1. SUATU PEMIKIRAN TENTANG PENANGGULANGAN
KORUPSI DI INDONESIA
Oleh : Darwin Kadarisman*)
“Penanggulangan” dapat diartikan sebagai pencegahan dan pemberantasan. Di
Indonesia, kedua fungsi pencegahan dan pemberantasan sering rancu. Misalnya,
fungsi KPK disamping untuk “memberantas” juga diharapkan untuk “mencegah”.
Sesuai namanya, KPK lebih cocok memberantas dan inipun sudah sangat berat
karena banyaknya kasus, kurang petugas dan fasilitas. Kalau mau revisi undang-
unadang Tipikor, mestinya KPK tidak usah menangani pencegahan karena itu domain
eksekutif. Bolehlah kalau sekedar memberi umpan balik dan saran-saran perbaikan
peraturan dsb. Bahkan bisa dibudayakan rapat kerja satu kali dalam setahun khusus
membahas masukan (modus korupsi, kelemahan peraturan dll) dari aparat
pemberantas korupsi (KPK, Kejaksaan, Kepolisian) dengan BPK, Bappenas,
Kemenkeu, Kemenpan dsb untuk memperbaiki peraturan dan kebijakan tentang
pengelolaan proyek/dana. Instansi pemberantas sebenarnya banyak (termasuk
pegawainya) seperti kepolisian dan dan kejaksaan yang organisasinya ada sampai
ketingkat kabupaten/kota. Akan tetapi kurang efektif karena orang-orang salah pilih
dalam rekrutmen akibatnya memiliki tenaga yang kurang mampu dan bermental
korup. Disamping itu komitmen dan motivasi institusinya juga kurang kuat.
Pencegahan korupsi semestinya dilakukan oleh eksekutif (Pemerintah dan Pemda).
Fungsi manajemen yang lebih tepat untuk pencegahan ini adalah pengendalian
(control). Pengendalian terdiri dari dua bentuk yaitu pengendalian pencegahan
(preventive control) dan pengendalian korektif (corrective control). Pengendalian
pencegahan : mekanisme yang dimaksudkan untuk mengurangi kesalahan sehingga
dapat meminimalkan kebutuhan tindakan koreksi. Beberapa contoh perangkat yang
digunakan pada pengendalian pencegahan adalah peraturan, standar,
prosedur(SOP), rekrutmen dan seleksi pejabat/pegawai dan pelatihan.
Pengendalian korektif : mekanisme untuk mengurangi atau menghilangkan
perilaku atau hasil yang tidak diinginkan sehingga mencapai kesesuaian dengan
peraturan dan standar institusi. Contoh perangkat pengendalian korektif antara lain
mengukur/menguji proses selama pelaksanaan dan segera melakukan tindakan
koreksi tentang jika ada penyimpangan.
Di Indonnesia saat ini institusi pencegahan disisi hulu adalah Kementerian
Aparatur Negara yang seharusnya menyusun berbagai ketentuan tentang sistem
rekrutmen pejabat, perilaku dan kompensasi. Badan Kepegawaian Negara yang
menyusun sistem rekrutmen pegawai negeri yang mengiliminer masuknya pegawai
yang berakhlak kurang baik (psikotest?). Perlu dianalisis jumlah PNS yang
diperlukan karena dinilai terlalu banyak, padahal pekerjaan telah dibantu komputer
dan Web. Jumlah yang lebih kecil (1/3 dari sekarang) memungkinkan
meningkatkan gaji secara bermakna. Apalagi diera otonomi daerah, kok jumlah
PNS pusat nambah terus? Berbagai undang-undang dan peraturan perlu direview
secara mendalam oleh Kemenhumkam untuk mendukung penanggulangan korupsi.
Bappenas, Kementerian Keuangan, Dirjen Cipta Karya harus memperbaiki
Kepres tentang Pengelolaan Proyek Pembangunan yang selama ini cenderung
2. diperbaiki secara “tambal sulam” dan masih mudah ditembus para koruptor. Standar
harga bangunan yang dususun Dirjen Cipta Karya setiap tahun cenderung terlalu
besar (25-30 %) sehingga merugikan keuangan negara.
Institusi pemeriksa/audit proyek pembangunan juga tumpang tindih dan
mengeluarkan dana sangat besar (untuk gaji, fasilitas dan overhead), tapi kurang
efektif. BPKP cenderung “melindungi” Kepala Pemerintahan dan ITJEN cenderung
“melindungi” Menteri. Keduanya tidak ada dalam UUD 1945 karena hanya menyebut
BPK sebagai institusi pmeriksa keuangan. Pada era Habibi BPKP nyaris bubar tapi
entah kenapa bisa eksis lagi. Ketiga institusi ini memiliki standar pemeriksaan yang
berbeda. Sering terjadi suatu kasus dinilai benar oleh ITJEN tapi disalahkan BPKP
dan BPK. Begitu pula suatu ketika disalahkan BPK tetapi BPKP bilang benar. Ini
sangat menggangu dan membingungkan pengelola proyek. Disarankan ITJEN
sebaiknya berperan dalam pengendalian proyek baik preventive maupun correctiv
control. Pada sisi preventif control ITJEN dapat mengendalikan rekrutmen pejabat
(eselon II kebawah) dan Pejabat Pemegang Komitmen (PPK) pada sisi corecctive
control dapat mengawal proyek-proyek bernilai besar mulai dari tahap
perencanaan/perancangan, pelelangan dan pelaksanaan. Jumlah pegawai ITJEN
yang ratusan itu dapat didistribusikan keseluruh direktorat Kementerian. Apa yang
telah diterapkan di Kemenag perlu disempurnakan, distandarisasi dan disebarkan
keseluruh kementerian dan Pemda.
Adapun BPKP, sebaiknya dilebur saja untuk memperkuat barisan BPK sehingga
memiliki persepsi dan cara kerja yang sama. Perlu dianalisis jumlah pegawai BPK
untuk efisiensi. Kalau ekskutif juga mau berperan, istilah “pengawasan melekat”
yang tidak jelas itu sebaiknya diintegrasikan kedalam rapat-rapat Monev yang
sampai saat masih belum efektif padahal dinilai sangat penting dalam menilai kinerja
institusi secara berjenjang (jenjang semakin tinggi mestinya lebih mengarah
memonev outcomes dan impacts proyek pembangunan). Indikator kinerja mestinya
telah ditentukan pada saat proses perencanaan. Saat ini sistem akuntabilitas kinerja
telah melaksana, tetapi perlu direvitalisasi dengan menekankan keterlibatan pejabat
struktural dari Menteri kebawah secara aktif sehingga tidak ada alasan seorang
menteri “tidak tahu” apa-apa dan bisa lepas tangan tentang pelaksanaan
kegiatan/proyek, apalagi yang nilainya besar. Mestinya dalam rapat evaluasi (3
bulanan) yang diselenggarakan secara teratur, semua kegiatan proyek/rutin dievaluasi
bersamaan karena berkaitan dengan pencapaian tujuan kementerian secara
menyeluruh.
___________________________________________________________________________
*) Dosen Universtas Brawijaya, Malang