1. JENDELA NURANI
Hidayat di mata Salsabila
Wajah Abil begitu bening, tenang, dan penuh kelembutan. Sepasang bola
matanya yang bulat dan lengkung alisnya bak mantra. Menenteramkan siapa pun
yang menatapnya. Salsabila, begitu nama lengkapnya tampak keluar dari rumah
mungil di sudut jalan itu, menuju pekarangan rumahnya yang ditumbuhi banyak
bunga anggrek. Hangat matahari menyingkap kilau di rambutnya. Dari celah-
celah bunga anggrek, tetangkap sosok lelaki bertopi dari kedua matanya. Lelaki
itu berada sekitar tiga rumah dari rumahnya. Cahaya matanya seolah membuka
cakrawala seorang salsabila. Dia adalah Hidayat, sosok yang begitu dinanti abil
di setiap pagi.
Pekarangan indah milik Abil yang selalu dirawat dan dijaga kesegaran bunga-
bunganya yang mekar, menularkan kesegaran di wajah abil. Gadis itu sengaja
mandi pagi-pagi dan bersiap menyirami anggrek-anggreknya yang sedang
bermekaran. Di sudut sana tercium aroma tanah basah bekas guyuran hujan
semalaman. Mencuri pandang pada Hidayat, lelaki kurus, dengan hidung
mencuat, bibir tipis dan jarang sekali berbincang. Ketampanan lelaki itu seolah
terselubung sepi, dia sangat pendiam sekali. Lelaki itu tinggal di rumah besar
yang luas dan terpelihara, tapi sayang ia terlambat menikah. Abil sering
menatap matanya yang memantulkan keteduhan tanah yang ditumbuhi rumput,
dan bunga-bunga liar.
Tatapan Abil pada Hidayat sering kali dilakukannya dengan diam-diam,
mengobati rasa gundah di hati. Hidayat seperti hidup sendirian, setelah
ditinggal ibunya yang pergi begitu saja saat ia berusia delapan tahun. Abil
selalu memandangi lelaki itu sejak kecil, mereka bertetangga tapi tak pernah
2. JENDELA NURANI
saling berbicara. Lelaki itu rutin bekerja, mengaji ke surau setiap harinya,
sering berpapasan tapi selalu tanpa senyum, tanpa berbincang-bincang.
Ayah Hidayat, agak sedikit aneh. Lelaki tua itu sering keluyuran di malam hari.
Kepalanya yang dipenuhi uban, Separuh wajah bagian kanan menghitam seperti
bekas luka bakar. Ia selalu bepergian tiap malam, mencari lawan berjudi dan
Mabuk. Berbicara melantur, sering berteriak-teriak menembus kabut dini hari.
Melihat sosok ayah yang seperti itu, lambat laun Abil mulai paham, dan ia
takjub, melihat Hidayat tumbuh dengan sendirinya, di rumah besar yang luas,
peninggalan kakeknya.
Di tengah gerimis sewaktu senja, terdengar cicitan burung di sawah belakang
rumah abil dan lantunan suara anak-anak yang sedang mengaji dari surau
diujung jalan. Ayah Hidayat mengetuk pintu rumah Abil, perlahan dan sopan.
Suaranya yang berat dan terbatah-batah mengucapkan salam. Abil bergegas
dengan sedikit berlari membukakan pintu dan dengan sedikit gugup meminta
lelaki berambut putih itu duduk di ruang tamu.
"Nak, tolong panggilkan ayah dan ibumu," pinta ayah Hidayat. Abil memandangi
ayah Hidayat penuh rasa takut dan gemetar. Tatapan lelaki tua itu begitu liar,
beringas, seperti akan menyerang. Abil pun hanya mengangguk dan berlalu
memanggil abahnya.
Mendengar panggilan Abil, Abah Hanif (ayah Abil), tersenyum tenang sambil
menghampiri ayahnya Hidayat. "Aku juga ingin bicara dengan istrimu," kata
ayah Hidayat, dengan permohonan yang lembut. Mendengar itu dari dalam
kamar, Umi Nur (ibu Abil) menahan rasa takut, getar dalam dada. Siapa yang
mau berurusan dengan ayah Hidayat yang sangat dikenal kebringasannya. Tapi
3. JENDELA NURANI
guncangan tertahan itu akhirnya diredakannya, dan mencoba bergabung dalam
pertemuan itu.
tanpa basa basi ayah Hidayat langsung berkata "Begini, Abah Hanif. Saya
datang sore ini untuk meminang Salsabila bagi anak saya Hidayat. Saya sudah
tua, saya tidak bisa memberikan apa pun bagi anak saya itu, kecuali
mencarikannya jodoh." Setelah itu dia tampak terdiam, cukup lama. Belahan
wajah hitam ayah Hidayat seperti bara terhembus angin. Lelaki tua itu
mengambil napas, dan meredakan rasa murka, kemudian dipandanginya Abah
Hanif yang tersenyum sambil menatapnya. Sosok yang bertolakbelakang dengan
dirinya, santun, sopan, lembut dan panutan banyak warga.
"Jawabannya sudah tentu akan aku serahkan pada Abil," sahut Abah Hanif,
teduh dan syahdu. Dengan buru-buru Umi Nur menyambut. "Maaf, Aku minta
waktu agar anak gadisku cukup matang, karena dia terlalu muda untuk menikah"
Lelaki berambut memutih dengan belahan wajah hitam itu tampak teduh dan
tenteram. Memandangi Abah Hanif dan Umi Nur secara bergantian, seperti
mencari kepastian. Tiap saat ia menatap wajah Abah Hanif yang tersenyum,
bara dalam belahan wajahnya padam seketika. Tiap saat ia menatap wajah Umi
Nur yang menegang, bara dalam belahan wajahnya kembali menyala. Terhenti ia
pada segaris senyum Abah Hanif, yang tulus, dan tak dibuat-buat. Lelaki tua itu
menunduk. Terus tersenyum.
Ayah Hidayat berdiam diri. Memandangi lagi Abah Hanif. Mencari keyakinan.
Ayah Hidayat mengangguk-angguk. Bangkit. Mohon diri. Mengulurkan tangan.
Menyalami Abah Hanif. Berpamitan. Bukan sekadar bersalaman. Ayah Hidayat
mencium tangan Abah Hanif. Tertetes sepercik air mata di punggung tangan
Abah Hanif.
4. JENDELA NURANI
Dari surau masih terdengar samar suara anak-anak mengaji. Abah Hanif
berdiam diri di meja makan sambil menikmati pisang goreng kesukaannya,
sedikit tidak berselera. Dipandanginya anak dan istrinya yang terdiam tanpa
suara.
Telah mengering sepercik air mata di punggung tangan Abah Hanif. Tapi tangan
itu tak segera dicucinya. Tapi justru menampakkan rautan renungan dalam
wajahnya, terutama di sekitar mata.
"Bah, Apa yang Abah risaukan?" tegur Abil, pelan.
Beliau menjawab "Bagaimana aku menolak lamaran ayah Hidayat?"
"Kenapa mesti ditolak?" sahut Abil
Abah hanif terbatuk dan spontan menatap Abil "Kau menerimanya?"
"Kalau Abah tau Hidayat seperti apa, tentu tak perlu bimbang macam ini."
Gumam Abil
"Jadi Kau menerima Hidayat?" ucap Abah Hanif dengan kerutan di keningnya
"Saya hanya meminta Abah melihat sisi terang pada diri Hidayat dan sisi baik
dari ayahnya.” Abil mencoba meyakinkan ayahnya.
“Ho-ho, kau selalu begitu!” beliau menatap Abil dalam.
5. JENDELA NURANI
Seketika, tersenyum dan cairlah rautan renungan dalam wajah Abah Hanif.
Lelaki itu mengambil pisang goreng dan memakannya dengan lahap. Tak ada lagi
percakapan, yang terdengar hanya sendawa Abah Hanif, berkali-kali.
-----------------
Sesuatu yang tak lazim, Hidayat memandang ayahnya bersarung, berpeci, dan
terburu-buru melangkah ke surau menjelang magrib. Belum pernah Hidayat
melihat wajah ayahnya sebening itu. Belahan wajah menghitam itu tak lagi
membara. Belahan wajah itu seteduh lembayung senja di pematang sawah.
Malam hari ayah Hidayat memasuki rumah, pelan-pelan, diam-diam, tanpa suara.
Duduk di ruang tengah. Terbatuk. Menghirup kopi. Merokok. Termenung.
Sesekali mencuri-curi pandang ke arah anak lelakinya.
"Telah kulamar Abil untukmu," kata ayah Hidayat, berat, dan menunduk. Tak
tampak kerisauan pada wajah Hidayat. Tetap tenang, sambil menyemir
sepatunya.
Melihat ayah Hidayat bergegas ke surau, Umi Nur cemberut. Sesekali ia
mengerling ke arah lelaki tua itu. Tiap kali dilihatnya belahan hitam wajah lelaki
itu, dan tanpa sadar Umi Nur pun bergidik ketakutan. Buru-buru ia
meninggalkan surau. Sesaat suasana hening dan kembali sunyi.
Tiap kali datang orang baru ke surau milik mereka, Umi selalu menyambut
dengan mata bercahaya. Kali ini lain. Dadanya berdegup. Meletup-letup. Tak
bisa dibayangkannya, Abil, anak gadisnya, hidup serumah dengan lelaki beringas,
yang selalu membawa cacian di tengah kemabukannya yang murka ke rumah.
6. JENDELA NURANI
"Ayah Hidayat itu, uh, mengapa selalu datang ke surau?" gerutu Umi.
"Mestinya Umi merasa senang. Dia datang ke surau kita. Bukannya mabuk,"
tukas Abil, mencengangkan.
"Dia berbuat begitu lantaran ingin meminangmu, jadi cari muka deh." Jawab
Umi Nur sinis
"Astaghfirullah Umi.. Ini lebih baik, daripada dia keluyuran malam, mabuk dan
berjudi." Tukas Abil
Subuh keempat puluh ayah Hidayat berkunjung ke surau. Burung-burung
beterbangan, bercericit, hinggap-terbang, hinggap dan terbang lagi di pohon
mangga itu. Langit masih gelap, dan burung-burung itu luput dari perhatian
orang-orang yang bergegas ke surau.
Tak sekali pun ayah Hidayat bertanya kepada Abah Hanif mengenai pernikahan
anak lelakinya dengan Abil. Dalam diam bersimpuh, dia biasa terisak-isak,
dengan mata terpejam memanjatkan doa. Tatkala orang-orang sudah
meninggalkan surau, dia masih bersimpuh sendirian. Lama, hingga matahari
berkilau menghangati hamparan tikar surau. Lelaki tua itu pelan, bangkit.
Kali ini, dalam dingin kabut dini hari, ayah Hidayat telah menyempurnakan
ketenteraman wajahnya dari pergolakan. Belahan hitam wajahnya tak
menyeramkan, serupa lumpur sawah yang digenangi air: rata, datar, menyimpan
anugerah alam. Orang-orang di surau mulai menerima kehadiran lelaki tua itu.
Tak lagi menatap dengan selidik dan tatapan curiga.
7. JENDELA NURANI
Di tengah-tengah suara orang berdoa, sehabis shalat subuh, ayah Hidayat tak
dapat menahan tubuh. Tersungkur. Tiada lagi napas mengembus dari hidungnya.
Ia rebah dengan tangan masih menggenggam tasbih. Tubuhnya terjerembap.
Tidak menggelepar. Tubuh itu terburu, kehilangan napas pelan-pelan, di antara
orang- orang yang bersimpuh doa. Mula-mula orang-orang tak menduga lelaki
tua itu direnggut ajal. Tapi kemudian orang-orang terperanjat, gugup dan
tercengang.
Kini orang-orang mulai melihat cericit burung-burung yang tak terhitung
banyaknya, berkitar-kitar terbang di puncak pohon mangga, di belakang surau
milik keluarga Abah Hanif. Dalam sekejap, sangat cepat burung-burung itu
hinggap di dahan dan ranting pohon mangga. Tak lagi mengepakkan sayap. Tak
lagi bercericit gaduh.
Sepasang kupu-kupu kuning terbang di atas kepala Hidayat. Abil sangat gemas,
ingin menangkap sepasang kupu-kupu itu. Selalu dilihatnya tiap pagi, diam-diam
di kebun anggrek yang menyembunyikan wajah dan tubuhnya, kupu-kupu di atas
kepala Hidayat. Lelaki itu berangkat ke kantor. Berjalan kaki. Selalu berjalan
kaki ke mana pun pergi. Dan sepasang kupu-kupu itu mengantarkannya
menyusuri jalan berumput pada pagi berkabut, saat embun meraup tersengat
matahari.
Abah Hanif diam-diam memperhatikan perilaku anak gadisnya. Sambil minum
teh, menghisap pipa rokok, saat matahari menghangat, dia menemukan anak
gadisnya turun ke kebun anggrek samping rumah, hanya untuk melihat Hidayat.
meninggalkan rumah, berjalan kaki, diiringi kupu-kupu. Mengapa sepasang kupu-
kupu? Dalam jarak yang begitu jauh, sepasang kupu-kupu itu terus mengitari
kepala Hidayat.
8. JENDELA NURANI
Kepergok Abah Hanif memasuki rumah, Abil tersipu-sipu. Terhenti. Menanti
teguran.
"Apa Abah mesti menegur Hidayat, bagaimana kelanjutan lamaran ayahnya
dulu?"
"Biar Hidayat sendiri yang menentukan," tukas Abil tenang.
"Abah jangan salah sangka. Aku cuma suka memandangi sepasang matanya.
Sungguh aneh mata itu, selalu memancarkan alam yang lembut dan tanpa
dendam. Aku suka memandanginya, itu saja, tidak lebih."