1. 4
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Anatomi Mata
1.1. Kornea
Kornea adalah selaput bening mata yang tembus cahaya, merupakan
jaringan yang menutup bola mata sebelah depan. Tebal kornea rata-rata orang
dewasa adalah 0,65 mm di bagian perifer dan 0,55 mm di bagian tengah
(terdapat variasi menurut ras), diameter horizontalnya sekitar 11,75 mm dan
vertikalnya 10,6 mm. Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan
merupakan tempat masuknya cahaya ke dalam bola mata menuju ke retina.
Sumber nutrisi kornea adalah pembuluh-pembuluh darah di limbus, cairan
mata dan air mata. Kornea terdiri dari lima lapisan, yaitu:
• Lapisan epitel mempunyai lima atau enam lapis sel.
• Membran Bowman merupakan lapisan jernih aselular.
• Stroma kornea menyusun sekitar 90% ketebalan kornea yang tersusun
atas serat-serat kolagen.
• Membran Descemet merupakan lamina basalis endotel kornea
• Lapisan endotel hanya mempunyai satu lapis sel dan berperan dalam
mempertahankan deturgesensi stroma kornea.
2. 5
Gambar 1. Lapisan kornea
http://www.lab.anhb.uwa.edu.au/mb140/corepages/eye/eye.htm)
1.2. Sklera
Sklera adalah selaput mata yang berwarna putih dan berfungsi sebagai
pembungkus dan pelindung isi bola mata. Sklera mempunyai kekakuan
tertentu sehingga mempengaruhi pengukuran tekanan bola mata dan tebal 1
mm. Permukaan luar sklera diselubungi oleh lapisan tipis dari jaringan yang
elastis dan halus, yaitu episklera yang banyak mengandung pembuluh darah
yang mendarahi sklera sedangkan pada permukaan sklera bagian dalam
terdapat lapisan pigmen berwarna coklat, yaitu lamina fuska yang membatasi
sklera dengan koroid.
1.3. Uvea
Uvea adalah lapisan vaskular di dalam bola mata dan dilindungi oleh
kornea dan sklera yang terdiri dari 3 bagian, yaitu:
a. Iris, merupakan perpanjangan badan siliar ke anterior mempunyai
permukaan yang relatif datar dengan celah yang berbentuk bulat
ditengahnya, yang disebut pupil. Iris mempunyai kemampuan untuk
mengatur banyaknya cahaya yang masuk ke dalam bola mata secara
3. 6
otomatis dengan mengecilkan dan melebarkan pupil. Pupil dapat mengecil
akibat suasana cahaya yang terang dan melebar akibat suasana cahaya
yang redup atau gelap yang dipengaruhi oleh persarafan simpatis
(midriasis) dan parasimpatis (miosis).
b. Badan siliar, merupakan susunan otot melingkar yang berfungsi
mengubah tegangan kapsul lensa sehingga lensa dapat fokus untuk objek
dekat atau jauh dalam lapang pandang dan mempunyai sistem ekskresi
yang terdiri dari dua bagian, yaitu korona siliar yang berkerut-kerut
dengan tebal 2 mm dan pars plana yang lebih halus dan rata dengan tebal
4 mm.
c. Koroid, merupakan segmen posterior uvea terletak di antara retina dan
sclera yang berisi pembuluh-pembuluh darah dalam jumlah yang sangat
besar, berfungsi untuk memberi nutrisi pada retina bagian terluar yang
terletak di bawahnya. Bagian dalam pembuluh darah koroid disebut
koriokapilaris (Ilyas, 2006a).
1.4 Lensa
Lensa merupakan struktur bikonveks, avaskular dan terletak
dibelakang iris yang terdiri dari zat tembus cahaya yang dapat menebal dan
menipis pada saat terjadinya akomodasi (terfokusnya objek dekat pada retina)
dengan tebal 4 mm dan diameter 9 mm yang mempuyai sifat kenyal atau
lentur dan jernih (transparan). Kapsul lensa adalah membran semipermeabel
yang dapat dilewati air dan elektrolit. 65% lensa terdiri atas air dan 35%
protein. Lensa ditahan di tempatnya oleh ligamentum suspensorium yang
dikenal sebagai zonula Zinii. Seiring dengan bertambah usia, lensa perlahan
menjadi lebih besar dan kurang elastis.
1.5. Badan Kaca
Badan kaca merupakan suatu jaringan seperti kaca bening yang
terletak antara lensa dan retina. Badan kaca bersifat semicair yang
mengandung 99% air dan 1% terdiri dari 2 komponen, yaitu kolagen dan
4. 7
asam hialuron. Fungsi badan kaca adalah mempertahankan bola mata agar
tetap bulat dan meneruskan sinar dari lensa ke retina.
1.6. Retina
Retina atau selaput jala merupakan bagian mata yang mengandung
reseptor yang menerima rangsangan cahaya. Retina dialiri darah dari 2
sumber, yaitu: lapisan koriokapiler yang mengaliri darah pada 2/3 bagian luar
retina, sedangkan 2/3 bagian dalam retina dialiri darah dari cabang-cabang
arteri retina sentral. Warna retina biasanya jingga dan kadang pucat pada
anemia serta merah pada hiperemia. Lapisan retina mulai dari sisi dalamnya
terdiri atas membran limitans eksterna, lapisan sel saraf, lapisan sel ganglion,
lapisan pleksiform dalam, lapisan inti dalam badan sel bipolar, amakrin dan
horizontal, lapisan pleksiform luar, lapisan inti luar sel fotoreseptor, membran
limitans eksterna, lapisan fotoreseptor segmen dalam dan luar batang dan
kerucut dan epitel pigmen retina (Vaughan, 2008).
Gambar 2. Lapisan retina
http://www.lab.anhb.uwa.edu.au/mb140/corepages/eye/eye.htm
5. 8
Gambar 3. Anatomi mata
http://www.eyesandeyesight.com/2009/02/anatomy-of-the-eye/
2. Akomodasi
Mata dapat mengubah fokusnya dari objek jarak jauh ke jarak dekat
karena kemampuan lensa untuk mengubah bentuknya. Elastisitasnya yang
alami memungkinkan lensa untuk menjadi lebih atau kurang bulat tergantung
tegangan serat zonula di kapsul lensa yang dikendalikan oleh aktivitas otot
siliaris yang melekat ke lensa melalui ligamentum suspensorium (Vaughan,
2008). Kemampuan lensa untuk mencembung yang terjadi akibat kontraksi
otot siliar disebut akomodasi. Dengan berakomodasi maka benda pada jarak
yang berbeda akan terfokus pada retina. Akibat akomodasi, daya pembiasan
lensa bertambah kuat. Kekuatan akomodasi akan meningkat sesuai kebutuhan
dan diatur oleh refleks akomodasi, makin dekat benda makin kuat mata harus
berakomodasi. Kemampuan mata berakomodasi berkurang pada pertambahan
umur (Ilyas, 2006a). Ketika otot siliaris relaksasi, ligamentum suspensorium
tegang dan menarik lensa sehingga lensa berbentuk gepeng dengan kekuatan
refraksi minimal. Ketika berkontraksi, tegangan ligamentum mengendur dan
6. 9
kurang mendapat tarikan sehingga lensa berbentuk lebih bulat dengan
kekuatan refraksi maksimal. Pada mata normal, otot siliaris relaksasi dan
lensa mendatar untuk penglihatan jauh, tetapi otot tersebut kontraksi dan lensa
menjadi lebih cembung untuk penglihatan dekat. Pada miopia, karena bola
mata terlalu panjang atau lensa terlalu kuat, sumber cahaya jauh difokuskan di
depan retina (Sherwood, 2007). Kekuatan akomodasi ditentukan dengan
satuan dioptri, lensa 1 dioptri mempunyai titik fokus pada jarak 1 meter.
Dikenal 2 titik pada sistem refraksi mata, yaitu:
• Titik dekat atau pungtum proksimum, merupakan satu titik terdekat
dimana mata dapat melihat jelas dengan akomodasi kuat.
• Titik jauh atau pungtum remotum, merupakan titik terjauh yang masih
dapat dilihat dengan jelas. Pada mata dengan miopia maka titik terjauh
yang masih dapat dilihat akan lebih dekat dibanding normal (Ilyas,
2006b).
3. Refraksi
Gelombang cahaya mengalami divergensi ke semua arah dari setiap
titik sumber cahaya. Gerakan ke depan suatu gelombang cahaya dalam arah
tertentu disebut berkas cahaya. Berkas cahaya divergen yang mencapai mata
harus dibelokkan ke dalam untuk difokuskan di retina agar dihasilkan suatu
bayangan akurat mengenai sumber cahaya yang disebut refraksi. Dua struktur
yang paling penting dalam kemampuan refraktif mata adalah kornea dan lensa
(Sherwood, 2007). Kornea mempunyai daya pembiasan cahaya terkuat
dibanding bagian mata lainnya dan lensa memegang peranan membiaskan
sinar terutama saat melakukan akomodasi atau bila melihat benda dekat (Ilyas,
2006a). Struktur pada mata harus membawa bayangan cahaya terfokus di
retina agar penglihatan jelas. Apabila suatu bayangan sudah terfokus sebelum
mencapai retina atau belum terfokus sewaktu mencapai retina, bayangan
tersebut tampak kabur.
7. 10
4. Emetropia
Tidak ada kelainan refraksi, memiliki fokus yang optimal untuk
penglihatan jauh (Vaughan, 2008). Daya bias mata normal, dimana sinar jauh
difokuskan sempurna di makula lutea tanpa bantuan akomodasi. Mata
emetropia akan mempunyai penglihatan normal atau 6/6 atau 100% (Ilyas,
2006a).
5. Ametropia
Adanya kelainan refraksi, memerlukan lensa koreksi agar terfokus
dengan baik untuk melihat jauh (Vaughan, 2008). Keadaan pembiasan mata
dengan panjang bola mata yang tidak seimbang. Hal ini akan terjadi akibat
kelainan kekuatan pembiasan sinar media penglihatan atau kelainan bentuk
bola mata. Pada keadaan ini bayangan pada retina tidak terbentuk sempurna.
Dikenal berbagai bentuk ametropia seperti :
a. Ametropia aksial
Ametropia yang terjadi akibat sumbu optik bola mata terlalu panjang
atau pendek sehingga bayangan difokuskan di depan atau di belakang
retina. Kekuatan refraksi mata ametopia aksial adalah normal (Ilyas,
2006a).
b. Ametropia refraktif
Ametropia akibat kelainan sistem pembiasan sinar di dalam mata. Bila
daya bias kuat maka bayangan benda di depan retina (miopia) atau bila
daya bias lemah maka bayangan di belakang retina (hipermetropia
refraktif). Kelainan ini dapat terletak pada kornea atau lensa.
c. Ametropia kurvatur
Ametropia kurvatur disebabkan kelengkungan kornea atau lensa yang
tidak normal sehingga terjadi perubahan pembiasan sinar.
Kecembungan kornea lebih besar akan mengakibatkan pembiasan
lebih kuat sehingga bayangan dalam mata difokuskan di depan bintik
kuning dan akan menjadi miopia (Ilyas, 2006b).
8. 11
6. Kelainan Refraksi
Kelainan refraksi adalah keadaan dimana bayangan tegas tidak
terbentuk pada retina (makula lutea atau bintik kuning). Pada kelainan refraksi
terjadi ketidakseimbangan sistem optik pada mata sehingga menghasilkan
bayangan kabur. Pada mata normal, kornea dan lensa membelokkan sinar
pada titik yang tepat pada sentral retina. Keadaan ini memerlukan susunan
kornea dan lensa sesuai dengan panjangnya bola mata. Pada kelainan refraksi
sinar tidak dibiaskan pada bintik kuning tetapi dapat di depan atau di belakang
bintik kuning dan dapat tidak terletak pada satu titik yang tajam. Kelainan
refraksi dikenal dalam bentuk:
1. Rabun jauh (miopia)
2. Rabun dekat (hipermetropia)
3. Mata dengan silinder (astigmatisme)
Penderita dengan kelainan refraksi akan memberikan keluhan berikut:
• Sakit kepala terutama di daerah tengkuk atau dahi
• Mata berair.
• Cepat mengantuk.
• Mata terasa perih.
• Penglihatan kabur.
• Mengedip lebih kurang dibanding orang normal (4-6 kali/menit) (Ilyas,
2006b).
Prevalensi penderita kelainan refraksi selama periode 7 Juli 2008 – 7
Juli 2010 di RSUP H. Adam Malik Medan 6,19% yaitu 283 pasien dengan
persentase terbanyak terdapat pada miopia 70.31% yaitu 199 orang, pada jenis
kelamin perempuan 58,30% yaitu 165 penderita dan pada kelompok umur 45
tahun – 64 tahun dengan jumlah 97 pasien (34,28%) (Bastanta, 2010).
Kelainan refraksi banyak dijumpai pada kelompok umur 31-40 tahun (102
orang/24,58%), diikuti kelompok umur 41-50 tahun (96 orang/23,13%) dan
kelompok umur 11-20 tahun (74 orang/17,83%).
9. 12
Miopia paling banyak pada kelompok umur 11-20 tahun, yaitu 45
orang (10,84%), astigmatisme pada kelompok umur 31-40 tahun, yaitu 38
orang (9,12%), hipermetropia pada kelompok umur 41-50 tahun, yaitu 57
orang (13,37%) dan anisometropia pada kelompok umur 31-40 tahun, yaitu 7
orang (1,69%).
Kelainan refraksi yang terbanyak adalah miopia yaitu 160 orang atau
38,55% dari seluruh kelainan refraksi atau 8,82% dari seluruh penderita baru.
Kasus miopia ditemukan lebih banyak pada perempuan (97 orang atau
60,62%) daripada penderita laki-laki (63 orang atau 39,38%) (Yunita, 1997).
7. Miopia
7.1 Definisi
Miopia (rabun jauh) adalah suatu kondisi di mana objek yang jauh
tidak jatuh tepat pada retina oleh sistem optik mata karena sinar sudah
menyatu sebelum sampai di retina (Schmid, 2010). Titik fokus sinar yang
datang dari benda yang jauh terletak di depan retina dan titik jauh terletak
lebih dekat atau sinar datang tidak sejajar (Ilyas, 2006). Penderita miopia
biasanya memiliki bola mata terlalu panjang dan kornea yang terlalu berkurva
atau kekuatan pembiasan media refraksi terlalu kuat. Kelainan ini diperbaiki
dengan lensa negatif sehingga bayangan benda tergeser ke belakang dan
diatur tepat jatuh di retina (Cameron, 2006). Kelainan refraksi diukur dalam
satuan dioptri (D) dan miopia diberi tanda minus (-) (Fredrick, 2002).
Gambar 4. Mata miopia (http://www.visualedge.org.uk/LASIK.htm)
10. 13
Gambar 5. Perbandingan mata normal dan miopia
(http://www.npr.org/templates/story/story.php?storyId=122374802)
7.2 Epidemiologi
Prevalensi Miopia di Eropa dan Amerika 30-40%, Afrika 10-20% dan
Asia 70-90%. Di Jepang diperkirakan lebih dari 1 juta penduduk menderita
gangguan penglihatan dihubungkan dengan miopia derajat berat. Berdasarkan
bukti tersebut, prevalensi miopia meningkat terutama di Asia (Fredrick,
2002). Survei pada tahun 2001 oleh Saw dkk mendapatkan prevalensi miopia
sebesar 26,1% (23,4-28,8%) pada penduduk di Riau, Indonesia (Saw, 2002).
Prevalensi miopia meningkat pada usia sekolah dan dewasa muda, mencapai
20-25% pada populasi remaja dan 25-35% pada dewasa muda di Amerika
Serikat dan negara berkembang dan menjadi lebih tinggi di beberapa negara
Asia. Prevalensi miopia menurun pada usia diatas 45 tahun, mencapai sekitar
20% pada usia 65 tahun dan 14% pada usia 70 tahun. Beberapa penelitian
menemukan bahwa prevalensi miopia lebih tinggi pada wanita daripada pria.
Prevalensi ini meningkat sesuai dengan pendapatan dan tingkat pendidikan
(Goss, 2006). Sebanyak 30% penderita miopia berasal dari keluarga dengan
golongan ekonomi menengah ke atas (Supartoto, 2006).
11. 14
7.3 Etiologi
Miopia terjadi karena bola mata tumbuh terlalu panjang saat bayi.
Dikatakan pula, semakin dini mata seseorang terkena sinar terang secara
langsung, maka semakin besar kemungkinan mengalami miopia. Hal itu
karena mata sedang berkembang dengan cepat pada tahun-tahun awal
kehidupan. Pada miopia, panjang bola mata anteroposterior dapat terlalu besar
atau kekuatan pembiasan media refraksi terlalu kuat. Dikenal beberapa jenis
miopia seperti:
1. Miopia refraktif, miopia yang terjadi akibat bertambahnya indeks bias
media penglihatan, disebabkan oleh penyimpangan tertentu sifat optik dari
sistem lensa mata, misalnya kelainan kelengkungan kornea atau indeks
bias tertentu dari lensa seperti terjadi pada katarak intumesen dimana lensa
menjadi lebih cembung sehingga pembiasan lebih kuat (Ilyas, 2006a).
Sama dengan miopia bias atau miopia indeks yang terjadi akibat
pembiasan media penglihatan kornea dan lensa terlalu kuat.
2. Miopia aksial, miopia yang terjadi akibat memanjangnya sumbu bola mata
dibandingkan dengan kelengkungan kornea dan lensa yang normal yaitu
melebihi 24 mm. Dalam hal ini rasio panjang mata (anteroposterior)
dengan lebar mata (transversal) lebih besar dari 1. Panjangnya sekitar 1
mm sesuai dengan -3.0 D. Peningkatan panjang mata dikatakan terjadi
hanya pada siang hari (Schmid, 2010).
7.4 Patofisiologi
Pada saat bayi baru lahir, kebanyakan bayi memilki mata hiperopia
namun saat pertumbuhan mata kurang menjadi hiperopia dan pada usia 5-8
tahun menjadi emetropia. Proses untuk mencapai ukuran emetrop ini disebut
emetropisasi. Pada anak dengan predisposisi miopia, proses ini berlanjut
namun mereka menderita miopia derajat ringan pada awal kehidupan. Orang
yang tidak mempunyai faktor predisposisi miopia yang kuat juga dimulai
dengan hiperopia dan emetropisasi sampai bayangan difokuskan tepat di
retina, saat proses tersebut berhenti. Faktor miopigenik seperti membaca
12. 15
dalam waktu lama atau pekerjaan yang membutuhkan aktivitas melihat dekat
secara ekstensif mungkin menyebabkan miopia derajat ringan nantinya.
Pengalaman visual pada awal kehidupan juga mempengaruhi
pertumbuhan mata. Gangguan penglihatan yang terbentuk menyebabkan
pertumbuhan mata yang tidak terkontrol untuk mencapai titik fokus,
melampaui ukuran emetrop sehingga berkembang menjadi miopia aksial.
Aktivitas melihat dekat jangka panjang menyebabkan miopia melalui
efek fisik langsung akibat akomodasi terus-menerus sehingga tonus otot
siliaris menjadi tinggi dan lensa menjadi cembung. Namun berdasarkan teori
terbaru, aktivitas melihat dekat yang lama menyebabkan miopia melalui
terbentuknya bayangan buram di retina (retinal blur) yang terjadi selama
fokus dekat. Bayangan buram di retina ini memulai proses biokimia pada
retina untuk menstimulasi perubahan biokimia dan struktural pada sklera dan
koroid yang menyebabkan elongasi aksial (Fredrick, 2002).
7.5 Faktor risiko
1. Genetik
Faktor risiko yang penting dari miopia adalah faktor keturunan. Orang
tua yang miopia cenderung memiliki anak miopia. Jika kedua orang tua
miopia, maka risiko anak mengalami miopia akan semakin besar (Schmid,
2010). Prevalensi miopia 33-60% pada anak dengan kedua orang tua miopia.
Pada anak yang memiliki salah satu orang tua miopia prevalensinya 23-40%,
dan hanya 6-15% anak mengalami miopia yang tidak memiliki orang tua
miopia (Goss, 2006). Prevalensi miopia pada anak dengan kedua orang tua
miopia adalah 32,9% berkurang sampai 18,2% pada anak dengan salah satu
orang tua yang miopia dan kurang dari 6,3% pada anak dengan orang tua
tanpa miopia (Mutti, 2002). Anak-anak yang miopia cenderung memiliki
orang tua miopia dan menghabiskan waktu melakukan aktivitas dekat lebih
banyak (Yingyong, 2010).
13. 16
2. Lingkungan
Melakukan aktivitas melihat dekat seperti biasa dalam jumlah besar
dapat meningkatkan risiko miopia. Beberapa penelitian melaporkan bahwa
aktivitas melihat dekat meningkatkan risiko perkembangan dan keparahan
miopia (Goss, 2006). Penelitian lain melaporkan tidak ada hubungan antara
miopia dan aktivitas melihat dekat seperti menghabiskan waktu untuk
membaca atau mengerjakan tugas sekolah (Lu, 2009).
Anak-anak berusia 7-9 tahun yang lebih sering membaca cenderung
mengalami miopia (Mei, 2002). Ada hubungan miopia dengan waktu yang
dihabiskan untuk membaca dan melakukan aktivitas melihat dekat yang lain,
lamanya pendidikan, pekerjaan yang membutuhkan penglihatan dekat dan
kemampuan akademik (Goss, 2006). Orang dengan profesi yang banyak
membaca seperti pengacara, dokter, pekerja dengan mikroskop dan editor
mengalami miopia derajat lebih tinggi. Miopia dapat berkembang tidak hanya
pada usia remaja, namun melewati usia 20-30 tahun.
Iluminasi atau tingkat penerangan juga dianggap sebagai faktor
lingkungan yang mempengaruhi timbulnya miopia. Gangguan penerangan dapat
menimbulkan gangguan akomodasi mata, kontraksi otot siliar secara terus-
menerus akan menimbulkan kelelahan mata dan pada akhirnya dapat
menimbulkan gangguan refraksi mata yaitu miopia (Fredrick, 2002).
7.6 Klasifikasi
Menurut derajat beratnya miopia dibagi dalam :
1. Miopia ringan, yaitu miopia yang kurang dari 1-3 dioptri.
2. Miopia sedang, yaitu miopia yang lebih dari 3-6 dioptri.
3. Miopia berat, yaitu miopia yang lebih dari 6 dioptri.
Menurut perjalanan penyakitnya, miopia terbagi menjadi:
1. Miopia stasioner, yaitu miopia yang menetap setelah dewasa.
2. Miopia progresif, yaitu miopia yang bertambah terus pada usia dewasa
akibat bertambah panjangnya bola mata.
14. 17
3. Miopia maligna, yaitu miopia yang berjalan progresif dan dapat
mengakibatkan ablasi retina dan kebutaan. Miopia ini disebut juga miopia
pernisiosa atau degeneratif. Disebut miopia maligna bila miopia lebih dari
6 dioptri disertai kelainan pada fundus okuli dan panjang bola mata
sehingga terbentuk stafiloma postikum yang terletak pada bagian temporal
papil disertai dengan atrofi karioretina. Atrofi retina terjadi setelah atrofi
sklera dan kadang-kadang terjadi ruptur membran Bruch yang dapat
menimbulkan rangsangan untuk terjadinya neovaskularisasi subretina.
Pada miopia dapat terjadi bercak Fuch berupa hiperplasi pigmen epitel dan
perdarahan, atrofi lapis sensoris retina luar dan dewasa akan terjadi
degenerasi papil saraf optik (Ilyas, 2006a).
Menurut umur, miopia terbagi menjadi:
1. Miopia kongenital, yaitu miopia yang sudah ada sejak lahir dan menetap
seumur hidup.
2. Miopia onset muda, yaitu miopia yang terjadi pada usia 5-20 tahun.
3. Miopia dewasa awal, yaitu miopia yang terjadi pada usia 20-40 tahun.
4. Miopia dewasa akhir, yaitu miopia yang terjadi pada usia lebih dari 40
tahun (Schmid, 2010).
7.7 Manifestasi Klinis
Gejala yang paling sering pada miopia tidak terkoreksi berhubungan
dengan penglihatan jauh yang buram (Goss, 2006). Pasien miopia akan
melihat jelas pada jarak dekat dan tidak jelas pada jarak jauh. Penderita
miopia akan mengeluh sakit kepala sering disertai dengan juling dan celah
kelopak yang sempit. Selain itu, mempunyai kebiasaan mengernyitkan mata
untuk mencegah abrasi sferis atau mendapatkan efek pinhole (Ilyas, 2006a).
7.8 Diagnosis
1. Riwayat pasien, yaitu berupa keluhan utama, masalah yang
berhubungan dengan mata, penglihatan dan kondisi kesehatan
secara umum, perkembangan penyakit dan riwayat keluarga,
penggunaan obat dan alergi obat.
15. 18
2. Pemeriksaan mata
a. Ketajaman penglihatan
Pemeriksaan tajam penglihatan sebaiknya di ruangan yang
tidak terlalu terang pada jarak 5-6 meter dari Snellen Chart
karena pada jarak ini mata melihat benda dalam keadaan
istirahat atau tanpa akomodasi.
b. Pergerakan mata, penglihatan dua mata dan akomodasi
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengevaluasi kesejajaran
kedua mata dan gerakannya serta kemampuan akomodasi mata
miopia (Ilyas, 2006b).
c. Refraksi
Pemeriksaan kelainan refraksi secara subyektif dilakukan dengan
kartu lihat jauh dan memasang lensa yang sesuai dengan hasil
pemeriksaan sedangkan secara obyektif dilakukan pemeriksaan
retinoskopi dengan menggunakan retinoskop.
d. Penilaian kesehatan mata dan sistemik.
Dengan pemeriksaan oftalmoskopi direk atau indirek dan
pengukuran tekanan intra okular untuk mengetahui komplikasi
miopia seperti ablasio retina dan glaukoma (Goss, 2006).
7.9 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan miopia adalah dengan mengusahakan sinar yang
masuk mata difokuskan tepat di retina. Orang dengan miopia bisa dikoreksi
dengan kacamata lensa sferis negatif terkecil yang memberikan ketajaman
penglihatan maksimal. Lensa ini memundurkan bayangan ke retina (Vaughan,
2008). Pada keadaan tertentu miopia dapat diatasi dengan pembedahan pada
kornea. Pada saat ini telah terdapat berbagai cara pembedahan pada miopia
seperti:
• Keratotomi radial, merupakan tindakan bedah refraktif pertama yang
dikenal dimana dibuat sayatan kornea radier sebanyak 4-8 buah insisi,
tindakan bedah dapat diulang atau di tambah.
16. 19
• Keratektomi fotorefraktif, yaitu melakukan ablasi dengan sinar pada
permukaan kornea dengan menembus kornea kurang dari 5% sehingga
bagian dalam tidak terganggu. Tindakan bedah ini dapat diulang dan
ketepatannya tinggi.
• Laser assisted in situ interlamelar keratomilieusis (Lasik), yaitu bedah
dengan sinar laser dingin yang memungkinkan melepas jaringan tanpa
efek panas pada jaringan sekitar. Dengan cara ini permukaan kornea dapat
dibuat lebih cembung atau cekung sesuai dengan kelainan refraksi yang
dikoreksi (Ilyas, 2006b).
7.10 Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul pada pasien dengan miopia adalah
terjadinya:
a. Ablasio retina
Resiko untuk terjadinya ablasio retina pada 0 D sampai -4,75 D sekitar
1/6662. Sedangkan pada -5 D sampai -9,75 D resiko meningkat menjadi
1/1335. Lebih dari -10 D resiko ini menjadi 1/148. Dengan kata lain
penambahan faktor risiko pada miopia rendah 3 kali dan miopia tinggi
meningkat menjadi 300 kali (Schmid, 2010).
b. Juling biasanya esotropia atau juling ke dalam akibat mata berkonvergensi
terus-menerus. Bila terdapat juling keluar mungkin fungsi satu mata telah
bekurang atau terdapat ambliopia (Ilyas, 2006a).
c. Myopic maculopaty
Dapat terjadi penipisan koroid dan retina serta hilangnya pembuluh darah
kapiler pada mata dengan miopia tinggi yang berakibat atrofi sel-sel retina
sehingga penglihatan berkurang. Selain itu, dapat juga terjadi perdarahan
retina dan koroid yang bisa menyebabkan hilangnya penglihatan sebagian.
d. Vitreous liquefaction dan detachment
Badan vitreus yang berada di antara lensa dan retina mengandung 98% air
dan 2% serat kolagen yang seiring pertumbuhan usia akan mencair secara
perlahan, khususnya pada penderita miopia. Hal ini berhubungan dengan
17. 20
hilangnya struktur normal kolagen. Pada tahap awal, penderita akan melihat
bayangan-bayangan kecil (floaters). Pada keadaan lanjut, dapat terjadi kolaps
badan vitreus dan kehilangan kontak dengan retina. Keadaan ini nantinya
akan berisiko untuk terlepasnya retina dan menyebabkan kerusakan retina.
e. Glaukoma
Dapat terjadi akibat degenerasi anyaman trabekulum yang merupakan
tempat pengeluaran cairan mata. Peningkatan tekanan pada mata dapat
merusak saraf mata. Glaukoma sudut terbuka lebih sering terjadi pada
mata miopia daripada mata normal.
f. Katarak
Lensa pada mata miopia akan kehilangan transparansi. Pada orang dengan
miopia onset katarak muncul lebih cepat (Schmid, 2010).
7.11 Pencegahan
Sejauh ini hal yang dilakukan adalah mencegah kelainan anak atau
mencegah jangan sampai menjadi parah. Biasanya dokter akan melakukan
beberapa tindakan seperti pengobatan laser, obat tetes tertentu untuk
membantu penglihatan, operasi, penggunaan kacamata dan lensa kontak.
1. Pencegahan lainnya adalah dengan melakukan visual hygiene berikut ini:
• Mencegah terjadinya kebiasaan buruk
• Hal yang perlu diperhatikan adalah anak dibiasakan duduk dengan
posisi tegak sejak kecil.
• Memegang alat tulis dengan benar
• Lakukan istirahat tiap 30 menit setelah membaca atau menonton TV.
• Batasi jam membaca
• Atur jarak baca yang tepat (30 centimeter) dan gunakanlah penerang
yang cukup.
• Jangan membaca dengan posisi tidur atau tengkurap.
2. Beberapa penelitian melaporkan bahwa usaha untuk melihat jauh dan
dekat secara bergantian dapat mencegah miopia.
18. 21
3. Jika ada kelainan pada mata, kenali dan perbaiki sejak awal karena
kelainan yang ada bisa menjadi permanen.
4. Untuk anak dengan tingkat miopia kanan dan kiri yang tinggi segera
konsultasi dengan dokter spesialis mata dan patuhi setiap perintah dokter.
5. Jangan sampai terjadi defisiensi vitamin A
6. Periksa mata anak sedini mungkin jika dalam keluarga ada yang memakai
kacamata.
7. Segera periksa jika kemampuan melihat kurang.
8. Di sekolah sebaiknya dilakukan skrining pada anak-anak (Curtin, 2002).
Selain itu, ada cara lain untuk mencegah terjadinya miopia, yaitu dengan:
1. Melakukan pemeriksaan mata secara berkala setiap 1 tahun sekali atau
sebelum 1 tahun bila ada keluhan (terutama yang telah memakai
kacamata).
2. Istirahat yang cukup supaya mata tidak cepat lelah.
3. Kurangi kebiasaan yang kurang baik untuk mata, misalnya membaca
sambil tiduran dengan cahaya yang redup. Jarak aman untuk membaca
adalah sekitar 30 cm dari mata dengan posisi duduk dengan
penerangan yang cukup baik (tidak boleh terlalu silau atau redup).
Lampu harus difokuskan pada buku yang dibaca.
4. Jaga jarak aman saat menonton televisi. Jarak yang ideal adalah lima
kali diagonal layar televisi dan usahakan posisi layar sejajar dengan
mata dan pencahayaan ruangan yang memadai.
5. Bila bekerja di depan komputer, usahakan setiap 1 – 1,5 jam sekali
selama 5-10 menit untuk memandang ke arah lain yang jauh, dengan
maksud untuk mengistirahatkan otot-otot bola mata. Dan jangan lupa
untuk sering berkedip supaya permukaan bola mata selalu basah.
6. Perbanyak konsumsi makanan, baik sayuran maupun buah-buahan
yang banyak mengandung vitamin A, C, E dan lutein yang berfungsi
sebagai antioksidan karotenoid pemberi warna kuning jingga pada
sayuran dan buah-buahan.
19. 22
7. Tidak merokok dan hindari asap rokok, karena rokok dapat
mempercepat terjadinya katarak dan asap rokok dapat membuat mata
menjadi cepat kering.
8. Gunakanlah kacamata yang dilapisi dengan anti UV bila beraktivitas
di luar ruangan pada siang hari. Hal ini untuk mencegah paparan sinar
matahari yang berlebihan karena sinar matahari mengandung sinar
ultraviolet (UV) yang tidak baik untuk sel-sel saraf di retina.
9. Aturlah suhu ruangan bila menggunakan pendingin ruangan (AC).
Kelembaban yang baik untuk permukaan mata berkisar antara 22-
25⁰C. Jadi bila menggunakan AC jangan terlalu dingin karena
penguapan mata menjadi lebih cepat sehingga mata menjadi cepat
kering (Wardani, 2009).
8. Aktivitas melihat dekat
Istilah ini digunakan untuk menggambarkan kegiatan visual yang
dilakukan pada jarak dekat atau ketika seseorang harus fokus untuk melihat
objek benda secara rinci. Contoh aktivitas melihat dekat adalah membaca,
menulis, menggunakan komputer, menonton televisi, menggambar / melukis,
menjahit, melakukan pekerjaan kerajinan dengan benda kecil dan bermain
game di telepon genggam (Bhutan, 2007).
Orang yang melakukan aktivitas melihat dekat berlebihan mungkin
mengalami miopia palsu atau pseudomiopia. Penglihatan jauh mereka kabur
disebabkan oleh lebih menggunakan mata untuk fokus secara berlebihan.
Setelah lama melakukan aktivitas melihat dekat, mata mereka tidak dapat
kembali fokus untuk melihat dengan jelas di kejauhan. Gejala-gejala biasanya
sementara dan penglihatan dapat kembali jelas setelah mata beristirahat.
Namun, penggunaan mata untuk melihat dekat yang lama dan konstan dapat
menyebabkan penurunan penglihatan jauh permanen (AOA, 2006).
20. 23
B. Penelitian terkait yang pernah dilakukan
Tabel 1. Penelitian Terkait yang Pernah Dilakukan
No Judul Nama Tempat Rancangan Variabel Hasil
Penelitian Peneliti & Penelitian Penelitian Penelitian
Tahun
Penelitian
1 The influence Norway Cohort Kerja Ada hubungan
Bettina
of near-work dekat, yang bermakna
Kinge
on perkemba antara waktu
development ngan yang
of myopia miopia dihabiskan
among untuk
university membaca buku
students. A kuliah,
three-year aktivitas
longitudinal melihat dekat
study among saat libur
engineering dengan
in Norway perkembangan
miopia
2 Hubungan Indah Departem Desain Ada hubungan
Kerja
antara kerja Nurkas en penelitian bermakna
dekat,
dekat dengan ih Stitching menggunak antara kerja
usia, ras,
miopia pada Atletik II an cross dekat dengan
iluminasi,
penjahit Pabrik sectional miopia
miopia
wanita Sepatu
Departemen “X”, 2004
21. 24
Stitching
Atletik II
Pabrik
Sepatu “X”
tahun 2004
3 Hubungan FK USU Penelitian Faktor
Fatika Sari Faktor
faktor Medan, analitik keturunan
Hasibuan keturunan,
keturunan, 2009 dengan berhubungan
lamanya
lamanya desain cross dengan
bekerja
bekerja sectional miopia, lama
jarak dekat
jarak dekat waktu yang
dan miopia
dengan dihabiskan
miopia antara
pada mahasiswa
mahasiswa yang miopia
FK USU dan tidak
miopia tidak
jauh berbeda.
C. Kerangka Konsep
Variabel Independen Variabel Dependen
Aktivitas melihat dekat dalam waktu lama:
• mengerjakan tugas kuliah
• membaca (hobi) MIOPIA
• menonton televisi dan
• menggunakan komputer/laptop
D. Hipotesis
Ada hubungan antara lamanya aktivitas melihat dekat dan miopia pada
mahasiswa tingkat IV FK UPN “Veteran” Jakarta.