1. SPIRITUAL IBADAH HAJI
OLEH : AMAN
“haji” secara bahasa artinya “menuju kemuliaan”. Menurut Syara‟ haji
adalah pergi ke baitullah untuk melaksanakan amalan-amalan yang
dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu, tempat tertentu dan dengan
cara tertentu pula. (Abdurrahman Jaziri, alfqih „ala mazahib al-„arba‟ah,
juz IV, hlm. 177). Di lihat dari sisi maknanya, ibadah haji adalah ibadah
yang sangat mulia. Tidak semua orang dapat menunaikan ibadah yang
satu ini, karena adanya “istita‟ah” (kesanggupan). Jika seseorang telah
memiliki Kesanggupan., maka jatuhlah hukum wajib baginya.
Kesanggupan dalam hal ini mencakup berbagai aspek, yaitu : fisik,
finansial (materi) untuk akomodasi dan transportasi, keamanan dan
memiliki muhrim bagi wanita. (Zuhailiy, al-Fqih al-Islamiy wa Adillatuhu,
juz III, hl. 386-387). Namun demikian, walaupun seseorang itu
dinyatakan sanggup, kewajiban haji hanya satu tahun sekali, setelah itu
hukumnya sunat.
Haji merupakan ibadah menampakkan penghambaan tertinggi
dan syukur nikmat kepada Allah. Penghambaan tertinggi dimulai dari
meninggalkan harta, keluarga tercinta dan bentuk keduniaan lainnya.
Selanjuitnya hanya mengenakan pakaian putih tanpa berjahit.
Sehingga akan munculah sikap zuhud dan tawaddu‟ di hadapan Allah.
Syukur nikmat dapat dimulai dari adanya kesanggpun fisik berupa
kesehatan jasmani dan ruhani. Juga adanya kecukupan harta untuk
menunaikan ibadah haji merupakan kesyukuran tertinggi atas rezeki
yang diberikan Allah kepadanya. Pada akhirnya selesai haji ia akan
mendapat predikat hamba Allah yang paling bertakwa . (Ala al-Din alkasaniy, Badai‟ as-Sanai‟, juz II, hlm. 118).
Orang-orang yang telah menunaikan ibadah haji memiliki
spritualitas (kemampuan ruhani untuk selalu berzikir kepada Allah dan
memiliki akhlak yang tinggi). Allah sendiri dalam Al-Qur‟an menyebut
orang-orang yang menunaikan ibadah haji dengan kalimat “ulul albab”,
yang artinya orang-orang yang memiliki mata hati yang tajam untuk
berzikir kepada Allah dan meiliki akhlak yang tinggi. Allah berfirman
dalam surah al-Baqarah ayat 197 : (Musim) haji adalah beberapa bulan
yang dimaklum, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu
akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan
berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang
kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya.
Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan
bertakwalah kepada-Ku wahai ulil albab.” Allah mengaitkan kalimat
“ulul albab” dengan orang-orang yang menunaikan ibadah haji. Ibadah
haji dilakukan dengan niat ikhlas dan harus mampu menjaga kata-kata
kotor/tidak pantas (rafas), berbuat kefasikan dan melakukan
perbantahan. Setelah seseorang yang telah menunaikan ibadah
hajinya sampai ke tanah airnya, maka diharapkan ia menjadi kelompok
ulul al-bab, yaitu : orang yang gemar berzikir, menjaga martabat
dirinya, keluarganya dan masyarakatnya. Kalimat yang keluar dari
bibirnya bukan lagi kata-kata rafas, menjelekkan orang lain,
membukakan aib orang lain dan fitnah keji kepada saudaranya.
Imam
Gazali
di
dalam
Ihya
Ulumuddin
mengisahkan
perjalanan seorang „Alim yang shalih sedang menempuh perjalanan
haji. Namanya „Ali bin al-Muwaffiq. Dikisahkan:“Pada suatu malam,
2. tanggal 8 malam 9 Dhu al-Hijjah (malam hari „Arafah) ia tertidur di
tanda-tanda mabrurnya?”. Nabi Saw menjawab: “Suka membantu
masjid al-Khaif Mina. Dalam tidurnya ia bermimpi melihat dua malaikat
memberikan makanan dan santun dalam berbicara” (HR. Ahmad, al-
sedang berdialog. Malaikat yang satu berbicara kepada malaikat yang
Tabrani, dan lain-lain). Muhammad Nashiruddin Al-Albani mengatakan
lain: “Hai teman (Abdullah), tahukah engkau berapa banyak orang yang
hadits ini shahih lighairih (Shahih al-Targhib wa al-Tarhib, II/3).
pergi haji tahun ini?”. Malaikat yang lain menjawab: “Tidak tahu!”.
Kemudian temannya tadi memberitahu bahwa mereka itu jumlahnya
mencapai 600.000 jamaah. Kemudian ditanya lagi: “tahukah kamu
berapa orang di antara mereka itu yang meraih haji mabrur ?”. Tidak
tahu!, jawab temannya. Kemudian temannya itu menjelaskan bahwa
yang meraih mabrur/ maqbul hajinya itu hanya 6 orang. Sampai dialog
ini, dua malaikat itu pun pergi. Setelah itu „Ali bin al-Muwaffiq pun
terbangun dari tidurnya dengan penuh penasaran, sedih dan gelisah.
Dalam hatinya bertanya: “Jika hanya 6 orang yang diterima hajinya dari
600.000 jamaah, apakah aku bisa masuk yang enam orang itu?”.
Demikianlah ia terus menerus merenungkan dan berusaha mencari
tahu makna di balik mimpinya itu. Selanjutnya ia berusaha melakukan
ibadah hajinya dengan sebaik mungkin agar berhasil masuk dalam
kelompok enam yang hajinya mabrur itu. (al-Gazali, Ihya „Ulumuddin,
juz I, hlm. 341). Kisah ini dapat kita ambil hikmah bahwa betapa
sulitnya menggapai haji mabrur. Rasulullah Saw pernah menjelaskan
tanda-tanda haji mabrur itu, Dari Jabir ra. Nabi Saw bersabda: “Haji
mabrur itu tidak ada balasannya kecuali surga”. Rasul ditanya: “Apa
Penjelasan di atas setidaknya memberikan gambaran kepada
kita, bahwa orang-orang yang telah menunaikan ibadah haji memiliki
daya spiritual yang tinggi, yaitu daya zikir kepada Allah dan kepekaan
kepada masyarakat sekelilingnya. Imam Nawawi mengatakan : Jika
seseorang yang menunaikan ibadah haji telah kembali ke tanah airnya
tanpa membawa perubahan, maka ia jauh dari tanda-tanta mabrur.
(Mahyuddin an-Nawawiy, al-Idah fiy Manasik Hajj wa „Umrah, hlm.
516). Kita berdoa kepada Allah semoga saudara-saudara kita yang
telah menunaikan ibadah haji memperoleh haji yang mabrur dan kita
yang belum mampu melaksanakannya, semoga allah me;limpahkan
rahmatnya sehingga ditahun mendatang kita juga dapat
menunaikannya.