1. ________________________________________________________________
Makalah ini dipresentasikan pada Konferensi Nasional Stress Management dalam
Berbagai Setting Kehidupan, Bandung 2-3 Februari 2007
DINAMIKA PASIEN TERMINAL ILLNESS DALAM MENGHADAPI KEMATIAN
Nurul Hartini
Fakultas Psikologi Unair
Abstrak
Death and Dying “Kematian dan Proses Menuju Kematian” adalah sebuah fenomena yang
pasti akan terjadi atau akan dijumpai manusia dalam kehidupannya. Kematian memang
sebuah rahasia Tuhan, akan tetapi proses menuju kematian adalah sebuah fenomena yang
dapat dibahas dan didiskusikan, bahkan lingkungan dapat memberikan proses pembelajaran
yang benar untuk menjalani proses menuju kematian yang lebih baik. Mendasarkan pada hasil
penelitian kualitatif penulis terhadap 4 orang pasien perawatan paliatif (pasien paliatif adalah
orang-orang sakit yang diagnosis dengan penyakit berat dan tidak dapat disembuhkan lagi
“terminal illness”, dimana prognosisnya adalah kematian) diperoleh gambaran sebagai berikut:
bagi pasien terminal illness, memperoleh diagnosis bahwa ia harus masuk dalam perawatan
paliatif, pasti akan terjadi proses (a) denial/menolak, mereka menolak akan apa yang bakal
terjadi, (b) anger/marah, (c) bargaining untuk waktu yang akan terjadi, (d) depression, dan (e)
acceptance/penerimaan menurut pendekatan teori sekarat Kubler Rose atau tahapan menurut
Pattison yaitu (a) acute phase, (b) chronic living-dying interval, dan (c) terminal phase. Hasil
penelitian ini juga menunjukkan adanya perbedaan dinamika pasien terminal illness dalam
menghadapi kematian dan terkait dengan faktor internal yaitu : pola kepribadian, tingkat rasa
cemas/tingkat depresi dan pemahaman akan sakit; sedangkan faktor eksternal yang
berpengaruh adalah ada/tidak adanya dukungan suami/istri, jumlah dan usia anak serta
dukungan dari anggota keluarga, saudara, tetangga dan lain-lain.
Kata Kunci : pasien terminal illness, kematian
2. ________________________________________________________________
Makalah ini dipresentasikan pada Konferensi Nasional Stress Management dalam
Berbagai Setting Kehidupan, Bandung 2-3 Februari 2007
A. PENDAHULUAN
Pasien terminal illness adalah pasien yang sedang menderita sakit dimana tingkat sakitnya
telah mencapai stadium lanjut sehingga pengobatan medis sudah tidak mungkin dapat
menyembuhkan lagi. Oleh karena itu, pasien terminal illness harus mendapatkan perawatan
paliatif yang bersifat meredakan gejala penyakit, namun tidak lagi berfungsi untuk
menyembuhkan. Jadi fungsi perawatan paliatif pada pasien terminal illness adalah
mengendalikan nyeri yang dirasakan serta keluhan-keluhan lainnya dan meminimalisir
masalah emosi, sosial, dan spiritual yang dihadapi pasien. Penjelasan tersebut
mengindikasikan bahwa pasien terminal illness adalah orang-orang sakit yang diagnosis
dengan penyakit berat yang tidak dapat disembuhkan lagi dimana prognosisnya adalah
kematian. Data di Poli Perawatan Paliatif RSUD DR. Soetomo Surabaya menyebutkan bahwa
pasien di Poli Perawatan Paliatif RSUD DR. Soetomo Surabaya ini semakin hari jumlahnya
semakin bertambah dari 3.962 pasien di tahun 1993 menjadi sekitar 4.298 di tahun 2001,
meningkat 11,34%. Sekitar 26,14% pasien berusia 45 – 54 tahun dan 13,56% berusia 30 – 44
tahun, jadi sekitar 39,7% pasien Poli Perawatan Paliatif RSUD DR Soetomo adalah orang-
orang yang berada pada usia produktif.
Ketika seseorang didiagnosa sakit dengan sebuah sakit yang tergolong berat dan berstadium
lanjut dimana pengobatan medis sudah tidak mungkin diterimakan kepada si pasien, maka
kondisi pasien tersebut akan mengalami sebuah goncangan yang hebat. Kematian adalah
salah satu jawaban pasti bagi para pasien terminal illness. Berjalannya waktu baik itu pendek
atau panjang, bagi para pasien terminal illness adalah hari-hari yang sangat menyiksa karena
mereka harus menantikan kematian sebagai jawaban pasti dengan penderitaan rasa nyeri
yang sangat hebat. (Megawe ; 1998) Berbagai macam peran hidup yang dijalani selama ini
pasti akan menghadapi kendala baik itu disebabkan karena kendala fisik, psikologis, sosial,
kultural maupun spiritual. Demikian pula, prognosis akan kematian pada para pasien terminal
illness akan lebih memberikan dampak konflik psikologis, sosial, kultural maupun spiritual yang
sangat unik.
3. ________________________________________________________________
Makalah ini dipresentasikan pada Konferensi Nasional Stress Management dalam
Berbagai Setting Kehidupan, Bandung 2-3 Februari 2007
B. TINJAUAN TEORITIS
B.1 ELISABETH KUBLER-ROSS’S THEORY
Elisabeth Kubler-Ross (1998) adalah seorang psikiater yang bekerja dengan orang-
orang sakit yang mendekati kematian. Dia sangat tertarik pada psikologi mati dan kematian.
Beberapa tahapan menuju kematian menurut Elisabeth Kubler-Ross (kesimpulan Elisabeth
Kubler-Ross pada hasil penelitian terhadap 200 pasiennya) adalah :
1. denial/menolak, mereka menolak akan apa yang bakal terjadi
2. anger/marah
3. bargaining untuk waktu yang akan terjadi
4. depression
5. acceptance/penerimaan
Kelima tahapan itu untuk masing-masing orang berbeda-beda baik urutan maupun jumlah
tahapannya. Hal tersebut sangat tergantung pada suasana emosinya.
B.2 MANSELL PATTISON’S THEORY
E. Mansell Pattison dalam Papalia (1977) menyatakan bahwa proses menuju kematian adalah
proses individual, artinya masing-masing individu akan mengalami perbedaan. Akan tetapi
secara umum, ia mengajukan tiga tahapan, yaitu : acute phase, chronic living-dying interval,
dan terminal phase.
1. Acute Phase, dimulai ketika individu menerima kenyataan bahwa sebentar lagi ia akan
mati. Penerimaan terhadap kenyataan ini menghasilkan dampak psikologis yaitu kecemasan
yang akan diiringi dengan proses emosi yang lain, diantaranya : marah, takut, kesal, menyesal,
sedih dan lain-lain
2. chronic living-dying interval, tahapan ini adalah redanya kecemasan, namun diikuti
dengan perubahan emosi yang bermacam-macam dan terkadang individu sudah tidak dapat
lagi mengatakan akan apa yang dirasakan.
- Ketakutan yang tidak dapat didefinisikan. Sebuah indikasi bahwa kematian sudah dekat.
Ia takut akan apa yang terjadi, banyak ketakutan dan pertanyaan yang rasanya tidak dapat
diungkapkan dan tidak ada yang bisa memberi jawaban.
4. ________________________________________________________________
Makalah ini dipresentasikan pada Konferensi Nasional Stress Management dalam
Berbagai Setting Kehidupan, Bandung 2-3 Februari 2007
- Kesendirian. Ia tidak ingin sendiri dan takut sendiri. Ia ingin keluarga atau teman-teman
berada di dekatnya. Ia ingin orang-orang di sekitarnya dapat merasakan ketakutannya.
- Duka Cita mulai merasuki individu. Ia ingin menangis, ingin memberikan sesuatu, ingin
menyebutkan/mengatakan sesuatu kepada orang-orang yang dicintai, akan tetapi waktunya
terasa amat sedikit, sehingga perilaku yang muncul, ia tidak melakukan apapun kecuali
menatap dan menangis tanpa mengatakan sepatah katapun.
- Kehilangan Body, individu mulai merasakan bahwa psikologisnya terpisah dari
badannya. Ia mulai merasakan sebagian dari badannya tidak dapat difungsikan meskipun ia
berupaya memfungsikan dan menyatukan dengan dirinya.
- Kehilangan self control. Individu mulai tidak mampu menyadari akan apa yang terjadi
pada dirinya baik terkait dengan body/fisiologisnya maupun dengan jiwanya/psikologisnya.
- Sakit dan menderita, Sebagian besar orang yang akan mati mengalami fase sakit dan
menderita yang tidak terkontrol dan tidak diketahui. Rasa sakit dan menderita ini biasanya
bercampur dengan hukuman, rasa bersalah, dan rasa penyesalan.
- Kehilangan Identitas, individu mulai tidak bisa mengadakan kontak dengan orang-orang
di sekitarnya, keluarga, teman-teman atau siapapun yang hadir di dekatnya.
3. Terminal Phase. Tahapan terakhir dari proses kematian yaitu individu lepas dari orang-
orang dan lingkungan. Sebuah proses dying trajectory atau waktu menuju kematian telah tiba.
C. DISKUSI
Kematian adalah sebuah rahasia Tuhan. Namun, sebab-sebab kematian merupakan fenomena
yang selalu mengalami dinamika perubahan sesuai dengan dinamika perubahan manusia
sebab kematian adalah akhir dari tahapan tugas-tugas perkembangan hidup manusia. Manusia
bisa mati karena sakit, kecelakaan, terbunuh, bunuh diri, euthanasia atau mungkin mati tanpa
sebab apa-apa. Manusia yang mati secara mendadak tanpa melalui proses menuju kematian
5. ________________________________________________________________
Makalah ini dipresentasikan pada Konferensi Nasional Stress Management dalam
Berbagai Setting Kehidupan, Bandung 2-3 Februari 2007
atau sekarat dalam jangka waktu yang relatif pendek pasti tidak menunjukkan dinamika
sebagaimana yang dikemukakan oleh Kubbler Rose (1998) atau Pattison dalam Papalia
(1977); Sedangkan mereka yang mati melalui proses menuju kematian dalam jangka waktu
yang relatif panjang seperti pasien terminal illness akan menunjukkan dinamika yang sangat
kompleks mulai dari tahapan kematian Kubbler Rose yaitu :(a) denial/menolak, mereka
menolak akan apa yang bakal terjadi, (b) anger/marah, (c) bargaining untuk waktu yang akan
terjadi, (d) depression, dan (e) acceptance/penerimaan atau tahapan menurut Pattison yaitu (a)
acute phase, (b) chronic living-dying interval, dan (c) terminal phase.
Tahapan-tahapan tersebut ditunjukkan oleh pasien terminal illness dengan urutan yang
berbeda-beda. Ada individu yang sudah mencapai tahapan acceptance kemudian kembali
kepada bargaining atau bahkan ke denial; ada yang tanpa tahapan denial, langsung kepada
tahapan bargaining dan depression. Dinamika tersebut ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:
(1) Umur, (2) Jenis kelamin, (3) ras/suku bangsa, (4) Budaya kelompok, (5) latar belakang
sosial, (6) personality/kepribadian. Penulis sendiri berkeyakinan bahwa faktor yang lebih
penting adalah faktor keenam yaitu personality.
Dinamika psikologis secara umum dari keempat subyek penelitian menunjukkan sebagai
berikut:
1. Individu menyadari atau berkata bahwa kehidupannya akan segera berakhir
2. Individu tidak pernah ada yang tahu kapan kematiannya akan datang
3. Individu mulai mengalami keputusasaan akan treatment-treatment yang didapat dan
dijalankan, ia mulai yakin bahwa semua yang dilakukan tidak akan menyembuhkan
penyakitnya bahkan ia yakin kematian telah dekat.
4. Individu mulai mengalami problem-problem pikiran, perasaan dan psikologis yang
kesemuanya sulit untuk dipecahkan. Dinamika keempat ini tidak dialami secara signifikan pada
subyek keempat dan menurut peneliti hal tersebut lebih disebabkan karena faktor
personalitynya yang cukup matang sehingga dinamika psikologisnya untuk menghadapi
kematian lebih cepat mencapai acceptance/penerimaan (Kubbler Rose ; 1998)
6. ________________________________________________________________
Makalah ini dipresentasikan pada Konferensi Nasional Stress Management dalam
Berbagai Setting Kehidupan, Bandung 2-3 Februari 2007
Mencapai tahapan perkembangan psikososial/kepribadian “ego integrity’ menurut Erikson
(Santrock ; 1995) ditandai oleh:
1. Menerima apa adanya. Menerima apa adanya memiliki makna yang cukup dalam
sebab individu yang mencapai tahapan ini mampu menerima semua keterbatasan dan
kelemahan yang ada pada dirinya baik terkait dengan keterbatasan pada aspek
biologis/fisiologis, psikologis, maupun sosial. Penerimaan diri secara positif akan mengarahkan
kehidupan pada kondisi biologis, psikologis, sosial, dan spiritual yang baik. Segala hal yang
terjadi akan mampu diterima dan dipersepsikan secara positif sehingga ia akan mampu
menempatkan diri di tengah-tengah lingkungan sosialnya secara fleksibel.
2. Merasakan hidup penuh arti/menemukan makna kehidupan. Menemukan hidup
penuh arti/menemukan makna kehidupan berarti individu mampu memberikan makna secara
positif pada perjalanan kehidupan yang telah dilaluinya. Ia merasa berarti dan puas akan apa
yang telah terjadi dan yang telah dilakukan. Ia puas dengan prestasi yang telah dicapai : ia
bangga dengan usaha-usahanya. Ia telah memiliki perencanaan yang matang akan : apa yang
akan dilakukan, apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dievaluasi. Ia seakan-akan
telah mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan yang paling menakutkan yaitu kematian.
Gambaran pencapaian ego integrity ini ditunjukkan oleh salah satu dari empat subyek
penelitian dimana ia tetap mampu melakukan peran-peran sosialnya baik sebagai istri, ibu,
karyawan dan anggota masyarakat. Perlu diketahui bahwa subyek adalah seorang guru
dengan tiga orang anak yang tetap mampu menjalankan peran-perannya meskipun sudah lima
belas tahun yang lalu menjalani perawatan paliatif karena penyakit terminal illnessnya yaitu
kanker rahim.
Berbeda gambarannya pada individu-individu yang tidak mampu mencapai tahapan
perkembangan psikososial “ego integrity”. Kebalikan dari ego integrity menurut Erikson dalam
Santrock (1995) adalah despair yang ditandai dengan:
7. ________________________________________________________________
Makalah ini dipresentasikan pada Konferensi Nasional Stress Management dalam
Berbagai Setting Kehidupan, Bandung 2-3 Februari 2007
1. Takut mati. Individu yang tidak mencapai ego integrity ini menjadikan individunya memiliki
pola pemikiran dan pola perilaku yang tidak rasional dan tidak realistis. Contoh : Ketika
kesehatan fisiknya banyak mengalami penurunan, ia mulai marah-marah dan mungkin
mengumpat yang tiada berarah, padahal rasa marah itu sebagai refleksi dari rasa ketakutan
akan kondisi kesehatan fisiknya yang terus menerus menurun; malam hari tidak bisa tidur atau
takut tidur sendiri.
2. Penyesalan diri. Merasakan kegetiran dan merasa terlambat untuk memperbaiki.
Menjalani akhir kehidupan dengan banyak penyesalan. Ia menyesal tentang keputusan-
keputusan yang pernah diambil, ia menyesal tentang pola pendidikan anak-anaknya, ia
menyesal tentang prestasi yang pernah diraihnya. Hidup rasanya dilanda keputusasaan,
padahal sudah tidak ada lagi waktu yang tersedia/waktu terbatas untuk memperbaikinya.
Keadaan ini dialami oleh ketiga subyek penelitian yang mana ketiga subyek menunjukkan
emosi yang labil dan cenderung mengalami depresi.
D. SIMPULAN DAN SARAN
Kematian adalah rahasia Tuhan dengan sebab-sebab yang sangat bervariatif, sedangkan
tahapan menuju kematian dapat ditinjau dari beberapa faktor diantaranya : (1) Umur, (2) Jenis
kelamin, (3) ras/suku bangsa, (4) Budaya kelompok, (5) latar belakang sosial, (6)
personality/kepribadian. Peneliti yakin bahwa kepribadian merupakan faktor utama diantara
enam faktor yang lain dalam menentukan dinamika pasien terminal illness dalam menghadapi
kematian. Subyek penelitian yang menunjukkan perkembangan ego integrity yang matang
ternyata dapat mencapai tahapan acceptance lebih cepat dibanding yang lain sehingga ia
mampu menyikapi sakit dan kesakitannya dengan tidak emosional, meskipun peran social
support juga sangat penting untuk mencapai tahapan acceptance tersebut.
Pada dasarnya orang-orang di sekitar pasien terminal illness dapat membantu pasien
mencapai tahapan kelima yaitu ”acceptance’. Tujuannya agar pasien terminal illness dapat
mencapai “good death atau chusnul khotimah”.
8. ________________________________________________________________
Makalah ini dipresentasikan pada Konferensi Nasional Stress Management dalam
Berbagai Setting Kehidupan, Bandung 2-3 Februari 2007
DAFTAR PUSTAKA
Brehm Sharon & Saul Kassin. 1991. Social Psychology; Understanding Human Interaction.
Boston : Allyn and Bacon.
Gladding T. Samuel. 2000. Counseling : a Comprehensive Profession. New Jersey : Prentice
hall Inc
Kubler-Ross, E. 1998. On Death and Dying (Kematian sebagai bagian dari kehidupan).
Jakarta : PT gramedia Pustaka Utama.
Herlin Megawe. 1998. Nyeri Kanker. Surabaya : Media IDI.
Papalia, Sterns, & Feldman. 1977. Adult Development Psychology And Aging. USA : Mc. Graw
Hill Company.
Santrock, J. W. 1995. Live Span Development. Texas : Wm. C. Brown Communication, inc.