secara komprehensif dan/atau dirujuk pada literatur yang ada. Walau
memang oleh badan International Telecommunication Union (ITU) sendiri, istilah OTT
belum didefinisikan secara baku6
. Kemungkinan pembakuan istilah dan definisi OTT akan
menjadi salah satu pembahasan dalam World Telecommunication Standardization
Assembly, Oktober-November 2016 nanti di Tunisia7
.
4
https://jdih.kominfo.go.id/produk_hukum/unduh/id/21/t/peraturan+pemerintah+republik+indonesia+nomor+52+tahun+
2000
5
https://jdih.kominfo.go.id/produk_hukum/unduh/id/525/t/keputusan+menteri+perhubungan+nomor++km+21+tahun+20
01+tanggal+31+mei+2001
6
http://www.internetsociety.org/doc/itu-world-telecommunication-standardization-assembly-2016-wtsa-16-background-
paper
7
http://www.itu.int/en/ITU-T/wtsa16/prepmeet/Pages/default.aspx
3. ICT Watch – Perkumpulan Mitra TIK Indonesia (Indonesian ICT Partnership)
Jl. Tebet Barat Dalam 6H no.16A, Jakarta 12810, Indonesia
P: (021) 98495770 | F: (021) 8292428 | E: info@ictwatch.id | W: ictwatch.id
Internet Safety | Internet Rights | Internet Governance
Namun demikian, ITU pernah merilis artikel berjudul “Regulating Over-the-Top
Services”8
, juga mengulas tentang OTT dalam laporannya yang berjudul “Competition
and Regulation in a Converged Broadband World”9
. Juga tentunya terdapat sumber
rujukan lain yang tersedua untuk membantu menuliskan deskripsi tentang OTT lebih
baik lagi.
2. RPM OTT rentan mengulang permasalahan yang sama dengan keberadaan RPM
Konten Multimedia yang kontroversial.
Tertulis dalam pasal 1 (2) RPM OTT, definisi “layanan konten melalui Internet” yang
dimaksud adalah “penyediaan informasi digital dengan memanfaatkan jasa akses
Internet melalui penyelenggara jaringan telekomunikasi”. Penyediaan informasi digital
yang dimaksud tentu saja dapat berupa portal berita ataupun yang bersifat user-
generated content semisal forum online, file/foto/video sharing, blog dan media sosial.
Perlu diingat bahwa pada Februari 2010, Kementerian Kominfo pernah merilis RPM
Konten Multimedia10
yang langsung mendapatkan kritik dari praktisi media11
maupun
praktisi Internet12
. Pun pada RPM OTT edisi 2016 dengan RPM Konten Multimedia edisi
2010, memiliki benang merah (kesamaan) antara lain pada format kontennya (digital
dan/atau multimedia), medium yang digunakan (Internet), subyek penyelenggaranya
(publik) dan adanya larangan atas konten/informasi tertentu (dalam RPM OTT terdapat
16 jenis konten/informasi yang dilarang, sedangkan dalam RPM Konten Multimedia
terdapat setidaknya 9 jenis konten/informasi yang dilarang).
Saran:
RPM OTT sebaiknya tidak terlalu perlu masuk terlalu dalam dan detil mengatur soal
kebijakan konten/informasi yang dilayani oleh OTT. Aturan konten/informasi tersebut
cukup dengan merujuk saja pada kebijakan yang telah ada, sehingga tidak over-
regulated. Pun ini untuk menghindari terjadinya tumpang-tindih kewenangan antar
lembaga/institusi terkait dengan kebijakan konten.
3. RPM OTT memberi tugas (beban – Red.) kepada BRTI melebihi dari kapasitas,
kompetensi dan kewenangannya.
Tertulis dalam pasal 6 RPM OTT, terdapat 16 (enam belas) jenis muatan (konten /
informasi) yang dilarang disediakan oleh penyedia layanan OTT. Kemudian dalam pasal
11 RPM OTT, bahwa “pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan peraturan
menteri ini dilaksanakan oleh BRTI”. Walau memang tertulis bahwa BRTI dapat
berkoordinasi dengan pihak lain, namun BRTI bukan institusi yang tepat untuk diberi
tanggung-jawab atas (koordinasi) pengawasan dan pengendalian “konten/informasi”.
8
http://www.ictregulationtoolkit.org/sectionexport/pdf/2.5
9
http://www.itu.int/ITU-D/treg/publications/Competitionregulation.pdf
10
http://www.postel.go.id/content/ID/regulasi/telekomunikasi/kepmen/rpm%20konten%20multimedia.doc
11
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2010/02/100216_multimedialaw.shtml
12
http://inet.detik.com/read/2010/02/15/153529/1299891/398/6-masalah-di-rpm-konten-multimedia
4. ICT Watch – Perkumpulan Mitra TIK Indonesia (Indonesian ICT Partnership)
Jl. Tebet Barat Dalam 6H no.16A, Jakarta 12810, Indonesia
P: (021) 98495770 | F: (021) 8292428 | E: info@ictwatch.id | W: ictwatch.id
Internet Safety | Internet Rights | Internet Governance
Sebagaimana tertulis dalam Permen Kominfo no 36 tahun 2008 tentang “Penetapan
Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia”13
(BRTI), bahwa khusus untuk fungsi
pengawasan dan pengendalian oleh BRTI hanyalah terkait pada 5 (lima) hal, yaitu: 1).
kinerja operasi, 2). persaingan usaha, 3). penggunaan alat dan perangkat
telekomunikasi, 4). penyelesaian perselihan dan 5). penetapan standar kualitas layanan.
Ada sejumlah institusi yang lebih berkompeten dalam urusan konten/informasi, semisal
Dewan Pers14
untuk konten/informasi pada media massa berdasarkan UU 40/1999
tentang “Pers”15
dan Lembaga Sensor Film (LSF)16
untuk konten terkait perfilman
berdasarkan UU 33/2009 tentang “Perfilman”17
.
Sedangkan untuk konten yang berada di Internet, telah dibentuk Forum Penanganan
Situs Internet Bermuatan Negatif berdasarkan Kepmen Kominfo 290/201518
. Dengan
demikian RPM OTT jelas telah (berencana) memberikan tugas BRTI secara tidak
proporsional dan, juga akan berakibat pada terjadinya tumpang tindih tugas dan fungsi
institusi / organisasi lainnya yang telah ada.
Saran:
BRTI tidak selayaknya diberikan beban yang bukan tugas dan fungsinya. Penting agar
(rencana) regulasi OTT ini dapat lebih fokus ditujukan mendorong ekosistem industri
OTT dalam negeri agar dapat bersaing secara global. Sehingga akan lebih bijak apabila
regulasi OTT tidak latah ingin mengatur jenis muatan (konten / informasi) yang ada di
Internet. Hal tersebut cukup dirujuk kepada regulasi dan/atau institusi yang telah ada.
4. Indonesia belum memiliki regulasi yang komprehensif untuk jaminan hak privasi
dan/atau perlindungan data pribadi, sebagaimana disyaratkan di RPM OTT.
Tertulis dalam pasal 2 RPM OTT mengenai tujuan peraturan tersebut adalah
“memberikan perlindungan kepada masyarakat, pengguna dan/atau pelanggan layanan
OTT, meliputi hak privasi….”. Kemudian pada pasal 5 (b) disebutkan “melakukan
perlindungan data (data protection) dan kerahasiaan data pribadi “data privacy” sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Dalam hal ini, kami sepakat bahwa jaminan atas hak privasi dan perlindungan data
pribadi adalah mutlak diberikan oleh penyedia layanan aplikasi, layanan konten ataupun
layanan over-the-top, baik yang dari luar maupun dalam negeri. Namun perlu diingat
bahwa Indonesia belum memiliki regulasi khusus dan komprehensif dalam jaminan hak
privasi dan/atau perlindungan data pribadi.
13
https://jdih.kominfo.go.id/produk_hukum/unduh/id/439/t/peraturan+menteri+komunikasi+dan+informatika+nomor+36
permkominfo102008+tanggal++31+oktober+2008
14
http://dewanpers.or.id/
15
http://www.komisiinformasi.go.id/regulasi/download/id/140
16
http://lsf.go.id/
17
https://kejaksaan.go.id/upldoc/produkhkm/UU%2033%20Tahun%202009.pdf
18
https://web.kominfo.go.id/sites/default/files/users/1536/SK%20MENKOMINFO%20NO%20290%20-
%202015%20TTG%20%20%20%20%20%20FORUM%20PENANGANAN%20SITUS%20%20INTERNET%20BERMUATAN%20%2
0NEGATIF.pdf
5. ICT Watch – Perkumpulan Mitra TIK Indonesia (Indonesian ICT Partnership)
Jl. Tebet Barat Dalam 6H no.16A, Jakarta 12810, Indonesia
P: (021) 98495770 | F: (021) 8292428 | E: info@ictwatch.id | W: ictwatch.id
Internet Safety | Internet Rights | Internet Governance
Saat ini jaminan dan/atau perlindungan tersebut secara parsial tersebar di 30 (tiga)
puluh produk UU yang berlainan pun tidak komprehensif19
. Ke-30 UU tersebut pun
terpisah antara topik HAM, media dan telekomunikasi, pertahanan dan keamanan,
peradilan, kearsipan dan kependudukan, kesehatan, keuangan dan perbankan, serta
perdagangan dan perindustrian.
Saran:
Indonesia perlu segera memiliki regulasi yang memadai terkait dengan jaminan atas hak
privasi dan perlindungan data pribadi. Untuk itu RPM tentang Perlindungan Data Pribadi
dalam Sistem Elektronik20
(PDPSE) perlu segera disahkan, sembari memastikan seluruh
pemangku kepentingan terkait di Indonesia mendorong agar RUU Perlindungan Data
Pribadi21
dapat masuk sebagai salah satu prioritas dalam Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) sesegera mungkin. Hanya dengan demikian maka salah satu tujuan regulasi
OTT untuk memberikan jaminan hak privasi dan perlindungan data pribadi dapat
memiliki pondasi kebijakan yang kuat.
5. Pelaku startup digital, teknoprenuer dan pengusaha UMKM online lokal, dapat
menjadi target pembebanan pungutan PNBP, menurut RPM OTT.
Tertulis dalam pasal 7 (2) RPM OTT ada 3 (tiga) opsi yang ditawarkan bagi penyedia OTT,
yaitu: 1). dapat bekerjasama dengan penyelenggara telekomunikasi, 2). wajib
bekerjasama dengan penyelenggara telekomunikasi, atau 3). menjadi penyelenggara
telekomunikasi. Berdasarkan hal di atas, berdasarkan UU 36/1999 dan turunannya
sebagaimana dijelaskan pada awal tulisan ini, yang dimaksud “penyelenggara
telekomunikasi” salah satunya adalah “penyelenggara jasa multimedia”. Jika penyedia
OTT adalah penyelenggara jasa multimedia, maka otomatis juga termasuk sebagai
penyelenggara telekomunikasi. Sehingga apapun opsi yang dipilih, tidak menjadi soal.
Namun bisa saja yang dimaksud dengan “penyelenggara telekomunikasi” di dalam RPM
OTT adalah “penyelenggara jasa multimedia” khususnya Internet Service Provider (ISP).
Atau bisa juga yang dimaksud adalah “penyelenggara jaringan telekomunikasi”
khususnya yang kita kenal dengan sebutan operator telekomunikasi. Hal ini akan
membawa konsekuensi lain, yang akan dibahas terpisah dalam dokumen ini.
Kemudian berdasarkan Kepmenhub 21/2001 (yang belum diubah – Red.) pasal 47 ayat 2
dan 3, disebutkan bahwa penyelenggara jasa multimedia (seperti jasa portal dan jasa
transaksi online) tidak memerlukan ijin (dari Direktur Jenderal), cukup (harus)
didaftarkan saja (pada Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi). Dalam Kepmenhub
tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut prosedur dan mekanisme pendaftaran tersebut.
Namun selanjutnya pasal 47 tersebut tersebut akhirnya telah dihapus total, berdasarkan
perubahan yang tertulis pada Permen Kominfo 31/PER/M.KOMINFO/09/200822
.
19
http://pusdok.elsam.or.id/repository/download/perlindungan-data-pribadi-di-indonesia-usulan-pelembagaan-kebijakan-
dari-perspektif-hak-asasi-manusia/
20
https://web.kominfo.go.id/sites/default/files/users/1536/RPM%20Perlindungan%20Data%20Pribadi%20dalam%20SE%2
0-%2028%20Maret%202015_nando_bersih.pdf
21
http://www.hukumonline.com/pusatdata/downloadfile/lt561f752b12783/parent/lt561f74edf3260
22
http://www.postel.go.id/downloads/40/20120202093355-regulasi-telekomunikasi-kepmen-permen_31.pdf
6. ICT Watch – Perkumpulan Mitra TIK Indonesia (Indonesian ICT Partnership)
Jl. Tebet Barat Dalam 6H no.16A, Jakarta 12810, Indonesia
P: (021) 98495770 | F: (021) 8292428 | E: info@ictwatch.id | W: ictwatch.id
Internet Safety | Internet Rights | Internet Governance
Namun secara kontradiktif, menyamakan penyedia OTT sebagai penyelenggara
telekomunikasi pun membawa konsekuensi yang tak ringan. Karena berdasarkan
Kepmenhub 21/2001 pasal 12, disebutkan bahwa “setiap penyelenggara jasa
telekomunikasi (termasuk penyelenggara jasa multimedia – Red) wajib membayar biaya
hak penyelenggaraan telekomunikasi yang merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak
(PNBP)”. Tanpa penjelasan lebih lanjut, maka pasal ini tentu saja menjadikan
“penyelenggara jasa multimedia”, termasuk pelaku startup, teknoprenuer dan
pengusaha digital UMKM lokal, dapat menjadi target pungutan PNBP.
Saran:
Dalam RPM OTT, sangat mutlak untuk dijelaskan terlebih dahulu mengenai posisi
penyedia (layanan) OTT dalam konteks dan tataran penyelenggaraan telekomunikasi di
Indonesia. Dengan demikian, tidak akan menimbulkan multitafsir yang kemudian justru
dapat menurunkan daya saing pelaku OTT nasional. Jika memang penyedia OTT pada
kondisi dan/atau tingkat tertentu menurut regulasi dapat dikenakan kewajiban atas
pungutan PNBP, maka perlu ada instrumen kebijakan tambahan agar pungutan tersebut
tidak dikenakan kepada penyedia OTT nasional pada masa “inkubasi” tertentu. Pun alih-
alih mengenakan pungutan, pada masa inkubasi tersebut penyedia OTT nasional justru
perlu diberikan beragam untuk mendorong daya saingnya secara global.
6. RPM OTT ini memiliki kecenderungan ingin memiliki fungsi penyensoran dan
diskriminasi (trafik) konten
Tertulis dalam pasal 13 RPM OTT bahwa penyedia layanan OTT yang melakukan
pelanggaran dapat dikenakan sanksi berupa bandwidth management yang diberikan
oleh Direktur Jenderal berdasarkan evaluasi dari BRTI (dan masukan dari masyarakat).
Adapun pelaksana sanksi tersebut adalah penyelenggara telekomunikasi.
Dari sejumlah rujukan, yang dimaksud dengan bandwidth management pada intinya
adalah proses mengatur, membatasi ataupun mendistribusikan lalu-lintas dan paket
komunikasi (data) atapun tautan jaringan komunikasi tersebut23
. Dalam konteks ini,
melakukan filtering, blocking ataupun mendiskriminasi trafik (misal: membuat suatu
layanan online dari dan/atau ke titik tertentu menjadi lebih lambat ataupun lebih cepat
ketimbang layanan yang lain) juga masuk dalam bandwidth management.
Jika ini yang terjadi, maka RPM OTT ini memiliki kecenderungan ingin memiliki fungsi
penyensoran dan diskriminasi (trafik) konten. Pun BRTI yang bukanlah institusi yang
tepat untuk mendapatkan mandate evaluasi atas konten (baca butir 3 di atas – Red.).
RPM OTT ini pun rentan mendorong tata-kelola konten yang tumpang tindih dengan
peraturan yang ada, semisal Permen Kominfo 19/2014 tentang Penanganan Situs
Internet Bermuatan Negatif24
dan Kepmen Kominfo 290/2015 tentang Forum
Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif25
.
23
http://net.educause.edu/ir/library/pdf/DEC0202.pdf
24
https://jdih.kominfo.go.id/produk_hukum/unduh/id/215/t/peraturan+menteri+komunikasi+dan+informatika+nomor+19
+tahun+2014+tanggal+17+juli+2014
25
https://web.kominfo.go.id/sites/default/files/users/1536/SK%20MENKOMINFO%20NO%20290%20-
%202015%20TTG%20%20%20%20%20%20FORUM%20PENANGANAN%20SITUS%20%20INTERNET%20BERMUATAN%20%2
0NEGATIF.pdf
7. ICT Watch – Perkumpulan Mitra TIK Indonesia (Indonesian ICT Partnership)
Jl. Tebet Barat Dalam 6H no.16A, Jakarta 12810, Indonesia
P: (021) 98495770 | F: (021) 8292428 | E: info@ictwatch.id | W: ictwatch.id
Internet Safety | Internet Rights | Internet Governance
Saran:
Dalam RPM OTT ini sebaiknya menyediakan bentuk sanksi lain / alternatif, ketimbang
hanya mengandalkan (satu-satunya) mekanisme bandwidth management. Namun jika
sanksi secara bandwidth management tersebut adalah yang paling memungkinkan saat
ini ataupun menjadi salah satu mekanisme yang disiapkan, maka harus dipastikan bahwa
pihak yang berwenang untuk memberikan rekomendasi, melaksanakan dan melakukan
evaluasi atas pelaksanaan sanksi tersebut adalah pihak yang berkompeten, tidak berada
di tangan satu pihak saja, memiliki mandat yang sah berdasarkan undang-undang dan
dilengkapi dengan prosedur yang transparan dan akuntabel. Namun tak cukup hanya
itu, aturan atas sanksi tersebut haruslah tidak tumpang-tindih dengan regulasi yang
telah ada ataupun terjadi pengaturan yang berlebihan (over-regulated).
7. Perlu tertulis ada perlindungan atas hak konsumen yang kuat dan persaingan usaha
yang sehat dalam RPM OTT.
Tertulis dalam RPM OTT ini, baik di dalam hal “Menimbang” maupun pada pasal 2 (c)
dan (d), salah satu tujuan yang perlu dikedepankan dalam regulasi ini adalah
memberikan perlindungan kepada konsumen pengguna layanan OTT dan sekaligus
bertujuan mendorong kesetaraan dalam kompetisi / persaingan usaha yang sehat.
Maksud dan tujuan tersebut adalah penting dan sepatutnya memang menjadi salah satu
pilar utama yang diprioritaskan dalam regulasi terkait OTT ini. Namun demikian, belum
tertulis ada acuan UU yang terkait dengan perlindungan konsumen maupun persaingan
usaha dalam RPM OTT ini. Pun belum ada pasal yang tertulis secara tegas di dalam RPM
OTT terkait atas dua hal tersebut.
Saran:
Dalam RPM OTT, perlu ditambahkan sejumlah hal sebagai berikut:
a. Memasukkan UU No. 5 tahun 1999 tentang “Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat”26
ke dalam bagian “Mengingat”.
b. Memasukkan UU No. 8 tahun 1999 tentang “Perlindungan Konsumen”27
ke dalam
bagian “Mengingat”.
c. Memasukkan pasal yang pada intinya: “mengharuskan penyedia layanan OTT untuk
menyediakan halaman informasi khusus di situs dan/atau aplikasi mereka” terkait 2
(dua hal), yaitu i). kebijakan privasi, ii) dan informasi penggunaan layanan.
Informasi tersebut haruslah tertulis secara komprehensif dalam bahasa Indonesia
serta mudah dipahami. Hal ini selaras dengan aturan UU 8/1999, pasal 7 dan
seterusnya terkait kewajiban pelaku.
d. Memasukkan pasal yang pada intinya: “melarang penyelenggara telekomunikasi
untuk melakukan tindakan yang dapat dianggap sebagai bentuk persaingan usaha
tidak sehat”. Hal ini selaras dengan aturan UU 5/1999.
26
http://dittel.kominfo.go.id/wp-content/uploads/2013/06/5-TAHUN-1999.pdf
27
http://ylki.or.id/wp-content/uploads/2015/04/UNDANG-UNDANG.pdf
8. ICT Watch – Perkumpulan Mitra TIK Indonesia (Indonesian ICT Partnership)
Jl. Tebet Barat Dalam 6H no.16A, Jakarta 12810, Indonesia
P: (021) 98495770 | F: (021) 8292428 | E: info@ictwatch.id | W: ictwatch.id
Internet Safety | Internet Rights | Internet Governance
e. Memasukkan pasal yang pada intinya: “menyatakan sebagai tindakan pelanggaran
hukum, jika melakukan bandwidth management” oleh penyelenggara
telekomunikasi (khususnya yang memiliki posisi dominan – Red.) kepada penyedia /
layanan konten/aplikasi OTT tertentu, jika tidak mengacu pada regulasi OTT yang
resmi berlaku. Hal ini selaras dengan aturan UU 5/1999, khususnya pasal 25 yang
“melarang pelaku usaha menggunakan posisi dominannya, baik secara langsung
mupun tidak langsung” untuk: i). membatasi pasar dan pengembangan teknologi;
atau ii). menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk
memasuki pasar bersangkutan.
Demikian tanggapan Rancangan Peraturan Menteri (RPM) tentang Penyediaan Layanan Aplikasi
dan/atau Konten Melalui Internet ini kami sampaikan. Terimakasih atas perhatiannya,
Hormat kami,
Donny B.U.
Direktur Eksekutif - ICT Watch
Tembusan:
- Menteri Komunikasi dan Informatika RI
- Kepala Pusat Informasi & Humas, Kemkominfo
- Arsip terbuka (online)