SlideShare a Scribd company logo
1 of 39
Latte Confession 
Pengakuan yang Terlambat 
Written by Alfa Junior
Love undercover 
Saat Viola yakin bahwa harinya sudah cukup buruk dan berpendapat dia sudah 
mendapatkan cukup masalah hari ini, dengan muak dia setengah berlari meninggalkan ruang 
kantornya, meninggalkan file file yang harusnya dia periksa, dan berteriak teriak pada 
sekretarisnya yang ikut ikutan panik ketika bos-nya mendadak mengcancel meeting hari ini. 
Viola memang sedang tak sadar ketika dia mengempit hobobag-nya dan menghempaskan 
tubuh di jok kulit sedan putih mengkilat miliknya. Dan masih dalam kondisi setengah sadar 
ketika dia menginjak pedal gas dalam dalam dan meluncur menuju coffee shop langganannya. 
Tempat dia selalu menghabiskan waktunya jika dalam keadaan setengah sinting seperti saat ini. 
Viola masuk bistro, masih dengan tampang horor di wajahnya. Pikirannya yang sedang 
emosional terbang entah kemana membuatnya dia tidak menyadari bahwa bistro kecil itu 
hampir hampir kosong selain keberadaan waitress, satu barista, satu lelaki paruh baya yang 
sedang menyesap lattenya, dan tentu saja dia yang berdiri mematung di depan bar dengan 
buku menu yang entah bagaimana sudah berada di tangannya. 
“maaf, pesanannya ?” tanya seorang pelayan yang kelihatannya baru. Viola hampir hafal 
wajah pegawai disini walau dia tidak mengenal mereka 
Suara itu seakan akan menghempaskan dia ke bumi, membuat rohnya masuk ke 
tubuhnya lagi. Membuat Viola tersadar seutuhnya. Cepat cepat dia memesan hot chocolatte 
tanpa repot repot membuka menu, lalu berjalan menyusuri lorong pendek dan duduk di meja 
pojok favoritnya. Dia duduk diam menunggu pesanannya sambil memejamkan mata. Viola 
berusaha merilekskan tubuhnya setelah didera masalah bertubi tubi sepagian ini. 
Yang pertama dan paling utama, datang dari ibunya yang menyuruhnya segera menikah.. 
Tidak tidak! Menyuruh bukan kata yang tepat. Ibunya memang sudah merongrongnya 
tentang pernikahan selama satu tahun belakangan ini. Tapi pagi ini berbeda, kali ini beliau 
memaksanya.
Dua puluh delapan dan karir matang. Apa lagi yang kau tunggu ? Tiga bulan lagi kau 
sudah dua puluh sembilan, viola! Setidaknya carilah pacar dan kenalkan kepada ibu! Kata kata 
ibunya yang menghantuinya sejak tadi terngiang kembali di telinga Viola. Demi Tuhan, kenapa 
urusan menikah yang seharusnya adalah moment bahagia malah berubah menjadi siksaan 
baginya? Atau paling tidak, perempuan perempuan seusianya yang belum mempunyai 
pendamping. 
“Carilah satu atau aku yang akan mencarikannya untukmu!” bayangan ibunya lagi lagi 
melintas di kepala. Raut wajah keras hati itu teguh. Sorot matanya sungguh sungguh. 
Tidak! Viola menggeleng cepat cepat. Dia tidak mau dijodohkan! 
Lalu apa yang harus dia lakukan? 
Mencari pacar? 
Viola mendesah. Selama ini dia berdalih pekerjaan yang membuatnya sangat sibuklah 
yang telah menyita banyak waktunya. Dia tidak sempat pergi hang out dan mencari kenalan 
kenalan baru. Dia tidak punya waktu untuk sekedar nonton, makan malam, ataupun meladeni 
acara pdkt mereka. Dia menghabiskan seluruh hidupnya di kantor. 
Tapi bukan berarti dia tidak punya kekasih. 
Viola punya kekasih, hanya saja dia tidak ingin mengenalkannya pada ibunya. 
Lagi lagi viola mendesah kalut. Dia menarik keluar ponselnya dari saku blazernya. 
Menggeser flipnya sebelum mengetikkan 4 digit nomor security. Dan ketika 4 nomor itu telah 
diverifikasi dengan benar, muncullah sebuah foto di wallpaper handphonenya. Foto Viola dan 
kekasihnya yang berfoto di disneyland tokyo. Dia tersenyum kecil ketika dia mengingat begitu 
sulitnya mencuri curi waktu diantara pekerjaan kantor yang super sibuk ketika mereka berdua 
sedang sama sama ditugaskan ke Jepang. 
Foto dirinya bersama sekretarisnya.
Lalu kesadaran kembali menghantamnya ketika dia ingat alasan mengapa dia tidak 
mengenalkan pacarnya kepada ibunya. Alasan yang sama kenapa dia begitu hati hati sampai 
memasang security code pada ponsel smartphonenya. 
Sekretarisnya juga adalah seorang perempuan. 
***
Melody 
Surya memasuki bistro dengan goyah. Kelihatannya cafe itu kosong. Bagus! Karena 
dengan begitu Surya bisa sendirian disana. Sendiri dengan semua pikiran pikirannya yang 
membuat kepalanya nyaris meledak. 
Dia duduk di bar dan langsung meneriaki sang Barista untuk membuatkannya latte 
tanpa harus repot repot menunggu pelayan menawarkan menu kepadanya. Barista itu 
mengangguk dan segera menyiapkan kopi untuk Surya, sementara pelayan yang setengah jalan 
hendak menawari Surya sebuah buku menu berdiri mematung ketika dia tahu dia terlambat 
menyerahkan buku itu kepada pelanggan pertamanya. Surya memperhatikan, pelayan itu 
gugup dan bingung. Sepertinya wanita muda itu berdebat dalam hati apakah perlu dia 
melanjutkan memberikan menu kepadanya atau tidak. 
“Kau pegawai baru disini?”, Surya mengamati bahwa dia tidak familier dengan wajah 
perempuan muda yang kelihatannya tidak lebih tua dari anaknya. 
Pelayan itu mengangguk dan tersenyum kecil, dan rupanya dia memutuskan untuk 
memberikan buku menunya. Surya dengan sopan menerimanya, walaupun dia sendiri sudah 
hafal isi buku itu. Pelayan itu berbalik dan hendak kembali menuju sudutnya dan berdiam 
disana ketika hati Surya mencelos. 
Bagian depan tubuh pelayan itu yang tadinya tertutup buku menu sekarang terlihat jelas 
oleh Surya. Dia kembali teringat kepada anak semata wayangnya yang kini entah dimana. Di 
detik berikutnya dia teringat alasan apa yang membuat pelayan itu mengingatkan Surya kepada 
anaknya. 
Perempuan itu sedang hamil. 
Melody kecilnya juga sedang hamil. Hamil muda dengan pria yang bukan suaminya. 
Bukan suaminya karena mereka belum menikah. Dan bagaimana Surya bisa mengizinkah 
anaknya menikah dengan laki laki miskin itu? Bagaimana masa depan anak semata wayangnya
jika harus hidup dengan lelaki itu? Dan Demi Tuhan, Melody bahkan masih terlalu muda untuk 
menikah! Dia masih baru saja merayakan ulang tahun yang ke-22 bulan lalu! 
Tapi kini dia sudah hamil. 
Dan dia kabur dari rumah. 
“Latte sedikit gula, Om Surya.” 
Surya terlonjak sedikit. Cepat cepat ia menoleh kearah suara yang mengangetkannya. 
Mendapati barista yang dikenal bernama Bara sedang tersenyum ramah kepadanya. Pemuda 
itu meletakkan cangkir dan tatakannya di konter di depan Surya. 
“Dia anak baru, om. Ini hari pertamanya”, terang Bara sambil mengerling sekilas ke arah 
sang pelayan baru. 
Surya mengangguk mengerti, ikut ikutan menoleh ke pelayan baru itu. 
“Kau mirip sekali dengan putriku”. Surya menjelaskan kepada perempuan muda yang 
sepertinya sedikit ketakutan ditatap olehnya. 
“Kau sedang hamil?” 
“Iya” 
“Mengapa kau malah justru bekerja?” 
“Membantu suami” 
Surya mengamati ketika perempuan itu memutar mutar cincin di jari manisnya dengan 
gugup ketika mengucapkan kata suami. Perempuan muda itu sudah menikah rupanya. Dan 
suaminya kesulitan menghidupi mereka berdua, apalagi kini akan ditambah dengan satu mulut 
yang harus mereka beri makan. Dan perempuan ini berbesar hati menerima kondisi suaminya. 
Aku tidak peduli seberapa banyak gajinya papa! Aku mencintainya!
Surya memalingkah wajahnya dari pelayan yang mengingatkan dia kepada anaknya itu. 
Surya kembali menghadapi mejanya dan menyesap lattenya banyak banyak ketika seseorang 
masuk dan berjalan kearah Bar. Dari sudut matanya dia melihat pelayan baru itu kini secepat 
kilat berusaha memberikan buku menunya ke pengunjung baru. Perempuan yang terlihat 
linglung itu menerima buku menunya, tapi bahkan dia memesan tanpa melirik kearah menu. 
Dia menoleh ingin tahu tepat ketika perempuan itu berbalik mencari meja, kelihatannya 
dia sedang kalut. Sementara itu, Surya melihat pelayan baru itu cepat cepat menyerahkan buku 
catatan pesanannya kepada Bara. Tubuh kecilnya yang tidak proporsional di bagian perut itu 
terlihat rapuh. Surya khawatir kaki kecil itu tidak sanggup menahan berat janinnya yang harus 
dia bawa berdiri sepanjang shift. 
Surya menelan ludah. Kembali teringat putrinya yang hanya meninggalkan surat ketika 
dia kabur dari rumah. Mengatakan bahwa dia akan kembali jika Surya telah mengijinkannya 
menikah. 
Tapi masalahnya, dia tidak ingin Melody menikah dengan laki laki dengan penghasilan 
pas pasan. Apalagi mereka akan punya anak. Bagaimana hidup Melody nanti? Bagaimana degan 
masa depan anak Melody? Cucunya? Walaupun Surya mungkin punya cukup harta untuk 
membantu mereka, Surya tidak akan hidup selamanya. Surya tidak akan bisa meninggalkan 
mereka dengan tenang. 
Surya kembali mencuri pandang kearah pelayan baru, lalu menelan ludah. 
Surya tidak ingin Melodynya berakhir di sebuah cafe dengan seragam putih hitam dan 
sebuah menu ditangan hanya untuk terus menyambung hidup membantu calon suami yang 
hanya seorang pegawai front desk. 
***
The same questions 
Senja sedikit gugup ketika dia briefing pagi dengan seorang barista. Bagaimana tidak 
gugup? Ini memang bukan pertama kalinya ia bekerja. Tapi ini hari pertama ia bekerja di 
tempat ini. Dan pagi ini dia akan bekerja sendirian sampai seorang pelayan tambahan datang 
saat shift siang. Dan yang paling penting, Senja tidak pernah bekerja dalam keadaan hamil 
sebelumnya. 
Ketika briefing singkat itu selesai, Senja segera memulai pekerjaannya walaupun dia 
tahu ini berat untuknya dan berbahaya bagi juniornya. Dia tidak bisa membiarkan suaminya 
bekerja sendirian siang malam untuk menyiapkan kelahiran putra pertama mereka. Dia tahu, 
biaya persalinan tidaklah murah. 
Sebenarnya Senja tahu, dia bisa meminta kepada ayahnya. 
Tapi itu tidak akan terjadi. 
Tidak! Tidak selama senja belum bisa meyakinkan mereka tentang pilihan hidupnya. 
Selama ayahnya belum merestui mereka. 
Klek! 
Pintu dibuka dan seorang pria yang kelihatannya berumur pertengahan lima puluh 
masuk. Senja belum sempat menawarinya buku menu ketika dia langsung saja duduk di depan 
bar dan memesan latte untuk dirinya yang terlihat sangat tertekan. Pria itu menyisir rambut 
dengan sebelah tangannya dan menggigit bibir. Sebuah ekspresi yang mengingatkan Senja pada 
ayahnya jika sedang banyak pikiran. 
“Kau pegawai baru disini?”, tanyanya ramah. Senja mengangguk dan tersenyum tak 
kalah ramah. Berspekulasi bahwa pria ini pastilah salah satu pelanggan tetap bistro-nya. Dan 
benar saja, tak berselang lama kemudian si barista di balik bar bercakap cakap dengan pria 
tersebut. Bukti bahwa dia memang telah mengenal pegawai pegawai disini. 
Pria itu menoleh lagi kearah Senja. “Kau mirip sekali dengan putriku”
Senja tersenyum kikuk. Bingung harus melakukan atau mengucapkan apa. Pria itu 
sedang teringat akan putrinya. Well, kebetulan yang mengagumkan karena Senja juga sedang 
teringat kepada sosok ayahnya ketika memandang pria itu. Laki-laki dengan sorot mata 
penyayang walaupun ada sedikit superioritas disana. Nada bicaranya lembut tapi tidak 
kehilangan ketegasannya. Pria itu banyak tersenyum. Meskipun Senja tahu senyumnya adalah 
sekedar senyum sopan. Senja tahu, pria itu sedang tidak dalam keadaan baik baik saja. 
Sosok ayahnya berekelebat didepan mata Senja.. 
Ayah yang menolak hadir di pernikahannya. Ayah yang menolak memberikan restu 
hanya karena suaminya hanyalah seorang pegawai pabrik, sedangkan Senja sendiri adalah anak 
seorang direktur pemilik pabrik. 
Pergi! Kau bukan anakku lagi jika kau tetap menikah dengannya! 
Senja bergerak gerak gelisah. Kenangan terakhirnya bersama ayahnya sama sekali tidak 
terlalu bagus untuk diingat. Dia memutar mutar cincin di jari manisnya, bertanya tanya apakah 
ayahnya kini telah merestuinya. Senja mendesah pelan. Susah payah menahan air mata yang 
tiba tiba ingin meleleh. 
Lamunan Senja terpotong oleh kehadiran seorang perempuan dengan tampang 
berantakan. Cepat cepat Senja memberikan buku menu kepada perempuan yang kelihatannya 
hampir gila itu. Kelihatannya perempuan itu sedang dalam masalah besar. Senja bertanya tanya 
dalam hati apakah dia juga seberantakan itu saat melewati masa masa berat dengan ayahnya 
dulu? Apakah ayahnya juga merasakan hal yang sama? 
Diam diam Senja melirik pria di bar. Senja sedikit terkejut ketika dia melihat sudut mata 
pria itu basah. Pria itu menangis. 
“Hot chocolatte siap”, kata Bara sambil meletakkan secangkir kopi di nampan yang 
ditaruhnya di atas bar. Senja segera mengantarkannya kepada perempuan yang memesannya. 
Pilihan yang bagus. Perempuan itu sepertinya benar benar butuh coklat.
Senja melihat perempuan itu menimang nimang ponselnya. Memainkan dengan sebelah 
tangannya yang berada di atas meja. Tatapan matanya kosong, seakan akan dia sedang 
menimang keputusan yang sangat sulit. Senja meletakkan nampannya tanpa suara, berusaha 
tidak mengganggu perempuan yang sepertinya sedang berpikir keras itu. Tapi rupanya Senja 
tidak begitu berhasi. Perempuan itu terlonjak kaget ketika nampan Senja menyentuh meja. 
Namun dia langsung berusaha menguasai diri. 
“Sudah berapa bulan?”, dia bertanya pelan setelah pulih dari kekagetannya sambil 
menunjuk kearah perut Senja dengan anggukan kepalanya. 
Senja tersenyum. “5 bulan”, jawabnya ramah. 
“Ah, selamat yaa” 
Senja tersenyum kecil, lalu kembali berpaling untuk menata tissue di meja. 
“ Apakah kamu memang berencana menikah muda?” 
Senja mengangkat alis, melirik kearah jemari perempuan yang sedang duduk 
dihadapannya. Tidak ada cincin disana. Sepertinya Senja mengerti kemana arah pembicaraan 
ini. Senja mengangkat bahu. 
“Tapi kau mencintainya?”, tanyanya penuh selidik. Kelihatannya tanpa bisa menahan 
diri. 
“Tentu saja”. Senja mengangguk meyakinkan 
Perempuan itu terdiam beberapa saat. Matanya menerawang jauh. 
“Apakah kau bahagia?” 
Senja terdiam kali ini. Perempuan itu menanyakan pertanyaan yang sama yang selama 
ini terus ditanyakan hati kecilnya. Pertanyaan yang selalu terngiang sejak dia memberanikan diri 
melawan orang tuanya untuk kawin lari. Dia bahagia bersama cintanya, tentu saja. Tapi disudut
hati kecilnya, dia bertanya tanya apakah kebahagiaan itu harus ditukar dengan merenggut 
keutuhan keluarganya? 
Senja menahan nafas. 
“Entahlah” 
Senja harus mengakui, untuk pertanyaan itu dia belum mendapatkan jawabannya. 
***
Run off 
Apakah kau bahagia ? 
Viola bisa mendengar suaranya sendiri meluncur begitu saja dari mulutnya. Dia berjengit. 
Pertanyaan itu terlalu pribadi untuk ditanyakan. Pertanyaan itu lebih tepat ditujukan untuk 
dirinya sendiri. 
Entahlah 
Viola berjengit. Dia menatap pelayan muda yang sempat tersenyum kecil itu, sebelum ia 
berbalik pergi membawa nampannya. 
Jawaban pelayan itu sama persis dengan apa yang ada dipikirannya. 
Drrt Drrt.. 
Viola meraih ponselnya. Mendapati sebuah satu pesan baru disana. Dari sekretarisnya. 
Bukan! Mungkin lebih tepat jika dibilang, dari kekasihnya. 
Apa yang sedang terjadi ? Kau tidak apa apa? 
Singkat, padat, dan jelas. Tapi dibalik pesan singkatnya Viola bisa mendengar nada 
cemas perempuan yang tak bisa berhenti mengkhawatirkannya itu. Perempuan yang sudah 
hampir 3 tahun menjadi kekasihnya. 
Viola mendesah. Tentu saja dia sedang kenapa napa. 
Aku baik baik saja, putri. Tidak ada apa apa.. 
Drrt Drrt.. 
Kau tahu kau tidak pandai berbohong, sayang. Ada apa? Beritahu aku..
Viola hampir bisa melihatnya mencebik manja. Rayuan yang selalu berhasil membuat 
Viola meluluskan apapun keinginan kekasihnya itu. Viola tersenyum kecil. Sesaat, dia hampir 
lupa kekalutannya. 
Kau bisa pensiun jadi sekretarisku dan beralih menjadi cenayang. 
Lucu sekali boss. Apa yang sedang terjadi padamu? 
Aku dipaksa segera menikah oleh mamaku, putri. Tentu saja aku tidak bisa melakukan 
itu.Hal itu mustahil untukku karena kau satu satunya orang yang ingin kunikahi. Tapi aku juga 
belum siap memberitahu mama, kalau kaulah satu satu alasan dibalik semua penolakanku. Aku 
masih terlalu pengecut untuk mengaku. 
Viola menggigit bibir, dia sudah akan mengirim pesan panjang itu ketika dia berubah 
pikiran. Dia mengcancel pesannya dan mematikan ponselnya. Dia tidak akan memberitahu 
kekasihnya. Tidak! Dia hanya akan membangkitkan jiwa melankolis perempuan itu dengan 
memberitahunya. Viola bahkan bisa membayangkan jawaban apa yang akan ia dapat dari 
kekasihnya. 
Kau bukan pengecut, sayang. Aku pasti mengalami hal yang sama jika aku masih punya 
orang tua. Menikahlah, kalau itu bisa membuatmu lepas dari tekanan mamamu. Aku tidak apa 
apa, karena aku tahu hatimu milikku. Aku tidak keberatan, selama itu bisa menolongmu dari 
rasa tertekan. 
Viola memutar bola mata.Dia? Menikah? Hanya dengan memikirnya menjalani hidup 
penuh kepura puraan saja membuatnya mual. Belum lagi kekasihnya yang akan menderita 
bersamaya. Walaupun viola tahu kekasihnya adalah perempuan yang tegar dan mengatakan 
bahwa ia akan baik baik saja. Tapi perempuan mana yang sudi kekasihnya dibagi dua? 
Dia mungkin bisa bilang dia baik baik saja, tapi Viola tahu hatinya terluka. 
Dan viola tidak hanya akan menjadi seorang pengecut, dia akan menjadi seorang paling 
egois jika membiarkan hal itu terjadi pada kekasihnya.
Lalu apa yang harus dia lakukan? 
Apakah dia berani memberitahu mamanya dan membuat hatinya hancur berkeping 
keping? Menghadapi murka seorang single parents yang berjuang sendiri membesarkan putri 
tunggalnya dan terpaksa harus mengubur harapan harapan yang terlanjur beliau mimpikan? 
Apakah ia akan memilih menjadi seseorang yang begitu egois dan kejam terhadap ibu 
kandungnya sendiri? 
Atau dia akan memilih untuk berdiam diri seperti yang ia lakukan sepanjang hidupnya? 
Menutup rapat rapat rahasianya, dan mengorbankan cinta terlarang yang susah payah ia jaga. 
Membunuh dua hati, miliknya dan milik kekasihnya. Hanya untuk sebuah kebohongan dan 
kepura puraan lain. Apakah ia akan memilih untuk menderita seumur hidupnya? 
Rasanya ia ingin kabur ke ruang angkasa. 
Viola terduduk tegak. Mengernyitkan dahi sambil menatap barista yang sedang 
mengelap gelas gelas besarnya. Dia tersenyum sekilas sebelum akhirnya bangkit berdiri menuju 
konter dan duduk disana. Viola tahu apa yang ia butuhkan sekarang. 
“Beri aku satu gelas beer yang paling kuat” 
Beer akan membuat dia melayang ke angkasa. 
***
My princess 
“Permisi tante..” 
Yang disapa menoleh, mengalihkan pandangannya dari pupuk pupuk dan anggrek 
anggrek yang manja. Dia melihat perempuan yang kelihatan buru buru itu bergerak gerak 
gelisah di luar gerbang rumahnya. Perempuan itu berblazer lengkap, rambut coklat 
sepunggungnya dibiarkan tergerai, dan kacamata gelapnya bertengger diatas hidung yang 
Monique yakin hidung blasteran entah negara mana. Tapi wajah itu seakan familier baginya. 
Entah dimana ia pernah melihatnya. 
Apa mungkin dia sales yang sering datang kemari? Pikir monique sambil berjalan untuk 
membukakan pintu pagar untuk perempuan itu. Dia tertawa dalam hati mendengar leluconnya 
sendiri. Tidak ada promotion girl yang secantik dan serapi ini. 
“Ya ?” 
“Violanya ada dirumah ?” 
Oh! Tentu saja. Teman kantor viola. Pikir Monique paham. Mungkin ia pernah tanpa 
sengaja melihat perempuan ini di album album foto milik anaknya. 
Eh, tapi tunggu dulu. Bukankah anaknya sedang pergi kerja? 
“Tidak, dia pergi kerja”. Monique mengerutkan alis. “Ada yang bisa saya bantu?” 
Perempuan itu menggigit bibir, wajahnya berkerut kerut kecewa. Dan dia terdengar 
sangat cemas ketika mulai bercerita. “Viola kabur dari kantor, tante. Karena itu saya kesini. Saya 
pikir dia ada di rumah”. Dia menarik nafas satu satu. Sepertinya dia berusaha keras 
menenangkan diri. “Dia tidak bisa dihubungi, Dan dia ...” 
“Kamu teman kantornya?”. Monique melirik ID card yang menggantung di leher 
perempuan itu. Sedikit sulit karna seperti kebanyakan wanita yang menua, Monique juga makin 
rabun.
“Ya”. Perempuan itu terdiam sesaat. Dia bergerak gerak gelisah. “saya eh.. sekretarisnya” 
Perempuan itu tersenyum dan menunjukkan ID cardnya. Rupanya menyadari kalau 
Monique menyipit berusaha membaca nama yang tertera disana. 
Airin Hime. 
Oh. Keturunan Jepang. Monique mengangguk angguk dalam hati sambil mengawasi 
perempuan tadi masuk ke dalam taxi. Dia mencoba mengingat ingat kursus bahasa Jepangnya 
dulu waktu dia menjadi pramugari, mencoba mengartikannya ke bahasa Indonesia. 
Dan ketika dia berhasil mengingat arti kata hime dari sejuta kosakata yang berlalu lalang 
dalam kepingan memorinya. Monique tercekat ngeri.. 
Dia ingat dimana dia pernah melihat perempuan blasteran jepang itu tadi. Dia pernah 
melihatnya memakai kimono lengkap, dalam foto yang tak sengaja ia temukan terjatuh dari 
agenda Viola yang tertinggal di meja makan. Dibalik foto 3R itu Monique mengenali tulisan 
tangan Viola yang ramping. Tulisan yang membuatnya bertanya tanya, dan nyaris membuatnya 
tidak bisa tidur. Tulisan tangan yang mendatangkan badai yang luar biasa di hati Monique. Satu 
kalimat yang terdiri dari dua buah kata yang sederhana. 
My Princess. 
Princess. Putri. Dalam kamus bahasa jepang yang juga berarti hime. 
Monique tergopoh gopoh berlari kedalam rumah, menyambar kunci mobil tuanya dan 
membanting pintu rumah menutup tanpa repot repot merasa perlu menguncinya. Dia 
melempar dirinya ke balik kemudi. Dan dia menyetir kesetanan mengejar taxi. 
***
Cinderella Complex 
Kau ada dimanaa ? desis Airin dalam hati. Panik melanda sekujur tubuhnya 
Kau datang dengan muka seperti baru saja diteror. Lalu kabur dari kantor padahal kau 
baru sampai satu setengah jam sebelumnya. Kau tidak kembali pulang karena mamamu bilang 
kau tidak ada dirumah. Dan kau tidak menjawab pesanku! 
Tut tut tut.. Nomor yang anda tuju sedang.. 
Airin mengenal kekasihnya lebih dari siapapun. Viola tidak pernah mematikan ponselnya 
kecuali ketika dia sedang meeting , atau ketika ia sedang menangis. Dan karena Airin tahu betul 
Viola tidak sedang meeting saat ini, maka tentunya dia sedang... 
“Mau ke mana lagi, mbak ?” 
Airin terlonjak kaget. Lupa pada sopir taxinya yang sedang menunggu perintahnya. Taxi 
itu sudah keluar dari kawasan perumahan dan mulai memasuki jalan besar. Airin 
menggelengkan kepala kuat kuat, berusaha mengenyahkan pikiran buruknya sementara ia 
berkonsentrasi pada tujuan berikutnya. 
Benar! Dia harus fokus menemukan kekasihnya. 
Airin cepat cepat mengisi kepalanya dengan daftar nama tempat dimana Viola mungkin 
bersembunyi. Daftar teratasnya, rumah, telah dicoretnya dengan masam. Dia beralih kepada 
kemungkinan kedua. 
“Distrik Kayutangan”, kata Airin memutuskan. 
Sopir itu mengangguk sekali, mengenali tempat yang dimaksud oleh Airin. 
Airin mencoba menenangkan diri ketika taxi melaju menuju tempat tujuan mereka. 
Tidak terlalu berhasil karena cuaca yang gerimis seakan akan mengejeknya. Dia juga sempat 
mencoba menelepon Viola beberapa kali lagi. Tapi ketika perempuan menjengkelkan lah yang 
mengangkat telponnya, Airin menyerah dan melemparkan kembali ponselnya kedalam tas
tanganya dengan frustasi. Dia berdoa agar kekasihnya benar benar ada di tempat yang kini ia 
tuju. Ia hampir hampir gila memikirkan keadaan Viola yang tidak jelas bagaimana. Walaupun 
samar samar ia tahu apa yang membuat dia begitu kalut. 
Airin kembali mengingat ingat pesan terakhir Viola sebelum dia memutuskan untuk 
menonaktifkan ponselnya. 
Kau tahu? Aku hanya ingin menikah denganmu. 
Airin tahu Viola memang selalu kalut jika membicarakan tentang pernikahan. Dia selalu 
menganggap hal itu seperti horor pribadi untuknya. Viola memang selalu terlihat menganggap 
enteng sambil lalu ketika semua teman, relasi, dan keluarganya bertanya kapan ia akan 
menikah. Tapi Airin perempuan yang cerdas dan peka. Dia tahu persis perasaan berkecamuk 
yang melanda hati kekasihnya yang bosan ditanya tanya. Viola memang bisa menulikan diri dari 
perkataan orang lain, kecuali mungkin satu orang. Dan Airin tahu siapa orang yang bisa 
meneror kekasihnya hingga begitu kalut dan tertekan. 
Ibunya. 
Airin menggigit bibir. Dia tidak punya orang tua yang sanggup merecokinya sepanjang 
waktu tentang ketidaknormalannya. Kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan 
lalu lintas ketika mereka semua masih tinggal di Jepang. Dia pindah ke Indonesia untuk tinggal 
bersama neneknya yang masih tersisa. Namun itupun hanya beberapa tahun. Dia berusia 21 
Tahun ketika neneknya meninggal dunia. Dia tidak perlu mencemaskan siapapun lagi, karena 
dia tidak memiliki siapa siapa. 
Tapi tidak dengan Viola, dia masih punya seorang ibu yang mencemaskannya. Seorang 
ibu yang tentunya akan keberatan dengan pilihan hidupnya. Dengan keabnormalannya 
Airin tidak keberatan dengan hubungan yang serba rahasia. Dia bisa memaklumi Viola 
yang harus menjaga nama baiknya. Menjaga rahasianya tertutup rapat. Menutupi kebenaran 
demi menjaga hati ibunya agar tidak hancur. Airin juga akan melakukan hal yang sama jika dia 
masih punya ibu.
Airin memandang keluar jendela. Mall berkelebat lewat di jendelanya. Lampu lampu 
menerangi papan reklame yang terpampang di sepanjang dinding luar mall. Sebagian besar 
adalah iklan. Beberapa memuat poster film yang sedang tayang di bioskop XXI. 
Tiba tiba Airin teringat film yang pernah ditontonnya di Singapore ketika ia menemani 
Viola pergi bekerja. Saat itu dia pergi jalan jalan ke mall sendirian karena Viola sedang sibuk 
bertemu kliennya. Airin pergi ke Mall dan sebuah poster film Thailand menarik perhatiannya. 
Maka dia menghabiskan sore itu sendirian menonton Yes Or No di bioskop. Merasa tersentuh 
akan cerita drama itu. Dan bahkan sempat menangis dibuatnya. 
Airin mendesah. Apakah kisah cinta seperti miliknya yang berakhir bahagia hanya ada di 
cerita dunia perfilman ataupun fiktif lainnya? Apakah cerita miliknya akan berakhir semanis film 
yang pernah ditontonnya? Apa di dunia ini hanya Cinderella yang diperbolehkan hidup bahagia 
selamanya? 
Airin memilih untuk tidak menjawabnya. 
***
Last Wishes 
Surya menatap perempuan yang duduk di bar disampingnya. Mata perempuan itu nanar, 
mata coklatnya berair menahan tangis. Mukanya memerah karena alkohol. Rambut hitam 
pendeknya awut awutan. Dan dia meracau tentang pernikahan, memanggil manggil sebuah 
nama yang kedengarannya seperti nama Jepang, dan tak henti hentinya meminta maaf kepada 
seseorang yang kelihatannya adalah mamanya. 
Surya menggeleng geleng. Bertanya tanya masalah apa yang sedang dihadapi 
perempuan ini sampai sampai separah ini halusinasi yang dialaminya. Surya menatap skeptis 
gelas beer besar yang hampir kosong itu. 
Apa benar alkohol bisa melarikanmu dari masalah? 
Wajah perempuan itu kacau sekali. Apakah wajahnya juga akan sekacau itu? 
Surya mengerling ke cermin yang tergantung di balik bar tepat diseberangnya. Seorang 
pria yang terlihat lebih tua daripada seharusnya mentapnya balik kepadanya. Rambutnya yang 
setengah beruban kusut tak disisir. Jambangnya belum dicukur. Matanya berkantung hitam 
dibalik bingkai kacamatanya. Dan dasinya menggantung asal di kerah lehernya. 
Efek ditinggal kabur putri semata wayangnya memang sangat berdampak pada 
kehidupan surya. Surya tersenyum masam. Dia bahkan tidak membutuhkan bantuan alkohol 
untuk membuatnya tampak kacau. Dia sudah terlihat sama kacaunya dengan perempuan 
mabuk disebelahnya. 
“Tolong satu gelas lagi”, pinta perempuan itu sambil mengacungkan gelas kosongnya 
kepada si barista untuk yang ketiga kali. Suaranya serak dan intonasinya sudah tidak karuan. 
Perempuan ini jelas jelas sudah mabuk 
“Kau tidak apa apa?” Surya bertanya khawatir ketika dilihatnya wajah perempuan itu 
mulai memucat. “Kelihatannya kau sudah terlalu mabuk”
“Aku tidak papa paman” jawabnya tegas, nyengir. Perempuan itu menegak beer nya lagi 
sebelum dia menambahkan lambat lambat, “aku tidak mabuk”. Tapi kontras dengan 
perkataannya, dia buru buru berlari ke toilet. Melempar tubuhnya merunduk diatas wastafel. 
Dan muntah disana. 
Dia bakal pingsan tak lama lagi. Batin Surya prihatin. 
Dia mengawasi ketika si pelayan baru yang juga terlihat prihatin itu memapah 
perempuan tadi keluar dari toilet. Perempuan itu kembali duduk disebelahnya. Surya bisa 
melihat sebagian besar bagian depan kemeja perempuan itu basah. Retina matanya memerah, 
kontras dengan wajahnya yang pucat pasi. Perempuan itu balas menatapnya datar. 
“Paman, kau punya seorang putri?” 
Surya mengangkat alis. Hatinya kembali tersayat ketika ia kembali diingkatkan akan 
putrinya. “Ya” 
“Apakah kau akan memaksa putrimu menikah jika dia tidak ingin?” 
Surya mengerutkan dahi. Pertanyaan macam apa ini? 
Tentu saja Surya tidak memaksa putrinya menikah. Malah, Surya memaksa putrinya 
untuk tidak menikah. Tapi kalau yang dipertanyakan disini adalah soal paksaan, maka 
jawabannya jelas walaupun konteksnya terbalik. 
Surya mengangguk hati hati. “Ya”. 
Ya. Dia telah memaksa putrinya tidak menikah walaupun putrinya sangat ingin. 
“Well, berarti putri paman sama setresnya seperti aku sekarang” . Perempuan itu 
mengangkat bahu, dan kembali menegak beernya. Dia bersendawa, lalu tertawa kecil. 
Sepertinya perempuan ini mengalami disorientasi. 
“kenapa orang tua selalu saja menyuruh anak mereka melakukan hal yang tidak mereka 
inginkan?” si perempuan menatapnya Surya heran. “dan selalu tidak suka dengan apa yang
anak mereka inginkan?”, tanya perempuan itu iratoris. Surya hanya diam mendengarnya. 
Memikirkan kata kata perempuan itu membuatnya serasa ditampar. 
Benarkah Surya orang tua yang separah itu? 
“apakah paman tidak ingin anak paman bahagia?” 
Surya menggigit bibir. Suara Melody terngiang di telinganya. 
Apa papa tidak ingin melihat Melody bahagia? 
“Tentu saja ingin”, Surya menelan ludah. “Itulah yang sedang aku lakukan..” 
“Yang sedang paman lakukan adalah memaksa anak paman, bukan membuatnya 
bahagia!”, perempuan itu menyela cepat. “Siapa yang bisa bahagia jika dipaksa paksa, paman?” 
Surya membeku, berusaha menulikan diri dari suara suara yang bergaung dari dalam 
kepalanya. Suara Melody yang seakan akan digemakan lagi oleh perempuan dihadapannya itu 
menampar hatinya, bagai garam yang ditabur diatas luka yang menganga. Pedih! 
Kata kata Melody membanjir memenuhi telinganya. Badan surya bergetar hebat ketika 
ingatannya sampai pada kata kata penuh airmata yang diucapkan melody sebelum dia pergi 
keesokan harinya. Satu harapan terakhir putrinya. 
“Aku hanya ingin menikah dengan orang yang aku cintai paman!”, perempuan 
disebelahnya berseru parau. 
Hati surya dingin membeku. Darah seakan akan berhenti mengalir dalam pembuluh 
darahnya. Sendok yang dimainkan diatas cangkirnya terjatuh berdenting keras sekali. 
Pandangannya mulai berkabut ketika kalimat perempuan itu meresapi ingatannya. Surya 
menahan nafas. Setitik air mata meleleh membasahi pipinya. 
Aku hanya ingin menikah dengan dia papa ! 
***
It is not the end 
Senja menunduk melirik jam tangannya. Sudah jam setengah 2. Sebentar lagi akan ada 
pelayan shift siang yang datang untuk membantunya menjaga bistro. Karena walaupun bistro 
ini sepi siang ini, kelihatannya dua costumer ini saja bisa membuatnya kewalahan. Satu 
perempuan mabuk, dan satu pria paruh baya yang sedang depresi. 
Kling! 
Suara berdenting nyaring ketika pria paruh baya di bar itu tanpa sengaja menjatuhkan 
tea spoonnya. Senja dengan cekatan mengambil sendok yang terajatuh itu dan membawanya 
ke konter, lalu menukarnya dengan sendok bersih lain. Senja menyorongkan sendok bersih itu 
kepada pria yang duduk di bar itu. Baru pada saat itulah Senja menyadari ekspresi pria itu. 
“bapak tidak apa apa?” Senja bertanya khawatir. Sepertinya pria itu sedang shock. Pria 
itu terbelalak ngeri, wajahnya merah padam, dan bahkan sepertinya dia berkeringat dingin. 
Pria itu menoleh dan mengangguk sekali. Senja menilai ekspresinya. Pria itu kalut, takut, 
dan.. menyesal? Pria yang seumuran ayahnya itu tidak melepaskan pandangannya pada 
perempuan mabuk yang sedari tadi meracau disampingnya. Perempuan itu terus menerus 
mengatakan sesuatu yang berkaitan dengan menikah, memaksa, anak, dan bahagia. Dan 
kelihatannya hal itu benar benar membuat pria itu ngeri. 
Senja mendengar pria itu berbisik. 
“lalu menurutmu apa yang harus aku lakukan ?” 
Senja ganti menatap perempuan muda yang kelihatannya sedang meracau entah 
tentang apa. Perempuan itu masih duduk dikursinya, setengah badannya bertumpu pada meja 
bar, matanya memerah, dan dia mengacung acungkan gelasnya ke udara. Tapi ketika dia 
mendengar bisikan pria disampingnya, perempuan itu menoleh cepat. Matanya yang tadi 
menerawang tak tentu, kini menggelap dan kembali fokus. Dia menatap tajam mata pria itu.
Tangan perempuan itu bahkan terulur dan mencengkeram erat bahu pria didepannya, seakan 
akan perempuan itu ingin memaksa pria itu mendengarnya. 
“Biarkan aku bahagia, paman. Walaupun kau tidak suka karenanya” 
Perempuan itu berbisik lirih, namun ketajaman suaranya bahkan memenuhi seantero 
bistro. Suara itu berat, bernada mengancam, namun pada saat yang bersamaan juga terdengar 
sangat sedih dan memilukan. Perempuan itu berhasil membuat seisi bistro terpana melihat 
kesedihan dalam suaranya. Dan di detik berikutnya, dia berhasil membuat seisi bistro menahan 
nafas ketika dia tiba tiba jatuh dari kursinya. 
Pingsan. 
Senja tercekat ngeri. Refleks dia segera menjatuhkan nampan yang dipegangnya dan 
berlutut disamping perempuan yang terbaring tak bergerak dilantai. Senja mengguncang 
guncangnya bahunya, tapi perempuan itu bergeming. Senja berusaha menarik perempuan itu 
bangun dari lantai. 
Berat. 
Dia menoleh ke arah Bara. Laki laki itu sedang panik berusaha menelepon seseorang, 
mungkin ambulans. Sementara pria paruh baya yang duduk di bar, masih sempurna mematung. 
Kelihatannya dia terlalu shock untuk bergerak, bahkan untuk sekedar mengambil nafas. Senja 
jelas tidak bisa mengandalkan mereka berdua. 
“Bantu aku menggotongnya ke sofa” sebuah suara parau mengagetkan Senja. 
Senja menoleh cepat. Di depannya berjongkok seorang wanita yang rupanya masuk 
tepat pada saat perempuan mabuk ini pingsan. Tangannya terulur membantu Senja memegangi 
si perempuan pingsan. Senja terlalu panik untuk menyadari kedatangannya tadi. 
“Bantu aku, please!” Perempuan itu berseru lebih keras. Senja mengiyakan dan segera 
membantu perempuan asing itu menopang tubuh yang tak sadarkan diri didepannya. Dari 
sudut sudut matanya Senja bisa melihat Bara juga cepat cepat menghampiri mereka. Bahkan
pria di bar sepertinya juga sudah tersadar dari shocknya karena teriakan perempuan asing tadi. 
Walaupun gerakannya masih berupa megerjap ngerjapkan mata. 
Dengan tiga pasang tangan, tubuh perempuan yang pingsan itu bisa dipindahkan ke sofa. 
Senja buru buru menuju lemari konter, mencari minyak kayu putih atau apapun yang bisa 
berguna untuk menyadarkan si perempuan pingsan. Bara juga kembali ke barnya, kembali sibuk 
dengan teleponnya. Namun perempuan yang baru datang itu tetap berjongkok disebelah sofa, 
kelihatannya perempuan itu saling kenal. 
“Viola! Viola! Bangun, sayang” 
Senja membeku. Apa katanya? Senja mendongak menatap perempuan yang baru 
datang itu lamat lamat. Sebelah tangan perempuan itu menggenggam tangan si perempuan 
pingsan, mata coklat blasterannya yang ketakutan tak lepas dari wajah pucat yang tak kunjung 
siuman. 
Senja mengerjap tak percaya. 
Perempuan ini.. kekasihnya? 
“Boleh aku melihatnya?” Senja melihat pria yang tadi duduk mematung kini sudah 
berdiri di sebelah sofa, disamping perempuan yang hampir menangis. Perempuan itu 
mengerutkan dahi, menilai dengan skeptis. Pria itu tersenyum menenangkan. “Aku dokter”, 
terang pria itu. Perempuan itu kontan mengangguk, wajah skeptisnya sirna. 
“Kau pasti kekasihnya”, Senja mendengar pria itu berbicara setelah dia berdiam diri 
cukup lama. Pria itu menoleh dan tersenyum sekilas kepada perempuan yang duduk 
disebelahnya, sebelum kembali menekuni pasiennya. Dari nada bicara yang Senja dengar, pria 
itu bukan bertanya, pria itu hanya mengkonfirmasi. 
Perempuan itu menatapnya beberapa saat, lalu dia mengangguk. 
Senja mengangkat alis. Perempuan itu memang kekasihnya. 
Dokter itu tertawa kecil. “Pasti kau-lah yang dia ocehkan sedari tadi”.
Senja mengerutkan dahi. Bertanya tanya apa yang dimaksud dokter itu dan berusaha 
mengingat ingat kalimat kalimat tak jelas yang tadi diocehkan si perempuan mabuk. 
“dia terus terusan bilang ‘Aku hanya ingin menikah dengan orang yang aku cintai 
paman’” kenang dokter itu, masih tertawa kecil. “Dan itu sepertinya berarti kau”. 
Senja mengangguk paham. Tentu saja! Perempuan itu terus membicarakan pernikahan, 
tidak mau menikah dengan orang yang tidak dicintainya, dan hanya ingin menikah dengan 
kekasihnya. Senja kini mengerti masalah yang menyebabkan perempuan ini sanggup menegak 4 
gelas besar beer. 
Dia tidak bisa menikah dengan kekasihnya yang juga adalah seorang perempuan. 
“Hime ?” suara serak memecah lamunan Senja. 
Perempuan pingsan itu sudah sadar. 
Senja buru buru mendekat, membawakan segelas air hangat kepada perempuan yang 
baru saja sadar itu. Perempuan itu berantakan, tampak linglung dan masih setengah sadar, dia 
mencoba duduk sambil mengernyit memegangi sisi kepalanya. Perempuan yang dipanggil hime 
menghambur memeluk si perempuan pingsan. Si perempuan pingsan yang masih setengah 
mabuk merangkulnya. Mencium kening kekasihnya. 
Senja tersenyum diam diam. Mengelus dada. 
Sungguh akhir yang bahagia.. 
Tapi rupanya moment berharga itu tidak berlangsung terlalu lama. Karena keheningan 
yang nyaman itu pecah oleh sebuah jeritan pilu. 
“Viola!” 
Sebuah suara menggelegar mengagetkan seisi bistro. Seisi bistro menoleh cepat 
menghadapi sumber suara. Senja melihat seorang perempuan paruh baya berdiri diambang
pintu dengan murka. Wajahnya kaku, ekspresi antara tidak percaya, marah, dan terluka. 
Kebekuan tak kentara mencekam seisi bistro. 
“Mama?” bisik si perempuan pingsan lirih, menjadi orang pertama yang berani bersuara. 
Mendengar suara kekasihnya, Hime tersadar dari kebekuannya.Dia berusaha melepaskan diri 
dari Viola yang masih mematung memeluknya. Tapi ketika dia tidak berhasil melepaskan diri, 
perempuan itu hanya menunduk menyembunyikan muka. 
Senja mendesah. Tampaknya ia salah mengira, ini bukan akhir.. 
Bahkan, 
ini baru saja dimulai. 
***
The Storm 
Monique berdiri mematung di ambang pintu sebuah cafe kecil di sebuah distrik yang 
cukup ramai. Nafasnya masih terengah engah akibat kebut kebutan dijalan. Andrenalin yang 
berlebihan benar benar tidak baik untuk jantungnya. Tapi itu bukan apa apa. Beban di 
jantungnya itu masih belum seberapa dibandingkan dengan badai di pusat hatinya. 
“Viola!”. Kata itu meluncur begitu saja dari bibir Monique. Penuh kepahitan, luka, dan 
amarah. 
Dilihatnya sekretaris yang tadi ia buntuti, kini membeku ngeri. Wajahnya pucat pasi 
sebelum berubah cepat menjadi merah padam. Ekspresinya campuran antara shock, takut, dan 
merasa bersalah. Dia butuh beberapa detik untuk menguasai diri. Dan ketika kesadaran telah 
meresap kedalam kepalanya, dia berusaha melepaskan diri dari pelukan viola. Menjauhkan diri 
seakan akan tidak ada apa apa. Perempuan itu berusaha mencegah Monique melihat mereka. 
Tapi terlambat, Monique sudah melihat. Dan dia sudah mengerti. 
“Apa yang kau pikir sedang kau lakukan?”, sembur Monique murka. “Ayo pulang, Vio!” 
Viola berdiri dari duduknya, sedikit terhuyung karena keseimbangannya belum membaik. 
Dia berpegangan pada seorang pria disampingnya yang dengan baik hati membantunya berdiri. 
Sebelah tangannya masih menggenggam tangan kekasihnya, menolak melepaskan 
genggamannya walau sang kekasih menggeliat geliat berusaha melepaskan diri. 
Viola menatap Monique datar.“Maaf ma, aku tidak bisa ..”, tidak ada nada takut dalam 
suaranya. Monique hanya mendengar sebuah keteguhan disana. 
“Aku tidak bisa pulang ataupun menuruti mama untuk menikah. Aku tidak bisa” 
Monique menahan nafas. Dengan susah payah berusaha menemukan kembali suaranya 
yang tertelan amarah. “Apakah karena dia?” tanyanya, sambil menunjuk dengan telunjuknya. 
Tepat ke arah Hime. 
“Dia? Sekretarismu.. Kimi no hime? Your princess? ”
Dilihatnya Viola mengangguk, sementara sekretarisnya yang menoleh cepat dan 
meremas genggaman tangannya takut takut. 
“Benar. Dia kekasihku”. Viola mengaku. 
Monique melotot garang ke arah Viola. Dia terlalu muak untuk sekedar berbicara. Dia 
marah sejadi jadinya. Tapi tidak tahu harus menyalahkan siapa. 
Kenapa kau berikan kutukan ini kepada anakku, Tuhan?! Teriak Monique dalam hati. 
“Sekarang, setelah mama tahu. Aku hanya berharap suatu saat mama akan mengerti 
dan membiarkanku bahagia. Merestui pilihanku ini. Karena aku berhak melakukannya”. 
Monique memejamkan mata. Oh tuhan! Viola. Anaknya?! 
Anaknya seorang lesbian? 
Tidak! Tidak mungkin! Tidak boleh! 
“Monique” 
Monique berlalu untuk menoleh ke suara yang memanggilnya. Berharap bahwa ada 
seseorang yang akan mengatakan padanya bahwa ini semua adalah lelucon. Tapi rupanya 
bukan perasaan lega yang ia dapat, Monique makin terkejut setengah mati setelah ia mengenali 
pria yang memanggilnya. 
Pria itu ada disana, memegangi tangan viola. Si dokter yang tadi merawatnya ketika 
Viola jatuh pingsan. Pria itu! Pria yang seharusnya telah pergi jauh jauh dari hidupnya. Pria itu, 
mantan suami Monique satu satunya. 
“Surya?!” Monique terbelalak. Mulutnya ternganga tak percaya. 
Dokter itu tersenyum singkat, mengangguk kepadanya penuh arti. Ekspresinya tenang, 
meski Monique yakin dia tadi sekaget dirinya sekarang. Monique juga melihat Viola menatap 
ayah yang belum pernah ia temui seumur hidupnya itu. Wajah putrinya berkerut kerut bingung, 
berusaha menyambungkan potongan potongan kebenaran didepannya. Butuh waktu cukup
lama ketika akhirnya dia cepat cepat melepaskan pegangan tangannya dan mendekap mulut 
tak percaya. 
“Kau ayahku?” 
Surya tersenyum sedih, “Aku juga baru tahu kau putriku”. 
Dia kembali menatap Monique penuh arti sebelum akhirnya berbicara dengan nada 
memohon dan sedih yang sama. Monique tahu persis apa yang sedang dipikirkan pria itu. Tapi 
Monique masih dalam keadaan shock sehingga dia tidak tahu harus berbuat apa selain diam. 
“Monique, kau tidak punya hak untuk memaksanya” 
“Tapi..” 
“Kau tahu benar rasanya seperti apa ketika kau harus dipaksa. Bahkan kau sudah pernah 
mengalaminya, Monique” 
“Tapi aku..” 
“Jangan menyalahkan Viola, Monique. Kau tahu benar alasannya dia menjadi seperti ini” 
“Tidak..” 
“Karena dia mewarisi gen itu darimu” 
***
Latte Confession 
“ APA ?!” Viola berteriak keras. Suaranya bergaung diseantero bistro. Hime 
mencengkeram genggamannya lebih kuat. Terkejut bukan kepalang. 
Viola mengira tidak bisa ada yang lebih buruk daripada ketika mendapati mamaya 
berdiri disana, dan membuat beliau mengetahui rahasianya. Tidak ada yang bisa membuatnya 
lebih kaget lagi daripada ketika ia tahu kalau pria yang sedari tadi duduk di sampingnya di bar 
dan mendengarnya berceloteh ketika ia mabuk, ternyata adalah ayah kandungnya. 
Tapi rupanya viola salah. Kalimat yang diucapkan ayah yang belum pernah dikenalnya 
itu menghantam kesadarannya bagai jet coaster dan mencengkeram ulu hatinya kuat kuat. 
Bahkan etanol dalam beernya yang dia minum banyak banyak tadi rupanya belum cukup untuk 
menganastesi dirinya dari rasa sakit dan terkejut akibat berita ini. 
Karena dia mewarisi gen itu darimu 
“Jadi mama juga.. ?” kata katanya menghilang, tidak sanggup melanjutkan tapi juga 
tidak tahan untuk tidak meminta pengakuan Mamanya. Dia tidak sanggup menilai ekspresi 
wajah mamanya yang pucat pasi. Dia terlalu terkejut. Terlalu shock. Mamanya? Ibunya sendiri ? 
Lesbian? 
Monique membeku. Kelihatannya dia juga shock. Jangankan untuk menjawab. Viola 
bahkan yakin mamanya perlu mengerahkan seluruh tenaganya hanya untuk menarik nafas . 
Viola ganti menatap ayahnya yang sedang memandang Monique dengan tatapan sendu. 
Namun dia menyadari tatapan Viola. Pria itu berbalik dan menatap ke dalam matanya dengan 
kebijaksanaan dan kelembutan seorang ayah yang tak pernah Viola dapatkan sebelumnya. 
“Karena itulah kami bercerai. Aku bukanlah orang yang bisa membuat ibumu bahagia” 
Selama ini Viola bertanya tanya mengapa kedua orang tuanya bercerai. Tapi tak 
sekalipun ia mengira, bahkan bermimpi bahwa inilah alasannya. Kenapa dia baru diberitahu 
sekarang?! Dengan kondisi seperti ini.
“Hentikan, Surya!” Rintih mamanya pelan. Surya menghampiri perempuan itu dan 
memapahnya menuju sofa di tengah ruangan tempat Viola tadi terbaring dan kini mematung. 
“Kau mau menyembunyikan itu dari putrimu sendiri, Monique?”, tanya pria itu sambil 
mengangkat alis setelah sebelumnya dia memesankan latte untuk Monique. Dia mengibaskan 
sebelah tangannya sambil lalu kearah Viola lalu ikut ikutan menghempaskan diri di sebelah 
Monique. “Terlambat lebih baik daripada tidak sama sekali”, katanya lambat lambat. 
Monique menatap mantan suaminya lamat lamat. Dia menghembuskan nafas berat. 
Viola mengamati ekspresi ibunya. Ekspresi perempuan itu.. Lega? Dia juga melihat bahwa 
ibunya kini mendongak menatap lurus lurus kepada dia dan Hime. 
“Sebenarnya aku sudah tahu sejak setahun yang lalu. Aku sudah menduganya” 
Viola berlutut di dekat kaki ibunya. Matanya tidak lepas dari perempuan itu. 
“Aku tidak sengaja melihat sebuah foto. Dibaliknya ada tulisanmu. My princes”. Viola 
berjegit mendengarnya. Mencela dirinya sendiri. Bagaimana dia bisa seteledor itu?! Monique 
mengangkat bahu tidak peduli. “Aku tahu apa yang kaurasakan karena aku juga sepertimu” 
Jadi benar apa yang dikatakan ayahnya tadi. 
“Maaf, seharusnya aku memberitahumu begitu aku tahu” Monique menyentuh tangan 
viola. “Tapi seharusnya kau juga mengaku kepadaku, dan mengenalkan dia padaku” Monique 
pura pura kesal, mengerling dan mengedip kepada Hime. Viola tertawa, memeluk kekasihnya. 
Tugas terberatnya untuk mengaku telah selesai. 
Mamanya tiba tiba menoleh ke arah mantan suaminya. “Jadi kau sudah kenal, Viola?” 
Dilihatnya ayahnya tertawa. “Tidak juga”, katanya setelah berpikir. Pria itu masih sedikit 
terkekeh ketika melanjutkan ceritanya dengan nada hampa. “Dia memberiku konseling tadi” 
Viola mengangkat alis. Memangnya apa yang dia lakukan pada papanya? 
“Konseling?”
“Ya, dia meracau ketika mabuk. Dan bisa dibilau, omongannya yang sedikit melantur itu 
justru menyadarkanku akan banyak hal. Dan sepertinya aku harus berterimakasih padanya”. 
Surya menatap Viola sungguh sungguh “Terimakasih, Vio” 
Seorang pelayan datang. Menyuguhkan latte yang tadi dipesan Surya untuk Monique. 
Viola melihat Surya mengamati perempuan itu. Wajahnya yang tadi tenang kini berkerut kerut 
sedih, seakan pelayan yang sedang hamil itu mengingatkan Surya pada sebuah tragedi yang 
membuat hatinya terluka. 
“Kau punya adik, Vio. Namanya Melody Nirwana. Dia anak dari almarhum istri keduaku. 
Well, dia kabur dari rumah karena aku memaksanya untuk tidak menikah dengan seorang pria 
yang menurutku tidak pantas untuknya. Dia tidak akan kembali ke jika aku belum merestuinya”, 
Surya bercerita sedih. Suaranya pecah ketika mengucapkan kalimat terakhir. “Dia sudah hamil”, 
tembahnya. Matanya berkaca kaca. 
“Apakah yang bapak maksud, Melody Pelangi Nirwana?”, tanya sebuah suara. 
Viola menoleh sama seperti yang lainnya. Dilihatnya pelayan yang tadi akan berbalik 
kembali ke konter kini berdiri terpaku menatap Surya dengan sikap tak percaya. Surya 
mengerjap bingung, namun mengangguk dalam dalam. 
“Kau mengenalnya?”, tanya Surya bingung. 
“Ya, saya kenal baik Melody” 
Surya terlonjak berdiri, kini sebuah harapan menyaput wajahnya yang sarat kesedihan. 
Dia bertanya cepat cepat kepada si pelayan, “Apa kau tahu dimana dia? Aku harus meminta 
maaf padanya. Aku harus memberitahunya..” 
“Itu tidak perlu. Saya yakin dia sedang dalam perjalanan menuju kemari” 
***
Rights of Judgement 
Dia sedang dalam perjalanan menuju kesini. 
Kesini? Ke tempat ini? Tapi bagaimana bisa? Surya menggeleng geleng tak mengerti. 
“Kami sama sama pegawai baru disini. Dia juga baru akan mulai bekerja hari ini. Shift 
nya akan dimulai jam 2” 
Surya cepat cepat menunduk dan melihat jam tangannya. 13.42. 
Delapan belas menit lagi. Delapan belas menit lagi dan Surya akan bertemu putrinya. 
Jantung Surya berpacu. Apa yang harus dia katakan pada Melody? 
“Jadi anda ayah Melody?” 
Surya mengangguk lambat lambat. Dia masih setengah tak percaya ketika ia kembali 
menghempaskan tubuhnya ke sofa. Lega. Namun juga gugup. Apa yang harus ia katakan? 
“Terlambat lebih baik daripada tidak melakukannya sama sekali”, didengarnya Viola 
berkata ragu ragu. Tersenyum menyemangatinya. 
Surya menatap putrinya yang lain. Dia sedang duduk di sofa tepat di seberang Surya 
duduk, dan dia sedang menatap balik kedalam matanya. Surya menghela nafas panjang. 
Menenangkan diri. 
“Benar. Lebih baik terlambat daripada tidak mencobanya sama sekali ” 
Surya memang sudah terlambat. Dia tidak tahu apakah Melody akan memaafkan dan 
menerimanya, sama seperti dia menerima dan memaafkan putrinya itu. Tapi, jika Melody 
menolaknya. Jikapun Surya gagal, setidaknya dia sudah pernah mencoba.Dia tidak akan 
menuntut apa apa. Surya hanya ingin putrinya bahagia. 
“Aku akan membiarkannya melakukan apapun yang ingin dia lakukan, jika itu 
membuatnya bahagia”
Ya! Itu lah yang akan dilakukannya. Dia akan memberitahu putrinya kalau dia benar 
benar menyesal. Dia akan memintanya memaafkan dia yang sebegini terlambat untuk 
menyadari sikap egoisnya. Surya sadar, sikap diktatornya hanya mendatangkan kesedihan baik 
bagi dia ataupun putrinya. Surya mendesah. Betapa tercela sikapnya kepada putri kecilnya dulu. 
Surya mendongak menatap keseberang meja. Ke arah Viola yang sedang mengenalkan 
Hime kepada ibunya. Perempuan itu menggenggam tangan kekasihnya erat erat tanpa ragu lagi. 
Sementara Monique memeluk hime hangat. Keikhlasan terpancar terang dari wajahnya. 
Menghapus bersih kekecewaan yang tadi sempat ada. 
Monique ikhlas dengan kondisi putrinya. Dan kini giliran Surya. 
Manusia memiliki haknya untuk memilih tiap jalan yang akan mereka tempuh. Seaneh, 
setidaknormal, ataupun seajaib apapun jalan itu. Mereka bebas untuk memilih. Karena ini 
adalah hidup mereka sendiri. Dan mereka berhak untuk bahagia. 
Terkutuklah manusia yang seenaknya merampas hak itu. 
Dan hal itu berlaku juga untuknya. Seorang orang tua yang menghendaki yang terbaik 
untuk anaknya. Tapi apakah selalu yang dikiranya terbaik juga terbaik untuk anaknya? Tidak. 
Yang perlu ia lakukan sebagai orang tua adalah mendidik putrinya, menuntunnya ke 
persimpangan jalan. Hanya menuntun, tidak memilihkan jalan untuknya. Dan untuk itu, Surya 
telah berusaha sebisanya. 
Tapi dia tidak akan menjadi hakim untuk anaknya. Tidak lagi. 
Cklek.. 
Pintu berdenting terbuka. Seorang perempuan mungil masuk dengan pakaian trainee 
putih hitamnya. Perempuan itu membuka pintu lebar lebar ketika ia masuk dengan tubuh tak 
proporsionalnya. Angin berhembus masuk menyelimuti seisi bistro dan membawa aroma khas 
gerimis hujan dari luar. Angin baru yang seakan ditiup dari samudra kebahagian.
Surya menghambur memeluk perempuan itu. Merengkuhnya kedalam dekapannya. 
Perempuan itu terkejut tapi tidak melepaskan diri. Dia mengenali pria itu. 
“papa.. ?” 
***
Last Call 
Mata Senja berkabut. Ujung ujungnya bahkan tak tahan menahan air mata yang meleleh 
begitu saja. Melihat seorang ayah yang memeluk meminta maaf pada putrinya itu begitu 
membuat Senja terharu. Ayah yang mengabaikan semua keegoisan dan otoriter dalam dirinya. 
Ayah yang akhirnya menyadari apa yang seharusnya dialakukan walaupun ia setengah 
terlambat. 
Tapi tidakada kata terlambat untuk memulai hal yang baru. 
Melody telah mengawali hidupnya. Memang tidak sedini yang dia harapkan. Tapi toh 
Senja tahu dia tidak akan mengeluh. Terlambat masih lebih baik daripada tidak sama sekali. Kini 
Melody sudah berbaikan dengan ayahnya. 
Kapankah giliran Senja? 
Dia kabur dari rumah seperti Melody. Kabur dengan keyakinan mereka sendiri. Mereka 
memulai hidup di petak kamar kos yang kecil bersama kekasih yang telah mereka pilih. 
Meninggalkan semua kenyamanan istana yang bagaikan penjara. Memilih hidup sederhana dan 
bahagia, daripada harus kaya namun selalu harus berpura pura. Mereka memilih keegoisan 
mereka dan menghancurkan hati orang tua mereka. Walaupun tindakan itu juga 
menghancurkan hati Senja. 
Dia tidak ingin menghancurkan hati ayahnya. 
Tapi dia telah melakukannya. 7 Bulan yang lalu. 
Senja menatap Melody lekat lekat. Selama ini Senja dan Melody selalu bersama sama. 
Mereka teman yang saling mengerti. Saling berbagi. Mereka berdua punya latar belakang dan 
cerita yang hampir sama. Duka dan kesamaan nasib membuat mereka dekat. Mereka sudah 
sering saling merasakan duka yang lain. Meraka hafal rasa bersalah masing masing. 
Rasa bersalah yang tak kunjung hilang, dan semakin besar seiring waktu.
Tapi kini Senja tahu, rasa bersalah dan tertekan itu hilang dari wajah sahabatnya. Tidak 
ada ekspresi lain disana selain bahagia. Sempurna bahagia. 
Apakah Senja bisa mendapatkan kebahagiaan yang sama? Bagaimana caranya? 
Senja menggigit bibir. Mengusap usap ujung apronnya yang tadi sedikit ketumpahan 
latte yang dipesan ayah melody untuk mantan istrinya. Kata kata pria itu menggaung didalam 
kepalanya. 
Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. 
Senja tersenyum kepada dirinya sendiri. Seharusnya sudah lama sekali dia melakukan 
hal ini. Sudah seharusnya dia memulai satu langkah baru. Langkah kecil untuk maju menuju 
kedewasaannya. Menjadi perempuan yang lebih bijaksana. Senja mungkin tidak bisa mundur 
dari pilihannya ini, dan dia tidak ingin. Dia sudah begitu lama menunggu hingga mencapai titik 
ini. 
Senja meraih ponsel di kantongnya. Memencet serangkai nomor yang sudah lama ingin 
ia hubungi lalu menempelkan benda itu ditelinganya. Senja menahan nafas sambil menunggu 
sampai sebuah suara terdengar diujung sana. 
“halo?!” 
Senja tersenyum lega mendengar suara berat itu. Hatinya tidak lagi merasa ragu. 
“Papa ?” 
Terlambat lebih baik daripada tidak sama sekali 
***

More Related Content

What's hot (12)

Cerpen
CerpenCerpen
Cerpen
 
Hidayat dimata salsabila
Hidayat dimata salsabilaHidayat dimata salsabila
Hidayat dimata salsabila
 
Kisah Hidup Damayanti
Kisah Hidup Damayanti Kisah Hidup Damayanti
Kisah Hidup Damayanti
 
Sebatang pen
Sebatang penSebatang pen
Sebatang pen
 
Ccccc
CccccCcccc
Ccccc
 
081211068 lampiran
081211068 lampiran081211068 lampiran
081211068 lampiran
 
Karma
KarmaKarma
Karma
 
Cerpen cinta another love story
Cerpen cinta another love storyCerpen cinta another love story
Cerpen cinta another love story
 
Cerpen 1 pop
Cerpen 1 popCerpen 1 pop
Cerpen 1 pop
 
Cerita Dewasa Gairah Tyas Yang Binal Di Ranjang
Cerita Dewasa Gairah Tyas Yang Binal Di RanjangCerita Dewasa Gairah Tyas Yang Binal Di Ranjang
Cerita Dewasa Gairah Tyas Yang Binal Di Ranjang
 
Dear diary di negeri sakura by (seshakri)
Dear diary di negeri sakura by (seshakri)Dear diary di negeri sakura by (seshakri)
Dear diary di negeri sakura by (seshakri)
 
SASTRA INDONESIA: Beberapa contoh karya sastra Indonesia
SASTRA INDONESIA: Beberapa contoh karya sastra IndonesiaSASTRA INDONESIA: Beberapa contoh karya sastra Indonesia
SASTRA INDONESIA: Beberapa contoh karya sastra Indonesia
 

Similar to The Same Questions

Similar to The Same Questions (10)

Aku terpaksa-menikahinya
Aku terpaksa-menikahinyaAku terpaksa-menikahinya
Aku terpaksa-menikahinya
 
Cerita nyata yg mengharukan
Cerita nyata yg mengharukanCerita nyata yg mengharukan
Cerita nyata yg mengharukan
 
Cerita
CeritaCerita
Cerita
 
Ilanatan summerinseoul-1
Ilanatan summerinseoul-1Ilanatan summerinseoul-1
Ilanatan summerinseoul-1
 
Ilanatan summerinseoul-1
Ilanatan summerinseoul-1Ilanatan summerinseoul-1
Ilanatan summerinseoul-1
 
Pantun
PantunPantun
Pantun
 
Katak hendak jadi lembu
Katak hendak jadi lembu Katak hendak jadi lembu
Katak hendak jadi lembu
 
Katak hendak jadi lembu
Katak hendak jadi lembu Katak hendak jadi lembu
Katak hendak jadi lembu
 
1 ilana tan summer in seoul
1 ilana tan   summer in seoul1 ilana tan   summer in seoul
1 ilana tan summer in seoul
 
Ilana tan summer in seoul
Ilana tan   summer in seoulIlana tan   summer in seoul
Ilana tan summer in seoul
 

More from Alfa Junior

Point of View and Theme in literary work
Point of View and Theme in literary workPoint of View and Theme in literary work
Point of View and Theme in literary workAlfa Junior
 
The History of Drama
The History of DramaThe History of Drama
The History of DramaAlfa Junior
 
internship report in Kusuma Agro Wisata
internship report in Kusuma Agro Wisatainternship report in Kusuma Agro Wisata
internship report in Kusuma Agro WisataAlfa Junior
 
Midnight Sun indo vers
Midnight Sun indo versMidnight Sun indo vers
Midnight Sun indo versAlfa Junior
 

More from Alfa Junior (7)

The poems
The poemsThe poems
The poems
 
Absurd drama
Absurd dramaAbsurd drama
Absurd drama
 
Types of Poetry
Types of PoetryTypes of Poetry
Types of Poetry
 
Point of View and Theme in literary work
Point of View and Theme in literary workPoint of View and Theme in literary work
Point of View and Theme in literary work
 
The History of Drama
The History of DramaThe History of Drama
The History of Drama
 
internship report in Kusuma Agro Wisata
internship report in Kusuma Agro Wisatainternship report in Kusuma Agro Wisata
internship report in Kusuma Agro Wisata
 
Midnight Sun indo vers
Midnight Sun indo versMidnight Sun indo vers
Midnight Sun indo vers
 

Recently uploaded

MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM PPI CILOTO oke.pp...............................
MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM PPI CILOTO oke.pp...............................MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM PPI CILOTO oke.pp...............................
MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM PPI CILOTO oke.pp...............................teeka180806
 
IDMPO : SITUS TARUHAN BOLA ONLINE TERPERCAYA & BANYAK BONUS KEMENANGAN DI BAY...
IDMPO : SITUS TARUHAN BOLA ONLINE TERPERCAYA & BANYAK BONUS KEMENANGAN DI BAY...IDMPO : SITUS TARUHAN BOLA ONLINE TERPERCAYA & BANYAK BONUS KEMENANGAN DI BAY...
IDMPO : SITUS TARUHAN BOLA ONLINE TERPERCAYA & BANYAK BONUS KEMENANGAN DI BAY...Neta
 
STD BAB 6 STATISTIKA kelas x kurikulum merdeka
STD BAB 6 STATISTIKA kelas x kurikulum merdekaSTD BAB 6 STATISTIKA kelas x kurikulum merdeka
STD BAB 6 STATISTIKA kelas x kurikulum merdekachairilhidayat
 
Ryu4D : Daftar Situs Judi Slot Gacor Terbaik & Slot Gampang Menang
Ryu4D : Daftar Situs Judi Slot Gacor Terbaik & Slot Gampang MenangRyu4D : Daftar Situs Judi Slot Gacor Terbaik & Slot Gampang Menang
Ryu4D : Daftar Situs Judi Slot Gacor Terbaik & Slot Gampang MenangRyu4D
 
Lim4D Link Daftar Situs Slot Gacor Hari Ini Terpercaya Gampang Maxwin
Lim4D Link Daftar Situs Slot Gacor Hari Ini Terpercaya Gampang MaxwinLim4D Link Daftar Situs Slot Gacor Hari Ini Terpercaya Gampang Maxwin
Lim4D Link Daftar Situs Slot Gacor Hari Ini Terpercaya Gampang MaxwinLim4D
 
IDMPO : GAME SLOT SPACEMAN PRAGMATIC PLAY MUDAH JACKPOT
IDMPO : GAME SLOT SPACEMAN PRAGMATIC PLAY MUDAH JACKPOTIDMPO : GAME SLOT SPACEMAN PRAGMATIC PLAY MUDAH JACKPOT
IDMPO : GAME SLOT SPACEMAN PRAGMATIC PLAY MUDAH JACKPOTNeta
 
IDMPO : SITUS TARUHAN BOLA ONLINE TERPERCAYA, KEMENANGAN DI BAYAR LUNAS Arnet...
IDMPO : SITUS TARUHAN BOLA ONLINE TERPERCAYA, KEMENANGAN DI BAYAR LUNAS Arnet...IDMPO : SITUS TARUHAN BOLA ONLINE TERPERCAYA, KEMENANGAN DI BAYAR LUNAS Arnet...
IDMPO : SITUS TARUHAN BOLA ONLINE TERPERCAYA, KEMENANGAN DI BAYAR LUNAS Arnet...Neta
 
644401128-Soal-Siswa-Berprestasi-SD-Tahun-2022.pdf
644401128-Soal-Siswa-Berprestasi-SD-Tahun-2022.pdf644401128-Soal-Siswa-Berprestasi-SD-Tahun-2022.pdf
644401128-Soal-Siswa-Berprestasi-SD-Tahun-2022.pdfTikaCahyaningrum1
 
KERTAS KERJA MINGGU BAHASA MELAYU SEKOLAH RENDAH.doc
KERTAS KERJA MINGGU BAHASA MELAYU SEKOLAH RENDAH.docKERTAS KERJA MINGGU BAHASA MELAYU SEKOLAH RENDAH.doc
KERTAS KERJA MINGGU BAHASA MELAYU SEKOLAH RENDAH.docEnaNorazlina
 
Bento88slot Situs Judi Slot Terbaik & Daftar Slot Gacor Mudah Maxwin
Bento88slot Situs Judi Slot Terbaik & Daftar Slot Gacor Mudah MaxwinBento88slot Situs Judi Slot Terbaik & Daftar Slot Gacor Mudah Maxwin
Bento88slot Situs Judi Slot Terbaik & Daftar Slot Gacor Mudah MaxwinBento88slot
 
Wen4D Situs Judi Slot Gacor Server Thailand Hari Ini Gampang Jackpot
Wen4D Situs Judi Slot Gacor Server Thailand Hari Ini Gampang JackpotWen4D Situs Judi Slot Gacor Server Thailand Hari Ini Gampang Jackpot
Wen4D Situs Judi Slot Gacor Server Thailand Hari Ini Gampang JackpotWen4D
 
Babahhsjdkdjdudhhndjdjdfjdjjdjdjfjdjjdjdjdjjf
BabahhsjdkdjdudhhndjdjdfjdjjdjdjfjdjjdjdjdjjfBabahhsjdkdjdudhhndjdjdfjdjjdjdjfjdjjdjdjdjjf
BabahhsjdkdjdudhhndjdjdfjdjjdjdjfjdjjdjdjdjjfDannahadiantyaflah
 
Wa + 62 82211599998, TERLARIS, souvenir dompet unik bandung
Wa + 62 82211599998, TERLARIS, souvenir dompet unik bandungWa + 62 82211599998, TERLARIS, souvenir dompet unik bandung
Wa + 62 82211599998, TERLARIS, souvenir dompet unik bandungnicksbag
 
BAB 2 BARISAN DAN DERET kelas x kurikulum merdeka
BAB 2 BARISAN DAN DERET kelas x kurikulum merdekaBAB 2 BARISAN DAN DERET kelas x kurikulum merdeka
BAB 2 BARISAN DAN DERET kelas x kurikulum merdekachairilhidayat
 
IDMPO Link Slot Online Terbaru Kamboja 2024
IDMPO Link Slot Online Terbaru Kamboja 2024IDMPO Link Slot Online Terbaru Kamboja 2024
IDMPO Link Slot Online Terbaru Kamboja 2024idmpo grup
 

Recently uploaded (15)

MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM PPI CILOTO oke.pp...............................
MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM PPI CILOTO oke.pp...............................MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM PPI CILOTO oke.pp...............................
MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM PPI CILOTO oke.pp...............................
 
IDMPO : SITUS TARUHAN BOLA ONLINE TERPERCAYA & BANYAK BONUS KEMENANGAN DI BAY...
IDMPO : SITUS TARUHAN BOLA ONLINE TERPERCAYA & BANYAK BONUS KEMENANGAN DI BAY...IDMPO : SITUS TARUHAN BOLA ONLINE TERPERCAYA & BANYAK BONUS KEMENANGAN DI BAY...
IDMPO : SITUS TARUHAN BOLA ONLINE TERPERCAYA & BANYAK BONUS KEMENANGAN DI BAY...
 
STD BAB 6 STATISTIKA kelas x kurikulum merdeka
STD BAB 6 STATISTIKA kelas x kurikulum merdekaSTD BAB 6 STATISTIKA kelas x kurikulum merdeka
STD BAB 6 STATISTIKA kelas x kurikulum merdeka
 
Ryu4D : Daftar Situs Judi Slot Gacor Terbaik & Slot Gampang Menang
Ryu4D : Daftar Situs Judi Slot Gacor Terbaik & Slot Gampang MenangRyu4D : Daftar Situs Judi Slot Gacor Terbaik & Slot Gampang Menang
Ryu4D : Daftar Situs Judi Slot Gacor Terbaik & Slot Gampang Menang
 
Lim4D Link Daftar Situs Slot Gacor Hari Ini Terpercaya Gampang Maxwin
Lim4D Link Daftar Situs Slot Gacor Hari Ini Terpercaya Gampang MaxwinLim4D Link Daftar Situs Slot Gacor Hari Ini Terpercaya Gampang Maxwin
Lim4D Link Daftar Situs Slot Gacor Hari Ini Terpercaya Gampang Maxwin
 
IDMPO : GAME SLOT SPACEMAN PRAGMATIC PLAY MUDAH JACKPOT
IDMPO : GAME SLOT SPACEMAN PRAGMATIC PLAY MUDAH JACKPOTIDMPO : GAME SLOT SPACEMAN PRAGMATIC PLAY MUDAH JACKPOT
IDMPO : GAME SLOT SPACEMAN PRAGMATIC PLAY MUDAH JACKPOT
 
IDMPO : SITUS TARUHAN BOLA ONLINE TERPERCAYA, KEMENANGAN DI BAYAR LUNAS Arnet...
IDMPO : SITUS TARUHAN BOLA ONLINE TERPERCAYA, KEMENANGAN DI BAYAR LUNAS Arnet...IDMPO : SITUS TARUHAN BOLA ONLINE TERPERCAYA, KEMENANGAN DI BAYAR LUNAS Arnet...
IDMPO : SITUS TARUHAN BOLA ONLINE TERPERCAYA, KEMENANGAN DI BAYAR LUNAS Arnet...
 
644401128-Soal-Siswa-Berprestasi-SD-Tahun-2022.pdf
644401128-Soal-Siswa-Berprestasi-SD-Tahun-2022.pdf644401128-Soal-Siswa-Berprestasi-SD-Tahun-2022.pdf
644401128-Soal-Siswa-Berprestasi-SD-Tahun-2022.pdf
 
KERTAS KERJA MINGGU BAHASA MELAYU SEKOLAH RENDAH.doc
KERTAS KERJA MINGGU BAHASA MELAYU SEKOLAH RENDAH.docKERTAS KERJA MINGGU BAHASA MELAYU SEKOLAH RENDAH.doc
KERTAS KERJA MINGGU BAHASA MELAYU SEKOLAH RENDAH.doc
 
Bento88slot Situs Judi Slot Terbaik & Daftar Slot Gacor Mudah Maxwin
Bento88slot Situs Judi Slot Terbaik & Daftar Slot Gacor Mudah MaxwinBento88slot Situs Judi Slot Terbaik & Daftar Slot Gacor Mudah Maxwin
Bento88slot Situs Judi Slot Terbaik & Daftar Slot Gacor Mudah Maxwin
 
Wen4D Situs Judi Slot Gacor Server Thailand Hari Ini Gampang Jackpot
Wen4D Situs Judi Slot Gacor Server Thailand Hari Ini Gampang JackpotWen4D Situs Judi Slot Gacor Server Thailand Hari Ini Gampang Jackpot
Wen4D Situs Judi Slot Gacor Server Thailand Hari Ini Gampang Jackpot
 
Babahhsjdkdjdudhhndjdjdfjdjjdjdjfjdjjdjdjdjjf
BabahhsjdkdjdudhhndjdjdfjdjjdjdjfjdjjdjdjdjjfBabahhsjdkdjdudhhndjdjdfjdjjdjdjfjdjjdjdjdjjf
Babahhsjdkdjdudhhndjdjdfjdjjdjdjfjdjjdjdjdjjf
 
Wa + 62 82211599998, TERLARIS, souvenir dompet unik bandung
Wa + 62 82211599998, TERLARIS, souvenir dompet unik bandungWa + 62 82211599998, TERLARIS, souvenir dompet unik bandung
Wa + 62 82211599998, TERLARIS, souvenir dompet unik bandung
 
BAB 2 BARISAN DAN DERET kelas x kurikulum merdeka
BAB 2 BARISAN DAN DERET kelas x kurikulum merdekaBAB 2 BARISAN DAN DERET kelas x kurikulum merdeka
BAB 2 BARISAN DAN DERET kelas x kurikulum merdeka
 
IDMPO Link Slot Online Terbaru Kamboja 2024
IDMPO Link Slot Online Terbaru Kamboja 2024IDMPO Link Slot Online Terbaru Kamboja 2024
IDMPO Link Slot Online Terbaru Kamboja 2024
 

The Same Questions

  • 1. Latte Confession Pengakuan yang Terlambat Written by Alfa Junior
  • 2. Love undercover Saat Viola yakin bahwa harinya sudah cukup buruk dan berpendapat dia sudah mendapatkan cukup masalah hari ini, dengan muak dia setengah berlari meninggalkan ruang kantornya, meninggalkan file file yang harusnya dia periksa, dan berteriak teriak pada sekretarisnya yang ikut ikutan panik ketika bos-nya mendadak mengcancel meeting hari ini. Viola memang sedang tak sadar ketika dia mengempit hobobag-nya dan menghempaskan tubuh di jok kulit sedan putih mengkilat miliknya. Dan masih dalam kondisi setengah sadar ketika dia menginjak pedal gas dalam dalam dan meluncur menuju coffee shop langganannya. Tempat dia selalu menghabiskan waktunya jika dalam keadaan setengah sinting seperti saat ini. Viola masuk bistro, masih dengan tampang horor di wajahnya. Pikirannya yang sedang emosional terbang entah kemana membuatnya dia tidak menyadari bahwa bistro kecil itu hampir hampir kosong selain keberadaan waitress, satu barista, satu lelaki paruh baya yang sedang menyesap lattenya, dan tentu saja dia yang berdiri mematung di depan bar dengan buku menu yang entah bagaimana sudah berada di tangannya. “maaf, pesanannya ?” tanya seorang pelayan yang kelihatannya baru. Viola hampir hafal wajah pegawai disini walau dia tidak mengenal mereka Suara itu seakan akan menghempaskan dia ke bumi, membuat rohnya masuk ke tubuhnya lagi. Membuat Viola tersadar seutuhnya. Cepat cepat dia memesan hot chocolatte tanpa repot repot membuka menu, lalu berjalan menyusuri lorong pendek dan duduk di meja pojok favoritnya. Dia duduk diam menunggu pesanannya sambil memejamkan mata. Viola berusaha merilekskan tubuhnya setelah didera masalah bertubi tubi sepagian ini. Yang pertama dan paling utama, datang dari ibunya yang menyuruhnya segera menikah.. Tidak tidak! Menyuruh bukan kata yang tepat. Ibunya memang sudah merongrongnya tentang pernikahan selama satu tahun belakangan ini. Tapi pagi ini berbeda, kali ini beliau memaksanya.
  • 3. Dua puluh delapan dan karir matang. Apa lagi yang kau tunggu ? Tiga bulan lagi kau sudah dua puluh sembilan, viola! Setidaknya carilah pacar dan kenalkan kepada ibu! Kata kata ibunya yang menghantuinya sejak tadi terngiang kembali di telinga Viola. Demi Tuhan, kenapa urusan menikah yang seharusnya adalah moment bahagia malah berubah menjadi siksaan baginya? Atau paling tidak, perempuan perempuan seusianya yang belum mempunyai pendamping. “Carilah satu atau aku yang akan mencarikannya untukmu!” bayangan ibunya lagi lagi melintas di kepala. Raut wajah keras hati itu teguh. Sorot matanya sungguh sungguh. Tidak! Viola menggeleng cepat cepat. Dia tidak mau dijodohkan! Lalu apa yang harus dia lakukan? Mencari pacar? Viola mendesah. Selama ini dia berdalih pekerjaan yang membuatnya sangat sibuklah yang telah menyita banyak waktunya. Dia tidak sempat pergi hang out dan mencari kenalan kenalan baru. Dia tidak punya waktu untuk sekedar nonton, makan malam, ataupun meladeni acara pdkt mereka. Dia menghabiskan seluruh hidupnya di kantor. Tapi bukan berarti dia tidak punya kekasih. Viola punya kekasih, hanya saja dia tidak ingin mengenalkannya pada ibunya. Lagi lagi viola mendesah kalut. Dia menarik keluar ponselnya dari saku blazernya. Menggeser flipnya sebelum mengetikkan 4 digit nomor security. Dan ketika 4 nomor itu telah diverifikasi dengan benar, muncullah sebuah foto di wallpaper handphonenya. Foto Viola dan kekasihnya yang berfoto di disneyland tokyo. Dia tersenyum kecil ketika dia mengingat begitu sulitnya mencuri curi waktu diantara pekerjaan kantor yang super sibuk ketika mereka berdua sedang sama sama ditugaskan ke Jepang. Foto dirinya bersama sekretarisnya.
  • 4. Lalu kesadaran kembali menghantamnya ketika dia ingat alasan mengapa dia tidak mengenalkan pacarnya kepada ibunya. Alasan yang sama kenapa dia begitu hati hati sampai memasang security code pada ponsel smartphonenya. Sekretarisnya juga adalah seorang perempuan. ***
  • 5. Melody Surya memasuki bistro dengan goyah. Kelihatannya cafe itu kosong. Bagus! Karena dengan begitu Surya bisa sendirian disana. Sendiri dengan semua pikiran pikirannya yang membuat kepalanya nyaris meledak. Dia duduk di bar dan langsung meneriaki sang Barista untuk membuatkannya latte tanpa harus repot repot menunggu pelayan menawarkan menu kepadanya. Barista itu mengangguk dan segera menyiapkan kopi untuk Surya, sementara pelayan yang setengah jalan hendak menawari Surya sebuah buku menu berdiri mematung ketika dia tahu dia terlambat menyerahkan buku itu kepada pelanggan pertamanya. Surya memperhatikan, pelayan itu gugup dan bingung. Sepertinya wanita muda itu berdebat dalam hati apakah perlu dia melanjutkan memberikan menu kepadanya atau tidak. “Kau pegawai baru disini?”, Surya mengamati bahwa dia tidak familier dengan wajah perempuan muda yang kelihatannya tidak lebih tua dari anaknya. Pelayan itu mengangguk dan tersenyum kecil, dan rupanya dia memutuskan untuk memberikan buku menunya. Surya dengan sopan menerimanya, walaupun dia sendiri sudah hafal isi buku itu. Pelayan itu berbalik dan hendak kembali menuju sudutnya dan berdiam disana ketika hati Surya mencelos. Bagian depan tubuh pelayan itu yang tadinya tertutup buku menu sekarang terlihat jelas oleh Surya. Dia kembali teringat kepada anak semata wayangnya yang kini entah dimana. Di detik berikutnya dia teringat alasan apa yang membuat pelayan itu mengingatkan Surya kepada anaknya. Perempuan itu sedang hamil. Melody kecilnya juga sedang hamil. Hamil muda dengan pria yang bukan suaminya. Bukan suaminya karena mereka belum menikah. Dan bagaimana Surya bisa mengizinkah anaknya menikah dengan laki laki miskin itu? Bagaimana masa depan anak semata wayangnya
  • 6. jika harus hidup dengan lelaki itu? Dan Demi Tuhan, Melody bahkan masih terlalu muda untuk menikah! Dia masih baru saja merayakan ulang tahun yang ke-22 bulan lalu! Tapi kini dia sudah hamil. Dan dia kabur dari rumah. “Latte sedikit gula, Om Surya.” Surya terlonjak sedikit. Cepat cepat ia menoleh kearah suara yang mengangetkannya. Mendapati barista yang dikenal bernama Bara sedang tersenyum ramah kepadanya. Pemuda itu meletakkan cangkir dan tatakannya di konter di depan Surya. “Dia anak baru, om. Ini hari pertamanya”, terang Bara sambil mengerling sekilas ke arah sang pelayan baru. Surya mengangguk mengerti, ikut ikutan menoleh ke pelayan baru itu. “Kau mirip sekali dengan putriku”. Surya menjelaskan kepada perempuan muda yang sepertinya sedikit ketakutan ditatap olehnya. “Kau sedang hamil?” “Iya” “Mengapa kau malah justru bekerja?” “Membantu suami” Surya mengamati ketika perempuan itu memutar mutar cincin di jari manisnya dengan gugup ketika mengucapkan kata suami. Perempuan muda itu sudah menikah rupanya. Dan suaminya kesulitan menghidupi mereka berdua, apalagi kini akan ditambah dengan satu mulut yang harus mereka beri makan. Dan perempuan ini berbesar hati menerima kondisi suaminya. Aku tidak peduli seberapa banyak gajinya papa! Aku mencintainya!
  • 7. Surya memalingkah wajahnya dari pelayan yang mengingatkan dia kepada anaknya itu. Surya kembali menghadapi mejanya dan menyesap lattenya banyak banyak ketika seseorang masuk dan berjalan kearah Bar. Dari sudut matanya dia melihat pelayan baru itu kini secepat kilat berusaha memberikan buku menunya ke pengunjung baru. Perempuan yang terlihat linglung itu menerima buku menunya, tapi bahkan dia memesan tanpa melirik kearah menu. Dia menoleh ingin tahu tepat ketika perempuan itu berbalik mencari meja, kelihatannya dia sedang kalut. Sementara itu, Surya melihat pelayan baru itu cepat cepat menyerahkan buku catatan pesanannya kepada Bara. Tubuh kecilnya yang tidak proporsional di bagian perut itu terlihat rapuh. Surya khawatir kaki kecil itu tidak sanggup menahan berat janinnya yang harus dia bawa berdiri sepanjang shift. Surya menelan ludah. Kembali teringat putrinya yang hanya meninggalkan surat ketika dia kabur dari rumah. Mengatakan bahwa dia akan kembali jika Surya telah mengijinkannya menikah. Tapi masalahnya, dia tidak ingin Melody menikah dengan laki laki dengan penghasilan pas pasan. Apalagi mereka akan punya anak. Bagaimana hidup Melody nanti? Bagaimana degan masa depan anak Melody? Cucunya? Walaupun Surya mungkin punya cukup harta untuk membantu mereka, Surya tidak akan hidup selamanya. Surya tidak akan bisa meninggalkan mereka dengan tenang. Surya kembali mencuri pandang kearah pelayan baru, lalu menelan ludah. Surya tidak ingin Melodynya berakhir di sebuah cafe dengan seragam putih hitam dan sebuah menu ditangan hanya untuk terus menyambung hidup membantu calon suami yang hanya seorang pegawai front desk. ***
  • 8. The same questions Senja sedikit gugup ketika dia briefing pagi dengan seorang barista. Bagaimana tidak gugup? Ini memang bukan pertama kalinya ia bekerja. Tapi ini hari pertama ia bekerja di tempat ini. Dan pagi ini dia akan bekerja sendirian sampai seorang pelayan tambahan datang saat shift siang. Dan yang paling penting, Senja tidak pernah bekerja dalam keadaan hamil sebelumnya. Ketika briefing singkat itu selesai, Senja segera memulai pekerjaannya walaupun dia tahu ini berat untuknya dan berbahaya bagi juniornya. Dia tidak bisa membiarkan suaminya bekerja sendirian siang malam untuk menyiapkan kelahiran putra pertama mereka. Dia tahu, biaya persalinan tidaklah murah. Sebenarnya Senja tahu, dia bisa meminta kepada ayahnya. Tapi itu tidak akan terjadi. Tidak! Tidak selama senja belum bisa meyakinkan mereka tentang pilihan hidupnya. Selama ayahnya belum merestui mereka. Klek! Pintu dibuka dan seorang pria yang kelihatannya berumur pertengahan lima puluh masuk. Senja belum sempat menawarinya buku menu ketika dia langsung saja duduk di depan bar dan memesan latte untuk dirinya yang terlihat sangat tertekan. Pria itu menyisir rambut dengan sebelah tangannya dan menggigit bibir. Sebuah ekspresi yang mengingatkan Senja pada ayahnya jika sedang banyak pikiran. “Kau pegawai baru disini?”, tanyanya ramah. Senja mengangguk dan tersenyum tak kalah ramah. Berspekulasi bahwa pria ini pastilah salah satu pelanggan tetap bistro-nya. Dan benar saja, tak berselang lama kemudian si barista di balik bar bercakap cakap dengan pria tersebut. Bukti bahwa dia memang telah mengenal pegawai pegawai disini. Pria itu menoleh lagi kearah Senja. “Kau mirip sekali dengan putriku”
  • 9. Senja tersenyum kikuk. Bingung harus melakukan atau mengucapkan apa. Pria itu sedang teringat akan putrinya. Well, kebetulan yang mengagumkan karena Senja juga sedang teringat kepada sosok ayahnya ketika memandang pria itu. Laki-laki dengan sorot mata penyayang walaupun ada sedikit superioritas disana. Nada bicaranya lembut tapi tidak kehilangan ketegasannya. Pria itu banyak tersenyum. Meskipun Senja tahu senyumnya adalah sekedar senyum sopan. Senja tahu, pria itu sedang tidak dalam keadaan baik baik saja. Sosok ayahnya berekelebat didepan mata Senja.. Ayah yang menolak hadir di pernikahannya. Ayah yang menolak memberikan restu hanya karena suaminya hanyalah seorang pegawai pabrik, sedangkan Senja sendiri adalah anak seorang direktur pemilik pabrik. Pergi! Kau bukan anakku lagi jika kau tetap menikah dengannya! Senja bergerak gerak gelisah. Kenangan terakhirnya bersama ayahnya sama sekali tidak terlalu bagus untuk diingat. Dia memutar mutar cincin di jari manisnya, bertanya tanya apakah ayahnya kini telah merestuinya. Senja mendesah pelan. Susah payah menahan air mata yang tiba tiba ingin meleleh. Lamunan Senja terpotong oleh kehadiran seorang perempuan dengan tampang berantakan. Cepat cepat Senja memberikan buku menu kepada perempuan yang kelihatannya hampir gila itu. Kelihatannya perempuan itu sedang dalam masalah besar. Senja bertanya tanya dalam hati apakah dia juga seberantakan itu saat melewati masa masa berat dengan ayahnya dulu? Apakah ayahnya juga merasakan hal yang sama? Diam diam Senja melirik pria di bar. Senja sedikit terkejut ketika dia melihat sudut mata pria itu basah. Pria itu menangis. “Hot chocolatte siap”, kata Bara sambil meletakkan secangkir kopi di nampan yang ditaruhnya di atas bar. Senja segera mengantarkannya kepada perempuan yang memesannya. Pilihan yang bagus. Perempuan itu sepertinya benar benar butuh coklat.
  • 10. Senja melihat perempuan itu menimang nimang ponselnya. Memainkan dengan sebelah tangannya yang berada di atas meja. Tatapan matanya kosong, seakan akan dia sedang menimang keputusan yang sangat sulit. Senja meletakkan nampannya tanpa suara, berusaha tidak mengganggu perempuan yang sepertinya sedang berpikir keras itu. Tapi rupanya Senja tidak begitu berhasi. Perempuan itu terlonjak kaget ketika nampan Senja menyentuh meja. Namun dia langsung berusaha menguasai diri. “Sudah berapa bulan?”, dia bertanya pelan setelah pulih dari kekagetannya sambil menunjuk kearah perut Senja dengan anggukan kepalanya. Senja tersenyum. “5 bulan”, jawabnya ramah. “Ah, selamat yaa” Senja tersenyum kecil, lalu kembali berpaling untuk menata tissue di meja. “ Apakah kamu memang berencana menikah muda?” Senja mengangkat alis, melirik kearah jemari perempuan yang sedang duduk dihadapannya. Tidak ada cincin disana. Sepertinya Senja mengerti kemana arah pembicaraan ini. Senja mengangkat bahu. “Tapi kau mencintainya?”, tanyanya penuh selidik. Kelihatannya tanpa bisa menahan diri. “Tentu saja”. Senja mengangguk meyakinkan Perempuan itu terdiam beberapa saat. Matanya menerawang jauh. “Apakah kau bahagia?” Senja terdiam kali ini. Perempuan itu menanyakan pertanyaan yang sama yang selama ini terus ditanyakan hati kecilnya. Pertanyaan yang selalu terngiang sejak dia memberanikan diri melawan orang tuanya untuk kawin lari. Dia bahagia bersama cintanya, tentu saja. Tapi disudut
  • 11. hati kecilnya, dia bertanya tanya apakah kebahagiaan itu harus ditukar dengan merenggut keutuhan keluarganya? Senja menahan nafas. “Entahlah” Senja harus mengakui, untuk pertanyaan itu dia belum mendapatkan jawabannya. ***
  • 12. Run off Apakah kau bahagia ? Viola bisa mendengar suaranya sendiri meluncur begitu saja dari mulutnya. Dia berjengit. Pertanyaan itu terlalu pribadi untuk ditanyakan. Pertanyaan itu lebih tepat ditujukan untuk dirinya sendiri. Entahlah Viola berjengit. Dia menatap pelayan muda yang sempat tersenyum kecil itu, sebelum ia berbalik pergi membawa nampannya. Jawaban pelayan itu sama persis dengan apa yang ada dipikirannya. Drrt Drrt.. Viola meraih ponselnya. Mendapati sebuah satu pesan baru disana. Dari sekretarisnya. Bukan! Mungkin lebih tepat jika dibilang, dari kekasihnya. Apa yang sedang terjadi ? Kau tidak apa apa? Singkat, padat, dan jelas. Tapi dibalik pesan singkatnya Viola bisa mendengar nada cemas perempuan yang tak bisa berhenti mengkhawatirkannya itu. Perempuan yang sudah hampir 3 tahun menjadi kekasihnya. Viola mendesah. Tentu saja dia sedang kenapa napa. Aku baik baik saja, putri. Tidak ada apa apa.. Drrt Drrt.. Kau tahu kau tidak pandai berbohong, sayang. Ada apa? Beritahu aku..
  • 13. Viola hampir bisa melihatnya mencebik manja. Rayuan yang selalu berhasil membuat Viola meluluskan apapun keinginan kekasihnya itu. Viola tersenyum kecil. Sesaat, dia hampir lupa kekalutannya. Kau bisa pensiun jadi sekretarisku dan beralih menjadi cenayang. Lucu sekali boss. Apa yang sedang terjadi padamu? Aku dipaksa segera menikah oleh mamaku, putri. Tentu saja aku tidak bisa melakukan itu.Hal itu mustahil untukku karena kau satu satunya orang yang ingin kunikahi. Tapi aku juga belum siap memberitahu mama, kalau kaulah satu satu alasan dibalik semua penolakanku. Aku masih terlalu pengecut untuk mengaku. Viola menggigit bibir, dia sudah akan mengirim pesan panjang itu ketika dia berubah pikiran. Dia mengcancel pesannya dan mematikan ponselnya. Dia tidak akan memberitahu kekasihnya. Tidak! Dia hanya akan membangkitkan jiwa melankolis perempuan itu dengan memberitahunya. Viola bahkan bisa membayangkan jawaban apa yang akan ia dapat dari kekasihnya. Kau bukan pengecut, sayang. Aku pasti mengalami hal yang sama jika aku masih punya orang tua. Menikahlah, kalau itu bisa membuatmu lepas dari tekanan mamamu. Aku tidak apa apa, karena aku tahu hatimu milikku. Aku tidak keberatan, selama itu bisa menolongmu dari rasa tertekan. Viola memutar bola mata.Dia? Menikah? Hanya dengan memikirnya menjalani hidup penuh kepura puraan saja membuatnya mual. Belum lagi kekasihnya yang akan menderita bersamaya. Walaupun viola tahu kekasihnya adalah perempuan yang tegar dan mengatakan bahwa ia akan baik baik saja. Tapi perempuan mana yang sudi kekasihnya dibagi dua? Dia mungkin bisa bilang dia baik baik saja, tapi Viola tahu hatinya terluka. Dan viola tidak hanya akan menjadi seorang pengecut, dia akan menjadi seorang paling egois jika membiarkan hal itu terjadi pada kekasihnya.
  • 14. Lalu apa yang harus dia lakukan? Apakah dia berani memberitahu mamanya dan membuat hatinya hancur berkeping keping? Menghadapi murka seorang single parents yang berjuang sendiri membesarkan putri tunggalnya dan terpaksa harus mengubur harapan harapan yang terlanjur beliau mimpikan? Apakah ia akan memilih menjadi seseorang yang begitu egois dan kejam terhadap ibu kandungnya sendiri? Atau dia akan memilih untuk berdiam diri seperti yang ia lakukan sepanjang hidupnya? Menutup rapat rapat rahasianya, dan mengorbankan cinta terlarang yang susah payah ia jaga. Membunuh dua hati, miliknya dan milik kekasihnya. Hanya untuk sebuah kebohongan dan kepura puraan lain. Apakah ia akan memilih untuk menderita seumur hidupnya? Rasanya ia ingin kabur ke ruang angkasa. Viola terduduk tegak. Mengernyitkan dahi sambil menatap barista yang sedang mengelap gelas gelas besarnya. Dia tersenyum sekilas sebelum akhirnya bangkit berdiri menuju konter dan duduk disana. Viola tahu apa yang ia butuhkan sekarang. “Beri aku satu gelas beer yang paling kuat” Beer akan membuat dia melayang ke angkasa. ***
  • 15. My princess “Permisi tante..” Yang disapa menoleh, mengalihkan pandangannya dari pupuk pupuk dan anggrek anggrek yang manja. Dia melihat perempuan yang kelihatan buru buru itu bergerak gerak gelisah di luar gerbang rumahnya. Perempuan itu berblazer lengkap, rambut coklat sepunggungnya dibiarkan tergerai, dan kacamata gelapnya bertengger diatas hidung yang Monique yakin hidung blasteran entah negara mana. Tapi wajah itu seakan familier baginya. Entah dimana ia pernah melihatnya. Apa mungkin dia sales yang sering datang kemari? Pikir monique sambil berjalan untuk membukakan pintu pagar untuk perempuan itu. Dia tertawa dalam hati mendengar leluconnya sendiri. Tidak ada promotion girl yang secantik dan serapi ini. “Ya ?” “Violanya ada dirumah ?” Oh! Tentu saja. Teman kantor viola. Pikir Monique paham. Mungkin ia pernah tanpa sengaja melihat perempuan ini di album album foto milik anaknya. Eh, tapi tunggu dulu. Bukankah anaknya sedang pergi kerja? “Tidak, dia pergi kerja”. Monique mengerutkan alis. “Ada yang bisa saya bantu?” Perempuan itu menggigit bibir, wajahnya berkerut kerut kecewa. Dan dia terdengar sangat cemas ketika mulai bercerita. “Viola kabur dari kantor, tante. Karena itu saya kesini. Saya pikir dia ada di rumah”. Dia menarik nafas satu satu. Sepertinya dia berusaha keras menenangkan diri. “Dia tidak bisa dihubungi, Dan dia ...” “Kamu teman kantornya?”. Monique melirik ID card yang menggantung di leher perempuan itu. Sedikit sulit karna seperti kebanyakan wanita yang menua, Monique juga makin rabun.
  • 16. “Ya”. Perempuan itu terdiam sesaat. Dia bergerak gerak gelisah. “saya eh.. sekretarisnya” Perempuan itu tersenyum dan menunjukkan ID cardnya. Rupanya menyadari kalau Monique menyipit berusaha membaca nama yang tertera disana. Airin Hime. Oh. Keturunan Jepang. Monique mengangguk angguk dalam hati sambil mengawasi perempuan tadi masuk ke dalam taxi. Dia mencoba mengingat ingat kursus bahasa Jepangnya dulu waktu dia menjadi pramugari, mencoba mengartikannya ke bahasa Indonesia. Dan ketika dia berhasil mengingat arti kata hime dari sejuta kosakata yang berlalu lalang dalam kepingan memorinya. Monique tercekat ngeri.. Dia ingat dimana dia pernah melihat perempuan blasteran jepang itu tadi. Dia pernah melihatnya memakai kimono lengkap, dalam foto yang tak sengaja ia temukan terjatuh dari agenda Viola yang tertinggal di meja makan. Dibalik foto 3R itu Monique mengenali tulisan tangan Viola yang ramping. Tulisan yang membuatnya bertanya tanya, dan nyaris membuatnya tidak bisa tidur. Tulisan tangan yang mendatangkan badai yang luar biasa di hati Monique. Satu kalimat yang terdiri dari dua buah kata yang sederhana. My Princess. Princess. Putri. Dalam kamus bahasa jepang yang juga berarti hime. Monique tergopoh gopoh berlari kedalam rumah, menyambar kunci mobil tuanya dan membanting pintu rumah menutup tanpa repot repot merasa perlu menguncinya. Dia melempar dirinya ke balik kemudi. Dan dia menyetir kesetanan mengejar taxi. ***
  • 17. Cinderella Complex Kau ada dimanaa ? desis Airin dalam hati. Panik melanda sekujur tubuhnya Kau datang dengan muka seperti baru saja diteror. Lalu kabur dari kantor padahal kau baru sampai satu setengah jam sebelumnya. Kau tidak kembali pulang karena mamamu bilang kau tidak ada dirumah. Dan kau tidak menjawab pesanku! Tut tut tut.. Nomor yang anda tuju sedang.. Airin mengenal kekasihnya lebih dari siapapun. Viola tidak pernah mematikan ponselnya kecuali ketika dia sedang meeting , atau ketika ia sedang menangis. Dan karena Airin tahu betul Viola tidak sedang meeting saat ini, maka tentunya dia sedang... “Mau ke mana lagi, mbak ?” Airin terlonjak kaget. Lupa pada sopir taxinya yang sedang menunggu perintahnya. Taxi itu sudah keluar dari kawasan perumahan dan mulai memasuki jalan besar. Airin menggelengkan kepala kuat kuat, berusaha mengenyahkan pikiran buruknya sementara ia berkonsentrasi pada tujuan berikutnya. Benar! Dia harus fokus menemukan kekasihnya. Airin cepat cepat mengisi kepalanya dengan daftar nama tempat dimana Viola mungkin bersembunyi. Daftar teratasnya, rumah, telah dicoretnya dengan masam. Dia beralih kepada kemungkinan kedua. “Distrik Kayutangan”, kata Airin memutuskan. Sopir itu mengangguk sekali, mengenali tempat yang dimaksud oleh Airin. Airin mencoba menenangkan diri ketika taxi melaju menuju tempat tujuan mereka. Tidak terlalu berhasil karena cuaca yang gerimis seakan akan mengejeknya. Dia juga sempat mencoba menelepon Viola beberapa kali lagi. Tapi ketika perempuan menjengkelkan lah yang mengangkat telponnya, Airin menyerah dan melemparkan kembali ponselnya kedalam tas
  • 18. tanganya dengan frustasi. Dia berdoa agar kekasihnya benar benar ada di tempat yang kini ia tuju. Ia hampir hampir gila memikirkan keadaan Viola yang tidak jelas bagaimana. Walaupun samar samar ia tahu apa yang membuat dia begitu kalut. Airin kembali mengingat ingat pesan terakhir Viola sebelum dia memutuskan untuk menonaktifkan ponselnya. Kau tahu? Aku hanya ingin menikah denganmu. Airin tahu Viola memang selalu kalut jika membicarakan tentang pernikahan. Dia selalu menganggap hal itu seperti horor pribadi untuknya. Viola memang selalu terlihat menganggap enteng sambil lalu ketika semua teman, relasi, dan keluarganya bertanya kapan ia akan menikah. Tapi Airin perempuan yang cerdas dan peka. Dia tahu persis perasaan berkecamuk yang melanda hati kekasihnya yang bosan ditanya tanya. Viola memang bisa menulikan diri dari perkataan orang lain, kecuali mungkin satu orang. Dan Airin tahu siapa orang yang bisa meneror kekasihnya hingga begitu kalut dan tertekan. Ibunya. Airin menggigit bibir. Dia tidak punya orang tua yang sanggup merecokinya sepanjang waktu tentang ketidaknormalannya. Kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas ketika mereka semua masih tinggal di Jepang. Dia pindah ke Indonesia untuk tinggal bersama neneknya yang masih tersisa. Namun itupun hanya beberapa tahun. Dia berusia 21 Tahun ketika neneknya meninggal dunia. Dia tidak perlu mencemaskan siapapun lagi, karena dia tidak memiliki siapa siapa. Tapi tidak dengan Viola, dia masih punya seorang ibu yang mencemaskannya. Seorang ibu yang tentunya akan keberatan dengan pilihan hidupnya. Dengan keabnormalannya Airin tidak keberatan dengan hubungan yang serba rahasia. Dia bisa memaklumi Viola yang harus menjaga nama baiknya. Menjaga rahasianya tertutup rapat. Menutupi kebenaran demi menjaga hati ibunya agar tidak hancur. Airin juga akan melakukan hal yang sama jika dia masih punya ibu.
  • 19. Airin memandang keluar jendela. Mall berkelebat lewat di jendelanya. Lampu lampu menerangi papan reklame yang terpampang di sepanjang dinding luar mall. Sebagian besar adalah iklan. Beberapa memuat poster film yang sedang tayang di bioskop XXI. Tiba tiba Airin teringat film yang pernah ditontonnya di Singapore ketika ia menemani Viola pergi bekerja. Saat itu dia pergi jalan jalan ke mall sendirian karena Viola sedang sibuk bertemu kliennya. Airin pergi ke Mall dan sebuah poster film Thailand menarik perhatiannya. Maka dia menghabiskan sore itu sendirian menonton Yes Or No di bioskop. Merasa tersentuh akan cerita drama itu. Dan bahkan sempat menangis dibuatnya. Airin mendesah. Apakah kisah cinta seperti miliknya yang berakhir bahagia hanya ada di cerita dunia perfilman ataupun fiktif lainnya? Apakah cerita miliknya akan berakhir semanis film yang pernah ditontonnya? Apa di dunia ini hanya Cinderella yang diperbolehkan hidup bahagia selamanya? Airin memilih untuk tidak menjawabnya. ***
  • 20. Last Wishes Surya menatap perempuan yang duduk di bar disampingnya. Mata perempuan itu nanar, mata coklatnya berair menahan tangis. Mukanya memerah karena alkohol. Rambut hitam pendeknya awut awutan. Dan dia meracau tentang pernikahan, memanggil manggil sebuah nama yang kedengarannya seperti nama Jepang, dan tak henti hentinya meminta maaf kepada seseorang yang kelihatannya adalah mamanya. Surya menggeleng geleng. Bertanya tanya masalah apa yang sedang dihadapi perempuan ini sampai sampai separah ini halusinasi yang dialaminya. Surya menatap skeptis gelas beer besar yang hampir kosong itu. Apa benar alkohol bisa melarikanmu dari masalah? Wajah perempuan itu kacau sekali. Apakah wajahnya juga akan sekacau itu? Surya mengerling ke cermin yang tergantung di balik bar tepat diseberangnya. Seorang pria yang terlihat lebih tua daripada seharusnya mentapnya balik kepadanya. Rambutnya yang setengah beruban kusut tak disisir. Jambangnya belum dicukur. Matanya berkantung hitam dibalik bingkai kacamatanya. Dan dasinya menggantung asal di kerah lehernya. Efek ditinggal kabur putri semata wayangnya memang sangat berdampak pada kehidupan surya. Surya tersenyum masam. Dia bahkan tidak membutuhkan bantuan alkohol untuk membuatnya tampak kacau. Dia sudah terlihat sama kacaunya dengan perempuan mabuk disebelahnya. “Tolong satu gelas lagi”, pinta perempuan itu sambil mengacungkan gelas kosongnya kepada si barista untuk yang ketiga kali. Suaranya serak dan intonasinya sudah tidak karuan. Perempuan ini jelas jelas sudah mabuk “Kau tidak apa apa?” Surya bertanya khawatir ketika dilihatnya wajah perempuan itu mulai memucat. “Kelihatannya kau sudah terlalu mabuk”
  • 21. “Aku tidak papa paman” jawabnya tegas, nyengir. Perempuan itu menegak beer nya lagi sebelum dia menambahkan lambat lambat, “aku tidak mabuk”. Tapi kontras dengan perkataannya, dia buru buru berlari ke toilet. Melempar tubuhnya merunduk diatas wastafel. Dan muntah disana. Dia bakal pingsan tak lama lagi. Batin Surya prihatin. Dia mengawasi ketika si pelayan baru yang juga terlihat prihatin itu memapah perempuan tadi keluar dari toilet. Perempuan itu kembali duduk disebelahnya. Surya bisa melihat sebagian besar bagian depan kemeja perempuan itu basah. Retina matanya memerah, kontras dengan wajahnya yang pucat pasi. Perempuan itu balas menatapnya datar. “Paman, kau punya seorang putri?” Surya mengangkat alis. Hatinya kembali tersayat ketika ia kembali diingkatkan akan putrinya. “Ya” “Apakah kau akan memaksa putrimu menikah jika dia tidak ingin?” Surya mengerutkan dahi. Pertanyaan macam apa ini? Tentu saja Surya tidak memaksa putrinya menikah. Malah, Surya memaksa putrinya untuk tidak menikah. Tapi kalau yang dipertanyakan disini adalah soal paksaan, maka jawabannya jelas walaupun konteksnya terbalik. Surya mengangguk hati hati. “Ya”. Ya. Dia telah memaksa putrinya tidak menikah walaupun putrinya sangat ingin. “Well, berarti putri paman sama setresnya seperti aku sekarang” . Perempuan itu mengangkat bahu, dan kembali menegak beernya. Dia bersendawa, lalu tertawa kecil. Sepertinya perempuan ini mengalami disorientasi. “kenapa orang tua selalu saja menyuruh anak mereka melakukan hal yang tidak mereka inginkan?” si perempuan menatapnya Surya heran. “dan selalu tidak suka dengan apa yang
  • 22. anak mereka inginkan?”, tanya perempuan itu iratoris. Surya hanya diam mendengarnya. Memikirkan kata kata perempuan itu membuatnya serasa ditampar. Benarkah Surya orang tua yang separah itu? “apakah paman tidak ingin anak paman bahagia?” Surya menggigit bibir. Suara Melody terngiang di telinganya. Apa papa tidak ingin melihat Melody bahagia? “Tentu saja ingin”, Surya menelan ludah. “Itulah yang sedang aku lakukan..” “Yang sedang paman lakukan adalah memaksa anak paman, bukan membuatnya bahagia!”, perempuan itu menyela cepat. “Siapa yang bisa bahagia jika dipaksa paksa, paman?” Surya membeku, berusaha menulikan diri dari suara suara yang bergaung dari dalam kepalanya. Suara Melody yang seakan akan digemakan lagi oleh perempuan dihadapannya itu menampar hatinya, bagai garam yang ditabur diatas luka yang menganga. Pedih! Kata kata Melody membanjir memenuhi telinganya. Badan surya bergetar hebat ketika ingatannya sampai pada kata kata penuh airmata yang diucapkan melody sebelum dia pergi keesokan harinya. Satu harapan terakhir putrinya. “Aku hanya ingin menikah dengan orang yang aku cintai paman!”, perempuan disebelahnya berseru parau. Hati surya dingin membeku. Darah seakan akan berhenti mengalir dalam pembuluh darahnya. Sendok yang dimainkan diatas cangkirnya terjatuh berdenting keras sekali. Pandangannya mulai berkabut ketika kalimat perempuan itu meresapi ingatannya. Surya menahan nafas. Setitik air mata meleleh membasahi pipinya. Aku hanya ingin menikah dengan dia papa ! ***
  • 23.
  • 24. It is not the end Senja menunduk melirik jam tangannya. Sudah jam setengah 2. Sebentar lagi akan ada pelayan shift siang yang datang untuk membantunya menjaga bistro. Karena walaupun bistro ini sepi siang ini, kelihatannya dua costumer ini saja bisa membuatnya kewalahan. Satu perempuan mabuk, dan satu pria paruh baya yang sedang depresi. Kling! Suara berdenting nyaring ketika pria paruh baya di bar itu tanpa sengaja menjatuhkan tea spoonnya. Senja dengan cekatan mengambil sendok yang terajatuh itu dan membawanya ke konter, lalu menukarnya dengan sendok bersih lain. Senja menyorongkan sendok bersih itu kepada pria yang duduk di bar itu. Baru pada saat itulah Senja menyadari ekspresi pria itu. “bapak tidak apa apa?” Senja bertanya khawatir. Sepertinya pria itu sedang shock. Pria itu terbelalak ngeri, wajahnya merah padam, dan bahkan sepertinya dia berkeringat dingin. Pria itu menoleh dan mengangguk sekali. Senja menilai ekspresinya. Pria itu kalut, takut, dan.. menyesal? Pria yang seumuran ayahnya itu tidak melepaskan pandangannya pada perempuan mabuk yang sedari tadi meracau disampingnya. Perempuan itu terus menerus mengatakan sesuatu yang berkaitan dengan menikah, memaksa, anak, dan bahagia. Dan kelihatannya hal itu benar benar membuat pria itu ngeri. Senja mendengar pria itu berbisik. “lalu menurutmu apa yang harus aku lakukan ?” Senja ganti menatap perempuan muda yang kelihatannya sedang meracau entah tentang apa. Perempuan itu masih duduk dikursinya, setengah badannya bertumpu pada meja bar, matanya memerah, dan dia mengacung acungkan gelasnya ke udara. Tapi ketika dia mendengar bisikan pria disampingnya, perempuan itu menoleh cepat. Matanya yang tadi menerawang tak tentu, kini menggelap dan kembali fokus. Dia menatap tajam mata pria itu.
  • 25. Tangan perempuan itu bahkan terulur dan mencengkeram erat bahu pria didepannya, seakan akan perempuan itu ingin memaksa pria itu mendengarnya. “Biarkan aku bahagia, paman. Walaupun kau tidak suka karenanya” Perempuan itu berbisik lirih, namun ketajaman suaranya bahkan memenuhi seantero bistro. Suara itu berat, bernada mengancam, namun pada saat yang bersamaan juga terdengar sangat sedih dan memilukan. Perempuan itu berhasil membuat seisi bistro terpana melihat kesedihan dalam suaranya. Dan di detik berikutnya, dia berhasil membuat seisi bistro menahan nafas ketika dia tiba tiba jatuh dari kursinya. Pingsan. Senja tercekat ngeri. Refleks dia segera menjatuhkan nampan yang dipegangnya dan berlutut disamping perempuan yang terbaring tak bergerak dilantai. Senja mengguncang guncangnya bahunya, tapi perempuan itu bergeming. Senja berusaha menarik perempuan itu bangun dari lantai. Berat. Dia menoleh ke arah Bara. Laki laki itu sedang panik berusaha menelepon seseorang, mungkin ambulans. Sementara pria paruh baya yang duduk di bar, masih sempurna mematung. Kelihatannya dia terlalu shock untuk bergerak, bahkan untuk sekedar mengambil nafas. Senja jelas tidak bisa mengandalkan mereka berdua. “Bantu aku menggotongnya ke sofa” sebuah suara parau mengagetkan Senja. Senja menoleh cepat. Di depannya berjongkok seorang wanita yang rupanya masuk tepat pada saat perempuan mabuk ini pingsan. Tangannya terulur membantu Senja memegangi si perempuan pingsan. Senja terlalu panik untuk menyadari kedatangannya tadi. “Bantu aku, please!” Perempuan itu berseru lebih keras. Senja mengiyakan dan segera membantu perempuan asing itu menopang tubuh yang tak sadarkan diri didepannya. Dari sudut sudut matanya Senja bisa melihat Bara juga cepat cepat menghampiri mereka. Bahkan
  • 26. pria di bar sepertinya juga sudah tersadar dari shocknya karena teriakan perempuan asing tadi. Walaupun gerakannya masih berupa megerjap ngerjapkan mata. Dengan tiga pasang tangan, tubuh perempuan yang pingsan itu bisa dipindahkan ke sofa. Senja buru buru menuju lemari konter, mencari minyak kayu putih atau apapun yang bisa berguna untuk menyadarkan si perempuan pingsan. Bara juga kembali ke barnya, kembali sibuk dengan teleponnya. Namun perempuan yang baru datang itu tetap berjongkok disebelah sofa, kelihatannya perempuan itu saling kenal. “Viola! Viola! Bangun, sayang” Senja membeku. Apa katanya? Senja mendongak menatap perempuan yang baru datang itu lamat lamat. Sebelah tangan perempuan itu menggenggam tangan si perempuan pingsan, mata coklat blasterannya yang ketakutan tak lepas dari wajah pucat yang tak kunjung siuman. Senja mengerjap tak percaya. Perempuan ini.. kekasihnya? “Boleh aku melihatnya?” Senja melihat pria yang tadi duduk mematung kini sudah berdiri di sebelah sofa, disamping perempuan yang hampir menangis. Perempuan itu mengerutkan dahi, menilai dengan skeptis. Pria itu tersenyum menenangkan. “Aku dokter”, terang pria itu. Perempuan itu kontan mengangguk, wajah skeptisnya sirna. “Kau pasti kekasihnya”, Senja mendengar pria itu berbicara setelah dia berdiam diri cukup lama. Pria itu menoleh dan tersenyum sekilas kepada perempuan yang duduk disebelahnya, sebelum kembali menekuni pasiennya. Dari nada bicara yang Senja dengar, pria itu bukan bertanya, pria itu hanya mengkonfirmasi. Perempuan itu menatapnya beberapa saat, lalu dia mengangguk. Senja mengangkat alis. Perempuan itu memang kekasihnya. Dokter itu tertawa kecil. “Pasti kau-lah yang dia ocehkan sedari tadi”.
  • 27. Senja mengerutkan dahi. Bertanya tanya apa yang dimaksud dokter itu dan berusaha mengingat ingat kalimat kalimat tak jelas yang tadi diocehkan si perempuan mabuk. “dia terus terusan bilang ‘Aku hanya ingin menikah dengan orang yang aku cintai paman’” kenang dokter itu, masih tertawa kecil. “Dan itu sepertinya berarti kau”. Senja mengangguk paham. Tentu saja! Perempuan itu terus membicarakan pernikahan, tidak mau menikah dengan orang yang tidak dicintainya, dan hanya ingin menikah dengan kekasihnya. Senja kini mengerti masalah yang menyebabkan perempuan ini sanggup menegak 4 gelas besar beer. Dia tidak bisa menikah dengan kekasihnya yang juga adalah seorang perempuan. “Hime ?” suara serak memecah lamunan Senja. Perempuan pingsan itu sudah sadar. Senja buru buru mendekat, membawakan segelas air hangat kepada perempuan yang baru saja sadar itu. Perempuan itu berantakan, tampak linglung dan masih setengah sadar, dia mencoba duduk sambil mengernyit memegangi sisi kepalanya. Perempuan yang dipanggil hime menghambur memeluk si perempuan pingsan. Si perempuan pingsan yang masih setengah mabuk merangkulnya. Mencium kening kekasihnya. Senja tersenyum diam diam. Mengelus dada. Sungguh akhir yang bahagia.. Tapi rupanya moment berharga itu tidak berlangsung terlalu lama. Karena keheningan yang nyaman itu pecah oleh sebuah jeritan pilu. “Viola!” Sebuah suara menggelegar mengagetkan seisi bistro. Seisi bistro menoleh cepat menghadapi sumber suara. Senja melihat seorang perempuan paruh baya berdiri diambang
  • 28. pintu dengan murka. Wajahnya kaku, ekspresi antara tidak percaya, marah, dan terluka. Kebekuan tak kentara mencekam seisi bistro. “Mama?” bisik si perempuan pingsan lirih, menjadi orang pertama yang berani bersuara. Mendengar suara kekasihnya, Hime tersadar dari kebekuannya.Dia berusaha melepaskan diri dari Viola yang masih mematung memeluknya. Tapi ketika dia tidak berhasil melepaskan diri, perempuan itu hanya menunduk menyembunyikan muka. Senja mendesah. Tampaknya ia salah mengira, ini bukan akhir.. Bahkan, ini baru saja dimulai. ***
  • 29. The Storm Monique berdiri mematung di ambang pintu sebuah cafe kecil di sebuah distrik yang cukup ramai. Nafasnya masih terengah engah akibat kebut kebutan dijalan. Andrenalin yang berlebihan benar benar tidak baik untuk jantungnya. Tapi itu bukan apa apa. Beban di jantungnya itu masih belum seberapa dibandingkan dengan badai di pusat hatinya. “Viola!”. Kata itu meluncur begitu saja dari bibir Monique. Penuh kepahitan, luka, dan amarah. Dilihatnya sekretaris yang tadi ia buntuti, kini membeku ngeri. Wajahnya pucat pasi sebelum berubah cepat menjadi merah padam. Ekspresinya campuran antara shock, takut, dan merasa bersalah. Dia butuh beberapa detik untuk menguasai diri. Dan ketika kesadaran telah meresap kedalam kepalanya, dia berusaha melepaskan diri dari pelukan viola. Menjauhkan diri seakan akan tidak ada apa apa. Perempuan itu berusaha mencegah Monique melihat mereka. Tapi terlambat, Monique sudah melihat. Dan dia sudah mengerti. “Apa yang kau pikir sedang kau lakukan?”, sembur Monique murka. “Ayo pulang, Vio!” Viola berdiri dari duduknya, sedikit terhuyung karena keseimbangannya belum membaik. Dia berpegangan pada seorang pria disampingnya yang dengan baik hati membantunya berdiri. Sebelah tangannya masih menggenggam tangan kekasihnya, menolak melepaskan genggamannya walau sang kekasih menggeliat geliat berusaha melepaskan diri. Viola menatap Monique datar.“Maaf ma, aku tidak bisa ..”, tidak ada nada takut dalam suaranya. Monique hanya mendengar sebuah keteguhan disana. “Aku tidak bisa pulang ataupun menuruti mama untuk menikah. Aku tidak bisa” Monique menahan nafas. Dengan susah payah berusaha menemukan kembali suaranya yang tertelan amarah. “Apakah karena dia?” tanyanya, sambil menunjuk dengan telunjuknya. Tepat ke arah Hime. “Dia? Sekretarismu.. Kimi no hime? Your princess? ”
  • 30. Dilihatnya Viola mengangguk, sementara sekretarisnya yang menoleh cepat dan meremas genggaman tangannya takut takut. “Benar. Dia kekasihku”. Viola mengaku. Monique melotot garang ke arah Viola. Dia terlalu muak untuk sekedar berbicara. Dia marah sejadi jadinya. Tapi tidak tahu harus menyalahkan siapa. Kenapa kau berikan kutukan ini kepada anakku, Tuhan?! Teriak Monique dalam hati. “Sekarang, setelah mama tahu. Aku hanya berharap suatu saat mama akan mengerti dan membiarkanku bahagia. Merestui pilihanku ini. Karena aku berhak melakukannya”. Monique memejamkan mata. Oh tuhan! Viola. Anaknya?! Anaknya seorang lesbian? Tidak! Tidak mungkin! Tidak boleh! “Monique” Monique berlalu untuk menoleh ke suara yang memanggilnya. Berharap bahwa ada seseorang yang akan mengatakan padanya bahwa ini semua adalah lelucon. Tapi rupanya bukan perasaan lega yang ia dapat, Monique makin terkejut setengah mati setelah ia mengenali pria yang memanggilnya. Pria itu ada disana, memegangi tangan viola. Si dokter yang tadi merawatnya ketika Viola jatuh pingsan. Pria itu! Pria yang seharusnya telah pergi jauh jauh dari hidupnya. Pria itu, mantan suami Monique satu satunya. “Surya?!” Monique terbelalak. Mulutnya ternganga tak percaya. Dokter itu tersenyum singkat, mengangguk kepadanya penuh arti. Ekspresinya tenang, meski Monique yakin dia tadi sekaget dirinya sekarang. Monique juga melihat Viola menatap ayah yang belum pernah ia temui seumur hidupnya itu. Wajah putrinya berkerut kerut bingung, berusaha menyambungkan potongan potongan kebenaran didepannya. Butuh waktu cukup
  • 31. lama ketika akhirnya dia cepat cepat melepaskan pegangan tangannya dan mendekap mulut tak percaya. “Kau ayahku?” Surya tersenyum sedih, “Aku juga baru tahu kau putriku”. Dia kembali menatap Monique penuh arti sebelum akhirnya berbicara dengan nada memohon dan sedih yang sama. Monique tahu persis apa yang sedang dipikirkan pria itu. Tapi Monique masih dalam keadaan shock sehingga dia tidak tahu harus berbuat apa selain diam. “Monique, kau tidak punya hak untuk memaksanya” “Tapi..” “Kau tahu benar rasanya seperti apa ketika kau harus dipaksa. Bahkan kau sudah pernah mengalaminya, Monique” “Tapi aku..” “Jangan menyalahkan Viola, Monique. Kau tahu benar alasannya dia menjadi seperti ini” “Tidak..” “Karena dia mewarisi gen itu darimu” ***
  • 32. Latte Confession “ APA ?!” Viola berteriak keras. Suaranya bergaung diseantero bistro. Hime mencengkeram genggamannya lebih kuat. Terkejut bukan kepalang. Viola mengira tidak bisa ada yang lebih buruk daripada ketika mendapati mamaya berdiri disana, dan membuat beliau mengetahui rahasianya. Tidak ada yang bisa membuatnya lebih kaget lagi daripada ketika ia tahu kalau pria yang sedari tadi duduk di sampingnya di bar dan mendengarnya berceloteh ketika ia mabuk, ternyata adalah ayah kandungnya. Tapi rupanya viola salah. Kalimat yang diucapkan ayah yang belum pernah dikenalnya itu menghantam kesadarannya bagai jet coaster dan mencengkeram ulu hatinya kuat kuat. Bahkan etanol dalam beernya yang dia minum banyak banyak tadi rupanya belum cukup untuk menganastesi dirinya dari rasa sakit dan terkejut akibat berita ini. Karena dia mewarisi gen itu darimu “Jadi mama juga.. ?” kata katanya menghilang, tidak sanggup melanjutkan tapi juga tidak tahan untuk tidak meminta pengakuan Mamanya. Dia tidak sanggup menilai ekspresi wajah mamanya yang pucat pasi. Dia terlalu terkejut. Terlalu shock. Mamanya? Ibunya sendiri ? Lesbian? Monique membeku. Kelihatannya dia juga shock. Jangankan untuk menjawab. Viola bahkan yakin mamanya perlu mengerahkan seluruh tenaganya hanya untuk menarik nafas . Viola ganti menatap ayahnya yang sedang memandang Monique dengan tatapan sendu. Namun dia menyadari tatapan Viola. Pria itu berbalik dan menatap ke dalam matanya dengan kebijaksanaan dan kelembutan seorang ayah yang tak pernah Viola dapatkan sebelumnya. “Karena itulah kami bercerai. Aku bukanlah orang yang bisa membuat ibumu bahagia” Selama ini Viola bertanya tanya mengapa kedua orang tuanya bercerai. Tapi tak sekalipun ia mengira, bahkan bermimpi bahwa inilah alasannya. Kenapa dia baru diberitahu sekarang?! Dengan kondisi seperti ini.
  • 33. “Hentikan, Surya!” Rintih mamanya pelan. Surya menghampiri perempuan itu dan memapahnya menuju sofa di tengah ruangan tempat Viola tadi terbaring dan kini mematung. “Kau mau menyembunyikan itu dari putrimu sendiri, Monique?”, tanya pria itu sambil mengangkat alis setelah sebelumnya dia memesankan latte untuk Monique. Dia mengibaskan sebelah tangannya sambil lalu kearah Viola lalu ikut ikutan menghempaskan diri di sebelah Monique. “Terlambat lebih baik daripada tidak sama sekali”, katanya lambat lambat. Monique menatap mantan suaminya lamat lamat. Dia menghembuskan nafas berat. Viola mengamati ekspresi ibunya. Ekspresi perempuan itu.. Lega? Dia juga melihat bahwa ibunya kini mendongak menatap lurus lurus kepada dia dan Hime. “Sebenarnya aku sudah tahu sejak setahun yang lalu. Aku sudah menduganya” Viola berlutut di dekat kaki ibunya. Matanya tidak lepas dari perempuan itu. “Aku tidak sengaja melihat sebuah foto. Dibaliknya ada tulisanmu. My princes”. Viola berjegit mendengarnya. Mencela dirinya sendiri. Bagaimana dia bisa seteledor itu?! Monique mengangkat bahu tidak peduli. “Aku tahu apa yang kaurasakan karena aku juga sepertimu” Jadi benar apa yang dikatakan ayahnya tadi. “Maaf, seharusnya aku memberitahumu begitu aku tahu” Monique menyentuh tangan viola. “Tapi seharusnya kau juga mengaku kepadaku, dan mengenalkan dia padaku” Monique pura pura kesal, mengerling dan mengedip kepada Hime. Viola tertawa, memeluk kekasihnya. Tugas terberatnya untuk mengaku telah selesai. Mamanya tiba tiba menoleh ke arah mantan suaminya. “Jadi kau sudah kenal, Viola?” Dilihatnya ayahnya tertawa. “Tidak juga”, katanya setelah berpikir. Pria itu masih sedikit terkekeh ketika melanjutkan ceritanya dengan nada hampa. “Dia memberiku konseling tadi” Viola mengangkat alis. Memangnya apa yang dia lakukan pada papanya? “Konseling?”
  • 34. “Ya, dia meracau ketika mabuk. Dan bisa dibilau, omongannya yang sedikit melantur itu justru menyadarkanku akan banyak hal. Dan sepertinya aku harus berterimakasih padanya”. Surya menatap Viola sungguh sungguh “Terimakasih, Vio” Seorang pelayan datang. Menyuguhkan latte yang tadi dipesan Surya untuk Monique. Viola melihat Surya mengamati perempuan itu. Wajahnya yang tadi tenang kini berkerut kerut sedih, seakan pelayan yang sedang hamil itu mengingatkan Surya pada sebuah tragedi yang membuat hatinya terluka. “Kau punya adik, Vio. Namanya Melody Nirwana. Dia anak dari almarhum istri keduaku. Well, dia kabur dari rumah karena aku memaksanya untuk tidak menikah dengan seorang pria yang menurutku tidak pantas untuknya. Dia tidak akan kembali ke jika aku belum merestuinya”, Surya bercerita sedih. Suaranya pecah ketika mengucapkan kalimat terakhir. “Dia sudah hamil”, tembahnya. Matanya berkaca kaca. “Apakah yang bapak maksud, Melody Pelangi Nirwana?”, tanya sebuah suara. Viola menoleh sama seperti yang lainnya. Dilihatnya pelayan yang tadi akan berbalik kembali ke konter kini berdiri terpaku menatap Surya dengan sikap tak percaya. Surya mengerjap bingung, namun mengangguk dalam dalam. “Kau mengenalnya?”, tanya Surya bingung. “Ya, saya kenal baik Melody” Surya terlonjak berdiri, kini sebuah harapan menyaput wajahnya yang sarat kesedihan. Dia bertanya cepat cepat kepada si pelayan, “Apa kau tahu dimana dia? Aku harus meminta maaf padanya. Aku harus memberitahunya..” “Itu tidak perlu. Saya yakin dia sedang dalam perjalanan menuju kemari” ***
  • 35. Rights of Judgement Dia sedang dalam perjalanan menuju kesini. Kesini? Ke tempat ini? Tapi bagaimana bisa? Surya menggeleng geleng tak mengerti. “Kami sama sama pegawai baru disini. Dia juga baru akan mulai bekerja hari ini. Shift nya akan dimulai jam 2” Surya cepat cepat menunduk dan melihat jam tangannya. 13.42. Delapan belas menit lagi. Delapan belas menit lagi dan Surya akan bertemu putrinya. Jantung Surya berpacu. Apa yang harus dia katakan pada Melody? “Jadi anda ayah Melody?” Surya mengangguk lambat lambat. Dia masih setengah tak percaya ketika ia kembali menghempaskan tubuhnya ke sofa. Lega. Namun juga gugup. Apa yang harus ia katakan? “Terlambat lebih baik daripada tidak melakukannya sama sekali”, didengarnya Viola berkata ragu ragu. Tersenyum menyemangatinya. Surya menatap putrinya yang lain. Dia sedang duduk di sofa tepat di seberang Surya duduk, dan dia sedang menatap balik kedalam matanya. Surya menghela nafas panjang. Menenangkan diri. “Benar. Lebih baik terlambat daripada tidak mencobanya sama sekali ” Surya memang sudah terlambat. Dia tidak tahu apakah Melody akan memaafkan dan menerimanya, sama seperti dia menerima dan memaafkan putrinya itu. Tapi, jika Melody menolaknya. Jikapun Surya gagal, setidaknya dia sudah pernah mencoba.Dia tidak akan menuntut apa apa. Surya hanya ingin putrinya bahagia. “Aku akan membiarkannya melakukan apapun yang ingin dia lakukan, jika itu membuatnya bahagia”
  • 36. Ya! Itu lah yang akan dilakukannya. Dia akan memberitahu putrinya kalau dia benar benar menyesal. Dia akan memintanya memaafkan dia yang sebegini terlambat untuk menyadari sikap egoisnya. Surya sadar, sikap diktatornya hanya mendatangkan kesedihan baik bagi dia ataupun putrinya. Surya mendesah. Betapa tercela sikapnya kepada putri kecilnya dulu. Surya mendongak menatap keseberang meja. Ke arah Viola yang sedang mengenalkan Hime kepada ibunya. Perempuan itu menggenggam tangan kekasihnya erat erat tanpa ragu lagi. Sementara Monique memeluk hime hangat. Keikhlasan terpancar terang dari wajahnya. Menghapus bersih kekecewaan yang tadi sempat ada. Monique ikhlas dengan kondisi putrinya. Dan kini giliran Surya. Manusia memiliki haknya untuk memilih tiap jalan yang akan mereka tempuh. Seaneh, setidaknormal, ataupun seajaib apapun jalan itu. Mereka bebas untuk memilih. Karena ini adalah hidup mereka sendiri. Dan mereka berhak untuk bahagia. Terkutuklah manusia yang seenaknya merampas hak itu. Dan hal itu berlaku juga untuknya. Seorang orang tua yang menghendaki yang terbaik untuk anaknya. Tapi apakah selalu yang dikiranya terbaik juga terbaik untuk anaknya? Tidak. Yang perlu ia lakukan sebagai orang tua adalah mendidik putrinya, menuntunnya ke persimpangan jalan. Hanya menuntun, tidak memilihkan jalan untuknya. Dan untuk itu, Surya telah berusaha sebisanya. Tapi dia tidak akan menjadi hakim untuk anaknya. Tidak lagi. Cklek.. Pintu berdenting terbuka. Seorang perempuan mungil masuk dengan pakaian trainee putih hitamnya. Perempuan itu membuka pintu lebar lebar ketika ia masuk dengan tubuh tak proporsionalnya. Angin berhembus masuk menyelimuti seisi bistro dan membawa aroma khas gerimis hujan dari luar. Angin baru yang seakan ditiup dari samudra kebahagian.
  • 37. Surya menghambur memeluk perempuan itu. Merengkuhnya kedalam dekapannya. Perempuan itu terkejut tapi tidak melepaskan diri. Dia mengenali pria itu. “papa.. ?” ***
  • 38. Last Call Mata Senja berkabut. Ujung ujungnya bahkan tak tahan menahan air mata yang meleleh begitu saja. Melihat seorang ayah yang memeluk meminta maaf pada putrinya itu begitu membuat Senja terharu. Ayah yang mengabaikan semua keegoisan dan otoriter dalam dirinya. Ayah yang akhirnya menyadari apa yang seharusnya dialakukan walaupun ia setengah terlambat. Tapi tidakada kata terlambat untuk memulai hal yang baru. Melody telah mengawali hidupnya. Memang tidak sedini yang dia harapkan. Tapi toh Senja tahu dia tidak akan mengeluh. Terlambat masih lebih baik daripada tidak sama sekali. Kini Melody sudah berbaikan dengan ayahnya. Kapankah giliran Senja? Dia kabur dari rumah seperti Melody. Kabur dengan keyakinan mereka sendiri. Mereka memulai hidup di petak kamar kos yang kecil bersama kekasih yang telah mereka pilih. Meninggalkan semua kenyamanan istana yang bagaikan penjara. Memilih hidup sederhana dan bahagia, daripada harus kaya namun selalu harus berpura pura. Mereka memilih keegoisan mereka dan menghancurkan hati orang tua mereka. Walaupun tindakan itu juga menghancurkan hati Senja. Dia tidak ingin menghancurkan hati ayahnya. Tapi dia telah melakukannya. 7 Bulan yang lalu. Senja menatap Melody lekat lekat. Selama ini Senja dan Melody selalu bersama sama. Mereka teman yang saling mengerti. Saling berbagi. Mereka berdua punya latar belakang dan cerita yang hampir sama. Duka dan kesamaan nasib membuat mereka dekat. Mereka sudah sering saling merasakan duka yang lain. Meraka hafal rasa bersalah masing masing. Rasa bersalah yang tak kunjung hilang, dan semakin besar seiring waktu.
  • 39. Tapi kini Senja tahu, rasa bersalah dan tertekan itu hilang dari wajah sahabatnya. Tidak ada ekspresi lain disana selain bahagia. Sempurna bahagia. Apakah Senja bisa mendapatkan kebahagiaan yang sama? Bagaimana caranya? Senja menggigit bibir. Mengusap usap ujung apronnya yang tadi sedikit ketumpahan latte yang dipesan ayah melody untuk mantan istrinya. Kata kata pria itu menggaung didalam kepalanya. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Senja tersenyum kepada dirinya sendiri. Seharusnya sudah lama sekali dia melakukan hal ini. Sudah seharusnya dia memulai satu langkah baru. Langkah kecil untuk maju menuju kedewasaannya. Menjadi perempuan yang lebih bijaksana. Senja mungkin tidak bisa mundur dari pilihannya ini, dan dia tidak ingin. Dia sudah begitu lama menunggu hingga mencapai titik ini. Senja meraih ponsel di kantongnya. Memencet serangkai nomor yang sudah lama ingin ia hubungi lalu menempelkan benda itu ditelinganya. Senja menahan nafas sambil menunggu sampai sebuah suara terdengar diujung sana. “halo?!” Senja tersenyum lega mendengar suara berat itu. Hatinya tidak lagi merasa ragu. “Papa ?” Terlambat lebih baik daripada tidak sama sekali ***