Cerita Dewasa Gairah Tyas Yang Binal Di Ranjang. Namaku Tyas seorang istri dari suamiku, Rangga yg pegawai negeri dan aku sendiri bekerja pada sebuah bank di bagian back office.
Cerita Seks Ngentot Teteh Hot, cerpenseks, cerita basah, cerita dewasa, Link Login 188, cerita dewasa jilbab, cerita hot, cerita seks, cerita sex tante, Indo Seks Hot, Indo Seksi Foto Bugil, Indonesian Porn Pics, Janda & Abg Memek Genit, Memek Mulus, Memek Sempit, Memek Tembem, Sex Images Indo Xxx Porn Site. Koleksi Foto Memek Tante, XXX Photos, XXX Photos and Sex Images. Hot girls indo naked. Porn Pics & Movies. Fantastic sperming
Cerita Dewasa Gairah Tyas Yang Binal Di Ranjang. Namaku Tyas seorang istri dari suamiku, Rangga yg pegawai negeri dan aku sendiri bekerja pada sebuah bank di bagian back office.
Cerita Seks Ngentot Teteh Hot, cerpenseks, cerita basah, cerita dewasa, Link Login 188, cerita dewasa jilbab, cerita hot, cerita seks, cerita sex tante, Indo Seks Hot, Indo Seksi Foto Bugil, Indonesian Porn Pics, Janda & Abg Memek Genit, Memek Mulus, Memek Sempit, Memek Tembem, Sex Images Indo Xxx Porn Site. Koleksi Foto Memek Tante, XXX Photos, XXX Photos and Sex Images. Hot girls indo naked. Porn Pics & Movies. Fantastic sperming
arvinoor, arvinoor siregar, arvinoor siregar sh, arvinoor siregar sh mh, kasus arvinoor siregar, kasus arvinoor siregar sh, kasuarvinoor, arvinoor siregar, arvinoor siregar sh, arvinoor siregar sh mh, kasus arvinoor siregar, kasus arvinoor siregar sh, kasus arvinoor siregar sh mharvinoor, arvinoor siregar, arvinoor siregar sh, arvinoor siregar sh mh, kasus arvinoor siregar, kasus arvinoor siregar sh, kasus arvinoor siregar sh mh kasus arvinoor siregar, kasus arvinoor siregar sh, kasus arvinoor siregar sh mharvinoor, arvinoor siregar, arvinoor siregar sh, arvinoor siregar sh mh, kasus arvinoor siregar, kasus arvinoor siregar sh, kasus arvinoor siregar sh mh
H. Mahdi Soroinda Nasution, SH.M.Hum., arvinoor, arvinoor siregar, arvinoor siregar sh, arvinoor siregar sh mh, kasus arvinoor siregar, kasus arvinoor siregar sh, kasus arvinoor siregar sh mharvinoor, arvinoor siregar, arvinoor siregar sh, arvinoor siregar sh mh, kasus arvinoor siregar, Landjono bersama Arvinoor Siregar dan 1 orang lainnya, kasus arvinoor siregar sh, kasus arvinoor siregar sh
H. Mahdi Soroinda Nasution, SH.M.Hum., arvinoor, arvinoor siregar, arvinoor siregar sh, arvinoor siregar sh mh, kasus arvinoor siregar, kasus arvinoor siregar sh, kasus arvinoor siregar sh mharvinoor, arvinoor siregar, arvinoor siregar sh, arvinoor siregar sh mh, kasus arvinoor siregar, Landjono bersama Arvinoor Siregar dan 1 orang lainnya, kasus arvinoor siregar sh, kasus arvinoor siregar sh2222
Similar to Analisis stilistika pada cerpen penglihatan karya mashdar zainal (20)
Kampung Keluarga Berkualitas merupakan salah satu wadah yang sangat strategis untuk mengimplementasikan kegiatan-kegiatan prioritas Program Bangga Kencana secara utuh di lini
lapangan dalam rangka menyelaraskan pelaksanaan program-program yang dilaksanakan Desa
Analisis stilistika pada cerpen penglihatan karya mashdar zainal
1. Nama : Hatijah
NIM : 1451140003
Prodi/Jurusan: Bahasa dan Sastra Indonesia
ANALISIS STILISTIKA PADA CERPEN PENGLIHATAN KARYA
MASHDAR ZAINAL
CERPEN
PEN G LI H A TA N
Oleh MASHDAR ZAINAL
Aroma napas ibu berwarna seperti akar rumput yang baru dicabut dari
tanah basah. Mirip aroma rempah yang segar.
Ibu telah menjelaskan puluhan kali. Bahkan mungkin ratusan kali. Dengan
napas aroma akar rumput basah yang sama. Bahwa aku terlahir sempurna. Tubuh
dan indraku utuh, tidak ada yang cuwil atau rompal. Tidak ada yang panjang
sebelah ataupun kecil sebelah. Semua sempurna. Bahkan sepasang mata ini.
Sepasang mata ini. Orang bilang aku buta. Tapi ibu bilang, aku hanya melihat
dengan cara berbeda. Melihat dengan cara berbeda. Itu saja.
2. Anak-anak lain suka bertanya, apakah yang aku lihat hanya gelap? Gelap
itu artinya berwarna hitam. Tak ada cahaya. Kata mereka, gelap itu seperti ketika
kau memejamkan mata. Ketika kau memejamkan mata, maka kau takkan dapat
melihat. Seperti itulah aku. Seperti itulah orang buta. Mungkin aku tak paham
seperti yang mereka paham. Seperti apa warna gelap. Seperti apa warna hitam.
Ketika aku memejamkan mata, sama rasanya dengan ketika ibu mematikan lampu
saat aku disuruh berangkat tidur. Setelah terdengar bunyi klik—tanda lampu
dimatikan, semua hanya menjadi sedikit berbeda. Seperti itulah gelap. Gelap
hanya sedikit berbeda dengan tidak gelap.
Barangkali gelap mereka memang berbeda dengan gelapku. Namun,
seperti mereka, aku pun masih bisa merasakan kehadiran cahaya. Aku masih bisa
merasakan sesuatu yang disebut ‘silau’ oleh mereka. Suatu pagi, ibu pernah
membawaku ke taman, dan menyuruhku mendongak. Sesuatu yang hangat, yang
bukan tangan ibu, mulai meraba wajahku. Sesuatu yang megah dan seperti hendak
memelukku. Aku nyaris terperenyak.
“Itu matahari, Sayang. Cahayanya hangat dan agung, raja di siang hari,” ucap ibu.
Aku tahu, ibu juga mendongak. Aroma akar rumput basah itu menyebar ke langit.
Beberapa titik jatuh ke wajahku.
Pada malam yang dialiri angin yang lembut seperti satin, ibu juga
membawaku ke halaman rumah. Ia juga menyuruhku mendongak. Tak ada usapan
hangat. Tapi aku merasakan sesuatu yang lembut mengaliri wajahku. Megah
sekaligus ramah.
“Itu rembulan, Sayang. Cahayanya anggun dan redup, ratu di malam hari,” telisik
ibu. Angin satin itu membawa aroma akar rumput basah milik ibu ke mana-mana.
Sejak ibu mengenalkanku pada matahari dan rembulan—aku lupa kapan,
tapi itu sudah lama sekali, aku telah bisa membedakan gelap dan terang dengan
sangat gamblang. Gelap adalah ketika kau sendiri. Dan terang adalah ketika
3. sesuatu yang megah membersamaimu. Dan hal itu: cahaya, membuatku lebih
mudah mengayunkan langkah.
Aku berjalan dengan meraba cahaya, menyelisik suara, dan membaui
aroma. Dan bagiku, itu tak ada kesulitan sama sekali. Tak ada kesulitan sama
sekali. Aku tetap bisa melihat, hanya dengan cara berbeda, seperti kata ibu. Aku
melihat ibu dengan meraba wajahnya dan menyelisik suaranya. Hingga dapat
kubayangkan wajah ibu dalam benakku. Begitu terang. Begitu jelas. Suara ibu
renyah. Renyah itu seperti ketika kau makan kerupuk yang baru diambil dari
dalam toples. Renyah itu tegas tapi lembut. Mirip suara ‘krap’. Seperti itulah suara
ibu.
Ibu adalah satu-satunya kawan dekatku yang paling dekat. Setelah ibu,
baru ada Lukas dan Elias yang sudi berkawan denganku. Yang lain juga
berkawan, tapi tidak terlalu dekat. Dekat artinya, mereka sering meluangkan
waktu bersamaku dan suka mengajakku bercakap-cakap. Ibu, Lukas, dan Elias,
suka melakukan itu. Sebab itu, aku berjanji pada diriku sendiri, bahwa Lukas dan
Elias akan tetap jadi kawanku sampai kapanpun. Tapi Lukas dan Elias punya
kebiasaan buruk, mereka suka datang mengendap-endap. Padahal ibu tak pernah
memarahi mereka. Tapi mereka tetap saja suka datang mengendap-endap.
Ketika ibu tengah sibuk dengan pekerjaan di dalam rumah. Biasanya
Lukas dan Elias muncul dan mengajakku bermain di halaman rumah. Di sana ada
dua ayunan. Aku duduk di ayunan yang satu, sedangkan Lukas dan Elias duduk di
ayunan yang lain. Mereka bilang di halaman rumahku banyak bunga. Ibuku
memang suka sekali dengan bunga. Ada mawar. Melati yang merambat ke tiang
teras. Ada juga kamboja dan bougenvil dalam pot. Lukas dan Elias menjelaskan
bahwa bunga-bunga itu bermacam-macam warnanya. Ada banyak warnanya.
“Mawar itu merah, melati itu putih, kamboja merah muda, bougenvil putih dan
merah muda, tapi merah mudanya berbeda dengan merah muda kamboja,” ujar
Lukas.
4. “Kalau daunnya, hampir semua berwarna hijau,” Elias turut menjelaskan.
Aku hanya berterima kasih dan lalu tersenyum, melebarkan sudut bibir ke kiri dan
ke kanan. Kata ibu, begitulah cara orang tersenyum. Aku bisa membayangkan
dengan mudah seperti apa bentuk mawar, melati, kamboja, dan bougenvil, meski
aku tak begitu paham dengan warna-warna mereka.
Ibu, Lukas, dan Elias mengamati warna dengan mata kasat mereka.
Sedangkan aku mengamati warna dengan caraku sendiri. Merah seperti aroma
garam dan karat. Seperti aroma darah. Kata ibu darah berwarna merah. Meski aku
tahu, mawar punya aroma yang khas—orang-orang menyebutnya harum, tapi
bagiku warna mawar seperti garam dan karat. Dan mawar berduri, jariku pernah
tertusuk duri bunga itu. Mengeluarkan darah. Darah yang beraroma seperti garam
dan karat. Garam dan karat.
Adapun warna melati seperti rasa pahit dan sepat. Warna kamboja seperti
serbuk minuman yang dituang ke dalam gelas. Warna bougenvil seperti sobekan
kertas. Dan warna daun-daun seperti puding cincau yang mendidih dalam panci.
Sekali lagi, aku berbicara tentang warna, bukan aroma. Bagiku warna adalah
bentuk. Merah adalah bentuk. Putih adalah bentuk. Merah muda dan hijau juga
sebuah bentuk. Barangkali itulah yang disebut ibu sebagai ‘melihat dengan cara
berbeda’. Melihat dengan cara berbeda.
Suatu malam, di usiaku yang ke duabelas, kami duduk mengitari meja
makan. Aku dan ibu duduk bersebelahan. Ayah duduk di seberang. Aku tidak
terlalu dekat dengan ayah. Tapi aku bisa membayangkan wajah ayah dari
suaranya yang keras seperti dahan patah, juga aroma napasnya yang dingin seperti
udara yang menyambar ketika kulkas dibuka. Aku pernah meraba wajah ayah,
hampir sama dengan wajah ibu dan wajahku. Hanya saja wajah ayah kasar di
beberapa bagian. Menurut ibu, itu sisa kumis dan jenggot yang dipangkas. Itu
adalah salah satu tanda bahwa laki-laki dan perempuan berbeda. Laki-laki dan
perempuan berbeda.
5. Ayah bekerja sebagai pejabat negara. Kata ibu, ayah orang penting. Ayah
dekat dengan presiden. Dan sebab itu, ayah jarang sekali tinggal di rumah. Ayah
sering pergi ke ibu kota. Dan bahkan keluar negeri. Aku dan ibu sudah terbiasa
ditinggalkan ayah. Sebenarnya, di rumah kami ada dua orang pelayan, yang satu
namanya No, ia bekerja merawat taman. Dan yang satu namanya Tik, ia bagian
mengurusi pekerjaan rumah. Tapi menjelang petang mereka selalu pulang. Dan
aku tak begitu suka dengan mereka. Mereka jarang berkata-kata, dan seringkali,
aroma mereka yang satu seperti tanah becek dan yang satu seperti kain terbakar.
Tapi bagaimanapun, mereka sudah berbaik hati sudi membantu ibu sampai
petang. Jadi aku tetap menghormati mereka.
Kami masih mengitari meja makan, ketika ayah menyampaikan, bahwa
sebentar lagi, aku akan bisa melihat. Melihat dengan cara yang sama, persis
seperti ayah dan ibu melihat. Seperti Lukas dan Elias melihat. Kata ayah, itu
hadiah ulang tahunku yang ke dua belas. Hadiah yang takkan pernah kulupakan.
Ayah berbicara soal donor mata. Yang kutahu, donor itu semacam pemberian.
Berarti pemberian mata. Dan ibu menyinggung soal operasi. Yang kutahu, operasi
itu pekerjaan yang berhubungan dengan pisau, dokter bedah, dan kesembuhan
seseorang.
Sepertinya pembicaraan ayah dan ibu akan berlangsung lama. Sebab itu,
setelah makan, ibu mengantarku cuci muka, cuci kaki, sikat gigi, dan lalu tidur.
Klik. Lampu dimatikan. Klek. Pintu ditutup dari luar. Seketika, dalam benakku
muncul bentuk-bentuk yang beterbangan. Warna-warna, aroma-aroma, dan
cahaya yang berlompatan. Ketika itu, tiba-tiba Lukas dan Elias datang. Seperti
biasa, mereka datang diam-diam. Barangkali mereka memanjat jendela. Kata
Lukas, mereka sempat menguping soal hadiah ulang tahun itu. Soal aku akan bisa
melihat dengan cara yang sama. Melihat dengan cara yang sama.
“Akan lebih baik kalau kau tidak menerima hadiah itu,” desis Lukas.
6. “Betul,” sahut Elias, “hampir semua penglihatan manusia adalah anak panah iblis
yang dilesatkan. Dan itu akan menikam dirimu sendiri. Sudah banyak buktinya.”
“Lagi pula, sebagian besar manusia memiliki wajah dan sosok yang menyeramkan
dan kadang menjijikkan untuk dilihat. Kau pasti akan ketakutan.”
“Dan seringkali mereka mendesis seperti ular derik. Berisik dan mencelakai
orang.”
“Akan banyak sekali hal di dunia ini yang tak ingin kau lihat nantinya.
Percayalah, kau takkan suka melihat dengan cara yang sama.”
Aku hanya menyimak ucapan mereka. Dengan rasa ngeri yang mulai melata.
“Tapi semua terserah padamu,” singkat Lukas.
“Ya, keputusan tetap ada di tanganmu,” Elias menambahkan.
Malam itu, Lukas dan Elias pamit setelah kukatakan bahwa aku harus segera
tidur. Sejujurnya, aku mulai bosan dan menganggap mereka hanya menakut-
nakutiku. Setelah aku bisa melihat seperti yang lain, tentu akan semakin banyak
anak yang mau berkawan denganku. Pasti Lukas dan Elias cemas akan hal itu.
Padahal aku sudah bersumpah, sampai kapanpun, mereka akan tetap jadi kawan
dekatku. Sampai kapanpun.
Setelah malam itu, Lukas dan Elias masih datang sesekali untuk mengingatkan
soal penglihatan manusia yang kata mereka mengerikan itu. Sampai ayah dan ibu
benar-benar membawaku ke rumah sakit untuk hadiah istimewa itu. Ketika aku
sampai di rumah sakit, cahaya berlesatan di hadapanku. Aroma-aroma membaur
menjadi satu. Warna-warna beradu. Juga suara Lukas dan Elias yang terus
mengiang sayup di telingaku. Hingga aku seperti tertidur. Tidak ingat apa-apa
lagi.
7. Entah berapa lama, ketika aku terbangun, sebagian kepalaku sudah dibaluti kain
panjang dan pipih. Setelah beberapa hari, ketika kain itu dibuka, perlahan. Mataku
segera mengerjap. Cahaya mendekap tubuhku. Seperti kain raksasa yang
meringkusku. Dan semua menjadi begitu berbeda. Ibu bertanya, apakah aku bisa
melihat? Apakah aku merasa silau? Aku hanya tersenyum lebar. Ibu menciumku.
Wajah ibu persis seperti yang kubayangkan selama ini. Persis. Namun aroma akar
rumput basah itu lenyap entah kemana.
Dan aku merasa sangat girang bisa melihat begitu banyak binatang berkeliaran.
Berbaur dengan manusia. Aku tahu itu binatang karena mereka memiliki
moncong. Semacam bibir yang menjorok ke depan. Ibu pernah bercerita, bahwa
salah satu perpedaan fisik antara manusia dan binatang adalah pada moncongnya.
Bahkan bebek dan ikan lele sekalipun memiliki moncong. Sungguh, aku merasa
takjub dengan dunia baruku.
Aku tidak sabar untuk mengucapkan terima kasih pada ayah yang telah
menghadiahiku sebuah penglihatan. Sebuah dunia baru. Aku dan ibu telah
menunggu ayah di depan pintu setelah beberapa hari ayah pergi ke luar kota
seperti biasanya. Ketika ayah keluar dari mobil, aku baru tahu bahwa ayah juga
memiliki moncong. Ayah juga memiliki moncong. Tiba-tiba aku teringat kata
Lukas dan Elias. Namun entah mengapa, semenjak aku memiliki penglihatan yang
sama, Lukas dan Elias tak pernah muncul lagi. Mereka menghilang.
Ketika aku bertanya pada ibu perihal Lukas dan Elias, ibu menjawab enteng. Kata
ibu, Lukas dan Elias hanya sepasang anjing kembar milik tetangga sebelah.
Anjing kembar yang suka keluyuran ke halaman rumah kami.
Mashdar Zainal
Lahir di Madiun, 5 Juni 1984, menulis puisi serta prosa di berbagai koran. Kini
bermukim di Malang. Cerpennya beberapa kali masuk dalam buku Cerpen Pilihan
Kompas.
8. Ilustrasi Karya:
Nur Khaerunnisa
Cerpen telah diterbitkan Harian Kompas pada 17 April 2016
Hasil Analisis Stilistika Cerpen Penglihatan Karya Mashdar Zainal
1. Diksi
Pilihan kata (diksi) pada cerpen “Penglihatan” karya Mashdar Zainal di
atas dapat dimaknai secara konotasi dan denotasi. Makna konotasi disini dapat
berupa kata-kata yang dapat menimbulkan pikiran seseorang mengenai nilai rasa
yang terdapat pada kata-kata yang digunakan di dalam isi cerpen, misalnya kata
aroma, gelap, cahaya, hangat, matahari, rembulan, sendiri, bersama, menyelisik
suara, mengerikan yang merupakan kata konkret.
Sedangkan makna denotasi pada cerpen tersebut menunjutkan makna kata
berdasarkan kelompok kata dengan tujuan menunjukkan seseuatu secara lugas
pada sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan atas konvensi tertentu dan
bersifat objektif. Makna denotasi pada teks cerpen di atas dapat dilihat pada
kalimat-kalimat yang ditekankan oleh pengarang sehingga ada beberapa kata atau
kalimat diulang untuk dipertegas maknanya. Seperti pada kata atau kalimat
Melihat dengan cara berbeda, Ketika kau memejamkan mata, bermacam-macam
warnanya, Garam dan karat, Laki-laki dan perempuan berbeda, Melihat dengan
cara yang sama, dan Sampai kapanpun.
Jadi dapat disimpulkan dari analisis gaya kata atau penggunaan diksi
dalam cerpen “Penglihatan” adalah menggunakan kata konotatif dan denotasi
untuk mengungkapkan gagasan (makna) dan untuk mencapai efek estetis.
2. Imaji (Pencitraan)
a. Imaji Penciuman
Yaitu citraan yang berhubungan dengan indera pemciuman (hidung). Kata-
kata yang mengandung citraan ini menggambarkan seolah-olah objek yang
dibicarakan berbau harum, busuk, anyir, dll. Adapun kalimat-kalimat atau kata
9. yang menujukkan adanya imaji penciuman pada cerpen “Penglihatan” dapat
dilihat pada kutipan:
“Aroma napas ibu berwarna seperti akar rumput yang baru dicabut
dari tanah basah. Mirip aroma rempah yang segar”.
Kutipan di atas dikatakan sebagai kalimat yang memiliki imaji penciuman
karena menggunakan kata-kata yang melibatkan yang melibatkan indra
penciuman, kita dapat melihat dari diksi yang digunakan oleh penulis cerpen
tersebut (Aroma napas ibu) dengan menggunakan kata “aroma” disitu telah
terlihat bahwa dalam cerpen terdapat diksi melibatkan indra penciuman. Selain
kutipan ini, ada beberapa kutipan di dalam cerpen yang melibatkan indra
penciuman, di antranya:
“Ibu, Lukas, dan Elias mengamati warna dengan mata kasat mereka.
Sedangkan aku mengamati warna dengan caraku sendiri. Merah
seperti aroma garam dan karat. Seperti aroma darah. Kata ibu darah
berwarna merah. Meski aku tahu, mawar punya aroma yang khas—
orang-orang menyebutnya harum, tapi bagiku warna mawar seperti
garam dan karat. Dan mawar berduri, jariku pernah tertusuk duri
bunga itu. Mengeluarkan darah. Darah yang beraroma seperti garam
dan karat. Garam dan karat”.
Kutipan di atas dikatakan sebagai kalimat yang memiliki imaji penciuman
karena menggunakan kata-kata yang melibatkan yang melibatkan indra
penciuman, kita dapat melihat dari diksi yang digunakan oleh penulis cerpen
tersebut dengan menggunakan kata “aroma” disitu telah terlihat bahwa dalam
cerpen terdapat diksi melibatkan indra penciuman.
“Ayah duduk di seberang. Aku tidak terlalu dekat dengan ayah. Tapi
aku bisa membayangkan wajah ayah dari suaranya yang keras seperti
dahan patah, juga aroma napasnya yang dingin seperti udara yang
menyambar ketika kulkas dibuka”.
Kutipan di atas dikatakan sebagai kalimat yang memiliki imaji penciuman
karena menggunakan kata-kata yang melibatkan yang melibatkan indra
penciuman, kita dapat melihat dari diksi yang digunakan oleh penulis cerpen
tersebut (Aroma napasnya yang dingin) dengan menggunakan kata “aroma”
10. disitu telah terlihat bahwa dalam cerpen terdapat diksi melibatkan indra
penciuman yang dapat dimaknai sebagai bau napas seorang laki-laki.
“Sebenarnya, di rumah kami ada dua orang pelayan, yang satu
namanya No, ia bekerja merawat taman. Dan yang satu namanya Tik,
ia bagian mengurusi pekerjaan rumah. Tapi menjelang petang mereka
selalu pulang. Dan aku tak begitu suka dengan mereka. Mereka jarang
berkata-kata, dan seringkali, aroma mereka yang satu seperti tanah
becek dan yang satu seperti kain terbakar”.
Kutipan di atas dikatakan sebagai kalimat yang memiliki imaji penciuman
karena menggunakan kata-kata yang melibatkan yang melibatkan indra
penciuman, kita dapat melihat dari diksi yang digunakan oleh penulis cerpen
tersebut (aroma mereka yang satu seperti tanah becek dan yang satu seperti
kain terbakar) dengan menggunakan kata “aroma” disitu telah terlihat bahwa
dalam cerpen terdapat diksi melibatkan indra penciuman yang dapat dimaknai
sebagai bau yang tidak enak dicium mungkin karena kedua pembantu tersebut
bertugas mengurusi rumah.
b. Imaji Penglihatan (mata)
Yaitu citraan yang ditimbulkan oleh indera penglihatan (mata). Citraan ini
dapat memberikan rangsangan kepada mata sehingga seolah-olah dapat melihat
sesuatu yang sebenarnya tidak terlihat. Pada cerpen di atas kalimat yang
menunjukkan adanya imaji penglihatan (visual) terdapat pada kutipan sebagai
berikut.
“Ibu telah menjelaskan puluhan kali. Bahkan mungkin ratusan kali.
Dengan napas aroma akar rumput basah yang sama. Bahwa aku
terlahir sempurna. Tubuh dan indraku utuh, tidak ada yang cuwil atau
rompal. Tidak ada yang panjang sebelah ataupun kecil sebelah. Semua
sempurna. Bahkan sepasang mata ini. Sepasang mata ini. Orang bilang
aku buta. Tapi ibu bilang, aku hanya melihat dengan cara berbeda.
Melihat dengan cara berbeda. Itu saja”.
Kutipan di atas dianggap memiliki imaji visual karena jelas bahwa dalam
cerpen di atas menunjukkan bahwa ada sesuatu yang terlihat dalam bayangan
penulis mengenai seseorang yang ditujukan di dalam cerpen tersebut (Bahwa aku
11. terlahir sempurna. Tubuh dan indraku utuh, tidak ada yang cuwil atau rompal.
Tidak ada yang panjang sebelah ataupun kecil sebelah. Semua sempurna.
Bahkan sepasang mata ini) dengan melihat adanya kelahiran manusia secara
sempurna, lengkap dengan organ tubuhnya (tidak cacat) kita dapat
membayangkan bahwa cerpen ini melibatkan indra penglihatan.
“Anak-anak lain suka bertanya, apakah yang aku lihat hanya gelap?
Gelap itu artinya berwarna hitam. Tak ada cahaya. Kata mereka, gelap
itu seperti ketika kau memejamkan mata. Ketika kau memejamkan
mata, maka kau takkan dapat melihat. Seperti itulah aku. Seperti itulah
orang buta. Mungkin aku tak paham seperti yang mereka paham.
Seperti apa warna gelap. Seperti apa warna hitam. Ketika aku
memejamkan mata, sama rasanya dengan ketika ibu mematikan lampu
saat aku disuruh berangkat tidur. Setelah terdengar bunyi klik—tanda
lampu dimatikan, semua hanya menjadi sedikit berbeda. Seperti itulah
gelap. Gelap hanya sedikit berbeda dengan tidak gelap”.
Kutipan di atas dianggap memiliki imaji visual karena jelas bahwa dalam
cerpen di atas menunjukkan bahwa ada sesuatu yang terlihat dalam bayangan
penulis mengenai padangannya tentang suasana gelap bagi dirinya dan juga bagi
orang lain yang masing-masing memaknai gelap berdasarkan persepsi. Hal ini
juga dijelaskan pada kutipan berikut.
“Barangkali gelap mereka memang berbeda dengan gelapku. Namun,
seperti mereka, aku pun masih bisa merasakan kehadiran cahaya. Aku
masih bisa merasakan sesuatu yang disebut ‘silau’ oleh mereka. Suatu
pagi, ibu pernah membawaku ke taman, dan menyuruhku mendongak.
Sesuatu yang hangat, yang bukan tangan ibu, mulai meraba wajahku.
Sesuatu yang megah dan seperti hendak memelukku. Aku nyaris
terperenyak”.
Selain mengenai suasana gelap yang dijelaskan pada kutipan di atas juga
mengenai cahaya matahari yang masing-masing melibatkan indra penglihatan
karena disitu dapat membayangkan bagaimana cara membedakan gelap dan
terang.
“Aku pernah meraba wajah ayah, hampir sama dengan wajah ibu dan
wajahku. Hanya saja wajah ayah kasar di beberapa bagian. Menurut
ibu, itu sisa kumis dan jenggot yang dipangkas. Itu adalah salah satu
tanda bahwa laki-laki dan perempuan berbeda. Laki-laki dan
perempuan berbeda”.
12. Kutipan di atas dianggap memiliki imaji visual karena jelas bahwa yang
ditunjukkan adalah sesuatu yang terlihat dalam bayangan penulis mengenai
seseorang yang ditujukan di dalam cerpen tersebut yaitu kita dapat seolah-olah
membayangkan melihat adanya bentuk wajah yang membedakan laki-laki dan
perempuan.
“Kami masih mengitari meja makan, ketika ayah menyampaikan,
bahwa sebentar lagi, aku akan bisa melihat. Melihat dengan cara
yang sama, persis seperti ayah dan ibu melihat. Seperti Lukas dan
Elias melihat.
Kutipan di atas dianggap memiliki imaji visual karena jelas bahwa dalam
kutipan cerpen di atas menunjukkan bahwa ada sesuatu yang terlihat dalam
bayangan penulis mengenai penglihatan manusia dengan cara yang sama.
“Mataku segera mengerjap. Cahaya mendekap tubuhku. Seperti kain
raksasa yang meringkusku. Dan semua menjadi begitu berbeda. Ibu
bertanya, apakah aku bisa melihat? Apakah aku merasa silau? Aku
hanya tersenyum lebar. Ibu menciumku. Wajah ibu persis seperti yang
kubayangkan selama ini. Persis. Namun aroma akar rumput basah itu
lenyap entah kemana”.
Kutipan di atas dianggap memiliki imaji visual karena sesuatu yang
dijelaskan di dalam kutipan cerpen tersebut adalah sesuatu yang melibatkan indra
penglihatan. Pembaca dapat membayangkan adanya mata yang mengerjap,
cahaya, dan kain perban yang membalut tubuh seseorang.
“Dan aku merasa sangat girang bisa melihat begitu banyak binatang
berkeliaran. Berbaur dengan manusia. Aku tahu itu binatang karena
mereka memiliki moncong. Semacam bibir yang menjorok ke depan.
Ibu pernah bercerita, bahwa salah satu perpedaan fisik antara manusia
dan binatang adalah pada moncongnya. Bahkan bebek dan ikan lele
sekalipun memiliki moncong. Sungguh, aku merasa takjub dengan
dunia baruku”.
Kutipan di atas dianggap memiliki imaji visual karena ketika membaca
paragraph tersebut kita seolah-olah dibawah untuk melihat sauna dimana terdapat
banyak binatang yang berkeliaran berbaur dengan manusia dan beberapa binatang
yang memiliki moncong.
13. “Sebuah dunia baru. Aku dan ibu telah menunggu ayah di depan pintu
setelah beberapa hari ayah pergi ke luar kota seperti biasanya. Ketika
ayah keluar dari mobil, aku baru tahu bahwa ayah juga memiliki
moncong. Ayah juga memiliki moncong. Tiba-tiba aku teringat kata
Lukas dan Elias. Namun entah mengapa, semenjak aku memiliki
penglihatan yang sama, Lukas dan Elias tak pernah muncul lagi.
Mereka menghilang”.
Kutipan ini juga melibatkan indra penglihatan dalam kalimat-kalimat yang
disampaikan karena ketika kita membacanya kita dapat membayangkan dunia
baru bagi orang yang baru melihat itu seperti apa. Selain itu kita juga
membayangkan dua orang (anak dan ibu) berdiri di depan pintu menunggu
seseorang datang serta bentuk fisik dari ayah mereka yang memiliki moncong.
c. Imaji Gerak
Yaitu citraan yang secara konkret tidak bergerak, tetapi secara abstrak
objek tersebut bergerak. Hal ini juga terdapat pada cerpen di atas adalah sebagai
berikut. Dengan membaca beberapa kutipan di bawah ini kita dapat
membayangkan adanya pergerakan atau sesuatu yang dapat bergerak yang
disajikan di dalam isi cerpen. Dengan begitu makna-makna yang dituangkan di
dalam isi cerpen yang dilakukan oleh penulis dapat dengan mudah diikuti dan
dipahami.
- Suatu pagi, ibu pernah membawaku ke taman, dan menyuruhku
mendongak. Sesuatu yang hangat, yang bukan tangan ibu, mulai
meraba wajahku. Sesuatu yang megah dan seperti hendak memelukku.
Aku nyaris terperenyak.
- Angin satin itu membawa aroma akar rumput basah milik ibu ke
mana-mana.
- Aku berjalan dengan meraba cahaya, menyelisik suara, dan membaui
aroma. Dan bagiku, itu tak ada kesulitan sama sekali.
- Tapi Lukas dan Elias punya kebiasaan buruk, mereka suka datang
mengendap-endap. Padahal ibu tak pernah memarahi mereka. Tapi
mereka tetap saja suka datang mengendap-endap.
- Ketika ibu tengah sibuk dengan pekerjaan di dalam rumah. Biasanya
Lukas dan Elias muncul dan mengajakku bermain di halaman rumah.
Di sana ada dua ayunan. Aku duduk di ayunan yang satu, sedangkan
Lukas dan Elias duduk di ayunan yang lain.
- Aku pernah meraba wajah ayah, hampir sama dengan wajah ibu dan
wajahku. Hanya saja wajah ayah kasar di beberapa bagian. Menurut
ibu, itu sisa kumis dan jenggot yang dipangkas. Itu adalah salah satu
14. tanda bahwa laki-laki dan perempuan berbeda. Laki-laki dan
perempuan berbeda.
- Sepertinya pembicaraan ayah dan ibu akan berlangsung lama. Sebab
itu, setelah makan, ibu mengantarku cuci muka, cuci kaki, sikat gigi,
dan lalu tidur. Klik. Lampu dimatikan. Klek. Pintu ditutup dari luar.
Seketika, dalam benakku muncul bentuk-bentuk yang beterbangan.
Warna-warna, aroma-aroma, dan cahaya yang berlompatan. Ketika
itu, tiba-tiba Lukas dan Elias datang. Seperti biasa, mereka datang
diam-diam. Barangkali mereka memanjat jendela.
- Entah berapa lama, ketika aku terbangun, sebagian kepalaku sudah
dibaluti kain panjang dan pipih. Setelah beberapa hari, ketika kain itu
dibuka, perlahan. Mataku segera mengerjap. Cahaya mendekap
tubuhku. Seperti kain raksasa yang meringkusku.
- Dan aku merasa sangat girang bisa melihat begitu banyak binatang
berkeliaran. Berbaur dengan manusia.
- Ketika ayah keluar dari mobil, aku baru tahu bahwa ayah juga
memiliki moncong.
d. Imaji Perabaan
Yaitu citraan yang melibatkan indera peraba (kulit). Misalnya kasar,
lembut, halus, kasar, panas, dingin, dsb. Misalnya pada kutipan yang terdapat
dapat dalam cerpen dapat kita jumpai kalimat atau kata yang menunjukkan citraan
yang melibatkan kulit.
“Bahwa aku terlahir sempurna. Tubuh dan indraku utuh, tidak ada
yang cuwil atau rompal. Tidak ada yang panjang sebelah ataupun
kecil sebelah. Semua sempurna. Bahkan sepasang mata ini”.
Kutipan di atas dapat dimakani sebagai kalimat yang mengacu kepada
indra peraba (kulit) karena dengan membaca kalimatnya kita seolah-olah di ajak
untuk meraba tubuh kita agar dapat mengenai bentuk dan kelengkapan organ
tubuh yang kita memiliki.
“Aku melihat ibu dengan meraba wajahnya dan menyelisik suaranya.
Hingga dapat kubayangkan wajah ibu dalam benakku. Begitu terang.
Begitu jelas. Suara ibu renyah. Renyah itu seperti ketika kau makan
kerupuk yang baru diambil dari dalam toples. Renyah itu tegas tapi
lembut. Mirip suara ‘krap’. Seperti itulah suara ibu”.
Pada kutipan selain dianggap sebagai sebuah kalimat yang megacu kepada indra
pendengaran juga dianggap sebagai kalimat yang menunjukkan adanya indra
perabaan yaitu ketika tokoh “aku” meraba wajah ibunya.
15. “Aku pernah meraba wajah ayah, hampir sama dengan wajah ibu dan
wajahku. Hanya saja wajah ayah kasar di beberapa bagian. Menurut
ibu, itu sisa kumis dan jenggot yang dipangkas. Itu adalah salah satu
tanda bahwa laki-laki dan perempuan berbeda. Laki-laki dan
perempuan berbeda”.
Kutipan ini juga dianggap sebagai kalimat yang mengacu kepada indra
peraba (kulit) karena kita dapat membayangkan tokoh “aku” meraba wajah
ayahnya dengan menemukan bentuk perbedaan fisik wajah laki-laki dan
perempuan.
e. Imaji Pencecapan
Yaitu citraan yang melibatkan indera pencecapan (lidah). Melalui citraan
ini seolah-olah kita dapat merasakan sesuatu yang pahit, asam, manis, kecut, dll.
Meskipun dalam cerpen di atas citra pencecapan kurang ditongjolkan akan tetapi
terdapat kalimat yang menunjukkan imaji pencecapan, yaitu:
“Adapun warna melati seperti rasa pahit dan sepat”.
Kutipan di atas dikatakan bahwa imaji yang digunakan adalah imaji yang
melibatkan indra pencicipan (lidah) hal tersebut dapat kita lihat pada diksi (rasa
pahit dan sepat) dari kata itu pembaca merasakan seolah-olah ada sesuatu yang
pahit dan sepat di mulut apabila mencicipi bunga melati.
3. Gaya Bahasa (Majas)
Terdapat beberapa jenis majas yang digunakan oleh pengarang pada
cerpen di atas, antra lain sebagai berikut.
a. Simile
Simile adalah sebuah majas yang mempergunakan kata-kata
pembandingan langsung atau eksplisit untuk membandingkan sesuatu yang
dibandingkan dengan pembandingnya. Majas simile lazimnya mempergunakan
kata-kata tugas tertentu yang berfungsi sebagai penanda keeksplisitan
pembandingan, misalnya kata-kata seperti, bagai, bagaikan, sebagai, laksana,
16. mirip, bak, dan sebagainya. Dalam cerpen “Penglihatan” Mashdar Zainal,
terdapat beberapa kalimat yang merupakan kategori majas simile. Hal ini dapat
dilihat pada kutipan kalimat.
“Aroma napas ibu berwarna seperti akar rumput yang baru dicabut
dari tanah basah. Mirip aroma rempah yang segar”.
Pada kutipan di atas dikatakan sebagai majas simile karena
mempergunakan kata-kata pembandingan langsung atau eksplisit untuk
membandingkan sesuatu yang dibandingkan dengan pembandingnya, yaitu aroma
napas ibu dinyatakan sebagai aroma rempah yang segar sebagaimana akar rumput
yang baru dicabt dari tanah yang basah. Selanjutnya, pada kutipan berikut juga
dinyatakan sebagai bentuk kalimat yang mengacu pada majas simile.
“Anak-anak lain suka bertanya, apakah yang aku lihat hanya gelap?
Gelap itu artinya berwarna hitam. Tak ada cahaya. Kata mereka, gelap
itu seperti ketika kau memejamkan mata. Ketika kau memejamkan
mata, maka kau takkan dapat melihat. Seperti itulah aku. Seperti itulah
orang buta. Mungkin aku tak paham seperti yang mereka paham.
Seperti apa warna gelap. Seperti apa warna hitam. Ketika aku
memejamkan mata, sama rasanya dengan ketika ibu mematikan lampu
saat aku disuruh berangkat tidur. Setelah terdengar bunyi klik—tanda
lampu dimatikan, semua hanya menjadi sedikit berbeda. Seperti itulah
gelap. Gelap hanya sedikit berbeda dengan tidak gelap”.
Kutipan tersebut dikatakan sebagai majas simile karena membandingkan
Kata atinya, sebagai, dan kata seperti merupakan bentuk majas yang
dikategorikan sebagai simile karena kata tersebut pembandingan langsung atau
eksplisit untuk membandingkan sesuatu yang dibandingkan dengan
pembandingnya. Kata artinya pada kalimat di atas mengacu kepada
pembandingan kata gelap dengan sesuatu yang berwana hitam dan pada saat
memejamkan mata.
“Merah seperti aroma garam dan karat. Seperti aroma darah. Kata ibu
darah berwarna merah. Meski aku tahu, mawar punya aroma yang
17. khas—orang-orang menyebutnya harum, tapi bagiku warna mawar
seperti garam dan karat. Dan mawar berduri, jariku pernah tertusuk
duri bunga itu. Mengeluarkan darah. Darah yang beraroma seperti
garam dan karat”.
Pada kutipan di atas kata seperti merupakan bentuk majas yang
dikategorikan sebagai simile karena kata tersebut pembandingan langsung atau
eksplisit untuk membandingkan sesuatu yang dibandingkan dengan
pembandingnya. Dalam hal ini kata seperti merupakan pembanding dari warna
merah yang diibartkan sebagai aroma darah yang mirip dengan aroma garam dan
karat.
“Adapun warna melati seperti rasa pahit dan sepat. Warna kamboja
seperti serbuk minuman yang dituang ke dalam gelas. Warna
bougenvil seperti sobekan kertas. Dan warna daun-daun seperti
puding cincau yang mendidih dalam panci”.
Pada kutipan di atas kata seperti merupakan bentuk majas yang
dikategorikan sebagai simile karena kata tersebut pembandingan langsung atau
eksplisit untuk membandingkan sesuatu yang dibandingkan dengan
pembandingnya. Dalam hal ini kata seperti merupakan pembanding dari warna
bungah melati jika dicium aromanya seperti dengan rasa pahit dan sepat. merah
yang diibartkan sebagai aroma darah yang mirip dengan aroma garam dan karat.
Warna kamboja seperti serbuk minuman yang dituang ke dalam gelas. Warna
bougenvil seperti sobekan kertas. Dan warna daun-daun seperti puding cincau
yang mendidih dalam panic.
“Cahaya mendekap tubuhku. Seperti kain raksasa yang meringkusku.
Dan semua menjadi begitu berbeda”.
Pada kutipan di atas kata seperti merupakan bentuk majas yang
dikategorikan sebagai simile karena kata tersebut pembandingan langsung atau
18. eksplisit untuk membandingkan sesuatu yang dibandingkan dengan
pembandingnya. Dalam hal ini kata seperti merupakan bentuk dari perban bekas
operasi mata.
b. Personifikasi atau Penginsanan
Penginsanan mengacu pada benda mati yang dihidupkan seolah-olah dapat
bergerak, berpikir, dan berperasaan seperti lazimnya manusia. Artinya, sifat yang
diberikan itu sebenarnya hanya dimiliki oleh manusia dan tidak untuk benda-
benda atau mahluk nonhuman yang tidak bernyawa dan tidak berakal. Pada
cerpen “Penglihatan” juga terdapat majas Personifikasi atau Penginsanan pada isi
cerita. Hal ini dapat dilihat pada kutipan dan penjelasan berikut.
“Suatu pagi, ibu pernah membawaku ke taman, dan menyuruhku
mendongak. Sesuatu yang hangat, yang bukan tangan ibu, mulai
meraba wajahku. Sesuatu yang megah dan seperti hendak memelukku.
Aku nyaris terperenyak”.
Pada kutipan kalimat sesuatu yang hangat, yang bukan tangan ibu, mulai
meraba wajahku. Sesuatu yang megah dan seperti hendak memelukku termasuk
penginsanan karena benda mati yang dihidupkan seolah-olah dapat bergerak,
berpikir, dan berperasaan seperti lazimnya manusia, yaitu matahari.
“Pada malam yang dialiri angin yang lembut seperti satin, ibu juga
membawaku ke halaman rumah. Ia juga menyuruhku mendongak. Tak
ada usapan hangat. Tapi aku merasakan sesuatu yang lembut
mengaliri wajahku. Megah sekaligus ramah”.
Pada kutipan aku merasakan sesuatu yang lembut mengaliri wajahku.
Megah sekaligus ramah termasuk penginsanan karena benda mati yang
dihidupkan seolah-olah dapat bergerak, berpikir, dan berperasaan seperti lazimnya
manusia. Artinya, sifat yang diberikan itu sebenarnya hanya dimiliki oleh manusia
19. dan tidak untuk benda-benda atau mahluk nonhuman yang tidak bernyawa dan
tidak berakal. Oleh karena itu, bulan tidak bernyawa layaknya manusia dan tidak
ramah seperti manusia.
c. Majas Perumpamaan (Majas Asosiasi)
Majas Asosiasi adalah suatu perbandingan dua hal yang berbeda, namun
dinyatakan sama. Dalam ini hal, cerpen “Penglihatan” juga memiliki masa seperti
ini. Hal ini dapat kita lihat pada kutiapan.
“Aroma napas ibu berwarna seperti akar rumput yang baru dicabut
dari tanah basah”.
Kutipan di atas termasuk majas asosiasi karena membandingkan dua hal
yang berbeda namun dinyatakan sama, yaitu aroma napas ibu dinyatakan berwrna
seperti akar rumput yang baru dicabut dari tanah basah. Padahal antara aroma
napas dan warna akar rumput itu adalah sesuatu yang berbeda.
“Adapun warna melati seperti rasa pahit dan sepat”.
“Warna kamboja seperti serbuk minuman yang dituang ke dalam gelas”.
“Warna bougenvil seperti sobekan kertas”.
“Dan warna daun-daun seperti puding cincau yang mendidih dalam panci”.
“Bagiku warna adalah bentuk. Merah adalah bentuk. Putih adalah bentuk.
Merah muda dan hijau juga sebuah bentuk”.
“Gelap hanya sedikit berbeda dengan tidak gelap”.
Dari beberapa kutipan cerpen di atas merupakan bentuk asosiasi dari
warna bunga melati dan rasa pahit dan sepat. Akan tetapi kedua hal itu berbeda
namun dinyatakan sama. Warna kamboja disamakan dengan minuman yang
dituang ke dalam gelas. Warna bunga bougenvil dinyatakan sama dengan sobekan
kertas. Daun yang berwarna hijau dinyatakan sama dengan pudding cincau yang
mendidih dalam panci dan semua hal di atas dinyatakan sama padahal sebenarnya
berbeda.
20. d. Majas Repetisi
Yaitu Majas perulangan kata–kata sebagai penegasan. Pada cerpen
“Penglihatan” karya Mashdar Zainal terdapat banyak kata-kata yang diulang
sebagai makna penegasan. Hal ini dapat kita lihat pada kutipan.
- “Orang bilang aku buta. Tapi ibu bilang, aku hanya melihat dengan
cara berbeda. Melihat dengan cara berbeda. Itu saja”.
- “Kata mereka, gelap itu seperti ketika kau memejamkan mata. Ketika
kau memejamkan mata, maka kau takkan dapat melihat”.
- “Lukas dan Elias menjelaskan bahwa bunga-bunga itu bermacam-
macam warnanya. Ada banyak warnanya”.
- “Darah yang beraroma seperti garam dan karat. Garam dan karat”.
- “Barangkali itulah yang disebut ibu sebagai ‘melihat dengan cara
berbeda’. Melihat dengan cara berbeda”.
- “Itu adalah salah satu tanda bahwa laki-laki dan perempuan berbeda.
Laki-laki dan perempuan berbeda”.
- “Kata Lukas, mereka sempat menguping soal hadiah ulang tahun itu.
Soal aku akan bisa melihat dengan cara yang sama. Melihat dengan
cara yang sama”.
- “Padahal aku sudah bersumpah, sampai kapanpun, mereka akan tetap
jadi kawan dekatku. Sampai kapanpun”.
Dari beberapa kutipan di atas dikatakan sebagai majas repetisi karena
mengunakan perulangan kata–kata sebagai penegasan. Kalimat melihat dengan
cara berbeda yang diulang sebagai penegasan dari cara pandang manusia
terhadap sesuatu yang melibatkan indra penglihatan, yaitu dengan kasat mata dan
mata batinnya (pikiran). Kemudian kata gelap yang bermakna gelap karena tidak
ada cahaya dan gelap karena mata memang tertutup atau gelap karena tidak dapat
melihat sesuatu. Selanjutnya, bunga-bunga itu bermacam-macam warnanya.
Ada banyak warnanya bisa diartikan sebagai beberapa warna bunga. Kemudian
kalimat Darah yang beraroma seperti garam dan karat. Garam dan karat
menekankan kata garam dan karat sebagai bentuk penegasan dari aromah darah
atau sesuatu yang berwarna merah. Selanjutkan laki-laki dan perempuan berbeda
21. merupakan bentuk penegasan dari bentuk fisik berbedaan antara wanita dan laki-
laki. Kemudian, melihat dengan cara yang sama merupakan bentuk penegasan
dari seseorang yang memiliki mata yang dapat melihat dengan kasat mata. Dan
sampai kapanpun merupakan bentuk penegasan dari janji.
4. Gaya Bunyi (Vokal)
Adapun gaya bunyi yang sering kita temukan pada cerpen “Penglihatan”
adalah:
Pada paragraph-paragraf tertentu banyak dijumpai kata-kata dengan bunyi
yang sama, misalnya kata aroma, gelap, berbeda, warna, bentuk dan moncong
yang meupakan bentuk-bentuk permainan bunyi yang memiliki nilai estetis pada
cerpen tersebut. Kemudia ditemukan juga bunyi berupa kombinasi bunyi-bunyi
vokal (asonansi) a, e, i, u, o dengan bunyi-bunyi konsonan bersuara (voiced)
seperti b, d, g, j, bunyi liquida seperti r dan i, serta bunyi sengau seperti m, n, ny,
dan ng. Sehingga lewat huruf-huruf tersebut dirangkai menjadi sebuah kalimat
yang utuh.
5. Tipografi
Pada cerpen “Penglihatan” karya Mashdar Zainal ini tidak ada bentuk
tipofrafi yang menonjol.