SlideShare a Scribd company logo
1 of 43
Undang
Senin, 05 Mei 2014
Saya sering ingat cerita yang ganjil itu, cerita Kafka, tentang seseorang yang datang dari udik
agar diterima oleh Hukum. Tapi ia hanya sampai di depan sebuah pintu yang dijaga. Sang
penjaga, berbaju wol, berhidung besar dengan kumis hitam orang Tartar, mengatakan
kepadanya bahwa belum saatnya ia diterima.
Itu yang terus-menerus dikatakannya.
Dan orang dari udik itu pun menunggu. Berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun. Sang
penjaga sebenarnya tak jelas-jelas menghalanginya. Ia mengatakan, kalau mau, tuan bisa saja
masuk tanpa izin. Tapi, ia menambahkan, bersiaplah: setelah lewat pintu itu akan ada pintu
lain, dengan penjaga lain, yang makin perkasa, makin perkasa, tak putus-putus.
Tamu itu pun akhirnya tak mencoba menerobos ke dalam. Ia hanya duduk di depan pintu.
Berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun. Lama-kelamaan tubuhnya melemah. Akhirnya
ia mati. Ia mati sambil menyadari bahwa selama itu rupanya tak ada orang lain yang minta
diterima Hukum melalui pintu itu. Pintu ini, kata sang penjaga, memang disediakan hanya
buat tuan.
Kita tak tahu mengapa. Tapi, sebelum ajal datang, sang tamu melihat cahaya kemilau bersinar
dari balik pintu. Hukumkah itu? Seperti apakah gerangan yang disebut "Hukum"? Mengapa
ia, yang sudah disiapkan pintu masuk khusus, tetap tak diterimanya?
Bermacam-macam tafsir dibuat tentang cerita ini. Saya cenderung melihat, Kafka menggoda
kita untuk memperlihatkan betapa besarnya aura hukum bagi orang dari udik itu: seakan-akan
ada sesuatu yang transendental dalam dirinya- meskipun sebenarnya tidak. Aura itu bertaut
dengan misteri, dan orang-orang tak melihat, atau menyidik, asal-usulnya. Si tamu dengan
gampang patuh.
Tak jelas riwayatnya. Ia tak disebut datang untuk menerima vonis atau mau memprotes. Ia
hanya patuh, dan bukan karena terpaksa. Saya kira orang udik itu datang karena ia selama
hidup mengalami jarak yang begitu jauh antara "hukum" dan "undang-undang".
Hukum, dalam bahasa Jerman yang dipakai Kafka di sini, adalah Gesetz. Kata dasarnya
setzen, "memasang, mengatur", tak jauh dari kata Inggris, law, yang asal katanya dari bahasa
Norse lama yang berarti "meletakkan di dasar, menata". Dalam bahasa Indonesia, "hukum"
tak persis sama dengan "undang-undang". Undang-undang bukan sekadar seperangkat aturan
yang dipasang, melainkan sesuatu yang di-undang-kan. "Undang" terkait dengan unsur pokok
dalam kata "meng-undang", yang berarti mengajak.
Maka bisa diartikan, tiap undang-undang mengandung ajakan kepada semua orang dalam
wilayah tempat undang-undang itu diberlakukan: ajakan untuk mengetahui, terlibat,
mendukung, dan mematuhi. Ada liyan, orang lain yang konkret, di dalam makna itu. Ada
sebuah ruang yang berpenghuni. Ada penghuni yang hidup, mendengar, berbicara,
menggunakan bahasa dari waktu ke waktu.
Sementara itu "hukum", dalam pengertiannya yang lazim-yang juga dipakai dalam ilmu fisika
(misalnya, "hukum Archimedes")-meletakkan diri di luar liyan, tak terikat ruang dan waktu.
Ia mengklaim sebuah kebenaran yang universal. Ia berasumsi tiap manusia yang berpikir
akan menyetujuinya.
Tapi ada perbedaan yang diametral antara hukum dalam ilmu-ilmu alam dan hukum sebagai
hasil proses legislasi. Hukum Archimedes dirumuskan setelah sebuah eksperimen yang teruji
kapan saja di mana saja-hasil proses penalaran dalam diri yang menyendiri, hasil aku-yang-
berpikir seraya mengambil jarak dari ketakstabilan pengalaman sehari-hari.
Dalam legislasi sebaliknya: ia tak disiapkan di laboratorium. Legislasi adalah hasil hubungan
sosial dan proses politik. Ketika disebut sebagai "produk hukum", ia diproyeksikan akan
punya wibawa yang mengatasi proses politik itu. Lembaga-lembaga kenegaraan kemudian
membangun sebuah "ideologi", dan hukum pun tampak dengan citra yang amat luhur. Negara
pun harus mematuhinya, seperti tersirat dalam kata "negara hukum".
Tapi sesungguhnya yang terjadi adalah sejenis "fetisisme". Kata "fetisisme" saya pinjam dari
Marx, ketika ia menggambarkan bagaimana komoditas, benda-benda hasil kerja buruh yang
diperdagangkan, seakan-akan terlepas dari proses kerja dan berjalan sendiri, dipuja dan
digila-gilai. Dalam sejarah legislasi, agaknya dalam tahap seperti itulah "hukum" menjauh
dari proses produksi dan distribusinya.
Umur ideologi itu lama. Dalam karya terakhirnya, Nomos, Plato sudah membedakan
nomothekos, legislator yang "memberi hukum", dari politikos, orang yang memerintah negeri.
Pada yang pertama diharapkan adanya kearifan dan kemampuan berpikir rasional, sekaligus
kecakapan meyakinkan orang. Yang kedua tak dituntut banyak; asal ia efektif bekerja.
Tapi di luar risalah Plato, terutama di zaman demokrasi, nomothekos dan politikos jumbuh di
satu tubuh, di satu ruang, di satu proses-meskipun yang separuhnya tak suka ditampakkan.
Cadar dipasang. Apalagi legislator, yang di Indonesia lebih sering dipanggil "wakil rakyat",
seakan-akan niscaya punya hubungan yang transparan dengan mereka yang sepantasnya di-
undang.
Cerita Kafka Di Depan Hukum membuka cadar itu: ini cerita tentang sejenis fetisisme yang
demikian gila, hingga seseorang begitu terpukau sampai mati oleh Hukum-Hukum dengan
aura serta misterinya.
Tapi pada saat yang sama, Kafka membuat kita melihat: di depan pintu itu ada penjaga yang
perkasa. Ia sopan dan lugas, tapi kata-kata dan sosoknya adalah ancaman dengan hati dingin.
Aura Hukum memang tak lahir dari keadilan dari langit atau dari otak para genius-tapi bisa
jadi dari trauma.
Goenawan Mohamad
Proporsional
Minggu, 04 Mei 2014
Putu Setia
Menonton televisi bersama orang-orang desa tatkala hajatan selalu menarik. Komentar
mereka bebas, dengan tawa yang menurut ukuran orang kota mungkin kurang sopan. Ini
contohnya. Seorang calon legislator yang gagal masuk Senayan mengatakan dia memang tak
mau mengeluarkan uang untuk pemilu legislatif lalu. Ada komentar dengan ketawa
cekikikan: "Ya, pantas dong gagal, mana bisa mendapat suara kalau tak keluarkan uang. Tak
usah protes." Yang lain: "Caleg bego, cari kerjaan tak mau keluar duit, mana bisa?"
Saya tak tahu pasti, siapa yang dituding. Di layar ada wajah Ahmad Yani dan Sutan
Bhatoegana. Saya terlambat nonton. Tapi, apakah benar keduanya tak mau keluar uang? Saya
coba mengadakan survei di kalangan penonton. Hasilnya: orang desa itu tak yakin mereka tak
main duit. Pasti ikut main, tapi kalah besar. Setelah kalah, berkelit.
Yang saya herankan, ketika saya bertanya apakah pemilu legislatif 9 April lalu itu tergolong
baik atau buruk, semuanya menjawab baik. Tak ada yang buruk. Masyarakat tenang, tak ada
keributan, serangan fajar berubah menjadi serangan sore yang terbuka di depan umum,
apakah itu pembagian uang, pengiriman pulsa telepon, ataupun bingkisan baju. "Sembako
sudah kuno, kami bukan orang kelaparan," kata seseorang.
Jelas berbeda dengan pendapat beberapa politikus, termasuk pengamat politik, yang
mengatakan bahwa pemilu kali ini adalah pemilu terburuk. Apalagi kalau kita membaca
testimoni para caleg yang gagal ke Senayan. Semuanya sepakat: ini pemilu terburuk. Uang
yang berkuasa. Terjadi jual-beli suara.
Sejauh mana jual-beli suara benar? Orang-orang desa mengakui itu. Letak soal pada sistem
pemilu dengan proporsional terbuka. Terjadi persaingan antarcalon legislator pada partai-
partai besar. Orang desa, ibu dan bapak petani yang tua, juga pemilih pemula, sangat ribet
untuk memilih calon dengan nomor urut ketiga sampai kedua belas. Sudah hurufnya kecil,
menuntun paku pencoblos ke nomor yang dikehendaki susah. Jadi, gampangnya mereka
mencoblos gambar partai saja. Apalagi, caleg yang nomor urut besar sudah berkampanye:
coblos partai saja supaya cepat.
Coblosan ini disebut "suara mengambang"-ini versi di desa. Peraturan KPU, suara ini adalah
milik caleg dengan suara terbanyak. Tapi, ketika penghitungan suara, saksi-saksi bermain, ke
mana "suara mengambang" itu dimasukkan. Nah, para petugas KPU bersama para saksi tiba-
tiba fasih berbahasa Jawa: wani piro? Dengan kode jari tangan-ini kode di judi sabungan
ayam-suara pun menyasar ke nomor yang dihendaki. "Kalau tak mau membayar saksi khusus
dan membayar 'suara mengambang', jangan harap menang," kata seseorang. "Permainan"
lebih canggih diulang saat rekapitulasi di kelurahan, juga di kecamatan.
Sistem proporsional terbuka diperkenalkan pada Pemilu 2009 dan dari sana rekayasa
"penyelewengan" itu dikembangkan. Bagaimana kalau sistem ini dikembalikan ke
proporsional tertutup dan kembali mengacu pada caleg nomor urut? Persoalannya, apakah
partai siap membuat peringkat berdasarkan mutu caleg. Atau dibuat berdasarkan uji
kelayakan terlebih dulu. Apa komentar orang desa? "Caleg harus kembali seperti dulu,
berjuang untuk rakyat. Sekarang caleg itu mencari pekerjaan lewat suara rakyat, setelah
menjabat kan tak pernah datang lagi. Makanya caleg harus membayar dulu."
Nah, Anda mau bilang pemilu ini baik atau buruk, silakan. Mungkin yang diperlukan
sekarang bagaimana memilih presiden yang paham mengatasi masalah ini agar negara kita
bisa lebih cerdas sedikit dalam berdemokrasi. Sistem dan undang-undang yang ada perlu
direvisi.
Gus Dur dan Gus Dur
Ahmad Sahal, Kader NU, redaktur jurnal Kalam
Seorang kawan pernah berujar bahwa ada tiga hal di dunia ini yang tidak diketahui oleh
manusia biasa: maut, jodoh, dan Gus Dur. Tentu saja kawan saya hanya bercanda. Hanya
saja, candaan kawan tadi menyiratkan suatu gejala saat ini dalam menyikapi Gus Dur
(Abdurrahman Wahid). Pada mulanya orang kagum, lalu kaget, lalu tak habis pikir, lalu
kecewa melihat Gus Dur. Langkah politiknya zig-zag. Pertemuannya dengan Soeharto
bertentangan dengan agenda reformasi. Kegemarannya menuding dalang kerusuhan dengan
inisial membuat wibawa pernyataannya merosot.
Padahal, beberapa tahun lalu, rasanya tidak sulit untuk meyakini Gus Dur sebagai pendekar
demokrasi dan kampiun pluralisme di negeri ini. Ia memang punya rekor cukup tebal untuk
itu. Pandangannya tentang Islam yang toleran, keterlibatannya di Forum Demokrasi, dan
pembelaannya terhadap toleransi begitu menggugah. Visi dan aksi yang muncul dari dirinya
merapat erat dengan citra diri sebagai guru bangsa.
Dalam melihat pergeseran Gus Dur ini, sikap orang berbeda. Bagi yang serta-merta antipati,
Gus Dur langsung dicap sebagai sekadar ''politisi" dalam arti peyoratif, yang hanya
memikirkan diri dan kelompoknya sembari menyodok kelompok lain yang mengancam
kepentingannya. Sebaliknya, bagi pendukung setianya, langkah Gus Dur justru selalu
dianggap menyimpan tujuan luhur atau strategi cerdas yang tersembunyi dari mata awam.
Kalau ada yang kelihatan salah pada Gus Dur, pasti yang salah bukan Gus Dur, melainkan
mata awam.
Ada pendukung setianya dari Nahdlatul Ulama yang percaya bahwa Gus Dur adalah wali
yang hampir can do no wrong. Keanehan dan ketaktertebakan sikap Gus Dur adalah bagian
dari gejala jadzab wali. Sementara itu, ada juga pendukungnya dari kalangan minoritas yang
selalu pasrah bongko'an kepada Gus Dur karena mereka melihat hanya pada Gus Durlah,
yang komitmennya pada pluralisme betul-betul tak terbantah, mereka merasa aman dan
terlindungi.
Sebenarnya, yang menolak Gus Dur dengan serta-merta dan yang menerimanya bulat-bulat
punya tabiat yang sama dalam melihat Gus Dur: hanya mengingat satu Gus Dur sambil
melupakan Gus Dur yang lain. Kedua kutub tersebut, dengan kata lain, hanya melihat
berdasarkan apa yang ingin mereka lihat.
Memang tidak semua terperosok dalam tatapan-satu-dimensi semacam itu. Nurcholish
Madjid, misalnya, punya skema menarik dalam menafsirkan Gus Dur. Ada ''Gus Dur makro",
yakni Gus Dur yang pandangan ke depannya adalah aset bagi bangsa ini. Tapi ada juga ''Gus
Dur mikro", yang terlibat dalam pernik-pernik pertikaian dalam power politics dan tawar-
menawar kepentingan jangka pendek. Bagi Cak Nur, Gus Dur mikro ini memang
merepotkan. Tapi, kalau melihat arti penting Gus Dur makro, yang mikro ini harus
dimaafkan. Terhadap Gus Dur mikro, Cak Nur lantas mengambil sikap bisa mengerti meski
belum tentu menyetujui.
Problemnya dengan skema Cak Nur ini adalah, dalam prakteknya, yang disebut Gus Dur
mikro tadi lama-lama menggerogoti yang makro. Lagipula, yang mikro di sini ternyata tidak
selamanya bisa dijelaskan dalam kerangka yang makro sehingga distingsi makro dan mikro
itu sendiri seperti kehilangan arti.
Karena itu, saya cenderung berpendapat bahwa yang terjadi pada Gus Dur adalah duel antara
Gus Dur dan Gus Dur. Duel ini terjadi karena antara cita-cita, obsesi, serta visi Gus Dur dan
sikap serta tindakannya terdapat suatu discrepancy. Arus yang menyambungkan keduanya
terganggu.
Kenapa itu terjadi? Saya kira karena dalam diri Gus Dur belakangan ini sedang terjadi proses
penyempitan peran dan identitas diri. Ketika Gus Dur secara tegas mengungkapkan ide-ide
demokrasi dan pluralismenya, ia saat itu adalah sosok yang eklektis dan kosmopolit. Yang
kita lihat adalah Gus Dur yang melampaui batas dan sekat apa pun. Ia adalah pemimpin NU,
tapi sekaligus beyond NU, bahkan beyond Islam. Sesaat ia memang seperti orang asing di
tengah kaumnya, seperti imam sendirian meninggalkan makmumnya. Tapi muncul dampak
yang tak diniatkannya semula: pencerahan di kalangan NU sendiri. Siapa pun sulit
menyangkal, dalam dua dasawarsa terakhir, diskusi dan pemikiran keislaman yang kritis dan
terbuka justru lebih bersemai di kalangan anak muda NU. Dan itu dimungkinkan antara lain
berkat Gus Dur turut menyediakan lahannya.
Selain itu, posisinya yang lintas batas dan beyond NU ini bukan saja menjadikan dirinya
semacam suluh bagi bangsa, tapi juga menempatkannya dalam suatu eksperimen sejarah yang
sangat strategis bagi umat Islam. Cita-citanya untuk menjadikan umat Islam sebagai ''umat
beragama yang berpandangan luas, mampu memahami orang lain, menumpahkan
kebersamaannya yang utuh dengan segala pihak, dan menjunjung tinggi kebebasan sebagai
sarana demokrasi" adalah suatu proyek besar mengatasi ketegangan antara Islam dan Barat
selama ini. Citra Barat yang orientalistis bahwa Islam tidak kompatibel dengan demokrasi
akan terpental dan termentahkan dengan sendirinya oleh proyek Gus Dur tersebut.
Sayangnya, posisi eklektis dan lintas batas yang mewarnai Gus Dur semakin lama semakin
tertimbun oleh tindakan Gus Dur sendiri untuk menyantuni kepentingan politik NU dalam
percaturan power politics. Pada titik inilah Gus Dur mengalami penyempitan. Ia bukan lagi
pelintas batas. Ia justru menarik batas. Identitas ke-NU-annya semakin sering ditegaskan. Gus
Dur semakin meng-NU.
Sebagai pemimpin massa, kecenderungan Gus Dur untuk memikirkan kemenangan politik
kelompoknya wajar. Hanya saja, pilihan semacam ini, kalau ditempatkan dalam bingkai cita-
cita Gus Dur tersebut, akan menimbulkan problem tersendiri. Problem yang paling terasa
adalah semakin kuatnya pengaruh kompleks dikotomi NU-Masyumi dan NU-
Muhammadiyah dalam diri Gus Dur-bukan pada aras pertikaian khilafiah ibadat atau
pemikiran, tapi pada persaingan dan perseteruan politik. Kompleks perseteruan itu memang
punya akar dalam ingatan kolektif masing-masing. Gus Dur gagal mengatasinya. Perseteruan
itu masih terasa dalam fiil (laku) politiknya.
Kegalauan STIP
Senin, 05 Mei 2014
Darmaningtyas, Pengamat Pendidikan
Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) merasa galau pasca-kasus meninggalnya taruna Dimas
Dimika Handoko yang dianiaya oleh seniornya. Hal itu tidak terlepas dari respons keras
masyarakat, termasuk Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M. Nuh, yang berencana
menutup dua program studi (Nautika dan Teknika) yang tarunanya terlibat tindak kekerasan
selama 2 tahun untuk memutus rantai kekerasan.
Dilihat dari strategi pemutusan rantai kekerasan, rencana penutupan tersebut dapat dipahami,
karena mungkin dengan cara itu ada jarak yang jauh antara senior dan junior sehingga sulit
bagi senior untuk intervensi. Tapi ini sifatnya juga masih hipotesis. Dalam arti, apakah
setelah siklus tersebut diputus, dijamin tidak ada kekerasan lagi di masa mendatang? Di sisi
lain, dilihat dari perspektif kebutuhan tenaga kemaritiman, rencana penutupan tersebut
menimbulkan banyak konsekuensi, misalnya updating (pemutakhiran pengetahuan sesuai
dengan amendemen STCW 95 ke SCTW Manila 2010) menjadi terlambat, penyediaan tenaga
pelaut maupun penyiapan instruktur (guru dan dosen) terhambat, serta MOA dengan lembaga
pendidikan dan latihan maritim swasta secara otomatis gugur karena STIP sendiri tidak aktif.
Dua kutub kepentingan ini sulit untuk dipertemukan karena masing-masing memiliki
argumen yang sama-sama kuat. Argumen Kemdikbud menutup sementara untuk memupus
rantai senior-junior dapat diterima akal sehat. Kemdikbud perlu mengambil langkah tersebut,
mengingat kematian taruna junior oleh senior di STIP itu bukan terjadi sekali ini saja, tapi
sebelumnya pernah terjadi hal yang sama.
Sebaliknya, kegalauan STIP dan Kementerian Perhubungan bila dua prodinya ditutup
minimal 2 tahun akan mengganggu proses penyediaan tenaga-tenaga pelaut yang andal.
Dengan ditutupnya prodi Nautika dan Teknika, berarti kebutuhan pelaut yang tesertifikasi
makin sulit terpenuhi karena STIP tidak bisa menerima taruna dalam jumlah banyak. Sampai
saat ini kebutuhan nasional akan pelaut yang tesertifikasi lebih dari 500 ribu orang, sehingga
terpaksa dicukupi oleh pelaut-pelaut dari luar, seperti Myanmar atau Filipina.
Kecuali itu, pada saat ini Indonesia sudah mendapatkan white list dari IMO, yaitu Organisasi
Maritim Internasional, dan salah satunya yang dilaporkan adalah STIP. Apabila dua prodi
STIP ditutup oleh Kemdikbud untuk sementara, berarti white list tersebut akan ditinjau ulang.
Dengan kata lain, rencana penutupan tersebut memiliki dampak luas berkaitan dengan posisi
Indonesia di IMO, sekaligus terhadap pemenuhan kebutuhan tenaga pelaut yang tesertifikasi.
Persoalannya menjadi lebih luas lagi bila dikaitkan dengan dimulainya Masyarakat ASEAN
2015, di mana tenaga-tenaga asing dari ASEAN bebas bekerja di Indonesia, sementara
Indonesia sebagai negara kelautan justru tidak memiliki pelaut yang terdidik. Tapi, di sisi
lain, kekerasan dalam dunia pendidikan, apalagi membawa kematian, tidak boleh ditoleransi.
Antara Kemdikbud dan pengelola sekolah-sekolah kedinasan, termasuk STIP, perlu duduk
bersama secara intens untuk menemukan solusi terbaik dalam memutus rantai kekerasan
senior terhadap junior tanpa harus mengorbankan kepentingan bangsa yang lebih luas. *
Iman, Penjara, Suluh
Senin, 05 Mei 2014
Azis Anwar Fachrudin, Santri di Jaringan GusDurian, Yogyakarta
Sikap sebagian orang Islam negeri ini terhadap Syiah baru saja tertuang dalam deklarasi
dengan istilah yang tampak megah, tapi mengancam: Aliansi Nasional Anti-Syiah. Kata
"aliansi" dan "anti" mengingatkan saya pada dua metafora yang dipakai Goenawan Mohamad
(GM), dalam Catatan Pinggir-nya di majalah Tempo (11/01/2010) yang berjudul Gus Dur,
tentang iman: sebagai benteng dan sebagai suluh.
"Benteng kukuh dan tertutup," tulis GM, "bahkan dilengkapi senjata untuk menangkis apa
saja yang lain yang diwaspadai." Benteng ialah sebuah konstruksi. Ia berdiri; bisa untuk
melindungi, tapi lebih sering karena kecemasan: yang dibentengi merasa rapuh maka ia
membutuhkan tameng pelindung kerapuhannya.
Hari-hari ini kita melihat iman diperlakukan laksana benteng. Metafora ini, saya pikir, bisa
dilanjutkan dengan kata yang lebih mendalam, yaitu penjara: iman terperangkap dalam
dogma atau akidah. Akidah, yang berasal dari bahasa Arab ('aqidah), artinya ikatan. Ia
mengikat, dan lebih sering memenjara. Iman menjadi sekumpulan batu-bata argumen. Akidah
membuat iman jadi kaku, susah bergerak, sangat terlarang untuk keluar.
Akidah sebagai penjara mengharamkan sang mukmin, yang dipenjara itu, untuk mencoba-
coba masuk ke ceruk-ceruk keraguan. Keraguan itu sendiri adalah musuh. Ragu, yang
dipandang sebagai ancaman iman, dilarang menyebar dan karena itu mesti diberangus.
Hari-hari ini kita melihat iman di negeri ini, khususnya dalam agama Islam, terpenjara dalam
dogma mazhab mayoritas, Sunni. Islam mengerucut, atau menyempit, jadi benteng, atau
tepatnya penjara akidah. Konstruksinya ialah argumen-argumen tekstual yang tertulis di masa
lampau-sebuah konstruksi yang akhir-akhir ini kerap jadi palu untuk menghancurkan hampir
ke setiap yang berbeda.
Lalu kita melihat konstruksi itu makin rigid, bahkan menegasikan mereka yang sedikit
berbeda saja dengan sikap anti: vonis kafir bagi mereka yang berada di luar benteng itu.
Sebagian bilang, itu akibat menguatnya politik identitas di tubuh umat Islam hari ini: umat
Islam merasa diancam-diserang oleh sekumpulan nilai di sekitarnya sehingga, agar teguh
identitasnya, perbedaan mesti dipertegas. Konstruksi akidah mengeras.
Kenyataannya, Sunni yang mayoritas ini masih memerlukan benteng. Kita menyimak, dari
retorika anti-Syiah yang mengemuka tampak ada perasaan keterancaman. Mungkin, para
ulama anti-Syiah itu begitu peduli pada kerapuhan iman umatnya, sehingga khawatir pada
serangan argumentasi Syiah, yang minoritas-sebuah kerapuhan yang, menurut saya, sering
tak pada tempatnya karena, kita tahu, mayoritas orang Islam negeri ini tak tahu persis beda
Sunni dengan Syiah.
Akidah menjadi amunisi. Mazhab, dalam taraf tertentu, menjadi politis: sengketa sektarian
adalah kata lain dari rebutan umat. Padahal, saya berharap, iman lebih diperlakukan, dalam
metafor kedua GM, sebagai suluh: "Sang mukmin membawanya dalam perjalanan
menjelajah," tulis GM, "menerangi lekuk yang gelap dan tak dikenal." Iman sebagai suluh
bukan untuk menyingkirkan gelap. Justru, gelap butuh ada agar sinar suluh makin tampak
terang. Iman sebagai suluh tak khawatir pada ceruk-ceruk ragu. *
Wakil Presiden
Senin, 05 Mei 2014
Seno Gumira Ajidarma, Wartawan
Tiada rebutan putri seperti Minakjinggo dari Blambangan ingin mengawini Kencanawungu
dari Majapahit, sebagai kata ganti aneksasi dalam historiografi politik masa kini, tetapi putri
yang diidamkan dalam pertarungan kekuasaan jelas bisa diganti sebuah kursi-tentu saja kursi
kekuasaan. Jadi, dalam dunia politik kontemporer, bila orang berbicara tentang siapa
pendamping presiden, maksudnya bukanlah istri atau suaminya, melainkan wakilnya, yakni
wakil presiden.
Sebagai ganti peran sang putri dalam historiografi tradisional, calon wakil presiden tidak
melamar, melainkan dilamar. Konteksnya memang bukan siapa calon wakil presiden yang
melamar atau diajukan, melainkan siapa calon presiden yang mencari pendamping. Dalam
konteks ini terlihat pola: calon presiden melamar sang pendamping itu, agar dirinyalah yang
terpilih sebagai presiden; calon presiden yang keliru memilih akan merasa dirugikan, karena
gara-gara pendamping yang tak disukai, calon presiden paling potensial bisa batal untuk
menang.
Adapun hal sebaliknya tidak akan terjadi: pendamping paling favorit sekalipun tidak akan
bisa mengkatrol perolehan calon presiden yang memble. Namun tidak ada calon presiden
akan merasa dirinya memble, semuanya "pe-de"! : Sehingga masalahnya tinggal pendamping,
yang jangan sampai justru mengurangi suara, sebaliknya syukur-syukur menambah!
Maka, kiranya adalah calon presiden yang akan berburu calon pendampingnya, dan bukan
sebaliknya-kecuali bahwa memang ada para mak comblang politik, para agen, kaum
perantara yang akan menawar-nawarkan calon wakil presiden terbaik sebagai barang
dagangan. Tentu saja dengan bayaran, yang adalah bayaran politik! Namanya juga partai
politik, bukan?
Dapat dibayangkan, bagaimana seseorang yang layak calon wakil presiden tak hanya
berkemungkinan dilamar oleh beberapa calon presiden, tapi juga dilamar oleh sejumlah partai
untuk ditawarkan, alias dijual dan diperdagangkan sebagai calon wakil presiden. Adapun
yang paling absurd dalam situasi ini: ketua partai mencalonkan dirinya sendiri!
Ini justru mengukuhkan, ternyata posisi wakil presiden, dengan citra "enggak ada apa-
apanya" selama Orde Baru, karena memang dicapai tanpa perjuangan, ternyata kini menjadi
posisi yang sexy. Pertama, karena memang dibutuhkan dalam pembergandaan citra bagi
pihak calon presiden; kedua, karena bagi pihak mak comblang akan juga berarti terdapatnya
suatu konsesi politik di baliknya.
Inilah yang berada di balik posisi calon wakil presiden sekarang. Semasa Orde Baru, wakil
presiden hanyalah bermakna "yang tidak mengancam"; sebaliknya, komposisi Gus Dur-
Megawati adalah representasi perimbang-tarungan politik, kiranya masih demikian dalam
komposisi Megawati-Hamzah Haz maupun komposisi SBY-Jusuf Kalla, meskipun saya kira
komposisi SBY-Boediono lebih teracu pada langgam politik Orde Baru.
Perhatikanlah para wakil presiden yang dipilih Soeharto, lantas bacalah autobiografi Soeharto
itu dan perhatikan komentarnya soal Adam Malik. Jelas Soeharto merasa kecewa terhadap
Adam Malik, yang kira-kira disebutnya "masih seorang wartawan" dalam konotasi "lupa"
bahwa dirinya itu wakil presiden, yang ketika ceplas-ceplos di depan pers jangan berbeda
pendapat dong dengan sang presiden. Adapun wartawan yang dimaksud Soeharto tentulah
bukan "wartawan" semasa Orde Baru, yang bukan hanya tak mungkin beropini terbuka, tapi
juga tak mungkin beropini dengan pendapat berbeda dari presiden!
Ini juga berarti bahwa Habibie, yang sebagai presiden jelas punya pendapat sendiri tentang
Timor Timur, dapat disebut melepaskan diri dari sindrom kewakilan Soeharto.
Ketika sebagai Gubernur Jakarta yang disebut Jokowi bisa menerima karakter seperti Ahok
sebagai wakil gubernur, dapat dilihat bahwa wacana tentang posisi wakil dalam lembaga
eksekutif sudah cukup berubah.
Betapa pun, para calon presiden yang sedang mencari-cari pasangan sebaiknya menonton
serial televisi House of Cards yang diproduksi dan dibintangi oleh Kevin Spacey, bukan
sekadar sebagai hiburan, tapi juga sebagai pelajaran politik.
Dalam serial televisi ini, Frank J. Underwood, anggota Kongres dari Partai Demokrat yang
telah berjasa mengumpulkan suara bagi sang presiden, tetapi sakit hati karena imbalan
jabatannya di Gedung Putih tak pantas, membalas dengan permainan politik paling
mengerikan. Dengan taktik penuh tipu daya, yang patut dipelajari tetapi tidak untuk ditiru
para politikus Indonesia, ia berhasil menempatkan dirinya dalam posisi wakil presiden.
Ujung-ujungnya, ia menggantikan Presiden Amerika Serikat, yang telah dijebaknya ke dalam
situasi tak teratasi, sehingga harus mengundurkan diri. Waspadalah! *
Topeng
Selasa, 06 Mei 2014
Purnawan Andra, Alumnus ISI Surakarta
Topeng adalah penanda peradaban, salah satu bentuk ekspresi paling tua yang pernah
diciptakan manusia. Topeng menyimpan simbolisme nilai yang berperan penting dalam
berbagai sisi kehidupan masyarakat dunia, melalui upacara adat dan ritual magis ataupun
religius.
Pada awalnya, topeng dibuat dalam upacara kematian sebagai gambaran nenek moyang yang
meninggal. Topeng menjadi wadah atau rumah roh leluhur untuk "menghadirkan arwah
nenek moyang" yang menengok kerabat dan keluarga yang masih hidup.
Kemampuan manusia untuk beradaptasi dan mengimitasi lingkungan sekitarnya membuat
ekspresi awal topeng berbentuk dewa-dewa, manusia, binatang, setan, dan lainnya. Pada
perkembangannya, topeng lebih spesifik menggambarkan kualitas sifat manusia, seperti
amarah, kecantikan, ketampanan, hingga ketuaan. Masyarakat saat ini menempatkan topeng
sebagai salah satu bentuk karya seni, baik secara artistik maupun simbolik.
Sebuah manuskrip menyatakan, sekitar abad ke-11, saat masa pemerintahan Kerajaan
Jenggala, ada pertunjukan dengan menggunakan tutup muka yang disebut kata tapel (topeng).
Hikayatnya kemudian kita kenal sebagai cikal-bakal pertunjukan Panji, suatu bentuk
pertunjukan di mana penyaji menggunakan topeng.
Dalam logika seni pertunjukan, topeng digunakan untuk membantu pelaku dalam
menampilkan emosi, ekspresi yang sesuai dengan perwatakan yang dibawakannya. Seni
pertunjukan Cirebon, misalnya, menarikan topeng dalam lima tingkatan (Panji, Samba,
Rumyang, Tumenggung, dan Klana), yang mencerminkan perjalanan hidup dan watak
manusia. Topeng adalah benda multisimbol dan perspektif yang antropologis.
Kita mengenal topeng sebagai benda yang terbuat dari kertas, kayu, plastik, kain, atau logam
yang dipakai untuk menutup wajah. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikannya sebagai
kedok, kepura-puraan untuk menutupi maksud sebenarnya. Topeng berfungsi
menyembunyikan "wajah asli" untuk mengubah atau membentuk karakteristik yang baru.
Sifat yang sesungguhnya selalu disembunyikan agar tidak sesegera mungkin diketahui oleh
orang lain.
Kini, dalam konteks Indonesia yang sedang berada dalam proses eleksi pemimpin dan wakil
rakyat, kita menjadi paham mengapa banyak caleg dan politikus sengaja membuat wajah baru
dengan tampil sempurna. Semua dilakukan untuk mendulang suara yang akan mengantarnya
pada kekuasaan. Namun, pada saat yang sama, ternyata banyak dari mereka yang terbukti
secara hukum melakukan politik main uang, melakukan jual-beli suara, serta
menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan dalam bentuk korupsi dan kejahatan kerah putih
lainnya. Inilah persoalan sosial berupa disorientasi serta dis-identitas para politikus yang
meminggirkan nilai-nilai kepentingan umum, kesejahteraan bersama, dan kebangsaan. Inilah
wajah (para politikus) Indonesia yang bertopeng, tampak halus di luar namun bobrok di
dalam.
Topeng tak hanya merupakan sajian ekspresi seni dan kisah sederhana. Topeng menjadi
mozaik sosio-antropologis masyarakat. Topeng menjadi penanda sengkarut jejaring politik
kepentingan dalam sebuah bangsa. Sebuah degradasi nilai simbolik yang mesti diberi
penjelasan konkret dalam sikap hidup para pemegang kekuasaan. Penjelasan itu diwujudkan
dengan menjalankan tugas negara mewakili dan melayani rakyat dengan kejujuran hati,
bukan dengan topeng kepura-puraan. *
Pemilu dan Kecelakaan Sistem
Selasa, 06 Mei 2014
M. Alfan Alfian, Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta
Any political system is an acccident. If the system works well on the whole it is a lucky
accident. --- Edward Banfield
Sejumlah media memberitakan komentar anggota Komisi II DPR, Nurul Arifin, yang
menganalogikan praktek pemilu legislatif 2014 sebagai perang saudara di Suriah yang ganas
dan tidak ada etikanya lagi, karena (sesama) saudara saling memakan. Nurul sendiri konon
terlempar dari kursinya dan apa yang ia katakan tampak mewakili keluh-kesah hampir semua
calon legislator yang kalah, ataupun yang menang.
Persaingan tajamlah yang membuat Nurul menghubungkan pemilu dengan perang Suriah.
Sebab, yang diperebutkan adalah dukungan suara terbanyak. Seorang caleg bersaing dengan
rekan mereka dalam satu parpol dan dari parpol lain. Tidak ada saudara dalam kompetisi
elektoral, yang ada sesama lawan. Dengan pemakaian kalimat "sesama saudara saling
memakan", aktris film Naga Bonar (1986) tersebut sesungguhnya tengah menegaskan bahwa
konsekuensi kanibalisme-politik tak terelakkan dan nyata.
Tuntutan ongkos para caleg keterlaluan. Salah satu penyebabnya, masyarakat disebut
semakin proaktif, alias memiliki keberanian yang tinggi, untuk meminta uang atau rupa-rupa
lainnya kepada para caleg. Pola pragmatisme-transaksional dominan terjadi di lapangan. Para
caleg yang uangnya banyak, berpeluang besar menang. Yang pas-pasan, apalagi yang irit dan
tekor, mudah (kalau bukan pasti) tersingkir.
Banyak orang merasa ada sesuatu yang salah dari semua itu. Sistem proporsional terbuka
berdasarkan dukungan suara terbanyaklah yang menjadi penyebabnya. Boleh dikatakan,
sistem ini merupakan jenis ekstrem lain dari sistem proporsional dengan stelsel daftar
tertutup. Yang pertama, parpol hanya menyorongkan orang sebagai caleg. Yang kedua,
parpol perannya lebih penting lagi, karena ia bisa mengatur nomor urut caleg yang
menentukan kemenangan.
Melihat pengalaman pemilu kita sekarang, timbul gagasan dalam benak banyak orang ihwal
perlunya mengembalikan sistem pemilu lama: proporsional tertutup. Kemudian, dibikinlah
diskusi-diskusi yang menimbang sistem proporsional tertutup. Para pembicara menyorot
kelemahan-kelemahan sistem proporsional terbuka dan bernostalgia dengan era sistem
proporsional tertutup. Mereka mengatakan bahwa dulu masyarakat tidak seagresif sekarang.
Dulu, masyarakat tidak berani terang-terangan memeras para caleg.
Disebut juga, sistem proporsional tertutup lebih menjamin pembangunan kelembagaan partai.
Sistem pengkaderan dapat dijaminkan ke sistem pemilu yang memprioritaskan kader-kader
terbaik pilihan parpol. Dulu, pemilu kita simpel. Pemilih cukup mencoblos tanda gambar
parpol. Dulu, orang parpol bekerja sebagai bagian integral dari mesin politik besar parpol.
Tapi, semua itu tinggal kenangan ketika sistem proporsional tertutup digeser oleh yang
terbuka.
Tapi sistem perpolitikan kita masih berpeluang berubah. Ketika orang menggagas perlunya
kembali ke sistem pemilu lama, hal demikian wajar saja. Sebab, demokrasi politik memberi
peluang trial and error alias mekanisme coba-gagal alias korektif. Yang kurang dilengkapi,
yang lemah diperkuat, yang bolong ditambal, dan seterusnya. Dan, sistem pemilu memang
termasuk yang selalu berubah. Perubahannya seperti pendulum yang bergerak dari
proporsional tertutup, terbuka terbatas alias setengah terbuka, lalu ke terbuka murni. Tidak
hanya kalangan pemerintah dan DPR yang terlihat dalam perubahan sistem itu, tapi juga
Mahkamah Konstitusi.
Miriam Budiardjo dalam buku legendarisnya, Pengantar Ilmu Politik, menjelaskan betapa
tidak ada satu pun sistem pemilu yang ideal. Sistem proporsional nyatanya tidak lebih
sempurna ketimbang sistem distrik, dan sebaliknya. Karena itu, kemudian muncul berbagai
variasi sistem pemilu. Para pakar dan, terutama, politikus terus berikhtiar mencari sistem
pemilu yang cocok. Tentu saja soal menemukan yang cocok ini tidak gampang. Dalam hal
inilah apa yang disitir Edward Banfield di atas terasa relevansinya.
Jangan-jangan seluruh produk sistem politik kita merupakan buah kecelakaan politik.
Sayangnya, tidak semua sistem membuahkan keberuntungan (a lucky accident). Ada yang
diuntungkan dan tidak dalam sistem politik. Tetapi, sekadar mengharapkan sistem pemilu
menguntungkan diri dan kelompoknya, ternyata tetap berisiko senjata makan tuan. Sebab,
tidak semua pembuat undang-undang pemilu saat ini terpilih, bahkan konon malah banyak
yang tersingkir.
Tampaknya, banyak yang setuju bahwa sistem politik kita perlu dibenahi, guna
menyingkirkan ekses-ekses negatifnya. Tentu, pekerjaan besar inilah yang akan dibebankan
kepada para anggota DPR mendatang. DPR punya fungsi legislasi, ujung tombak perubahan
sistem. Tapi apakah mereka memiliki gagasan yang sama dengan arus kuat gagasan
masyarakat atau tidak, tentu bergantung pada lalu lintas kepentingan. Para politikus sering
melupakan kekuatan gagasan dan sibuk mengamankan kepentingan. Akibatnya, perbaikan
sistem terlewatkan. Tapi ketika ada yang merasa dirugikan oleh sistem yang dibuat sendiri,
yang muncul justru sederet keluhan.*
Cawapres Rasa Capres
Selasa, 06 Mei 2014
Putu Setia, @mpujayaprema
Joko Widodo sibuk blusukan, bahkan ke wilayah yang bukan menjadi tanggung jawabnya
sebagai Gubernur DKI Jakarta. Jokowi, begitu nama popnya, sedang mencari pendamping
dalam statusnya sebagai calon presiden. Kenapa repot? Sebab, ia belum punya pengalaman
cukup untuk menjadi orang nomor satu di negeri ini. Pendapat umum yang diucapkan banyak
orang: pendamping Jokowi haruslah tokoh yang berpengalaman untuk menambal
kekurangannya.
Untungnya, PDI Perjuangan yang mengusung Jokowi telah selesai dalam urusan koalisi.
Partai ini sudah berhasil menggaet Partai NasDem tanpa syarat apa pun. Dengan koalisi dua
partai, mereka sudah bisa mengusung pasangan capres dan cawapres. Partai lain semuanya
belum aman dan perlu koalisi, perlu saling tawar-menawar posisi, karena tak ada yang seperti
Nasdem, mau koalisi tanpa syarat.
Dalam bahasa sederhana, sebenarnya Jokowi sedang mencari pendamping yang harus lebih
berpengalaman daripada dirinya. Sejatinya, yang dicari "cawapres dengan rasa capres". Dan
pencariannya ini, astaga, membuat partai lain bak menari dalam irama gendang Jokowi.
Jokowi mengincar Jusuf Kalla karena disodori asumsi, hanya Kalla tokoh yang
berpengalaman sebagai wapres. (Dalam catatan saya, yang berpengalaman sebagai wapres
dan masih sehat lainnya adalah Hamzah Haz, Try Soetrisno, B.J. Habibie, dan, oya,
Megawati). Media mengumbar, kepiawaian JK, baik mengenai politik internasional maupun
ekonomi makro, akan membantu Jokowi yang lemah dalam bidang itu. Apalagi Kalla bisa
menggaet suara Indonesia timur.
Tapi pasti Jokowi mikir, Kalla terlalu senior, masak sih wakil? Lagi pula usianya lanjut dan
konon Kalla sangat dominan dalam mengambil langkah. Untuk itu, atas desakan opini yang
lain, bahwa yang dihadapi negeri ini sesungguhnya lemahnya hukum, Jokowi mendekati
Mahfud MD. Nah, tokoh satu ini "milik" Partai Kebangkitan Bangsa. Jika Mahfud diambil,
PKB tentu diajak, bagaimana kalau PKB dalam berkoalisi menentukan "syarat dan ketentuan
berlaku"? Lagi pula Mahfud berasal dari Madura, Jawa Timur, yang masih dekat dengan
Solo.
Horee… ada tokoh alternatif! Abraham Samad, Ketua KPK. Dilirik yuk, mungkin begitu
pikiran Jokowi. Samad anak muda, berani, paham hukum, dan berasal dari Indonesia timur
seperti Kalla. Tapi ketika Jokowi sowan ke Tebu Ireng untuk bertemu Salahuddin Wahid, Si
Gus memberi bisikan: "paham hukum dengan pengalaman sepuluh tahun". Si Samad baru
beberapa tahun namanya berada dalam radar "tokoh nasional".
Jokowi mengaku sudah mengantongi nama cawapres, tapi pasti nama itu lebih dari satu. Ia
sedang mengkalkulasi, kalau ambil ini, pengikut yang itu pasti kecewa. Ya, harus diiming-
imingi harapan, misalnya, jadi juru bicara. Kalau ambil yang itu, pengikut yang ini kesal, ya,
minimal diberi menteri atau kalau ngotot lebih, menko kesra.
Utak-atik nama boleh diperpanjang, tapi larinya sudah pasti soal bagi-bagi kursi, betapa pun
akal Jokowi menutupinya. Sebab, pangkal masalahnya, yang dicari "cawapres rasa capres".
Kalau saja Jokowi "sudah merasa capres" dan percaya diri memimpin negeri ini, soalnya jadi
lain.
Yang mengherankan, partai tengah-di luar tiga besar-pada ikut "menari", bukan memukul
gendang dengan menciptakan tari sendiri. Kenapa tidak menghimpun diri dan lupakan "tarian
Jokowi"? Juga lupakan dua partai besar lainnya, termasuk capres yang sudah dikoarkan. Lalu
usung, misalnya, JK-Mahfud atau Mahfud-Hatta Rajasa atau Hatta dengan pemenang
konvensi Demokrat. Hal ini lebih memberi gairah masyarakat untuk ikut mencoblos, karena
Jokowi punya lawan tanding. *
Pesona Karisma Jokowi
Rabu, 07 Mei 2014
Mohammad Takdir Ilahi, Mahasiswa Pascasarjana UIN Yogyakarta
Harus diakui bahwa kepribadian kandidat dinilai bakal menjadi penentu dalam pemilu
presiden 2014 di Indonesia. Kondisi itu dikenal sebagai personality politics, yang menjadi
salah faktor penting yang dapat menentukan hasil akhir dari kompetisi besar ini. Karakter
personality politics sangat erat dengan sosok kandidat yang mampu menjadi daya tarik dan
mempengaruhi seseorang untuk menjatuhkan pilihan pada pemilu presiden mendatang.
Sosok yang paling berkarisma (dan) mampu menggugah perhatian warga adalah yang akan
terpilih menjadi pemimpin Indonesia. Jadi, faktor ideologi, representasi agama, etnis,
kekerabatan, kelas sosial, ataupun platform partai politik sekalipun, tidak lagi menjadi
penentu utama dalam mempengaruhi pemilih.
Saya melihat potret personality politics yang berlangsung di Indonesia sebenarnya dapat kita
saksikan langsung dari beberapa kandidat yang mendeklarasikan diri atau masih menunggu
perkembangan politik selanjutnya. Namun, untuk konteks pemilu presiden 2014, saya menilai
Joko Widodo atau Jokowi sebagai salah satu di antara yang paling memenuhi kriteria, sebagai
cermin atau manifestasi personality politics.
Hal ini tidak bisa lepas dari gaya kepemimpinan Jokowi yang mampu menyentuh hati
masyarakat dengan turun langsung ke lapangan guna menyerap aspirasi masyarakat secara
luas. Melejitnya popularitas Gubernur DKI Jakarta Jokowi ternyata mampu menggugah dan
menjadi daya tarik warga, terutama dari kalangan miskin yang tinggal di kawasan kumuh.
Jokowi akhirnya dikenal warga sebagai sosok yang merakyat, tak elitis, populis, fleksibel,
dan mampu mendengarkan keluhan-keluhan semua golongan tanpa terkecuali.
Karisma (charisma) menjadi kekuatan utama Jokowi dalam meraih simpati dan dukungan
bila dibandingkan dengan tokoh-tokoh lainnya. Pengaruh karisma Jokowi dalam teori
sosiologis--sebagaimana dijelaskan oleh Max Weber--lebih ditekankan pada kemampuan
seorang tokoh atau pemimpin yang memiliki kekuatan luar biasa dan mistis. Pengaruh
karisma sangat menekankan akan pentingnya kekuatan dan kepekaan dalam membaca
fenomena sosial, sehingga ia bisa diterima dengan baik oleh seluruh masyarakat.
Konsep karisma dalam teori sosiologis mengacu pada orang yang berwibawa karena
mempunyai pengaruh luar biasa dan memberikan inspirasi bagi setiap orang untuk mengikuti
apa yang menjadi pesan-pesan moralnya. Saya memahami karakteristik karisma muncul
bersamaan dengan situasi lingkungan yang mempengaruhinya, yaitu adanya seseorang yang
memiliki bakat yang luar biasa, sejumlah ide yang radikal untuk memecahkan krisis atau
persoalan, adanya sejumlah pengikut yang percaya bahwa seseorang itu memiliki
kemampuan yang bersifat transendental dan supranatural, serta adanya bukti yang berulang
bahwa apa yang dilakukan itu mengalami kesuksesan.
Pesona karisma Jokowi dibandingkan dengan kandidat lain memang tampak lebih unggul.
Pandangan sosiologis memperlihatkan bahwa kekuatan karisma sebagai sebuah konsep
kepemimpinan memiliki karakter tersendiri untuk mempengaruhi pengikutnya agar terkesima
oleh apa yang menjadi nilai penting dari visi dan misinya. Dan ciri pemimpin karismatik itu
ada pada sosok Jokowi, yang bakal menjadi kandidat utama dalam pemilu presiden 2014. *
Candi
Rabu, 07 Mei 2014
Djulianto Susantio, Sarjana Arkeologi
Peninggalan budaya nenek moyang kita yang berupa candi semakin banyak mendapat
perhatian kalangan seniman. Awal Maret 2014, terselenggara drama tari "Shima: Kembalinya
Sang Legenda" di Gedung Kesenian Jakarta. Para pendukung acara menggunakan bentuk-
bentuk aksesori, busana, dan alat musik yang ditafsirkan dari relief candi, dan dibuat sedapat
mungkin mendekati aslinya. Inspirasinya berasal dari temuan-temuan arkeologi di Candi
Dieng.
Ada lagi pertunjukan "Pulung Gelung Drupadi" pada April 2014 di Taman Ismail Marzuki,
Jakarta. Risetnya dilakukan di Candi Jago, Jawa Timur. Pada 19-20 Maret 2014, gitaris Dewa
Budjana dan penyanyi Trie Utami, bersama kelompok Nyanyian Dharma, mengadakan
konser spiritual di Petirtaan Jalatunda dan Candi Brahu--keduanya di Jawa Timur.
Sebelumnya, mereka mengamen di Candi Prambanan, Candi Ratu Boko, dan Situs Trowulan.
Jelas nama candi sudah masuk hitungan masyarakat. Dalam jajak pendapat yang dilakukan
Kompas (Kompas Minggu, 13 April 2014), masyarakat mengatakan candi merupakan situs
purbakala/cagar budaya yang paling menarik untuk dikunjungi. Candi menduduki peringkat
pertama (55,21 persen), jauh di atas keraton/istana raja (15,61 persen), tempat peribadatan
bersejarah (13,80 persen), situs megalitikum (3,07 persen), dan pemakaman kuno (2,91
persen).
Candi merupakan bangunan dari masa purba yang terawetkan karena terbuat dari batu bata
dan batu andesit (batu kali). Pada zaman dulu, bangunan candi erat berhubungan dengan
keagamaan.
Istilah candi sendiri berasal dari salah satu nama untuk Durga sebagai Dewi Maut, yaitu
Candika. Durga adalah istri Dewa Siwa, yakni Dewa Perusak dalam mitologi Hindu. Candi
banyak didirikan di Pulau Jawa sekitar abad ke-8 hingga ke-14 Masehi. Memang ada candi
yang lebih tua dari abad ke-8, tapi tidak banyak. Di luar Jawa, bangunan candi terdapat di
Bali, Sumatera, dan Kalimantan.
Hingga kini, di seluruh Nusantara terdapat ratusan candi, baik yang sudah dipugar maupun
belum dipugar. Bahkan ada candi yang hanya berupa onggokan batu atau serakan batu,
karena batu-batunya hilang entah ke mana. Yang menarik perhatian masyarakat, termasuk
seniman, tentu saja candi-candi yang pernah dipugar. Terutama Candi Borobudur dan Candi
Prambanan, yang sudah ditetapkan sebagai Warisan Dunia.
Di luar candi, sebenarnya gedung museum dan bangunan bersejarah lain sudah mendapat
perhatian masyarakat. Sejumlah gedung museum dan bangunan bersejarah beberapa kali
pernah digunakan untuk latar klip video kelompok-kelompok musik.
Pertanyaan kita sekarang: apakah candi-candi di lapangan benar-benar diminati masyarakat?
Apakah hanya diminati kalau ada pertunjukan seni atau kebudayaan? Kita harapkan bukan
hanya seniman yang mampu mengambil inspirasi dari candi. Masyarakat pun akan
mendatangi candi secara langsung, karena candi memiliki nilai kearifan, seperti toleransi
beragama (antara Candi Prambanan yang bersifat Hindu dan Candi Plaosan yang bersifat
Buddha), pesan moral (berdasarkan relief cerita), dan keterampilan seniman (dalam memahat
arca).
Kita tentunya tidak berharap bangunan-bangunan kuno dijauhi masyarakat karena kesan
negatif itu. Betapapun, banyak nilai positif terdapat pada gedung-gedung kuno, seperti halnya
pada candi.*
Koalisi Sangkil Pemilu Presiden
Rabu, 07 Mei 2014
Wawan Sobari, Dosen Program Studi Ilmu Politik Universitas Brawijaya
Ada pelajaran penting yang bisa diambil dari laporan akhir dana kampanye yang disampaikan
12 partai politik nasional kepada Komisi Pemilihan Umum (Koran Tempo, 25 April).
Besarnya dana kampanye parpol tidak berbanding lurus dengan perolehan suara pemilu
legislatif 2014. Parpol dengan bujet kampanye besar tidak mesti memperoleh suara
terbanyak. Partai Gerindra, yang melaporkan pengeluaran anggaran kampanye terbesar
sebesar Rp 434,945 miliar, justru hanya menempati posisi ketiga perolehan suara menurut
hasil sejumlah hitung cepat.
Apabila menggunakan ukuran rasio pengeluaran dana kampanye dan perolehan suara parpol,
PKS merupakan parpol paling sangkil (efisien). PKS melaporkan pengeluaran kampanye
sebesar Rp 121 miliar. Sedangkan nilai tengah (median) perolehan suara PKS, menurut empat
hasil hitung cepat (SMRC, LSI Lingkaran, Cyrus-CSIS, IPI), adalah sebesar 6,9 persen.
Maka, rasio efisiensi dana kampanye PKS sebesar Rp 17,54 miliar per persen perolehan
suara.
Posisi kedua ditempati PDIP dengan rasio efisiensi Rp 21,26 miliar per persen. Kemudian
diikuti PPP (Rp 24,15 miliar), PKB (Rp 26,86 miliar), dan Golkar (Rp 27,51 miliar).
Sedangkan Partai Hanura terkategorikan sebagai parpol dengan dana kampanye paling boros,
dengan rasio Rp 69,26 miliar per persen.
Hasil penghitungan efisiensi dana kampanye melahirkan catatan penting mengenai urgensi
strategi dan organisasi parpol. Strategi terkait dengan kemampuan parpol mendorong
peningkatan loyalitas keanggotaan dan ekspansi pemilih parpol. Organisasi terkait dengan
kapasitas manajemen dan loyalitas pengurus parpol hingga tingkat terbawah.
Sejak awal pendiriannya, PKS dikenal sebagai partai kader karena segmentasi pemilihnya
yang jelas dan loyal. PKS didirikan, dipimpin, dan didukung oleh kumpulan individu
kalangan terdidik yang loyal. Terbukti, hantaman kampanye negatif kasus korupsi yang
menimpa pimpinan PKS tidak secara drastis meruntuhkan kepercayaan para kadernya. Suara
PKS diperkirakan hanya turun sekitar 1 persen dibanding hasil Pemilu 2009 (7,89 persen).
Adapun PDIP, yang mendeklarasikan diri sebagai partai wong cilik, berhasil keluar dari tren
penurunan suara pemilu legislatif 1999 (33,75 persen) hingga pemilu legislatif 2009 (14,01
persen). Median empat hasil hitung cepat memperkirakan perolehan suara PDIP sebesar
19,04 persen. Tanpa mengesampingkan daya tarik Joko Widodo (Jokowi), strategi dan
organisasi PDIP relatif berhasil mengembalikan kepercayaan pemilihnya, meski tidak
menyamai capaian pemilu legislatif 1999.
Lantas, apa relevansi dari catatan efisiensi penggunaan dana kampanye parpol untuk
pemenangan pemilu presiden 2014? Pertama, efisiensi dana kampanye bisa dijadikan
argumen membangun koalisi. Parpol-parpol yang terkategorikan efisien merupakan bukti
kemampuannya untuk tidak melulu bertumpu pada besarnya dana kampanye, melainkan
bersandar pada kapasitas strategi dan organisasi parpol dalam menghadapi pemilu.
Namun bukan berarti parpol pemenang pemilu legislatif yang terkategorikan efisien, seperti
PDIP, tidak bisa membangun koalisi dengan parpol yang tak efisien. Sebaliknya, PDIP, yang
sudah mendeklarasikan koalisi dengan Partai NasDem dalam pemilu presiden 2014, justru
akan memperoleh dampak positif. Kemampuan Partai NasDem dalam menggalang dana
kampanye akan membantu PDIP, yang mencalonkan Jokowi. Sedangkan Partai NasDem,
yang terkategorikan tidak sangkil (Rp 41,4 miliar), akan belajar dari kapasitas PDIP dalam
mengoptimalkan strategi dan organisasi kepartaiannya.
Kedua, ukuran efisiensi penggunaan dana kampanye parpol bisa menjadi dasar evaluasi dan
menyusun strategi pemenangan pemilu presiden 2014. Partai Gerindra, yang
mendeklarasikan Prabowo Subianto sebagai calon presiden, perlu merefleksikan angka
efisiensi penggunaan dana kampanyenya yang mencapai Rp 36,66 miliar per persen. Meski
perolehan suara Gerindra melejit hampir tiga kali lipat dari hasil pemilu legislatif 2009 (4,46
persen), penggunaan dana kampanyenya tergolong kurang efisien. Karena itu, Partai Gerindra
perlu mempertimbangkan masak-masak parpol yang diajak berkoalisi mencalonkan Prabowo.
Terutama memilih calon wakil presiden yang diajukan parpol terkategorikan efisien. Pun,
Gerindra bisa lebih mengoptimalkan strategi ekspansi pendukung Prabowo dan manajemen
kampanye yang akan dijalankan kader-kadernya di tingkat terbawah.
Ketiga, kampanye memang bukan satu-satunya faktor yang mendorong keberhasilan parpol
meraih suara tinggi dalam pemilu presiden nanti. Kekuatan figur yang merupakan gabungan
tingkat popularitas dan kesukaan terhadap calon bisa saja lebih kuat. Terbukti, pasangan
SBY-Boediono, yang meraih suara 60,80 persen suara dalam pemilu presiden 2009,
mengeluarkan dana kampanye resmi sebesar Rp 232,58 miliar. Nilai tersebut hanya 75,76
persen dari dana kampanye Partai Demokrat dalam pemilu legislatif 2014.
Alhasil, ukuran efisiensi belanja kampanye pemilu legislatif 2014 berguna dalam menghadapi
pemilu presiden mendatang. Terutama dalam mengukur kapasitas strategi dan organisasi
parpol yang efisien guna mendongkrak elektabilitas calon presiden dan calon wakil presiden.
*
Menakar Kualitas Manifesto
Kamis, 08 Mei 2014
Triyono Lukmantoro, Dosen Universitas Diponegoro Semarang
Manifesto bukan sekadar untaian kata-kata. Manifesto juga bukan hanya berisi janji-janji
yang membuai kesadaran. Manifesto pun tidak dimaksudkan untuk memuat program-
program politik yang melambung tinggi. Manifesto bukan pula teknik retorika secara
dokumenter untuk menyelubungkan maksud dari si penciptanya. Hal ini disebabkan oleh
manifesto adalah cerminan dari kehendak zaman. Manifesto, dengan demikian, merupakan
ekspresi kuat dari tuntutan-tuntutan historis (waktu) dan sosiologis (ruang sosial) yang
melingkupinya.
Manifesto, berikut Oxford Advanced Learner's Dictionary memberi uraian, adalah
"pernyataan tertulis yang dikemukakan sekelompok orang, khususnya partai politik, yang
menjelaskan keyakinan-keyakinan mereka dan mengatakan apa yang akan mereka lakukan
jika mereka memenangi sebuah pemilihan". Kata manifesto itu sendiri muncul pada
pertengahan abad ke-17 untuk merujuk pada pernyataan yang bersifat publik dan
menunjukkan kejelasan suatu maksud. Merujuk pada pernyataan itu, manifesto secara
otomatis berisi program-program politik untuk meraih dukungan sebanyak mungkin dari
masyarakat dalam domain pemilihan umum.
Dalam konteks Pemilihan Umum 2014 ini, kita tersentak dengan kehadiran Manifesto
Perjuangan Partai Gerindra. Ada dua persoalan yang disoroti masyarakat. Pada persoalan
agama, Gerindra menyatakan setiap orang berhak untuk beribadah sesuai dengan agama dan
kepercayaannya. Negara pun memberi jaminan untuk kebebasan ini. Negara juga mengatur
kebebasan beragama tersebut. Persoalan menjadi sangat serius dan mengancam kebebasan
beragama itu sendiri ketika partai ini menyatakan, "Negara juga dituntut untuk menjamin
kemurnian ajaran agama yang diakui oleh negara dari segala bentuk penistaan dan
penyelewengan dari ajaran agama." Apakah yang dimaksud dengan "kemurnian agama"?
Bukankah karena isu "kemurnian agama" mengakibatkan beberapa kelompok beragama
minoritas di negeri ini secara terus-menerus dirajam kekerasan? Tidakkah dengan
memunculkan "kemurnian agama" menjadikan negara versi Gerindra tidak netral dan justru
bakal merongrong kebebasan beragama yang sudah digariskannya sendiri?
Dalam hal hak asasi manusia, manifesto Gerindra semakin menyajikan bukti bahwa partai ini
memang mengalami ketakutan dan paranoid terhadap isu ini. Apa yang tertulis adalah
kalimat menyedihkan berikut ini: "Hukum dan kemanusiaan tidak boleh dipandang sebagai
dua substansi yang terpisah. Maka, adanya pengadilan HAM merupakan sesuatu yang
overbodig (berlebihan)." Bagaimana pengadilan hak asasi manusia dianggap sebagai
keterlaluan jika pada kenyataannya masih banyak orang, terutama pejabat birokrasi dan
otoritas keamanan negara, yang melakukan penistaan terhadap kemanusiaan, misalnya,
menculik sekian banyak orang dengan mengatasnamakan stabilitas politik? Bukankah
penculikan itu semakin meneguhkan bahwa langkah-langkah politik Machiavellian yang
menghalalkan segala cara justru diperbolehkan? Tidakkah juga penculikan telah merampas
martabat kemanusiaan?
Manifesto merupakan panduan politik yang penting bagi sebuah partai serta menjadi acuan
bersama bagi rakyat yang membacanya. Jika sebuah partai justru pada saat berkuasa nanti
terlalu banyak menjalankan intervensi terhadap kehidupan rakyat dalam beragama, dan
bahkan menolak penegakan hukum melalui pengadilan hak asasi manusia, bagaimanakah
masa depan kemanusiaan itu sendiri? Manifesto, dalam posisi demikian, justru menjadi cara
yang digunakan oleh pemegang otoritas tunggal partai untuk bersembunyi dari berbagai
sorotan tajam yang sedang menghunjam keras ke arah dirinya. Manifesto tidak lebih berisi
kesadaran palsu yang memelintir kenyataan dan cita-cita bersama. Sekilas, manifesto itu
menyuarakan kepentingan banyak orang. Namun, setelah dibaca secara kritis, manifesto itu
tidak lebih sebagai kedok politik.
Bukan berarti di dunia ini tidak ada manifesto yang baik. Salah satunya pernah ditulis Karl
Marx (1818-1830) dalam judul The Communist Manifesto. Dalam uraian yang dikemukakan
James Garvey (20 Karya Filsafat Terbesar, 2010), manifesto pada abad ke-19 itu dianggap
karya yang hebat dalam perspektif filosofis. Sebabnya adalah manifesto itu menunjukkan
harapan-harapan yang pada awalnya masih samar menjadi semakin jelas dengan cara
mempersatukan kaum buruh untuk melakukan revolusi. Dorongan transformasi sosial itu
dieksplisitkan. Bentuk dan tujuan akhir manusia pun akan direngkuh. Dunia yang lebih baik
bakal diraih. Manifesto karya Marx itu memiliki dasar filosofis yang khas, yakni
pertentangan antarkelas.
Mutu manifesto harus ditakar pada sejauh mana kemampuan pernyataan itu memberikan visi
yang membimbing rakyat untuk mendapatkan harapan. Jadi, manifesto bukan tempat
bersembunyi bagi segelintir elite politik dengan menampilkan kata-kata indah yang terkesan
memukau, tapi isinya sungguh kacau. *
Paralisis
Kamis, 08 Mei 2014
Bagja Hidayat, @hidayatbagdja
Manakah yang lebih mengerikan: sebuah novel horor atau tayangan berita kriminal di
televisi? Barangkali kita sulit membedakan mana yang lebih mengejutkan di tengah zaman
ketika cerita yang seharusnya hanya ada dalam prosa meruyak dalam kehidupan nyata,
mengisi halaman-halaman berita.
Seorang guru di Wates, Jawa Tengah, menusuk guru lain yang sedang mengajar di depan
kelas, di depan puluhan murid-muridnya. Pembunuhan itu berlangsung cukup lama karena
korbannya melawan dan terjadi perkelahian, darah membanjir, guru itu meregang nyawa
dengan 25 tusukan, disaksikan murid-muridnya sendiri! Sukar dibayangkan, berapa lama
adegan horor ini akan melekat dalam ingatan dan menghantui siswa-siswa itu.
Dunia adalah mahaprosa yang tak tepermanai. Dunia dan manusia telah melampaui imajinasi
para penulis prosa, dengan lebih banal. Dunia seperti sedang membangkitkan kembali
Nikolai Chernyshevsky yang meyakini realitas jauh lebih mengejutkan, jauh lebih
mengagumkan, ketimbang karya seni. Gagasan abad ke-19 itu kini menemukan muaranya
lewat televisi, Internet, dan telepon pintar.
Betapa kini realitas telah merebut apa yang dulu diimajinasikan orang-karena dulu kabar-
kabar kriminal tak menyebar melalui media massa. Sebuah peristiwa pembunuhan kini lebih
mencengangkan dibanding sebuah cerita pendek di halaman koran pada hari Minggu. Di
halaman prosa, kita tak mendapat kejutan pada pagi hari seraya menyesap kopi di beranda.
Cerita-cerita berhamburan tak membekas dan nama-nama berseliweran tanpa berhenti
menjadi "tokoh".
Para "tokoh" telah diambil alih oleh pelaku nyata di luar beranda rumah kita, di luar halaman-
halaman fiksi. Di Wates, guru itu membunuh karena tersinggung dimaki temannya yang ia
bunuh itu, dan ia melakukannya di sekolah-tempat anak-anak membekali diri dengan
imajinasi dan kearifan, tempat mereka berlindung pada sosok yang layak digugu dan ditiru.
Di Jakarta, ada sekolah yang menjadi sarang predator seks yang bertahun-tahun pelakunya
tak tersentuh oleh hukum. Di Sukabumi, seorang remaja menyodomi anak empat tahun
hingga tewas, dan korbannya mencapai lebih dari 100 orang.
Daftar itu bisa diperpanjang hingga kita akrab lalu melupakan kengerian-kengerian itu,
karena sebuah kebrutalan akan tertindih oleh kebrutalan lain. Paralisis itu akan
menumbuhkan frustrasi karena kita seolah tak punya andalan terakhir menghentikan
kesakitan massal itu. Kita dipaksa siap menerima kesakitan dan kengerian yang sedang
terjadi di tempat lain dan di waktu yang lain.
Peristiwa-peristiwa itu hanya menunggu giliran diberitakan karena Internet dan telepon pintar
memungkinkan sebuah peristiwa tersiar tanpa melalui pena wartawan. Pada akhirnya, dan
mungkin ini yang sedang terjadi, kita akan menjadi bebal bersama.
Toh, berita-berita kekerasan itu kita lihat dan baca sambil bergelantungan di kereta malam,
minum cappucino yang hangat di kafe yang gemerlap, lalu membagi dan memberi komentar
kengerian itu melalui media sosial, kemudian beralih membaca atau menonton berita lain
tentang kuliner yang lezat atau menganalisis langkah elite-elite partai memperdagangkan
perolehan suara dalam pemilihan umum.
Dalang
Kamis, 08 Mei 2014
Munawir Aziz, Peneliti
Dalam kosmologi manusia Jawa, dalang menjadi rujukan tentang tata nilai dan pengatur
ritme yang mampu memberikan visi dalam kisah-kisah kehidupan. Dalang, dalam artian
harfiah, merupakan seorang yang mengomando pementasan wayang. Sebagai orang yang
memainkan lakon demi lakon, pada hakikatnya dalang mementaskan nilai-nilai kehidupan
pada setiap kisahnya.
Bagaimana memaknai dalang dalam konteks masyarakat Indonesia saat ini? Di tengah
pertarungan politik yang kian panas, kita perlu menganalisis tentang bagaimana posisi dalang
dan strategi lakon wayangnya. Dalang, dalam ranah kesenian, memang menjadi rujukan
pementasan wayang, tapi dalam ranah politik, ia bisa bermetamorfosis menjadi sutradara
dalam panggung kekuasaan. Dalang politik tidak sekadar mencari lakon yang sesuai dengan
wayangnya, namun juga mampu mengatur ritme, menjadi makelar, hingga menyusun alur
logika bagi wayang-wayangnya di panggung kuasa.
Untuk itu, perlu ada kecermatan analisis, siapa dalang, siapa wayang. Di panggung politik
saat ini, perlu menakar kapasitas orang-orang yang berkompetisi: apakah dia sesungguhnya
dalang, atau hanyalah wayang yang seolah-olah menampakkan diri sebagai dalang. Inilah
lakon di panggung politik kita saat ini.
Dalam filosofi Jawa, dalang sebenarnya berakar dari makna mulia. Dalang dimaknai dalam
akar kata wedha dan wulang. Wedha merupakan kitab suci agama yang memuat ajaran
tentang moral, peraturan hidup, dan spiritualitas menuju Tuhan. Sedangkan wulang dapat
diartikan sebagai mengajar serta menebar benih ilmu dan cinta dalam kehidupan. Pada arti
yang lain, dalang juga dapat diartikan sebagai penyebar ilmu. Makna ini berakar kata angudal
piwulang, yakni dalam proses menyebar ilmu bagi masyarakat.
Dalam Kakawin Arjunawiwaha, begawan Mpu Kanwa-pujangga pada masa pemerintahan
Airlangga (1019-1042)-mengisahkan tentang pentingnya dalang dalam kosmologi hidup
manusia (P.J. Zoetmoelder, 1983: 298). Ia mengungkap tentang bagaimana dalang
menciptakan peran sentral dan konteks kemanusiaan. Dalang mampu menyihir rakyat dengan
memberi visi pada kisah-kisah yang ditampilkan dengan media wayang.
Lalu, bagaimana transformasi makna dalang dalam dimensi bahasa saat ini? Dalam
perkembangan peradaban bangsa, bahasa menjadi ruang untuk menampung dinamika
pemikiran dan karakter sosial. Dalam konteks ini, perluasan makna dalang, dari penyebar
ilmu menjadi aktor kunci di balik prahara maupun manuver politik, menjadi kekayaan
berbahasa kita. Meski pada titik tertentu ada nuansa negatif yang muncul.
Pada kontestasi politik saat ini, kecermatan melihat aktor dan boneka, dalang dan wayang,
lebih penting daripada sekadar terjebak pada isu maupun kampanye negatif. Mencermati
dalang, bagaimana bentuk strategi, ideologi, dan akar kepentingan ekonomi-politik, akan
mampu membuka tabir gelap tentang motif politik yang sebelumnya diselimuti kabut
pencitraan maupun manipulasi informasi. Sedangkan mengikuti gerak langkah wayang hanya
akan menangkap gerak bayang-bayang yang dipantulkan dari cahaya, dari alur strateginya.
Inilah akar filosofi orang-orang Nusantara yang mampu menggerakkan manusia Indonesia
agar lebih bersahaja.
Di panggung politik, kita perlu mencermati: apakah seseorang itu sejatinya dalang, ataukah
wayang yang mengaku sebagai dalang?
Ketika Anak-anak Dikorbankan
Jum'at, 09 Mei 2014
Endang Suryadinata, Penggemar Sejarah
Boleh jadi kita pernah mendengar ritual pengorbanan anak. Misalnya, berdasarkan dokumen
tertulis dari abad ke-16 dan ke-17, kita bisa membaca adanya ritual demikian pada suku
bangsa Aztec, yang menyebut diri mereka Mexica-asal nama Stocking "Meksiko".
Suku bangsa Aztec percaya bahwa Tlaloc, dewa hujan, senang mendapatkan pengorbanan
anak-anak yang dilakukan pada musim semi. Ritual pengorbanan didasarkan pada
kepercayaan bahwa para dewa, termasuk Tlaloc, akan meninggalkan mereka jika tidak
mendapatkan "air yang berharga", yaitu darah. Suku Aztec percaya, jika mereka tidak
melakukan pengorbanan, matahari tidak akan terbit keesokan harinya.
Malah, di Timur Tengah, pada abad ke-18 sebelum Masehi, Abraham atau Ibrahim juga
sudah diminta Tuhan untuk mengorbankan anaknya, meskipun tidak jadi. Namun,
berdasarkan bukti-bukti arkeologis, di kawasan Timur Tengah kuno memang biasa dilakukan
ritual pengorbanan anak.
Ritual seperti itu jelas penuh horor. Sayangnya, dalam skala yang lebih masif, dalam cara
yang berbeda, pengorbanan anak atau anak-anak yang dikorbankan ternyata bukan mitos.
Tapi sungguh terjadi hari-hari ini. Pengorbanan dilakukan bukan di altar di sebuah kuil,
melainkan dalam altar kehidupan. Anak-anak sengaja dikorbankan atau dijadikan korban oleh
para predator seks, khususnya para pedofil.
Hari-hari ini, publik di Tanah Air benar-benar geram karena beberapa anak disodomi
beberapa pria dewasa yang bekerja sebagai cleaning service di TK Jakarta International
School (JIS). Belum reda kasus JIS, dari Sukabumi muncul Emon, yang konon sudah
menyodomi 110 anak. Di Tuban, Jawa Timur, juga ada predator seks telah menyodomi 10
anak. Di Bandar Lampung juga ada tukang becak yang menyodomi 20 anak.
Para predator itu mengikuti jejak para pendahulu mereka. Kita ingat, pada awal 2010, muncul
nama Babe yang pernah menggemparkan media, mengingat pria asal Purworejo itu telah
menyodomi dan membunuh sekitar 11 anak. Lalu di zaman Pak Harto, pada dekade 1990-an,
ada nama Robot Gedek yang melakukan sodomi dan pembunuhan terhadap enam anak usia
belasan tahun, sejak 1994 hingga 1996. Robot Gedek mendadak meninggal ketika akan
dieksekusi pada 2008.
Maka, kasus pedofilia di Indonesia menjadi yang tertinggi di Asia (Koran Tempo, 6/5).
Komnas Perlindungan Anak juga menyebut negeri ini berada dalam status darurat kejahatan
seksual anak.
Agar ke depan pedofilia tidak kian marak, jelas perlu koalisi semua pihak agar lingkaran
setan kejahatan seks bisa diakhiri. Pertama, diperlukan vonis berat, kalau perlu para pedofil
dikebiri, seperti yang dilakukan di beberapa negara. Namun jelas, KUHP atau Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002, yang hanya memvonis 15 tahun penjara bagi penjahat seks,
dinilai ringan, apalagi faktanya kerap divonis kurang dari 10 tahun.
Kedua, kita juga perlu memiliki National Sex Offender Registry atau Daftar Pelaku
Kekerasan Seks Nasional, seperti banyak negara lain, yang berisi daftar nama dan foto para
pelaku kekerasan seksual. Pemerintah baru, hasil pileg dan pilpres bisa merealisasi kedua hal
tersebut. Ritual pengorbanan anak oleh para predator harus diakhiri.
Peran Pria dalam Perjuangan Hak
Perempuan
Jum'at, 09 Mei 2014
Neng Dara Affiah, Komisioner Komnas Perempuan 2010-2014 *)
Kartini di alam sana mungkin bisa tersenyum, karena perjuangannya tidak hanya diteruskan
oleh kaum perempuan, tapi juga oleh kaum pria. Contoh, Haji Agus Salim. Pada Kongres
Jong Islamieten Bond (JIB) pada 1925 di Yogyakarta, ia membuka tabir yang memisahkan
tempat duduk antara laki-laki dan perempuan. Pada 1927, dalam kongres yang sama di Solo,
dia berceramah dengan topik "Tentang Pemakaian Kerudung dan Pemisahan Perempuan".
Menurut dia, salah satu kecenderungan umat Islam adalah memisahkan perempuan dalam
rapat-rapat. Para perempuan ditempatkan di pojok-pojok dengan ditutup kain putih yang
meniru bangsa Arab. Tindakan tersebut, menurut Agus Salim, bukanlah ajaran Islam,
melainkan tradisi Arab yang sebelumnya dipraktekkan oleh orang-orang Yahudi dan Kristen.
Karena itu, dia mengajak peserta kongres JIB untuk mempelajari Islam secara benar, agar
memahami semangat yang terkandung di dalamnya.
Mengenai tindakan Agus Salim ini, Sukarno menulis dalam Surat-surat dari Endeh bahwa
tabir adalah simbol penindasan bagi perempuan, bukan hanya penindasan oleh laki-laki
sebagai kedok untuk mengikuti tradisi, melainkan penindasan terhadap hal yang baru oleh
yang lama, terhadap evolusi oleh ortodoksi. Dengan demikian, menurut Sukarno, salah satu
elemen yang harus direformasi dari ajaran Islam adalah kodifikasi hukum Islam tentang
perempuan (fiqh), karena ajaran ini telah membatasi perempuan pada akses pendidikan bagi
perempuan, kebebasan bergerak dan berpakaian.
Tulisan Sukarno yang mendukung sikap Agus Salim ini membuat ia berkonflik dengan
pimpinan Muhammadiyah cabang Bengkulu. Sayangnya, praktek yang ditentang oleh Haji
Agus Salim dan Sukarno ini masih dipraktekkan di sejumlah masjid di Indonesia, yang
memisahkan tempat duduk laki-laki dan perempuan. Bahkan tempat duduk perempuan
ditempatkan di belakang atau di pojok gedung di mana akses pengetahuan melalui khotbah
atau ceramah-ceramah agama sering tak terdengar oleh perempuan. Bahkan praktek ini masih
diberlakukan oleh salah satu partai Islam dan organisasi Islam tertentu, yang memandang
perempuan sebagai sumber fitnah dan pangkal kekacauan sosial.
Pada 1990-an, muncul nama-nama pria, seperti Mansour Faqih (almarhum), yang
mengenalkan konsep kesetaraan dan keadilan gender melalui beberapa buku dan bentuk
pendidikan orang dewasa yang diadopsi oleh sejumlah organisasi gerakan perempuan. KH
Hussein Muhammad, pengasuh pondok pesantren di Cirebon dan kini komisioner Komnas
Perempuan, menulis sejumlah buku untuk meyakinkan publik bahwa ajaran Islam memiliki
semangat untuk membangun masyarakat yang adil gender. Pelbagai ayat Al-Quran ataupun
hadis ia ketengahkan dengan bangunan argumentasi keilmuan Islam yang kokoh. Diikuti pula
oleh Faqihuddin Abdul Kodir, yang memperjuangkan kasus-kasus kekerasan terhadap
perempuan.
Juga muncul organisasi bernama Aliansi Laki-Laki Baru, kumpulan sejumlah pria yang
berkomitmen mendukung gerakan perempuan, baik secara politik maupun sosial, terutama
dukungannya terhadap gerakan pembebasan perempuan dari ketidakadilan gender, khususnya
pencegahan kekerasan terhadap perempuan. Gerakan ini pun menyadari bahwa sistem
patriarki tidak hanya merugikan perempuan, tapi juga merugikan para pria, karena sistem ini
lebih menuntut pria menunjukkan agresivitas dengan sisi maskulinnya dan mengabaikan
dimensi terdalam dari sisi kemanusiaan, seperti kehalusan perasaan atau rasa sedih.
Memang, sebagaimana disebut sejumlah pria, mereka tak dapat merasakan langsung
pengalaman diskriminasi sebagaimana yang dialami perempuan. Tapi empati terhadap
pengalaman perempuan yang terdiskriminasi karena "keperempuanannya" inilah yang
membuat mereka tergerak menyuarakan dan melakukan pembelaan perjuangan hak-hak
perempuan. Suara pria, dalam perjuangan hak-hak perempuan, sangatlah penting karena
perjuangan penghapusan diskriminasi tersebut tidaklah ringan. Wujud diskriminasi terhadap
perempuan cenderung tak terlihat, samar, dan dalam masyarakat sering kali dianggap wajar.
Bentuk yang dianggap wajar itu kerap kali ditancapkan dalam bentuk nilai-nilai keluarga, di
dunia pendidikan, serta pelbagai bentuk aturan dan perundang-undangan.
Dalam pelbagai bentuk aturan, Komnas Perempuan mencatat, pada 2013 ada 342 peraturan
daerah diskriminatif terhadap warga negara dengan lebih dari 200 kebijakan berdampak
langsung ataupun tak langsung terhadap perempuan. Wujud diskriminasi tersebut terkait
dengan pengaturan atas pakaian perempuan karena perempuan dipandang sebagai pemikul
tanggung jawab moralitas masyarakat, pengaturan duduk di kendaraan, pembatasan keluar
malam yang mengingkari fakta bahwa banyak perempuan yang menjadi penopang ekonomi
yang harus bekerja di malam hari. Karena itu, peran pria dalam perjuangan penegakan hak-
hak perempuan dan penghapusan diskriminasi terhadapnya sangat dibutuhkan sebagai sebuah
ikhtiar menuju masyarakat yang setara dan adil bagi semua. *
*) Pendapat pribadi
Prangko
Jum'at, 09 Mei 2014
M. Nafiul Haris, Penulis
Bagi orang Indonesia, prangko pos tidak hanya berfungsi sebagai bukti telah melakukan
pembayaran untuk jasa layanan pos, seperti halnya mengirim surat. Ada yang lebih penting
terkait dengan keberadaan prangko pos Indonesia. Khususnya bagi masyarakat Indonesia
terdahulu, keberadaan prangko menjadi bukti pengakuan kedaulatan Indonesia. Jejak sejarah
Nusantara kita terekam jelas dalam prangko.
Sebagaimana sejarah kala itu, Indonesia pernah memesan prangko dari Vienna (Eropa) dan
Philadelphia (AS). Namun pada akhirnya pemerintah Belanda mengembargo prangko
tersebut. Tujuannya tak lain adalah mencegah diakuinya kedaulatan negara bernama
Indonesia, lantaran nama tersebut pastinya akan tercetak dan tersebar di seluruh pelosok
dunia.
Pada titik ini jelas bahwa prangko mempunyai andil besar dalam mewujudkan kemerdekaan
Indonesia dan pula sebagai bukti perjuangan bangsa ini untuk terlepas dari belenggu
penjajahan. Selain itu, prangko mempunyai sejarah sosial yang patut kita simak, selain
fungsinya sekarang sebagai benda koleksi, karena termasuk benda budaya langka. Antik.
Pada masa pemerintahan Bung Karno, prangko berfungsi sebagai alat untuk mengumpulkan
dana dari masyarakat ketika terjadi bencana alam. Bahkan ada sebuah negara yang
menjadikan penerbitan prangkonya sebagai sumber pendapatan negara. Ini menegaskan
bahwa keberadaan prangko masih sangat kita butuhkan karena mempunyai potensi yang
cukup besar, selain bukti kesejarahanya. Nilai-nilai sosial yang ada dalam prangko pun tak
kalah menarik, seperti yang telah diajarkan oleh Sang Proklamator.
Akan tetapi, seiring bermunculannya teknologi baru yang menyuguhkan berbagai bentuk,
dari handphone, Internet, sampai smartphone, kesejarahan serta nilai-nilai sosial yang pernah
dikisahkan pun seakan hanya menjadi cerita kusam. Maka pantas jika kita beranggapan
prangko hanya sebatas riwayat dalam bingkai sejarah Indonesia. Prangko semakin kehilangan
sakralitasnya, ketika ruang-ruang spiritualnya telah digantikan oleh teknologi. Media
komunikasi yang sifatnya sosial, seperti Facebook, Twitter, dan BlackBerry, misalnya, yang
semakin memudahkan seseorang untuk berkomunikasi, menjadi bukti bahwa surat-menyurat
tak lagi diminati, demikian pula prangko. Hal itu menegaskan, prangko bukanlah tren masa
kini.
Meski demikian, selayaknya kita perlu mengingat setiap peristiwa yang kini telah diabadikan
dalam Museum Pos, sebagai bukti perjuangan fisik bangsa Indonesia yang bergerak dalam
bidang perposan demi mewujudkan kedaulatan negara. Perjuangan itu dibuktikan dengan
terbitnya prangko yang dicetak asal-asalan, seperti prangko pos militer di Solo serta prangko
cetak tindih yang bertulisan "Indonesia" atau daerah tertentu peninggalan Nederland Indie
atau Dai Nipon. Semua itu guna menunjukkan kepada dunia luar bahwa pemerintah
Indonesia eksis dan berfungsi (Kompas, 27/9/11). Jadi, prangko bisa menjadi alternatif
penting upaya menumbuhkan semangat nasionalisme kita belakangan ini yang semakin
luntur. *
Darurat Perlindungan Anak
Jum'at, 09 Mei 2014
Bagong Suyanto, Dosen FISIP Universitas Airlangga
Indonesia sekarang tengah berada pada situasi darurat perlindungan anak. Federal Bureau of
Investigation (FBI)--biro investigasi Amerika Serikat--menyatakan bahwa kasus pedofilia di
Indonesia termasuk tertinggi di Asia. Sama seperti di Thailand, kasus pedofilia dan tindak
kekerasan seksual yang terjadi Indonesia sangatlah tinggi dan Indonesia boleh dikata sebagai
salah satu surga bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Selama Januari-Februari 2013
saja, Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat paling tidak telah terjadi 919
kasus kekerasan terhadap anak, sebanyak 216 kasus merupakan tindak kekerasan seksual.
Di luar berbagai kasus yang belakangan ini diekspose media massa, niscaya masih banyak
kasus tindak kekerasan seksual terhadap anak yang masuk dalam kategori dark number.
Berbeda dengan anak-anak yang menjadi korban tindak kejahatan, seperti penculikan atau
penganiayaan, kasus penyalahgunaan seksual sering tidak banyak yang diungkapkan orang
tuanya ke publik karena dianggap sebagai masalah internal keluarga sekaligus aib yang
memalukan bagi keluarga.
Pengalaman selama ini telah banyak membuktikan bahwa anak-anak yang menjadi korban
sexual abuse (penyalahgunaan seksual), baik itu korban pedofilia maupun pemerkosaan,
biasanya akan menghadapkan orang tuanya pada dilema yang berat: menyembunyikan atau
melaporkan ke aparat penegak hukum. Dalam kasus anak korban sodomi, inses, atau kasus
pemerkosaan (dating rape), misalnya, kerap pihak orang tua korban lebih memilih
menyelesaikan masalahnya secara kekeluargaan, bahkan memendam kasus yang terjadi
karena tidak menginginkan terjadi kasus penyalahgunaan (abuse) tahap kedua yang makin
memperparah penderitaan korban. Melaporkan kasus penyalahgunaan seksual kepada aparat
penegak hukum dikhawatirkan malah akan melahirkan tindak pemeriksaan yang justru
mengingatkan kembali korban pada aib dan trauma yang dialami, dan sekaligus
mempermalukan korban di hadapan publik.
Di kalangan korban yang secara ekonomi bergantung dan tidak berdaya di hadapan pelaku,
tindakan penyalahgunaan seksual yang mereka alami umumnya akan berkepanjangan dan
sekian lama baru akan terbongkar jika korban sudah benar-benar tak kuat menahan
penderitaannya atau karena campur tangan pihak lain. Pelaku yang superior biasanya akan
lebih leluasa terus-menerus melakukannya karena korban yang posisinya tersubordinasi. Para
korban ini biasanya baru akan membuka mulut dan mengadukan peristiwa yang dialaminya
ketika ada korban lain yang mau bertindak sebagai pionir untuk melaporkan peristiwa nestapa
yang mereka alami kepada aparat penegak hukum.
Siapa pun yang menjadi korban tindak kekerasan seksual, penderitaan yang mereka alami
sesungguhnya jauh lebih dahsyat dari sekadar kehilangan harta benda atau menjadi korban
tindak kekerasan fisik lain, seperti dipukul atau ditendang orang dewasa di sekitarnya.
Seorang bocah laki-laki yang menjadi korban monster pedofilia bukan tidak mungkin akan
mengalami trauma akut dan proses tumbuh-kembangnya menjadi menyimpang, termasuk
orientasi seksualnya.
Sementara itu, seorang perempuan yang menjadi korban pemerkosaan biasanya akan
mengalami trauma psikologis yang tak terperikan. Mereka juga akan memperoleh stigma
sebagai korban pemerkosaan dari masyarakat. Di Amerika, sebuah studi yang dilakukan
Linda E. Ledray terhadap korban pemerkosaan untuk periode post-rape, penderitaan yang
dialami korban adalah 96 persen kecemasan, 96 persen rasa lelah secara psikologis, 88 persen
kegelisahan tiada henti, 88 persen terancam, dan 80 persen merasa diteror oleh keadaan
(Marzuki, 1997).
Di kalangan anak-anak di bawah umur, ketika menjadi korban tindak kekerasan seksual,
kemungkinan mereka bisa pulih biasanya akan jauh lebih sulit. Mereka cenderung akan
menderita trauma akut (Geiser, 1979). Masa depannya akan hancur. Bagi yang tak kuat
menanggung beban, jangan kaget jika pilihan satu-satunya adalah bunuh diri.
Untuk menyelamatkan masa depan anak-anak agar tidak mengalami trauma dan disorientasi
seksual yang dapat menghancurkan masa depan mereka, yang perlu dilakukan bukan hanya
menangkap, mengadili, dan mengancamkan sanksi yang seberat-beratnya bagi pelaku. Yang
justru lebih penting adalah bagaimana mencegah agar kasus penyalahgunaan seksual tidak
keburu memakan korban dengan cara menumbuhkan kepekaan dan kepedulian orang tua,
kepedulian berbagai kelompok sekunder di masyarakat, para profesional, terutama dokter dan
guru, serta dukungan komunitas lokal agar memiliki kesadaran untuk melakukan deteksi dini
terhadap adanya kemungkinan penyalahgunaan seksual.
Di tengah keterbatasan aparatur penegak hukum dan daya jangkau pengawasan yang
dilakukan negara, langkah realistis yang seharusnya dilakukan adalah mengembangkan
pendekatan community support system yang berbasis pada kepedulian orang tua, keluarga,
komunitas, dan warga masyarakat secara keseluruhan. *
Nasionalisme Konsumen
Jum'at, 09 Mei 2014
Tulus Abadi, Anggota Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
Pada 11 Mei 2014, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) genap berusia 41 tahun.
Secara historis, rekam jejak YLKI tak terlepas dari isu nasionalisme di belakangnya.
Lasmidjah Hardi, sang pendiri YLKI, adalah tokoh pejuang di zamannya, dan merupakan
istri dari Wakil Perdana Menteri Republik Indonesia yang pertama (Hardi). Semula, YLKI
hanya bernama YLK (Yayasan Lembaga Konsumen), dan pada 1974 ditambahkan kata
"Indonesia" di belakangnya. Penambahan kata Indonesia untuk menandaskan betapa
nasionalisme dijunjung tinggi oleh para founding mothers YLKI. Bahkan, latar belakang
YLKI didirikan pun untuk membela kepentingan produk dalam negeri. Kala itu pasar
Indonesia banyak dibanjiri produk impor dengan kualitas rendah.
Tampaknya, pada konteks kekinian, peran historis YLKI masih tetap relevan untuk
mengusung isu nasionalisme dalam ranah advokasinya. Mengingat, pertama, globalisasi dan
liberalisasi ekonomi tak urung hanya akan mengikis eksistensi produk dalam negeri. Pun
perilaku berkonsumsi konsumen nyaris hanya mempertimbangkan aspek afordabilitas
(keterjangkauan) harga. Tak begitu penting, produk itu berasal dari mana dan milik siapa.
Pragmatisme berkonsumsi jauh lebih dominan daripada aspek lainnya, termasuk nasionalisme
(cinta produk dalam negeri), atau bahkan peduli pada lingkungan hidup.
Kedua, makin tidak jelas, apa yang disebut produk dalam negeri itu. Boleh jadi produk
tersebut dibuat di Indonesia dan dijual di Indonesia pula. Tapi jika bahan baku produk
tersebut 100 persen dari impor (contoh mi instan), apakah itu layak disebut produk dalam
negeri?
Ketiga, gempuran produk impor tak selalu dibarengi dengan kualitas yang baik. Boleh jadi
produk impor itu adalah produk sampah yang sangat merugikan konsumen. Sedangkan
pengawasan di pasaran dan atau penegakan hukumnya terbukti masih kedodoran. Pemerintah
lumayan piawai saat membuat kebijakan pre market control, tapi tampak lunglai dalam
menegakkan post market control. Keberadaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional
(BPKN), yang merupakan advisory body bagi presiden dalam hal perlindungan konsumen,
secara fungsional juga belum eksis benar. Bahkan dalam beberapa hal tampak BPKN masih
nyaman di bawah "ketiak" Kementerian Perdagangan.
Sebagai salah satu pilar ekonomi, posisi konsumen tak kalah strategisnya dengan pelaku
usaha sebagai pemilik modal. Ingat, Indonesia adalah pasar yang amat menggiurkaan bagi
produsen mana pun di dunia. Bayangkan saja, setiap tahun lahir 5 juta bayi di Indonesia
(setara dengan penduduk Singapura). Jelas itu merupakan obyek pasar yang membuat
produsen dari negara maju ngiler dibuatnya. Apalagi, menurut analisis Bank Dunia, posisi
makro ekonomi Indonesia kini menduduki peringkat ke-10 besar dunia. Itu terjadi karena
pendapatan income per kapita Indonesia naik tajam. Dengan kata lain, purchasing power
(daya beli) konsumen juga makin menguat. Namun ideologi konsumen harus dibangunkan
agar saat berkonsumsi bukan hanya soal harga, bahkan bukan sekadar soal kualitas,
melainkan aspek nasionalisme juga tak kalah penting. Mengkonsumsi produk lokal berarti
konsumen Indonesia ikut menjaga kesinambungan pelaku usaha lokal, petani, bahkan
menjaga kelestarian lingkungan. *
Musikalitas Joey Alexander
Jum'at, 09 Mei 2014
Denny Sakrie, Pengamat Musik
Indonesia bukan negeri jazz, bahkan juga tak memiliki keterkaitan dengan akar jazz yang
berkembang di Amerika Serikat. Tapi seorang anak lelaki Indonesia berusia 10 tahun mampu
membuat sejumlah pemusik jazz dan penggemar musik ini terpukau dan melakukan standing
ovation. Itulah peristiwa seusai Joey Alexander, pianis jazz kelahiran Bali, memainkan
mahakarya jazz Round Midnight, yang ditulis pianis Thelonius Monk pada era 1940-an.
Semua mata yang berada di ruangan Frederick P. Rose Hall "The House Of Swing" yang
berlokasi di Broadway 60th Street, New York, terarah ke Joey saat menjentikkan jari-
jemarinya yang mungil di atas tuts grand piano dalam acara gala dinner yang digagas
trumpetis jazz peraih sembilan Grammy Award, Wynton Marsalis, di Jazz At Lincoln Center
pada 1 Mei lalu.
Acara bertajuk Love, Loss and Laughter: The Story of Jazz itu merupakan pergelaran tahunan
dari Jazz At Lincoln Center yang digagas oleh Wynton Marsalis. Acara ini berbentuk musical
review yang menampilkan karya-karya penting dalam sejarah musik jazz yang berkembang
dari New Orleans dan menjalar ke New York hingga menyeruak dalam budaya global.
Joey Alexander diundang ke New York setelah Marsalis terpukau melihat permainan
pianonya membawakan Round Midnight di kanal YouTube.
Marsalis terpana dengan interpretasi Joey yang belajar piano secara otodidak terhadap karya
Monk yang telah dimainkan para pemusik jazz dari era ke era dalam berbagai versi.
Joey Alexander sendiri adalah satu-satunya pemusik yang datang dari luar Amerika Serikat.
Musik jazz pada akhirnya menjadi musik global, bukan lagi musik ras seperti yang sering
menjadi nukilan sejarah. Joey dari Indonesia justru memainkan musik jazz di negara tempat
berkembangnya musik jazz, di hadapan para pemusik jazz dan penggemar musik jazz.
Sejumlah media, seperti Wall Street Journal, Down Beat Magazine, dan CBS News menulis
serta meliput penampilan pianis Joey Alexander. Wall Street Journal menulis, hadirin tak
henti-hentinya memperbincangkan penampilan Joey yang dianggap luar biasa.
Adapun Down Beat menulis: "Pianis muda berusia 10 tahun ini berhasil mencuri perhatian
penonton. Bukan hanya penonton yang berdiri melakukan penghormatan pada Joey, tapi
seluruh pendukung Jazz At Lincoln Center Orchestra." Ini sebuah momen yang
membanggakan. Sambutan penonton jazz Amerika bukan hanya kebanggaan Joey Alexander,
tapi juga telah menjadi kebanggaan kita orang Indonesia.
Bagi saya, ini merupakan momen tepat memperkenalkan Indonesia di mata dunia dalam
bidang seni, terutama musik. Selama ini Indonesia hanya diwartakan dalam bingkai berita-
berita seperti gonjang-ganjing politik yang tak tentu arah dan korupsi yang kian merajalela.
Hal-hal yang terasa busuk seperti mendapat embusan cerah dan wangi lewat peristiwa budaya
ini. Jika Presiden John F. Kennedy pernah berucap: "Kalau politik kotor, puisilah yang
membersihkannya". Maka tak berlebihan jika saya menyebut: "Jika politik kotor, musiklah
yang membersihkannya."

More Related Content

Viewers also liked

Marketing Powerpoint - Mitchell Alomar
Marketing Powerpoint - Mitchell AlomarMarketing Powerpoint - Mitchell Alomar
Marketing Powerpoint - Mitchell AlomarMitchell Alomar
 
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 27 desember 2014-31 Januari 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 27 desember 2014-31 Januari 2015(Sindonews.com) Opini hukum-politik 27 desember 2014-31 Januari 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 27 desember 2014-31 Januari 2015ekho109
 
IT impact on organization
IT impact on organizationIT impact on organization
IT impact on organizationHarnoor Singh
 
I want to work for an Advertising agency in London
I want to work for an Advertising agency in LondonI want to work for an Advertising agency in London
I want to work for an Advertising agency in LondonPedro Eloi
 
Banking Proposal Bidding and response to RFP Presentation
Banking Proposal Bidding and response to RFP PresentationBanking Proposal Bidding and response to RFP Presentation
Banking Proposal Bidding and response to RFP PresentationHarnoor Singh
 
대학원연구실홈커밍데이
대학원연구실홈커밍데이대학원연구실홈커밍데이
대학원연구실홈커밍데이SANGBUM HA
 
Sisesnse Business Intelligence Tool
Sisesnse Business Intelligence ToolSisesnse Business Intelligence Tool
Sisesnse Business Intelligence ToolHarnoor Singh
 
20150328 e xsalon발표2_UX디자이너 왜 살아남기 어려운가
20150328 e xsalon발표2_UX디자이너 왜 살아남기 어려운가20150328 e xsalon발표2_UX디자이너 왜 살아남기 어려운가
20150328 e xsalon발표2_UX디자이너 왜 살아남기 어려운가SANGBUM HA
 
Organization structure & IT
Organization structure & ITOrganization structure & IT
Organization structure & ITHarnoor Singh
 
Eng half-past two
Eng   half-past twoEng   half-past two
Eng half-past two_Mikhail_
 
Business Analysis to Yahoo
Business Analysis to YahooBusiness Analysis to Yahoo
Business Analysis to YahooHarnoor Singh
 
Makalah Pemilihan Umum (PEMILU)
Makalah Pemilihan Umum (PEMILU)Makalah Pemilihan Umum (PEMILU)
Makalah Pemilihan Umum (PEMILU)David Adi Nugroho
 
Porter's five forces model for Indian Telecom industry
Porter's five forces model for Indian Telecom industryPorter's five forces model for Indian Telecom industry
Porter's five forces model for Indian Telecom industryHarnoor Singh
 

Viewers also liked (17)

Marketing Powerpoint - Mitchell Alomar
Marketing Powerpoint - Mitchell AlomarMarketing Powerpoint - Mitchell Alomar
Marketing Powerpoint - Mitchell Alomar
 
Pneumatics
PneumaticsPneumatics
Pneumatics
 
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 27 desember 2014-31 Januari 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 27 desember 2014-31 Januari 2015(Sindonews.com) Opini hukum-politik 27 desember 2014-31 Januari 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 27 desember 2014-31 Januari 2015
 
IT impact on organization
IT impact on organizationIT impact on organization
IT impact on organization
 
I want to work for an Advertising agency in London
I want to work for an Advertising agency in LondonI want to work for an Advertising agency in London
I want to work for an Advertising agency in London
 
Banking Proposal Bidding and response to RFP Presentation
Banking Proposal Bidding and response to RFP PresentationBanking Proposal Bidding and response to RFP Presentation
Banking Proposal Bidding and response to RFP Presentation
 
대학원연구실홈커밍데이
대학원연구실홈커밍데이대학원연구실홈커밍데이
대학원연구실홈커밍데이
 
Sisesnse Business Intelligence Tool
Sisesnse Business Intelligence ToolSisesnse Business Intelligence Tool
Sisesnse Business Intelligence Tool
 
Odoo ERP
Odoo ERPOdoo ERP
Odoo ERP
 
20150328 e xsalon발표2_UX디자이너 왜 살아남기 어려운가
20150328 e xsalon발표2_UX디자이너 왜 살아남기 어려운가20150328 e xsalon발표2_UX디자이너 왜 살아남기 어려운가
20150328 e xsalon발표2_UX디자이너 왜 살아남기 어려운가
 
Organization structure & IT
Organization structure & ITOrganization structure & IT
Organization structure & IT
 
3M - Innovation
3M - Innovation 3M - Innovation
3M - Innovation
 
Makalah pemilu di indonesia
Makalah pemilu di indonesiaMakalah pemilu di indonesia
Makalah pemilu di indonesia
 
Eng half-past two
Eng   half-past twoEng   half-past two
Eng half-past two
 
Business Analysis to Yahoo
Business Analysis to YahooBusiness Analysis to Yahoo
Business Analysis to Yahoo
 
Makalah Pemilihan Umum (PEMILU)
Makalah Pemilihan Umum (PEMILU)Makalah Pemilihan Umum (PEMILU)
Makalah Pemilihan Umum (PEMILU)
 
Porter's five forces model for Indian Telecom industry
Porter's five forces model for Indian Telecom industryPorter's five forces model for Indian Telecom industry
Porter's five forces model for Indian Telecom industry
 

Similar to Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 4.5.2014-10.5.2014

Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 11.5.2014-16.5.2014
Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 11.5.2014-16.5.2014Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 11.5.2014-16.5.2014
Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 11.5.2014-16.5.2014ekho109
 
Daftar Lengkap Koruptor Indonesia
Daftar Lengkap Koruptor IndonesiaDaftar Lengkap Koruptor Indonesia
Daftar Lengkap Koruptor IndonesiaAidilRizali
 
Tugas manajemen sumber daya insani komentar tentang koruptor
Tugas manajemen sumber daya insani  komentar tentang koruptorTugas manajemen sumber daya insani  komentar tentang koruptor
Tugas manajemen sumber daya insani komentar tentang koruptorSTAIN PEKALONGAN
 
Analisis Naratologi Tzvetan Todorov.pptx
Analisis Naratologi Tzvetan Todorov.pptxAnalisis Naratologi Tzvetan Todorov.pptx
Analisis Naratologi Tzvetan Todorov.pptxbelen21001
 
Lentera news ed. #22 Maret 2016
Lentera news ed. #22 Maret 2016Lentera news ed. #22 Maret 2016
Lentera news ed. #22 Maret 2016Ananta Bangun
 
Materi kuliah ke-5 Pengantar ilmu hukum.pptx
Materi kuliah ke-5 Pengantar ilmu hukum.pptxMateri kuliah ke-5 Pengantar ilmu hukum.pptx
Materi kuliah ke-5 Pengantar ilmu hukum.pptxHafidsAzhar1
 

Similar to Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 4.5.2014-10.5.2014 (12)

Perempuan&hukum
Perempuan&hukumPerempuan&hukum
Perempuan&hukum
 
Proposal penegakan hukum
Proposal penegakan hukumProposal penegakan hukum
Proposal penegakan hukum
 
Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 11.5.2014-16.5.2014
Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 11.5.2014-16.5.2014Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 11.5.2014-16.5.2014
Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 11.5.2014-16.5.2014
 
Daftar Lengkap Koruptor Indonesia
Daftar Lengkap Koruptor IndonesiaDaftar Lengkap Koruptor Indonesia
Daftar Lengkap Koruptor Indonesia
 
Natural aceh
Natural acehNatural aceh
Natural aceh
 
Bromocorah, di mana?
Bromocorah, di mana?Bromocorah, di mana?
Bromocorah, di mana?
 
Natural aceh
Natural acehNatural aceh
Natural aceh
 
Tugas manajemen sumber daya insani komentar tentang koruptor
Tugas manajemen sumber daya insani  komentar tentang koruptorTugas manajemen sumber daya insani  komentar tentang koruptor
Tugas manajemen sumber daya insani komentar tentang koruptor
 
Analisis Naratologi Tzvetan Todorov.pptx
Analisis Naratologi Tzvetan Todorov.pptxAnalisis Naratologi Tzvetan Todorov.pptx
Analisis Naratologi Tzvetan Todorov.pptx
 
Natural aceh
Natural acehNatural aceh
Natural aceh
 
Lentera news ed. #22 Maret 2016
Lentera news ed. #22 Maret 2016Lentera news ed. #22 Maret 2016
Lentera news ed. #22 Maret 2016
 
Materi kuliah ke-5 Pengantar ilmu hukum.pptx
Materi kuliah ke-5 Pengantar ilmu hukum.pptxMateri kuliah ke-5 Pengantar ilmu hukum.pptx
Materi kuliah ke-5 Pengantar ilmu hukum.pptx
 

Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 4.5.2014-10.5.2014

  • 1. Undang Senin, 05 Mei 2014 Saya sering ingat cerita yang ganjil itu, cerita Kafka, tentang seseorang yang datang dari udik agar diterima oleh Hukum. Tapi ia hanya sampai di depan sebuah pintu yang dijaga. Sang penjaga, berbaju wol, berhidung besar dengan kumis hitam orang Tartar, mengatakan kepadanya bahwa belum saatnya ia diterima. Itu yang terus-menerus dikatakannya. Dan orang dari udik itu pun menunggu. Berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun. Sang penjaga sebenarnya tak jelas-jelas menghalanginya. Ia mengatakan, kalau mau, tuan bisa saja masuk tanpa izin. Tapi, ia menambahkan, bersiaplah: setelah lewat pintu itu akan ada pintu lain, dengan penjaga lain, yang makin perkasa, makin perkasa, tak putus-putus. Tamu itu pun akhirnya tak mencoba menerobos ke dalam. Ia hanya duduk di depan pintu. Berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun. Lama-kelamaan tubuhnya melemah. Akhirnya ia mati. Ia mati sambil menyadari bahwa selama itu rupanya tak ada orang lain yang minta diterima Hukum melalui pintu itu. Pintu ini, kata sang penjaga, memang disediakan hanya buat tuan. Kita tak tahu mengapa. Tapi, sebelum ajal datang, sang tamu melihat cahaya kemilau bersinar dari balik pintu. Hukumkah itu? Seperti apakah gerangan yang disebut "Hukum"? Mengapa ia, yang sudah disiapkan pintu masuk khusus, tetap tak diterimanya? Bermacam-macam tafsir dibuat tentang cerita ini. Saya cenderung melihat, Kafka menggoda kita untuk memperlihatkan betapa besarnya aura hukum bagi orang dari udik itu: seakan-akan ada sesuatu yang transendental dalam dirinya- meskipun sebenarnya tidak. Aura itu bertaut dengan misteri, dan orang-orang tak melihat, atau menyidik, asal-usulnya. Si tamu dengan gampang patuh. Tak jelas riwayatnya. Ia tak disebut datang untuk menerima vonis atau mau memprotes. Ia hanya patuh, dan bukan karena terpaksa. Saya kira orang udik itu datang karena ia selama hidup mengalami jarak yang begitu jauh antara "hukum" dan "undang-undang". Hukum, dalam bahasa Jerman yang dipakai Kafka di sini, adalah Gesetz. Kata dasarnya setzen, "memasang, mengatur", tak jauh dari kata Inggris, law, yang asal katanya dari bahasa Norse lama yang berarti "meletakkan di dasar, menata". Dalam bahasa Indonesia, "hukum" tak persis sama dengan "undang-undang". Undang-undang bukan sekadar seperangkat aturan yang dipasang, melainkan sesuatu yang di-undang-kan. "Undang" terkait dengan unsur pokok dalam kata "meng-undang", yang berarti mengajak. Maka bisa diartikan, tiap undang-undang mengandung ajakan kepada semua orang dalam wilayah tempat undang-undang itu diberlakukan: ajakan untuk mengetahui, terlibat,
  • 2. mendukung, dan mematuhi. Ada liyan, orang lain yang konkret, di dalam makna itu. Ada sebuah ruang yang berpenghuni. Ada penghuni yang hidup, mendengar, berbicara, menggunakan bahasa dari waktu ke waktu. Sementara itu "hukum", dalam pengertiannya yang lazim-yang juga dipakai dalam ilmu fisika (misalnya, "hukum Archimedes")-meletakkan diri di luar liyan, tak terikat ruang dan waktu. Ia mengklaim sebuah kebenaran yang universal. Ia berasumsi tiap manusia yang berpikir akan menyetujuinya. Tapi ada perbedaan yang diametral antara hukum dalam ilmu-ilmu alam dan hukum sebagai hasil proses legislasi. Hukum Archimedes dirumuskan setelah sebuah eksperimen yang teruji kapan saja di mana saja-hasil proses penalaran dalam diri yang menyendiri, hasil aku-yang- berpikir seraya mengambil jarak dari ketakstabilan pengalaman sehari-hari. Dalam legislasi sebaliknya: ia tak disiapkan di laboratorium. Legislasi adalah hasil hubungan sosial dan proses politik. Ketika disebut sebagai "produk hukum", ia diproyeksikan akan punya wibawa yang mengatasi proses politik itu. Lembaga-lembaga kenegaraan kemudian membangun sebuah "ideologi", dan hukum pun tampak dengan citra yang amat luhur. Negara pun harus mematuhinya, seperti tersirat dalam kata "negara hukum". Tapi sesungguhnya yang terjadi adalah sejenis "fetisisme". Kata "fetisisme" saya pinjam dari Marx, ketika ia menggambarkan bagaimana komoditas, benda-benda hasil kerja buruh yang diperdagangkan, seakan-akan terlepas dari proses kerja dan berjalan sendiri, dipuja dan digila-gilai. Dalam sejarah legislasi, agaknya dalam tahap seperti itulah "hukum" menjauh dari proses produksi dan distribusinya. Umur ideologi itu lama. Dalam karya terakhirnya, Nomos, Plato sudah membedakan nomothekos, legislator yang "memberi hukum", dari politikos, orang yang memerintah negeri. Pada yang pertama diharapkan adanya kearifan dan kemampuan berpikir rasional, sekaligus kecakapan meyakinkan orang. Yang kedua tak dituntut banyak; asal ia efektif bekerja. Tapi di luar risalah Plato, terutama di zaman demokrasi, nomothekos dan politikos jumbuh di satu tubuh, di satu ruang, di satu proses-meskipun yang separuhnya tak suka ditampakkan. Cadar dipasang. Apalagi legislator, yang di Indonesia lebih sering dipanggil "wakil rakyat", seakan-akan niscaya punya hubungan yang transparan dengan mereka yang sepantasnya di- undang. Cerita Kafka Di Depan Hukum membuka cadar itu: ini cerita tentang sejenis fetisisme yang demikian gila, hingga seseorang begitu terpukau sampai mati oleh Hukum-Hukum dengan aura serta misterinya. Tapi pada saat yang sama, Kafka membuat kita melihat: di depan pintu itu ada penjaga yang perkasa. Ia sopan dan lugas, tapi kata-kata dan sosoknya adalah ancaman dengan hati dingin. Aura Hukum memang tak lahir dari keadilan dari langit atau dari otak para genius-tapi bisa jadi dari trauma. Goenawan Mohamad
  • 3. Proporsional Minggu, 04 Mei 2014 Putu Setia Menonton televisi bersama orang-orang desa tatkala hajatan selalu menarik. Komentar mereka bebas, dengan tawa yang menurut ukuran orang kota mungkin kurang sopan. Ini contohnya. Seorang calon legislator yang gagal masuk Senayan mengatakan dia memang tak mau mengeluarkan uang untuk pemilu legislatif lalu. Ada komentar dengan ketawa cekikikan: "Ya, pantas dong gagal, mana bisa mendapat suara kalau tak keluarkan uang. Tak usah protes." Yang lain: "Caleg bego, cari kerjaan tak mau keluar duit, mana bisa?" Saya tak tahu pasti, siapa yang dituding. Di layar ada wajah Ahmad Yani dan Sutan Bhatoegana. Saya terlambat nonton. Tapi, apakah benar keduanya tak mau keluar uang? Saya coba mengadakan survei di kalangan penonton. Hasilnya: orang desa itu tak yakin mereka tak main duit. Pasti ikut main, tapi kalah besar. Setelah kalah, berkelit. Yang saya herankan, ketika saya bertanya apakah pemilu legislatif 9 April lalu itu tergolong baik atau buruk, semuanya menjawab baik. Tak ada yang buruk. Masyarakat tenang, tak ada keributan, serangan fajar berubah menjadi serangan sore yang terbuka di depan umum, apakah itu pembagian uang, pengiriman pulsa telepon, ataupun bingkisan baju. "Sembako sudah kuno, kami bukan orang kelaparan," kata seseorang. Jelas berbeda dengan pendapat beberapa politikus, termasuk pengamat politik, yang mengatakan bahwa pemilu kali ini adalah pemilu terburuk. Apalagi kalau kita membaca testimoni para caleg yang gagal ke Senayan. Semuanya sepakat: ini pemilu terburuk. Uang yang berkuasa. Terjadi jual-beli suara. Sejauh mana jual-beli suara benar? Orang-orang desa mengakui itu. Letak soal pada sistem pemilu dengan proporsional terbuka. Terjadi persaingan antarcalon legislator pada partai- partai besar. Orang desa, ibu dan bapak petani yang tua, juga pemilih pemula, sangat ribet untuk memilih calon dengan nomor urut ketiga sampai kedua belas. Sudah hurufnya kecil, menuntun paku pencoblos ke nomor yang dikehendaki susah. Jadi, gampangnya mereka mencoblos gambar partai saja. Apalagi, caleg yang nomor urut besar sudah berkampanye: coblos partai saja supaya cepat. Coblosan ini disebut "suara mengambang"-ini versi di desa. Peraturan KPU, suara ini adalah milik caleg dengan suara terbanyak. Tapi, ketika penghitungan suara, saksi-saksi bermain, ke mana "suara mengambang" itu dimasukkan. Nah, para petugas KPU bersama para saksi tiba- tiba fasih berbahasa Jawa: wani piro? Dengan kode jari tangan-ini kode di judi sabungan ayam-suara pun menyasar ke nomor yang dihendaki. "Kalau tak mau membayar saksi khusus dan membayar 'suara mengambang', jangan harap menang," kata seseorang. "Permainan" lebih canggih diulang saat rekapitulasi di kelurahan, juga di kecamatan.
  • 4. Sistem proporsional terbuka diperkenalkan pada Pemilu 2009 dan dari sana rekayasa "penyelewengan" itu dikembangkan. Bagaimana kalau sistem ini dikembalikan ke proporsional tertutup dan kembali mengacu pada caleg nomor urut? Persoalannya, apakah partai siap membuat peringkat berdasarkan mutu caleg. Atau dibuat berdasarkan uji kelayakan terlebih dulu. Apa komentar orang desa? "Caleg harus kembali seperti dulu, berjuang untuk rakyat. Sekarang caleg itu mencari pekerjaan lewat suara rakyat, setelah menjabat kan tak pernah datang lagi. Makanya caleg harus membayar dulu." Nah, Anda mau bilang pemilu ini baik atau buruk, silakan. Mungkin yang diperlukan sekarang bagaimana memilih presiden yang paham mengatasi masalah ini agar negara kita bisa lebih cerdas sedikit dalam berdemokrasi. Sistem dan undang-undang yang ada perlu direvisi.
  • 5. Gus Dur dan Gus Dur Ahmad Sahal, Kader NU, redaktur jurnal Kalam Seorang kawan pernah berujar bahwa ada tiga hal di dunia ini yang tidak diketahui oleh manusia biasa: maut, jodoh, dan Gus Dur. Tentu saja kawan saya hanya bercanda. Hanya saja, candaan kawan tadi menyiratkan suatu gejala saat ini dalam menyikapi Gus Dur (Abdurrahman Wahid). Pada mulanya orang kagum, lalu kaget, lalu tak habis pikir, lalu kecewa melihat Gus Dur. Langkah politiknya zig-zag. Pertemuannya dengan Soeharto bertentangan dengan agenda reformasi. Kegemarannya menuding dalang kerusuhan dengan inisial membuat wibawa pernyataannya merosot. Padahal, beberapa tahun lalu, rasanya tidak sulit untuk meyakini Gus Dur sebagai pendekar demokrasi dan kampiun pluralisme di negeri ini. Ia memang punya rekor cukup tebal untuk itu. Pandangannya tentang Islam yang toleran, keterlibatannya di Forum Demokrasi, dan pembelaannya terhadap toleransi begitu menggugah. Visi dan aksi yang muncul dari dirinya merapat erat dengan citra diri sebagai guru bangsa. Dalam melihat pergeseran Gus Dur ini, sikap orang berbeda. Bagi yang serta-merta antipati, Gus Dur langsung dicap sebagai sekadar ''politisi" dalam arti peyoratif, yang hanya memikirkan diri dan kelompoknya sembari menyodok kelompok lain yang mengancam kepentingannya. Sebaliknya, bagi pendukung setianya, langkah Gus Dur justru selalu dianggap menyimpan tujuan luhur atau strategi cerdas yang tersembunyi dari mata awam. Kalau ada yang kelihatan salah pada Gus Dur, pasti yang salah bukan Gus Dur, melainkan mata awam. Ada pendukung setianya dari Nahdlatul Ulama yang percaya bahwa Gus Dur adalah wali yang hampir can do no wrong. Keanehan dan ketaktertebakan sikap Gus Dur adalah bagian dari gejala jadzab wali. Sementara itu, ada juga pendukungnya dari kalangan minoritas yang selalu pasrah bongko'an kepada Gus Dur karena mereka melihat hanya pada Gus Durlah, yang komitmennya pada pluralisme betul-betul tak terbantah, mereka merasa aman dan terlindungi. Sebenarnya, yang menolak Gus Dur dengan serta-merta dan yang menerimanya bulat-bulat punya tabiat yang sama dalam melihat Gus Dur: hanya mengingat satu Gus Dur sambil melupakan Gus Dur yang lain. Kedua kutub tersebut, dengan kata lain, hanya melihat berdasarkan apa yang ingin mereka lihat. Memang tidak semua terperosok dalam tatapan-satu-dimensi semacam itu. Nurcholish Madjid, misalnya, punya skema menarik dalam menafsirkan Gus Dur. Ada ''Gus Dur makro",
  • 6. yakni Gus Dur yang pandangan ke depannya adalah aset bagi bangsa ini. Tapi ada juga ''Gus Dur mikro", yang terlibat dalam pernik-pernik pertikaian dalam power politics dan tawar- menawar kepentingan jangka pendek. Bagi Cak Nur, Gus Dur mikro ini memang merepotkan. Tapi, kalau melihat arti penting Gus Dur makro, yang mikro ini harus dimaafkan. Terhadap Gus Dur mikro, Cak Nur lantas mengambil sikap bisa mengerti meski belum tentu menyetujui. Problemnya dengan skema Cak Nur ini adalah, dalam prakteknya, yang disebut Gus Dur mikro tadi lama-lama menggerogoti yang makro. Lagipula, yang mikro di sini ternyata tidak selamanya bisa dijelaskan dalam kerangka yang makro sehingga distingsi makro dan mikro itu sendiri seperti kehilangan arti. Karena itu, saya cenderung berpendapat bahwa yang terjadi pada Gus Dur adalah duel antara Gus Dur dan Gus Dur. Duel ini terjadi karena antara cita-cita, obsesi, serta visi Gus Dur dan sikap serta tindakannya terdapat suatu discrepancy. Arus yang menyambungkan keduanya terganggu. Kenapa itu terjadi? Saya kira karena dalam diri Gus Dur belakangan ini sedang terjadi proses penyempitan peran dan identitas diri. Ketika Gus Dur secara tegas mengungkapkan ide-ide demokrasi dan pluralismenya, ia saat itu adalah sosok yang eklektis dan kosmopolit. Yang kita lihat adalah Gus Dur yang melampaui batas dan sekat apa pun. Ia adalah pemimpin NU, tapi sekaligus beyond NU, bahkan beyond Islam. Sesaat ia memang seperti orang asing di tengah kaumnya, seperti imam sendirian meninggalkan makmumnya. Tapi muncul dampak yang tak diniatkannya semula: pencerahan di kalangan NU sendiri. Siapa pun sulit menyangkal, dalam dua dasawarsa terakhir, diskusi dan pemikiran keislaman yang kritis dan terbuka justru lebih bersemai di kalangan anak muda NU. Dan itu dimungkinkan antara lain berkat Gus Dur turut menyediakan lahannya. Selain itu, posisinya yang lintas batas dan beyond NU ini bukan saja menjadikan dirinya semacam suluh bagi bangsa, tapi juga menempatkannya dalam suatu eksperimen sejarah yang sangat strategis bagi umat Islam. Cita-citanya untuk menjadikan umat Islam sebagai ''umat beragama yang berpandangan luas, mampu memahami orang lain, menumpahkan kebersamaannya yang utuh dengan segala pihak, dan menjunjung tinggi kebebasan sebagai sarana demokrasi" adalah suatu proyek besar mengatasi ketegangan antara Islam dan Barat selama ini. Citra Barat yang orientalistis bahwa Islam tidak kompatibel dengan demokrasi akan terpental dan termentahkan dengan sendirinya oleh proyek Gus Dur tersebut. Sayangnya, posisi eklektis dan lintas batas yang mewarnai Gus Dur semakin lama semakin tertimbun oleh tindakan Gus Dur sendiri untuk menyantuni kepentingan politik NU dalam percaturan power politics. Pada titik inilah Gus Dur mengalami penyempitan. Ia bukan lagi pelintas batas. Ia justru menarik batas. Identitas ke-NU-annya semakin sering ditegaskan. Gus Dur semakin meng-NU. Sebagai pemimpin massa, kecenderungan Gus Dur untuk memikirkan kemenangan politik
  • 7. kelompoknya wajar. Hanya saja, pilihan semacam ini, kalau ditempatkan dalam bingkai cita- cita Gus Dur tersebut, akan menimbulkan problem tersendiri. Problem yang paling terasa adalah semakin kuatnya pengaruh kompleks dikotomi NU-Masyumi dan NU- Muhammadiyah dalam diri Gus Dur-bukan pada aras pertikaian khilafiah ibadat atau pemikiran, tapi pada persaingan dan perseteruan politik. Kompleks perseteruan itu memang punya akar dalam ingatan kolektif masing-masing. Gus Dur gagal mengatasinya. Perseteruan itu masih terasa dalam fiil (laku) politiknya.
  • 8. Kegalauan STIP Senin, 05 Mei 2014 Darmaningtyas, Pengamat Pendidikan Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) merasa galau pasca-kasus meninggalnya taruna Dimas Dimika Handoko yang dianiaya oleh seniornya. Hal itu tidak terlepas dari respons keras masyarakat, termasuk Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M. Nuh, yang berencana menutup dua program studi (Nautika dan Teknika) yang tarunanya terlibat tindak kekerasan selama 2 tahun untuk memutus rantai kekerasan. Dilihat dari strategi pemutusan rantai kekerasan, rencana penutupan tersebut dapat dipahami, karena mungkin dengan cara itu ada jarak yang jauh antara senior dan junior sehingga sulit bagi senior untuk intervensi. Tapi ini sifatnya juga masih hipotesis. Dalam arti, apakah setelah siklus tersebut diputus, dijamin tidak ada kekerasan lagi di masa mendatang? Di sisi lain, dilihat dari perspektif kebutuhan tenaga kemaritiman, rencana penutupan tersebut menimbulkan banyak konsekuensi, misalnya updating (pemutakhiran pengetahuan sesuai dengan amendemen STCW 95 ke SCTW Manila 2010) menjadi terlambat, penyediaan tenaga pelaut maupun penyiapan instruktur (guru dan dosen) terhambat, serta MOA dengan lembaga pendidikan dan latihan maritim swasta secara otomatis gugur karena STIP sendiri tidak aktif. Dua kutub kepentingan ini sulit untuk dipertemukan karena masing-masing memiliki argumen yang sama-sama kuat. Argumen Kemdikbud menutup sementara untuk memupus rantai senior-junior dapat diterima akal sehat. Kemdikbud perlu mengambil langkah tersebut, mengingat kematian taruna junior oleh senior di STIP itu bukan terjadi sekali ini saja, tapi sebelumnya pernah terjadi hal yang sama. Sebaliknya, kegalauan STIP dan Kementerian Perhubungan bila dua prodinya ditutup minimal 2 tahun akan mengganggu proses penyediaan tenaga-tenaga pelaut yang andal. Dengan ditutupnya prodi Nautika dan Teknika, berarti kebutuhan pelaut yang tesertifikasi makin sulit terpenuhi karena STIP tidak bisa menerima taruna dalam jumlah banyak. Sampai saat ini kebutuhan nasional akan pelaut yang tesertifikasi lebih dari 500 ribu orang, sehingga terpaksa dicukupi oleh pelaut-pelaut dari luar, seperti Myanmar atau Filipina. Kecuali itu, pada saat ini Indonesia sudah mendapatkan white list dari IMO, yaitu Organisasi Maritim Internasional, dan salah satunya yang dilaporkan adalah STIP. Apabila dua prodi STIP ditutup oleh Kemdikbud untuk sementara, berarti white list tersebut akan ditinjau ulang. Dengan kata lain, rencana penutupan tersebut memiliki dampak luas berkaitan dengan posisi Indonesia di IMO, sekaligus terhadap pemenuhan kebutuhan tenaga pelaut yang tesertifikasi.
  • 9. Persoalannya menjadi lebih luas lagi bila dikaitkan dengan dimulainya Masyarakat ASEAN 2015, di mana tenaga-tenaga asing dari ASEAN bebas bekerja di Indonesia, sementara Indonesia sebagai negara kelautan justru tidak memiliki pelaut yang terdidik. Tapi, di sisi lain, kekerasan dalam dunia pendidikan, apalagi membawa kematian, tidak boleh ditoleransi. Antara Kemdikbud dan pengelola sekolah-sekolah kedinasan, termasuk STIP, perlu duduk bersama secara intens untuk menemukan solusi terbaik dalam memutus rantai kekerasan senior terhadap junior tanpa harus mengorbankan kepentingan bangsa yang lebih luas. *
  • 10. Iman, Penjara, Suluh Senin, 05 Mei 2014 Azis Anwar Fachrudin, Santri di Jaringan GusDurian, Yogyakarta Sikap sebagian orang Islam negeri ini terhadap Syiah baru saja tertuang dalam deklarasi dengan istilah yang tampak megah, tapi mengancam: Aliansi Nasional Anti-Syiah. Kata "aliansi" dan "anti" mengingatkan saya pada dua metafora yang dipakai Goenawan Mohamad (GM), dalam Catatan Pinggir-nya di majalah Tempo (11/01/2010) yang berjudul Gus Dur, tentang iman: sebagai benteng dan sebagai suluh. "Benteng kukuh dan tertutup," tulis GM, "bahkan dilengkapi senjata untuk menangkis apa saja yang lain yang diwaspadai." Benteng ialah sebuah konstruksi. Ia berdiri; bisa untuk melindungi, tapi lebih sering karena kecemasan: yang dibentengi merasa rapuh maka ia membutuhkan tameng pelindung kerapuhannya. Hari-hari ini kita melihat iman diperlakukan laksana benteng. Metafora ini, saya pikir, bisa dilanjutkan dengan kata yang lebih mendalam, yaitu penjara: iman terperangkap dalam dogma atau akidah. Akidah, yang berasal dari bahasa Arab ('aqidah), artinya ikatan. Ia mengikat, dan lebih sering memenjara. Iman menjadi sekumpulan batu-bata argumen. Akidah membuat iman jadi kaku, susah bergerak, sangat terlarang untuk keluar. Akidah sebagai penjara mengharamkan sang mukmin, yang dipenjara itu, untuk mencoba- coba masuk ke ceruk-ceruk keraguan. Keraguan itu sendiri adalah musuh. Ragu, yang dipandang sebagai ancaman iman, dilarang menyebar dan karena itu mesti diberangus. Hari-hari ini kita melihat iman di negeri ini, khususnya dalam agama Islam, terpenjara dalam dogma mazhab mayoritas, Sunni. Islam mengerucut, atau menyempit, jadi benteng, atau tepatnya penjara akidah. Konstruksinya ialah argumen-argumen tekstual yang tertulis di masa lampau-sebuah konstruksi yang akhir-akhir ini kerap jadi palu untuk menghancurkan hampir ke setiap yang berbeda. Lalu kita melihat konstruksi itu makin rigid, bahkan menegasikan mereka yang sedikit berbeda saja dengan sikap anti: vonis kafir bagi mereka yang berada di luar benteng itu. Sebagian bilang, itu akibat menguatnya politik identitas di tubuh umat Islam hari ini: umat Islam merasa diancam-diserang oleh sekumpulan nilai di sekitarnya sehingga, agar teguh identitasnya, perbedaan mesti dipertegas. Konstruksi akidah mengeras. Kenyataannya, Sunni yang mayoritas ini masih memerlukan benteng. Kita menyimak, dari
  • 11. retorika anti-Syiah yang mengemuka tampak ada perasaan keterancaman. Mungkin, para ulama anti-Syiah itu begitu peduli pada kerapuhan iman umatnya, sehingga khawatir pada serangan argumentasi Syiah, yang minoritas-sebuah kerapuhan yang, menurut saya, sering tak pada tempatnya karena, kita tahu, mayoritas orang Islam negeri ini tak tahu persis beda Sunni dengan Syiah. Akidah menjadi amunisi. Mazhab, dalam taraf tertentu, menjadi politis: sengketa sektarian adalah kata lain dari rebutan umat. Padahal, saya berharap, iman lebih diperlakukan, dalam metafor kedua GM, sebagai suluh: "Sang mukmin membawanya dalam perjalanan menjelajah," tulis GM, "menerangi lekuk yang gelap dan tak dikenal." Iman sebagai suluh bukan untuk menyingkirkan gelap. Justru, gelap butuh ada agar sinar suluh makin tampak terang. Iman sebagai suluh tak khawatir pada ceruk-ceruk ragu. *
  • 12. Wakil Presiden Senin, 05 Mei 2014 Seno Gumira Ajidarma, Wartawan Tiada rebutan putri seperti Minakjinggo dari Blambangan ingin mengawini Kencanawungu dari Majapahit, sebagai kata ganti aneksasi dalam historiografi politik masa kini, tetapi putri yang diidamkan dalam pertarungan kekuasaan jelas bisa diganti sebuah kursi-tentu saja kursi kekuasaan. Jadi, dalam dunia politik kontemporer, bila orang berbicara tentang siapa pendamping presiden, maksudnya bukanlah istri atau suaminya, melainkan wakilnya, yakni wakil presiden. Sebagai ganti peran sang putri dalam historiografi tradisional, calon wakil presiden tidak melamar, melainkan dilamar. Konteksnya memang bukan siapa calon wakil presiden yang melamar atau diajukan, melainkan siapa calon presiden yang mencari pendamping. Dalam konteks ini terlihat pola: calon presiden melamar sang pendamping itu, agar dirinyalah yang terpilih sebagai presiden; calon presiden yang keliru memilih akan merasa dirugikan, karena gara-gara pendamping yang tak disukai, calon presiden paling potensial bisa batal untuk menang. Adapun hal sebaliknya tidak akan terjadi: pendamping paling favorit sekalipun tidak akan bisa mengkatrol perolehan calon presiden yang memble. Namun tidak ada calon presiden akan merasa dirinya memble, semuanya "pe-de"! : Sehingga masalahnya tinggal pendamping, yang jangan sampai justru mengurangi suara, sebaliknya syukur-syukur menambah! Maka, kiranya adalah calon presiden yang akan berburu calon pendampingnya, dan bukan sebaliknya-kecuali bahwa memang ada para mak comblang politik, para agen, kaum perantara yang akan menawar-nawarkan calon wakil presiden terbaik sebagai barang dagangan. Tentu saja dengan bayaran, yang adalah bayaran politik! Namanya juga partai politik, bukan? Dapat dibayangkan, bagaimana seseorang yang layak calon wakil presiden tak hanya berkemungkinan dilamar oleh beberapa calon presiden, tapi juga dilamar oleh sejumlah partai untuk ditawarkan, alias dijual dan diperdagangkan sebagai calon wakil presiden. Adapun yang paling absurd dalam situasi ini: ketua partai mencalonkan dirinya sendiri! Ini justru mengukuhkan, ternyata posisi wakil presiden, dengan citra "enggak ada apa- apanya" selama Orde Baru, karena memang dicapai tanpa perjuangan, ternyata kini menjadi posisi yang sexy. Pertama, karena memang dibutuhkan dalam pembergandaan citra bagi
  • 13. pihak calon presiden; kedua, karena bagi pihak mak comblang akan juga berarti terdapatnya suatu konsesi politik di baliknya. Inilah yang berada di balik posisi calon wakil presiden sekarang. Semasa Orde Baru, wakil presiden hanyalah bermakna "yang tidak mengancam"; sebaliknya, komposisi Gus Dur- Megawati adalah representasi perimbang-tarungan politik, kiranya masih demikian dalam komposisi Megawati-Hamzah Haz maupun komposisi SBY-Jusuf Kalla, meskipun saya kira komposisi SBY-Boediono lebih teracu pada langgam politik Orde Baru. Perhatikanlah para wakil presiden yang dipilih Soeharto, lantas bacalah autobiografi Soeharto itu dan perhatikan komentarnya soal Adam Malik. Jelas Soeharto merasa kecewa terhadap Adam Malik, yang kira-kira disebutnya "masih seorang wartawan" dalam konotasi "lupa" bahwa dirinya itu wakil presiden, yang ketika ceplas-ceplos di depan pers jangan berbeda pendapat dong dengan sang presiden. Adapun wartawan yang dimaksud Soeharto tentulah bukan "wartawan" semasa Orde Baru, yang bukan hanya tak mungkin beropini terbuka, tapi juga tak mungkin beropini dengan pendapat berbeda dari presiden! Ini juga berarti bahwa Habibie, yang sebagai presiden jelas punya pendapat sendiri tentang Timor Timur, dapat disebut melepaskan diri dari sindrom kewakilan Soeharto. Ketika sebagai Gubernur Jakarta yang disebut Jokowi bisa menerima karakter seperti Ahok sebagai wakil gubernur, dapat dilihat bahwa wacana tentang posisi wakil dalam lembaga eksekutif sudah cukup berubah. Betapa pun, para calon presiden yang sedang mencari-cari pasangan sebaiknya menonton serial televisi House of Cards yang diproduksi dan dibintangi oleh Kevin Spacey, bukan sekadar sebagai hiburan, tapi juga sebagai pelajaran politik. Dalam serial televisi ini, Frank J. Underwood, anggota Kongres dari Partai Demokrat yang telah berjasa mengumpulkan suara bagi sang presiden, tetapi sakit hati karena imbalan jabatannya di Gedung Putih tak pantas, membalas dengan permainan politik paling mengerikan. Dengan taktik penuh tipu daya, yang patut dipelajari tetapi tidak untuk ditiru para politikus Indonesia, ia berhasil menempatkan dirinya dalam posisi wakil presiden. Ujung-ujungnya, ia menggantikan Presiden Amerika Serikat, yang telah dijebaknya ke dalam situasi tak teratasi, sehingga harus mengundurkan diri. Waspadalah! *
  • 14. Topeng Selasa, 06 Mei 2014 Purnawan Andra, Alumnus ISI Surakarta Topeng adalah penanda peradaban, salah satu bentuk ekspresi paling tua yang pernah diciptakan manusia. Topeng menyimpan simbolisme nilai yang berperan penting dalam berbagai sisi kehidupan masyarakat dunia, melalui upacara adat dan ritual magis ataupun religius. Pada awalnya, topeng dibuat dalam upacara kematian sebagai gambaran nenek moyang yang meninggal. Topeng menjadi wadah atau rumah roh leluhur untuk "menghadirkan arwah nenek moyang" yang menengok kerabat dan keluarga yang masih hidup. Kemampuan manusia untuk beradaptasi dan mengimitasi lingkungan sekitarnya membuat ekspresi awal topeng berbentuk dewa-dewa, manusia, binatang, setan, dan lainnya. Pada perkembangannya, topeng lebih spesifik menggambarkan kualitas sifat manusia, seperti amarah, kecantikan, ketampanan, hingga ketuaan. Masyarakat saat ini menempatkan topeng sebagai salah satu bentuk karya seni, baik secara artistik maupun simbolik. Sebuah manuskrip menyatakan, sekitar abad ke-11, saat masa pemerintahan Kerajaan Jenggala, ada pertunjukan dengan menggunakan tutup muka yang disebut kata tapel (topeng). Hikayatnya kemudian kita kenal sebagai cikal-bakal pertunjukan Panji, suatu bentuk pertunjukan di mana penyaji menggunakan topeng. Dalam logika seni pertunjukan, topeng digunakan untuk membantu pelaku dalam menampilkan emosi, ekspresi yang sesuai dengan perwatakan yang dibawakannya. Seni pertunjukan Cirebon, misalnya, menarikan topeng dalam lima tingkatan (Panji, Samba, Rumyang, Tumenggung, dan Klana), yang mencerminkan perjalanan hidup dan watak manusia. Topeng adalah benda multisimbol dan perspektif yang antropologis. Kita mengenal topeng sebagai benda yang terbuat dari kertas, kayu, plastik, kain, atau logam yang dipakai untuk menutup wajah. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikannya sebagai kedok, kepura-puraan untuk menutupi maksud sebenarnya. Topeng berfungsi menyembunyikan "wajah asli" untuk mengubah atau membentuk karakteristik yang baru. Sifat yang sesungguhnya selalu disembunyikan agar tidak sesegera mungkin diketahui oleh orang lain. Kini, dalam konteks Indonesia yang sedang berada dalam proses eleksi pemimpin dan wakil
  • 15. rakyat, kita menjadi paham mengapa banyak caleg dan politikus sengaja membuat wajah baru dengan tampil sempurna. Semua dilakukan untuk mendulang suara yang akan mengantarnya pada kekuasaan. Namun, pada saat yang sama, ternyata banyak dari mereka yang terbukti secara hukum melakukan politik main uang, melakukan jual-beli suara, serta menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan dalam bentuk korupsi dan kejahatan kerah putih lainnya. Inilah persoalan sosial berupa disorientasi serta dis-identitas para politikus yang meminggirkan nilai-nilai kepentingan umum, kesejahteraan bersama, dan kebangsaan. Inilah wajah (para politikus) Indonesia yang bertopeng, tampak halus di luar namun bobrok di dalam. Topeng tak hanya merupakan sajian ekspresi seni dan kisah sederhana. Topeng menjadi mozaik sosio-antropologis masyarakat. Topeng menjadi penanda sengkarut jejaring politik kepentingan dalam sebuah bangsa. Sebuah degradasi nilai simbolik yang mesti diberi penjelasan konkret dalam sikap hidup para pemegang kekuasaan. Penjelasan itu diwujudkan dengan menjalankan tugas negara mewakili dan melayani rakyat dengan kejujuran hati, bukan dengan topeng kepura-puraan. *
  • 16. Pemilu dan Kecelakaan Sistem Selasa, 06 Mei 2014 M. Alfan Alfian, Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta Any political system is an acccident. If the system works well on the whole it is a lucky accident. --- Edward Banfield Sejumlah media memberitakan komentar anggota Komisi II DPR, Nurul Arifin, yang menganalogikan praktek pemilu legislatif 2014 sebagai perang saudara di Suriah yang ganas dan tidak ada etikanya lagi, karena (sesama) saudara saling memakan. Nurul sendiri konon terlempar dari kursinya dan apa yang ia katakan tampak mewakili keluh-kesah hampir semua calon legislator yang kalah, ataupun yang menang. Persaingan tajamlah yang membuat Nurul menghubungkan pemilu dengan perang Suriah. Sebab, yang diperebutkan adalah dukungan suara terbanyak. Seorang caleg bersaing dengan rekan mereka dalam satu parpol dan dari parpol lain. Tidak ada saudara dalam kompetisi elektoral, yang ada sesama lawan. Dengan pemakaian kalimat "sesama saudara saling memakan", aktris film Naga Bonar (1986) tersebut sesungguhnya tengah menegaskan bahwa konsekuensi kanibalisme-politik tak terelakkan dan nyata. Tuntutan ongkos para caleg keterlaluan. Salah satu penyebabnya, masyarakat disebut semakin proaktif, alias memiliki keberanian yang tinggi, untuk meminta uang atau rupa-rupa lainnya kepada para caleg. Pola pragmatisme-transaksional dominan terjadi di lapangan. Para caleg yang uangnya banyak, berpeluang besar menang. Yang pas-pasan, apalagi yang irit dan tekor, mudah (kalau bukan pasti) tersingkir. Banyak orang merasa ada sesuatu yang salah dari semua itu. Sistem proporsional terbuka berdasarkan dukungan suara terbanyaklah yang menjadi penyebabnya. Boleh dikatakan, sistem ini merupakan jenis ekstrem lain dari sistem proporsional dengan stelsel daftar tertutup. Yang pertama, parpol hanya menyorongkan orang sebagai caleg. Yang kedua, parpol perannya lebih penting lagi, karena ia bisa mengatur nomor urut caleg yang menentukan kemenangan. Melihat pengalaman pemilu kita sekarang, timbul gagasan dalam benak banyak orang ihwal perlunya mengembalikan sistem pemilu lama: proporsional tertutup. Kemudian, dibikinlah diskusi-diskusi yang menimbang sistem proporsional tertutup. Para pembicara menyorot kelemahan-kelemahan sistem proporsional terbuka dan bernostalgia dengan era sistem proporsional tertutup. Mereka mengatakan bahwa dulu masyarakat tidak seagresif sekarang.
  • 17. Dulu, masyarakat tidak berani terang-terangan memeras para caleg. Disebut juga, sistem proporsional tertutup lebih menjamin pembangunan kelembagaan partai. Sistem pengkaderan dapat dijaminkan ke sistem pemilu yang memprioritaskan kader-kader terbaik pilihan parpol. Dulu, pemilu kita simpel. Pemilih cukup mencoblos tanda gambar parpol. Dulu, orang parpol bekerja sebagai bagian integral dari mesin politik besar parpol. Tapi, semua itu tinggal kenangan ketika sistem proporsional tertutup digeser oleh yang terbuka. Tapi sistem perpolitikan kita masih berpeluang berubah. Ketika orang menggagas perlunya kembali ke sistem pemilu lama, hal demikian wajar saja. Sebab, demokrasi politik memberi peluang trial and error alias mekanisme coba-gagal alias korektif. Yang kurang dilengkapi, yang lemah diperkuat, yang bolong ditambal, dan seterusnya. Dan, sistem pemilu memang termasuk yang selalu berubah. Perubahannya seperti pendulum yang bergerak dari proporsional tertutup, terbuka terbatas alias setengah terbuka, lalu ke terbuka murni. Tidak hanya kalangan pemerintah dan DPR yang terlihat dalam perubahan sistem itu, tapi juga Mahkamah Konstitusi. Miriam Budiardjo dalam buku legendarisnya, Pengantar Ilmu Politik, menjelaskan betapa tidak ada satu pun sistem pemilu yang ideal. Sistem proporsional nyatanya tidak lebih sempurna ketimbang sistem distrik, dan sebaliknya. Karena itu, kemudian muncul berbagai variasi sistem pemilu. Para pakar dan, terutama, politikus terus berikhtiar mencari sistem pemilu yang cocok. Tentu saja soal menemukan yang cocok ini tidak gampang. Dalam hal inilah apa yang disitir Edward Banfield di atas terasa relevansinya. Jangan-jangan seluruh produk sistem politik kita merupakan buah kecelakaan politik. Sayangnya, tidak semua sistem membuahkan keberuntungan (a lucky accident). Ada yang diuntungkan dan tidak dalam sistem politik. Tetapi, sekadar mengharapkan sistem pemilu menguntungkan diri dan kelompoknya, ternyata tetap berisiko senjata makan tuan. Sebab, tidak semua pembuat undang-undang pemilu saat ini terpilih, bahkan konon malah banyak yang tersingkir. Tampaknya, banyak yang setuju bahwa sistem politik kita perlu dibenahi, guna menyingkirkan ekses-ekses negatifnya. Tentu, pekerjaan besar inilah yang akan dibebankan kepada para anggota DPR mendatang. DPR punya fungsi legislasi, ujung tombak perubahan sistem. Tapi apakah mereka memiliki gagasan yang sama dengan arus kuat gagasan masyarakat atau tidak, tentu bergantung pada lalu lintas kepentingan. Para politikus sering melupakan kekuatan gagasan dan sibuk mengamankan kepentingan. Akibatnya, perbaikan sistem terlewatkan. Tapi ketika ada yang merasa dirugikan oleh sistem yang dibuat sendiri, yang muncul justru sederet keluhan.*
  • 18. Cawapres Rasa Capres Selasa, 06 Mei 2014 Putu Setia, @mpujayaprema Joko Widodo sibuk blusukan, bahkan ke wilayah yang bukan menjadi tanggung jawabnya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Jokowi, begitu nama popnya, sedang mencari pendamping dalam statusnya sebagai calon presiden. Kenapa repot? Sebab, ia belum punya pengalaman cukup untuk menjadi orang nomor satu di negeri ini. Pendapat umum yang diucapkan banyak orang: pendamping Jokowi haruslah tokoh yang berpengalaman untuk menambal kekurangannya. Untungnya, PDI Perjuangan yang mengusung Jokowi telah selesai dalam urusan koalisi. Partai ini sudah berhasil menggaet Partai NasDem tanpa syarat apa pun. Dengan koalisi dua partai, mereka sudah bisa mengusung pasangan capres dan cawapres. Partai lain semuanya belum aman dan perlu koalisi, perlu saling tawar-menawar posisi, karena tak ada yang seperti Nasdem, mau koalisi tanpa syarat. Dalam bahasa sederhana, sebenarnya Jokowi sedang mencari pendamping yang harus lebih berpengalaman daripada dirinya. Sejatinya, yang dicari "cawapres dengan rasa capres". Dan pencariannya ini, astaga, membuat partai lain bak menari dalam irama gendang Jokowi. Jokowi mengincar Jusuf Kalla karena disodori asumsi, hanya Kalla tokoh yang berpengalaman sebagai wapres. (Dalam catatan saya, yang berpengalaman sebagai wapres dan masih sehat lainnya adalah Hamzah Haz, Try Soetrisno, B.J. Habibie, dan, oya, Megawati). Media mengumbar, kepiawaian JK, baik mengenai politik internasional maupun ekonomi makro, akan membantu Jokowi yang lemah dalam bidang itu. Apalagi Kalla bisa menggaet suara Indonesia timur. Tapi pasti Jokowi mikir, Kalla terlalu senior, masak sih wakil? Lagi pula usianya lanjut dan konon Kalla sangat dominan dalam mengambil langkah. Untuk itu, atas desakan opini yang lain, bahwa yang dihadapi negeri ini sesungguhnya lemahnya hukum, Jokowi mendekati Mahfud MD. Nah, tokoh satu ini "milik" Partai Kebangkitan Bangsa. Jika Mahfud diambil, PKB tentu diajak, bagaimana kalau PKB dalam berkoalisi menentukan "syarat dan ketentuan berlaku"? Lagi pula Mahfud berasal dari Madura, Jawa Timur, yang masih dekat dengan Solo. Horee… ada tokoh alternatif! Abraham Samad, Ketua KPK. Dilirik yuk, mungkin begitu pikiran Jokowi. Samad anak muda, berani, paham hukum, dan berasal dari Indonesia timur
  • 19. seperti Kalla. Tapi ketika Jokowi sowan ke Tebu Ireng untuk bertemu Salahuddin Wahid, Si Gus memberi bisikan: "paham hukum dengan pengalaman sepuluh tahun". Si Samad baru beberapa tahun namanya berada dalam radar "tokoh nasional". Jokowi mengaku sudah mengantongi nama cawapres, tapi pasti nama itu lebih dari satu. Ia sedang mengkalkulasi, kalau ambil ini, pengikut yang itu pasti kecewa. Ya, harus diiming- imingi harapan, misalnya, jadi juru bicara. Kalau ambil yang itu, pengikut yang ini kesal, ya, minimal diberi menteri atau kalau ngotot lebih, menko kesra. Utak-atik nama boleh diperpanjang, tapi larinya sudah pasti soal bagi-bagi kursi, betapa pun akal Jokowi menutupinya. Sebab, pangkal masalahnya, yang dicari "cawapres rasa capres". Kalau saja Jokowi "sudah merasa capres" dan percaya diri memimpin negeri ini, soalnya jadi lain. Yang mengherankan, partai tengah-di luar tiga besar-pada ikut "menari", bukan memukul gendang dengan menciptakan tari sendiri. Kenapa tidak menghimpun diri dan lupakan "tarian Jokowi"? Juga lupakan dua partai besar lainnya, termasuk capres yang sudah dikoarkan. Lalu usung, misalnya, JK-Mahfud atau Mahfud-Hatta Rajasa atau Hatta dengan pemenang konvensi Demokrat. Hal ini lebih memberi gairah masyarakat untuk ikut mencoblos, karena Jokowi punya lawan tanding. *
  • 20. Pesona Karisma Jokowi Rabu, 07 Mei 2014 Mohammad Takdir Ilahi, Mahasiswa Pascasarjana UIN Yogyakarta Harus diakui bahwa kepribadian kandidat dinilai bakal menjadi penentu dalam pemilu presiden 2014 di Indonesia. Kondisi itu dikenal sebagai personality politics, yang menjadi salah faktor penting yang dapat menentukan hasil akhir dari kompetisi besar ini. Karakter personality politics sangat erat dengan sosok kandidat yang mampu menjadi daya tarik dan mempengaruhi seseorang untuk menjatuhkan pilihan pada pemilu presiden mendatang. Sosok yang paling berkarisma (dan) mampu menggugah perhatian warga adalah yang akan terpilih menjadi pemimpin Indonesia. Jadi, faktor ideologi, representasi agama, etnis, kekerabatan, kelas sosial, ataupun platform partai politik sekalipun, tidak lagi menjadi penentu utama dalam mempengaruhi pemilih. Saya melihat potret personality politics yang berlangsung di Indonesia sebenarnya dapat kita saksikan langsung dari beberapa kandidat yang mendeklarasikan diri atau masih menunggu perkembangan politik selanjutnya. Namun, untuk konteks pemilu presiden 2014, saya menilai Joko Widodo atau Jokowi sebagai salah satu di antara yang paling memenuhi kriteria, sebagai cermin atau manifestasi personality politics. Hal ini tidak bisa lepas dari gaya kepemimpinan Jokowi yang mampu menyentuh hati masyarakat dengan turun langsung ke lapangan guna menyerap aspirasi masyarakat secara luas. Melejitnya popularitas Gubernur DKI Jakarta Jokowi ternyata mampu menggugah dan menjadi daya tarik warga, terutama dari kalangan miskin yang tinggal di kawasan kumuh. Jokowi akhirnya dikenal warga sebagai sosok yang merakyat, tak elitis, populis, fleksibel, dan mampu mendengarkan keluhan-keluhan semua golongan tanpa terkecuali. Karisma (charisma) menjadi kekuatan utama Jokowi dalam meraih simpati dan dukungan bila dibandingkan dengan tokoh-tokoh lainnya. Pengaruh karisma Jokowi dalam teori sosiologis--sebagaimana dijelaskan oleh Max Weber--lebih ditekankan pada kemampuan seorang tokoh atau pemimpin yang memiliki kekuatan luar biasa dan mistis. Pengaruh karisma sangat menekankan akan pentingnya kekuatan dan kepekaan dalam membaca fenomena sosial, sehingga ia bisa diterima dengan baik oleh seluruh masyarakat. Konsep karisma dalam teori sosiologis mengacu pada orang yang berwibawa karena mempunyai pengaruh luar biasa dan memberikan inspirasi bagi setiap orang untuk mengikuti apa yang menjadi pesan-pesan moralnya. Saya memahami karakteristik karisma muncul
  • 21. bersamaan dengan situasi lingkungan yang mempengaruhinya, yaitu adanya seseorang yang memiliki bakat yang luar biasa, sejumlah ide yang radikal untuk memecahkan krisis atau persoalan, adanya sejumlah pengikut yang percaya bahwa seseorang itu memiliki kemampuan yang bersifat transendental dan supranatural, serta adanya bukti yang berulang bahwa apa yang dilakukan itu mengalami kesuksesan. Pesona karisma Jokowi dibandingkan dengan kandidat lain memang tampak lebih unggul. Pandangan sosiologis memperlihatkan bahwa kekuatan karisma sebagai sebuah konsep kepemimpinan memiliki karakter tersendiri untuk mempengaruhi pengikutnya agar terkesima oleh apa yang menjadi nilai penting dari visi dan misinya. Dan ciri pemimpin karismatik itu ada pada sosok Jokowi, yang bakal menjadi kandidat utama dalam pemilu presiden 2014. *
  • 22. Candi Rabu, 07 Mei 2014 Djulianto Susantio, Sarjana Arkeologi Peninggalan budaya nenek moyang kita yang berupa candi semakin banyak mendapat perhatian kalangan seniman. Awal Maret 2014, terselenggara drama tari "Shima: Kembalinya Sang Legenda" di Gedung Kesenian Jakarta. Para pendukung acara menggunakan bentuk- bentuk aksesori, busana, dan alat musik yang ditafsirkan dari relief candi, dan dibuat sedapat mungkin mendekati aslinya. Inspirasinya berasal dari temuan-temuan arkeologi di Candi Dieng. Ada lagi pertunjukan "Pulung Gelung Drupadi" pada April 2014 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Risetnya dilakukan di Candi Jago, Jawa Timur. Pada 19-20 Maret 2014, gitaris Dewa Budjana dan penyanyi Trie Utami, bersama kelompok Nyanyian Dharma, mengadakan konser spiritual di Petirtaan Jalatunda dan Candi Brahu--keduanya di Jawa Timur. Sebelumnya, mereka mengamen di Candi Prambanan, Candi Ratu Boko, dan Situs Trowulan. Jelas nama candi sudah masuk hitungan masyarakat. Dalam jajak pendapat yang dilakukan Kompas (Kompas Minggu, 13 April 2014), masyarakat mengatakan candi merupakan situs purbakala/cagar budaya yang paling menarik untuk dikunjungi. Candi menduduki peringkat pertama (55,21 persen), jauh di atas keraton/istana raja (15,61 persen), tempat peribadatan bersejarah (13,80 persen), situs megalitikum (3,07 persen), dan pemakaman kuno (2,91 persen). Candi merupakan bangunan dari masa purba yang terawetkan karena terbuat dari batu bata dan batu andesit (batu kali). Pada zaman dulu, bangunan candi erat berhubungan dengan keagamaan. Istilah candi sendiri berasal dari salah satu nama untuk Durga sebagai Dewi Maut, yaitu Candika. Durga adalah istri Dewa Siwa, yakni Dewa Perusak dalam mitologi Hindu. Candi banyak didirikan di Pulau Jawa sekitar abad ke-8 hingga ke-14 Masehi. Memang ada candi yang lebih tua dari abad ke-8, tapi tidak banyak. Di luar Jawa, bangunan candi terdapat di Bali, Sumatera, dan Kalimantan. Hingga kini, di seluruh Nusantara terdapat ratusan candi, baik yang sudah dipugar maupun belum dipugar. Bahkan ada candi yang hanya berupa onggokan batu atau serakan batu, karena batu-batunya hilang entah ke mana. Yang menarik perhatian masyarakat, termasuk seniman, tentu saja candi-candi yang pernah dipugar. Terutama Candi Borobudur dan Candi
  • 23. Prambanan, yang sudah ditetapkan sebagai Warisan Dunia. Di luar candi, sebenarnya gedung museum dan bangunan bersejarah lain sudah mendapat perhatian masyarakat. Sejumlah gedung museum dan bangunan bersejarah beberapa kali pernah digunakan untuk latar klip video kelompok-kelompok musik. Pertanyaan kita sekarang: apakah candi-candi di lapangan benar-benar diminati masyarakat? Apakah hanya diminati kalau ada pertunjukan seni atau kebudayaan? Kita harapkan bukan hanya seniman yang mampu mengambil inspirasi dari candi. Masyarakat pun akan mendatangi candi secara langsung, karena candi memiliki nilai kearifan, seperti toleransi beragama (antara Candi Prambanan yang bersifat Hindu dan Candi Plaosan yang bersifat Buddha), pesan moral (berdasarkan relief cerita), dan keterampilan seniman (dalam memahat arca). Kita tentunya tidak berharap bangunan-bangunan kuno dijauhi masyarakat karena kesan negatif itu. Betapapun, banyak nilai positif terdapat pada gedung-gedung kuno, seperti halnya pada candi.*
  • 24. Koalisi Sangkil Pemilu Presiden Rabu, 07 Mei 2014 Wawan Sobari, Dosen Program Studi Ilmu Politik Universitas Brawijaya Ada pelajaran penting yang bisa diambil dari laporan akhir dana kampanye yang disampaikan 12 partai politik nasional kepada Komisi Pemilihan Umum (Koran Tempo, 25 April). Besarnya dana kampanye parpol tidak berbanding lurus dengan perolehan suara pemilu legislatif 2014. Parpol dengan bujet kampanye besar tidak mesti memperoleh suara terbanyak. Partai Gerindra, yang melaporkan pengeluaran anggaran kampanye terbesar sebesar Rp 434,945 miliar, justru hanya menempati posisi ketiga perolehan suara menurut hasil sejumlah hitung cepat. Apabila menggunakan ukuran rasio pengeluaran dana kampanye dan perolehan suara parpol, PKS merupakan parpol paling sangkil (efisien). PKS melaporkan pengeluaran kampanye sebesar Rp 121 miliar. Sedangkan nilai tengah (median) perolehan suara PKS, menurut empat hasil hitung cepat (SMRC, LSI Lingkaran, Cyrus-CSIS, IPI), adalah sebesar 6,9 persen. Maka, rasio efisiensi dana kampanye PKS sebesar Rp 17,54 miliar per persen perolehan suara. Posisi kedua ditempati PDIP dengan rasio efisiensi Rp 21,26 miliar per persen. Kemudian diikuti PPP (Rp 24,15 miliar), PKB (Rp 26,86 miliar), dan Golkar (Rp 27,51 miliar). Sedangkan Partai Hanura terkategorikan sebagai parpol dengan dana kampanye paling boros, dengan rasio Rp 69,26 miliar per persen. Hasil penghitungan efisiensi dana kampanye melahirkan catatan penting mengenai urgensi strategi dan organisasi parpol. Strategi terkait dengan kemampuan parpol mendorong peningkatan loyalitas keanggotaan dan ekspansi pemilih parpol. Organisasi terkait dengan kapasitas manajemen dan loyalitas pengurus parpol hingga tingkat terbawah. Sejak awal pendiriannya, PKS dikenal sebagai partai kader karena segmentasi pemilihnya yang jelas dan loyal. PKS didirikan, dipimpin, dan didukung oleh kumpulan individu kalangan terdidik yang loyal. Terbukti, hantaman kampanye negatif kasus korupsi yang menimpa pimpinan PKS tidak secara drastis meruntuhkan kepercayaan para kadernya. Suara PKS diperkirakan hanya turun sekitar 1 persen dibanding hasil Pemilu 2009 (7,89 persen). Adapun PDIP, yang mendeklarasikan diri sebagai partai wong cilik, berhasil keluar dari tren penurunan suara pemilu legislatif 1999 (33,75 persen) hingga pemilu legislatif 2009 (14,01 persen). Median empat hasil hitung cepat memperkirakan perolehan suara PDIP sebesar
  • 25. 19,04 persen. Tanpa mengesampingkan daya tarik Joko Widodo (Jokowi), strategi dan organisasi PDIP relatif berhasil mengembalikan kepercayaan pemilihnya, meski tidak menyamai capaian pemilu legislatif 1999. Lantas, apa relevansi dari catatan efisiensi penggunaan dana kampanye parpol untuk pemenangan pemilu presiden 2014? Pertama, efisiensi dana kampanye bisa dijadikan argumen membangun koalisi. Parpol-parpol yang terkategorikan efisien merupakan bukti kemampuannya untuk tidak melulu bertumpu pada besarnya dana kampanye, melainkan bersandar pada kapasitas strategi dan organisasi parpol dalam menghadapi pemilu. Namun bukan berarti parpol pemenang pemilu legislatif yang terkategorikan efisien, seperti PDIP, tidak bisa membangun koalisi dengan parpol yang tak efisien. Sebaliknya, PDIP, yang sudah mendeklarasikan koalisi dengan Partai NasDem dalam pemilu presiden 2014, justru akan memperoleh dampak positif. Kemampuan Partai NasDem dalam menggalang dana kampanye akan membantu PDIP, yang mencalonkan Jokowi. Sedangkan Partai NasDem, yang terkategorikan tidak sangkil (Rp 41,4 miliar), akan belajar dari kapasitas PDIP dalam mengoptimalkan strategi dan organisasi kepartaiannya. Kedua, ukuran efisiensi penggunaan dana kampanye parpol bisa menjadi dasar evaluasi dan menyusun strategi pemenangan pemilu presiden 2014. Partai Gerindra, yang mendeklarasikan Prabowo Subianto sebagai calon presiden, perlu merefleksikan angka efisiensi penggunaan dana kampanyenya yang mencapai Rp 36,66 miliar per persen. Meski perolehan suara Gerindra melejit hampir tiga kali lipat dari hasil pemilu legislatif 2009 (4,46 persen), penggunaan dana kampanyenya tergolong kurang efisien. Karena itu, Partai Gerindra perlu mempertimbangkan masak-masak parpol yang diajak berkoalisi mencalonkan Prabowo. Terutama memilih calon wakil presiden yang diajukan parpol terkategorikan efisien. Pun, Gerindra bisa lebih mengoptimalkan strategi ekspansi pendukung Prabowo dan manajemen kampanye yang akan dijalankan kader-kadernya di tingkat terbawah. Ketiga, kampanye memang bukan satu-satunya faktor yang mendorong keberhasilan parpol meraih suara tinggi dalam pemilu presiden nanti. Kekuatan figur yang merupakan gabungan tingkat popularitas dan kesukaan terhadap calon bisa saja lebih kuat. Terbukti, pasangan SBY-Boediono, yang meraih suara 60,80 persen suara dalam pemilu presiden 2009, mengeluarkan dana kampanye resmi sebesar Rp 232,58 miliar. Nilai tersebut hanya 75,76 persen dari dana kampanye Partai Demokrat dalam pemilu legislatif 2014. Alhasil, ukuran efisiensi belanja kampanye pemilu legislatif 2014 berguna dalam menghadapi pemilu presiden mendatang. Terutama dalam mengukur kapasitas strategi dan organisasi parpol yang efisien guna mendongkrak elektabilitas calon presiden dan calon wakil presiden. *
  • 26. Menakar Kualitas Manifesto Kamis, 08 Mei 2014 Triyono Lukmantoro, Dosen Universitas Diponegoro Semarang Manifesto bukan sekadar untaian kata-kata. Manifesto juga bukan hanya berisi janji-janji yang membuai kesadaran. Manifesto pun tidak dimaksudkan untuk memuat program- program politik yang melambung tinggi. Manifesto bukan pula teknik retorika secara dokumenter untuk menyelubungkan maksud dari si penciptanya. Hal ini disebabkan oleh manifesto adalah cerminan dari kehendak zaman. Manifesto, dengan demikian, merupakan ekspresi kuat dari tuntutan-tuntutan historis (waktu) dan sosiologis (ruang sosial) yang melingkupinya. Manifesto, berikut Oxford Advanced Learner's Dictionary memberi uraian, adalah "pernyataan tertulis yang dikemukakan sekelompok orang, khususnya partai politik, yang menjelaskan keyakinan-keyakinan mereka dan mengatakan apa yang akan mereka lakukan jika mereka memenangi sebuah pemilihan". Kata manifesto itu sendiri muncul pada pertengahan abad ke-17 untuk merujuk pada pernyataan yang bersifat publik dan menunjukkan kejelasan suatu maksud. Merujuk pada pernyataan itu, manifesto secara otomatis berisi program-program politik untuk meraih dukungan sebanyak mungkin dari masyarakat dalam domain pemilihan umum. Dalam konteks Pemilihan Umum 2014 ini, kita tersentak dengan kehadiran Manifesto Perjuangan Partai Gerindra. Ada dua persoalan yang disoroti masyarakat. Pada persoalan agama, Gerindra menyatakan setiap orang berhak untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Negara pun memberi jaminan untuk kebebasan ini. Negara juga mengatur kebebasan beragama tersebut. Persoalan menjadi sangat serius dan mengancam kebebasan beragama itu sendiri ketika partai ini menyatakan, "Negara juga dituntut untuk menjamin kemurnian ajaran agama yang diakui oleh negara dari segala bentuk penistaan dan penyelewengan dari ajaran agama." Apakah yang dimaksud dengan "kemurnian agama"? Bukankah karena isu "kemurnian agama" mengakibatkan beberapa kelompok beragama minoritas di negeri ini secara terus-menerus dirajam kekerasan? Tidakkah dengan memunculkan "kemurnian agama" menjadikan negara versi Gerindra tidak netral dan justru bakal merongrong kebebasan beragama yang sudah digariskannya sendiri? Dalam hal hak asasi manusia, manifesto Gerindra semakin menyajikan bukti bahwa partai ini memang mengalami ketakutan dan paranoid terhadap isu ini. Apa yang tertulis adalah kalimat menyedihkan berikut ini: "Hukum dan kemanusiaan tidak boleh dipandang sebagai dua substansi yang terpisah. Maka, adanya pengadilan HAM merupakan sesuatu yang
  • 27. overbodig (berlebihan)." Bagaimana pengadilan hak asasi manusia dianggap sebagai keterlaluan jika pada kenyataannya masih banyak orang, terutama pejabat birokrasi dan otoritas keamanan negara, yang melakukan penistaan terhadap kemanusiaan, misalnya, menculik sekian banyak orang dengan mengatasnamakan stabilitas politik? Bukankah penculikan itu semakin meneguhkan bahwa langkah-langkah politik Machiavellian yang menghalalkan segala cara justru diperbolehkan? Tidakkah juga penculikan telah merampas martabat kemanusiaan? Manifesto merupakan panduan politik yang penting bagi sebuah partai serta menjadi acuan bersama bagi rakyat yang membacanya. Jika sebuah partai justru pada saat berkuasa nanti terlalu banyak menjalankan intervensi terhadap kehidupan rakyat dalam beragama, dan bahkan menolak penegakan hukum melalui pengadilan hak asasi manusia, bagaimanakah masa depan kemanusiaan itu sendiri? Manifesto, dalam posisi demikian, justru menjadi cara yang digunakan oleh pemegang otoritas tunggal partai untuk bersembunyi dari berbagai sorotan tajam yang sedang menghunjam keras ke arah dirinya. Manifesto tidak lebih berisi kesadaran palsu yang memelintir kenyataan dan cita-cita bersama. Sekilas, manifesto itu menyuarakan kepentingan banyak orang. Namun, setelah dibaca secara kritis, manifesto itu tidak lebih sebagai kedok politik. Bukan berarti di dunia ini tidak ada manifesto yang baik. Salah satunya pernah ditulis Karl Marx (1818-1830) dalam judul The Communist Manifesto. Dalam uraian yang dikemukakan James Garvey (20 Karya Filsafat Terbesar, 2010), manifesto pada abad ke-19 itu dianggap karya yang hebat dalam perspektif filosofis. Sebabnya adalah manifesto itu menunjukkan harapan-harapan yang pada awalnya masih samar menjadi semakin jelas dengan cara mempersatukan kaum buruh untuk melakukan revolusi. Dorongan transformasi sosial itu dieksplisitkan. Bentuk dan tujuan akhir manusia pun akan direngkuh. Dunia yang lebih baik bakal diraih. Manifesto karya Marx itu memiliki dasar filosofis yang khas, yakni pertentangan antarkelas. Mutu manifesto harus ditakar pada sejauh mana kemampuan pernyataan itu memberikan visi yang membimbing rakyat untuk mendapatkan harapan. Jadi, manifesto bukan tempat bersembunyi bagi segelintir elite politik dengan menampilkan kata-kata indah yang terkesan memukau, tapi isinya sungguh kacau. *
  • 28. Paralisis Kamis, 08 Mei 2014 Bagja Hidayat, @hidayatbagdja Manakah yang lebih mengerikan: sebuah novel horor atau tayangan berita kriminal di televisi? Barangkali kita sulit membedakan mana yang lebih mengejutkan di tengah zaman ketika cerita yang seharusnya hanya ada dalam prosa meruyak dalam kehidupan nyata, mengisi halaman-halaman berita. Seorang guru di Wates, Jawa Tengah, menusuk guru lain yang sedang mengajar di depan kelas, di depan puluhan murid-muridnya. Pembunuhan itu berlangsung cukup lama karena korbannya melawan dan terjadi perkelahian, darah membanjir, guru itu meregang nyawa dengan 25 tusukan, disaksikan murid-muridnya sendiri! Sukar dibayangkan, berapa lama adegan horor ini akan melekat dalam ingatan dan menghantui siswa-siswa itu. Dunia adalah mahaprosa yang tak tepermanai. Dunia dan manusia telah melampaui imajinasi para penulis prosa, dengan lebih banal. Dunia seperti sedang membangkitkan kembali Nikolai Chernyshevsky yang meyakini realitas jauh lebih mengejutkan, jauh lebih mengagumkan, ketimbang karya seni. Gagasan abad ke-19 itu kini menemukan muaranya lewat televisi, Internet, dan telepon pintar. Betapa kini realitas telah merebut apa yang dulu diimajinasikan orang-karena dulu kabar- kabar kriminal tak menyebar melalui media massa. Sebuah peristiwa pembunuhan kini lebih mencengangkan dibanding sebuah cerita pendek di halaman koran pada hari Minggu. Di halaman prosa, kita tak mendapat kejutan pada pagi hari seraya menyesap kopi di beranda. Cerita-cerita berhamburan tak membekas dan nama-nama berseliweran tanpa berhenti menjadi "tokoh". Para "tokoh" telah diambil alih oleh pelaku nyata di luar beranda rumah kita, di luar halaman- halaman fiksi. Di Wates, guru itu membunuh karena tersinggung dimaki temannya yang ia bunuh itu, dan ia melakukannya di sekolah-tempat anak-anak membekali diri dengan imajinasi dan kearifan, tempat mereka berlindung pada sosok yang layak digugu dan ditiru. Di Jakarta, ada sekolah yang menjadi sarang predator seks yang bertahun-tahun pelakunya tak tersentuh oleh hukum. Di Sukabumi, seorang remaja menyodomi anak empat tahun hingga tewas, dan korbannya mencapai lebih dari 100 orang. Daftar itu bisa diperpanjang hingga kita akrab lalu melupakan kengerian-kengerian itu, karena sebuah kebrutalan akan tertindih oleh kebrutalan lain. Paralisis itu akan
  • 29. menumbuhkan frustrasi karena kita seolah tak punya andalan terakhir menghentikan kesakitan massal itu. Kita dipaksa siap menerima kesakitan dan kengerian yang sedang terjadi di tempat lain dan di waktu yang lain. Peristiwa-peristiwa itu hanya menunggu giliran diberitakan karena Internet dan telepon pintar memungkinkan sebuah peristiwa tersiar tanpa melalui pena wartawan. Pada akhirnya, dan mungkin ini yang sedang terjadi, kita akan menjadi bebal bersama. Toh, berita-berita kekerasan itu kita lihat dan baca sambil bergelantungan di kereta malam, minum cappucino yang hangat di kafe yang gemerlap, lalu membagi dan memberi komentar kengerian itu melalui media sosial, kemudian beralih membaca atau menonton berita lain tentang kuliner yang lezat atau menganalisis langkah elite-elite partai memperdagangkan perolehan suara dalam pemilihan umum.
  • 30. Dalang Kamis, 08 Mei 2014 Munawir Aziz, Peneliti Dalam kosmologi manusia Jawa, dalang menjadi rujukan tentang tata nilai dan pengatur ritme yang mampu memberikan visi dalam kisah-kisah kehidupan. Dalang, dalam artian harfiah, merupakan seorang yang mengomando pementasan wayang. Sebagai orang yang memainkan lakon demi lakon, pada hakikatnya dalang mementaskan nilai-nilai kehidupan pada setiap kisahnya. Bagaimana memaknai dalang dalam konteks masyarakat Indonesia saat ini? Di tengah pertarungan politik yang kian panas, kita perlu menganalisis tentang bagaimana posisi dalang dan strategi lakon wayangnya. Dalang, dalam ranah kesenian, memang menjadi rujukan pementasan wayang, tapi dalam ranah politik, ia bisa bermetamorfosis menjadi sutradara dalam panggung kekuasaan. Dalang politik tidak sekadar mencari lakon yang sesuai dengan wayangnya, namun juga mampu mengatur ritme, menjadi makelar, hingga menyusun alur logika bagi wayang-wayangnya di panggung kuasa. Untuk itu, perlu ada kecermatan analisis, siapa dalang, siapa wayang. Di panggung politik saat ini, perlu menakar kapasitas orang-orang yang berkompetisi: apakah dia sesungguhnya dalang, atau hanyalah wayang yang seolah-olah menampakkan diri sebagai dalang. Inilah lakon di panggung politik kita saat ini. Dalam filosofi Jawa, dalang sebenarnya berakar dari makna mulia. Dalang dimaknai dalam akar kata wedha dan wulang. Wedha merupakan kitab suci agama yang memuat ajaran tentang moral, peraturan hidup, dan spiritualitas menuju Tuhan. Sedangkan wulang dapat diartikan sebagai mengajar serta menebar benih ilmu dan cinta dalam kehidupan. Pada arti yang lain, dalang juga dapat diartikan sebagai penyebar ilmu. Makna ini berakar kata angudal piwulang, yakni dalam proses menyebar ilmu bagi masyarakat. Dalam Kakawin Arjunawiwaha, begawan Mpu Kanwa-pujangga pada masa pemerintahan Airlangga (1019-1042)-mengisahkan tentang pentingnya dalang dalam kosmologi hidup manusia (P.J. Zoetmoelder, 1983: 298). Ia mengungkap tentang bagaimana dalang menciptakan peran sentral dan konteks kemanusiaan. Dalang mampu menyihir rakyat dengan memberi visi pada kisah-kisah yang ditampilkan dengan media wayang. Lalu, bagaimana transformasi makna dalang dalam dimensi bahasa saat ini? Dalam perkembangan peradaban bangsa, bahasa menjadi ruang untuk menampung dinamika
  • 31. pemikiran dan karakter sosial. Dalam konteks ini, perluasan makna dalang, dari penyebar ilmu menjadi aktor kunci di balik prahara maupun manuver politik, menjadi kekayaan berbahasa kita. Meski pada titik tertentu ada nuansa negatif yang muncul. Pada kontestasi politik saat ini, kecermatan melihat aktor dan boneka, dalang dan wayang, lebih penting daripada sekadar terjebak pada isu maupun kampanye negatif. Mencermati dalang, bagaimana bentuk strategi, ideologi, dan akar kepentingan ekonomi-politik, akan mampu membuka tabir gelap tentang motif politik yang sebelumnya diselimuti kabut pencitraan maupun manipulasi informasi. Sedangkan mengikuti gerak langkah wayang hanya akan menangkap gerak bayang-bayang yang dipantulkan dari cahaya, dari alur strateginya. Inilah akar filosofi orang-orang Nusantara yang mampu menggerakkan manusia Indonesia agar lebih bersahaja. Di panggung politik, kita perlu mencermati: apakah seseorang itu sejatinya dalang, ataukah wayang yang mengaku sebagai dalang?
  • 32. Ketika Anak-anak Dikorbankan Jum'at, 09 Mei 2014 Endang Suryadinata, Penggemar Sejarah Boleh jadi kita pernah mendengar ritual pengorbanan anak. Misalnya, berdasarkan dokumen tertulis dari abad ke-16 dan ke-17, kita bisa membaca adanya ritual demikian pada suku bangsa Aztec, yang menyebut diri mereka Mexica-asal nama Stocking "Meksiko". Suku bangsa Aztec percaya bahwa Tlaloc, dewa hujan, senang mendapatkan pengorbanan anak-anak yang dilakukan pada musim semi. Ritual pengorbanan didasarkan pada kepercayaan bahwa para dewa, termasuk Tlaloc, akan meninggalkan mereka jika tidak mendapatkan "air yang berharga", yaitu darah. Suku Aztec percaya, jika mereka tidak melakukan pengorbanan, matahari tidak akan terbit keesokan harinya. Malah, di Timur Tengah, pada abad ke-18 sebelum Masehi, Abraham atau Ibrahim juga sudah diminta Tuhan untuk mengorbankan anaknya, meskipun tidak jadi. Namun, berdasarkan bukti-bukti arkeologis, di kawasan Timur Tengah kuno memang biasa dilakukan ritual pengorbanan anak. Ritual seperti itu jelas penuh horor. Sayangnya, dalam skala yang lebih masif, dalam cara yang berbeda, pengorbanan anak atau anak-anak yang dikorbankan ternyata bukan mitos. Tapi sungguh terjadi hari-hari ini. Pengorbanan dilakukan bukan di altar di sebuah kuil, melainkan dalam altar kehidupan. Anak-anak sengaja dikorbankan atau dijadikan korban oleh para predator seks, khususnya para pedofil. Hari-hari ini, publik di Tanah Air benar-benar geram karena beberapa anak disodomi beberapa pria dewasa yang bekerja sebagai cleaning service di TK Jakarta International School (JIS). Belum reda kasus JIS, dari Sukabumi muncul Emon, yang konon sudah menyodomi 110 anak. Di Tuban, Jawa Timur, juga ada predator seks telah menyodomi 10 anak. Di Bandar Lampung juga ada tukang becak yang menyodomi 20 anak. Para predator itu mengikuti jejak para pendahulu mereka. Kita ingat, pada awal 2010, muncul nama Babe yang pernah menggemparkan media, mengingat pria asal Purworejo itu telah menyodomi dan membunuh sekitar 11 anak. Lalu di zaman Pak Harto, pada dekade 1990-an, ada nama Robot Gedek yang melakukan sodomi dan pembunuhan terhadap enam anak usia belasan tahun, sejak 1994 hingga 1996. Robot Gedek mendadak meninggal ketika akan dieksekusi pada 2008.
  • 33. Maka, kasus pedofilia di Indonesia menjadi yang tertinggi di Asia (Koran Tempo, 6/5). Komnas Perlindungan Anak juga menyebut negeri ini berada dalam status darurat kejahatan seksual anak. Agar ke depan pedofilia tidak kian marak, jelas perlu koalisi semua pihak agar lingkaran setan kejahatan seks bisa diakhiri. Pertama, diperlukan vonis berat, kalau perlu para pedofil dikebiri, seperti yang dilakukan di beberapa negara. Namun jelas, KUHP atau Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002, yang hanya memvonis 15 tahun penjara bagi penjahat seks, dinilai ringan, apalagi faktanya kerap divonis kurang dari 10 tahun. Kedua, kita juga perlu memiliki National Sex Offender Registry atau Daftar Pelaku Kekerasan Seks Nasional, seperti banyak negara lain, yang berisi daftar nama dan foto para pelaku kekerasan seksual. Pemerintah baru, hasil pileg dan pilpres bisa merealisasi kedua hal tersebut. Ritual pengorbanan anak oleh para predator harus diakhiri.
  • 34. Peran Pria dalam Perjuangan Hak Perempuan Jum'at, 09 Mei 2014 Neng Dara Affiah, Komisioner Komnas Perempuan 2010-2014 *) Kartini di alam sana mungkin bisa tersenyum, karena perjuangannya tidak hanya diteruskan oleh kaum perempuan, tapi juga oleh kaum pria. Contoh, Haji Agus Salim. Pada Kongres Jong Islamieten Bond (JIB) pada 1925 di Yogyakarta, ia membuka tabir yang memisahkan tempat duduk antara laki-laki dan perempuan. Pada 1927, dalam kongres yang sama di Solo, dia berceramah dengan topik "Tentang Pemakaian Kerudung dan Pemisahan Perempuan". Menurut dia, salah satu kecenderungan umat Islam adalah memisahkan perempuan dalam rapat-rapat. Para perempuan ditempatkan di pojok-pojok dengan ditutup kain putih yang meniru bangsa Arab. Tindakan tersebut, menurut Agus Salim, bukanlah ajaran Islam, melainkan tradisi Arab yang sebelumnya dipraktekkan oleh orang-orang Yahudi dan Kristen. Karena itu, dia mengajak peserta kongres JIB untuk mempelajari Islam secara benar, agar memahami semangat yang terkandung di dalamnya. Mengenai tindakan Agus Salim ini, Sukarno menulis dalam Surat-surat dari Endeh bahwa tabir adalah simbol penindasan bagi perempuan, bukan hanya penindasan oleh laki-laki sebagai kedok untuk mengikuti tradisi, melainkan penindasan terhadap hal yang baru oleh yang lama, terhadap evolusi oleh ortodoksi. Dengan demikian, menurut Sukarno, salah satu elemen yang harus direformasi dari ajaran Islam adalah kodifikasi hukum Islam tentang perempuan (fiqh), karena ajaran ini telah membatasi perempuan pada akses pendidikan bagi perempuan, kebebasan bergerak dan berpakaian. Tulisan Sukarno yang mendukung sikap Agus Salim ini membuat ia berkonflik dengan pimpinan Muhammadiyah cabang Bengkulu. Sayangnya, praktek yang ditentang oleh Haji Agus Salim dan Sukarno ini masih dipraktekkan di sejumlah masjid di Indonesia, yang memisahkan tempat duduk laki-laki dan perempuan. Bahkan tempat duduk perempuan ditempatkan di belakang atau di pojok gedung di mana akses pengetahuan melalui khotbah atau ceramah-ceramah agama sering tak terdengar oleh perempuan. Bahkan praktek ini masih diberlakukan oleh salah satu partai Islam dan organisasi Islam tertentu, yang memandang perempuan sebagai sumber fitnah dan pangkal kekacauan sosial. Pada 1990-an, muncul nama-nama pria, seperti Mansour Faqih (almarhum), yang mengenalkan konsep kesetaraan dan keadilan gender melalui beberapa buku dan bentuk pendidikan orang dewasa yang diadopsi oleh sejumlah organisasi gerakan perempuan. KH
  • 35. Hussein Muhammad, pengasuh pondok pesantren di Cirebon dan kini komisioner Komnas Perempuan, menulis sejumlah buku untuk meyakinkan publik bahwa ajaran Islam memiliki semangat untuk membangun masyarakat yang adil gender. Pelbagai ayat Al-Quran ataupun hadis ia ketengahkan dengan bangunan argumentasi keilmuan Islam yang kokoh. Diikuti pula oleh Faqihuddin Abdul Kodir, yang memperjuangkan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Juga muncul organisasi bernama Aliansi Laki-Laki Baru, kumpulan sejumlah pria yang berkomitmen mendukung gerakan perempuan, baik secara politik maupun sosial, terutama dukungannya terhadap gerakan pembebasan perempuan dari ketidakadilan gender, khususnya pencegahan kekerasan terhadap perempuan. Gerakan ini pun menyadari bahwa sistem patriarki tidak hanya merugikan perempuan, tapi juga merugikan para pria, karena sistem ini lebih menuntut pria menunjukkan agresivitas dengan sisi maskulinnya dan mengabaikan dimensi terdalam dari sisi kemanusiaan, seperti kehalusan perasaan atau rasa sedih. Memang, sebagaimana disebut sejumlah pria, mereka tak dapat merasakan langsung pengalaman diskriminasi sebagaimana yang dialami perempuan. Tapi empati terhadap pengalaman perempuan yang terdiskriminasi karena "keperempuanannya" inilah yang membuat mereka tergerak menyuarakan dan melakukan pembelaan perjuangan hak-hak perempuan. Suara pria, dalam perjuangan hak-hak perempuan, sangatlah penting karena perjuangan penghapusan diskriminasi tersebut tidaklah ringan. Wujud diskriminasi terhadap perempuan cenderung tak terlihat, samar, dan dalam masyarakat sering kali dianggap wajar. Bentuk yang dianggap wajar itu kerap kali ditancapkan dalam bentuk nilai-nilai keluarga, di dunia pendidikan, serta pelbagai bentuk aturan dan perundang-undangan. Dalam pelbagai bentuk aturan, Komnas Perempuan mencatat, pada 2013 ada 342 peraturan daerah diskriminatif terhadap warga negara dengan lebih dari 200 kebijakan berdampak langsung ataupun tak langsung terhadap perempuan. Wujud diskriminasi tersebut terkait dengan pengaturan atas pakaian perempuan karena perempuan dipandang sebagai pemikul tanggung jawab moralitas masyarakat, pengaturan duduk di kendaraan, pembatasan keluar malam yang mengingkari fakta bahwa banyak perempuan yang menjadi penopang ekonomi yang harus bekerja di malam hari. Karena itu, peran pria dalam perjuangan penegakan hak- hak perempuan dan penghapusan diskriminasi terhadapnya sangat dibutuhkan sebagai sebuah ikhtiar menuju masyarakat yang setara dan adil bagi semua. * *) Pendapat pribadi
  • 36. Prangko Jum'at, 09 Mei 2014 M. Nafiul Haris, Penulis Bagi orang Indonesia, prangko pos tidak hanya berfungsi sebagai bukti telah melakukan pembayaran untuk jasa layanan pos, seperti halnya mengirim surat. Ada yang lebih penting terkait dengan keberadaan prangko pos Indonesia. Khususnya bagi masyarakat Indonesia terdahulu, keberadaan prangko menjadi bukti pengakuan kedaulatan Indonesia. Jejak sejarah Nusantara kita terekam jelas dalam prangko. Sebagaimana sejarah kala itu, Indonesia pernah memesan prangko dari Vienna (Eropa) dan Philadelphia (AS). Namun pada akhirnya pemerintah Belanda mengembargo prangko tersebut. Tujuannya tak lain adalah mencegah diakuinya kedaulatan negara bernama Indonesia, lantaran nama tersebut pastinya akan tercetak dan tersebar di seluruh pelosok dunia. Pada titik ini jelas bahwa prangko mempunyai andil besar dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia dan pula sebagai bukti perjuangan bangsa ini untuk terlepas dari belenggu penjajahan. Selain itu, prangko mempunyai sejarah sosial yang patut kita simak, selain fungsinya sekarang sebagai benda koleksi, karena termasuk benda budaya langka. Antik. Pada masa pemerintahan Bung Karno, prangko berfungsi sebagai alat untuk mengumpulkan dana dari masyarakat ketika terjadi bencana alam. Bahkan ada sebuah negara yang menjadikan penerbitan prangkonya sebagai sumber pendapatan negara. Ini menegaskan bahwa keberadaan prangko masih sangat kita butuhkan karena mempunyai potensi yang cukup besar, selain bukti kesejarahanya. Nilai-nilai sosial yang ada dalam prangko pun tak kalah menarik, seperti yang telah diajarkan oleh Sang Proklamator. Akan tetapi, seiring bermunculannya teknologi baru yang menyuguhkan berbagai bentuk, dari handphone, Internet, sampai smartphone, kesejarahan serta nilai-nilai sosial yang pernah dikisahkan pun seakan hanya menjadi cerita kusam. Maka pantas jika kita beranggapan prangko hanya sebatas riwayat dalam bingkai sejarah Indonesia. Prangko semakin kehilangan sakralitasnya, ketika ruang-ruang spiritualnya telah digantikan oleh teknologi. Media komunikasi yang sifatnya sosial, seperti Facebook, Twitter, dan BlackBerry, misalnya, yang semakin memudahkan seseorang untuk berkomunikasi, menjadi bukti bahwa surat-menyurat tak lagi diminati, demikian pula prangko. Hal itu menegaskan, prangko bukanlah tren masa kini.
  • 37. Meski demikian, selayaknya kita perlu mengingat setiap peristiwa yang kini telah diabadikan dalam Museum Pos, sebagai bukti perjuangan fisik bangsa Indonesia yang bergerak dalam bidang perposan demi mewujudkan kedaulatan negara. Perjuangan itu dibuktikan dengan terbitnya prangko yang dicetak asal-asalan, seperti prangko pos militer di Solo serta prangko cetak tindih yang bertulisan "Indonesia" atau daerah tertentu peninggalan Nederland Indie atau Dai Nipon. Semua itu guna menunjukkan kepada dunia luar bahwa pemerintah Indonesia eksis dan berfungsi (Kompas, 27/9/11). Jadi, prangko bisa menjadi alternatif penting upaya menumbuhkan semangat nasionalisme kita belakangan ini yang semakin luntur. *
  • 38. Darurat Perlindungan Anak Jum'at, 09 Mei 2014 Bagong Suyanto, Dosen FISIP Universitas Airlangga Indonesia sekarang tengah berada pada situasi darurat perlindungan anak. Federal Bureau of Investigation (FBI)--biro investigasi Amerika Serikat--menyatakan bahwa kasus pedofilia di Indonesia termasuk tertinggi di Asia. Sama seperti di Thailand, kasus pedofilia dan tindak kekerasan seksual yang terjadi Indonesia sangatlah tinggi dan Indonesia boleh dikata sebagai salah satu surga bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Selama Januari-Februari 2013 saja, Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat paling tidak telah terjadi 919 kasus kekerasan terhadap anak, sebanyak 216 kasus merupakan tindak kekerasan seksual. Di luar berbagai kasus yang belakangan ini diekspose media massa, niscaya masih banyak kasus tindak kekerasan seksual terhadap anak yang masuk dalam kategori dark number. Berbeda dengan anak-anak yang menjadi korban tindak kejahatan, seperti penculikan atau penganiayaan, kasus penyalahgunaan seksual sering tidak banyak yang diungkapkan orang tuanya ke publik karena dianggap sebagai masalah internal keluarga sekaligus aib yang memalukan bagi keluarga. Pengalaman selama ini telah banyak membuktikan bahwa anak-anak yang menjadi korban sexual abuse (penyalahgunaan seksual), baik itu korban pedofilia maupun pemerkosaan, biasanya akan menghadapkan orang tuanya pada dilema yang berat: menyembunyikan atau melaporkan ke aparat penegak hukum. Dalam kasus anak korban sodomi, inses, atau kasus pemerkosaan (dating rape), misalnya, kerap pihak orang tua korban lebih memilih menyelesaikan masalahnya secara kekeluargaan, bahkan memendam kasus yang terjadi karena tidak menginginkan terjadi kasus penyalahgunaan (abuse) tahap kedua yang makin memperparah penderitaan korban. Melaporkan kasus penyalahgunaan seksual kepada aparat penegak hukum dikhawatirkan malah akan melahirkan tindak pemeriksaan yang justru mengingatkan kembali korban pada aib dan trauma yang dialami, dan sekaligus mempermalukan korban di hadapan publik. Di kalangan korban yang secara ekonomi bergantung dan tidak berdaya di hadapan pelaku, tindakan penyalahgunaan seksual yang mereka alami umumnya akan berkepanjangan dan sekian lama baru akan terbongkar jika korban sudah benar-benar tak kuat menahan penderitaannya atau karena campur tangan pihak lain. Pelaku yang superior biasanya akan lebih leluasa terus-menerus melakukannya karena korban yang posisinya tersubordinasi. Para korban ini biasanya baru akan membuka mulut dan mengadukan peristiwa yang dialaminya ketika ada korban lain yang mau bertindak sebagai pionir untuk melaporkan peristiwa nestapa
  • 39. yang mereka alami kepada aparat penegak hukum. Siapa pun yang menjadi korban tindak kekerasan seksual, penderitaan yang mereka alami sesungguhnya jauh lebih dahsyat dari sekadar kehilangan harta benda atau menjadi korban tindak kekerasan fisik lain, seperti dipukul atau ditendang orang dewasa di sekitarnya. Seorang bocah laki-laki yang menjadi korban monster pedofilia bukan tidak mungkin akan mengalami trauma akut dan proses tumbuh-kembangnya menjadi menyimpang, termasuk orientasi seksualnya. Sementara itu, seorang perempuan yang menjadi korban pemerkosaan biasanya akan mengalami trauma psikologis yang tak terperikan. Mereka juga akan memperoleh stigma sebagai korban pemerkosaan dari masyarakat. Di Amerika, sebuah studi yang dilakukan Linda E. Ledray terhadap korban pemerkosaan untuk periode post-rape, penderitaan yang dialami korban adalah 96 persen kecemasan, 96 persen rasa lelah secara psikologis, 88 persen kegelisahan tiada henti, 88 persen terancam, dan 80 persen merasa diteror oleh keadaan (Marzuki, 1997). Di kalangan anak-anak di bawah umur, ketika menjadi korban tindak kekerasan seksual, kemungkinan mereka bisa pulih biasanya akan jauh lebih sulit. Mereka cenderung akan menderita trauma akut (Geiser, 1979). Masa depannya akan hancur. Bagi yang tak kuat menanggung beban, jangan kaget jika pilihan satu-satunya adalah bunuh diri. Untuk menyelamatkan masa depan anak-anak agar tidak mengalami trauma dan disorientasi seksual yang dapat menghancurkan masa depan mereka, yang perlu dilakukan bukan hanya menangkap, mengadili, dan mengancamkan sanksi yang seberat-beratnya bagi pelaku. Yang justru lebih penting adalah bagaimana mencegah agar kasus penyalahgunaan seksual tidak keburu memakan korban dengan cara menumbuhkan kepekaan dan kepedulian orang tua, kepedulian berbagai kelompok sekunder di masyarakat, para profesional, terutama dokter dan guru, serta dukungan komunitas lokal agar memiliki kesadaran untuk melakukan deteksi dini terhadap adanya kemungkinan penyalahgunaan seksual. Di tengah keterbatasan aparatur penegak hukum dan daya jangkau pengawasan yang dilakukan negara, langkah realistis yang seharusnya dilakukan adalah mengembangkan pendekatan community support system yang berbasis pada kepedulian orang tua, keluarga, komunitas, dan warga masyarakat secara keseluruhan. *
  • 40. Nasionalisme Konsumen Jum'at, 09 Mei 2014 Tulus Abadi, Anggota Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Pada 11 Mei 2014, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) genap berusia 41 tahun. Secara historis, rekam jejak YLKI tak terlepas dari isu nasionalisme di belakangnya. Lasmidjah Hardi, sang pendiri YLKI, adalah tokoh pejuang di zamannya, dan merupakan istri dari Wakil Perdana Menteri Republik Indonesia yang pertama (Hardi). Semula, YLKI hanya bernama YLK (Yayasan Lembaga Konsumen), dan pada 1974 ditambahkan kata "Indonesia" di belakangnya. Penambahan kata Indonesia untuk menandaskan betapa nasionalisme dijunjung tinggi oleh para founding mothers YLKI. Bahkan, latar belakang YLKI didirikan pun untuk membela kepentingan produk dalam negeri. Kala itu pasar Indonesia banyak dibanjiri produk impor dengan kualitas rendah. Tampaknya, pada konteks kekinian, peran historis YLKI masih tetap relevan untuk mengusung isu nasionalisme dalam ranah advokasinya. Mengingat, pertama, globalisasi dan liberalisasi ekonomi tak urung hanya akan mengikis eksistensi produk dalam negeri. Pun perilaku berkonsumsi konsumen nyaris hanya mempertimbangkan aspek afordabilitas (keterjangkauan) harga. Tak begitu penting, produk itu berasal dari mana dan milik siapa. Pragmatisme berkonsumsi jauh lebih dominan daripada aspek lainnya, termasuk nasionalisme (cinta produk dalam negeri), atau bahkan peduli pada lingkungan hidup. Kedua, makin tidak jelas, apa yang disebut produk dalam negeri itu. Boleh jadi produk tersebut dibuat di Indonesia dan dijual di Indonesia pula. Tapi jika bahan baku produk tersebut 100 persen dari impor (contoh mi instan), apakah itu layak disebut produk dalam negeri? Ketiga, gempuran produk impor tak selalu dibarengi dengan kualitas yang baik. Boleh jadi produk impor itu adalah produk sampah yang sangat merugikan konsumen. Sedangkan pengawasan di pasaran dan atau penegakan hukumnya terbukti masih kedodoran. Pemerintah lumayan piawai saat membuat kebijakan pre market control, tapi tampak lunglai dalam menegakkan post market control. Keberadaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), yang merupakan advisory body bagi presiden dalam hal perlindungan konsumen, secara fungsional juga belum eksis benar. Bahkan dalam beberapa hal tampak BPKN masih nyaman di bawah "ketiak" Kementerian Perdagangan. Sebagai salah satu pilar ekonomi, posisi konsumen tak kalah strategisnya dengan pelaku usaha sebagai pemilik modal. Ingat, Indonesia adalah pasar yang amat menggiurkaan bagi
  • 41. produsen mana pun di dunia. Bayangkan saja, setiap tahun lahir 5 juta bayi di Indonesia (setara dengan penduduk Singapura). Jelas itu merupakan obyek pasar yang membuat produsen dari negara maju ngiler dibuatnya. Apalagi, menurut analisis Bank Dunia, posisi makro ekonomi Indonesia kini menduduki peringkat ke-10 besar dunia. Itu terjadi karena pendapatan income per kapita Indonesia naik tajam. Dengan kata lain, purchasing power (daya beli) konsumen juga makin menguat. Namun ideologi konsumen harus dibangunkan agar saat berkonsumsi bukan hanya soal harga, bahkan bukan sekadar soal kualitas, melainkan aspek nasionalisme juga tak kalah penting. Mengkonsumsi produk lokal berarti konsumen Indonesia ikut menjaga kesinambungan pelaku usaha lokal, petani, bahkan menjaga kelestarian lingkungan. *
  • 42. Musikalitas Joey Alexander Jum'at, 09 Mei 2014 Denny Sakrie, Pengamat Musik Indonesia bukan negeri jazz, bahkan juga tak memiliki keterkaitan dengan akar jazz yang berkembang di Amerika Serikat. Tapi seorang anak lelaki Indonesia berusia 10 tahun mampu membuat sejumlah pemusik jazz dan penggemar musik ini terpukau dan melakukan standing ovation. Itulah peristiwa seusai Joey Alexander, pianis jazz kelahiran Bali, memainkan mahakarya jazz Round Midnight, yang ditulis pianis Thelonius Monk pada era 1940-an. Semua mata yang berada di ruangan Frederick P. Rose Hall "The House Of Swing" yang berlokasi di Broadway 60th Street, New York, terarah ke Joey saat menjentikkan jari- jemarinya yang mungil di atas tuts grand piano dalam acara gala dinner yang digagas trumpetis jazz peraih sembilan Grammy Award, Wynton Marsalis, di Jazz At Lincoln Center pada 1 Mei lalu. Acara bertajuk Love, Loss and Laughter: The Story of Jazz itu merupakan pergelaran tahunan dari Jazz At Lincoln Center yang digagas oleh Wynton Marsalis. Acara ini berbentuk musical review yang menampilkan karya-karya penting dalam sejarah musik jazz yang berkembang dari New Orleans dan menjalar ke New York hingga menyeruak dalam budaya global. Joey Alexander diundang ke New York setelah Marsalis terpukau melihat permainan pianonya membawakan Round Midnight di kanal YouTube. Marsalis terpana dengan interpretasi Joey yang belajar piano secara otodidak terhadap karya Monk yang telah dimainkan para pemusik jazz dari era ke era dalam berbagai versi. Joey Alexander sendiri adalah satu-satunya pemusik yang datang dari luar Amerika Serikat. Musik jazz pada akhirnya menjadi musik global, bukan lagi musik ras seperti yang sering menjadi nukilan sejarah. Joey dari Indonesia justru memainkan musik jazz di negara tempat berkembangnya musik jazz, di hadapan para pemusik jazz dan penggemar musik jazz. Sejumlah media, seperti Wall Street Journal, Down Beat Magazine, dan CBS News menulis serta meliput penampilan pianis Joey Alexander. Wall Street Journal menulis, hadirin tak henti-hentinya memperbincangkan penampilan Joey yang dianggap luar biasa. Adapun Down Beat menulis: "Pianis muda berusia 10 tahun ini berhasil mencuri perhatian penonton. Bukan hanya penonton yang berdiri melakukan penghormatan pada Joey, tapi
  • 43. seluruh pendukung Jazz At Lincoln Center Orchestra." Ini sebuah momen yang membanggakan. Sambutan penonton jazz Amerika bukan hanya kebanggaan Joey Alexander, tapi juga telah menjadi kebanggaan kita orang Indonesia. Bagi saya, ini merupakan momen tepat memperkenalkan Indonesia di mata dunia dalam bidang seni, terutama musik. Selama ini Indonesia hanya diwartakan dalam bingkai berita- berita seperti gonjang-ganjing politik yang tak tentu arah dan korupsi yang kian merajalela. Hal-hal yang terasa busuk seperti mendapat embusan cerah dan wangi lewat peristiwa budaya ini. Jika Presiden John F. Kennedy pernah berucap: "Kalau politik kotor, puisilah yang membersihkannya". Maka tak berlebihan jika saya menyebut: "Jika politik kotor, musiklah yang membersihkannya."