SlideShare a Scribd company logo
1 of 18
Download to read offline
DILEMA IDENTITAS ETNIS TIONGHOA
DALAM FILM TELEVISI (FTV) INDONESIA
(Analisis Semiotik Tentang Representasi Identitas Etnis Tionghoa
Di Singkawang Dalam FTV Bakpao Ping Ping)
NASKAH PUBLIKASI
Diajukan Untuk Memenuhi Syarat
Guna Mencapai Gelar Sarjana S-1
Program Studi Ilmu Komunikasi
Disusun oleh :
CHLARAS SLISTYARINI
NIM. L 100 080 169
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2013
ii
Abstrak
Chlaras Slistyarini, L100080169, DILEMA IDENTITAS ETNIS
TIONGHOA DALAM FILM TELEVISI (FTV) INDONESIA (Analsis
Semiotik Tentang Representasi Etnis Tionghoa Di Singkawang Dalam FTV
Bakpao Ping Ping), Skripsi, Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas
Komunikasi dan Informatika, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2008.
Film merupakan bagian dari media massa yang mampu merepresentasikan aspek-
aspek dari kehidupan nyata. Film adalah bagian dari kajian ilmu komunikasi yang
fokus pada studi komunikasi massa. Tema mengenai etnis Tionghoa memang
cenderung tabu diperbincangkan mengingat latar belakang bangsa Indonesia dan
etnis Tionghoa, namun perkembangan jaman mengubah persepsi tersebut dikala
pasca era reformasi. Film ini menyajikan problematika kehidupan etnis Tionghoa
di Indonesia yang mengalami dilema akan identitasnya baik identitas personal,
identitas sosial, dan identitas kultural. Film dijadikan objek dalam penelitian ini
karena di dalam film banyak terdapat tanda-tanda terselubung yang dapat
dianalisis secara lebih mendalam.
Tujuan dari penelitian ini adalah memberikan bentuk representasi identitas etnis
Tionghoa di Singkawang melalui tanda-tanda dalam film televisi Bakpao Ping
Ping. Metode analisis yang digunakan peneliti adalah metode analisis semiotika
model Roland Barthes. Metode ini mampu mengupas film melalui tanda yang ada
di dalamnya dengan pembagian makna denotasi, konotasi, dan mitos. Dalam
analisis ini peneliti menampilkan adegan-adegan yang berkaitan dengan dilema
identitas etnis Tionghoa.
Dari penelitian ini didapatkan kesimpulan bahwa dilema identitas etnis Tionghoa
terjadi karena beberapa hal. Dalam FTV Bakpao Ping Ping ini masalah fisik
menjadi masalah karena berkaitan dengan unsur rasial yang memberi pengaruh
besar pada karakter etnis Tionghoa. Identitas kultural dalam FTV Bakpao Ping
Ping ini mengungkap kedilemaan etnis Tionghoa yang tetap mempertahankan
identitas kulturalnya dengan tradisi-tradisi yang dianutnya walaupun sebagai etnis
yang minoritas. Maka dapat disimpulkan bahwa etnis Tionghoa Singkawang tetap
memegang teguh tradisi ketionghoaannya meskipun telah lama menjadi satu
dengan tradisi-tradisi di Indonesia. Maka identitas kultural di sini mengacu pada
sistem integrasi budaya tetap bergabung dengan identitas baru sebagai orang
Indonesia, tetapi tidak dapat meninggalkan tradisi lamanya sebagai etnis
Tionghoa. Dilema itu bergejolak dalam diri etnis Tionghoa Indonesia yang mana
di representasikan dalam film televisi Bakpao Ping Ping adalah bentuk
ketidakmampuan dalam mencapai kemakmuran.
Kata kunci: Analisis Semiotika, Dilema, Identitas, Etnis Tionghoa, Film
Bakpao Ping Ping.
iii
A. PENDAHULUAN
Isu tentang etnis di Indonesia erat
kaitannya dengan keberagaman suku, ras,
dan budaya yang tersebar di Indonesia.
Namun, pada kenyataannya bahwa
perbedaan di Indonesia masih menjadi
sebuah masalah yang belum dapat
terselesaikan dengan baik. Bak dua sisi mata
koin, keanekaragaman budaya yang ada di
Indonesia dapat menjadi kekuatan sekaligus
bumerang bagi bangsa ini.
Salah satu etnis di Indonesia yaitu
etnis Tionghoa. Berkaitan dengan etnis
Tionghoa di Indonesia banyak sekali
terdapat persoalan, salah satunya adalah
persoalan mengenai “ketionghoaan” sebagai
jati diri yang dianggap bermasalah. Etnis
Tionghoa merupakan kaum minoritas
dibandingkan dengan etnis lokal yang
berada di Indonesia. Akibatnya, etnis
Tionghoa seringkali mengalami diskriminasi
dari etnis lokal atau pribumi. Pribumi yang
secara harfiah dapat diartikan sebagai putra
daerah. Istilah ini mencerminkan semangat
nasionalis bangsa Indonesia yang
menekankan rasa bangga terhadap tanah air
mereka (Dawis, 2010: 15).
Banyak etnis Tionghoa di Indonesia
tidak lagi menggunakan kebudayaan leluhur
mereka. Di samping itu, sebuah traktat yang
dikeluarkan oleh pemerintah pada tahun
1968 mengimbau orang Indonesia Tionghoa
untuk mengganti nama Tionghoa meraka
menjadi nama Indonesia untuk menunjukkan
komitmen mereka terhadap negara. Dengan
adanya kebijakan tersebut akibatnya etnis
Tionghoa yang lahir di Indonesia sesudah
tahun 1966 hanya berbicara, menulis, dan
membaca dalam bahasa Indonesia (Dawis,
2010: 1).
Tidak semudah membalikkan telapak
tangan, untuk berbaur secara total dengan
negara yang baru perlu adanya penyesuaian.
Salah satu alasannya adalah identitas.
Identitas etnis Tionghoa di Indonesia masih
sering dipertanyakan yang secara tidak
langsung mengakibatkan dilema pada diri
etnis Tionghoa di Indonesia. Dilema adalah
situasi sulit yang mengharuskan orang
menentukan pilihan antara dua kemungkinan
yang sama-sama tidak menyenangkan atau
tidak disukai; situasi yang sulit dan
membingungkan (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 2008: 329). Dilema itu dapat
terlihat dari bagaimana mereka dihadapkan
dengan pribadi yang secara fisik dan budaya
adalah Tionghoa tetapi mereka harus
menjadi “Indonesia”. Dikatakan menjadi
Indonesia dimaksudkan dengan mengubah
tata cara hidup mereka dengan mengikuti
sistem yang ada di Indonesia. Hal tersebut
juga dipengaruhi oleh adanya penerapan
rekategorisasi yang akan berdampak negatif.
Brown (2000) menyatakan bahwa proses
rekategorisasi dimana kelompok etnis
minoritas harus menerima nilai-nilai dan
kepercayaan kelompok lain yang lebih
tinggi (superordinate), atau dengan kata lain
terjadi penyerahan identitas kultural
kelompok etnis minoritas yang berdampak
negatif (Faturochman dkk, 2012: 160).
Menilik perkembangan film yang
menggunakan etnis Tionghoa, pada tahun
2010 hadirlah film televisi Bakpao Ping
Ping. Dalam film ini Viva Westi sebagai
sutradara mengangkat kehidupan etnis
Tionghoa di Singkawang, Kalimantan Barat.
Film ini menyabet beberapa penghargaan
diajang Festival Film Indonesia yang
diadakan tanggal 6 Desember 2011 lalu
yaitu sebagai FTV terbaik. Film ini
menceritakan tentang bagaimana kehidupan
etnis Tionghoa di Singkawang.
Film disini adalah film dengan jenis
fiksi, seperti yang diketahui bahwa jenis
film terbagi menjadi beberapa jenis yang
diantaranya, film dokumenter yang
menyajikan fakta, film ekperimental yaitu
film yang tidak memiliki plot tetapi tetap
terstruktur. Berbeda dengan dua jenis film
tersebut film fiksi merupakan film yang
terikat dengan plot. Film fiksi sering
1
menggunakan cerita rekaan di luar kejadian
nyata serta memiliki konsep peradegan yang
telah dirancang sejak awal (Pratista, 2008:
6).
Berdasarkan keunikan bagaimana
etnis Tionghoa digambarkan dalam film di
Indonesia, membuat hal itu menarik untuk
dapat diteliti. Berbicara mengenai etnis
Tionghoa di Indonesia dan digambarkan
melalui film, sebelumnya ada penelitian
terdahulu yang relevan milik Setyo Nugroho
, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik (FISIP) Universitas Sebelas Maret
(UNS) tahun 2004. Penelitian tersebut
berjudul Representasi Budaya Tionghoa di
tengah Pluralitas Etnis di Betawi (Studi
Pesan Dalam Film “Ca Bau Kan”
Menggunakan Analisa Semiologi
Komunikasi). Dengan rumusan masalah
tanda-tanda apa yang terdapat dalam film Ca
Bau Kan yang merupakan representasi
budaya Tionghoa di Betawi dan Bagaimana
tanda-tanda itu merepresentasikan budaya
masyarakat Tionghoa di Betawi?. Inti dari
kajian ini adalah pengamatan fokus pada
representasi budaya Tionghoa yang ingin
disampaikan pembuat film kepada
audiencenya dengan menggunakan metode
analisa semioligi komunikasi. Penelitian
tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa
terbagi delapan bentuk representasi budaya,
yang diantaranya Agama/kepercayaan/mitos
dan perilaku ritual, proses belajar, berlatih
bekerja sama, penghargaan dan pengakuan,
hubungan antar relasi, hubungan dalam
keluarga, hubungan dalam pluralitas.
Selain itu, ada juga penelitian
terdahulu yang diteliti oleh Rinasari
Kusuma, mahasiswa Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(FISIP) Universitas Sebelas Maret (UNS)
tahun 2007. Penelitian tersebut berjudul
Representasi Asimilasi Etnis Cina Ke Dalam
Budaya Padang (Analisis Semiotika
Komunikasi Tentang Faktor Pendukung
dan Penghambat Asimilasi dalam Film
“Jangan Panggil Aku Cina”). Penelitian ini
merumuskan tentang makna-makna apa
sajakah yang terdapat pada tanda-tanda
mengenai faktor pendukung dan
penghambat asimilasi etnis Cina ke dalam
Budaya Padang dalam film “Jangan Panggil
Aku Cina”.
Sedangkan, penelitian yang
dilakukan peneliti adalah pengamatan yang
berkaitan dengan Representasi Identitas
Etnis Tionghoa Di Singkawang Yang
Digambarkan Dalam Film Televisi (FTV)
Bakpao Ping Ping dengan menggunakan
metode semiotika dengan pendekatan teknik
analisis Semiotika Roland Barthes.
Sesuai dengan latar belakang
tersebut maka rumusan masalah yang akan
diteliti adalah Bagaimana representasi
identitas etnis Tionghoa di Singkawang
dalam film televisi Bakpao Ping Ping?.
Penelitian ini mencoba melakukan analisis
terhadap identitas etnis Tionghoa yang
direpresentasikan dalam FTV Bakpao Ping
Ping. Terkait dengan rumusan masalah
tersebut maka tujuan penelitian ini adalah
Memberikan bentuk representasi identitas
etnis Tionghoa di Singkawang melalui
tanda-tanda dalam film televisi Bakpao Ping
Ping.
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Film sebagai Representasi Realitas
Dalam sebuah film maka terdapat
narasi dan struktur yang akan membangun
film tersebut. Film ibarat cermin dari realitas
yang sebenarnya dan hal itu berupa
representasi. Representasi yaitu bagaimana
dunia ini dikonstruksi dan direpresentasikan
secara sosial kepada kita. Representasi dan
makna kultural memiliki materialitas
tertentu, mereka melekat pada bunyi,
prasasti, objek, citra, buku, majalah, dan
program televisi (Barker, 2011: 9).
Di dalam film kehidupan manusia
digambarkan kembali berdasarkan apa yang
ada dalam kenyataannya, hal ini biasa
2
disebut dengan hipperealitas (kenyataan
dalam kenyataan). Namun tidak semua
aspek kehidupan dapat di masukkan dalam
film, dikarenakan bisa jadi ada unsur
subjektivitas dari pembuat film dan
merepresentasikannya. Dengan adanya hal
tersebut membuat audiens melihat dan
mengartikan objek dalam film sebagai suatu
hal yang dianggap nyata.
Film membangun cara pandang
audiencenya. Dalam penelitian ini peneliti
menggunakan representasi identitas etnis
Tionghoa dalam Film Bakpao Ping Ping.
Bagaimana identitas merupakan suatu hal
yang berharga sekali. Dalam film ini banyak
sekali diperlihatkan tentang kebimbangan
etnis Tionghoa di Singkawang yang konsep
pandang mereka berada pada kota-kota besar
seperti Jakarta dan Taiwan. Sebagaimana
defenisi representasi, maka peneliti akan
meneliti unsur-unsur yang berupa tanda,
bunyi, atau segala sesuatu yang
menghubungkan atau memproduksi sesuatu
yang dapat ditangkap indera, dibayangkan,
atau dirasakan dalam bentuk fisik tertentu.
Adapun jenis-jenis film dapat
dikelompokkan pada jenis film dokumenter,
film fiksi, dan film eksperimental.
a. Film Dokumenter
Kunci utama dari film dokumenter
adalah penyajian fakta. Film dokumenter
berhubungan dengan orang-orang, tokoh,
peristiwa, dan lokasi yang nyata. Film
dokumenter tidak menciptakan suatu
peristiwa atau kejadian namun merekam
peristiwa yang sungguh-sungguh terjadi
atau otentik.
b. Film Fiksi
Berbeda dengan film dokumenter,
film fiksi terikat oleh plot. Film fiksi sering
menggunakan cerita rekaan di luar
kejadian nyata sera memiliki konsep
pengadeganan yang telah dirancang sejak
awal. Struktur cerita film juga terikat
hukum kasualitas.
c. Film Eksperimental
Jenis film ini sangat berbeda
dengan dua film sebelumnya. Para sineas
eksperimental umumnya bekerja di luar
industri film utama (mainstream) dan
bekerja pada studio independen atau
perorangan. Film eksperimental tidak
memiliki plot namun tetap memiliki
struktur. Strukturnya sangat dipengaruhi
oleh insting subyektif sineas seperti
gagasan, ide, emosi, serta pengalaman
batin mereka (Pratista, 2008: 4-8).
Film Bakpao Ping Ping yang
digunakan sebagai subjek penelitian ini
sendiri merupakan film fiksi yang
tepatnya fiksi drama keluarga. Sehingga
ceritanya sudah disetting sedemikian rupa
dengan naskah. Begitu pula pada adegan-
adegannya yang sudah dirancang dari
awal.
2.Identitas
Setiap individu membutuhkan cara
untuk mencari, memperkenalkan dan
kemudian mempertahankan apa yang
disebut dengan identitas, Berbicara
mengenai identitas maka tak lekang dengan
kehidupan sehari-hari. Apa yang kita
lakukan, apa yang kita punya, menunjukkan
kepada identitas itu sendiri. Salah satu
contoh yang paling dekat adalah nama,
Nama merupakan identitas yang dimiliki
setiap pribadi untuk membedakan satu sama
lainnya.
Identitas dari Stryker dan Burke
(2000) menyebutkan bahwa terdapat tiga
penggunaan untuk kata identitas secara
umum. Yang pertama adalah berkaitan
dengan budaya, seperti penggunaan kata
identitas untuk menjelaskan etnisitas
seseorang. Penggunaan kata identitas yang
kedua adalah berkaitan dengan kategori-
kategori kolektif yang berkaitan dengan
struktur sosial, seperti kelompok ras,
kelompok jenis kelamin, dan lain-lain.
Sementara penggunaan kata identitas yang
ketiga berkaitan dengan multiperan yang
3
dilakukan dalam kehidupan (Faturochman
dkk, 2012: 109).
Masalah identitas dalam konteks
kehidupan etnis Tionghoa Indonesia
sangatlah kompleks. Berbagai permasalahan
timbul dari aspek sosial, ekonomi, hingga
kebudayaan. Persoalan yang seringkali
dihubung-hubungkan dengan “masalah
Cina” adalah soal sebutan apakah yang
dirasa paling sesuai untuk orang-orang
Tionghoa di Indonesia, apakah mereka
disebut Cina, Tionghoa, Chinese, ataukah
Cino?. Etnis Tionghoa merasa bahwa
sebutan “Cina” tidak ubahnya kutukan yang
harus mereka tanggung, meski mereka tidak
sepenuhnya mengerti mengapa kutukan itu
selalu dialamatkan kepada mereka (Afif,
2012: 4). Penyebutan yang seperti itu
dianggap sebuah sebutan yang mengarah
kepada diskriminasi etnis Tionghoa di
Indonesia.
Identitas kelompok etnis Tionghoa di
Indonesia terbagi menjadi dua yaitu etnis
Tionghoa totok dan etnis Tionghoa
peranakan. Etnis Tionghoa totok merupakan
etnis Tionghoa pendatang atau asli dari
tanah leluhur Tiongkok. Sedangkan yang
disebut sebagai Tionghoa peranakan adalah
mereka yang memiliki ciri-ciri :
a. Lahir di Indonesia dari ibu dan ayah
orang Tionghoa, namun masih
memiliki identitas Cina.
b. Lahir dari perkawinan campuran
antara laki-laki Tionghoa dengan
wanita pribumi dan diakui sah oleh
sang ayah, serta diberi nama keluarga
(she).
c. Lahir dari perkawinan campuran
antara laki-laki pribumi dengan
wanita Tionghoa, karena pengaruh
sosial-ekonomi anak tersebut
kemudian diberi nama keluarga dan
mendapat kedudukan di lingkungan
komunitas Tionghoa.
d. Lahir dari perkawinan antara laki-
laki dan wanita keturunan dari
perkawinan campuran antara
wanita/laki-laki Tionghoa dengan
wanita/laki-laki pribumi (Afif, 2012:
163).
Identitas dalam film Bakpao Ping
Ping ini sendiri digambarkan dengan adanya
cerita dalam film tersebut yang berkaitan
dengan individu yang dilema akan
identitasnya. Masalah identitas yang akan
dibahas dalam film ini berupa bagaimana
identitas personal, identitas sosial, dan
identitas kultural yang digambarkan melalui
karakter peran yang dimainkan dalam
ceritanya.
3. Etnis dan Ras
Salah satu kekayaan Indonesia adalah
keberagaman budayanya. Keberagaman
budaya tersebut didukung oleh sub-budaya
yang terdiri dari berbagai macam adat
istiadat, kesenian tradisional, dan tidak
terkecuali etnis dan ras. Dari banyaknya
aspek kehidupan di Indonesia maka sering
kali timbul kecemburuan sosial. Ada tiga
jenis modal yang menentukan kekuasaan
dan ketidaksetaraan sosial. Pertama, modal
ekonomi, kedua: modal sosial yang berupa
hubungan-hubungan sosial, ketiga: modal
budaya. Yang terpenting dari ketiga modal
tersebut adalah modal budaya dibandingkan
dengan modal ekonomi dan modal sosial.
Modal budaya sulit berubah-ubah karena
telah terbentuk bertahun-tahun (Tilaar,
2007: 93). Dapat dikatakan bahwa modal
budaya itu bersifat turun temurun yang
terkadang tidak dapat dihindari. Dari
berbagai macam modal budaya tersebut
maka terciptalah keberagaman budaya.
Budaya juga dipengaruhi oleh
kehidupan masyarakat itu sendiri. Di antara
masyarakat pembentuk itulah dapat dilihat
pembeda antara etnis dan ras. Dimana
konsep etnis dan ras seringkali salah
diartikan sehingga menimbulkan kerancuan
makna. Ras adalah suatu kelompok manusia
yang agak berbeda dengan kelompok-
4
kelompok lainnya dalam segi ciri-ciri fisik
bawaan; disamping itu, banyak juga
ditentukan oleh pengertian yang digunakan
oleh masyarakat. Jadi, ras merupakan
kelompok atau kategori orang-orang yang
mengidentifikasi diri mereka sendiri, atau
diidentifikasi oleh orang-orang lain, sebagai
perbedaan sosial yang dilandasi oleg ciri-ciri
fisik atau biologis (Liliweri, 2011: 336).
Di Indonesia terdapat banyak sekali
etnis. Sensus penduduk terbaru yang
dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS)
menyebutkan bahwa terdapat sekitar 1.128
suku bangsa yang hidup di Indonesia (Afif,
2012: 44). Ciri lain yang bisa dijumpai dari
masyarakat multi budaya adalah
kecenderungan diantara masing-masing
suku bangsa untuk mengekspresikan
identitas budaya budaya mereka melalui
cara-cara spesifik seolah-olah satu dengan
yang lainnya tidak saling berhubungan (Afif,
2012: 45). Dengan kata lain bahwa dari
banyaknya jumlah suku bangsa tersebut
mereka hidup dengan kebudayaan dan
tradisi mereka masing-masing.
Konsep ras atau pembentukan ras
mencakup argument yang menitikberatkan
pada garis keturunan. Ras adalah suatu
konstruksi social dan bukan suatu kategori
universal atau kategori esensial biologis atau
kultural (Barker, 2011: 204).
Jadi, dapat dipahami jika pengertian
etnik dan ras dapat dipilah, dan etnik dapat
dipahami lebih sebagai suatu kelompok
yang terbentuk dasar kesamaan karakteristik
yang sifatnya lebih “kebudayaan” daripada
ras yang mengacu pada ciri-ciri ragawi
(Liliweri, 2011: 336). Berdasarkan
penuturan tersebut dapat dikatakan bahwa
konsep etnis jauh lebih besar dibandingkan
ras dan ras itu sendiri termasuk didalam
etnis.
C. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif
bersifat menjelaskan. Menggunakan defenisi
yang sederhana, penelitian kualitatif adalah
yang bersifat interpretif (menggunakan
penafsiran) yang melibatkan banyak metode,
dalam menelaah masalah penelitiannya
(Mulyana, 2007: 5).
2. Sumber Data
Sumber data berupa data korpus
Film Televisi Bakpao Pingping produksi PT.
Demigisela Citra Sinema tahun 2010.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini adalah dengan cara mengamati
dan melihat film televisi (FTV) Bakpao
Pingping secara baik dan seksama. Adapun
teknik pengumpulan data dalam penelitian
ini adalah:
a. Data Korpus
Data korpus berupa potongan gambar
yang diambil dari scene film yang
mengandung representasi identitas
berdasarkan kategori identitas personal,
identitas sosial, dan identitas kultural.
b. Data Pendukung
Teknik yang digunakan adalah
pengumpulan bahan-bahan atau artikel-
artikel, situs internet dan dari buku-buku
yang mengkaji tentang etnis Tionghoa.
Selain itu juga dapat dilihat dan dikaji
melalui aspek sinematografi.
4. Teknik Analisis Data
Barthes merumuskan tentang konsep
denotasi dan konotasi. Dalam kehidupan
sosial budaya, pemakai tanda tidak hanya
memaknai sebagai denotasi, yakni makna
yang dikenal secara umum. Oleh Barthes
denotasi disebut sebagai sistem pertama.
Sedangkan konotasi adalah makna kiasan
atau seperti apa yang diungkapkan Barthes
5
dalam (Hoed, 2008: 12) bahwa konotasi
adalah makna latar belakang
pengetahuannya, atau konvensi baru yang
ada dalam masyarakatnya, konotasi
merupakan segi ideologi tanda. Tidak hanya
itu jika konotasi berlanjut selama beberapa
waktu tergantung pada intensitasnya akan
terbentuk “mitos” yang akan berlanjut
menjadi ideologi (Hoed, 2008: 162).
Sementara itu dijelaskan juga pada
Fiske (2004), bahwa tatanan yang
menggambarkan relasi antara penanda dan
petanda di dalam tanda, dan antara tanda
dengan referennya dalam realitas eksternal.
Barthes menyebut tatanan ini sebagai
denotasi. Sebagai contoh ketika
menggambar jalan dengan dua sudut yang
berbeda bisa dengan berbeda soft focus,
angle, tata pencahayaan maka dapat
menghasilkan makna yang berbeda pula.
Makna yang ditimbulkan inilah yang berupa
konotasi. Konotasi adalah bagian manusiawi
dari proses ini, ini mencakup seleksi atas apa
yang masuk dalam bingkai (frame), fokus,
rana, sudut pandang kamera, mutu film, dan
seterusnya. Denotasi adalah apa yang difoto,
sedangkan konotasi adalah bagaimana
memfotonya (Fiske, 2004: 119).
Dengan menggunakan semiotika
Barthes maka peneliti juga dihadapkan
dengan adanya analisis mitos. Dalam
penelitian film Bakpao Ping Ping yang
dapat diteliti adalah mengenai mitos yang
terdapat dalam kategori identitas personal,
identitas sosial, dan identitas kultural.
D. Hasil Analisis Dan Pembahasan
Banyak cara yang dapat digunakan
sebagai media penyampaian pesan salah
satunya adalah dengan media film. Film
mampu merepresentasikan kehidupan nyata
dengan berbagai aspek yang dimilikinya
seperti tanda-tanda, simbol, atau pesan yang
ada di dalamnya. Sebagai bagian dari
komunikasi massa film memiliki cara
sendiri untuk menyampaikan pesan dan hal
itu didukung oleh aspek naratif dan aspek
sinematografi sehingga pesan dapat sampai
ke penonton.
Aspek naratif adalah aspek yang berisi
cerita yang mana terdapat rangkaian cerita
yang saling berhubungan satu sama lainnya
dan itu terikat oleh logika sebab-akibat
(kausalitas) yang terjadi dalam suatu ruang
dan waktu (Pratista, 2008: 33). Aspek naratif
itu sendiri terbagi menjadi beberapa bagian
yaitu pelaku cerita, permasalahan dan
konflik, serta tujuan. Sedang pada aspek
sinematografi adalah aspek yang
mendukung naratif serta estetik sebuah film
salah satunya seperti kegiatan merekam.
sehingga dapat terbentuk rangkaian gambar
yang bercerita (Pratista, 2008: 89).
Metode semiotika dalam hal ini yang
digunakan adalah metode semiotika Roland
Barthes yang mana pemaknaan
menggunakan aspek denotasi, konotasi dan
mitos. Mitos menurut Roland Barthes adalah
berbasis kelas; maknanya dikonstruksi oleh
dan untuk kelas yang dominan secara sosial,
namun mitos diterima oleh kelas subordinat,
bahkan meski mereka pun menentang
kepentingan kelas dominan itu lantaran
kelas subordinat “dinaturalisasikan” (Fiske,
2004: 183). Maksud dari naturalisasi
tersebut adalah pengalamiahan atau seakan-
akan alami, misalnya dalam konsep film ini
bahwa leluhur cina itu makmur.
Berhubungan dengan fokus penelitian
yaitu hal yang berkenaan dengan persoalan
identitas, maka korpus-korpus dalam
penyajian data dapat dianalisis berdasarkan
kategori-kategori isi cerita berikut;
a. Identitas Personal (Personal
Identity)
b. Identitas Sosial (Social Identity)
c. Identitas Kultural (Cultural
Identity).
a. Identitas Personal (Personal Identity)
Identitas personal (Personal Identity)
seperti terbentuk dari interaksi sosial antara
6
satu individu dengan individu lainnya di
mana masing-masing pihak lebih
menekankan ciri-ciri, atribut-atribut, dan
kepentingan subjektif mereka. Selain itu,
identitas personal juga terbentuk dari
pemahaman diri (self-understanding) yang
sifatnya lebih intim dan langsung, maka ia
lebih mewakili aspek-aspek esensial dan
krusial dari diri individu yang nampak
dalam pertanyaan-pertanyaan seperti
“siapakah saya sesungguhnya?”, “hal-hal
apa saja yang bernilai dan baik buat saya?”,
“apa yang semestinya saya lakukan dan
tidak yang itu?”, dan sebagainya. Dengan
kata lain, identitas personal itu bersifat
membedakan antara satu individu dengan
individu lainnya semata-mata berdasar pada
keunikan masing-masing dan bukan ciri-ciri
yang diturunkan dari keanggotaan dalam
sebuah kelompok sosial (Afif, 2011: 21).
Di dalam analisis identitas personal,
penulis mengkategorikan beberapa
permasalahan identitas personal dalam FTV
Bakpao Ping Ping sebagai berikut:
1. Atribut-atribut fisik
2. Keinginan/cita-cita
3. Kontribusi keluarga
4. Pengaruh keadaan sosial
1. Atribut-atribut fisik
Salah satu yang ditekankan dalam
identitas personal adalah berupa atribut-
atribut yang dimiliki oleh individu. Maka
dari itu penulis mengkategorikan bahwa
atribut-atribut fisik memiliki hubungan
dengan identitas personal. Atribut-atibut
fisik mencirikan atau mengidentifikasikan
individu melalui bentuk fisik atau yang
terlihat saja.
Kategorisasi atribut-atribut fisik ini
terlihat pada korpus 6. Pada level denotasi
korpus 6, sutradara ingin menekankan
pendapat A Seng. A Seng merasa bahwa
selama ini Indonesia tidak memberikannya
kontribusi lebih untuk dia menjadi kaya,
yang dia tau hanya kekayaan ada di Jawa.
Seperti dalam dialog berikut:
A Seng : “Indonesia ga bikin kita kaya
Pa, kaya cuma di Jawa. Apa
ga sadar kalo mata kita
sipit?”
Babah (Apa) : “Kalo liat jangan cuma pake
mata ya, pake hati, pake
utek. Mata boleh sipit ha,
tapi hati harus tetep besar.”
Di sini A Seng sebagai etnis
Tionghoa mempermasalah fisiknya terutama
mata yaitu “sipit”. Keadaan fisiknya
mempengaruhi mentalnya sebagai etnis
Tionghoa yang secara tidak langsung
“menghujat” Indonesia yang tidak peduli
akan kesejahteraannya sebagai etnis
Tionghoa Singkawang.
Sedangkan pada level konotasi,
“hujatan” A Seng kepada Indonesia
membuatnya merasa gelisah akan identitas
personalnya sebagai etnis Tionghoa. Hal ini
menunjukkan bahwa A Seng merasa dibuat
tidak adil ketika dia memiliki mata yang
sipit.
Berbicara mengenai atribut fisik
yang dimiliki A Seng pada identitas personal
maka mengingatkan pada konsep ras. Di
mana diketahui bahwa konsep ras selalu
menitikberatkan pada adanya garis
keturunan. Selain itu ras juga mengacu pada
hal yang menyinggung soal biologis dan
fisik. Ras adalah konstruksi sosial dan bukan
suatu kategori universal atau kategori
esensial biologis atau kultural (Barker, 2010:
203). Sehingga identitas personal seseorang
tersebut hanya dilihat sebatas yang terlihat
dari luar saja atau bersifat fisik.
Allport mengindikasikan dalam
Samovar dkk (2010:187) bahwa antropolog
awalnya membagi ras dalam tiga kelompok
besar Mongoloid, Kaukasoid, dan Negro,
namun selanjutnya yang lain ditambahkan.
Kategori ini membagi manusia ke dalam
kelompok semata-mata berdasarkan
penampilan fisik. Biasanya berhubungan
7
dengan ciri-ciri fisik luar seperti warna kulit,
tekstur rambut, penampilan wajah, dan
bentuk mata.
2. Keinginan atau Cita-cita
Keterkaitan antara keinginan atau
cita-cita dengan identitas personal terletak
pada selera pribadi yang dimiliki oleh
individu. Setiap individu tentu berhak
memilih pilihan hidup mereka sesuai dengan
apa yang diinginkan. Keinginan individu
tidak hanya sesuai dengan apa yang individu
itu inginkan tetapi juga bisa atas dasar
melihat individu lain. Identitas personal
disini terlihat ketika A Seng mengidolakan
aktor yang bukan dari Indonesia melainkan
dari Cina. Sebagaimana diketahui bahwa
selera pribadi merupakan bagian dari atribut-
atribut identitas personal itu sendiri. Jadi hal
ini semata-semata adalah salah satu cara A
Seng untuk mewujudkan kehidupan di
Taiwan. Bisa jadi ini merupakan salah satu
bentuk kerinduan. Kerinduan akan tanah air
bayangan yang diterjemahkan sebagai
keinginan untuk meniru tokoh-tokoh yang
mereka lihat di layar (Dawis, 2010:11).
Pada korpus 3 dan korpus 4 dari segi
denotasinya, sutradara ingin mempertegas
tentang keinginan A Seng yang terobsesi
dengan aktor Andy Lau dan ingin ke
Taiwan. Andy Lau merupakan aktor
kawakan dari Hongkong yang sangat
terkenal dalam seri-seri perfilman Asia kala
itu. Masa kejayaan Andy Lau adalah antara
tahun 1983- 1999. Andy Lau mulai terkenal
semenjak dia membintangi film "The Return
of The Condor Heroes"(1983). Hampir 140
film dibintanginya
(www.wowkeren.com/seleb/andy_lau/film/
diakses tanggal 27/11/2012 pukul 20:43).
Hal itu terpapar dari dialog pada korpus 3
yaitu;
“Ping, aku udah gede Apa ga bisa
ngelarang aku. Bosen jualan bakpao, bosen
sama Singkawang, apalagi ma jemuran ini
dan rumah petak. Aku bakal ngetop kaya
Andy Lau, haha Andy Lau”
Selain itu disambung juga dengan
perkataan “Ping, orang itu harus punya
cita-cita, cita-cita!” dengan kata-kata
Perkataan A Seng ini di pacu oleh keinginan
besarnya yang terobsesi dengan aktor Andy
Lau.
Andy lau adalah aktor kawakan yang
berhasil meraup sukses di Indonesia pada
saat memerankan Yoko dalam film The
Return of The Condor Heroes"(1983).
Namun terkait dengan permasalahan A
Seng yang sangat mengidolakan Andy Lau
atau penyisipan Andy Lau sebagai
pendukung keinginan A Seng dalam dalam
Film Bakpao Ping Ping ini bisa jadi karena
faktor karakter A Seng yang senang bermain
judi. Tidak heran jika A Seng mengidolakan
Andy Lau karena ada yang
melatarbelakanginya seperti kemungkinan
dengan beberapa film yang di perankan oleh
Andy Lau yang berkaitan dengan dewa judi
seperti film God Of Gamblers (1989), God
Of Gamblers 2: Knight of Gamblers (1991).
Dimana dalam kedua film tersebut Andy
Lau berperan sebagai Ksatria Judi.
Sumber: http://ichall-
movie.blogspot.com/2011/04/god-of-
gamblers-2-knight-of-gamblers.html/
diakses pada tanggal 21/01/2013 pukul
19:47
3. Kontribusi keluarga
Dalam pembentukan jati diri individu
sejatinya banyak dipengaruhi oleh lingkup
keluarga. Bimbingan dari anggota keluarga
8
sudah dimulai semenjak individu tersebut
masih muda. Bagaimana mereka diajarkan
berperilaku pantas untuk laki-laki dan
perempuan. Interaksi dengan anggota
keluarga besar mengajarkan perilaku yang
pantas antar usia dan keluarga jugalah yang
pertama kali menanamkan konsep identitas
pribadi atau kelompok (Samovar, 2010:
195). Oleh sebab itulah peneliti merasa perlu
mengkategorikan kontribusi keluarga adalah
hal yang penting untuk pembentukan
identitas personal itu sendiri.
Pada korpus 11, menunjukkan bahwa
terjadi percekcokan antara A Seng dan Ai
Lani mengenai Ping Ping. Ping Ping yang
segera dinikahkan dan dibawa ke Taiwan. A
Seng yang tadi semangat menjadikan Ping
Ping sebagai amoy tiba-tiba ingin
membatalkan perjanjiannya dengan Ai Lani.
Pada level denotasi, memperlihatkan
perseteruan antara A Seng, Ai Lani, dan
bodyguardnya pria Taiwan. Di sini terlihat
terjadi tarik menarik antara A Seng dan
bodyguard.
Pada level konotasi, menggunakan
long shot agar adegannya benar-benar
terlihat jelas bagaimana si A Seng menarik
tangan Ping Ping dari bodyguard yang
menjaganya. Korpus ini menunjukkan
ketidaksetujuan A Seng terhadap Ping Ping
yang akan dijadikan istri oleh pria Taiwan.
Ketika ditanya kenapa A Seng tiba-tiba
begitu hal itu ternyata karena dia tidak ingin
seperti Ama-nya yang akhirnya sampai mati
di Taiwan. Keadaan ini tentu menempatkan
A Seng pada traumatik atau bentuk
ketakutan dari pengalaman masa lalu A
Seng, sehingga dia tidak ingin Ping Ping
juga mengalaminya. Ini dipicu oleh
ketidaktahuan A Seng bahwa Ama-nya juga
menjadi amoy, yang dia tahu Ama-nya
meninggalkan Babah (Apa) karena
kemiskinan. A Seng menolak tentang amoy
yang sebelumnya ia banggakan sebagai batu
loncatan agar nanti ia juga akan merasakan
berada di Taiwan. Amoy sebenarnya
memiliki makna yaitu sebutan untuk anak
gadis etnis Tionghoa. Tetapi dalam konsep
film Bakpao Ping Ping makna tersebut
bergeser dengan makna bahwa amoy adalah
anak gadis Tionghoa yang akan dinikahkan
dengan pria-pria Taiwan melalui biro jodoh.
4. Pengaruh Keadaan Sosial
Keadaan sosial juga dapat
mempengaruhi identitas personal. Identitas
merupakan konsep yang abstrak, kompleks,
dan dinamis. Kemudian identitas merupakan
hal yang dinamis dan beragam. Artinya
identitas merupakan suatu hal yang statis,
namun berubah menurut pengalaman hidup
anda (Samovar, 2010: 184-185). Sebagai
contoh ketika kita berada dikampus maka
identitas kita adalah seorang mahasiswa, dan
jika di rumah identitas kita adalah sebagai
seorang anak. Jadi yang dimaksud penulis
bahwa pengaruh keadaan sosial memiliki
keterkaitan dengan identitas personal adalah
identitas personal kita akan berubah sesuai
dengan keadaan sosial kita.
Pada korpus 5, dimana pada level
denotasi A Seng bercerita tentang
keinginannya ke Taiwan dengan Ai Lani
tantenya. A Seng mengeluarkan isi hatinya
kepada Ai Lani. Ai Lani yang semula hanya
menganggap itu hanya lelucon A Seng
akhirnya mengerti, Ai Lani pun menjelaskan
apa yang harus A Seng lakukan untuk bisa
ke Taiwan. Berikut adalah dialog yang
memaparkan tentang isi hati A Seng:
Ai Lani : “Kamu ngapain di Taiwan?”
9
A Seng : “A Seng bosen di sini, di
sini tu ga ada masa depan,
A Seng ga mau jualan
bakpao.”
Sedang pada level konotasi korpus ini
menjelaskan tentang bagaimana keinginan A
Seng bisa ke Taiwan itu dapat tercapai. Di
mana sebagai etnis Tionghoa A Seng
merasakan tidak ada masa depan sebagai
pedagang tepatnya penjual bakpao. A Seng
merasa sebagai penjual bakpao bukanlah jati
dirinya, dia beranggapan bahwa dia bisa
lebih dari seorang penjual bakpao saja.
Taiwan dianggap dapat memberikan
kemakmuran jauh lebih baik dibandingkan
di Singkawang.
b. Identitas Sosial (Social Identity)
Berkaitan dengan identitas sosial
(social identity), maka setiap individu akan
mengalami hal yang berhubungan dengan
identitas sosialnya. Identitas sosial itu lebih
mengutamakan kepentingan kelompok.
Pada teorinya, Brown dalam (Afif, 2011: 24)
identitas sosial mengasumsikan bahwa
setiap individu yang tergabung dalam
kelompok senantiasa membutuhkan self
image yang positif, terlebih lagi ketika dia
sedang berhadapan dengan individu dari
kelompok lain. Sehingga dapat dikatakan
bahwa identitas sosial dapat dipengaruhi
atau dibentuk oleh lingkungan.
Penulis di sini mengkategorikan
identitas sosial yang ada di dalam FTV
Bakpao Ping Ping, sebagai berikut:
1. Aspek Sosial dan Ekonomi
2. Leluhur sebagai rujukan identitas
3. Penggunaan Bahasa
1. Aspek Sosial dan Ekonomi
Aspek ekonomi adalah dapat menjadi
masalah yang pelik dan kerap terjadi di
dalam kehidupan bermasyarakat.
Permasalahan pada aspek ekonomi pada
umumnya sering timbul pada kalangan atau
golongan menengah ke bawah. Maka
peneliti beranggapan bahwa aspek ekonomi
memiliki keterkaitan dalam pembentukan
identitas sosial diri individu yang sejatinya
adalah makhluk sosial. Dalam FTV Bakpao
Ping Ping aspek ekonomi terlihat dari
beberapa dialog yang terkait dengan keadaan
ekonomi etnis Tionghoa dalam film ini.
Pada korpus 4 level denotasi
menunjukkan pertengkaran antara Babah
dan A Seng. Setiap kali ditinggal Babah
(Apa) pergi, A Seng selalu pergi ke tempat
bermain judi. Tetapi A Seng hanya
menanggapi amarah Babah (Apa) dengan
santai. Hal ini tentu membuat Babah (Apa)
nya gerah akan sifat A Seng yang tidak bisa
dibilangin. Pada korpus terdapat dialog yang
berbunyi:
Babah (Apa) : “Jaman susah begini,
kamu maen judi terus ha?”
A Seng : “Kalo ga mau susah, jangan
jualan bakpao!”
Pada level kononasi korpus 4 ini
menyiratkan bahwa Babah (Apa) tidak
senang dengan perilaku A Seng yang kian
menjadi. A Seng senang sekali bermain judi
padahal keadaan sedang susah. Tetapi A
Seng yang acuh tak acuh dengan
keadaannya malah menjawab dengan santai.
A Seng berfikir yang membuat susah
keadaannya adalah karena dia jualan
Bakpao. Di sini A Seng berada di level
dimana dia tidak mengetahui mana yang
baik dan yang buruk. Bisa jadi judi
merupakan bentuk pelarian tidak terima
dengan keadaan. Bahwa yang dia tahu
dengan berjudi dia juga mendapatkan uang
lebih banyak dari hasil jualan bakpaonya.
Judi tidak bisa dilepaskan dari
kebudayaan pria Tionghoa. Seperti yang
dikatakan Afu dalam (Dawis, 2010:145)
bahwa semua orang Tionghoa suka berjudi.
Dimana ada orang Tionghoa pasti ada
perjudian. Dalam FTV Bakpao Ping Ping
judi dimainkan adalah mah jong, permainan
Tionghoa yang dimainkan empat pemain
dan menggunakan keping segi empat
10
bertuliskan aksara, lambang, dan gambar
Tionghoa, yang dimainkan untuk
menyatukan orang dalam sebuah perayaan
imlek (Dawis, 2010: 146). Namun sesuai
dengan perkembangan jaman maka judi mah
jong tidak hanya dimainkan pada hari-hari
tertentu saja tetapi bisa dalam kehidupan
sehari-hari.
2. Leluhur sebagai rujukan identitas
Subkategori ini membahas
keterkaitan kepercayaan terhadap leluhur
sebagai suatu hal yang memengaruhi
pembentukan identitas sosial individu. Hal
yang demikian dilihat dari sisi individu
yang begitu bangga akan identitasnya berkat
keikutsertaan leluhurnya. Dengan
kebanggaan ini maka menimbulkan rasa
percaya diri bahwa seakan-akan individu
tersebut benar-benar memiliki ikatan dengan
leluhur dengan segala sesuatu yang
dipercayainya.
Hal ini ditunjukkan pada korpus 6,
yang mana pada level denotasi terlihat
perdebatan antara A Seng dan Babah (Apa)
tentang identitas mereka. A Seng merasa
bangga dengan Taiwan karena dia
menganggap Taiwan sebagai tanah
leluhurnya. Sedang Babah (Apa) yang
notabene yang lahir di Singkawang
menganggap bahwa Indonesia lah tanah
leluhurnya. Hal ini terlihat pada dialog
berikut:
A Seng : “Taiwan bukan negeri orang
Pa, itu tanah leluhur kita.”
Babah (Apa) : “Dari lahir, Apa sudah
bernafas dengan udara
Singkawang, minum dengan air
Singkawang, dan belajar
berjalan di tanah Singkawang,
anak cucu kita akan bilang
Indonesia adalah tanah leluhur
kita.”
Namun, A Seng tetap saja bersikeras
untuk menjunjung tinggi Taiwan sebagai
tanah leluhurnya.
Pada level konotasi, korpus ini
menunjukkan bahwa terjadi silang pendapat
antara A Seng dan Babah (Apa). Perbedaan
pendapat antara ayah dan anak ini berada
pada level kegelisahan dimana mereka
berada di dua budaya. Di sini tampak adanya
transisi budaya sosial yang dialami oleh
kedua personal tersebut yaitu A Seng dan
Babah (Apa). A Seng sangat membangga-
banggakan Taiwan, sedangkan Babah (Apa)
merasa bahwa dia adalah bagian dari leluhur
Indonesia. Pada penelitian-penelitian
sebelumnya umumnya Tionghoa Indonesia
ingin berbaur menjadi seorang yang
dikatakan Indonesia, tetapi lain halnya
dengan FTV ini A Seng lebih berat ke
Taiwan dibandingkan di Singkawang.
Dari awal film Bakpao Ping Ping ini
seringkali disebut kata Taiwan. Etnis
Tionghoa dalam film ini terus memandang
ke Taiwan sebagai leluhur mereka. Pada
dasarnya etnis Tionghoa Singkawang dan
Taiwan berasal dari tempat yang sama yaitu
Teluk Fujian salah satu provinsi di RRC.
Seperti yang dikatakan dalam buku Orang
Cina Khek dari Singkawang (2005) dalam
(http://id.fjta.com/Indonesia/intro.aspx?typei
d=10/ diakses pada tanggal 21/01/2013
pukul 21:29) yaitu tidak hanya yang kita
kenal yaitu ‘orang China’ saja. Orang
Tionghoa di Indonesia datang dari dua
propinsi yaitu Fujian dan Guangdong.
3. Penggunaan Bahasa
Bahasa merupakan komponen dari
identitas sosial itu sendiri. Bahasa digunakan
ketika satu individu berinteraksi dengan
individu lainnya. Dalam FTV Bakpao Ping
Ping, terdapat permasalahan mengenai
bahasa yang digunakan di Singkawang dan
bahasa yang digunakan di Taiwan. Keadaan
ini mempengaruhi identitas sosial individu
yang dilema akan nasibnya di Indonesia dan
di Taiwan.
Hal ini tampak pada korpus 5, pada
korpus 5 di level denotasi menunjukkan
11
perbincangan antara A Seng dengan Ai
Lani. Ketika A Seng mengutarakan
keinginannya ke Taiwan, Ai Lani malah
menertawakannya sambil berkata
“A Seng kamu gimana bisa ke
Taiwan, kamu sehari-hari
ngomong pake bahasa Ke, di sana
itu pake bahasa Mandarin. Apa
kamu bisa bahasa Mandarin?”
A Seng yang ingin sekali ke Taiwan
tidak mempermasalahkan bahasa meskipun
dia benar-benar tidak bisa. Dia berusaha
meyakinkan Ai Lani kalau dengan belajar
dia akan bisa.
Pada level konotasi, korpus ini
menunjukkan kalau bahasa itu adalah
masalah yang penting. A Seng belum
mengetahui akan serumit itu jika dia ingin
ke Taiwan. Di sini terlihat bahwa terdapat
perbedaan sosial yaitu bahasa sangat
memberikan pengaruh. Sedari kecil A Seng
hanya mengenal bahasa Cina Ke dan bahasa
Indonesia saja. Sebagai etnis Tionghoa
peranakan maka A Seng tidak terbiasa
dengan bahasa Mandarin. Sama halnya
dengan apa yang diungkapkan etnis
Tionghoa bahwa mereka berkeinginan untuk
tinggal di Tiongkok, Hong Kong, atau
Taiwan yaitu tempat dimana mereka dapat
secara leluasa melaksanakan kebebasan
kebudayaan mereka. Akan tetapi mereka
juga mengakui bahwa pada akhirnya
memilih untuk tinggal di Indonesia karena
tidak dapat berbicara bahasa Mandarin
(Dawis, 2010: 9).
Di atas disebutkan tentang bahasa Ke
dan bahasa Mandarin. Kedua bahasa
tersebut merupakan bahasa yang umum
digunakan oleh etnis Tionghoa. FTV
Bakpao Ping Ping menceritakan tentang
etnis Tionghoa di Singkawang, Kalimantan
Barat. Sehingga dapat dikatakan bahwa etnis
Tionghoa di sini merupakan rumpun bahasa
Melayu-Polinesia yaitu bahasa yang biasa
digunakan di daerah Taiwan. Bahasa ini
juga dipergunakan di Malaysia dan seluruh
kepulauan di Asia Tenggara, termasuk
Indonesia. Yang kemudian membedakan
antara bahasa Mandarin dengan bahasa Ke
atau dikenal dengan bahasa Hakka adalah
jika bahasa mandarin merupakan bahasa
persatuannya sedangkan bahasa Ke (Hakka)
adalah bahasa daerahnya (Taniputera, 2008:
24).
C. Identitas Kultural (Cultural Identity)
Identitas sepenuhnya bersifat sosial
dan kultural, hal ini disebabkan oleh
beberapa alasan berikut ini. Pertama,
pandangan tentang bagaimana seharusnya
menjadi seseorang adalah pertanyaan
kultural, sebagai contoh adalah
individualisme merupakan ciri khas
masyarakat modern. Kedua, sumber daya
yang membentuk materi bagi proyek
identitas, yaitu bahasa dan praktik kultural,
berkarakter sosial. Walhasil, apa yang
dimaksud dengan perempuan, anak, orang
Asia atau orang tua dibentuk secara berbeda
pada konteks-konteks kultural yang berbeda
pula (Barker, 2010: 176).
Identitas kultural atau identitas
budaya merupakan elemen utama dalam
komunikasi antarbudaya. Chuang
mengatakan (Samovar dkk, 2010:200)
bahwa identitas budaya menjadi kabur di
tengah-tengah integrasi budaya, interaksi
bikultur, pernikahan antar ras, dan proses
adaptasi yang saling menguntungkan.
Kemudian hal ini diperkuat dengan pendapat
Martin, Nekayama, dan Flores yang
menyatakan kesetujuannya dengan berkata
bahwa “orang yang hidup ‘diantara’
identitas budaya meningkat jumlahnya, yaitu
orang yang memiliki lebih dari satu identitas
etnis, ras, atau agama (Samovar dkk,
2010:201). Dalam penelitian ini penulis
mengkategorikan identitas kultural di dalam
FTV Bakpao Ping Ping salah satunya yang
berkaitan dengan masalah identitas adalah
aspek religi.
12
Pada korpus 10 level denotasi
sutradara memperlihatkan A Seng dan
Babah (Apa) menaburkan abu Ama di laut.
Gambar diambil dengan medium shot yang
mana terlihat bagian fisik dari pinggang
hingga ke atas. Sutradara ingin
memperlihatkan kedukaan pada adegan ini
sehingga ditambahkan efek warna yang
sedikit gelap.
Pada level konotasi korpus 18
menunjukkan kedukaan terlihat dari baju
yang dikenakan A Seng dan Babah (Apa)
yang berwarna putih. Warna putih untuk
etnis Tionghoa memiliki arti yang mana
melambangkan kesedihan
(budayahijau.blogspot.com/ diakses pada
tanggal 28/11/12 pukul 22:20). Orang yang
berkabung (istilahnya Hao Lam)
mengenakan pakaian serba putih, topi putih
yang terbuat dari kain blacu. Selain itu juga
dipasang Ha di lengan baju kiri tanda
berkabung. Ha adalah tanda perkabungan
yang dijahit segi empat dengan dua warna
dan dilekatkan pada bagian lengan pakaian
yang berkabung, warnanya ada bermacam-
macam misalnya putih dan hitam, putih dan
biru. Pemilihan warna berdasarkan statusnya
dalam keluarga tersebut. Tujuan mereka
memakai pakaian berkabung adalah untuk
meringankan penderitaan orang yanag
meninggal, semakin kental tradisi itu
dijalankan maka semakin ringan
penderitaannya
(https://sites.google.com/a/saumimansaud.or
g/www/kematian/ diakses tanggal
02/11/2012 pada pukul 09:46).
Tradisi membuang abu orang yang
meninggal di laut sesuai dengan permintaan
atau pesan yang ditinggalkan oleh
Almarhum. Tetapi juga untuk memetingkan
aspek kesehatan maka etnis Tionghoa
biasanya membuang abu orang meninggal
ke laut. Jenazah orang yang meninggal bisa
saja mengandung bibit penyakit yang
menular, jika dikebumikan kemungkinan
untuk menyebarnya bibit penyakit ini masih
tetap ada, tetapi hal ini dapat dicegah
bilamana jenazah tersebut dikremasi.
Kemudian juga pada hal ekonomi biasanya
dilakukan bagi yang kurang mampu. Dengan
begitu bila jenazah diperabukan dan abu
jenazah disempurnakan, ditaburkan ke laut,
tentu masalah pemindahan makam,
mahalnya harga tanah, tingginya biaya
perawatan tidak perlu dipikirkan lagi
(www.reocities.com/Athens/olympus/2532/t
radisi.html / diakses 02/11/2012 pada pukul
10:03).
E. Kesimpulan
Film Televisi (FTV) Bakpao Ping
Ping menceritakan tentang gambaran etnis
Tionghoa yang merasa dilema atau
kebimbangan dalam pencarian identitasnya
karena memiliki dua budaya sekaligus.
Dalam FTV ini terpapar seorang Tionghoa
menentukan jati dirinya sebagai etnis
Tionghoa yang harus berkiblat ke asal usul
dirinya di Taiwan atau tetap menjadikannya
etnis Tionghoa Indonesia. Hal ini bukanlah
persoalan yang mudah untuk ditentukan
karena hal ini sudah berlangsung sejak lama.
Kajian perihal dilema etnis Tionghoa
dalam FTV Bakpao Ping Ping yang
didukung oleh aspek naratif dan
sinematografi ini menggunakan analisis
semiotik model Roland Barthes yaitu
dengan kajian pada level denotasi, konotasi
dan mitos. Dengan kajian tersebut dirasa
mampu untuk mengungkapkan dilema
identitas etnis Tionghoa dalam FTV Bakpao
Ping Ping. Berikut adalah kesimpulan yang
dapat diambil dari hasil penelitian dan
merupakan jawaban dari rumusan masalah
13
yaitu bagaimana representasi identitas etnis
Tionghoa di Singkawang dalam film televisi
Bakpao Ping Ping.
Dilema etnis Tionghoa yang terlihat
dalam konsep FTV Bakpao Ping Ping
terjadi pada kondisi internal dan eksternal
etnis Tionghoa. Kondisi dilema tersebut
dapat dilihat karena etnis Tionghoa
Indonesia masih terpengaruh oleh tradisi-
tradisi etnis Tionghoa yang kental dan
kejayaan Taiwan. Etnis Tionghoa Indonesia
seringkali membandingkan keadaan mereka
dengan etnis Tionghoa Taiwan yang lebih
maju. Puncaknya bahwa etnis Tionghoa di
Indonesia belum sepenuhnya menjadi
Indonesia. Tidak semua etnis Tionghoa
makmur. Dilema itu bergejolak dalam diri
etnis Tionghoa Indonesia yang mana di
representasikan dalam film televisi Bakpao
Ping Ping yaitu dalam bentuk
ketidakmampuan dalam mencapai
kemakmuran atau kesejahteraan.
F. Saran
Dari hasil penelitian dan kesimpulan
yang peneliti dapatkan, maka dapat
disampaikan beberapa saran yaitu sebagai
berikut:
1. Bagi Komunikator (Produser Film,
Sutradara)
Indonesia merupakan negara yang
multikultural dengan memiliki banyak
suku, budaya, dan agama. Berdasarkan
itu pula Indonesia seringkali diterpa isu
sara dan akhirnya menimbulkan konflik.
Sebagai sineas diharapkan bisa
memproduksi film yang sarat pesan
moral, nilai budaya, dan pengetahuan
sebagai alat pemersatu bangsa. Tidak
hanya tentang etnis Tionghoa Indonesia
saja tetapi bisa dengan mengambil dari
segi budaya lain yang ada di Indonesia
dan mengaplikasikannya dalam bentuk
film.
2. Bagi Komunikan (Masyarakat)
Diharapkan penikmat dunia perfilman
lebih cerdas memilih film yang
berkualitas dan mendidik anak bangsa
serta dapat menerapkannya sebagai
panduan dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu penikmat dunia perfilman
sebaiknya lebih kritis terhadap isi pesan
film yang kadang kala merugikan dan
tidak memberikan kontribusi positif
pada bangsa ini.
3. Bagi Akademisi
Saran untuk peneliti baru yang
menyukai penelitian tentang etnis dan
budaya, masih banyak hal yang dapat
digali mengenai aspek budaya dalam
sebuah film. Seperti penelitian yang
dilakukan peneliti yang berkaitan
tentang identitas etnis Tionghoa. Bagi
peneliti yang menginginkan objek yang
sama maka bisa diteliti lebih dalam lagi
dengan metode penelitian analisis yang
sama atau berbeda semisal analisis
wacana. Ada beberapa isu yang menarik
dan dapat diteliti lebih dalam lagi, salah
satunya adalah film Bakpao Ping Ping
juga mengangkat isu perempuan etnis
Tionghoa di Singkawang. Peneliti baru
dapat menelitinya dengan tambahan
yaitu dengan berbagai referensi buku
ataupun sumber-sumber lainnya.
Semoga penelitian ini bermanfaat untuk
menambah pengetahuan dan wawasan
serta dapat menjadi bahan referensi
kelak dalam penelitian selanjutnya
G. DAFTAR PUSTAKA
BUKU:
Afif, Afthonul. 2012. Identitas Tionghoa
Muslim Indonesia : Pergulatan
mencari jati diri. Depok: Kepik.
Barker, Chris. 2011. Cultural Studies Teori
Dan Praktik. Yogyakarta: Kreasi
Wacana.
Cheng, Kho Gaik. 2011. Mau Dibawa
Kemana Sinema Kita: Beberapa
14
Wacana Seputar Film Indonesia.
Jakarta: Salemba Humanika.
Dawis, Aimee. 2010. Orang Indonesia
Tionghoa Mencari Identitas.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Faturochman dkk. 2012. Psikologi Untuk
Kesejahteraan Masyarakat.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fiske, John. 2004. Cultural and
Communication Studies.
Yogyakarta: Jalasutra.
Hoed, Benny H. 2008. Semiotik dan
Dinamika Sosial Budaya. Depok:
Komunitas Bambu
Liliweri, Alo. 2011. Gatra-Gatra
Komunikasi Antar Budaya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mulyana, Deddy. 2004. Komunikasi Efektif
Suatu Pendekatan Lintasbudaya.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Pratista, Himawan. 2008. Memahami Film.
Yogyakarta: Homerian Pustaka
Samovar, Larry A dkk. 2010. Komunikasi
Lintas Budaya (Communication
Between Cultures) jilid 7. Jakarta:
Salemba Humanika.
Taniputera, Ivan. 2008. History of
China.Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media.
Tilaar. 2007. Mengindonesiakan Etnisitas
dan Identitas Bangsa Indonesia.
Jakarta: Rineka Cipta.
___________2008. Kamus Besar Bahasa
Indonesia Edisi Keempat. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama.
WEBSITE:
www.wowkeren.com/seleb/andy_lau/film/
diakses tanggal 27/11/2012 pukul
20:43
http://ichall-
movie.blogspot.com/2011/04/god-
of-gamblers-2-knight-of-
gamblers.html/ diakses pada
tanggal 21/01/2013 pukul 19:47
http://id.fjta.com/Indonesia/intro.aspx?typei
d=10/ diakses pada tanggal
21/01/2013 pukul 21:29
budayahijau.blogspot.com/ diakses pada
tanggal 28/11/12 pukul 22:20
https://sites.google.com/a/saumimansaud.or
g/www/kematian/ diakses tanggal
02/11/2012 pada pukul 09:46
www.reocities.com/Athens/olympus/2532/tr
adisi.html / diakses 02/11/2012
pada pukul 10:03
SKRIPSI
Nugroho, Setyo. 2004. Representasi Budaya
Tionghoa di tengah Pluralitas Etnis
di Betawi (Studi Pesan Dalam Film
“Ca Bau Kan” Menggunakan
Analisa Semiologi Komunikasi.
Skripsi pada Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik UNS. Surakarta:
Tidak Dipublikasikan.
Kusuma, Rinasari. 2007. Representasi
Asimilasi Etnis Cina Ke Dalam
Budaya Padang (Analisis Semiotika
Komunikasi Tentang Faktor
Pendukung dan Penghambat
Asimilasi dalam Film “Jangan
Panggil Aku Cina”). Skripsi Pada
Program Ilmu Komunikasi Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNS.
Surakarta: Tidak Dipublikasikan
15

More Related Content

Similar to 02. naskah publikasi

Akulturasi 2
Akulturasi 2Akulturasi 2
Akulturasi 2iwan Alit
 
Identitas nasional
Identitas nasionalIdentitas nasional
Identitas nasionalGozali Ghozi
 
Miskomunikasi di Kalangan Mahasiswa Akibat Perbedaan Latar Belakang Budaya
Miskomunikasi di Kalangan Mahasiswa Akibat Perbedaan Latar Belakang BudayaMiskomunikasi di Kalangan Mahasiswa Akibat Perbedaan Latar Belakang Budaya
Miskomunikasi di Kalangan Mahasiswa Akibat Perbedaan Latar Belakang BudayaRizkiMagfirah
 
MISKOMUNIKASI DI KALANGAN MAHASISWA AKIBAT PERBEDAAN LATAR BELAKANG BUDAYA_IS...
MISKOMUNIKASI DI KALANGAN MAHASISWA AKIBAT PERBEDAAN LATAR BELAKANG BUDAYA_IS...MISKOMUNIKASI DI KALANGAN MAHASISWA AKIBAT PERBEDAAN LATAR BELAKANG BUDAYA_IS...
MISKOMUNIKASI DI KALANGAN MAHASISWA AKIBAT PERBEDAAN LATAR BELAKANG BUDAYA_IS...Aurellia Christy
 
History and intercultural comm
History and intercultural commHistory and intercultural comm
History and intercultural commaulianastiti
 
Sosiologi sma kelas x vina dwi laning-2009
Sosiologi sma kelas x vina dwi laning-2009Sosiologi sma kelas x vina dwi laning-2009
Sosiologi sma kelas x vina dwi laning-2009Rohadi Rohadi
 
ANTROPOLOGI MUHAMMAD FULLY ALI 202241030.docx
ANTROPOLOGI MUHAMMAD FULLY ALI 202241030.docxANTROPOLOGI MUHAMMAD FULLY ALI 202241030.docx
ANTROPOLOGI MUHAMMAD FULLY ALI 202241030.docxfullyali
 
Analisis studi etnografi
Analisis studi etnografiAnalisis studi etnografi
Analisis studi etnografifajrisaptaji
 
Kata pengantar
Kata pengantarKata pengantar
Kata pengantarDaka Jagur
 
1. intergrasi nasional power_point
1. intergrasi nasional power_point1. intergrasi nasional power_point
1. intergrasi nasional power_pointWidodo Imanly
 
1. intergrasi nasional power_point
1. intergrasi nasional power_point1. intergrasi nasional power_point
1. intergrasi nasional power_pointWidodo Imanly
 
Pancasila Sebagai Identitas Bangsa Indonesia
Pancasila Sebagai Identitas Bangsa IndonesiaPancasila Sebagai Identitas Bangsa Indonesia
Pancasila Sebagai Identitas Bangsa IndonesiaNoorFirmansyah
 
PPT SEMINTER DI UNISMA FIKS.pdf
PPT SEMINTER DI UNISMA FIKS.pdfPPT SEMINTER DI UNISMA FIKS.pdf
PPT SEMINTER DI UNISMA FIKS.pdfnataliadjahi1
 
Peranan bahasa indonesia dalam perkembangan budaya daerah
Peranan bahasa indonesia dalam perkembangan budaya daerahPeranan bahasa indonesia dalam perkembangan budaya daerah
Peranan bahasa indonesia dalam perkembangan budaya daerahHikmah Siti Nazwah
 
Makalah kewarganegaraan
Makalah kewarganegaraanMakalah kewarganegaraan
Makalah kewarganegaraandinasep
 
Konflik Antar Mahasiswa dan Dosen
Konflik Antar Mahasiswa dan DosenKonflik Antar Mahasiswa dan Dosen
Konflik Antar Mahasiswa dan DosenVanyaIzzati
 

Similar to 02. naskah publikasi (20)

Akulturasi 2
Akulturasi 2Akulturasi 2
Akulturasi 2
 
Pkn makalah identitas nasional
Pkn makalah identitas nasionalPkn makalah identitas nasional
Pkn makalah identitas nasional
 
Identitas nasional
Identitas nasionalIdentitas nasional
Identitas nasional
 
Miskomunikasi di Kalangan Mahasiswa Akibat Perbedaan Latar Belakang Budaya
Miskomunikasi di Kalangan Mahasiswa Akibat Perbedaan Latar Belakang BudayaMiskomunikasi di Kalangan Mahasiswa Akibat Perbedaan Latar Belakang Budaya
Miskomunikasi di Kalangan Mahasiswa Akibat Perbedaan Latar Belakang Budaya
 
MISKOMUNIKASI DI KALANGAN MAHASISWA AKIBAT PERBEDAAN LATAR BELAKANG BUDAYA_IS...
MISKOMUNIKASI DI KALANGAN MAHASISWA AKIBAT PERBEDAAN LATAR BELAKANG BUDAYA_IS...MISKOMUNIKASI DI KALANGAN MAHASISWA AKIBAT PERBEDAAN LATAR BELAKANG BUDAYA_IS...
MISKOMUNIKASI DI KALANGAN MAHASISWA AKIBAT PERBEDAAN LATAR BELAKANG BUDAYA_IS...
 
History and intercultural comm
History and intercultural commHistory and intercultural comm
History and intercultural comm
 
Sosiologi sma kelas x vina dwi laning-2009
Sosiologi sma kelas x vina dwi laning-2009Sosiologi sma kelas x vina dwi laning-2009
Sosiologi sma kelas x vina dwi laning-2009
 
observasi
observasiobservasi
observasi
 
Obseravsi
ObseravsiObseravsi
Obseravsi
 
ANTROPOLOGI MUHAMMAD FULLY ALI 202241030.docx
ANTROPOLOGI MUHAMMAD FULLY ALI 202241030.docxANTROPOLOGI MUHAMMAD FULLY ALI 202241030.docx
ANTROPOLOGI MUHAMMAD FULLY ALI 202241030.docx
 
Antropologi
Antropologi Antropologi
Antropologi
 
Analisis studi etnografi
Analisis studi etnografiAnalisis studi etnografi
Analisis studi etnografi
 
Kata pengantar
Kata pengantarKata pengantar
Kata pengantar
 
1. intergrasi nasional power_point
1. intergrasi nasional power_point1. intergrasi nasional power_point
1. intergrasi nasional power_point
 
1. intergrasi nasional power_point
1. intergrasi nasional power_point1. intergrasi nasional power_point
1. intergrasi nasional power_point
 
Pancasila Sebagai Identitas Bangsa Indonesia
Pancasila Sebagai Identitas Bangsa IndonesiaPancasila Sebagai Identitas Bangsa Indonesia
Pancasila Sebagai Identitas Bangsa Indonesia
 
PPT SEMINTER DI UNISMA FIKS.pdf
PPT SEMINTER DI UNISMA FIKS.pdfPPT SEMINTER DI UNISMA FIKS.pdf
PPT SEMINTER DI UNISMA FIKS.pdf
 
Peranan bahasa indonesia dalam perkembangan budaya daerah
Peranan bahasa indonesia dalam perkembangan budaya daerahPeranan bahasa indonesia dalam perkembangan budaya daerah
Peranan bahasa indonesia dalam perkembangan budaya daerah
 
Makalah kewarganegaraan
Makalah kewarganegaraanMakalah kewarganegaraan
Makalah kewarganegaraan
 
Konflik Antar Mahasiswa dan Dosen
Konflik Antar Mahasiswa dan DosenKonflik Antar Mahasiswa dan Dosen
Konflik Antar Mahasiswa dan Dosen
 

Recently uploaded

Aksi Nyata Menyebarkan Pemahaman Merdeka Belajar.pdf
Aksi Nyata Menyebarkan Pemahaman Merdeka Belajar.pdfAksi Nyata Menyebarkan Pemahaman Merdeka Belajar.pdf
Aksi Nyata Menyebarkan Pemahaman Merdeka Belajar.pdfsubki124
 
AKSI NYATA Numerasi Meningkatkan Kompetensi Murid_compressed (1) (1).pptx
AKSI NYATA  Numerasi  Meningkatkan Kompetensi Murid_compressed (1) (1).pptxAKSI NYATA  Numerasi  Meningkatkan Kompetensi Murid_compressed (1) (1).pptx
AKSI NYATA Numerasi Meningkatkan Kompetensi Murid_compressed (1) (1).pptxnursariheldaseptiana
 
Materi Sistem Pernapasan Pada Manusia untuk kelas 5 SD
Materi Sistem Pernapasan Pada Manusia untuk kelas 5 SDMateri Sistem Pernapasan Pada Manusia untuk kelas 5 SD
Materi Sistem Pernapasan Pada Manusia untuk kelas 5 SDsulistyaningsihcahyo
 
Asimilasi Masyarakat Cina Dengan Orang Melayu di Kelantan (Cina Peranakan Kel...
Asimilasi Masyarakat Cina Dengan Orang Melayu di Kelantan (Cina Peranakan Kel...Asimilasi Masyarakat Cina Dengan Orang Melayu di Kelantan (Cina Peranakan Kel...
Asimilasi Masyarakat Cina Dengan Orang Melayu di Kelantan (Cina Peranakan Kel...luqmanhakimkhairudin
 
UAS Matematika kelas IX 2024 HK_2024.pdf
UAS Matematika kelas IX 2024 HK_2024.pdfUAS Matematika kelas IX 2024 HK_2024.pdf
UAS Matematika kelas IX 2024 HK_2024.pdfssuser29a952
 
PELAKSANAAN (dgn PT SBI) + Link2 Materi Pelatihan _"Teknik Perhitungan TKDN, ...
PELAKSANAAN (dgn PT SBI) + Link2 Materi Pelatihan _"Teknik Perhitungan TKDN, ...PELAKSANAAN (dgn PT SBI) + Link2 Materi Pelatihan _"Teknik Perhitungan TKDN, ...
PELAKSANAAN (dgn PT SBI) + Link2 Materi Pelatihan _"Teknik Perhitungan TKDN, ...Kanaidi ken
 
Penyuluhan DM Tipe II Kegiatan Prolanis.ppt
Penyuluhan DM Tipe II Kegiatan Prolanis.pptPenyuluhan DM Tipe II Kegiatan Prolanis.ppt
Penyuluhan DM Tipe II Kegiatan Prolanis.pptpalagoro17
 
SISTEM SARAF OTONOM_.SISTEM SARAF OTONOM
SISTEM SARAF OTONOM_.SISTEM SARAF OTONOMSISTEM SARAF OTONOM_.SISTEM SARAF OTONOM
SISTEM SARAF OTONOM_.SISTEM SARAF OTONOMhanyakaryawan1
 
BAB 1 BEBATAN DAN BALUTAN DALAM PERTOLONGAN CEMAS
BAB 1 BEBATAN DAN BALUTAN DALAM PERTOLONGAN CEMASBAB 1 BEBATAN DAN BALUTAN DALAM PERTOLONGAN CEMAS
BAB 1 BEBATAN DAN BALUTAN DALAM PERTOLONGAN CEMASNursKitchen
 
MESYUARAT KURIKULUM BIL 1/2024 SEKOLAH KEBANGSAAN SRI SERDANG
MESYUARAT KURIKULUM BIL 1/2024 SEKOLAH KEBANGSAAN SRI SERDANGMESYUARAT KURIKULUM BIL 1/2024 SEKOLAH KEBANGSAAN SRI SERDANG
MESYUARAT KURIKULUM BIL 1/2024 SEKOLAH KEBANGSAAN SRI SERDANGmamaradin
 
Laporan RHK PMM Observasi Target Perilaku.docx
Laporan RHK PMM Observasi Target Perilaku.docxLaporan RHK PMM Observasi Target Perilaku.docx
Laporan RHK PMM Observasi Target Perilaku.docxJajang Sulaeman
 
MODUL AJAR SENI MUSIK KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR SENI MUSIK KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR SENI MUSIK KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR SENI MUSIK KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfAndiCoc
 
Webinar 1_Pendidikan Berjenjang Pendidikan Inklusif.pdf
Webinar 1_Pendidikan Berjenjang Pendidikan Inklusif.pdfWebinar 1_Pendidikan Berjenjang Pendidikan Inklusif.pdf
Webinar 1_Pendidikan Berjenjang Pendidikan Inklusif.pdfTeukuEriSyahputra
 
sistem digesti dan ekskresi pada unggas ppt
sistem digesti dan ekskresi pada unggas pptsistem digesti dan ekskresi pada unggas ppt
sistem digesti dan ekskresi pada unggas ppthidayatn24
 
443016507-Sediaan-obat-PHYCOPHYTA-MYOPHYTA-dan-MYCOPHYTA-pptx.pptx
443016507-Sediaan-obat-PHYCOPHYTA-MYOPHYTA-dan-MYCOPHYTA-pptx.pptx443016507-Sediaan-obat-PHYCOPHYTA-MYOPHYTA-dan-MYCOPHYTA-pptx.pptx
443016507-Sediaan-obat-PHYCOPHYTA-MYOPHYTA-dan-MYCOPHYTA-pptx.pptxErikaPutriJayantini
 
Pembahasan Soal Ujian Komprehensif Farmasi Perapotekan
Pembahasan Soal Ujian Komprehensif Farmasi PerapotekanPembahasan Soal Ujian Komprehensif Farmasi Perapotekan
Pembahasan Soal Ujian Komprehensif Farmasi PerapotekanNesha Mutiara
 
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,Swamedikasi 3.pptx
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,Swamedikasi 3.pptx,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,Swamedikasi 3.pptx
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,Swamedikasi 3.pptxfurqanridha
 
Aksi Nyata profil pelajar pancasila.pptx
Aksi Nyata profil pelajar pancasila.pptxAksi Nyata profil pelajar pancasila.pptx
Aksi Nyata profil pelajar pancasila.pptxTekiMulyani
 
KISI-KISI SOAL DAN KARTU SOAL BAHASA INGGRIS.docx
KISI-KISI SOAL DAN KARTU SOAL BAHASA INGGRIS.docxKISI-KISI SOAL DAN KARTU SOAL BAHASA INGGRIS.docx
KISI-KISI SOAL DAN KARTU SOAL BAHASA INGGRIS.docxDewiUmbar
 
Modul Ajar IPAS Kelas 4 Fase B Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
Modul Ajar IPAS Kelas 4 Fase B Kurikulum Merdeka [abdiera.com]Modul Ajar IPAS Kelas 4 Fase B Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
Modul Ajar IPAS Kelas 4 Fase B Kurikulum Merdeka [abdiera.com]Abdiera
 

Recently uploaded (20)

Aksi Nyata Menyebarkan Pemahaman Merdeka Belajar.pdf
Aksi Nyata Menyebarkan Pemahaman Merdeka Belajar.pdfAksi Nyata Menyebarkan Pemahaman Merdeka Belajar.pdf
Aksi Nyata Menyebarkan Pemahaman Merdeka Belajar.pdf
 
AKSI NYATA Numerasi Meningkatkan Kompetensi Murid_compressed (1) (1).pptx
AKSI NYATA  Numerasi  Meningkatkan Kompetensi Murid_compressed (1) (1).pptxAKSI NYATA  Numerasi  Meningkatkan Kompetensi Murid_compressed (1) (1).pptx
AKSI NYATA Numerasi Meningkatkan Kompetensi Murid_compressed (1) (1).pptx
 
Materi Sistem Pernapasan Pada Manusia untuk kelas 5 SD
Materi Sistem Pernapasan Pada Manusia untuk kelas 5 SDMateri Sistem Pernapasan Pada Manusia untuk kelas 5 SD
Materi Sistem Pernapasan Pada Manusia untuk kelas 5 SD
 
Asimilasi Masyarakat Cina Dengan Orang Melayu di Kelantan (Cina Peranakan Kel...
Asimilasi Masyarakat Cina Dengan Orang Melayu di Kelantan (Cina Peranakan Kel...Asimilasi Masyarakat Cina Dengan Orang Melayu di Kelantan (Cina Peranakan Kel...
Asimilasi Masyarakat Cina Dengan Orang Melayu di Kelantan (Cina Peranakan Kel...
 
UAS Matematika kelas IX 2024 HK_2024.pdf
UAS Matematika kelas IX 2024 HK_2024.pdfUAS Matematika kelas IX 2024 HK_2024.pdf
UAS Matematika kelas IX 2024 HK_2024.pdf
 
PELAKSANAAN (dgn PT SBI) + Link2 Materi Pelatihan _"Teknik Perhitungan TKDN, ...
PELAKSANAAN (dgn PT SBI) + Link2 Materi Pelatihan _"Teknik Perhitungan TKDN, ...PELAKSANAAN (dgn PT SBI) + Link2 Materi Pelatihan _"Teknik Perhitungan TKDN, ...
PELAKSANAAN (dgn PT SBI) + Link2 Materi Pelatihan _"Teknik Perhitungan TKDN, ...
 
Penyuluhan DM Tipe II Kegiatan Prolanis.ppt
Penyuluhan DM Tipe II Kegiatan Prolanis.pptPenyuluhan DM Tipe II Kegiatan Prolanis.ppt
Penyuluhan DM Tipe II Kegiatan Prolanis.ppt
 
SISTEM SARAF OTONOM_.SISTEM SARAF OTONOM
SISTEM SARAF OTONOM_.SISTEM SARAF OTONOMSISTEM SARAF OTONOM_.SISTEM SARAF OTONOM
SISTEM SARAF OTONOM_.SISTEM SARAF OTONOM
 
BAB 1 BEBATAN DAN BALUTAN DALAM PERTOLONGAN CEMAS
BAB 1 BEBATAN DAN BALUTAN DALAM PERTOLONGAN CEMASBAB 1 BEBATAN DAN BALUTAN DALAM PERTOLONGAN CEMAS
BAB 1 BEBATAN DAN BALUTAN DALAM PERTOLONGAN CEMAS
 
MESYUARAT KURIKULUM BIL 1/2024 SEKOLAH KEBANGSAAN SRI SERDANG
MESYUARAT KURIKULUM BIL 1/2024 SEKOLAH KEBANGSAAN SRI SERDANGMESYUARAT KURIKULUM BIL 1/2024 SEKOLAH KEBANGSAAN SRI SERDANG
MESYUARAT KURIKULUM BIL 1/2024 SEKOLAH KEBANGSAAN SRI SERDANG
 
Laporan RHK PMM Observasi Target Perilaku.docx
Laporan RHK PMM Observasi Target Perilaku.docxLaporan RHK PMM Observasi Target Perilaku.docx
Laporan RHK PMM Observasi Target Perilaku.docx
 
MODUL AJAR SENI MUSIK KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR SENI MUSIK KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR SENI MUSIK KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR SENI MUSIK KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
Webinar 1_Pendidikan Berjenjang Pendidikan Inklusif.pdf
Webinar 1_Pendidikan Berjenjang Pendidikan Inklusif.pdfWebinar 1_Pendidikan Berjenjang Pendidikan Inklusif.pdf
Webinar 1_Pendidikan Berjenjang Pendidikan Inklusif.pdf
 
sistem digesti dan ekskresi pada unggas ppt
sistem digesti dan ekskresi pada unggas pptsistem digesti dan ekskresi pada unggas ppt
sistem digesti dan ekskresi pada unggas ppt
 
443016507-Sediaan-obat-PHYCOPHYTA-MYOPHYTA-dan-MYCOPHYTA-pptx.pptx
443016507-Sediaan-obat-PHYCOPHYTA-MYOPHYTA-dan-MYCOPHYTA-pptx.pptx443016507-Sediaan-obat-PHYCOPHYTA-MYOPHYTA-dan-MYCOPHYTA-pptx.pptx
443016507-Sediaan-obat-PHYCOPHYTA-MYOPHYTA-dan-MYCOPHYTA-pptx.pptx
 
Pembahasan Soal Ujian Komprehensif Farmasi Perapotekan
Pembahasan Soal Ujian Komprehensif Farmasi PerapotekanPembahasan Soal Ujian Komprehensif Farmasi Perapotekan
Pembahasan Soal Ujian Komprehensif Farmasi Perapotekan
 
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,Swamedikasi 3.pptx
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,Swamedikasi 3.pptx,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,Swamedikasi 3.pptx
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,Swamedikasi 3.pptx
 
Aksi Nyata profil pelajar pancasila.pptx
Aksi Nyata profil pelajar pancasila.pptxAksi Nyata profil pelajar pancasila.pptx
Aksi Nyata profil pelajar pancasila.pptx
 
KISI-KISI SOAL DAN KARTU SOAL BAHASA INGGRIS.docx
KISI-KISI SOAL DAN KARTU SOAL BAHASA INGGRIS.docxKISI-KISI SOAL DAN KARTU SOAL BAHASA INGGRIS.docx
KISI-KISI SOAL DAN KARTU SOAL BAHASA INGGRIS.docx
 
Modul Ajar IPAS Kelas 4 Fase B Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
Modul Ajar IPAS Kelas 4 Fase B Kurikulum Merdeka [abdiera.com]Modul Ajar IPAS Kelas 4 Fase B Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
Modul Ajar IPAS Kelas 4 Fase B Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
 

02. naskah publikasi

  • 1. DILEMA IDENTITAS ETNIS TIONGHOA DALAM FILM TELEVISI (FTV) INDONESIA (Analisis Semiotik Tentang Representasi Identitas Etnis Tionghoa Di Singkawang Dalam FTV Bakpao Ping Ping) NASKAH PUBLIKASI Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana S-1 Program Studi Ilmu Komunikasi Disusun oleh : CHLARAS SLISTYARINI NIM. L 100 080 169 PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2013
  • 2. ii
  • 3. Abstrak Chlaras Slistyarini, L100080169, DILEMA IDENTITAS ETNIS TIONGHOA DALAM FILM TELEVISI (FTV) INDONESIA (Analsis Semiotik Tentang Representasi Etnis Tionghoa Di Singkawang Dalam FTV Bakpao Ping Ping), Skripsi, Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Komunikasi dan Informatika, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2008. Film merupakan bagian dari media massa yang mampu merepresentasikan aspek- aspek dari kehidupan nyata. Film adalah bagian dari kajian ilmu komunikasi yang fokus pada studi komunikasi massa. Tema mengenai etnis Tionghoa memang cenderung tabu diperbincangkan mengingat latar belakang bangsa Indonesia dan etnis Tionghoa, namun perkembangan jaman mengubah persepsi tersebut dikala pasca era reformasi. Film ini menyajikan problematika kehidupan etnis Tionghoa di Indonesia yang mengalami dilema akan identitasnya baik identitas personal, identitas sosial, dan identitas kultural. Film dijadikan objek dalam penelitian ini karena di dalam film banyak terdapat tanda-tanda terselubung yang dapat dianalisis secara lebih mendalam. Tujuan dari penelitian ini adalah memberikan bentuk representasi identitas etnis Tionghoa di Singkawang melalui tanda-tanda dalam film televisi Bakpao Ping Ping. Metode analisis yang digunakan peneliti adalah metode analisis semiotika model Roland Barthes. Metode ini mampu mengupas film melalui tanda yang ada di dalamnya dengan pembagian makna denotasi, konotasi, dan mitos. Dalam analisis ini peneliti menampilkan adegan-adegan yang berkaitan dengan dilema identitas etnis Tionghoa. Dari penelitian ini didapatkan kesimpulan bahwa dilema identitas etnis Tionghoa terjadi karena beberapa hal. Dalam FTV Bakpao Ping Ping ini masalah fisik menjadi masalah karena berkaitan dengan unsur rasial yang memberi pengaruh besar pada karakter etnis Tionghoa. Identitas kultural dalam FTV Bakpao Ping Ping ini mengungkap kedilemaan etnis Tionghoa yang tetap mempertahankan identitas kulturalnya dengan tradisi-tradisi yang dianutnya walaupun sebagai etnis yang minoritas. Maka dapat disimpulkan bahwa etnis Tionghoa Singkawang tetap memegang teguh tradisi ketionghoaannya meskipun telah lama menjadi satu dengan tradisi-tradisi di Indonesia. Maka identitas kultural di sini mengacu pada sistem integrasi budaya tetap bergabung dengan identitas baru sebagai orang Indonesia, tetapi tidak dapat meninggalkan tradisi lamanya sebagai etnis Tionghoa. Dilema itu bergejolak dalam diri etnis Tionghoa Indonesia yang mana di representasikan dalam film televisi Bakpao Ping Ping adalah bentuk ketidakmampuan dalam mencapai kemakmuran. Kata kunci: Analisis Semiotika, Dilema, Identitas, Etnis Tionghoa, Film Bakpao Ping Ping. iii
  • 4. A. PENDAHULUAN Isu tentang etnis di Indonesia erat kaitannya dengan keberagaman suku, ras, dan budaya yang tersebar di Indonesia. Namun, pada kenyataannya bahwa perbedaan di Indonesia masih menjadi sebuah masalah yang belum dapat terselesaikan dengan baik. Bak dua sisi mata koin, keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia dapat menjadi kekuatan sekaligus bumerang bagi bangsa ini. Salah satu etnis di Indonesia yaitu etnis Tionghoa. Berkaitan dengan etnis Tionghoa di Indonesia banyak sekali terdapat persoalan, salah satunya adalah persoalan mengenai “ketionghoaan” sebagai jati diri yang dianggap bermasalah. Etnis Tionghoa merupakan kaum minoritas dibandingkan dengan etnis lokal yang berada di Indonesia. Akibatnya, etnis Tionghoa seringkali mengalami diskriminasi dari etnis lokal atau pribumi. Pribumi yang secara harfiah dapat diartikan sebagai putra daerah. Istilah ini mencerminkan semangat nasionalis bangsa Indonesia yang menekankan rasa bangga terhadap tanah air mereka (Dawis, 2010: 15). Banyak etnis Tionghoa di Indonesia tidak lagi menggunakan kebudayaan leluhur mereka. Di samping itu, sebuah traktat yang dikeluarkan oleh pemerintah pada tahun 1968 mengimbau orang Indonesia Tionghoa untuk mengganti nama Tionghoa meraka menjadi nama Indonesia untuk menunjukkan komitmen mereka terhadap negara. Dengan adanya kebijakan tersebut akibatnya etnis Tionghoa yang lahir di Indonesia sesudah tahun 1966 hanya berbicara, menulis, dan membaca dalam bahasa Indonesia (Dawis, 2010: 1). Tidak semudah membalikkan telapak tangan, untuk berbaur secara total dengan negara yang baru perlu adanya penyesuaian. Salah satu alasannya adalah identitas. Identitas etnis Tionghoa di Indonesia masih sering dipertanyakan yang secara tidak langsung mengakibatkan dilema pada diri etnis Tionghoa di Indonesia. Dilema adalah situasi sulit yang mengharuskan orang menentukan pilihan antara dua kemungkinan yang sama-sama tidak menyenangkan atau tidak disukai; situasi yang sulit dan membingungkan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008: 329). Dilema itu dapat terlihat dari bagaimana mereka dihadapkan dengan pribadi yang secara fisik dan budaya adalah Tionghoa tetapi mereka harus menjadi “Indonesia”. Dikatakan menjadi Indonesia dimaksudkan dengan mengubah tata cara hidup mereka dengan mengikuti sistem yang ada di Indonesia. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh adanya penerapan rekategorisasi yang akan berdampak negatif. Brown (2000) menyatakan bahwa proses rekategorisasi dimana kelompok etnis minoritas harus menerima nilai-nilai dan kepercayaan kelompok lain yang lebih tinggi (superordinate), atau dengan kata lain terjadi penyerahan identitas kultural kelompok etnis minoritas yang berdampak negatif (Faturochman dkk, 2012: 160). Menilik perkembangan film yang menggunakan etnis Tionghoa, pada tahun 2010 hadirlah film televisi Bakpao Ping Ping. Dalam film ini Viva Westi sebagai sutradara mengangkat kehidupan etnis Tionghoa di Singkawang, Kalimantan Barat. Film ini menyabet beberapa penghargaan diajang Festival Film Indonesia yang diadakan tanggal 6 Desember 2011 lalu yaitu sebagai FTV terbaik. Film ini menceritakan tentang bagaimana kehidupan etnis Tionghoa di Singkawang. Film disini adalah film dengan jenis fiksi, seperti yang diketahui bahwa jenis film terbagi menjadi beberapa jenis yang diantaranya, film dokumenter yang menyajikan fakta, film ekperimental yaitu film yang tidak memiliki plot tetapi tetap terstruktur. Berbeda dengan dua jenis film tersebut film fiksi merupakan film yang terikat dengan plot. Film fiksi sering 1
  • 5. menggunakan cerita rekaan di luar kejadian nyata serta memiliki konsep peradegan yang telah dirancang sejak awal (Pratista, 2008: 6). Berdasarkan keunikan bagaimana etnis Tionghoa digambarkan dalam film di Indonesia, membuat hal itu menarik untuk dapat diteliti. Berbicara mengenai etnis Tionghoa di Indonesia dan digambarkan melalui film, sebelumnya ada penelitian terdahulu yang relevan milik Setyo Nugroho , mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sebelas Maret (UNS) tahun 2004. Penelitian tersebut berjudul Representasi Budaya Tionghoa di tengah Pluralitas Etnis di Betawi (Studi Pesan Dalam Film “Ca Bau Kan” Menggunakan Analisa Semiologi Komunikasi). Dengan rumusan masalah tanda-tanda apa yang terdapat dalam film Ca Bau Kan yang merupakan representasi budaya Tionghoa di Betawi dan Bagaimana tanda-tanda itu merepresentasikan budaya masyarakat Tionghoa di Betawi?. Inti dari kajian ini adalah pengamatan fokus pada representasi budaya Tionghoa yang ingin disampaikan pembuat film kepada audiencenya dengan menggunakan metode analisa semioligi komunikasi. Penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa terbagi delapan bentuk representasi budaya, yang diantaranya Agama/kepercayaan/mitos dan perilaku ritual, proses belajar, berlatih bekerja sama, penghargaan dan pengakuan, hubungan antar relasi, hubungan dalam keluarga, hubungan dalam pluralitas. Selain itu, ada juga penelitian terdahulu yang diteliti oleh Rinasari Kusuma, mahasiswa Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sebelas Maret (UNS) tahun 2007. Penelitian tersebut berjudul Representasi Asimilasi Etnis Cina Ke Dalam Budaya Padang (Analisis Semiotika Komunikasi Tentang Faktor Pendukung dan Penghambat Asimilasi dalam Film “Jangan Panggil Aku Cina”). Penelitian ini merumuskan tentang makna-makna apa sajakah yang terdapat pada tanda-tanda mengenai faktor pendukung dan penghambat asimilasi etnis Cina ke dalam Budaya Padang dalam film “Jangan Panggil Aku Cina”. Sedangkan, penelitian yang dilakukan peneliti adalah pengamatan yang berkaitan dengan Representasi Identitas Etnis Tionghoa Di Singkawang Yang Digambarkan Dalam Film Televisi (FTV) Bakpao Ping Ping dengan menggunakan metode semiotika dengan pendekatan teknik analisis Semiotika Roland Barthes. Sesuai dengan latar belakang tersebut maka rumusan masalah yang akan diteliti adalah Bagaimana representasi identitas etnis Tionghoa di Singkawang dalam film televisi Bakpao Ping Ping?. Penelitian ini mencoba melakukan analisis terhadap identitas etnis Tionghoa yang direpresentasikan dalam FTV Bakpao Ping Ping. Terkait dengan rumusan masalah tersebut maka tujuan penelitian ini adalah Memberikan bentuk representasi identitas etnis Tionghoa di Singkawang melalui tanda-tanda dalam film televisi Bakpao Ping Ping. B. TINJAUAN PUSTAKA 1. Film sebagai Representasi Realitas Dalam sebuah film maka terdapat narasi dan struktur yang akan membangun film tersebut. Film ibarat cermin dari realitas yang sebenarnya dan hal itu berupa representasi. Representasi yaitu bagaimana dunia ini dikonstruksi dan direpresentasikan secara sosial kepada kita. Representasi dan makna kultural memiliki materialitas tertentu, mereka melekat pada bunyi, prasasti, objek, citra, buku, majalah, dan program televisi (Barker, 2011: 9). Di dalam film kehidupan manusia digambarkan kembali berdasarkan apa yang ada dalam kenyataannya, hal ini biasa 2
  • 6. disebut dengan hipperealitas (kenyataan dalam kenyataan). Namun tidak semua aspek kehidupan dapat di masukkan dalam film, dikarenakan bisa jadi ada unsur subjektivitas dari pembuat film dan merepresentasikannya. Dengan adanya hal tersebut membuat audiens melihat dan mengartikan objek dalam film sebagai suatu hal yang dianggap nyata. Film membangun cara pandang audiencenya. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan representasi identitas etnis Tionghoa dalam Film Bakpao Ping Ping. Bagaimana identitas merupakan suatu hal yang berharga sekali. Dalam film ini banyak sekali diperlihatkan tentang kebimbangan etnis Tionghoa di Singkawang yang konsep pandang mereka berada pada kota-kota besar seperti Jakarta dan Taiwan. Sebagaimana defenisi representasi, maka peneliti akan meneliti unsur-unsur yang berupa tanda, bunyi, atau segala sesuatu yang menghubungkan atau memproduksi sesuatu yang dapat ditangkap indera, dibayangkan, atau dirasakan dalam bentuk fisik tertentu. Adapun jenis-jenis film dapat dikelompokkan pada jenis film dokumenter, film fiksi, dan film eksperimental. a. Film Dokumenter Kunci utama dari film dokumenter adalah penyajian fakta. Film dokumenter berhubungan dengan orang-orang, tokoh, peristiwa, dan lokasi yang nyata. Film dokumenter tidak menciptakan suatu peristiwa atau kejadian namun merekam peristiwa yang sungguh-sungguh terjadi atau otentik. b. Film Fiksi Berbeda dengan film dokumenter, film fiksi terikat oleh plot. Film fiksi sering menggunakan cerita rekaan di luar kejadian nyata sera memiliki konsep pengadeganan yang telah dirancang sejak awal. Struktur cerita film juga terikat hukum kasualitas. c. Film Eksperimental Jenis film ini sangat berbeda dengan dua film sebelumnya. Para sineas eksperimental umumnya bekerja di luar industri film utama (mainstream) dan bekerja pada studio independen atau perorangan. Film eksperimental tidak memiliki plot namun tetap memiliki struktur. Strukturnya sangat dipengaruhi oleh insting subyektif sineas seperti gagasan, ide, emosi, serta pengalaman batin mereka (Pratista, 2008: 4-8). Film Bakpao Ping Ping yang digunakan sebagai subjek penelitian ini sendiri merupakan film fiksi yang tepatnya fiksi drama keluarga. Sehingga ceritanya sudah disetting sedemikian rupa dengan naskah. Begitu pula pada adegan- adegannya yang sudah dirancang dari awal. 2.Identitas Setiap individu membutuhkan cara untuk mencari, memperkenalkan dan kemudian mempertahankan apa yang disebut dengan identitas, Berbicara mengenai identitas maka tak lekang dengan kehidupan sehari-hari. Apa yang kita lakukan, apa yang kita punya, menunjukkan kepada identitas itu sendiri. Salah satu contoh yang paling dekat adalah nama, Nama merupakan identitas yang dimiliki setiap pribadi untuk membedakan satu sama lainnya. Identitas dari Stryker dan Burke (2000) menyebutkan bahwa terdapat tiga penggunaan untuk kata identitas secara umum. Yang pertama adalah berkaitan dengan budaya, seperti penggunaan kata identitas untuk menjelaskan etnisitas seseorang. Penggunaan kata identitas yang kedua adalah berkaitan dengan kategori- kategori kolektif yang berkaitan dengan struktur sosial, seperti kelompok ras, kelompok jenis kelamin, dan lain-lain. Sementara penggunaan kata identitas yang ketiga berkaitan dengan multiperan yang 3
  • 7. dilakukan dalam kehidupan (Faturochman dkk, 2012: 109). Masalah identitas dalam konteks kehidupan etnis Tionghoa Indonesia sangatlah kompleks. Berbagai permasalahan timbul dari aspek sosial, ekonomi, hingga kebudayaan. Persoalan yang seringkali dihubung-hubungkan dengan “masalah Cina” adalah soal sebutan apakah yang dirasa paling sesuai untuk orang-orang Tionghoa di Indonesia, apakah mereka disebut Cina, Tionghoa, Chinese, ataukah Cino?. Etnis Tionghoa merasa bahwa sebutan “Cina” tidak ubahnya kutukan yang harus mereka tanggung, meski mereka tidak sepenuhnya mengerti mengapa kutukan itu selalu dialamatkan kepada mereka (Afif, 2012: 4). Penyebutan yang seperti itu dianggap sebuah sebutan yang mengarah kepada diskriminasi etnis Tionghoa di Indonesia. Identitas kelompok etnis Tionghoa di Indonesia terbagi menjadi dua yaitu etnis Tionghoa totok dan etnis Tionghoa peranakan. Etnis Tionghoa totok merupakan etnis Tionghoa pendatang atau asli dari tanah leluhur Tiongkok. Sedangkan yang disebut sebagai Tionghoa peranakan adalah mereka yang memiliki ciri-ciri : a. Lahir di Indonesia dari ibu dan ayah orang Tionghoa, namun masih memiliki identitas Cina. b. Lahir dari perkawinan campuran antara laki-laki Tionghoa dengan wanita pribumi dan diakui sah oleh sang ayah, serta diberi nama keluarga (she). c. Lahir dari perkawinan campuran antara laki-laki pribumi dengan wanita Tionghoa, karena pengaruh sosial-ekonomi anak tersebut kemudian diberi nama keluarga dan mendapat kedudukan di lingkungan komunitas Tionghoa. d. Lahir dari perkawinan antara laki- laki dan wanita keturunan dari perkawinan campuran antara wanita/laki-laki Tionghoa dengan wanita/laki-laki pribumi (Afif, 2012: 163). Identitas dalam film Bakpao Ping Ping ini sendiri digambarkan dengan adanya cerita dalam film tersebut yang berkaitan dengan individu yang dilema akan identitasnya. Masalah identitas yang akan dibahas dalam film ini berupa bagaimana identitas personal, identitas sosial, dan identitas kultural yang digambarkan melalui karakter peran yang dimainkan dalam ceritanya. 3. Etnis dan Ras Salah satu kekayaan Indonesia adalah keberagaman budayanya. Keberagaman budaya tersebut didukung oleh sub-budaya yang terdiri dari berbagai macam adat istiadat, kesenian tradisional, dan tidak terkecuali etnis dan ras. Dari banyaknya aspek kehidupan di Indonesia maka sering kali timbul kecemburuan sosial. Ada tiga jenis modal yang menentukan kekuasaan dan ketidaksetaraan sosial. Pertama, modal ekonomi, kedua: modal sosial yang berupa hubungan-hubungan sosial, ketiga: modal budaya. Yang terpenting dari ketiga modal tersebut adalah modal budaya dibandingkan dengan modal ekonomi dan modal sosial. Modal budaya sulit berubah-ubah karena telah terbentuk bertahun-tahun (Tilaar, 2007: 93). Dapat dikatakan bahwa modal budaya itu bersifat turun temurun yang terkadang tidak dapat dihindari. Dari berbagai macam modal budaya tersebut maka terciptalah keberagaman budaya. Budaya juga dipengaruhi oleh kehidupan masyarakat itu sendiri. Di antara masyarakat pembentuk itulah dapat dilihat pembeda antara etnis dan ras. Dimana konsep etnis dan ras seringkali salah diartikan sehingga menimbulkan kerancuan makna. Ras adalah suatu kelompok manusia yang agak berbeda dengan kelompok- 4
  • 8. kelompok lainnya dalam segi ciri-ciri fisik bawaan; disamping itu, banyak juga ditentukan oleh pengertian yang digunakan oleh masyarakat. Jadi, ras merupakan kelompok atau kategori orang-orang yang mengidentifikasi diri mereka sendiri, atau diidentifikasi oleh orang-orang lain, sebagai perbedaan sosial yang dilandasi oleg ciri-ciri fisik atau biologis (Liliweri, 2011: 336). Di Indonesia terdapat banyak sekali etnis. Sensus penduduk terbaru yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa terdapat sekitar 1.128 suku bangsa yang hidup di Indonesia (Afif, 2012: 44). Ciri lain yang bisa dijumpai dari masyarakat multi budaya adalah kecenderungan diantara masing-masing suku bangsa untuk mengekspresikan identitas budaya budaya mereka melalui cara-cara spesifik seolah-olah satu dengan yang lainnya tidak saling berhubungan (Afif, 2012: 45). Dengan kata lain bahwa dari banyaknya jumlah suku bangsa tersebut mereka hidup dengan kebudayaan dan tradisi mereka masing-masing. Konsep ras atau pembentukan ras mencakup argument yang menitikberatkan pada garis keturunan. Ras adalah suatu konstruksi social dan bukan suatu kategori universal atau kategori esensial biologis atau kultural (Barker, 2011: 204). Jadi, dapat dipahami jika pengertian etnik dan ras dapat dipilah, dan etnik dapat dipahami lebih sebagai suatu kelompok yang terbentuk dasar kesamaan karakteristik yang sifatnya lebih “kebudayaan” daripada ras yang mengacu pada ciri-ciri ragawi (Liliweri, 2011: 336). Berdasarkan penuturan tersebut dapat dikatakan bahwa konsep etnis jauh lebih besar dibandingkan ras dan ras itu sendiri termasuk didalam etnis. C. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif bersifat menjelaskan. Menggunakan defenisi yang sederhana, penelitian kualitatif adalah yang bersifat interpretif (menggunakan penafsiran) yang melibatkan banyak metode, dalam menelaah masalah penelitiannya (Mulyana, 2007: 5). 2. Sumber Data Sumber data berupa data korpus Film Televisi Bakpao Pingping produksi PT. Demigisela Citra Sinema tahun 2010. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan cara mengamati dan melihat film televisi (FTV) Bakpao Pingping secara baik dan seksama. Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah: a. Data Korpus Data korpus berupa potongan gambar yang diambil dari scene film yang mengandung representasi identitas berdasarkan kategori identitas personal, identitas sosial, dan identitas kultural. b. Data Pendukung Teknik yang digunakan adalah pengumpulan bahan-bahan atau artikel- artikel, situs internet dan dari buku-buku yang mengkaji tentang etnis Tionghoa. Selain itu juga dapat dilihat dan dikaji melalui aspek sinematografi. 4. Teknik Analisis Data Barthes merumuskan tentang konsep denotasi dan konotasi. Dalam kehidupan sosial budaya, pemakai tanda tidak hanya memaknai sebagai denotasi, yakni makna yang dikenal secara umum. Oleh Barthes denotasi disebut sebagai sistem pertama. Sedangkan konotasi adalah makna kiasan atau seperti apa yang diungkapkan Barthes 5
  • 9. dalam (Hoed, 2008: 12) bahwa konotasi adalah makna latar belakang pengetahuannya, atau konvensi baru yang ada dalam masyarakatnya, konotasi merupakan segi ideologi tanda. Tidak hanya itu jika konotasi berlanjut selama beberapa waktu tergantung pada intensitasnya akan terbentuk “mitos” yang akan berlanjut menjadi ideologi (Hoed, 2008: 162). Sementara itu dijelaskan juga pada Fiske (2004), bahwa tatanan yang menggambarkan relasi antara penanda dan petanda di dalam tanda, dan antara tanda dengan referennya dalam realitas eksternal. Barthes menyebut tatanan ini sebagai denotasi. Sebagai contoh ketika menggambar jalan dengan dua sudut yang berbeda bisa dengan berbeda soft focus, angle, tata pencahayaan maka dapat menghasilkan makna yang berbeda pula. Makna yang ditimbulkan inilah yang berupa konotasi. Konotasi adalah bagian manusiawi dari proses ini, ini mencakup seleksi atas apa yang masuk dalam bingkai (frame), fokus, rana, sudut pandang kamera, mutu film, dan seterusnya. Denotasi adalah apa yang difoto, sedangkan konotasi adalah bagaimana memfotonya (Fiske, 2004: 119). Dengan menggunakan semiotika Barthes maka peneliti juga dihadapkan dengan adanya analisis mitos. Dalam penelitian film Bakpao Ping Ping yang dapat diteliti adalah mengenai mitos yang terdapat dalam kategori identitas personal, identitas sosial, dan identitas kultural. D. Hasil Analisis Dan Pembahasan Banyak cara yang dapat digunakan sebagai media penyampaian pesan salah satunya adalah dengan media film. Film mampu merepresentasikan kehidupan nyata dengan berbagai aspek yang dimilikinya seperti tanda-tanda, simbol, atau pesan yang ada di dalamnya. Sebagai bagian dari komunikasi massa film memiliki cara sendiri untuk menyampaikan pesan dan hal itu didukung oleh aspek naratif dan aspek sinematografi sehingga pesan dapat sampai ke penonton. Aspek naratif adalah aspek yang berisi cerita yang mana terdapat rangkaian cerita yang saling berhubungan satu sama lainnya dan itu terikat oleh logika sebab-akibat (kausalitas) yang terjadi dalam suatu ruang dan waktu (Pratista, 2008: 33). Aspek naratif itu sendiri terbagi menjadi beberapa bagian yaitu pelaku cerita, permasalahan dan konflik, serta tujuan. Sedang pada aspek sinematografi adalah aspek yang mendukung naratif serta estetik sebuah film salah satunya seperti kegiatan merekam. sehingga dapat terbentuk rangkaian gambar yang bercerita (Pratista, 2008: 89). Metode semiotika dalam hal ini yang digunakan adalah metode semiotika Roland Barthes yang mana pemaknaan menggunakan aspek denotasi, konotasi dan mitos. Mitos menurut Roland Barthes adalah berbasis kelas; maknanya dikonstruksi oleh dan untuk kelas yang dominan secara sosial, namun mitos diterima oleh kelas subordinat, bahkan meski mereka pun menentang kepentingan kelas dominan itu lantaran kelas subordinat “dinaturalisasikan” (Fiske, 2004: 183). Maksud dari naturalisasi tersebut adalah pengalamiahan atau seakan- akan alami, misalnya dalam konsep film ini bahwa leluhur cina itu makmur. Berhubungan dengan fokus penelitian yaitu hal yang berkenaan dengan persoalan identitas, maka korpus-korpus dalam penyajian data dapat dianalisis berdasarkan kategori-kategori isi cerita berikut; a. Identitas Personal (Personal Identity) b. Identitas Sosial (Social Identity) c. Identitas Kultural (Cultural Identity). a. Identitas Personal (Personal Identity) Identitas personal (Personal Identity) seperti terbentuk dari interaksi sosial antara 6
  • 10. satu individu dengan individu lainnya di mana masing-masing pihak lebih menekankan ciri-ciri, atribut-atribut, dan kepentingan subjektif mereka. Selain itu, identitas personal juga terbentuk dari pemahaman diri (self-understanding) yang sifatnya lebih intim dan langsung, maka ia lebih mewakili aspek-aspek esensial dan krusial dari diri individu yang nampak dalam pertanyaan-pertanyaan seperti “siapakah saya sesungguhnya?”, “hal-hal apa saja yang bernilai dan baik buat saya?”, “apa yang semestinya saya lakukan dan tidak yang itu?”, dan sebagainya. Dengan kata lain, identitas personal itu bersifat membedakan antara satu individu dengan individu lainnya semata-mata berdasar pada keunikan masing-masing dan bukan ciri-ciri yang diturunkan dari keanggotaan dalam sebuah kelompok sosial (Afif, 2011: 21). Di dalam analisis identitas personal, penulis mengkategorikan beberapa permasalahan identitas personal dalam FTV Bakpao Ping Ping sebagai berikut: 1. Atribut-atribut fisik 2. Keinginan/cita-cita 3. Kontribusi keluarga 4. Pengaruh keadaan sosial 1. Atribut-atribut fisik Salah satu yang ditekankan dalam identitas personal adalah berupa atribut- atribut yang dimiliki oleh individu. Maka dari itu penulis mengkategorikan bahwa atribut-atribut fisik memiliki hubungan dengan identitas personal. Atribut-atibut fisik mencirikan atau mengidentifikasikan individu melalui bentuk fisik atau yang terlihat saja. Kategorisasi atribut-atribut fisik ini terlihat pada korpus 6. Pada level denotasi korpus 6, sutradara ingin menekankan pendapat A Seng. A Seng merasa bahwa selama ini Indonesia tidak memberikannya kontribusi lebih untuk dia menjadi kaya, yang dia tau hanya kekayaan ada di Jawa. Seperti dalam dialog berikut: A Seng : “Indonesia ga bikin kita kaya Pa, kaya cuma di Jawa. Apa ga sadar kalo mata kita sipit?” Babah (Apa) : “Kalo liat jangan cuma pake mata ya, pake hati, pake utek. Mata boleh sipit ha, tapi hati harus tetep besar.” Di sini A Seng sebagai etnis Tionghoa mempermasalah fisiknya terutama mata yaitu “sipit”. Keadaan fisiknya mempengaruhi mentalnya sebagai etnis Tionghoa yang secara tidak langsung “menghujat” Indonesia yang tidak peduli akan kesejahteraannya sebagai etnis Tionghoa Singkawang. Sedangkan pada level konotasi, “hujatan” A Seng kepada Indonesia membuatnya merasa gelisah akan identitas personalnya sebagai etnis Tionghoa. Hal ini menunjukkan bahwa A Seng merasa dibuat tidak adil ketika dia memiliki mata yang sipit. Berbicara mengenai atribut fisik yang dimiliki A Seng pada identitas personal maka mengingatkan pada konsep ras. Di mana diketahui bahwa konsep ras selalu menitikberatkan pada adanya garis keturunan. Selain itu ras juga mengacu pada hal yang menyinggung soal biologis dan fisik. Ras adalah konstruksi sosial dan bukan suatu kategori universal atau kategori esensial biologis atau kultural (Barker, 2010: 203). Sehingga identitas personal seseorang tersebut hanya dilihat sebatas yang terlihat dari luar saja atau bersifat fisik. Allport mengindikasikan dalam Samovar dkk (2010:187) bahwa antropolog awalnya membagi ras dalam tiga kelompok besar Mongoloid, Kaukasoid, dan Negro, namun selanjutnya yang lain ditambahkan. Kategori ini membagi manusia ke dalam kelompok semata-mata berdasarkan penampilan fisik. Biasanya berhubungan 7
  • 11. dengan ciri-ciri fisik luar seperti warna kulit, tekstur rambut, penampilan wajah, dan bentuk mata. 2. Keinginan atau Cita-cita Keterkaitan antara keinginan atau cita-cita dengan identitas personal terletak pada selera pribadi yang dimiliki oleh individu. Setiap individu tentu berhak memilih pilihan hidup mereka sesuai dengan apa yang diinginkan. Keinginan individu tidak hanya sesuai dengan apa yang individu itu inginkan tetapi juga bisa atas dasar melihat individu lain. Identitas personal disini terlihat ketika A Seng mengidolakan aktor yang bukan dari Indonesia melainkan dari Cina. Sebagaimana diketahui bahwa selera pribadi merupakan bagian dari atribut- atribut identitas personal itu sendiri. Jadi hal ini semata-semata adalah salah satu cara A Seng untuk mewujudkan kehidupan di Taiwan. Bisa jadi ini merupakan salah satu bentuk kerinduan. Kerinduan akan tanah air bayangan yang diterjemahkan sebagai keinginan untuk meniru tokoh-tokoh yang mereka lihat di layar (Dawis, 2010:11). Pada korpus 3 dan korpus 4 dari segi denotasinya, sutradara ingin mempertegas tentang keinginan A Seng yang terobsesi dengan aktor Andy Lau dan ingin ke Taiwan. Andy Lau merupakan aktor kawakan dari Hongkong yang sangat terkenal dalam seri-seri perfilman Asia kala itu. Masa kejayaan Andy Lau adalah antara tahun 1983- 1999. Andy Lau mulai terkenal semenjak dia membintangi film "The Return of The Condor Heroes"(1983). Hampir 140 film dibintanginya (www.wowkeren.com/seleb/andy_lau/film/ diakses tanggal 27/11/2012 pukul 20:43). Hal itu terpapar dari dialog pada korpus 3 yaitu; “Ping, aku udah gede Apa ga bisa ngelarang aku. Bosen jualan bakpao, bosen sama Singkawang, apalagi ma jemuran ini dan rumah petak. Aku bakal ngetop kaya Andy Lau, haha Andy Lau” Selain itu disambung juga dengan perkataan “Ping, orang itu harus punya cita-cita, cita-cita!” dengan kata-kata Perkataan A Seng ini di pacu oleh keinginan besarnya yang terobsesi dengan aktor Andy Lau. Andy lau adalah aktor kawakan yang berhasil meraup sukses di Indonesia pada saat memerankan Yoko dalam film The Return of The Condor Heroes"(1983). Namun terkait dengan permasalahan A Seng yang sangat mengidolakan Andy Lau atau penyisipan Andy Lau sebagai pendukung keinginan A Seng dalam dalam Film Bakpao Ping Ping ini bisa jadi karena faktor karakter A Seng yang senang bermain judi. Tidak heran jika A Seng mengidolakan Andy Lau karena ada yang melatarbelakanginya seperti kemungkinan dengan beberapa film yang di perankan oleh Andy Lau yang berkaitan dengan dewa judi seperti film God Of Gamblers (1989), God Of Gamblers 2: Knight of Gamblers (1991). Dimana dalam kedua film tersebut Andy Lau berperan sebagai Ksatria Judi. Sumber: http://ichall- movie.blogspot.com/2011/04/god-of- gamblers-2-knight-of-gamblers.html/ diakses pada tanggal 21/01/2013 pukul 19:47 3. Kontribusi keluarga Dalam pembentukan jati diri individu sejatinya banyak dipengaruhi oleh lingkup keluarga. Bimbingan dari anggota keluarga 8
  • 12. sudah dimulai semenjak individu tersebut masih muda. Bagaimana mereka diajarkan berperilaku pantas untuk laki-laki dan perempuan. Interaksi dengan anggota keluarga besar mengajarkan perilaku yang pantas antar usia dan keluarga jugalah yang pertama kali menanamkan konsep identitas pribadi atau kelompok (Samovar, 2010: 195). Oleh sebab itulah peneliti merasa perlu mengkategorikan kontribusi keluarga adalah hal yang penting untuk pembentukan identitas personal itu sendiri. Pada korpus 11, menunjukkan bahwa terjadi percekcokan antara A Seng dan Ai Lani mengenai Ping Ping. Ping Ping yang segera dinikahkan dan dibawa ke Taiwan. A Seng yang tadi semangat menjadikan Ping Ping sebagai amoy tiba-tiba ingin membatalkan perjanjiannya dengan Ai Lani. Pada level denotasi, memperlihatkan perseteruan antara A Seng, Ai Lani, dan bodyguardnya pria Taiwan. Di sini terlihat terjadi tarik menarik antara A Seng dan bodyguard. Pada level konotasi, menggunakan long shot agar adegannya benar-benar terlihat jelas bagaimana si A Seng menarik tangan Ping Ping dari bodyguard yang menjaganya. Korpus ini menunjukkan ketidaksetujuan A Seng terhadap Ping Ping yang akan dijadikan istri oleh pria Taiwan. Ketika ditanya kenapa A Seng tiba-tiba begitu hal itu ternyata karena dia tidak ingin seperti Ama-nya yang akhirnya sampai mati di Taiwan. Keadaan ini tentu menempatkan A Seng pada traumatik atau bentuk ketakutan dari pengalaman masa lalu A Seng, sehingga dia tidak ingin Ping Ping juga mengalaminya. Ini dipicu oleh ketidaktahuan A Seng bahwa Ama-nya juga menjadi amoy, yang dia tahu Ama-nya meninggalkan Babah (Apa) karena kemiskinan. A Seng menolak tentang amoy yang sebelumnya ia banggakan sebagai batu loncatan agar nanti ia juga akan merasakan berada di Taiwan. Amoy sebenarnya memiliki makna yaitu sebutan untuk anak gadis etnis Tionghoa. Tetapi dalam konsep film Bakpao Ping Ping makna tersebut bergeser dengan makna bahwa amoy adalah anak gadis Tionghoa yang akan dinikahkan dengan pria-pria Taiwan melalui biro jodoh. 4. Pengaruh Keadaan Sosial Keadaan sosial juga dapat mempengaruhi identitas personal. Identitas merupakan konsep yang abstrak, kompleks, dan dinamis. Kemudian identitas merupakan hal yang dinamis dan beragam. Artinya identitas merupakan suatu hal yang statis, namun berubah menurut pengalaman hidup anda (Samovar, 2010: 184-185). Sebagai contoh ketika kita berada dikampus maka identitas kita adalah seorang mahasiswa, dan jika di rumah identitas kita adalah sebagai seorang anak. Jadi yang dimaksud penulis bahwa pengaruh keadaan sosial memiliki keterkaitan dengan identitas personal adalah identitas personal kita akan berubah sesuai dengan keadaan sosial kita. Pada korpus 5, dimana pada level denotasi A Seng bercerita tentang keinginannya ke Taiwan dengan Ai Lani tantenya. A Seng mengeluarkan isi hatinya kepada Ai Lani. Ai Lani yang semula hanya menganggap itu hanya lelucon A Seng akhirnya mengerti, Ai Lani pun menjelaskan apa yang harus A Seng lakukan untuk bisa ke Taiwan. Berikut adalah dialog yang memaparkan tentang isi hati A Seng: Ai Lani : “Kamu ngapain di Taiwan?” 9
  • 13. A Seng : “A Seng bosen di sini, di sini tu ga ada masa depan, A Seng ga mau jualan bakpao.” Sedang pada level konotasi korpus ini menjelaskan tentang bagaimana keinginan A Seng bisa ke Taiwan itu dapat tercapai. Di mana sebagai etnis Tionghoa A Seng merasakan tidak ada masa depan sebagai pedagang tepatnya penjual bakpao. A Seng merasa sebagai penjual bakpao bukanlah jati dirinya, dia beranggapan bahwa dia bisa lebih dari seorang penjual bakpao saja. Taiwan dianggap dapat memberikan kemakmuran jauh lebih baik dibandingkan di Singkawang. b. Identitas Sosial (Social Identity) Berkaitan dengan identitas sosial (social identity), maka setiap individu akan mengalami hal yang berhubungan dengan identitas sosialnya. Identitas sosial itu lebih mengutamakan kepentingan kelompok. Pada teorinya, Brown dalam (Afif, 2011: 24) identitas sosial mengasumsikan bahwa setiap individu yang tergabung dalam kelompok senantiasa membutuhkan self image yang positif, terlebih lagi ketika dia sedang berhadapan dengan individu dari kelompok lain. Sehingga dapat dikatakan bahwa identitas sosial dapat dipengaruhi atau dibentuk oleh lingkungan. Penulis di sini mengkategorikan identitas sosial yang ada di dalam FTV Bakpao Ping Ping, sebagai berikut: 1. Aspek Sosial dan Ekonomi 2. Leluhur sebagai rujukan identitas 3. Penggunaan Bahasa 1. Aspek Sosial dan Ekonomi Aspek ekonomi adalah dapat menjadi masalah yang pelik dan kerap terjadi di dalam kehidupan bermasyarakat. Permasalahan pada aspek ekonomi pada umumnya sering timbul pada kalangan atau golongan menengah ke bawah. Maka peneliti beranggapan bahwa aspek ekonomi memiliki keterkaitan dalam pembentukan identitas sosial diri individu yang sejatinya adalah makhluk sosial. Dalam FTV Bakpao Ping Ping aspek ekonomi terlihat dari beberapa dialog yang terkait dengan keadaan ekonomi etnis Tionghoa dalam film ini. Pada korpus 4 level denotasi menunjukkan pertengkaran antara Babah dan A Seng. Setiap kali ditinggal Babah (Apa) pergi, A Seng selalu pergi ke tempat bermain judi. Tetapi A Seng hanya menanggapi amarah Babah (Apa) dengan santai. Hal ini tentu membuat Babah (Apa) nya gerah akan sifat A Seng yang tidak bisa dibilangin. Pada korpus terdapat dialog yang berbunyi: Babah (Apa) : “Jaman susah begini, kamu maen judi terus ha?” A Seng : “Kalo ga mau susah, jangan jualan bakpao!” Pada level kononasi korpus 4 ini menyiratkan bahwa Babah (Apa) tidak senang dengan perilaku A Seng yang kian menjadi. A Seng senang sekali bermain judi padahal keadaan sedang susah. Tetapi A Seng yang acuh tak acuh dengan keadaannya malah menjawab dengan santai. A Seng berfikir yang membuat susah keadaannya adalah karena dia jualan Bakpao. Di sini A Seng berada di level dimana dia tidak mengetahui mana yang baik dan yang buruk. Bisa jadi judi merupakan bentuk pelarian tidak terima dengan keadaan. Bahwa yang dia tahu dengan berjudi dia juga mendapatkan uang lebih banyak dari hasil jualan bakpaonya. Judi tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan pria Tionghoa. Seperti yang dikatakan Afu dalam (Dawis, 2010:145) bahwa semua orang Tionghoa suka berjudi. Dimana ada orang Tionghoa pasti ada perjudian. Dalam FTV Bakpao Ping Ping judi dimainkan adalah mah jong, permainan Tionghoa yang dimainkan empat pemain dan menggunakan keping segi empat 10
  • 14. bertuliskan aksara, lambang, dan gambar Tionghoa, yang dimainkan untuk menyatukan orang dalam sebuah perayaan imlek (Dawis, 2010: 146). Namun sesuai dengan perkembangan jaman maka judi mah jong tidak hanya dimainkan pada hari-hari tertentu saja tetapi bisa dalam kehidupan sehari-hari. 2. Leluhur sebagai rujukan identitas Subkategori ini membahas keterkaitan kepercayaan terhadap leluhur sebagai suatu hal yang memengaruhi pembentukan identitas sosial individu. Hal yang demikian dilihat dari sisi individu yang begitu bangga akan identitasnya berkat keikutsertaan leluhurnya. Dengan kebanggaan ini maka menimbulkan rasa percaya diri bahwa seakan-akan individu tersebut benar-benar memiliki ikatan dengan leluhur dengan segala sesuatu yang dipercayainya. Hal ini ditunjukkan pada korpus 6, yang mana pada level denotasi terlihat perdebatan antara A Seng dan Babah (Apa) tentang identitas mereka. A Seng merasa bangga dengan Taiwan karena dia menganggap Taiwan sebagai tanah leluhurnya. Sedang Babah (Apa) yang notabene yang lahir di Singkawang menganggap bahwa Indonesia lah tanah leluhurnya. Hal ini terlihat pada dialog berikut: A Seng : “Taiwan bukan negeri orang Pa, itu tanah leluhur kita.” Babah (Apa) : “Dari lahir, Apa sudah bernafas dengan udara Singkawang, minum dengan air Singkawang, dan belajar berjalan di tanah Singkawang, anak cucu kita akan bilang Indonesia adalah tanah leluhur kita.” Namun, A Seng tetap saja bersikeras untuk menjunjung tinggi Taiwan sebagai tanah leluhurnya. Pada level konotasi, korpus ini menunjukkan bahwa terjadi silang pendapat antara A Seng dan Babah (Apa). Perbedaan pendapat antara ayah dan anak ini berada pada level kegelisahan dimana mereka berada di dua budaya. Di sini tampak adanya transisi budaya sosial yang dialami oleh kedua personal tersebut yaitu A Seng dan Babah (Apa). A Seng sangat membangga- banggakan Taiwan, sedangkan Babah (Apa) merasa bahwa dia adalah bagian dari leluhur Indonesia. Pada penelitian-penelitian sebelumnya umumnya Tionghoa Indonesia ingin berbaur menjadi seorang yang dikatakan Indonesia, tetapi lain halnya dengan FTV ini A Seng lebih berat ke Taiwan dibandingkan di Singkawang. Dari awal film Bakpao Ping Ping ini seringkali disebut kata Taiwan. Etnis Tionghoa dalam film ini terus memandang ke Taiwan sebagai leluhur mereka. Pada dasarnya etnis Tionghoa Singkawang dan Taiwan berasal dari tempat yang sama yaitu Teluk Fujian salah satu provinsi di RRC. Seperti yang dikatakan dalam buku Orang Cina Khek dari Singkawang (2005) dalam (http://id.fjta.com/Indonesia/intro.aspx?typei d=10/ diakses pada tanggal 21/01/2013 pukul 21:29) yaitu tidak hanya yang kita kenal yaitu ‘orang China’ saja. Orang Tionghoa di Indonesia datang dari dua propinsi yaitu Fujian dan Guangdong. 3. Penggunaan Bahasa Bahasa merupakan komponen dari identitas sosial itu sendiri. Bahasa digunakan ketika satu individu berinteraksi dengan individu lainnya. Dalam FTV Bakpao Ping Ping, terdapat permasalahan mengenai bahasa yang digunakan di Singkawang dan bahasa yang digunakan di Taiwan. Keadaan ini mempengaruhi identitas sosial individu yang dilema akan nasibnya di Indonesia dan di Taiwan. Hal ini tampak pada korpus 5, pada korpus 5 di level denotasi menunjukkan 11
  • 15. perbincangan antara A Seng dengan Ai Lani. Ketika A Seng mengutarakan keinginannya ke Taiwan, Ai Lani malah menertawakannya sambil berkata “A Seng kamu gimana bisa ke Taiwan, kamu sehari-hari ngomong pake bahasa Ke, di sana itu pake bahasa Mandarin. Apa kamu bisa bahasa Mandarin?” A Seng yang ingin sekali ke Taiwan tidak mempermasalahkan bahasa meskipun dia benar-benar tidak bisa. Dia berusaha meyakinkan Ai Lani kalau dengan belajar dia akan bisa. Pada level konotasi, korpus ini menunjukkan kalau bahasa itu adalah masalah yang penting. A Seng belum mengetahui akan serumit itu jika dia ingin ke Taiwan. Di sini terlihat bahwa terdapat perbedaan sosial yaitu bahasa sangat memberikan pengaruh. Sedari kecil A Seng hanya mengenal bahasa Cina Ke dan bahasa Indonesia saja. Sebagai etnis Tionghoa peranakan maka A Seng tidak terbiasa dengan bahasa Mandarin. Sama halnya dengan apa yang diungkapkan etnis Tionghoa bahwa mereka berkeinginan untuk tinggal di Tiongkok, Hong Kong, atau Taiwan yaitu tempat dimana mereka dapat secara leluasa melaksanakan kebebasan kebudayaan mereka. Akan tetapi mereka juga mengakui bahwa pada akhirnya memilih untuk tinggal di Indonesia karena tidak dapat berbicara bahasa Mandarin (Dawis, 2010: 9). Di atas disebutkan tentang bahasa Ke dan bahasa Mandarin. Kedua bahasa tersebut merupakan bahasa yang umum digunakan oleh etnis Tionghoa. FTV Bakpao Ping Ping menceritakan tentang etnis Tionghoa di Singkawang, Kalimantan Barat. Sehingga dapat dikatakan bahwa etnis Tionghoa di sini merupakan rumpun bahasa Melayu-Polinesia yaitu bahasa yang biasa digunakan di daerah Taiwan. Bahasa ini juga dipergunakan di Malaysia dan seluruh kepulauan di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Yang kemudian membedakan antara bahasa Mandarin dengan bahasa Ke atau dikenal dengan bahasa Hakka adalah jika bahasa mandarin merupakan bahasa persatuannya sedangkan bahasa Ke (Hakka) adalah bahasa daerahnya (Taniputera, 2008: 24). C. Identitas Kultural (Cultural Identity) Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural, hal ini disebabkan oleh beberapa alasan berikut ini. Pertama, pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah pertanyaan kultural, sebagai contoh adalah individualisme merupakan ciri khas masyarakat modern. Kedua, sumber daya yang membentuk materi bagi proyek identitas, yaitu bahasa dan praktik kultural, berkarakter sosial. Walhasil, apa yang dimaksud dengan perempuan, anak, orang Asia atau orang tua dibentuk secara berbeda pada konteks-konteks kultural yang berbeda pula (Barker, 2010: 176). Identitas kultural atau identitas budaya merupakan elemen utama dalam komunikasi antarbudaya. Chuang mengatakan (Samovar dkk, 2010:200) bahwa identitas budaya menjadi kabur di tengah-tengah integrasi budaya, interaksi bikultur, pernikahan antar ras, dan proses adaptasi yang saling menguntungkan. Kemudian hal ini diperkuat dengan pendapat Martin, Nekayama, dan Flores yang menyatakan kesetujuannya dengan berkata bahwa “orang yang hidup ‘diantara’ identitas budaya meningkat jumlahnya, yaitu orang yang memiliki lebih dari satu identitas etnis, ras, atau agama (Samovar dkk, 2010:201). Dalam penelitian ini penulis mengkategorikan identitas kultural di dalam FTV Bakpao Ping Ping salah satunya yang berkaitan dengan masalah identitas adalah aspek religi. 12
  • 16. Pada korpus 10 level denotasi sutradara memperlihatkan A Seng dan Babah (Apa) menaburkan abu Ama di laut. Gambar diambil dengan medium shot yang mana terlihat bagian fisik dari pinggang hingga ke atas. Sutradara ingin memperlihatkan kedukaan pada adegan ini sehingga ditambahkan efek warna yang sedikit gelap. Pada level konotasi korpus 18 menunjukkan kedukaan terlihat dari baju yang dikenakan A Seng dan Babah (Apa) yang berwarna putih. Warna putih untuk etnis Tionghoa memiliki arti yang mana melambangkan kesedihan (budayahijau.blogspot.com/ diakses pada tanggal 28/11/12 pukul 22:20). Orang yang berkabung (istilahnya Hao Lam) mengenakan pakaian serba putih, topi putih yang terbuat dari kain blacu. Selain itu juga dipasang Ha di lengan baju kiri tanda berkabung. Ha adalah tanda perkabungan yang dijahit segi empat dengan dua warna dan dilekatkan pada bagian lengan pakaian yang berkabung, warnanya ada bermacam- macam misalnya putih dan hitam, putih dan biru. Pemilihan warna berdasarkan statusnya dalam keluarga tersebut. Tujuan mereka memakai pakaian berkabung adalah untuk meringankan penderitaan orang yanag meninggal, semakin kental tradisi itu dijalankan maka semakin ringan penderitaannya (https://sites.google.com/a/saumimansaud.or g/www/kematian/ diakses tanggal 02/11/2012 pada pukul 09:46). Tradisi membuang abu orang yang meninggal di laut sesuai dengan permintaan atau pesan yang ditinggalkan oleh Almarhum. Tetapi juga untuk memetingkan aspek kesehatan maka etnis Tionghoa biasanya membuang abu orang meninggal ke laut. Jenazah orang yang meninggal bisa saja mengandung bibit penyakit yang menular, jika dikebumikan kemungkinan untuk menyebarnya bibit penyakit ini masih tetap ada, tetapi hal ini dapat dicegah bilamana jenazah tersebut dikremasi. Kemudian juga pada hal ekonomi biasanya dilakukan bagi yang kurang mampu. Dengan begitu bila jenazah diperabukan dan abu jenazah disempurnakan, ditaburkan ke laut, tentu masalah pemindahan makam, mahalnya harga tanah, tingginya biaya perawatan tidak perlu dipikirkan lagi (www.reocities.com/Athens/olympus/2532/t radisi.html / diakses 02/11/2012 pada pukul 10:03). E. Kesimpulan Film Televisi (FTV) Bakpao Ping Ping menceritakan tentang gambaran etnis Tionghoa yang merasa dilema atau kebimbangan dalam pencarian identitasnya karena memiliki dua budaya sekaligus. Dalam FTV ini terpapar seorang Tionghoa menentukan jati dirinya sebagai etnis Tionghoa yang harus berkiblat ke asal usul dirinya di Taiwan atau tetap menjadikannya etnis Tionghoa Indonesia. Hal ini bukanlah persoalan yang mudah untuk ditentukan karena hal ini sudah berlangsung sejak lama. Kajian perihal dilema etnis Tionghoa dalam FTV Bakpao Ping Ping yang didukung oleh aspek naratif dan sinematografi ini menggunakan analisis semiotik model Roland Barthes yaitu dengan kajian pada level denotasi, konotasi dan mitos. Dengan kajian tersebut dirasa mampu untuk mengungkapkan dilema identitas etnis Tionghoa dalam FTV Bakpao Ping Ping. Berikut adalah kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian dan merupakan jawaban dari rumusan masalah 13
  • 17. yaitu bagaimana representasi identitas etnis Tionghoa di Singkawang dalam film televisi Bakpao Ping Ping. Dilema etnis Tionghoa yang terlihat dalam konsep FTV Bakpao Ping Ping terjadi pada kondisi internal dan eksternal etnis Tionghoa. Kondisi dilema tersebut dapat dilihat karena etnis Tionghoa Indonesia masih terpengaruh oleh tradisi- tradisi etnis Tionghoa yang kental dan kejayaan Taiwan. Etnis Tionghoa Indonesia seringkali membandingkan keadaan mereka dengan etnis Tionghoa Taiwan yang lebih maju. Puncaknya bahwa etnis Tionghoa di Indonesia belum sepenuhnya menjadi Indonesia. Tidak semua etnis Tionghoa makmur. Dilema itu bergejolak dalam diri etnis Tionghoa Indonesia yang mana di representasikan dalam film televisi Bakpao Ping Ping yaitu dalam bentuk ketidakmampuan dalam mencapai kemakmuran atau kesejahteraan. F. Saran Dari hasil penelitian dan kesimpulan yang peneliti dapatkan, maka dapat disampaikan beberapa saran yaitu sebagai berikut: 1. Bagi Komunikator (Produser Film, Sutradara) Indonesia merupakan negara yang multikultural dengan memiliki banyak suku, budaya, dan agama. Berdasarkan itu pula Indonesia seringkali diterpa isu sara dan akhirnya menimbulkan konflik. Sebagai sineas diharapkan bisa memproduksi film yang sarat pesan moral, nilai budaya, dan pengetahuan sebagai alat pemersatu bangsa. Tidak hanya tentang etnis Tionghoa Indonesia saja tetapi bisa dengan mengambil dari segi budaya lain yang ada di Indonesia dan mengaplikasikannya dalam bentuk film. 2. Bagi Komunikan (Masyarakat) Diharapkan penikmat dunia perfilman lebih cerdas memilih film yang berkualitas dan mendidik anak bangsa serta dapat menerapkannya sebagai panduan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu penikmat dunia perfilman sebaiknya lebih kritis terhadap isi pesan film yang kadang kala merugikan dan tidak memberikan kontribusi positif pada bangsa ini. 3. Bagi Akademisi Saran untuk peneliti baru yang menyukai penelitian tentang etnis dan budaya, masih banyak hal yang dapat digali mengenai aspek budaya dalam sebuah film. Seperti penelitian yang dilakukan peneliti yang berkaitan tentang identitas etnis Tionghoa. Bagi peneliti yang menginginkan objek yang sama maka bisa diteliti lebih dalam lagi dengan metode penelitian analisis yang sama atau berbeda semisal analisis wacana. Ada beberapa isu yang menarik dan dapat diteliti lebih dalam lagi, salah satunya adalah film Bakpao Ping Ping juga mengangkat isu perempuan etnis Tionghoa di Singkawang. Peneliti baru dapat menelitinya dengan tambahan yaitu dengan berbagai referensi buku ataupun sumber-sumber lainnya. Semoga penelitian ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan wawasan serta dapat menjadi bahan referensi kelak dalam penelitian selanjutnya G. DAFTAR PUSTAKA BUKU: Afif, Afthonul. 2012. Identitas Tionghoa Muslim Indonesia : Pergulatan mencari jati diri. Depok: Kepik. Barker, Chris. 2011. Cultural Studies Teori Dan Praktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Cheng, Kho Gaik. 2011. Mau Dibawa Kemana Sinema Kita: Beberapa 14
  • 18. Wacana Seputar Film Indonesia. Jakarta: Salemba Humanika. Dawis, Aimee. 2010. Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Faturochman dkk. 2012. Psikologi Untuk Kesejahteraan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Fiske, John. 2004. Cultural and Communication Studies. Yogyakarta: Jalasutra. Hoed, Benny H. 2008. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu Liliweri, Alo. 2011. Gatra-Gatra Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Mulyana, Deddy. 2004. Komunikasi Efektif Suatu Pendekatan Lintasbudaya. Bandung: Remaja Rosdakarya. Pratista, Himawan. 2008. Memahami Film. Yogyakarta: Homerian Pustaka Samovar, Larry A dkk. 2010. Komunikasi Lintas Budaya (Communication Between Cultures) jilid 7. Jakarta: Salemba Humanika. Taniputera, Ivan. 2008. History of China.Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Tilaar. 2007. Mengindonesiakan Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. ___________2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. WEBSITE: www.wowkeren.com/seleb/andy_lau/film/ diakses tanggal 27/11/2012 pukul 20:43 http://ichall- movie.blogspot.com/2011/04/god- of-gamblers-2-knight-of- gamblers.html/ diakses pada tanggal 21/01/2013 pukul 19:47 http://id.fjta.com/Indonesia/intro.aspx?typei d=10/ diakses pada tanggal 21/01/2013 pukul 21:29 budayahijau.blogspot.com/ diakses pada tanggal 28/11/12 pukul 22:20 https://sites.google.com/a/saumimansaud.or g/www/kematian/ diakses tanggal 02/11/2012 pada pukul 09:46 www.reocities.com/Athens/olympus/2532/tr adisi.html / diakses 02/11/2012 pada pukul 10:03 SKRIPSI Nugroho, Setyo. 2004. Representasi Budaya Tionghoa di tengah Pluralitas Etnis di Betawi (Studi Pesan Dalam Film “Ca Bau Kan” Menggunakan Analisa Semiologi Komunikasi. Skripsi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNS. Surakarta: Tidak Dipublikasikan. Kusuma, Rinasari. 2007. Representasi Asimilasi Etnis Cina Ke Dalam Budaya Padang (Analisis Semiotika Komunikasi Tentang Faktor Pendukung dan Penghambat Asimilasi dalam Film “Jangan Panggil Aku Cina”). Skripsi Pada Program Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNS. Surakarta: Tidak Dipublikasikan 15