Keterangan Pihak Terkait Dalam Perkara Nomor 10/PUU-XII/2014 Perihal Pengujia...
Saragih 2011 (cap buruk perkebunan sawit berawal dan berakhir di penataan ruang)
1. Daftar Isi
Pengantar
Penataan Ruang dan
Pengelolaan Sumberdaya
Rivani Noor & Lubabun Ni’am
2 .
Kajian
Politik Ruang dan
Penguasaan Tanah untuk Pangan
Laksmi Adriani Savitri
7 .
Melawan Sang Panglima:
Salah Urus Sektor Tambang dan
Respons Warga di Indonesia
Siti Maimunah
27 .
Cap Buruk Perkebunan Sawit:
Berawal dan Berakhir
di Penataan Ruang
Jefri Gideon Saragih
49 .
Mengakui Kedaulatan Masyarakat
Adat atas Hak Hidup melalui Pemetaan
Partisipatif
Kasmita Widodo
73 .
Kasus
Penataan Ruang, Pembentukan Subjek,
dan Penerapan Kekuasaan di Pulau
Siberut 1969–1998
Darmanto
89 .
Menyerahkan Hutan
ke Pangkuan Modal:
Studi Kasus Provinsi Riau
Raflis
125 .
Dewan Redaksi
Roem Topatimasang
Saleh Abdullah
Bonar Saragih
Wahyu W. Basjir
Hira Jhamtani
Puthut EA
Redaktur Tamu
Rivani Noor
Redaktur Pelaksana
Lubabun Ni’am
Pemimpin Perusahaan
Mohammad Anwar
Penata Letak
Kirana Yunita
Ilustrator
Ismail
Perancang Sampul
Eddy Susanto
Jl. Gandok Tambakan 85 RT04 RW20
Sinduharjo, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta
Tel./Faks.: 0274-883452
www.insist.or.id
WACANA mengundang Anda menuliskan
gagasan-gagasan kritis dan alternatif
yang berorientasi pada penguatan peran
masyarakat. Tulisan Anda diharapkan
minimal 10 halaman kuarto, dilengkapi
dengan pustaka acuan dalam bentuk
catatan kaki dan daftar bacaan. Redaksi
dapat memperbaiki tulisan tanpa
mengubah maksud dan isinya. Untuk
tulisan yang dimuat akan disediakan
honorarium yang pantas.
Foto Sampul:
Aktivitas penambangan batubara di Kalimantan Timur.
Sampai Maret 2011, sebagaimana dirilis kompas.com
(“Demo Tolak Tambang Batu Bara di Kaltim”, 2 Maret
2011), tercatat 1.271 izin pertambangan skala kuasa
pertambangan (KP) dan 33 izin perjanjian karya peng
usaha pertambangan batubara (PKP2B) di Kalimantan
Timur. Total luasnya mencapai 4,4 juta hektar.
2. Pengantar
Penataan Ruang dan
Pengelolaan Sumberdaya
SEORANG mahasiswa pertambangan dari institut teknologi terbaik di
Indonesia pernah mengaku kepada karibnya. Bumi ini, menurutnya, dapat
diumpakan sebagai seekor kambing gemuk. Seekor kambing gemuk, kalau
dibiarkan, pasti akan mati. Bumi, dengan kandungan yang melimpah
di dalamnya, kalau dibiarkan juga akan hancur. Oleh karena itu, dia
menandaskan, betapa sia-sia umat manusia kalau saja bumi dibiarkan untuk
tidak dieksploitasi sehabis-habisnya, serupa manusia menyembelih kambing
pada perayaan kurban. Sepotong pandangan ini tentu saja merupakan
cermin mengenai penataan ruang dan pengelolaan sumberdaya (resource) di
Indonesia, jauh semenjak didatangi kapal-kapal misonaris rempah.
Jack Turner dalam Spice: The History of A Temptation (2005) menarasikan
dengan bagus mengenai pembelahan bumi menjadi dua bagian, seenteng
membelah apel, pada masa perburuan rempah. Persaingan antara Spanyol
dan Portugis pada Zaman Penjelajahan itu tidak hanya meninggalkan catatan
sejarah yang Eropasentris sehingga seolah-olah dunia yang galibnya purba
ini baru dimulai sejak misi-misi pelayaran mereka. Lebih dari itu, Perjanjian
Tordesillas yang diteken kedua pihak pada 7 Juni 1494 di Kota Tordesillas,
Spanyol, mungkin merupakan aturan tertulis pertama dalam skala global
mengenai konsep penataan ruang. Perjanjian yang membagi wilayah pelayaran
dari titik paling barat benua Afrika, yakni Kepulauan Tanjung Verde (kini
Senegal), itu merupakan dentum peringatan bahwa perebutan sumberdaya
selalu berujung pada kepentingan ekonomi kapitalistik global.
Selain itu, kalau sepakat berangkat dari titik yang sudah berselisih enam
abad dari sekarang itu, ternyata melahirkan sederet implikasi serius dari
proses teritorialisasi ruang. Pertama, kesemrawutan batas-batas geografis
karena belum berkembangnya ilmu bumi kala itu sehingga para pelayar pun
3. wacana JURNAL ILMU SOSIAL TRANSFORMATIF 26/XIII/2011 3
hanya kira-kira saja menerka domain kekuasaan masing-masing. Kedua,
perompakan dan pertumpahan darah sudah pasti, dan itu hanya satu persoalan
yang jelas merupakan bumerang. Persoalan yang ketiga, yang tentu saja
menyangkut penduduk asli yang dikolonisasi, terbentang mulai dari proses
penciptaan subjek yang marginal hingga proses “pengkaplingan” tanah dan
kawasan. Penciptaan subjek tidak hanya dilakukan dengan jalan menguras
dan menguasai sumberdaya kawasan pada awalnya, tetapi pada akhirnya
juga dengan menyingkirkan penduduk asli yang sudah berabad-abad tinggal
dengan cara hidup dan kearifan mereka. Kecenderungan ini tidak hanya
terjadi pada masa silam, tetapi juga pada hari ini.
Yang paling hangat adalah program akuisisi tanah skala luas (large
scale land acquisition) dari World Bank. Program akuisisi ini melesat bagai
tembakan bola api meriam dari dek kapal masa lalu. Program ini tidak
hanya menyebut bahwa sebagian besar tanah di negara-negara yang kaya
sumberdaya itu “menganggur”, tetapi juga mengembalikan akumulasi tanah
masa imperialisme sebagai seolah-olah benar-benar baru terjadi pada hari
ini. Dengan mengatakan “menganggur”, sama artinya dengan meniadakan
penduduk asli dan mengklaim secara membabibuta saja bahwa negara-
negara yang kaya sumberdaya itu tidak becus mengurus energi dan pangan.
Di Indonesia, ironisnya, turunan dari program tersebut, yakni megaproyek
Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), justru mencengkeram
di satu daratan pulau besar (Papua) yang bukan hanya sudah dikuras habis
oleh perusahaan pertambangan multinasional, melainkan juga penuh konflik
dengan penduduk yang tercerabut dari akar kebudayaan dan identitasnya.
MIFEE, program pengembangan pertanian pangan dan bahan bakar
hayati berskala luas, ini telah membuka 1,6 juta hektar lahan (hampir dua
4. wacana JURNAL ILMU SOSIAL TRANSFORMATIF 26/XIII/20114
setengah kali luas Jakarta) dan melibatkan 32 investor swasta. Para investor
telah mendapatkan izin bergerak pada beberapa sektor. Mulai dari perkebunan
kelapa sawit (316.347 hektar), tebu (156.812 hektar), jagung (97.000 hektar),
areal Hutan Tanaman Industri (973.057,56 hektar), tanaman pangan (69.000
hektar), pengolahan kayu serpih (2.818 hektar), termasuk untuk membangun
dermaga (1.200 hektar) (Kasmita Widodo, dalam jurnal ini). Seiring dengan
arus penolakan penduduk terhadap megaproyek MIFEE, tentu saja MIFEE
sudah menunggu untuk didaftarkan sebagai penyempurna persoalan
eksploitasi sumberdaya dan karut marut pemekaran wilayah di Tanah Papua.
Empat tahun lalu, sebenarnya Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang sudah disahkan. Keluarnya undang-undang ini
sempat mengundang harapan bagi sebagian kalangan untuk kembali menata
ulang ruang dan pengelolaan sumberdaya di Indonesia. Tetapi, tidak sedikit
yang memandang bahwa undang-undang tersebut sejauh ini hanya sanggup
memberi napas pada “ruang sebagai kambing gemuk”. Menurut undang-
undang tersebut, proses penyusunan atau revisi tata ruang seharusnya sudah
selesai pada 26 April 2010 untuk tingkat provinsi dan 26 April 2011 untuk
tingkat kabupaten. Namun, sampai sekarang hampir sebagian besar kabupaten
belum menyelesaikan penyusunan atau revisi tata ruangnya. Sementara itu,
5. wacana JURNAL ILMU SOSIAL TRANSFORMATIF 26/XIII/2011 5
tren yang bermunculan selama ini adalah pemutihan pelanggaran dengan
menerbitkan aturan baru, baik melalui peraturan pemerintah maupun
peraturan Menteri Kehutanan.
Berita terakhir pada 16 September 2011 (kompas.com, “Sebagian Besar
Daerah Belum Punya RTRW”), dari 491 kabupaten/kota di Indonesia, 445
di antaranya belum memiliki peraturan daerah (perda) Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW). Padahal, batas akhir penyelesaikan RTRW kabupaten/
kota berdasarkan UU Nomor 26 Tahun 2007 adalah 26 April 2011 atau tiga
tahun sejak undang-undang tersebut disahkan. Sementara itu, untuk RTRW
provinsi, masih tersisa tiga provinsi yang belum memiliki RTRW, yakni Aceh,
Jambi, dan Riau. Berdasarkan Pasal 78 UU Nomor 26 Tahun 2007, RTRW
provinsi harus sudah disusun atau disesuaikan paling lambat dua tahun sejak
undang-undang tersebut disahkan, yakni pada 26 April 2010. Jadi, selain laju
percepatan di level daerah yang lambat, perumusan kebijakan tata ruang ini
masih memendam persoalan kompleks karena korporasi berkejaran untuk
mendapatkan konsesi tanpa memedulikan undang-undang dan perda terkait
di atasnya yang sudah diundangkan.
Kompleksitas penyusunan atau revisi tata ruang terutama terjadi di
wilayah-wilayah yang kaya sumberdaya alam. Tarik-menarik kepentingan,
bahkan adu kekuatan antara korporasi dengan masyarakat adat dan lokal,
baik melalui ekspansi langsung maupun politik pemilihan kepala daerah,
terlihat nyata sekali. Karena itu, arena tata ruang telah bermetamorfosis
menjadi pertarungan ekonomi-politik pencarian rente dan unjuk kuasa
modal. Di banyak wilayah pun awam terjadi, ruang hidup warga semakin
sempit lantaran dijepit beragam konsesi korporasi pengeruk sumber kekayaan
alam. Tidak mengherankan apabila gerakan pemetaan partisipatif, salah
satunya, perlu didorong sebagai bagian penting dalam gerakan masyarakat
adat untuk mendapat pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat.
Peta partisipatif adalah peta yang diproduksi rakyat untuk melawan peta yang
diproduksinegaradankorporasidiberbagaisektor:kehutanan,pertambangan,
perkebunan, pertanian, perairan, dan konservasi.
Ya, ketidakadilan penguasaan dan akses terhadap ruang, pada saat yang
sama telah menimbun sederet panjang konflik sosial dan tenurial, memakan
korban terutama warga miskin, yang sekaligus kerapkali dituduh kriminal
(perambah hutan, pencuri brondong sawit atau kayu bakar). Warga pun
terasing dari kampung halaman sendiri, berhadapan dengan aparat dan alat-
6. wacana JURNAL ILMU SOSIAL TRANSFORMATIF 26/XIII/20116
alat kekerasan, serta diusir dari tanah sumber kehidupan. Enam artikel dari
enam penulis dalam Jurnal WACANA edisi ini merekam kenyataan tersebut,
menguraikan persis bagaimana politik tata ruang di Indonesia, bagaimana
praktik modal menguasai ruang, dan bagaimana ketidakadilan ruang telah
menjadi ancaman nyata bagi kelestarian alam sekaligus berkontribusi pada
pelenyapan identitas dan sumber kehidupan warga. [ ]
Rivani Noor & Lubabun Ni’am