SlideShare a Scribd company logo
1 of 8
JENDELA NURANI




              Hidayat di mata Salsabila


Wajah Abil begitu bening, tenang, dan penuh kelembutan. Sepasang bola

matanya yang bulat dan lengkung alisnya bak mantra. Menenteramkan siapa pun

yang menatapnya. Salsabila, begitu nama lengkapnya tampak keluar dari rumah

mungil di sudut jalan itu, menuju pekarangan rumahnya yang ditumbuhi banyak

bunga anggrek. Hangat matahari menyingkap kilau di rambutnya. Dari celah-

celah bunga anggrek, tetangkap sosok lelaki bertopi dari kedua matanya. Lelaki

itu berada sekitar tiga rumah dari rumahnya. Cahaya matanya seolah membuka

cakrawala seorang salsabila. Dia adalah Hidayat, sosok yang begitu dinanti abil

di setiap pagi.




Pekarangan indah milik Abil yang selalu dirawat dan dijaga kesegaran bunga-

bunganya yang mekar, menularkan kesegaran di wajah abil. Gadis itu sengaja

mandi pagi-pagi dan bersiap menyirami anggrek-anggreknya yang sedang

bermekaran. Di sudut sana tercium aroma tanah basah bekas guyuran hujan

semalaman. Mencuri pandang pada Hidayat, lelaki kurus, dengan hidung

mencuat, bibir tipis dan jarang sekali berbincang. Ketampanan lelaki itu seolah

terselubung sepi, dia sangat pendiam sekali. Lelaki itu tinggal di rumah besar

yang luas dan terpelihara, tapi sayang ia terlambat menikah. Abil sering

menatap matanya yang memantulkan keteduhan tanah yang ditumbuhi rumput,

dan bunga-bunga liar.



Tatapan Abil pada Hidayat sering kali dilakukannya dengan diam-diam,

mengobati rasa gundah di hati. Hidayat seperti hidup sendirian, setelah

ditinggal ibunya yang pergi begitu saja saat ia berusia delapan tahun. Abil

selalu memandangi lelaki itu sejak kecil, mereka bertetangga tapi tak pernah
JENDELA NURANI




saling berbicara. Lelaki itu rutin bekerja, mengaji ke surau setiap harinya,

sering berpapasan tapi selalu tanpa senyum, tanpa berbincang-bincang.




Ayah Hidayat, agak sedikit aneh. Lelaki tua itu sering keluyuran di malam hari.

Kepalanya yang dipenuhi uban, Separuh wajah bagian kanan menghitam seperti

bekas luka bakar. Ia selalu bepergian tiap malam, mencari lawan berjudi dan

Mabuk. Berbicara melantur, sering berteriak-teriak menembus kabut dini hari.

Melihat sosok ayah yang seperti itu, lambat laun Abil mulai paham, dan ia

takjub, melihat Hidayat tumbuh dengan sendirinya, di rumah besar yang luas,

peninggalan kakeknya.



Di tengah gerimis sewaktu senja, terdengar cicitan burung di sawah belakang

rumah abil dan lantunan suara anak-anak yang sedang mengaji dari surau

diujung jalan. Ayah Hidayat mengetuk pintu rumah Abil, perlahan dan sopan.

Suaranya yang berat dan terbatah-batah mengucapkan salam. Abil bergegas

dengan sedikit berlari membukakan pintu dan dengan sedikit gugup meminta

lelaki berambut putih itu duduk di ruang tamu.



"Nak, tolong panggilkan ayah dan ibumu," pinta ayah Hidayat. Abil memandangi

ayah Hidayat penuh rasa takut dan gemetar. Tatapan lelaki tua itu begitu liar,

beringas, seperti akan menyerang. Abil pun hanya mengangguk dan berlalu

memanggil abahnya.



Mendengar panggilan Abil, Abah Hanif (ayah Abil), tersenyum tenang sambil

menghampiri ayahnya Hidayat.     "Aku juga ingin bicara dengan istrimu," kata

ayah Hidayat, dengan permohonan yang lembut. Mendengar itu dari dalam

kamar, Umi Nur (ibu Abil) menahan rasa takut, getar dalam dada. Siapa yang

mau berurusan dengan ayah Hidayat yang sangat dikenal kebringasannya. Tapi
JENDELA NURANI




guncangan tertahan itu akhirnya diredakannya, dan mencoba bergabung dalam

pertemuan itu.



tanpa basa basi ayah Hidayat langsung berkata "Begini, Abah Hanif. Saya

datang sore ini untuk meminang Salsabila bagi anak saya Hidayat. Saya sudah

tua, saya tidak bisa memberikan apa pun bagi anak saya itu, kecuali

mencarikannya jodoh." Setelah itu dia tampak terdiam, cukup lama. Belahan

wajah hitam ayah Hidayat seperti bara terhembus angin. Lelaki tua itu

mengambil napas, dan meredakan rasa murka, kemudian dipandanginya Abah

Hanif yang tersenyum sambil menatapnya. Sosok yang bertolakbelakang dengan

dirinya, santun, sopan, lembut dan panutan banyak warga.




"Jawabannya sudah tentu akan aku serahkan pada Abil," sahut Abah Hanif,

teduh dan syahdu. Dengan buru-buru Umi Nur menyambut. "Maaf, Aku minta

waktu agar anak gadisku cukup matang, karena dia terlalu muda untuk menikah"



Lelaki berambut memutih dengan belahan wajah hitam itu tampak teduh dan

tenteram. Memandangi Abah Hanif dan Umi Nur secara bergantian, seperti

mencari kepastian. Tiap saat ia menatap wajah Abah Hanif yang tersenyum,

bara dalam belahan wajahnya padam seketika. Tiap saat ia menatap wajah Umi

Nur yang menegang, bara dalam belahan wajahnya kembali menyala. Terhenti ia

pada segaris senyum Abah Hanif, yang tulus, dan tak dibuat-buat. Lelaki tua itu

menunduk. Terus tersenyum.



Ayah Hidayat berdiam diri. Memandangi lagi Abah Hanif. Mencari keyakinan.

Ayah Hidayat mengangguk-angguk. Bangkit. Mohon diri. Mengulurkan tangan.

Menyalami Abah Hanif. Berpamitan. Bukan sekadar bersalaman. Ayah Hidayat

mencium tangan Abah Hanif. Tertetes sepercik air mata di punggung tangan

Abah Hanif.
JENDELA NURANI




Dari surau masih terdengar samar suara anak-anak mengaji. Abah Hanif

berdiam diri di meja makan sambil menikmati pisang goreng kesukaannya,

sedikit tidak berselera. Dipandanginya anak dan istrinya yang terdiam tanpa

suara.



Telah mengering sepercik air mata di punggung tangan Abah Hanif. Tapi tangan

itu tak segera dicucinya. Tapi justru menampakkan rautan renungan dalam

wajahnya, terutama di sekitar mata.



"Bah, Apa yang Abah risaukan?" tegur Abil, pelan.



Beliau menjawab "Bagaimana aku menolak lamaran ayah Hidayat?"



"Kenapa mesti ditolak?" sahut Abil



Abah hanif terbatuk dan spontan menatap Abil "Kau menerimanya?"



"Kalau Abah tau Hidayat seperti apa, tentu tak perlu bimbang macam ini."

Gumam Abil



"Jadi Kau menerima Hidayat?" ucap Abah Hanif dengan kerutan di keningnya



"Saya hanya meminta Abah melihat sisi terang pada diri Hidayat dan sisi baik

dari ayahnya.” Abil mencoba meyakinkan ayahnya.



“Ho-ho, kau selalu begitu!” beliau menatap Abil dalam.
JENDELA NURANI




Seketika, tersenyum dan cairlah rautan renungan dalam wajah Abah Hanif.

Lelaki itu mengambil pisang goreng dan memakannya dengan lahap. Tak ada lagi

percakapan, yang terdengar hanya sendawa Abah Hanif, berkali-kali.

                                 -----------------




 Sesuatu yang tak lazim, Hidayat memandang ayahnya bersarung, berpeci, dan

  terburu-buru melangkah ke surau menjelang magrib. Belum pernah Hidayat

   melihat wajah ayahnya sebening itu. Belahan wajah menghitam itu tak lagi

   membara. Belahan wajah itu seteduh lembayung senja di pematang sawah.



Malam hari ayah Hidayat memasuki rumah, pelan-pelan, diam-diam, tanpa suara.

Duduk di ruang tengah. Terbatuk. Menghirup kopi. Merokok. Termenung.

Sesekali mencuri-curi pandang ke arah anak lelakinya.

"Telah kulamar Abil untukmu," kata ayah Hidayat, berat, dan menunduk. Tak

tampak kerisauan pada wajah Hidayat. Tetap tenang, sambil menyemir

sepatunya.



Melihat ayah Hidayat bergegas ke surau, Umi Nur cemberut. Sesekali ia

mengerling ke arah lelaki tua itu. Tiap kali dilihatnya belahan hitam wajah lelaki

itu, dan tanpa sadar Umi Nur pun bergidik ketakutan. Buru-buru ia

meninggalkan surau. Sesaat suasana hening dan kembali sunyi.




Tiap kali datang orang baru ke surau milik mereka, Umi selalu menyambut

dengan mata bercahaya. Kali ini lain. Dadanya berdegup. Meletup-letup. Tak

bisa dibayangkannya, Abil, anak gadisnya, hidup serumah dengan lelaki beringas,

yang selalu membawa cacian di tengah kemabukannya yang murka ke rumah.
JENDELA NURANI




"Ayah Hidayat itu, uh, mengapa selalu datang ke surau?" gerutu Umi.



"Mestinya Umi merasa senang. Dia datang ke surau kita. Bukannya mabuk,"

tukas Abil, mencengangkan.




"Dia berbuat begitu lantaran ingin meminangmu, jadi cari muka deh." Jawab

Umi Nur sinis



"Astaghfirullah Umi.. Ini lebih baik, daripada dia keluyuran malam, mabuk dan

berjudi." Tukas Abil



Subuh keempat puluh ayah Hidayat berkunjung ke surau. Burung-burung

beterbangan, bercericit, hinggap-terbang, hinggap dan terbang lagi di pohon

mangga itu. Langit masih gelap, dan burung-burung itu luput dari perhatian

orang-orang yang bergegas ke surau.



Tak sekali pun ayah Hidayat bertanya kepada Abah Hanif mengenai pernikahan

anak lelakinya dengan Abil. Dalam diam bersimpuh, dia biasa terisak-isak,

dengan   mata   terpejam     memanjatkan     doa.   Tatkala   orang-orang   sudah

meninggalkan surau, dia masih bersimpuh sendirian. Lama, hingga matahari

berkilau menghangati hamparan tikar surau. Lelaki tua itu pelan, bangkit.



Kali ini, dalam dingin kabut dini hari, ayah Hidayat telah menyempurnakan

ketenteraman    wajahnya     dari   pergolakan.   Belahan   hitam   wajahnya   tak

menyeramkan, serupa lumpur sawah yang digenangi air: rata, datar, menyimpan

anugerah alam. Orang-orang di surau mulai menerima kehadiran lelaki tua itu.

Tak lagi menatap dengan selidik dan tatapan curiga.
JENDELA NURANI




Di tengah-tengah suara orang berdoa, sehabis shalat subuh, ayah Hidayat tak

dapat menahan tubuh. Tersungkur. Tiada lagi napas mengembus dari hidungnya.

Ia rebah dengan tangan masih menggenggam tasbih. Tubuhnya terjerembap.

Tidak menggelepar. Tubuh itu terburu, kehilangan napas pelan-pelan, di antara

orang- orang yang bersimpuh doa. Mula-mula orang-orang tak menduga lelaki

tua itu direnggut ajal. Tapi kemudian orang-orang terperanjat, gugup dan

tercengang.



Kini orang-orang mulai melihat cericit burung-burung yang tak terhitung

banyaknya, berkitar-kitar terbang di puncak pohon mangga, di belakang surau

milik keluarga Abah Hanif. Dalam sekejap, sangat cepat burung-burung itu

hinggap di dahan dan ranting pohon mangga. Tak lagi mengepakkan sayap. Tak

lagi bercericit gaduh.



Sepasang kupu-kupu kuning terbang di atas kepala Hidayat. Abil sangat gemas,

ingin menangkap sepasang kupu-kupu itu. Selalu dilihatnya tiap pagi, diam-diam

di kebun anggrek yang menyembunyikan wajah dan tubuhnya, kupu-kupu di atas

kepala Hidayat. Lelaki itu berangkat ke kantor. Berjalan kaki. Selalu berjalan

kaki ke mana pun pergi. Dan sepasang kupu-kupu itu mengantarkannya

menyusuri jalan berumput pada pagi berkabut, saat embun meraup tersengat

matahari.



Abah Hanif diam-diam memperhatikan perilaku anak gadisnya. Sambil minum

teh, menghisap pipa rokok, saat matahari menghangat, dia menemukan anak

gadisnya turun ke kebun anggrek samping rumah, hanya untuk melihat Hidayat.

meninggalkan rumah, berjalan kaki, diiringi kupu-kupu. Mengapa sepasang kupu-

kupu? Dalam jarak yang begitu jauh, sepasang kupu-kupu itu terus mengitari

kepala Hidayat.
JENDELA NURANI




Kepergok Abah Hanif memasuki rumah, Abil tersipu-sipu. Terhenti. Menanti

teguran.



"Apa Abah mesti menegur Hidayat, bagaimana kelanjutan lamaran ayahnya

dulu?"



"Biar Hidayat sendiri yang menentukan," tukas Abil tenang.

"Abah jangan salah sangka. Aku cuma suka memandangi sepasang matanya.

Sungguh aneh mata itu, selalu memancarkan alam yang lembut dan tanpa

dendam. Aku suka memandanginya, itu saja, tidak lebih."

More Related Content

Viewers also liked

Faktor-faktor yang mempengaruhi pembelian suatu produk
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembelian suatu produkFaktor-faktor yang mempengaruhi pembelian suatu produk
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembelian suatu produkTia Darmayanti
 
Etat des nageurs à récompenser mai 2013
Etat des nageurs à récompenser mai 2013Etat des nageurs à récompenser mai 2013
Etat des nageurs à récompenser mai 2013Boumaiza Zied
 
"Веселка"- 2013р
"Веселка"- 2013р"Веселка"- 2013р
"Веселка"- 2013рlyudamchu
 
Ruta de betanzos a ortigueira
Ruta de betanzos a ortigueiraRuta de betanzos a ortigueira
Ruta de betanzos a ortigueiracsalasbarriga
 
Questionari experiments (fòrum)
Questionari experiments (fòrum)Questionari experiments (fòrum)
Questionari experiments (fòrum)marmonicaalba
 
Presentacion costo beneficio
Presentacion costo beneficioPresentacion costo beneficio
Presentacion costo beneficiojailander2
 
Tema 8.2 la iiª república-bienio republicano- azañista (1931-1933).juan carl...
Tema 8.2  la iiª república-bienio republicano- azañista (1931-1933).juan carl...Tema 8.2  la iiª república-bienio republicano- azañista (1931-1933).juan carl...
Tema 8.2 la iiª república-bienio republicano- azañista (1931-1933).juan carl...jjsg23
 
05 relatorio-da-comissao-de-avaliacao
05 relatorio-da-comissao-de-avaliacao05 relatorio-da-comissao-de-avaliacao
05 relatorio-da-comissao-de-avaliacaoredeminastv
 

Viewers also liked (20)

Faktor-faktor yang mempengaruhi pembelian suatu produk
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembelian suatu produkFaktor-faktor yang mempengaruhi pembelian suatu produk
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembelian suatu produk
 
En guadalinfo he aprendido..
En guadalinfo he aprendido..En guadalinfo he aprendido..
En guadalinfo he aprendido..
 
Etat des nageurs à récompenser mai 2013
Etat des nageurs à récompenser mai 2013Etat des nageurs à récompenser mai 2013
Etat des nageurs à récompenser mai 2013
 
La Batalla dels Sistemes Operatius
La Batalla dels Sistemes OperatiusLa Batalla dels Sistemes Operatius
La Batalla dels Sistemes Operatius
 
Wiki
WikiWiki
Wiki
 
Geometria plana resoluções
Geometria plana resoluçõesGeometria plana resoluções
Geometria plana resoluções
 
Angry birds
Angry birdsAngry birds
Angry birds
 
Lula compracomputador
Lula compracomputadorLula compracomputador
Lula compracomputador
 
"Веселка"- 2013р
"Веселка"- 2013р"Веселка"- 2013р
"Веселка"- 2013р
 
Catalogo1_ADEUC
Catalogo1_ADEUCCatalogo1_ADEUC
Catalogo1_ADEUC
 
Ruta de betanzos a ortigueira
Ruta de betanzos a ortigueiraRuta de betanzos a ortigueira
Ruta de betanzos a ortigueira
 
Questionari experiments (fòrum)
Questionari experiments (fòrum)Questionari experiments (fòrum)
Questionari experiments (fòrum)
 
Criteris 193
Criteris 193Criteris 193
Criteris 193
 
Maialen
MaialenMaialen
Maialen
 
Revisteta3 a
Revisteta3 aRevisteta3 a
Revisteta3 a
 
Presentacion costo beneficio
Presentacion costo beneficioPresentacion costo beneficio
Presentacion costo beneficio
 
Tema 8.2 la iiª república-bienio republicano- azañista (1931-1933).juan carl...
Tema 8.2  la iiª república-bienio republicano- azañista (1931-1933).juan carl...Tema 8.2  la iiª república-bienio republicano- azañista (1931-1933).juan carl...
Tema 8.2 la iiª república-bienio republicano- azañista (1931-1933).juan carl...
 
Festa junina hf 2013 artcon
Festa junina hf 2013 artconFesta junina hf 2013 artcon
Festa junina hf 2013 artcon
 
Els dinosaures
Els dinosauresEls dinosaures
Els dinosaures
 
05 relatorio-da-comissao-de-avaliacao
05 relatorio-da-comissao-de-avaliacao05 relatorio-da-comissao-de-avaliacao
05 relatorio-da-comissao-de-avaliacao
 

Hidayat dimata salsabila

  • 1. JENDELA NURANI Hidayat di mata Salsabila Wajah Abil begitu bening, tenang, dan penuh kelembutan. Sepasang bola matanya yang bulat dan lengkung alisnya bak mantra. Menenteramkan siapa pun yang menatapnya. Salsabila, begitu nama lengkapnya tampak keluar dari rumah mungil di sudut jalan itu, menuju pekarangan rumahnya yang ditumbuhi banyak bunga anggrek. Hangat matahari menyingkap kilau di rambutnya. Dari celah- celah bunga anggrek, tetangkap sosok lelaki bertopi dari kedua matanya. Lelaki itu berada sekitar tiga rumah dari rumahnya. Cahaya matanya seolah membuka cakrawala seorang salsabila. Dia adalah Hidayat, sosok yang begitu dinanti abil di setiap pagi. Pekarangan indah milik Abil yang selalu dirawat dan dijaga kesegaran bunga- bunganya yang mekar, menularkan kesegaran di wajah abil. Gadis itu sengaja mandi pagi-pagi dan bersiap menyirami anggrek-anggreknya yang sedang bermekaran. Di sudut sana tercium aroma tanah basah bekas guyuran hujan semalaman. Mencuri pandang pada Hidayat, lelaki kurus, dengan hidung mencuat, bibir tipis dan jarang sekali berbincang. Ketampanan lelaki itu seolah terselubung sepi, dia sangat pendiam sekali. Lelaki itu tinggal di rumah besar yang luas dan terpelihara, tapi sayang ia terlambat menikah. Abil sering menatap matanya yang memantulkan keteduhan tanah yang ditumbuhi rumput, dan bunga-bunga liar. Tatapan Abil pada Hidayat sering kali dilakukannya dengan diam-diam, mengobati rasa gundah di hati. Hidayat seperti hidup sendirian, setelah ditinggal ibunya yang pergi begitu saja saat ia berusia delapan tahun. Abil selalu memandangi lelaki itu sejak kecil, mereka bertetangga tapi tak pernah
  • 2. JENDELA NURANI saling berbicara. Lelaki itu rutin bekerja, mengaji ke surau setiap harinya, sering berpapasan tapi selalu tanpa senyum, tanpa berbincang-bincang. Ayah Hidayat, agak sedikit aneh. Lelaki tua itu sering keluyuran di malam hari. Kepalanya yang dipenuhi uban, Separuh wajah bagian kanan menghitam seperti bekas luka bakar. Ia selalu bepergian tiap malam, mencari lawan berjudi dan Mabuk. Berbicara melantur, sering berteriak-teriak menembus kabut dini hari. Melihat sosok ayah yang seperti itu, lambat laun Abil mulai paham, dan ia takjub, melihat Hidayat tumbuh dengan sendirinya, di rumah besar yang luas, peninggalan kakeknya. Di tengah gerimis sewaktu senja, terdengar cicitan burung di sawah belakang rumah abil dan lantunan suara anak-anak yang sedang mengaji dari surau diujung jalan. Ayah Hidayat mengetuk pintu rumah Abil, perlahan dan sopan. Suaranya yang berat dan terbatah-batah mengucapkan salam. Abil bergegas dengan sedikit berlari membukakan pintu dan dengan sedikit gugup meminta lelaki berambut putih itu duduk di ruang tamu. "Nak, tolong panggilkan ayah dan ibumu," pinta ayah Hidayat. Abil memandangi ayah Hidayat penuh rasa takut dan gemetar. Tatapan lelaki tua itu begitu liar, beringas, seperti akan menyerang. Abil pun hanya mengangguk dan berlalu memanggil abahnya. Mendengar panggilan Abil, Abah Hanif (ayah Abil), tersenyum tenang sambil menghampiri ayahnya Hidayat. "Aku juga ingin bicara dengan istrimu," kata ayah Hidayat, dengan permohonan yang lembut. Mendengar itu dari dalam kamar, Umi Nur (ibu Abil) menahan rasa takut, getar dalam dada. Siapa yang mau berurusan dengan ayah Hidayat yang sangat dikenal kebringasannya. Tapi
  • 3. JENDELA NURANI guncangan tertahan itu akhirnya diredakannya, dan mencoba bergabung dalam pertemuan itu. tanpa basa basi ayah Hidayat langsung berkata "Begini, Abah Hanif. Saya datang sore ini untuk meminang Salsabila bagi anak saya Hidayat. Saya sudah tua, saya tidak bisa memberikan apa pun bagi anak saya itu, kecuali mencarikannya jodoh." Setelah itu dia tampak terdiam, cukup lama. Belahan wajah hitam ayah Hidayat seperti bara terhembus angin. Lelaki tua itu mengambil napas, dan meredakan rasa murka, kemudian dipandanginya Abah Hanif yang tersenyum sambil menatapnya. Sosok yang bertolakbelakang dengan dirinya, santun, sopan, lembut dan panutan banyak warga. "Jawabannya sudah tentu akan aku serahkan pada Abil," sahut Abah Hanif, teduh dan syahdu. Dengan buru-buru Umi Nur menyambut. "Maaf, Aku minta waktu agar anak gadisku cukup matang, karena dia terlalu muda untuk menikah" Lelaki berambut memutih dengan belahan wajah hitam itu tampak teduh dan tenteram. Memandangi Abah Hanif dan Umi Nur secara bergantian, seperti mencari kepastian. Tiap saat ia menatap wajah Abah Hanif yang tersenyum, bara dalam belahan wajahnya padam seketika. Tiap saat ia menatap wajah Umi Nur yang menegang, bara dalam belahan wajahnya kembali menyala. Terhenti ia pada segaris senyum Abah Hanif, yang tulus, dan tak dibuat-buat. Lelaki tua itu menunduk. Terus tersenyum. Ayah Hidayat berdiam diri. Memandangi lagi Abah Hanif. Mencari keyakinan. Ayah Hidayat mengangguk-angguk. Bangkit. Mohon diri. Mengulurkan tangan. Menyalami Abah Hanif. Berpamitan. Bukan sekadar bersalaman. Ayah Hidayat mencium tangan Abah Hanif. Tertetes sepercik air mata di punggung tangan Abah Hanif.
  • 4. JENDELA NURANI Dari surau masih terdengar samar suara anak-anak mengaji. Abah Hanif berdiam diri di meja makan sambil menikmati pisang goreng kesukaannya, sedikit tidak berselera. Dipandanginya anak dan istrinya yang terdiam tanpa suara. Telah mengering sepercik air mata di punggung tangan Abah Hanif. Tapi tangan itu tak segera dicucinya. Tapi justru menampakkan rautan renungan dalam wajahnya, terutama di sekitar mata. "Bah, Apa yang Abah risaukan?" tegur Abil, pelan. Beliau menjawab "Bagaimana aku menolak lamaran ayah Hidayat?" "Kenapa mesti ditolak?" sahut Abil Abah hanif terbatuk dan spontan menatap Abil "Kau menerimanya?" "Kalau Abah tau Hidayat seperti apa, tentu tak perlu bimbang macam ini." Gumam Abil "Jadi Kau menerima Hidayat?" ucap Abah Hanif dengan kerutan di keningnya "Saya hanya meminta Abah melihat sisi terang pada diri Hidayat dan sisi baik dari ayahnya.” Abil mencoba meyakinkan ayahnya. “Ho-ho, kau selalu begitu!” beliau menatap Abil dalam.
  • 5. JENDELA NURANI Seketika, tersenyum dan cairlah rautan renungan dalam wajah Abah Hanif. Lelaki itu mengambil pisang goreng dan memakannya dengan lahap. Tak ada lagi percakapan, yang terdengar hanya sendawa Abah Hanif, berkali-kali. ----------------- Sesuatu yang tak lazim, Hidayat memandang ayahnya bersarung, berpeci, dan terburu-buru melangkah ke surau menjelang magrib. Belum pernah Hidayat melihat wajah ayahnya sebening itu. Belahan wajah menghitam itu tak lagi membara. Belahan wajah itu seteduh lembayung senja di pematang sawah. Malam hari ayah Hidayat memasuki rumah, pelan-pelan, diam-diam, tanpa suara. Duduk di ruang tengah. Terbatuk. Menghirup kopi. Merokok. Termenung. Sesekali mencuri-curi pandang ke arah anak lelakinya. "Telah kulamar Abil untukmu," kata ayah Hidayat, berat, dan menunduk. Tak tampak kerisauan pada wajah Hidayat. Tetap tenang, sambil menyemir sepatunya. Melihat ayah Hidayat bergegas ke surau, Umi Nur cemberut. Sesekali ia mengerling ke arah lelaki tua itu. Tiap kali dilihatnya belahan hitam wajah lelaki itu, dan tanpa sadar Umi Nur pun bergidik ketakutan. Buru-buru ia meninggalkan surau. Sesaat suasana hening dan kembali sunyi. Tiap kali datang orang baru ke surau milik mereka, Umi selalu menyambut dengan mata bercahaya. Kali ini lain. Dadanya berdegup. Meletup-letup. Tak bisa dibayangkannya, Abil, anak gadisnya, hidup serumah dengan lelaki beringas, yang selalu membawa cacian di tengah kemabukannya yang murka ke rumah.
  • 6. JENDELA NURANI "Ayah Hidayat itu, uh, mengapa selalu datang ke surau?" gerutu Umi. "Mestinya Umi merasa senang. Dia datang ke surau kita. Bukannya mabuk," tukas Abil, mencengangkan. "Dia berbuat begitu lantaran ingin meminangmu, jadi cari muka deh." Jawab Umi Nur sinis "Astaghfirullah Umi.. Ini lebih baik, daripada dia keluyuran malam, mabuk dan berjudi." Tukas Abil Subuh keempat puluh ayah Hidayat berkunjung ke surau. Burung-burung beterbangan, bercericit, hinggap-terbang, hinggap dan terbang lagi di pohon mangga itu. Langit masih gelap, dan burung-burung itu luput dari perhatian orang-orang yang bergegas ke surau. Tak sekali pun ayah Hidayat bertanya kepada Abah Hanif mengenai pernikahan anak lelakinya dengan Abil. Dalam diam bersimpuh, dia biasa terisak-isak, dengan mata terpejam memanjatkan doa. Tatkala orang-orang sudah meninggalkan surau, dia masih bersimpuh sendirian. Lama, hingga matahari berkilau menghangati hamparan tikar surau. Lelaki tua itu pelan, bangkit. Kali ini, dalam dingin kabut dini hari, ayah Hidayat telah menyempurnakan ketenteraman wajahnya dari pergolakan. Belahan hitam wajahnya tak menyeramkan, serupa lumpur sawah yang digenangi air: rata, datar, menyimpan anugerah alam. Orang-orang di surau mulai menerima kehadiran lelaki tua itu. Tak lagi menatap dengan selidik dan tatapan curiga.
  • 7. JENDELA NURANI Di tengah-tengah suara orang berdoa, sehabis shalat subuh, ayah Hidayat tak dapat menahan tubuh. Tersungkur. Tiada lagi napas mengembus dari hidungnya. Ia rebah dengan tangan masih menggenggam tasbih. Tubuhnya terjerembap. Tidak menggelepar. Tubuh itu terburu, kehilangan napas pelan-pelan, di antara orang- orang yang bersimpuh doa. Mula-mula orang-orang tak menduga lelaki tua itu direnggut ajal. Tapi kemudian orang-orang terperanjat, gugup dan tercengang. Kini orang-orang mulai melihat cericit burung-burung yang tak terhitung banyaknya, berkitar-kitar terbang di puncak pohon mangga, di belakang surau milik keluarga Abah Hanif. Dalam sekejap, sangat cepat burung-burung itu hinggap di dahan dan ranting pohon mangga. Tak lagi mengepakkan sayap. Tak lagi bercericit gaduh. Sepasang kupu-kupu kuning terbang di atas kepala Hidayat. Abil sangat gemas, ingin menangkap sepasang kupu-kupu itu. Selalu dilihatnya tiap pagi, diam-diam di kebun anggrek yang menyembunyikan wajah dan tubuhnya, kupu-kupu di atas kepala Hidayat. Lelaki itu berangkat ke kantor. Berjalan kaki. Selalu berjalan kaki ke mana pun pergi. Dan sepasang kupu-kupu itu mengantarkannya menyusuri jalan berumput pada pagi berkabut, saat embun meraup tersengat matahari. Abah Hanif diam-diam memperhatikan perilaku anak gadisnya. Sambil minum teh, menghisap pipa rokok, saat matahari menghangat, dia menemukan anak gadisnya turun ke kebun anggrek samping rumah, hanya untuk melihat Hidayat. meninggalkan rumah, berjalan kaki, diiringi kupu-kupu. Mengapa sepasang kupu- kupu? Dalam jarak yang begitu jauh, sepasang kupu-kupu itu terus mengitari kepala Hidayat.
  • 8. JENDELA NURANI Kepergok Abah Hanif memasuki rumah, Abil tersipu-sipu. Terhenti. Menanti teguran. "Apa Abah mesti menegur Hidayat, bagaimana kelanjutan lamaran ayahnya dulu?" "Biar Hidayat sendiri yang menentukan," tukas Abil tenang. "Abah jangan salah sangka. Aku cuma suka memandangi sepasang matanya. Sungguh aneh mata itu, selalu memancarkan alam yang lembut dan tanpa dendam. Aku suka memandanginya, itu saja, tidak lebih."