Dokumen tersebut membahas tentang perkembangan infrastruktur transportasi di Kawasan Perkotaan Yogyakarta dan rencana pengembangannya. Yogyakarta mengalami peningkatan jumlah kendaraan pribadi sejak 1990-an yang menyebabkan kemacetan. Pemerintah membangun jalan lingkar dan flyover untuk mengurangi kemacetan. Saat ini, transportasi publik seperti BRT Trans Jogja digunakan untuk wisatawan, namun belum mengurangi ketergantun
Critical review insights debate about urban decline urban regeneration
Yogyakarta greater area Transportation Infrastructure Financing
1. TUGAS MATA KULIAH
MANAJEMEN PRASARANA BERKELANJUTAN
(MPP603)
Dosen Pengampu:
Dr-ing. Wisnu Pradoto, ST, MT.
PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR TRANSPORTASI KAWASAN PERKOTAAN YOGYAKARTA
Disusun oleh:
BRAMANTIYO MARJUKI
21040116410036
MAGISTER PEMBANGUNAN WILAYAH DAN KOTA
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2017
2. 1
I. Perkembangan Kawasan Perkotaan Yogyakarta
Yogyakarta merupakan salah satu kota besar di Pulau Jawa dan mempunyai peran
penting baik di masa pra dan pasca kemerdekaan Indonesia. Sebagaimana kota besar lain di Pulau
Jawa, Yogyakarta juga mengalami fenomena Urban Sprawl atau Perluasan kawasan perkotaan
yang dicirikan dengan terus berkurangnya lahan pertanian dan densifikasi lahan terbangun ke
arah luar Kota Yogyakarta (Giyarsih, 2001). Lebih lanjut, Giyarsih (2001) menyebutkan bahwa
keberadaan fasilitas pendidikan tinggi dan terbatasnya lahan di Kota Yogyakarta sebagai salah
satu faktor yang menyebabkan meluasnya lahan terbangun ke arah luar Kota Yogyakarta.
Deskripsi lebih lanjut mengenai proses urbanisasi yang memicu Urban Sprawl dan latar belakang
sosial ekonomi yang mendasari fenomena tersebut di Yogyakarta telah diuraikan antara lain oleh
Pradoto (2011). Dalam perkembangannya, fenomena Urban Sprawl telah menyebabkan
munculnya permasalahan perkotaan di Yogyakarta seperti keberadaan permukiman kumuh
(Soemardiono dan Gusma, 2014), Pengelolaan Sampah (Faizah, 2008), transportasi (Sugiyanto et
al, 2010), kebutuhan perumahan dan permukiman (Suradi dan Setiawan, 2004), tekanan
terhadap lahan dan konversi lahan (Konig et al, 2010), Pencemaran udara (Suparwoko dan
Firdaus, 2007), suplai air tanah (Sensamras et al, 2014).
Permasalahan perkotaan Yogyakarta dalam tahun – tahun terakhir ini tidak hanya berasal
dari fenomena Urban Sprawl semata. Sektor pariwisata Yogyakarta sejak tahun 2012
menunjukkan adanya peningkatan secara signifikan. Kunjungan wisatawan terus bertambah,
utamanya pada liburan akhir pekan dan liburan panjang. Berbagai fasilitas pendukung wisata
terus dibangun, seperti mall, hotel, dan sentra kuliner. Gairah sektor pariwisata ini yang turut
menambah kesemrawutan kota, dan memperluas kemacetan lalu lintas, utamanya di sepanjang
jalan lingkar Kota Yogyakarta dan jalan – jalan di dalam kota.
Saat ini Yogyakarta dan beberapa kecamatan di sekitarnya (Urban Fringe Yogyakarta)
telah ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN) dalam Peraturan Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi Nomor 2 Tahun 2010, dengan nama Kawasan Perkotaan Yogyakarta. Kawasan
Perkotaan Yogyakarta adalah kawasan perkotaan yang terdiri dari Kota Yogyakarta sebagai inti
dan beberapa kecamatan di sekitarnya (fringe) yang masuk dalam wilayah Kabupaten Bantul dan
Sleman. Kawasan ini mulai dikenal sejak adanya implementasi Yogyakarta Urban Development
Project pada Tahun 1990 (Faizah dan Hendarto, 2013). Pada akhir Tahun 90-an sebuah inisiasi
kerjasama antar daerah dalam penyediaan prasarana perkotaan digulirkan dengan nama
pengembangan koridor Yogyakarta – Sleman – Bantul (Gambar 1) dan dikelola melalui sebuah
Sekretariat bersama (lihat Prameswari et al, 2013; Legates dan Hudalah, 2014). Perkembangan
terakhir pada Tahun 2010 kawasan ini ditetapkan dalam kebijakan penataan ruang Daerah
Istimewa Yogyakarta (PERDA Nomor 2 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah
3. 2
Istimewa Yogyakarta) sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN) dan terdiri dari beberapa
kecamatan (Gambar 2).
Gambar 1. Wilayah KARTAMANTUL dan Urban Fringe Yogyakarta
Sumber : Legates dan Hudalah, 2014
Gambar 2. Kawasan Perkotaan Yogyakarta
Sumber : Lampiran RAPERDA Rencana Tata Ruang Wilayah Kawasan Perkotaan Yogyakarta
Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta saat ini telah menyusun Peraturan Daerah
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kawasan Perkotaan Yogyakarta yang mengatur penataan
ruang untuk Kawasan Perkotaan Yogyakarta, namun belum disahkan menjadi peraturan daerah.
4. 3
Dari naskah rancangan peraturan daerah tersebut yang tersedia secara online dari situs
http://www.dpupesdm.jogjaprov.go.id/informasi-publik/peraturan/167-raperdataru.html,
dapat diketahui pembagian lebih detil kelurahan yang termasuk ke dalam Kawasan Perkotaan
Yogyakarta (luas kawasan sebesar 186,87 Km2) yang meliputi:
a. 14 (empat belas ) Kecamatan di Kota Yogyakarta.
b. 6 (enam) Kecamatan di Kabupaten Sleman meliputi:
1) Kecamatan Gamping meliputi wilayah Desa Banyuraden, Ambar Ketawang,
Trihanggo, Nogotirto;
2) Kecamatan Godean meliputi wilayah Desa Sidoarum, Sidomoyo;
3) Kecamatan Mlati meliputi wilayah Desa Sinduadi, Sendangadi;
4) Kecamatan Ngaglik meliputi wilayah Desa Minomartani, Sinduharjo;
5) Kecamatan Depok meliputi wilayah Desa Caturtunggal, Condongcatur,
Maguwoharjo;
6) Kecamatan Ngemplak meliputi wilayah Desa Wodomartani.
c. 3 (tiga) Kecamatan di Kabupaten Bantul meliputi:
1) Kecamatan Banguntapan meliputi wilayah Desa Jagalan, Banguntapan,
Singosaren, Baturetno, wirokerten, Tamanan, Potorono;
2) Kecamatan Sewon meliputi wilayah Desa Panggungharjo, Bangunharjo;
3) Kecamatan Kasihan meliputi wilayah Desa Ngestiharjo, Tamantirto, Tirtonirmolo.
Implementasi konsep Kawasan Perkotaan Yogyakarta muncul karena dalam
kenyataannya, permasalahan perkotaan di Yogyakarta tidak hanya bisa ditangani oleh
pemerintah kota sendiri, tetapi memerlukan bantuan dan kerjasama dengan dua kabupaten di
sekitarnya (Sleman dan Bantul). Yogyakarta telah berkembang menjadi wilayah perkotaan yang
mempunyai ikatan fungsional, jadi penanganan dan pengelolaannya tidak bisa dibatasi dalam
lingkup kewenangan wilayah administratif saja.
II. Profil Umum Perkembangan Infrastruktur Transportasi
Kawasan Perkotaan Yogyakarta
Sampai pada pertengahan tahun 1990-an, penduduk Kota Yogyakarta dan sekitarnya
masih banyak yang memberdayakan transportasi sepeda dalam menjalankan aktivitas sehari-
hari. Oleh karena itu, sampai pada tahun 1990, tidak terlalu banyak pembangunan sarana dan
prasarana transportasi yang dilakukan di Yogyakarta. Transportasi publik pada saat itu dilayani
5. 4
oleh angkutan bus dan minibus perkotaan yang beroperasi di Kota Yogyakarta dan kawasan
perkotaan di luar batas administratif kota, Selain, bus dan mini bus, sampai tahun 1976 di
Yogyakarta masih beroperasi angkutan kereta api yang menghubungkan koridor pusat kota
Yogyakarta (Stasiun Yogyakarta), Kota Magelang, dan Kota Bantul di Palbapang. Namun layanan
ini mati akibat sarana dan prasarana yang tidak terawat dan membuat masyarakat enggan
menggunakan moda transportasi ini akibat waktu tempuh yang lama.
Pertengahan tahun 1990-an juga menandai peningkatan penggunaan kendaraan pribadi
Sepeda Motor dan Mobil di Yogyakarta. Hal ini terkait dengan munculnya skema kredit kendaraan
bermotor, sehingga masyarakat dapat menikmati kendaraan pribadi bermotor tanpa harus
menunggu terkumpulnya uang. Fenomena peningkatan jumlah kendaraan pribadi ini mulai
menyebabkan jalan dan lalu lintas perkotaan di Yogyakarta menjadi semakin ramai. Guna
mengantisipasi potensi kemacetan yang dapat muncul di masa depan, pemerintah membangun
jalan lingkar yang mengeliingi Kawasan Perkotaan Yogyakarta melalui skema pembiayaan APBN,
yang diselesaikan tahun 1996. Selain itu juga dibangun tiga buah fly over di Janti, Kaliabu, dan
Lempuyangan. Fly over Janti dibangun guna memperlancar arus lalu lintas di Jalan Lingkar Timur
Yogyakarta, sementara fly over Lempuyangan dan Kaliabu dibangun guna mengurangi
perlintasan sebidang dengan jalur kereta api.
Peningkatan jumlah kendaraan bermotor juga menyebabkan semakin banyaknya
angkutan bus dan minibus perkotaan yang gulung tikar dan penutupan trayek mulai sering
terjadi. Sampai pada tahun 2004, hanya tersisa tidak lebih dari 10 trayek angkutan perkotaan di
Yogyakarta. Penurunan kinerja transportasi publik membuat masyarakat menjadi semakin
tergantung dengan kendaraan pribadi, dan Yogyakarta berubah menjadi kota dengan
ketergantungan pada kendaraan pribadi yang kuat.
Urbanisasi, peningkatan jumlah penduduk alami, dan kunjungan wisatawan yang terus
meningkat membuat permasalahan kemacetan dan kesemrawutan lalu lintas terus meningkat
dari tahun ke tahun. Sementara transportasi publik di Yogyakarta sudah tidak mendukung, oleh
karena itu pemerintah provinsi dan pemerintah kota kemudian menginisiasi layanan Bus Rapid
Transit Trans Jogja (BRT Trans Jogja) sekitar tahun 2010. Layanan trans jogja terus berkembang
dan dimanfaatkan oleh wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta untuk melakukan aktivitas
transportasi dari satu obyek wisata ke obyek wisata lain. Namun demikian, layanan ini belum
mampu menghilangkan ketergantungan masyarakat Kawasan Perkotaan Yogyakarta pada
transportasi pribadi sepeda motor dan mobil. Penambahan prasarana jalan seperti pembangunan
Fly Over Jombor pada tahun 2009 yang diselesaikan tahun 2012 belum mampu untuk mengurangi
ketergantungan dan permasalahan kemacetan ini. Terlebih booming pariwisata di Yogyakarta
6. 5
yang ditandai dengan peningkatan investasi Mall, Hotel dan Wisata Kuliner, semakin menambah
transportasi perkotaan yang ada.
III. Rencana Pengembangan Infrastruktur Transportasi Kota
Yogyakarta dan Sekitarnya
Permasalahan transportasi perkotaan di Yogyakarta seperti kemacetan dan
kesemrawutan lalu lintas harus dicarikan jalan keluarnya. Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kota
Yogyakarta telah menyusun rencana pengembangan transportasi masa depan di Yogyakarta.
Pemerintah Kota Yogyakarta saat ini telah membuat rencana pengelolaan dan pengembangan
transportasi perkotaan yang dirangkum dalam Tabel 1.
Tabel 1.
7. 6
Penataan transportasi guna mendukung sektor pariwisata diwujudkan antara lain dalam
bentuk pengaturan rute dan pembangunan lokasi taman parkir (Gambar 1), implementasi konsep
park and ride (Gambar 2) dan pengembangan serta reaktivasi kembali transportasi
perkeretaapian dalam dan lintas perkotaan yang sebelumnya telah mati (Gambar 3).
Gambar 1.
Gambar 2.
8. 7
Gambar 3.
IV. Pembiayaan Infrastruktur Transportasi Perkotaan
Secara umum, sumber pembiayaan pembangunan dapat dibagi menjadi dua kategori,
yaitu, konvensional dan non-konvensional. Pada sumber konvensional, dana berasal dari PAD,
DAU / DAK, Bantuan Dana Kontingensi, Dana Darurat, Pajak dan Restribusi. Sedangkan sumber
non-konvensional, dana berasal dari Kemitraan Pemerintah – Swasta, Kewajiban Paksa, Investasi
dan Pembiayaan oleh Masyarakat (Budianti, 2013).
Secara khusus, sumber pembiayaan yang lazim digunakan bisa diperoleh dari berbagai
sumber (Budianti, 2013), seperti:
1. Pajak bahan bakar, merupakan salah satu sumber pendapatan yang biasa digunakan di
berbagai Negara di dunia karena semakin banyak kendaraan yang berjalan semakin
banyak bahan bakar yang dipakai. Itu artinya, semakin besar sumbangan terhadap dana
transportasi.
2. Road pricing, merupakansuatu pungutan kepada masyarakat yang akan memasuki suatu
kawasan (biasanya dipusat kota) dengan tujuan untuk mengurangi beban lalu lintas
dikawasan yang dikendalikan itu. Sudah diterapkan diberbagai kota diantaranya
Singapore, London, Stockholm dan beberapa kota lainnya.
9. 8
3. Pajak kendaraan bermotor, merupakan pajak tahunan yang masuk ke kas daerah.
4. Retribusi parkir, merupakan salah satu bentuk yang juga digunakan untuk
mengendalikan jumlah kendaraan yang menuju atau masuk ke suatu kawasan.
Selain melalui kebijakan di atas, pembiayaan penyediaan infrastruktur dapat melalui
skema Kerjasama Pemerintah – Swasta (KPS). Dasar hukum KPS antara lain adalah Peraturan
Presiden Nomor 67/2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam
Penyediaan Infrastruktur. Pada dasarnya kerja sama antara pemerintah dan swasta tersebut
terkait dengan kerja sama pengadaan investasi. Secara konvesional kerja sama selama ini dalam
bentuk kontrak layanan (Service Contract) yang hampir seluruhnya adalah investasi publik (dari
Pemerintah), kemudian perlu pengembangan yang lebih banyak peranan investasi dari pihak
swasta mulai dari semacam kontrak operasi dan pemliharaan (O&M Contract), BLT (Leasing),
BOT/ROOT, BOOT (DBFO)/ROOT, BOO/ROO, sampai dengan semua investasi dari swasta dalam
bentuk privatization/divestiture. Gambaran model kerjasama pemerintah – swasta disajikan pada
Gambar 4 di bawah ini.
Gambar 4.
Sumber: Budianti, 2013
Adapun mengenai bentuk kerjasama Pemerintah – Swasta dalam pembangunan dan
pembiayaan penyediaan infrastruktur secara skematis disajikan pada Tabel 2 di bawah ini.
10. 9
Tabel 2. Bentuk Kerjasama Pemerintah dan Swasta
Bentuk Usaha Contoh Siapa yang
menyediakan
pelayanan
Bentuk kerjasama antara
pemerintah dengan swasta
Komersialisasi /
Korporasi
Bandara milik pemerintah atau
perusahaan kereta api
BUMN Tidak bisa
Privatisasi Pelabuhan khusus, Bandara
khusus
Perusahaan
swasta
Tidak bisa, tapi swastanya akan terikat
peraturan perundangan
Outsourcing Kontrak perawatan jalan jangka
panjang
Perusahaan
swasta
Pemerintah sebagai pemberi
pekerjaan, swasta sebagai kontraktor
KMS/PPP Perencanaan, konstruksi dan
operasi jalan tol baru
Perusahaan
swasta
Pemerintah sebagai pemerintah dan
swasta sebagai kontraktor, atau
membentuk joint venture antara
pemerintah dan swasta
Sumber : Budianti, 2013
Proses diawali dengan perencanaan makro proyek infrastruktur yang akan dan atau
harus dibangun, kemudian dipilah menjadi proyek yang wajib dibangun oleh pemerintah dan
proyek-proyek yang bisa dikerjasamakan dengan swasta baik secara penuh ataupun sebagian.
Diawali dengan persiapan, dilanjutkan dengan perumusan kelayakan proyek setelah itu
dilakukan proses pengadaan yang kompetitif dan transparan, dilanjutkan dengan pembangunan
dan setelah itu penyerahan dari proyek infrastruktur untuk dipakai.
V. Pembiayaan Infrastruktur Transportasi Kawasan Perkotaan
Yogyakarta
Pembiayaan infrastruktur transportasi Kawasan Perkotaan Yogyakarta dapat dilihat dari
aspek sarana dan prasarana. Dilihat dari aspek prasarana, seluruh prasarana transportasi yang
meliputi jalan dan kelengkapan jalan di Kawasan Perkotaan Yogyakarta dibiayai dari anggaran
pemerintah, baik melalui APBN, APBD, maupun pendapatan daerah. Pembangunan jalan lingkar
Yogyakarta sebagai contoh. Pembangunan dan perawatan jalan lingkar dikelola oleh pemerintah
pusat melalui Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat. Sementara untuk jalan dengan status jalan provinsi dan kabupaten dikelola oleh masing-
masing pemerintah daerah yang berwenang. Dalam pelaksanaan pengelolaan dan perawatan,
pemerintah menggandeng kontraktor swasta atau dirawat mandiri oleh pemerintah, namun
pembiayaannya murni dari pemerintah.
11. 10
Selain oleh Kementerian dan Dinas Pekerjaan Umum, lembaga pemerintah lain yang
terlibat dalam penyediaan prasarana adalah Kementerian dan Dinas Perhubungan Daerah.
Instansi ini dalam penyediaan prasarana bertanggung jawab dalam penyediaan kelengkapan
jalan seperti penerangan jalan, marka jalan, lampu apill, dan kelengkapan lainnya. Sebagaimana
dengan prasarana jalannya sendiri, pembiayaan penyediaan kelengkapan jalan berasal dari
pemerintah walaupun dalam pelaksanaannya dapat dilakukan oleh perusahaan swasta.
Terkait dengan sumber pendanaan, selain dari anggaran, pembiayaan juga berasal dari
pendapatan pemerintah dari pajak kendaraan, retribusi parkir, maupun pajak bahan bakar, yang
mekanisme penganggaran dan pemanfaatan dana pajak tersebut diatur oleh peraturan
perundangan. Di Yogyakarta saat ini belum ada kebijakan road pricing, sehingga pembiayaan dari
sistem tersebut belum tersedia di Yogyakarta.
Dilihat dari aspek sarana, transportasi publik di Kawasan Perkotaan Yogyakarta dilayani
oleh perusahaan – perusahaan swasta dalam bentuk koperasi, yang menyediakan layanan
angkutan perkotaan dan angkutan dari pusat kota ke kawasan suburban dan periurban.
Perusahaan yang beroperasi antara lain PUSKOPKAR, ASPADA, KOPATA, KOBUTRI, dan Koperasi
Pemuda (Gambar 5). Koperasi – koperasi ini menyediakan sarana transportasi berupa bus
perkotaan, dan mini bus yang beroperasi pada trayek-trayek yang telah diresmikan pemerintah.
Selain oleh koperasi, penyediaan sarana juga dilaksanakan oleh masyarakat secara perorangan
yang beroperasi pada trayek tertentu. Usaha sarana transportasi perorangan biasanya
beroperasi pada trayek antar kota dalam provinsi seperti trayek Yogya – Bantul – Srandakan –
Brosot, Yogya – Sleman – Tempel, Yogya – Godean – Kenteng, Yogya – Wonosari, Yogya –
Parangtritis, dan Yogya – Kaliurang. Perusahaan – perusahaan tersebut saat ini masih beroperasi,
namun jumlah armada dan trayek yang dilayani terus berkurang akibat masyarakat cenderung
memilih menggunakan kendaraan pribadi di Yogyakarta. Kinerja dari moda transportasi bus
perkotaan ini terus menurun dari tahun ke tahun. Selain perusahaan swasta, di Yogyakarta juga
pernah dilayani angkutan perkotaan yang dioperasikan oleh BUMN, yaitu PT. DAMRI, namun
layanannya juga terus berkurang dari tahun ke tahun.
Gambar 5. Contoh Layanan Bus Kota di Yogyakarta yang Dilayani Perusahaan Swasta
12. 11
Permasalahan tidak efisiennya transportasi perkotaan di Yogyakarta membuat
Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kota Yogyakarta menginisiasi layanan BRT (Bus
Rapid Transit) yang juga sudah sukses dilaksanakan di kota lain seperti Jakarta dan Semarang.
Layanan BRT di Yogyakarta disebut dengan Trans Jogja (Gambar 6) dan saat ini telah memasuki
tahun ke Sembilan dari operasinya. Layanan Trans Jogja dimulai pada tahun 2008 dan dikelola
oleh Dinas Perhubungan yang kemudian dikelolakan pada Perusahaan Konsorsium PT. Jogja
Tugu Trans. Konsorsium Jogja Tugu Trans terdiri dari beberapa perusahaan dan koperasi yang
tadinya melayani angkutan perkotaan di Yogyakarta, baik milik pemerintah (BUMN) seperti
DAMRI dan swasta seperti KOPATA, ASPADA, PUSKOPKAR, dan KOPERASI PEMUDA. PT. Jogja
Tugu Trans selain mengoperasikan sarana dan layanan transportasi juga terlibat langsung dalam
pembiayaan pengadaan sarana, baik melalui penunjukan langsung maupun lelang, meskipun PT
Jogja Trans Tugu masih memperoleh bantuan sarana bus dari Kementerian Perhubungan.
Dengan demikian, layanan BRT Trans Jogja merupakan bentuk KPS di sektor transportasi yang
pertama kali diimplementasikan di Kawasan Perkotaan Yogyakarta.
Gambar 6. Sarana, Prasarana dan Rute BRT Trans Jogja
Untuk moda transportasi kereta api perkotaan, di Kawasan Perkotaan Yogyakarta saat ini
belum tersedia layanan tersebut. Layanan yang sudah ada adalah layanan kereta api komuter
Prambanan Ekspress yang melayani angkutan kereta api dari Purworejo dan Surakarta menuju
Yogyakarta. Layanan ini dioperasikan oleh PT. Kereta Api Indonesia yang merupakan BUMN milik
pemerintah, jadi pembiayaan sarana dan prasarana masih menjadi kewenangan pemerintah
melalui Kementerian Perhubungan. Dalam pembahasan sebelumnya, pemerintah provinsi dan
13. 12
kota merencanakan membangun layanan transportasi kereta api perkotaan yang mengelilingi
kawasan perkotaan. Namun belum terdapat informasi mengenai bagaimana skema pembiayaan
dan implementasi pelaksanaan rencana ini. Rencana peningkatan infrastruktur kereta api
perkotaan di Kawasan Perkotaan Yogyakarta yang telah terimplementasi dan sedang
dikonstruksikan saat ini adalah elektrifikasi jalur kereta api Surakarta – Yogyakarta guna
meningkatkan layanan kereta api komuter di antara kedua kota tersebut. Layanan kereta api
komuter di antara kedua kota tersebut akan ditingkatkan menjadi layanan kereta listrik yang
dapat melayani lebih banyak penumpang, sebagaimana telah sukses diterapkan di Kawasan
Perkotaan Jabodetabekpunjur.
Daftar Pustaka
Carey, P. (1986). Yogyakarta: from sultanate to revolutionary capital of Indonesia, the politics
of cultural survival. Indonesia Circle, 39, 19-29.
Faizah. (2008). Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Berbasis Masyarakat (Studi Kasus di Kota
Yogyakarta). Thesis. Semarang: Universitas Diponegoro.
Faizah, A. N., & Hendarto, M. (2013). Analisis Difusi Keruangan di Sekitar Kawasan Perkotaan
Yogyakarta. Diponegoro Journal of Economics, 2 (3), 1-9.
Giyarsih, S.R. (2001). Gejala Urban Sprawl Sebagai Pemicu Proses Densifikasi Permukiman Di
Daerah Pinggiran Kota (Urban Fringe Area) Kasus Pinggiran Kota Yogyakarta. Jurnal
Perencanaan Wilayah dan Kota, 12 (1), 40-45.
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2010 Tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2009-
2029.
Pontoh, N.K., & Kustiwan, I. (2009). Pengantar Perencanaan Perkotaan. Bandung: Penerbit
ITB.
Pradoto, W. (2011). Dynamics Of Peri-Urbanization And Socioeconomic Transformation: Case
of Metropolitan Yogyakarta, Indonesia. International Journal Of Arts & Sciences, 4
(27), 19-29.
Prameswari, S. A. A., Muluk, M. R. K., & Wanusmawatie, I. (2013). Kerjasama Antar Daerah
Dalam Sektor Persampahan Berbasis Pembangunan Berkelanjutan. Jurnal
Administrasi Publik, 1 (7), 1323-1330.
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tentang Rencana Tata
Ruang Kawasan Perkotaan Yogyakarta Tahun 2012-2032.
Rahayu, S. (2009). Kajian Konversi Lahan Pertanian di Daerah Pinggiran Kota Yogyakarta
Bagian Selatan (Studi Kasus di Sebagian Daerah Kecamatan Umbulharjo). Jurnal
Pembangunan Wilayah dan Kota, 5 (3), 365.
14. 13
Ramdhani, S., Istiqomah, E.N., & Ardiyanti, G. K. (2012). The History of Yogyakarta, an
Education City. International Proceedings of Economics Development and Research,
58, 21-24.
Ramlan, N., & Rudiarto, I. (2015). Pengendalian Urban Sprawl Di Wilayah Pinggiran (Studi
Kasus: Perkembangan Kota di Indonesia dan Prancis). Jurnal Pembangunan Wilayah
& Kota, 11 (4), 444-454
Rini, M. S., & Hadi, B. S. (2013). Penyusunan Neraca Perubahan Penggunaan Lahan di
Kecamatan Umbulharjo Kota Yogyakarta Berbantuan Teknik Penginderaan Jauh dan
Sistem Informasi Geografis. Geomedia, 11 (2), 139-154.
Sastrawati, I., & Santoso, L. (2011). Perubahan Guna Lahan Di Suburban Selatan Kota
Makassar. Prosiding Hasil Penelitian Fakultas Teknik Unhas, 5, 978–979.
Sensamras, P. (2014). Groundwater Pollution Hazard Assessment in Yogyakarta City,
Yogyakarta Special Province, Indonesia. Thesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada.
Septirina, N. S., Takeo, O., & Satoru, K. (2015). Conservation of Historical Architecture in
Malioboro Street, Yogyakarta City, Indonesia. Procedia – Social and Behavioral
Sciences, 225, 259-269.
Soemardiono, B., & Gusma, F. A. (2014). The Development of Code River Area in Yogyakarta
as a Sustainable Urban Landscape Asset. Acknowledging Local Traditional
Knowledge. International Review for Spatial Planning and Sustainable Development,
2 (4), 4-18.
Sugiyanto, G., Malkhamah, S., Munawar, A., & Sutomo, H. (2010). Estimation of Congestion
Cost of Private Passenger Car Users in Malioboro Yogyakarta. Civil Engineering
Dimension, 12 (2), 92-97.
Sullivan, E.J., & Yen, J. (2013). Smart Growth: State Strategies in Managing Sprawl. Urban
Lawyer, 45 (2), 349-405.
Suparwoko, & Firdaus, F. (2007). Profil Pencemaran Udara Kawasan Perkotaan Yogyakarta:
Studi Kasus di Kawasan Malioboro, Kridosono, dan UGM. Logika, 4 (2).
Suradi., & Setiawan, B. (2004). Efisiensi Pemanfaatan Lahan Perkotaan Melalui
Pengembangan Pengisian di Yogyakarta. Manusia dan Lingkungan, 11 (1), 1-11.
Susilo, B. (2013). Simulasi Spasial Berbasis Sistem Informasi Geografi dan Cellular Automata
Untuk Pemodelan Perubahan Penggunaan Lahan di Daerah Pinggiran Kota
Yogyakarta. Jurnal Bumi Lestari, 13 (2), 327-340.
Stomp, A. (2013). An International Survey of Urban Sprawl Case Studies. Geography Compass,
7 (7), 504-516.
The World Bank. (2016). Indonesia Economic Quarterly Report June 2016 Resilence Through
Reforms. Jakarta: World Bank Group.
Torrens, P. M. (2006). Simulating Sprawl. Annals of the Association of American Geographers,
96 (2), 248-275.