MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 2 KURIKULUM MERDEKA.pdf
Sejarah islam di suriname
1. Sejarah islam di Suriname
Cahaya Islam itu juga bersinar terang di Amerika Selatan, tepatnya di Negara Republik
Suriname, negara bekas jajahan Belanda yang merdeka pada 25 Nopember 1975. Suriname
berpenduduk hanya 492.829 jiwa (sensus penduduk tahun 2004) dan mendiami lahan subur
seluas 163.820 km2. Negara yang menjadi penghasil bouksit (bahan alumunium) terbesar di
dunia itu dihuni oleh penduduk dengan multi ras dan kultur. Ras terbesar adalah suku
Hindustan, 135,177 jiwa (27,4 % jumlah penduduk), disusul kemudian suku Creool, 87,202
jiwa (17,7 %), Marron, 72,553 jiwa (penduduk asli, 14,7 %), Jawa, 71,879 jiwa (14,6 %), dan
suku-suku kecil lain seperti Inheems, 18,037 jiwa (3,7 %), Gemends, Kaukasish, China, dan
lain-lain.
2. Negara Suriname berbatasan dengan Brazilia sebelah selatan, Guyana Perancis (timur),
Guyana Inggris (barat), dan samudera Atlantik (utara). Negara itu dibagi ke dalam 8 distrik
utama (semacam propinsi), yaitu: Paramaribo (ibu kota negara), Para, Coronie, Commewijne
(konsentrasi utama masyarakat Jawa), Brokopondo, Samaracca, Marowijne (penghasil
tambang utama, bauksit), dan Nickerie (pusat persawahan dan lumbung padi). Seperti
Indonesia, Suriname memiliki iklim Tropis dengan musim hujan lebih panjang dari musim
panas. Musim hujan biasanya terjadi pada bulan Nopember hingga Juli, sedangkan musim
panas terjadi pada bulan Juli hingga Nopember setiap tahun. Itulah, maka tanah Suriname
sangat subur, hutan yang hijau dan berbagai tanaman tumbuh subur di sana. Berbagai
tanaman yang tumbuh di Indonesia, tumbuh pula di sana.
Dalam sejarah panjangnya, wilayah ini ditemukan oleh seorang Spanyol, Kapten Alonso De
Ujida, asisten pelayar terkenal Amrico Pespucci pada tahun 1499. Dia sampai di pantai timur
laut Amerika Latin dan menemukan kelompok-kelompok suku Marron (Indian) menyebut
wilayah itu dengan nama Guyana. Pada tahun 1593, pemerintah Spanyol menjajah wilayah
tersebut sampai dengan kedatangan seorang Inggris F.L. Wiilaughby pada tahun 1651 untuk
kemudian menjajahnya atas nama pemerintah Inggris. Pada tahun 1667 Belanda berhasil
merebut wilayah itu dari tangan Inggris setelah sebelumnya terjadi pertempuran sengit.
Kemudian pada tahun 1816, wilayah Guyana itu dibagi menjadi tiga, yaitu: Guyana Perancis
(dibawah jajahan Perancis), Guyana Inggris (dibawah jajahan Inggris), dan Suriname
(dibawah jajahan Belanda).
Belanda menjajah Suriname selama lebih kurang tiga setengah abad. Pada tahun 1950,
Suriname diberikan hak otonomi, tahun 1954 menjadi negara bagian Belanda, dan pada 25
Nopember 1975 diberikan hak kemerdekaan.
Pada masa penjajahan Belanda, dimulai sejak abad 17, Suriname menjadi sumber penghasil
devisa terbesar bagi negeri Kincir Angin itu, di samping dari Indonesia dan negara jajahannya
yang lain. Maka di Suriname dibangun proyek perkebunan (plantation) secara besar-besaran.
Dibangun di sana proyek perkebunan (plantation) tebu, kopi, kapas, jeruk, pisang, padi,
kelapa, dan lain-lain. Untuk menggarap proyek besar itu, Belanda merekrut tenaga kontrak
secara besar-besaran dari Afrika, India, dan Jawa (Indonesia). Mereka dipekerjakan secara
paksa di perkebunan-perkebun an tersebut hingga akhirnya mereka menetap turun-temurun di
sana karena tidak mungkin pulang kembali ke negeri asalnya.
Bahkan untuk kasus orang-orang dari Afrika (Negro), mereka tidak saja menjadi tenaga
kontrak, melainkan jauh sebelum itu diperlakukan sebagai budak (slavers) dari para kaum
penjajah. Kaum Negro itu sampai mendapat julukan penghinaan sebagai kaum Jewcach
(kotoran orang Yahudi), karena mereka diperbudak oleh kaum Yahudi (Barat) yang salah
satu kerjaan mereka adalah membersihkan kotoran kaum Yahudi. Kaum Negro itu akhirnya
terbagi menjadi dua, 1) suku Creool, yang masih setia di kota sebagai budak dengan tetap
mengabdi kepada majikannya, dan 2) mereka yang melarikan diri ke hutan karena tidak sudi
menjadi budak orang Yahudi, mereka itu kemudian dikenal dengan suku Bush Negro.
Kini mereka adalah keturunan ke tiga atau ke empat dari nenek moyang mereka yang
dijadikan tenaga kontrak atau budak Belanda itu. Kini mereka tidak lagi menjadi tenaga
kontrak atau budak seperti embah-embahnya dulu karena negara sudah merdeka. Mereka
telah menghirup udara bebas di alam kemerdekaan. Secara ekonomi, kehidupan mereka
3. relatif mapan. Jumlah penduduk sedikit dengan kekayaan alam yang begitu melimpah, nyaris
tidak ditemukan fakir miskin. Tidak ada pengangguran asal mau kerja, kecuali mereka yang
bermalas-malas. Disiplin kerja begitu tinggi dan setiap orang dihargai berdasarkan
prestasinya. Tidak dikenal uang pelicin untuk melancarkan urusan di berbagai instansi.
Urusan segera dikerjakan sepanjang waktu memungkinkan. Penghargaan terhadap waktu
begitu tinggi. Apabila Anda terlambat beberapa menit saja, maka urusan Anda tidak dapat
diproses. The time is money, kata mereka. Maka menunggu Anda diluar waktu adalah
kerugian bagi mereka.
Latar belakang suku asal mereka masih sangat diperhitungkan dalam percaturan politik
negara tersebut. Hal itu terlihat dalam kelompok-kelompok organisasi masyarakat dan politik
yang masih sangat kental akan warna suku dan ras. Ada partai dari suku Hindustan, Creool,
Jawa dan lain-lain. Dominasi suku-suku tersebut tidak jarang kemudian menimbulkan
benturan-benturan antar suku-suku seperti yang terjadi pada tahun 1980, dimana tentara
mengambil alih pemerintahan karena terjadi kekacauan antara suku. Meskipun demikian,
kudeta itu tidak memperbaiki keadaan.
Bahasa resmi Suriname adalah bahasa Belanda. Di samping itu ada bahasa Suranan Tango
(Taki-Taki, take-take), yaitu bahasa campur-campur, serapan dari berbagai bahasa di Afrika,
Inggris, Belanda, Perancis dan lain-lain, hingga menjadi bahasa umum di masyarakat. Selain
itu ada bahasa Hindustan Suriname yang dipakai oleh kalangan keturunan India, dan bahasa
Jawa yang dipakai oleh kalangan masyarakat dari suku-suku di Indonesia, terutama Jawa.
Kentalnya latar belakang suku, mendatangkan problematika tersendiri bagi Suriname.
Mereka dulu datang dari berbagai negara (Afrika, India, Jawa, Cina) tidak karena
kemauannya sendiri melainkan dipaksa datang sebagai budak atau tenaga kontrak dengan
latar belakang kultur yang berbeda. Kondisi tersebut masih sangat dominan pada masa
kemerdekaan kini, dimana mereka sulit disatukan atas nama kebangsaan. Mereka sangat
berpegang teguh pada sukuisme dan primordialisme.
Rendahnya sumber daya manusia (SDM) menjadi masalah besar. Mereka yang tadinya
sebagai budak dan tenaga kontrak, setelah ditinggal Belanda harus mengurus negaranya
sendiri. Yang terjadi adalah ketidakmampuan menggarap lahan luas yang dulu dijadikan
perkebunan penghasil devisa utama. Tanah-tanah itu diserahkan pada elit-elit penguasa dan
tuan tanah yang penangannya dilakukan sendiri-sendiri dengan hasil tidak sepenuhnya untuk
kepentingan rakyat banyak. Di samping itu, kemerdekaan negara yang tidak dihasilkan
melalui proses perjuangan mengusir penjajah, melainkan berkat hadiah yang diberikan sang
penjajah, menyebabkan tidak semua puas dengan suasana kemerdekaan seperti sekarang.
Bahkan sebagian berontak ingin melepaskan diri (seperti yang pernah terjadi pada distrik
Morowijne) atau merasa bahwa pada masa penjajahan Belanda lebih sejahtera dibandingkan
masa sekarang.
Islam di Suriname
Data statistik sensus penduduk Suriname tahun 2004 menunjukkan bahwa Islam di Suriname
mencapai 66,307 jiwa (13,5 % dari jumlah penduduk), menduduki peringkat ketiga setelah
agama Kristen, 200,744 jiwa (40,7 %) dan Hindu, 98,240 jiwa (19,9 %). Dari seluruh umat
Islam di Suriname, yang terbanyak berasal dari suku Jawa, 46,156 jiwa (69,6 %) dan yang
lain dari Hindustan, 15,636 jiwa (23,6 %) dan suku-suku lain. Pada mulanya secara umum
4. masyarakat muslim Suriname memeluk agama sekedar mewarisi agama nenek moyang. Hal
itu terjadi karena mereka memang datang ke Suriname tidak mendapatkan pendidikan agama
yang kuat. Pada kasus masyarakat muslim Jawa umpamanya, kebanyakan mereka berasal
dari tradisi agama Islam Jawa Abangan yang hanya mengenal Islam sekedar nama dan lebih
kental dengan unsur tradisi dan budaya Jawa. Hal itu terlihat umpamanya, kenapa hingga
sekarang sebagian masih mempertahankan shalat menghadap ke barat seperti nenek moyang
mereka dari Jawa, padahal Suriname berada di sebelah barat Ka‟bah.
Namun sejalan dengan perkembangan zaman, pemahaman Islam semakin membaik, dan
kesadaran untuk beragama Islam secara kâffah (komprehensif) semakin meningkat, maka
umat Islam Suriname semakin menunjukkan jati dirinya. Islam tidak lagi dijadikan sebagai
agama warisan nenek moyang, tapi dipeluknya dengan seutuh kesadaran. Lambat laun Islam
tidak saja dijadikan sebagai agama tradisi nenek moyang, tapi menjadi sebuah jalan
kebenaran untuk mencapai kebahagian dunia dan akhirat. Fenomena seperti itu dapat dengan
mudah kita temui di mana-mana, di kota dan kampung, di pasar dan jalan-jalan. Berbusana
muslim / muslimah menjadi pemandangan yang biasa di tengah-tengah gempuran model
busana Barat yang mengumbar aurat. Sahut menyahut ucapan salam simbol Islam
(Assalâmu‟alaikum warahmatullâhi wa barakâtuh) antara muslim Jawa dengan muslim
Hindustan atau Creool, menjadi budaya mereka yang menggambarkan betapa suasana
ukhuwwah dan silaturrahmi itu dibangun begitu indah. Bahkan tidak jarang persahabatan itu
berlanjut dengan membangun hubungan keluarga dengan menikahnya muslim Jawa dengan
muslimah Hindustan umpamanya.
Kondisi keberagamaan masyarakat muslim Suriname yang semakin tercerahkan itu bukan
terjadi dengan sendirinya. Peran lembaga-lembaga organisasi sosial, yayasan dan masjid
dalam melakukan perubahan sikap keberagamaan itu begitu besar. Berbagai kegiatan
dilakukan dalam upaya menghidupkan api Islam di Suriname dari yang paling tradisional
sampai yang paling modern, dari yang baru tahap mengajarkan membaca huruf-huruf Arab,
hingga upaya pengenalan Islam melalui seminar dan simposium, radio, televisi dan internet.
Dakwah bukan saja untuk umat Islam tapi juga meluas ke semua anak negeri. Geliat itu
begitu terasa hingga pemeluk Islam bukan saja orang Jawa dan Hindustan, tapi juga satu
persatu orang-orang Negro dan kulit putih pun mencintai Islam. Masjid masyarakat Creool
yang terkenal adalah Masjid Shadaqatul Islam di kota Paramaribo.
Cahaya Islam Bersinar Terang.
Perserikatan milik umat Islam keturunan India, Suriname Muslim Associatie (SMA),
memiliki andil besar dalam menyalakan cahaya Islam di Suriname. Organisasi ini memiliki
masjid terbesar di kota Paramaribo dibambah dengan 14 masjid lain yang berada dalam
binaannya. Organisasi yang bermazhab Ahli Sunnah wal Jama‟ah al-Hanafi itu mengelola
sekolah-sekolah dan 2 panti asuhan anak yatim yang cukup bagus. Meskipun dikelola oleh
para pengurus dari keturunan India, tapi terbuka kegiatannya untuk seluruh umat Islam,
bahkan salah satu imam Masjid Terbesar itu adalah seorang ustadz dari keturunan Jawa, dan
para pengajarnya juga ada yang berlatar belakang keturunan bukan India.
Stichting der Islamitische Gemeenten in Suriname (SIS), Yayasan Islam Suriname, adalah
lembaga paling berpengaruh di Suriname dari kalangan suku Jawa yang membawa obor
perubahan bagi kebangkitan Islam. Lembaga ini memiliki masjid utama, Masjid Nabawi,
dengan 54 masjid lainnya berada dalam binaannya tersebar luas di distrik Paramaribo dan
distrik-distrik lain. Empat sekolah (madrasah) formal yang didirikan sejak tahun 80-an
5. menjadi cikal bakal bagi proses pengkaderan dan penempaan sejak dini tentang kesadaran
beragama Islam. Sekolah-sekolah itu diikuti oleh murid-murid dari berbagai suku dan agama,
tidak hanya Jawa dan Islam. Di madrasah-madrasah itu, apapun latar belakangnya, semua
harus mengikuti pelajaran Islam dan kepribadian muslim. Dakwah yang sangat strategis.
Mereka yang non-Islam memeluk Islam ketika sekolah atau seusai mengikuti pendidikan.
Bahkan keluarga mereka pun akhirnya ikut memeluk Islam seperti anak-anak mereka yang
belajar di sekolah-sekolah itu. Dakwah yang lain dilakukan dengan membangun panti asuhan
anak yatim dan panti jompo.
Masjid Nabawi dan masjid-masjid lain menjadi pusat kegiatan Islam bagi masyarakat Islam
lebih luas. SIS mengelola masjid-masjid itu tidak sekedar sebagai tempat ibadah shalat.
Kegiatan rutin mingguan setiap Kamis malam Jum‟at dalam bentuk pengajian dan ceramah
dilakukan tidak saja dalam rangka pengayaan pemahaman terhadap ajaran Islam, tapi juga
sebagai media memperkokoh ukhuwah di kalangan jama‟ah serta dalam rangka membangun
shaff wâhid (barisan satu) seakan mereka sebagai bunyân marshûs (bangunan yang kokoh).
Masjid-masjid juga digunakan sebagai taman pendidikan al-Quran yang peserta didiknya
tidak saja di kalangan anak-anak dan remaja, tapi juga di kalangan para pensiunan dan
manula (manusia lanjut usia).
SIS mempelopori gerakan pembaruan Islam di kalangan masyarakat Jawa. Kaum Abangan
Jawa yang tadinya sangat kental dengan tradisi kejawen dan shalat menghadap ke barat,
lambat laun dirubah menjadi masyarakat muslim dengan pemahaman yang lebih baik.
Organisasi kalangan Jawa Abangan (Ngulonan, karena shalat menghadap ngulon, barat),
seperti Federatie van Islamitische Gemeenten in Suriname (FIGS) terus menerus diajak
dialog secara kelembagaan ataupun pribadi-pribadi hingga satu-persatu menemukan
kebenaran itu. Bahkan para pemimpin Ngulonan pun, sesungguhnya telah mengetahui
kebenaran itu dan mudah-mudahan segera dibukakan pintu hidayah. Maka muncullah masjid-
masjid baru dengan gerakan pencerahan Islam yang menjadi pusat bagi terbitnya cahaya
Islam, seperti masjid Ansharullah, masjid Asy-Syafi‟iyah Islam, masjid Rahmatullah Islam,
dan lain-lain.
Gerakan al-rujû‟ ila al-Islâm (kembali kepada Islam) dengan kesadaran untuk menerapkan
Islam secara kâffah (komprehensif) dalam segala lini kehidupan, telah dilakukan oleh
lembaga SIS sejak tahun 1980-an. Yaitu seiring dengan kedatangan para da‟i yang berjuang
bagi kebaikan Islam dan saudara muslimnya di Suriname. Ustadh Sobari Muhammad Ridwan
(kini ketua SIS), asal Banyumas yang bermukim lama di Masjid Haram Makkah sebelum
berdakwah di Suriname, datang ke Suriname tahun 1981. Beliau berdakwah tidak kenal lelah
dari rumah ke rumah, kampung ke kampung, menjelaskan bagaimana ajaran Islam itu. Islam
tidak sekedar agama warisan dan tradisi nenek moyang. Islam adalah ajaran hidup yang
memberikan kebahagiaan bagi pemeluknya. Kaum muslimin harus bangga dengan agamanya,
mengerti benar ajarannya dan menerapkannya dalam kehidupan sosial. Datang pula para da‟i,
Ustadz Ali Ahmad (asal Jawa Tengah, kini telah pensiun dan tinggal di Belanda), Ahmad
Mujib (telah pulang ke Bekasi beberapa tahun lalu), Ahmad Muslih (telah pulang ke
Semarang setelah pensiun). Datang pula Ustadz Abdul Ghafir yang kini kiprahnya tidak saja
untuk organisasi SIS, tapi masuk di kalangan muslim Ngulonan dan masyarakat Hindustan
dengan penguasaan bahasa Belanda yang sangat bagus. Beliau aktif mengajar dan berdialog
dengan pemuda dan mahasiswa di kampus-kampus, juga tekun mengajar ngaji bapak-bapak
pensiunan dan manula dari masjid ke masjid. Datang pula Ustadz Ali Arifin Thalhah, alumni
Libiya, asal Padang yang datang ke Suriname tahun 1983. Pada waktu datang, tak sepatah
kata pun mampu mengucapkan bahasa Jawa. Tapi kini bahasa Jawanya lebih halus dari orang
6. Jawa, bahkan bahasa Taki-taki, Hindustan, dan Belanda menjadi bahasanya dalam mengajar,
ceramah, dan berdialog. Ustadzh yang pernah mempunyai rumah makan Padang satu-satunya
di Suriname itu dengan lincah dapat masuk di komonitas masyarakat Jawa, Hindustan, dan
Creool dengan menggunakan bahasa mereka.
Generasi berikutnya adalah para ustadz yang datang dari anak-anak Jawa warga negara
Suriname sendiri, seperti Ustadz Mahfudz Sarijadi (aktif sebagai militer dan berdakwah di
kalangan militer dan sipil), Ustadzh Abdul Ghaffar (ketua lembaga forum umat Islam yang
membawahi organisasi-oraganis asi Islam dari berbagai latar belakang suku). Kedua ustadz
tersebut alumni Indonesia dari Pondok Modern Gontor. Datang pula kader-kader yang
disekolahkan di Timur Tengah dari anak-anak Jawa Suriname, seperti Ustadz Marcel (kini
pimpinan Masjid Darul Falah, penghulu dan penyiar radio Garuda berbahasa Jawa), Ustadz
Stanly Suro Raharjo (ketua Bidang Agama Islam Departemen Dalam Negeri Suriname),
Ustadz Henry Waluyo dan lain-lain.
Dakwah yang Hidup dan Mencerahkan
Sinar Islam itu memancar karena sentuhan lembut para da‟i-da‟inya. Mereka menampilkan
Islam dengan wajah cerah dan dengan bahasa simpatik. Mereka berjuang tidak mengenal
lelah, tidak untuk materi apalagi dalam rangka menggapai jabatan. Dakwah dilakukan secara
praktis berdasarkan kepentingan masyarakat. Oleh karenanya sang da‟i dituntut tidak saja
pandai berceramah, tetapi mampu menjadi teladan dalam kehidupan, termasuk teladan dalam
membangun rumah tangga, masyarakat dan kehidupan ekonomi. Mereka mendakwahkan
Islam sebagai ajaran yang hidup dan dinamis. Islam tidak saja ada dalam do‟a, dzikir, masjid,
kenduri, walimah pernikahan, dan kematian. Islam mestinya diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari di rumah, di pasar, kantor, pemerintahan, dan lain-lain. Islam menjadi ajaran
transformatif yang mampu mentranformasikan nilai-nilai ajarannya ke dalam kehidupan
nyata.
Itulah dakwah yang hidup dan mencerahkan. Yaitu dakwah yang dilakukan dengan
pengorbanan harta, tenaga, pikiran, dan jiwa. Dakwah yang dilakukan ditengah kerusakan
yang telah memuncak, di saat kejahatan meraja lela, di tengah-tengah kebatilan dan
kemungkaran, di tengah masyarakat Jahiliyyah, dan di tengah masyarakat yang penuh
kemusyrikan dan kemunafikan. Dakwah dilakukan dengan penuh linangan air mata dan
cucuran darah, penuh tantangan dan rintangan. Itulah dakwah yang dilakukan para nabi dan
rasul, para syuhada‟ dan pejuang, para auliya‟ Allah (wali Allah) dan ulama di sepanjang
zaman.
Karena Islam hadir sebagai rahmatan lil „âlamîn (kasih sayang bagi sekalian alam),
sebagaimana yang terkandung dalam Q.S. al-Anbiyâ‟/21: 107, al-An‟âm/6: 54, al-A‟râf/7:
158, Saba‟/34: 28, maka dakwah Islam harus dihadirkan dalam rangka menjelaskan
kebenaran kepada seluruh alam. Islam bukan untuk bangsa, suku, atau golongan tertentu.
Islam hadir untuk seluruh dunia. Islam hadir tidak untuk membawa bencana, petaka, dan
kehancuran, tapi datang untuk menebar rahmah, kasih sayang, dan kedamaian. Maka dakwah
yang hidup yang mampu menjangkau seluruh dunia adalah dakwah yang dilakukan dengan
pemahaman yang luas, hati lapang, dan memandang manusia sebagai saudara. Rasa
persaudaraan itu harus ditanamkan sedemikian rupa, sehingga orang yang baru mengenal
Islam tertarik menerimanya. Rasulullah bersabda: “Tebarkanlah rahmah kepada siapa yang di
bumi, niscaya yang di langit akan memberikan rahmah pula kepadamu”. (H.R. Bukhari). Juga
7. sabda beliau: “Sesungguhnya hamba-hamba Allah yang akan diberi rahmah oleh Allah
hanyalah orang-orang yang memiliki rasa rahmah di dalam diri mereka”. (H.R. Bukhari,
Muslim).
Maka dalam rangka sukses dakwah, Buya Hamka pernah memberikan beberapa kiat, antara
lain:
1. Niat yang benar. Mengetahui tujuan dakwah. Apakah untuk kepentingan pribadi,
popularitas, atau agar mendapat kemegahan dan pujian orang. Bila niat dakwah bulat, demi
menjalankan perintah Allah, mengharapkan ridha-Nya, dan guna menegakkan agama-Nya,
maka andaikan menemukan kegagalan dan kesusahan; air mata mengalir, sumpit tidak berisi,
beras yang akan ditanak tidak sampai menyampai, dan berbagai derita yang lebih besar
dirasakan, sang da‟i itu akan terus berjuang membela agama Allah. Kian banyak rintangan
yang menghadang kian matang pengalaman dalam berdakwah. Dakwah akhirnya bukan
semata-mata dari mulut, tapi tumbuh dari hati. Dakwah yang keluar dari hati akan diterima
oleh hati. Sedangkan dakwah yang hanya keluar dari mulut yang menerima pun hanya kulit
telinga saja, masuk dari telinga kanan, keluar dari telinga kiri.
2. Mengerti apa yang dibicarakan. Seorang da‟i tidak hanya pandai pidato dan retorika. Dia
harus menguasai materi yang disampaikan. Oleh karena itu diperlukan persiapan yang
matang sebelum berbicara. Seorang da‟i yang tidak begitu pandai berbicara pun bisa jadi
berhasil dalam dakwahnya, bila apa yang disampaikan itu dikuasai dan dihayati. Nabi Musa
kurang pandai dalam pidato, tapi berhasil dalam dakwahnya.
3. Mempunyai kepribadian yang kuat dan teguh. Seorang da‟i tidak boleh mudah terpengaruh
oleh pujian orang, dan tidak mudah tergoncang oleh kebencian orang. Jangan ada cacat dalam
perangai, meskipun mungkin ada cacat secara fisik.
4. Mempunyai pribadi yang menarik, lembut tetapi bukan lemah, tawadhu‟ merendahkan diri
tetapi bukan rendah diri, pemaaf tapi disegani. Dia duduk di tengah orang banyak, namun
tetap tinggi dari orang banyak. Merasakan apa yang dirasakan orang banyak. Sikap lembut
yang menjadi keharusan bagi sang da‟i itu ditegaskan dalam al-Quran Surat Ali Imran/3: 159.
5. Mengerti al-Quran dan al-Sunnah sebagai pokok pedoman utama. Selain itu, sang da‟i
harus mengerti Psikologi (ilmu jiwa), mengerti adat istiadat orang yang jadi sasaran dakwah.
6. Tidak membawa sikap pertentangan, menjauhkan dari perdebatan, apalagi kalau yang
diperdebatkan itu hanya persoalan khilafiyah. Sang da‟i hendaknya memiliki budi pekerti
yang luhur, tidak membicarakan hal-hal yang membawa kepada perpecahan, tapi membawa
kepada persatuan.
7. Keteladanan. Keteladanan dalam sikap hidup sang sa‟i jauh lebih berkesan kepada umat
dari pada ucapan yang sekedar keluar dari mulut. Oleh karena itu tidak cukup bagi da‟i,
ketangkasan dalam bertutur kata dan berpidato, tapi dia harus mendidik diri sendiri untuk taat
menjalankan agama, taat beribadah, fasih mengungkapkan ayat-ayat maupun hadits dalam
bahasa Arab, dan lain-lain. Semua keteladanan itu akan mendukung kesuksesan dalam
berdakwah.
8. Menjaga diri dari hal-hal yang akan mengurangi harga dirinya. Seorang da‟i harus
menjauhkan diri segala bentuk maksiat, termasuk berbagai hal yang tidak bermanfaat,
8. menjauhi tempat-tempat yang akan mengurangi penghargaan orang kepadanya. Seorang da‟i,
tidak hanya sepuhan luarnya saja, sehingga disebut dengan da‟i karbitan. Seorang da‟i tidak
boleh hanya tampak shaleh waktu tampil di podium ketika berceramah. Sang da‟i harus
bertaqwa kepada Allah, bukan sepuhan atau sifat kemunafikan yang disandang.
Sebuah Optimisme dan Prospek Masa Depan
Yang menarik dalam statistik tahun 2004 di Suriname adalah adanya jumlah yang cukup
tinggi dari kalangan penduduk yang tidak menentukan jenis agama, tidak Kristen, Hindu,
atau Islam. Jumlahnya sangat fantastis, yaitu 127,538 jiwa (25,8 % jumlah penduduk),
dengan rincian: agama tradisi, 16,291 jiwa, lain-lain 12,258 jiwa, tidak menjawab, 21,785
jiwa, tidak jelas, 75,823 jiwa, dan tidak dikenal, 1,381 jiwa. Angka itu jauh lebih tinggi dari
jumlah pemeluk agama Islam yang hanya 66,307 jiwa (13,5 %). Artinya bahwa di sana masih
ada lahan dakwah yang cukup luas bagi kemungkinan menambah angka pemeluk Islam. Bila
kemudian jumlah orang-orang yang belum beragama itu, karena alasan tidak tahu, tidak bisa
menjawab atau bingung, tertarik dengan cara hidup kaum muslimin, melihat para da‟i yang
lembut dan santun, dan akhirnya masuk Islam. Maka Jumlahnya akan meningkat dua kali
lipat lebih dari jumlah sekarang. Hal itu bukan omong kosong. Kemungkinan itu bisa terjadi,
bila semangat dakwah terus dibangun, kiat-kiat sukses dakwah diikuti dengan baik, dan
pengurbanan tidak pernah berhenti. Meskipun tentu saja, sukses dakwah tidak saja ditentukan
oleh jumlah pengikutnya (kuantitas), tapi yang lebih penting adalah kualitas kaum muslimin
itu sendiri.
Berbagai tantangan dakwah pasti ada. Kebodohan, kemiskinan, kemalasan sebagian kaum
muslimin sehingga sulit diajak maju, menjadi kendala tersendiri dalam perjuangan. Pengaruh
materialisme, hedonisme, modernisasi dan globalisasi, giatnya upaya kristenisasi dan
sekularisasi dari budaya Barat menjadi rintangan berat dalam berdakwah.
Namun optimisme harus tetap dibangun. Rintangan demi rintangan harus dihadapi. Tidak ada
perjuangan tanpa rintangan. Keberhasilan mengatasi rintangan itulah kebahagiaan dan
kejayaan. Untuk mewujudkan khair ummah (umat terbaik) memang diperlukan al-amr bi al-
ma‟ruf wa al-nahy „an al-munkar (dakwah memerintah kepada yang baik dan mencegah
kemungkaran) , serta adanya keteguhan iman yang kokoh (Q.S. Ali Imrân/3: 110). Allah juga
menjanjikan kepada para pejuang akan jalan-jalan kebahagiaan itu: “dan orang-orang yang
berjuang untuk agama Kami, maka niscaya Kami akan tunjukkan jalan-jalan Kami”. Q.S. al-
Ankabût: 69. Itulah jalan-jalan kesuksesan, kemenangan, kesejahteraan, kejayaan dan
kebahagiaan.
Semoga Islam terus bersinar dimana-mana, menerangi kegelapaan, memerangi kebodohan,
dan melawan kezaliman.